Anda di halaman 1dari 172

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kesehatan, kekuatan, dan bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
sebuah buku pegangan bagi mahasiswa untuk mata kuliah bimbingan dan konseling.
Buku ini merupakan ide pemikiran penulis yang dilatarbelakangi oleh terdapatnya
mata kuliah bimbingan dan konseling di semua program studi yang mengambil bidang
keguruan di perguruan tinggi, namun buku yang beredar sebagian besar buku bimbingan
dan konseling untuk program studi bimbingan dan konseling, sedangkan untuk program
studi pendidikan matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan sebagainya belum ada
buku pegangannya. Oleh karena itu, penulis mencoba mengkolaburasikan materi
bimbingan dan konseling untuk para mahasiswa di luar program studi bimbingan dan
konseling.
Apalagi dengan kondisi sekarang ini yang secara jujur ketidakberhasilan pendidikan
formal nampak dengan berbagai kejadian yang seyogyanya tidak terjadi, seperti
menjamurnya tawuran antar pelajar, narkoba di lingkungan pelajar, sex bebas di
lingkungan pelajar, tawuran mahasiswa dan lain-lain. Begitu juga di pendidikan nonformal
(luar persekolahan) atau masyarakat yang setelah reformasi ini semakin berani yang tidak
didasari oleh pikiran-pikiran yang positif , seperti tawuran antar warga, penyerangan aparat
pemerintah (Polisi, Kantor Kantor Pemerintahan), dan baku hantam di dunia pemerintahan
pusat dan daerah yang saling menuduh akibat dari sebuah korupsi.
Dengan kondisi, itulah guru mata pelajaran, tutor pendidikan kesetaraan, aparat
pemerintah (tingkat kab/kota sampai RT/RW), maka diperlukan pemberian tentang
layanan bimbingan dan konseling di seting guru mata pelajaran dan seting di masyarakat
dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan pencegahan-pencegahan kegiatan yang
mengakibatkan kerugian bagi dirinya dan lingkungannya dimasa kini dan masa mendatang.
Dari pemikiran tersebutlah, penulis mencoba membuat buku bimbingan dan
konseling dengan judul “ Bimbingan dan Konseling (Pendidikan Formal, Nonformal, &
Informal)” yang sekaligus sebagai buku wajib bagi mahasiswa yang bukan program studi
bimbingan dan konseling di Universitas Singaperbangsa Karawang dengan harapan guru
mata pelajaran dapat berperan sebagai pembimbing ketika mereka menjadi guru mata
pelajaran yang tidak merebut hak dan tanggung jawab guru bimbingan dan konseling di
sekolah serta harapan kedua terinspirasinya pihak pemerintah untuk memprogramkan
layanan bimbingan dan konseling di masyarakat (nonformal dan informal).
Dalam perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta regulasi dari
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, maka buku bimbingan dan konseling ini
perlu direvisi dengan memperhatikan perkembangan tersebut, oleh karena itu semoga buku
ini akan menjadi wawasan bagi semua insane pendidikan di tanah air.
Ucapan terima kasih yang setinggi tingginya saya sampaikan kepada Prof. H. Aas
Syaefuddin, M.A (Alm) selaku Ketua STKIP Siliwangi Bandung, Prof. Dr. H. Engking
Soewarman Hasan, M.Pd. (Alm) selaku Direktur Pascasarjana STKIP Siuliwangi Bandung
beserta seluruh staf yang telah memberikan dorongan serta seluruh sivitas akademik
Universitas Singaperbangsa Karawang dan kepercayaan selama ini kepada penulis untuk
memberikan mata kuliah bimbingan dan konseling. Selanjutnya ucapan terima kasih
kepada keluarga yang telah mendukung pembuatan buku ini, yaitu Hj. Intisari, S.Pd.
M.Pd., (Isteri tercinta), Anak-anakku tercinta (Febrian Mulyana, S.Pd., M.Pd.; Tiara Sari
Nisa, S,.Pd., M.Pd. Muhamad Rizki Hidayat; Dinda Intan Nurfadillah).
Pada akhir kata pengantar ini, saya mohon maaf jika dalam buku perdana ini banyak
kekurangan dan kehilapan, terutama dalam struktur ilmu, substansi materi dan terminologi.
Atas segala kekurangan dengan hati lapang dada saya menunggu saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan buku ini dimasa yang akan datang.
Semoga buku ini bermanfaat dan berarti untuk semua orang yang prihatin terhadap
pembangunan pendidikan bangsa kita dan bermanfaat bagi peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia dibidang akademik dan nonakademik. Terima kasih.
Bandung, 06 Desember 2012
Dr. H. Sutirna, M.Pd.
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin hari semakin terus
berkembang seperti tanpa batas dan ruang serta waktu, bahkan dapat diakses dengan cepat
dimanasaja, kapan saja dan oleh siapa saja, sehingga dituntut setiap manusia untuk dapat
menyikapinya dengan cepat dan tepat terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, baik
untuk diri sendiri maupun bagi orang lain. Apalagi dengan perkembangan dunia
pendidikan, jarak, ruang dan waktu bukan lagi merupakan penghalang bagi manusia untuk
mengetahui apa yang sedang terjadi di berbagai penjuru dunia. Misalnya kejadian di luar
negeri maupun di dalam negeri secara cepat dapat diakses dengan cepat melalui media
elektronik yang serba canggih, informasi-informasi negative pun akan cepat diterima oleh
seluruh pengguna internet (khususnya bagi para peserta didik dan mahasiswa). Oleh karena
itu layanan bimbingan dan konseling sangat diperlukan sebagai sarana membantu (to help)
peserta didik agar tidak terjadi salah langkah dalam menyikapi perkembangan dunia yang
semakin canggih bagaikan kilat, baik itu peserta didik di pendidikan formal
(persekolahan), pendidikan nonformal (luar persekolahan) dan informal (lingkungan
keluarga) bahkan bagi guru, dosen, tutor, calon guru, calon tutor dan tidak menutup
kemungkinan bagi para orang tua serta masyarakat.
Apalagi ditengah posisi Indonesia yang menjadi negara dengan jumlah pengguna
internet terbesar se-ASEAN dengan jumlah 93,4 juta atau sama dengan 36% dari total
populasi pada tahun 2015, bahkan emarketer menyebutkan pada tahun 2018 pengguna
internet di Indonesia akan mencapai 123 juta, jumlah ini mengalahkan Jepang dan
membuat Indonesia termasuk dalam Top 5 Dunia. Secara lengkap dapat diperhatikan data
pengguna Internet dari 25 negara atau the top 25 centries by internet users.
Tabel. 1: The Top 25 Centries By Internet Users

Top 25 Countries, Ranked by Internet Users, 2014-2018


Millions
No Negara 2014 2015 2016 2017 2018
1 China* 643.6 669.8 700.1 736.2 777.0
2 US** 252.9 259.3 264.9 269.7 274.1
3 India 215.6 252.3 283.8 313.8 346.3
4 Brazil 107.7 113.7 119.8 123.3 125.9
5 Japan 102.1 103.6 104.5 105.0 105.4
6 Indonesia 83.7 93.4 102.8 112.6 123,0
7 Russia 82.9 87.3 91.4 94.3 96.6
8 Germany 61.6 62.2 62.6 62.7 62.7
9 Mexico 59.4 65.1 70.7 75.7 80.4
10 Nigeria 57.7 63.2 69.1 76.2 84.3
11 UK** 50.1 51.3 52.4 53.4 54.3
12 France 49.7 50.6 51.2 51.9 52.5
13 Philipinnes 48.0 53.7 59.1 64.6 69.3
14 Turkey 41.0 44.7 47.7 50.7 53.5
15 Vietnam 40.5 44.4 48.2 52.1 56.8
16 South Korea 40.4 40.6 40.7 40.9 41.0
17 Egypt 36.0 38.3 40.9 43.9 47.4
18 Italy 35.8 36.2 37.2 37.5 37.7
19 Spain 31.6 32.3 33.0 33.5 33.9
20 Canada 28.3 28.8 29.4 29.9 30.4
21 Argentina 27.1 29.0 29.8 30.8 31.1
22 Colombia 26.5 28.6 29.4 30.5 31.3
23 Thailand 24.3 26.0 27.6 29.1 30.6
24 Poland 22.9 23.3 23.7 24.0 24.3
25 South Africa 22.7 25.0 27.2 29.2 30.9
Worlwide *** 2.89 3.07 3.24 3,41 3.60
Note individual of any age who use the internet from any location via any
device at least once per month
*) excludes Hong Kong
**) forecast from Aug 2014
***) includes countries not
Source: eMarkerter Nov 2014

Dari data tabel di atas, jelas sekali bahwa Indonesia sebagai ke-6 terbesar dunia
pengguna internet tidak bisa dibendung keberadaannya, dari sejak anak usia pendidikan
dasar sampai dengan mahasiswa, apalagi diprediksi oleh emarketer di tahun 2018 akan
mengalahkan Jepang. Pertanyaannya apakah hal tersebut dapat dimanfaatkan kearah positif
dalam pembelajaran di sekolah-sekolah atau di perguruan tinggi? Hal ini banyak faktor
yang sangat berpengaruh, salah satunya faktor guru atau dosen, oleh karena itu dalam buku
Teaching 2030, Barnnet (2013) mengatakan bahwa guru di abad millienium diwajibkan
menguasai IT.
Guru/Dosen/Tutor/Fasilitator/Nara Sumber sebagai tenaga pendidik yang memiliki
peran terdepan untuk dapat memberikan pengajaran, pendidikan dan pembimbingan
sehingga penggunaan internet sesuai apa yang diharapkan yaitu sebagai alat (tool) untuk
menjadi pendorong peningkatan pengetahuan sebagai pondasi masa depan bukan
sebaliknya menjadi rusak etika peserta didik akibat dari tidak adanya bimbingan dari guru,
dosen, tutor, dan orang tua.
Kita tentu mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi di dunia pendidikan
sekarang-sekarang ini. Penyelenggara pendidikan kurang optimal dalam memberikan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah bahkan di tingkat perguruan tinggi
nampaknya layanan bimbingan dan konseling sebagian besar belum melaksanakan,
akhirnya seperti tawuran para pelajar dan mahasiswa yang sering terjadi, guru yang
dianiyaya oleh peserta didik, dan tidak tersalurkannya peserta didik yang memiliki
kemampuan tinggi yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, penggunaan obat-obat terlarang,
pesta minuman keras, dan sulitnya mahasiswa untuk berkonsultasi mengatasi
permasalahan yang mereka miliki.
Kita perlu memahami manfaat pentingnya layanan bimbingan dan konseling
diselenggarakan dengan baik oleh guru dan dosen layanan bimbingan dan konseling
maupun untuk guru mata pelajaran di pendidikan formal, nonformal dan informal, di
bawah ini akan diuraikan terlebih dahulu tentang Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling
yang terdiri pengertian bimbingan, konseling, hubungan antara bimbingan dan konseling,
Tujuan Bimbingan dan Konseling, Fungsi Bimbingan dan Konseling, Prinsip-prinsip
bimbingan dan konseling Asas Bimbingan dan Konseling serta sejarah singkat
perkembangan bimbingan dan konseling di Amerika Serikat sebagai awal munculnya
bimbingan dan konseling di Indonesia.

A. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling


1. Pengertian Bimbingan
Sebelum mempelajari materi bimbingan dan konseling lebih jauh dan mendalam,
mari kita perhatikan pendapat para pakar menyampaikan pengertian tentang bimbingan
secara umum di bawah ini:
Year Book of Education (1955) menyatakan bahwa: ‘guidance is a process of
helping individual through their own effort to discover develop their potentialisties both
for personal happiness and sosial usefulness’.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa: “Bimbingan adalah proses bantuan terhadap
individu untuk mencapai pemahan diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk
melakukan penyesuaian diri secara maksimum kepada sekolah, keluarga, serta
masyarakat”.
Jones (1963:25) memberikan pengertian bimbingan adalah sebagai berikut:
“Guidance is the assistance given to individuals in making intelligent choices and
adjustments in their lives. The ability is not innate it must be developed. The fundamental
purpose of guidance is to develop in each individual up to the limit of his capacity, the
ability to solve his own problems and to make his own adjustment...”
Pengertian menurut Jones di atas, ternyata bimbingan itu merupakan bantuan kepada
individu dalam membuat suatu pilihan yang cerdas atau tepat dalam penyesuaian
kehidupan mereka. Selanjutnya pula dikatakan bahwa kemampuan itu bukan merupakan
suatu faktor bawaan, tetapi harus dikembangkan.
Tujuan yang sangat mendasar dari bimbingan menurut Jones adalah
mengembangkan setiap individu untuk mencapai batas yang optimal, yaitu dapat
memecahkan permasalahannya sendiri dan membuat keputusan yang sesuai dengan
keadaan dirinya sendiri. Dengan demikian suatu keputusan yang diambil bukan merupakan
hasil paksaan seseorang (guru, dosen, dan orang tua) melainkan datang dari dalam diri
sendiri setelah memperoleh layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini artinya
keputusan yang diambil harus berangkat dari dalam diri sendiri yang dibimbing, bukan
merupakan pemaksaan guru/tutor/orang tua/pembimbing.
Hamrin (1947) mengemukakan pengertian tentang bimbingan sebagai berikut:
‘Helping John to see through himself in order that he may see himself through’
Hamrin (1950:17) memberikan pendapatnya tentang bimbingan sebagai berikut:
“Guidance seeks to have each individual become familiar with a wide range of
information about himself, his abilities, his previous development in the various areas of
living, and his plans or ambitions for the future. Guidance than seeks to help him become
acquanted with the various problems of social, vocational, and recreational adjustment
with he faces. On the basis of those two types of information and the assistance of
counselors, each pupil is helped to face his problems and makes plans foe their solution”.
Inti pengertian bimbingan yang disampaikan Hamrin hampir sama dengan Jones,
yaitu membantu pemecahan masalah seseorang sehingga dapat membuat keputusan yang
tepat atau dengan kata dengan bimbingan diharapkan memperoleh sebuah solusi dan
perencanaan yang tepat. Solusi dan perencanaan yang tepat ini dapat diartikan untuk masa
kini dan masa mendatang peserta didik (klien) atau dengan bahasa lain, pembimbing harus
dapat memberikan gambaran tentang cara pandang yang salah untuk mempersiapkan masa
yang datang, yang tadinya peserta didik sebagian besar berparadigma “Bagaimana nanti”
diubah ke dalam paradigma “ Nanti bagaimana”
Chisholm (1950: 17) memberikan pendapatnya mengenai bimbingan sebagai
berikut:
‘Guidance seeks to have each individual become familiar with a wide range of
information about himself, his abilities, his previous development in the various areas of
living, and his plans or ambitions for the future. Guidance than seeks to help him become
acquainted with the various problems of sosial, vocational and recreational adjustment
with he faces. On the basis of those two types of information and the assistance of
counselors, each pupil is helped to face his problems and makes plans for their solution’.
Definisi di atas mengartikan bahwa bimbingan berusaha dimiliki oleh setiap
individu menjadi akrab dengan berbagai informasi tentang dirinya, kemampuannya,
pembangunan sebelumnya di berbagai bidang kehidupan, dan rencananya atau ambisi
untuk masa depan. Bimbingan ini berusaha untuk membantunya berkenalan dengan
berbagai masalah sosial masyarakat, penyesuaian kejuruan dan rekreasi dengan keadaan.
Atas dasar dua jenis informasi dan bantuan dari konselor, tiap murid dibantu untuk
menghadapi masalah dan membuat rencana untuk solusi mereka.
Crow and Crow (1951:6) menyampaikan pandangannya tentang pengertian
bimbingan adalah “Rathers guidance is assistance made available by competent
counselors to an individual of any age to help him direct his own life, develop his own
decisions, and carry his burdons”.
Jika kita perhatikan pengertian dari Crow and Crow cenderung penekanannya
kepada proses bimbingannya, yaitu pemberian bantuan dari seorang konselor (guru/ahli)
kepada individu secara langsung mengarahkan tentang kehidupan, membangun keputusan
dan beban karir. Dari pengertian ini jelas untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan
bagaimana proses bimbingannya, untuk memperoleh ilmu bagaimana proses bimbingannya
diperlukan ilmu layanan bimbingan dan konseling bagi seorang pembimbing dengan kata
lain tidak sembarang orang untuk dapat memberikan layanan bimbingan (minimal telah
mengikuti diklat bimbingan dan konseling atau pernah mendapat mata kuliah bimbingan
dan konseling ketika duduk di perguruan tinggi).
Donald G. Mortensen dan Alan M. Schmuller (1976) mengemukakan bahwa:
“Guidance may be defined as that part of the total educational program that helps
provide opportunities and specialized staff service by which each individual can develop to
the fullest of his abilities and capacities in terms of the democratic idea”.
Donal G. Mortensen dan Alan M. Schumuller memberikan pengertian bimbingan
cenderung kepada pelaksanaan di sekolah, dimana dikatakan bahwa bimbingan merupakan
bagian total dari program sekolah yang memberikan kesempatan membantu setiap peserta
didik untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kapasitas yang maksimal secara
demokratis. Dengan demikian sangat jelas bahwa tugas pemberian layanan bimbingan dan
konseling bukan program yang terpisah dari program sekolah melainkan sebagai kesatuan
utuh dari program sekolah.
Shertzer dan Stone (1971:40) mengartikan bimbingan adalah “...process of helping
an individual to understand himself and his world”. Dalam hal ini, Shertzer dan Stone
memberikan kalimat yang sangat sederhana untuk pengertian bimbingan, namun intinya
hampir sama apa yang disampaikan para ahli terdahulu, dia menyampaikan bahwa
bimbingan merupakan suatu proses bantuan kepada individu dalam rangka untuk
memahami dirinya sendiri dan dunianya.
Selanjutnya Sunaryo Kartadinata (1998:3) memberikan pengertian bimbingan adalah
proses membantu individu untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sedangkan
Rochman Natawidjaja (1987:37) mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian
bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu
tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan
bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga,
masyarakat dan kehidupan pada umumnya.
Dari definisi-definisi di atas, dapatlah ditarik kesimpulan tentang apa sebenarnya
bimbingan itu, sebagai berikut.
1) Bimbingan berarti bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain yang memerlukannya. Perkataan “membantu' berarti dalam bimbingan tidak
ada paksaan, tetapi lebih menekankan pada pemberian peranan individu kearah tujuan
yang sesuai dengan potensinya. Jadi dalam hal ini, pembimbing sama sekali tidak ikut
menentukan pilihan atau keputusan dari orang yang dibimbingnya. Artinya yang
menentukan pilihan atau keputusan adalah individu itu sendiri. Bantuan atau
pertolongan merupakan hal yang pokok dalam bimbingan. Namun, perlu diperhatikan
tidak semua pertolongan atau bantuan dapat disebut sebagai bimbingan, seperti
membantu anak yang jatuh agar bangkit kembali. Pertolongan atau bantuan yang
dikatakan sebagai bimbingan adalah mempunyai sifat-sifat lain yang harus dipenuhi.
2) Bantuan (bimbingan) tersebut diberikan kepada setiap orang, namun prioritas diberikan
kepada individu-individu yang membutuhkan atau benar-benar harus dibantu. Pada
Hakikatnya bantuan itu adalah untuk semua orang. Dalam hal ini bimbingan tidak
memandang usia atau tidak hanya terbatas pada anak-anak atau para remaja, tetapi juga
dapt mencakup orang dewasa. Bimbingan dapat dilaksanakan secara individual atau
kelompok.
3) Bimbingan merupakan suatu pertolongan yang menuntun. Bimbingan merupakan suatu
tuntunan. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam memberikan bimbingan bila
keadaan menuntut, kewajiban dari pembimbing untuk memberikan bimbingan secara
aktif, yaitu memberikan arah kepada yang dibimbingnya.
4) Di samping itu juga bimbingan mengandung makna memberikan bantuan atau
pertolongan dengan pengertiannya. Keadaan ini seperti yang dikenal dalam pendidikan
dengan “Tut Wuri Handayani”. Pembimbingan seyogyanya menjadi pendorong untuk
peserta didik menjadi lebih baik dan bermakna dalam hidup dan kehidupannya.
5) Bimbingan merupakan suatu proses kontinu, artinyan bimbingan itu tidak diberikan
hanya sewaktu-waktu saja dan secara kebetulan, namun merupakan kegiatan yang terus
menerus, sistematika, terencana dan terarah pada tujuan. Artinya dalam prosesnya
memiliki program dan terarah dalam mendorong peserta didik yang dibimbingnya.
6) Bimbingan atau bantuan diberikan agar individu dapat mengembangkan dirinya
seamaksimal mungkin. Bimbingan diberikan agar individu dapat lebih mengenal
dirinya sendiri (kekuatan dan kelemahannya), menerima keadaan dirinya dan dapat
mengarahkan dirinya sesuai dengan kemampuannya.
7) Bimbingan diberikan agar individu dapat menyesuaikan diri secara harmonis dengan
lingkungannya, baik lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
8) Bimbingan dapat diberikan, baik untuk menghindari kesulitan-kesulitan maupun untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh individu di dalam kehidupannya. Ini
berarti bahwa bimbingan dapat diberikan bukan hanya untuk mencegah agar kesulitan
itu tidak atau jangan timbul, tetapi juga dapat diberikan untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan yang telah menimpa individu. Bimbingan lebih bersifat pencegahan daripada
penyembuhan. Bimbingan dimaksudkan supaya individu atau sekumpulan individu
dapat mencapai kesejahteraan hidup (life welfare). Disinilah letak tujuan bimbingan
yang sebenarnya.
9) bimbingan merupakan sebuah pertolongan atau bantuan yang diberikan kepada
seseorang, sebuah proses bantuan yang berkelanjutan, sebuah arahan kepada seseorang
untuk mencapai tahap perkembangan yang optimal, sebuah kegiatan yang membantu
dan mengarahkan seseorang agar hidup dan kehidupannya sesuai dengan potensi
dirinya, dan sebuah proses menuntun kepada jalan yang baik sesuai dengan keadaan
dirinya
Dalam penerapannya di jalur persekolahan (formal) maupun di luar sekolah (non
formal), definisi-definisi tersebut di atas menuntut adanya hal-hal sebagai berikut:
1) Adanya organisasi bimbingan di mana terdapat pembagian tugas, peranan dan
tanggungjawab yang tegas diantara para petugasnya;
2) Adanya program yang jelas dan sistematis untuk: (1) melaksanakan penelitian yang
mendalam tentang diri peserta didik, (2) melaksanakan penelitian tentang kesempatan
atau peluang yang ada, misalnya: kesempatan pendidikan, kesempatan pekerjaan,
masalah-masalah yang berhubungan dengan human relations, dan sebagainya, (3)
kesempatan bagi murid untuk mendapatkan bimbingan dan konseling secara teratur.
3) Adanya personil yang terlatih untuk melaksanakan program-program tersebut di atas,
dan dilibatkannya seluruh staf sekolah dalam pelaksanaan bimbingan;
4) Adanya fasilitas yang memadai, baik fisik mupun non fisik (suasana, sikap, dan
sebagainya);
5) Adanya kerjasama yang sebaik-baikya antara sekolah dan keluarga, lembaga-lembaga
di masyarakat, baik pemerintah dan non pemerintah.
Namun dalam hal ini tidak semua pertolongan atau bantuan dapat dikatakan sebagai
bimbingan, karena area yang dapat dikatakan suatu pertolongan dapat dikatakan sebagai
bimbingan mempunyai sifat-sifat lain yang harus dipenuhi.
Untuk mengetahui sifat-sifat tersebut mari kita perhatikan beberapa contoh di bawah
ini:
(1) Memberikan pertolongan kepada seseorang yang akan menyebrang jalan raya yang
ramai dengan kendaraan.
(2) Memberikan pertolongan kepada seseorang yang sedang memikirkan anaknya dalam
melanjutkan pendidikan setelah tamat sekolah lanjutan pertama.
Dari dua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pertolongan yang dikatakan
sebagai bimbingan menurut Bimo Walgito (2010:6) adalah bimbingan merupakan suatu
pertolongan yang menuntun. Bimbingan merupakan suatu tuntunan. Hal ini mengandung
pengertian bahwa dalam memberikan bimbingan bila keadaan menuntut, kewajiban
pembimbing untuk memberikan bimbingan secara aktif, yaitu memberikan arah kepada
yang dibimbingnya.
Selanjutnya Bimo Walgito (2010:6) menegaskan bahwa dalam dunia pendidikan
bantuan yang dikatakan bimbingan adalah seperti yang disampaikan K.H. Dewantara, yaitu
seyogyanya “ Tut Wuri Handayani “ (ketika berada dibelakang kita harus mendorong
anak-anak/mengarahkan anak-anak untuk maju). Dengan demikian dari dua contoh di atas,
manakah yang termasuk ke dalam kegiatan bimbingan?
Bimbingan lebih bersifat pencegahan dari pada penyembuhan (curative). Bimbingan
dimaksudkan supaya individu atau sekumpulan individu dapat mencapai kesejahteraan
hidup, disinilah tujuan bimbingan yang sebenarnya.
Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung
beberapa makna. Sertzer & Stone (1966:3) menemukakan bahwa guidance berasal kata
guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan,
mengatur, atau mengemudikan).
Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah
proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau
beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan
memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan
berdasarkan norma-norma yang berlaku. Sementara, Winkel (2005:27) mendefenisikan
bimbingan: (1) suatu usaha untuk melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman
dan informasi tentang dirinya sendiri, (2) suatu cara untuk memberikan bantuan kepada
individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien dan efektif segala
kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan pribadinya, (3) sejenis pelayanan kepada
individu-individu agar mereka dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat
dan menyusun rencana yang realistis, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan
memuaskan diri dalam lingkungan dimana mereka hidup, (4) suatu proses pemberian
bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahami diri sendiri,
menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,
menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan.
Hal ini telah tersirat dengan jelas dalam ajaran Islam, yaitu “ selamat untuk di dunia dan di
akhirat”
Djumhur dan Moh. Surya, (1975:15) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu
proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami
dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance),
kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk
merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam
mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah
dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik
dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Berdasarkan pengertian bimbingan dari berbagai sudut pandang dan sulitnya untuk
memberikan batasan yang dapat diterima oleh semua orang, maka dapat dikemukan bahwa
pertama bahwa bimbingan merupakan suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan
kepada seseorang/individu dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang sulit untuk
dipecahkan sendiri sehingga dengan proses bantuan yang diberikan dari seseorang tersebut
dapat mencapai kesejahteraan hidupnya setelah pertolongan diberikan, dan yang kedua
bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri
sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,
menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan
berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dengan memperhatikan pengertian-pengertian yang disampaikan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan oleh seseorang
(guru/konselor/tutor) agar yang diberikan bimbingan menjadi lebih terarah dan dapat
mengambil keputusan dengan tepat bagi dirinya dan lingkungannya untuk hari ini, masa
depan yang akan datang.

2. Pengertian Konseling
Makna bimbingan selalu berdampingan dengan makna konseling atau dengan kata
lain bahwa makna dari bimbingan dan konseling tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu
akan diuraikan beberapa pengertian konseling dari pendapat para pakar pendidikan untuk
memperkuat dan mempelajari bimbingan dan konseling yang lebih mendalam.
Jones (dalam Bimo Walgito, 2010:7) menyampaikan pengertian konseling sebagai
berikut:
‘Counseling is talking over a problem with some one. Usually but not always, one of
the two has facts or experience or abilities not possessed to the same degree by the other.
The process of counseling involves a clearing up of the problem by discussion’
Jones mengatakan bahwa konseling itu membicarakan masalah seseorang dengan
berdiskusi dalam prosesnya, hal ini dapat dilakukan secara individual atau kelompok, jika
dilakukan secara individual dimana masalahnya sangat rahasia dan kelompok masalahnya
yang umum (bukan rahasia).
Rochman dan M, Surya (1986:25) menyampaikan bahwa konseling adalah semua
bentuk hubungan antara dua orang, dimana yang seorang, yaitu klien dibantu untuk lebih
mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.
Wrenn (dalam Bimo Walgito, 2010:7) mengemukakan pengertian konseling sebagai
berikut:
‘Counseling is personal and dynamic relationship between two people who
approach a mutually defined problem with matual consideration for each other to the end
that the younger, or less mature, or more troubled of the two is aided to a self determined
resolutionof his problem’
Definsi ini mengatakan bahwa konseling adalah hubungan pribadi dan dinamis
antara dua orang yang bermasalah dengan tujuan agar diketahui permsalahannya sehingga
ditemukan solusinya.
Shertzer dan Stone (dalam Syamsu Yusuf & Juntika 2010:6) menyampaikan
pengertian konseling adalah
“Counseling is an interaction process which facilitates meaningful understanding of
self and environment and result in the establishment and/or clarification of goals and
values of future behavior”.
Pengertian di atas memberikan arti yang sangat sederhana dimana dikatakan bahwa
konseling itu merupakan proses interaksi dalam rangka memberikan pengertian diri dan
lingkungannya dan dampaknya atau akibatnya membentuk tujuan dan prilaku untuk masa
depannya.
Selanjutnya Pietrofesa (dalam Syamsu Yusuf & Juntika 2010:6) menunjukkan ciri-
ciri konseling yang profesional, yaitu: (1) konseling merupakan suatu hubungan
profesional yang diadakan oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya
itu; (2) dalam hubungan yang bersifat profesional itu, klien mempelajari keterampilan
pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta tingkah laku atau sikap-sikap baru dan
(3) hubungan profesional itu dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara klien dan konselor.
Dari beberapa pengertian konseling di atas beragam sesuai dengan sudut
pandangnya masing-masing, namun dalam hal ini terdapat satu kesamaan dalam makna
konseling, yaitu pemecahan masalah (problem solving). Dalam proses konseling ada tujuan
secara langsung yang tertentu, yaitu pemecaham masalah yang dihadapi klien. Proses
konseling pada dasarnya dilakukan secara individu (between two persons), yaitu antara
klien dan konselor, pemecahan masalah dalam proses konseling itu dijalankan dengan
interview atau diskusi antara klien dan konselor yang saling berhadapan tatap muka (face
to face). Dengan perkembangan jaman yang semakin canggih teknologi, maka tidak
menutup kemungkinan dalam proses konseling dapat menggunakan Teknologi Informatika
Komputer melalui jaringan jarak jauh, yaitu Internet. (E_mail, Whasapp (WA), Face Book
(FB)).
Prayitno dan Erman Amti (2004:105) adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada
individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada
teratasinya masalah yang dihadapi klien. Sejalan dengan itu, Winkel (2005:34)
mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan
dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat
mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus.
Berdasarkan pengertian konseling di atas dapat dipahami bahwa konseling adalah
usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat
mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus.
Dengan kata lain, teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli/klien.
Dari uraian di atas juga dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan sebuah
bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah hidup dan
kehidupannya yang dihadapi klien dengan cara wawancara atau dengan cara yang
disesuaikan dengan keberadaan lingkungannya. Perlu diperhatikan oleh semua konselor
bahwa keputusan akhir dari sebuah proses konseling diserahkan kepada klien, bukan
sebaliknya konselor yang mengambil keputusan pemecahan masalahnya. Dengan demikian
konseling lebih bersifat kuratif atau korektif, artinya sebagai proses
penyembuhan/perbaikan klien dengan masalah yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian pengertian bimbingan dan pengertian konseling, marilah kita
renungkan pertanyaan di bawah ini, kemudian simpulkan manakah pernyataan yang benar
menurut anda?
(1) Apakah bimbingan merupakan bagian dari konseling? atau
(2) Apakah konseling merupakan bagian dari bimbingan?

3. Korelasi antara Bimbingan dan Konseling


Korelasi atau hubungan antara bimbingan dan konseling para ahli sampai saat ini
belum ada kesepakatan, namun saya akan sampaikan beberapa pernyataan tentang
hubungan antara bimbingan dan konseling dari para pakar pendidikan. Jones (1963)
menyatakan bahwa konseling sebagai salah satu teknik dari bimbingan. Dengan demikian,
bimbingan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian konseling
sehingga Jones menyatakan bahwa konseling merupakan bagian dari bimbingan.
Blum dan Balinsky (1973:3) menyampaikan bahwa:
“The word guidance has historical significance but is somewhat outmoded. Possibly
the reason for this that formerly guidance practices were and advisory, whereas at the
present time the pratices and techniques a less active role and the word guidance. To
conform with the trend, we have accepted the word counseling and in fact, included it in
the title. However for purpose of writing style we shall use the terms counseling and
guidance as synonymous”.
Ternyata antara Jones dan Blum memiliki pandangan yang berberda tentang antara
hubungan bimbingan dan konseling, Blum cenderung untuk menyamakan kedua
pengertian tersebut, sedangkan Jones mengartikan sangat berbeda kedua pengertian
tersebut.
Bimo Walgito (2010:9) menyampaikan bahwa jika diteliti, ternyata ada kesamaan
antara pengertian bimbingan dan konseling, selain ada sifat-sifat yang khas pada konseling.
Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Konseling merupakan salah satu metode dari bimbingan sehingga pengertian bimbingan
lebih luas dari pengertian konseling. Oleh karena itu, konseling merupakan bimbingan,
tetapi tidak semua bentuk bimbingan merupakan konseling.
2. Pada konseling sudah ada masalah tertentu, yaitu masalah yang dihadapi klien
(konseli), sedangkan pada bimbingan tidak demikian. Bimbingan lebih bersifat
preventif atau pencegahan, sedangkan konseling lebih bersifat kuratif atau korektif
(penyembuhan). Bimbingan dapat diberikan sekalipun tidak ada masalah, sedangkan
konseling harus ada permasalahannya terlebih dahulu.
3. Konseling pada dasarnya dilakukan secara individual, yaitu antara konselor dengan
klien secara face to face. Pada bimbingan tidak demikian halnya, bimbingan pada
umumnya dijalankan secara kelompok. Misalnya, bimbingan bagaimana cara belajar
yang efisien dapat diberikan kepada seluruh kelas pada suatu waktu tertentu secara
bersama-sama.
Penjelasan di atas ternyata memberikan gambaran bahwa hubungan antara
bimbingan dan konseling ada kesamaannya juga ada perbedaannya, sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam pelaksanaannya bimbingan dan konseling tidak dapat
dipisahkan, artinya dalam satu kesatuan yang utuh. Namun, perlu diingat bahwa setiap
bimbingan belum dapat dikatakan sebagai konseling, tetapi jika konseling dapat dipastikan
bimbingan, karena setiap pelaksanaan konseling intinya harus ada masalah yang akan
didiskusikan.

B. Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling


Tujuan pelayanan bimbingan dan konseling ialah agar konseli (peserta didik) dapat
(1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, (2) perkembangan karir serta kehidupannya
di masa yang akan datang, (3) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang
dimilikinya seoptimal mungkin, (4) menyusuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya, (5) mengatasi hambatan dan kesulitan
yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat.
maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka harus mendapatkan kesempatan untuk:
(1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangan, (2)
mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal
dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4)
memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri, (5) menggunakan kemampuannya
untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6)
menyesuaian diri dengan keadaan dan tuntutan darilingkungannya, dan (7)
mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar
dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar
(akademik), dan karir.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli
adalah sebagai berikut:
1. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan
dengan teman sebaya, di sekolah/luar sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada
umumnya.
2. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati, dan
memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
3. Memahami pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang
menyenangan (anugerah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta mampu
meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
4. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang
terkait dengan keunggulan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis.
5. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
6. Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat.
7. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak
melecehkan martabat atau harga dirinya.
8. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap
tugas dan kewajibannya.
9. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahmi dengan sesame manusia.
10.Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal
(dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
11.Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar)
adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kesadaran akan potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai
hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
2. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku,
disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif
mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
3. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
4. Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca
buku, menggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi
ujian.
5. Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti
membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam
memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai
hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
6. Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah sebagai
berikut:
1. Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan
pekerjaan.
2. Memiliki pengetahuan mengetahui dunia kerja dan informasi karir yang menunjang
kematangan kompetensi karir.
3. Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang
pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai
dengan norma agama.
4. Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan
persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita
karirnya masa depan.
5. Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali cirri-
ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis
pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
6. Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara
rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai minat, kemampuan, dan kondisi
kehidupan sosial ekonomi.
7. Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang
konseli bercita-cita menjadi guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya
kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
8. Mengenal keterampilan, kemampuan, dan minat. Keberhasilan dan kenyamanan dalam
suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena
itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang
pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut
9. Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.

C. Fungsi Layanan Bimbingan dan Konseling


Fungsi bimbingan dan konseling di jalur persekolahan, luar sekolah dan lingkungan
masyarakat (keluarga) secara umum sama, artinya tidak ada perbedaan. Oleh karena itu,
untuk fungsi diambil dari Buku Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (ABKIN, 2008: 200). Fungsi
bimbingan adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar
memiliki pemahaman terhadap dirinya (konseli) dan lingkungan (pendidikan,
pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu
mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang seluruh
aspek dalam diri konseli.
3. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli
agar dapat menyesuaikan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
4. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli
memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan, atau program studi, dan memantapkan
penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan cirri-ciri
kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama
dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
5. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala
sekolah/kepala penyelenggara Paket B dan staf, konselor, dan tutor untuk
menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat,
kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai
mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para tutor dalam
memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi,
memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai
dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
6. Fungsi Pencegahan (Preventif), yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor
untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya
untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor
memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan
atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan
adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah
yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya
tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya: bahayanya minuman keras, merokok,
penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex) bahkan dijaman
millennium sekarang ini penyalahgunaan internet.
7. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli
sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak
(berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap
konseli supaya memiliki pola berpikir yang sehat, rasional, dan memiliki perasaan yang
tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang
produktif dan normative.
8. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif.
Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah
mengalami masalah, baik menyangkut aspek sosial-pribadi, belajar, dan karir. Teknik
yang dapat digunakan adalah konseling dan remedial teaching.
9. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli
supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercapai
dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang
akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan
melalui program-program yang menarik, rekreatif, dan fakultatif (pilihan) sesuai
dengan minat konseli.
10.Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih
proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor
dan personil lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaburasi atau bekerjasama
merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas
perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan di sini adalah pelayanan
informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room,
dan karya wisata.

D. Prinsip-Prinsip Layanan Bimbingan dan Konseling


Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan
bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang
kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik
di sekolah/madrasah maupun di luar sekolah. Prinsip-prinsip itu sebagai berikut:
Tabel 1.1
Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling

Menurut Buku Bimbingan dan


No Menurut ABKIN (2008: 202-204) Konseling (Bimo Walgito, 2010: 12-
14)
1 Bimbingan dan Konseling Bimbingan dan konseling
diperuntukan bagi semua konseli. dimaksudkan untuk anak-anak, orang
Prinsip ini berarti bahwa dewasa, dan orang-orang yang sudah
bimbingan diberikan kepada semua tua.
konseli, baik yang tidak
bermasalah maupun yang
bermasalah; baik pria maupun
wanita; baik anak-anak, remaja,
maupun dewasa. Dalam hal ini
pendekatan yang digunakan lebih
bersifat preventif dan
pengembangan dari pada
penyembuhan (kuratif); dan lebih
diutamakan teknik kelompok dari
pada perseorangan (individual)
2 Bimbingan dan konseling sebagai Bertujuan untuk memajukan
proses individuasi. Setiap konseli penyesuaian individu.
bersifat unik (berbeda satu sama
lainnya) dan melalui bimbingan
konseli dibantu untuk
memaksimalkan perkembangan
keunikannya tersebut. Prinsip ini
juga berarti bahwa yang menjadi
fokus sasaran bantuan adalah
konseli, meskipun pelayanan
bimbingannya menggunakan
teknik kelompok.
3 Bimbingan menekankan hal yang Harus menyeluruh kesemua orang
positif. Dalam kenyataannya masih
ada konseli yang memiliki persepsi
yang negatif terhadap bimbingan,
karena bimbingan dipandang
sebagai satu cara yang menekan
aspirasi. Sangat berbeda dengan
pandangan tersebut, bimbingan
sebenarnya merupakan proses
bantuan yang menekankan
kekuatan dan kesuksesan, karena
bimbingan merupakan cara untuk
membangun pandangan yang
positif terhadap diri sendiri,
memberikan dorongan, dan
peluang untuk berkembang.
4 Bimbingan dan konseling Semua guru (tutor) di sekolah
merupakan usaha bersama. seharusnya menjadi pembimbing
bimbingan bukan hanya tugas atau
tanggungjawab konselor, tetapi
juga tugas guru-guru (tutor) dan
kepala sekolah/madrasah sesuai
dengan tugas dan peran masing-
masing. Mereka bekerja sebagai
team work.
5 Pengambilan keputusan Sebaiknya semua usaha pendidikan
merupakan hal yang esensial dalam adalah bimbingan sehingga alat dan
bimbingan dan konseling. teknik mengajar juga sebaiknya
Bimbingan diarahkan membantu mengandung suatu dasar pandangan
konseli agar dapat melakukan bimbingan.
pilihan dan mengambil keputusan.
Bimbingan mempunyai peranan
untuk memberikan informasi dan
nasihat kepada konseli, yang itu
semua sangat penting baginya
dalam mengambil keputusan.
Kehidupan konseli diarahkan oleh
tujuannya, dan bimbingan
memfasilitasi konseli untuk
mempertimbangkan, menyesuaikan
diri, dan menyempurnakan tujuan
melalui pengambilan keputusan
yang tepat. Kemampuan untuk
mengambil keputusan yang tepat
bukan kemampuan bawaan, tetapi
kemampuan yang harus
dikembangkan. Tujuan utama
bimbingan mengembangkan
kemampuan konseli untuk
memecahkan masalahnya dan
mengambil keputusan.
6 Bimbingan dan konseling Perbedaan setiap orang harus
berlangsung dalam berbagai setting diperhatikan
(adegan) kehidupan. Pemberian
pelayanan bimbingan tidak hanya
berlangsung di sekolah/madrasah
saja, tetapi juga di lingkungan
keluarga, perusahaan/industri,
lembaga-lembaga
pemerintah/swasta, dan masyarakat
pada umumnya. Bidang pelayanan
bimbingan pun bersufat multi
aspek, yaitu meliputi aspek
pribadi, sosial, pendidikan, dan
pekerjaan.
7 Diperlukan pengertian yang mendalam
mengenai orang yang dibimbingnya.
8 Memerlukan sekumpulan catatan
(cumulative record) mengenai
kemajuan dan keadaan anak.
9 Perlu adanya kerjasama yang baik
antara instansi terkait
10 Kerjasama dan pengertian orang tua
sangat diperlukan
11 Supaya berani bertanggungjawab
sendiri dalam mengatasi
permasalahannya
12 Bersifat flexible

E. Asas Layanan Bimbingan dan Konseling


Di dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling diperlukan adanya asas-
asas sebagai dasar layanan. Ada 12 (dua belas) asas yang harus diperhatikan dan
pemakaiannya disesuaikan dengan kegiatan layanan.
1. Asas Kerahasiaan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut kerahasiaan
data dan keterangan tentang peserta didik yang menjadi sasaran layanan, yaitu data
atau keterangan yang tidak boleh diketahui orang lain.
2. Asas Kesukarelaan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya
kesukaan dan kerelaan pesera didik mengikuti/menjalani layanan/kegiatan yang
diperuntukan baginya.
3. Asas Keterbukaan yaitu asas bimbingan dan konseling menghendaki agar peserta
didik dan atau orang tua/wali yang menjadi sasaran terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan yaitu asas bimbingan dan konseling menghendaki agar peserta didik
atau orang tua/wali sasaran layanan berpartisifatif secara aktif dalam kegiatan
bimbingan dan konseling.
5. Asas kemandirian yaitu asas bimbingan dan konseling yang merujuk pada tujuan
umum bimbingan dan konseling, yaitu peserta didik diharapkan menjadi individu
yang mandiri.
6. Asas kekinian yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki objek sasaran
layanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan kondisi sekarang.
7. Asas kedinamisan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi
layanan bergerak maju, tidak monoton dan terus berkembang.
8. Asas keterpaduan yaitu asas bimbingan dan konseling menghendaki agar adanya
layanan yang dilakukan guru atau pihak lain saling menunjang, harmonis, dan
terpadukan.
9. Asas kenormatifan yaitu asas bimbingan dan konseling menghendaki agar layanan
diselenggarakan berdasarkan norma-norma yang ada, yaitu norma agama, hukum dan
peraturan
10. Asas keahlian yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
diselenggarakan atas dasar-dasar profesional.
11. Asas alih tangan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-
pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan secara tuntas mengalihtangankan
ke pihak yang lebih ahli.
12. Asas Tut Wuri Handayani yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar layanan secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi
(memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, memberikan rangsangan dan
dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk maju.

F. Sejarah Perkembangan Bimbingan dan Konseling (Amerika Serikat dan


Indonesia)
Melihat sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal dari Amerika
Serikat yang dipelopori oleh seorang tokoh besar, yaitu Frank Parson melalui gerakan yang
terkenal yaitu Guidance Movement (Gerakan Bimbingan). Awal dari gerakan ini
dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran perang USA yang tidak
memiliki peran. Oleh karena itu, Parson berupaya memberi bimbingan vocational sehingga
vetaran-veteran tersebut tetap dapat berkarya sesuai dengan kondisi mereka.
Untuk menambah wawasan tentang sejarah perkembangan bimbingan dan konseling
di Amerika Serikat, di bawah ini disampaikan secara matriks, agar kita mengetahui dan
membandingkan dengan keadaan di Indonesia, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
layanan bimbingan dan konseling sangat mempengaruhi terhadap peningkatan mutu
pendidikan suatu bangsa. Agar lebih jelasnya dapat diperhatikan tabel 1 berikut ini:
Tabel 1.2
Perkembangan Bimbingan dan Konseling
di Amerika Serikat

No Tahun Uraian Perkembangan


1 1898-1907 Jesse B. Davis memulai dengan pekerjaannya sebagai
konselor di sekolah menengah di Detroit. Davis ini
dalam waktu sepuluh tahun membantu mengatasi
masalah-masalah pendidikan, moral, dan jabatan siswa.
2 1908 Frank Parsons sebagai pelopor vocational guidance.
Parsons sangat fokus memberikan bantuan terhadap
masyarakat yang berkaitan dengan pemilihan pekerjaan
(occupational choice), sehingga beliau dijuluki sebagai
“the father of guidance”. Tepatnya bulan Januari 1908,
Parsons mengembangkan konseling individual dan
membuka Vocational Bureau di Boston, tujuan dari
pendirian ini untuk memberikan dan mengembangkan
potensi dari populasi imigran Boston.
Namun, sebelumnya Meyer Bloomfield, Direktur dari
Civic Service House di Boston meminta Parsons untuk
menerapkan layanan bimbingan dan konseling di Civic
Service House. Selanjutnya pada tahun 1905-1907
menjadi Direktur yang disebut sebagai “The
Breadwinners Institute” (Brewer dalam Capuzzi &
Gross, 1997).
3 1908 William Heyle mendirikan Community Psychiatric
Clinic.
4 1910 William Heyly mendirikan Juvenile Psychopathic
Institut di Chicago, Institut ini cenderung memberikan
bantuan kepada orang-orang yang mengalami psikopat,
yaitu perilaku yang anti sosial dan merugikan orang-
orang terdekat.
5 1911 Universitas Harvard memberlakukan mata kuliah
bimbingan jabatan dengan Dosennya Meyer Bloomfield.
6 1912 The Grand Rapids Michigan Central School mendirikan
departemen guidance pada sistem sekolahnya.
Anna Y, Reed di Saetle dan Eli Waever di New York
mendirikan Counseling Service. Reed berpendapat
bahwa couseling service dibutuhkan oleh pemuda
Amerika melalui studinya tentang newsboys, penal
institutions, dan charity schools. Sedangkan Eli Weaver
berpendapat bahwa siswa butuh saran dan konsultasi
sebelum mereka masuk dalam dunia kerja.
7 1913 Berdirinya National Vocational Guidance Association di
Grand Rapids (Perkumpulan Bimbingan Pekerjaan)
8 1920 Sertifikasi dari konselor sekolah mulai diterapkan pada
kedua kota tersebut (Seatlle dan New York)
9 1952 Berdirinya APGA (American Personnel and Guidance
Association)
10 1983 Pergantian nama APGA menjadi AACD (American
Association for Counseling and Development) dan yang
bergabung dengan AACD adalah Militory Education
(MECA)

Kemudian mari kita perhatikan dunia perkembangan bimbingan konseling di negara


kita (Indonesia) yang diunduh penulis dari http://belajarpsikologi.com untuk selanjutnya
kita akan jadikan sebagai pembanding atau sebagai baromater untuk lebih
mengembangkan bimbingan dan konseling di Indonesia. Sejarah lahirnya Bimbingan
dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling
(dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak
tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24
Agustus 1960.
Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang
mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP
Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP
Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil
disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP.
Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman
Bimbingan dan Penyuluhan, selanjutnya pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang, IPBI inilah yang memberikan pengaruh besar
terhadap perluasan program bimbingan di sekolah. Tahun 1978 diselenggarakan program
PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk
mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum
ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya
PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan
secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989
tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan
pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah
masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu
peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.
Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak
jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat
dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang
bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua
terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK
Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di
dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok
dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai
petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK
Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan
Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola
pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
Selanjutnya pada tahun 2001 terjadilah perubahan nama dari IPBI menjadi Assosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Penggantian dan pemunculan nama
ABKIN ini dilandasi oleh pemikiran bahwa bimbingan dan konseling harus tampil sebagai
profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan publik. ABKIN inilah sekaligus
sekaligus sebagai organisasi profesional bagi seluruh insan bimbingan dan konseling serta
wadah pengembangan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia.
BAB II
LANDASAN PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
BAGI GURU MATA PELAJARAN
Sebelum dilanjutkan kepada materi tentang landasan pelaksanaan bimbingan dan
konseling bagi guru mata pelajaran/bidang studi, namun perlu adanya penjelasan yang
jelas tentang bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, karena dikhawatirkan
salah persepsi dalam mengartikan tentang materi bab ini sehingga menimbulkan
permasalahan dengan guru bimbingan dan koseling di sekolah.
Di Perguruan Tinggi (PT) yang menyelenggarakan Program Studi kependidikan,
baik itu PT status negeri atau swasta, seluruh mahasiswa wajib menerima mata kuliah
Bimbingan dan Konseling dengan bobot 2 (dua) SKS, perlu digaris bawahi yang artinya
bukan untuk diciptakan menjadi guru Bimbingan dan Konseling, karena PT yang
menghasilkan guru BK telah ada program studinya, tetapi dalam hal ini adalah
memberikan penjelasan bahwa guru mata pelajaran pun harus memahami dan
melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan tugas dan fungsinya
sebagai guru mata pelajaran sehingga tidak terjadi seperti guru Bimbingan dan Konseling.
Untuk lebih jelasnya, diuraikan di bawah ini tentang tujuan pelaksanaan layanan
bimbingan dan konseling sebagai berikut:
a. Merencanakan kegiatan penyelesaian belajar/studi, perkembangan karir serta kehidupan
masa yang akan datang, artinya masa depan bagi peserta didik perlu dibimbing sejak
dini dengan sebuah perencanaan yang matang guna mempersiapkan segala sesuatu yang
dikembangkan atas dasar potensi dirinya masing-masing.
b. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin.
Disini guru sebagai pembimbing harus mampu mengembangkan potensi-potensi yang
ada pada perserta didik tanpa pilih kasih.
c. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, masyarakat serta lingkungan
bekerja. Dalam hal ini guru sebagai pembimbing harus dapat memberikan pengertian
tentang penyesuaian diri kepada peserta didik, baik ketika berada dilingkungan sekolah,
keluarga dan masyarakat.
d. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi individu. Hambatan dan kesulitan
dapat dipastikan akan terjadi kepada setiap manusia/seseorang, oleh karena itu
memberikan bantuan untuk mengatasi masalah peserta didik.
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan layanan bimbingan dan konseling diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas perkembangan.
b. Mengenal dan memahami peluang yang ada
c. Mengenal dan menentukan tujuan
d. Memahami dan mengatasi kesulitan
e. Menggunakan kemampuan untuk kepentingan dirinya, msyarakat, dan negara
f. Menyesuaikan diri
g. Mengembangkan segala potensi
Berdasarkan tujuan layanan bimbingan dan konseling tersebut di atas, maka selaras
dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang sistem
pendidikan nasional nomor 2f0/2003, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.(UU Sisdiknas No. 20/2003, Pasal 3).
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan nasional, oleh
karena itu dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling harus searah dengan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor 20/2003. Untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling yang profesional perlu memahami landasan-landasan yang kuat dalam
pelaksanaannya sehingga tidak terjadi mal praktek atau kesalahan dalam membantu peserta
didik untuk mencapai perkembangan yang optimal.
Guru mata pelajaran memiliki tiga peran yang harus dijalankan ketika melaksanakan
tugasnya, yaitu sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing. Sebagai pendidik
tugasnya adalah memberikan lebih dari sebagai tenaga pengajar, artinya tidak hanya
memberikan materi pelajaran yang selalu disampaikan kepada peserta didik tetapi lebih
dari itu (tentang sikap, nilai-nilai kehidupan, kepribadian dsb). Guru mata pelajaran
sebagai pengajar mempunyai tugas sebagai pentransfer ilmu pengetahuan yang
diampunya atau sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki dan guru mata
pelajaran sebagai pembimbing mempunyai tugas sebagai fasilitator bagi siswa untuk
memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan secara individual maupun kelompok. Hal
inilah yang belum dilaksanakan oleh sebagian guru mata pelajaran yang disebabkan oleh
persepsi negatif tentang bimbingan dan konseling. Misal persepsi negatifnya “bimbingan
merupakan pekerjaan guru bimbingan dan konseling, bukan pekerjaan guru mata
pelajaran”.
Landasan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran
merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan ketika guru mata
pelajaran akan memberikan layanan bimbingan dan konseling pada saat berlangsungnya
proses pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian bahwa
yang menjadi perbedaan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan
antara guru BK dan guru mata pelajaran adalah tempat berlangsungnya layanannya. Guru
BK memiliki tempat secara khusus untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling,
sedangkan untuk guru mata pelajaran disaat berlangsungnya proses pembelajaran sebagai
bukti perannya sebagai pembimbing.
Landasan-landasan tersebut sebagai berikut:
A. Landasan Filosofi
Landasan Filosofi merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan
pemahaman secara khusus dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling.
Landasan filosofi dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling cenderung berkenaan
tentang pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang hakikat manusia, karena tanpa memahami
filsafat tentang manusia, pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling akan menjadi tidak
optimal hasilnya, oleh karena itu landasan filosofis harus diperhatikan secara sungguh-
sunggug oleh setiap pelaksana layanan bimbingan dan konseling, baik guru BK maupun
Guru Mata Pelajaran.
Prayitno (2003) memberikan gambaran tentang hakikat manusia yang harus
diketahui oleh setiap pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling (baik untuk guru BK
maupun guru mata pelajaran), yaitu:
1. Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu
untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
2. Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia
berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
3. Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri
khususnya melalui pendidikan.
4. Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti
upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya
mengontrol keburukan.
5. Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
6. Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud
melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
7. Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
8. Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini
memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu
adan akan menjadi apa manusia itu.
9. Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun,
manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk
melakukan sesuatu.
Dengan memahami tentang hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan
dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri.
Seorang konselor (guru, dosen, tutor) dalam berinteraksi dengan kliennya (peserta
didik/mahasiswa) harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh
manusia dengan berbagai dimensi dan keunikannya.

B. Landasan Psikologis
Karena perkembangan manusia terus mengalami perubahan dari tahap ke tahap atau
dari fase ke fase, maka perilaku manusia dan tahap perkembangan akan sangat
berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling di berbagai
setting. Oleh karena itu, landasan yang kedua untuk memperkuat layanan bimbingan dan
konseling, yaitu Landasan Psikologis. Landasan psikologis merupakan landasan yang
dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi
sasaran layanan (klien). (Sudrajat, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25)
Juntika (2000:1) menyampaikan bahwa landasan psikologis berkaitan erat dengan
proses perkembangan manusia yang sifatnya unik, berbeda dari individu lain dalam
perkembangannya. Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian
psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b)
pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.

a. Motif dan Motivasi


Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang
berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki
oleh individu semenjak dia lahir, seperti: rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif
sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau
keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan
dan digerakkan, baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar
individu (motivasi ekstrinsik), menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu
yang mengarah pada suatu tujuan. Oleh karena itu pelaksana layanan bimbingan dan
konseling diwajibkan untuk dapat memahami tentang motif dan motivasi seseorang.

b. Pembawaan dan Lingkungan


Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan
mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir
dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur
otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri kepribadian tertentu.
Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk
mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan di mana individu itu
berada. Schopenhauer dengan aliran Nativismenya mengatakan bahwa bahwa manusia
sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan atau heriditas. Kemudian John Lock dengan aliran
Empirismenya mengatakan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (dalam hal ini diperlukan pendidikan), akhirnya timbulah Aliran Konvergensi
yang dipelopori oleh William Stern bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor
bawaan dan lingkungan. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda.
Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau
bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau
bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada
individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana
yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang
secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang
kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi
bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik dan menjadi tersia-siakan.
Dengan demikian pembawaan dan lingkungan akan sangat mempengaruhi dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling, baik itu yang dilaksanakan oleh guru BK
dan guru Mata Pelajaran disaat pelaksanaan proses belajar mengajar.

c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya
individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya tidak ada
yang sama satu dengan lainnya. Diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa
dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek
perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan
individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan
atau dengan kata lain layanan pemberian bimbingan dan konseling setiap peserta didik
berbeda-beda.

d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia
belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu.
Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-
tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan.
Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-
fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.

e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang
kepribadian secara bulat dan komprehensif. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir lima puluh definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat
dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian
yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian
adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian
diri sebagai
“Suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental
dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional,
frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.”
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga
dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung
oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang,
hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi
dengan lingkungannya.
Abin Syamsuddin (2003, 2009) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian,
yang mencakup:
2) Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya
dalam memegang pendirian atau pendapat.
3) Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
4) Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
5) Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
6) Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau
perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
7) Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami
dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat
memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku
individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat
mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk
memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat
mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap
potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor
dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar
yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor
kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh
karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya
terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi
umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi
kepribadian.

C. Landasan Sosial Kultural (Budaya)


Kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling timbul karena adanya masalah-
masalah yang dihadapi individu yang tidak terlepas dari aspek sosio kultural atau
kebudayaan. Dalam layanan bimbingan hal-hal yang berhubungan dengan faktor-faktor
sosiologis sangat perlu diperhatikan, seperti yang ungkapkan Rochman Natawidjaja (1987)
yaitu perubahan konstelasi keluarga, perkembangan pendidikan, dunia kerja,
perkembangan komunikasi, sekisme dan rasisme, kesehatan mental, perkembangan
teknologi, kondisi moral dan keagamaan dan kondisi sosial ekonomi.
Landasan sosial-budaya/kultural merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai
faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya
merupakan produk lingkungan sosial-budaya di mana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah
dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan
sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya
dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang
melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan
pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan.
Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan
timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap
proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan
pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor
dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya
yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber
hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar
budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d)
kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang
digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan
mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau
golongan tertentu berdasarkan prasangka subjektif (social prejudice) yang biasanya tidak
tepat. Penilaian terhadap orang lain di samping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi
tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang
individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing.
Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju
ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan
harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin
harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Surya (2006)
mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan
dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya
plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan
semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan
dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara
nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

D. Landasan Ilmu Pengetahuan & Teknologi


Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki
dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun praktiknya. Pengetahuan
tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan
berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes,
inventori atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku
teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling
telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan
secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003). Bimbingan dan konseling merupakan
ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti:
psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu
ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut
telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam
pengembangan teori maupun praktiknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan
dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui
berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi informasi
berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan
dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah
banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karir dan bimbingan dan konseling
pendidikan. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi
komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya
dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan
secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan
pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan
adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan
konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya
mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (dalam
Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus
mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik
berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Dalam hal ini jelas keterampilan penggunaan teknologi modern bagi para guru BK
maupun Guru Mata Pelajaran sangat disarankan untuk dapat menguasai, karena dunia
maya sekarang ini akan menjadi peluang untuk dapat digunakan sebagai media dalam
layanan bimbingan dan konseling. Hal ini selaras dengan pendapat Barly Barnnet dalam
buku Teaching 2030 disampaikan, bagaimana Tip menghadapi pengajaran tahun 2030 atau
abad ke 21 yang menuju ke profesionalismeannya, diantaranya sebagai berikut:
1. Mengajar harus dijadikan sebagai profesi.
2. Harus ada perubahan/inovasi dalam mengajar
3. Harus terus meningkatkan keahlian teknologi informatika (web dan wireless
technologies)

E. Landasan Pedagogis
Berkenaan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, ditambahkan
oleh Prayitno (2003) bahwa dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling dalam
segala setting diperlukan pula landasan pedagogis yang ditinjau dari tiga segi, yaitu:
1. pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan salah satu bentuk
kegiatan pendidikan;
2. Pendidikan sebagai ini proses bimbingan dan konseling; dan
3. Pendidikan lebih lanjut sebagai ini tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Artinya bahwa pengembangan individu (peserta didik/mahasiswa) di jalur
pendidikan formal, non formal dan informal hanya akan berkembang optimal jika hanya
jika seluruh rangkaian kegiatan pendidikan berjalan dengan optimal, yaitu
penyelenggaraan pendidikan, pengajaran dan bimbingan.

F. Landasan Religius
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga
hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong
perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-
kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya
secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan
beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula
oleh Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah
bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa
barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak
memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini
sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-
nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan
dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

G. Landasan Yuridis Formal


Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan
yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang
bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan landasan-landasan di atas, maka pentingnya
pelaksanaan bimbingan dan konseling di dunia pendidikan baik itu di pendidikan formal,
nonformal dan informal telah sesuai dengan berbagai landasan sebagai dasar hukum
tertulis pelaksanaan bimbingan dan konseling.
BAB III
PENDIDIK SEBAGAI SEORANG PEMBIMBING
Mendidik bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan belaka kepada peserta
didik, namun lebih dari itu. Pada dasarnya mendidik adalah proses membantu
menumbuhkembangkan kepribadian peserta didik. Permasalahan, apa saja yang diperlukan
atau yang dibutuhkan oleh seorang pendidik dalam proses pembimbingan (bimbingan dan
konseling)?
Thio Riyanto (2002:22) menyampaikan bahwa untuk memahami proses
pembimbingan diperlukan mengadakan refleksi pribadi yang menyangkut pengalaman
bimbingan yang pernah dialami pendidik. Selanjutnya Thio Riyanto menyampaikan
langkah-langkah latihan untuk membantu para pendidikan memahami apa itu bimbingan,
khususnya bagi guru mata pelajaran.
Latihan I:
Isilah tabel kuisioner di bawah ini dengan merefleksi pengalaman anda sendiri.
No Pertanyaan Jawaban anda
1 Apa artinya menjadi seorang
pembimbing?
2 Bagaimana gambaran anda sendiri
sebagai seorang pembimbing?
3 Pada peristiwa apa anda menjadi
seorang pembimbing bagi orang
lain?
4 Apa yang anda katakan?
5 Apa yang anda lakukan?
6 Bagaimana perasaan anda
melakukan bimbingan?
7 Bagaimana tanggapan dari orang
yang sedang anda bimbing?
8 Apa saja yang sangat membantu
proses bimbingan itu?
9 Menurut anda seorang pembimbing
yang baik itu bagaimana?
10 Sikap dan tindakan apa yang sangat
membantu proses bimbingan?
Dari jawaban yang ditulis melalui pengalaman Anda tentu akan sangat berpengaruh
terhadap diri Anda dan orang yang telah diberikan bimbingan oleh Anda. Latihan
selanjutnya mohon di bawah ini dilaksanakan seperti pada latihan yang pertama.
Latihan 2:
Isi kembali setiap pertanyaan yang disajikan di bawah ini
No Pertanyaan Jawaban anda
1 Bagaimana kualitas pribadi yang
telah dibimbing oleh Anda?
2 Tindakan apa saja yang dilakukan
setelah memperoleh bimbingan
dari Anda?
3 Menurut Anda sikap dan tindakan
apa yang dapat dilakukan untuk
membimbing peserta
didik/seseorang yang dapat
membantu proses bimbingan?

Dari latihan jawaban yang kedua ini, maka terlihat dan terdeteksi tindakan apa yang
harus dilakukan oleh seorang pembimbing dalam memberikan layanan bimbingan kepada
peserta didik sehingga menghasilkan peserta didik yang diharapkan.
Dari uraian di atas, maka yang perlu diperhatikan bagi seorang pendidik sebelum
melakukan perannya sebagai pembimbing, Thio Riyanto menyampaikan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa saya ingin menjadi seorang pendidik yang sekaligus seorang pembimbing?
2. Siapa saja yang ingin saya bimbing?
3. Apa faedahnya kalau saya membimbing orang lain?
4. Bagaimana saya mengusahakan agar saya dapat diterima oleh orang lain yang sedang
saya bimbing?
5. Perasaan apa yang muncul ketika saya membimbing seseorang?

A. Pemikiran Perlunya Bimbingan


Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di pendidikan formal
(persekolahan) khususnya bagi guru mata pelajaran, bukan semata-mata terletak pada ada
atau tidaknya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang
lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya
disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas
perkembangan (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual),
karena selama ini guru BK secara umum masih kurang mencukupi dibandingkan dengan
jumlah peserta didik dalam satu sekolah.
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang
atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka
masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga
pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu
keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus,
atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu selalu berjalan dalam
alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis
maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang
terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life skill) warga masyarakat.
Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,
maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya
stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan
perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan
perkembangan tersebut, diantaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat,
pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi
teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur
masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan yang kurang sehat, seperti: maraknya tayangan pornografi di
televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat
terlarang/narkoba yang tak terkontrol, ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan
dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli
(terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral
(akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib, tawuran, meminum-minuman keras,
menjadi pencandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikoterapika, dan Zat Adiktif
lainnya, seperti: ganja, narkotika, extasi, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan
bebas (free sex). Mari kita perhatikan gambar karikatur berikut yang harus kita benahi
sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dimana suasana emosi dan harga diri
yang tidak terbimbing oleh para pendidik selama ini. Apalgai September 2012, dikatakan
sebagai bulan tawuran antar pelajar yang mengakibatkan sampai kematian bahkan
ditambah tawuran antar warga masyarakat yang mengerikan.

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak
sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum
dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu (1) beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan
dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian
yang mantap dan mandiri, (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Tujuan-tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan)
bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses
pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti
disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara
sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini
merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara
proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli berserta berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang
mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif
dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan
konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional
dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, maka hanya akan menghasilkan
konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki
kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian. (Sunaryo, 2008)
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan
konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remidial, klinis, dan terpusat
pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif.
Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Development Guidance and
Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and
Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya
pencapaian tugas-tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-
masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang
harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling
berbasis standar (Standard Based Guidance and Counseling).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dan
para personal penyelenggara pendidikan lainnya (Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru
dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak terkait lainnya (seperti instansi
pemerintah/swasta dan para ahli: psikologi dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan
proses pendidikan dipendidikan kesetaraan secara keseluruhan dalam upaya membantu
para konseli agar dapat mengembangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh,
baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di pendidikan formal
diorientasikan upaya memfasilitasi perkembangan konseli, yang meliputi aspek pribadi,
sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai
makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual)
Dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling untuk guru mata pelajaran
dilakukan pada waktu proses belajar mengajar berlangsung atau dengan kata lain
pembelajaran berbasis bimbingan dan konseling.

B. Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan Konseling


Bimbingan dan Konseling merupakan salah satu unsur terpadu dalam keseluruhan
program pendidikan di lingkungan sekolah. Dengan demikian bimbingan dan konseling itu
merupakan salah satu tugas yang seyogyanya dilakukan oleh setiap tenaga pendidikan
yang bertugas di sekolah tersebut. Walaupun sudah jelas perannya, ada sebagian tenaga
kependidikan (guru mata pelajaran) yang belum menyadari bahwa bimbingan dan
konseling itu adalah bagian dari tugasnya.
Peran bimbingan yang dilakukan guru mata pelajaran dalam proses belajar mengajar
merupakan satu kompetensi guru yang terpadu dalam keseluruhan kompetensi pribadinya.
Dalam hal ini, peran bimbingan tersebut merupakan kompetensi penyesuaian interaksional,
yang merupakan kemampuan guru untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik peserta
didik dan suasana belajar peserta didik. Hal ini diperkuat oleh Pedoman Pelaksanaan Pola
Pembaharuan Pendidikan Tenaga Kependidikan (P4SPTK) di Indonesia yang disebut
dengan Profil Kemampuan Dasar Guru dimana terdapat poin tentang mengenal fungsi dan
program pelayanan bimbingan dan konseling serta poin menciptakan iklim belajar yang
serasi.
Peran bimbingan seorang guru mata pelajaran sebagai penyesuaian interaksional
dalam proses belajar mengajar yang bermakna dapat diartikan sebagai perlakuan guru
terhadap peserta didik dengan memperhatikan hal sebagai berikut:
1. Perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang
dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri.
2. Sikap positif dan wajar terhadap siswa. Dalam pelaksanaan bimbingan, guru tidak
menjauhkan diri dari siswa.
3. Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan.
4. Pemahaman siswa secara empirik.
5. Penghargaan terhadap martabat siswa sebagai individu.
6. Penampilan diri secara ikhlas (genuine) di depan siswa.
7. Kekongkritan dalam menyatakan diri.
8. Penerimaan siswa secara apa adanya.
9. Perlakuan terhadap siswa secara terbuka.
10.Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan oleh siswa dan membantu siswa untuk
menyadari perasaan itu.
11.Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap
bahan pengajaran saja, melainkan menyangkut seluruh pengembangan siswa menjadi
individu yang lebih dewasa.
12.Penyesuaian diri terhadap keadaan khusus
Perlakuan guru mata pelajaran dalam proses belajar mengajar di atas merupakan
pembelajaran yang berbasis kepada bimbingan dan konseling, keberhasilan belajar siswa
akan kurang, jika hanya jika perlakuan yang diuraikan di atas tadi salah satunya
menghilang dari perilaku guru mata pelajaran ketika memberikan pembelajaran.
Dengan demikian peran bimbingan dalam proses pembelajaran sangat menentukan
keberhasilan belajar siswa dalam bentuk hasil yang mempribadi. Suasana kelas yang
dilatarbelakangi interaksi manusiawi itu mendorong guru untuk bukan hanya sekedar
mentrasfer ilmu pengetahuan saja, akan tetapi mendorong siswa untuk belajar lebih
optimal.
Dengan perkataan lain, suasana kelas yan diwarnai interaksi manusiawi itu akan
mendorong siswa untuk lebih terlibat dalam proses belajar mengajar secara intelektual dan
emosional. Siswa melakukan asimilasi serta akomodasi kognitif untuk memperoleh
pengetahuan, berbuat dan berpengalaman langsung dalam mengembangkan keterampilan
dan melakukan penghayatan serta internalisasi dalam pembentukan sikap dan nilai-nilai.
Proses demikian tersebut akan melipatgandakan kebermaknaan belajar bagi siswa,
sehingga belajar bukan lagi merupakan suatu paksaan atau beban akan tetapi merupakan
suatu kebutuhan.

C. Peranan Guru sebagai Pembimbing


Peranan (role) guru artinya keseluruhan perilaku yang harus dilakukan guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang luas baik di sekolah,
di dalam keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Guru merupakan faktor utama
dalam keseluruhan proses pendidikan. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru banyak
sekali memagang berbagai jenis perannya yang mau tidak mau harus dilaksanakan sebagai
seorang guru. Rochman Natawidjaja (1984:59) mengatakan bahwa guru mempunyai
peranan dan kedudukan kunci di dalam keseluruhan proses pendidikan – terutama dalam
pendidikan formal – bahkan dalam pembangunan masyarakat pada umumnya.
Surya (2003:133) mengatakan bahwa guru yang baik dan efektif ialah guru yang
dapat memainkan peranan-peranan itu secara baik. Peranan-peranan tersebut adalah
sebagai perancang pembelajaran, pengelola pengajaran, penilai hasil pembelajaran,
pengarah pembelajaran, dan sebagai pembimbing siswa. Selanjutnya Moddy (dalam
Rochman Natawidjaja, 1984:59) memberikan tulisan yang sangat mendukung terhadap
peran guru baik di sekolah maupun di masyarakat, yaitu:
“....the success of organized society depends largely upon the theacher. She must be
conscious that she is performing the highest type of service to society and that her
profession must be on as high a level as that of any other. A teacher’s personality plays a
most important part in her teaching success.”
Dari kalimat tersebut ternyata kepridian guru merupakan bagian terpenting dalam
meraih kesuksesan pembelajaran, sehingga akan tercipta peserta didik yang memiliki
kualitas.
Rochman Natawidjaja (1988: 31-32) menyatakan sehubungan dengan peran guru
sebagai pembimbing ada tiga tugas pokok guru, yaitu:
1. Tugas Profesional, yaitu tugas yang berkenaan dengan profesinya, tugas ini mencakup
tugas mendidik (mengembangkan pribadi siswa), mengajar (untuk mengembangkan
intelektual siswa), melatih (untuk mengembangkan keterampilan siswa) dan mengelola
ketertiban sebagai penunjang ketahanan sekolah.
2. Tugas manusiawi (human responsibility), yaitu tugas sebagai manusia, dalam hal ini
guru bertugas mewujudkan dirinya untuk ditempatkan dalam kegiatan kemanusiaan dan
sesuai dengan martabat manusia.
3. Tugas kemasyarakatan (civic mission) yaitu tugas sebagai anggota masyarakat dan
warga negara. Dalam hal ini guru bertugas membimbing siswa menjadi warga negara
yang baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945
serta GBHN.
Dalam kegiatan proses belajar mengajar ketiga tugas tersebut tidak dapat dipisah-
pisahkan satu persatu melainkan menjadi sebuah sistem yang saling berhubungan. Dengan
demikian sekali lagi, guru tidak hanya menyampaikan materi belaka, menerapkan metode
yang cocok, mengevaluasi pekerjaa siswa dan tugas lainnya yang tidak tercermin seperti
tugas di atas, melainkan guru itu adalah pribadinya, yaitu keseluruhan penampilannya serta
perwujudannya dengan siswa.
Bernard (dalam Natawidjaja, 1988:32) menyatakan bahwa pribadi guru lebih dari
apa yang diucapkan dan metode yang digunakan, sebagai penentu kadar dan arah
pertumbuhan siswa. Maka tepat sekali yang dinyatakan oleh Moddy bahwa sesungguhnya
keberhasilan dari suatu masyarakat yang teratur sangat bergantung kepada guru.
Houtson (dalam Natawidjaja, 1984) mengemukakan guru mata pelajaran berperan
sebagai pembimbing yang efektif adalah guru yang bercirikan:
1. Subject teaching, the teacher who:
a. Is able to arouse interest and enthusiasms in the subject taught.
b. Has ability as a leader of pupils and as an orientation teacher.
c. Is able to relate the subject to practical fields of work.
2. Pupil teacher relationship, the teacher:
a. Whom pupils seek for advice and help.
b. Who seek contacts with young people, outside classroom.
c. Who lead clubs an activities.
d. Who has made home contacts.
3. Teacher relationship, the teacher who:
a. Has shown ability to win cooperation of other teachers
b. Does not arouse antagonism
c. Has shown ability to stand critic
d. Has shown unselfish leadership
4. Record and Research, the teacher who:
a. Has a scientific objective attitude
b. Prefers to measure not guess
c. Has interest in research problems
d. Is efficient in research in clerical routin
e. Sees an apprtunity for research in clerical routine.

Dengan demikian peran guru sebagai pembimbing sangat luas sekali, bukan hanya
dalam mengajar sebagai guru mata pelajaran tertentu saja. Disisi lain juga bagaimana sikap
dan profesionalisme dalam mengajar akan menjadi sebuah peranan yang sangat
menentukan bagi pengembangannya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, guru adalah
pemberi kemudahan dalam belajar bukan sebaliknya menjadi pemersulit dalam belajar
siswa.
Lebih jauh lagi Gibson et. al (dalam Kadri, 1992:37) menyampaikan bahwa guru
adalah kunci dan tenaga ahli yang sangat profesional dalam keseluruhan kegiatan sekolah.
Guru memberikan dukungan dan partisipasi yang penting terhadap suatu program yang
diberikan kepada siswa.
Hery Kusmiyanto (FBS Univ Wijaya Kusuma Surabaya, (2010) menyampaikan
bahwa guru dalam proses belajar mengajar dia tidak hanya memakai pendekatan
instruksional tetapi juga melalui pendekatan pribadi (personal approach) dengan demikian
dia dituntut untuk memahami siswa secara mendalam sehingga dia dapat membantu dalam
keseluruhan proses belajarnya. Sebagai ‘director of learning’ guru sekaligus berperan
sebagai pembimbing dalam proses belajar siswanya. Yang harus dilakukan guru ialah sbb:
1) mengenal dan memahami setiap siswa baik secara individu maupun kelompok;
2) memberikan informasi-informasi yang diperlukan dalam proses belajar;
3) memberikan kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan
karakteristik pribadinya; (Uji personalitas.xls Memletics-Learning-Styles-
Inventory[1].pdf )
4) membantu setiap siswa dalam mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya;
5) menilai keberhasilan setiap langkah kegiatan yang telah dilakukan.
Dari uraian tersebut jelas sekali pentingnya guru mata pelajaran memahami tentang
layanan bimbingan dan konseling (bukan artinya merebut tugas guru BK, melainkan
perannya dalam proses pembelajaran mata pelajaran yang ampunya) sehingga dapat
berjalan sistematis dan/atau bekerjasama dengan guru BK dalam memberikan layanan
bimbingan dan konseling.
BAB IV
BIMBINGAN KOMPREHENSIP
Program Bimbingan dan Konseling merupakan bagian integral dari penyelenggaraan
program pendidikan di Sekolah, namun program BK memiliki rangkaian kegiatan yang
dirancang secara terorganisir dan diimplementasikan pada naskah akademik yang disusun
oleh organisasi ABKIN sebagai payung organisasi profesi konselor.
Pentingnya program Bimbingan dan Konseling setara dengan pentingnya program
pendidikan di Sekolah bahkan berperan fungsional dalam pengembangan kompetensi
peserta didik secara maksimal dan berkesinambungan.
Hakikat program Bimbingan dan Konseling komprehensif dalam tatanan reformasi
terlihat sebagai target pengembangan guru, pimpinan sekolah, orangtua, dan masyarakat
sebagai mitra kerja. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang sesuai
dengan kemajuan jaman, begitupun dengan bimbingan dan konseling.
Untuk lebih memahami serta mengetahui secara umum dapat diperhatikan uraian di
bawah ini.

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Komprehensif


Bimbingan dan konseling komprehensif merupakan sistem kegiatan yang dibuat
guna membantu klien dalam mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin. Namun
dalam prosesnya, siswa tidak selalu mengalami perkembangan yang baik, namun
terkadang sifatnya fluktuatif atau tak stabil. Oleh sebab itulah, guna membantu siswa
dalam perkembangannya perlu diberikan layanan bimbingan dan konseling yang
komprehensif.
Bimbingan dan konseling komprehensif diprogramkan bagi seluruh siswa, artinya
bahwa semua peserta didik wajib mendapatkan layanan bimbingan dan konseling. Oleh
karena itu bimbingan dan konseling komprehensif perlu memperhatikan: (1) ruang lingkup
yang menyeluruh, (2) dirancang untuk lebih berorientasi pada pencegahan, dan, (3)
tujuannya pengembangan potensi peserta didik (Suherman, 2011:51).
Ruang lingkup bimbingan dan konseling komprehensif tidak hanya berorientasi
pada peserta didik sebagai pribadi saja, namun semua aspek kehidupan siswa sejak usia
dini sampai usia remaja (SMA/SMK) bahkan sampai dengan masyarakat. Dimana fokus
utamanya adalah teraktualisasinya potensi peserta didik dan berkembang optimal sehingga
peserta didik dapat meraih sukses di sekolah maupun masyarakat.
Titik berat bimbingan dan konseling komprehensif adalah mengarahkan peserta
didik agar mampu mencegah berbagai hal yang dapat menghambat perkembangannya.
Selain itu, melalui hal preventif peserta didik mampu memutuskan dan memilih tindakan-
tindakan tepat yang dapat mendukung perkembangannya.
Agar pelaksanaan program bimbingan dan konseling komprehensif berjalan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka harus dipahami 5 premis dasar Bimbingan dan
konseling komprehensif. Menurut Gysbers dan Henderson (2006:28) lima presmis tersebut
adalah:
1. Tujuan Bimbingan dan konseling bersifat kompatibel dengan tujuan pendidikan.
2. Fokus utama layanan bimbingan dan konseling adalah mengawal perkembangan peserta
didik melalui pemenuhan fasilitas peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang
menjadi mandiri dan lebih optimal.
3. Program bimbingan dan konseling merupakan Team Building Approach artinya
merupakan suatu tim yang bersifat kolaboratif antar staff.
4. Program bimbingan dan konseling merupakan sebuah proses yang tersusun secara
sistematis dan dikemas melalui tahap-tahap perencanaan, desain, implementasi,
evaluasi, dan tindak lanjut.
5. Program bimbingan dan konseling harus dikendalikan oleh kepemimpinan yang
memiliki visi dan misi yang kuat mengenai bimbingan dan konseling.

B. Komponen Bimbingan dan Konseling Komprehensif


Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif dikemas dalam empat komponen
yaitu: (1) kurikulum bimbingan, (2) perencanaan individual, (3) pelayanan responsif, dan
(4) dukungan sistem (Gybers dan Henderson, 2006: 139-140).

LAYANAN LAYANAN
DASAR RESPONSIF
(KURIKULUM
BK) BK
KOMPREHENSIF

DUKUNGAN LAYANAN
PERENCANAAN
Gambar : Komponen Bimbingan Komprehensif

1. Layanan Dasar (Kurikulum bimbingan dan konseling)


Kurikulum bimbingan dan konseling merupakan seperangkat aktifitas yang
dirancang secara sistematis untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik yang
mencakup perkembangan akademis, karir, pribadi dan sosial atau yang dikenal disebut
dengan layanan dasar.
Strategi yang dilakukan konselor dalam pelaksanaan bimbingan dan pelayanan dasar
ini dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2008: 224-230) sebagai berikut:
1. Bimbingan kelas, merupakan suatu strategi yang digunakan konselor untuk
memberikan layanan kepada peserta didik dengan jalan berinteraksi secara langsung
didalam kelas.
2. Pelayanan orientasi, salah satu kegiatan kkonselor dalam membantu peserta didik agar
dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang baru.
3. Pelayanan informasi, berupa layanan yang mennitikberatkan pada pemberian informasi
kepada peserta didik agar bisa memahami dirinya dan lingkungannya.
4. Bimbingan kelompok, merupakan bentuk layanan bimbingan yang diberikan kepada
kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 5 sampai 12 peserta didik. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar dapat merespon kebutuhan dan
minatnya.
5. Pelayanan pengumpulan data, berupa layanan yang bermaksud untuk mengumpulkan
berbagai data/informasi mengenai peserta didik secara lengkap dan komprehensif.
Ruang lingkup yang termasuk ke dalam ranah layanan dasar sebagai berikut:
1. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan
2. Pengembangan kemampuan individual (problem solving)
3. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang positif atau keterampilan belajar yang
efektif.
4. Pengembangan prilaku sosial yang bertanggung jawab.
5. Pengembangan upaya pencapaian peran sosial sebagai pria atau wanita.
6. Pengembangan sikap penerimaan diri secara objektif dan pengembangannya secara
tepat.
7. Pengembangan sikap dan kemampuan untuk mencapai kemandirian ekonomi.
8. Pengembangan sikap dan kemampuan mempersiapkan karir di masa depan
9. Pengembangan upaya pencapaian hubungan baru yang lebih matang dengan teman
sebaya, baik pria atau wanita.
10.Pengembangan sikap positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga

2. Perencanaan Individual
Satu hal yang perlu dilakukan konselor adalah memahami klien/peserta didik
/konseli secara mendalam beserta aspek kepribadiannya melalui berbagai assesmen dan
menyajikan informasi yang akurat tentang potensi diri dan lingkungan seta peluang yang
tersedia sehingga klien dapat:
1. Menganalisis kekuatan dan kelemahannya baik yang berkaitan dengan potensi, bakat,
minat, kepribadian dan lingkungannya.
2. Mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjutan yang sesuai dengan dirinya
sehingga dapat mengikuti pendidikan lanjutan dengan suasana yang kondusif.
3. Mengukur dan menilai ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4. Mempertimbangkan dan selanjutnya memilih serta menentukan pilihan melalui
keputusan yang tepat dan bijak, sehingga apa yang nantinya dilakukan adalah buah dari
perencanaan yang matang.
Fokus pelayanan perencanaan individual adalah berbagai aktivitas yang terarah pada
pengembangan: (1) Aspek pribadi sosial, (2) Aspek akademik, dan (3) Aspek karir.
Strategi yang dikembangkan oleh Gysber dan Henderson (2006: 75) meliputi:
1. Individual appraisal, yaitu suatu strategi dimana konselor membantu peserta didik
untuk dapat menilai dan menafsirkan potensi-potensi yang dimilikinnya, minat,
keterampilan, prestasi dan aspek kepribadiannya.
2. Individual advisement, yaitu suatu strategi yang mebantu klien agar dapat menggunakan
segala informasi untuk mengarahkan dirinya sendiri.
3. Transition planning, yaitu suatu strategi yang dimaksudkan untuk mebantu peserta
didik dalam memahami dunia kerja melalui transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja.
4. Follow up, yaitu suatu stategi guna memberikan layanan tindak lanjut melalui berbagai
kumpulan data untuk evaluasi dan perbaikan program mendatang.

Strategi menurut yang lain langkahnya sebagai berikut: (1) Menganalisis kekuatan
dan kelemahan diri sendiri; (2) Merumuskan tujuan dan perencanaan kegiatan; (3)
Melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan; dan (4)
Mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan.

3. Pelayanan Responsif
Layanan responsif merupakan layanan yang harus diberikan kepada peserta yang
memiliki sifatnya segera artinya jangan ditunda-tunda dalam memberikan bantuan jika
peserta didik memiliki masalah. Ruang lingkup layanan responsif terdiri dari layanan
bidang pribadi, bidang sosial, bidang akademik, dan bidang karir.
a. Bidang Pribadi
1) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
a) kurang motivasi untuk mempelajari agama
b) kurang memahami bahwa agama sebagai pedoman hidup
c) kurang memiliki kesadaran bahwa setiap perbuatan manusia diawasi Tuhan.
d) masih merasa malas melaksanakan shalat
e) kurang memiliki kemampuan untuk bersabar dan bersyukur.
2) Perolehan sistem nilai
a) masih memiliki kebiasaan berbohong
b) masih memiliki kebiasaan menyontek
c) kurang berdisiplin (khususnya memelihara kebersihan)
3) Kemandirian emosional
a) belum mampu membebaskan diri dari perasaan kekanak-kanakan
b) belum mampu menghormati orangtua atau orang lain secara ikhlas
c) masih kurang mampu menghadapi frustasi (stress) secara positif
4) Pengembangan ketarampilan intelektual
a) masih kurang mampu mengambil keputusan
b) masih suka melakukan sesuatu, tanpa memperhitungkan baik-buruk, untung-rugi.
5) Menerima diri dan mengembangkannya secara positif.
a) kurang merasa bangga dengan keadaan diri sendiri.
b) merasa rendah diri, apabila bergaul dengan orang lain yg mempunyai kelebihan.
b. Bidang Sosial
1) Berprilaku sosial yang bertanggung jawab
a) kurang menyenangi kritikan
b) kurang memahami tata krama
c) kurang berpartisipasi dalam kegiatan sosial, baik di sekolah dan di masyarakat.
2) Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya
a) merasa malu untuk berteman dengan lawan jenis
b) merasa tidak senang kepada teman yang suka mengkritik.
3) Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
a) sikap yang kurang positif terhadap pernikahan
b) sikap yang kurang positif terhadap hidup berkeluarga

c. Bidang Akademik
1) Kurang memiliki kebiasaan belajar yang baik
2) Kurang memahami cara belajar yang efektif
3) Kurang memahami cara mengatasi kesulitan belajar
4) Kurang memahami cara membaca buku yang efektif
5) Kurang memahami cara membagi waktu belajar
6) Kurang menyenangi pelajaran-pelajaran tertentu.
d. Bidang Karir
1) Kurang memahami cara memilih program studi yang cocok dengan kemampuan dan
minat
2) Kurang mempunyai motivasi untuk mencari informasi tentang dunia kerja
3) Masih bingung untuk memilih pekerjaan
4) Masih kurang mampu memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuandan
minat.
5) Merasa cemas untuk mendapat pekerjaan setelah tamat sekolah
6) Belum memiliki PT tertentu, jika setelah tamat sekolah.

Layanan responsif juga merupakan layanan yang bersifat kuratif/langsung, sehingga


berbagai strategi yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
a. Konseling individual dan kelompok
b. Referal (alih tangan atau rujukan)
c. Kolaborasi dengan guru mata pelajaran dan wali kelas
d. Kolaborasi dengan orang tua
e. Kolaborasi dengan pihak luar sekolah
f. Konsultasi
g. Konferensi kasus
h. Kunjungan rumah (home visit)

4. Dukungan sistem
Komponen dukungan sistem mencakup dua bagian: (1) program bimbingan dan
konseling, dan (2) layanan pendukung. Strategi yang digunakan dalam dukungan sistem ini
berupa: (1) Pengembangan jejaring (networking) yaitu upaya menjalin kerjasama dengan
guru, orang tua dan masyarakat serta seluruh personil sekolah agar tercipta suasana
kondusif dalam proses pembelajaran dan layanan bimbingan dan konseling. (2)
Pengembangan konselor yang meliputi: pelatihan-pelatihan yang tekait dengan bimbingan
dan konseling, aktif dalam organisasi seperti ABKIN, aktif dalam pertemuan ilmiah seperti
seminar, workshop, dan lain sebagainya. (Sugiyo, 2011)
a. Pemberian Layanan
1) konsultasi dengan guru-guru
2) menyelenggarakan kerjasama dengan ortu/masyarakat
3) berpartisipasi
4) bekerja sama dengan personil sekolah lainnya.
5) melakukan penelitian
b. Kegiatan Manajemen
1) Pengembangan program
2) Pengembangan staf
a) Kepala sekolah
b) Wakasek dan para PKS (pembantu kepala sekolah)
c) Guru mata pelajaran
d) Guru bimbingan dan konseling (konselor)
c. Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat
d. Pengembangan atau Penentuan Kebijakan

BAB V
BIMBINGAN DAN KONSELING
BAGI GURU MATA PELAJARAN
Fenomena kualitas pendidikan di Indonesia secara perorangan memang telah diakui
keberadaannya oleh bangsa-bangsa lain di dunia, hal ini dibuktikan dengan berbagai
kegiatan akademik, seperti lomba Olympiade Matematika, Fisika, Bumi Antariksa,
Teknologi dan Informatika dan Merakit Robot. Sedangkan kegiatan non-akademik, seperti
cabang olagraga (bulutangkis, sepak bola ditingkat Asia). Indonesia selalu muncul menjadi
pemenang. Namun, ketika dikomulatifkan secara keseluruhan bangsa Indonesia masih jauh
dibandingkan negara-negara tetangga dalam pencapaian prestasi di bidang akademik, hal
ini dibuktikan dengan hasil laporan UNICEP tentang Peringkat Sumber Daya Manusia
tahun 2010 bangsa Indonesia termasuk ke dalam kategori Medium Human Development
yaitu rangking ke-108. Laporan tersebut secara lengkap dapat diperhatikan bagan berikut:

Dari hasil laporan tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa hasil pendidikan
bangsa Indonesia masih jauh dibandingkan negara-negara tetangga, bahkan bangsa
Indonesia SDM-nya ditempat yang kritis, yaitu bisa masuk ke dalam kategori Low Human
Development.
Permasalahannya, mengapa hal ini terjadi secara terus menerus bahkan usaha
berbagai pihak terus menerus dilakukan. Guru mata pelajaran yang selama ini menjadi
pasukan terdepan yang selalu bertemu dengan peserta didik masih berperan sebagai
pengajar saja tidak berperan sesuai dengan perannya yang lengkap, yaitu sebagai pengajar,
pendidik dan pembimbing. Padahal pemerintah telah berusaha dengan memberikan
tambahan penghasilan berupa tunjangan profesional (program sertifikasi guru) dengan
dibayar sebesar gaji pokok pegawai.
Sebagai pengajar, guru berperan memberikan transfer ilmu pengetahuan yang
dimilikinya kepada seluruh peserta didik tanpa pilih kasih atau diskriminasi, sedangkan
berperan sebagai pendidik, guru seyogyanya memberikan sesuatu yang terbaik sebagai
individu yang digugu dan ditiru. Selanjutnya peran sebagai pembimbing inilah yang belum
dilakukan guru dalam kegiatan proses belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar
kelas, bahkan peran yang ketiga inilah kebanyakan guru berpersepsi bahwa tugas
membimbing adalah tugasnya guru bimbingan dan konseling.
Pada uraian Bab V ini akan diberikan penjelasan pentingnya guru mata pelajaran
memberikan bimbingan dan konseling pada saat pelaksanaan PBM di dalam kelas maupun
di luar kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirancang dalam RPP (Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran) dapat tercapai.

A. Peranan Guru sebagai Pembimbing


Peranan (role) guru artinya keseluruhan perilaku yang harus dilakukan guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang luas baik di sekolah,
di keluarga, maupun di masyarakat. Guru merupakan faktor utama dalam keseluruhan
proses pendidikan. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru banyak sekali memagang
berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakan sebagai seorang guru.
Natawidjaja (1984:59) mengatakan bahwa guru mempunyai peranan dan kedudukan kunci
di dalam keseluruhan proses pendidikan – terutama dalam pendidikan formal – bahkan
dalam pembangunan masyarakat pada umumnya.
Surya (2003:133) mengatakan bahwa guru yang baik dan efektif ialah guru yang
dapat memainkan peranan-peranan itu secara baik. Peranan-peranan tersebut adalah
sebagai perancang pengajaran, pengelola pengajaran, penilai hasil pembelajaran, pengarah
pembelajaran, dan sebagai pembimbing murid (peserta didik).
Moody (dalam Natawidjaja, 1984:59) memberikan tulisan yang sangat mendukung
terhadap peranan guru baik di sekolah maupun di masyarakat, yaitu:
“....the success of organized society depend largely upon the teacher. She must be
conscious that she is performing the highest type of service and that her profession
must be on as high a level as that of any other. A teacher’s personality plays a most
important part in her teaching success.”
Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pembimbing diartikan sebagai :
(1) orang yang membimbing; pemimpin; penuntun; (2) yang dipakai untuk membimbing
seperti pengantar (ilmu pengetahuan) (1988:117). Selanjutnya Mapiarre (2002:6)
mengatakan bahwa pembimbing atau konselor adalah menunjuk pada orang, person, yang
menyediakan bantuan.
Berdasarkan uraian di atas, jadi sebagai pembimbing, guru seyogyanya
melaksanakan tugas di sekolah dengan berfungsi sebagai pendidik dan pengajar dan
berfungsi sebagai pembimbing, artinya dalam hal ini guru tidak semata-mata hanya
memberikan materi pelajaran saja, melainkan lebih jauh dari itu. Hal ini berlaku bagi
semua guru mata pelajaran yang selama ini masih belum tertarik terhadap peran sebagai
pembimbing pada saat proses belajar-mengajar. Koran Kampus ITB dalam menumbuhkan
wacana beda pendapat dalam pengajaran menyampaikan bahwa: “Guru yang menonjol
adalah sebagai Teacher (pengajar), sebaiknya ke depan, guru lebih dituntut sebagai coach,
conselor, dan learning manager, yang harus mampu membimbing siswa belajar” (Edisi
April 2003).
Sehubungan tugas atau peran guru sebagai pembimbing, Natawidjaja menyampaikan
ada tiga tugas pokok guru, yaitu:
1. Tugas Profesional, yaitu tugas yang berkenaan dengan profesinya. Tugas ini mencakup
tugas mendidik (mengembangkan pribadi siswa), mengajar (untuk mengembangkan
intelektual siswa), melatih (untuk mengembangkan keterampilan siswa) dan mengelola
ketertiban sekolah sebagai penunjang ketahanan sekolah.
2. Tugas Manusiawi (Human Responsibility), yaitu tugas sebagai manusia. Dalam hal ini,
guru bertugas mewujudkan dirinya untuk ditempatkan dalamkegiatan kemanusiaan dan
sesuai dengan martabat manusia.
3. Tugas kemasyarakatan (Civic Mission) yaitu tugas sebagai anggota masyarakat dan
warga negara. Dalam hal ini, guru bertugas membimbing siswa menjadi warga negara
yang baik, sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945,
dan GBHN.
Tiga tugas pokok guru di atas, dalam kegiatan belajar-mengajar tidak dapat dipisah-
pisahkan satu sama lainnya, melainkan menjadi sebuah sistem yang saling berhubungan.
Dengan demikian guru tidaklah sekedar menyampaikan materi belaka, menerapkan metode
yang cocok, mengevaluasi pekerjaan siswa dan tugas lainnya yang tidak tercermin seperti
tugas di atas, melainkan guru adalah pribadinya, yaitu keseluruhan penampilannya serta
perwujudannya dengan siswa.
Soleh (1998:29) dalam Buku Pokok-Pokok Pengajaran Matematika Sekolah
mengatakan bahwa: “....pada akhirnya, gurulah yang memilih kemungkinan-kemungkinan
(sumbernya, strateginya, penilaiannya, dan tindak lanjutnya) itu dan meramu pembelajaran
sehingga sesuai dengan kemampuan siswa dan tuntutan kurikulum.”. selanjutnya
ditegaskan oleh Moody (dalam Natawidjaja, 1988:31) mengatakan bahwa sesungguhnya
keberhasilan dari suatu masyarakat yang teratur sangat bergantung kepada guru.
Kemudian Surya (2003:72) menegaskan bahwa pengajar (guru) hendaknya
mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar mampu mewujudkan perilaku belajar
siswa melalui interaksi belajar-mengajar yang kondusif.
Natawidjaja (1998 : 32-33) menyampaikan peranan guru yang harus dilakukan
dalam PBM di dalam kelas, yaitu:
1. Wakil masyarakat (termasuk pandangan moralnya)
2. Hakim (memberi penilaian)
3. Sumber (proses, pengetahuan, dan keterampilan)
4. Penolong (memberi bimbingan bagi kesulitan siswa)
5. Detektif (menemukan pelanggaran aturan)
6. Pelerai (menyelesaikan perselisihan diantara siswa)
7. Obyek identifikasi bagi siswa
8. Penawar kecemasan (membantu siswa untuk memiliki kepercayaan diri sendiri)
9. Penunjang kekuatan ego (membantu siswa untuk memiliki kepercayaan diri sendiri)
10.Pemimpin kelompok (membantu iklim kelompok)
11.Pengganti orang tua (bertindak sebagai tempat mengeluh bagi anak-anak muda)
12.Sasaran kemarahan siswa (bertindak sebagai tempat agresi yang timbul dari frustasi
yang diciptakan orang dewasa)
13.Teman dalam kepercayaan (membangun hubungan yang hangat dengan anak dan saling
mempercayai)
14.Obyek perhatian (memenuhi kebutuhan psikologis anak).
Ternyata tugas guru dalam kelas bukan hanya memberikan materi saja atau hanya
tertuju kepada kegiatan instruksional saja, akan tetapi banyak perannya yang harus
dilakukan yang berisikan hubungan antar probadi siswa untuk membimbing siswa.
Dengan demikian, guru memegang peran kunci yang paling utama, artinya
keberhasilan PBM banyak tergantung dari pihak pengajar (guru) itu sendiri. Salah satu hal
yang paling strategis adalah mengenal dan menerapkan berbagai aspek psikologis dalam
keseluruhan proses pendidikan, khususnya PBM seperti berperan sebagai pembimbing
dalam PBM.
B. Pelaksanaan BK bagi Guru Mata Pelajaran
Pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran berbeda dengan
guru bimbingan dan konseling, sebagian perbedaannya dapat diperhatikan bagan berikut:
PERBEDAAN PELAKSANAAN BK
ANTARA GURU BK DAN GURU MATA PELAJARAN

No Guru Mata Pelajaran Guru BK


1 Program Pelaksanaan tidak dibuat Program Pelaksanaan dibuat
secara khusus, melainkan secara khusus dalam bentuk
dilaksanakan secara includ di dalam program kerja guru BK
PBM
2 Tempat khusus pelaksanaan BK tidak Memiliki tempat khusus yang
ada, melainkan diruang kelas ketika disebut dengan Ruang BK
PBM berlangsung
3 Waktu pelaksanaan BK dilakukan Waktu pelaksanaan diprogram
pada saat PBM dengan memberikan panggilan
khusus atau peserta didik datang
sendiri untuk menyampaikan
keluhan, dan permasalahan.
4 Pemberian bimbingan hanya ruang Pemberian bimbingan yang
lingkup bidang akademik pada mata menyeluruh, yaitu bidang
pelajaran yang diampunya. akademik, pribadi, sosial dan
karir.
5 Pemberian bimbingan lebih Pemberian bimbingan lebih
cenderung klasikal cenderung kepada individual.
6 Jika permasalahan cenderung sulit Jika permasalahan cenderung sulit
dipecahkan, guru mata pelajaran dipecahkan, guru BK dapat
dapat mereveral ke guru BK mereveral ke ahli yang lebih
profesional.

Dari tabel perbedaan di atas ternyata pelaksanaan BK bagi guru mata pelajaran
merupakan bagian dalam pelaksanaan PBM, oleh karena itu setiap guru mata pelajaran
seyogyanya melaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab.
Selanjutnya strategi apa yang harus dijalankan oleh seorang guru mata pelajaran
dalam melaksanakan perannya sebagai pembimbing? Hal ini dapat diperhatikan contoh
strategi pembelajaran bagi guru mata pelajaran matematika berikut:

Table 1
Activity Strategy of Math Teaching based on BK Service Principles
No BK Service Principle Teaching Strategy Activities
1 Guidance is an individual helping Mathematics teachers are obliged to
process so that they can help assist students in solving the problems
themselves in solving the problems of learning mathematics without
they face complaints and complaints with the
principle that humans / students have
the potential so that students can solve
it yourself.
2 Should guidance be focused Differences between students is a
(focused) on the guided individuals certainty of the existence, the teacher
should focus on students who are
being given guidance or in other words
the student is unique meaning there is
no equal.
3 Guidance is directed at the Differences in the characteristics of
individual and each individual has students should be understood by
its own characteristics teachers of mathematics, therefore in
the implementation of teaching should
not be generalized ability of students
4 Problems that can not be resolved If you find students who are deemed
by the coaching team within the incomplete teaching, the math teacher
institutional environment should be coordinates with the student's parents
handed over to the authorized expert for the next step.
or institution
5 Guidance begins with the Teachers in implementing teaching
identification of the perceived needs strategies should see or identify the
of the individual to be mentored perceived needs of students in learning
the mathematics or completion
keywords.
6 Guidance should be flexible Mathematics teachers' actions should
according to individual and be flexible and flexible in teaching,
community needs frightening math teachers will be the
focus of students and the nuances of
teaching will be unsuccessful.
7 Guidance programs in certain Teachers of mathematics in teaching
educational institutions must be in should be relevant to the school's
accordance with educational mission vision program where it is and
programs at the institutions according to circumstances.
concerned
8 The implementation of the guidance Mathematics subjects must have a
program should be managed by a mathematical education discipline.
person who has expertise in the field
of counseling, can work together
and use relevant sources within or
outside the education provider
9 Should implement guidance In the teaching of the mathematics
program in evaluation to know teacher must provide or carry out
result and implementation of evaluation continuously.
program
Sutirna (2017). Asia Fasific of Education Conference at UMP.

C. Nuansa PBM berbasis Bimbingan dan Konseling


Perhatikan dengan cermat sebuah dialog pembelajaran di kelas di bawah ini dengan
baik.
Guru : Assalamua’laikum wr wb.
Siswa : Waa’laikum salam
Guru : Baiklah, anak-anak yang cantik dan cakep
hari ini kita lanjutkan materi selanjutnya,
namun Bapak perlu mengabsen, “ siapa
yang tidak hadir”?
Siswa : Amir....Pak, kemarin ia jatuh dari pohon
mangga, ketika mengambil mangga
tetangganya.
Guru : Gimana, kalian semua sudah menjenguk?
Siswa : Belum, Pak rencanannya sepulang sekolah
hari ini.
Guru : Ok, ....Bapak ikut.
Baik sekarang Bapak akan bertanya dulu
materi yang sudah diberikan kemarin.
Andi....Berapa nilai x dari persamaan 3 – x
=8
Siswa (Andi) : Lima...pak. ( siswa lain ribut dengan
mengejek Andi menggunakan bahasa atau
kalimat “Wuh salah” ; “Wuh bloon” dll
Guru : Sudah...sudah....jangan seperti itu,
barangkali Andi lupa menjawabnya, coba
Kamal? Berapa x nya?
Siswa (Kamal) : Negatif 5 ...pak.
Guru : Bagus, .....sambil memberikan hadiah
permen Relaxza kepada kamal.
Siswa (Kamal) : Terima kasih ....pak,
Guru : Mari kita lanjutkan materi ini, mohon anak-
anakku konsentrasi dan perhatikan dengan
baik supaya kamu bisa semua....ok
Siswa : Ok.

Dari cuplikan dialog pembelajaran tersebut, dapat banyak nuansa-nuansa BK yang


dilakukan guru dalam pelaksanaan PBM, diantaranya sebagai berikut:
1. Nuansa Harmonis
2. Nuansa Kekeluargaan
3. Nuansa Etika
4. Nuansa Penghargaan
5. Nuansa Kebersamaan
6. Nuansa Kepedulian
7. Nuansa Menyenangkan
8. Nuansa Siswa Aktif
9. Nuansa Bahasa yang sopan
10.Nuansa Tepat Waktu
Peran bimbingan yang dilakukan guru dalam PBM merupakan satu kompetensi guru
yang terpadu dalam keseluruhan kompetensi pribadinya. Dalam hal ini peran bimbingan
merupakan kompetensi penyesuaian interaksional, yang merupakan kemampuan guru
untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik siswa dan suasana belajar siswa. Hal ini
diperkuat oleh Pedoman Pelaksanaan Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga
Kependidikan (P4SPTK) di Indonesia yang disebut dengan Profil Kemampuan Dasar
Guru, dimana tertuang poin mengenal fungsi dan program pelayanan BK serta
menciptakan iklmim belajar yang serasi.
Agar dalam proses belajar-mengajar bermakna, guru agar memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang
dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri.
2. Sikap positif dan wajar terhadap siswa.
3. Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan.
4. Pemahaman siswa secara empatik.
5. Penghargaan terhadap martabat siswa sebagai individu
6. Penampilan diri secara ikhlas (genuince) di depan siswa.
7. Kekongkritan dalam menyatakan diri.
8. Penerimaan siswa apa adanya
9. Perlakuan siswa secara terbuka
10.Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan oleh siswa dan membantu menyadari
perasaan itu.
11.Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap
bahan pengajaran (materi) saja, melainkan menyangkut seluruh pengembangan siswa
menjadi individu yang lebih dewasa.
12.Penyesuaian diri terhadap keadaan khusus
Perlakuan guru di atas merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi
kegiatan PBM, keberhasilan siswa akan kurang, jika nuansa perlakuan terhadap siswa di
atas diabaikan oleh seorang guru dalam perannya sebagai pembimbing.

D. Model Pembelajaran Matematika bernuansa Bimbingan


Pada buku ini akan diinformasikan contoh untuk mata pelajaran matematika, tidak
menutup kemungkinan untuk mata pelajaran lainpun dapat digunakan.
Model pembelajaran matematika bernuansa bimbingan ini sebagai konsptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan pembelajaran matematika
yang bernuansa bimbingan. Nuansa bimbingan yang dimaksud adalah langkah-langkah
dalam pembelajaran matematika bernuansa bimbingan, artinya dalam tahap pendahuluan
PBM, penerapan PBM, dan penutup PBM, guru melaksanakannya selalu bernuansa
bimbingan (harmonis, hangat, menyenangkan, ceria, empatik, dll).
Tujuan model ini adalah untuk memberi bantuan kepada peserta didik dalam segala
aspek ketika peserta didik mengikuti proses pembelajaran matematika, sehingga
diharapkan pada akhirnya tujuan pembelajaran tercapai optimal. Dalam hal ini guru
dituntut sebagai pengarah, pembimbing, dan pemberi kemudahan belajar (director,
guidance, dan facilitator of learning). Uraian contoh kegiatan dapat diperhatikan bagan
berikut ini:
BAGAN PELAKSANAAN
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERNUANSA BIMBINGAN
No. Tahapan Pelaksanaan Uraian kegiatan
1 Pendahuluan Tahap ini diisi dengan kegiatan apersepsi,
tahap ini dapat dilakukan dengan keadaan
kahadiran, kesehatan, dan materi sebelumnya
kepada siswa. Kalimat-kalimat yang dapat
dilontarkan kepada siswa antara lain:
“Siapa yang tidak masuk hari ini?”
“Bagaimana sehat semua anak-anakku?”
“Bagaimana ada kesulitan materi yang
kemarin?”
Dst......
2 Pengembangan (inti Tahap ini adalah tahap inti pembelajaran,
Pembelajaran) dimana guru menyajikan materi pembelajaran.
Guru menggunakan berbagai strategi,
pendekatan dan metode yang dapat
mengaktifkan peserta didik.
Nuansa bimbingan yang dapat dilakukan
adalah memperhatikan semua peserta didik
dengan senyum, empatik, dan perhatian.
Kalimat yang dapat digunakan contohnya:
“Bagaimana anak-anakku sampai disini
penjelasan Bapak, dapat dimengerti?”...jangan
malu-malu yah...tanyakan kepada Bapak jika
belum dimengerti.
“Bagaimana menurut anda, apakah benar
jawaban teman anda?”
Dst....
3 Penutup (akhir PBM) Pada tahap ini dilakukan memberikan
kesimpulan hal-hal yang penting bagi siswa
untuk diketahui. Bentuknya dapat berupa
Review, Transfer, atau serendipiti.
Review : ringkasan atau butir-butir pokok.
Transfer : penerapan hal-hal yang telah
dipelajari.
Serendipiti : suatu hal yang tidak direncanakan
disesuaikan dengan situasi.

Model pembelajaran matematika bernuansa bimbingan secara garis besarnya dapat


diperhatikan bagan berikut ini:
Ÿ Memberikan pertanyaan
yang dapat mengungkap,
mendorong, dan
mengembangkan
peningkatan kemampuan
PENDAHULUAN penalaran siswa dengan
penuh keakraban
(rapport) dan penuh
perhatian
Ÿ memberikan motivasi
secara eksternal dalam
proses pembelajaran

Memfasiltasi siswa agar


kemempuan berpikir
matematik mereka bisa
meningkat dengan
melakukan:
Ÿ mendorong siswa untuk
M E N G A J A R

melakukan atau
mengerjakan sesuatu
PENGEMBANGAN lebih baik.
Ÿ mendorong siswa untuk
mencari alternatif
pemecahan yang lebih
baik.
B E L A J A R

Ÿ peduli (concern)terhadap KEMAMPUAN TINGGI


siswa yang belum KEMAMPUAN SEDANG
mengerti KEMAMPUAN RENDAH
Guru memberikan soal
K E G IA TA N

latihan yang dapat diambil


dari buku matematika atau
soal yang dibuat guru
dengan tujuan untuk umpan
balmemfasiltasi siswa agar
PENERAPAN kemempuan berpikir
matematik mereka bisa
meningkat Guru memberikan
soal latihan yang dapat
diambil dari buku
matematika atau soal yang
dibuat guru dengan tujuan
untuk umpan

Penutupan pembelajaran
dapat berupa Review,
Transfer, atau Serendipiti.
bentuknya seperti:
Ÿ Memberi bimbingan
secara khusus
PENUTUP Ÿ Memberikan PR
Ÿ Memberikan kesimpulan
materi

Gambar 5.1: Model Pembelajaran Matematika bernuansa Bimbingan


(Sutirna, 2004:46)
BAB VI

BIMBINGAN DAN KONSELING


DI PENDIDIKAN KESETARAAN
(Paket A, B dan C)

A. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling di Pendidikan Kesetaraan


(Paket B setara SMP)

Gambar: Balai Belajar Bersama


PKBM Akrab
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di pendidikan
kesetaraan (Paket B setara SMP), bukan semata-mata terletak pada ada atau tidaknya
landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting
adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli,
agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangan
(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Apalagi untuk
peserta didik di pendidikan kesetaraan (Paket B dan C) yang keberadaanya sangat jauh
dibandingkan dengan peserta didik yang berada dipendidikan formal (persekolahan),
perbedaan tersebut antara lain: dari segi letak geografis, ekonomi keluarga, keberadaan
orang tua, dan lain-lain.
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang
atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka
masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga
pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Di samping itu terdapat suatu
keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus,
atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu selalu berjalan dalam
alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis
maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang
terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life skill) warga masyarakat.
Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,
maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya
stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan
perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan
perkembangan tersebut, diantaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat,
pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi
teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur
masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan yang kurang sehat, seperti: maraknya tayangan pornografi di
televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat
terlarang/narkoba yang tak terkontrol, ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan
dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli
(terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral
(akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib, tawuran, meminum-minuman keras,
menjadi pencandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikoterapika, dan Zat Adiktif
lainnya, seperti: ganja, narkotika, extasi, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan
bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak
sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum
dalam tujuan pendidikan nasional ( UU No. 20 Tahun 2003), yaitu (1) beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan
dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian
yang mantap dan mandiri, (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Tujuan-tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan)
bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses
pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti
disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara
sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini
merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara
proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli berserta berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang
mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif
dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan
konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional
dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, maka hanya akan menghasilkan
konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki
kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian. (Sunaryo, 2008)
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan
konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remidial, klinis, dan terpusat
pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif.
Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Development Guidance and
Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and
Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya
pencapaian tugas-tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-
masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang
harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling
berbasis standar (Standard Based Guidance and Counseling).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dan
para personal penyelenggara Paket B setara SMP lainnya (pimpinan pendidikan
kesetaraan, tutor, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak terkait lainnya
(seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli: psikologi dan dokter). Pendekatan ini
terintegrasi dengan proses pendidikan dipendidikan kesetaraan secara keseluruhan dalam
upaya membantu para konseli agar dapat mengembangkan atau mewujudkan potensi
dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di pendidikan
kesetaraan diorientasikan upaya memfasilitasi perkembangan konseli, yang meliputi aspek
pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli
sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan
spiritual)

B. Landasan Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Pendidikan Kesetaraan


(Paket B setara SMP)
Landasan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di Pendidikan Kesetaraan
(Paket B setara SMP maupun Paket C setara SMA) secara umum landasan pelaksanaannya
sama dengan landasan pelaksanaan di pendidikan persekolahan (formal), yaitu harus
memperhatikan (1) Landasan Filosofis, (2) Landasan Psikologis, (3) Landasan Sosial
Kultural (Budaya), (3) Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Landasan
Pedagogis, (5) Landasan Religius dan Landasan Yuridis-Formal.
Namun yang menjadi perbedaan dalam praktik pelaksanaannya adalah keberadaan
atau latar belakang peserta didik pendidikan kesetaraan dengan pendidikan formal sangat
berbeda baik dari segi keluarga, ekonomi, orang tua, latar belakang pendidikan orang tua,
lingkungan peserta didik tinggal dan lain sebagainya, sehingga hal perbedaan inilah yang
sangat perlu diperhatikan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
Pentingnya pelaksanaan bimbingan dan konseling di dunia pendidikan kesetaraan
(Paket B setara SMP) sangat jelas diperlukan dibandingkan dengan keberadaan peserta
didik yang duduk di pendidikan persekolahan (formal) dan hal telah sesuai dengan
berbagai landasan sebagai dasar hukum tertulis pelaksanaan bimbingan dan konseling
untuk di dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan gambar keterhubungan ketiga komponen
tersebut di bawah ini:

Wilayan Manajemen
Manajemen & Supervisi
& Kepemimpinan Tujuan:
Perkembangan
Wilayah Pembe Pembelajaran Bidang Optimal
lajaran yang men Studi Setiap
didik Peserta
Wilayah Bimbing
Didik
an & Konseling Bimbingan &
yang Memandirikan
Konseling

Gambar 2.1:
Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal dan
Nonformal (Depdiknas, 2008)

C. Layanan Bimbingan dan Konseling


Layanan bimbingan dan konseling baik itu di pendidikan formal maupun
dipendidikan nonformal mempunyai landasan hukum yang kuat. Dalam undang-undang
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masayarakat, bangsa dan Negara.
Dalam pengertian pendidikan ini, bimbingan dan konseling merupakan salah satu kegiatan
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional di atas, tanpa adanya bimbingan dan konseling
mustahil akan tercapai tujuan pendidikan nasional dengan berbagai pendekatannya.
Sejalan dengan tujuan dari kajian penelitian ini untuk memperoleh gambaran tentang
implementasi layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP dan memberikan
suatu model penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP
dengan menggunakan pengembangan instrument Program Audit dari ASCA National
Model School Counseling Programs, berikut ini disajikan kajian tentang: tujuan layanan
bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP, komponen-komponen program
bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP berdasarkan ASCA National Model for
School Counseling Program, peningkatan kualitas layanan dan sistem manajemen
bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP, batasan model bimbingan dan konseling
perkembangan di Paket B setara SMP.

1. Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling


Tujuan layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP terkait dengan
tujuan pendidikan kesetaraan (paket B setara SMP), oleh karena itu secara umum tujuan
layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP adalah mengembangkan dasar-
dasar pembentukan warga negara yang beriman, dan bertaqwa, berkarakter dan
bermartabat, meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung, sebagai alat
untuk memahami mata pelajaran lainnya, meningkatkan pengalaman belajar yang mandiri,
kreatif, dan produktif.
memberikan kecakapan hidup untuk bekerja dan berusaha mandiri,
memberikan bekal pengetahuan, kemampuan, dan sikap dasar yang memungkinkan peserta
didik mengikuti pendidikan lanjutan di SMA/SMK/MA atau paket C.
Sedangkan tujuan secara khusus layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara
SMP adalah membantu peserta didik/warga belajar untuk mencapai tujuan
perkembangannya, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir sebagai landasan
untuk mencapai tujuan bimbingan dan konseling secara umum.
Untuk dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan tersebut, maka peserta
didik/warga belajar perlu menguasai serangkaian tugas-tugas berkaitan dengan
perkembangannya atau yang lazim disebut tugas-tugas perkembangan. Pencapaian atau
penguasaan tugas-tugas perkembangan tidak selalu berhasil, karena terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhinya. Faktor tersebut bisa datang dari diri sendiri dan bisa
datang dari luar atau lingkungan. Apa yang dimaksud dengan tugas-tugas perkembangan,
bagaimana wujud tugas-tugas perkembangan peserta didik Paket B setara SMP,
lingkungan dan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi penguasaan tugas-tugas
perkembangan tersebut diuraikan di bawah ini:
a. Konsep Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan menurut Robert J. Havighurs (1953: 2) adalah sebagian tugas
yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan individu, yang merupakan
keberhasilan yang dapat memberikan kebahagiaan serta memberi jalan bagi tugas-tugas
berikutnya.
Dengan demikian, topik tentang perkembangan merupakan suatu kajian tentang
perkembangan individu. Istilah perkembangan mengandung pengertian serangkaian
perubahan progresif yang terjadi akibat dari suatu proses kematangan dan pengalaman.
Oleh karena itu, penguasaan tugas-tugas perkembangan dapat dikatakan suatu proses.
Secara kronologis peserta didik Paket B setara SMP usia sekolah pada umumnya
berusia antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun, mereka dikategorikan termasuk ke dalam
fase remaja awal atau pubertas, yang merupakan bagian dari masa adolesensi. Seifert &
Hoffnung (1987: 591) mengemukakan pendapatnya tentang pengertian adolesensi, yakni
sebagai berikut:
‘Adolescence is defined as the stage of development that leads a person from
childhood to adulthood. Marked by the major physical changes of puberty and
important cognitive and social changes, it is generally considered to begin around
age twelve and to end with the completion of physical growth, sometime around age
twenty’.
Pendapat di atas dinyatakan bahwa adolesensi itu merupakan tahapan perkembangan
antara masa anak-anak dan masa dewasa, tahapan perkembangan itu mulai dari dua belas
tahun sampai dengan dua puluh tahun yang ditandai pada perubahan-perubahan fisik,
kognitif, dan sosial.
Dengan demikian jelas bahwa pubertas merupakan bagian dari adolesensi dan
menitik beratkan kepada kemasakan seksual anak, sedangkan adolesensi meliputi semua
perubahan fisik maupun psikis yang menuju ke arah kedewasaan. Pubertas meliputi
sebagian dari masa anak-anak dan sebagian dari masa adolesensi. Masa pubertas
berlangsung kurang lebih pada usia 11-15 tahun untuk wanita, dan 12-16 tahun untuk laki-
laki. (Siti Rahayu Haditono, 1982: 24).
Pada masa inilah, anak mulai merasakan berbagai perubahan dalam dirinya baik
aspek fisik, sosial, mental, dan intelektual. Selanjutnya, dalam hal-hal tersebut terdapat
sejumlah tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh anak dalam hidup dan
kehidupannya yang mencakup aspek pribadi-sosial, pendidikan, dan karir.
Tugas perkembangan tersebut sebagai berikut:
1) Memperoleh hubungan-hubungan baru dan lebih matang dengan yang sebaya dari
kedua jenis kelamin
2) Memperoleh peranan sosial dengan jenis kelamin individu.
3) Menerima fisik dari dan menggunakan badan secara efektif
4) Memperoleh kebebasan diri melepaskan ketergantungan diri dari orang tua dan orang
dewasa lainya..
5) Melakukan pemilihan dan persiapan untuk jabatan
6) Memperolah kebebasan ekonomi
7) Persiapan perkawinan dn kehidupan berkeluarga
8) Mengembangkan keterampian intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai
warga negara yang baik
9) Memupuk dan memperolah perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
10) Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman berperilaku.
(Havighurst, 1953: 111-158; http://duniapsikologi.dagdigdug.com )
Dengan mendasarkan kepada tugas-tugas perkembangan yang diuraikan tersebut
serta hasil kajian terhadap tugas-tugas perkembangan peserta didik setara SMP dilapangan,
penulis merumuskan tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai oleh peserta didik
setara SMP meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai peserta didik setara SMP,
selayaknya dikuasai dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian, ada kemungkinan tugas-
tugas perkembangan tersebut tidak terkuasai oleh peserta didik yang dikarenakan oleh
berbagai faktor yang mempengaruhinya.

b. Lingkungan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tugas Perkembangan


Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan sejumlah faktor yang menghalangi
dan yang membantu penguasaan tugas-tugas perkembangan, yaitu:
6) Yang menghalangi, meliputi: tingkat perkembangan yang mundur, tidak adanya
kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan atau tidak ada bimbingan
untuk dapat menguasainya, dan tidak ada motivasi. Di samping itu, faktor-faktor yang
menghalangi adalah kesehatan yang buruk, cacat tubuh, dan kecerdasan yang rendah.
7) Yang membantu, meliputi: tingkat perkembangan yang normal, kesempatan untuk
mempelajari tugas-tugas dalam perkembangan dan bimbingan untuk menguasainya. Di
samping itu, faktor-faktor yang membantu adalah motivasi, kesehatan yang baik dan
tidak ada cacat tubuh, tingkat kecerdasan yang tinggi, dan kreativitas.
Jika diperhatikan, faktor-faktor yang dapat menghalangi dan membantu penguasaan
tugas-tugas perkembangan, ada yang berasal dari dalam diri individu sendiri dan ada yang
berasal dari luar diri individu yang bersangkutan atau lingkungannya.
Mengenai makna lingkungan, Urie Bronfenbrenner & Ann Crouter (dalam Soeharto,
1998: 40), mengemukakan bahwa: ‘…environment is any event or condition outside the
organism that presumed to influence, or be influenced by the person’s development’.
Menurut batasan ini, lingkungan perkembangan peserta didik itu pada dasarnya merupakan
peristiwa atau kondisi di luar individu peserta didik baik yang sifatnya fisik maupun sosial
yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangannya.
Dalam pendekatan ekologisnya, Bronfenbrenner menekankan bahwa perkembangan
itu tergantung kepada transaksi timbal balik (reciprocal) yang terus menerus antara
individu yang selalu berkembang dengan serangkaian sistem lingkungan yang selalu
berubah-ubah. Sedangkan sistem lingkungan yang dimaksud meliputi: microsystem,
mesosystem, exosystem, dan macrosystem.
Microsystem adalah system lingkungan yang paling dekat dengan fungsi-fungsi
pribadi (dyadic relationship), dan yang paling primer adalah keluarga yang terdiri dari ibu,
ayah, dan anak. Mesosystem pada dasarnya merupakan interrelasi microsystem-
microsystem tersebut, yang berupa: day care, school, peer group, dan lain-lain. Exosystem
adalah latar sosial yang tidak individu alami secara langsung tetapi masih mempengaruhi
perkembangannya, seperti: tempat kerja orang tua, jaringan kerja social, dan pemerintah
daerah. Sedangkan macrosystem adalah konteks budaya dan sub-bidaya yang lebih luas di
mana microsystem, mesosystem, dan exosystem saling melekat (embedded), seperti:
peristiwa sejarah, dan budaya yang lebih luas.
Dalam hal yang sama, Moris (1969) yang dikutipoleh Krasner & Ullman (1973:
331) menjelaskan bahwa lingkungan itu merupakan:
‘…the total of circumstances surrounding an organism or group of organism,
specifically: (a) the combination of external or extrinsic physical conditions that
affect and influence the growth and development of organism; (b) the complex of
social and cultural conditions effecting the nature of an individual or community.’
Dengan demikian, menurut pendapat tersebut bahwa lingkungan merupakan semua
keadaan di sekitar individu atau kelompok individu, suatu kombinasi kondisi di luar
individu termasuk kondisi sosial budaya yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan individu dan masyarakatnya.
Menurut setting-nya, ragam lingkungan perkembangan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dan yang dikaji dalam penelitian ini adalah
lingkungan keluarga, sekolah/luar sekolah, dan masyarakat.
a) Lingkungan Keluarga
Pengertian keluarga dapat dijelaskan melalui arti yang luas dan arti yang sempit.
Dalam arti yang luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah dan/atau
keturunan; sedangkan dalam arti yang sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak
atau anak-anaknya (Brown, 1961: 216)
Secara teoritis keluarga mengkonseptualisasikan keluarga, apakah keluarga inti
(nuclear) atau keluarga luas (extended) sebagai sistem sosial yang melekat di dalam sistem
sosial yang lebih besar. (Sigelman & Shaffer, 1995: 390). Sebagai sistem sosial, keluarga
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
(Blocher, 1974: 229).
Beberapa aspek keluarga yang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik diuraikan di bawah ini:
(1) Keutuhan Keluarga
Kualitas interaksi antara ayah dan ibu (suami dan isteri), antara orang tua dengan
anak, dan antara anak dengan anak yang kesemuanya itu sebagai cerminan keutuhan
keluarga, merupakan indikator penting dari pada kualitas lingkungan rumah atau keluarga.
Dalam hubungan ini, Elkin & Weiner (1978: 163) mengemukakan: ‘…the quality of home
environment depende upon the kind of interaction that take place between children and
parents, and good parental practices can be found among parents of all socio ecomomic
levels and all ethnic group’. (Elkin & Weiner, 1978: 163)
Keutuhan keluarga meliputi kuutuhan dalam struktur dan interaksi keluarga.
Keutuhan dalam struktur keluarga menunjuk kepada ada tidaknya dalam keluarga itu ayah
atau ibu atau anak-anak. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau keduanya tidak ada,
maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi. Juga apabila ayahnya atau ibunya jarang
pulang ke rumahnya dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya karena tugas atau hal lain,
dan hal itu terjadi secara berulang-ulang, maka struktur keluarga itupun sebenarnya tidak
utuh lagi. Pada akhirnya apabila orang tuanya hidup bercerai, keluarga itu juga tidak utuh
lagi.
Sedangkan keutuhan dalam interaksi keluarga menunjuk kepada wajar atau
harmonis tidaknya interaksi sosial yang berlangsung di dalam keluarga tersebut. Apabila
orang tuanya sering cekcok dan menyatakan sikap saling permusuhan dengan disertai
tindakan-tindakan agresif, keluarga itu tidak lagi disebut utuh. Kehidupan keluarga utuh itu
rukun, stabil, tidak terputus, dan hampir tidak adanya konflik pada diri orang tua
(Gerungan, 1978; Sinolungan, 1979).
Keutuhan keluarga yang digambarkan tersebut berpengaruh besar terhadap
perkembangan pribadi anak. Karena demikian besarnya pengaruh tersebut, kadang-kadang
suasana hubungan orang tua tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan pendidikan
yang secara sengaja diberikan kepada anak. Dalam hubunga ini Zakiah Darajat (Duwal,
dalam Hurlock, 1974: 356).
Sedangkan yang berkaitan dengan kekompakan ayah-ibu, dikemukakan bahwa anak
tidak akan mendapatkan kasih sayang, penerimaan, dan kestabilan yang diharapkan,
kecuali dengan kekompakan yang mendasar dari kedua ibu-bapaknya. Adanya
kekompakan orang tua adalah keharusan yang sangat penting bagi anak (Musthafa Fahmi,
1977: 72-73).
(2) Perhatian Orang Tua
Perkembangan yang baik dari pada kepribadian anak, memerlukan perhatian dan
kasih saying dari orang tuanya. Ini berarti bahwa kehadiran orang tua di tengah-tengah
anaknya sangat diperlukan. Orang tua yang jarang berkumpul dan bertemu muka dengan
anak-anak di rumah dibandingkan dengan mereka yang sering berada di tengah-tengah
anaknya, tidak sama akibatnya terhadap perkembangan anak-anaknya.
Disadari bahwa perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, tidak hanya
dapat dirasakan pada saat mereka saling bertemu secara fisik. Perhatian dan kasih sayang
orang tua dapat dirasakan oleh anak meskipun tidak dari pertemuan secara fisik. Namun,
kehadiran orang tua secara fisik maupun psikologis lebih besar artinya bagi anak, terlebih-
lebih bagi mereka yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.

2) Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah dengan semuah komponennya merupakan mesosystem
(Bronfenbrenner, 1989), yang juga sebagai sistem sosial dan sekaligus merupakan
lingkungan perkembangan siswa (Blocher, 1974: 236). Sebagai lingkungan perkembangan,
selayaknya sekolah merupakan faktor di luar anak yang memfasilitasi secara positif
pertumbuhan dan perkembangan siswa. Karakter sentral dari pada sekolah adalah
memahami proses perkembangan manusia dan bertanggungjawab dalam mengorganisir
dan mempolakan semua pengalaman dan aktivitas sekolah, dengan cara-cara yang
memungkinkan dapat memfasilitasi proses perkembangan itu (Blocher, 1974: 242)
Lingkungan sekolah dengan semua komponennya akan mempengaruhi
perkembangan dan bahkan kepribadian siswa-siswanya/peserta didiknya. Alasan sekolah
dan guru (tutor) mempengaruhi perkembangan kepribadian siswanya, adalah karena semua
anak-anak harus memperhatikan sekolah tanpa menghiraukan pilihan atau preferensinya,
anak-anak menghabiskan atau menggunakan banyak waktu di sekolah dari pada di tempat
lain kecuali di rumah. Di samping itu, alasan lainnya adalah lembaga pendidikan (sekolah
dan luar sekolah) itu memberi kesempatan kepada siswa pada kesempatan pertamanya
untuk menilai kekuatan dan kelemahannya secara realistik (Hurlock, 1974: 349).
3) Lingkungan Masyarakat
Latar lingkungan lain selain keluarga dan sekolah adalah lingkungan masyarakat,
yaitu faktor-faktor yang ada di sekitar tempat anak dan keluarganya berdomisili; yang
disebut juga sebagai exosystem dan macrosystem (Bronfenbrenner, 1974: 86-88)
Latar sosial seperti tempat kerja orang tua, sistem pemerintahan daerah, suasana
kehidupan keagamaan masyarakat, yang merupakan exosystem, peristiwa sejarah, dan
budaya masyarakat, yang merupakan macrosystem dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.

2. Komponen-komponen program bimbingan dan konseling


Program bimbingan konseling terdiri atas empat komponen pelayanan, yaitu: (1)
pelayanan dasar bimbingan; (2) pelayanan responsif, (3) perencanaan indiviual, dan (4)
dukungan sistem. Keempat komponen program tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut. (ABKIN, 2008; Juntika, 2002; Bimo Walgito, 2010). Keempat komponen layanan
program tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Palayanan Dasar BK

Peserta Didik
Palayanan
Komponen Responsif BK
Program BK
Komprahenshif
Palayanan
Perencanaan
Individual BK Pengembangan Profesional,
konsultasi, kolaburasi, dan
Dukungan Sistem kegiatan manajemen

Gambar 6.1: Kompoen Program BK di Paket B setara SMP


Di samping empat komponen program tersebut, dalam Pola Komprehensif ini
dikemukakan 16 strategi layanan bimbingan konseling (orientasi, informasi, bimbingan
kelompok, konseling individual, konseling kelompok, referal, konseling sebaya,
konsultasi, penempatan & penyaluran, kunjungan rumah, konferensi kasus, kolaborasi,
akses TIK, sistem manajemen, akuntabilitas, dan pengembangan profesi). Secara utuh
keseluruhan proses kerja bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal dapat
digambarkan pada gambar berikut ini:

Asesmen Harapan & Komponen Strategi


Lingkunga Kondisi Program Pelayanan
n Ling

 Perangkat  Pelayanan Dasar BK Pelayanan Orientasi


Pelayanan Informasi
Tugas (untuk seluruh
Konseling Individual
Perkembangan peserta didik dan Konseling Kelompok
(kompetensi/k orientasi jangka Bimbingan Kelompok
ecakapan panjang) Bimbingan Klasikal
hidup, nilai dan Referal
moral peserta  Pelayanan Bimbingan Teman sebaya
didik). Responsif Pengembangan Media
Instrumen/Pengumpulan
(Pemecahan
Data
 TataranTujuan masalah, remidasi) Assesmen Individual atau
BK kelompok
(Penyadaran Penempatan dan Penyaluran
Akomodasi,  Pelayanan Kunjungan Rumah
Tindakan) Perencanaan Konferensi Kasus
Individual Kolaburasi dengan guru
Kolaburasi dengan orangtua
 Permasalahan (Perencanaan Kolaburasi dengan ahli lain
yang perlu Pendidikan, Karir, Konsultasi
dientaskan/dis Personal, Sosial) Akses informasi dan teknologi
elesaikan Sistem Manajemen Program
 Dukungan Sistem Evaluasi, akuntabilitas
(aspek manajemen Pengembangan profesi
Riset dan pengembangan
dan pengempangan

Asesmen Harapan
Perkemba dan
ngan Kondisi
Konseli Konseli

Gambar 6.2: Kerangka Kerja Utuh BK


(ABKIN, 2008 : 219)
Gambar kerangka kerja utuh bimbingan dan konseling menunjukkan bahwa seluruh
pelayanan bimbingan dan konseling yang selama ini dilaksanakan di Sekolah/Madrasah
bisa dipayungi oleh dan terakomodasi ke dalam kerangka kerja tersebut. Berdasarkan
kerangka kerja utuh dimaksud pelayanan bimbingan dan konseling harus dikelola dengan
baik sehingga berjalan secara efektif dan produktif. Fungsi manajemen yang penting
dijalankan dalam pelayanan bimbingan dan konseling meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, analisis dan tindak lanjut.
Untuk memotret komponen-komponen program bimbingan dan konseling yang telah
di tuangkan dalam program kerja serta dilaksanakan oleh penyelenggara perlu sebuah
instrument yang handal dan teruji. Oleh karena itu, The National Model for School
Counseling Program telah memberikan suatu instrument melalui Program Audit. Program
audit ini adalah suatu alat yang membantu konselor sekolah dalam memecahkan dan
menganalisis dari setiap komponen program bimbingan dan konseling. Komponen
Program Audit dapat diperhatikan gambar di bawah ini:

ResultReports
S
choolCounselorPerformanceEvaluation
TheP rogram Audit

MANAGEMENTSYSTEM DELIVERYSYSTEM
Agreem ents SchoolG uidanceCurriculum
AdvisoryCouncil IndividualStudentPlanning
UseofData ResponsiveS ervice
ActionP lans System Support
Calendars

BeliefsandP hilosophy
M issionS tatem ent
Dom
ain(Academ ic,Career,P ersonal/S
ocial)
Com petencies(AS CANational
S tandards)

Gambar: Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif


(Sumber : The National Model for School Counseling Programs
Judy L. Bowers and Patricia A. Heatch. ASCA: 2002 : 18)

Setelah melakukan program audit terhadap penyelenggaraan bimbingan dan


konseling kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui tingkat keberadaan kekuatan
utama dari program, komponen program yang membutuhkan penguatan, tujuan jangka
pendek yang perlu diperbaiki, dan tujuan jangka panjang dari program layanan bimbingan
dan konseling.
Dalam instrument program audit terdiri dari empat indikator, dan setiap indikator
terbagi menjadi beberapa sub indikator, dan selanjutnya dari setiap sub indikator inilah
yang dijadikan pernyataan dalam instrument. Pilihan jawaban dalam instrument program
audit terdiri dari empat pilihan, yaitu yang pertama tidak ada dalam program, yang kedua
program masih dalam proses, yang ketiga program sudah ada tetapi tidak dilaksanakan,
dan yang keempat program ada dan dilaksanakan secara penuh.
Dari hasil temuan-temuan penelitian tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai
pengkajian tingkat implementasi yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah model
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dengan harapan pelaksanaan layanan
bimbingan dan konseling akan lebih efisen dan efektif yang pada gilirannya sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan di program paket B setara SMP. Sebelum pelaksanaan
model, dikaji dalam bentuk forum diskusi kelompok bersama pakar bimbingan dan
konseling, pendidikan luar sekolah, pengembang pendidikan luar sekolah, praktisi
pendidikan luar sekolah, penyelenggara pendidikan luar sekolah, tutor, dan masyarakat
(LSM).

D. Peningkatan kualitas layanan bimbingan dan konseling


Ada beberapa macam dan pendapat dari para ahli mengenai definisi kualitas, antara
lain: (1) Yadi Setyawan (2007) menyatakan bahwa kualitas adalah suatu terminologi yang
bersifat subjektif, masing-masing orang memiliki definisinya sendiri. Sedangkan secara
teknis, kualitas dinyatakan. Pengertian kualitas secara teknis adalah karakteristik suatu
produk atau pelayanan yang lahir dari kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang
dinyatakan baik secara ekplisit atau tersamar, dan suatu produk atau jasa yang bebas dari
kekurangan.
Crosby (dalam http://www.pdfqueen.com) mengatakan bahwa kualitas adalah
kesesuaian terhadap persyaratan, seperti jam tahan air, sepatu tahan lama, atau dokter yang
ahli dibidangnya. Ia juga mengemukakan pentingnya melibatkan setiap orang pada proses
dalam organisasi. Pendekatan Crosby merupakan pendekatan top down.
Sedangkan Deming mengatakan bahwa kualitas (dalam http://www.pdfqueen.com)
adalah pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terus-menerus. Pendekatan
Deming merupakan pendekatan secara bottom up. Selanjutnya Juran mengatakan bahwa
kualitas adalah kesesuaian dengan penggunaan. Pendekatan Juran adalah orientasi pada
pemenuhan harapan pelanggan. Berdasarkan pengertian dasar tentang kualitas di atas,
tampak bahwa kualitas selalu berfokus pada pelanggan (customer fokused quality). Dengan
demikian, produk-produk didesain, diproduksi, dan pelayanan diberikan untuk memenuhi
keinginan pelanggan. Jadi, suatu produk yang dihasilkan dapat dikatakan berkualitas
apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, dan
diproduksi dengan cara yang baik.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas adalah
kesesuaian antara proses dan hasil dari sesuatu yang diinginkan dengan harapan atau
kebutuhan konsumen. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kualitas layanan
bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP adalah seberapa juah sifat-sifat dan segi-
segi proses dan hasil layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP memuaskan
kebutuhan dan harapan peserta didik/warga belajar.
Kualitas layanan bimbingan dan koseling tidak hanya tercermin di dalam hasil-hasil
yang dicapai setelah peserta didik memperoleh layanan bimbingan dan konseling saja, dan
juga tidak hanya tercermin di dalam proses pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling
itu, melainkan tercermin baik dalam proses dan hasil. Dengan demikian, pengukuran
terhadap kualitas layanan bimbingan dan konseling selayaknya mencakup pengukuran
terhadap proses dan hasilnya.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kualitas layanan
bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP, apalagi dengan keberadaan peserta didik
di Paket B setara SMP yang memiliki banyak masalah. Zaenal Abidin Achmadi (1995: 5)
ada beberapa yang menjadi persoalan dalam peningkatan kualitas layanan bimbingan dan
konseling, diantaranya adalah apresiasi siswa dan guru terhadap pekerjaan bimbingan dan
konseling, tidak seimbangnya jumlah guru bimbingan dan siswa, kurangnya keterampilan,
inovasi, dan komitmen bimbingan dalam menjalankan tugasnya, adalah sebagian dari
persoalan yang dihadapi dewasa ini.
Dari pandangan ini dapat diperoleh gambaran bahwa dalam peningkatan kualitas
layanan dan sistem manajemen bimbingan dan konseling, selayaknya dibarengi dengan
pemberdayaan guru pembimbing dan penyelenggara program Paket B setara SMP
disamping upaya-upaya lain. Untuk meningkatkan layanan bimbingan dan konseling tidak
hanya cukup dengan pemberdayaan komponen-komponen paket B setara SMP saja, perlu
didukung oleh sumber daya masyarakat atau orang tua peserta didik. Hal ini sejalan
dengan pandangan bahwa keberhasilan pendidikan bukan hanya tanggung jawab
penyelenggara pendidikan, tetapi tanggung jawab semua, antara pemerintah, guru, dan
masyarakat.
Dengan mengacu kepada pandangan dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas layanan bimbingan dan konseling tersebut., dapat ditarik kesimpulan upaya-upaya
yang dapat mengarah kepada peningkatan kualitas layanan bimbingan dan konseling di
tigkat SLTP. Upaya-upaya tersebut adalah:
1. Mengembangkan dan melaksanakan program layanan bimbingan dan konseling yang
sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan nyata siswa.
2. Menambah jumlah guru pembimbing sehingga sebanding dengan jumlah siswa
3. Meningkatkan professionalisme guru pembimbing
4. Menyediakan sarana dan prasarana bimbingan dan konseling yang lebih memadai.
5. Meningkatkan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat atau orang tua peserta
didik, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling.
6. Menumbuhkan apresiasi yang positif terhadap pekerjaan bimbingan pada diri peserta
didik dan guru/tutor
7. Menata lebih baik sistem manajemen bimbingan dan konseling.

E. Batasan Model Bimbingan dan Konseling


Istilah model banyak digunakan oleh para ahli, namun sering mengandung makna
yang berbeda-beda, karena sudut pandangnya memang berbeda-beda. Dengan maksud
memperoleh rumusan yang lebih jelas tentang pengertian model untuk diterapkan di
bidang layanan bimbingan dan konseling di Paket B setara SMP, berikut ini akan
dikemukakan beberapa pendapat tentang konsep-konsep model dari bidang bimbingan dan
konseling.
Sherzer & Stone (1982; 6) mengemukakan pendapatnya bahwa: “….model refers to
the representation from which a final product is abstracted because of its inherent wort”.
Menurut konsep ini model adalah menunjuk kepada gambaran hasil akhir yang
diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya.
Burks & Stefflre (1979: 1-2) mengemukakan bahwa: “…currently, it seems
fashionable to think of theories as models. A theory, then, may be call a conceptual
models”. Sedangkan Bruce Joyce & Marsha Weil (1980: 1), dalam konteks pembelajaran,
mengemukakan bahwa: “…a model a teaching as a plan or pattern that can be used to
shape curriculum (long-term course of studies), to design instructional materials and to
guide instruction in the classroom and other settings”. Dengan demikian, kedua konsep ini
model adalah sebuah pemikiran yang modern yang teratur dan terancana atau suatu pola
kegiatan.
Dengan mengacu pendapat-pendapat tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa model itu
adalah suatu rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk,
merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu. Di dalam model bimbingan dan
konseling. Lazimnya terkandung komponen-komponen tertentu yang merupakan isi model
tersebut. Namun, komponen-komponen model bimbingan dan konseling sangat bervariasi
antara para pendapat ahli.
Shertzer dan Stone (1981: 62) mengemukakan menggunakan komponen-komponen
model bimbingan historical context, rational and/or basic assumption, advantages and
disadvantages, outcomes and/or implication. Sedangkan Gerald Corey (1979: 10-165)
menggunakan komponen-komponen introduction, key concepts, the therapeutic process,
application: therapeutic techniques and procedures.
Komponen-komponen model bimbingan dan konseling berbeda yang diungkapkan
Shertzer & Stone, dan Corey, Petterson (1966: 16 – 482) yaitu background and
development, philosophy and concepts, the counseling process, implementation and
techniques. Sedangkan Williamsons & Biggs, dalam Burk & Stefflre (1979: 91-131)
menjelaskan komponen-komponen model bimbingan dan konseling antara lain:
introduction, major concepts, development of the individual, goals of counseling, process
and techniques.
Dengan mengacu kepada konsep dasar bimbingan dan konseling di Paket B setara
SMP dalam penelitian ini adalah suatu rencana atau pola kegiatan bimbingan dan
konseling di Paket B setara SMP dengan pendekatan perkembangan komprehensif.
Rencana atau pola kegiatan tersebut dijabarkan ke dalam komponen-komponen layanan
bimbingan dan konseling yang komprahensif, yaitu bidang akademik atau belajar, pribadi,
sosial dan karir.
Bentuk kegiatannya tertuang dalam sebuah program kerja layanan bimbingan dan
konseling yang dibuat oleh petugas yang diberikan wewenang oleh penyelenggara atau
pimpinan suatu lembaga.

F. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling bagi Peserta Didik


Blocher dan Biggs dalam bukunya tentang Counseling Psychology in Community
Settings memberikan gambaran tentang teori dan intervensi yang utama dalam konseling
psikoterapi. Selanjutnya Blocher dan Biggs memberikan dua strategis klinis secara umum
untuk semua situasi termasuk dalam seting masyarakat, yaitu strategi pertama adalah
memberikan perbaikan dengan pengalaman hidup baru, artinya klien/peserta didik harus
dapat merubah kehidupan tanpa melihat asal usul masalah mereka. Strategi kedua adalah
dengan pendekatan umpan balik langsung kepada klien sehingga dapat membantu klien
menyadari apa yang telah ia kerjakan atau yang belum ia kerjakan, apa yang telah dipirkan
dan apa yang belum dipirkan, dan apa yang ia telah rasakan dan yang ia belum rasakan
dalam berbagai situasi. (1983:49).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, jelas sekali bahwa penyelenggara layanan
bimbingan dan konseling bagi peserta didik program paket B setara SMP dapat dilakukan
dengan teknik di atas, karena secara umum peserta didik pengalaman yang baru mereka
rasakan merupakan hal yang baru dan berbeda dengan yang lainnya (peserta didik di
formal) apalagi melalui teknik pendekatan umpan balik dalam memberikan layanan
bimbingan dan konseling akan lebih mengena terhadap apa yang harus diperbuat untuk
masa akan datang.
Untuk mencapai layanan bimbingan dan konseling seting masyarakat, selanjutnya
Blocher dan Biggs menyampaikan teknik intervensi klinis individu dalam terapi
tingkahlaku didasarkan pada pengkondisian klasik. Menurut pandangan behaviors terdapat
dua cara, yaitu operan model atau model instrumenal dan classical conditioning atau
pengkondisian klasikal.
Ada tiga fase dalam melaksanakan teknik operan model, yaitu (1) memberikan
rangsangan yang netral, (2) memberikan kondisi pembelajaran, dan (3) mengkondisikan
apa yang akan dihasilkan. Dalam model ini rangsangan yang tidak menyenangkan
tergantung pada perilaku klien. Penguatan negatif akan melibatkan menghapuskan
rangsangan tidak menyenangkan perilaku.
Sedangkan untuk teknik classical conditionig atau pengkondisian responden,
dimana responden dimodifikasi oleh situasi rangsangan sebelumnya. Dalam teknik ada tiga
fase untuk melaksanakannya, yaitu (1) respon yang tidak terkondisikan, (2) memberikan
kondisi pembelajaran, dan (3) kondisi yang dihasilkan. Selanjutnya Kanfer dan Phillips
(1970, dalam Blocher dan Biggs) menyampaikan bahwa paradigma pembelajarannya yang
digunakan dalam terapi tingkah laku didasarkan pada pembelajaran sosial melalui
obeservasi, imitasi dan pemodelan. Ada lima kelas dalam pembelajaran observasi, yaitu:
a. Ketergantungan dengan kecocokan belajar. Subjek mengikuti pemimpin sebagai contoh
dengan memberikan hadiah untuk kesuksesan.
b. Mengidentifikasi, subjek akan memperoleh model gaya belajar dari hasil penglihatan
dan pemberian hadiah untuk meniru gaya.
c. Tidak ada pengadilan pembelajaran, subjek diberikan kesempatan untuk melakukan
tugas.
d. Belajar bersama, subjek dan pengamat melakukan tugas bersama untuk belajar.
e. Penggantian pengkondisian, subjek menjadi saksi administrasi yang terkondisikan.
Dua strategi dan teknik intervensi inilah yang akan dijadikan bahan pembekalan atau
pelatihan bagi para penyelenggara atau tutor pendidikan kesetaraan (Paket B setara SMP)
sebagai dasar wawasan layanan bimbingan dan konseling serta ditambah dengan keilmuan
tentang bimbingan dan konseling seperti konsep dasar bimbingan dan konseling yang
didalamnya terdiri dari prinsip, asas, dan tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Selanjutnya dalam buku Counseling Psychology in Commnunity Settings diuraikan
juga tentang teori katarsis dan intserpensinya dari berbagai aliran atau tokoh psikoanilis.
Sigmund Freud sebagai tokoh utama psikoanalisis ini dilahirkan tahun 1856 di Moravia
dan meninggal di London pada tahun 1939. Dalam psikoanalisis ini berhubungan dengan
konflik manusia antara diri dan masyarakat. Model Psikoanalisis tradisional konsisten
terhadap kepribadian dengan tiga system, yaitu id, ego, dan superego. Hampir semua
perilaku merupakan hasil produk dari id, ego, dan superego. Id adalah satu-satunya
komponen kpribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sepenuhnya
sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, Id adalah sumber
segala energi psikis, sehingga komponen uatama dari kepribadian. Id didorong oleh prinsip
kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, dan kebutuhan.
Jika kebutuhan ini tidak puas, langsung hasilnya adalah kecemasan atau ketagangan.
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggungjawab untuk menangani
dengan realitas, menurut Freud, ego berkembang dari Id dan memastikan bahwa dorongan
dari Id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik
dipikiran sadar, prasadar dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prisnsip realitas, yang
berusaha untuk memuaskan Id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai.
Prinsip realitas beratnya dan manfaatnya dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk
bertindak atas atau meninggalkan implus. Dalam banyak kasus, implus id itu dapat
dipenuhi malalui proses menunda kepuasan ego pada akhirnya akan memungkinkan
perilaku, tatapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat. Ego juga pelepasan ketegangan
yang diciptakan oleh implus yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, dimana ego
mencoba menemukan objek nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan
oleh proses primer Id’s.
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. Superego
adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita
yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat, superego memberikan pedoman
untuk membuat penilaian.
Kemudian terapi Gestalt dikembangkan oleh Frederick Perls adalah bentuk terapi
eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu harus menemukan jalan hidupnya
sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi, jika mereka berharap mencapai
kematangan. Asumsi dasar terapi Gestalt adalah bahwa individu mampu menangani sendiri
masalah-masalah hidupnya secara efektif. Tugas utama terapis adalah membantu klien agar
mengalami sepenuhnya keberadaanya di sini dan sekarang dengan menyadarkannya atas
tindakannya mencegah diri sendiri merasakan dan mengalami masa sekarang.
Pandangan Gestalt adalah bahwa individu memilki kesanggupan memikul tanggung
jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu. Disebabkan oleh
masalah-masalah tertentu dalam perkembangannya, individu membentuk berbagai cara
menghindari masalah, dan karenanya menemui jalan buntu dalam pertumbuhan pribadinya.
Terapi menyajikan intervensi dan tantangan yang diperlukan, yang bisa membantu
individu memperoleh pengetahuan dan kesadaran sambil melangkah menuju pertumbuhan.
Dengan mengakui dan mengalami penghambat-penghambat pertumbuhannya, maka
kesadaran individu akan penghambat-penghambat itu akan meningkat sehingga dia
kemudian bisa mengumpulkan kekuatan guna mendapatkan keberadaan yang lebih otentik
dan vital.
Terapi Gestalt memiliki beberapa sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya
adalah menantang klien agar berpindah dari "didukung oleh lingkungan" kepada
"didukung oleh diri sendiri". Menurut Perls (1969), sasaran terapi adalah menjadikan
pasien tidak tergantung pada orang lain, menjadikan pasien menemukan sejak awal bahwa
dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada apa yang dipikirkannya.
Terapi Gestalt, seperti telah kita lihat di atas, melibatkan latihan untuk
mengembangkan kesadaran. Contoh latihan tersebut adalah:
(1) menyadari perasaan ini, penginderaan kekuatan yang berlawanan, konsentrasi, dan
membedakan dan menyatukan;
(2) mengembangkan kesadaran, penajaman indra tubuh, dan mendengarkan secara verbal;
(3) mengarahkan kesadaran dengan mengubah pertemuan ke dalam kontak dan
mengubah kecemasan menjadi kegembiraan. Latihan yang lebih khusus meliputi:
a. Dialog Permainan.
b. Mengambil pertanggungjawaban
c. Bermain proyeksi
d. Umpan balik/ pembalikan
e. Latihan untuk berperan sosial
f. Konseling pernikahan
g. Pengumpanan kalimat kepada klien.
Selanjutnya intervensi pandangan terapi realiti yang tokoh utama dari terapi realiti
adalah William Glassers, ia seorang psikiater yang berpikir bahwa terapi dan
bimbingan berbeda dalam intensitasnya. Terapi realiti mengajarkan klien cara untuk
memenuhi dua kebutuhan dasar psikologis, yaitu : (1) kebutuhan untuk mencintai
dan untuk dicintai dan (2) kebutuhan untuk merasa berharga atau
mempertahankan standar perilaku yang memuaskan.
Terapi realiti penekanan terpentingnya pada tingkah laku sosial untuk mencapai
kesehatan mental yang baik. Tujuan terapi realiti membantu klien menjadi bertanggung
jawab. Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sedemikian rupa
sehingga orang lain tidak kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Terapi realiti melibatkan tiga langkah, yaitu (1) keterlibatan pribadi; (2)
mengembalikan perilaku dari yang tidak realistis, dan (3) belajar bertanggungjawab
perilaku. Ada delapan prinsip dasar dalam mengikuti terapi realistis, yaitu:
a. Peduli (caring)
b. Perasaan (feeling)
c. Kekinian (currently)
d. Tanggungjawab (responsibility)
e. Perencanaan (Planning)
f. Komitmen (Commitment)
g. Alasan yang jelas (Clear)
h. Tidak menekan klien dengan pernyataan kritikan (don’t critic from student).
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) salah satu penyelenggara pendidikan
kesetaraan yang didirikan oleh masyarakat dari masyarakat dan untuk masyarakat memiliki
kehidupan kelompok yang sangat heterogen. Oleh karena itu, kerja kelompok dan
intervensi kelompok merupakan proses vital yang harus dilakukan untuk mencapai
kesuksesan bagi peserta didik atau masyarakat.
Blocher dan Biggs (1983:86) menyampaikan bahwa konseling psikologi memulai
dengan mengembangkan keterampilan kelompok yang diawali menjadi pengamat dalam
kelompok-kelompok yang berbeda. Dengan demikian teknik kelompok sebagai dasar
berhati-hati dalam pengamatan karakteristik kelompok dan interaksi kelompok.
Untuk mencapai kesuksesan layanan bimbingan dan konseling bagi peserta program
Paket B setara SMP diperlukan banyaknya konsultasi dan latihan. Ada dua tipe yang dapat
digunakan dalam konsultasi layanan bimbingan dan konseling, yaitu pertama “inderect
helping” dimana konsultan (guru, tutor) dalam bekerja memerlukan “mediator” dan tipe
konsultan yang kedua adalah “direct” dimana bekerja secara langsung oleh guru/tutor.
Blocher dan Biggs (1983:123) mengatakan bahwa salah satu pokok persoalan
dengan konsultasi intervensi. Ada tiga tingkatan utama dalam hubungan konsultasi, yaitu
pertama adalah technical, dimana teknik ini harus memperhatikan situasi dan kondisi
ketika akan memberikan informasi tentang permasalahan, kedua collaboration, dimana
penekanannya pada kerjasama sistem yang ada dalam penyelenggaraan atau disebut
dengan cooperative, ketiga adalah facilitative, dalam tingkatan ini konsultan harus lebih
profesional dalam mebfasilitasi klien/peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan sebuah latihan intervensi psikologi,
latihan keterampilan sosial, pendidikan psikologi yang disengaja, dan latihan membantu
masyarakat dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi peserta paket B
setara SMP atau bagi masyarakat. Ivey (1980, dalam Blocher dan Biggs: 144) mengatakan
bahwa dalam mengembangkan sebuah model keterampilan latihan untuk membantu
disebut dengan “micro-counseling”.
BAB VII
BIMBINGAN KONSELING
DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
Salah satu fenomena yang sering terjadi sekarang adalah perkelahian antar warga
masyarakat. Nampaknya menjadi sebuah budaya masyarakat dalam rangka
memperjuangkan rasa solidaritasnya terus terjadi secara bergantian di seluruh wilayah
NKRI, disambung dengan budaya tawuran antar pelajar diberbagai kota besar maupun
kecil dengan tidak memikirkan risiko yang akan terjadi jika terjadi sesuatu yang membuat
orang lain tak berdosa menjadi luka-luka bahkan sampai meninggal dunia.

Apalagi dengan desakan keadaan ekonomi, masyarakat saat ini cenderung lebih
memilih bagaimana cara mendapatkan uang untuk bisa bertahan hidup (survival) yang
akhirnya dengan keberadaan tersebut, masyarakat yang akhir-akhir ini dengan mudah
untuk dipropokatori melakukan hal-hal yang sifatnya negatif atau dengan kata lain
mendapatkan “uang” tidak perduli dengan permasalahannya, inilah yang terjadi sekarang-
sekarang ini.
Pertanyaan unik dalam tulisan ini adalah fenomena-fenomena yang terjadi
dikalangan peserta didik maupun masyarakat di atas merupakan sebuah kebanggaan untuk
melakukan perilaku-perilaku negatif yang mengarah pada tindakan anarkis, melanggar
hukum dan norma-norma dalam masyarakat. Bahkan jika terjadi sesuatu yang mereka
lakukan dan ditangkap oleh yang berwajib untuk dimintai keterangan, nampaknya tidak
terdapat ekspresi wajah yang menyesal bahkan terlihatnya merasa bangga dengan apa yang
dilakukakannya.
Dengan demikian proses pelaksanaan pendidikan dengan sistem pendidikan nasional
nomor 20 tahun 2003 perlu segera mengembangkan pendidikan masuk ke masyarakat luas
di wilayah NKRI melalui berbagai kegiatan yang melibatkan semua komponen masyarakat
dalam rangka memberikan nuansa-nuansa pendidikan karakter yang positif. Mengapa hal
ini penting? Karena pendidikan merupakan lingkungan strategis dalam memberikan
pembinaan, pelatihan dan pendidikan nilai, baik yang terkait dengan moral, sosial, maupun
lingkungan ekologi. Bahkan dalam konteks tertentu, pendidikan dapat dijadikan sebagai
lembaga pengatur arah dalam membangun citra masa depan generasi muda. Karenanya,
citra kualitas masa depan dapat diprediksi dari kinerja pendidikan saat ini. Dengan kata
lain, sekolah merupakan salah satu instrumen dalam membangun masa depan. (Danny
Setiawan, Oktober 2006, dalam sambutan buku Sekolah Berbudaya Lingkungan). Hal ini
senada dengan Irianto P (2011:1) bahwa pendidikan merupakan hal yang paling penting di
dalam penentuan masa depan suatu bangsa dimana pendidikan sebagai suatu alat atau
metode untuk membentuk kepribadian dan karakter bangsa dan Sholehuddien (2010:12)
menyatakan bahwa pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan budaya-budaya dan kearifan-kearifan lokal serta meningkatkan
solidaritas nasional.

A. Bimbingan Konseling di Masyarakat


Pendidikan adalah pusaka yang sangat berharga (education is a treasure) bagi
manusia dan bangsa (Delors, Jacques, 1996). Akan tetapi pusaka itu sekarang mengalami
masalah yang kronis, yaitu kekurangmampuan membekali peserta didik dan masyarakat
dengan nilai-nilai dan moral sebagaimana termuat dalam fungsi dan tujuan pendidikan
nasional berdasarkan sistem pendidikan nasional. Yaitu pendidikan berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradabn bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab.
Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling di masyarakat perlu
dilaksanakan dengan segera oleh insan pendidikan yang bekerja sama dengan seluruh
aparat pemerintah dalam rangka memberikan bantuan atau pertolongan sehingga
paradigma masyarakat terhadap segala bentuk yang akan merugikan dirinya sendiri serta
mempersiapkan masa depan akan tercapai.
Dalam rangka membangun manusia Indonesia yang seutuhnya sesuai dengan tujuan
pembangunan bangsa Indonesia, maka pengembangan layanan bimbingan dan konseling
bagi masyarakat merupakan sarana dan wahana yang sangat baik untuk pembinaan sumber
daya manusia. Bimbingan dan konseling yang keberadaannya semakin dibutuhkan dalam
masyarakat merupakan suatu badan yang mempunyai fungsi sangat penting. Dengan kata
lain bimbingan dan konseling mempunyai peran dalam mencarikan jalan keluar dari setiap
kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam usaha mengembangkan potensinya. Bimbingan
dan konseling berfungsi untuk membantu kelancaran dan kesuksesan kehidupan seseorang,
artinya dengan adanya bimbingan dan konseling di masyarakat secara intensif akan
memberi dampak baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang akhirnya akan
kembali pada keberhasilan orang tersebut. Bimbingan dan konseling menjadi faktor
penting untuk membantu masyarakat dalam mengembangkan potensi maupun
menyelesaikan masalahnya. Bimbingan dan konseling, tidak hanya dibutuhkan para
peserta didik di lingkungan sekolah, tetapi masyarakat di luar sekolah juga membutuhkan
layanan dan konseling. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak banyak masyarakat yang
mengetahui dan memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling.
Ketidaktahuan masyarakat tentang manfaat layanan bimbingan dan konseling yang
akhirnya menimbulkan bermacam-macam kejadian, diantaranya fenome-fenomena yang
telah terilihat oleh kita semua melalui media elektronik dan surat kabar, seperti tawuran
antar warga, tawuran antar gank-gank pemuda, tawuran pelajaran dan banyaknya
masyarakat yang terkena gangguan kejiawaan (stress, frustasi, bunuh diri, dll).
Dengan demikian tidak disangkal lagi bahwa setiap lapangan kehidupan dan
kegiatan manusia memerlukan bimbingan. Termasuk dalam kehidupan pribadi, keluarga,
dan bermasyarakat. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling bagi masyarakat
sangat dibutuhkan tidak hanya dalam dunia pendidikan. Dengan adanya layanan
bimbingan dan konseling di masyarakat, dapat membantu masyarakat untuk menemukan
jalan keluar dalam masalahnya dan juga mengenali dan mengembangkan potensi dalam
diri. Sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia sehingga akan meningkatkan pembangunan di segala bidang.
Para konselor yang menyediakan layanan bimbingan dan konseling ini, sangat
dibutuhkan dalam dunia masyarakat. Tidak hanya untuk membantu dalam bimbingan
karier ataupun masalah pribadi, para konselor juga seringkali menjadi sukarelawan dalam
upaya menghilangkan trauma pada masyarakat yang menjadi korban bencana yang akhir –
akhir ini sering menimpa masyarakat Indonesia, ganguan kejiwaan, dan gangguan-
gangguan yang cenderung kepada tipe perkelahian atau tuwuran antar warga.
Nampaknya untuk program Kuliah Kerja Nyata di setiap perguruan tinggi
seyogyanya ada program yang mengarah kepada layanan bimbingan dan konseling di
masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa dengan diberikan bekal khusus dari ahli
bimbingan konseling sebelum mereka melakukan kegiatan bimbingan dan konseling di
masyarakat.

B. Jenis jenis Bimbingan dan Konseling di Luar Sekolah atau Masyarakat


Jenis-jenis bimbingan dan konseling di luar sekolah atau masyarakat ini penulis
unduh dari http://konseloroo8.blogspot.com sebagai bahan untuk dijadikan referensi dalam
materi ini.

1. Konseling Keluarga
Menurut Pujosuwarno (1994:11), menyatakan bahwa keluarga adalah suatu ikatan
persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang
hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian atau
tanpa anak-anak baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Dari penjelasan ini dapat dibuat unsur-unsur didalamnya yaitu:
a. Keluarga merupakan perserikatan hidup anta manusia yang paling dasar dan kecil.
b. Perserikatan itu paling sedikit terdiri dari dua orang dewasa yang berlainan jenis
kelamin.
c. Perserikatan itu berdasar atas ikatan darah, perkawinan, dan atau adopsi.
d. Adakalanya keluarga hanya terdiri dari seorang laki-laki saja atau perempuan saja
dengan atau tanpa anak-anak.

Adapun dari keluarga akan memiliki fungsi-fungsi dalam keluarga. Keluarga akan
tentram, damai dan sejahtera jika fungsi-fungsi di dalam keluarga berjalan dengan baik.
Tetapi jika fungsi-fungsi di dalam keluarga tidak dapat dilaksanakan oleh anggota keluarga
dengan baik, makan akan menimbulkan problema-problema di dalam keluarga. Berikut
merupakan fungsi-fungsi keluarga menurut Pujaswarno (1994:13) yaitu:
1. Fungsi pengaturan seksual
2. Fungsi reproduksi
3. Fungsi perlindungan dan pemeliharaan
4. Fungsi pendidikan
5. Fungsi sosialisasi
6. Fungsi afeksi dan rekreasi
7. Fungsi ekonomi
8. Fungsi status sosial
Fungsi-fungsi di dalam keluarga tersebut harus dijalankan oleh seluruh anggota
keluarga agar tidak menimbulkan masalah didalam keluarga. Sesuai dengan Undang-
undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 BAB IV pasal 30 menyebutkan bahwa “Suami-
isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susuna masyarakat”. Artinya bahwa didalam keluarga, suami dan isteri memiliki
suatu kewajiban yang luhur. Kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh suami dan isteri.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksankan akan menimbulkan masalah yang dapat meluas
dan bisa menimbulkan perceraian yang berdampak pada anak. Selain itu, pada pasal 31
juga adanya hak yang diperoleh dari sumai atau isteri, yaitu:
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
Dengan adanya aturan tentang perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, maka telah diatur hak dan kewajiban dari suami dan isteri yang diharapkan menjadi
keluarga bahagia. Keluarga yang bahagia akan meminimalkan masalah-masalah yang akan
timbul. Jika dalam keluarga tidak ada kebahagiaan, maka akan menimbulkan persoalan-
persoalan dari suami, isteri, atau dari anak-anaknya dari tingkat ringan, sedang maupun
berat yang serius dan mengganggu kehidupan manusia di dalam keluarga maupun di luar
keluarga. Jika problema tersebut tidak terselesaikan akan tertekan jiwanya. Jika tekanan
jiwa secara terus menerus makan akan menimbulkan gangguan jiwa. Jika terus menerus
terbiarkan maka akan menimbulkan sakit jika dan bukan lagi menjadi sasaran bimbingan
dan konseling.
Oleh karena itu, bimbingan dan konseling diperlukan yang bertugas membantu
seseorang dalam mencegah datangnya problem (usaha preventive/ pencegahan),
mempertahankan agar seseorang tetap pada keadaan yang telah sedemikian baik (usaha
preventive/ pencegahan) dan membantu seseorang dalam menemukan dan memecahkan
problema (usaha currative/ pengobatan) (Pujosuwarno, 1994:70).
Adapun problem-problem keluarga menurut Pujosuwarno (1994:72) akibat dari
tidak berfungsinya keluarga yaitu Problem Seks, Problem Kesehatan, Problem Ekonomi,
Problem Pendidikan, Problem Pekerjaan, Problem Hubungan Intern dan Antar Keluarga.
Problema tersebut harus segera ditangani agar terselesaikan dan tidak menimbulkan dapat
yang lebih luar yang berujung pada perceraian. Dengan hal tersebut, ada jenis-jenis
konseling keluarga, yaitu:

a) Diagnosis dan Konseling Keluarga oleh Ackerman


Tekanan teori ini pada kejadian yang sederhana dan kausal. Keluarga-keluarga yang
mengalami masalah memahami bahwa di dalam keluarga tersebut sedang ada kekacauan.
Sehingga diagnosis dan putusan dari pemecahan masalah harus ditanggapi oleh seluruh
anggota keluarga.

b) Konseling Keluarga secara bersama-sama oleh Sair


Pada teori ini, dituntut agar suami dan isteri hadir pada wawancara konseling di
pertemuan pertama sehingga akan diketahui kebutuhan-kebutuhan suami dan isteri dalam
rangka menggali infromasi tentang masalah yang sedang dialami. Dalam konseling ini,
seluruh anggota keluarga harus berperan serta menyelesaikan masalah dari suami, isteri
dan anak-anak. Konselor harus mampu mengerti dan menerima kondisi keluarga tersebut
terutama pada anak-anak.

c) Konseling Keluarga berdasarkan Triad


Triad mengembangkan konseling keluarga berdasarkan hubungan antara 3 orang
atau lebih dalam keluarganya, yaitu: 1) Antara anak – ibu – anak , 2) Antara anak – ayah –
anak, dan 3) Antara ayah – anak – ibu
Karena adanya pertentangan dalam keluarga melibatkan 2 orang atau lebih, maka
konselor harus bisa menadi penengah.

d) Konseling Kelompok Keluarga oleh Bell


Bell mementingkan konseling agar memfungsikan pentingnya hubungan dalam
keluarga sebagai cara untuk memperkuat hubungan sebagai suatu kelompok. Peningkatan
komunikasi keluarga sebagai cara yang paling baik untuk pemecahan masalah keluarga
dengan beberapa ajaran sebagai berikut:
a. Sifat yang lebih fleksibel
b. Lebih terbuka
c. Langsung
d. Jelas dalam berkomunikasi
e. Disiplin

e) Konseling Tingkah Laku Keluarga oleh Liberman


Konseling ini menekankan pada kesepakatan antara pribadi (konselor dan anggota
keluarga) untuk mengubah problema tingkah laku yang lebih sesuai. Tetapi perlu keuletan
dari konselor.

f) Konseling Dampak Ganda oleh Gregor


Konseling ini dengan melihat terlebih dahulu gangguan atau krisis yang dialami
pada masa remajanya. Konseling ini melibatkan orang-orang yang ada hubungannya
dengan keluarga (saudara, tetangga, teman, dll). Proses pertemuan ini dengan pertemuan
antara konselor, klien, keluarganya dan orang-orang yang berkaitan kemudian
diwawancara dan diskusi bersama.

g) Campur Tangan Jaringan Sosial oleh Speck


Speck menjelaskan bahwa keterlibatan seluruh anggota keluarga yang bermasalah
yang kira-kira berjumlah 40 orang. Kemudian salah satu diantara mereka dipih sebagai
pemimpin jaringan sosial yang memiliki kharisma, perasaan, peka terhadap kelompok,
empati, dan perasaan terhadap suasana hati kelompok. Sehingga tercipta perasaan keatuan.
Dapat simpulkan bahwa proses konseling keluarga berbeda dengan konseling
individu. Fokus dalam konseling keluarga adalah pada sistem keluarga yang melibatkan
seluruh amggota keluarga atau yang berkaitan. Oleh karena itu, tidak peduli pada jumlah
yang terlibat. Konselor keluarga cenderung mengkonsepkan pada problema bedasarkan
prespektif sistem. Intervensi dalam konseling keluarga menekankan pada relasi dan
komunikasi. Sehingga tercapai tujuan yang diinginkan yaitu perubahan struktur keluarga
dan memodifikasi perilaku anggota keluarga sehingga menjadi pondasi kuat yang mandiri.
Adapula permasalah yang timbul yaitu pola karier ganda (suami dan isteri sama-
sama bekerja), pola orang tua tunggal, pengasuhan anak kepada babysister dan penitipan
anak, pergaulan bebas sering disertai kekerasan, dan penyalahgunaan obat alkohol, dan
geng.
Dengan berbagai permasalahan yang timbul dalam pernikahan dan keluarga,
diperlukan konselor dalam bidang bimbingan dan konseling dan dapat bersaing dengan
psikolog, psikiater, pengacara, pendeta, dan pekerja sosial. Kegiatan konseling pernikahan
dan keluarga dapat dilakukan dalam format tatap muka, lisan atau tertulis. Format tatap
muka dimaksudkan adanya pertemuan antara konselor dan klien. Format lisan yaitu
dengan adanya pemberian layanan secara klasikal di kelurahan, RT, ataupun di sekolah
dan perguruan tinggi sehingga tercapai sasaran. Secara tertulis yaitu dengan buku-buku
karya konselor yang pasti berbeda dengan karya psikolog, pengacara, dan pekerja sosial
yang berbeda pandangan.
Adapun untuk lebih memahami dalam konseling keluarga ada beberapa hal yang
perlu diketahui lebih mendalam, yaitu:

a) Perspektif Perkembangan Keluarga


Perspektif perkembangan keluarga meliputi kerangka berpikir atau pola pikir yang
mendasar tentang keluarga, Perkembangan keluarga sebagai sesuatu yang berkelanjutan
dan perubahan dan keluarga dipandang sebagai sistem psikososial. Dalam perspektif
perkembangan keluarga ini ada beberapa hal yang perlu juga dipahami, yaitu:
1) Kerangka Berpikir tentang Keluarga
Keluarga merupakan sistem sosial yang alamiah (nature), berfungsi membentuk
aturan-aturan, komunikasi dan negosiasi diantara para anggotanya. Ketiga fungsi keluarga
ini mempunyai sejumlah implikasi terhadap perkembangan dan keberadaan para
anggotanya. Keluarga melakukan suatu pola interaksi yang diulang-ulang melalui
partisipasi seluruh anggotanya. Strategi-strategi konseling keluarga terutama membantu
terpeliharanya hubungan-hubungan keluarga, juga dituntut untuk memodifikasi pola-pola
transaksi dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami perubahan.
Dalam perspektif hubungan, konselor keluarga tidak menghilangkan signifikasi proses
intrapsikis yang sifatnya individual, tetapi menempatkan perilaku individu dalam
pandangan yang lebih luas. Prilaku individu itu dipandang sebagai suatu yang terjadi
dalam sistem sosial keluarga. Dengan demikian, ada perubahan paradigma dari cara-cara
tradisional dalam memahami prilaku manusia ke dalam epistomologi cybernetic.
Paradigma ini menekankan mekanisme umpan balik beroperasi dan menghasilkan stabil
serta perubahan. Kausalitas sirkuler terjadi di dalam keluarga.
Konselor keluarga lebih memfokuskan pemahaman proses keluarga daripada
mencari penjelasan-penjelasan yang sifatnya linear. Dalam kerangka kerja seperti ini,
simptom yang ditunjukan pasien dipandang sebagai cerminan dari sistem keluarga yang
tidak seimbang.
2) Perkembangan Keluarga
Satu cara untuk memahami individu-individu dan keluarga meraka, yaitu dengan
cara meneliti pekembanagan meraka lewat siklus kehidupan keluarga. Berkesinambungan
dan perubahan merupakan ciri dari kehidupan keluarga. Sistem keluarga itu mengalami
perubahan setiap waktu. Perkembangan keluarga pada umumnya terjadi secara teratur dan
bertahap. Apabila terjadi pemandegan dalam keluarga, hal itu akan menggangu sistem
keluarga. Kemunculan prialaku simptomatik pada anggota keluarga pada saat transisi
dalam siklus kehidupan keluarga menandakan keluarga itu mengalami kesulitan dalam
menyesuikan dengan perubahan.
Siklus kehidupan keluarga mengarah pada suatu pengaturan tema mengenai
pandangan bahwa keluarga itu sebagai suatu sistem yang mengalami perubahan. Ada
tugas-tugas perkembangan khusus yang harus dipenuhi untuk setiap tahapan
perkembangannya. Dalam keluarga, laki-laki dan perempuan dibesarkan dengan perbedaan
harapan peranan, pengalaman, tujuan, dan kesempatan. Perbedaan jenis kelamin ini, kelak
mempengaruhi interaksi suami isteri. Banyaknya perempuan yang memasuki dunia kerja
akhir-akhir ini mempengarui juga tradisi peran laki-laki dan perampuan mengenai
tanggung jawab rumah tangga dan kerja di luar rumah.
Kesukuan dan pertimbangan sosio-ekonomi juga mempengaruhi gaya hidup
keluarga. Terlabih dahulu, hal yang harus diperhatikan adalah membantu menentukan
bagaimana keluarga itu membentuk nilai-nilai, menentukan pola-pola prilaku, dan
menentukan cara-cara mengekspresikan emosi, serta menentukan bagaimana mereka
berkembang melalui siklus kehidupan keluarga. Hidup dalam kemiskinan dapat mengikis
struktur keluarga dan menciptakan keluarga yang tidak terorganisasi. Dalam keluarga
miskin, perkembangan siklus kehidupan sering dipercepat oleh kehamilan dini dan
banyaknya ibu-ibu yang tidak menikah. Tidak adanya ayah di rumah memungkinkan
nenek, ibu, dan anak perempuan itu lebih saling berhubungan.
3) Keluarga sebagai sistem psikologi
Teori sistem umum memberikan dasar teoritis pada teori dan praktik konseling
keluarga. Konsep-konsep mengenai organisasi dan keutuhan menekankan secara khusus,
bahwa sistem itu beroperasi secara utuh terorganisasi. Sistem tidak dapat dipahami secara
tepat jika dibagi ke dalam beberapa komponen.
Keluarga menunjukan sistem hubungan yang kompleks, terjadi kausalitas silkuler
dan multidimensi. Peran-peran keluarga sebagian besar tidak statis, perlu dipahami oleh
anggota keluarga untuk membantu memantapkan dan mengatur fungsi keluarga.
Keseimbangan dicapai dalam keluarga melalui proses interaksi yang dinamis. Hal ini
membantu memulihkan stabilitas yang sewaktu-waktu terancam, yaitu dengan
mengaktifkan aturan yang menjelaskan hubungan-hubungan. Pada saat perubahan keluarga
terjadi, siklus umpan balik positif dan negatif membantu memulihkan keseimbangan.
Subsistem-subsistem dalam keluarga melakukan fungsi-fungsi keluarga secara
khusus. Hal terpenting dan berarti adalah subsistem suami isteri, orang tua, dan saudara
kandung. Batas-batas sistem membantu memisahkan sistem-sistem, sebaik memisahkan
subsistem-subsistem di dalam sistem secara keseluruhan.
Sistem-sistem keluarga berinteraksi dengan sistem-sistem yang lebih besar lagi di
luar rumah, seperti sistem tempat peribadatan, sekolah, dan tempat perawatan kesehatan.
Dalam beberapa kasus, terjadi pengaburan masalah-masalah keluarga dan pertentangan
penyelesaian dari para pemberi bantuan dala sistem makro. Dalam konteks yang lebih luas,
batas-batas di antara pemberi bantuan sama baiknya dengan bata-batas di antara keluarga
klien. Batas-batas itu mungkin perlu dijelaskan dalam sistem makro agar beroperasi secara
efektif.

C. Landasan-landasan Sejarah dan Praktik Kontemporer


Dalam landasan-landasan sejarah dan praktik kontemporer konseling keluarga
dibahas mengenai sejarah dan perkembangan konseling keluarga, pendekatan
psikodinamik, pendekatan ekspresial/humanistic, pendekatan Bowen, pendekatan
behavioral. Lebih lengkapnya dapat diperhatikan uraian di bawah ini:
1. Sejarah dan perkembangan konseling keluarga
Konseling keluarga distimuli oleh penelitian keluarga yang anggotanya mengalami
schizophrenia. Konseling keluarga berkembang mencapai kemajuan pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1960-an, para pelopor konseling keluarga memutuskan untuk bekera sana
dengan para konselor yang berorientasi individual. Teknik-teknik dalam konseling
keluarga berkambang dengan pesat memasuki tahun 1970-an. Inovasi teknik terapeutik
diperkenalkan termasuk pendekatan behavioral yang dikaitkan dengan masalah-masalah
keluarga. Pada tahun 1980-an, konseling perkawinan dan konseling keluarga menjadi satu.
Para praktisi dari berbagai disiplin keahlian menjadi konseling keluarga sebagai ciri
professional mereka. Pada saat sekarang, konseling keluarga lebih menekankan
penanganan masalah-masalah secara konteksual daripada secara terpisah dengan individu-
individu. Tantangan yang dihadapi oleh konseling keluarga pada tahun 1980-an adalah
mengintegrasikan berbagai pendekatan konseling keluarga dan menggunakan kombinasi-
kombinasi dari teknik-teknik yang dibutuhkan untuk populasi-populasi yang berbeda.

2. Pendekatan psikodinamik
Pendekatan-pendekatan dalam konseling keluarga dapat dibagi ke dalam enam
kelompok, yaitu:
a) Psikodinamik
b) Eksistensial/humanistic
c) Bowenian
d) Structural
e) Komunikasi/strategis
f) Behavioral
Hal yang membedakan pendekatan-pendekatan tersebut adalah
a) Orientasi teoritis, dalam investasinya apakah menekankan pada masa lalu atau masa
sekarang.
b) Proses konseling, apakah menekankan peran ketidaksadaran atau kesadaran
c) Apakah menekankan wawasan atau tindakan
d) Fungsi konselor diutamakan atau tidak
e) Analisisnya apakah menggunakan individual dyad, atau triad
f) Tujuan-tujuan treatment
Sebagian besar, pandangan psikodinamik berdasar pada model psikoanalisis,
memberikan perhatian terhadap latar belakang dan pengalaman setiap anggota keluarga
sebanyak pada unit keluarga itu sendiri.
Nathan Acherman, pelopor konselor keluarga berupaya menintegrasi teori
psikoanalitik yang berorientasi intrapsikis dengan teori sistem sengan menekankan
hubungan antar pribadi. Upaya-upaya terapeutiknya berujuan untuk membebaskan
“pathologies” yang berperan satu sama lain. James Framo, konselor keluarga generasi
pertama, meyakini bahkan konflik intrapsikis yang tidak terselesaikan dibawa dari
keluarganya, diteruskan dalam bentuk proyeksi ke dalam hubungan-hubungan yang terjadi
aat ini, seperti hubunan suami isteri atau anak.

3. Pendekatan Eksperensial/Humanistik
Para konselor keluarga eksperensial/humanistic menggunakan “immediacy”
terapeutik dalam menghadapi anggota-anggota keluarga untuk membantu memudahkan
keluarga itu berkembang dan memenuhi potensi-potensi individunya. Pendekatan ini lebih
menekankan pada tidakan daripada wawasan dan interpretasi. Pendekatan ini memberikan
pengalaman-pengalaman dalam meningkatkan perkembangan, yaitu melalui interaksi antar
konselor dan keluarga.
Virginia Sati, dalam pendekatanya ia memadukan kesenjangan komunikasi antara
anggota keluarga dan orientasi humanistic dalam membangun harga diri dan penilaian dari
seluruh anggota keluarga. Dia meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat sumber-
sumber yang diperlukan manusia untuk berkembang.

4. Pendekatan Bowen
Pendekatan Muray Bowen terkenal dengan teori sistem keluarga. Landasan teori
Bowen adalah konsep diferensial diri konsep ini berkembang dimana anggota keluarga
dapat memisahkan fungsi intelektualnya dengan emosionalnya. Bowen mengungkapkan
konsep emotional cutoff untuk menjelaskan bagaimana anggota keluarga berupaya
memutuskan hubungan dengan keluarga mereka atas anggapan yang keliru bahwa mereka
dapat mengisolasi diri mereka dari fusi. Posisi saudara kandung dari setiap pasangan
perkawinan akan mempengaruhi interaksi mereka. Dalam pengembangan teorinya
terhadap masyarakat lebih luas, Bowen percaya bahwa tekanan-tekanan eksternal yan
kronis merendahkan tingkat berfungsinya diferensiasi masyarakat, hal itu hasil pengaruh
regresi masyarakat.

5. Pendekatan Stuktural
Pendekatan struktural dalam konseling keluarga terutama dikaitkan dengan
Salvador Minuchin dan koleganya di pusat Bimbingan Anak Philadelphia. Pendekatan ini
dilandasi sistem. Teori keluarga memfokuskan pada kegiatan, keseluruhan yang
terorganisasi dari unit keluarga, dan cara-cara dimana keluarga mengatur dirinya sendiri
melalui pola-pola transaksional diantara mereka. Secara khusu, sistem-sisem keluarga,
batas-batas, blok-blok, dan koalisi-koalisi ditelaah dalam upaya memahami struktur
keluarga. Tidak berfungsinya struktur menunjukan bahwa aturan-aturan yang tidak tampak
yang membangun transaksi keluarga tidak berjalan atau membutuhkan negosias kembali
aturan-aturan.

6. Pendekan Strategis/Komunikasi
Karakteristik khusus pendakatan ini menggunakan double blinds terapeutik atau
teknik-teknik paradoksial untuk mengubah aturan-aturan keluarga dan pola-pola hubungan.
Pradoks kontradiksi yang mengikuti deduksi yang tepat dan premis-premis yang konsisten
digunakan secara terapeutik untuk mengarahkan individu atau keluarga yang tidak mau
berubah sesuai dengan apa yangdiharapkan, prosedur ini mempromosikan perubahan
tersebut bukan dalam bentuk penolakan atau tindakan. Jakcson, Watzlawick dan ahli
strategi lainnya menggunakan “prescribing” simptom-simptom sebagai teknik paradox
untuk mengurangi penolakan berubah dengan menggunakan simptomnya itu tidak
berguna.
Pendekatan konseling keluarga strategi ditandai oleh taktik-taktik yang terencana
dan hati-hati, serta lngsung menangani masalah-masalah keluarga yang ada. Haley sangat
memengaruhi para praktisi dalam menggunakan perintah-perintah atau penyelesaian tugas-
tugassebaik intervensi-intervensi paradoksial yang sifatnya tidak langsung. Madanes,
konselor strategis keluarga lainnya menggunakan teknik-teknik “pretend” (menganggap
diri) dan investasi-investasinya yang tidak konfrontatif diarahkan pada tercapainya
perubahan tanpa mengundang penolakan.

7. Pendekatan Behavioral
Konseling keluarga behavioral, terakhir masuk dalam bidang konseling keluarga,
berupaya membawa metode ilmiah dalam proses-prose terapeutik mengembangkan
monitoring secara tepat dan mengembangkan prosedur-prosedur intervensi berdasarkan
data. Pendekatan ini mengambil prinsip-prinsip belajar manusia, seperti classical dan
operant conditioning, penguatan positif dan negative, pembentukan, extinction, dan belajar
social. Pendekatan behavioral menekankan lingkungan, situasional dan faktor-faktor sosial
dari prilaku. Pendekatan behavioral memberikan hasil yang signifikan terhadap empat
bidang yang berbeda, yaitu konseling perkawinan behaviaoral, pendidikan dan latihan
keterampilan orang tua behavioral, konseling keluarga fungsional, serta penanganan tidak
berfungsinya seksual.
Konseling perkawinan behavioral memadukan prinsip-prinsip teori belajar sosial
dan teori pertukaran sosial. Konseling perkawinan behavioral mengajarkan pasangan
suami isteri bagaimana mencapai suatu hubungan timbal balik yang positif.
Pendidikan dan latihan keterampilan-keterampilan orang tua behavioral, sebagian
besar didasarkan pada teori belajar sosial, berupaya untuk melatih orang tua dengan
prinsip-prinsip behavioral dalam pengelolaan anak. Secara khusus, Patterson
memfokuskan terhadahubungan dua orang (dyad), biasanya antara ibu dan anak, serta
menekankan bahwa perilaku anak itu memungkinkan dikembangkan dan dipelihara
melalui hubungan timbal balik mereka. Secara khusus, intervensinya berupaya membantu
keluarga mengembangkan sejumlah kontingensi penguatan baru dengan maksud memulai
belajar perilaku-perilaku baru.
Konseling keluarga fungsional berupaya mengintegrasikan sistem teori sistem,
behavioral, dan kognitif dalam bekerja dengan keluarga. Konseling keluarga funsional
berpandangan, bahwa semua perilaku sebagai fungsi antar pribadi mengenai hasil khusus
dari konsekuensi-konsekuensi perilaku
Kerjasama konselor adalah satu program yang dibatasi waktunya, melibatkan kedua
pasangan perkawinan dan berupaya untuk menyelesaikan masalah-masalah tidak
berfungsinya seksual. Treatment-nya memperkuat perkawinan dengan cara mengoreksi
hal-hal yang secara potensial merusak aspek-aspek hubungan. Konseling ini pertama kali
dikembangkan oleh Masters dan Johnson, lalu dikembangkan oleh Kaplan. Treatment
tidak berfungsinya seksual sekarang menggunakan berbagai teknik behavioral secara jelas.
Kerjasama konseling seks ini menyajikan bentuk yang dikonseptualisasikan sebagai jenis
konseling kognitif behavioral/program pendidikan kembali yang diaplikasikan terhadap
pasangan suami isteri yang mempunyai masalah seksual.

D. Bentuk-Bentuk Lain dari Intervensi Terapeutik


Terdapat empat jenis teknik konseling keluarga sebagai tambahan terhadap
pendekatan-pendekatan yang sudah biasa dilakukan dalam treatment, yaitu prosedur-
prosedur nonverbal, prosedur-prosedur yang dibatasi waktunya, prosedur-prosedur yang
berorientasi krisis, dan intervensi-intervensi yang melibatkan kelompok yang lebih luas.
Dalam melukiskan keluarga dengan eknik nonverbal, semua anggota keluarga
diminta untuk menggambarkan bagaimana mereka melakukan hubungan di dalam
keluarga.

E. Bimbingan Karier
Pemahaman terhadap dunia kerja menjadi hal penting bagi masyarakat sebagai bekal
dan persiapan memasuki dunia kerja. Hal-hal yang menjadi permasalahan umum bagi
seseorang adalah kurangnya pemahaman untuk mengenal diri, yaitu mengetahui potensi
dan mewaspadai kelemahannya, kurangnya kesiapan mental untuk bersaing di dunia kerja,
kekurangtahuan tentang lingkup pekerjaan pada bidang pekerjaan yang ada di pasar tenaga
kerja, serta pemahaman mengenai bagaimana strategi meniti karir mulai dari awal karir
sampai dengan bagaimana upaya untuk meraih puncak karir yang dicita-citakan. Untuk itu,
konseling karir dapat menjadi media bagi masyarakat untuk berbagi mengenai masalah-
masalah karir dan atau hal-hal lain yang terkait karir.

1. Tujuan Bimbingan Karir dan Konseling.


Secara umum tujuan bimbingan Karir dan Konseling adalah sebagai berikut;
a) Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkaitdengan
pekerjaan.
b) Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yangmenunjang
kematangan kompetensi kerja.
c) Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang
pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai
dengan norma agama.
d) Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan
persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita
karirnya masa depan.
e) Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri
pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis
pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
f) Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara
rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan
kondisi kehidupan sosial ekonomi.
g) Mengenal keterampilan, minat dan bakat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu
karir amat dipengaruhi oleh minat dan bakat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap
orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia
mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.
h) Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karier.
i) Memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat.

2. Model rangkaian untuk program karir


1. Orientasi kesadaran.
2. Assesment diri.
3. Penjajakan karir.
4. Mensetting tujuan karir.
5. Pengalaman kerja.
6. Konteks karir.
7. Tersedianya dunia kerja.
8. Penempatan.

3. Teknik Konseling Karir


Teknik konseling yang dapat digunakan dalam konseling karir antara lain:
1. Konseling kelompok.
2. Konseling perorangan.
3. Konseling teman sebaya.
4. Penempatan.

4. Tipe Konseling Karir


Menurut Morrill dan Forrest ada empat tipe konseling karir, yaitu:
a) Konseling yang membantu klien dengan suatu keputusan tertentu dengan memberikan
informasi dan klarifikasi masalah.
b) Konseling yang membantu klien dengan suatu keputusan tertentu dengan memusatkan
perhatian pada keterampilan membuat keputusan.
c) Konseling yang memandang karir sebagai proses, bukan sebagai tujuan.
d) Konseling yang memusatkan perhatian pada usaha menanamkan kemampuan
menggunakan karakteristik personal klien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
klien sendiri.

F. Konseling Traumatik
Konseling traumatik adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami
trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan
dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik
mungkin.
Konseling traumatik ini berbeda dengan konseling biasa. Perbedaan itu terletak pada
waktu, focus, aktivitas dan tujuan. Dilihat dari segi waktu, konseling traumatik pada
umumnya memerlukan waktu lebih pendek dibandingkan dengan konseling biasa.
Konseling traumatik memerlukan waktu satu hingga enam sesi. Sedangkan konseling
biasa, memrlukan waktu satu hingga dua puluh sesi.
Dilihat dari fokus, konseling traumatic lebih memerhatikan pada satu masalah, yaitu
trauma yang terjadi dan dirasakan. Adapun konseling biasa, pada umumnya suka
menghubungkan satu masalah dengan masalah lainnya. .
Dilihat dari aktivitas, konseling traumatic lebih banyak melibatkan banyak orang
dalam membantu klien dan yang lebih banyak aktif adalah konselor. Konselor berusaha
untuk mengarahkan, mensugestikan, member saran, mencari dukungan dari keluarga dan
teman klien, menghubungi orang yang lebih ahliuntuk referral, menghubungkan klien
dengan ahli lain untuk referral, melibatkan orang /agen lain yang kompeten secara legal
membantu klien, dan mengusulkan berbagai perubahan lingkungan untuk kesembuhan
klien.
Dilihat dari tujuan, konseling traumatic lebih menekankan pada pulihnya kembali
klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungan yang baru.
Tujuan konseling traumatic adalah:
a. Berfikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan
b. Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma.
c. Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma
d. Belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma.

Keterampilan Dalam Konseling Traumatik ada empat keterampilan yang harus


dimiliki oleh konselor dalam konseling traumatic, yaitu:
a) Pandangan Realistik
Hendaknya, konselor memiliki pandangan yang realistic terhadap peran mereka
dalam membantu orang – orang yang mengalami trauma. Keterampilan ini berguna bagi
konselor untuk memahami kelemahan dan kelebihannya dalam membantu orang yang
mengalami trauma. Kelebihan konselor dibandingkan dengan keluarga dan teman orang
yang mengalami trauma. Namun di pihak lain, konselor harus mengakui beberapa
keterbatasan yang dimilikinya dalam membantu orang yang trauma. Keterbatasan –
keterbatasan itu antara lain sebagai berikut:
a. Konselor kurang memiliki data yang lengkap tentang kelemahan kepribadian klien
sebelum menderita trauma.
b. Konselor tidak dapat mengontrol pemicu trauma, karena pemicu trauma itu adalah
peristiwa objektif yang telah dialami klien.
c. Konselor tidak dapat mengontrol reaksi keluarga dan teman klien pada saat klien
mengalami trauma.

b) Orientasi yang Holistic


Kondisi trauma pada diri klien bukan harus dihadapi secara berlebihan atau
sebaliknya. Dalam konseling traumatic, konselor harus menerima berbagai bantuan dari
berbagai pihak demi kesembuhan klien. Dengan memerhatikan kondisi klien secara
holistic, konselor dituntut untuk dapat berkerja sama dengan berbagai ahli yang ada di
masyarakat untuk membantu kesembuhan klien.

c) Fleksibilitas
Konseling traumatic memerlukan fleksibilitas, karena keterbatasan – keterbatasan
yang ada, konseling traumatic mungkin lebih fleksibel dalam pelaksanaannya. Karena
keterbatasan tempat, mungkin konseling melalui telepon akan lebih tepat. Karena
keterbatasan waktu, ada kemungkinan terjadi perubahan waktu dalam konseling.
Kemungkinan konseling di rumah klien terjadi daripada di kantor konselor. Perpanjangan
waktu dalam setiap sesi konseling mungkin saja terjadi. Melibatkan keluarga dalam sesi
konseling mungkin saja terjadi dan konselor memberikan sugesti pada klien juga bisa
terjadi.
Dalam konseling traumatic, konselor tidak banyak waktu untuk melakukan
konfrontasi, berlama – lama, non direktif, interpretasi perilaku dan mimpi, serta tidak
terlalu mempermasalahkan terjadinya transferensi ataupun conter tansferensi antara klien
dan konselor. Kondisi trauma menuntut konselor untuk bertindak cepat menangani klien.

d) Keseimbangan Antara Empati dan Ketegasan


Konselor harus mampu melihat kapan dia harus empati, dan kapan dia harus tegas
dalam mengarahkan klien untuk kesembuhan klien. Jika konselor terlalu hanyut dengan
perasaan klien, maka konselor akan mengalami kesulitan dalam membantu klien. Begitu
juga jika konselor tidak tepat waktunya dalam memberikan arahan yang tegas pada klien
maka konseling akan tidak efektif.
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien,
merasa dan berpikir bersama klien. Empati ada dua macam yaitu empati primer dan empati
tingkat tinggi. Empati primer adalah suatu bentuk yang hanya memahami perasaan,
pikiran, keinginan, dan pengalaman klien. Tujuannya agar klien terlibat pembicaraan dan
terbuka pada konselor. Adapun empati tingkat tinggi adalah keikut sertaan konselor dalam
merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan kliennya.
Adapun ketegasan untuk mengarahkan klien adalah kemampuan konselor untuk
mengatakan kepada klien agar klien berbuat sesuatu atau dengan kata lain mengarahkan
agar klien melakukan sesuatu.
Sebagai contoh, wujud pelaksanaan dari konseling traumatic adalah upaya untuk
menyembuhkan trauma pada korban gempa bumi Jawa Barat yang terjadi beberapa waktu
lalu. Hal ini dilakukan untuk pemulihan gangguan mental psikologis yang berpengaruh
terhadap kehidupan efektif sehari-hari warga masyarakat korban gempa yang perlu
ditangani secara khusus. Kegiatan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Kegiatan konseling trauma terhadap kelompok sasaran peserta didik dilakukan dalam
bentuk:
1) Terapi Permainan
2) Bimbingan/Konseling Kelompok
3) Konseling Individual
4) Pelayanan Informasi
5) Pelayanan Pembelajaran
b) Kegiatan konseling trauma terhadap para orang tua/warga masyarakat yang
memerlukan dilakukan dalam bentuk:
1) Terapi Relaksasi
2) Bimbingan/Konseling Kelompok
3) Konseling Individual
4) Pelayanan Informasi
5) Pelayanan Berkehidupan dalam Keluarga/Masyarakat

Sumber:http://yoshimorishumimura.blogspot.com/2012/02/bimbingan-konseling-luar-
sekolah.html. Diunduh tanggal 27 Oktober 2012,Pukul 24.10.

B. Pendidikan Untuk Semua


Pendidikan untuk semua (education for all) yang telah dideklarasikan di Dakar oleh
seluruh bangsa-bangsa di dunia yang bertujuan bahwa seluruh bangsa harus memperoleh
pendidikan. Indonesia dengan letak geografis dan budaya yang tersebar memiliki budaya,
bahasa dan keunikan-keunikan tersendiri. Masyarakat Indonesia tersebar luas, ada yang
dipedesaan, dipelosok-pelosok gunung dan ada juga diperkotaan. Semuanya warga negara
yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Hal dengan
jelas telah ditertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003, pasal 5 sebagai
berikut:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakata adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensikecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
Dengan demikian seluruh masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pendidikan
yang layak sesuai dengan keberadaan dirinya, karena hal ini perlu adanya kerjasama antara
pihak pemerintah, sekolah dan masyarakat untuk membangun pendidikan di Indonesia
yang bermutu dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Ada beberapa faktor pendukung diselelngarakannya pendidikan untuk semua,
diantaranya:
1. Peraturan perundang-undangan yang ada. Pada dasarnya hal ini telah tertuang dalam
UUD 1945 pasal 31 dan UUSPN No. 20/2003 pasal 5 dimana tertulis bahwa setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan pemerintah wajib membiayainya.
2. Dukungan dunia internasional, dukungan ini merupakan dukungan semua bangsa-
bangsa yang telah dideklarasikan oleh semua kepala negara di Dakar.
3. Semangat masyarakat untuk menunjukkan sektor pendidikan.
Ketika ada faktor pendukung, hal yang menjadi hukum alam adanya faktor
penghambat, faktor penghambat dari pendidikan untuk semua, antara lain:
1. Keterbatasan Biaya
Biaya memang merupakan faktor penentu dari semua kegiatan, bangsa luar negeri
dengan memprioritaskan biaya pendidikan yang begitu tinggi dan berkesungguhan hati
untuk untuk melaksanakannya, merake semua menjadi negara maju dan bahkan
sekarang tinggal memetiknya hasilnya. Indonesia dengan anggaran yang masih belum
seperti bangsa lain merupakan tantangan dan segera menjadi prioritas bangsa ini untuk
meningkatkan anggaran biaya pendidikan menjadi yang utama dan seluruh masyarakat
bangsa harus yakin bahwa pendidikan merupakan investasi strategis bangsa untuk
menjadi negara maju.
2. Sebagian masyarakat belum memahami pentingya pendidikan bagi hidup dan
kehidupan.
Paradigma berpikir msayarakat terhadap pentingnya pendidikan memang perlu
diinformasikan dari semua insan terkait dalam dunia pendidikan, karena selama ini
masyarakat masih cenderung dengan pola pikir bahwa pendidikan itu bukan bagian dari
kebutuhan mereka bahkan acuh tak acuh terhadap pendidikan, hal ini masih terlihat
dipedesaan setelah tamat sekolah dasar budaya tidak melanjutkan masih besar porinya
dibandingkan dengan yang melanjutkan, walaupun biaya sekolah pihak pemerintah
telah menetapkan adanya BOS (bantuan operasional sekolah).
3. Kemauan melanjutkan pendidikan tergolong masih rendah.
Budaya asal bisa membaca dan menulis atau dengan kata lain cukup sekolah sampai SD
atau SMP saja sudah cukup menjadi pola kehidupan masyarakat yang harus terus
diberikan informasi tentang pentingnya pendidikan untuk kehidupan. Hal ini
berkontradiksi dengan ajaran Islam bahwa “pendidikan dilaksanakan sejak buaian
hingga liang lahat atau meninggal”
4. Keterbatasan fasilitas-fasilitas.
Fasilitas merupakan salah satu keberhasilan proses pendidikan, walaupun fasilitas
bukan segalanya bagi pendidikan akan tetapi fasilitas dapat menjadikan segalanya
dalam pendidikan.

C. Bimbingan dan Konseling Pada Masyarakat Multikultural


1. Pendahuluan
Reformasi yang di gulirkan rakyat indonesia tahun 1998, telah memberikan harapan
kehidupan yang lebih damai, harmonis makmur, beradab, terbangunya masyarakat madani
(civil society). Angkanya harapan tersebut tidak kunjung terwujud, bahkan semakin pudar.
Kita menyaksikan berbagai konflik, kerusuhan yang terus berlanjut dalam berbagai
dimensi (politik, budaya, agama, dll), benar-benar telah mencabik rasa persaudaraan
kemanusiaan, sersatuan dan toleransi bahkan akan sampai kepada terpecahnya rasa
kesatuan dalam negara kesatuan negara republik Indonesia.
Di masyarakat multikultural yang sekarang ini, tidak mungkin layanan bimbingan
dan konseling berjalan seperti apa adanya, namum harus menguasai dan memahami
kehidupan masyarakat yang multikultural secara mendalam. Sehingga proses layanan akan
berjalan dengan apa yang diharapkan atau sesuai dengan tujuan dan fungsi bimbingan dan
konseling.

2. Masyarakat multikultural
a. Konsep Pluralisme dan Multikulturalisme
Dewasa ini istilah pluralisme dan multikulturalisme sering di perbincangkan dalam
masyarakat. Kedua istilah tersebut sering kali dikaitkan atau disepadankan (Barry
dkk,1999:569), meski ada yang membedakan. Nur Zein Hae dkk (2000) menyebut
pluralisme menitikberatkan keragaman dunia manusia pada tingkat individual, sedang
multikulturalisme menekankan keragaman dunia manusia pada tingkat puak, kaum,
golongan. Dalam multikulturalisme etnisitas terkesan dititikberatkan, oleh karena itu
sering kali multikulturalisme dopandang rasialis.
Multikulturalisme menunjukan pengakuan adanya keragaman budaya dalam hidup
bersama. Keragaman tersebuat dapat berupa keragaman etnik, golong, faham, aliaran,
agama dan sebagainya. Huntington (2000:4) menyebut agama sebagai inti peradaban, dan
peradaban sebagai etnis dari kebudayaan. Multikulturalisme adalah suatu sikap, faham,
kebijakan yang mengakui dan menghargai adanya keragaman budaya dan memungkinkan
keragaman tersebut berkembang/lestari. Berry dkk (1999:569) menyebut masyarakat
multikultural adalah “,asyarakat majemuk (populasi pada umumnya, berbagai kelolmpok
yang berakulturasi dan pemerintah) yang menghargai pluralisme dan memungkunkan
keberagaman tetap lestari. Oleh krena itu masayrakat multikulturalisme adalah masyarakat
yang terdiri dari berbagai kelompok, budaya, yang hidup bersama, berdampingan,
berinteraksi, saling menghormati. Sebaliknya masyarakat multikultural adalah masyarakat
monokultural, yaitu masyarakat yang hanya terdiri dan menghendaki adanya satu
kelompok/budaya, dan menolak keberadaan dan interaksi dengan budaya lain yang
berbeda.

b. Karakteristik masyarakat multikultural

Umumnya masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah negara tidak hanya terdiri
dai satu tradisibudaya tunggal (monokultural), tetapi terdiri dari sejumlah kelompok
budaya, berinteraksi dengan berbagaicara dalam suatu kerangka kerja nasionalyang lebih
luas.
Masyarakat multikultural muncul akibat berbagai peristiwa sejarah, termasuk
kolonisme ( satu budaya oleh budaya lain, negara satu oleh negara lain, dsb), pembentukan
bangsa ( dengan menempatkan batas-batas sekitar jumlah kelompok budaya yang
beragam), proses percampuran budaya, peristiwa migrasi dalam segala bentuknya,
perdagangan, kemajuan teknologi terutama komunikasi.
Keragaman budaya dalam masyarakat dapat ditinjau dari berbagai aspek, Ivey, Ivey
dan Simek (1993) mengemukakan dimensi-dimensi multikultural yaitu :
1. Dimensi tempat (locus) yaitu kebudayaan di bedakan dalam budaya individu, keluarga,
kelompok, masyarakat di suatu wilayah,dan negara.
2. Dimensi multicultural assue,terdiri dari budaya bahasa, jenis kelamin, etnik, agama,
orientasi afikasi, usia, masalah fisik, situasi sosial-ekonomi, dan trauma.
3. Dimensi level of cultural identity development mencakup multiperspective internation
reflectin/redifinition naming/resistence,acceptance.

c. Hidup dalam masyarakat multikultural

Dalam pergaulan antar budaya,di jumpai berbagai sikap yang berkaitan dengan
budaya. Budi Munawar Rahman (2001:176) mengemukakan tiga sikap dalam beragam,
yaitu sikap ekseklusif, inklusif, dan paralisme. Sikap ekseklusif dalam budaya berarti
orang menutup diri dalam budayan sediri, mereka merasa bahwa budayanya sendiri yang
terbaik, dan menganggap remeh budaya orang lain , sehingga muncul sikap chauvinistik.
Sikap inklusif dalam budaya memandang bawa setiap budaya memiliki nilai-nilai yang
berbeda, setiap budaya memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga antar budaya saling
melengkapi. Sikap paralelisme memandang antar budaya ada kesamaan/kesejalan, semua
menuju terpenuhinya kebutuhan manusia.
Sikap negatif terhadap keragaman budaya dikemukakan oleh paul Ngganggun
(2000) yaitu :
1. Sikap solidaritas buta menunjukan sikap yang menganggap budayanya paling baik,
sehingga mereka membela budayanya dengan cara apapun.
2. Sikap thnosentrisme adalah suikap yang mengutamakan kelompoknya sendiri.
3. Sikap partikulasi yaitu sikap yang membuat seseorang selalu mengutamakan orang-
orang yang memiliki hubungan partikural atau hubungan khusus.
4. Sikap ekseklusif yaitu sikap yang memisahkan diri dari orang atau kelompok budaya
lain.
Menurut Berry (1999), dalam melakukan kontak atau komunikasi antar budaya akan
melahirkan berbagai gejala akulturasi, seperti asimilasi, integrasi, separasi dan
marginalisasi.
Beberapa tahap politik identitas, yaitu :
1. Princium identities (prinsip kontradiksi),yaitu setiap orang dalam kelompok budaya
memiliki kesadaran, pola pikir dan perilaku yang sama berdasarkan kaidah,adat, kultur
atau agama yang mereka percayai.
2. Principium contradiction (prinsip kontradiksi),setelah terbentuknya identits budaya
kelompok mulai terlihat perbedaan-perbedaan dengan kelompok lain, mereka mulai
membedakan mana budaya kita dan mana budaya mereka.
3. Princpium exclusitertii (prinsip penyingkiran) karena adanya perbedaan-perbedaan
yang ada mereka anggap sebagai penyimpangan dari identitas kultikultural, mereka
lambat laut laut akan berkembang penyingkiran terhadap etnis budaya lain yang
dianggap menodai kemurnian budayanya.
Yuswono Sudarsono (1999) mengemukakan lima prinsip dasar toleransi yaitu :
1. Proses pemahaman sejarah dan kebudayaan tiap kelompok.
2. Sikap dalam perbedaan ciri-ciri khas.
3. Pemanfaatan perbedaan ciri khusus untuk memeperkokoh rasa kebangsaan.
4. Upaya membangun kepercayaan antara anggota masyarakat.
5. Upaya menetapkan keadilan sosial.
Tilaar (1999:160) mengemukakan prinsip-prinsip piagam Madinah yang dikutip
Sukadi, yaitu :
1. Prinsip kebebasan beragama
2. Prinsip persaudaraan seagama
3. Prinsip kesatuan politik dalam meraih cita-cit bersama
4. Prinsip saling membantu
5. Prinsip persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.
6. Prinsip persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara
7. Prinsip penegaan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu
8. Prinsip pemberlakuan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan
kebenaran.
9. Prinsip perdamaian dan kedamaian.
10.Prinsip pengakuan hak atas setiap individu.

d. Problem masyarakat multikultural


Diantara masalah yang sering muncul adalah masalah hubungan antara anggota
pendukung budaya. Berry dkk (1999) mengemukakan bahwa adanya kontak antara budaya
sering muncul adanya setres akulturasi.disamping itu dalam masyarakat multikultural
sering dijumpai sikap diskriminasi rasial, yang berarti “segala bentuk
pembedaan,pengecualian, pembatasan atau pilihanyang berdasarkan ras, warna kulit,
keturunan atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh
menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar
persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik,
ekonomi,sosial, budaya dan buidang lain dari kehidupan masyarakat” (Dycki Lopulalan
dan Benyamin Tahun,2000:9).
Konflik dalam masyarakat yang multikultural dapat berupa :
1. Konflik data, yang terjadi karena orang kekurangan atau salah mendapatkan informasi
yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang bijak.
2. Konflik kepentingan, yaitu terjadi karena perbedaan kepentingan.
3. Konflik hubungan antara manusia, yaitu adanya emosi-emosi yang yang kuat, salah
peresepsi, streotipe, salah komunikasi dan sebagainya.
4. Konflik nilai, adanya sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian.
5. Konfik setruktural, adanya kepentingan untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap
sumber daya.
Sedangkan tahap konflik dalam masyarakat multikultural dapat berlangsung dari
bentuk yang paling sederhana sampai yang paling tinggi . tahapan tersebut adalah :
1. Konflik tersembunyi (laten) yaitu munculnya tekanan-tekanan yang samar dan tidak
sepenuhnya berkembang.
2. Konflik mencuat (emerging) yaitu pihak-pihak yang terlibat sudah teridentifikasi.
3. Konflik terbuka (manifes) yaitu pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam
perselisihan yang terjadi.
4. Konflik eskalasif yaitu konflik yang telah mencuat, baik dari segi kualitas ataupun
kuantitas.
Beberapa perilaku konflik dalam masyarakat multikultural antara lain:
a. Peresepsi pengotak-kotakan, baik segi budaya, ekonomi, politik, geografi dan
sebagainya.
b. Streotip, yaitu memberikan label, cap, penilaian terhadap orang dari kelompok lain
yang umunya negatif, dalam rangka merendahkan diri.
c. Demonsiasi (penjelek-jelekan) yaitu menjelek-jelekan lawan, sehingga terbangun cerita
negatif.
d. Ancaman, yaitu baik secara lisan, fisik ekonomi dan kelompok lain.
e. Pemaksaan
f. Mobilitas sumberdaya manusia , yaitu menggalang massa dengan cepat dan solid.
g. Citra cermin, setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri dengan
ukuran-ukuran sendiri, tanpa melihat cara pandang orang lain.
h. Pengakuan citra sendiri, yaitu menegaskan bahwa dirinya/kelompoknya adalah musuh
kelompok lain.
Bandura yang di kutip oleh Abu Ahmadi (1991:282-283) mengemukakan cara-cara
pemecahan konflik, yaitu :
1. Eliminasi, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
2. Subjugation atau domination yaitu oihak yang memiliki kekuatan besar dapat
memaksakan pihak lain untuk mengikuti.
3. Majority rule yaitu suara suara terbanyak yang ditentukan dengan voting.
4. Minority concent yaitu kelompok mayoritas menang, namun kelompok minoritas tidak
merasa dikalahkan dan menerima keputusan secara suka rela.
5. Compromise yaitu kelompok yang berkonflik berusaha mencari jalan tengah.
6. Intregation artinya pendapatan-pendapatan yang bertantangan diskusikan.
Sumber: zumar di 18:59 http://berbagiilmuq.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-
false-en-us-x-none.html. Diunsuh pada tanggal 28 Oktober 2012, Pukul. 12.00)

Sejalan dengan dinamika kehidupan, kebutuhan akan bimbingan dan konseling tidak
hanya dirasakan pada lingkungan persekolahan. Saat ini sedang dikembangkan pula
pelayanan bimbingan dan konseling dalam setting yang lebih luas, seperti dalam pra nikah,
pernikahan, keluarga, keagamaan, lingkungan pekerjaan, lanjut usia, dan masyarakat luas
lainnya, yang kesemuanya itu membawa konsekuensi tersendiri untuk kepentingan
tersebut. Bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan masyarakat karena populasi yang
beragam dan sejumlah tipe serta ciri problem manusia yang makin meluas.
Dengan populasi yang beragam maka ciri problem manusia pun meluas. Oleh karena
itu, diperlukan konselor sebagai profesi penolong (helping profession). Konselor
diharapkan dapat membantu problema-problema masyarakat saat yang makin meluas
sehingga dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi masyarakat mandiri.
Dengan berkaca dari hal tersebut, maka diperlukan konselor dalam bidang bimbingan dan
konseling pernikahan dan keluarga, keagamaan, lingkungan pekerjaan, serta pula untuk
lanjut usia.

e. Bimbingan dan Konseling Pernikahan dan Keluarga


Pernikahan dan keluarga merupakan rentetan alur dimana sebelum memasuki area
keluarga, maka adanya pasangan laki-laki dan perempuan sebagai calon mempelai laki-laki
atau perempuan melakukan tahap penyesuaian diri. Tahap ini disebut tahap pra nikah.
Sebelum adanya keluarga diawali dengan pra nikah, kemudian masuk pada area
pernikahan baru terbentuknya keluarga kecil yang terdiri dari suami dan isteri. Dalam
keluarga kecil akan lahirnya anak dalam keluarga melengkapi keluarga tersebut.
Akan tetapi harapan dari pernikahan saat memasuki area keluarga tidak selalu
seperti yang diharapkan. Harapan saat pernikahan dengan adanya problem saat berkeluarga
dapat berdampak pada perceraian. Contohnya Indonesia yang memiliki angka perceraian
dari pernikahan yang cukup mengejutkan. Menurut data pada tahun 2010 dari Dirjen
Bimas Islam Kementerian Agama RI, yaitu dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-
Indonesia, maka ada 285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per tahun se-
Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Adapun
penyebab dari persoalan ini disebabkan banyak hal, mulai dari selingkuh, ketidak
harmonisan, sampai karena persoalan ekonomi. Dari hal tersebut, mengindikasikan bahwa
pertengkaran dan perceraian semakin meningkat.
Menurut Gibson and Mitchell (2011:178), menyatakan bahwa stress terbesar yang
muncul selama proses perceraian dialami anak, dan penyesuaian semua pihak sesudahnya
harus bisa terdokumentasikan dengan baik hingga mencangkup sejumlah problem seperti
perasaan gagal yang sering menyertai perceraian, dan juga emosi-emosi negatif lain seperti
marah, menyesal, atau depresi. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa hasil dari
perceraian saat proses ataupun setelah terjadi perceraian adalah masalah-masalah yang
dialami anak. Anak akan tinggal dengan salah satu orang tua kemudian menimbulkan
tekanan bagi dirinya untuk menyesuiakan diri. Masalah semakin kronis jika anak pada
tahap stress dan mengucilkan diri dari masyarakat dan lingkungannya.
Dari keterangan tersebut diperlukannya bimbingan dan konseling di dalam
pernikahan dan keluarga dengan konselor sebagai pelaksanya agar hal-hal tersebut dapat
diatasi ataupun mencegah problem-problem yang muncul dalam lingkungan pernikahan
maupun keluarga. Akan tetapi, bantuan konseling yang efektif bagi keluarga dan pasangan
di masyarakat yang kompleks dan penuh tantangan sehingga dirasa sulit.
Di Amerika, pusat bantuan pernikahan dan keluarga berdiri sejak tahun 1930-an.
Dalam beberapa dekade belakangan terapi pernikahan dan keluarga muncul sebagai salah
satu bidang konseling. Adapun Asosiation of Marriage and Family Counselors (IAMFC)
merupakan bagian dari American Counseling Association untuk mewadahi konselor untuk
membantu masyarakat yang memerlukan bantuan dalam pernikahan dan keluarga.
Dari penjelasan tersebut akan ada 2 hal yang perlu dibahas yaitu bimbingan dan
konseling di dalam pernikahan dan keluarga.

1) Bimbingan dan konseling pernikahan


Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 mengenai perkawinan dijelaskan bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
bedasarkan Ketuhanan diketahui bahwa dalam perkawinan adanya ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami isteri. Kedua ikatan yang harus dilaksanakan adalah
ikatan lahir maupun batin yang dituntut oleh keduanya. Bila tidak ada salah satu dari
keduanya, maka akan menimbukan persoalan dalam kehidupan pasangan tersebut.
Persoalan-persoalan yang timbul dapat mempengaruhi hasil penikahan tersebut sehingga
dapat berujung pada perceraian.
Oleh karena perlu adanya profesi penolong yaitu profesi bimbingan dan konseling.
Perlunya bimbingan dan konseling dalam pernikahan disebabkan adanya latar belakang
yang ada. Menurut Walgito (2004:7-9), ada beberapa hal yang melatar belakangi mengapa
diperlukan bimbingan dan konseling perkawinan, yaitu:
a) Masalah Perbedaan Individual
Masing-masing individu berbeda satu dengan yang lain. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa tiap individu akan memiliki perbedaan sifat dalam segi fisiologi maupun
psikologik. Masing-masing individu memiliki perasaan yang berbeda dengan individu lain.
Dengan hal tersebut dapat dikatakan bahwa masing-masing individu mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Ada
masalah yang diselesaikan dengan cepat, lambat, ataupun tidak dapat diselesaikan.
Masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri, maka perlu bantuan orang lain yaitu
konselor.

b) Masalah Kebutuhan Individu


Tiap manusia memiliki kebutuhan tertentu, kebutuhan merupakan pendorong
timbulnya tingkah laku untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu yang individu harapkan.
Terkait hal diatas dapat diketahui bahwa perkawinan merupaka usaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam individu tersebut.
c) Masalah Perkembangan Individu
Indivudu merupakan makhluk yang berkembang dari masa ke masa, dimana
individu mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan. Dalam perkembangan ini
adakalanya individu mengalami kesulitan-kesulitan dan dengan adanya hal itu
diperlukanya konseling.

d). Masalah Latar Belakang Sosio-Kultural


Perkembangan individu menimbulkan banyak perubahan dalam kehidupan
masyarakat, dan perubahan tersebut akan mempengaruhi individu sebagai anggota
masyarakat. Sesuai perkembangan zaman dimana individu dihadapkan pada perubahan-
perubahan sehingga keadaan itu menimbulkan berbagai macam tantangan dan tuntutan
terhadap kebutuhan individu.
Dengan adanya bimbingan dan konseling, individu diharapkan dapat menyesuaikan
diri dengan baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya. Terkait dengan sebelum
pernikahan ataupun dalam pernikahan, individu dapat memahami posisi yang akan dicapai
setelah pernikahan sehingga dapat menyesuiakan diri dengan problema-problema yang ada
sehingga dapat mencegah problema-problema yang akan muncul.

D. Bimbingan dan Konseling Keagamaan


Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sehingga dapat diketahui bahwa agama adalah kepercayaan manusia dalam menjalani
hidup sesuai dengan aturan yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dijauhi. Agama
menjadi pedoman hidup manusia yang kekal. Artinya sepanjang waktu saat dirinya hidup
di dunia maupun di akhirat.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti "tradisi".
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa
Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Di Indonesia ini memiliki beragam suka, ras, budaya, dan agama. Salah satu
ragamnya adalah agama. Agama pasti dimiliki umat manusia sebagai kepercayaan untuk
menjalani hidupnya. Akan tetapi di Indonesia ini, ada penduduk yang juga tidak memiliki
kepercayaan. Semua itu adalah ragam hal yang dimiliki Indonesia.
Ada 5 agama yang di sah kan oleh pemerintah Indonesia mengenai agama yang
dianut. Agama yang disahkan adalah Islam, Katolik, Kristen, Budha dan Hindu. Adapula
agama yang berkembang di Indonesia tetapi tidak sah yaitu konghucu dan sebagainya.
Karena itu Indonesia disebut sebagai negara multicultur.
Perbedaan agama di Indonesia juga berpengaruh pada perbedaan masalah yang
dialami oleh tiap manusia. Perbedaan agama juga dapat menimbulkan masalah pula. Oleh
karena itu perlu adanya konselor sebagai profesi untuk membantu individu/ masyarakat
mengembangkan potensi dan memandirikanny. Dengan keanekaragaman agama membuat
konseling juga memiliki ragam. Ragam konseling dalam keagamaan yaitu:

1. Konseling Islami
Islam memandang bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan yang
diciptakan sebagai khalifah di muka bumi untuk mengabdi kepada-Nya. Dari hal tersebut
dapat dirumuskan bahwa tujuan dari bimbingan dan konseling Islami adalah untuk
meningkatkan dan menumbuhkan kesadaran manusia tentang eksistensinya sebagai
makhluk dan khalifah Allah Swt di muka bumi ini, sehingga setiap aktifitas dan tingkah
lakunya tidak keluar dari tujuan hidupnya, yakni menyembah atau mengabdi kepada Allah
Swt.
Secara kodrati, manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk religius yang
memiliki keeksistensiannya dan hidup secara bersama-sama. Oleh karena itu, dengan
bimbingan dan konseling daimaksudkan agar manusia mampu memahami potensi-potensi
insaniahnya, dimensi-dimensi kemanusiaanya, termasuk memahami berbagai persoalan
hidup dan mencari alternati pemecahannya. Dengan pemahaman ajaran-ajaran Islam,
secara preventif dapat mencegah manusia dari berbagai bentuk perbuatan negatif yang
dapat merugikanya dirinya maupun orang lain.
Di era globalisasi ini, ditemukan banyak individu yang terbuai dengan urusan dunia
sehingga melahirkan sikap individualistik dan sifat-sifat negatif semacamnya. Sikap dan
perilaku yang demikian telah menyimpang dari perkembangan fitrah manusia yang telah
Allah berikan. Bahkan hal tersebut dapat menjauhkan hubungan manusia sebagai hamba
kepada Tuhannya meskipun hubungan sesama manusia tetap berjalan dengan baik. Hal
demikian dapat terjadi dikarenakan kekurang perhatian pendidikan dan bimbingan yang
diberikan sebelumnya terhadap hal tersebut.
Dari penjelasan diatas bahwa konseling Islami adalah suatu usaha membantu
individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama yang
dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari peranannya sebagai khalifah dibumi dan
berfungsi untuk menyembah kepada Allah Swt., sehingga akhirnya tercipta kembali
hubungan baik dengan Allah Swt, manusia dan alam semesta.
Tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual.
Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kemajuan ekonomi yang dialami oleh manusia, ternyata menimbulkan suasana kehidupan
yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan hanya menimbulkan perasaan hampa.
Akhir-akhir ini sedang berkembang kecenderuangan manusia untuk menata kehidupan
yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual. Keadaan ini telah mendorong perkembangan
bimbingan dan konseling yang berlandaskan nilai spiritual dan religi.
Dalam agama, terutama agama Islam, menempatkan manusia pada kedudukan yang
mulia. Manusia diberi jabatan oleh Allah sebagai khliafah di muka bumi dengan
keistemewaan-keistemewaan yang telah dibawanya sejak lahir (fitrah). Dan fitrah tersebut
tidak akan berkembang dengan tanpa adanya bimbingan dan pengajaran. Dengan
perjalanan perkembangan fitrah manusia, akan menghadapi berbagai permasalaah. Dengan
pendekatan agama, konselor akan dapat mengatasi masalah yang dihadapi oleh klien.
Karena agama mengatur segala aspek kehidupan manusia untuk mewujudkan rasa tentram,
damai dalam batin manusia dalam menuju kebahagiaan yang hakiki.
Pendekatan Islami dalam bimbingan dan konseling dapat diakaitkan dengan aspek-
aspek psikologis yang meliputi pribadi, sikap, kecerdasan, perasaan dan lain-lain yang
berkaitan dengan klien dan konselor. Bagi pribadi muslim yang berlandaskan tauhid,
merupakan pribadi yang bekerja keras untuk melaksanakan tugas suci yang telah Allah
berikan dan percayakan kepadanya, yang mana baginya merupakan suatu ibadah. Sehingga
pada pelaksanaan bimbingan dan konseling, pribadi muslim berprinsip pada hal-hal
sebagaimana yang disampaikan oleh Nelly Nurmelly dalam papernya peran agama dalam
bimbingan konseling berikut ini:
a. Selalu memiliki prinsip landasan dan prinsip dasar yaitu hanya beriman kepada Allah
swt.
b. Memiliki prinsip kepercayaan, yakni beriman kepada malaikat.
c. Memiliki prinsip kepemimpinan, yakni beriman kepada Nabi dan Rosul-Nya.
d. Selalu memiliki prinsip pembelajaran, yakni berprinsip pada Al-Quran.
e. Memiliki prinsip masa depan, yakni beriman kepada hari akhir.
f. Memiliki prinsip keteraturan, yakni beriman kepada ketentuan Allah.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi manusia, agama telah


mengatur berbagai aspek kehidupan manusia untuk mewujudkan rasa damai dan tentram
bagi jiwa manusia dalam menuju kebahagiaan yang hakiki. Peranan agama Islam dalam
menghadapi kesehatan mental manusia adalah sebagaimana berikut:

a. Ajaran Islam beserta seluruh petunjuknya yang ada di dalamnya merupakan obat bagi
jiwa atau penyembuh segala penyakit hati yang terdapat dalam jiwa manusia.
b. Ajaran Islam memberikan bantuan kejiwaan kepada manusia dalam menghadapi
cobaan dan mengatasi kesulitan.
c. Ajaran Islam memberikan rasa aman dan tentram yang menimbulkan keimanan kepada
allah dalam jiwa seorang mukmin.
d. Bagi seorang mukmin, ketenangan jiwa, rasa aman dan ketentraman jiwa akan
terealisasi dengan keimanannyakepada Allah yang akan membekali harapan akan
pertolongan, lindungan dan penjagaan-Nya.

Teori-teori konseling dalam Islam adalah landasan yang benar dalam melaksanakan
proses bimbingan dan konseling agar dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan
perubahan-perubahan positif bagi klien mengenai cara dan paradigma berfikir, cara
menggunakan potensi nurani, cara berperasaan, cara berkeyakinan dan cara bertingkah
laku berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Konseling merupakan aktifitas untuk menciptakan perubahan-perubahan dan
perbaikan-perbaikan. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, ada perlunya dalam
pelaksanaan bimbingan dan konseling membutuhkan teknik-teknik yang memadai.
Berikut ini adalah beberapa teknik konseling sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Hamdani Bakari (2002), yakni:
a. Teknik yang bersifat lahir
Teknik yang bersifat lahir ini menggunakan alat yang dapat di lihat, di dengar atau
dirasakan oleh klien (anak didik) yaitu dengan menggunakan tangan atau lisan antara lain:
b. Teknik yang Bersifat Batin
Teknik yng hanya dilakukan dalam hati dengan do'a dan harapan namun tidak usaha
dan upaya yang keras secara konkrit, seperti dengan menggunakan potensi tangan dan
lisan. Oleh karena itulah Rosululloh bersabda "bahwa melakukan perbuatan dan
perubahan dalam hati saja merupakan selemah-lemahnya iman".

Teknik konseling yang ideal adalah dengan kekuatan, keinginan dan usaha yang
keras dan sungguh-sungguh dan diwujudkan dengan nyata melalui perbuatan, baik dengan
tangan, maupun sikap yang lain. Tujuan utamanya adalah membimbing dan mengantarkan
individu (anak didik) kepada perbaikan dan perkembangan eksistensi diri dan
kehidupannya baik dengan Tuhannya, diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan dan lingkungan masyarakat.

2. Konseling Pastoral
Pastoral Konseling adalah suatu interpersonal relationship, suatu dialog (dan bukan
monolog) yang terjadi antara pendeta dan konselinya, yang bisa melibatkan, seluruh aspek
kehidupan mereka masing-masing. Sebagai konselor, pendeta tidak hadir sebagai
pengkotbah di atas mimbar di dalam gereja pada konselinya tetapi juga berhadapan muka
dengan konselinya sebagai dua pribadi yang utuh, yang masing- masing punya hak (dan
kebebasan) untuk mengekspresikan dirinya.
Peran seorang konselor sebagai seorang hamba Tuhan membawakan peran sebagai
imam. Konselor menyadari bahwa satu-satunya kemungkinan adanya percakapan
konseling itu pada suasana yang ideal (condusive atmosphere) adalah jika konseli betul-
betul merasa diperlakukan sebagai satu subyek, pribadi yang utuh yang persoalannya,
perasaannya, cara berpikirnya bahkan segala sesuatu yang ada padanya mempunyai nilai
untuk dihargai. Adapula sikap merugikan dari pihak konseli. Dalam hubungan
interpersonal relationship, konselor mesti menyadari adanya berbagai kemungkinan yang
merugikan, ditimbulkan oleh sikap konseli terhadap konselornya. Dalam hubungan
"transference" (pemindahan perasaan) dalam setiap interpersonal relationship (hubungan
timbal balik) antara dua pribadi. Kemudian dorongan yang merugikan dari dalam diri
konselor sendiri. Dalam interpersonal relationship itu, konselor sendiri mesti waspada
terhadap dorongan dan rangsangan, yang sering kali timbul justru dari dalam dirinya
sendiri, yang bisa menjadi penyebab kegagalan pelayanan konselingnya yaitu kebutuhan
untuk melakukan counter-transference.
Yang patut mendapat perhatian ialah, ternyata kebutuhan yang merugikan ini sering
kali bukan hanya sekedar ekspresi dari kebutuhan manusiawi pada umumnya (kebutuhan
akan pujian dan penghargaan), tetapi kebutuhan tidak sehat dari kepribadian yang sakit
yang sering kali disebut dengan istilah 'narcissism'.
Di Amerika terdapat bagian dalam American Counseling Association terdapat
bagian-bagiannya. Salah satunya American Association of Pastoral Counseling (AAPC)
yang sebagai naungan bagi konselor yang beragama kristen dan katolik dalam membantu
klien atau masyarakat yang beragama kristen atau katolik yang mengalami masalah. Para
konselor akan disertivikasi dan akreditasi program-program pelatihan untuk para konselor.
Dalam konseling pastoral juga menangani masalah-masalah yang dialami seseorang
atau masyarakat. Konseling pastoral di Amerika sering dilakukan di tempat ibadah
(gereja). Rumah ibadah menawarkan konseling untuk problem-problem keluarga,
pernikahan, pasangan, anak muda, perawatan anak, dan manula (Gibson and Mitchell,
2011:180).

E. Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Pekerjaan


Tenaga konselor dalam konseling pekerjaan di Amerika dimulai pada tahun 1960-
an. Konselor pekerjaan menemban kewajiban konseling yang memenuhi standar minimum
klasifikasi konselor pekerjaan. Konselor pekerjaan dipersyaratkan untuk memiliki
kemampuan dalam memberikan tes kerja dan menginterpretasikan hasilnya didalam sistem
kompensasi untuk mereka yang masih belum bekerja.

Fokus dari konselor pekerjaan adalah penempatan yang benar klien bekerja.
Konselor diharapkan dalam prosesnya melakukan konselingproblem pribadi dan
membantu mereka mengembangkan sikap, keterampilan, dan kemampuan yang tepat yang
akan membantu mereka lulus wawancara kerja. Dengan demikian para konselor terlibat
dalam pengumpulan data dari klien dalam pemberian dan penginterpretasikan tes-tes
standar.

Konselor bernaung dalam wadah American Counseling Association dalam divisi


Asosiasi Konseling Pekerjaan Nasional sebagai organisasi profesional. Adapun konselor
pekerjaan harus memenuhi kualifikasi peran dan fungsi konselor pekerjaan. Sehingga dari
semua itu akan memiliki Kompetensi Konseling Pekerjaan Nasional (Gibson dan Mitchel,
2011:172-174 dalam National Employment Counseling Association (2001)) sebagai
berikut:

1. Keterampilan Konseling
2. Keterampilan Asesmen Individu dan Kelompok
3. Konseling Kelompok
4. Pengembangan dan Penggunaan Informasi Terkai Pekerjaan
5. Keterampilan Terkai komputer
6. Pengembangan Rencana Pekerjaan, Pengimplementasian, dan Manajemen Kasus
7. Keterampilan Penempatan
8. Keterampilan Menjalin Hubungan dengan Komunitas
9. Manajemen Muatan-Kerja dan Keterampilan Hubungan Intra-Lembaga
10.Keterampilan Pengembangan Profesi
11.Isu-isu Etnis dan Hukum

F. Bimbingan dan Konseling Untuk Usia Lanjut


Menurut Hurlock (1980:380), menyatakan bahwa usia tua adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah “beranjak
jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang
penuh manfaat. Artinya bahwa pada masa usia lanjut, seseorang sering melihat ke masa
lalunya dan menikmati hidup di masa sekarang tanpa melihat hidup di masa depan.
Seseorang cenderung pasrah untuk masa depan karena berpikir sudah mengalami
penurunan dalam hal fisik dan menikmati hari demi hari.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 telah bertambah
menjadi 241 juta jiwa lebih. Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan
penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa laju
pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi
pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta lebih per tahun dengan usia di atas 60 tahun dan di
bawah garis kemiskinan.
Pada lanjut usia di usia 60 tahun ke atas terdapat beberapa masalah yang dialami.
Masalah paling utama yang sering muncul adalah menurunnya fungsi tubuh. Penurunan
fungsi tubuh meliputi penglihatan, daya ingat, seksual, dan kelenturan. Masalah yang
berikutnya yaitu mengenai kesehatan seseorang. Kesehatan pada usia lanjut adalah hal
yang vital karena mempengaruhi psikologis dari diri mereka sehingga menimbulkan
masalah psikologis pula. Kemudian masalah yang timbul dari lingkungan adalah hal yang
perlu diperhatikan. Ketakutan pada usia lanjuta adalah jika dikucilkan oleh lingkungan
karena usia mereka yang sudah tidak produktif lagi.
Pekerjaan adalah identitas terkuat untuk banyak orang saat usia masih produktif.
Pekerjaan juga menjadi pondasi yang kuat untuk membuat visi dan misi dalam hidupnya.
Ketika memasuki usia pensiun, maka bukan hanya jadi diri seperti hilang, tetapi arah hidup
dan relasi sosial juga menguap (terasa hilang).
Dari semua masalah tersebut ada masalah yang paling pokok yaitu kesepian. Saat
usia muda sering disibukkan dengan rutinitas kerja kemudian pada masa lanjut usia mereka
menganggap bahwa hidup terasa hambar karena kurang produktif. Sehingga kesepeian
adalah problem utama yang dihadapi banyak lansia, dan dari situ rasa kesepian
menguatkan perasaan negatif lainnya seperti tidak berharga, tidak berdaya, frustasi, tidak
bermakna, dan sebagainya. Dan problem krisis usia senja ini makin diperburuk jika mereka
mengalami nasib kehilangan orang-orang dikasihi seperti istri/ suami yang meninggal,
anak yang meninggal atau sibuk dengan hidup diluar kota, teman-teman, tetangga, dan
kerabat yang lainnya (Gibson and Mitchell, 2011:181).
Pada masa usia lanjut ini, mereka tidak ingin diabaikan. Mereka sering menuntut
pada pemerintah, masyarakat atau konselor terhadap kebutuhannya. Tuntutan kebutuhan
mereka seperti pelayanan bagi usia mereka yang sering terabaikan dengan layanan lain.
Oleh karena itu, bimbingan dan konseling adalah salah satu sosok tepat bagi usia lanjut.
Layanan-layanan bimbingan dan konseling dengan pendekatan-pendekatan yang tepat
dapat membantu para lanjut usia untuk memperoleh tujuan hidup mereka yang membuat
mereka mandiri. Karena sering terjadi masalah seperti stres, depresi, dan alkoholisme
adalah simtom umum yang dihadapi oleh para konselor gerontologi, dan untuk
menanganinya, mereka harus menggali akar problem dan menyembuhkan hatinya (Gibson
and Mitchell, 2011:181).
Pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia adalah proses penyuluhan sosial,
bimbingan, konseling, bantuan, santunan dan perawatan yang dilakukan secara terarah,
terencana dan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
lanjut usia atas dasar pendekatan pekerjaan sosial. Bimbingan dan konseling dalam usia
lanjut adalah pekerjaan sosial. Pekerjaan sosial ini bisa dilakukan di panti jompo ataupun
penyuluhan di masyarakat seperti kelurahan atau tingkat RT dan RW.
Salah satu bentuk pendekatan dalam bimbingan dan konseling pada usia lanjut usia
yaitu pendekatan spiritual. Pendekatan ini cocok pada usia lanjut usia agar mereka lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan dari itu agar mereka dapat memaknai hidup secara
lebih baik dan tidak berpikiran negatif tentang diri mereka serta mencari ampunan atau
ridho bagi Tuhan.
Dalam bimbingan dan konseling lanjut usia memiliki sifat pelayanan. Sifat
pelayanan bimbingan dan konseling baik secara preventif, kuratif dan rehabilitatif.
1. Prefentif atau pencegahan, Pelayanan bimbingan dan konseling yang diarahkan untuk
pencegahan timbulnya masalah baru dan meluasnya permasalahan lanjut usia, maka
dilakukan melalui upaya pemberdayaan keluarga, kesatuan kelompok–kelompok
didalam masyarakat dan lembaga atau organisasi yang peduli terhadap peningkatan
kesejahteraan lanjut usia, seperti keluarga terdekat, kelompok pengajian, kelompok
arisan karang werdha, dan panti.
2. Kuratif atau penyembuhan, Pelayanan sosial lanjut usia yang diarahkan untuk
penyembuhan atas gangguan-gangguan yang dialami lanjut usia, baik secara fisik,
psikis maupun sosial.
3. Rehabilitatif atau pemulian kembali, Proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial
setelah individu mengalami berbagai gangguan dalam melaksanakan fungsi-fungsi
sosialnya.
Prinsip kesejahteraan bimbingan dan konseling juga mengacu pada prinsip
kesejahteraan sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi PBB NO. 46/1991 tentang
principles for Older Person ( Prinsip-prinsip bagi lanjut usia) yang pada dasarnya berisi
himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang meliputi kemandirian, partisipasi,
pelayanan, pemenuhan diri dan martabat yaitu :
1. Memberikan pelayanan yang menjujung tinggi harkat dan martabat lanjut usia.
2. Melaksanakan, mewujutkan hak azasi lanjut usia.
3. Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri.
4. Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya.
5. Mengupayakan kehidupan lanjut usia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan
masyarakat.
6. Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan dengan
perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta meningkatkan
kemitraan dengan berbagai pihak.
7. Memasyarakatkan informasi tentang aksesbilitas bagi lanjut usia agar dapat
memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana serta perlindungan
sosial dan hukum.
8. Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan
prasarana dalam kehidupan keluarga, serta perlindungan sosial dan hukum.
9. Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana pendidikan,
budaya spriritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat.
10.Memberikan kesempatan bekerja kepada lanjut usia sesuai dengan minat dan
kemampuan.
11.Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk berpartisipasi
aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya.
12.Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat kekeluargaan.

Berdasarkan uraian Bab VII di atas, jelas sekali dan tidak disangkal lagi bahwa
setiap lapangan kehidupan dan kegiatan manusia memerlukan bimbingan dan konselin,.
termasuk dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, beragama, dan pekerjaan.
Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan tidak hanya dalam
dunia pendidikan, tapi juga di masyarakat. Dengan adanya layanan bimbingan dan
konseling, dapat membantu masyarakat untuk menemukan jalan keluar dalam masalahnya
dan juga mengenali dan mengembangkan potensi dalam diri. Sehingga hal ini sangat
berpengaruh dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sesuai dengan esensi Bimbingan dan Konseling dimana Esensi bimbingan dan
konseling adalah memandirikan individu, kemandirian adalah tujuan bimbingan dan
konseling. Perkembangan kemandirian terarah kepada penemuan makna diri dan dunia,
dan pemaknaan itu akan beragam sesuai dengan persepsi manusia akan diri dan dunianya.
Proses memaknai adalah proses selektif, ditentukan melalui proses memilih, dank arena itu
bangun kehidupan dalam setiap manusia akan berbeda-beda (Kartadinata, 2007).
Bimbingan dan konseling di Indenesia masih dititik beratkan di dalam pendidikan
dan belum bisa menyebar luas di kalangan masyarakat umum, namun bimbingan dan
konseling dalam masyarakat sudah mulai berkembang meskipun. Dimana di masyarakat
sudah mulai berkembang konseling religious. Untuk kalangan masyarakat muslim dikenal
dengan konseling islami dan pemeluk agama Kristen dengan konseling pastoral.
Perkembangan masyarakat aka berjalan dengan baik bila diimbangi oleh
perkembangan pribadi yang baik pula dan dengan adanya bimbingan konseling di
masyarakat maka memungkinkan terbentuknya pribadi yang bisa berkembang dengan
baik.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di Amerika berbeda jauh dimana di setiap
jenjang bidang layanan mendapat payung hokum yang kaut, tetapi di Indonesia hanya
masih beberapa asosiasi yang memayungi bimbingan konseling dan yang menjadi induk
payung hukum bimbingan dan konseling di Indonesia adalah ABKIN (Assosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia).

BAB VIII
PROSEDUR UMUM
PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Prosedur Umum Pelaksanaan BK
Prosedur umu pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling diberbagai
seting/adegan dapat diperhatikan bagan berikut:

Datang Sendiri/ Dicari Identifikasi Kasus

Informasi Yg Ada/Dicari Identifikasi Masalah

Informasi Yg Ada/Dicari Diagnosis


Informasi Yg Ada/Dicari Prognosis

Remidial/Referal

Evaluasi/Follow Up

Bagan Umum Prosedur Pelaksanaan


Layanan Bimbingan Konseling

Prosedur pelaksanaan layanan umum bimbingan dan konseling dapat diperhatikan


uraian berikut ini:

1. Identifikasi Kasus
Identifikasi Kasus merupakan upaya untuk menemukan peserta
didik/masyarakat/pekerja/orang yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan
konseling. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga
membutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
a. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta
didik/masyarakat/orang secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
b. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik.
Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada
hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler,
rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
c. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah
penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara
mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes,
seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama
serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
d. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui
tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
e. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang
diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
Nampaknya yang diharapkan dalam langkah pertama ini belum optimal seperti
orang sakit mendatangi seorang dokter di klinik atau di rumah sakit. Kedepan layanan
bimbingan dan konseling dalam identifikasi kasus, klien atau peserta didik bisa datang
sendiri menghubungi guru bimbingan dan konseling untuk menyampaikan permasalahan
yang dihadapinya.

2. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan langkah lanjutan dari setelah mengidentifikasi kasus
yang ditemukan serta merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan
atau masalah yang dihadapi peserta didik/masyarakat/orang. Dalam konteks Proses
Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1)
substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi masalah peserta didik/ masyarakat/orang, Prayitno dkk.
telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa
yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk
mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan
kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan
pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-
mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.

3. Melakukan Diagnosis
Melakukan sebuah diagnosis merupakan sebuah upaya untuk menemukan faktor-
faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam
konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar peserta
didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton
membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan
atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari
dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor
eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor
guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
Dalam melakukan diagnosis, pembimbing atau konselor harus berhati-hati ketika
menyimpulkan dari temuan permasalahan yang diketahui, karena kesalahan mengdiagnosis
permasalahan akan mengakibatkan fatal dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling, oleh karena itu diperlukan kerja sama antar seluruh komponen terkait, sehingga
diagnosis akan menjadi tepat.

4. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan atau memprediksi apakah masalah yang dialami
peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif
pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan
hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini
seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak
yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.

5. Remedial dan Alih Tangan Kasus


Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem
pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau
konselor, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing
itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih
mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas
hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten atau dengan kata lain
memberikan reveral kepada ahlinya.
6. Evaluasi dan Follow Up
Evaluasi dan Follow Up merupakan langkah terakhir dalam prosedur pelaksanaan
bimbingan dan konseling. Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan
masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa
pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah
yang dihadapi peserta didik.
Penilaiain meliputi : (a) Penilaiaian Segera; (b) Peneliaian Jangka Pendek; dan (3)
Penilaian Jangka Panjang
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas telah
memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
a. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan
masalah yang dibahas;
b. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui
layanan, dan
c. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan
layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang
dialaminya.

B. Perangkat dan Program Guru BK dalam Kurikulum 2013


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat berpengaruh terhadap
seluruh aspek kehidupan. Dengan perkembangan tersebut, dunia pendidikan wajib
mengikutinya jika dalam mempersiapkan bangsa tidak ingin ketinggalan dengan bangsa
lain.
Program Bimbingan Konseling Kurikulum 2013, untuk Guru BK kami hadirkan
dengan berbagai format isi sebagaimana layaknya perangkat mengajar BK yang telah
ditentukan dalam K13 RPP/RPL, Silabus dan Program Bimbingan lainnya, Program Guru
BK ini sangat ideal bagi rekan guru gunakan terutama guru BP/BK saat ini, diantaranya
sebagai berikut:
1. Alat Ungkap Masalah Siswa BK
2. Angket Daftar Cek Masalah BK
3. Instrumen Identifikasi Masalah Siswa
4. Laporan Kegiatan BK di Sekolah
5. Laporan Kunjungan Ruman (Home Visit)
6. Lembar Kerja Peminatan Peserta Didik
7. Lembar Kerja RPL Konseling Kelompok
8. Perangkat Adminitrasi BK yang harus dimiliki
9. Program Bk Visi Misi
10.Program Bulanan
11.Program Tahunan & Semester
12.Program Umum Bk
13.RPL Bahaya Rokok
14.RPL Bidang Bimbingan Belajar
15.RPL Bimbingan Kelompok PR
16.RPL Cita-cita Menuju Karier Sukses
17.RPL KLASIKAL
18.RPL Konseling Indivdu
19.RPL Konseling individu, RPL bimkel dan RPL konferensi kasus
20.RPL Mendapatkan beasiswa
21.RPL Menentukan Tujuan Karier
22.RPL Menghadapi Ujian
23.RPL Motivasi belajar
24.RPL Penyalahgunaan NAPZA
25.RPL Sekolah Lanjutan
26.RPL Tentang Emosi
Format tersebut di atas dapat diunduh melalui program BK Kurikulum
2013/Kurtilas.

C. Format Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan Konseling


Paradigma sekarang bimbingan dan konseling perkembangan. Berorientasi pada
fungsi perkembangan dan prefentif (pencegahan), dalam hal ini lebih kepada upaya
menfasilitasi konseli (peserta didik) agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau
mencapai tugas-tugas perkembangannya (meliputi: aspek fisik, emosi, intelektual, sosial,
moral spiritual)
Tujuan Bimbingan dan Konseling yaitu membantu konseli agar dapat mencapai
tugas-tugas perkambangan yang meliputi aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan karir.
Komponen program terdiri dari (1) pelayanan dasar bimbingan; (2) layanan responsife; (3)
perencanaan individual; dan (4) dukungan sistem. Prosedur pelayanan BK yaitu (1)
perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) evaluasi; (4) analisis; dan (5) tindan lanjut.
Salah satu kegiatan yang harus dibuat dalam perencanaan adalah membuat RPP-BK
(rencana pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling) yang dibuat oleh guru sesuai
dengan hasil temuan. Tujuannya adalah memahami hakekat RPPBK, Memahami prosedur
pengembangan RPPBK, dan Melalui latihan, dapat mengembangkan RPPBK untuk satu
topik layanan.
Hakekat RPPBK, ada beberapa istilah yang pernah kita kenal, seperti Satuan
bimbingan (Satbim), Satuan layanan (Satlan), Rencana pelaksanaan program bimbingan
dan Konseling (RPPBK) dan bagi guru bidang studi RPP (Rencana Program Pembelajaran)
dan Satuan Pelajaran (Satpel).
Batasan Ilmiah, RPPBK merupakan rincian program BK yang berisi
kompetensi/tujuan yang akan dicapai,materi, strategi, dan evaluasi yang akan dilaksanakan
dalam memberikan suatu layanan bimbingan kepada konseli (peserta didik). RPPBK
merupakan salah satu bentuk dari program BK (Prog. Harian/mingguan), disamping
program bulanan, semesteran, dan program tahunan dan RPPBK merupakan persiapan
konselor (guru BK) yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan layanan BK.
Bagaimana RPPBK dikembangkan, kita perhatikan bagan berikut ini:
Bagan : Prosedur RPPBK
Selanjutnya format RPP BK dapat diperhatikan di bawah ini:
Contoh Format Silabus BK
SILABUS BIMBINGAN DAN KONSELING (1)

Sekolah : ............................................. Kelas : ................


Mata Pelajaran / Layanan : Bimbingan dan Konseling Semester : ...../..........

Standar Kompetensi / Mencapai kematangan dalam peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia dengan cara
Tugas Perkembangan => bersedia mengembangkan keterampilan intelektual untuk menjadi warga masyarakat yang
baik
Kompetensi Dasar => Siswa mampu mengenal sekolah secara benar, bersikap terpelajar, dan mampu beradaptasi
secara bertanggungjawab, serta menjadi warga sekolah yang baik sebagai bukti pribadi
yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia

Jenis Bidang Fungsi


Materi Layanan Indikator / Tujuan Layanan Layanan Bimbingan Layanan
Orientasi Pribadi - Sosial Pemahaman
Sekolahku
Menyadari proses masuk sekolah di SMA
a. Sekolah di SMA
sebagai lingkungan hidup yang penting bagi
perkembangan diri
Mengenal sekolah sebagai sarana
b. Pengenalan terhadap
penyesuaian diri untuk mengembangkan
sekolah
aspek intelektual, sikap, dan keterampilan
Memiliki keseriusan dalam belajar untuk
berprestasi yang tinggi sesuai dengan bakat,
c. Pentingnya keseriusan
minat, dan kemampuan yang didasarkan
dalam belajar
pada iman, rasa takwa, dan akhlak mulia
yang telah dikaruniakan dari Tuhan
Alokasi Waktu dan Sumber Belajar, serta aspek lainnya dapat ditambahkan sendiri oleh guru pembimbing dan dikembangkan lagi dalam Rencana
Pelaksanaan Layanan

Rencana Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling (01)

A Judul Layanan Bimbingan dan Konseling


B Jenis Layanan Orientasi
C Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial
D Fungsi Layanan Pemahaman
Siswa mampu mengenal sekolah secara benar, bersikap terpelajar, dan mampu beradaptasi
E Tujuan Layanan
secara bertanggungjawab, serta menjadi warga sekolah yang baik sebagai bukti pribadi yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia
a. Menyadari proses masuk sekolah di SMA sebagai lingkungan hidup yang penting bagi
perkembangan diri
b. Mengenal sekolah sebagai sarana penyesuaian diri untuk mengembangkan aspek intelektual,
F Hasil yang Ingin Dicapai sikap, dan keterampilan
c. Memiliki keseriusan dalam belajar untuk berprestasi yang tinggi sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuan yang didasarkan
pada iman, rasa takwa, dan akhlak mulia yang telah dikaruniakan dari Tuhan
G Sasaran Kegiatan Siswa SMA Kelas X
SEKOLAHKU
a. Sekolah di SMA
H Materi Layanan
b. Pengenalan terhadap sekolah
c. Pentingnya keseriusan dalam belajar
Ruang Kelas / Sarana & Prasarana Sekolah / Ruang Bimbingan / Lingkungan Sekolah /
I Tempat Penyelenggaraan
(Menyesuaikan )
J Waktu / Tanggal …………./………………sesuaikan
K Semester 1 / Ganjil ….sesuaikan
L Penyelenggara Layanan Guru Pembimbing
M Pihak yang dilibatkan Staf Sekolah / Guru & Karyawan / Pembina OSIS / ( Menyesuaikan )
Data Inventaris Sekolah & Sarana-Prasarana/ Struktur Organisasi Sekolah / Dll (menyesuaiakan
N Alat dan Perlengkapan
)
- Evaluasi diri / mengisi lembar kerja / latihan / isian yang ada di dalam buku bimbingan
Rencana Penilaian dan
O - Pendampingan secara umum dan melakukan salah satu atau lebih jenis layanan (
Tindak Lanjut
menyesuaikan )

Mengetahui: Karawang, ...................................................

Kepala Sekolah, Konselor/Guru BK,

...................................................... .....................................................................

Format Silabus dan RPP BK tidak mutlak harus sama, tetapi sesuaikan dengan situasi dan kondisi dilapangan/tempat kerja
C. Hasil-Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling
Sutirna (2004) melaporkan hasil penelitiannya dengan judul model
pembelajaran matematika bernuansa bimbingan dan konseling di SLTP sebagai
berikut:
1. Penggunaan model pembelajaran matematika bernuansa bimbingan berpengaruh
positif terhadap peningkatan hasil belajar siswa di SLTP.
2. Ada perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika siswa yang dalam
pembelajarannya bernuansa bimbingan dengan yang pembelajarannya seperi
biasa (konvensional).
3. Ada hubungan yang signifikan hasil pretes dan postes untuk siswa yang dalam
pembelajaran matematika bernuansa bimbingan.
4. Respon siswa berdasarkan angket menunjukkan sangat baik terhadap proses
belajar mengajar yang pembelajarannya memperoleh bimbingan dibandingkan
dengan yang pembelajarannya tidak memperoleh bimbingan atau pembelajaran
biasa (konvensional).
Hasil penelitian berikutnya juga dilakukan oleh Sutirna (2011) tentang model
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi peserta didik program
pendidikan kesetaraan melaporkan hasilnya sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penyelenggaraan bimbingan dan konseling bagipeserta didik
program pendidikan kesetaraan belum optimal dilaksanakan oleh penyelenggara
pendidikan kesetaraan. Hal ini dibuktikan oleh hasil studi pendahuluan bahwa
hampir setengahnya penyelenggara belum memiliki filosofi, sistem
penyelenggaraan, dan pertanggungjawaban layanan bimbingan dan konseling.
2. Model hipotetik sangat efektif dalam meningkatkan layanan bimbingan dan
konseling untuk aspek akademik, prinadi, sosial, dan karir. Hal ini dibuktikan
oleh hasil perbandingan antara sebelum pelaksanaan model dan sesudah
pelaksanaan model.
3. Model pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi peserta didik program
pendidikan kesetaraan cukup signifikan keefektifannya dalam meningkatkan

155
layanan bimbingan dan konseling untuk aspek akademik, pribadi, sosial dan
karir.
Dari dua hasil penelitian di atas, jelaslah bahwa layanan bimbingan dan
konseling sangat berarti bagi peningkatan prestasi hasil belajar siswa dan sangat
berarti bagi peningkatan layanan bimbingan dan konseling di pendidikan kesetaraan
(non formal atau masyarakat).
Sutirna (2017) menyampaikan pada forum internasional di Asia Fasific of
Education Conference di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tentang Strategi
PBM Matematika berbasis pada Prinsip Layanan Bimbingan dan Konseling dengan
kesimpulannya sebagai berikut: The conclusion of this research is that the Strategy
of Teaching and Learning Mathematics is very important to be patterned through
the use of guidance and counseling service principles from the preparation,
implementation and evaluation phase. The preparation phase of the harmonious,
happy, and warm of the situation will greatly affect the process of implementation of
learning that PAIKEM (active learning innovative creative effective and fun) will
produce qualified students. Sunaryo et al (2008) states that quality education if the
three areas implemented synergistically, namely the field of administration,
academic and student guidance.

156
RIWAYAT PENULIS

Hari Sabtu pukul 08.00 pagi WIB tepatnya tanggal 11 Juli 1964 atau 48
tahun yang silam di bantaran sungai Citarum Kabupaten Karawang yang bersih dan
indah pemandangannya, terlahirlah seorang anak laki-laki dari pasangan suami-isteri
antara Ibu Saanih (Alm, 21 Desember 2011) dan Bapak Tirin ( September 2015)
dengan keseharian yang bekerja sebagai seorang buruh kasar yang kadang-kadang
menjadi penarik becak di Kota Karawang sedangkan Ibunya sebagai ibu rumah
tangga yang apa adanya.
Berangkat dari keberadaan tersebut, Sutirna diasuh oleh Nenek (Ny.
Tiung) yang dinikahi oleh seorang warga Negara keturunan asing, yaitu Yo Beng
Liang (nama Indonesia : Kohir) dari sejak lahir sampai dengan sekolah. Didikan dari
Kakek inilah yang membuat Sutirna dapat berpikir dan berpengetahuan yang sangat-
sangat berarti bagi kehidupannya masa sekarang. Konon cerita para tetangga yang
ketika masih hidup, bahwa Kakek dari Sutirna, jika mengajarkan pelajaran sangat-
sangat galak dan sampai dibentak dengan perkataan “Kalau Lu Goblok Nanti
Disuruh Orang dan Kalau Lu Goblok Jangan Sekolah” sampai Neneknya juga
menangis ketika Sutirna terus dibentak dan diomeli oleh Kakeknya ketika
memberikan pelajaran.
Perjalanan kehidupan inilah yang membuat Sutirna terus bersekolah
dengan modal apa adanya dan semangat belajar yang terus membakar dirinya
dibandingkan dengan saudara-saudaranya ketika itu. Sekolah Dasar ditempuh di SD
Bhinneka II Karawang dengan sering diantar oleh Nenek ketika masih kelas 1
sampai dengan kelas 3, namun ketika di kelas 6, Sutirna mencoba mengikuti diam
157
bersama dengan Kaka Pembina Pramuka SD, yaitu Abdul Kholik Yulias selama 1
tahun.
Lulus SD tahun 1976, Sutirna melanjutkan pendidikan di SMP Swasta
Kertabumi Karawang yang sekarang SMP tersebut sudah tidak ada lagi karena tidak
ada siswanya. Sutirna dengan keberadaan orang tua yang tidak mampu untuk
membiayai biaya pendidikan, Sutirna melakukan dagang asongan roko dengan
modal pertama dari sang Kakek tercinta, subuh berdagang ke Pasar Baru Karawang
sampai siang hari, tepat pukul 12.00 WIB, Sutirna berangkat sekolah, dan malam
hari melanjutkan dagang asongan roko, hal ini ia lakukan secara kontinu sampai
tamat sekolah. Namun, menjelang akhir sekolah SMP, Sutirna pernah berhenti atau
tidak sekolah selama 1 bulan karena keadaan, ketika itu Bapak Tarja (Kepala
Sekolah SMP Kertabumi) dan Bapak Hasan Basri (Wali Kelas, Almarhum tahun
2004 ) memiliki peduli dengan keberadaan Sutirna, akhirnya beliau berkunjung ke
rumah (Istilah sekarang disebut dengan Home Visit) dan memberikan semangat serta
motivasi kepada Sutirna untuk tetap bersekolah, akhirnya Sutirna lulus SMP pada
tahun 1979.(ada tambahan ½ tahun perubahan tahun pelajaran karena peraturan
menteri pendidikan dan kebudayaan pada saat itu)
Tahun 1979 pun, Sutirna melanjutkan pendidikan ke SMA Swasta Pangkal
Perjuangan Karawang yang sekarang sekolah tersebut juga tidak ada lagi
(kesimpulan SMP dan SMA nya, tidak berdiri lagi). Majalah dan Teka Teki Silang
menjadi tumpuan untuk membiayai sekolahnya, kereta api Senja Utama Jurusan
Yogya yang berangkat dari Station KA Senin Jakarta menjuju Yogya menjadi
tempat berjualan, hal ini dilakukan setiap hari dari mulai pukul 19.00 s.d 24.00
setelah pulang sekolah. Nenek dan Kakek merasa khawatir dengan Sutirna yang
berlari dan berjalan di kereta api untuk berjualan, akhirnya Sutirna memutuskan
untuk mencari jalan lain. Ketika itu, Karawang dilanda dengan permainan Judi yang
meraja lela, akhirnya Sutirna bekerja sebagai karyawan harian lepas untuk
mengambil kupon-kupon judi dari para agen se Kota Karawang untuk disampaikan
kepada penampung agen Judi di Karawang, hal ini ia lakukan semata-mata hanya
untuk bisa membiayai sekolahnya. Akhirnya tahun pelajaran 1982/1983, Sutirna
lulus SMA dengan memperoleh Ijazah untuk Jurusan IPA.
158
Harapan untuk melanjutkan perguruan tinggi pun sangat tinggi bagi
Sutirna, namun 2 kali ia lakukan mengikuti seleksi ke IKIP Bandung (pada saat itu
namanya PP IV (Proyek Perintis IV IKIP Bandung), SIPENMARU) selalu gagal,
impian menjadi Guru selalu gagal. Nenek dan Kakek yang begitu peduli rasa
terpukul, karena teman Sutirna yang dibawa untuk ikut seleksi selalu lulus diterima
sedangkan cucunya gagal setiap diumumkan. Akhirnya, Sutirna bekerja sebagai
karyawan Toko Buku Rakyat Karawang yang pada saat itu salah satu toko buku dan
percetakan sewilayah IV (Subang, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi) yang paling
terkenal. Pucuk di cinta ulan tiba, itulah pribahasa yang sangat tepat diberikan
kepada Sutirna, karena ketika sedang mencetak buku-buku tentang keolahragaan
yang dipesan dari SGO Negeri Karawang, Bapak Moekarto (almarhum)
memberikan informasi tentang adanya penerimaan calon Guru Olahraga SD di SGO
Negeri Karawang, lewat saudara atau teman akrabnya Sutirna, yaitu Maxi Soeisa
(almarhum) sebagai alumni SMOA Negeri Karawang dibantu untuk masuk ke SGO
Negeri Karawang untuk mengikuti tes masuk, akhirnya, Sutirna diterima untuk
sekolah calon guru SD untuk bidang studi Olah Raga dan Kesehatan, selama 4 bulan
diberikan ilmu mendidik (Pedagogik) dan ilmu mengajar (Didaktik), akhirnya
Sutirna lulus dari SGO Negeri Karawang dengan hasil yang memuaskan. Namun,
ketika sebelum pengumuman diterima di SGO Negeri Karawang, Sutirna mencoba
mendaftarkan diri menjadi Tentara Nasional Indonesia untuk Satuan Angkatan Laut
(TNI-AL) dengan mengikuti beberapa kali tes admnistrasi, tes fisik, dan tes
kedisiplinan selalu diumumkan lulus untuk mengikuti seleksi berikutnya. Ketika
akan tes akhir TNI-AL atau yang disebut dengan Pantohir (Penentuan Tes Akhir),
tetapi pengumuman untuk menjadi Guru Olahraga SD diterima, akhirnya orang tua
dan neneknya tercinta menyarankan untuk menjadi Guru saja, akhirnya Sutirna
memustuskan tidak melanjutkan tes di TNI-AL.
Berangkat dari bermodal inilah Sutirna pun tercapai cita-citanya menjadi
seorang Guru/Pendidik. Almamater SD Bhinneka 2 Karawang menjadi tempat
pertama mengajar sebagai tenaga honor, yang ketika itu mengisi megajar kelas V,
karena Ibu pengajar kelas V (Ibu Siti Sarah) cuti melahirkan. Ditengah perjalanan
menjadi guru honor di SD, Bapak Aceng Andrean salah satu guru SMP Negeri 2
159
Karawang, memberikan informasi tentang PGSMTP di Jakarta. Sebelum ada
panggilan pengangkatan menjadi pegawai negeri di SD, Sutirna melanjutkan
pendidikan ke PGSMTP (Pendidikan Guru Sekolah Menengah Tingkat Pertama)
Negeri 3 di Jakarta pada Jurusan Matematika. Dengan banyak bantuan teman, salah
satunya teman diperjalanan ke Jakarta untuk kuliah adalah H. Deden Tosin W
(sekarang mantan Kepala Dinas Pendidikan Kab. Karawang tahun 2011), akhirnya
tamat PGSMTP pada tahun 1984.
Allah Swt maha pengasih dan maha penyayang kepada umat-Nya, Sutirna
diberikan rizki ketika tamat PGSMTP, Sutirna menerima panggilan untuk di lantik
menjadi PNS Guru SD terhitung mulai tanggal 01 April 1984 yang ditempatkan di
SD Negeri Pasir Jengkol I Kecamatan Klari Kabupaten Karawang. Satu tahun
berjalan, Sutirna dengan bekal ijazah PGSMTP ingin mengajar di SMP, akhirnya dia
pun menjadi guru SMP Swasta Berdikari Karawang yang sekarang tidak ada lagi.
Setelah berjalan menjadi PNS Guru dengan Golongan Ruang II.a selama satu tahun,
melalui Penilik Olahraga Kecamatan Klari, yaitu Bapak Kosim Kurdi (Orang Tua
Asep Sumarna (Ate) Dinas Pendidikan Karawang) disarankan untuk mutasi atau
mengikuti tes kembali menjadi guru SMP karena memiliki ijazah PGSMTP, saran
itu oleh Sutirna diterima dan mendaftar mengikuti seleksi kembali calon guru SMP,
akhirnya diterima dan ditempatkan di SMP PGRI 2 Karawang sebagai PNS-
Dipekerjakan di swasta atau PNS-dpk terhitung mulai 01 Maret 1986.
Tahun 1986 itu pula menjadi momentum terindah bagi Sutirna, karena
ditugaskan untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan Guru Matematika Swasta Se
Jawa Barat di Gedung Kartini Bandung selama 10 hari. Disinilah tempat yang paling
indah dimata Sutirna, karena menemukan seorang wanita yang disenangi dalam satu
diklat, dia adalah orang Cirebon yang ditugaskan sama mengikuti diklat matematika
yang akhirnya sampai saat ini wanita idaman tersebut menjadi pendamping yang
sangat setia dalam suka dan duka mengarungi kehidupan yang serba penuh
tantangan dan ujian. Hj. Intisari, S.Pd inilah nama isteri Sutirna yang bertugas
mengajar di SMA Negeri 5 Karawang.
Melanjutkan pendidikan Sutirna tidak begitu ambisi sehubungan dengan
keberadaan ekonomi dan kebutuhan yang sangat sulit pada masa-masa itu, pekerjaan
160
menyablon dan percetakan menjadi tambahan penghasilan, berjualan keliling
menjadi tukang kredit pun Sutirna lakukan, menjadi kolektor pembayaran Listrik,
Air, dan Telpon masyarakat yang akan menitipkan dikerjakan dan menjadi pengurus
Masjid Baiturrahman Perumnas Adiarsa Karawang semua Sutirna lakukan demi
perjalanan hidup dan kehidupan serta kehidupan bermasyarakat. Bahkan berangkat
ke sekolah untuk mengajar Sutirna sambil membawa dagangan berupa Es yang
dibuat isteri di rumah dengan menggunakan sepeda mini yang dimilikinya. (sepeda
ini difasilitasi dengan mencicil pembeyarannya dari Ustad Drs. Abdul Rodjak)
Perjalan hidup terus berjalan, Allah Swt memberikan titipan kepada
Sutirna dan Isteri pada saat itu dua orang putra, yaitu Febrian Mulyana (Sekarang
sedang menempuh kuliah program Pasca Sarjana di STKIP Siliwangi Bandung) dan
Tiara Sarinisa (sekarang sedang kuliah program Sarjana STKIP Siliwangi Bandung),
dengan prinsip “Doa dan Perjuangan yang Ikhlas, niscaya suatu saat Allah Swt
akan memberikan yang terbaik”. Sejak pernikahan 1986 – 1997 (sebelas tahun)
ujian dan tantangan Sutirna hadapi dengan sabar dan tawakal.
Tahun 1987 mencoba memotivasi Isteri tercinta untuk sekolah lagi, karena
baru memiliki ijazah SMA, akhirnya masuk PGSMTP Tertulis yang diselenggarakan
oleh PPPG Provinsi Jawa Barat dan lulus tahun 1989. Namun, kesempatan untuk
menjadi PNS tidak memenuhi syarat karena pada saat itu yang diterima mengikuti
seleksi CPNS adalah D2/A2 Kependidikan. Akhirnya isteri Sutirna menjadi tenaga
sukwan di SMP Negeri 8 Karawang (Sekarang SMP Negeri 5 Karawang Barat)
sampai tahun 1998.
Tahun 1989 akhirnya isteri dan Sutirna bersamaan mengikuti pendidikan
D1/A1 Komprehensip UT di UPBJJ Bandung dan lulus 1990 dan melanjutkan ke
D2/A2 Pendidikan Matematika UT bersama-sama dan lulus bersama pula pada
tahun 1993. Nasib Isteri Sutirna belum ditakdirkan untuk bisa mengikuti seleksi
CPNS karena persyaratan terus bertambah menjadi D3/A3 paling rendah, akhirnya
Isteri Sutirna tidak mau lagi mengikuti pendidikan D3/A3, tetapi Sutirna
melanjutkan ke D3/A3 Pendidikan Matematika UT dikarenakan dapat biaya bantuan
dari Proyek PGSMP Diknas. Menjelang tamat pendidikan D3/A3 Sutirna mutasi
mengajar ke SMP Negeri 2 Karawang (sekarang SMP Negeri 2 Karawang Barat).
161
Akhirnya tamat D3/A3 setelah berpindah bekerja pada tahun 1997. Mutasi ini
berbarengan dengan lahirnya anak ke 3 yaitu Mohamad Rizky Hidayat (sekarang
kelas XI SMA Negeri 5 Karawang)
Sutirna dengan moto hidupnya “waktu adalah pedang” akhirnya dengan
bantuan beberapa teman berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke S1
di STKIP Siliwangi Bandung, berkat teman satu kelasnya (H. Ajat Sudrajat, S.Pd.,
Tatang Susanto, S.Pd., dan Eliyati, S.Pd, semuanya guru di daerah Kota Bekasi)
yang terus membantu dalam hal keuangan akhirnya bisa selesai dengan nilai sangat
memuaskan (pada saat itu masih adanya Ujian Negara Tertulis dan Lisan yang
diselenggarakan IKIP Bandung) dan pada saat Ujian Lisan Negara inilah Sutirna
menjadi Lulusan Program Matematika yang terbaik untuk semua Perguruan Tinggi
Swasta yang memiliki Program Matematika pada saat itu.
Prof. Dr. H. Engking Soewarman Hasan, M.Pd. dan Dra. Hj. Siti
Rochmah, M.M (Isteri Prof. Dr. H. Engking Soewarman Hasan, M.Pd) memberikan
kepercayaan untuk mengajar di STKIP Siliwangi Bandung sejak lulus S-1 tahun
1999 sampai dengan sekarang bahkan perjalanan mengajar inilah oleh Sutirna
dijadikan momentum yang sangat penting untuk terus menempuh pendidikan.
Tahun 1999 pun, Sutirna dengan rasa cinta kepada isteri tercintanya, isteri
tercintanya didaftarkan menjadi mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung dan lulus
pada tahun 2000 berbarengan dengan lahirnya anak ke empat, yaitu Dinda Intan
Nurfadillah (sekarang kelas VII SMP Negeri 2 Karawang Barat). Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian, akhirnya isteri tercinta bisa mendaftar untuk
mengikuti seleksi Pengawai Negeri dan akhirnya lulus dan ditempatkan pertama kali
menjadi Guru SMA Negeri 1 Pedes Karawang dan sekarang telah mutasi ke SMA
Negeri 5 Karawang.
Tahun 2000 Dirjen Dikti melalui Kopertis Wilayah IV Jawa Barat
memberikan kesempatan kepada Sutirna untuk mengikuti kuliah di jenjang Program
Pascasarjana (S2) di UPI Bandung dengan Bea Siswa (BPPS) dan akhirnya lulus
pada tahun 2004. Perjalan inilah yang dikatakan orang lain melihat Sutirna yang
dapat membagi waktunya dengan baik, bisa mengajar sesuai dengan jam wajibnya,

162
baik di SMP Negeri 2 Karawang maupun di STKIP Siliwangi Bandung, dan waktu
untuk kuliah.
Sejak masuk kuliah di Program Pascasarjana inilah Sutirna mulai aktif di
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat sebagai tenaga Fasilitator/Widyaiswara di
bagian Pendidikan Nonformal (PNF) sampai ke tingkat nasional. Hal ini diperkuat
oleh sertifikat sebagai tenaga widiaiswara PNF Tingkat Nasional yang diperolehnya
tahun 2000 ketika diutus oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk
mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Calon Fasilitator Pendidikan Nonformal yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional di Provinsi Jambi selama 2
minggu. (pada saat inilah isteri tercintanya mengganti mengajar di SMP Negeri 2
Karawang, karena Sutirna sedang mengikuti pelatihan di tingkat nasional).
Waktu terus berjalan, waktu tidak akan dapat kembali ke awal, dan waktu
merupakan sebuah pedang oleh karena itu Sutirna selalu menghormati waktu
sebagai senjata yang tidak boleh disia-siakan sedikitpun, karena katanya dengan
melalaikan waktu maka manusia akan tergilas oleh waktu. Akhirnya tahun 2008
Sutirna pun kembali dipanggil untuk mengikuti pendidikan program Doktor di UPI
Bandung, peluang inilah Sutirna tidak sia-siakan karena tidak semua orang
mendapatkan kesempatan untuk kuliah bebas biaya di program doktor.
Tanggal 27 Desember 2011 menjelang akhir tahun, Sutirna anak asli
Karawang dengan perjuangan dan pengorbanannya serta do’a isteri dan anak,
tepatnya Pukul 11.30 di Gedung Pascasarjana UPI Bandung, Sutirna dinyatakan
LULUS sebagai Doktor Pendidikan dengan Yudisium Sangat Memuaskan (3,41)
dengan tangisan yang haru dari seluruh hadirin yang pada saat itu menyaksikan
jalannya persidangan Sutirna serta keluarga besar Sutirna membuat acara menjadi
gembira ketika semua Promotor dan Penguji mengucapkan selamat atas gelar yang
diperoleh dan ucapan selamat dari seluruh hadirin. Dari perjalanan tersebut, Sutirna
sampai saat ini masih tetap mengabdi menjadi Kepala SMP Negeri 1 Telukjambe
Barat Kec. Telukjambe Barat Kab. Karawang dan Insya Allah katanya akan
berupaya untuk mutasi ke Dirjen Dikti di Kopertis Wilayah IV Jawa Barat Banten,
di akhir riwayat hidup ini mohon do’a restu seluruh sahabat, rekan dan keluarga
besar sehingga harapan Sutirna bisa terwujud sebagai aktualisasi diri anak asli
163
Karawang di pendidikan tinggi, bukan artinya kata Sutirna tidak suka di Karawang,
tetapi jalan inilah yang harus saya tempuh ke depan melalui jalur akademik yang
dimiliki, dan Insya Allah, Karawang menjadi tumpuan akhir bagi Sutirna dimasa
yang akan datang.
Akhirnya mulai tanggal 01 Juli 2016, Sutirna dengan bantuan doa dan
dorongan keluarga bisa mutasi Perguruan Tinggi di tempatkan di Universitas
Singaperbangsa Karawang. Terima kasih.

164
DAFTAR BACAAN
Abin Syamsuddin Makmun. (2003). Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda
Karya Remaja.
Abin Syamsudin (2009). “Korelasi dan Integrasi Pendidikan Karakter Peserta
Didik di Lingkungan Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi”. Makalah
pada Forum Seminar Nasional Pendidikan Kerjasama UPI-ITB-UNPAD.
Bandung.
ABKIN (2008). Penataan Pendidikan Prefesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: PPB
FIP UPI Bandung.
Ace Suryadi (2008). Pendidikan Kesetaraan Mencerdaskan Anak Bangsa. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal PLS Depdiknas.
Afif Zamsani (1993). Bimbingan dalam Kurikulum. Makalah pada Konvensi
Nasional IX IPBI Tanggal 11-13 Nopember 1993, Ujung Pandang.
Akhmad Sudrajat (2008). Landasan Psikologis Pelaksanaan Bimbingan Konseling
[Online]. Tersedia: http//www.akhmadsudrajat.com. hotml [25 Juli 2010].
Arikunto S.(1998). Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta :
Rineka Cipta
Barneet Barrly (2012). Teaching 2030. Amrika Serikat : Diunduh oleh Sutirna dari
Sakura_Hazare.blogspot.com (23 Maret 2011, Pukul 22.00)
Bimo Walgito (2010). Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karir). Yogyakarta:
Andi.
Blocher, Donald H. (1974). Development Counseling. Second Edition. New York:
John Wiley & Sons.
Brown F.J. (1961). Educational Sociology. Tokyo: Prentice Hale Inc, Engleword
Cliffs, Nj.,ch Tutle Coy.
Burk & Stefflre (1979). Theories of Counseling. New York: McGraw Hill Book
Company.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko
Dinamik (Klinis). Jakarta : Kanisius
Charles Teddlie & Abbas Tashakkori (2010). Mixed Methodology. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Corey, G. (1979). Theory and Practice of Guidance and Psychotherapy. California:
Books Cole Publishing Company.
Croby, Philip B. (dalam Suardi, 2007). Pengertian Kualitas [Online].
http//www.digilib,petra.ac.id/2007, hotml [25 Juli 2009].
Crow & Crow ( 1951). An Introduction to Guidance. New York: American Book
Company.
Deming, W.E. (dalam Suardi, 2007). Pengertian Kualitas [Online].
http//www.digilib,petra.ac.id/2007, hotml [25 Juli 2009].
Depdiknas, (2004). Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek
Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Elkin & Weiner (1978). Development of The Child. New York: John Wiley & Sons.
Erman Suherman & Sukjaya (1998) Statistik Penelitian Pendidikan. Bandung :
FMIPA Jurusan Pendidikan Matematika.
Furqon (2004). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
165
Gendler, Margaret E..(1992). Learning & Instruction; Theory Into Practice. New
York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. (2003). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E.
Koswara), Bandung : Refika
Gerungan (1964). Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-
Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Gerungan L.(1978). Psikologi Sosial. Bandung-Jakarta: Eresco.
Hartoto (2009). Penelitian Deskriptif. Medan : Universitas Sumatra Utara.
Havighurst (1985). Human Development and Education [Online]. Tersedia:
http//www.duniapsikologi.dagdigdug.com/2008.hotml [25 Juli 2009].
Hurlock, Elizabeth B. (1974 & 1980). Development Psychology, A Life Span
Approach. New York: McGraw Hill Company.
Ibnu Hadjar (1999). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
John W. Creswell (2010). Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jones, J.J. (1963 & 1987). Secondary School Administration. New York: McGraw
Hill Book Company
Juntika (2002). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Bandung : Jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI Bandung.
Krasner, Leonard & Ullman P. (1973). Behavior Influence and Personality, the
Socal Matrix of Human Action. New York: Rinehart and Winston Inc.
mirzal tawi, 21 Agustus 2010) http://syehaceh.wordpress.com/2008/10/20/uji-
instrumen-2. di unduh tanggal 10 Desember 2010 Pukul. 22.00.
Moh. Surya. (1997). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: IKIP
Bandung
Mustofa Fahmi (1977). Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat.
Jakarta: Bulan Bintang.
Prayitno (2003). Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdiknas
Dirjen Dikdasmen.
Prayitno, dkk. (2004). Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
Depdiknas
Rochman Natawidjaja (2010). Chapter 17 : Mixed Method. Bandung : Program
Pasca Sarjana UPI Bandung.
Rochman Natawijaya (1987). Pendekatan-Pendekatan dalam Penyuluhan
Kelompok. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikdasmen.
Seifer, Kelvin L. & Haffnung, Robert J. (1987). Child and Development. Boston:
Houghton-Mifflin.Company.
Shertzer & Stone (1981& 1982). Fundamentals of Guidance. Fourth Edition.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Sinolungan, A.E (1979). Pengaruh Keluarga di dalam Kecenderungan Nakal Siswa-
siswa pada SMA-SMA Manado. Disertasi Doktor pada SPS IKIP Bandung:
tidak diterbitkan.
Sugiyono (2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D). Bandung : Alfabeta

166
Suharto (1998). Model Bimbingan dan Konseling di SLTP. Disertasi Doktor pada
PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Sumardi Suryabrata (1999). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Jakarta: Dirjen
Dikti Depdikbud.
Sumarna, A (1996). Persepsi Pembina Pramuka terhadap Pembentukan Gugus
Depan Pramuka yang Berpangkalan di Masyarakat Kelurahan Adiarsa
Kecamatan Karawang Kabupaten DT II Karawang. Program Strata 1 pada
Universitas Singaperbangsa Karawang.
Sunaryo, K (2008). Kompilasi Perkuliahan Konseling Lintas Budaya. Makalah pada
Perkulihan Program Pascasarjana UPI Bandung.
Supriadi, D (1990). Laporan Hasil Penelitian tentang Terjadinya Penyimpangan
Perilaku Siswa. Jakarta: Balitbang Dikbud.
Surya, M. dan Rochman Natawijaya (1985). Buku Materi Pokok Pengantar
Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sutirna (2004). Model Pembelajaran Matematika bernuansa Bimbingan dan
Konseling di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.Tesis : UPI Bandung
(tidak diterbitkan)
Sutirna (2011). Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Bagi Peserta didik di
Pendidikan Kesetaraan (Paket B setara SMP). Disertasi : UPI Bandung –
tidak diterbitkan.
Sutirna (2017). Prosiding Internasional “Asia Fasific Of Education Conference”.
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Atlantis Press
Publishing_AECON 2017.
Suzanna Siregar (11 April 2009)
ssiregar.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/9589/Tabel_R.pdf. di
unduh tanggal 17 April 2010 Pukul. 23.30.
Syamsu Y.L (2003). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda
Karya.
Theo Riyanto (2002). Pembelajaran sebagai suatu bimbingan pribadi. Jakarta:
Grasindo
TIM (2005). Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bandung : Fokus Media.
Tim (2008). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Dirjen PMPTK
Depdiknas.
Winkel, W.S (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo
Yadi Setiawan (2007). Pengendalian Kualitas Statistik. Yogyakarta: FST ISTA
Yogyakarta.
Zaenal Abidin Achmadi (1995). Reformasi Administrasi dalam Pendidikan.
Makalah pada Pidato Pengkukuhan Guru Besar dalam Ilmu Admnistrasi.
Tanggal 13 Mei 1995). Universitas Brawijaya Malang
Zakiah Darajat (974). Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.

167
168

Anda mungkin juga menyukai