Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU PSIKIATRI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Januari 2023


UNIVERSITAS PATTIMURA

“Terapi Suportif”

Disusun oleh:
Agnice Simanjuntak
NIM. 2017-83-004

Pembimbing:
dr. Adelin Saulinggi, Sp. KJ (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat guna penyelesaian tugas

kepaniteraan klinik pada bagian Psikiatri dengan judul “Terapi Suportif”.

Dalam penyusunan Referat ini, banyak pihak yang telah terlibat untuk

penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:

1. dr. Adelin Saulinggi, Sp.KJ (K), selaku dokter spesialis pembimbing Referat, yang

membimbing penulisan Referat ini sampai selesai.

2. Orang tua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa sesungguhnya Referat ini masih jauh dari kesempurnaan,

oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukan berupa kritik dan saran yang

bersifat membangun untuk perkembangan penulisan Referat di waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga Referat ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Terapi Suportif ......................................................................................2

2. Tujuan Terapi Suportif..........................................................................3

3. Jenis Terapi Suportif dan Pelaksanaannya ...........................................4

BAB III KESIMPULAN................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................iii

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam dunia kedokteran, proses mengobati pasien tidaklah cukup hanya

terbatas dengan penggunaan obat-obatan. Namun, terapi yang kompleks atau

terapi yang saling mendukung satu sama lain sangat diperlukan dalam mencapai

kesembuhan yang sempurna terhadap pasien. Dalam mencapai hal tersebut atau

dalam menambah efektivitas terapi lain, disamping kebutuhan akan obat-obatan

diperlukan terapi-terapi suportif dalam untuk meningkatkan hasil pengobatan

yang ingin dicapai atau setidaknya dapat menghindari hal-hal yang dapat

merugikan pasiennya.1,9

Dalam bidang Psikiatri, terapi suportif sangat dibutuhkan dalam

menghilangkan penderitaan pasien hingga jikalau mungkin mengembalikan pasien

pada keadaan semula. Oleh karena itu, seiring perkembangan terapi dalam bidang

psikiatri hingga saat ini sudah banyak model terapi suportif yang digunakan dalam

memaksimalkan proses penyembuhan pasien, yakni merupakan pasien dengan

gejala psikotik maupun gejala non-psikotik.1,9

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Suportif

Terapi suportif adalah landasan terapi psikososial untuk banyak gangguan

mental, tidak terkecuali skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Pendekatan

terapi suportif sangat bervariasi, tetapi umumnya terdiri dari penyediaan terapis

empati terampil yang terlatih dalam mendengarkan secara aktif, membuat

komentar suportif, dan mengembangkan hubungan terapeutik dengan pasien.

Beberapa termasuk aspek manajemen stres dan pelatihan relaksasi,

menekankan pada manajemen terapi dan sebagian besar berfokus pada

pengembangan hubungan terapeutik dan memandangnya sebagai target

pengobatan yang penting. Beberapa dekade penelitian terapi suportif telah

menunjukkan bahwa elemen terapi “non-spesifik” ini sebenarnya dapat

menjadi pendorong yang cukup besar dari manfaat pengobatan bagi banyak

pasien skizofrenia.1,9

Terapi suportif merupakan terapi psikoterapi yang ditujukan kepada

klien baik secara individu maupun secara berkelompok. Terapi suportif

merupakan bentuk terapi kelompok yang dapat dilakukan pada berbagai situasi

dan kondisi diantaranya pada klien dengan masalah Kesehatan jiwa hingga

sosial. Kelompok suportif merupakan sekumpulan orang-orang yang

berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap isue-isue dan

tekanan yang khusus maupun yang merugikan. Tujuan awal dari kelompok ini

2
adalah memberikan suport dan menyelesaikan pengalaman isolasi dari masing-

masing anggotanya.1,9

2.2 Tujuan Terapi Suportif

Terapi suportif digunakan sebagai pendukung dari psikoterapi yang lain

agar dapat mengendalikan elemen-elemen non spesifik dari kontak terapi.

Hasil psikoterapi secara umumnya terdiri atas dampak-dampak spesifik dan

non spesifik. Dampak non spesifik adalah dukungan emosional, perhatian

terapis, pendengar yang empati, optimasi aplikasi terapi dan hasil lain yang

terkait dengan setiap keberhasilan hubungan interpersonal yang terapeutik.

Tujuan utama terapi suportif adalah mengurangi stress dengan melakukan 5

prinsip intervensi yaitu; 1). mengangkat harga diri/ dukungan internal; 2)

mengaktifkan dukungan eksternal ; 3). menasehati dan memberi saran/arahan ;

4). memecahkan masalah yang ada ; 5). Structuring.1,9

Berdasarkan pemahaman tersebut, tujuan terapi suportif ini adalah

memberikan suport terhadap klien atau pasien sehingga mampu

menyelesaikan krisis yang dihadapinya dengan cara membangun hubungan

yang bersifat suportif antara klien dan terapis, meningkatkan kekuatan dan

keterampilan dalam menggunakan sumber kopingnya, meningkatkan

kemampuan klien mencapai kemandirian seoptimal mungkin, serta

meningkatkan kemampuan mengurangi distres subyektif dan respon koping

yang maladaptif.1,9

3
Meskipun terapi suportif jarang menjadi fokus uji coba pengobatan pada

skizofrenia, pengobatan ini sering digunakan sebagai kondisi kontras untuk

pendekatan eksperimental baru dalam penelitian, mengingat penggunaannya

yang luas di lapangan dan umumnya disepakati manfaatnya. Dengan demikian,

cukup banyak data tentang kemanjurannya telah muncul di lapangan. Studi

telah menemukan bahwa terapi suportif pada skizofrenia dapat mengurangi

gejala positif, mencegah kekambuhan, dan meningkatkan penyesuaian sosial.1,9

2.3 Jenis-jenis Terapi Suportif dan Pelaksanaannya

Terapi supportif ini digunakan pada klien dengan masalah potensial

pertumbuhan dan perkembangan, masalah keperawatan resiko, serta masalah

gangguan kesehatan jiwa dan fisik. Berikut merupakan jenis-jenisnya :

1. Psikoedukasi Keluarga

Salah satu pendekatan terapi suportif yang paling efektif dan teruji

secara luas khususnya untuk terapi skizofrenia adalah psikoedukasi keluarga.

Pendekatan ini dikembangkan pada akhir 1970-an oleh Carol M. Anderson

dan Gerard E. Hogarty di University of Pittsburgh, di mana mereka

menciptakan istilah "psikoedukasi" untuk merujuk pada pendidikan individu

dan keluarga mereka tentang kesehatan psikologis dan kecacatan mereka

sendiri. Terdapat banyak penelitian yang mendukung efikasi intervensi

keluarga pada skizofrenia. Penelitian mengenai intervensi keluarga dapat

membantu menganalisis hubungan antara variabel keluarga skizofrenia dan

4
prognosis penderita. Terapi keluarga tidak mempengaruhi gejala klinis

(positif, negatif, dan kognisi) penderita, tetapi menurunkan angka

kekambuhan dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Dari segi

ekonomi, terapi keluarga menurunkan biaya sekitar 19% per individu, yang

dapat diturunkan lagi pada model multifamily. Keluarga skizofrenia juga

mengalami perbaikan burden, mekanisme coping, tingkat pengetahuan

terkait skizofrenia, dan penatalaksanaannya.1,5,6

1. Terapi keluarga model psikoedukasi single-family

Model psikoedukasi dibuat berdasarkan asumsi bahwa terapi yang

efektif harus melibatkan semua aspek dari penyakit tersebut. Model ini lebih

banyak diteliti di negara Asia dan dianggap paling sesuai karena relatif

sederhana, memberikan dukungan secara emosional, dan dapat dilakukan

dengan cara memberdayakan tenaga sosial terlatih.

Terdapat lima tahap utama model psikoedukasi yang dibuat

berdasarkan teori Anderson dan sesuai dengan fase skizofrenia, mulai dari

fase akut hingga rehabilitasi.5,6

a. Tahap 1: Joining

Tahap ini berlangsung 3 hingga 5 sesi, ditandai dengan kerjasama antara

terapis dan keluarga yang terus berlangsung selama terapi. Pada tahap ini

terapis menunjukkan empati, bersedia memberikan bantuan diluar sesi terapi,

dan tidak menyalahkan keluarga. Tujuan yang akan dicapai adalah:

• Menjalin kerjasama antara anggota keluarga dan penderita

5
• Membuat anggota keluarga menyadari masalah yang mungkin berhubungan

dengan stresor pada penderita ataupun keluarga

• Menentukan tanda-tanda dan penyebab kekambuhan secara psikososial

• Mengetahui kekuatan, dukungan sosial, dan daya tahan keluarga terhadap

stresor

• Memberikan harapan dan berorientasi pada kesembuhan

• Membuat kontrak yang saling menguntungkan dan dapat tercapai

b. Tahap 2: Educational and training workshop 1,5,6

Penderita dan keluarga mengikuti pelatihan mengenai skizofrenia, yang dapat

dilakukan dengan berbagai cara seperti diskusi, kuliah, tanya jawab, di tempat

formal ataupun di rumah pasien. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan

keluarga yang nyaman agar lebih menerima dan memahami pasien skizofrenia,

serta meminimalisir stresor yang dapat memicu kekambuhan. 1,5,6

Beberapa hal yang harus disampaikan pada fase ini, adalah mengenai aspek

biologi, psikologi, dan sosial skizofrenia dan penatalaksanaannya terutama respon

keluarga ketika berhadapan dengan penderita. Stresor psikososial dapat memicu

kekambuhan sehingga keluarga mengetahui dan mengendalikan stresor dengan

cara menurunkan kritik dan ekspresi emosi. Pasien diberikan edukasi untuk

mengurangi rasa bersalah dan penyesalan yang dialami keluarga serta tanda awal

kekambuhan. Penderita diberikan edukasi agar menerima penyakitnya, memiliki

harapan, dan merencanakan pekerjaan, kehidupan sosial, serta tujuan yang akan

dicapai. 1,5,6

c. Tahap 3: Community reentry 1,5

6
Tujuan dari tahap ini adalah membantu keluarga melewati perubahan yang

terjadi pada penderita setelah fase akut psikotiknya. Tahap ini dijadwalkan secara

teratur setiap dua minggu dengan fokus utama pada psikofarmaka. Keluarga

diberi penjelasan mengenai kerja obat yang mungkin tidak sesuai dengan harapan

keluarga. Efek samping obat dan alasan penggunaan obat tambahan untuk

mengatasinya juga harus disampaikan sehingga keluarga lebih waspada. Keluarga

juga mengawasi penggunaan alkohol dan penyalahgunaan obat lain.

Pada tahap ini keluarga dilatih pemecahan masalah terkait penderita dan cara

berkomunikasi yang baik, keluarga diberikan tugas-tugas yang bertujuan

memperbaiki mekanisme coping keluarga dan meningkatkan kerja sama antara

anggota keluarga dan terapis. Keluarga mulai memperkenalkan penderita ke

komunitasnya secara bertahap, diberi tanggung jawab, dan dilatih cara

pemecahan masalah sesuai kognitif dan kondisi penyakitnya.

d. Tahap 4 : Communication skills training 1,5

Pada tahap ini keluarga dilatih agar mampu berkomunikasi dengan baik

walaupun terjadi distorsi kognitif pada penderita. Keluarga dilatih untuk

mengkomunikasikan emosi positif dan negatif terkait perilaku penderita dan

mendiskusikannya. Metode yang digunakan berupa bermain peran (role-

play), yang harus dipraktekkan oleh keluarga di rumah.

Teknik komunikasi yang diajarkan meliputi aspek verbal dan non-

verbal. Suara, intonasi, kontak mata, dan ekspresi wajah adalah aspek non-

7
verbal yang harus dikuasai. Aspek verbal meliputi isi dari pembicaraan,

termasuk kemampuan mendengarkan dan menyederhanakan pembicaraan.

e. Tahap 5 : Social and vocational rehabilitation

Tahap ini dilakukan setelah 9 hingga 18 bulan fase akut, satu atau dua kali

perbulan, terutama ketika penderita telah menunjukkan kemauan dan inisiatif

untuk berinteraksi dengan sekitar. Fokus pada tahap ini adalah rehabilitasi

fungsi sosial dan pekerjaan penderita. Teknik yang dilakukan juga bermain

peran pada situasi di rumah yang diprediksi dapat menyebabkan

kekambuhan. Anggota keluarga juga diharapkan aktif untuk mendukung dan

menjembatani hubungan antara penderita dan lingkungan sosial sekitarnya

2. Psychoeducation Multifamily Group (PMFG)

Modifikasi dari model psikoedukasi pada penderita skizofrenia adalah

psychoeducational multifamily group (PMFG) yang melibatkan banyak

keluarga secara bersamaan. Keluarga skizofrenia cenderung mendapat stigma

negatif, dikucilkan dari masyarakat, masalah finansial, dan burden yang

mempersulit keluarga tersebut. PMFG mengatasi masalah ini karena

melibatkan komunitas yang lebih besar, menghubungkan antar keluarga, dan

memberi kesempatan saling berbagi informasi dengan keluarga lain. 5,6

Antar keluarga juga lebih mudah saling mempercayai karena memiliki

kesamaan nasib. Rasa kepercayaan diri dan harapan akan meningkat karena

keluarga saling merefleksikan diri terhadap pencapaian keluarga lain

sehingga diharapkan lebih kooperatif dalam melanjutkan terapi. 5,6

8
PMFG memiliki 3 fase, fase pertama yakni joining yang serupa dengan

model psikoedukasi single-family, perbedaannya terletak pada tahap

workshop PMFG dilakukan simultan oleh banyak keluarga. Fase kedua

meliputi peningkatan fungsi penderita pada komunitasnya, termasuk

rehabilitasi sosial dan vokasional. Fase ketiga fokus pada kontak penderita

dengan lingkungan sosial dan pengawasan psikofarmaka dalam waktu

lama.5,6

a. Joining

Pada fase joining PMFG, diperlukan minimal tiga keluarga yang akan

memilih ketua grup untuk bertemu dengan setiap anggota keluarga. Pertemuan ini

diikuti pertemuan terpisah dengan penderita skizofrenia dalam keluarga tersebut.

Fase joining dilakukan secepatnya, dalam 48 jam setelah fase akut. Jarak antara

joining dan workshop tidak boleh lebih dari 3 minggu, apabila workshop terjadwal

lebih lama maka fase joining harus ditambahkan lagi. 5,6

Tugas terapis adalah membangun rapport, menjadi pemandu dan

penghubung antar keluarga dan antar anggota keluarga, serta memberikan

feedback dan informasi terkait skizofrenia bila diperlukan. Setiap sesi dimulai dan

diakhiri dengan sosialisasi sehingga dapat mengurangi kecemasan, mempererat

kerjasama, memberikan informasi dan ketertarikan diluar dari skizofrenia. Terapis

juga harus menghargai pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki keluarga

selama berinteraksi dengan penderita, tidak menyalahkan keluarga sebagai

penyebab kekambuhan, serta terus mengulangi manfaat keikutsertaan keluarga.

Keluarga diberi kesempatan untuk mengekspresikan rasa marah, kehilangan,

9
frustasi, tidak berdaya, rasa bersalah, serta rasa tidak nyaman lain terkait penderita

sehingga terapis dapat menunjukkan perhatian dan empatinya. 5,6

Pada pertemuan awal, yang dibahas adalah mengenai krisis yang dialami

keluarga pada fase akut dan membuat keluarga mengetahui fase prodromal atau

tanda kekambuhan skizofrenia. Pertemuan ini juga membahas mengenai reaksi

dan upaya keluarga saat mengatasi krisis serta siapa saja yang berperan pada fase

tersebut. Pertemuan kedua membahas dampak skizofrenia terhadap setiap anggota

keluarga. Anggota keluarga dapat menyampaikan perasaannya dan ketua grup

memberikan dukungan dan respon positif terhadap hal yang telah dilakukan oleh

keluarga. Terapis mengobservasi interaksi antar anggota keluarga, antara keluarga

dan lingkungan, dukungan sosial masyarakat, serta pengalaman keluarga dengan

sistem kesehatan. Terapis juga mengobservasi pekerjaan, hobi, sekolah, dan

institusi lain yang membantu keluarga sehingga dapat menyusun genogram yang

melibatkan anggota keluarga lain, teman, dan tetangga. 5,6

Pada pertemuan terakhir dilakukan diskusi mengenai tujuan akhir yang

ingin dicapai. Terapis mempersiapkan keluarga untuk bertemu dengan keluarga

dari grup lain. Terapis juga dapat menjadwalkan sesi tambahan untuk

mengakrabkan antar keluarga, terutama bila ditemukan adanya anggota keluarga

yang masih malu dan kurang percaya diri ketika berbicara dalam kelompok.

b. Educational workshop

Fase educational workshop PMFG serupa dengan model

psikoedukasi single-family hanya saja dilakukan oleh 5-8 keluarga secara

bersamaan. Aspek penting dari tahap ini adalah memberikan harapan pada

10
keluarga bahwa skizofrenia memang penyakit yang berat dan sulit, tetapi

akan lebih mudah diatasi bila keluarga mengerti cara mengatasinya. Tugas

terapis yang cukup sulit pada fase ini adalah membuat setiap anggota

keluarga mau terlibat dan berpartisipasi aktif pada penatalaksanaan

skizofrenia. Pada akhir fase ini diharapkan keluarga merasa optimis terhadap

PMFG sehingga mau melanjutkan ke fase selanjutnya karena rentan terjadi

drop-out.

c. Fase Lanjutan PMFG

Pada tahap ini dilakukan pertemuan rutin setiap dua minggu, selama 90

menit, dipandu oleh dua terapis, dan diikuti oleh 5-8 penderita dan keluarganya

secara simultan. Terapis melatih keluarga agar memiliki strategi pemecahan

masalah terkait perilaku penderita, kesulitan dari tugas ini adalah mencari solusi

tepat yang dapat diterima dan sesuai dengan nilai yang dianut oleh keluarga.

Tahap ini sebaiknya dilakukan dengan pelan karena memerlukan kepercayaan dan

empati setiap anggota kelompok. Setiap anggota juga diberi kepercayaan dan

dirangsang untuk proaktif dalam diskusi, terapis hanya berperan memandu dan

mengarahkan jalannya diskusi.5,6

3. Psikoedukasi Pasien

Meskipun psikoedukasi keluarga telah terbukti efektif, banyak juga yang

menyadari pentingnya mendidik pasien skizofrenia tentang kondisi mereka

11
dan bagaimana mengatur dan membuat penyesuaian hidup yang sesuai.

Psikoedukasi pasien adalah titik fokus dari banyak model psikoedukasi

keluarga, tetapi kebanyakan model tidak memerlukan ini sebagai komponen

kunci. Selain itu, bagi pasien yang tidak tinggal bersama keluarga, sangat

penting bagi mereka untuk memahami sifat skizofrenia dan cara mendukung

kesembuhan mereka sendiri. 1,5

Psikoedukasi pasien sangat umum dalam praktik klinis rutin dan biasanya

terdiri dari memberikan informasi kepada pasien tentang skizofrenia dan

gangguan psikotik terkait, termasuk tanda dan gejala awal, peran stres dalam

kondisi ini, pentingnya pengobatan dan perawatan psikososial, serta strategi

untuk mencegah kekambuhan.1,5

Salah satu contoh pendekatan ini adalah Personal Therapy, yaitu

pendekatan berbasis individu yang dibagi dalam fase-fase yang disesuaikan

dengan tingkat kesembuhan pasien. Pada fase dasar, pasien mungkin masih

menstabilkan dan mempelajari keterampilan yang relatif sederhana untuk

mengelola kondisinya, seperti menghindari situasi stres dan menggunakan

teknik gangguan pasif. Seiring kemajuan pasien dalam pemulihan mereka,

pendekatan pendidikan dan manajemen stres yang lebih maju dipelajari,

seperti bagaimana menerapkan pernapasan diafragma, deteksi dan

manajemen tanda-tanda prodromal dini, dan mengelola kritik. Orang dapat

dengan mudah melihat bahwa pendekatan yang kaya ini mengintegrasikan

aspek pelatihan keterampilan, pencegahan kekambuhan, dan pelatihan

relaksasi, semuanya dalam pendekatan manajemen penyakit dan

12
psikoedukasi, seperti yang biasa dilakukan dalam intervensi psikoedukasi

pasien.1,5

4. Pelatihan Ketrampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah perilaku interpersonal yang dibutuhkan untuk

ketahanan komunitas, untuk kemandirian, dan untuk menegakkan,

mempertahankan, serta memperdalam hubungan yang suportif dan secara

sosial menguntungkan. Gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mengganggu

satu atau lebih domain fungsi afektif, kognitif, verbal, dan perilaku serta

menganggu potensi seseorang untuk menikmati dan mempertahankan

hubungan interpersonal, yang merupakan inti kehidupan sosial. Klinisi

mengembangkan paket terapi yang disebut pelatihan keterampilan social

yang terbukti efektif untuk pasien skizofrenia dalam memperbaiki deficit

perilaku sosial. 5,6,7

a. Metode

Bermain peran adalah alat yang digunakan untuk mengkaji

kompetensi sosial pasien praterapi dan untuk melatih kelebihan atau defisit

perilaku yang ditargetkan selama terapi. Sesi pelatihan bervariasi lamanya

dari 45 menit hingga 90 menit. Untuk derajat yang berbeda-beda, pendekatan

SST memasukkan pemecahan masalah interpersonal sebagai elemen

kompetensi sosial. Pemecahan masalah interpersonal adalah konstruksi

kognitif, dalam arti dapat dikarakterisasi dan diajarkan dalam hal langkah-

langkah analisis tertentu:

13
(1) mengenali ada masalah atau konflik;

(2) mengartikulasikan sifat masalah;

(3) menghasilkan menu tanggapan atau solusi perilaku yang mungkin;

(4) memilih satu solusi dan menerapkannya;

(5) mengevaluasi hasil.

b. Deskripsi Pendekatan Pelatihan Keterampilan Sosial (SST)

Terapis menjelaskan bahwa tujuan kelompok adalah untuk membantu

pasien menjadi lebih efektif dalam interaksi dan hubungan sosial dan

interpersonal mereka. Pada fase awal pengobatan, pasien diajarkan

bagaimana memulai percakapan santai, bagaimana membuat permintaan,

bagaimana mengekspresikan kesenangan atau ketidaksenangan. Hal ini

diikuti dengan permainan peran, dimana anggota yang ditunjuk berperan

dalam situasi sosial yang dibuat-buat, dan anggota kelompok lainnya

berfungsi sebagai pengamat. Terapis mengarahkan permainan peran,

mengatur situasi, terkadang mendorong para pemain, dan mengakhirinya

pada titik yang tepat. Setelah permainan peran, terapis memberikan umpan

balik kepada para pemain, berupa pujian dan kritik yang membangun.

Umpan balik lebih lanjut diminta dari anggota kelompok lainnya, yang

mengikuti protokol yang sama dengan pertama-tama memuji kekuatan

permainan peran dan kemudian menyarankan alternatif untuk tanggapan

yang kurang optimal. Permainan peran diulangi saat para pemain

memasukkan umpan balik dan mengasah keefektifan perilaku mereka. 5,6,7

14
Permainan peran dalam situasi sederhana diikuti oleh situasi yang

lebih kompleks, seiring dengan berkembangnya keterampilan. Pada fase

selanjutnya, pasien diminta untuk membawa pengalaman pribadi mereka ke

kelompok untuk bermain peran. Ketika permainan peran menggambarkan

masalah atau konflik tertentu, pasien diminta untuk mencoba solusi

permainan peran di dunia nyata dan melaporkan kembali keefektifannya.

Dalam beberapa versi SST, model pemecahan masalah antarpribadi

diperkenalkan setelah tahap awal, dan anggota kelompok berlatih

menerapkan model ini pada konflik dan masalah yang mereka hadapi.

Beberapa versi SST memiliki batasan waktu, mengidentifikasi kompetensi

perilaku tertentu sebagai tujuan pengobatan dan kriteria penghentian. SST

juga sering digunakan sebagai modalitas berkelanjutan terbuka, sebanding

dengan terapi kelompok suportif jangka panjang tetapi dengan terus

menggunakan latihan bermain peran dan pemecahan masalah tertentu.5,6,7

Kerampilan Perilaku Komponen


Memulai komentar positif
Mendengarkan dengan empatik
Membuat permintaan positif untuk suatu
tindakan
Mengepresikan perasaan negative secara
langsung

Menghadapi permusuhan yang tidak diharapkan


atau penarikan diri

Mengungkapkan peristiwa yang menyenangkan Melihat ke orang lain dengan ekspresi


wajah yang menyenangkan

Nada suara yang hangat


Mengatakan apa yang orang lain lakukan
atau katakan dan betapa hal tersebut

membuatnya senang

15
Pemecahan masalah Menyempitkan masalah

5. Terapi Perilaku Kognitif

Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah terapi untuk mengatasi

gejala positif pada skizofrenia yang didasarkan pada karya Aaron T.

Beck dalam pengembangan terapi kognitif untuk gangguan depresi.

Prinsip dasar dari terapi kognitif adalah bahwa psikopatologi adalah

hasil dari pola berpikir yang terus-menerus menyimpang yang pada

akhirnya menimbulkan distress, gangguan fungsional, dan jika pasien

dibantu untuk mengenali gangguan kognitif tersebut, mereka dapat

menerapkan strategi untuk memperbaiki pemikiran dan perilaku mereka,

meringankan setidaknya beberapa derajat gejala terkait. Dalam

mengadaptasi CBT untuk pasien psikotik, prinsip dan target yang

mendasari kognitif terapi tetap serupa dengan penerapannya pada

gangguan depresi. Sasaran utama terus menjadi pemikiran yang

terdistorsi dan irasional, kecuali bahwa ini berpusat di sekitar pemikiran

delusi dan paranoid, bukan pikiran depresif. 5,6,7

Sebagian besar penelitian tentang CBT untuk psikosis telah

dilakukan di Eropa, khususnya Inggris, dan basis bukti untuk

kemanjuran pendekatan ini telah cukup kuat untuk mendukung

implementasi yang luas oleh National Health Service (NHS) untuk siapa

saja yang mengalami diagnosis skizofrenia. Saat ini, ada lebih dari 30 uji

coba CBT terkontrol secara acak untuk psikosis, dan bukti menunjukkan

16
bahwa pendekatan ini dapat memiliki manfaat yang sederhana namun

signifikan untuk gejala positif dan negatif. Bukti yang lebih kuat muncul

ketika digunakan dengan pasien dengan gejala yang resistan terhadap

pengobatan yang menunjukkan penurunan moderat pada gejala

psikopatologi positif dan umum. Temuan tersebut sangat menarik karena

pasien yang menurut definisi refraktori pengobatan tidak mendapat

manfaat dari pengobatan antipsikotik, dan tantangan untuk mengurangi

gejala positif oleh karena itu bahkan lebih besar pada pasien ini. Hampir

semua penelitian berfokus pada pasien yang diobati, bahkan jika

refrakter, meskipun uji coba baru-baru ini membandingkan CBT untuk

psikosis dengan perawatan biasa untuk pasien yang menolak

pengobatan. Hasil menunjukkan penurunan yang signifikan pada gejala

psikiatri umum dan positif pada pasien yang menerima CBT untuk

psikosis tanpa pengobatan dibandingkan dengan perawatan biasa tanpa

pengobatan, menunjukkan bahwa pendekatan ini mungkin bermanfaat

bagi orang yang menolak pengobatan antipsikotik. Namun, kehati-hatian

harus diambil ketika mempertimbangkan pendekatan ini sebagai

pengganti pengobatan, karena efek samping yang serius (percobaan

bunuh diri dan perilaku pembunuhan) memang terjadi di beberapa CBT

non-pengobatan untuk pasien psikosis, meskipun frekuensi insiden ini

lebih sedikit dibandingkan dengan perawatan biasa. Secara keseluruhan,

temuan tersebut menunjukkan bahwa membantu pasien mengenali dan

mengoreksi bias kognitif dalam pemikiran mereka merupakan

17
pendekatan yang efektif untuk mengurangi tingkat kesusahan yang

dialami akibat gejala positif, terutama bagi pasien yang menolak

pengobatan antipsikotik. 5,6,7

a. Program Perawatan Terapi Perilaku Kognitif

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa masalah utama pasien

berkembang dan dipertahankan oleh kognitif (pikiran dan keyakinan),

faktor fisiologis (reaksi emosional), dan perilaku, dan bahwa faktor-faktor

ini dapat dimodifikasi dan dipengaruhi dengan menggunakan sarana

psikologis. Terapi ini disesuaikan dengan kebutuhan pasien tersebut,

meskipun biasanya mengandung beberapa terapi dasar dan elemen umum.

Terapi biasanya berlangsung antara 12 dan 30 sesi (walaupun ini mungkin

perlu lebih lama untuk beberapa individu) selama 6-12 bulan. Terapi Sesi

biasanya berlangsung antara 30 dan 60 menit, meskipun fleksibilitas

diperlukan untuk memastikan bahwa sesi lama disesuaikan dengan

konsentrasi individu dan kemampuan kognitif lainnya.

b. Tahapan Terapi Kognitif Perilaku

Masing-masing tahapan CBT dapat dibagi lagi menjadi sesi-sesi

yang lebih kecil dengan tujuan yang lebih spesifik sesuai permasalahan

atau kondisi pasien saat itu. Berikut adalah tahapan-tahapannya :5,6,7

• Fase Early Engagement: Membangun rapport, psikoedukasi dan

penjelasan program terapi, melakukan asesmen awal, meredakan

gejala suasana perasaan (mungkin depresi atau kecemasan) yang

18
menyertai halusinasi auditoriknya, membicarakan target terapi pasien

untuk pertemuan berikutnya.

• Fase Kedua: Menyusun formulasi kasus berdasarkan asesemen awal,

menetapkan target terapi yang lebih spesifik, membuat koneksi

pikiran dan perasaan (thoughts and feels) dan relabelling symptoms,

meredakan gejala suasana perasaan yang menyertai halusinasi dengan

relaksasi, changing activity levels dengan graded exposure.

• Fase Terminasi: Mendiskusikan manfaat terapi yang dapat digunakan

pasien secara mandiri dalam kehidupannya sehari-hari, strategi

pencegahan kekambuhan (relapse prevention strategies).

Antar sesi terdapat sebuah proses yang disebut jembatan antar-sesi

(bridging session). Pada bridging session ini dilakukan dengan me-review

target yang sudah dicapai dan tugas rumah apa yang sudah dikerjakan

pasien saat akan menuju sesi berikutnya. Saat menerima umpan balik,

terapis melakukan reinforcement, bahwa pasien telah berhasil

mempelajari sesuatu pada pertemuan sebelumnya. Melalui reinfrocement

diharapkan dapat mendorong pasien agar aktif mempraktekkan dalam

kegiatan sehari-hari.

c. Penilaian Instrumen5,6

Penggunaan alat penilaian dalam psikosis seringkali, untuk tujuan

diagnostik, ditujukan untuk memunculkan dan mengatur gejala dalam

kaitannya dengan keberadaan, ketidakhadiran atau keparahan, yaitu,

19
dimensi yang berbeda telah digabungkan menjadi representasi global,

unidimensi dari “keparahan”.

20
Tabel 1. Instrumen Penilaian yang digunakan pada CBT7

BPRS (Brief Jenis penilaian ni didorong oleh tingkat informasi yang

Psychiatric Rating diperlukan untuk menegakkan diagnosis dalam kaitannya

Scale) dengan peresepan pengobatan obat daripada intervensi

psikologis.
PANSS dan PSE Dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan gejala. Ini

(Present State dapat memberikan titik awal di mana analisis lebih lanjut

Examination) tentang pengalaman individu dapat dinilai.


PSYRATS Jenis instrumen ini dapat digunakan di awal, selama, dan

(Psychotic Symptom setelah perawatan untuk melacak perubahan dimensi dari

Rating Scales) waktu ke waktu dan untuk menilai perubahan spesifik dalam

dimensi individu
MADS (Maudsley wawancara terstruktur yang dirancang untuk memperoleh

Assessment of informasi dari pasien tentang delusi mereka dalam hal

Delusions Schedule) sejumlah besar variabel yang berbeda, misalnya, tingkat

keyakinan, perilaku yang terkait dengan keyakinan, bukti

yang dimiliki pasien. memegang yang berkontribusi pada

keyakinan mereka
ACI (Antecedent wawancara terstruktur yang dirancang untuk memperoleh

and Coping anteseden perilaku dan kognitif serta konsekuensi yang terkait

Interview) dengan gejala

d. Beberapa Kendala yang Mungkin Dihadapi

Terapis seringkali terburu-buru menggunakan terapi kognitif

perilaku, padahal pasien masih berada pada fase akut, dimana gejala

halusinasi auditorik dan wahamnya masih menonjol. Sehingga perlu

intervensi farmakologis untuk mengatasi keparahan gejala selama fase

akut. Jika fase akut sudah terlewati, maka sebaiknya terapis membuka

pembicaraan dengan hal-hal yang dikenal pasien tanpa perlu masuk ke

dalam inti permasalahan pasien. Terapis perlu menerapkan Colombo

21
technique (sebuah teknik untuk membangun rapport) untuk mengatasi hal

ini.4,5,6

Selain itu, Adanya ketidakmampuan kognisi yang menonjol akibat

kronisitas penyakit, sehingga intervensi kognitif kurang dapat dilakukan.

Maka terapis perlu beralih ke intervensi perilaku, mengawali terapi

dengan eksperimen perilaku, kemudian secara berkala melakukan umpan

balik bertahap sebagai intervensi kognitif kepada pasien. Pada kondisi ini

sangat dibutuhkan pendampingan dari keluarga atau caregiver, untuk

membantu pasien menerapkan intervensi perilaku di rumah.

6. Terapi Lingkungan

Tempat tinggal adalah lingkungan hidup, belajar, atau bekerja.

Mendefinisikan secara karakteristik dari terapi psikososial adalah

penggunaan tim untuk memberikan terapi dan waktu dihabiskan pasien

dalam lingkungan. Adaptasi baru dari terapi lingkungan termasuk

program 24 jam sehari yang ditempatkan di komunitas lokal yang sering

dikunjungi oleh pasien, yang memberikan dukungan in vivo, manajemen

kasus, dan pelatihan keterampilan hidup. 4,5,6

Kebanyakan program terapi lingkungan menekankan kelompok dan

interaksi sosial, pengaturan dan pengharapan diperantarai oleh tekanan

teman sebaya untuk normalisasi adaptasi. Ketika petugas klinis

memandang pasien sebagai manusia yang bertanggung jawab, peran

pasien menjadi kabur. Terapi lingkungan menekankan hak pasien atas

22
tujuan dan kebebasan bergerak serta hubungan informal dengan petugas,

terapi ini juga menekankan partisipasi interdisipliner dan komunikasi

yang jelas dan berorientasi pada tujuan. 6

7. Terapi Musik8

Terapi musik kelompok sebagai intervensi pada klien skizofrenia juga

merupakan intervensi berbasis seni. Penelitian intervensi ini dilakukan di

Korea Selatan dengan sampel sebanyak 55 orang. Intervensi ini menggunakan

3 unsur musik, yaitu: bernyanyi, bermain, dan mendengarkan. Instrumen

bernyanyi dan musik dipilih dengan mempertimbangkan preferensi peserta.

Terapi mencakup kombinasi pelatihan stimulasi kognitif, interaksi, dan

aktivitas fisik melalui aktivitas musik. Terapi diberikan dalam 13 sesi dengan

durasi 50 menit masing-masing sesi yang terdiri dari 10 menit pemanasan, 30

menit kegiatan inti dan 10 menit penutup.

Terapi diberikan selama 7 minggu. Kegiatan pada tahap pemanasan

berupa menyanyikan lagu sambutan dan aktivitas fisik kelompok untuk

meningkatkan interaksi dan relaksasi. Kegiatan inti terdiri dari bermain dan

mendengarkan yang bertujuan untuk memberikan pelatihan stimulasi kognitif

dan untuk mendukung relaksasi serta mendukung relaksasi fisiologis dan

psikologis melalui musik kelompok. Tahap penutup terdiri dari penutupan

kegiatan pada hari itu serta aktivitas komunikasi dan ekspresi

23
8. Intervensi Perencanaan Tindakan Pemulihan Kesehatan

Intervensi Perencanaan Tindakan Pemulihan Kesehatan atau Wellness

Recovery Action Planning (WRAP). Penelitian intervensi ini dilakukan di

Irlandia dengan sampel sebanyak 36 orang. Intervensi ini menyediakan

kerangka kerja pemulihan yang dapat membantu seseorang untuk

mengambil kepemilikan atas kesejahteraan mereka dan mengintegrasikan

manajemen diri ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. WRAP

menyediakan daftar strategi untuk menjaga kesehatan, sistem pemantauan

dan respons terstruktur yang membantu melacak perasaan dan perilaku

menyusahkan untuk mengurangi, mengubah, atau menghilangkannya

dengan mengaktifkan respons yang direncanakan, dan rencana krisis dan

pascakrisis, yang memungkinkan pengguna layanan untuk mengajari orang

lain tentang cara memberi mereka perhatian dan dukungan .

9. Peningkatan Kualitas Hidup

Intervensi yang fokus dalam meningkatkan kognitif dan hubungan

sosial adalah Quality of Life Enhancement Programme (QOLEP).

Intervensi ini dirancang sebagai pendekatan perawatan komprehensif

untuk individu dengan gangguan mood yang hidup di komunitas yaitu

QOLEP dan dirancang sebagai intervensi berbasis kelompok. intervensi

QOLEP diberikan selama 4 minggu dan terdiri dari 8 sesi, masing-masing

sesi berlangsung selama satu jam. Penelitian intervensi ini dilakukan di

Taiwan dengan sampel sebanyak 21 orang. Topik program terdiri dari

24
empat sesi yang berkaitan tentang kehidupan kerja dan berfokus pada

membangun kembali gaya hidup sehat dan seimbang. Empat sesi

berikutnya mendiskusikan tentang keterampilan koping yang berfokus

pada peningkatan kapasitas mengatasi masalah yang disebabkan oleh stres

atau emosi.

10. Peningkatan Pengetahuan Pasien pada Dirinya

Intervensi pemulihan untuk meningkatkan pengetahuan pada

pasien dengan skizofrenia adalah Guided Self-Determination (GSD). GSD

merupakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien

dengan skizofrenia. Wawasan membantu mereka untuk memahami

tantangan sehari-hari, memahami penyakit, membuat keputusan dan

mengelola tantangan yang terlibat dalam hidup dengan skizofrenia.

Penelitian intervensi ini dilakukan di Denmark dengan sampel sebanyak

101 orang Hasil dari penelitian ini adalah pasien dengan skizofrenia akan

mencapai tingkat yang lebih tinggi dari pemulihan subjektif, harga diri,

fungsi sosial dan pengurangan yang signifikan dalam gejala relatif.

Intervensi psikoedukasi merupakan intervensi pemulihan pada pasien

dengan skizofrenia dengan prinsip pemulihan dan pemberdayaan dengan

tujuan pencegahan kambuh, peningkatan wawasan ke penyakit,

pengurangan dari stigma diri dan promosi dari lebih baik strategi untuk

mengatasi dengan sosial stigma dan diskriminasi.

25
Tabel 2. Kategori dan nama intervensi pemulihan pada pasien dengan gangguan jiwa atau
skizofrenia.

No. Kategori Intervensi Nama Intervensi

 Hospitality
1. Melatih Adaptasi  Terapi Olahraga
 Cognitive Adaptation Training (CAT)
 Kemandirian Melalui Akses Masyarakat dan
Navigasi
2. Rekreasi
 Intervensi pemulihan pelatihan khusus yang
dipandu sesuai analisis sistematis dari seri

 Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


3. Merubah Pikiran dan Perilaku
 Trating Depression Downhill (TDD)

 Terapi seni
4. Seni
 Terapi musik kelompok
 Illness Management and Recovery (IMR)
 Graduated Recovery Intervention Program
(GRIP)
 Model perawatan kolaboratif yang dipimpin
5. Kolaborasi Tim Kesehatan Jiwa
oleh perawat
 Perawatan kolaboratif berbasis komunitas
 The Health and Recovery Peer

 Yongin‐Emotion Management Training (Y‐


EMT)
 Intervensi The Mindfulness Intervention for
6. Mengatur Perasaan dan Emosi
Rehabilitation and Recovery in Schizophrenia
(MIRRORS)

 Intervensi pemberdayaan pasien


7. Pemberdayaan pasien  The health and recovery peer (HARP)

8. Pemulihan Kesehatan Wellness Recovery Action Planning (WRAP)

 Social Cognition and Interaction Training


(SCIT)
 Quality of Life Enhancement Programme
9. Kognitif dan sosial (QOLEP)
 Terapi hortikultura
 Intervensi pemulihan social

 Giode Self-Determination (GSD)


10. Peningkatan Pengetahuan  Intervensi psikoedukasi

26
BAB III

KESIMPULAN

Terapi suportif merupakan terapi psikoterapi yang ditujukan kepada

klien atau pasien baik secara individu maupun secara berkelompok. Terapi

suportif merupakan bentuk terapi kelompok yang dapat dilakukan pada berbagai

situasi dan kondisi diantaranya pada klien dengan masalah Kesehatan jiwa hingga

sosial. Terapi suportif terdiri dari penyediaan terapis empati terampil yang terlatih

dalam mendengarkan secara aktif, membuat komentar suportif, dan

mengembangkan hubungan terapeutik dengan pasien hingga dengan keluarga

pasien. Beberapa termasuk aspek dalam terapi suportif yaitu manajemen terhadap

stres dan pelatihan relaksasi, menekankan pada manajemen terapi yang mencapai

kesembuhan pasien dan hubungan terapeutik dengan kembalinya kondisi pasien

seperti semula sebagai target pengobatan yang penting.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, Sylvia D. and Hadisukanto, Gitayanti.Buku Ajar Psikiatri. Jakarta :

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015.

2. Semple, D and Smyth, R. 2019. Psychotherapy in Oxford Handbook of

Psychiatry. Oxford University Press. 4th Edition. p. 962-974

3. Roberts, L. & Hales, R. 2019. Supportive Psychotherapy In Advance

Praise for Textbook of Psychiatry , 7th Edition. p. 1292.

4. Patterson, T. L. & Leeuwenkamp, O. R. Adjunctive psychosocial therapies

for the treatment of schizophrenia. Schizophr. Res. 100, 108–119 (2008).

5. Lebow J. 2005. Handbook Of Clinical Family Therapy. Published by John

Wiley & Sons. New Jersey.

6. Haddock, G and Spaulding W. 2011. Psychological Treatment Of

Psychosis in Schizophrenia. 3rd Edition. p. 666-682.

7. M., J. M. G. and S. M. E. 2017. Psychosocial Treatment for Psychotic

Disorders: Systems of Care and Empirically Supported Psychosocial

Interventions In Schizophrenia and Related Disorders. Oxford University

Press.

8. Torres ML M, Ramos V J, Suarez PC M, Garcia S A, Mendoza M T.

Benefits of Using Music Therapy in Mental Disorders. J Biomusical Eng.

2016;04(02).

9. Markowitz JC. What is supportive psychotherapy? Harv Ment Health Lett.

2004;20(12):1–3.

iii

Anda mungkin juga menyukai