Jurnal Tugas BU Analisa
Jurnal Tugas BU Analisa
PENDAHULUAN
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan bunyi sila kelima Pancasila.
Pancasila merupakan sebuah dasar negara bagi Indonesia yang terdapat dalam alinea ke IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sila kelima yang
dilambangkan dengan kapas dan padi dibagian bawah perisai berlatar putih ini mencerminkan
persamaan sosial dimana tidak ada perbedaan dan kesenjangan sosial ekonomi antara satu
dengan yang lainnya. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan bahwa
semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya tidak ada
pembeda apapun kedudukan warga negara di dalam hukum namun dalam praktiknya tidak
sesuai dengan pasal 27 ayat (1) salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya asas
persamaan hukum dalam pasal 27 ayat (1) adalah perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Korupsi merupakan sebuah Tindak Pidana yang sudah lumrah diperbincangkan dan
bukan kasus yang mengejutkan dalam pemberitaan publik di Era Sekarang ini. Korupsi di
Indonesia sekarang ini sudah bisa dikatagorikan sebagai patology sosial (penyakit sosial)
yang sangat mengancam seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan
bernegara. Indonesia sudah mengkatagorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) tidak saja karena tehnik dan sistematis dari kejahatan ini tetapi akibat yang
ditimbulkan berdampak sangat luar biasa dalam kehidupan baik sosial, ekonomi, politik serta
budaya yang mengakibatkan merosotnya moral serta mental masyarakat.1
Korupsi di Indonesia sudah merajalela sudah seperti budaya yang wajib di wariskan
terus menerus berdasarkan Data dari ICW( Indonesia Corruption Watch) Bahwa dalam 5
Tahun terakhir kasus korupsi itu rata-rata fluktuatif baik dari kasus yang sudah ditangani
ataupun tersangka yang baru ditetapkan. Dari data diatas ini jelas mengakibatkan adanya
kerugian negara yang semakin banyak dan salah satu kasus korupsi dengan kerugian
terbanyak dengan modus kegiatan proyek fiktif yang paling besar kerugiannya untuk negara
adalah dugaan kasus korupsi pembangunan Masjid Sriwijaya.2
1
Peter Bima Aditya, ‘Argumentasi Penuntut Umum Terhadap Kesalahan Hakim Pengadilan Tinggi Ambon
Tidak Mempertimbangkan Tuntutan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi’ (2020)
8 Jurnal Verstek 1.
2
Indonesia Corruption Watch, ‘Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I 2021’ [2021]
Indonesia Corruption Watch 39 <https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Laporan Pemantauan
Tren Penindakan Semester I 2021.pdf>.
3
Pemerintah Republik Indonesia, ‘Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Pasal 19 Ayat 1’ [2002] Website Kpk Ri 1
<Https://Peraturan.Bpk.Go.Id/Home/Details/44493/Uu-No-30-Tahun-2002>.
2020 kerugian negara karena kasus korupsi senilai 56,7 triliun dan pada tahun 2021 menjadi
62,9 triliun.4
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam UU No. 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi disebutkan sebagai jenis tindak pidana yang sanggat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara seerta menghambat pembangunan nasional (Konsideras
Menimbang huruf a UU No. 31 Tahun 1999). UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk diharapkan mampu
mengantisipasi dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dalam berbagai modus dan
bentuk tindak pidana korupsi yang sanggat merugikan perekonomian serta keuangan negara.
Selain Korupsi merugikan keuangan negara korupsi juga merugikan moral masyarakat.
Serta perbuatan tindak pidana korupsi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat. Kerugian keuangan negara juga berdampak pada melemahnya sektor
perekonomian serta menghambat pembangunan nasional negara.5 Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terdakwa tindak pidana korupsi yaitu Pidana Mati Hal itu diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan 2
UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Lebih lanjut lagi dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001
menerangkan Bahwa:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
4
Indonesia Corruption Watch (N 2).
5
Andi Najemi Wendy, ‘Pengaturan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi’
(2020) 1 PAMPAS: Journal Of Criminal 3.
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Selain pidana yang dijelaskan dalam pasal 2 dan 3 UU
No. 31 Tahun 1999 juga dijelaskan pidana tambahan pada pasal 18 menyebutkan bahwa
pidana pembayaran uang pengganti merupakan salah satu pidana tambahan dalam perkara
korupsi selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan dimaksud sebagai
upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang
diakibatkan dari tindak pidana korupsi. Menurut Andi Hamzah bahwa uang pengganti adalah
merupakan sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan
jumlah uang yang pernah ia korupsikan yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari korupsi tersebut6. Dalam pasal 18 disebutkan bahwa pidana
uang pengganti dapat digantikan dengan pidana penjara dimana yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang
ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.7
6
Arhjayati Rahim, ‘Analisis Substansi Pidana Uang Pengganti Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi’ (2020) 3
Gorontalo Law Review 4.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(1999).
Pemberian sanksi belum memberikan hasil yang maksimal dan efektif terhadap
pelaku tindak pidana korupsi serta dimana kerugian keuangan negara yang sangat masih
minim kembali dari jumlah hasil yang dikorupsinya. Negara sebagai pihak korban yang
memengalami kerugian besar karena tindak pidana korupsi akibatnya menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Pemberantasan korupsi di Indonesia
dirasa kurang menyuluruh dan sistematis dari semua aspek hukum dan penegakan hukumnya
sehingga tidak terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sehingga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi hal yang sangat penting
mengingat tujuan pembentukan Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi untuk
memberantas korupsi itu sendiri serta mengembalikan kerugian keuangan negara akibat
tindak pidana korupsi itu. Oleh karena Pidana Denda maupun pembayaran uang pengganti
sebenarnya berkaitan dengan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pendekatan
follow the money. Pendekatan tujuan follow the money merupakan upaya untuk
mengembalikan keuangan negara.8 Oleh karena itu, Dalam penulisan ini akan dibahas
mengenai Bagaimana pengaturan pidana denda dalam tindak pidana korupsi dan Apakah
Efektivitas Pidana denda dalam pengembalian kerugian keuangan negara.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan di dukung data
empiris. Metode yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk
menganalisis data yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis serta putusan pengadilan. Metode yuridis
normatif ini mengacu pula kepada penelitian yang mengarah kepada dasar filosofis pidana
denda dan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana
korupsi. Data empiris didapat dari penelitian terhadap efektivitas hukum, yaitu penelitian
yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.9 Dalam hal ini penulis
mengkaji pidana denda dalam pengembalian kerugian keuangan negara. Metode penelitian
hukum diatas dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kualitatif Penelitian ini dilakukan
melalui penelitian kepustakaan atau dokumen peraturan perundang-undangan, buku, jurnal
hukum dan berbagai putusan pengadilan yang berkaitan permasalahan penelitian ini. Hasil
8
Wendy (n 5).
9
Puteri Hikmawati, ‘Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Pembayaran Uang Pengganti Tindak
Pidana Korupsi, Dapatkah Optimal?’ (2019) 10 Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan
Kesejahteraan 89 <https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/1217/pdf>.
penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dianalisis secara kualitatif dengan
pendekatan yuridis normatif.
Dalam KUHP Pasal 10 Pidana denda masuk dalam kelompok hukuman pidana pokok
meskipun ditempatkan di urutan terakhir. Denda adalah hukuman yang dikenakan kepada
harta atau kekayaan seseorang. Dalam KUHP pasal 30 juga dijelaskan jika dijatuhkan pidana
denda dan denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan dan ketentuan
minimum bagi denda adalah 25 sen, sedang ketentuan maksimun tidak ada Namun dalam UU
No. 31 Tahun 1999 diatur dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” dalam
pasal ini disebutkan bahwa denda paling banyak yaitu Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) meskipun jumlah yang dikorupsikan lebih dari 1 milyar.
Pidana denda dalam KUHP dirasa sanggat kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat
khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi dimana nilai yang dirugikan karena tindak
pidana itu lebih besar dari denda yang harus dikembalikan.
Dalam KUHP Menurut R.Soesilo pada waktu menjatuhkan pidana, maka dalam surat
keputusan hakim menentukan pula berapa hari hukuman kurungan yang harus dijalani
apabila denda tidak dibayar. Maka dari itu pidana denda bisa dikatakan sebagai pidana
gabungan atau sebagai pengganti dari kurungan yang tidak terbayar atau sebagai pengenaan
pidana tunggal terhadap korporasi maupun denda yang diakumulasikan dengan tindakan
khususnya dalam putusan peradilan tindak pidana korupsi.10
10
Syaiful Bakhri, ‘Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Denda Dan Penerapannya Dalam Upaya
Penanggulangan Tindak Korupsi’ (2010) 17 Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 317.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aditya PB, ‘Argumentasi Penuntut Umum Terhadap Kesalahan Hakim Pengadilan Tinggi
Ambon Tidak Mempertimbangkan Tuntutan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam
Tindak Pidana Korupsi’ (2020) 8 Jurnal Verstek 1
Bakhri S, ‘Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Denda Dan Penerapannya Dalam Upaya
Penanggulangan Tindak Korupsi’ (2010) 17 Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 317
Indonesia Corruption Watch, ‘Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I
2021’ [2021] Indonesia Corruption Watch 39
<https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Laporan Pemantauan Tren
Penindakan Semester I 2021.pdf>
Wendy AN, ‘Pengaturan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana
Korupsi’ (2020) 1 PAMPAS: Journal Of Criminal 1