PENULIS
Aisyah Gamawati
Anto Pribadi
Ratno
Yugo Hermawan
Asti Pinarti
EDITOR
Nur Aida
PENYELARAS AKHIR
Anwar R. Soediro
PENATA LETAK
Burhan Fadhillah
DESAINER SAMPUL
Bagoes Akbar Maulana
Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana pen-
jara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana de-
ngan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
JER BASUKI MAWA BEYA | iii
iv | JER BASUKI MAWA BEYA
Suatu pagi, di tanggal 11 Bulan Maret, Tahun 1974, sekira pukul 05.00
Waktu Indonesia Barat, dunia transmigrasi Indonesia dikejutkan oleh
terjadinya kecelakaan tergelincirnya Bus “Dwi Warna”, yang ditumpangi 74
orang, terdiri 67 orang transmigran asal Jawa Tengah, yang akan menuju
daerah transmigrasi Lampung, serta 7 orang petugas/pegawai transmigrasi
dan awak bus. Peristiwa nahas tersebut terjadi di KM 102/103, tepatnya
di Jembatan Darurat, Kali Sewo, di Desa Sukra, Kecamatan Anjatan,
Kebupaten Indramayu, Jawa Barat.
Akibat kecelakaan tersebut, 70 orang penumpang bus meninggal,
terdiri dari 45 laki-laki, 25 perempuan, dan 4 orang, salah satunya kernet
bus, mengalami luka berat dan ringan. Korban meninggal langsung
dikebumikan secara massal di Desa Sukra, pada 3 liang kubur, berukuran
panjang 2 meter, lebar 1,5 meter, berkedalaman 2 meter. Masing-masing
liang untuk 30 orang anak-anak dan dewasa, 22 orang dewasa, dan 18
orang dewasa. Kini, demi terus mengenal, menghormati gugurnya para
transmigran dari Jawa Tengah ini, telah dibangun sebuah monumen di
pekarangan kuburan transmigran ini, yaitu Tugu Pionir Pembangunan
Transmigrasi.
Kisah perjalanan transmigran, dari daerah asal menuju tujuan
transmigrasi ini mengabarkan sesuatu, bahwa jalan mencapai peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan hidup sangat terjal, sarat risiko, butuh
perjuangan bahkan pengorbanan. Kualitas hidup dan kesejahteraan yang
lebih baik, adil, merata tanpa ketimpangan di sini, tidak hanya disempitkan
pada ketercukupan kebutuhan material, tapi juga ketercukupan kebutuhan
spiritual.
Peristiwa Sukra ini, memuat banyak nilai, mengisahkan berjuta
semangat, dan memancarkan kegigihan mental para transmigran. Maka,
demi menjaga keterhubungan nilai, semangat dan mental para transmigran
yang gugur 48 tahun silam ini, dengan pelaksanaan transmigrasi masa
kini dan masa depan, diperlukan media transfer yang efektif dan
berkelanjutan.
Memastikan terjadinya transfer yang efektif dan berkelanjutan
tersebut, perlu internalisasi nilai, semangat, dan mental para transmigran
yang gugur dalam kecelakaan Kali Sewo, Sukra, menjadi nilai, semangat
JER BASUKI MAWA BEYA | v
dan mental generasi transmigrasi Indonesia masa kini dan masa depan.
Mula-mula perlu digali nilai,
Semangat, dan mental tersebut, setidaknya melalui empat orang
korban selamat, dan yang mengalami luka berat dan ringan dalam
kecelakaan tersebut, yaitu; Beras Sembiring, Jaelani, Suyanto, dan Sangidu.
Sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,
saya menyambut baik terbitnya buku “Jer Basuki Mawa Beya: Kisah
Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Kesuksesan” ini. Buku ini
menggali pengalaman, perasaan, dan persepsi korban selamat kecelakaan
Jembatan Kali Sewo, Sukra. Buku yang menghadirkan kisah-kisah inspiratif
perjalanan dan perjuangan hidup, yang dilanjutkan dari kisah perjalanan
pencapaian cita-cita transmigran, yang terpaksa terhenti sejenak, akibat
ditimpa kecelakaan dalam perjalanan ini, akan sangat bermakna bagi
masyarakat transmigrasi Indonesia, baik calon transmigran, masyarakat
transmigrasi, warga sekitar transmigrasi, maupun pegiat transmigrasi.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim penulis. Karena
membaca buku ini, akan banyak menumbuhkan inspirasi, mengalirkan
pengetahuan, membentuk sikap mental masyarakat transmigrasi dalam
meningkatkan daya saing, kemandirian, peningkatan kualitas hidup, serta
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat transmigrasi dan masyarakat
sekitar transmigrasi. Singkatnya, buku ini akan berkontribusi untuk
terjadinya revitalisasi dan kebangkitan transmigrasi Indonesia, menuju
kehidupan sejahtera, adil dan merata dari pinggiran Indonesia.
PROLOG
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
tersusunnya buku yang berjudul “Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif
Perjuangan Transmigran Menuju Kesuksesan”. Buku ini hadir sebagai bentuk
refleksi terhadap Hari Bakti Transmigrasi (HBT) yang diselenggarakan
setiap tahun pada 12 Desember.
Peristiwa perjalanan 67 transmigran yang berasal dari Provinsi
Jawa Tengah, yang hendak menuju Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)
di Provinsi Lampung, akan terus tergambar setiap tahun hingga kini dan
ke depannya. Sekarang, tempat kejadian itu menjadi tonggak semangat
membangun transmigrasi yang dilambangkan dalam Monumen Pionir
Transmigrasi di Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Pada bagian awal, buku ini membahas secara singkat mengenai
latar belakang dan tujuan transmigrasi. Selanjutnya, dipaparkan sejarah
perjalanan program transmigrasi di Indonesia, mulai zaman kolonial
hingga zaman kemerdekaan. Pada bab ini semuanya dibahas secara singkat
dan padat. Harapannya, agar pembaca tidak jenuh dengan berbagai definisi
dan data yang tersaji.
Bab selanjutnya berisikan kumpulan lima kisah perjalanan hidup
para transmigran dari Provinsi Jawa Tengah ke Provinsi Lampung. Urutan-
urutan kisah dalam buku ini bukan soal penyematan “kisah siapa yang
paling menarik?”. Semua kisah perjalanan transmigran yang ada di buku ini
saling terhubung satu sama lain. Mulai dari latar belakang keluarga, riwayat
pendidikan, pekerjaan, prestasi, dan informasi terkait pengalaman mereka
saat mengikuti program transmigrasi.
Penelusuran sejarah melalui para narasumber tentu telah dilakukan
terlebih dahulu sehingga biografi ini sepenuhnya mengacu pada data yang
faktual. Dengan demikian, maka segala hal yang meliputi kisah hidup atau
perjalanan hidup para tokoh yang dalam biografi ini memiliki gambaran
yang akurat dan juga sesuai dengan historis. Pada beberapa bagian menjadi
lebih kaya berkat keterangan dari orang-orang terdekat mereka.
JER BASUKI MAWA BEYA | vii
Ucapan terima kasih kami haturkan pada seluruh pihak yang terkait
dalam penyusunan buku ini, khususnya Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atas arahannya. Kritik dan saran
akan menjadi penyempurna buku “Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif
Perjuangan Transmigran Menuju Kesuksesan” ini. Kami berharap buku
ini dapat memperkaya referensi tentang transmigrasi dan memberikan
kontribusi bagi perkembangan kemajuan bangsa dan negara.
Tim Penulis
viii | JER BASUKI MAWA BEYA
DAFTAR ISI
Sambutan……………………………………………………………………………..iii
Prolog…………………………………………………………………………......vi
Daftar Isi…………..……………………………………………………………....viii
BAB I: Pendahuluan……………………………………………………..1
a. Selayang Pandang Transmigrasi……………………………………….1
b. Jenis-jenis Transmigrasi di Indonesia………………………………4
BAB II: Transmigrasi dari Masa ke Masa……………………………...8
a. Transmigrasi di Masa Hindia Belanda……………………………...9
b. Transmigrasi di Masa Pendudukan Jepang……………………….17
c. Transmigrasi di Era Orde Lama…………………………………...20
d. Transmigrasi di Era Orde Baru……………………………………25
e. Transmigrasi di Masa Reformasi hingga Kini……………………..31
BAB III: KUMPULAN KISAH INSPIRATIF PERJUANGAN
TRANSMIGRAN MENUJU KESUKSESAN……………...38
a. Hidup yang Selalu Mencari dan Memberi, Kisah Perjalanan
Hidup Sangidu……………………………………………………..41
b. Tiada Sukses Tanpa Air Mata dan Usaha, Kisah Perjalanan
Hidup Djaelani…………………………………………………….55
c. Senandung Syukur di Atas Bumi, di Kolong Langit, Kisah Perjalanan
Hidup Suyanto……………………………………………………...71
d. Hari Esok Adalah Dunia Penuh Harapan, Kisah Perjalanan
Hidup Slamet………………………………………………………85
e. Jalan Panjang Menuju Cita-cita yang Mulia, Kisah Perjalanan
Hidup Mitro………………………………………………………..93
Epilog…………………………………………………………………..103
Daftar Pustaka………………………………………………………...107
Daftar Laman………………………………………………………….109
Lampiran………………………………………………………………111
1 | JER BASUKI MAWA BEYA
1
Baca pasal 1, ayat 2, Undang- Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2009
2
Angga Erlando, Analisis Terhadap Migran Sirkuler Di Kota Surabaya, dalam Jurnal Ilmiah Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, (Malang: Universitas Brawijaya, 2014) hlm. 5.
JER BASUKI MAWA BEYA | 2
Para transmigran sedang pawai dalam acara HUT Republik Indonesia di Lampung pada 1971
(Foto: Kompas/Mamak Sutamat)
3
Kementerian Desa Pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi R.I. Transmigrasi Masa
Doeloe, Kini dan Harapan Ke Depan. (Jakarta: Kementrian Transmigrasi Republik Indonesia,
2015), hlm. 8
5 | JER BASUKI MAWA BEYA
4
Undang-Undang No 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian.
JER BASUKI MAWA BEYA | 6
Sekolah untuk Indonesia sebagai salah satu program dari politik etis.
(Foto: www.tropenmuseum.nl)
9
Soedigdo Hardjosoedarmo dalam I. B. Mantra, Pengantar Studi Demografi, (Yogyakarta: Nur Ca-
haya, 1985), hlm. 160.
10
Sri Ana Handayani, Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Jember: Universitas Jember,
1994), hlm. 12.
11
Ibid
12
M. Halwi Dahlan, op.cit., hlm. 339.
JER BASUKI MAWA BEYA | 12
Mbah Kartoredjo bersama kerabatnya. Beliau menjabat sebagai Kepala Desa Bagelen,
Gedong Tataan, Lampung, sejak 1907-1912. (Foto: www.kissparry.com)
Pulau Jawa lebih tertarik menjadi kuli kontrak ketimbang ikut kolonisasi,
sebab dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.
21
Ibid
22
Nugraha Setiawan, op.cit.,hlm. 32.
JER BASUKI MAWA BEYA | 16
Para transmigran asal pulau Jawa tiba di Teluk Betung, Lampung, menaiki kapal uap Koninklijke
Paketvaart Maatschappij, selanjutnya mereka menuju daerah Metro.
Terlihat tentara KNIL membantu transmigran turun dari kapal. (Foto: twitter.com/@mazzini_gsp)
17 | JER BASUKI MAWA BEYA
24
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945,
(Jakarta: Grasindo, 1993), hlm. 126.
25
M. Halwi Dahlan, loc.cit.
19 | JER BASUKI MAWA BEYA
Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia.
(Foto: wikipedia.org)
Museum Peta yang berada di Jalan Sudirman No. 35, Bogor, Jawa Barat. (Foto: www.rri.co.id)
26
Arief Budiman, Ed., Transmigrasi di Indonesia. Ringkasan Tulisan dan Hasil-hasil Penelitian, (Jakarta:
Gramedia, 1985), hlm. 170.
27
H. J. Heeren, Transmigrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 32.
21 | JER BASUKI MAWA BEYA
Kabinet pertama dalam sejarah pemerintahan Indonesia, dibentuk pada 2 September 1945 oleh
Presiden Soekarno. (Foto: Kompas)
penduduk yang awalnya sebanyak 54 juta jiwa pada 1952.30 Namun, antara
tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan transmigran
sebanyak 227.360 orang.31
Pada 1951-1952, eks-laskar Pejuang 45 (Pejuang Siliwangi) dari
Tasikmalaya ditransmigrasikan ke Lampung oleh Biro Rekonstruksi
Nasional (BRN). Melalui program transmigrasi ini, Presiden Soekarno
berharap dapat memberikan penghidupan yang lebih baik kepada para
mantan Pejuang 45 setelah Indonesia merdeka.32
Presiden Soekarno sendiri saat itu hadir dan meresmikan keberadaan
mereka di Lampung. Sekitar 500 mantan pejuang bersama keluarga mereka
yang berjumlah ribuan jiwa berdatangan dalam dua gelombang ke wilayah
Sukapura, Kecamatan Sumberjaya (sekarang masuk wilayah Kabupaten
Lampung Barat).
Pemerintah saat itu menjanjikan lahan 4,5 hektare hingga lima
hektare kepada setiap keluarga pejuang yang datang ke daerah itu. Saat itu,
Presiden Soekarno datang dan berpidato, sekaligus meresmikan tempat
baru mereka. Beliau memberi nama daerah itu "Sumberjaya", yang berarti
sumber kejayaan. Tempat baru itu diharapkan menjadi sumber kejayaan
dan kesejahteraan bagi para mantan pejuang dan keluarganya.33
30
H. J. Heeren, loc.cit., hlm. 22
31
Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi, (Jakarta: Djambatan, 1986), hlm. 327.
32
Budisantoso Budiman, Jejak Bung Karno dan nasib transmigran pejuang, (https://www.antaranews.
com/berita/769493/jejak-bung-karno-dan-nasib-transmigran-pejuang diakses pada tanggal 23
September 2022, 12:20 WIB)
33
Ibid
23 | JER BASUKI MAWA BEYA
Transmigraan dari Pulau Jawa tiba di Lampung pada Mei 1971. (Foto: Kompas/Mamak Sutamat)
44
M. Halwi Dahlan, op.cit., hlm. 344
29 | JER BASUKI MAWA BEYA
47
Siswono Yudo Husodo, op.cit., hlm. 80.
JER BASUKI MAWA BEYA | 34
Lokasi Transmigrasi Bukit Merbau, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu, yang dibuka pemerintah pusat pada 2015. (Foto: antarabengkulu.com)
48
Bintang Yulisetyaningtyas, Tesis: Evaluasi Pelaksanaan Program Transmigrasi Melalui Model Kerjasama
Antar Daerah, Studi Kasus Di Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah, (Semarang: Program Pasca
Sarjana Universitas Diponogoro, 2008), hlm.23
35 | JER BASUKI MAWA BEYA
Para transmigran berlatih mengoperasionalkan traktor, sebagai salah satu keterampilan yang
dibutuhkan untuk mengolah lahan usaha dilokasi transmigrasi (Foto: Pribadi)
49
Ibid, hlm.107
JER BASUKI MAWA BEYA | 36
Suasana pelatihan keterampilan kepada ibu-ibu transmigran dengan materi “Pengolahan Hasil
Pertanian”, praktiknya yaitu membuat susu kedelai. (Foto: Pribadi)
37 | JER BASUKI MAWA BEYA
Bus Dwiwarna (atas) yang digunakan untuk mengangkut para transmigran asal Boyolali, Jawa
Tengah, menuju ke Lampung pada Maret 1974. PO. bus tersebut kemudian berganti nama menjadi
Bumi Nusantara. (Foto: Tempo/Slamet Jabarudi; 017/066/1974; 01706601)
JER BASUKI MAWA BEYA | 40
***
“Pernah suatu hari, saat tidak ada pilihan lain untuk bisa bertahan
hidup, orang tuaku akhirya harus menjual tanah warisan mereka. Hasilnya
kemudian ditukarkan dengan gaplek. Namun, hal itu tidak bertahan
hingga persediaan gaplek49 yang kami punya pun habis. Akhirnya, mau-tak
mau ares atau bonggol pisang kami jadikan sebagai bahan pokok makanan
sehari-hari,” kenang Sangidu.
Pada zaman dulu hingga—mungkin—menjelang awal 2000-an,
gaplek memang merupakan bahan makanan pokok layaknya beras di
beberapa daerah. Termasuk di desa tempat tinggal Sangidu. Daerah tempat
tinggalnya yang tandus dan sangat sulit mendapatkan pengairan, membuat
petani setempat mustahil untuk bisa menanam padi.
Gapura menuju Desa Mungur, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali.
(Foto: Pribadi)
50
Bahan makanan pokok yang berbahan dasar singkong yang sudah dikupas dan keringkan. Bisa
disimpan hingga berbulan-bulan.
43 | JER BASUKI MAWA BEYA
lama di Kali Awi, Tanjung Karang, Lampung. Bahkan, mereka bisa dibilang
sebagai transmigran yang sukses di daerahnya karena sudah memiliki usaha
sendiri, yaitu menjalankan bisnis rumah makan di Pasar Bambu Kuning.
Tinggal dan dirawat oleh kedua pasangan itu, Sangidu pun mulai
beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Namun, tak banyak yang
bisa dilakukan karena ia pada waktu itu hanyalah anak kecil yang masih
serba kikuk. Menyadari hal itu, Soegiri dan istrinya mendaftarkan Sangidu
ke sekolah dasar yang tak jauh dari tempat tinggal mereka agar ia memiliki
teman bermain yang seumuran dengannya.
Di tempat yang berbeda, seluruh pegawai kantor transmigrasi yang
bertanggung jawab atas rombongan transmigran asal Boyolali sedang
kesulitan melacak keberadaan Sangidu. Mengingat bagaimana ia dibawa
Soegiri dan istrinya langsung ke rumah sakit saat peristiwa kecelakaan, hal
itu malah menyebabkan lolosnya nama Sangidu saat penyusunan laporan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Lebih dari satu bulan lamanya pihak kantor transmigrasi mencari
keberadaan Sangidu. Mereka menelusuri area sekitar tempat kejadian
hingga ke tempat-tempat lain yang kuat dugaan menjadi lokasi keberadaan
Sangidu. Lalu pada hari ke-35, pencarian mereka di sekitar Pasar Bambu
Kuning akhirnya membuahkan hasil.
Setelah memberikan penjelasan kepada Soegiri dan istrinya, pihak
kantor transmigrasi membawa pulang Sangidu kembali ke Pulau Jawa,
tepat di hari kedua setelah ia masuk di SD barunya. Dari situ, ia kemudian
dibawa ke hadapan Bapak Soebroto yang kala itu masih menjabat sebagai
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Indonesia.
Melalui Bapak Soebroto, Sangidu dikembalikan kepada keluarganya
yang masih tersisa. Akan tetapi, satu-satunya keluarga yang masih hidup
adalah sang kakak yang usianya pun masih sangat remaja. Keputusan lain
dibuat sehingga Sangidu pun dibawa oleh Bapak Harno yang menjabat
sebagai Kepala Departemen Transmigrasi Surakarta.
“Aku dirawat oleh keluarga Pak Harno seperti anak kandung sendiri.
Disekolahkan oleh beliau dari bangku sekolah dasar hingga dijadikan
pegawai di kantor transmigrasi”, tutur Sangidu sambil mengenang jasa-
jasa mendiang orang tua angkatnya.
47 | JER BASUKI MAWA BEYA
Kuamang Kuning yang kini sudah maju dan ramai penduduk, jauh berbeda
dibandingkan saat Sangidu pertama kali bertransmigrasi ke sana (Foto: Pribadi)
Burhan, kakak Sangidu yang tidak ikut saat dia dan anggota keluarga lainnya
bertransmigrasi ke Lampung. (Foto: Pribadi).
JER BASUKI MAWA BEYA | 50
51
Sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa,
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Sleman, Yogyakarta.
JER BASUKI MAWA BEYA | 52
Sangidu ditemani istri dan anaknya saat diwawancarai oleh tim penyusun buku
“Jer Basuki Mawabeya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses”
di rumahnya. (Foto: Pribadi).
Pemandangan Desa Majenanga, Kecamatan Sukadono, Kabupaten Sragen dari atas dan para
petaninya saat musim panen jagung. (Foto: Pribadi).
57 | JER BASUKI MAWA BEYA
bertolak dari Solo. Di waktu yang bersamaan, riuh kicau burung Cabak
seperti mengiringi awal perjalanan kami.
Astaga, kenapa tubuhku tiba-tiba sudah terbaring di pinggir jalan raya seperti
ini?!
Sisa kantuk dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh membuat
aku tak berdaya untuk bergerak. Dari sudut tempat aku berbaring, terlihat
beberapa orang hilir-mudik dengan raut wajah yang tegang. Beberapa
orang lainnya berkerumun seperti menyaksikan sesuatu di seberang jalan
raya sana. Selang beberapa saat kemudian, aku akhirnya dibopong ke dalam
mobil yang kebetulan melintas.
Di dalam mobil, kulihat sudah ada seorang bocah yang usianya
lebih muda dariku. Bajunya compang-camping terkena lumpur dan ada
beberapa luka di tubuhnya. Kemungkinan besar dia sama-sama korban
kecelakaan sepertiku.
Mobil itu membawa kami ke polsek terdekat. Di sana, aku segera
diproses oleh Pak Polisi untuk kemudian buru-buru dibawa ke rumah sakit
JER BASUKI MAWA BEYA | 62
yang ada di kota Indramayu. Sesampainya di IGD, rasa sakit yang menjalar
di sekujur tubuhku semakin menjadi-jadi. Baru kusadari kalau di beberapa
bagian tubuhku terdapat luka yang cukup serius. Oleh karena itu, dokter
jaga yang bertugas cepat-cepat menyuntikkan obat pereda nyeri, barulah
setelahnya luka-lukaku dibersihkan menggunakan kapas dan cairan
antiseptik.
Selesai mendapat penanganan intensif, kondisiku dianggap sudah
cukup stabil. Aku kemudian dipindahkan ke ruang perawatan. Setelah itu,
pelan-pelan aku diberitahu tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Mundur beberapa jam sebelumnya. Konon, saat aku tertidur, supir
bus yang merasa semakin tertinggal jauh dari bus-bus rombongan lainnya
berusaha mengejar. Pedal gas dinjak dalam-dalam sehingga laju bus pun
semakin cepat.
Kurang lebih pukul empat pagi, bus yang kutumpangi baru
memasuki Kabupaten Indramayu. Kami disambut oleh hujan yang lebat
hingga sampai di Kecamatan Sukra. Mendekati jembatan Kali Sewo, bus
dialihkan agar menggunakan jembatan darurat yang dibangun dari balok-
balok kayu glugu.51 Hal ini disebabkan karena jembatan utama yang
melintang di atas Kali Sewo sedang mengalami kerusakan.
Nahas, hujan yang mengguyur membuat jembatan kayu tersebut
menjadi sangat licin, ditambah pandangan supir yang serba terbatas
membuat bus tergelincir. Kejadian itu sontak membuat warga sekitar segera
berlarian. Ada yang sekadar menyaksikan karena tidak mampu berbuat
apa-apa, tapi ada sebagian lagi yang berusaha menyelamatkan penumpang
yang terjebak di dalam bus. Termasuk aku di dalamnya.
Banyak korban jiwa dalam kecelakaan itu tapi hanya sedikit sekali
yang selamat. Salah satunya aku. Begitu mendengar cerita tersebut, aku
merasa sangat terpukul. Namun, banyak pihak yang berusaha menghibur
agar aku tidak larut dalam kesedihan.
Berhari-hari lamanya aku dirawat di rumah sakit Indramayu
bersama Suyanto, Si Bocah korban selamat lainnya yang tadi sempat aku
ceritakan. Sampai akhirnya, Bapak Margono Hadikusumo yang kala itu
menjabat sebagai Kepala Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa
52
Kayu yang berasal dari pohon kelapa
63 | JER BASUKI MAWA BEYA
53
Setara dengan Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah, yang didirikan guna menyiapkan
calon siswa yang akan berkuliah di IAIN atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama UIN (Uni-
versitas Islam Negeri).
54
Waktu itu setara dengan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah.
65 | JER BASUKI MAWA BEYA
bersekolah di sana selama empat tahun bukan karena aku sempat tidak
naik kelas tapi memang begitulah ketentuannya waktu itu. Malah, aku
termasuk siswa yang cukup memiliki prestasi di sekolahku. Toh, terbukti
begitu pindah ke SPAIN aku langsung duduk di kelas 11.
Hari-hari bersekolah di SPAIN kulewatkan dengan baik dan lancar.
Aku memang bukan termasuk siswa yang berprestasi tapi bukan berarti
aku ada di daftar nama siwa yang terbelakang. Secara akademik aku biasa-
biasa saja tapi di lingkungan pergaulan aku cukup memiliki banyak teman.
Hingga pada 1975 aku akhirnya lulus dari sekolah tersebut.
Sementara Suyanto, waktu itu ia dititipkan kepada bawahan bapak
Margono yang bernama Bapak Rajiman. Beliau waktu itu masih menjabat
Kepala Bidang Transmigrasi Swakarsa di Kantor Transmigrasi Wilayah
Provinsi Jawa Tengah. Adapun alasan kepindahan Suyanto waktu itu
dikarenakan SMP tempat dia bersekolah lebih dekat jaraknya dari rumah
Pak Rajiman ketimbang rumah Pak Margono yang amat jauh.
Begitu lulus sekolah, aku sebenarnya sempat ingin berkuliah.
Terlebih, temanku yang bernama Atho'illah54 mengajak agar aku bisa kuliah
bersamanya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Akan tetapi, ada
beberapa kendala yang menyebabkan aku tidak bisa melanjutkan kuliah
sehingga sampai pada 1978 aku malah dijadikan pegawai honor oleh Pak
Margono di Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Di kantor, aku banyak ditugaskan untuk membantu urusan
administrasi dan pelayanan transmigrasi di lapangan. Hingga pada 1980,
aku akhirnya resmi di angkat menjadi PNS. Saat itu, aku menjabat sebagai
staf umum sehingga sering ditugaskan untuk membantu mengawal para
transmigran hingga sampai di lokasi tujuan.
Hikam adalah mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada masa kepresidenan Abdurrahman
Wahid.
JER BASUKI MAWA BEYA | 66
Djaelani sedang menunjukkan foto masa lalunya saat diwawancarai oleh tim penyusun buku
“Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” di rumahnya
(Foto: Pribadi).
67 | JER BASUKI MAWA BEYA
*Sampai tulisan ini diterbitkan, Djaelani tinggal di rumahnya yang ada di salah
satu sudut Kota Semarang. Jika ada peringatan Hari Bhakti Transmigrasi di kantor
transmigrasi pusat maupun kantor transmigrasi wilayah mana pun, tak jarang ia
masih diundang sebagai narasumber di acara tersebut. Kini, setelah pensiun, selain
mengurus keluarga, beliau banyak menyibukkan diri dengan aktivitas merawat
beberapa burung hias dan burung kicau peliharaannya. Djaelani juga gemar bercocok
tanam karena di area teras rumahnya yang asri berjajar beberapa koleksi bonsai dan
tanaman hias lainnya.
69 | JER BASUKI MAWA BEYA
Djaelani tampak mengisi kesehariannya dengan rutinitas merawat burung hias peliharaannya dan
sesekali bercengkrama dengan kerabat lama (Foto: Pribadi).
JER BASUKI MAWA BEYA | 70
Siang itu, pijar matahari terasa lebih panas turun sampai di bumi.
Di salah satu gang di sudut kota Semarang, seorang pria paruh baya tampak
sudah siap menyambut sejak lama. Tubuhnya terlihat mungil, kulitnya
berwarna agak gelap, namun langkahnya tegak dan cepat.
“Mari, itu rumah saya”, dia mengacungkan ibu jarinya ke arah
rumah deretan ketiga di sebelah kiri dari pojok.
Begitu sampai di rumahnya yang berwarna biru langit, ia segera
mempersilakan masuk, “Monggo, masuk, Mas, Pak...”
Di dalam rumah sudah tergelar alas tikar yang berukuran kira-kira
2x2 meter persegi. Di atas tikar tersebut telah ada beberapa hidangan camilan
seperti gorengan, buah, dan beberapa jajanan khas daerah setempat.
“Walah, tak kira, njenengan sampai di sininya habis zuhur. Kopinya
itu nunggu njenangan sampai jadi dingin, lho,” ia membuka obrolan dengan
sedikit guyonan.
Memang pas rasanya jika siang itu menghabiskan waktu dengan
menikmati kopi panas dan beberapa camilan. Sebenarnya, lebih pas lagi
mungkin jika dengan minuman dingin yang ada rasa-rasanya. Tapi, ya,
sudahlah. Selama kerongkongan tidak kering, beres urusan.
Setelah saling berbasa-basi dan ngobrol ngalor-ngidul, Suyanto
akhirnya mulai masuk ke pembicaraan inti. Dia mulai bercerita kalau
dirinya merupakan salah satu peserta transmigrasi pada 11 Maret 1974
yang masih hidup.
JER BASUKI MAWA BEYA | 72
Suyanto salah satu narasumber dalam buku “Jer Basuki Mawa Beya,
Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” di rumahnya (Foto: Pribadi).
Pada saat itu, orang tuanya juga sempat dijanjikan oleh Kantor
Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa Tengah akan diberikan jatah tanah
yang kemungkinan kalau dihitung-hitung lebih luas dari kepunyaan
mereka. Jatah tanah tersebut nantinya boleh dijadikan tempat tinggal dan
lahan pertanian atau usaha lainnya yang dapat mendatangkan penghasilan
bagi keluarganya.
Iming-iming tersebut dianggap cukup adil, bahkan kelewat adil
oleh kedua orang tua Suyanto. Iming-iming tersebut akhirnya memotivasi
kedua orang tuanya untuk berpartisipasi dalam program transmigrasi.
JER BASUKI MAWA BEYA | 74
Foto Jembatan Kali Sewo yang berada di perbatasan antara Kabupaten Indramayu dengan
Kabupaten Subang. Pada siang hari ramai dengan pengemis yang menunggu di pinggir jalan
dengan sapu sebagai alat untuk memungut uang yang biasanya dilemparkan oleh penumpang
bus atau pengendara mobil dan motor pribadi (Foto: Pribadi).
JER BASUKI MAWA BEYA | 78
Selang beberapa saat, dia dan korban lain yang selamat diamankan
di kantor polisi terdekat. Dari situ, Suyanto lalu diantar ke rumah sakit
di Indramayu. Di sana, dia hanya mendapat penanganan ringan karena
lukanya yang ada di tangan dan siku memang tidak terlalu parah. Berbeda
dengan Djaelani, korban selamat lainnya yang mengalami luka cukup
serius.
Suyanto berada di rumah sakit bersama Djaelani selama dua puluh
hari. Selama itu pula, beberapa wartawan datang untuk mewawancarainya.
Mereka semua ingin mengetahui bagaimana kronologi kejadian yang
menimpanya. Akan tetapi, Suyanto kecil hanya bisa menjelaskan sambil
terbata-bata dan informasi yang disampaikan pun serba terbatas.
Foto Suyanto saat diwawancarai oleh tim penyusun buku “Jer Basuki Mawa Beya,
Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” di rumahnya (Foto: Pribadi).
83 | JER BASUKI MAWA BEYA
60
Humoris atau lucu
JER BASUKI MAWA BEYA | 84
Foto tim penyusun buku “Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif
Perjuangan Transmigran Menuju Sukses” sesaat sebelum berpamitan
dengan Suyanto dan keluarganya (Foto: Pribadi).
*Suyanto pensiun dari tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Transmigrasi
Wilayah Provinsi Jawa Tengah pada pertengahan 2019. Sekarang, ia tinggal di Kota
Semarang bersama anak laki-lakinya dan menantunya. Sehari-hari, ia turut dihibur
dengan keberadaan satu cucu perempuan dan satunya lagi cucu laki-laki.
85 | JER BASUKI MAWA BEYA
Sepintas, tidak ada yang istimewa dari Desa Kagungan Ratu Agung
yang terletak di Kecamatan Tulang Bawang Udik, Lampung. Padahal bagi
Slamet, di sinilah sejarah transmigrasi keluarganya dimulai.
Pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dipimpin
oleh Presiden Soeharto, ketika itu program transmigrasi memang sedang
gencar dilakukan. Melalui Kantor Transmigrasi Wilayah Provinsi Jawa
Tengah, tepatnya pada 11 Maret 1974, diberangkatkanlah sekitar 400 orang
transmigran asal Boyolali menuju ke Lampung.
Para transmigran dikirim ke daerah tersebut untuk memenuhi
target pemerataan jumlah penduduk di Pulau Sumatera yang masih
sangat sepi. Program ini juga diadakan dengan tujuan agar masyarakat
yang mengalami kesulitan ekonomi bisa mendapatkan kesempatan untuk
memperbaiki taraf kehidupannya di daerahnya yang baru. Karena itu, para
transmigran, termasuk keluarga Slamet, diberikan jatah tanah seluas dua
hektare sebagai modal hidup oleh pemerintah pusat.
Tanah yang diberikan oleh pemerintah dulu, kini telah dicacah oleh
Slamet. 0,25 hektare dibagun untuk rumah tinggal, 0,75 hektare untuk
ladang, dan satu hektare dijadikan perkebunan karet. Mungkin, itu juga
sebabnya jarak antara rumah Slamet dengan tetangganya berjarak cukup
jauh, sekitar 50 meter.
JER BASUKI MAWA BEYA | 86
61
Tanah sampir adalah tanah milik desa atau berstatus milik negara yang tidak boleh
diperjualbelikan. Tanah tersebut seringkali digarap oleh masyarakat desa.
87 | JER BASUKI MAWA BEYA
yang berwenang datang dan membagikan jatah tanah. Area antar milik
satu orang dengan orang lainya hanya diberi penanda batas menggunakan
kayu balok dan bertuliskan nama pemiliknya.
Tak lama setelah itu, ia baru mendengar kabar kalau di antara bus
yang menuju tempatnya sekarang, salah satunya ada yang mengalami
kecelakaan di Indramayu. Pantas saja, yang diingatnya semula rombongan
berjumlah enam bus tapi setibanya di lokasi ini kemarin hanya tersisa lima
bus.
Saat itu, ia tidak tahu berapa jumlah korban yang selamat dan yang
meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut. Ia hanya bisa ikut berduka
karena bagaimana pun mereka sama sepertinya, semula ingin berjuang
untuk memperbaiki taraf hidup. Akan tetapi, Slamet tidak mau berlarut-
larut dengan kejadian itu. Ada lebih banyak hal yang harus ia pikirkan, dan
semuanya itu berada tepat di depan matanya sekarang.
“Waktu saya datang, tempat ini masih hutan belantara. Semua
transmigran, baik yang lebih dulu apalagi yang baru datang, semuanya
saling bergotong royong membabat hutan dari nol. Kami menyiapkan
lahan pertanian dengan dukungan logistik awal dari pemerintah. Tapi
tetap saja, waktu itu perjuangannya tidak mudah dan sangat melelahkan,”
kenang Slamet.
Hal yang sama diungkapkan oleh salah satu anaknya Slamet, “Kami
tidak terlalu hapal dengan famili yang ada di Jawa. Terlebih, siapa saja
leluhur kami, kami malah tidak tahu". Namun, bukan berarti anak-anak
Slamet tidak peduli dengan asal-usulnya. Hanya saja, mereka mengaku,
enggan pindah ke Jawa karena menjalani hidup di Lampung sudah cukup
memuaskan. Jika harus pulang ke Pulau Jawa, itu berarti mereka harus
memulai hidup dari awal lagi.
Slamet sendiri bertekad menghabiskan sisa hidupnya di desa
Kagungan Ratu Agung. Tidak terlintas sedikit pun dalam pikirannya
untuk kembali ke Pulau Jawa, tempat leluhurnya berasal. "Keluarga dan
91 | JER BASUKI MAWA BEYA
keturunan saya sudah di sini semua, di Jawa sudah nggak ada lagi. Sekarang
tinggal menghabiskan umur sambil merawat cucu. Syukur-syukur nantinya
mereka juga mau merawat saya juga", ujar Slamet.
Dari jauh, tampak wajah Slamet memang sudah dipenuhi garis usia.
Tubuhnya yang mulai renta seolah menandakan kalau dia butuh banyak
istirahat dan meluangkan lebih banyak waktu intim untuk bercengkrama
dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, jika melihat matanya, seolah-olah roda
kehidupan belum lah mau berhenti berputar sebelum napas benar-benar
terhenti.
Slamet bersama istri dan cucunya sedang berfoto dengan tim penyusun buku
“Jer Basuki Mawa Beya, Kisah Inspiratif Perjuangan Transmigran Menuju Sukses”
di rumahnya (Foto: Pribadi).
*Saat ini, Slamet masih aktif menjalani hari-harinya sebagai petani karet dan singkong
dibantu kelima anaknya yang bernama Suyati, Sukarti, Suwito, Sumardi, dan Sukini.
Dia bertekad untuk menghabiskan usia senjanya di tempat dia bertransmigrasi, Desa
Kagungan Ratu Agung, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Lampung. Tempat yang
menjadi saksi bisu perjuangannya membangun hidup dari titik nol hingga bisa seperti
sekarang.
93 | JER BASUKI MAWA BEYA
62
“Silakan, masuk dulu, Pak.”
95 | JER BASUKI MAWA BEYA
panennya sedikit. Padahal, kalau lebih banyak lagi, bisa untuk persediaan
makan dalam jangka yang panjang.
Demi menafkahi keluarganya agar tetap bisa bertahan, setiap
harinya Mitro mengumpulkan kayu-kayu kering yang ada di hutan untuk
kemudian dijual sebagai bahan kayu bakar di pasar. Selain itu, ia juga
bekerja sebagai buruh serabutan di beberapa perkebunan. Salah satunya di
perkebunan pohon kelapa.
Di perkebunan tersebut, Mitro bekerja sebagai penyadap pohon
kelapa. Ia memanjat dari satu pohon kelapa ke pohon lainnya untuk
kemudian mengambil air legen atau nira. Hasilnya ia kumpulkan hingga
berliter-liter, baru setelah itu disetorkan kepada pemilik kebun.
Foto ilustrasi orang yang lagi mengambil nira pohon kelapa (Foto: Pribadi).
Menjelang sore hari, Mitro yang polos baru pulang dari hutan
setelah menebang beberapa pohon untuk dijadikan papan dan balok. Dia
bercita-cita ingin mendirikan rumah ibadah karena memang saat itu, di
dekat rumahnya belum ada satupun masjid yang dibangun. Jadi, setiap
ingin ibadah, terutama salat Jumat, dia dan warga sekitar akan berjalan
kaki cukup jauh untuk menuju masjid yang berada di desa lain.
Akibat kepolosannya, Mitro kemudian ditangkap oleh pihak
perusahaan milik negara yang berwenang di tempat itu dan dituduh
mencuri kayu untuk dijual. Dia dibawa ke kantor polisi, lalu dijebloskan
ke dalam penjara selama tujuh bulan lamanya. Yang membuat semakin
sengsara, istrinya pada saat itu baru saja memasuki masa-masa kehamilan.
Hari-hari yang berat dilalui Mitro dan istrinya dengan ketabahan
yang luar biasa. Ia mendekam di sel tahanan yang pengap dan apek,
sementara istrinya hanya bisa menunggu kepulangannya seorang diri di
rumah mereka yang sempit dan berada jauh dari pusat keramaian.
Untuk tetap bisa makan, istri Mitro mau-tak mau tetap
mengumpulkan kayu kering di hutan, lalu menjualnya ke pasar. Berita
suaminya yang masuk penjara cepat menyebar di antara warga sekitar
sehingga selama perjalanan mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar,
seringkali ia mendengar para tetangga membicarakan dirinya. Baik dengan
suara yang berbisik-bisik, maupun dengan suara yang lantang agar ia
merasa malu.
Mendapat perlakuan seperti itu tidak lantas membuat istri
Mitro patah arang. Dia tetap diam dan tidak peduli meski seisi dunia
mencibirnya. Dia memilih untuk tetap berjuang demi jabang bayi yang
sedang dikandungnya dan demi menunggu kepulangan suami tercintanya.
Pada hari yang telah ditentukan, Mitro akhirnya dipulangkan dari
penjara. Istrinya yang sekian lama sudah menanti-nantikan momen ini,
JER BASUKI MAWA BEYA | 98
63
Desa tersebut masuk di wilayah Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Provinsi
Lampung.
JER BASUKI MAWA BEYA | 100
Mitro dan ratusan transmigran asal Pulau Jawa sejauh ini bisa
dikatakan, telah membangun desanya dari titik nol. Wilayah itu yang
semula hanya hamparan hutan belantara, tanpa jalan, tanpa listrik, dan
tanpa aliran air bersih. Kini, hampir setengah abad berlalu, kawasan
tempat tinggalnya itu sudah ramai penduduk. Sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan masa-masa awal kedatangannya.
Menurut catatan yang ada, Presiden Soeharto masih terus
menggenjot upaya transmigrasi hingga masa akhir jabatannya. Pada 1984
saja, sudah ada kurang lebih 2,5 juta penduduk yang menjadi transmigran.
Lampung adalah salah satu provinsi tujuan utamanya saat itu.
Kemajuan pesat yang terjadi di Kota Lampung hingga ke desa
dibarengi dengan perubahan nasib Mitro. Meski tidak berdampak besar
tapi tetap saja bergerak perlahan. Dia yang semula hanya bisa makan hasil
bumi yang diterimanya sebagai upah panenannya di ladang orang lain,
akhirnya bisa mulai mandiri.
Seiring berjalannya waktu, ladang miliknya sendiri pun mulai
dipenuhi tanaman singkong dan jagung yang sudah bisa dipanen. Bahkan,
kini dia sudah bisa makan nasi hasil panenan padi yang ditanam di
sawahnya sendiri.
“Namanya bukan orang tani asli, belajar dulu lah kita dari petani
yang betul-betul turun dan mencangkul di sawah, bukan di lahan darat,”
ucap Mitro bercerita.
Lahan yang semula dipenuhi semak belukar dan tumbuhan-
tumbuhan lainnya, digarapnya selama kurang lebih 1,5 tahun. Selama itu,
101 | JER BASUKI MAWA BEYA
Kondisi jalan menuju desa tempat tinggal Mitro yang kini sudah jauh berkembang
dibandingkan pada saat kali pertama dia datang ke lokasi
permukiman tersebut (Foto: Pribadi).
*Sampai tulisan ini terbit, Mitro masih sering turun ke ladang dan sawah miliknya.
Dari penghasilannya yang telah lama disisihkan, dan dibantu oleh warga sekitar,
akhirnya Mitro juga bisa mewujudkan cita-citanya untuk membangun sebuah
masjid yang kini terletak di tepi jalan besar, tak jauh dari rumahnya. Di masjid itu, ia
aktif menjadi muadzin dan mengajar anak-anak untuk belajar mengaji.
103 | JER BASUKI MAWA BEYA
EPILOG
DAFTAR PUSTAKA
Kurasawa, Aiko. (1993). Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial
di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Budiman, Arief. (Ed). (1985). Transmigrasi di Indonesia. Ringkasan Tulisan
dan Hasil-hasil Penelitian. Jakarta: Gramedia.
Heeren, H. J. (1979). Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Syamsu. (1986). Dari Kolonisasi ke Transmigrasi. Jakarta: Djambatan.
Hadi, D.W. dan G. Kasuma. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Jurnal
Verleden Vol. 1 No. 1. Surabaya: Universitas Airlangga.
Putra, Purwanto. (2019). Strategi dan Bentuk-Bentuk Informasi Transmigrasi
Pada Masa Orde Baru dalam Rangka Menyukseskan Program Pembangunan
Nasional. Jurnal Kepustakawanan dan Masyarakat Membaca Vol. 35 No.
2. Lampung: Universitas Lampung.
Swasono, S. E. dan Masri Sinagrimbun. (1986). Transmigrasi di Indonesia
1905-1986. Jakarta: UI Press.
Husodo, Siswono Yudo. (2003). Tranmigrasi: Kebutuhan Negara Kepulauan
Berpenduduk Heterogen Dengan Persebaran Yang Timpang. Jakarta: PT.
Tema Baru.
Ananta, Aris. (1983). Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga
Demografi Universitas Indonesia.
Yulisetyaningtyas, Bintang. (2008). Tesis: Evaluasi Pelaksanaan Program
Transmigrasi Melalui Model Kerjasama Antar Daerah, Studi Kasus Di
Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Program
Pasca Sarjana Universitas Diponogoro.
Undang-Undang No 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
109 | JER BASUKI MAWA BEYA
DAFTAR LAMAN
LAMPIRAN
JER BASUKI MAWA BEYA | 112
113 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 114
115 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 116
117 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 118
119 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 120
121 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 122
123 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 124
125 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 126
127 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 128
129 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 130
131 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 132
133 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 134
135 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 136
137 | JER BASUKI MAWA BEYA
JER BASUKI MAWA BEYA | 138
139 | JER BASUKI MAWA BEYA
Catatan :