Anda di halaman 1dari 42

FIRE PROTECTION STRATEGY

OLEH
IR. BAMBANG SULISTYO P, MKKK
FIRE PROTECTION
STRATEGY
Outline
• Management Commitment
• Integration to Risk Management
System
• Key Factors of a Fire Protection
Strategy
• Fire Hazard Management
Fire Protection Strategy
• Sebuah pendekatan yang
sistematis untuk mengidentifikasi,
mereduksi dan mengelola Fire
Hazards.
Tujuan
• Proteksi terhadap para personil harus
dipertimbangkan dalam desain fire protection
system.
• Bahaya yang besar telah teridentifikasi, dinilai,
dipahami dan didokumentasikan.
• Setiap peluang untuk meminimalisir bahaya telah
diidentifikasi, dipertimbangkan dan
diimplementasikan.
• Investasi modal dan estimasi pengeluaran operasi
dioptimalisir dalam kerangka meminimalkan bahaya.
• Corporate goals bisa sesuai dengan umur hidup
fasilitas.
• Potensi dampak yang merugikan bagi kawasan,
masyarakat dan lingkungan dapat dikendalikan.
Integrasi Fire Protection dalam Risk Management
System
Faktor-Faktor Kunci Fire
Protection Strategy

Acceptable Loss

Cost of Fires
Key Factors in a
Insurance Coverage Fire Protection
Strategy
Installed Systems vs.
Emergency Response

Prescriptive vs.
Performance Based
Design
Acceptable Loss
• Acceptable Loss diartikan sebagai
biaya atas kerugian karena suatu
kejadian/insiden. Kerugian tersebut
antara lain:
– Repair/replacement
– Demolition and debris removal
– Consequential business loss
Cost of Fires
• Komponen biaya akibat kebakaran meliputi (Lees, 1996):
– Impact to personnel
– Damage to plant assets
– Delay in plant startup
– Plant downtime
– Business interruption
– Loss of market
– Loss of public reputation
– Fines
– Legal actions
Insurance Coverage
• Pemahaman dasar tentang insurance coverage sangat
dibutuhkan untuk menentukan fire protection strategy.
• Asuransi tidak menanggung seluruh biaya akibat
kebakaran. Biaya yang tidak ditanggung asuransi antara
lain:
– Kerugian dari operasi penanggulangan yang dilakukan personil
– Dampak lingkungan
– Kerugian karena rusaknya reputasi perusahaan,
– Kehilangan konsumen dan
– Biaya karena adanya potensi legal actions.
Installed Systems vs Emergency
Response
• Terdapat lima strategi dalam menciptakan fire
protection yang memadai:
– Pemasangan active fire protection
– Pemasangan passive fire protection
– Pemasangan isolation systems untuk
meminimalisir fuel
– Emergency response yang terorganisir
– Incipient fire fighting
Prescriptive Fire Protection

• Prescriptive fire protection merupakan


pendekatan proteksi kebakaran baku yang
mengikuti persyaratan atau pedoman tanpa
mengenali lebih jauh faktor-faktor yang
lebih spesifik dari suatu tempat operasi.
• Mengikuti peraturan yang berlaku,
persyaratan asuransi, praktek industri atau
prosedur perusahaan.
Performance-Based Design
• Performance-based design mengadopsi
pendekatan berbasis objectives dalam
menentukan level fire protection yang
diinginkan.
• Prediksi yang lebih spesifik dari potensi
bahaya kebakaran untuk diterapkan dalam
sistem atau proses
• Berbasis pada performa yang terukur dari
tujuan yang ditetapkan
• Menggunakan Fire Hazard Analysis (FHA)
atau fire risk assessment
Contoh statement dari Performance-
Based Design

Stated Objective :
• Kerusakan disebabkan oleh kebakaran dalam
suatu unit proses tidak boleh lebih dari
$100,000.
• Suatu kebakaran tdak boleh bereskalasi
kepada unit yang lain.
Hazard Management Approaches
Hazard Control Measures
Proactive Controls Reactive Controls

Causes Hazards Incidents Outcomes

Emergency Response
Detection
Elimination Prevention and Control Mitigation
measures measures measures
Integration with the lifecycle of a
Facility
Fire Hazard Studies

Managemen
t of Change
(MOC)
Fire Hazard Studies

Managemen
t of Change
(MOC)
SISTEM PROTEKSI AKTIF
• Sistem Air dan Busa Kebakaran (Foam System)

• Dalam upaya pemadaman kebakaran, selain diperlukan peralatan yang


andal, juga diperlukan tersedianya media pemadam dalam jumlah yang
cukup. Air merupakan salah satu media pemadam yang banyak digunakan.
Air, selain berfungsi untuk memadamkan, yang tidak kalah penting,
merupakan media pendingin (cooling). Air dapat dicampur dengan busa
pemadam (foam) dengan komposisi tertentu untuk menghasilkan busa yang
sangat efektif dalam upaya pemadaman kebakaran kelas C.

• Salah satu cara menghitung kebutuhan air ialah dengan menggunakan


pendekatan perhitungan kebutuhan busa (NFPA 11). Adapun perhitungan
dilakukan dengan cara menjumlahkan kebutuhan air untuk hal berikut.
• a. Pemadaman Fasilitas yang Terbakar
• Pemadaman kebakaran di fasilitas migas dan petrokimia lebih efektif
apabila menggunakan busa pemadam. Untuk itu, perhitungan dapat
menggunakan standar NFPA 11 dengan perhitungan kebutuhan air
sebagai berikut.

• Vair = dr x A x T x (1 – Cf )

• dr = Delivery rate foam solution/application rate


• A = luas kebakaran
• T = lama waktu pemadaman
• Cf = kadar konsentrat busa dalam foam solution
• Catatan: Jumlah air dan busa harus 100%
• Delivery rate adalah laju pencurahan busa pada fasilitas yang
terbakar. Besarnya bergantung pada peralatan sistem busa yang
digunakan. Berikut adalah rinciannya.
Kadar konsentrat busa ditentukan bergantung pada jenis produk yang
terbakar. Untuk produk yang bersifat nonpolar, seperti hidrokarbon, biasanya
digunakan kadar 3% konsentrat busa, sedangkan untuk produk yang polar
diperlukan kadar yang lebih pekat, biasanya 6%.
• b. Pendinginan Fasilitas yang Terbakar (Main Cooling)
• Pendinginan fasilitas yang terbakar memiliki tujuan
supaya tidak terjadi kolaps (collapse) pada struktur dan
juga agar busa pemadam dapat menyentuh dinding
tangki secara sempurna. Perhitungan dapat dilakukan
sebagai berikut.

• Vair = π/2 x D x Tt x fr x t

• π = konstanta (3,14)
• D = diameter tangki
• Tt = tinggi tangki (meter atau kaki)
• Fr = flow rate (0,1 US gpm/ft2 atau ±4,1 lpm/m2)
• t = lama pemadaman (mengacu tabel delivery rate) dalam
menit
• c. Pemadaman Tumpahan Api (Fire Spill) yang Mungkin Timbul
• Selama berlangsungnya kebakaran dimungkinkan terjadinya tumpahan api (fire spill),
yang bisa jadi karena ikut terbakarnya ceceran minyak dan atau rumput sekitar. Bila
hal ini terjadi, sistem fixed foam saja belum cukup, karena sistem tersebut khusus
didesain untuk fasilitas atau tangki. Oleh karena itu diperlukan foam hose suplement
(selang–nozzle foam). Jumlah yang dibutuhkan, menurut NFPA-11, bergantung pada
diameter tangki yang terbakar. Kapasitas

• aliran untuk satu buah hose suplement ±50 US gpm (190 lpm). adapun lama atau
durasi pemadaman fire spill, menurut NFPA-11, bergantung pada ukuran tangki
(dinyatakan dengan diameter).

• Dengan demikian, untuk menghitung jumlah air yang diperlukan untuk pemadaman
fire spill, dapat digunakan rumus berikut ini.
Vair= n x 190 x Th x (1 – Cf) (dalam satuan liter) atau

= n x 50 x Th x (1 – Cf) (dalam satuan galon AS)

• n = jumlah hose suplement


• Th = lama pemadaman
• Cf = kadar foam solution
DIAMETER MIN. HOSE SUPLEMENT
< 19,5 m 1
19,5–36 m 2
> 36 m 3

DIAMETER DURASI PEMADAMAN


< 10 m 10 menit
10–28,5 m 20 menit
> 28,5 m 30 menit
• d. Pendinginan Fasilitas Sekitar (Auxiliary Cooling)
• Belum ada rujukan yang baku mengenai pendinginan fasilitas sekitar
sehingga dalam buku ini digunakan pendekatan yang lazim digunakan di
beberapa perusahaan minyak di dunia. Apabila jumlah fasilitas di area tank
yard cukup banyak, tidak mungkin dilakukan pendinginan secara
keseluruhan karena diperlukan jumlah air yang cukup banyak dan kapasitas
pompa yang cukup besar. Untuk itu, pendinginan perlu selektif: hanya
fasilitas terdekat yang perlu mendapat pendinginan. Pendinginan selektif ini
disebut radius cooling.

• Besarnya radius cooling ditinjau dari jenis produk yang disimpan (dalam
tangki sekitar tersebut) dan besarnya (diameter) tangki yang terbakar,
dengan kondisi
• 1) untuk fasilitas dengan produk Kelas I atau sejenisnya, radius cooling
adalah 2 kali diameter fasilitas yang terbakar;
• 2) untuk fasilitas dengan produk Kelas II atau yang sejenis, radius cooling
• adalah 1,5 kali diameter fasilitas yang terbakar;
• 3) untuk fasilitas dengan produk solar atau yang sejenis, radius cooling
adalah 1 kali diameter tangki yang terbakar.
• 5. Pendinginan Pasca Kebakaran
• Sekalipun api kebakaran telah dipadamkan, dinding tangki yang
terbakar biasanya masih cukup panas atau masih tertinggal bara,
misalnya bila terjadi tumpahan api. Sementara itu, atmosfer masih
memungkinkan mengandung campuran uap yang mudah terbakar
akibat penguapan bahan bakar minyak. Kondisi ini bisa
menimbulkan burn back atau campuran uap-udara terbakar kembali
akibat adanya panas yang cukup.

• Untuk menghindari hal tersebut, upaya pendinginan masih perlu


terus dilakukan, terutama pada dinding tangki yang terbakar dan
bara yang tersisa. Seperti auxiliary cooling, belum ada acuan baku
kapasitas aliran dan lama pendinginan untuk pendinginan
pascakebakaran. Namun, beberapa pelatihan menyarankan media air
pemadam yang tersedia harus mampu dioperasikan selama empat
jam.
• Mengingat pemadaman kebakaran tangki BBM mudah terbakar Kelas I
dengan busa memerlukan perkiraan waktu ±1 jam, diasumsikan sisa 3 jam
dimaksudkan untuk mempersiapkan kegiatan pendinginan sebelum dan sesudah
upaya pemadaman kebakaran. Dalam kejadian kebakaran dapat saja terjadi hal-
hal yang di luar dugaan, seperti bukaan valve cooling melampaui yang
dibutuhkan. Hal ini tentunya akan meningkatkan konsumsi air pemadam
sehingga perlu adanya antisipasi sebelumnya.

• Oleh karena itu, dalam mengestimasi kebutuhan minimal air pemadam, masa
pendinginan pascakebakaran ditetapkan selama ±3 jam dengan flow rate sama
dengan flow rate pendinginan dinding tangki yang terbakar, yaitu 4,1 lpm/ m²
setengah luas dinding tangki atau dengan rumus berikut ini.

• Vair = dr x A x T x (1 – Cf)

• π = konstanta (3,14)
• D = diameter tangki
• Tt = tinggi tangki (meter atau kaki)
• Fr = flow rate (0,1 US gpm/ft² atau ±4,1 lpm/m²)
• T = lama pendinginan pascakebakaran (±180 mnt)
• Sistem CO2

• Bahan CO2 (karbon dioksida) merupakan bahan


pemadam kebakaran yang digunakan untuk
menggantikan media gas halon. Cara kerja sistem CO2
dalam memadamkan api adalah dengan cara mengurangi
komposisi oksigen dalam ruang sampai ke tingkat di
mana kebakaran tidak terjadi lagi. Sistem CO2 dalam
industri migas dan petrokimia banyak digunakan dalam
ruang server, ruang kontrol, ruang komputer, dan ruang
dengan perangkat elektronik. Tipe Sistem CO2
berdasarkan cara aplikasinya terdiri atas total flooding
dan local application.
Untuk menentukan kebutuhan CO2, biasanya dilakukan berdasarkan tabel yang
ada pada NFPA dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut.

Hazard Volume = Volume Ruangan Kosong - Total Volume Peralatan


Kebutuhan CO2 = Hazard Volume/Flooding Factor
VOLUME FAKTOR
MODEL
KONSENTRASI Ft3/lb m3/kg Lb Kg BAHAYA KHUSUS
CO2 CO2 CO2/ft3 CO2/m3
50 10 0,62 0,100 1,60 Bahaya listrik kering
50 12 0,75 0,083 1,33 secara umum [jarak
(200 lb) (91 kg) 0-2.000 ft3 (56,6 m3)]
65 8 0,50 Minimal Minimum Jarak lebih besar dari
0,125 2,00 200 ft2 (56,6 m2)
75 6 0,38 0,166 2,66 Rekaman
Penyimpanan (kertas
jumlah besar), pipa,
parit tertutup,
kubah penyimpanan
bulu, pengumpul
debu
• Setelah diketahui kebutuhan CO2, kemudian
perlu ditentukan % konsentrasi CO2
• sesuai dengan grafik faktor konversi material
di bawah ini.

• % Konsentrasi CO2 = Kebutuhan CO2 x


Faktor Konversi Material
• Contoh Kasus:
• Sebuah ruangan trafo dengan data sebagai berikut.
• • Vol. Ruang Trafo = 765 m3
• • Vol. Trafo 1. 6.300 kVA = 15,24 m3
• • Vol. Trafo 2. 2.500 kVA = 11,92 m3
• • Vol. Trafo 3. 200 kVA = 11,92 m3

• • Vol. Trafo 4. 2.500 kVA = 11,92 m3


• • Pannel Switch Gear 1 = 21,38 m3
• • Pannel Switch Gear 2 = 12,15 m3
• Berapa jumlah tabung CO2 yang harus dipasang untuk sistem proteksi di
ruangan tersebut jika 1 tabung di pasaran memiliki berat 45,5 kg CO2?

• Jawaban:
• Hazard Volume = 765–84.53 = 680,47 m3
• Kebutuhan CO2 = HV/FF = 680,47 m3/0,75 kg CO2/m3 = x kg CO2 50% Konsentrasi
Aktual =
• 50% Konsentrasi Aktual = 511,63 x 1,6 = 818,608 kg CO2
• Jumlah tabung CO2 yang dibutuhkan = 818,608 kg CO2/45,5 kg = 18 tabung
• Bahaya adalah sumber, situasi, atau tindakan yang berpotensi dapat
menimbulkan kerusakan/gangguan dalam hal cedera atau sakit pada
manusia atau kombinasi dari keduanya—“Hazard is source,
situation, or act with a potential for harm in terms of human injury or
ill health, or a combination of these” (OHSAS 18001, 2007).

• Bahaya kebakaran dapat terbagi menjadi sebagai berikut.


• • Bahaya kebakaran primer: sesuatu yang berpotensi dapat
menyebabkan kerusakan dengan terjadinya inisiasi api atau
memperbesar terjadinya kebakaran (ignisi, bahan bakar, sumber
oksigen);
• • Bahaya kebakaran sekunder: sesuatu yang berpotensi
menyebabkan kerusakan pada kejadian kebakaran dengan
menghambat respons yang cukup (misalnya ukuran rute evakuasi
yang tidak sesuai, tanda evakuasi yang minim, perencanaan keadaan
darurat yang tidak efektif).
Kajian risiko kebakaran
• Risiko kebakaran merupakan kombinasi dari kemungkinan (probabilitas) terjadinya
kebakaran serta keparahan dari dampak kebakaran tersebut (Furness & Muckett, 2007).

• Manajemen risiko merupakan kegiatan yang terkoordinasi untuk mengelola dan


mengendalikan suatu organisasi dengan memperhatikan risiko—“Risk management is
coordinated activities to direct and control an organization with regard to risk” (ISO 73,
2009).

• Penilaian risiko adalah proses evaluasi risiko yang muncul dari bahaya dengan
mempertimbangkan kecukupan dari pengendalian yang ada dan memutuskan apakah risiko
dapat diterima atau tidak—“Risk assessment: process of evaluating the risk(s) arising from
a hazard(s), taking into account the adequacy of any existing controls, and deciding
whether or not the risk(s) is acceptable” (OHSAS 18001, 2007).

• Kajian risiko kebakaran adalah proses identifikasi bahaya kebakaran dan evaluasi tingkat
risiko termasuk dampak kebakaran dengan mempertimbangkan pengendalian risiko
kebakaran yang telah ada (Furness & Muckett, 2007).

• Pengendalian risiko kebakaran adalah tindakan pencegahan, penanggulangan dan proteksi


kebakaran antara lain prosedur pencegahan, penanggulangan dan proteksi kebakaran,
misalnya sistem sprinkler, sistem deteksi kebakaran dan alarm, prosedur dan perencanaan
keadaan darurat, sistem izin kerja, dan peralatan pemadam api (Furness & Muckett, 2007).
GAMBARAN UMUM KAJIAN RISIKO KEBAKARAN

• Kajian risiko kebakaran merupakan bagian integral dari suatu sistem


manajemen risiko perusahaan secara keseluruhan sehingga harus terintegrasi
dengan kajian

• risiko lainnya. Kajian risiko kebakaran merupakan kajian risiko terhadap bahaya
kebakaran dan merupakan upaya untuk mengetahui kebutuhan dan
kememadaian suatu perlindungan terhadap kebakaran dengan beberapa kode
dan standar sebagai tolok ukurnya. Berikut ini adalah beberapa prinsip pokok
mengenai kajian risiko kebakaran, yaitu
• • suatu kajian risiko kebakaran harus dilakukan di awal pengerjaan suatu
proses desain;
• • identifikasi bahaya secara menyeluruh merupakan bagian dari kajian risiko
• kebakaran;
• • kajian risiko kebakaran yang telah ada harus dikaji ulang untuk
memastikan diperolehnya informasi yang terbaru;
• • suatu kajian risiko kebakaran digunakan dalam identifikasi upaya
pencegahan,
• pengendalian, dan mitigasi.
• Selain itu, suatu kajian risiko kebakaran juga berguna sebagai alat bantu
dalam peninjauan ulang fasilitas yang ada, khususnya dalam kondisi
• • apabila diperkirakan akan terjadi perubahan pada fasilitas yang ada;
• • sebagai upaya evaluasi retrospektif atas kejadian yang telah terjadi,
khususnya ketika banyak perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun
belakangan;
• • ketika ada perubahan proses kerja atau perubahan material yang
digunakan.

• Suatu kajian risiko kebakaran harus didokumentasikan agar diperoleh suatu


gambaran utuh serta menyeluruh mengenai kemungkinan bahaya kebakaran
dan mengenai gambaran peran dalam sistem keselamatan yang ada untuk
mitigasi dan mengendalikan bahaya. Pelaksanaan kajian risiko kebakaran
yang terus-menerus atas suatu fasilitas harus dijaga untuk memastikan
adanya manajemen bahaya kebakaran yang berkelanjutan.
METODOLOGI KAJIAN RISIKO KEBAKARAN

• Metodologi pelaksanaan kajian risiko kebakaran dapat diilustrasikan dalam Gambar 6.1,
sedangkan setiap langkah dalam metodologi tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dalam
pembahasan berikut.

• Manfaat penerapan kajian risiko kebakaran sebagai alat bantu pengambilan keputusan
akan bervariasi antara untuk perusahaan atau untuk pengerjaan proyek. Tidak semua
kegiatan harus menerapkan kajian risiko kebakaran secara formal. Kajian risiko
kebakaran diperlukan dalam kondisi
• • proyek yang sangat besar;

• • ketika bahaya kebakaran yang ada kurang dipahami;
• • ketika sulit mengambil keputusan terhadap upaya perlindungan kebakaran yang
paling sesuai, mengingat dampak yang dapat ditimbulkan akibat kebakaran sangat luas;
• • Ketika biaya perlindungan kebakaran secara relatif signifikan terhadap biaya kajian
risiko kebakaran.
Penilaian Risiko Kebakaran

Proses mengumpulkan informasi

Melakukan identifikasi bahaya kebakaran


(fire hazard identification)

Probabilitas Konsekuensi
Analisis bahaya
kebakaran
Mengukur frekuensi kemungkinan
terjadinya insiden kebakaran Mengukur kerugian fisik yang mungkin
ditimbulkan dari insiden kebakaran

Menentukan probabilitas dampak


dan terjadinya insiden kebakaran Mengukur risiko kematian dan luka
serius yang mungkin ditimbulkan dari
insiden kebakaran

Analisis dampak atau konsekuensi


lanjutan (secondary consequences) yang
mungkin terjadi

Menentukan risiko

Menentukan risiko

Apakah risiko Ya
Selesai
dapat diterima?

Tidak

Menentukan langkah pengendalian untuk mengurangi risiko

Gambar 6.1 Metodologi Kajian Risiko Kebakaran


• Kerangka metodologi yang mengacu pada Guidelines for Chemical Process
Quantitative Risk Analysis. Sebagai tambahan, contoh lain dari kajian risiko
kebakaran dapat dilihat pada NFPA 550 mengenai Guide to the Fire Safety
Concept.

• Beberapa kunci atas suksesnya suatu kajian risiko kebakaran adalah sebagai
berikut.
• • Personel yang akan melakukan kajian risiko kebakaran sebaiknya adalah
orang yang mengerti kajian risiko kebakaran serta berpengalaman. Kajian
risiko kebakaran sebaiknya dilakukan oleh seorang fire protection engineer
yang dapat menggunakan common sense, realitis, dan hasilnya dapat dibuat
menjadi suatu laporan yang berbasis kinerja (performance-based) terhadap
upaya proteksi kebakaran.
• • Seorang fire risk engineer akan membuat beberapa asumsi penting.
Setiap asumsi yang dibuat tersebut harus didokumentasikan serta
dilampirkan dengan justifikasi berupa data penunjang.
• • Dokumentasi penting untuk membantu pemahaman akan hasil dan
laporan kajian risiko kebakaran yang sudah lama dibuat sehingga fire
protection harus memastikan bahwa kajian risiko kebakaran telah
didokumentasikan secara utuh dan menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai