Anda di halaman 1dari 11

Artikel Sosial Budaya

Ekspansi Kuda Lumping


di Tanah Sumatra

Malang, 10 Januari 2022 - Urip iku urup" itulah


falsafah yang menggambarkan kondisi budaya
Jawa di tanah Sumatra. Falsafah jawa tersebut
ingin mengungkapkan bahwa keberadaan
budaya jawa tidak pernah hilang dari
entitasnya. Pengenalan terhadap seni dari jawa
ini dibuktikan dengan hadirnya seni kuda
lumping yang mampu merangkul berbagai
kalangan masyarakat, khususnya anak muda.
Transmisi budaya yang dilakukan transmigran
jawa di tanah sumatera ini menggambarkan
bahwa hidup itu harus nyala.
Seperti halnya kuda lumping, kesenian tersebut
dapat membawa wawasan baru dan
menambah keanekaragaman di tanah
Sumatra. Kesenian kuda lumping ini mampu
merangkul anak muda untuk menggali
kekayaan budaya Indonesia. Dengan budget
yang tidak terlalu tinggi dan tema yang
sederhana siapapun dapat mengikuti kesenian
ini. Maka itulah alasan anak muda sering
menghadiri berbagai event yang
diselenggarakan.

Awal rasa penasaran masyarakat sekitar


muncul Kehadiran kuda lumping di tanah
Sumatra ditandai dengan masuknya program
transmigrasi jawa pada tahun 1905. Sejak saat
itu masyarakat jawa mulai beradaptasi dengan
masyarakat sekitar. Mereka senantiasa
melakukan kegiatan-kegiatan yang menjadi
kebiasaannya di pulau jawa, seperti
mengadakan hajatan pernikahan, syukuran,
dan khitanan. "Orang-orang jawa mengenalkan
budayanya lewat kuda lumping, waktu itu ada
di pringsewu" kata Sutarto selaku pimpinan
paguyuban Suko Cipto Manunggal.

Kegiatan tersebut mereka lakukan di lapangan


terbuka dan mengundang perhatian
masyarakat sekitar. Ditambah lagi ada
beberapa pertunjukan unik yang jarang
dijumpai dapat menarik mata mereka. "Karena
ada unsur magic dan tarian-tarian yang belum
pernah dilihat, orang-orang sekitar menjadi
penasaran dan tertarik untuk menghadiri" ucap
Sutarto. Sejak itulah rasa penasaran mereka
terpenuhi dan mulai mencoba untuk berbaur
dan mulai mengikuti kegiatan kuda. Rasa
penasaran masyarakat Indonesia senantiasa
menyelimuti mereka untuk menguliti hal baru.
Contoh seperti bagaimana awal mula kesenian
kuda lumping bisa merangkul seseorang untuk
mengikuti kegiatan.

Tokoh-tokoh Pembina kesenian kuda lumping


Saat ini perkembangan kuda lumping di tanah
sumatera telah menghadirkan ratusan cabang
paguyuban pagelaran baru. Terlepas dari itu
ada beberapa tokoh penanggung jawab dan
pembimbingnya. Beberapa tokoh yang
berperan sebagai pembina antara lain
Kabareskrim Agus, Dr. Nurdiono, S.E. Akt.,
M.M anggota Dpd provinsi Lampung, dan
majelis Pembina organisasi adalah Drs. H.
Herman Hasanusi, M.M. Tokoh tersebut adalah
beberapa penanggung jawab di paguyuban
Puja Kesuma. Puja kesuma sebagai
paguyuban besar dapat mendirikan berbagai
kelompok kesenian, salah satunya kesenian
kuda lumping suko cipto manunggal.

Melalui kesenian ini, kecenderungan anak


muda yang suka kumpul untuk mengadakan
kegiatan yang tidak diinginkan dapat teratasi.
Sebagaimana mestinya, anak muda
merupakan regenerasi yang harus
mengembangkan kelestarian budaya
nusantara. Sebagai penunjang rasa bosan
yang dimiliki anak muda, kesenian yang
tersusun dari irama musik, gerak tarian,
pemanggilan roh-roh leluhur ini mengobati rasa
rindu terhadap tanah jawa. "Karena di jawa
sendiri identik dengan ritual mistis, ya anak-
anak muda menjadi tertarik apalagi yang
antimainstream" kata Sutarto.

Dukungan yang Seharusnya Orang Tua


Berikan untuk Anak Muda

Melihat sudut pandang permasalahan remaja,


Sutarto mencoba menggandeng segerombol
anak muda agar
melihat lebih jauh potensi dirinya. Kesenian
yang dijalaninya telah membawa perubahan
bagi lingkungan sekitar. "dulu ada seorang
remaja berinisial L, dia kecanduan miras
sampai tidak bisa berhenti, tapi setelah ia
berbaur dengan kami, ya kebiasaannya
berubah karena dibimbing" ucap Sutarto. Lewat
event kuda lumping, anak muda dapat
menyalurkan sebagian waktu untuk belajar
mengenai penggunaan alat-alat, musik, dan
tarian tradisional. Kegiatan yang dilakukan
tersebut tidak hanya membawa perubahan
positif bagi kepribadian. Namun dapat juga
membentuk tali persaudaraan masyarakat dan
menambah keanekaragaman di daerah
Lampung.

Artikel Politik
Apdesi Minta Jabatan
Kepala Desa 27
Tahun?
Mulai muncul pemikiran yang di luar nalar.
Masa kepala desa berkuasa 27 tahun? Bisa
jadi 27 tahun itu sama dengan seumur hidup. 
Bukan hanya di luar nalar, tapi juga sebuah
pengkhianatan terhadap reformasi yang
diperjuangkan mahasiswa dengan korban
banyak nyawa. 

Kita semua tahu, bahwa reformasi muncul


karena kemuakan generasi muda terhadap
kerakusan kelompok tertentu terhadap
kekuasaan. Kekuasaan tak lagi dianggap
sebagai sebuah amanah yang harus dijaga. 

Kita akhirnya membatasi kekuasaan menjadi


maksimal 2 periode, saat 1 periode nya 5 tahu.
Atau maksimal 10 tahun. 

Tuntutan reformasi terutama untuk jabatan


presiden. Akan tetapi, pada dasarnya
pembatasan kekuasaan hanya untuk 2 periode
diharapkan berlaku untuk semua kekuasaan. 

Seharusnya juga anggota legislatif juga cukup


2 periode. Tapi nyatanya ada yang sampai
bangkotan tak mau bergeser. Padahal
gubernur, walikota, dan bupati yang merupakan
jabatan politik sudah semua dibatasi menjadi 2
periode saja. 
Eh, muncul raja raja desa yang menggebrak
perpolitikan nasional. Mereka bahkan
mengancam jika aspirasinya tak terpenuhi.

Aspirasinya tidak tanggung tanggung, minta


jabatan nya berlangsung 9 tahun. Kemudian
periode juga 3 periode. Jika dijumlah 3 periode
kali 9 tahun maka mereka akan
ongkang ongkang selama 9 tahun. 

Sebuah tuntutan di luar nalar dan


pengkhianatan terhadap reformasi. Kita semua
harus melawan sikap segelintir manusia yang
seperti ini. 

Bangsa ini tak boleh lagi ditarik mundur jauh.


Kita harus tatap ke depan. 

Tak boleh ada kekuasaan yang langgeng.


Karena hanya akan memunculkan
otoritarianisme di mana mana. 

Darah mahasiswa yang berjuang untuk


reformasi masih hangat. Jangan khianati
reformasi dengan nafsu nafsu tak terkendali. 

Anda mungkin juga menyukai