Anda di halaman 1dari 150

JER BASUKI MAWA BEYA | i

JER BASUKI MAWA BEYA


KISAH INSPIRATIF PERJUANGAN TRANSMIGRASI
MENUJU KESUKSESAN

Copyright © Direktorat Jendral Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

PENULIS
Aisyah Gamawati
Anto Pribadi
Ratno
Yugo Hermawan
Asti Pinarti

EDITOR
Nur Aida

PENYELARAS AKHIR
Anwar R. Soediro

PENATA LETAK
Burhan Fadhillah

DESAINER SAMPUL
Bagoes Akbar Maulana

Cetakan Pertama, November 2022


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia
Pribadi, Anto, dkk. 2022. Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan
Transmigran Menuju Kesuksesan. Jakarta.
ii | JER BASUKI MAWA BEYA

Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana pen-
jara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana de-
ngan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
JER BASUKI MAWA BEYA | iii
iv | JER BASUKI MAWA BEYA


Suatu pagi, di tanggal 11 Bulan Maret, Tahun 1974, sekira pukul 05.00
Waktu Indonesia Barat, dunia transmigrasi Indonesia dikejutkan oleh
terjadinya kecelakaan tergelincirnya Bus “Dwi Warna”, yang ditumpangi 74
orang, terdiri 67 orang transmigran asal Jawa Tengah, yang akan menuju
daerah transmigrasi Lampung, serta 7 orang petugas/pegawai transmigrasi
dan awak bus. Peristiwa nahas tersebut terjadi di KM 102/103, tepatnya
di Jembatan Darurat, Kali Sewo, di Desa Sukra, Kecamatan Anjatan,
Kebupaten Indramayu, Jawa Barat.
Akibat kecelakaan tersebut, 70 orang penumpang bus meninggal,
terdiri dari 45 laki-laki, 25 perempuan, dan 4 orang, salah satunya kernet
bus, mengalami luka berat dan ringan. Korban meninggal langsung
dikebumikan secara massal di Desa Sukra, pada 3 liang kubur, berukuran
panjang 2 meter, lebar 1,5 meter, berkedalaman 2 meter. Masing-masing
liang untuk 30 orang anak-anak dan dewasa, 22 orang dewasa, dan 18
orang dewasa. Kini, demi terus mengenal, menghormati gugurnya para
transmigran dari Jawa Tengah ini, telah dibangun sebuah monumen di
pekarangan kuburan transmigran ini, yaitu Tugu Pionir Pembangunan
Transmigrasi.
Kisah perjalanan transmigran, dari daerah asal menuju tujuan
transmigrasi ini mengabarkan sesuatu, bahwa jalan mencapai peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan hidup sangat terjal, sarat risiko, butuh
perjuangan bahkan pengorbanan. Kualitas hidup dan kesejahteraan yang
lebih baik, adil, merata tanpa ketimpangan di sini, tidak hanya disempitkan
pada ketercukupan kebutuhan material, tapi juga ketercukupan kebutuhan
spiritual.
Peristiwa Sukra ini, memuat banyak nilai, mengisahkan berjuta
semangat, dan memancarkan kegigihan mental para transmigran. Maka,
demi menjaga keterhubungan nilai, semangat dan mental para transmigran
yang gugur 48 tahun silam ini, dengan pelaksanaan transmigrasi masa
kini dan masa depan, diperlukan media transfer yang efektif dan
berkelanjutan.
Memastikan terjadinya transfer yang efektif dan berkelanjutan
tersebut, perlu internalisasi nilai, semangat, dan mental para transmigran
yang gugur dalam kecelakaan Kali Sewo, Sukra, menjadi nilai, semangat
JER BASUKI MAWA BEYA | v

dan mental generasi transmigrasi Indonesia masa kini dan masa depan.
Mula-mula perlu digali nilai,
Semangat, dan mental tersebut, setidaknya melalui empat orang
korban selamat, dan yang mengalami luka berat dan ringan dalam
kecelakaan tersebut, yaitu; Beras Sembiring, Jaelani, Suyanto, dan Sangidu.
Sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,
saya menyambut baik terbitnya buku “Jer Basuki Mawa Beya: Kisah
Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Kesuksesan” ini. Buku ini
menggali pengalaman, perasaan, dan persepsi korban selamat kecelakaan
Jembatan Kali Sewo, Sukra. Buku yang menghadirkan kisah-kisah inspiratif
perjalanan dan perjuangan hidup, yang dilanjutkan dari kisah perjalanan
pencapaian cita-cita transmigran, yang terpaksa terhenti sejenak, akibat
ditimpa kecelakaan dalam perjalanan ini, akan sangat bermakna bagi
masyarakat transmigrasi Indonesia, baik calon transmigran, masyarakat
transmigrasi, warga sekitar transmigrasi, maupun pegiat transmigrasi.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim penulis. Karena
membaca buku ini, akan banyak menumbuhkan inspirasi, mengalirkan
pengetahuan, membentuk sikap mental masyarakat transmigrasi dalam
meningkatkan daya saing, kemandirian, peningkatan kualitas hidup, serta
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat transmigrasi dan masyarakat
sekitar transmigrasi. Singkatnya, buku ini akan berkontribusi untuk
terjadinya revitalisasi dan kebangkitan transmigrasi Indonesia, menuju
kehidupan sejahtera, adil dan merata dari pinggiran Indonesia.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith thariq,

Jakarta, Oktober 2022


Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia

Abdul Halim Iskandar


vi | JER BASUKI MAWA BEYA

PROLOG
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
tersusunnya buku yang berjudul “Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif
Perjuangan Transmigran Menuju Kesuksesan”. Buku ini hadir sebagai bentuk
refleksi terhadap Hari Bakti Transmigrasi (HBT) yang diselenggarakan
setiap tahun pada 12 Desember.
Peristiwa perjalanan 67 transmigran yang berasal dari Provinsi
Jawa Tengah, yang hendak menuju Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)
di Provinsi Lampung, akan terus tergambar setiap tahun hingga kini dan
ke depannya. Sekarang, tempat kejadian itu menjadi tonggak semangat
membangun transmigrasi yang dilambangkan dalam Monumen Pionir
Transmigrasi di Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Pada bagian awal, buku ini membahas secara singkat mengenai
latar belakang dan tujuan transmigrasi. Selanjutnya, dipaparkan sejarah
perjalanan program transmigrasi di Indonesia, mulai zaman kolonial
hingga zaman kemerdekaan. Pada bab ini semuanya dibahas secara singkat
dan padat. Harapannya, agar pembaca tidak jenuh dengan berbagai definisi
dan data yang tersaji.
Bab selanjutnya berisikan kumpulan lima kisah perjalanan hidup
para transmigran dari Provinsi Jawa Tengah ke Provinsi Lampung. Urutan-
urutan kisah dalam buku ini bukan soal penyematan “kisah siapa yang
paling menarik?”. Semua kisah perjalanan transmigran yang ada di buku ini
saling terhubung satu sama lain. Mulai dari latar belakang keluarga, riwayat
pendidikan, pekerjaan, prestasi, dan informasi terkait pengalaman mereka
saat mengikuti program transmigrasi.
Penelusuran sejarah melalui para narasumber tentu telah dilakukan
terlebih dahulu sehingga biografi ini sepenuhnya mengacu pada data yang
faktual. Dengan demikian, maka segala hal yang meliputi kisah hidup atau
perjalanan hidup para tokoh yang dalam biografi ini memiliki gambaran
yang akurat dan juga sesuai dengan historis. Pada beberapa bagian menjadi
lebih kaya berkat keterangan dari orang-orang terdekat mereka.
JER BASUKI MAWA BEYA | vii

Ucapan terima kasih kami haturkan pada seluruh pihak yang terkait
dalam penyusunan buku ini, khususnya Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atas arahannya. Kritik dan saran
akan menjadi penyempurna buku “Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif
Perjuangan Transmigran Menuju Kesuksesan” ini. Kami berharap buku
ini dapat memperkaya referensi tentang transmigrasi dan memberikan
kontribusi bagi perkembangan kemajuan bangsa dan negara.

Jakarta, 22 Oktober 2022

Tim Penulis
viii | JER BASUKI MAWA BEYA

DAFTAR ISI

Sambutan……………………………………………………………………………..iii
Prolog…………………………………………………………………………......vi
Daftar Isi…………..……………………………………………………………....viii
BAB I: Pendahuluan……………………………………………………..1
a. Selayang Pandang Transmigrasi……………………………………….1
b. Jenis-jenis Transmigrasi di Indonesia………………………………4
BAB II: Transmigrasi dari Masa ke Masa……………………………...8
a. Transmigrasi di Masa Hindia Belanda……………………………...9
b. Transmigrasi di Masa Pendudukan Jepang……………………….17
c. Transmigrasi di Era Orde Lama…………………………………...20
d. Transmigrasi di Era Orde Baru……………………………………25
e. Transmigrasi di Masa Reformasi hingga Kini……………………..31
BAB III: KUMPULAN KISAH INSPIRATIF PERJUANGAN
TRANSMIGRAN MENUJU KESUKSESAN……………...38
a. Hidup yang Selalu Mencari dan Memberi, Kisah Perjalanan
Hidup Sangidu……………………………………………………..41
b. Tiada Sukses Tanpa Air Mata dan Usaha, Kisah Perjalanan
Hidup Djaelani…………………………………………………….55
c. Senandung Syukur di Atas Bumi, di Kolong Langit, Kisah Perjalanan
Hidup Suyanto……………………………………………………...71
d. Hari Esok Adalah Dunia Penuh Harapan, Kisah Perjalanan
Hidup Slamet………………………………………………………85
e. Jalan Panjang Menuju Cita-cita yang Mulia, Kisah Perjalanan
Hidup Mitro………………………………………………………..93
Epilog…………………………………………………………………..103
Daftar Pustaka………………………………………………………...107
Daftar Laman………………………………………………………….109
Lampiran………………………………………………………………111
1 | JER BASUKI MAWA BEYA

A. Selayang Pandang Transmigrasi

K ementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi


sejak 2020 menggunakan Sustainable Development Goals (SDGs)
Desa sebagai konsep terpadu percepatan pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan, di antaranya adalah konsep masyarakat bebas dari
kemiskinan dan kelaparan serta ekonomi tumbuh merata. Konsep SDGs
Desa kemudian dipadupadankan dengan program transmigrasi yang sejak
lama diselenggarakan oleh pemerintah sebagai salah satu pilar kemandirian
dan ketahanan pangan bagi masyarakat Indonesia.
Program transmigrasi sendiri sejauh ini telah banyak melahirkan
manajer-manajer usaha tani yang andal dan tangguh, serta meluaskan
teknik budidaya yang inovatif. Para transmigran pun dapat dikatakan
sebagai pelopor bangkitnya kemandirian pangan di wilayah transmigrasi
dan masyarakat sekitarnya, juga untuk mendukung hingga ke tingkat
nasional.
Program transmigrasi yang merupakan bagian dari pembangunan
nasional, secara tidak langsung telah mengambil peran penting dalam
sejarah pembentukan Indonesia. Melalui jalur pembangunan nasional,
program transmigrasi telah mencetak para penduduk Indonesia untuk
memperkokoh perekonomian.
Transmigrasi sendiri adalah bentuk lain dari migrasi, yang dapat
diartikan sebagai perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain.
Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
29 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa transmigrasi adalah perpindahan
penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap
di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah.1
Migrasi dapat diartikan juga sebagai perpindahan penduduk
dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui
batas politik negara atau batas administratif dalam suatu negara. Sebagai
program perpindahan, migrasi memiliki dua dimensi penting yang perlu
ditinjau, yaitu dimensi tempat dan waktu.2

1
Baca pasal 1, ayat 2, Undang- Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2009
2
Angga Erlando, Analisis Terhadap Migran Sirkuler Di Kota Surabaya, dalam Jurnal Ilmiah Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, (Malang: Universitas Brawijaya, 2014) hlm. 5.
JER BASUKI MAWA BEYA | 2

Program transmigrasi di Indonesia sendiri sudah dilakukan sejak


zaman pemerintahan kolonial Belanda. Selain untuk mengurangi kepadatan
penduduk di Pulau Jawa, sasaran utamanya yaitu untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja di luar Pulau Jawa. Program ini menjadi mobilitas
atau perpindahan penduduk yang tidak hanya dilakukan oleh satu orang,
tetapi bisa juga satu keluarga, bahkan satu desa.

Para transmigran bersiap menuju ke lokasi transmigrasi (Foto: www.harianrakyat.com)

Perpindahan penduduk dari daerah padat ini diselenggarakan oleh


pemerintah yang membidangi ketransmigrasian. Misalnya, penduduk dari
Pulau Jawa yang memiliki kepadatan lebih, dipindahkan ke pulau-pulau
lain yang memiliki wilayah luas tapi kepadatan penduduknya masih sangat
rendah seperti Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Papua.
Dalam arti yang lebih luas, disebutkan lagi dalam pasal 1, Undang-
Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2009, tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian, yang
berbunyi:
1. Ketransmigrasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan transmigrasi.
2. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk
meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
3 | JER BASUKI MAWA BEYA

3. Transmigran adalah warga negara Republik Indonesia yang berpindah


secara sukarela ke kawasan transmigrasi.
4. Kawasan transmigrasi adalah kawasan budidaya yang memiliki fungsi
sebagai permukiman dan tempat usaha masyarakat dalam satu sistem
pengembangan berupa wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi
permukiman transmigrasi.
Berdasarkan pengertian di atas, penyelenggaraan transmigrasi harus
berbasis kawasan yang merupakan satu kesatuan pengembangan wilayah.
Berbeda dengan transmigrasi dahulu yang berfokus pada pemindahan
penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya,
paradigma transmigrasi kini berubah menjadi pembangunan berbasis
kawasan yang melibatkan seluruh masyarakat di dalam kawasan tersebut.

Para transmigran sedang pawai dalam acara HUT Republik Indonesia di Lampung pada 1971
(Foto: Kompas/Mamak Sutamat)

Melalui program transmigrasi, diharapkan para transmigran dapat


membuka lahan baru di daerah yang mereka tempati, perluasan areal
pertanian, dan menemukan potensi alam yang dapat dijadikan sumber
ekonomi baru. Adapun tujuan lain dari program transmigrasi, di antaranya
yaitu:
1. Membantu pembangunan nasional.
2. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat.
JER BASUKI MAWA BEYA | 4

3. Penyebaran penduduk yang merata bisa bermanfaat untuk


pengembangan dan pembangunan di masing-masing daerah.
4. Pengelolaan sumber daya alam terpenuhi di tujuan transmigrasi.
5. Adanya pertahanan dan kesatuan nasional.
6. Dapat menyeimbangkan dan memperluas peluang kerja.
7. Meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional.3

B. Jenis-jenis Transmigrasi di Indonesia

S ebagai program perpindahan penduduk yang diselenggarakan oleh


pemerintah, transmigrasi selanjutnya dibagi menjadi beberapa jenis
sebagai berikut:

1. Transmigrasi Umum (TU)


Transmigrasi umum biasanya disebabkan karena faktor pendorong
dari daerah asal. Misalnya, sulitnya menemukan lapangan pekerjaan,
kekurangan sumber daya alam, lahan pertanian semakin sedikit, dan
padatnya penduduk.
Program ini diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk biayanya.
Artinya, pemberdayaan, penyediaan ruang, sampai proses perpindahan
menjadi tanggung jawab pemerintah. Para transmigran diberi subsidi dan
mendapat bantuan dari pemerintah untuk TU.

2. Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB)


Transmigrasi ini dirancang oleh pemerintah dengan
mengikutsertakan badan usaha sebagai mitra usaha bagi para transmigran
yang berpotensi untuk lebih maju. Pemerintah membantu dalam batasan
tertentu supaya mitra dari badan usaha bisa tetap adil dan suportif. Jadi,
kedua belah pihak bisa sama-sama menguntungkan.

3
Kementerian Desa Pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi R.I. Transmigrasi Masa
Doeloe, Kini dan Harapan Ke Depan. (Jakarta: Kementrian Transmigrasi Republik Indonesia,
2015), hlm. 8
5 | JER BASUKI MAWA BEYA

3. Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM)


Transmigrasi Swakarsa Mandiri adalah jenis transmigrasi yang
merupakan prakarsa transmigran yang bersangkutan atas arahan, layanan,
dan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bagi penduduk yang
telah memiliki kemampuan.4
Dilihat dari proses dan penerapannya, program transmigrasi
memiliki dampak yang variatif sehingga menarik untuk dibahas. Meliputi
permasalahan transformasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang
melibatkan antara pemerintah, transmigran, dan penduduk lokal di daerah
penempatan.
Pada bidang sosial dan budaya, perubahan pola pemukiman dan
pengaturan masyarakat merupakan contoh kecilnya, ditambah asimilasi
budaya yang terjalin antara para transmigran dengan penduduk lokal
sehingga kehidupan bersosial pun semakin beragam. Di sisi lain, semakin
bertumbuhnya jumlah penduduk di suatu daerah tentunya berpengaruh
pada lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari, sehingga mempengaruhi perputaran sistem ekonomi di wilayah
transmigrasi tersebut.
Perlu ditegaskan, bahwa pusat penyelenggaraan transmigrasi
adalah manusia sehingga dalam jangka panjang pelaksanaanya harus terus
ditingkatkan dan yang dijadikan target bukan hanya kuantitas, tetapi juga
kualitas. Pada akhirnya, transmigrasi yang diharapkan dapat meratakan
pembangunan seluruh wilayah tanah air pun dapat terlaksana dan setiap
orang yang terlibat di dalamnya benar-benar bisa merasakan kesejahteraan
berkat program ini.

4
Undang-Undang No 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian.
JER BASUKI MAWA BEYA | 6

Transmigran di unit permukiman transmigrasi Belambangan Umpu, Way Kanan, Lampung.


(Foto: Kompas/Bachtiar Amran)
7 | JER BASUKI MAWA BEYA

Program transmigrasi yang merupakan bagian dari


pembangunan nasional, secara tidak langsung telah
mengambil peran penting dalam sejarah pembentukan
indonesia
JER BASUKI MAWA BEYA | 8
9 | JER BASUKI MAWA BEYA

A. Transmigrasi di Masa Hindia Belanda

T ransmigrasi di Indonesia berawal dari program migrasi atau lebih


dikenal dengan istilah kolonisatieproof,5 yang jika diterjemahkan
berarti kolonisasi. Program ini kali pertama dilakukan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Pelaksanaan transmigrasi di Indonesia sangat
erat kaitannya dengan politik etis yang digagas oleh Van Deventer. Politik
etis memiliki program utama yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi.6

Sekolah untuk Indonesia sebagai salah satu program dari politik etis.
(Foto: www.tropenmuseum.nl)

Berdasarkan data sejarah, transmigrasi merupakan proyek


pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membahas beberapa masalah
sosial masyarakat. Program pemerintah kolonial Hindia Belanda meliputi
kebijakan kesejahteraan masyarakat miskin di Pulau Jawa. Kebijakan
dilakukan untuk mengatasi bahaya kelaparan yang terjadi di beberapa
5
M. Halwi Dahlan, Perpindahan Penduduk Dalam Tiga Masa: Kolonisasi, Kokuminggakari, dan Transmi-
grasi di Provinsi Lampung (1905-1979), Jurnal Patanjala Vol. 6 No. 3, (Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Press, September 2014), hlm. 335.
6
Mayling Oey, The Transmigration Program in Indonesia, makalah seminar Government Resettlement
Programmes in Southeast Asia, (Canberra: Australian National University, 7 October 1980), hlm. 3.
JER BASUKI MAWA BEYA | 10

karesidenan di Jawa seperti di Kedu, Cirebon, Rembang, Kebumen,


dan Grobogan dijadikan suatu bukti bahwa Kerajaan Belanda memiliki
kepedulian terhadap wilayah jajahannya terutama Hindia Belanda.7

C.Th. van Deventer merupakan salah seorang penganjur politik etis.


(Foto: id.wikipedia.org)

Kenyatannya, berbagai penderitaan dan permasalahan sosial yang


muncul di Nusantara selama abad ke-19 dan puluhan tahun kemudian
pada abad ke-20 disebabkan sistem politik jajahan mereka yang berpusat
pada mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara induk,
yaitu Kerajaan Belanda.8
Pada saat itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda terbukti
mengeluarkan kebijakan yang di dalamnya terdapat suatu program, yaitu
7
Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa. Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa
1720-1870, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 341.
8
Ibid
11 | JER BASUKI MAWA BEYA

kolonisasi. Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau


Jawa dilatarbelakangi oleh:
1. Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu migrasi untuk
mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki taraf
kehidupan yang masih rendah.
2. Pemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat
pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup
masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun.
3. Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan
perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan
dan pertambangan di luar Pulau Jawa.9
Program kolonisasi pertama dilakukan oleh pemerintah Belanda
pada tahun 1905. Tujuannya memindahkan penduduk dari daerah yang
padat ke daerah yang berpenduduk jarang.10
Sebagai awal, pemerintah kolonial Hindia Belanda memindahkan
155 keluarga petani dari Kedu ke desa yang baru didirikan dekat Gedong
Tataan, sebelah selatan dari Way Sekampung di Lampung Selatan. Dengan
begitu, desa tersebut pun menjadi lokasi pertama program kolonisasi petani
Jawa di daerah luar Pulau Jawa.11
Pemerintah kolonial Hindia Belanda memilih penduduk wilayah
Kedu dalam program perpindahan yang pertama dengan alasan kondisi
Karesidenan Kedu yang memprihatinkan. Di wilayah tersebut, seringkali
terjadi musim paceklik, kondisi tanah pertanian yang kurang potensial,
serta sistem irigasinya tidak menunjang sehingga sulit ditanami jika musim
kemarau. Hampir semua petaninya pun miskin karena hanya mempunyai
luas lahan 0,17 hektare atau 0,25 hektare.12
Gedong Tataan juga dipilih oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda sebagai lokasi tujuan transmigrasi karena letaknya relatif dekat ke
Pulau Jawa. Areal tersebut berada di sekitar jalan besar, kontur tanahnya
datar, memiliki sumber mata air yang banyak sehingga sangat layak menjadi

9
Soedigdo Hardjosoedarmo dalam I. B. Mantra, Pengantar Studi Demografi, (Yogyakarta: Nur Ca-
haya, 1985), hlm. 160.
10
Sri Ana Handayani, Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Jember: Universitas Jember,
1994), hlm. 12.
11
Ibid
12
M. Halwi Dahlan, op.cit., hlm. 339.
JER BASUKI MAWA BEYA | 12

lokasi percontohan kolonisasi.13

Mbah Kartoredjo bersama kerabatnya. Beliau menjabat sebagai Kepala Desa Bagelen,
Gedong Tataan, Lampung, sejak 1907-1912. (Foto: www.kissparry.com)

Melalui program kolonisasi ini, pemerintah kolonial Hindia


Belanda memindahkan buruh-buruh di Pulau Jawa ke perkebunan dan
daerah terpencil lainnya di Pulau Sumatera. Program ini dianggap sebagai
solusi dari semakin tingginya kemiskinan yang dialami oleh penduduk
Pulau Jawa akibat kerja paksa.
Pada tahap awal kolonisasi, setiap kepala keluarga peserta
memperoleh premi sebesar 20 gulden, dibebaskan dari biaya transportasi
yang nilainya sama dengan 50 gulden per keluarga, serta mendapat
sumbangan biaya hidup sebesar 0,4 gulden per hari selama masa penyiapan
tanah. 14
Jumlah biaya langsung diperkirakan sekitar 300 gulden per keluarga
yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden, biaya
13
Ibid
14
John A. Dixon, Biaya-Biaya Pemukiman Atas Areal Tanah dan Alternatif-Alternatifnya, Jurnal Prisma,
Tahun VIII No. 4, (1980), hlm.75.
13 | JER BASUKI MAWA BEYA

bangunan rumah 65 gulden, pembeliatan alat-alat 13,5 gulden, ditambah


0,7 hektare tanah sawah dan 0,3 hektare tegalan serta pekarangan.15
Penduduk yang berhasil dipindahkan pada periode percobaan
kolonisasi 1905-1911 adalah sekitar 4.800 orang. Rata-rata biaya yang
dikeluarkan untuk setiap peserta kolonisasi pada masa ini sekitar 750
gulden per keluarga. Jumlah yang besar tersebut termasuk anggaran untuk
membuat fasilitas kolonisasi seperti pembuatan saluran irigasi, penyiapan
lahan dan pemukiman, serta biaya administrasi.16 Disebutkan juga antara
tahun 1905-1929 jumlah orang Jawa yang dipindahkan ke luar Pulau Jawa
sudah mencapai 24.300 orang. Hal ini mengacu pada program pemerintah
kolonial Hindia Belanda yang membuka lagi ekspedisi untuk pemukiman
kolonisasi baru yang lebih besar pada 1922.17
Permukiman yang baru dibuka tersebut diberi nama Wonosobo.
Letaknya berada di dekat Kota Agung Lampung Selatan dan Sukadana di
Lampung Tengah. Selain Lampung, permukiman yang lebih kecil dibuka
di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi.18
Jika dihitung berdasarkan jumlah orang yang diberangkatkan
antara tahun 1905-1911 sebanyak 4.800 orang, berarti antara tahun 1911-
1929 pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memindahkan penduduk
melalui program kolonisasi sekitar 19.500 orang.19
Seirama dengan pencanangan kolonisasi, perkebunan-perkebunan
di daerah timur Pulau Sumatera mengalami kemajuan. Hal ini berdampak
pada pelaksanaan kolonisasi karena ada persaingan antara calo tenaga kerja
dengan petugas kolonisasi yang diberi target untuk mencari orang sebagai
peserta kolonisasi. 20
Isu yang dikembangkan oleh calo tenaga kerja adalah hal-hal negatif
tentang kolonisasi, agar penduduk Pulau Jawa lebih tertarik untuk menjadi
kuli kontrak di perkebunan Pulau Sumatera. Pada akhirnya, orang-orang di
15
Ibid
16
J. M. Hardjono, Transmigration in Indonesia, (Kuala Lumpur: Ofxord University Press, 1977), hlm.
17.
17
Sri Ana Handayani, op.cit., hlm. 17.
18
Nugraha Setiawan. Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya (Tesis). (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1994), hlm. 16.
19
Ibid
20
Nugraha Setiawan, Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005.
(https://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/satu_abad_transmigrasi_di_indonesia.
pdf, diakses pada tanggal 23 September 2022, 22:20 WIB)
JER BASUKI MAWA BEYA | 14

Pulau Jawa lebih tertarik menjadi kuli kontrak ketimbang ikut kolonisasi,
sebab dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.

Transmigran dari Blitar baru saja tiba di Kalianda, Lampung,


pada masa penjajahan Hindia Belanda, tahun 1930. (Foto: twitter.com/@HoldenKlasik)

Perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar pulau melalui


kolonisasi mengalami pelonjakan pada 1930. Persyaratan untuk mengikuti
kolonisasi pun diperketat oleh pemerintah, dengan aturan sebagai berikut:
1. Peserta harus benar-benar petani, sebab jika bukan dapat menyebabkan
kegagalan di lokasi kolonisasi.
2. Fisik harus kuat agar bisa bekerja keras.
3. Harus muda untuk menurunkan fertilitas di Pulau Jawa.
4. Sudah berkeluarga untuk menjamin ketertiban di lokasi baru.
5. Tidak memiliki anak kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban.
6. Bukan bekas kuli kontrak karena dianggap sebagai provokator yang
akan menimbulkan keresahan di permukiman baru.
7. Harus waspada terhadap “perkawinan kolonisasi” sebagai sumber
keributan.
15 | JER BASUKI MAWA BEYA

8. Jika wanita, tidak sedang hamil karena diperlukan tenaganya pada


tahun-tahun pertama bermukim di tempat baru.
9. Jika bujangan, harus menikah terlebih dahulu di Jawa karena
dikhawatirkan mengganggu istri orang lain.
10. Peraturan tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut
kolonisasi.21
Sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup
tinggi, lambat laun pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya
mengubah pola kolonisasi. Peserta kolonisasi yang semula diberikan upah
premi, berganti menjadi sistem bawon atau sistem bagi hasil panen bumi
untuk menekan anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada masa itu pemerintah kolonial Hindia Belanda mengalami
kesulitan ekonomi karena dampak depresi ekonomi dunia. Pemukim
kolonisasi terdahulu pun diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru
dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Alhasil, pemekaran
daerah kolonisasi baru dibuat tidak jauh dari kolonisasi lama.
Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan-bulan menjelang
musim panen padi di permukiman lama sehingga mereka bisa ikut bawon.
Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan
perbandingan 1:7 atau 1:5. Artinya, buruh mendapatkan hasil panen
sepertiga atau setengah dari bagian pemilik, sementara sistem bawon di
pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10.22
Pada saat yang bersamaan, kesempatan kerja di Pulau Jawa
dirasakan semakin sulit untuk diperoleh. Himpitan untuk memenuhi
kebutuhan hidup semakin sulit sehingga ketika mendengar cerita mengenai
keberhasilan orang-orang di daerah kolonisasi membuat mereka tertarik
untuk mengikutinya. Harapan untuk memperoleh lahan pertanian yang
luas menjadi motivasi utama mereka untuk mengubah nasib.

21
Ibid
22
Nugraha Setiawan, op.cit.,hlm. 32.
JER BASUKI MAWA BEYA | 16

Para transmigran asal pulau Jawa tiba di Teluk Betung, Lampung, menaiki kapal uap Koninklijke
Paketvaart Maatschappij, selanjutnya mereka menuju daerah Metro.
Terlihat tentara KNIL membantu transmigran turun dari kapal. (Foto: twitter.com/@mazzini_gsp)
17 | JER BASUKI MAWA BEYA

B. Transmigrasi di Masa Pendudukan Jepang

P ada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, transmigrasi


dikenal dengan sebutan kolonisatieproof atau kolonisasi, tetapi saat
pendudukan Jepang transmigrasi berganti nama menjadi kokuminggakari.
Program perpindahan penduduk ini berlangsung pada 1942-1945.23 Jika
dibandingkan, kedua praktik ini sedikit berbeda.

Tentara Jepang saat tiba di Indonesia (Foto: commons.wikimedia.org)

Jika kolonisasi melibatkan keluarga, maka pada masa pendudukan


Jepang, kokuminggakari dilakukan hanya pada individu. Perpindahan
penduduk ini awalnya dilakukan dengan sukarela, dan setiap orang yang
diberangkatkan akan mendapatkan upah. Mereka yang direkrut adalah
orang-orang yang masih muda dan mempunyai kekuatan fisik. Kebanyakan
di antara mereka adalah kaum laki-laki.
Proses perpindahan penduduk itu melalui perekrutan yang
melibatkan pejabat pemerintahan setempat atau residen dan melalui
pendaftaran serta seleksi. Bagi yang diterima, segera diberangkatkan dan
23
M. Halwi Dahlan, op.cit., hlm. 342.
JER BASUKI MAWA BEYA | 18

diberi konpensasi berupa upah yang sebagiannya diserahkan kepada


keluarga yang ditinggalkan. Untuk mereka yang dinyatakan tidak diterima,
tidak akan diberangkatkan. Pengerahan penduduk di masa ini pun tidak
terbatas untuk dipekerjakan ke luar Pulau Jawa saja, akan tetapi hingga
sampai ke mancanegara.
Pengerahan penduduk ini secara organisasi berada di bawah sebuah
seksi di Departemen Urusan Dalam pada Kementerian Dalam Negeri
Jepang (Naimushô) kemudian berubah menjadi sebuah biro dengan nama
Rômukyoku. Di tingkat karesidenan, para penduduk pekerja ditangani oleh
Naiseibu atau Seksi Urusan Dalam.24
Sikap pemerintah Jepang yang awalnya mengambil hati penduduk
pribumi untuk bekerja secara sukarela lambat laun berubah menjadi
pemaksaan. Kokuminggakari pun menjadi proyek pengerahan tenaga kerja
manusia dalam jumlah banyak guna memberikan perlindungan dan suplai
pangan untuk kepentingan militer Jepang seperti penyediaan pangan di
berbagai daerah di Indonesia.
Penduduk yang berasal dari Pulau Jawa dibawa ke suatu daerah
seperti di Lampung yang saat itu diberi nama Toyosawa. Sekarang menjadi
Kecamatan Purbolinggo di wilayah Lampung Tengah. Jumlah penduduk
yang dipindahkan sebanyak 12.000 orang. Pelaksanaan kokuminggakari
hanya sekali, yaitu tahun 1943 yang memindahkan 31.700 jiwa.25
Awalnya, pengerahan tenaga kerja manusia ini dipropagandakan
sebagai perekrutan buruh yang akan dipekerjakan di perusahaan swasta
sebagai buruh tetap. Namun, setelah pertengahan tahun 1943, pengerahan
tenaga kerja semakin intensif dan berubah menjadi kuli paksa untuk
pembangunan pertahanan. Hal ini merupakan dampak dari perang Asia
Timur Raya yang dilancarkan Jepang sejak 1942. Kala itu, pihak Jepang
mendapatkan serangan balasan yang bertubi-tubi dari kubu Amerika dan
Sekutu.

24
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945,
(Jakarta: Grasindo, 1993), hlm. 126.
25
M. Halwi Dahlan, loc.cit.
19 | JER BASUKI MAWA BEYA

Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia.
(Foto: wikipedia.org)

Berbeda dari penduduk yang dikerahkan sebagai tenaga buruh,


nasib para pemuda yang direkrut untuk pelatihan militer Jepang sebagai
pasukan bala bantuan jauh lebih baik. Persediaan makanan, pakaian, dan
kesehatan mereka lebih terjamin. Meski begitu, mereka diharuskan berlatih
ilmu perang dengan sangat keras dikarenakan waktu untuk pengerahan
pasukan bantuan bagi pemerintah militer Jepang sangatlah singkat.
Merunut sejarah di atas, tampak kebijakan transmigrasi memiliki
fungsi yang berbeda-beda di setiap pemerintahan pada masanya. Jika
di masa pemerintah kolonial Hindia Belanda program kolonisatieproof
bertujuan untuk memperkaya Kerajaan Belanda. Sementara di masa
pendudukan Jepang, kokuminggakari bertujuan untuk menyediakan bahan
pangan dan menambah kekuatan militer Jepang.
Pada akhirnya, pengertian umum dari transmigrasi tetaplah sama
dari masa ke masa, yaitu perpindahan penduduk pada suatu daerah
yang lebih padat ke daerah lain yang masih jarang penduduknya. Dalam
pelaksanaanya, transmigrasi didasarkan pada latar belakang, tujuan, dan
kebijakan yang berbeda-beda. Baik yang tertulis secara resmi maupun
terselubung. Tujuan yang paling umum adalah untuk pemerataan dan
kesejahteraan masyarakat, serta mengembangkan lahan tidur pada daerah
yang dijadikan sebagai lahan transmigrasi.
JER BASUKI MAWA BEYA | 20

Museum Peta yang berada di Jalan Sudirman No. 35, Bogor, Jawa Barat. (Foto: www.rri.co.id)

C. Transmigrasi di Era Orde Lama

I stilah transmigrasi mulai diberlakukan sejak 1950 dan dianggap sebagai


sarana pembangunan yang penting sehingga ketentuan-ketentuannya
diatur dalam peraturan pemerintah.26 Sebelumnya, di tahun-tahun awal
kemerdekaan, permasalahan kepadatan penduduk ini kurang menjadi
perhatian sehingga terabaikan. Alasannya, yaitu banyaknya gejolak politik
dari dalam negeri sendiri pada waktu itu.
Pemerintah Republik Indonesia baru membentuk panitia untuk
mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh
A.H.D. Tambunan pada 1948. Walaupun telah terbentuk kepanitiaan,
keputusan yang menyangkut masalah transmigrasi baru diambil pada
1950.27

26
Arief Budiman, Ed., Transmigrasi di Indonesia. Ringkasan Tulisan dan Hasil-hasil Penelitian, (Jakarta:
Gramedia, 1985), hlm. 170.
27
H. J. Heeren, Transmigrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 32.
21 | JER BASUKI MAWA BEYA

Kabinet pertama dalam sejarah pemerintahan Indonesia, dibentuk pada 2 September 1945 oleh
Presiden Soekarno. (Foto: Kompas)

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) disebutkan,


perpindahan penduduk atau transmigrasi bertujuan untuk penyebaran
penduduk dan tenaga kerja serta pembukaan dan pengembangan daerah
produksi dan pertanian dalam pembangunan daerah. Peningkatan taraf
hidup para transmigran dan masyarakat sekitarnya menjadi prioritas
pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan secara rasional.28
Pemberangkatan transmigran kali pertama setelah kemerdekaan
terjadi pada bulan Desember 1950 dengan tujuan ke Sumatera Selatan.
Pelaksanaannya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah
Kementerian Sosial. Pada 1960, Jawatan Transmigrasi akhirnya menjadi
sebuah departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan
nama Departemen Transmigrasi dan Koperasi.29
Target pemindahan penduduk pada zaman Orde Lama dinilai sangat
ambisius dan kurang realistis. Sasarannya yaitu mengurangi penduduk
Pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada 1987 dari jumlah
28
Arief Budiman, Ed., loc.cit.
29
H. J. Heeren, op.cit., hlm. 34
JER BASUKI MAWA BEYA | 22

penduduk yang awalnya sebanyak 54 juta jiwa pada 1952.30 Namun, antara
tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan transmigran
sebanyak 227.360 orang.31
Pada 1951-1952, eks-laskar Pejuang 45 (Pejuang Siliwangi) dari
Tasikmalaya ditransmigrasikan ke Lampung oleh Biro Rekonstruksi
Nasional (BRN). Melalui program transmigrasi ini, Presiden Soekarno
berharap dapat memberikan penghidupan yang lebih baik kepada para
mantan Pejuang 45 setelah Indonesia merdeka.32
Presiden Soekarno sendiri saat itu hadir dan meresmikan keberadaan
mereka di Lampung. Sekitar 500 mantan pejuang bersama keluarga mereka
yang berjumlah ribuan jiwa berdatangan dalam dua gelombang ke wilayah
Sukapura, Kecamatan Sumberjaya (sekarang masuk wilayah Kabupaten
Lampung Barat).
Pemerintah saat itu menjanjikan lahan 4,5 hektare hingga lima
hektare kepada setiap keluarga pejuang yang datang ke daerah itu. Saat itu,
Presiden Soekarno datang dan berpidato, sekaligus meresmikan tempat
baru mereka. Beliau memberi nama daerah itu "Sumberjaya", yang berarti
sumber kejayaan. Tempat baru itu diharapkan menjadi sumber kejayaan
dan kesejahteraan bagi para mantan pejuang dan keluarganya.33

30
H. J. Heeren, loc.cit., hlm. 22
31
Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi, (Jakarta: Djambatan, 1986), hlm. 327.
32
Budisantoso Budiman, Jejak Bung Karno dan nasib transmigran pejuang, (https://www.antaranews.
com/berita/769493/jejak-bung-karno-dan-nasib-transmigran-pejuang diakses pada tanggal 23
September 2022, 12:20 WIB)
33
Ibid
23 | JER BASUKI MAWA BEYA

Transmigran asal Jawa menuju ke Lampung pada 4 April 1951.


Mereka berfoto di depan Asrama Transmigrasi Karang Anyar, Jakarta.
(Foto: Kementerian Penerangan Republik Indonesia/Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia)

Pada 1956-1960, Pemerintah Republik Indonesia menurunkan


target jumlah pemindahan penduduk sehingga yang mengikuti program
transmigrasi dari Pulau Jawa sebanyak dua juta orang, atau rata-rata
400 ribu per tahun. Antara tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi
menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu
orang per tahun.34
Pada periode delapan tahun ini, muncul kebijakan Transmigrasi
Gaya Baru pada musyawarah nasional gerakan transmigrasi yang
diselenggarakan pada Desember 1964. Targetnya, pemerintah dapat
memindahkan kelebihan penduduk yang berasal dari angka kelahiran total
yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun.35
Pada musyawarah nasional tersebut, muncul pula ide untuk
melaksanakan transmigrasi swakarya. Artinya, transmigran baru
ditampung oleh transmigran lama. Pada zaman pemerintah kolonial
Belanda hal ini dilakukan dengan sistem bawon. Transmigran diharapkan
34
Nugraha Setiawan, op.cit., hlm. 10
35
Ibid
JER BASUKI MAWA BEYA | 24

dapat membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan sendiri


sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar.
Dalam pelaksanaannya, di era Presiden Soekarno transmigrasi
dibedakan menjadi beberapa kategori sesuai konteksnya, meliputi:
1. Transmigrasi umum
Program transmigrasi ini dilakukan karena adanya faktor-
faktor pendorong yang berasal dari daerah asal. Misalnya, sulitnya
memperoleh pekerjaan atau pemerataan jumlah penduduk.
Biasanya berbagai faktor pendorong yang ada di daerah asal ini
akan membuat pemerintah mencanangkan program transmigrasi.
Pada program transmigrasi ini, segala keperluan transmigran, sejak
pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah
juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit
tanaman, serta alat-alat pertanian.
2. Transmigrasi keluarga
Dikenal juga sebagai sistem transmigrasi beruntun. Artinya,
jika ada keluarga transmigran ingin mengajak keluarganya yang
masih tinggal di Pulau Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi,
maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan
perumahan transmigran baru. Sistem ini pada akhirnya tidak
berjalan baik karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi
sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959.
3. Transmigrasi biaya sendiri
Pada pelaksanaannya, calon transmigran diharuskan
mendaftar di tempat asal terlebih dahulu, kemudian berangkat ke
lokasi secara mandiri. Setelah sampai di lokasi, mereka mendapatkan
lahan dan subsidi seperti para peserta transmigrasi umum.
4. Transmigrasi spontan
Pelaksanaan transmigrasi ini juga dilakukan dengan biaya
sendiri. Begitu tiba di lokasi, barulah transmigran melapor ke
kantor transmigrasi setempat agar mendapat lahan untuk tempat
tinggal dan usaha.36
Pada periode ini, penduduk Pulau Jawa yang mengikuti program
transmigrasi jumlahnya cukup tinggi. Bahkan, sebagian dari mereka
bersedia berangkat ke daerah tujuan transmigrasi dengan biaya sendiri
36
Sri Ana Handayani, op.cit., hlm 32.
25 | JER BASUKI MAWA BEYA

tanpa bantuan pemerintah. Di tempat tujuan, mereka cukup melapor


untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya.
Pemerintah saat itu mengharapkan agar seluruh masyarakat
Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah yang padat mendapat
kesadaran akan pentingnya meninggalkan daerah tersebut, lalu beralih ke
daerah baru yang kekayaan alamnya masih memiliki potensi yang tinggi
untuk digali dan dikembangkan.

D. Transmigrasi di Era Orde Baru

K etika Presiden Soeharto baru menjabat, beliau langsung dihadapkan


pada tugas utamanya yaitu, meningkatkan stabilitas ekonomi dan
politik secepat mungkin. Setelah masa-masa krisis teratasi, dalam rangka
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, presiden dan jajaran
di bawahnya mulai fokus untuk melaksanakan program pembangunan
nasional.
Pemerintahan pada era Soeharto sangat mengacu pada Trilogi
Pembangunan, yang pada saat pertumbuhan mencapai tingkat tertinggi
atau puncaknya, diharapkan akan berpengaruh pada pemerataan di setiap
daerah Indonesia.37 Trilogi Pembangunan sendiri terdiri atas tiga aspek,
yaitu: stabilitas nasional yang dinamis; pertumbuhan ekonomi yang tinggi;
dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.38
Pada saat itu, penduduk di Indonesia memang masih terkonsentrasi
di Pulau Jawa. Pemerintah melihat hal itu sebagai sebuah ancaman karena
bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, lambat laun bisa
menyebabkan terjadinya kelaparan.
Hal tersebut merupakan dampak dari pertumbuhan jumlah
penduduk yang terus melaju pesat tapi tidak diimbangi dengan jumlah
luas tanah persawahan, perkebunan, serta lapangan pekerjaan lainnya.
Solusinya, agar pembangunan dapat berjalan optimal dan merata, maka
alokasi dan penyebaran sumber daya haruslah ikut merata.
37
D.W. Hadi dan G. Kasuma, Propaganda Orde Baru 1966-1980, Jurnal Verleden Vol. 1 No. 1 (Sura-
baya: Universitas Airlangga, Desember 2012), hlm. 41.
38
Lihat dalam Trilogi Pembangunan: Tujuan, Isi, dan Kontroversi (https://www.kompas.com/stori/
read/2022/04/06/100000779/trilogi-pembangunan-tujuan-isi-dan-kontroversi?page=all diakses
pada tanggal 23 September 2022, 14:25 WIB)
JER BASUKI MAWA BEYA | 26

Transmigraan dari Pulau Jawa tiba di Lampung pada Mei 1971. (Foto: Kompas/Mamak Sutamat)

Mengatur pertumbuhan dan penyebaran penduduk secara


terprogram merupakan upaya yang dilakukan pemerintahan orde baru.
Penyebaran penduduk menjadi mekanisme penyeimbang, dengan
memindahkan penduduk dari tempat yang kurang dapat dieksplorasi ke
daerah yang relatif dapat dimanfaatkan.
Program transmigrasi dinilai menjadi usaha paling tepat untuk
memecahkan permasalahan ketidakmerataan penyebaran penduduk dan
pembangunan. Transmigrasi merupakan program nasional sebagai suatu
usaha pemerataan distribusi penduduk di Indonesia dan pembangungan
secara menyeluruh.
Pada masa Orde Baru kebijakan transmigrasi tertuang dalam
program Pembangunan Lima Tahun (Pelita), di antaranya yaitu:
• Pelita I: kebijakan transmigrasi dikaitkan dengan usaha pembangunan
pedesaan dan pertanian, berbeda pada masa-masa sebelumnya yang
berkutat pada bagaimana cara mendistribusikan penduduk.
• Pelita II: calon transmigran dikembangkan tidak melulu para petani
tetapi kalangan veteran juga mendapat kesempatan melalui program
Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 12/1951 tanggal 12 Februari 1951.
• Pelita III: orientasi transmigrasi adalah persebaran penduduk dan
membangun masyarakat baru untuk membantu pembangunan daerah
asal dan daerah transmigrasi.39
39
Arief Budiman, Ed., loc.cit., hlm. 2
27 | JER BASUKI MAWA BEYA

Pada periode Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)


ke-2 antara tahun 1974-1979, konsep transmigrasi lebih dikembangkan
lagi dan diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Lantas pada
Pelita II, anggaran pembangunan ternyata dapat melampaui bujet karena
meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan
dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor meningkat rata-rata
75,2 persen per tahun. Anggaran pembangunan pun jadi meningkat,
bahkan sampai 274 persen pada Repelita III.40
Pada Repelita ke-2, target Pemerintah Indonesia dalam program
pemindahan penduduk yaitu dapat memberangkatkan 50 ribu keluarga
atau 250 ribu orang per tahun. Jika dihitung selama selama lima tahun,
transmigran yang harus diberangkatan sebanyak 1,25 juta orang. Target
yang tidak realistis tersebut pada tahun 1976 dikurangi menjadi 108 ribu
keluarga selama lima tahun, sedangkan realisasinya pemerintah hanya
mampu memberangkatkan sebanyak 204 ribu orang atau sekitar 16 persen
dari target yang dicanangkan.41
Pada repelita ke-3 (1979-1983) ada penekanan yang lebih
mendalam terhadap kepentingan pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan
transmigrasi spontan lebih didorong lagi dengan mengembangkan kegiatan
ekonomi di luar Pulau Jawa guna menarik minat calon transmigran. Target
pemindahan transmigran sebanyak 250 ribu keluarga terlampaui sebanyak
dua kali lipat karena pemerintah berhasil memberangkatkan lebih dari 500
ribu keluarga.42
Pada Repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan lagi menjadi 750
ribu keluarga atau 3,75 juta orang karena Pemerintah Orde Baru semakin
antusias mengingat keberhasilan program transmigrasi pada Repelita ke-
3. Akhir bulan Oktober 1985, sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771
orang telah berhasil diberangkatkan.43
Sementara itu, perpindahan penduduk dengan tujuan wilayah
Lampung mulai dihentikan antara tahun 1979-1980. Kalaupun ada,
penduduk yang ditransmigrasikan itu merupakan sisa proyek transmigrasi
40
Purwanto Putra, Strategi dan Bentuk-Bentuk Informasi Transmigrasi Pada Masa Orde Baru dalam Rang-
ka Menyukseskan Program Pembangunan Nasional, Jurnal Kepustakawanan dan Masyarakat Membaca
Vol. 35 No. 2 (Lampung: Universitas Lampung, Oktober 2019), hlm. 2.
41
S. E. Swasono dan Masri Sinagrimbun, Transmigrasi di Indonesia 1905-1986, (Jakarta: UI Press,
1986), hlm 76
42
Ibid, hlm. 77.
43
Ibid, hlm. 78.
JER BASUKI MAWA BEYA | 28

pada tahun-tahun sebelumnya yang baru bisa direalisasikan pada tahun-


tahun berikutnya sehingga pada kurun tahun 1980-1981 pemerintah hanya
melakukan pembinaan terhadap para transmigran yang diberangkatkan
pada periode sebelumnya.44
Pada masa-masa ini, transmigrasi memegang peran yang sangat
menentukan dan penting. Pemerintah Orde Baru menjadikan program
transmigrasi sebagai prioritas dalam rangka menyukseskan pembangunan
nasional dasar, untuk kemudian disesuaikan dengan pola umum
pembangunan jangka panjang. Konsep tentang pelestarian lingkungan
juga santer digaungkan sehingga transmigrasi juga diberi misi agar bisa
memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara
lingkungan hidup.

Menaker Sudomo dan para transmigran di Kuala Labuan, Lampung Tengah.


(Foto: Doc.Kompas/Joseph Osdar)

Presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa transmigrasi


merupakan program pemindahan penduduk terbesar dalam sejarah
pada pidatonya. Hal tersebut disampaikan pada Sidang Umum MPR 1
Maret 1983. Besarnya perhatian terhadap program ini, bahkan pada 1966
pemerintahan Soeharto pernah mengajukan target untuk memindahkan
dua juta transmigran dalam setahun.

44
M. Halwi Dahlan, op.cit., hlm. 344
29 | JER BASUKI MAWA BEYA

‘‘Program transmigrasi sungguh tidak ada bandingannya dan


yang terbesar dari jenisnya dewasa ini di dunia. Sungguh, transmigrasi
adalah program terbesar dari jenisnya dalam sejarah modern
yang melibatkan satu bangsa dalam perpindahan sukarela
karena alasan-alasan perdamaian, ekonomi dan kemanusiaan.”

Kenyataannya, kondisi yang sangat ironis terjadi di masyarakat.


Banyak dari penduduk telah sadar bahwa keadaan ekonomi mereka di Pulau
Jawa semakin memburuk, tetapi karena ketidaktahuan akan seluk beluk
program transmigrasi membuat mereka enggan untuk bertransmigrasi.
Karakteristik masyarakat Jawa yang dikenal memiliki sifat homogen dan
keterikatan yang sangat kuat pada tanah kelahiran adalah alasannya.
Mereka yang telah lama hidup bersama dan membentuk kebudayaan
sangat sulit untuk dipindahkan ke tempat baru.
Upaya untuk menjalankan program transmigrasi di antaranya
membuat pesan yang dapat menarik perhatian masyarakat. Hal itu pun
membutuhkan informasi dan pengetahuan. Pemerintah memiliki kesadaran
bahwa pesan yang dibuat harus sampai kepada sasaran dan membuat
penduduk bersedia untuk bertransmigrasi, oleh sebab itu diperlukan
kepekaan terhadap berbagai strategi dan cara untuk menjalankan program
transmigrasi.
Presiden Soeharto menegaskan bahwa strategi pembangunan
transmigrasi harus dimasukkan jangka panjang dalam rangka strategi
pembangunan nasional, yaitu meratakan pembangunan ke seluruh wilayah
tanah air guna membangun masyarakat baru yang sejahtera, adil, dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Program kerja pada masa Orde Baru tidak hanya berpusat pada
masalah demografis, tapi juga berkembang ke arah tujuan non-demografis.
Oleh karena itu, tujuan transmigrasi tidak sekadar untuk perpindahan
penduduk saja. Di sisi lain, transmigrasi juga memiliki tujuan untuk
pembangunan dan pemerataan penduduk, serta upaya untuk perbaikan
ekonomi rakyat.
JER BASUKI MAWA BEYA | 30

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 menyatakan tujuan


transmigrasi adalah: peningkatan taraf hidup, pembangunan daerah,
keseimbangan penyebaran penduduk, pembangunan yang merata
ke seluruh Indonesia, pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga
manusia; kesatuan dan persatuan bangsa serta memperkuat pertahanan
dan ketahanan nasional. Pergeseran orientasi ke arah pembangunan
wilayah pun menyebabkan pemukiman transmigrasi didesain untuk
ditumbuhkembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.

Proyek transmigrasi di Way Seputih, Lampung, pada pertengahan Maret 1976


(Foto: Kompas/Jimmy S. Harianto)

Berbagai macam dinamika, termasuk perbaikannya, yang terjadi


dalam program transmigrasi akhirnya melahirkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang kemudian diubah
melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan tujuan transmigrasi adalah untuk:

1. Meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar


2. Meningkatkan pemerataan pembangunan daerah.
3. Memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
31 | JER BASUKI MAWA BEYA

E. Transmigrasi di Masa Reformasi Hingga Kini

P rogram transmigrasi masih termasuk dalam rencana pembangunan


pada era otonomi daerah. Namun, penyelenggaraan transmigrasi
dihadapkan pada tantangan terkait dengan perubahan tata pemerintahan.
Penyelenggaraan transmigrasi yang sebelumnya cenderung sentralistik,
dihadapkan pada tantangan berupa penerapan asas desentralisasi dan
otonomi.
Penerapan otonomi daerah selain menyebabkan pergeseran
kewenangan pada penyelenggaraan transmigrasi, juga mengharuskan
pelaksanaan transmigrasi sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik
dan kondisi spesifik daerah. Semacam usaha untuk mengembangkan dan
meningkatkan saling ketergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi,
manusia atau masyarakat, dan lingkungan hidup beserta sumber daya alam
yang ada di dalamnya.
Sejak era reformasi hingga hari ini, transmigrasi mengalami
banyak perubahan penting. Salah satu yang paling terlihat yaitu sub-sektor
transmigrasi tidak lagi masuk dalam sektor tenaga kerja dan transmigrasi,
tetapi dalam sektor pembangunan daerah dan transmigrasi.
Bobotnya tidak lagi dititiberatkan pada penyebaran tenaga kerja,
melainkan lebih mendukung pembangunan daerah. Dengan demikian,
program transmigrasi yang sebelumnya bertujuan membuka dan
mengembangkan daerah-daerah baru mesti diikuti dengan usaha-usaha
serta kegiatan pembangunan sektor lainnya juga guna menyokong proses
pembangunan daerah.
Pada praktiknya, program transmigrasi merupakan proses
pembangunan daerah melalui pembangunan pedesaan baru. Sasaran
utama pembangunan transmigrasi pun terdiri dari empat hal, yaitu:
1. Membangun desa-desa baru melalui pembangunan unit-unit
pemukiman transmigrasi yang terintegrasi dalam satu kawasan
pengembangan dan wilayah pengembangan parsial.
2. Membangun hinterland dari pusat-pusat pertumbuhan yang ada
melalui pembangunan unit-unit permukiman yang terintegrasi dengan
pusat-pusat pertumbuhan tersebut.
3. Mendorong pertumbuhan desa-desa yang kurang berkembang, melalui
JER BASUKI MAWA BEYA | 32

pertambahan penduduk dan pembangunan prasarana yang disebut


”transmigrasi swakarsa pengembangan desa potensial”.
4. Membangun masyarakat transmigran dan penduduk di sekitarnya
melalui pengembangan keswadayaan masyarakat, agar pada saat
pembinaan unit-unit permukiman transmigrasi diserahkan kepada
pemerintah daerah, masyarakat transmigran sudah mandiri.45

Permukiman dan lahan transmigrasi di Desa Puncak, Kabupaten Gorontalo.


(Foto: Antara/Adiwinata Solihin)

Berdasarkan poin-poin di atas, pembangunan desa-desa


transmigrasi di luar Pulau Jawa tidak hanya berperan dalam pengembangan
sumber daya manusia dan pengembangan sumber daya alam yang sangat
besar jumlahnya, tetapi juga berdampak pada proses pembangunan
otonomi daerah di tingkat kota dan kabupaten.
Perkembangan unit-unit permukiman transmigrasi menjadi desa
yang definitif sampai dengan tahun 2002 saja, tercatat sudah hampir tiga
ribu jumlahnya. Sebanyak 945 di antaranya telah berkembang menjadi desa
baru, sisanya masih dalam tahap pembinaan.46 Tantanganya kemudian,
45
Siswono Yudo Husodo, Tranmigrasi: Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen Dengan
Persebaran Yang Timpang, (Jakarta: PT. Tema Baru, 2003), hlm. 104.
46
Ibid, hlm. 105.
33 | JER BASUKI MAWA BEYA

menyangkut urusan persediaan makanan sampai dengan hari ini, tentu


sangat diperlukan perluasan areal pertanian baru untuk memenuhinya.
Penyedian tanah yang dibutuhkan tentunya dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanah-tanah yang sudah
dibebaskan oleh pemerintah kemudian direhabilitasi hingga menjadi lahan
siap olah, seperti sawah, kebun, hutan, tambak, peternakan, dan lain-lain.
Lahan unit usaha yang siap olah itu kemudian didistribusikan
kepada petani, nelayan, dan peternak di bawah pengawasan pemerintah
dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan juga keseimbangan
pembangunan di penjuru daerah. Jika sudah begitu, maka sasaran
penyelenggaraan transmigrasi di era pasca reformasi pun bisa tercapai,
yaitu meliputi:

• Pada tingkat pemukiman, sasaran penyelenggaraan tranmigrasi


ialah meningkatkan pendapatan transmigran, peningkatan kualitas
penyelenggaraan pendididkan, kesehatan, pelayanan administrasi
pemerintahan dan peningkatan kelayakan pemukiman dari
segi keamanan, interaksi antar masyarakat hingga kemandirian
masyarakat.
• Pada tingkat daerah, sasarannya ialah upaya peningkatan produksi,
perbaikan distribusi, dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan,
perluasan kesempatan berkerja dan usaha, peningkatan pendapatan
daerah, serta tercapainya kelestarian lingkungan.
• Pada tingkat nasional, sasarannya adalah tercapainya persebaran
penduduk dan tenaga kerja yang seimbang dan serasi, penyebaran
pembangunan kawasan yang seimbang, yang dikaitkan dengan
kegiatan usaha yang sesuai dengan potensi sehingga meningkatkan
persatuan dan kesatuan masyarakat dan mendorong tercapainya
ketahanan nasional. 47

47
Siswono Yudo Husodo, op.cit., hlm. 80.
JER BASUKI MAWA BEYA | 34

Lokasi Transmigrasi Bukit Merbau, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu, yang dibuka pemerintah pusat pada 2015. (Foto: antarabengkulu.com)

Pada paradigma baru, sesuai dengan napas otonomi daerah, maka


pengembangan kebijakan dan program transmigrasi diharapkan dapat
mendukung akselerasi pembangunan daerah. Melalui model Kerjasama
Antar Daerah (KSAD), yaitu penyelenggaraan transmigrasi yang lebih
menitikberatkan pada kerjasama antara provinsi, kabupaten, kota,
termasuk desa asal transmigran dengan provinsi, kabupaten, kota tujuan
transmigran, program transmigrasi di era otonomi daerah diharapkan
merupakan penyempurnaan dari konsep penyelenggaraan transmigrasi
sebelumnya.
Konsep pelaksanaan KSAD mengacu pada pedoman dari
Dirjen Mobilitas Penduduk tanggal 12 Desember 2002, bahwa KSAD
dalam penyelenggaraan transmigrasi harus dirancang secara cermat
dan bersama antara pemerintah daerah asal dan tujuan dengan mediasi
dari Depnakertrans (Ditjen P4T).48 Manfaat yang diharapkan dalam
pembangunan ketransmigrasian melalui mekanisme KSAD sendiri yaitu:

48
Bintang Yulisetyaningtyas, Tesis: Evaluasi Pelaksanaan Program Transmigrasi Melalui Model Kerjasama
Antar Daerah, Studi Kasus Di Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah, (Semarang: Program Pasca
Sarjana Universitas Diponogoro, 2008), hlm.23
35 | JER BASUKI MAWA BEYA

1. Dilaksanakannya transmigrasi di suatu kabupaten benar-benar


merupakan inisitatif pemerintah daerah setempat yang didasarkan oleh
suatu kondisi obyektif adanya kebutuhan.
2. Perencanaan dan penyusunan program pembangunanketransmigrasian
dilaksanakan oleh pemerintah daerah tujuan bersama pemerintah
daerah asal/pengirim sesuai dengan potensi dan kompetensi yang
dimiliki, kebutuhan untuk mengembangkan daerah, dan aspirasi
masyarakatnya.
3. Masing-masing pemerintah daerah provinsi dan atau kabupaten
memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena perpindahan
yang terjadi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
bersangkutan.
Pada tahapan ini, transmigrasi diposisikan sebagai program
masyarakat bersama pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota yang
bersangkutan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, dan bukan lagi
diposisikan sebagai program pemerintah pusat. Hasil dari perubahan posisi
program tersebut, maka sistem dan mekanisme pelaksanaan transmigrasi
selanjutnya akan dilaksanakan melalui mekanisme jalinan kerjasama antar
daerah berdasarkann prinsip saling ketergantungan positif dan saling
menguntungkan.

Para transmigran berlatih mengoperasionalkan traktor, sebagai salah satu keterampilan yang
dibutuhkan untuk mengolah lahan usaha dilokasi transmigrasi (Foto: Pribadi)

49
Ibid, hlm.107
JER BASUKI MAWA BEYA | 36

Suasana pelatihan keterampilan kepada ibu-ibu transmigran dengan materi “Pengolahan Hasil
Pertanian”, praktiknya yaitu membuat susu kedelai. (Foto: Pribadi)
37 | JER BASUKI MAWA BEYA

sejak era reformasi hingga hari ini, transmigrasi


mengalami banyak perubahan penting. salah satu yang
paling terlihat yaitu sub-sektor transmigrasi tidak lagi
masuk dalam sektor tenaga kerja dan transmigrasi,
tetapi dalam sektor pembangunan daerah dan
transmigrasi
JER BASUKI MAWA BEYA | 38
39 | JER BASUKI MAWA BEYA

Bus Dwiwarna (atas) yang digunakan untuk mengangkut para transmigran asal Boyolali, Jawa
Tengah, menuju ke Lampung pada Maret 1974. PO. bus tersebut kemudian berganti nama menjadi
Bumi Nusantara. (Foto: Tempo/Slamet Jabarudi; 017/066/1974; 01706601)
JER BASUKI MAWA BEYA | 40

P ada bab ini, terdapat beberapa kisah perjalanan orang-orang yang


ikut dalam program transmigrasi. Khususnya, para transmigran yang
diberangkatkan pada Maret 1974 dari Boyolali, Jawa Tengah. Program
transmigrasi umum yang kala itu diselenggarakan oleh pihak Kantor
Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah, memberangkatkan sekitar
empat ratus calon transmigran. Mereka diberangkatkan dari Kota Solo
dengan tujuan lokasi transmigrasi yang berada di daerah Lampung.
Para calon transmigran menempuh perjalanan jauh dari Pulau
Jawa menuju Pulau Sumatera bagian selatan menggunakan kendaraan
bus. Semula rombongan bus berjumlah enam tapi berkurang menjadi lima
ketika sampai di lokasi tujuan. Alasan dan penyebabnya selanjutnya akan
dijelaskan di kumpulan kisah yang ada di bab ini.
Dari tuturan beberapa transmigran, termaktub beberapa kisah
perjalanan transmigrasi yang diharapkan bisa menjadi referensi yang
makin memperkaya sejarah transmigrasi di Indonesia. Kisah-kisah mereka
diharapkan juga mampu menjadi inspirasi bagi orang-orang yang sudah,
akan, atau yang belum pernah melakukan transmigrasi.
Pada bab ini, pembaca akan diajak meresapi transmigrasi sebagai
sebuah perjalanan panjang bagi manusia untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhannya. Selama prosesnya, akan digambarkan betapa perjuangan
yang kuat dan pengorbanan yang besar sangat dibutuhkan demi keberhasilan
yang menjadi buah segala-galanya. Selanjutnya, selamat menyelami kisah-
kisahnya.
41 | JER BASUKI MAWA BEYA

Hidup yang Selalu


Mencari dan Memberi
Kisah Pengalaman Transmigrasi Sangidu

Bukankah fitrahnya manusia untuk selalu mencari cara agar


hidupnya bisa berkembang lebih baik dari hari ke hari?
Seribu rencana dan usaha diramu demi untuk memenangkan
kompetisi yang berhadiahkan rasa nyaman, aman, dan tentram. Lalu, satu
dari seribu cara itu pula yang diperjuangkan oleh kedua orang tuanya, agar
keluarga mereka dapat menjalani hidup yang lebih...

***

“Aku ingat, waktu masih kecil keluargaku hidup serba kekurangan.


Sulitnya mencari pekerjaan, kurangnya potensi alam di desa, ditambah
jumlah anak yang banyak, membuat keluargaku hidup dalam kemiskinan”,
ucap pria itu. Percakapan pun mulai terasa lebih serius siang itu.
Pria paruh baya itu bernama Sangidu. Dia adalah salah seorang
peserta program transmigrasi pada 1974 yang berasal dari Desa Munggur,
Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali. Dia adalah anak keempat dari
delapan bersaudara yang lahir dari pasangan suami istri yang bernama
Jamhari dan Siti Marjinah.
Sejak kecil, ayah Sangidu sangat tegas dalam mendidik semua
anak-anaknya, terutama soal agama. Dia juga sering diingatkan untuk
selalu kuat dan mau bekerja keras oleh ayahnya. Mungkin, beliau tak ingin
anak-anaknya kelak menjadi orang yang mudah putus asa dalam menjalani
kehidupan. Terlebih, jika melihat kondisi keluarga mereka pada saat itu
yang memang serba kekurangan.
JER BASUKI MAWA BEYA | 42

“Pernah suatu hari, saat tidak ada pilihan lain untuk bisa bertahan
hidup, orang tuaku akhirya harus menjual tanah warisan mereka. Hasilnya
kemudian ditukarkan dengan gaplek. Namun, hal itu tidak bertahan
hingga persediaan gaplek49 yang kami punya pun habis. Akhirnya, mau-tak
mau ares atau bonggol pisang kami jadikan sebagai bahan pokok makanan
sehari-hari,” kenang Sangidu.
Pada zaman dulu hingga—mungkin—menjelang awal 2000-an,
gaplek memang merupakan bahan makanan pokok layaknya beras di
beberapa daerah. Termasuk di desa tempat tinggal Sangidu. Daerah tempat
tinggalnya yang tandus dan sangat sulit mendapatkan pengairan, membuat
petani setempat mustahil untuk bisa menanam padi.


Gapura menuju Desa Mungur, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali.
(Foto: Pribadi)

50
Bahan makanan pokok yang berbahan dasar singkong yang sudah dikupas dan keringkan. Bisa
disimpan hingga berbulan-bulan.
43 | JER BASUKI MAWA BEYA

Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah di pegunungan yang


gersang. Contoh saja Gunungkidul, kehidupan penduduknya tak jauh
berbeda dengan penduduk di desa tempat tinggal Sangidu. Akan tetapi,
jika sampai harus memakan bonggol pisang seperti cerita keluarganya, itu
artinya memang kondisi hidup mereka sudah dalam kondisi yang sengsara.
Kenyataan pahit itulah yang melatarbelakangi keputusan orang
tuanya untuk mengikuti program transmigrasi yang diadakan oleh Kantor
Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah. Mereka mengejar sebuah
kemungkinan yang diharapkan mampu mengubah kehidupan mereka agar
bisa menjadi lebih baik.

Pada Sebuah Awal

Menjelang akhir 1974, beberapa orang dari kantor transmigrasi


datang ke Desa Munggur untuk memberikan sosialisasi mengenai program
transmigrasi yang kala itu tengah masif diadakan. Mereka mengatakan
kalau para transmigran nantinya akan diberikan sebidang tanah yang luas
sehingga bisa dijadikan tempat tinggal dan lahan usaha.
“Beberapa hari setelahnya, beberapa orang dari kantor transmigrasi
datang menjemput keluargaku menggunakan bus mini. Kami kemudian
diantar hingga sampai di Kota Solo,” terang Sangidu.
Di tempat itu, semua peserta transmigrasi asal Boyolali sudah
berkumpul, termasuk keluarga Sangidu. Akan tetapi, salah seorang
kakaknya dititipkan di rumah familinya yang berada di Semarang.
Menjelang sore hari, Kepala Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi
Jawa Tengah selesai memberikan wejangan dan menutupnya dengan
upacara pelepasan. Setelahnya, enam bus yang berisikan transmigran itu
bertolak dari Kota Solo menuju lokasi transmigrasi yang—konon katanya—
berada di Rumbia, Lampung.
Bus melaju dengan kecepatan sedang menuju ke arah matahari
terbenam. Semilir angin masuk lewat beberapa jendela yang dibuka.
Sangidu dan anggota keluarganya duduk di deret kursi penumpang bagian
depan. Ia sendiri bersama kakak dan adiknya duduk menikmati perjalanan
sambil mengoceh layaknya anak-anak yang bawel.
JER BASUKI MAWA BEYA | 44

Foto ilustrasi pemberangkatan para peserta trasnmigrasi ke wilayah pemukiman


(Foto: Kementerian Penerangan Republik Indonesia).

Pada perjalanan itu, mereka bersama saudara yang lainnya heboh


jika ada kendaraan bagus yang melintas. Mereka akan bersorak lalu
menunjuk kendaraan yang baru saja melintas seolah-olah itu milik mereka.
Momen itu terus berulang sampai mereka semua kelelahan dan akhirnya
kembali tenang di kursinya masing-masing.
Memasuki perbatasan antara Kabupaten Brebes dengan Kabupaten
Indramayu, sopir bus mulai menginjak pedal gas dalam-dalam. Bus
langsung melaju cepat untuk menyusul ketertinggalannya dari lima bus
lain yang sudah berada jauh di depan.
Pada saat akan melintasi Kali Sewo, kecepatan bus yang mereka
tumpangi sedikit berkurang. Hal ini dikarenakan rusaknya jembatan utama
yang biasa dipakai untuk menyeberangi Kali Sewo. Mau-tak mau, bus pun
harus pindah lajur dan menggunakan jembatan darurat.
Jembatan itu dibangun menggunakan tumpukan kayu balok kelapa
sehingga membuatnya cukup kokoh dan bisa diandalkan sementara waktu.
Akan tetapi, hujan yang turun waktu itu membuat jembatan darat itu terasa
lebih licin sehingga...
45 | JER BASUKI MAWA BEYA

Ciiit... ciiiit... BRUUKKKK!!!


“Aku masih ingat detik-detik sebelum bus yang kami tumpangi
mengalami kecelakaan. Waktu itu, aku bersama dengan kakak dan adikku
duduk di bangku depan dekat sopir. Jadi, aku melihat jelas kalau bagian
depan bus tiba-tiba tergelincir. Mungkin disebabkan oleh roda bus bagian
depan yang selip. Akhirnya, bus yang kami tumpangi terperosok ke sungai.
Setelahnya, aku sendiri seperti setengah sadar waktu itu,” kenang Sangidu.
Sangidu yang dalam kondisi setengah sadar membuatnya tak ingat
waktu tubuhnya ditarik keluar dari bus. Meski begitu, syukurnya ia masih
bisa selamat sebelum bus itu akhirnya terbakar.
Saat sudah benar-benar tersadar, Sangidu kaget kalau tiba-tiba
dirinya sudah berada di pinggir jalan raya. Dia hanya bisa menyaksikan
bus yang ditumpangi bersama dengan keluarganya terbakar dari kejauhan.
Dia menangis dan berteriak meminta pertolongan kepada orang-orang di
sekitarnya.
Tak jauh dari tempat Sangidu berdiri, sepasang suami istri ikut
menjadi saksi kejadian pagi itu. Mendengar jerit tangis Sangidu, mereka
akhirnya menghampiri dan menolongnya. Pada detik selanjutnya, Sangidu
kecil telah tenggelam dalam pelukan Si Istri yang sangat berempati
padanya.

Orang-Orang yang Baik

Melihat luka lebam di wajah Sangidu dan tubuhnya yang dipenuhi


lumpur, pasangan suami-istri itu bergegas membawanya ke rumah sakit
terdekat. Setibanya di sana, barulah tubuhnya dibersihkan, diobati, dan
diberi pakaian yang bersih.
Seolah memahami kalau kondisi Sangidu sangat memprihatinkan,
keduanya lalu berinisiatif membawanya pulang untuk merawatnya. Di sisi
lain, Soegiri dan istrinya ini memang belum dikarunia anak sehingga mere
ka tidak merasa keberatan. Akhirnya, Sangidu pun ikut bersama dengan
mereka.
Konon, Soegiri dan istrinya juga merupakan transmigran asal
Kalasan, Yogyakarta. Pada saat membawa Sangidu, keduanya sudah hidup
JER BASUKI MAWA BEYA | 46

lama di Kali Awi, Tanjung Karang, Lampung. Bahkan, mereka bisa dibilang
sebagai transmigran yang sukses di daerahnya karena sudah memiliki usaha
sendiri, yaitu menjalankan bisnis rumah makan di Pasar Bambu Kuning.
Tinggal dan dirawat oleh kedua pasangan itu, Sangidu pun mulai
beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Namun, tak banyak yang
bisa dilakukan karena ia pada waktu itu hanyalah anak kecil yang masih
serba kikuk. Menyadari hal itu, Soegiri dan istrinya mendaftarkan Sangidu
ke sekolah dasar yang tak jauh dari tempat tinggal mereka agar ia memiliki
teman bermain yang seumuran dengannya.
Di tempat yang berbeda, seluruh pegawai kantor transmigrasi yang
bertanggung jawab atas rombongan transmigran asal Boyolali sedang
kesulitan melacak keberadaan Sangidu. Mengingat bagaimana ia dibawa
Soegiri dan istrinya langsung ke rumah sakit saat peristiwa kecelakaan, hal
itu malah menyebabkan lolosnya nama Sangidu saat penyusunan laporan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Lebih dari satu bulan lamanya pihak kantor transmigrasi mencari
keberadaan Sangidu. Mereka menelusuri area sekitar tempat kejadian
hingga ke tempat-tempat lain yang kuat dugaan menjadi lokasi keberadaan
Sangidu. Lalu pada hari ke-35, pencarian mereka di sekitar Pasar Bambu
Kuning akhirnya membuahkan hasil.
Setelah memberikan penjelasan kepada Soegiri dan istrinya, pihak
kantor transmigrasi membawa pulang Sangidu kembali ke Pulau Jawa,
tepat di hari kedua setelah ia masuk di SD barunya. Dari situ, ia kemudian
dibawa ke hadapan Bapak Soebroto yang kala itu masih menjabat sebagai
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Indonesia.
Melalui Bapak Soebroto, Sangidu dikembalikan kepada keluarganya
yang masih tersisa. Akan tetapi, satu-satunya keluarga yang masih hidup
adalah sang kakak yang usianya pun masih sangat remaja. Keputusan lain
dibuat sehingga Sangidu pun dibawa oleh Bapak Harno yang menjabat
sebagai Kepala Departemen Transmigrasi Surakarta.
“Aku dirawat oleh keluarga Pak Harno seperti anak kandung sendiri.
Disekolahkan oleh beliau dari bangku sekolah dasar hingga dijadikan
pegawai di kantor transmigrasi”, tutur Sangidu sambil mengenang jasa-
jasa mendiang orang tua angkatnya.
47 | JER BASUKI MAWA BEYA

Sangidu mengawali kariernya di kantor Departemen Transmigrasi


Surakarta. Dia menjadi pegawai honorer pada 1982. Di kantor itu juga ia
kali pertama melihat sosok Sri Fatimah yang tinggal tak jauh dari tempatnya
bekerja. Kebetulan, orang tua Sri juga bertugas sebagai juru masak di
kantornya. Maka, semakin sering pula Sangidu bertemu dengan Sri hingga
ia memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis itu.
Hubungan Sangidu dengan Sri yang semakin hari semakin dekat
membuatnya bertekad untuk meminang gadis pujaannya itu. Setelah
mendapat restu dari kedua orang tua Sri, Sangidu akhirnya resmi
menjadikan gadis itu sebagai istrinya pada pertengahan 1983.
Tak lama setelah menikah, Sangidu mengajak Sri untuk ikut
program transmigrasi bersama dengan kakak Sangidu yang bernama
Burhan. Melanjutkan cita-cita orang tua yang berkeinginan mengubah
kondisi dan taraf hidup keluarga supaya jadi lebih baik adalah faktor
penting bagi Sangidu dan kakaknya untuk untuk bertransmigrasi. Maka
demikian, ikutlah Sangidu, Sri, dan Burhan dalam program transmigrasi
yang diadakan kantor Departemen Transmigrasi Surakarta.

Perlahan, Semua Menuju pada Kebaikan

“Dulu, yang jadi titik lokasi transmigrasinya di daerah Kuamang


Kuning, Kabupaten Bungo, Jambi. Pada awal kedatangan, ya, jelas aku
berusaha beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitar”, ucap Sangidu
menjelaskan.
Kondisi alam Kuamang Kuning pada saat Sangidu datang sudah
tentu jauh berbeda jika dibandingkan dengan keadaan sekarang. Jika ia
ingat-ingat lagi, jatah tanah yang kemudian dibabatnya untuk dijadikan
tempat tinggal dan lahan berkebun memang sangatlah luas.
Ditengah proses pembabatan lahan pun banyak kejadian
mengejutkan yang ia alami. Seperti berpapasan dengan ular piton raksasa,
dikejar babi hutan, dan menemukan hewan liar yang sebelumnya tak
pernah ia temui semasa tinggal di kampung halamannya.
JER BASUKI MAWA BEYA | 48

Kuamang Kuning yang kini sudah maju dan ramai penduduk, jauh berbeda
dibandingkan saat Sangidu pertama kali bertransmigrasi ke sana (Foto: Pribadi)

Beberapa saat tinggal di Jambi, sebenarnya untuk urusan pekerjaan,


Sangidu sudah mulai cukup terjamin. Di tempatnya yang baru, dia bahkan
sempat diangkat menjadi pejabat sementara untuk mengisi kursi Sekretaris
Desa. Meski begitu, pengabdian terhadap Bapak Harno membuat Sangidu
terpanggil untuk kembali menghadap orang tua angkatnya itu.
Sepeninggal Sangidu, kakaknya, Burhan memilih untuk tetap
bertahan dan terus bekerja di perkebunan sawit. Dia bekerja di beberapa
perkebunan sambil mengembangkan lahan usaha miliknya sendiri.
Beruntung, taraf hidup Burhan pun semakin meningkat sehingga
membawa dia pada kesejahteraan yang jauh lebih baik dibanding hari-hari
sebelumnya.
Saat itu, memang ada standar umum yang tidak tertulis mengenai
tingkat adaptasi yang dialami oleh para transmigran. Jika sampai tahun
ketiga transmigran tersebut masih saja merasa tidak kerasan, kedepannya
akan lebih sulit untuk tetap bertahan hidup di lingkungan barunya itu.
Hal yang sangat berbeda jika transmigran tersebut merasa betah dan
nyaman untuk tinggal di lingkungan barunya hingga lima tahun. Sudah
49 | JER BASUKI MAWA BEYA

dapat dipastikan kalau transmigran tersebut akan mampu berkembang


dan memaksimalkan potensi sekitarnya sebagai peluang untuk menaikkan
taraf hidupnya.
Belakangan, Sangidu mendengar kalau semua keponakan dari
kakaknya masing-masing bahkan sudah memiliki karier yang cukup
terjamin. Ada yang sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
di Sekolah Negeri, ada pula yang mengikuti jejak Burhan, yaitu bekerja di
perusahaan kelapa sawit.

Burhan, kakak Sangidu yang tidak ikut saat dia dan anggota keluarga lainnya
bertransmigrasi ke Lampung. (Foto: Pribadi).
JER BASUKI MAWA BEYA | 50

Sekembalinya Sangidu ke Jawa Tengah pada pertengahan 1994,


ia kembali bekerja sebagai pegawai honorer di Kantor Departemen
Transmigrasi. Akan tetapi, bukan lagi di Solo ia ditempatkan. Kali ini, ia
bertugas di Kantor Departemen Transmigrasi yang berada di Karanganyar.
Sembilan tahun sudah Sangidu bekerja sebagai pegawai honorer
di kantor transmigrasi. Lama-kelamaan, dia pun merenung dan mulai
mempertanyakan bagaimana nasibnya nanti ke depan? Apakah kariernya
akan seperti ini seterusnya? Kegelisahan ini akhirnya mendorong dia untuk
melakukan hal yang cukup nekat.
Pada 2003, Sangidu mengirim surat secara pribadi kepada Bapak
Jacob Nuwa Wea yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi. Dalam suratnya, dia bercerita kalau sepanjang
kariernya di kantor transmigrasi, dia sudah bekerja selama lebih dari
sembilan tahun sebagai pegawai honor. Ia juga bertanya sambil meminta
kepada Bapak Menteri, apakah ada kesempatan baginya untuk diangkat
menjadi PNS?
Tak berselang lama, surat itu direspon langsung oleh pihak
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Lewat perwakilan
kantortransmigrasi setempat, akhirnya Sangidu diangkat sebagai Calon
Pegawai Negara Sipil (CPNS). Akan tetapi, hal itu menyebabkan dia
kembali dipindahtugaskan lagi. Oleh sebab itu, dia diberi dua pilihan
antara akan ditempatkan di kantor transmigrasi yang berada di Semarang
atau Yogyakarta.
Mengetahui kalau Bapak Harno yang pernah mengangkatnya
sebagai anak sedang bertugas di Yogyakarta, Sangidu pun meminta agar
ditempatkan di daerah yang sama dengan beliau. Dia akhirnya ditugaskan
sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar Pelatihan Transmigrasi
Yogyakarta50, sementara Bapak Harno waktu itu sudah menjadi Kepala
Kantor Transmigrasi Wilayah Yogyakarta.
Pada 2005, Sangidu akhirnya diangkat sepenuhnya menjadi PNS
tepat pada saat dia masih bertugas di Yogyakarta. Pada saat menerima
pengumuman tersebut, bukan main senang hatinya sehingga ia langsung
sujud syukur. Ia sangat terharu karena perjalanan dan penantiannya yang
sangat lama akhirnya diganjar penuh di hari itu.
51 | JER BASUKI MAWA BEYA

Sepulangnya di rumah, Sangidu langsung memeluk istrinya sambil


berbisik, “Alhamdulillah, sekarang aku sudah resmi menjadi Pegawai Negeri
Sipil”.
Mendengar itu, giliran Sri yang terkejut. Dibalasnya pelukan Sangidu
dengan lebih erat. Sambil bercucuran air mata haru, Sri mengucapkan
kalimat syukur dan memberikan ucapan selamat kepada suaminya yang
tercinta.

Kemuliaan Dari Mencari dan Memberi

Sangidu bekerja di Balai Besar Transmigrasi Yogyakarta selama


tiga tahun hingga akhirnya dia pindah tugas. Pada awal 2009, dia kembali
ditempatkan di Solo. Ia bertugas sebagai Staf Pemberdayaan Masyarakat di
Balai Latihan Kerja Surakarta yang masih berada di bawah naungan Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Porsi kerja Sangidu pada saat itu lebih banyak di bidang pelayanan
yang fokus menangani sistem informasi, pendaftaran, dan seleksi peserta.
Contohnya, jika ada warga yang ingin mencari pekerjaan, Sangidu
dan timnya yang berperan untuk mencarikan pekerjaan sesuai dengan
kemampuan orang itu. Namun, jika orang itu dirasa kurang memiliki
kemampuan atau dirasa belum siap untuk bekerja, maka mereka akan
mendapat pelatihan terlebih dahulu di Balai Latihan Kerja (BLK) Surakarta.
Seperti dalam hadist, sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa
bermanfaat bagi manusia lain. Ia pun menemukan nilai-nilai yang sama
selama bekerja di BLK Surakarta karena banyak hal menarik yang bisa
dijadikan pelajaran selama Sangidu bekerja di sana.
Ia menyaksikan kalau ternyata masih banyak sekali orang yang
mau menyebarkan kebaikan kepada orang lain. Apa yang dia miliki dan
ketahui disebarkan kepada orang lain sehingga dapat bermanfaat, nantinya
pun pasti diteruskan kepada pihak ketiga dan di bawahnya lagi.

51
Sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa,
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Sleman, Yogyakarta.
JER BASUKI MAWA BEYA | 52

Sementara di sisi lain, Sangidu juga memperhatikan orang-orang


yang berusaha membuka diri untuk sesuatu yang baru di hidup mereka.
Orang-orang itu mempelajari dan mempraktikkan ilmu yang baru mereka
terima agar bisa bermanfaat bagi diri sendiri.
“Bukankah seperti itu harusnya? Selalu ada kemuliaan bagi
orang-orang yang terus mencari. Seperti kata Tuhan, kalau Dia tidak
akan mengubah takdir seseorang jika orang itu enggan berusaha dengan
maksimal,” tutur Sangidu.

Sangidu saat masih aktif bekerja di kantor transmigrasi (Foto: Pribadi).


53 | JER BASUKI MAWA BEYA

Dia merasa luar biasa bahagia bisa memiliki kesempatan bekerja


di BLK Surakarta dikelilingi oleh orang-orang baik. Alasan itulah yang
membuatnya berkeinginan agar bisa bekerja dalam waktu yang lama di
sana. Sayangnya, takdir berkata lain.
Sejak bekerja di Yogyakarta, kondisi kesehatan Sangidu memang
menurun drastis. Khususnya pada kemampuannya untuk bisa melihat
normal. Hal itu membuat kemampuannya dalam bekerja menjadi terbatas.
Hingga akhirnya, dia mesti mengikhlaskan kalau harus pensiun lebih cepat
dari waktu yang telah diperkirakannya.
Cita-citanya yang kandas di tengah jalan untuk bisa bermanfaat
bagi orang banyak sambil mencari pengetahuan-pengetahuan baru,
sempat membuat dia frustrasi. Kondisinya yang seperti itu seolah semakin
membatasi kemampuan dan ruang geraknya. Namun, seiring perjalanan
waktu, akhirnya ia mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Terutama
dalam menerima keputusan Tuhan dengan hati yang ikhlas.
Jika direnungkan lagi, bukankah selama ini dia telah banyak
kehilangan? Tapi, apakah itu lantas menghentikan jalan hidupnya dulu?
Bukankah dari kehilangan itu pada akhirnya dia bisa menemukan hal-hal
baru yang lebih berwarna?
Sangidu yang telah sadar, kembali teringat tentang “memberi” dan
“mencari” yang memotivasinya selama bekerja di BLK Surakarta. Tentang
memberi, yang tak akan pernah habis jika dirinya selalu mengeluarkan apa
pun yang ia miliki, sekali pun itu hanya kata-kata atau senyuman asalkan
ikhlas. Karena hanya dengan kata-kata yang indah dan senyuman yang
tulus, wajah dunia akan berubah jadi lebih indah.
Soal mencari, ia harusnya tidak berhenti meski kemampuan
melihatnya sudah menurun. Hal itu harusnya tidak dijadikan alasan,
melainkan motivasi. Toh, Tuhan juga tidak menampakkan dirinya karena
tidak adil bagi hamba-Nya yang tidak bisa melihat. Tapi, Tuhan hadir dalam
hati setiap hamba-Nya karena semua hamba-Nya pasti bisa merasakan
dengan menggunakan hati.
Kini, Sangidu pun lebih mengasah hati dan perasaannya agar lebih
ikhlas dalam memberikan kebaikan untuk sesama hamba-Nya dan mudah
menerima segala takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya. Sekaligus tidak
JER BASUKI MAWA BEYA | 54

berhenti mencari segala kebaikan yang tercecer di muka bumi dan


menemukan keberkahan dalam hidupnya.

(Kolase foto-foto Sangidu masih anak-anak, remaja, dewasa, dan sudah


memiliki keluarga)

Sangidu ditemani istri dan anaknya saat diwawancarai oleh tim penyusun buku
“Jer Basuki Mawabeya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses”
di rumahnya. (Foto: Pribadi).

*Sangidu menikmati hari-harinya dengan penuh syukur di rumahnya yang


berada di pinggiran Kota Solo. Dari pernikahannya dengan Sri Fatimah, ia dikarunia
empat orang anak yang bernama Purwono, Dwi, Puput, dan Si Bungsu yang bernama
Gilang, yang masih menemani dan merawatnya di rumah bersama dengan Sri.
55 | JER BASUKI MAWA BEYA

Tiada Sukses Tanpa


Air Mata dan Usaha
Kisah Pengalaman Transmigrasi Djaelani

Aku adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Muhamad Maksum


dan Ibu Sutinem. Aku lahir dan banyak menghabiskan masa kecilku di
sebuah desa yang letaknya agak terpencil pada saat itu. Desa Majenang
namanya.
Desa kelahiranku berada di Kecamatan Sukodono yang menjadi
salah satu dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Sragen, dan kebetulan
berada di sebelah utara Bengawan Solo. Ya, sungai terpanjang di Pulau Jawa
yang namanya populer sejak zaman penjajahan dan dijadikan lagu oleh
Gesang Marthantho, Sang Maestro Keroncong yang namanya melalang
buana hingga tanah Eropa.
Konon katanya, tempat kelahiranku ini awalnya merupakan
hutan belantara yang ditemukan oleh seorang pengembara. Saat itu, Sang
Pengembara sedang melakukan perjalananya dari arah Timur ke Selatan.
Di tengah perjalanan, dia beristirahat di sebuah hutan.
Cukup lama Sang Pengembara beristirahat hingga ia merasa
betah dan tertarik pada hutan itu. Akhirnya, dia mulai membuka lahan
dan mendirikan rumah untuk dia tempati bersama dengan keluarganya.
Lambat laun, banyak pula orang lain yang ikut bermukim dan membantu
mengembangkan tempat tersebut.
Singkat cerita, atas kesepakatan semua warga daerah tersebut lantas
diresmikan dengan nama “Sukodono”. ‘Suko’ yang berarti senang atau
ikhlas dan ‘Dono’ yang berarti menolong, dirasa sesuai dengan semangat
warga yang gemar bahu-membahu, membantu, dan menghargai sesama
pada saat itu.
JER BASUKI MAWA BEYA | 56

Pemandangan Desa Majenanga, Kecamatan Sukadono, Kabupaten Sragen dari atas dan para
petaninya saat musim panen jagung. (Foto: Pribadi).
57 | JER BASUKI MAWA BEYA

Semangat untuk saling tolong-menolong yang diwariskan para


leluhur kemungkinan tetap lestari sampai aku lahir. Aku bersama kedua
orang tua dan ketiga saudariku, sebenarnya hidup pas-pasan sekali. Biar
begitu, toh, kami tetap merasa tidak yang nelangsa-nelangsa sekali.
Kemungkinan besar hal ini dikarenakan kehidupan bertetangga
kami antara satu dengan yang lain terjalin harmonis sehingga saling
membantu jika ada yang mengalami kesulitan. Namun, semua baru terasa
berubah ketika aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Pada saat itu, Bapak meninggal dunia. Kejadian ini meninggalkan
duka yang mendalam bagi keluarga. Terutama, sangat mempengaruhi
kestabilan ekonomi rumah tangga kami. Bagaimana tidak? Ibu yang
menjadi janda harus memikul tanggung jawab untuk merawat empat
anaknya.
Belum lagi kami yang tinggal di desa yang agak terpinggirkan
waktu itu, cukup kesulitan mencari penghasilan atau sekadar tambah-
tambahanan. Meski ada saja bantuan dari kanan-kiri, toh, tetap saja
keadaan ekonomi keluarga sering kembang-kempis.
Selang beberapa lama, entah kapan dan bagaimana persisnya
aku lupa. Pokoknya, aku kemudian ikut bersama dengan Pak Lik ke
Desa Kacangan, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali. Di sana, aku
kemudian masuk pondok pesantren.
Seingatku, sepertinya waktu itu Pak Lik mengajakku karena merasa
berempati melihat ibuku yang mulai kepayahan. Barangkali, ia berpendapat
kalau aku ikut dengannya beban Ibu yang merawat anak-anaknya akan
sedikit berkurang. Setelah berbicara dan meminta izin ibuku, ikutlah aku
dengan Pak Lik. Sejak saat itulah aku pindah dan tinggal di Desa Kacangan,
Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali.

Alasan Ikut Transmigrasi

Masa remaja merupakan fase-fase yang penuh gejolak dalam hidup.


Haus akan pengetahuan, pengalaman, dan pengakuan. Semuanya lebur
menjadi satu bentuk dorongan yang membuat aku dan lima kawanku
JER BASUKI MAWA BEYA | 58

memutuskan mengikuti program transmigrasi yang diprakasai oleh Kantor


Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Sebenarnya, tak satu pun di antara kami yang memiliki pengalaman
hidup di luar Desa Kacangan, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali
waktu itu. Jangankan cari penghidupan keluar daerah, lha, keluar desa saja
hampir tidak pernah.
Banyak warga lain yang ikut mendaftar program transmigasi pada
saat itu. Sebagian besar beralasan karena ingin mencari peruntungan
di daerah lain. Pemerintah sendiri menjamin para transmigran akan
mendapatkan sebidang tanah untuk ditinggali dan dikembangkan sebagai
lahan usaha. Transportasi dan ongkos awal hidup di sana pun ikut
ditanggung. Jelas, ini kesepakatan yang cukup menguntungkan.

(Foto lokasi desa Kacangan, Andong, Boyolali. Syukur-syukur dapat foto


kondisi desa tahun 70’an dan sekarang buat perbandingan)

Gapura menuju Desa Kacangan


. (Foto: Pribadi).

Alasan terbesarku sendiri waktu itu mengikuti program transmigrasi


bukan semata-mata mencari peruntungan di daerah lain. Ini juga persoalan
gairah anak muda yang haus akan pengalaman dan wawasan hidup.
59 | JER BASUKI MAWA BEYA

Mendengar kalau yang menjadi tujuan transmigrasi adalah


Lampung, yang berada di Pulau Sumatera, membuat semangatku dan
kelima kawanku yang lain makin menggebu-gebu. Pasalnya, lokasi tersebut
berarti berada di seberang lautan, berkilo-kilo meter jauhnya dari tempat
tinggal kami. Itu berarti kesempatan kami bertualang dan menjelajahi
tempat-tempat asing untuk menambah pengalaman baru.
Beberapa hari sebelum keberangkatan, tak terhitung berapa
kali sudah aku membayangkan bagaimana dan sejauh mana program
transmigrasi ini akan membawaku ke sebuah tempat antah-berantah.
Apakah itu daerah yang warganya ramah kepada pendatang baru atau
malah kami ditempatkan di daerah yang terpencil yang akses dan fasilitas
umumnya masih minim? Entahlah.
Menuruti penasaran, membuatku tak bisa lagi membendung rasa
ingin segera melintasi aspal semenanjung utara Pulau Jawa, terombang-
ambing di atas perairan Selat Sunda hingga akhirnya menjejaki kaki di
tanah Sumatera yang masih sangat asing. Astaga, ini pasti bakal menjadi
pengalaman hidup yang amat menarik!

Perjalanan yang Mengubah Nasib

Pada 11 Maret 1974, kami berkumpul di Solo sebagai titik


keberangkatan awal. Sore itu, aku bersama warga desaku disatukan dengan
para transmigran yang berasal dari daerah lain. Kami kemudian dibagi
menjadi enam kelompok untuk kemudian masuk ke dalam bus yang
berbeda-beda, yang akan mengantarkan hingga titik lokasi transmigrasi.
Aku kebagian berada di dalam bus yang sama dengan kelima kawanku.
Oiya, aku dan kelima temanku masih bujang waktu itu. Jadi,
kami sempat disuruh mengubah keterangan identitas di Kartu Keluarga.
Sesuai ketentuan, pun agar mempermudah Dinas Transmigrasi saat
mengidentifikasi nantinya, kami didaftarkan ke dalam Kartu Keluarga
yang baru. Aku dan kelima kawanku dibagi menjadi dua Kartu Keluarga
yang masing-masing beranggotakan tiga orang.
Menjelang petang, Kepala Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi
Jawa Tengah akhirnya selesai memberikan wejangan di upacara pelepasan
para transmigran. Setelahnya, enam bus yang kami tumpangi pun segera
JER BASUKI MAWA BEYA | 60

bertolak dari Solo. Di waktu yang bersamaan, riuh kicau burung Cabak
seperti mengiringi awal perjalanan kami.

Foto illustrasi pelepasan transmigran


(Foto: Kementerian Penerangan Republik Indonesia/Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia.)

Kondisi jalan waktu itu sangat lenggang, berbeda jauh jika


dibandingkan dengan kondisi seperti lima tahun belakangan ini. Hal itu
memang banyak dipengaruhi oleh faktor jumlah kendaraan yang belum
banyak. Jangankan mobil, yang memiliki kendaraan motor pun hanyalah
orang-orang tertentu.
Sopir bus tampak berkendara agak santai seperti sedang menikmati
perjalanan. Dia mengendarai bus dengan aman, tidak terlalu cepat tapi
juga tidak terlalu lambat sehingga membuat bus kami cukup tertinggal dari
bus-bus rombongan lain yang sudah berada jauh di depan. Meski begitu,
bus yang aku tumpangi terus melaju dengan lancar tanpa hambatan.
Perasaan sumpek di dalam bus mulai kurasakan karena penumpang
yang sangat banyak. Belum lagi ditambah dengan beberapa pria yang
bisa-bisanya tetap asyik merokok. Semakin banyaknya kepulan asap yang
dihembuskan dari mulut mereka dan hanya berputar-putar di dalam bus
61 | JER BASUKI MAWA BEYA

sehingga mencekikku dan membuat mataku terasa agak perih. Beruntung,


sejak awal masuk bus, aku memilih duduk di kursi pojok dekat jendela.
Aku geser kaca jendela hingga terbuka lebar. Saat udara segar dari
luar masuk, seketika itu juga ada perasaan lega luar biasa. Seperti baru
keluar dari WC setelah menahan hajat seharian. Maklum, zaman itu belum
ada bus yang difasilitasi mesin pendingin.
Sepengetahuan anak desa ini, pada tahun itu memang belum ada
perusahan otobus yang memfasilitasi unit kendaraannya dengan mesin
pendingin otomatis, kecuali taksi. Itu pun jelas-jelas beda kasus karena
taksi sekelas dengan mobil sedan pribadi yang hanya dinaiki oleh kalangan
elit.
Selama perjalanan, aku bercengkrama dengan kawan-kawanku
dan beberapa transmigran lain. Obrolan yang mengalir di antara kami
mengalihkan perhatianku sehingga tanpa sadar tiba-tiba saja hari sudah
menjadi gelap. Entahlah, kami sudah sampai mana pada saat itu.
Sepoi angin malam yang masuk lewat jendela, lama-kelamaan
mulai melenakan kedua mataku. Rasa kantuk yang semakin menyerang
pun akhirnya menumbangkanku. Terakhir yang kuingat, aku mulai
tertidur dengan posisi kepala bersandar pada jendela dan tangan berpangku
di kursi penumpang depan. Lalu, saat aku kembali tersadar....

Astaga, kenapa tubuhku tiba-tiba sudah terbaring di pinggir jalan raya seperti
ini?!
Sisa kantuk dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh membuat
aku tak berdaya untuk bergerak. Dari sudut tempat aku berbaring, terlihat
beberapa orang hilir-mudik dengan raut wajah yang tegang. Beberapa
orang lainnya berkerumun seperti menyaksikan sesuatu di seberang jalan
raya sana. Selang beberapa saat kemudian, aku akhirnya dibopong ke dalam
mobil yang kebetulan melintas.
Di dalam mobil, kulihat sudah ada seorang bocah yang usianya
lebih muda dariku. Bajunya compang-camping terkena lumpur dan ada
beberapa luka di tubuhnya. Kemungkinan besar dia sama-sama korban
kecelakaan sepertiku.
Mobil itu membawa kami ke polsek terdekat. Di sana, aku segera
diproses oleh Pak Polisi untuk kemudian buru-buru dibawa ke rumah sakit
JER BASUKI MAWA BEYA | 62

yang ada di kota Indramayu. Sesampainya di IGD, rasa sakit yang menjalar
di sekujur tubuhku semakin menjadi-jadi. Baru kusadari kalau di beberapa
bagian tubuhku terdapat luka yang cukup serius. Oleh karena itu, dokter
jaga yang bertugas cepat-cepat menyuntikkan obat pereda nyeri, barulah
setelahnya luka-lukaku dibersihkan menggunakan kapas dan cairan
antiseptik.
Selesai mendapat penanganan intensif, kondisiku dianggap sudah
cukup stabil. Aku kemudian dipindahkan ke ruang perawatan. Setelah itu,
pelan-pelan aku diberitahu tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Mundur beberapa jam sebelumnya. Konon, saat aku tertidur, supir
bus yang merasa semakin tertinggal jauh dari bus-bus rombongan lainnya
berusaha mengejar. Pedal gas dinjak dalam-dalam sehingga laju bus pun
semakin cepat.
Kurang lebih pukul empat pagi, bus yang kutumpangi baru
memasuki Kabupaten Indramayu. Kami disambut oleh hujan yang lebat
hingga sampai di Kecamatan Sukra. Mendekati jembatan Kali Sewo, bus
dialihkan agar menggunakan jembatan darurat yang dibangun dari balok-
balok kayu glugu.51 Hal ini disebabkan karena jembatan utama yang
melintang di atas Kali Sewo sedang mengalami kerusakan.
Nahas, hujan yang mengguyur membuat jembatan kayu tersebut
menjadi sangat licin, ditambah pandangan supir yang serba terbatas
membuat bus tergelincir. Kejadian itu sontak membuat warga sekitar segera
berlarian. Ada yang sekadar menyaksikan karena tidak mampu berbuat
apa-apa, tapi ada sebagian lagi yang berusaha menyelamatkan penumpang
yang terjebak di dalam bus. Termasuk aku di dalamnya.
Banyak korban jiwa dalam kecelakaan itu tapi hanya sedikit sekali
yang selamat. Salah satunya aku. Begitu mendengar cerita tersebut, aku
merasa sangat terpukul. Namun, banyak pihak yang berusaha menghibur
agar aku tidak larut dalam kesedihan.
Berhari-hari lamanya aku dirawat di rumah sakit Indramayu
bersama Suyanto, Si Bocah korban selamat lainnya yang tadi sempat aku
ceritakan. Sampai akhirnya, Bapak Margono Hadikusumo yang kala itu
menjabat sebagai Kepala Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa

52
Kayu yang berasal dari pohon kelapa
63 | JER BASUKI MAWA BEYA

Tengah menjemput kami berdua untuk pulang bersamanya. Setelahnya, aku


dan Suyanto ikut dengan beliau ke Semarang. Sejak saat itu, kami berdua
pun akhirnya diasuh oleh keluarga besar Bapak Margono Hadikusumo
seperti anak sendiri.

Tugu Pionir Transmigrasi yang berada di Sukra, Kabupaten Indramayu


(Foto: Pribadi)
JER BASUKI MAWA BEYA | 64

Menata Hidup Kembali

“Djaelani, besok kamu mulai masuk sekolah, ya. Kamu sudah


didaftarkan di SPAIN52,” ucap Pak Margono suatu siang kepadaku.
“Suyanto juga sudah didaftarkan untuk masuk SD”.
Melihat kondisiku, terlebih Suyanto yang sudah membaik, praktis
saja kalau beliau beranggapan kami sudah mampu beraktivitas normal.
Mungkin, baginya sangat disayangkan kalau kami dibiarkan melewatkan
bangku pendidikan begitu saja. Sementara ia lihat anak-anaknya sendiri
yang usianya terpaut tak begitu jauh dariku diwajibkan untuk bersekolah.
Kasih dan perhatian beliau yang begitu besar kepadaku dan
Suyanto kami terima dengan bijak. Karena di waktu yang bersamaan, aku
menganggap apa yang telah diberikan Bapak Margono dan keluarganya
juga merupakan tanggung jawab yang besar bagiku. Aku berusaha menjaga
kepercayaan yang telah diberikan agar jangan sampai mereka merasa
kecewa.
Alangkah tercelanya pikirku melewatkan kesempatan yang telah
diberikan oleh orang yang tulus mempercayai dan membantu kita.
Setidaknya, dengan mengenyam pendidikan yang pantas, kedepannya
aku akan menjadi manusia yang lebih bijak lagi dan bermanfaat agar bisa
membalas kebaikan beliau dan keluarganya.
Memang, bagiku sendiri pendidikan merupakan elemen penting
yang dibutuhkan oleh manusia manapun. Dalam dunia pendidikan, setiap
orang paling tidak akan bertambah ilmu dan pengetahuannya. Poin penting
lainnya, orang yang berpendidikan mampu membedakan mana yang baik
dan buruk sehingga membuatnya lebih beradab dan berakhlak. Sementara
yang mengkhawatirkan, jika aku tidak melanjutkan pendidikan lebih jauh,
aku takut diriku akan menjadi sumber masalah sosial bagi masyarakat lain.
Sebelumnya, di Sukadono aku sempat bersekolah di PGA
Muhammadiyah53 selama empat tahun. Perlu aku tekankan di sini, aku

53
Setara dengan Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah, yang didirikan guna menyiapkan
calon siswa yang akan berkuliah di IAIN atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama UIN (Uni-
versitas Islam Negeri).
54
Waktu itu setara dengan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah.
65 | JER BASUKI MAWA BEYA

bersekolah di sana selama empat tahun bukan karena aku sempat tidak
naik kelas tapi memang begitulah ketentuannya waktu itu. Malah, aku
termasuk siswa yang cukup memiliki prestasi di sekolahku. Toh, terbukti
begitu pindah ke SPAIN aku langsung duduk di kelas 11.
Hari-hari bersekolah di SPAIN kulewatkan dengan baik dan lancar.
Aku memang bukan termasuk siswa yang berprestasi tapi bukan berarti
aku ada di daftar nama siwa yang terbelakang. Secara akademik aku biasa-
biasa saja tapi di lingkungan pergaulan aku cukup memiliki banyak teman.
Hingga pada 1975 aku akhirnya lulus dari sekolah tersebut.
Sementara Suyanto, waktu itu ia dititipkan kepada bawahan bapak
Margono yang bernama Bapak Rajiman. Beliau waktu itu masih menjabat
Kepala Bidang Transmigrasi Swakarsa di Kantor Transmigrasi Wilayah
Provinsi Jawa Tengah. Adapun alasan kepindahan Suyanto waktu itu
dikarenakan SMP tempat dia bersekolah lebih dekat jaraknya dari rumah
Pak Rajiman ketimbang rumah Pak Margono yang amat jauh.
Begitu lulus sekolah, aku sebenarnya sempat ingin berkuliah.
Terlebih, temanku yang bernama Atho'illah54 mengajak agar aku bisa kuliah
bersamanya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Akan tetapi, ada
beberapa kendala yang menyebabkan aku tidak bisa melanjutkan kuliah
sehingga sampai pada 1978 aku malah dijadikan pegawai honor oleh Pak
Margono di Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Di kantor, aku banyak ditugaskan untuk membantu urusan
administrasi dan pelayanan transmigrasi di lapangan. Hingga pada 1980,
aku akhirnya resmi di angkat menjadi PNS. Saat itu, aku menjabat sebagai
staf umum sehingga sering ditugaskan untuk membantu mengawal para
transmigran hingga sampai di lokasi tujuan.

Menjadi Manusia Seutuhnya

Ibarat pepatah lama, “sambil menyelam minum air”. Saat bertugas


mengawal para transmigran, aku jadi punya kesempatan untuk sekalian
berjalan-jalan ke daerah-daerah yang ada di luar Pulau Jawa. Hal ini
Atho’ilah atau yang kini lebih dikenal dengan nama lengkap Muhammad Atho’illah Shohibul
55

Hikam adalah mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada masa kepresidenan Abdurrahman
Wahid.
JER BASUKI MAWA BEYA | 66

sebenarnya mengingatkanku akan kenangan lama, saat aku masih remaja.


Dulu aku termotivasi untuk ikut transmigrasi agar bisa bertualang
dan menjejaki tanah Sumatera yang berada di seberang Pulau Jawa, tapi
gagal di pertengahan jalan. Sebaliknya, kini aku malah menemani para
transmigran asal Provinsi Jawa Tengah ke daerah-daerah yang berada di
luar Pulau Jawa. Sungguh sangat kontraditkif bukan?
Semakin sering aku ditunjuk untuk ikut mengawal, semakin banyak
pula tempat-tempat di Indonesia yang akhirnya bisa kusambangi. Mulai
dari kepulauan paling barat hingga Papua yang letaknya berada di paling
timur Indonesia.
Tugas itu juga membawaku pada pengalaman-pengalaman yang
tak pernah kubayangkan. Seperti memasuki hutan belantara di Pulau
Kalimantan dan Pulau Sumatera, melihat kawanan kijang liar di Kepulauan
Halmahera, bahkan bisa menaiki pesawat C-130 Hercules yang selama ini
kukira hanya ada di film Rambo.

Djaelani sedang menunjukkan foto masa lalunya saat diwawancarai oleh tim penyusun buku
“Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” di rumahnya
(Foto: Pribadi).
67 | JER BASUKI MAWA BEYA

Namun, dari semua pengalaman itu, pertemuan dengan seorang


gadis yang dulu pernah sama-sama tinggal di Desa Kacangan adalah yang
paling berkesan. Nama gadis itu adalah Sri. Dulu, kami memang sering
bertemu di musala karena dia adalah salah satu murid pengajian Pak Lik.
Waktu aku sedang bertugas menjemput para transmigran asal
Kecamatan Andong, secara tidak sengaja kami kembali bertemu. Kami
sempat bercengkrama dan saling menanyakan kabar masing-masing
layaknya dua sahabat kecil yang telah lama terpisah.
Sejak pertemuan itu, kami jadi lebih sering berkomunikasi. Atau,
lebih tepatnya kembali berkomunikasi tapi lebih intens dibandingkan
waktu dulu saat masih mengaji bersama. Terutama jika aku kembali
ditugaskan di sekitar Kecamatan Andong.
Kian kami berinteraksi, kian hari pula benih-benih rasa suka
bermekaran antara aku dengan Sri. Hubungan asmara yang semakin matang
mengantarkanku untuk menemui keluarga Sri. Kubulatkan tekadku untuk
melamar putri kesayangan mereka. Syukurnya, niat baikku pun berbuah
keridaan dari kedua orang tua Sri.
Pada 12 Desember 1980, aku dan Sri akhirnya resmi menjadi
sepasang suami dan istri. Baginya, pernikahan kami merupakan kado ulang
tahun terindah karena memang bersamaan dengan hari kelahirannya.
Sementara bagiku, hari itu telah menjadi hari yang amat berkesan dalam
hidupku.
Enam tahun silam aku mendapat pukulan terberat dalam hidup.
Akan tetapi, dimulai dari sana pula Tuhan seolah membukakan pintu-pintu
kemudahan bagiku. Hingga akhirnya pada hari pernikahanku, aku tersadar
kalau semua yang sempat hilang di hidupku telah digantikan dengan hal-
hal yang baru dan lebih baik.
Dari pernikahanku dengan Sri, kami dikarunia tiga anak laki-laki.
Si Sulung kami beri nama Deni Ardian, sementara yang tengah bernama
Anang Widiyanto, dan Si Bungsu kami namai Wahyu Trinindito.
Kami hidup berkeluarga layaknya mengendarai kendaraan
bermotor. Sesekali menghadapi tanjakan yang terjal, tak jarang menuruni
jalan yang curam, dan seringkali terpeleset di tengah jalan. Biar begitu,
perjalanan panjang mesti dilewati dengan semangat bahu-membahu dan
saling melengkapi.
JER BASUKI MAWA BEYA | 68

Memang, keluargaku masih jauh dari kata sempurna. Apalagi


jika harus mengikuti standar keluarga lain. Akan tetapi, kebahagiaan dan
kesejahteraan adalah hal yang paling pantas untuk dikejar sehingga rasa
bersyukur merupakan hal paling penting yang aku pupuk dalam diriku,
juga kepada anggota keluarga yang lain. Mungkin bekal itu satu-satunya
yang membuat kami merasa dekat dengan perwujudan rasa bahagia dan
sejahtera.
Adakalanya aku berpikir jauh tentang hidupku sebelum ini. Tentang
tahun-tahun yang pernah aku lalui sejak masih kanak-kanak, remaja,
dewasa hingga kini menjelang usia senja. Boleh saja aku merasa kalah dan
terpuruk setelah peristiwa-peristiwa kejatuhan di masa lalu. Tapi, untuk
apa? Dan mengapa harus seperti itu?
Kekalahan harus dibayar dengan kemenangan. Kejatuhan harus
diimbangi dengan kebangkitan. Jika aku menyerah sehingga harus berhenti
di tengah jalan, bukankah hidupku akan berakhir sia-sia?
Mungkin, pencapaianku selama ini merupakan buah dari air
mata dan usaha yang kucurahkan setiap waktu. Termasuk pertemuanku
dengan orang-orang baik yang telah berbesar hati untuk mau selalu hadir
dan mendorongku dari belakang. Karena itu, sampai saat ini dan nanti,
kupegang teguh kepercayaan bahwa hidup merupakan perjuangan tanpa
henti.

*Sampai tulisan ini diterbitkan, Djaelani tinggal di rumahnya yang ada di salah
satu sudut Kota Semarang. Jika ada peringatan Hari Bhakti Transmigrasi di kantor
transmigrasi pusat maupun kantor transmigrasi wilayah mana pun, tak jarang ia
masih diundang sebagai narasumber di acara tersebut. Kini, setelah pensiun, selain
mengurus keluarga, beliau banyak menyibukkan diri dengan aktivitas merawat
beberapa burung hias dan burung kicau peliharaannya. Djaelani juga gemar bercocok
tanam karena di area teras rumahnya yang asri berjajar beberapa koleksi bonsai dan
tanaman hias lainnya.
69 | JER BASUKI MAWA BEYA

Djaelani tampak mengisi kesehariannya dengan rutinitas merawat burung hias peliharaannya dan
sesekali bercengkrama dengan kerabat lama (Foto: Pribadi).
JER BASUKI MAWA BEYA | 70

kekalahan harus dibayar dengan kemenangan. kejatuhan


harus diimbangi dengan kebangkitan. jika aku menyerah
sehingga harus berhenti di tengah jalan, bukankah
hidupku akan berakhir sia-sia?
71 | JER BASUKI MAWA BEYA

Senandung Syukur di Atas Bumi,


di Kolong Langit
Kisah Pengalaman Transmigrasi Suyanto

Siang itu, pijar matahari terasa lebih panas turun sampai di bumi.
Di salah satu gang di sudut kota Semarang, seorang pria paruh baya tampak
sudah siap menyambut sejak lama. Tubuhnya terlihat mungil, kulitnya
berwarna agak gelap, namun langkahnya tegak dan cepat.
“Mari, itu rumah saya”, dia mengacungkan ibu jarinya ke arah
rumah deretan ketiga di sebelah kiri dari pojok.
Begitu sampai di rumahnya yang berwarna biru langit, ia segera
mempersilakan masuk, “Monggo, masuk, Mas, Pak...”
Di dalam rumah sudah tergelar alas tikar yang berukuran kira-kira
2x2 meter persegi. Di atas tikar tersebut telah ada beberapa hidangan camilan
seperti gorengan, buah, dan beberapa jajanan khas daerah setempat.
“Walah, tak kira, njenengan sampai di sininya habis zuhur. Kopinya
itu nunggu njenangan sampai jadi dingin, lho,” ia membuka obrolan dengan
sedikit guyonan.
Memang pas rasanya jika siang itu menghabiskan waktu dengan
menikmati kopi panas dan beberapa camilan. Sebenarnya, lebih pas lagi
mungkin jika dengan minuman dingin yang ada rasa-rasanya. Tapi, ya,
sudahlah. Selama kerongkongan tidak kering, beres urusan.
Setelah saling berbasa-basi dan ngobrol ngalor-ngidul, Suyanto
akhirnya mulai masuk ke pembicaraan inti. Dia mulai bercerita kalau
dirinya merupakan salah satu peserta transmigrasi pada 11 Maret 1974
yang masih hidup.
JER BASUKI MAWA BEYA | 72

Pada tahun itu, ia bersama dengan kedua orang tuanya yang


bernama Ibu Suyati dan Bapak Pardi, beserta empat orang adiknya, menjadi
peserta transmigrasi. Kalau tidak salah, menurutnya peserta transmigrasi
yang memboyong serta anggota keluarganya di Desa Tangkil, Kelurahan
Kedungdowo, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali, hanyalah
keluarganya saja.

Suyanto salah satu narasumber dalam buku “Jer Basuki Mawa Beya,
Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” di rumahnya (Foto: Pribadi).

Ia masih ingat, ketika itu bapaknya sempat mengatakan alasan


beliau memboyong keluarga mereka untuk ikut program transmigrasi
yang diadakan oleh Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
“Kita ikut transmigrasi biar bisa pindah dari sini. Soale sawah kita
cuma sak cuil.55 Pengairannya kadang ada, kadang ndak ada. Tapi seringnya
ndak ada. Jadi susah mau nandur tanaman biar subur”, kenang Suyanto
sambil menirukan ucapan almarhum bapaknya.
Menurut Suyanto, letak geografis Desa Tangkil yang ia ingat berada
di area dataran tinggi. Seharusnya hal itu memungkinkan desanya lebih
sejuk dan mudah mendapatkan sumber pengairan untuk persawahan.
Kenyataannya, desanya waktu itu terlihat lebih gersang jika dibandingkan
56
Sedikit sekali
73 | JER BASUKI MAWA BEYA

dengan desa-desa lain, padahal masih sama-sama berada di Kelurahan


Kedungdowo, Kecamatan Andong.
“Yang saya ingat, sih, di situ memang daerahnya gersang. Beda
kalau dibandingkan dengan kampung-kampung sebelah yang banyak
pepohonan rindang,” tutur Suyanto berusaha menggambarkan kondisi
desanya dulu.

(Foto area Desa Tangkil, Kelurahan Kedungdowo, Kecamatan Andong,


Kabupaten Boyolali. Syukur-syukur dapet beberapa foto jadul buat dijadiin
kolase foto)

Gapura menuju wilayah Kelurahan Kedungdowo, Kecamatan Andong,


Kabupaten Boyolali (Foto: Pribadi).

Pada saat itu, orang tuanya juga sempat dijanjikan oleh Kantor
Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah akan diberikan jatah tanah
yang kemungkinan kalau dihitung-hitung lebih luas dari kepunyaan
mereka. Jatah tanah tersebut nantinya boleh dijadikan tempat tinggal dan
lahan pertanian atau usaha lainnya yang dapat mendatangkan penghasilan
bagi keluarganya.
Iming-iming tersebut dianggap cukup adil, bahkan kelewat adil
oleh kedua orang tua Suyanto. Iming-iming tersebut akhirnya memotivasi
kedua orang tuanya untuk berpartisipasi dalam program transmigrasi.
JER BASUKI MAWA BEYA | 74

Jika merunut pada penjelasan di atas, kemungkinan besar jenis


transmigrasi yang dilakukan oleh Suyanto bersama keluarganya termasuk
ke dalam program transmigrasi umum yang penyelenggaraannya
disebabkan karena faktor pendorong dari daerah asal. Misalnya, sulitnya
menemukan lapangan pekerjaan, kekurangan sumber daya alam, lahan
pertanian semakin sedikit, atau semakin padatnya penduduk.
Ketua RT yang sejak tadi hadir pun ikut bercerita, “Dulu kan
saya pernah bekerja di kantor Gubernur, jadi sempat ikut terlibat juga
untuk urusan transmigrasi. Memang, sekitar tahun 1973 - 1974 program
transmigrasi sering dilakukan karena pemerintah pusatnya, kan, sedang
gencar-gencarnya melakukan pembangunan. Ya, bisa jadi transmigrasi
itu hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat supaya
daerah-daerah yang kurang terjamah di Indonesia itu terisi. Kalau sudah
ada yang tinggal di daerah itu, mau-nggak mau warganya, kan, ikut
membangun fasilitas umum seperti jalan, masjid, atau yang lainnya, untuk
kepentingan bersama juga”.
Program transmigrasi umum sendiri diselenggarakan oleh
pemerintahsesuai Peraturan Pemerintah agar populasi masyarakat
di seluruh wilayah Indonesia dapat tersebar dengan rata. Di sisi lain,
pemberdayaan, penyediaan ruang, proses perpindahan, sampai dengan
sangu di masa-masa awal perpindahan akan menjadi tanggung jawab
pemerintah sehingga hal ini seharusnya sesuai dengan harapan kedua
belah pihak. Pemerintah mengharapkan populasi masyarakat dan
pembangunan daerah dapat merata, sementara para transmigran berharap
akan meningkatnya kesejahteraan hidup mereka.

Keberangkatan Rombongan Transmigran

Udara panas yang menyiksa di luar rasanya sangat mampu


memukul pemalas mana pun untuk mundur dan berdiam di rumah. Entah
untuk tidur siang atau sekadar menghabiskan waktu dengan aplikasi-
aplikasi hiburan yang ada di ponsel. Namun, hal itu tampaknya kurang
ampuh bagi beberapa anak kecil yang tetap riang bermain kejar-kejaran
sambil mengendarai sepeda.
75 | JER BASUKI MAWA BEYA

Sementara di dalam rumahnya, Suyanto masih melanjutkan


perjalanan hidupnya. Ia sempat meminta izin untuk membakar rokoknya
sambil mempersilakan—untuk kesekian kalinya—agar hidangan yang
telah ia siapkan dinikmati.
“Waktu itu, saya masih kelas 3 SD. Pulang dari sekolah, saya lihat
kedua orang tua saya sudah mengemas-ngemasi barang-barang yang ada
di rumah”, kenang Suyanto.
Dulu, hanya barang-barang penting dan pakaian saja yang bisa
dibawa keluarganya. Beberapa perabotan rumah tangga sudah dibagikan
ke saudara atau tetangga. Sisanya, yang terlihat masih bagus dan punya
nilai lebih kemudian dijual sebagai tambah-tambahan bekal sangu.
Pada 11 Maret 1974, menjelang sore hari, sebuah mini bus sudah
siap menjemput keluarga Suyanto. Bus itu kemudian mengantarkan
keluarganya hingga sampai di kawasan Gladak, Kota Solo.
“Jadi, waktu itu Kepala Kandepnya Pak Harno. Beliau menyuruh
supaya semua calon transmigran dikumpulkan jadi satu di Gladak,
Solo. Nantinya, bakal ada upacara pelepasan dulu dari Kepala Kantor
Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah di sana. Setelah itu, baru
berangkat ramai-ramai menggunakan bus Dwi Warna ke lokasi tujuan
transmigrasi”, tutur Suyanto.
Setelah upacara pelepasan, Suyanto dan keluarganya dikelompokkan
bersama dengan para transmigran lain hingga menjadi enam kelompok.
Selesai pembagian kelompok, Suyanto kebagian satu bus bersama 66
transmigran lain yang masih sama-sama berasal dari Kecamatan Andong.
Bus mulai bertolak dari Solo ketika hari sudah sore. Suyanto
dan kedua adiknya duduk di kursinya masing-masing, sementara kedua
adiknya lagi dipangku oleh kedua orang tuanya. Ia sempat membuka
jendela bus lebar-lebar agar bisa merasakan angin yang masuk serta melihat
pemandangan di luar lebih jelas. Namun, bapaknya segera menutupnya.
Jendela tersebut hanya dibiarkan terbuka sedikit oleh bapaknya
agar angin dari luar masih bisa masuk. Alasannya tiada lain karena keusilan
Suyanto dan adik-adiknya yang mengeluarkan tangan sambil bercanda.
Hal itulah yang membuat bapaknya khawatir kalau-kalau tangan Suyanto
atau adiknya bisa saja tersambar kendaraan lain.
JER BASUKI MAWA BEYA | 76

Perjalanan itu sebenarnya cukup menggembirakan bagi Suyanto


dan adik-adiknya karena mereka belum pernah naik bus yang seperti itu.
Kalau pun pernah naik bus, itu yang berukuran tanggung, yaitu bus tiga
perempat. Kursinya terlalu dempet dan keras sehingga amat menyiksa
pantat dan dengkul jika duduk terlalu lama. Terlebih, pada saat melintasi
jalanan desa yang biasanya hancur, penuh lubang, dan banyak polisi tidur
yang dibuat dari kayu balok.
Berbeda dengan bus tiga perempat, bus yang sedang dinaiki saat ini
memiliki kursi yang empuk dan lebih nyaman. Namun, perjalan yang amat
jauh lama-kelamaan membuatnya merasa bosan dan kelelahan. Akhirnya,
ketika hari sudah gelap, Suyanto bersama adik-adiknya tertidur pulas.
Sementara Suyanto dan beberapa penumpang lainnya tertidur,
bus bertuliskan “Dwi Warna” itu tetap melaju di atas jalan raya Pantura.
Memasuki Kabupaten Indramayu, hujan turun sehingga membuat jalanan
menjadi basah dan agak licin.
Pada saat ingin menyeberangi Kali Sewo, jembatan yang biasa
digunakan rusak. Bus terpaksa harus menyeberangi sungai itu menggunakan
jembatan darurat yang disusun dari kayu balok. Selanjutnya, dimulai dari
sini lah peristiwa nahas itu terjadi...
“Saya ndak tahu waktu itu ketiduran pas sampai di mana. Saya
benar-benar ndak sadarkan diri waktu bus yang saya tumpangi tiba-tiba
kecelakaan. Pokoknya, begitu melek, saya sudah ada di pinggir jalan sambil
digendong”, ucap Suyanto.
Pandangannya semula samar-samar karena terhalang kerumunan
orang dewasa di lokasi itu. Namun sesaat kemudian, terlihat kalau bus yang
ia dan keluarganya tumpangi sudah terperosok di sungai Kali Sewo.
“Waktu itu, ya, kaget. Saya nangis sambil manggil-manggil orang
tua saya. Yang gendong juga ikutan kaget. Dia kan tahunya saya ndak sadar.
Lha, mendadak saya bangun, terus nangis kejer. Semua yang ada di situ
berusaha menenangkan saya. Tapi namanya anak kecil, jauh dari orang
tuanya, ya, tetap saja kejer. Apalagi yang gendong ndak dikenal waktu itu,
ya, makin kejer”, kenang Suyanto sambil terkekeh.
77 | JER BASUKI MAWA BEYA

Foto Jembatan Kali Sewo yang berada di perbatasan antara Kabupaten Indramayu dengan
Kabupaten Subang. Pada siang hari ramai dengan pengemis yang menunggu di pinggir jalan
dengan sapu sebagai alat untuk memungut uang yang biasanya dilemparkan oleh penumpang
bus atau pengendara mobil dan motor pribadi (Foto: Pribadi).
JER BASUKI MAWA BEYA | 78

Selang beberapa saat, dia dan korban lain yang selamat diamankan
di kantor polisi terdekat. Dari situ, Suyanto lalu diantar ke rumah sakit
di Indramayu. Di sana, dia hanya mendapat penanganan ringan karena
lukanya yang ada di tangan dan siku memang tidak terlalu parah. Berbeda
dengan Djaelani, korban selamat lainnya yang mengalami luka cukup
serius.
Suyanto berada di rumah sakit bersama Djaelani selama dua puluh
hari. Selama itu pula, beberapa wartawan datang untuk mewawancarainya.
Mereka semua ingin mengetahui bagaimana kronologi kejadian yang
menimpanya. Akan tetapi, Suyanto kecil hanya bisa menjelaskan sambil
terbata-bata dan informasi yang disampaikan pun serba terbatas.

Hidup Masih Terus Berlajut...

Tepat di hari kedua puluh, Bapak Margono Hadikusumo yang


waktu itu masih menjabat sebagai Kepala Kantor Transmigrasi Wilayah
Provinsi Jawa Tengah datang menjemput bersama beberapa stafnya. Dia
dan Djaelani kemudian dibawa pulang ke Semarang. Sejak saat itu, Suyanto
pun tinggal dan diasuh oleh keluarga Bapak Margono.
Beberapa hari setelahnya, Suyanto didaftarkan di SD Islam Pangeran
Diponogoro. Dia melanjutkan pendidikannya dari kelas tiga sampai kelas
enam. Lulus dari kursi sekolah dasar, Suyanto melanjutkan pendidikannya
di SMP LPI Semarang. Tak bertahan lama, Suyanto pindah sekolah ke SMP
Tugu Soeharto yang ada di kawasan Sampangan, Kota Semarang.
Lokasi sekolahnya yang baru kebetulan dekat dengan rumah milik
salah satu bawahan Bapak Margono. Beliau bernama Bapak Radjiman yang
kala itu menjabat sebagai Kepala Bidang Transmigrasi Swakarsa. Akhirnya,
menghitung jarak ke sekolah yang lebih dekat, Suyanto pun dititipkan oleh
Bapak Margono kepada Bapak Radjiman agar diperbolehkan tinggal di
rumahnya.
Suyanto tinggal bersama dengan keluarga Bapak Radjiman hingga
menyelesaikan pendidikannya waktu itu. Akan tetapi, dia tidak lantas
melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Suyanto muda malah menjajal
79 | JER BASUKI MAWA BEYA

pengalaman menjadi sopir angkutan umum. Hingga beberapa waktu


kemudian, ada salah satu staf Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa
Tengah yang mengenalinya dan menegurnya ketika sedang ‘mangkal’ di
terminal.
“Waktu itu, ada pegawai Dinas Transmigrasi yang menangi56 pas
saya mangkal di terminal. Dia tanya kenapa saya ndak sekolah, malah narik
angkot? Ya, saya cuma bisa mesam-mesem karena ndak tahu mesti jawab apa.
Mungkin, setelah itu dia lapor ke Bapak Margono. Soalnya, besoknya saya
langsung disuruh menghadap Bapak”, tutur Suyanto.
Waktu menghadap Bapak Margono di rumahnya, beliau
menanyakan apa yang menjadi alasan Suyanto memilih menjadi sopir
angkutan umum. Takut-takut, akhirnya dia menjawab karena iseng. Akan
tetapi, yang awalnya iseng, akhirnya keterusan saat menghasilkan uang.
“Sekarang kowe pilih, mau jadi sopir angkot opo kerja di kantor
transmigrasi? Orak usah dijawab buru-buru. Kowe pikir-pikir saja dulu.
Nanti, kalau sudah punya jawaban yang yakin, baru datang lagi temui saya,”
Suyanto menirukan ucapan mendiang Bapak Margono waktu akhirnya
memberikan pilihan kepadanya.
Sebenarnya, tak perlu waktu lama bagi Suyanto untuk menjawab
pertanyaan Bapak Margono. Namun masalahnya, pembawaan beliau yang
tegas membuat nyali Suyanto ciut. Dia pun akhirnya sengaja menunggu
keesokan harinya untuk menemui Bapak Margono. Yang dia takutkan
waktu itu, jika langsung memberi jawaban, nanti dipandangnya seolah-
olah dia tidak memiliki pendirian atau tambah ditegur karena terlalu buru-
buru memutuskan. Intinya, Suyanto tidak mau kalau dirinya makin terlihat
konyol.
Pada hari selanjutnya, Suyanto datang lagi menghadap Bapak
Margono. Kali ini, dia sampaikan jawabannya kepada beliau. Dia
rela berhenti menjadi sopir angkot asal dijadikan pegawai di Kantor
Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Mendengar jawaban Suyanto, Bapak Margono pun setuju untuk
menjadikannya pegawai honorer di kantornya. Beliau memerintahkannya
masuk kantor mulai awal bulan depan, lalu mengingatkan supaya Suyanto
datang lebih pagi daripada pegawai lain.
57
Mengenali
JER BASUKI MAWA BEYA | 80

Setelah ia mulai masuk kantor, Suyanto sempat ditegur oleh Kepala


Bagian Personalia karena belum memasukkan surat lamaran dan membuat
surat perjanjian kerja. Padahal, sudah lebih dari seminggu ia bekerja
layaknya pegawai harian di sana.
“Yan, kamu di sini sebenarnya mau bekerja atau bagaimana,
sih?” tegur Bapak Harsono yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bagian
Personalia.
“Ya, kerja, Pak. Dari kemarin, kan, aku juga yang ikut ngerewangi57
kerjaan Bapak, tho?” jawab Suyanto.
“Kalau kamu mau kerja di sini, Yan, ikuti aturan kantor ini juga.
Memangnya, kamu sudah ngasih surat lamaran kerja. Terus, kamu sudah
buat surat perjanjian kerja?”
“Ya, belum semuanya, Pak. Tempo hari, kan, aku taunya cuma
disuruh Bapak Margono kerja di kantor. Yowis, kulo manut.58 ”
“Ya sudah, sekarang kamu bikin, terus lapor ke saya secepatnya,”
akhirnya Bapak Harsono memerintahkannya seperti itu.
Suyanto segera melaksanakan semua tugas itu dengan bantuan Ibu Hermin
yang menjadi salah satu pegawai di bagian personalia. Beberapa minggu
setelahnya, dia pun resmi diangkat menjadi pegawai honorer.

Segalanya Patut Diperjuangkan dan Disyukuri

Lima tahun lamanya Suyanto menjadi pegawai honorer,


membuatnya banyak mendapatkan pekerjaan. Dia sering ditugaskan untuk
membantu menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantor bagian yang
berbeda-beda.
Memang, tugas yang sering diterimanya bukan kategori pekerjaan
yang rumit. Akan tetapi, sekalinya ada tugas baru yang dirasanya berat
atau membuatnya pusing, ia tetap menjalankannya sampai selesai.
Meski harus membuatnya kelabakan karena harus bertanya dan mencari
informasi kepada pegawai-pegawai lain yang lebih berpengalaman untuk
membantunya.
58
Membantu .
59
Ya sudah, aku menurut
81 | JER BASUKI MAWA BEYA

Di saat baru-barunya Suyanto diangkat menjadi pegawai honorer,


tak jarang ia mendapat teguran. Baik secara halus, terang-terangan, dan
sangat keras. Akan tetapi, hal itu lama-kelamaan malah memacunya
untuk bekerja lebih baik. Maka di saat yang bersamaan, wawasannya
tentang lingkup ketransmigrasian pun semakin banyak bertambah.
Baginya saat itu, manusia memang seringkali berada di posisi bawah
dan penuh dengan tekanan. Akan tetapi ia percaya Tuhan memberinya akal
dan tenaga yang besar agar bisa menyelesaikan masalah yang juga besar. Ia
pun tahu, ketika seseorang memilih berhenti berjuang, artinya orang itu
sudah pasrah pada kematian. Maka dengan begitu, menyerah bukanlah
sebuah akhir baginya. Ya, hidup adalah soal berjuang dan bersyukur.
Menjelang 1984 – 1985, Suyanto diangkat menjadi Calon Pegawai
(Capeg). Lalu pada 1986, dia akhirnya resmi diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil di Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Sementara Kepala Kantor Wilayah silih berganti, pekerjaan-pekerjaan
baru pun kembali dipikulnya.
Sebagai staf umum, Suyanto sering diikutsertakan untuk membantu
menyelesaikan tugas-tugas di lapangan. Terkadang, ia ikut menyeleksi
calon peserta transmigrasi. Dia dituntut untuk cermat dan cepat dalam
menyelesaikan perkerjaan tersebut.
Tak ada kata kompromi bagi calon peserta yang memang tidak
memenuhi syarat. Seperti halnya wanita hamil, seorang yang sedang ada
sangkutan utang dengan bank, atau ada indikasi pecandu narkoba. Hal
tersebut dikhawatirkan akan menjadi masalah kedepannya bagi Dinas
Transmigrasi, terlebih para transmigrannya sendiri. Oleh sebab itu, saat
proses seleksi Suyanto mau-tak mau mesti tegas mengambil keputusan.
Berbeda dengan tugas penyeleksi, saat Suyanto ditugaskan dalam
ekspedisi penjajakan, ia dituntut luwes, cermat, sekaligus visioner. Pada
saat itu, ia harus mampu melihat gambaran besar serta mempertimbangkan
potensi baik dan buruknya suatu daerah yang nantinya akan dijadikan
sebagai lokasi transmigrasi. Perhitungan yang meleset sedikit saja bisa
menimbulkan risiko besar bagi para transmigran nantinya.
Tugas lapangan lain yang juga sering diberikan kepada Suyanto
yaitu menjadi pengawal transmigran. Jika dibandingkan dengan tugas
lainnya, yang terakhir ini adalah yang paling sering dijalaninya. Baginya,
JER BASUKI MAWA BEYA | 82

menjadi pengawal transmigran merupakan pekerjaan yang memiliki kesan


tersendiri.
Suyanto memiliki segudang cerita yang menarik saat dirinya
mengawal para transmigran dari kota asal hingga tiba di lokasi tujuan.
Cerita mengenai pergolakan batin yang dialami para transmigran saat akan
meninggalkan tanah kelahiran. Cerita tentang bagaimana akhirnya mereka
termotivasi untuk ikut program transmigrasi. Cerita soal hambatan dan
kejadian yang tak terduga selama perjalanan. Juga cerita tentang penerimaan
para transmigran untuk tetap bisa melanjutkan hidup di tempat tinggal
mereka yang baru.
Menurut Suyanto, ketika semua cerita dan pengalamannya itu
dijalin menjadi satu, akhirnya ia menemukan suatu benang merah.
“Namanya orang hidup, pasti bakal kehilangan sesuatu yang
berharga, juga bakal menemukan sesuatu yang bisa jadi lebih berharga.
Akhirnya, balik lagi ke soal bagaimana kita bisa ikhlas, ikhtiar, dan paling
pentingnya bersyukur”, ucapnya dengan suara yang dalam.

Foto Suyanto saat diwawancarai oleh tim penyusun buku “Jer Basuki Mawa Beya,
Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” di rumahnya (Foto: Pribadi).
83 | JER BASUKI MAWA BEYA

“Semuanya kan tahu, dulu saya pernah kehilangan semua yang


berharga di hidup saya. Tapi, ya sudah, mau bagaimana lagi? Memang
sih, nggak langsung menerima. Lha, saya akhirnya bisa ikhlas juga butuh
waktu yang lama, kok”, ucapnya sambil menyeruput kopi yang sudah agak
dingin. “Selama belum ikhlas itu, saya pikir hidup saya tuh kayak orang
yang paling nelangsa di planet bumi. Tapi begitu saya pasrahkan semuanya
ke Pangeran, perasaan jadi lebih ces pleng. Beban pikiran yang dulu-dulu
kayak jadi lebih ringan. Dan ‘ndilalah, habis itu rejeki datang kayak lewat
jalan tol... wush... wush... cepat sekali dan terus-terusan. Sejak itu, saya pun
jadi lebih banyak bersyukur dan mawas diri.”
Jika diperhatikan lebih dekat, raut wajah Suyanto memang tampak
seperti orang yang suka merengut dan kurang bahagia. Tapi coba saja ajak
dia bercengkrama lima sampai sepuluh menit, maka baru ketahuan kalau
dia adalah orang yang amat ramah dan cukup ndagel59. Dialeknya yang
khas Jawa ditambah beberapa guyonan yang sering ia selipkan, sangat
menyegarkan suasana obrolan siang itu.
Seperti sosok Suyanto yang awalnya terlihat serius tapi ternyata
sangat menyenangkan saat mengenalnya, begitu pun dengan hidup. Segala
sesuatunya sangatlah misterius. Banyak hal yang terjadi tanpa pernah
kita bayangkan. Sebagian besarnya bahkan tidak mampu digapai dengan
nalar. Maka dengan begitu, perlu disadari kalau kita memang makhluk
ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi, tetapi bukan yang paling
sempurna.
Banyak batasan-batasan yang nyatanya tak akan bisa kita lampaui
di alam semesta ini. Seberapa besar usaha kita untuk menggapai hal itu,
tetap tak akan terjadi jika tidak mendapat rida-Nya. Karena itu, pandangan
Suyanto tentang hidup ini boleh jadi cukup bijak jika digali: “Hidup itu soal
berjuang dan bersyukur”.
Kalah maupun menang, berhasil ataupun gagal, itu semua memang
sudah ketentuan Sang Pencipta. Toh, bisa saja Tuhan menggagalkan
rencana kita hari ini sebelum rencana itu merusak rencana-rencana yang
lebih besar dan lebih baik di kemudian hari. Karena itu, sudah sejauh
mana kita berjuang hari ini? Dan, sudah berapa banyak kita bersyukur atas
nikmat yang kita terima sampai detik ini?

60
Humoris atau lucu
JER BASUKI MAWA BEYA | 84

Foto tim penyusun buku “Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif
Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” sesaat sebelum berpamitan
dengan Suyanto dan keluarganya (Foto: Pribadi).

*Suyanto pensiun dari tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Transmigrasi
Wilayah Provinsi Jawa Tengah pada pertengahan 2019. Sekarang, ia tinggal di Kota
Semarang bersama anak laki-lakinya dan menantunya. Sehari-hari, ia turut dihibur
dengan keberadaan satu cucu perempuan dan satunya lagi cucu laki-laki.
85 | JER BASUKI MAWA BEYA

Hari Esok Adalah


Dunia Penuh Harapan
Kisah Pengalaman Transmigrasi Slamet

Sepintas, tidak ada yang istimewa dari Desa Kagungan Ratu Agung
yang terletak di Kecamatan Tulang Bawang Udik, Lampung. Padahal bagi
Slamet, di sinilah sejarah transmigrasi keluarganya dimulai.
Pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dipimpin
oleh Presiden Soeharto, ketika itu program transmigrasi memang sedang
gencar dilakukan. Melalui Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa
Tengah, tepatnya pada 11 Maret 1974, diberangkatkanlah sekitar 400 orang
transmigran asal Boyolali menuju ke Lampung.
Para transmigran dikirim ke daerah tersebut untuk memenuhi
target pemerataan jumlah penduduk di Pulau Sumatera yang masih
sangat sepi. Program ini juga diadakan dengan tujuan agar masyarakat
yang mengalami kesulitan ekonomi bisa mendapatkan kesempatan untuk
memperbaiki taraf kehidupannya di daerahnya yang baru. Karena itu, para
transmigran, termasuk keluarga Slamet, diberikan jatah tanah seluas dua
hektare sebagai modal hidup oleh pemerintah pusat.
Tanah yang diberikan oleh pemerintah dulu, kini telah dicacah oleh
Slamet. 0,25 hektare dibagun untuk rumah tinggal, 0,75 hektare untuk
ladang, dan satu hektare dijadikan perkebunan karet. Mungkin, itu juga
sebabnya jarak antara rumah Slamet dengan tetangganya berjarak cukup
jauh, sekitar 50 meter.
JER BASUKI MAWA BEYA | 86

Letak tempat tinggal keluarga Slamet sendiri dari Bandar Lampung


memakan waktu tempuh setidaknya hampir satu jam. Sedangkan dari jalan
raya kecamatan yang sudah terbuat dari aspal, masih ada jarak sekitar 400
meter untuk benar-benar sampai di desa tempat Slamet yang jalanannya
masih tanah. Akan tetapi, justru itulah yang membuat desa itu masih
terlihat alami.
Di dalam rumahnya yang langsung menghadap kebun karet
miliknya, Slamet bercerita kalau sebelum transmigrasi, ia tinggal di Desa
Asemrudung, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan.
“Dulu, keluarga saya hidupnya susah di kampung. Benar-benar
miskin waktu itu. Saking miskinnya, kami sampai tidak punya rumah
tinggal sendiri. Kami numpang tinggal di tanah sampir60,” tutur Slamet.

(Foto dokumentasi area desa Desa Asemrudung, Kecamatan Geyer,


Kabupaten Grobokan)

Akses jalan Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan menuju Desa Asemrudung


yang tampak asri dan masih sepi penduduk (Foto: Pribadi).

Pada awal tahun 1974, pihak balai desa tempatnya tinggal


mengumumkan kepada masyarakat kalau akan diadakan program
transmigrasi. Pada hari selanjutnya, orang-orang dari kantor transmigrasi
akhirnya datang. Mereka memberikan penjelasan lebih lanjut tentang
program transmigrasi.

61
Tanah sampir adalah tanah milik desa atau berstatus milik negara yang tidak boleh
diperjualbelikan. Tanah tersebut seringkali digarap oleh masyarakat desa.
87 | JER BASUKI MAWA BEYA

Dari petugas yang menjelaskan detail tentang program transmigrasi,


Slamet mendengar kalau para peserta transmigrasi nantinya akan diberikan
jatah tanah sebanyak dua hektare untuk dijadikan tempat tinggal dan
ladang usaha oleh pemerintah.
Mendengar hal itu, Slamet bergegas pulang untuk membicarakan
perihal keinginannya untuk mengikuti program transmigrasi dengan
istrinya. Awalnya, niatannya itu sempat mendapatkan penolakan dari
istrinya, menimbang kondisi anak pertama mereka yang masih kecil dan
istrinya sendiri pun sedang hamil enam bulan. Akan tetapi, pandangan
mereka mulai berubah setelah sama-sama merenung dan memperhitungkan
kapan nasib baik akan menghampiri jika tetap tinggal di tanah sampir itu.

Menuju Tanah Penuh Perjuangan

Pada 11 Maret 1974, sesuai hari yang dijanjikan, keluarga Slamet


diberangkatkan dari Solo bersama para transmigran yang berasal dari
berbagai kecamatan dan kabupaten di wilayah Jawa Tengah. Mereka naik
ke salah satu bus dari total enam bus yang telah disediakan.
Sebenarnya, jangankan menginjakkan kaki di tanah Lampung,
berada di bus yang membawanya melintasi jalur Pantai Utara hingga
Merak saja sudah merupakan pengalaman yang benar-benar baru bagi
Slamet. Maklum, sejak kecil ia memang hampir tidak pernah berpergian
ke tempat-tempat jauh seperti ke luar kota. Selama perjalanan, Slamet pun
lebih banyak diam sambil menikmati pemandangan daerah-daerah yang
dilintasi oleh busnya.
Perjalanan itu memakan waktu hampir tiga hari lamanya. Jalur
darat dan jalur air yang dilintasi menggunakan bus akhirnya sampai pada
ujungnya. Menjelang sore hari, ia bersama para transmigran lainnya telah
sampai di satu kawasan yang menjadi titik lokasi transmigrasi. Di sana,
Slamet dan para transmigran lainnya dititipkan di rumah-rumah warga
transmigran yang lebih dulu sampai di wilayah tersebut.
Slamet dan yang lainnya menumpang tinggal di rumah-rumah
transmigran tersebut selama beberapa hari hingga petugas transmigrasi
JER BASUKI MAWA BEYA | 88

yang berwenang datang dan membagikan jatah tanah. Area antar milik
satu orang dengan orang lainya hanya diberi penanda batas menggunakan
kayu balok dan bertuliskan nama pemiliknya.
Tak lama setelah itu, ia baru mendengar kabar kalau di antara bus
yang menuju tempatnya sekarang, salah satunya ada yang mengalami
kecelakaan di Indramayu. Pantas saja, yang diingatnya semula rombongan
berjumlah enam bus tapi setibanya di lokasi ini kemarin hanya tersisa lima
bus.
Saat itu, ia tidak tahu berapa jumlah korban yang selamat dan yang
meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut. Ia hanya bisa ikut berduka
karena bagaimana pun mereka sama sepertinya, semula ingin berjuang
untuk memperbaiki taraf hidup. Akan tetapi, Slamet tidak mau berlarut-
larut dengan kejadian itu. Ada lebih banyak hal yang harus ia pikirkan, dan
semuanya itu berada tepat di depan matanya sekarang.
“Waktu saya datang, tempat ini masih hutan belantara. Semua
transmigran, baik yang lebih dulu apalagi yang baru datang, semuanya
saling bergotong royong membabat hutan dari nol. Kami menyiapkan
lahan pertanian dengan dukungan logistik awal dari pemerintah. Tapi
tetap saja, waktu itu perjuangannya tidak mudah dan sangat melelahkan,”
kenang Slamet.

Komplek permukiman transmigrasi di Provinsi Lampung (Foto: Pribadi).


89 | JER BASUKI MAWA BEYA

Menurut pengakuan Slamet, pemerintah memang membekali


pakaian, perabotan rumah tangga, alat bertani, beras, dan mencukupi
kebutuhan makan selama setahun dengan perjanjian setelah itu harus
mandiri. Namun, tanah di kawasan ini tidak subur. Lahan harus diberi
pupuk terlebih dahulu untuk bisa ditanami. Sedangkan untuk mendapatkan
pupuknya saja mereka kebingungan harus beli di mana dan pakai modal
dari mana.
“Untuk bertahan hidup, ya, terpaksa bertanam singkong. Soalnya,
kalau untuk ditanami padi hampir tidak mungkin. Untuk pengairannya
susah. Sebelumnya, saya pernah coba menanam beberapa jenis padi tapi
tetap saja kebanyakan gagalnya. Kalau pun panen, hasilnya tidak setimpal
dibanding kerja keras yang sudah kami keluarkan.”
Untuk menghidupi keluarganya, Slamet tak hanya bertanam
singkong. Ia juga bekerja setengah hari sebagai buruh di perusahaan
perkebunan tebu. Sementara lahan yang semula direncanakan untuk
dijadikan sawah tapi berakhir dengan kegagalan yang berulang, akhirnya
ditanami karet. Hal tersebut dikarenakan karakter tanah yang kurang cocok
untuk tanaman padi, ditambah masalah sulitnya mendapatkan pengairan.
Layaknya nasihat orang tua, “Kehendak Tuhan tidak selalu sama
dengan rencana manusia”. Hal yang sama pun terjadi di kehidupan
Slamet. Pepohonan karet yang semula ditanam sebagai alternatif pengganti
tanaman padi, toh, nyatanya di kemudian hari justru mengubah nasib
Slamet dan keluarganya.
Perkebunan karet pribadi milik Slamet kini memberikan
kesejahteraan bagi dia dan keluarganya. Dari hasil perkebunan karet inilah
ia bisa hidup lebih layak dan berhasil menyekolahkan kelima anaknya.
Singkat kata, hidup Slamet dan keluarganya sudah tidak senelangsa seperti
pada tahun-tahun awal kedatangan mereka di Kagungan Ratu Agung,
Kecamatan Tulang Bawang Udik, Lampung.
Rumahnya yang semula dikelilingi hamparan tanah kosong dan
rumput liar, kini tampak dipenuhi berbagai tanam-tanaman seperti
singkong, cabai, dan beberapa jenis sayuran lainnya. Tidak banyak,
memang hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri
saja. Bahkan, di belakang rumahnya pun terdapat kandang hewan ternak.
Di sana, Slamet memelihara beberapa ekor sapi dan kambing.
JER BASUKI MAWA BEYA | 90

“Memang bukan untuk skala usaha besar-besaran seperti pedagang


di pasar ternak. Cuma untuk dipelihara sendiri saja. Kalau memang lagi
betul-betul butuh uang, ya, baru dijual. Atau, misal ada butuh untuk pesta,
kan, jadi bisa disembelih sendiri. Kotoran dan urinnya juga kadang dipakai
buat pupuk. Banyak tetangga yang juga minta. Lumayan, jadi tidak usah
beli,” jelas Slamet sambil sedikit tertawa.
Slamet mengaku kini hidup sudah berkecukupan, meskipun secara
material untuk sebagian orang dia jauh dari kemewahan. "Saya merasa
semuanya sudah cukup. Yang penting, sekarang bisa hidup tentram
bersama keluarga," ucapnya dengan suara yang dalam.

Kambing yang diternakkan oleh Slamet di belakang rumahnya (Foto: Pribadi).

Hal yang sama diungkapkan oleh salah satu anaknya Slamet, “Kami
tidak terlalu hapal dengan famili yang ada di Jawa. Terlebih, siapa saja
leluhur kami, kami malah tidak tahu". Namun, bukan berarti anak-anak
Slamet tidak peduli dengan asal-usulnya. Hanya saja, mereka mengaku,
enggan pindah ke Jawa karena menjalani hidup di Lampung sudah cukup
memuaskan. Jika harus pulang ke Pulau Jawa, itu berarti mereka harus
memulai hidup dari awal lagi.
Slamet sendiri bertekad menghabiskan sisa hidupnya di desa
Kagungan Ratu Agung. Tidak terlintas sedikit pun dalam pikirannya
untuk kembali ke Pulau Jawa, tempat leluhurnya berasal. "Keluarga dan
91 | JER BASUKI MAWA BEYA

keturunan saya sudah di sini semua, di Jawa sudah nggak ada lagi. Sekarang
tinggal menghabiskan umur sambil merawat cucu. Syukur-syukur nantinya
mereka juga mau merawat saya juga", ujar Slamet.
Dari jauh, tampak wajah Slamet memang sudah dipenuhi garis usia.
Tubuhnya yang mulai renta seolah menandakan kalau dia butuh banyak
istirahat dan meluangkan lebih banyak waktu intim untuk bercengkrama
dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, jika melihat matanya, seolah-olah roda
kehidupan belum lah mau berhenti berputar sebelum napas benar-benar
terhenti.

Slamet bersama istri dan cucunya sedang berfoto dengan tim penyusun buku
“Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses”
di rumahnya (Foto: Pribadi).

Itu sebabnya, Slamet tak mau benar-benar beristirahat dan


menyerah pada keadaan yang sekarang. Ia memang butuh lebih banyak
waktu bersantai sambil bermain dengan cucunya tapi hari esok adalah dunia
yang penuh harapan. Kerja keras masih menjadi tekad demi kehidupan
yang lebih baik buat mereka.
JER BASUKI MAWA BEYA | 92

Slamet sedang berada di kebun karet miliknya (Foto: Pribadi).

*Saat ini, Slamet masih aktif menjalani hari-harinya sebagai petani karet dan singkong
dibantu kelima anaknya yang bernama Suyati, Sukarti, Suwito, Sumardi, dan Sukini.
Dia bertekad untuk menghabiskan usia senjanya di tempat dia bertransmigrasi, Desa
Kagungan Ratu Agung, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Lampung. Tempat yang
menjadi saksi bisu perjuangannya membangun hidup dari titik nol hingga bisa seperti
sekarang.
93 | JER BASUKI MAWA BEYA

Jalan Panjang Menuju


Cita-Cita yang Mulia
Kisah Pengalaman Transmigrasi Mitro

Siang itu, sepanjang perjalanan melintasi jalan raya kecamatan


Tulang Bawang Udik, tampak rumah-rumah transmigran yang berasal dari
berbagai daerah berjajar rapi. Kebanyakan dari mereka pastilah berasal dari
Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Tengah.
Rumah-rumah itu berderet agak renggang. Kebanyakan dipisahkan
oleh kebun atau lahan kosong yang memang tidak ditanami tumbuhan apa
pun. Sebuah pemandangan yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan
kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa, terlebih dengan Ibu Kota. Tembok
antara rumah satu dengan rumah sebelahnya menempel menjadi satu.
Atau, ketika membuka pagar rumah langsung berhadapan dengan pagar
tetangga depan rumah.
Memasuki jalan menuju salah satu desa, jalan yang semula terbuat
dari aspal berganti menjadi jalanan tanah yang agak bergelombang.
Cuaca yang panas dan kering membuat hamparan tanah semakin banyak
menghasilkan debu yang beterbangan ketika ada kendaraan yang melintas
atau angin yang bertiup kencang.
Kurang dari sepuluh menit kemudian, terlihat permukiman warga
setempat yang bangunan luarnya terlihat sama persis antara satu rumah
dengan rumah lainnya. Tampak dinding-dindingnya masih terbuat dari
papan kayu yang dicat berwarna putih. Besar kemungkinan, dulu rumah-
rumah yang ada di desa ini dibangun pada waktu yang bersamaan.
JER BASUKI MAWA BEYA | 94

Di depan salah satu rumah warga setempat, seorang pria yang


usianya mungkin lebih dari 50 tahun tampak sudah menunggu dan siap
menyambut, “Monggo, mlebet mawon61, Pak,” ucapnya ramah.
Terlihat beberapa perabotan rumah dan mebel-mebel yang tergolong
antik. Rasa sumpek dan pegal selama perjalanan, seketika berkurang saat
duduk di kursi tamu yang terletak di salah satu sudut rumah, dekat dengan
televisi berukuran 24 inch.
Tak lama kemudian, nyonya rumah datang dari arah dapur
membawa minuman dan beberapa camilan di satu wadah baki. Tuan
rumah pun segera mempersilakan begitu hidangan mendarat di meja.
Ah... ada perasaan nikmat bercampur segar saat teh manis hangat
yang dihidangkan itu melewati kerongkongan. Sekali lagi, perjalanan yang
sangat jauh ditambah cuaca yang sedang panas-panasnya di daerah yang
berdebu ini, memang sangat mampu menyiksa tenggorokan siapa pun.
Terlebih, jika orang itu keluar dari rumahnya hanya berjalan kaki atau
sambil mengayuh sepeda. Astaga, pastilah semakin luar biasa dahaga yang
datang dan panas yang dirasakan pada ubun-ubun orang itu.

Mitro dan istrinya saat diwawancarai oleh tim penyusun buku


“Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses”
di rumahnya (Foto: Pribadi).

62
“Silakan, masuk dulu, Pak.”
95 | JER BASUKI MAWA BEYA

Setelah cukup lama berbasa-basi sambil sesekali menyeruput


minuman, pria yang kemudian diketahui bernama Mitro itu, menunjuk
ke arah luar rumahnya sambil menjelaskan keadaan, “Jalanan yang di
seberang itu, baru-baru ini adanya. Warga-warga sini juga yang awal-
awalnya membabat, menebas tumbuh-tumbuhan liar yang ada di situ dan
merapikannya. Soalnya dulu, apalagi waktu pertama kami datang, jalanan
itu kan memang hutan yang ditumbuhi semak belukar. Tapi, sampai hari
ini kondisi jalanannya juga masih begitu-begitu saja, masih tanah. Ya,
nunggu pemerintah sini saja lah yang mengaspal. Yang penting, akses jalan
yang bisa dipakai sudah makin banyak di desa, tidak cuma satu saja.”
Mitro bersama keluarganya, dan ratusan transmigran asal Pulau
Jawa membangun Desa Marga Kencana, Kecamatan Tulang Bawang Udik,
Lampung dari nol. Tidak ada jalan yang layak bagi kendaraan, tanpa listrik
tanpa persediaan air bersih.
Begitu terpencilnya wilayah mereka saat itu, demi untuk menonton
televisi saja mereka bahkan harus jalan kaki lebih dari satu kilometer. Hal
yang sama pun terjadi saat ingin membeli kebutuhan rumah tangga atau
keperluan lainnya di pasar, yang jaraknya lebih jauh. Akan tetapi, memang
begitulah perjuangan yang mesti ditempuh setiap transmigran. Perlahan,
seiring berkembangnya zaman dan bertambahnya jumlah penduduk yang
tinggal, semakin bertambah majulah kawasan transmigrasi tersebut.

Pada Kehidupan Sebelumnya

Sebelum bertransmigrasi, Mitro dan keluarganya tinggal di daerah


asal mereka yang bernama Desa Kalimati, Kecamatan Juwangi, Kabupaten
Boyolali. Dulu, dia hidup di bawah garis kemiskinan. Dia dan keluarganya
tinggal di rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk. Bangunan itu pun
berdiri di atas tanah sampir milik salah satu perusahaan milik negara.
“Dulu, kita hidup di hutan. Kalau nggak nyari kayu bakar, ya, nggak
makan. Sawah dan kebun nggak punya”, ucap istrinya Mitro.
Dia bercerita kalau rumahnya saat itu berada di dekat jurang
dan karakter tanahnya keras bercampur dengan bebatuan karang. Oleh
sebab itu, sudah menumpang tapi tetap saja tidak bisa banyak menanam.
Hanya singkong dan jagung yang cocok tumbuh di tanah itu, itu pun hasil
JER BASUKI MAWA BEYA | 96

panennya sedikit. Padahal, kalau lebih banyak lagi, bisa untuk persediaan
makan dalam jangka yang panjang.
Demi menafkahi keluarganya agar tetap bisa bertahan, setiap
harinya Mitro mengumpulkan kayu-kayu kering yang ada di hutan untuk
kemudian dijual sebagai bahan kayu bakar di pasar. Selain itu, ia juga
bekerja sebagai buruh serabutan di beberapa perkebunan. Salah satunya di
perkebunan pohon kelapa.
Di perkebunan tersebut, Mitro bekerja sebagai penyadap pohon
kelapa. Ia memanjat dari satu pohon kelapa ke pohon lainnya untuk
kemudian mengambil air legen atau nira. Hasilnya ia kumpulkan hingga
berliter-liter, baru setelah itu disetorkan kepada pemilik kebun.

Foto ilustrasi orang yang lagi mengambil nira pohon kelapa (Foto: Pribadi).

Pada saat itu, wilayahnya memang cukup dikenal sebagai penghasil


gula Jawa. Maka tak heran jika sebagian laki-laki, khususnya yang tidak
takut ketinggian, bekerja sebagai penyadap dari pagi sampai siang hari.
Setelahnya, nira atau legen yang sudah dikumpulkan akan dimasak oleh
kaum hawa, dari yang semula berwarna putih keruh hingga berubah
97 | JER BASUKI MAWA BEYA

menjadi kecokelatan. Jika sudah begitu, tinggal didinginkan dan kemudian


dicetak satu-per satu menjadi gula jawa yang siap dijual.

Berawal dari Musibah

Menjelang sore hari, Mitro yang polos baru pulang dari hutan
setelah menebang beberapa pohon untuk dijadikan papan dan balok. Dia
bercita-cita ingin mendirikan rumah ibadah karena memang saat itu, di
dekat rumahnya belum ada satupun masjid yang dibangun. Jadi, setiap
ingin ibadah, terutama salat Jumat, dia dan warga sekitar akan berjalan
kaki cukup jauh untuk menuju masjid yang berada di desa lain.
Akibat kepolosannya, Mitro kemudian ditangkap oleh pihak
perusahaan milik negara yang berwenang di tempat itu dan dituduh
mencuri kayu untuk dijual. Dia dibawa ke kantor polisi, lalu dijebloskan
ke dalam penjara selama tujuh bulan lamanya. Yang membuat semakin
sengsara, istrinya pada saat itu baru saja memasuki masa-masa kehamilan.
Hari-hari yang berat dilalui Mitro dan istrinya dengan ketabahan
yang luar biasa. Ia mendekam di sel tahanan yang pengap dan apek,
sementara istrinya hanya bisa menunggu kepulangannya seorang diri di
rumah mereka yang sempit dan berada jauh dari pusat keramaian.
Untuk tetap bisa makan, istri Mitro mau-tak mau tetap
mengumpulkan kayu kering di hutan, lalu menjualnya ke pasar. Berita
suaminya yang masuk penjara cepat menyebar di antara warga sekitar
sehingga selama perjalanan mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar,
seringkali ia mendengar para tetangga membicarakan dirinya. Baik dengan
suara yang berbisik-bisik, maupun dengan suara yang lantang agar ia
merasa malu.
Mendapat perlakuan seperti itu tidak lantas membuat istri
Mitro patah arang. Dia tetap diam dan tidak peduli meski seisi dunia
mencibirnya. Dia memilih untuk tetap berjuang demi jabang bayi yang
sedang dikandungnya dan demi menunggu kepulangan suami tercintanya.
Pada hari yang telah ditentukan, Mitro akhirnya dipulangkan dari
penjara. Istrinya yang sekian lama sudah menanti-nantikan momen ini,
JER BASUKI MAWA BEYA | 98

menyambutnya dengan pelukan yang sangat erat. Sepasang suami dan


istri itu pun tak sanggup berkata apa-apa, hanya bisa sama-sama menangis
haru sambil mengucap syukur. Setelah dirasa cukup melepas rasa rindu,
keduanya pulang sambil menggenggam tangan satu sama lain dengan erat.
Seolah-olah, takut jika sampai mereka harus berpisah lagi.
Setelah hari itu, Mitro kembali menjalani hari-harinya seperti biasa.
Dia dan istrinya berusaha untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi
kepada mereka. Hingga pada suatu ketika, ia mendengar dari teman-
temannya kalau banyak orang-orang dari pulau Jawa yang melakukan
transmigrasi ke pulau-pulau seberang dan akhirnya hidup mereka jauh
lebih berkecukupan di sana.
Pada awal 1973, Mitro bertekad untuk melakukan transmigrasi.
Ia berkeinginan memutuskan rantai kemiskinan yang membelenggu
keluarganya selama ini. Maka pada tahun yang sama, dia melakukan
transmigrasi spontan atau transmigrasi mandiri. Turut serta diajak
keluarganya yang terdiri dari istrinya, dua anaknya, dan kedua orang tua
kandungnya. Sekian tahun selanjutnya, barulah nanti kedua mertuanya
ikut menyusul.

Perjalanan Jauh Demi Hidup yang Baru

Perjalanan transmigrasi keluarga Mitro sangatlah panjang dan


betul-betul melelahkan. Keberangkatan dimulai dari dibawanya mereka ke
kantor kecamatan untuk pendaftaran dan melengkapi dokumen-dokumen
yang dibutuhkan, membuat mereka harus menginap satu malam di sana.
Dari kantor kecamatan, mereka kemudian berangkat menuju ke Solo,
dan kembali menginap semalaman di Kantor Departemen Transmigrasi
Surakarta.
Pada keesokan harinya, keluarga Mitro beserta beberapa transmigran
lainnya yang telah berkumpul, akhirnya diberangkatkan menggunakan bus
yang telah disediakan oleh pihak Departemen Transmigrasi Kota Surakarta.
Selama perjalanan ke lokasi tujuan, mereka pun masih harus beberapa
kali berhenti dan menginap satu malam di Jakarta dan satu malam lagi di
Panjang, salah satu kecamatan yang ada di Kota Bandar Lampung.
99 | JER BASUKI MAWA BEYA

Perjalanan mereka baru benar-benar berakhir setelah sampai di


Desa Mares, yang kini sudah berganti nama menjadi Daya Murni, sekitar
pukul tiga sore.62 Di sana, mereka tidak langsung mendapatkan tempat
tinggal dan lahan. Mereka sementara ditempatkan di rumah warga sesama
transmigran tetapi yang lebih dahulu bermukim di kawasan itu.
“Kalau tidak salah ingat, yang menampung kami itu transmigran
asal Cirebon. Di rumahnya yang berukuran tidak terlalu besar dan
bangunannya hampir seperti rumah ini, kami semua tinggal di situ.
Mungkin sepuluh atau sebelas orang kira-kira. Keluarga saya saja kan,
sudah enam orang,” ucap Mitro sambil berusaha mengingat-ingat.
Selama empat puluh hari menumpang tinggal, selama itu pula
Mitro bekerja serabutan di ladang-ladang milik transmigran yang sudah
terlebih dahulu tinggal. Adapun pengalamannya saat itu, dia diberi upah
singkong atau jagung dari hasil panenannya sendiri di kebun milik orang
lain, dengan perhitungan sistem bagi hasil satu banding tiga. Atau, pada
pekerjaan lain Mitro juga diberi upah satu rupiah atau menggunakan beras
sebanyak satu kilogram per harinya.
Mitro baru diberikan jatah tanahnya oleh pihak Departemen
Transmigrasi di bulan kedua setelah dia tinggal di Mares. Ia mendapatkan
tanah seluas dua hektare di Desa Marga Kencana, Kecamatan Tulang
Bawang Udik. Sesuai instruksi, Mitro kemudian membagi 0,25 hektare
untuk dijadikan tempat tinggal, 0,75 hektare untuk ladang, dan satu hektare
sisanya untuk dijadikan sawah.
Meski sudah memiliki tanahnya sendiri, Mitro masih harus tetap
bekerja di ladang dan swah milik orang lain karena miliknya sendiri masih
belum bisa digarap waktu itu. Sementara upah yang di dapatkan Mitro
setiap harinya, itu pun hanya bisa dipakai untuk menutupi kebutuhan
makan keluarganya secara pas-pasan.
Perbekalan yang dibawa keluarganya dari Pulau Jawa pun dirasa
tidak akan cukup untuk menambal kebutuhan mereka dalam jangka waktu
yang lebih lama. Beruntungnya, bantuan pemerintah semula mengalami
keterlambatan akhirnya sampai dan bisa diterimanya pada bulan ke
delapan.

63
Desa tersebut masuk di wilayah Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Provinsi
Lampung.
JER BASUKI MAWA BEYA | 100

Perjuangan Mitro dan keluarganya bak kisah pewayangan yang


pernah dia saksikan pada saat ada kenduri atau acara besar di desa asalnya
dulu. Di dalam kisah tersebut, digambarkan seseorang harus bertahan dari
ujian hidup yang amat berat dan menanggung derita yang panjang, demi
menempuh jalan yang mulia hingga akhirnya kemenangan jadi milik tokoh
yang tabah, tulus, serta sabar.

Semuanya Membaik, dan Semoga Terus Membaik

Mitro dan ratusan transmigran asal Pulau Jawa sejauh ini bisa
dikatakan, telah membangun desanya dari titik nol. Wilayah itu yang
semula hanya hamparan hutan belantara, tanpa jalan, tanpa listrik, dan
tanpa aliran air bersih. Kini, hampir setengah abad berlalu, kawasan
tempat tinggalnya itu sudah ramai penduduk. Sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan masa-masa awal kedatangannya.
Menurut catatan yang ada, Presiden Soeharto masih terus
menggenjot upaya transmigrasi hingga masa akhir jabatannya. Pada 1984
saja, sudah ada kurang lebih 2,5 juta penduduk yang menjadi transmigran.
Lampung adalah salah satu provinsi tujuan utamanya saat itu.
Kemajuan pesat yang terjadi di Kota Lampung hingga ke desa
dibarengi dengan perubahan nasib Mitro. Meski tidak berdampak besar
tapi tetap saja bergerak perlahan. Dia yang semula hanya bisa makan hasil
bumi yang diterimanya sebagai upah panenannya di ladang orang lain,
akhirnya bisa mulai mandiri.
Seiring berjalannya waktu, ladang miliknya sendiri pun mulai
dipenuhi tanaman singkong dan jagung yang sudah bisa dipanen. Bahkan,
kini dia sudah bisa makan nasi hasil panenan padi yang ditanam di
sawahnya sendiri.
“Namanya bukan orang tani asli, belajar dulu lah kita dari petani
yang betul-betul turun dan mencangkul di sawah, bukan di lahan darat,”
ucap Mitro bercerita.
Lahan yang semula dipenuhi semak belukar dan tumbuhan-
tumbuhan lainnya, digarapnya selama kurang lebih 1,5 tahun. Selama itu,
101 | JER BASUKI MAWA BEYA

ia mencangkul, membuat jalur pengairan, dan mempersiapkan segala tetek


bengeknya hingga akhirnya bisa benar-benar ditanami padi.
Memang, pada periode awal, padi yang dia tanam tidak selalu
tumbuh sukses hingga masa panen. Sekalipun sampai masa panen, kualitas
dan jumlahnya pun masih jauh dari yang diharapkan. Meski begitu, Mitro
dan keluarganya masih berjuang dan terus berusaha melakukan perawatan
yang lebih maksimal.
“Sawah baru benar-benar bisa menghasilkan beras terbaik itu
sekitar tahun 1985. Waktu itu, saya menanaminya menggunakan benih
padi jenis gogo. Pas jatuh masa-masa panen rayanya itu, wah, saya sampai
tidak bisa menggambarkan betapa bahagianya saya, istri, dan anak-anak
yang selama ini sudah banting tulang di sawah,” kenang Mitro dengan
mata yang berkaca-kaca.

Kondisi jalan menuju desa tempat tinggal Mitro yang kini sudah jauh berkembang
dibandingkan pada saat kali pertama dia datang ke lokasi
permukiman tersebut (Foto: Pribadi).

Kini, Mitro menganggap taraf hidup keluarganya di lokasi


transmigrasi sudah jauh meningkat jika dibandingkan pada waktu mereka
hidup di daerah asalnya. Dari pendapatannya yang masih seringkali
JER BASUKI MAWA BEYA | 102

bekerja di beberapa perkebunan, ditambah hasil dari ladang dan sawahnya


sendiri, dia mengaku kalau ekonomi keluarga pun sudah terkontrol.
“Saya sudah terlanjur betah di sini. Begitu pun istri dan anak-anak.
Sekarang, kami cuma mau fokus bekerja dan berusaha supaya kondisi
keluarga bisa jadi lebih sejahtera,” ucap Mitro menutup pembicaraan pada
siang itu.

(Foto Mitro dan keluarganya berkumpul di depan rumah mereka)

Mitro dan keluarganya berfoto bersama dengan tim penyusun buku


“Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses”
di depan rumahnya (Foto: Pribadi).

*Sampai tulisan ini terbit, Mitro masih sering turun ke ladang dan sawah miliknya.
Dari penghasilannya yang telah lama disisihkan, dan dibantu oleh warga sekitar,
akhirnya Mitro juga bisa mewujudkan cita-citanya untuk membangun sebuah
masjid yang kini terletak di tepi jalan besar, tak jauh dari rumahnya. Di masjid itu, ia
aktif menjadi muadzin dan mengajar anak-anak untuk belajar mengaji.
103 | JER BASUKI MAWA BEYA

EPILOG

Dinamika perkembangan permukiman transmigrasi sebagai pionir


pembukaan wilayah-wilayah frontier (perbatasan) menunjukkan variasi
yang sangat besar karena tingginya tingkat keragaman faktor-faktor yang
menentukan dinamika permukiman tersebut. Permukiman-permukiman
dari abad yang lalu kini sudah menjadi ribuan desa, ratusan kecamatan,
puluhan kota, kabupaten, dan ibu kota provinsi. Oleh karena itu, terdapat
keyakinan bahwa melalui transmigrasi dapat mengembangkan satu wilayah
yang mampu bersinergi dalam mengembangkan wilayah-wilayah lainnya
di Republik Indonesia.
Keberhasilan program transmigrasi dalam pembangunan nasional
diwujudkan dalam berbagai capaian pemeintah. Pemerintah melalui
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
telah ikut serta dalam pembangunan nasional dengan pemerataan
pertumbuhan melalui kawasan transmigrasi.
Transmigrasi saat ini telah mengadakan dua ibu kota provinsi, 104
kabupaten baru, 335 kecamatan baru, 1336 desa definiitif di luar Pulau Jawa,
membuka 619 kawasan baru, yang 48 di antaranya merupakan kawasan
program revitalisasi yang mengelola 4,2 juta transmigran, termasuk 1,7
tenaga kerja yang tinggal di kawasan seluas 4,4 juta hektare.
Capaian-capaian tersebut merupakan bagian dari pembangunan
nasional yang diharapkan dapat menimbulkan pusat pertumbuhan yang
nantinya akan memberikan dampak pada kesejahteraan, tidak hanya dalam
masyarakat transmigrasi tapi juga kepada masyarakat sekitar kawasan
transmigrasi.
Pada dasarnya, proses bermukim dalam transmigrasi adalah
menumbuhkan pemukiman baru berbasi sumber daya alam setempat.
Dengan demikian, proses tersebut juga merepresentasikan sebuah
transformasi sumber daya alam melalui pemanfaatan untuk pembangunan.
JER BASUKI MAWA BEYA | 104

Proses pendekatan ini juga dikenal dengan istilah agropolitan di negara-


negara asia lainnya.
Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia,
terdapat empat persyaratan penting untuk memperbaiki efektivitas dalam
mentrasnformasikan pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan
sosial, ekonomi, dan politik, yaitu:
• Meningkatkan kesadaran masyarakat di negara-negara yang sedang
berkembang tentang kompleksitas dan keragaman hubungan antara
sumber daya alam dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik
yang akan dicapai oleh manusia;
• Menguatkan aspek-aspek prosedural dalam administrasi, kelembagaan,
dan perundang-undangan dalam perlindungan lingkungan fisik
alamiah dan transformasi sumber daya alam untuk pembangunan
sosial, ekonomi, dan politik di wilayah-wilayah marjinal;
• Memperluas riset dan basis data untuk perencanaan pembangunan dan
pembuatan kebijakan serta memperkuat metodologi untuk menerapkan
kerangka sistem sumber daya dalam analisis kebijakan;
• Mengembangkan kapasitas untuk pendidikan dan latihan bagi intuisi
swasta dan pemerintah dalam analisis dan transformasi sumber daya
alam untuk pembangunan.
Secara umum, kini program transmigrasi tidak hanya sebatas
pemerataan penduduk saja. Jauh dari itu, diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan bagi para transmigran dan masyarakat sekitar, peningkatan
dan pemerataan pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa.
Paradigma menjawab permasalahan distribusi penduduk
merupakan paradigma lama sejak 1950, dan itu sudah tidak relevan.
Tranformasi program transmigrasi ke depan harus mampu menjawab
tantangan-tantangan yang ada pada era ini dan nanti. Memang, terjadi
perubahan pardigma pada setiap periode program transmigrasi. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang wajar, melihat perubahan era dan
kebutuhan dalam pembangunan dari waktu ke waktu.
Melihat pada undang-undang ketransmigrasian saat ini, tujuan
dari transmigrasi dinilai sudah sesuai dengan tantangan dan permasalahan
yang ada sekarang, salah satunya yaitu pemerataan pertumbuhan ekonomi.
105 | JER BASUKI MAWA BEYA

Dalam undang-undang tersebut juga termaktub bahwa tujuan transmigrasi


adalah memperbaiki iklim investasi.
Apabila melihat kondisi kawasan transmigrasi saat ini, skala
ekonomi di kawasan tersebut banyak yang belum siap untuk menerima
investasi dalam skala besar. Belum tersedia dan belum berfungsinya
berbagai infrastruktur serta fasilitas adalah penyebab utama ketidaksiapan
itu.
Investasi dalam skala kecil padat karya dianggap lebih sesuai dalam
menjawab transformasi program transmigrasi. Kegiatan padat karya akan
memberikan dampak lebih besar pada masyarakat kecil. Kegiatan tersebut
nantinya memang akan meningkatkan daya beli masyarakat yang akan
menumbuhkan perekonomian masyarakat di kawasan transmigrasi meski
agak lambat.
Menyambut era revolusi industri 4.0 dan era generasi melenial
menjadi salah satu fokus dalama transformasi paradigm transmigrasi.
Untuk menjawab tantangan revolusi industri ini dibutuhkan suatu lompatan
yang tinggi. Lompatan yang tinggi ini dibutuhkan karena hingga saat ini
infrastruktur masih belum mampu dipenuhi di kawasan transmigrasi.
Jadi, ke depannya infrastruktur strategis harus menjadi prioritas dalam
pengembangan menuju revolusi industri 4.0 dan era generasi melenial.
JER BASUKI MAWA BEYA | 106
107 | JER BASUKI MAWA BEYA

DAFTAR PUSTAKA

Lucas, David, dkk. (1995). Pengantar Kependudukan. (Nin Bakdi Sumanto


dan Riningsih Saladi, Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Erlando, Angga. (2014). Analisis Terhadap Migran Sirkuler Di Kota
Surabaya. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Vol.2 No.1. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia. (2015). Transmigrasi Masa Doeloe, Kini dan
Harapan Ke Depan. Jakarta: Kementrian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Dahlan, M. Halwi. (2014). Perpindahan Penduduk Dalam Tiga Masa:
Kolonisasi, Kokuminggakari, dan Transmigrasi di Provinsi Lampung (1905-
1979). Jurnal Patanjala Vol. 6 No. 03. Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Press. 335-344.
Oey, Mayling. (1980). The Transmigration Program in Indonesia. Makalah
Seminar Government Resettlement Programmes in Southeast Asia. Canberra:
Australian National University. 3-4.
Breman, Jan. (2014). Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa. Sistem Priangan
dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Mantra, I. B. (1985). Pengantar Studi Demografi. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Handayani, Sri Ana. (1994). Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah.
Jember: Universitas Jember.
A. Dixon, John. (1980). Biaya-Biaya Pemukiman Atas Areal Tanah dan Alternatif-
Alternatifnya. Jurnal Prisma Tahun VIII No. 4. h. 75.
Hardjono, J. M. (1997) Transmigration in Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
Nugraha Setiawan. Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 16 - 32
JER BASUKI MAWA BEYA | 108

Kurasawa, Aiko. (1993). Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial
di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Budiman, Arief. (Ed). (1985). Transmigrasi di Indonesia. Ringkasan Tulisan
dan Hasil-hasil Penelitian. Jakarta: Gramedia.
Heeren, H. J. (1979). Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Syamsu. (1986). Dari Kolonisasi ke Transmigrasi. Jakarta: Djambatan.
Hadi, D.W. dan G. Kasuma. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Jurnal
Verleden Vol. 1 No. 1. Surabaya: Universitas Airlangga.
Putra, Purwanto. (2019). Strategi dan Bentuk-Bentuk Informasi Transmigrasi
Pada Masa Orde Baru dalam Rangka Menyukseskan Program Pembangunan
Nasional. Jurnal Kepustakawanan dan Masyarakat Membaca Vol. 35 No.
2. Lampung: Universitas Lampung.
Swasono, S. E. dan Masri Sinagrimbun. (1986). Transmigrasi di Indonesia
1905-1986. Jakarta: UI Press.
Husodo, Siswono Yudo. (2003). Tranmigrasi: Kebutuhan Negara Kepulauan
Berpenduduk Heterogen Dengan Persebaran Yang Timpang. Jakarta: PT.
Tema Baru.
Ananta, Aris. (1983). Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga
Demografi Universitas Indonesia.
Yulisetyaningtyas, Bintang. (2008). Tesis: Evaluasi Pelaksanaan Program
Transmigrasi Melalui Model Kerjasama Antar Daerah, Studi Kasus Di
Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Program
Pasca Sarjana Universitas Diponogoro.
Undang-Undang No 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
109 | JER BASUKI MAWA BEYA

DAFTAR LAMAN

Budiman, Budisantoso. Jejak Bung Karno dan Nasib Transmigran Pejuang.


https://www.antaranews.com/berita/769493/jejak-bung-karno-
dan-nasib-transmigran-pejuang diakses pada tanggal 23 September
2022, 12:20 WIB.
Trilogi Pembangunan: Tujuan, Isi, dan Kontroversi https://www.kompas.com/
stori/read/2022/04/06/100000779/trilogi-pembangunan-tujuan-isi-
dan-kontroversi?page=all diakses pada tanggal 23 September 2022,
14:25 WIB
Setiawan, Nugraha. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalana Sejarah
Pelaksanaan, 1905-2005. https://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/
uploads/2009/03/satu_abad_transmigrasi_di_indonesia.pdf,
diakses pada tanggal 23 September 2022, 22:20 WIB
JER BASUKI MAWA BEYA | 110
111 | JER BASUKI MAWA BEYA

LAMPIRAN
JER BASUKI MAWA BEYA | 112
113 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 114
115 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 116
117 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 118
119 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 120
121 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 122
123 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 124
125 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 126
127 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 128
129 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 130
131 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 132
133 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 134
135 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 136
137 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 138
139 | JER BASUKI MAWA BEYA

Catatan :

Anda mungkin juga menyukai