Anda di halaman 1dari 15

Budaya tidak hanya membahas tentang pola tingkah laku manusia tetapi secara luas, segala bentuk

penunjang tingkah laku berupa kepercayaan dan pengetahuan, gagasan, benda, dan sikap yang
diturunkan generasi ke generasi adalah bagian dari budaya. Salah satu budaya yang menyimpan ciri khas
dan keunikan tersendiri ialah budaya Mabissu di Sulawesi selatan, tepatnya di Kabupaten Pangkep,
Indonesia. Mabissu salah satu tarian sakral yang hanya bisa diperagakan oleh komunitas bissu. Tari
Mabissu biasanya di pertunjukan dalam prosesi Mappalili atau dikenal dengan proses pengolahan lahan
persawaahan setelah panen. Kegiatan para bissu yang dianggap menyembah berhala menjadi masalah
dimasyarakat, terlebih lagi perkembangan ilmu agama terkhusus saat mulai masuknya ajaran Islam.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep, manfaat, dan cara bermain dari CO-BISSU
sebagai upaya Pelestarian Budaya Mabissu Berbasis Permainan Kartu dengan Menggunakan Metode
“Mappau” di Kabupaten Pangkep. Jenis penelitian yang digunakan pada penulisan karya tulis ilmiah ini
yaitu menggunakan pendektan studi kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. CO-BISSU ialah Card of Bissu yang terdiri dari dua suku kata, Card dan Bissu. Card berasal dari
bahasa inggris yang berarti kartu. Ada beberapa jenis media meliputi kartu gambar, foto,
gambar/ilustrasi, sketsa, garis, grafik, bagan chart yang bergabung dari dua bentuk atau lebih.
Permainan ini memerlukan jumlah pemain sebanyak 9-19 orang (bisa disesuaikan), didalamnya
termasuk 1 orang Dewata Sawwae. Adapun karakter dan fungsi kartu dalam permaianan CO-Bissu
adalah raja, Puang Matoa (pimpinan bissu), Puang Lolo (wakil pimpinan), Bissu Tanre (Bissu Tinggi), dan
Bissu Poncok (Bissu Pendek).
Setiap daerah atau wilayah memiliki jenis kebudayaannya masing-masing. Tidak berbeda halnya dengan
suku Bugis, mereka memiliki ragam dan kekhasan budayanya sendiri. Masyarakat Bugis mengenal
beberapa jenis gender. Setelah adanya laki-laki, perempuan, calabai, dan calalai,dikenal pula adanya
gender kelima yaitu bissu. Pelras (2006:190) memaparkan, calabai yang secara etimologis berarti
‘perempuan palsu’ atau ‘hampir perempuan’ adalah laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan.
Sedangkan calalai yang berarti ‘pria palsu’ atau ‘hampir pria’ adalah pperempuan yang bertingkah laku
seperti laki-laki. Brooke dalam Pelras juga mengungkapkan bahwa ada kecenderungan di kalangan orang
tua anak laki-laki ketika melihat munculnya sifat-sifat keperempuanan tertentu dalam kebiasaan dan
penampilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak tersebut kepada salah seorang raja, di mana dia
akan mengabdi. Biasanya, anak lelaki ini kemudian akan banyak berpengaruh dan menjadi orang
kepercayaan tuan mereka. Sedangkan bissu merupakan transgender laki-laki dan perempuan,
mengenakan pakaian layaknya perempuan namun tidak menghilangkan aspek maskulin dalam
penampilannya. Transgender ini, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai androgini, memiliki peran
penting dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Bugis sampai sekarang.

Sejarah adanya bissu tidak dapat dilepaskan dari mitologi To Manurungyang kisahnya terdapat dalam
epos La Galigo. To Manurung, yang dalam segi bahasa bisa diartikan sebagai orang yang turun dari
langit, namun dalam perkembangannya, to-manurung dapat pula bermakna sebagai orang luar yang
datang dan menjadi agen pembaharu di suatu daerah. Diceritakan dalam epos tersebut bahwa dari tiga
dunia yang ada, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah, hanya dunia tengah sajalah yang
belum berpenghuni. Kemudian Datu Patotoe sebagai penguasa dunia atas (kahyangan) bermusyawarah
dengan penguasa dunia bawah yaitu Guru Ri Selleng, yang akhirnya memutuskan untuk menurunkan
Batara Guru dari langit sebagai penghuni pertama dunia tengah. Batara Guru inilah yang kemudian
dikenal sebagai to-manurung pertama. Beliaulah yang dianggap sebagai cikal bakal manusia pertama,
Batara Guru turun ke dunia dengan menggunakan media bambu dan bunyi halilintar. Setelah beliau
turun, kemudian disusul dengan diturunkannyaistana, selir, saudara sesusuan, inang pengasuhnya.
Beliau kemudian menikah dengan sepupunya sendiri dari dunia bawah yang bernama We Nyili Timo dan
hidup turun temurun di dunia tengah (bumi).Setelah kejadian tersebut, menyusul diturunkan pula dari
langit bissu dan rombongannya, yang bernama We Sawammega dan tiba di daerah Letenriwu di lereng
Gunung Latimojong. Diturunkannya We Sammenaga ini adalah atas usul Datu Patotoe kepada
permaisurinya. Dia menganggap baik kiranya diturunkan pula dari langit, bissu ahli, agar merekalah nanti
yang mempersiapkan kelengkapan upacara jika kelak anak menantu mereka hamil. Dari kisah inilah
diyakini istilah bissu berawal dan menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan, (Makkulau, 2008:21-
24).

Seorang bissu memegang peranan yang besar dalam upacara-upacara adat di daerah Bugis. Selain itu,
golongan ini juga memiliki sebuah pertunjukan tari tradisional yaitu tari sere bissu maggiri, yang hingga
saat ini, meski pelakunya sudah sangat sedikit, namun masih dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Kayam dalam Supriyatun (2014:1) menjelaskan kesenian sebagai salah satu unsur yang menyangga
kebudayaan. Ia berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Kesenian tidak pernah lepas dari
masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan
kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga
kesenian sebagai penggerak dari kesenian memberi peluang untuk mencipta, bergerak, memelihara,
menularkan dan mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru. Kesenian adalah
suatu prasarana yang digunakan manusia untuk menciptakan ide dan kebudayaan salah satunya seni
tari. Terdapat perbedaan antara kesenian tradisional dan moderen sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kussudiardjo dalam Supriyatun (2014:3) bahwa ciri-ciri kesenian rakyat adalah sifat sederhana baik segi
gerak, iringan, pakaian, rias maupun temanya, biasanya dilakukan dengan spontan, tidak ada peraturan-
peraturan tertentu, warna-warna yang digunakan sederhana pada umumnya, merah, putih dan hitam.

Segala bentuk kesenian, baik musik, tari, rupa, bahkan media, memiliki kegunaan atau fungsinya masing-
masing, terlepas dari pengaruh yang diberikannya, apakah itu hanya berdampak pada individu yang
menghasilkan kesenian itu sendiri, kelompoknya, atau kepada masyarakat secara luas. Dalam KBBI, dari
segi sosial, fungsi diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat. Sedangkan, Sutarto
dalam Rasyid (2008:29)menyebutkan fungsi sebagai rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya
satu sama lain untuk dilakukan oleh seorangpegawai tertentu yang masing-masing berdasarkan
sekelompok aktivitas sejenismenurut sifat atau pelaksanaannya.

Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat melihat bahwa setiap bagian yang terikat dalam struktur
suatu kelompok masyarakat, baik individu maupun perangkat-perangkat budaya yang mengikutinya,
memiliki fungsinya masing-masing, yang mana setiap bagian tersebut menjalankan aktivitasnya sesuai
fungsinya sehingga tercapai suatu tatanan sosial yang seimbang dan selaras. Sama halnya dengan tari
mabbissu, yang tidak hanya menjadi pelengkap estetika semata, tarian ini adalah suatu produk budaya
dan telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kultur masyarakat Bugis, dan memiliki fungsinya
sendiri dalam masyarakat.

Supardjan dalam Supriyatin (2014:11) mengemukakan mengenai fungsi tari tradisional yang juga
membaginya menjadi tiga bagian yaitu: 1) Tari sebagai sarana upacara Fungsi tari sebagai sarana
upacara merupakan media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan-kekuasaan yang lebih
tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan atau mengusirnya, demi keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat; 2) Tari sebagai sarana hiburan atau pergaulan Tari
ini memiliki tujuan sebagai hiburan. Tari hiburan dimaksudkan untuk memeriahkan atau mengkaitkan
keakraban pertemuan, atau untuk memberikan kesempatan serta penyaluran bagi mereka yang
mempunyai kegemaran akan menari; 3) Tari sebagai pertunjukan, bertujuan untuk memberi hidangan
pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh tanggapan dari penontonya. Sejalan
dengan hal itu, Sumandiyo dalam Widayati (2012:13) mengemukakan lima fungsi tari yaitu: (a) Tari
sebagai keindahan,Tujuan seni yang utama tidak lain hanyalah mengenai keindahan. Bahkan keindahan
itu seolah-olah harus ada dalam seni termasuk seni tari. Karena seni tari selalu dihubung-hubungkan
dengan unsur keindahan; (b)tari sebagai kesenangan, sebagaimana keindahan, kesenangan juga
merupakan sifat relatif bagi manusia. Kesenangan terletak pada hubungan yang terdapat antara obyek
dengan manusia. Sehubungan dengan hal itu, biasanya orang merasa senang karena obyek keindahan
dapat ditangkap memenuhi selera; (c) tari sebagai sarana komunikasi, pada hakikatnya semua seni
termasuk seni tari bermaksud untuk dikomunikasikan. Seni tari juga mempunyai keistimewaan yaitu
berupa ekspresi manusia yang akan menyampaikan pesan dan pengalaman subyektif si pencipta atau
penata tari kepada penonton atau orang lain; (d)tari sebagai sistem symbol, tari sebagai system simbol
adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara konvensional digunakan bersama, teratur dan
benar-benar dipelajari sehingga memberi pengertian hakikat manusia yaitu suatu kerangka yang penuh
dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada orang lain; dan (e) tari sebagai supraorganik, gejala
supraorganik adalah semua yang ada dibalik aktifitas dan artifaknya. Gejala seperti itu sifatnya lebih
abstrak dan bersifat lebih tak teraba. Maksudnya bahwa fenomena supraorganik hanya dapat dikatakan
akan tetapi tidak dapat ditunjukkan mana wujud dan fenomenanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa selain sebagai sarana mengekspresikan
keindahan, terdapat tiga fungsi utama dari sebuah pertunjukan tari tradisional, yaitu sebagai sarana
ritual, hiburan, dan pertunjukan. Suatu pementasan seni tari, dapat memberikan rasa kepuasan
tersendiri bagi pelaku seni dan penikmatnya. Dewasa ini, pertunjukan tari tradisional juga mengalami
perkembangan yang signifikan, terlihat dari munculnya beragam tari kreasi yang meletakkan akarnya
pada pijakan gerak dari tari tradisional, serta pergeseran fungsi tarian dari ritual kepada pertunjukan tari
profan, yang tidak lagi menjadikan tari sebagai wadah spiritualisme, namun lebih bernilai ekonomi.

Seiring berjalannya waktu, pergeseran-pergeseran makna serta fungsi dari sebuah pertunjukan
kesenian, memang tidak dapat dielakkan. Tidak adanya pihak yang dapat melegitimasi sebuah jenis
pertunjukan tradisional, esensi dan orisinalitasnya, membuat perkembangan sebuah tari menjadi suatu
hal yang mutlak terjadi. Dalam halnya dengan pertunjukan tari mabbissu, untuk melihat perkembangan
yang dialami oleh tari mabbissu, kita dapat melihat dari sejauh mana fungsi pementasan tarian tersebut
mengalami pergeseran.
Pembahasan

Bissu: Fungsi dan Peranannya

Kata bissu dianggap berasal dari kata bessi yang berarti bersih, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah
suci, tidak haid, atau tidak berdarah. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata
bhiksu atau pendeta dalam agama Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh Pelras (2006:68) sebagai
salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Bissu dianggap sebagai orang yang
menjadi penghubung antara dewa langit dengan manusia bumi. Dia menjadi pendeta agama Bugis kuno,
pemimpin upacara adat yang ada di masyarakat Bugis, seperti upacara Mappalili dan Mattemmu Taung
di Kab. Pangkep. Untuk menjadi bissu memang dipersyaratkan sebelumnya harus berasal dari wadam,
juga harus ada panggilan spiritual dan ketekunan mendalami ilmu kebissuan.

Puang Upe, dikenal sebagai Puang Lolo Bissudi Segeri, Kab. Pangkep yang menggantikan peran Puang
Matowa Saidi setelah beliau mangkat pada 2010. Karena usia yang tidak lagi muda, kondisi kesehatan
beliau juga semakin menurun. Salah satu atraksi terkenal beliau saat menarikan
tari maggiri (pertunjukan lanjutan dari tari mabbissu) adalah dengan berani menusukkan keris ke
matanya. Beliau pernah menyatakan, sebagaimana dikutip dalam laman resmi National Geographic
bahwa tidak semua orang bisa menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan
gaib lewat mimpi. Setelah mendapat bisikan ini, orang tersebut harus melapor pada
pemimpin bissu atau puwang matowa untuk ditahbiskan. Hal ini menunjukkan bahwa, untuk menjadi
seorang bissu bukanlah sesuatu yang bisa dibuat-buat, tapi murni panggilan jiwa. Hal ini sejalan dengan
yang disampaikan oleh Puang Lolo, yang bernama lengkap Muh. Basri Bolle Patongai,
S.Sos.,seorang bissu yang berdomisili di Kab. Sinjai.Panggilan untuk menjadi bissu muncul di dalam
dirinya, hingga akhirnya pada tahun 2008 secara resmi dia dilantik untuk menjadi bissu oleh Puang
Matowa (bissu yang dituakan) dari daerah Pangkep. Peran baru yang disandangnya yaitu
sebagai bissumembuatnya dipercaya menjadi pemimpin berbagai upacara adat di daerah ini diantaranya
adalah upacara Ma’rimpa Salo dan Mappogau Sihanua. Di umurnya sekarang (47 tahun) dia juga masih
menarikan tari mabbissu di daerahnya.Dia mengungkapkan bahwa dulunya dia memang sering
mengenakan pakaian perempuan, hingga pada suatu hari dia melihat sebuah cahaya dalam mimpi yang
lalu menguatkan hatinya dan memutuskan untuk menjadi seorang bissu.

Seseorang yang hendak menjadi bissu biasanya menemui tanda-tanda tertentu dalam dirinya. Seperti
melalui mimpi, sering melihat kilatan cahaya, atau yang lainnya. panggilan spiritual ini tidak bisa
direkayasa, dan Puang Matoa sebagai bissu yang dituakan yang berhak melantik seseorang
menjadi bissu, biasanya mendapatkan semacam isyarat mengenai akan datangnya calon bissu yang akan
magang di tempatnya. Seorang yang akan dilantik menjadi bissu diwajibkan berpuasa selama sepekan
hingga empat puluh hari dan menjalankan berbagai ritual yang menjadi syarat bagi seseorang untuk
menjadi bissu.

Seorang bissu dianggap sakti karena melalui pertunjukan tarian mabbissunya yang dilanjutkan dengan
tarian maggiri, mereka melakukan aksi menusuk-nusukkan senjata tajam ke badannya namun yang
bersangkutan tidak luka atau kebal tidak termakan senjata. Selainitu bissu juga berperan sebagai
perantara penyelenggara upacara sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang dicapai.

Nurlina (1996:34) menjelaskan beberapa golongan bissuadalah:

 Bissu Tanre (tinggi), dalam hal ini pengetahuannya dianggap yang tinggi, dan mereka muncul
pada upacara turun ke sawah (upacara palili). Jumlah mereka ada 40 orang.

 Bissu Poncok (pendek) terdiri dari 6 orang setiap kelompok, mereka turun pada pesta kerajaan,
serta melepaskan nazar.

 Bissu Core-core, pada umumnya dimunculkan pada upacara-upacara seperti:

1. Mallangi arajang, membersihkan arajang(benda pusaka kerajaan) peperangan, wabah penyakit,


dan musim kemarau.

2. Maccera arajang, ialah pengorbanan hewan.

3. Mattoana arajang, ialah memberi sesaji kepada

 Inang Bissu, yaitu perwira bissu, bertugas untuk mengobati orang-orang sakit (dukun).

 Kuneng Lolo, tidak ikut menari tetapi duduk pada waktu upacara, bissuini adalah keturunan
bangsawan.

 Bissu Lolo, yaitu prajurit bissu.

Nurlina (1996:8) juga menyebutkan secara umum peranan dan fungsi sosial bissudalam masyarakat yang
dipaparkan sebagai berikut:

 Pemelihara, perawat, dan pembawa arajang. Arajang yang saat ini hanya merupakan benda
peninggalan kerajaan. Sesungguhnya adalah simbol kekuasaan di masa lalu yang dipergunakan
oleh penguasa yaitu raja. Benda-benda itu merupakan persyaratan untuk semua kekuasaan dan
kewenangan, dengan kata lain pemilikan benda itu berhubungan dengan kekuasaan yang sah
dan lambang kedudukan bagi yang melakukan kekuasaan, yang menjadi jaminan legitimasi.
Maka dari itu, hanya para bissu saja yang dapat memegang dan sekaligus sebagai penanggung
jawab arajang.

 Pemimpin upacara ritual. Dalam melaksanakan upacara ritual, khususyang berhubungan dengan
para leluhur, juga termasuk tugas para bissu. Masyarakat percaya bahwa hanya bissu yang
mampu berkomunikasi dengan leluhur mereka, dan menjembatani antara ‘kekuatan yang ada di
atas dengan dunia bawah’. Dengan semakin menyebarnya pengaruh Islam, maka tugas-tugas
tersebut perlahan-lahan memudar. Meskipun demikian, pada upacara-upacara tertentu seperti
upacara tanam dan panen padi, peranan bissu sebagai pemimpin ritual masih tetap
dipertahankan dalam tata cara tradisional.
 Sanro(dukun). Menyembuhkan penyakit, juga termasuk tugas bissu, terutama pengobatan
dengan menggunakan mantera-mantera.

 Guru bagi orang-orang yang akan menikah. Sampai saat ini terdapat kecenderungan untuk
melakukan hubungan perkawinan antara sesama anggota keluarga yang masih mempunyai
pertalian darah, baik dari garis keturunan ayah maupun dari gari keturunan ibu. Perkawinan
yang dipandang ideal dalam masyarakat Bugis Makassar adalah perkawinan antar sepupu dari
kedua orang tua. Setiap perkawinan dilakukan menurut tatacara yang diatur oleh adat, mulai
dari menentukan jodoh sampai pada pembentukan rumah tangga baru. Adat tata kelakuan
berkeluarga menuntut setiap anggota keluarga mematuhi dan mentaatinya serta bertanggung
jawab untuk mempertahankannya, karena itu merupakan norma-norma yang suci. Adat tata
berkeluarga meliputi:

1. Tata sopan santun keluarga, baik kepada suami, ipar, mertua, serta sanak famili pihak suami
lainnya;

2. Menyangkut pengambilan peran dalam hubungan hak dan kewajiban dalam hidup berumah
tangga;

3. Tata cara dalam pergaulan suami istri.

Bissu tidak saja menjadi pemimpin utama atas ritual adat, namun lebih dari itu, mereka memiliki peran
penting dalam masyarakat pendukungnya sebagai orang yang dipercayakan menjadi penghubung atau
shaman antara warga biasa dengan Dewata Seuwwae atau Tuhan dalam kepercayaan mereka, yang oleh
karenanya menuntut perangai atau perilaku yang baik demi menjaga kredibilitas atas peran yang
mereka sandang.

Tari Mabbissu

Tari mabbissu adalah sebuah tarian yang dipertunjukkan oleh seorang bissu. Tarian ini dikenal pula
dengan nama tari maggiri.Tari maggiri merupakan kelanjutan dari tari mabbissu itu sendiri dan menjadi
puncak dari pementasan tarian ini.Maggiridapat diartikan mengiris atau menusukkan keris ke
tubuh bissu, terutama ke daerah-daerah yang vital seperti leher, perut, dan pergelangan
tangan.Para bissu yang melakukan pertunjukan tarian ini dianggap kemasukan roh dan mendapat
kemampuan kebal pada senjata tajam. Tari mabbissu biasanya dipentaskan pada saat dilaksanakan
upacara adat seperti mappalilidi Kab. Pangkep. Tarian ini dapat dilakukan sendirian, dan bisa pula
dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang bissu. Tari mabbissu ini sarat dengan nuansa mistis
dan memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya menarik untuk disaksikan.

Sebelum memulai menari, terlebih dahulu seorang bissu mengganti pakaiannya dengan pakaian
tari bissuyang pada umumnya berwarna kuning keemasan dengan dilengkapi berbagai aksesoris yang
lazimnya dikenakan oleh perempuan. Selain itu mereka juga menyiapkan beberapa peralatan
pendukung seperti wadah/baskom berisi air, beberapa helai daun-daunan, gendang, dan keris. Adapun
gerakan-gerakan yang dilakukan dalam tari mabbissu adalah sebagai berikut:

Setelah berganti pakaian dan melakukan ritual awal sebelum menari yaitu membaca doa khusus
(mantra), seorang bissudianggap sudah siap untuk memulai tarian, dan dengan diawali bunyi gendang
pertama yang dipukulkan oleh pa’ganrang (penabuh gendang) sebagai tanda dimulainya tarian
ini, bissu yang membawa alusu (perlengkapan tarian) akan melangkah masuk ke arena pertunjukan
dengan menginjak kain putih yang terbentang. Abbissungeng (hal-hal yang berkaitan dengan bissu)selalu
identik dengan bunyi-bunyian seperti gendang, pada saat diadakannya suatu hajatan berbagai bunyi-
bunyian gendang yang ditabuh akan diperdengarkan dengan beragam nada yang dimainkan, ada yang
terdengar pelan dan adapula yang cepat, disesuaikan dengan kebutuhan ritual.

Selanjutnya bissu akan melangkah perlahan, selangkah demi selangkah, dengan gerakan kaki yang pelan
dengan diiringi alunan gendang yang makin lama semakin kuat terdengar. Alusuyang dibawanya akan
digoyangkan perlahan-lahan, dan menimbulkan suara-suara kecil, meskipun suara alusu tersebut nyaris
tidak terdengar karena tenggelam dalam suara gendang yang ditabuh cukup keras. Bunyi-bunyi yang
terdengar dari alusu bertujuan agar apabila kita berdoa, doa yang kita panjatkan selalu didengarkan oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi bunyi-bunyian tersebut dapat dianggap sebagai pengantar jalannya doa.

Demikianlah seorang bissu akan terus bergerak dan berputar-putar secara perlahan di tengah tempat
pertunjukan tarian tersebut. Setelah beberapa menit bergerak dan membunyikan alusu, tak lama
kemudian bissu mulai meletakkan alusu yang dibawanya ke lantai, lalu mulai mengambilalameng.
Semua gerakan yang dilakukannya adalah sangat pelan dan nampak hati-hati sekali. Alamengadalah
sejenis pedang khusus yang digunakan oleh bissudalam menarikan tari mabbissuini. Alameng yang
masih terbungkus dengan sarungnya dipegang dengan kedua tangannya lalu diangkat-angkat ke atas
kepalanya.Kemudian perlahan-lahanbissu menurunkan badannya seperti posisi orang yang hendak
berlutut, lalu mulai mengeluarkan alameng dari sarungnya dan memulai lagi menari-nari
bersama alameng tersebut dengan tangan kanannya memegang sarung alameng, sedangkan tangan
kirinya memegang alameng itu sendiri.

Bissu terus bergerak-gerak dengan alamengnya, dan melakukan beberapa gerakan-gerakan tertentu,
seperti mengacungkan alameng ke arah depan, dan bahkan mencium alamengnya. Setelah
itu, alameng akan dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan diletakkan di tempat
semula. Bissu kemudian mengambil alusu dan kembali menari-nari dengan membawa alusu dengan
kedua tangannya. Dia bergerak pelan dengan gerakan yang sedikit berputar, sambil menaik
turunkan alusu yang dibawanya.

Setelah menari-nari dan bergoyang-goyang beberapa saat, alusukemudian diletakkan di lantai,


dan bissukembali bergerak-gerak dan menari-nari sendiri mengikuti irama gendang. Gerakan-gerakan
tari yang dibawakannya memang terlihat feminin, sangat lembut dengan gerakan yang agak lamban,
menggoyang-goyangkan badannya sedemikian rupa, dengan sedikit mengangkat kain sarung yang
dipakainya dia terus bergerak, hingga akhirnya kembali ke posisi seperti sedang berlutut. Keadaan
berlutut seperti itu dianggap sebagai posisi menghormat, dan setelah dalam posisi tersebut, irama bunyi
gendang yang ditabuh pun berhenti. Bissu menghentikan tariannya, lalu kedua tangannya dihadapkan ke
arah atas, bawah, ke samping kiri, dan kanan. Hal itu dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada
empat inti alam yaitu air, angin, api, dan tanah. Bissu kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke
arah atas seperti orang yang sedang berdoa, lalu terdengar suara bissu dengan cukup lantang
mengucapkan sesuatu, yaitu ucapan tertentu yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tak lama setelah itu, bissu mulai mengalami keadaan trans dan berada di bawah pengaruh alam bawah
sadarnya. Keris yang terselip di balik ikat pinggangnya diambil dan dikeluarkan dari sarungnya. Keris
mula-mula dipandanginya dengan penuh konsentrasi, lalu secara tiba-tiba keris itu mulai diiris-iriskan ke
tangannya namun anehnya keris itu seperti tidak berfungsi sama sekali, tidak ada luka gores dan
tangan bissu tidak mengeluarkan darah sedikitpun.

Gendang pengiring terdengar semakin kencang, sambil terus bergerak-gerak menari bissu pun mulai
menusuk-nusukkan keris tersebut ke bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dimulai dari tangan, lalu
ditusukkan ke nadi yang ada di pergelangan tangan, kemudian leher, dan yang terakhir adalah bagian
perutnya sebelah atas. Semua tusukan yang dihunjamkannya sangat kuat dan ditekan begitu keras dan
berlangsung cukup lama. Layaknya seorang bissu saat menarikan tarian mabbissu ini memiliki ilmu kebal
senjata tajam, dan terlihat seperti atraksi yang biasa dilakukan dalam debus.

Setelah beberapa saat melakukan atraksi tusuk-tusukan keris tersebut, bissu mulai memperlambat
gerakannya dan mulai bergerak mundur ke tempat dia mulai melangkah masuk sebelum menari.
Sesampainya di tempat awal, bissu menghadap ke arah baskom yang telah berisi air dan beberapa helai
daun-daunan yang dipetik sesaat sebelum menari. Bissu kembali dalam posisi berlutut dan
mengacungkan kerisnya ke atas sebagai penghormatan yang terakhir kalinya. Dia kemudian
memasukkan keris ke dalam sarungnya lalu mengambil alameng dan beberapa helai daun yang sudah
basah dari dalam baskom, kemudian memercikkan airnya ke berbagai arah, sambil tetap melakukan
gerakan-gerakan dalam tari mabbissu. Selesai memercikkan daun yang basah tersebut menandakan
prosesi tarian mabbissu ini pun telah selesai dilakukan. Wajah bissu yang melakukan tarian ini basah
oleh keringat mengingat lamanya tarian ini dilakukan. Seiring berakhirnya tarian mabbissu ini,
badan bissu kembali ke keadaan semula sebagaimana manusia biasa atau, tidak kebal lagi terhadap
keris, yang tentunya jika ditusukkan akan menyebabkan luka serius pada tubuh siapapun.

Perlengkapan Tari Mabbissu

Adapun perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakan oleh seorang bissudalam memperagakan


tarian mabbissu ini selengkapnya dapat dilihat pada paparan berikut:

1. Pakaian bella-dada

Pakaian yang digunakan oleh bissu adalah pakaian khusus yang disebut dengan pakaian bella-
dada seperti terlihat pada gambar, dari mulai penutup kepala hingga celana panjang yang berwarna
kuning. Busana yang dikenakan biasanya berbahan halus. Menurut informan kami, pakaian bissu zaman
dahulu kainnya terbuat dari sutra yang bertekstur sangat halus, berbeda dengan pakaian yang dibuat
pada zaman sekarang. Seorang bissu mengenakan penutup kepala yang disebut passapu yang diatasnya
diberi hiasan berupa bunga patambali dan pinang goyang yang biasanya terbuat dari kertas berwarna
hijau, kuning, dan merah. Hal ini melambangkan bahwa seorang bissu sangat mengagumi dan
menghargai keindahan alam yang telah diciptakan oleh Tuhan. Terdapat selendang yang diikat
melingkar di pundak kirinya hinggake pinggang sebelah kanannya yang disebut dengan pakambang, dan
juga pabbekkeng (ikat pinggang), selain sebagai pelengkap busana juga difungsikan sebagai tempat
untuk menyelipkan keris. Selain baju bella-dada yang berupa baju atas dan sebuah celana, bissujuga
menutup kembali celana dengan lipa sabbe (sarung sutra) yang dikenakan dari pinggang hingga
pertengahan betis.

2. Alusu

Alusu secara harafiah berarti yang halus. Alusu adalah perlengkapan yang cukup penting bagi
seorang bissu dan berbentuk seperti sebuah tabung yang agak besar. Alusu ini terbuat dari kayu,
kemudian dibungkus dengan balutan anyaman daun lontar yang berbentuk seperti sisik buaya, artinya
bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki sisik tersendiri. Pada ujung bawah alusu, terdapat beberapa
ekor yang juga terbuat dari anyaman daun lontar. Saat digunakan oleh bissu, alusu ini digoyang-
goyangkan terus saat menari dan akan menimbulkan bunyi-bunyian tersendiri karena di dalamnya
terdapat butiran-butiran kecil yang mengeluarkan bunyi saat bergesekan dengan kayu alusu. Bunyi-
bunyian ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Bentuk alusu dapat
dilihat pada gambar berikut.

3. Kain talattu

Kain talattu adalah kain putih yang cukup panjang dibentangkan sebagai jalan yang akan dilalui
seorang bissu dalam menari, dan sekaligus menjadi alas untuk meletakkan alameng, alusu yang dibawa
tidak langsung menyentuh lantai, karena akan dipergunakan beberapa kali dalam proses menarikan
tari mabbissu. Kain putih ini sendiri, jika dilihat lebih seksama akan nampak seperti kain kafan yang
dipakai dalam membungkus jenazah bagi seorang muslim. Putih disini melambangkan kesucian.

4. Alameng

Alameng adalah sejenis pedang khusus yang sedikit lebih panjang daripada keris yang juga
digunakan bissu sebagai pelengkap pertunjukan saat menarikan tari mabbissu. Alameng ini diidentikkan
dengan naga. Gagang dan sarungnya terbuat dari kayu, ditata dengan balutan emas atau perak. Mata
pedangnya terbuat dari besi, dan berukirkan kaligrafi Islam (konon ukiran ini dibuat sebagai adaptasi
setelah masuknya pengaruh Islam di daerah ini). Alameng bukanlah alat yang digunakan
dalam mabbissu (menusuk) badan bissu.

5. Keris kebesaran (sapukala)


Keris inilah yang menjadi inti dari pertunjukan tari maggiri. Kerislah yang digunakan menusuk-nusuk
badan bissu. Keris yang digunakan agak berbeda dengan keris yang berasal dari daerah Jawa, karena
keris ini tidak berliku tajam, meskipun juga tidak cukup lurus, dan dapat dilihat pada gambar berikut.

6. Gendang

Gendang adalah salah satu alat musik yang digunakan dalam tari mabbissu. Sebelum
seorang bissu memulai menari, gendang pertama kali harus ditabuh sebagai pertanda dimulainya
pertunjukan tarian ini.

7. Gong

Gong adalah salah satu instrumen bunyi yang dipakai dalam pementasan tari mabbissu. Gong yang
digunakan adalah gong seperti pada umumnya. Memiliki badan berbentuk bundar dan sebuah alat
pemukul. Badan gong biasanya terbuat dari bahan logam yang ditengahnya terdapat bahagian yang agak
menonjol sebagai tempat untuk memukul gong tersebut.

8. Pui’pui’

Pui’-pui’ merupakan alat musik yang dipakai dalam pertunjukan tari mabbissuselain gendang dan
gong. Pui’-pui’ adalah sejenis alat musik tiup yang mirip dengan seruling dengan bentuk seperti tabung
kecil yang memiliki lubang-lubang pengatur nada. Diujung alat ini dibuat lebih besar daripada badan
tabung. Bunyi nada yang dikeluarkannya terdengar cukup besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar.

9. Perlengkapan lainnya

Terdapat beberapa asesoris sebagai perlengkapan busana lainnya yang biasa digunakan oleh
seorang bissu, seperti potto naga (gelang naga), kalung, tas bissu (biasanya terbuat dari emas), tongkat
kecil, penutup ikat pinggang. Selain itu juga perlengkapan baskom yang telah diisi air dan daun-daunan,
seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

Tari Mabbissu, Fungsinya Dulu dan Saat Ini

Tari mabbissu telah memberikan kita sebuah pertunjukan tari yang luar biasa. Selain sebagai salah satu
warisan tradisi dari leluhur masyarakat bugis, tarian ini juga memberikan sebuah pemandangan ritual
yang berbau religius-magis. Ada banyak nilai-nilai non-materiil yang dapat diambil yang tentunya
bermanfaat bagi perkembangan spiritual bagi siapapun yang menyaksikan pertunjukan tarian ini,
terlepas dari ikatan keagamaan yang dianut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tari mabbissu tidak dapat dilepaskan oleh pelaku
tari tersebut, yaitu seorang bissu. Tarian ini memiliki unsur magis dan religius dalam pementasannya.
Terdapat beragam bacaan atau mantra-mantra pujian kepada Dewata yang hanya diketahui oleh
para bissu, atau meskipun diketahui oleh masyarakat umum, namun mereka tidak memegang legitimasi
sebagai orang yang berhak mengucapkan mantra tersebut apalagi meragakan tarian mabbissu.

Dari mulai gerakan-gerakan tarian yang cukup feminin dengan langkah-langkah gemulai sebagaimana
layaknya seorang perempuan dalam bergerak, berbagai peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan
oleh bissu dalam menarikan tarian ini juga memiliki makna-makna tertentu yang bisa kita pahami
dengan mudah. Diantaranya kain putih yang digunakan sebagai alas yang dilalui oleh bissu saat menari,
yang melambangkan kesucian dan kebersihan diri manusia seutuhnya, bahwa manusia tidak hanya
dituntut untuk membersihkan raganya saja, akan tetapi jiwa yang bersih dan putih yang seharusnya
selalu mendasari manusia dalam melakukan segala gerakan-gerakan kehidupan sepanjang perjalanan
usia manusia di dunia ini.

Salah satu hal yang paling menonjol adalah penghargaan tinggi yang diberikan oleh
seorang bissu kepada keindahan alam yang disimbolkan melalui lambang bunga yang diselipkan pada
topi yang dikenakannya. Pengagungan yang besar kepada Sang Pencipta, ditunjukkan dalam gerakan-
gerakan dan rapalan doa ataupun pujian. Perannya sebagai penghubung antara manusia biasa dengan
dewa-dewa, masih tetap dapat disaksikan dalam pementasan tari mabbissu saat ini. Gerakan yang tidak
teratur dapat kita lihat saat bissu itu sudah masuk ke wilayah transnya dan bergerak tidak lagi atas
kehendaknya sendiri. Freud dalam Putri (2008:21) mengemukakan dasar skematis dalam jiwa individu
terbagi atas tiga bagian yakni alam sadar (conscious) yang mengandung hal-hal yang disadari, alam pra-
sadar (pre–consious) yang berisi memori yang dapat diingat kembali di alam sadar dengan sedikit upaya,
dan alam bawah sadar (unconscious) yang menjadi tempat bagi keinginan, hasrat, pikiran, dan emosi
dalam diri individu yang tidak dapat muncul dalam kesadarannya, baik karena menyakitkan ataupun
keinginan yang terpendam. Freud sendiri sangat menekankan keberadaan alam bawah sadar karena
kendati tidak disadari, alam bawah sadar ini justru mempengaruhi sebagian besar tingkah laku si
individu. Tarian yang ditampilkan oleh seorang bissu, melalui gerak gerik yang tidak lagi teratur, dapat
merupakan bentuk kesadaran yang telah diambil alih oleh dorongan tingkah laku yang terpendam di
alam bawah sadar seorang bissu.

Secara logika, keris yang digunakan untuk menusuk-nusukkan badan bissu seharusnya dapat
menimbulkan luka dan pendarahan, namun apa yang telah disaksikan sendiri oleh penulis bahwa
tubuh bissu tersebut tidak mendapatkan luka sedikitpun, pun luka gores sama sekali tidak ada. Perlu
diperhatikan di sini, apakah kekebalan yang dimiliki, adalah benar karena ilmu supranatural, atau
sekadar kebutuhan pementasan semata. Kesaktian para Bissu yang tidak termakan senjata tajam ini juga
dapat kita temukan dalam cerita Arung Palakka pada tahun 1667, yang pada saat itu melakukan
penyerangan ke Lamatti di Bone Selatan bersama para pasukan dari Soppeng. Para bissu daerah Lamatti
yang hanya bermodalkan walida (pemukul tenun) tidak mendapatkan luka sedikitpun dari senjata para
prajurit Arung Palakka.

Tari merupakan sebuah seni ekspresi jiwa manusia terhadap berbagai hal yang dilihat dan dirasakannya
dan diwujudkan dalam gerakan-gerakan tertentu yang harmonis. Tari juga dapat menjadi bentuk ritual
manusia kepada sang pencipta. Perpaduan simbolisasi maskulinitas dan feminitas yang terintegrasi
dalam pertunjukan tari mabbissu membuat tari ini menjadi sarat makna dan nilai-nilai positif. Selain itu,
alam raya atau kosmos yang dipuja sebagai pihak yang memberikan manfaat kepada manusia,
mengharuskan manusia untuk selalu mengapresiasi alam semesta, berterima kasih dan tidak bertindak
sewenang-wenang terhadapnya.

Tari mabbissu mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai sarana upacara, menjadi bagian dalam
upacara adat seperti mappalili di Kab. Pangkep, dan tontonan. Pada kenyataannya, kehidupan
tari mabbissu dewasa ini memang terkait dengan kedudukan tari tersebut dalam masyarakat.
Kehadirannya di masyarakat tidak sekadar untuk tontonan, tetapi juga mencakup fungsi-fungsi lain yang
dirasakan perlu dalam kehidupan masyarakatnya. Peranan penting mabbissu dalam kehidupan
masyarakat, menyebabkannya tetap hidup dan berkembang sesuai zamannya (Nurlina, 1996:122).

Pertunjukan kebal senjata yang ikut diperagakan dalam tarian ini, selain mengundang decak kagum dari
penonton, juga menjadi isyarat bahwa seorang bissu memiliki ilmu supranatural yang tidak biasa, yang
membuat mereka bisa menari, yang konon tidak dalam keadaan sadar. Tarian ini memiliki daya pikat
tertentu dan telah mengalami pelebaran fungsi tarian sebagai bentuk ritual semata menjadi sebuah
tontonan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas,sehingga telah berperan pula dalam memberikan
sumbangsih bagi perkembangan tarian yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya bagi etnik Bugis, dan
menjadi potensial untuk menunjang sektor pariwisata di daerah ini.

Bissu sudah menjadi bagian dari masyarakat Bugis sejak dahulu, diperkirakan sejak masa pra Islam.
Namun sayangnya, memasuki era dekade 50-an, saat terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
yang menuntut dijadikannya Islam sebagai sebuah ideologi, banyak bissu yang dibunuh dan
perlengkapan serta peralatan yang mereka gunakan dibakar. Ritual-ritual yang mereka lakukan dianggap
sebagai ’syirik’ dan tidak boleh dipertontonkan lagi. Kondisi pada saat Orde Baru juga sama buruknya,
banyak bissu yang dituduh sebagai penganut paham komunis dan diharuskan untuk memeluk agama
Islam yang murni dan kembali menjadi lelaki tulen. Muncul pula doktrin dalam masyarakat bahwa bagi
mereka yang bersentuhan dengan para bissu akan mengalami kesialan selama 40 hari 40 malam.
Penyebaran isu sektarian ini dapat memukul mundur peran besar yang telah diemban oleh seorang
bissu selama ini.

Meskipun demikian, keberadaan bissu masih dapat bertahan hingga saat sekarang. Banyak masyarakat
yang masih meyakini bahwa tanpa kehadiran bissu, hasil panen yang mereka peroleh menjadi
berkurang, hal inilah yang membuat mereka kembali melakukan ritual adat dengan
perantaraan bissu.Dan dengan memasukkan beberapa unsur-unsur islami membuat para bissudapat
diterima oleh masyarakat dan sekaligus menghilangkan stigmatisasi ’syirik’atau menyekutukan Tuhan
dalam konsep Islam, ke dalam ritual yang mereka kerjakan.

Monoharto dalam Makkulau (2008:63) mengungkapkan bahwa seni tradisional sere’ bissu sedikit telah
mengalami perubahan yang ekstensif, sere’ bissu saat ini masih bisa tampil sebagai genre tari tradisional
yang lebih adaptif terhadap lingkungan, sebagai bagian dari upacara Mappalili dan upacara adat lainnya.
Kehadiran sere’ bissu dewasa ini, telah mengalami perubahan karena telah menjadi seni hiburan atau
pertunjukan dalam kehidupan masyarakatnya. Berbagai peran yang dipegang oleh bissu saat sekarang,
kurang lebih masih sama sifatnya dengan saat ini. Hanya saja, jumlah bissuyang semakin berkurang
menyebabkan tari mabbissu pun sudah jarang dipertunjukkan.

Semenjak Puang Matowa (Bissu di daerah Pangkep) meninggal dunia pada tahun 2010,
kelompok bissu yang dipimpinnya mulai mengalami kemunduran. Nurhayati dalam Makkulau (2008:81)
menyatakan bahwa bissu tidak perlu direvitalisasi, karena mampu merevitalisasi dirinya. Pernyataan
tersebut mengacu kepada adanya pewarisan ilmu, bahasa, dan kesaktian bissu kepada seseorang yang
memang memenuhi syarat untuk menjadi bissu. Selain karena untuk menjadi seorang bissu haruslah
merupakan panggilan jiwa yang benar-benar murni yang dialami secara khusus oleh seseorang,
memegang peran bissu tidaklah mudah, karena dituntut untuk memiliki perilaku yang baik di mata
masyarakat dan adat setempat, hal tersebut bisa berdampak kepada semakin berkurangnya orang yang
memiliki ketertarikan untuk menjadi bissu. Meskipun kelompok bissu tersebut saat ini masih ada,
namun eksistensi mereka mulai melemah. Seiring semakin berkurangnya jumlah bissu yang ada, maka
pertunjukan tarian inipun semakin menurun. Oleh karenanya, hal tersebut tetap perlu mendapat
perhatian yang cukup dari masyarakat pendukungnya agar keberadaan bissu dan tari mabbissunya tidak
hilang begitu saja.

Penutup

Masyarakat Bugis telah mengenal adanya bissusebagai pihak yang memiliki peranan penting dalam ritual
adat seperti upacara turun sawah atau mappalili. Mereka menjadi penghubung bagi masyarakat awam
dengan Dewata Seuwwae (shaman). Dari segi bahasa, kata bissu dianggap berasal dari kata bessi yang
berarti bersih, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah suci, tidak haid, atau tidak berdarah. Namun ada
pula yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata bhiksu atau pendeta dalam agama Buddha,
sebagaimana diungkapkan oleh Pelras (2006:68) sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta
dalam bahasa Bugis. Bissu dianggap sebagai orang yang menjadi penghubung antara dewa langit dengan
manusia bumi. Dia menjadi pendeta agama Bugis kuno, pemimpin upacara adat yang ada di masyarakat
Bugis, seperti upacara Mappalili dan Mattemmu Taung di Kab. Pangkep. Untuk menjadi bissu memang
dipersyaratkan sebelumnya harus berasal dari wadam, juga harus ada panggilan spiritual dan ketekunan
mendalami ilmu kebissuan.

Tari mabbissu merupakan tarian utama yang hanya dapat diperagakan oleh seorang bissu. Tarian ini
serangkai dengan pertunjukan tari maggiri yang menjadi puncak dari tontonan. Di dalamnya terdapat
adegan mengiris dan menusuk-nusukkan keris ke bagian-bagian vital dari tubuh bissu. Namun ajaib
karena mereka tidak mengalami luka sedikitpun. Pertunjukan ini serupa dengan debus yang berasal dari
daerah Banten. Setelah membaca mantra-mantra tertentu, dan masuk ke wilayah transenden, mereka
dapat dengan leluasa menghunjamkan keris ke tubuhnya tanpa merasa sakit.

Seiring dengan semakin berkurangnya orang yang memiliki panggilan untuk menjadi bissu, hal ini
berbanding lurus dengan semakin menurunnya pementasan tari mabbissu. Meskipun
kelompok bissu tersebut masih ada, namun jika tidak ada perhatian yang cukup, tidak tertutup
kemungkinan keberadaan bissu dan tari mabbissunya dapat hilang begitu saja.

Anda mungkin juga menyukai