Bab ini mengulas mengenai konsep dan penerapan Perimbangan Keuangan di Indonesia. Diawali
dengan konsep Desentralisasi Fiskal, berbagai isu dalam struktur Desentralisasi Fiskal, praktik dan
posisi Indonesia saat ini dalam menjalankannya. Konsep Desentralisasi Fiskal yang diuraikan di awal
bab ini sengaja hanya menyajikan topik-topik terkait dengan penerapan Desentralisasi Fiskal di
Indonesia. Dengan kata lain, konsep dan praktik Desentralisasi Fiskal hanya sebagai pengantar untuk
memahami praktik penerapan kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia.
Banyaknya negara dengan kebijakan Desentralisasi Fiskal juga ditunjukkan pada banyaknya
penelitian yang dilakukan dengan jumlah negara yang banyak sebagai unit analisis. Peneliti yang
menganalisis kumpulan data negara-negara dengan kebijakan Desentralisasi Fiskal, misalnya:
Baskaran (2013) yang meneliti Desentralisasi Fiskal di 23 negara anggota OECD dengan rentang
waktu tahun 1975 sampai dengan 2008 untuk membuktikan adanya hubungan antara Desentralisasi
Fiskal dengan pertumbuhan ekonomi (Baskaran & Feld, 2012); Thiessen meneliti 26 negara anggota
OECD dengan rentang waktu 1975 sampai dengan 1995 untuk membuktikan adanya hubungan
antara Desentralisasi Fiskal dengan pertumbuhan ekonomi (Thiessen, 2005); Panizza meneliti 75
negara dengan rentang waktu 1975 sampai dengan 1985 untuk mencari faktor-faktor yang
menentukan Desentralisasi Fiskal (Panizza, 1999); Davoodi meneliti 46 negara dalam rentang waktu
1970 sampai dengan 1989 untuk membuktikan adanya hubungan antara Desentralisasi Fiskal
dengan pertumbuhan ekonomi (Davoodi & Zou, 1998); dan masih banyak lagi. Jumlah ini pun belum
menunjukkan jumlah sebenarnya dari seluruh negara yang menerapkan desentralisasi fiskal, karena
umumnya penelitian-penelitian ini hanya membatasi pada negara dengan data keuangan yang dapat
dibandingkan saja.
Dengan maraknya Desentralisasi Fiskal di dunia, Indonesia pun mengalami dorongan yang sama
untuk mengadopsi desentralisasi. Masa itu pun tiba di tahun 1999. Pasca reformasi 1998 yang
ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto yang memimpin selama 32 tahun dengan cara
terpusat, kondisi politik di Indonesia bergerak menuju ke arah desentralisasi. Ditandai dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, Dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional Yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang mencerminkan salah satu agenda penting reformasi dalam aspek
politik, yaitu otonomi daerah. Selanjutnya, kemunculan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah menjadi tonggak sejarah payung hukum bagi pelaksanaan
Desentralisasi Fiskal di Indonesia.
1 dari 18
Keunggulan Konsep Desentralisasi Fiskal
Keunggulan desentralisasi fiskal telah dikenal sejak lama. Referensi klasik di bidang Keuangan
Publik seperti Kenneth Arrow, Richard Musgrave, dan Paul Samuelson pun telah melontarkan ide
keunggulan Desentralisasi Fiskal. Teori keuangan publik di era 1950-1960an dipicu oleh kegagalan
pasar sebagaimana yang diuraikan Samuelson. Ide ini kemudian dielaborasi Arrow dalam konsep
pembagian peran keuangan publik dan private. Sebagai puncaknya, Musgrave menempatkan peran
pemerintah dalam posisi aktif dan positif untuk mengoreksi berbagai sektor yang mengalami
kegagalan pasar. Secara singkat, teori generasi pertama ini mengakui perlunya intervensi
pemerintah dalam berbagai skenario kegagalan pasar dalam menyediakan barang publik. Pemikiran-
pemikiran ini kemudian dikategorikan Oates sebagai teori generasi pertama (Oates & Oates, 1972).
Dalam struktur pemerintahan bertingkat, pandangan ekonomi generasi pertama ini mendukung
agar tiap level pemerintahan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial masing-masing
konstituennya. Dalam pandangan ini, pemerintah daerah dituntut untuk dapat meningkatkan
kepentingan pemangku kepentingan sesuai dengan batasan kewenangannya. Dalam hal penyediaan
barang publik, desentralisasi fiskal memungkinkan tiap pemerintah daerah menyediakan barang
publik lokal untuk memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Pembagian peran dalam
penyediaan barang publik antara pusat dan daerah diharapkan dapat terjadi secara sempurna,
sebuah kondisi yang disebut perfect mapping (pemetaan sempurna) atau fiscal equivalence
(perimbangan keuangan) sebagaimana istilah yang diusulkan Olson (1969).
Pandangan teori desentralisasi fiskal generasi pertama ini tidak lepas dari kritikan. Permasalahan
pertama adalah terjadinya diskriminasi kebijakan pusat dalam memberikan kewenangan yang
berbeda untuk tiap daerah. Permasalahan kedua terkait Model Tiebout. Permasalahan ketiga adalah
pengetatan anggaran (hard budget constraints).
Permasalahan-permasalahan ini membuat Oates menawarkan ide pembaharuan konsep
Desentralisasi Fiskal generasi kedua, yaitu Desentralisasi Fiskal tidak lagi menggunakan basis teori
barang publik melainkan pencapaian output yang efisien. Pencapaian output tersebut dicapai
dengan menekankan pentingnya revenue assignment (pembagian kewenangan pendapatan) dan
expenditure assignment (pembagian kewenangan belanja) antar level pemerintahan. Di sinilah
muncul peran penting instrumen dana transfer dari pusat kepada daerah yang digunakan untuk
mengurangi ketimpangan fiskal baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun
antar pemerintah daerah (Oates, 2005).
Sebelumnya, tim peneliti dari Bank Dunia yang terdiri dari Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan
G. Shabbir Cheema merumuskan 14 keunggulan desentralisasi fiskal (Rondinelli et al., 1983 sebagai
berikut):
1. Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat
heterogen.
2. Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah
pusat.
3. Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik.
4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah
pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, dimana seringkali
rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite
lokal, dan dimana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
5. Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam
perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam
mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
6. Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di daerah untuk
meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7. Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di
pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah
2 dari 18
8. Dapat menyediakan struktur untuk berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara
efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah. Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.
9. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program
10. Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite local yang
seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap
kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
11. Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif. Kalau mereka
berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya.
12. Memungkinkan pemimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif,
mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi
implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan oleh pejabat
di pusat
13. Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada
berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam
pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan
mereka di dalam memelihara sistem politik.
14. Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah,
karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada
daerah.
Selain keunggulan di aspek administrasi pemerintahan, Desentralisasi Fiskal juga meningkatkan
kapasitas fiskal daerah. Kompetisi yang muncul dari pajak antardaerah menarik perhatian penduduk
yang mencari keuntungan dalam keterbatasan kewenangan perpajakan daerah dengan penyediaan
barang publik lokal (Hange & Wellisch, 1998). Pada aspek administrasi pemerintahan daerah,
Boschmann menyimpulkan bahwa keunggulan desentralisasi fiskal terdapat pada tiga hal: (1)
jelasnya prinsip subsidiaritas (pembagian kewenangan antar level pemerintahan), (2) memperbaiki
tata pemerintahan (governance), akuntabilitas, demokratisasi dan partisipasi penduduk, dan (3)
meningkatkan efisiensi dalam penyediaan layanan publik (Boschmann, 2009). Wellisch bahkan
memiliki beberapa paper yang membuktikan bahwa Desentralisasi Fiskal dapat mendorong tingkat
efisiensi dalam ekuilibrium penyediaan barang dan jasa publik (Hange & Wellisch, 1998; Wellisch,
2000).
Di masa yang lebih modern, OECD merilis laporan kajian yang menyimpulkan terdapat 5
keunggulan ekonomi dari Desentralisasi Fiskal (OECD, 2019), yaitu:
1. Desentralisasi memfasilitasi penyesuaian layanan untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2. Desentralisasi meningkatkan efisiensi pelayanan publik.
3. Desentralisasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
4. Desentralisasi dapat menurunkan kesenjangan antardaerah.
5. Desentralisasi dapat menjadi daya ungkit pembangunan daerah.
Melalui banyak penelitian di atas, kita dapat memahami bahwa Desentralisasi Fiskal memiliki
banyak keunggulan. Berbagai penelitian di seluruh dunia, khususnya Eropa dan negara-negara
anggota OECD, mengkonfirmasi bahwa Desentralisasi Fiskal memberikan dampak positif seputar
efisiensi penyediaan layanan publik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengambilan
keputusan yang lebih cepat. Meskipun demikian, terdapat hal yang perlu diwaspadai dalam proses
dan penerapan Desentralisasi Fiskal agar dapat menikmati keunggulan-keunggulan tersebut. Salah
satunya adalah ketidakseimbangan antara desentralisasi pengeluaran dan penerimaan (OECD, 2012;
Sacchi & Salotti, 2014).
3 dari 18
Otonomi Daerah sebagai prakondisi Desentralisasi Fiskal
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, berbagai negara yang menerapkan Desentralisasi Fiskal
memiliki banyak perbedaan ideologi negara, kondisi dan prasyarat. Namun demikian, terdapat
sebuat prakondisi yang ditemui di tiap negara, yaitu Otonomi Daerah. Prinsip dasar Desentralisasi
Fiskal berpusat pada kebebasan daerah dalam menjalankan kewenangan pemerintahan. Meskipun
prinsip dasar ini mengalami banyak variasi dan modifikasi dalam penerapannya, namun konsep ini
menjadi karakteristik bersama (shared characteristic) dari berbagai praktik Desentralisasi Fiskal di
dunia. Dari titik kesamaan ini, penerapan Desentralisasi Fiskal mengalami divergen di tiap negara.
Kebebasan daerah untuk mengatur dirinya sendiri, secara generik disebut dengan istilah Otonomi
Daerah. Secara harfiah, Otonomi Daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa
Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan
atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan pengertian Otonomi Daerah sebagai kewenangan
untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga
sendiri. Sedangkan daerah, diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kamus Webster’s Third New International Dictionary, disebutkan bahwa kata autonomy
berasal dari bahasa Yunani (Greek) yakni dari kata autonomia yang artinya "the quality or state
being independent, free and self-directing” atau "the degree of self-determination or political control
passed by a minority group, territorial division or political unit in its relations to the state or political
community of which it forms a part and extending from local to full independence". Pengertian dari
kamus ini menggambarkan bahwa sifat “otonomi” ditunjukkan dengan sifat dan tingkat independen,
bebas dalam mengatur diri sendiri. Sifat kebebasan ini kerap ditunjukkan dengan adanya kekuasaan
politik dan hak untuk menentukan arah sendiri dari kelompok kecil, wilayah teritorial, atau unit
politik yang masih tetap memiliki hubungan dengan bangsa yang lebih besar, sebagai bagian darinya
dan memperluas makna lokal ke arah kebebasan penuh.
Berdasarkan pengertian otonomi daerah yang disebutkan di atas sesungguhnya kita telah
memiliki gambaran yang cukup mengenai otonomi daerah. Namun perlu diketahui bahwa selain
pengertian otonomi daerah yang disebutkan di atas, terdapat juga beberapa pengertian otonomi
daerah yang diberikan oleh beberapa ahli atau pakar.
Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar, antara lain:
a. Pengertian Otonomi Daerah menurut Profesor Hanif Nurcholis, adalah: “adalah hak
penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan
mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang
berlaku” (Nurcholis, 2005).
b. Pengertian Otonomi Daerah menurut Profesor Dr. J. H. A Logemann dalam bukunya berjudul
Het Staatsrecht van Indonesia: “kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom
berarti memberi kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari
segala macam kekuasaannya, buat mengurus kepentingan-kepentingan umnum (penduduk);
pemerintahan yang demikian itu dinamakan otonom” (Logemann dalam Syafrudin, 1983).
c. Drs. Ateng Syafrudin, dalam orasi Dies Universitas Katolik Parahyangan, mengartikan istilah
otonomi adalah: “Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian
(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid) melainkan kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat
dipertanggungjawabkan” (Syafrudin, 1983).
d. Pengertian Otonomi Daerah menurut Bhenyamin Hoessein, Guru Besar Pemerintahan
Daerah Fakultas Ilmus Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, adalah:
4 dari 18
“Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara
informal berada di luar pemerintah pusat”. (Hoessein dalam Haris, 2007).
e. Pengertian otonomi daerah menurut Otwin Marenin dan Philip Mawhood, adalah: ”Suatu
pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah
dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber material
yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda” (Marenin, 1984).
f. Menurut F Sugeng Istianto menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah suatu Hak dan
wewenang guna untuk mengatur serta mengurus sebuah rumah tangga daerah. (Istianto
dalam Haris, 2007).
g. Pengertian otonomi daerah menurut Mariun, adalah: ”Kebebasan (kewenangan) yang
dimiliki oleh pemerintah daerah yang memungkinkan mereka untuk membuat inisiatif
sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh
daerahnya sendiri. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat”. (Mariun dalam Haris, 2007).
h. Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah: ”Kebebasan (kewenangan)
untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administrasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang
dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah
namun apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan
kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi” (Lemius dalam Haris, 2007).
Dari beberapa pengertian otonomi daerah yang diberikan di atas, dapat dilihat bahwa secara
umum definisi yang diberikan oleh para ahli atau pakar mengenai otonomi daerah memiliki
kesamaan satu sama lain. Jika seluruh pengertian tersebut dirangkum, maka akan tampak unsur-
unsur sebagai berikut:
Pertama: adanya kewenangan atau kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
mengurus atau mengatur sendiri daerahnya.
Kedua: kebebasan atau kewenangan tersebut, merupakan pemberian dari pemerintah pusat dan
karenanya harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau secara nasional.
Ketiga: kebebasan atau kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah bertujuan untuk kemudahan pemanfaatan potensi lokal dalam rangka mensejahterakan
masyarakat.
Dalam peraturan perundang-undangan terkini mengenai otonomi daerah di Indonesia, yaitu
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi
diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan istilah daerah otonom, diartikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian ini menjadi
payung hukum bagi praktik otonomi daerah di Indonesia. Definisi tersebut sekaligus menegaskan
bahwa otonomi daerah di Indonesia bukanlah bersifat federal, namun dibatasi dengan keterikatan
pada sistem kenegaraan yang ada.
Jenis-Jenis Desentralisasi
Para ahli memiliki beberapa pandangan yang tidak jauh berbeda mengenai jenis atau bentuk
desentralisasi. Pandangan-pandangan tersebut dapat dikumpulkan dalam beberapa istilah bentuk
desentralisasi sebagai berikut (Muluk, 2009).
a. Privatisasi
memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah
atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah.
5 dari 18
b. Deregulasi
mengurangi atau menghilangkan aturan tertentu.
c. Delegasi
perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur
birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.
d. Dekonsentrasi
penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang
lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah.
e. Devolusi
pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang
secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat
Berbagai jenis desentralisasi ini seluruhnya masih tercakup dalam semesta konsep Desentralisasi
Fiskal. Bahkan seluruh jenis desentralisasi tersebut dapat diletakkan dalam suatu garis kontinum
yang tidak terputus menghubungkan dua titik ekstrim: sentralisasi dan desentralisasi. Situasi ini juga
dapat digambarkan dengan analogi pendulum yang selalu bergerak di antara kedua titik ekstrim
tersebut.
6 dari 18
Proses Implementasi Desentralisasi Fiskal
Penerapan Desentralisasi Fiskal di suatu negara, membutuhkan sebuah proses yang penuh
komitmen dan semangat perbaikan. Proses ini tentu sangat krusial di dalam sebuah periode
perubahan. Sebuah kertas kebijakan yang disusun Bahl, menawarkan 12 langkah implementasi
Desentralisasi Fiskal yang dapat diikuti agar maksud dan tujuan kebijakan dapat tercapai (Bahl,
1999). Langkah-langkah tersebut, yaitu:
1. Desentralisasi Fiskal haruslah dipandang sebagai satu sistem yang komprehensif;
2. Keuangan mengikuti fungsi (Finance follows function);
3. Terdapat kemampuan yang kuat dari pusat untuk memonitor dan mengevaluasi
Desentralisasi Fiskal
4. Satu sistem pemerintahan tidak mencukupi untuk menangani daerah perkotaan (urban) dan
pedesaan (rural);
5. Desentralisasi Fiskal membutuhkan kewenangan pajak daerah yang signifikan (local taxing
power);
6. Pemerintah pusat harus konsisten dalam menjalankan aturan Desentralisasi Fiskal yang
disusun;
7. Pertahankan kesederhanaan;
8. Desain dari sistem transfer antarpemerintahan harus sesuai dengan tujuan reformasi
desentralisasi;
9. Desentralisasi Fiskal harus memperhitungkan seluruh level pemerintahan;
10. Menerapkan dengan ketat kebijakan anggaran (hard budget constraint);
11. Menyadari bahwa sistem transfer antarpemerintahan selalu dalam transisi dan
mengantisipasinya;
12. Pastikan selalu ada juara dalam Desentralisasi Fiskal.
Dari ke-12 proses tersebut, Indonesia nampaknya memiliki implementasi yang sangat baik pada
tahap Finance follows function. Indonesia menggunakan istilah money follows function untuk
pelaksanaan prinsip ini, yaitu adanya penyerahan sumber pembiayaan dari pusat kepada daerah
untuk mengikuti fungsi dan kewenangan yang didesentralisasikan dari pusat ke daerah. Penjelasan
lebih rinci akan diuraikan pada bagian selanjutnya mengenai pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
Meskipun demikian, Indonesia memiliki kelemahan dalam proses kelima, yaitu local taxing power.
Minimnya basis pajak yang diserahkan pusat ke daerah menjadi bukti dari hal ini. Selain itu, struktur
Desentralisasi Fiskal yang lebih menitikberatkan pada desentralisasi belanja serta dominannya Dana
Transfer dari pusat ke daerah membuat local taxing power semakin sulit dicapai.
7 dari 18
4. yustisi;
5. moneter dan fiskal nasional; serta
6. agama.
Pembagian kewenangan ini berupa urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan, baik itu Pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagai contoh,
dalam kewenangan pendidikan, Pusat memiliki Kementerian Pendidikan, sedangkan provinsi
memiliki Dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota memiliki Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Pembagian kewenangan ini kemudian diikuti pula dengan penyerahan sumber pendanaan,
pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian yang terkait. Pada awal pelaksanaan Otonomi
Daerah, hal ini memicu mutasi Pegawai Negeri Sipil dalam jumlah yang besar (IMF menyatakan
jumlahnya mencapai 2,8 juta orang). Mereka beralih status dari pegawai pusat menjadi pegawai
daerah. Demikian pula penyerahan infrastruktur yang turut diserahkan dari Pusat kepada Daerah.
Sebanyak 239 kantor provinsi, 3933 kantor kabupaten/kota dan lebih dari 16.000 fasilitas publik
diserahkan Pusat kepada Daerah. Sementara, penyerahan sumber pendanaan dari Pusat ke Daerah
menjadi titik penting dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia.
Hingar bingarnya pergeseran dari Pusat ke Daerah ini diberi nama ‘Big Bang of Fiscal
Decentralization’. Dalam semalam, Indonesia berubah dari sebuah negara tersentralisasi menjadi
negara dengan sistem otonomi daerah yang kuat. Sebuah fenomena yang tidak terbayangkan
sebelumnya dalam sebuah negara dengan corak kepemimpinan yang kuat dan cenderung terpusat
baik di Era Orde Lama maupun Era Orde Baru. Fenomena ini bahkan dikaitkan oleh sebagian
kalangan dengan teori Angsa Hitam (Taleb, 2007). Dalam sebuah kolam yang dipenuhi angsa-angsa
putih selama bertahun-tahun, tiba-tiba didominasi dengan angsa hitam yang dahulu dianggap tidak
ada.
8 dari 18
istilah Perimbangan Keuangan ini, mengisyaratkan bahwa kebijakan dan praktik Desentralisasi Fiskal
di Indonesia akan selalu membutuhkan dua pemeran utama: pusat dan daerah. Pemerintah Pusat
menjadi aktor penting dan krusial dalam pelaksanaan Perimbangan Keuangan ini, karena pusat
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari daerah dan bertindak sebagai pembuat kebijakan
(regulator). Pemerintah-pemerintah Daerah tidak dimungkinkan untuk mengatur daerah lain karena
kedudukannya yang setara, sehingga peran Pemerintah Pusat menjadi sentral dalam kebijakan
Perimbangan Keuangan.
Dengan demikian, penggunaan istilah Perimbangan Keuangan sebagai istilah sinonim dari
Desentralisasi Fiskal dapat dipertanggungjawabkan secara legal historis maupun teoritis. Bahkan
istilah ini telah mewakili karakteristik kebijakan Desentralisasi Fiskal yang diterapkan di Indonesia.
Tentu akan ada konsekuensi-konsekuensi dan dampak-dampak dari penggunaan istilah ini
sebagaimana akan dibahas pada akhir bab ini. Selain itu, masih terdapat beberapa istilah terkait
Desentralisasi Fiskal yang penting untuk dipahami dan akan disampaikan pada pembahasan
selanjutnya.
9 dari 18
dilengkapi dengan Data Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dana
Insentif Daerah.
Pada proses Revenue Assignment, struktur Desentralisasi Fiskal di Indonesia tidak memungkinkan
munculnya kemandirian fiskal daerah. Argumen dari pernyataan ini adalah setelah dua dekade
pelaksanaan kebijakan Desentralisasi Fiskal, hanya sedikit sekali daerah yang dapat mencapai
kemandirian daerah. Provinsi DKI Jakarta memang memiliki kemandirian fiskal yang sangat baik,
namun karakteristik itu tidak ditemui di daerah-daerah lain. Provinsi Riau dan Kalimantan Timur juga
memiliki kapasitas fiskal yang tinggi didukung oleh kekayaan alamnya yang menghasilkan Dana Bagi
Hasil yang sangat tinggi. Namun, karakteristik daerah kaya Sumber Daya Alam tersebut tidak dimiliki
merata oleh daerah-daerah lain. dengan Dengan kata lain, komponen Transfer ke Daerah menjadi
instrumen penting dan dominan dalam struktur Desentralisasi Fiskal di Indonesia.
Struktur Desentralisasi Fiskal di Indonesia yang unik, dalam arti berbeda dari praktik negara lain,
menempatkan instrumen Transfer ke Daerah sebagai peran penting dalam menjalankan
pembangunan.
Transfer ke Daerah
Dana Transfer (Intergovernmental Transfer) adalah dana yang diserahkan antartingkat
pemerintahan di sebuah negara dengan tujuan untuk dapat mendanai tugas masing-masing
kewenangan tingkat pemerintahan dalam sebuah kerangka kebijakan fiskal nasional (Ahmad & Craig
dalam Ter-Minassian, 1997). Dana Transfer muncul akibat kesenjangan fiskal baik kesenjangan
vertikal (antara pusat dan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah) akibat pendapatan
dan belanja yang tidak sepadan. Umumnya, ada dua jenis transfer sumber daya fiskal antartingkat
pemerintahan: bagi hasil (revenue sharing) dan sistem hibah (a system of grants).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia menggunakan istilah Transfer ke Daerah dan
Dana Desa untuk merujuk pada Dana Transfer tersebut. Indonesia menggunakan beberapa
instrumen Transfer ke Daerah, sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bahwa Dana
Perimbangan terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil (DBH).
b. Dana Alokasi Umum (DAU).
c. Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam Undang-Undang APBN yang ditetapkan setiap tahun, Transfer ke Daerah juga mencakup
Dana Insentif Daerah (DID). Selain keempat instrumen tersebut, dalam rangka kebijakan
desentralisasi asimetris, Transfer ke Daerah juga mencakup:
a. Dana Otonomi Khusus (untuk Aceh diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; sementara untuk Papua diatur dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; dan untuk Papua
Barat diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor
1 Tahun 2008 tentang Perubahan UU 21/2001).
b. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Instrumen terakhir dalam Transfer ke Daerah adalah Dana Desa yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana Desa didasari atas pengakuan kewenangan Desa
sebagai tingkat masyarakat terkecil yang memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Sama
seperti money follows function di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Dana Desa digunakan untuk
membiayai program dan kegiatan pembangunan yang menjadi kewenangan desa. Dana Desa sering
dipandang sebagai sarana pemberdayaan masyarakat secara mandiri atau Community-Driven
Development/CDD (Badan Kebijakan Fiskal, 2018).
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
10 dari 18
pelaksanaan Desentralisasi. DBH memiliki dua prinsip: prinsip By Origin yaitu bahwa DBH dibagi
dengan imbangan daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar, sedangkan daerah lainnya
(dalam provinsi yang bersangkutan) mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi tertentu yang
ditetapkan dalam UU No. 33/2004 , serta prinsip Based on Actual Revenue, yaitu Penyaluran berbasis
atau sesuai dengan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan (UU No. 33/2004 Pasal 23).
Secara garis besar, DBH memiliki dua kategori yaitu DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam. DBH
Pajak saat ini terdiri dari (i) DBH BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan); (ii) DBH Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), yaitu PPh Pasal 21, PPh 22 dan 25
WPOPDN; serta (iii) DBH Cukai Hasil Tembakau. Adapun DBH SDA terdiri dari: (i) Kehutanan, (ii)
Pertambangan Umum, (iii) Perikanan, (iv) Pertambangan Minyak Bumi, (v) Pertambangan Gas Bumi,
dan (vi) Pertambangan Panas Bumi.
Penerimaan negara yang dapat dibagihasilkan haruslah memiliki prinsip immobility (tidak
berpindah). Semakin sebuah obyek penerimaan/pajak tidak memiliki mobilitas, maka semakin cocok
penerimaan tersebut diperlakukan sebagai pajak daerah. Selain itu, semakin mudah pula identifikasi
daerah penghasilnya. Pendaerahan PBB P2 (Perdesaan dan Perkotaan) melalui Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga didasari prinsip immobility
ini.
Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Konsep Dasar DAU adalah
sebagai instrumen pemerataan kemampuan keuangan untuk menyediakan pelayanan dasar. DAU
bersifat block grant (penggunaannya tidak diatur pusat). DAU berperan untuk mengatasi horizontal
imbalance antara daerah kaya (kemampuan keuangan tinggi) dengan daerah miskin (kemampuan
keuangan rendah). DAU sebagai General Purpose Grant menganut prinsip categorical equity
(keadilan kategori) menyatakan bahwa seluruh warga negara di manapun berada berhak
mendapatkan pelayanan dasar yang disediakan pemda (seperti pendidikan dasar, pelayanan
kesehatan, infrastruktur daerah, dll.) pada standar minimum tertentu.
Total DAU Nasional ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Penerimaan Dalam Negeri Netto
(PDN Netto) dalam APBN. Jumlah ini kemudian dibagi menjadi dua: 10% dari total DAU Nasional
menjadi porsi DAU untuk seluruh Provinsi se-Indonesia dan 90% dari total DAU Nasional menjadi
porsi DAU untuk seluruh Kabupaten/Kota se-Indonesia. Selanjutnya digunakan formula celah Fiskal
untuk mendapatkan DAU per daerah. DAU masing-masing daerah dialokasikan mengikuti formula
pada UU 33/2004, yaitu:
𝑫𝑨𝑼=𝑪𝑭+𝑨𝑫
Keterangan:
DAU = Dana Alokasi Umum
CF = Celah Fiskal
AD = Alokasi Dasar
Celah Fiskal sendiri dihitung dari selisih Kebutuhan Fiskal (KbF) dikurangi Kapasitas Fiskal (KpF).
Penentuan Kapasitas Fiskal menggunakan PAD dan DBH daerah tersebut. Sementara Kebutuhan
Fiskal dihitung dari beberapa variabel yaitu: Indeks Penduduk, Indeks Luas Wilayah, Indeks
Kemahalan Konstruksi, Indeks PDRB per Kapita dan Inversi Indeks Pembangunan Manusia.
Alokasi Dasar didapatkan dari kebutuhan Gaji PNS Daerah. Meskipun demikian, komponen AD
dalam formula DAU tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan belanja gaji PNSD,
terlebih untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi (Penjabaran dari Pasal 32, UU No. 33
Tahun 2004). Dengan demikian, DAU bukan untuk membayar gaji PNSD, walaupun dalam
perhitungan DAU terdapat komponen gaji PNSD.
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK
11 dari 18
digunakan sebagai instrumen untuk mengatasi kesenjangan pelayanan dasar publik antardaerah.
DAK dipergunakan untuk mendorong tercapainya Standar Pelayanan Minimum (SPM) pada urusan
publik yang menjadi prioritas nasional, misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan. DAK umumnya
juga dialokasikan sebagai kompensasi terhadap pembiayaan program maupun kegiatan Pemerintah
Daerah yang memiliki dampak eksternalitas yang signifikan kepada Daerah sekitarnya (to
compensate for spillovers or externalities). Sebagai contoh, kegiatan Daerah untuk vaksinasi
kesehatan seperti vaksinasi cacar dan lainnya (Ahmad & Craig, 1997).
DAK bersifat Specific Purpose Grant. Menurut Boediarso (2018), DAK sebagai bantuan khusus ini
dapat diciptakan oleh si pemberi untuk berbagai tujuan, di antaranya yaitu:
a. Untuk mencapai tujuan dan prioritas nasional di bidang tertentu tetapi urusannya telah
didesentralisasikan ke Daerah.
b. Untuk mempengaruhi pola belanja si penerima, misalnya dengan mempersyaratkan dana
pendamping dari sumber pendapatan daerahnya sehingga akan tersedia sejumlah dana yang
harus dibelanjakan oleh Daerah untuk bidang yang diinginkan Pusat.
c. Untuk mengakomodasi spillover benefit (penyediaan pelayanan publik oleh Daerah tertentu
tetapi dimanfaatkan oleh penduduk Daerah lain/tetangga).
d. Untuk mengakomodasi kekhususan Daerah tertentu, misalnya karena ketidakmampuan
Daerah tersebut untuk membiayai pelayanan khusus.
Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria/kategori tertentu dengan tujuan untuk
memberikan penghargaan atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja tertentu di bidang tata kelola
keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan
masyarakat. Dana insentif Daerah (DID) merupakan dana yang dialokasikan dalam APBN kepada
daerah tertentu berdasarkan kategori/kriteria tertentu sebagai penghargaan atas perbaikan
dan/atau pencapaian kinerja di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum
pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat. Pengalokasian DID ditujukan
untuk mendorong daerah agar meningkatkan: (1) kualitas kesehatan fiskal dan pengelolaan
keuangan daerah; (2) kualitas pelayanan umum pemerintahan; (3) kualitas pelayanan dasar publik di
bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; dan (4) kesejahteraan masyarakat.
DID sebagai instrumen insentif dalam sistem Transfer ke Daerah, digunakan untuk mengarahkan
perilaku daerah menuju perilaku yang diinginkan pusat. Perilaku atau kondisi ideal yang dituju
dengan DID saat ini adalah:
a. Akuntabel (tata kelola keuangan daerah).
b. Memenuhi pelayanan dasar publik.
c. Memenuhi pelayanan umum pemerintahan.
d. Mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat .
Prinsip pengalokasian DID terdiri dari:
1. Keadilan (fairness), setiap daerah memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh DID.
2. Dapat diperbandingkan, dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja dan
indikator yang sama untuk setiap daerah.
3. Objektif, dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja yang baku dan tidak
menimbulkan penafsiran ganda.
4. Terukur, dilaksanakan dengan menggunakan data kuantitatif dan/atau kualitatif yang dapat
dikuantitatifkan dan menggunakan alat ukur kuantitatif sehingga hasilnya dapat disajikan
secara kuantitatif.
5. Berkesinambungan, dilaksanakan setiap tahun untuk memperoleh hasil monitoring dan
evaluasi kinerja Pemerintahan Daerah dari waktu ke waktu.
6. Akuntabel, dilaksanakan dengan pengolahan data indikator yang diperoleh dari lembaga
statistik pemerintah dan/atau kementerian/lembaga teknis yang berwenang menerbitkan
data yang dapat dipertanggungjawabkan.
12 dari 18
Tujuan Pengalokasian DID adalah (i) memberi penghargaan (reward) kepada Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang mempunyai kinerja baik dalam tata kelola keuangan daerah; pelayanan dasar
publik; pelayanan umum pemerintahan; serta dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang dialokasikan berdasarkan kriteria utama dan kategori kinerja; (ii) meningkatkan kualitas
pengelolaan keuangan daerah dan kesehatan fiskal APBD; (iii) Meningkatkan kualitas pelayanan
dasar publik di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pelayanan umum pemerintahan; (iv)
Meningkatkan upaya dalam rangka pengentasan kemiskinan; (v) Mendorong pengurangan sampah
plastik; dan (vi) Mendorong kemudahan izin berusaha di daerah.
Dalam Nota Keuangan APBN 2019, perhitungan alokasi DID provinsi, kabupaten, dan kota
dilakukan berdasarkan kriteria utama dan kategori kinerja. Kriteria utama merupakan kriteria yang
harus dimiliki oleh suatu daerah sebagai penentu kelayakan daerah penerima, terdiri dari: (1) Opini
BPK atas LKPD, (2) Penetapan Perda APBD tepat waktu, (3) Penggunaan e-government dan (4)
Ketersediaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kebijakan ini dapat berubah setiap tahunnya dan
dituangkan dalam Nota Keuangan APBN untuk tahun tersebut.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai pelaksanaan
otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2OOB tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang
selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan
Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Keistimewaan DIY adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan
sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa, di antaranya:
a. Penetapan Gubernur DIY dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono (pasal 18).
b. Penetapan Wakil Gubernur DIY dijabat oleh Adipati Paku Alam (pasal 18).
c. Peraturan Daerah Istimewa DIY, selanjutnya disebut Perdais, adalah Peraturan Daerah DIY
yang dibentuk oleh DPRD DIY bersama Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan
Kewenangan Istimewa.
Dana Keistimewaan DIY dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan keistimewaan tersebut.
13 dari 18
yang didapat dari sektor pariwisata. Sementara 500 lebih daerah lain masih relatif bergantung
kepada Transfer ke Daerah dari pemerintah pusat.
Dari sisi lain, rendahnya kemandirian daerah ini bukanlah hal yang buruk. Dari sisi pencapaian
output, daerah memiliki prestasi yang baik. Pencapaian SPM Pendidikan dan Kesehatan, serta
indikator SDG (Sustainable Development Goals) pada tahun 2019 menunjukkan 146 indikator telah
mencapai target (52% indikator) dan sisanya 50 indikator dengan tren membaik (18% indikator) dan
84 indikator yang membutuhkan perhatian khusus (30% indikator SDG). Dengan demikian,
Indonesia memiliki capaian pembangunan yang cukup baik (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).
Dari ini kita dapat menyimpulkan bahwa struktur Desentralisasi Fiskal di Indonesia adalah
desentralisasi belanja dan sentralisasi pendapatan. Hal ini mungkin tidak akan berubah banyak di
masa depan selama Indonesia masih menempatkan daerah sebagai bawahan dari pusat. Pusat
menggunakan instrumen Transfer ke Daerah sebagai alat kontrol daerah.
Pendaerahan PBB P2 (Perdesaan dan Perkotaan) pada tahun 2008, belum banyak mengubah
struktur Desentralisasi Fiskal karena proporsi total PAD dibandingkan total Belanja APBD se-
Indonesia baru mencapai 24,42% di tahun 2020 (data diolah dari Portal Data DJK 1). Kemandirian
daerah baru dapat terwujud jika negara berani memberikan revenue-base (basis pendapatan) yang
signifikan kepada daerah, misalnya PPN (menyumbang % pendapatan APBN 2020) atau DBH
praktik DBH saat ini dapat dibalik, yaitu dengan menyerahkan sumber pendapatan DBH kepada
daerah namun masih mengenakan tambahan tarif pajak/PNBP bagi Pusat.
Meskipun Transfer ke Daerah adalah instrumen dominan dalam Desentralisasi Fiskal, namun
pemerintah daerah diberikan kewenangan juga dalam Pinjaman Daerah dan Investasi Daerah.
Pinjaman Daerah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 56 Tahun 2018, memungkinkan Pemda
menerbitkan Obligasi Daerah melalui mekanisme pendaftaran dan penawaran di bursa. Sementara
Investasi Daerah dimungkinkan selama pemda tidak berhubungan langsung dengan pihak luar
negeri.
Pertanyaan
1. Apa keunggulan konsep Desentralisasi Fiskal?
2. Jelaskan mengapa Otonomi Daerah menjadi prakondisi pelaksanaan Desentralisasi Fiskal?
3. Mengapa Desentralisasi Fiskal di Indonesia disebut dengan istilah Perimbangan Keuangan?
4. Apa saja instrumen Transfer ke Daerah di Indonesia?
5. Apakah Desentralisasi Fiskal di Indonesia telah mencapai tujuannya? Berikan pendapat
Anda!
Daftar Pustaka
1 http://www.djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd
14 dari 18
Badan Kebijakan Fiskal. (2018). Kajian Dana Desa: Analisis Empiris Badan Usaha Milik Desa,
https://fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/2019/kajian/Kajian_dana_desa.pdf
Bahl, R. (1999). Implementation Rules for Fiscal Decentralization. Georgia State University Working
Papers.
https://mef.gob.pe/contenidos/pol_econ/documentos/Rules_Fiscal_Decentralization.pdf
Baskaran, T., & Feld, L. P. (2012). Fiscal decentralization and economic growth in OECD countries.
Boschmann, N. (2009). Fiscal Decentralization and Options for Donor Harmonisation. Development
Countries in the united nations - Worldometer. (n.d.). Retrieved June 1, 2021, from
https://www.worldometers.info/united-nations/
Davoodi, H., & Zou, H. (1998). Fiscal decentralization and economic growth: A cross-country study.
Hange, U., & Wellisch, Dietmar. (1998). The Benefit of Fiscal Decentralization. FinanzArchiv / Public
Haris, S. (2007). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas
id=mF6bdlj8qrYC
International Monetary Fund. (2011). Measuring fiscal decentralization: Exploring the IMF’s
PPN/Bappenas. http://sdgs.bappenas.go.id/dokumen/
Marenin, O. (1984). Local Government in the Third World: The Experience of Tropical Africa. Edited
by Philip Mawhood. (New York: John Wiley & Sons, 1983. Pp. xiii + 261. $39.95.). American
15 dari 18
Political Science Review, 78(4), 1150–1150. https://doi.org/10.2307/1955888
Muluk, M. R. K. (2009). Peta konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah. ITS Press.
Indonesia.
Nurcholis, H. (2005). Teori & Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo.
Oates, W. E. (2005). Toward A second-generation theory of fiscal federalism. International Tax and
Oates, W. E., & Oates, W. E. . (1972). Fiscal federalism. Houghton Mifflin Harcourt P.
OECD. (2019). OECD multi-level governance studies making decentralisation work A Handbook for
Panizza, U. (1999). On the determinants of fiscal centralization: Theory and evidence. Journal of
Rondinelli, D. A., Nellis, J. R., & Cheema, G. S. (1983). Decentralization in Developing Countries:
https://documents1.worldbank.org/curated/en/868391468740679709/pdf/multi0page.pdf
Sacchi, A., & Salotti, S. (2014). A comprehensive analysis of expenditure decentralization and of the
https://doi.org/10.1080/00343404.2014.893387
Subnational governments around the world - OECD. (n.d.). Retrieved June 1, 2021, from
https://www.oecd.org/regional/regional-policy/sngs-around-the-world.htm
http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/1593/Orasi_Ateng_Pasang_Suru
t_Otonomi-p.pdf
Syafrudin, A. (1988). Selayang Pandang tentang Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II.
16 dari 18
http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/1579/Orasi_Ateng_Selayang_Pa
ndang_tentang_Titik_Berat_Otonomi_Daerah-p.pdf
Taleb, N. N. (2007). Black swans and the domains of statistics. The American Statistician, 61(3), 198–
200. https://doi.org/10.1198/000313007x219996
Ter-Minassian, T., & Staff, I. M. F. (1997). Fiscal federalism in theory and practice. International
Monetary Fund.
Thiessen, U. (2005). Fiscal decentralisation and economic growth in high-income OECD countries.
Wellisch, D. (2000). Theory of Public Finance in a Federal State. Cambridge University Press.
http://www.cambridge.org/0521630355
Yilmaz, S., Meloche, J.-P., & Vaillancourt, F. (2004). Decentralization or fiscal autonomy? What does
really matter? Effects on growth and public sector size in European transition countries. The
Yusuf, S. (1999). Entering the 21st century: World Development Report, 1999/2000. World Bank
Publications.
17 dari 18