Anda di halaman 1dari 90

PENGARUH PERENDAMAN NaOH PADA SERAT BAMBU

PETUNG (Dendrocalamus asper) PENYUSUNAN SEARAH


TERHADAP KEKUATAN TARIK KOMPOSIT BERMATRIK
POLYESTER

SKRIPSI
TEKNIK MESIN KONSENTRASI TEKNIK MANUFAKTUR

Ditujukan untuk memenuhi persyaratan


memperoleh gelar Sarjana Teknik

SA ARJUN ADI WARMAN


NIM. 145060201111009

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PENGART]H PERENDAMAN NaOH PAI}A SERAT BAMBU


PETUNG {D en dro e alamus Asp er) PENYUST}NAN SEARAH
TERI{ADAP KEKUATAN TARIK KOMPOSIT BERMATRIK
POLYESTER

SKRIPSI
TEKNIK MESIN KONSENTRASI TEKNIK I&UqLTFAKTTIR
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Teknik

SA ARJUN ADI WARMAN


\tltt a a?iai46t trtnAA
t\ irYi. iiSUttUZUi i i-tUU,

Skripsi ini telah direvisi dan disetujui oleh dosen pembimbing


pada tanggal 20 Juli 2018

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimtring II

Rudianto Rahario, ST.. MT. Tesuh Dwi lryidodo, ST.. M. Ens,. Ph.D.
NIP. 19820225 201212 I 002 NrP. 201411 841t23 1 001

Mengetahui,

NrP. 19740930 200012 I 001


JUDUL SKRIPSI:
PENGARUH PERENDAMAN NaOH PADA SERAT BAMBU PETUNG (Dendrocalamus
asper) PENYUSUNAN SEARAH TERHADAP KEKUATAN TARIK KOMPOSIT
BERMATRIK POLYESTER

Nama Mahasiswa : Sa Arjun Adi Warman


NIM : 145060201111009
Program Studi : Teknik Mesin
Minat : Teknik Manufaktur

KOMISI PEMBIMBING
Pembimbing I : Rudianto Raharjo, ST., MT.
Pembimbing II : Teguh Dwi Widodo, ST., M.Eng., Ph.D.

TIM DOSEN PENGUJI


Dosen Penguji 1 : Dr. Ir. Achmad As’ad Sonief, MT.
Dosen Penguji 2 : Ir. Tjuk Oerbandono, MSc.CSE
Dosen Penguji 3 : Redi Bintarto, ST., M.Eng.Pract

Tanggal Ujian : Kamis, 12 Juli 2018


SK Penguji : 1431/UN10.F07/SK/2018
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Saya menyatakat dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan saya dan

berdasarkan hasil penelusuran berbagai karya ilmiah, gagasan dan masalah ilmiah yang
diteliti dan diulas didalam Naskah Skripsi ini adalah asli dari pemikiran saya. Tidak pernah
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini
dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila temyata di dalam naskah Skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur
jiplakan, saya bersedia Skripsi dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Malang, 12 Juli 2018


Mahasiswa,

Sa Arjun Adi Warman


NrM. 14s060201111009
Teriring Ucapan Terima Kasih kepada :
Ayahanda dan Ibunda tercinta
RINGKASAN

Sa Arjun Adi Warman, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya,
Juni 2018, Pengaruh Perendaman NaOH Pada Serat Bambu Petung (Dendracalamus Asper)
Penyusunan Searah Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Bermatrik Polyester, Dosen
Pembimbing: Rudianto Raharjo, ST., MT dan Teguh Dwi Widodo, ST., M.Eng., Ph.D.

Penggunaan material yang ramah lingkungan menjadi salah satu hal yang perlu
dipertimbangkan dan dikembangkan saat ini. Keadaan pada alam adalah faktor yang menjadi
pertimbangannya, dikarenakan sulitnya suatu material terurai dengan alam. Serat bambu
petung (Dendrocalamus Asper) memiliki potensi yang baik sebagai penguat pada komposit
dan merupakan sumber dari alam. Dengan perpaduan dengan matrik polyester yang
memiliki sifat mekanik, listrik, kestabilan dimensi dan penahan panas yang baik Pada
penelitian ini, uji tarik dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik dari berbagai jenis
komposit. Penelitian ini menggunakan metode true experimental, dengan ukuran spesimen
tarik sesuai standar ASTM D638-03. Dalam penelitian ini, digunakan komposit serat bambu
petung tanpa perendaman NaOH, 1 jam perendaman NaOH, 2 jam perendaman NaOH dan
3 jam perendaman NaOH. Pembuatan spesimen komposit untuk uji tarik dilakukan dengan
metode Vacuum Infusion.Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposit bermatrik
polyester tanpa perendaman NaOH memiliki kekuatan tarik paling tinggi dibanding dengan
variasi perendaman yang lain. Perbedaan kekuatan tarik dari berbagai variasi disebabkan
oleh sifat dan karakteristik serat akibat perendaman NaOH yang berbeda pula. Perendaman
NaOH bertujuan untuk memperbaiki sifat permukaan untuk menghilangkan zat lignin dan
selulose pada serat bambu petung untuk meningkatkan kekuatan ikatan antara serat dan
matrik Tetapi pada konsentrasi 6% NaOH pada perendaman 1 jam, 2 jam dan 3 jam
menurunkan kekuatan tariknya dikarenakan zat dan komposisi kimia pada serat terdegradasi
dan melemahkan kekuatan serat.

Kata Kunci : Serat Bambu Petung, Vacuum infusion, Kekuatan Tarik, Polyester

SUMMARY

i
Sa Arjun Adi Warman, Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering,
Universitas Brawijaya, Juni 2018, Effect of NaOH Submersion on Tensile Stength of Petung
Bamboo Fibers (Dendracalamus Asper) Unidirectional Firm Composite with Polyester
Matrix, Academic Supervisor : Rudianto Raharjo, ST., MT and Teguh Dwi Widodo, ST.,
M.Eng.

The use of green materials becomes one of the things that should be considered and
developed at this time. Nature is a factor of that reason, due to the difficulty of a
biodegradable material with nature. Petung bamboo fiber (Dendrocalamus Asper) has a
good potential as reinforcement in composite and it obtained from nature. With a fusion of
polyester matrix with petung bamboo fiber (Dendrocalamus Asper) in composite
manufacture. Polyester resin has an excellent mechanical strength, heat resistance, and
chemical resistance. In this research, tensile test was conducted to determine the tensile
strength from various soaking time duration of petung bamboo fiber. This research use a
true experimental method, the dimensions of the specimen using ASTM D638-03 standard.
In this research, the various soaking time of NaOH solution are 0 hour (without soaking), 1
hour, 2 hour, and 3 hour with vacuum infusion method. The results from this research
showed that composite without soaking of NaOH solution (0 hour) had highest tensile
strength compared to other variations, difference of the tensile strength from each variation
occur because of the characteristics from each fibers due to soaking time of NaOH solutions.
Modification of a fiber surface with NaOH solution improved adhesion characteristic due
to increase surface tension of the fiber. And increased composite mechanical properties. In
addition, the removal lignin and other surface waxy substances by NaOH solution increased
the chance of mechanical interlocking of matrix fiber. And the other various soaking time
with 6% NaOH (1 hour, 2 hour and 3 hour) decreased tensile strength due to excessive
delignification of fiber and caused a fiber damage that led to weakening of strength.

Keywords : Petung Bamboo Fiber, Vacuum Infusion, Polyester, Tensile Strength.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik. Laporan
skripsi ini berjudul “Pengaruh Perendaman NaOH Pada Serat Bambu Petung
(Dendrocalamus Asper) Penyusunan Searah Terhadap Kekuatan Tarik Komposit
Bermatrik Polyester”.
Laporan ini disusun sebagai bentuk dokumentasi dan hasil akhir dari proses
perkuliahan yang telah dilaksanakan. Laporan ini juga diajukan sebagai syarat kelulusan
untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik dalam kurikulum program studi Teknik Mesin
Universitas Brawijaya.
Dalam melaksanakan proses penelitian dan penyusunan laporan ini, penulis menyadari
bahwa tidak akan dapat menyelesaikan semuanya dengan baik tanpa bantuan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada banyak pihak di antaranya:
1. Ir. Djarot B. Darmadi, MT., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin dan Teguh
Dwi Widodo, ST., M.Eng. Ph.D. selaku Sekretaris Jurusan Teknik Mesin
2. Dr. Eng. Mega Nur Sasongko, ST., MT. selaku Ketua Program Studi S1 Jurusan
Teknik Mesin Universitas Brawijaya yang telah membantu kelancaran proses
administrasi.
3. Ir. Tjuk Oerbandono, MSc.CSE selaku Ketua Kelompok Dasar Keahlian
Konsentrasi Teknik Manufaktur

4. Bapak Rudianto Raharjo, ST., MT. selaku dosen pembimbing I yang telah
memberi bimbingan serta ilmu dalam penyusunan skripsi ini
5. Bapak Teguh Dwi Widodo, ST., M.Eng., Ph.D selaku dosen pembimbing II yang
telah memberi saran dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini
6. Kepada Papa Suna Pana Ashok Kumar dan Mama Nita Saraswati sebagai orang
tua penulis, dan Sa Bashkaran Adi Warman Adik Kandung penulis yang telah
memberikan doa, dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh dosen dan staff jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya yang telah
memberi ilmu selama perkuliahan dan memberi kelancaran dalam proses
kelulusan dari penulis
8. Keluarga Besar PAMBAJA yang tidak dapat ditulis satu per satu, atas segala
dukungan dan semangatnya dalam menyelesaikan skripsi ini
9. Keluarga besar kost Cengger Ayam Dalam, Ibu Wiwin ( Ibu Kost ) , Andi Rosadi,
Ilyas Abdi, dan Septian Helmi Nugraha yang telah menemani dan memberikan
tempat tinggal ternyaman dalam proses pembuatan skripsi dari penulis
10. Seluruh keluarga besar Mesin angkatan 2014 yang selalu menjadi bagian yang
tidak terlupakan dalam proses penulis mencapai penyelesaian skripsi ini
11. Sahabat dari Jaman maba hingga saat ini yaitu Pendekar Banten dan RECEH, yang
menjadi pemberi semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
12. Wanita yang selalu ada di kehidupan penulis dan mencintai penulis. Terimakasih
pengalaman hidup untuk penulis. Kepada Anisa Nadya Salma
13. Seseorang yang sudah menjadi motivator untuk membantu dan mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membantu
perkembangan pembahasan terkait topik laporan ini maupun bagi penulis secara pribadi.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan bagi perkembangan keilmuan
Teknik Mesin Universitas Brawijaya.

Malang, 12 Juli 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... vii
RINGKASAN ...................................................................................................................... ix
SUMMARY ........................................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
1.3 Batasan Masalah ................................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penelitian Sebelumnya .......................................................................................... 4
2.2 Bambu ................................................................................................................... 5
2.2.1 Jenis-Jenis Bambu ........................................................................................ 6
2.3 Bambu Petung ....................................................................................................... 9
2.4 Umur Bambu ....................................................................................................... 12
2.5 Komposit ............................................................................................................. 12
2.6 Klasifikasi Material Komposit ............................................................................ 14
2.7 Unsur-unsur Utama Pembentuk Komposit FRP ................................................. 17
2.8 Perlakuan Serat ................................................................................................... 20
2.8.1 Perlakuan Alkali ......................................................................................... 21
2.9 Komposisi Kimia Serat Alam ............................................................................. 22
2.9.1 Selulosa ...................................................................................................... 23
2.9.2 Hemiselulosa .............................................................................................. 24
2.9.3 Lignin ......................................................................................................... 24
2.10 Sifat Mekanis Serat Alam .................................................................................. 25

i
2.11 Jenis Cacat Pada Komposit ................................................................................ 26
2.12 Teori Ikatan Matriks Dan Serat Penguat ............................................................ 27
2.13 Metode Manufaktur Komposit ........................................................................... 27
2.13.1 Proses Cetakan Terbuka / Open-Mold Proces ......................................... 28
2.13.2 Proses Cetakan Tertutup / Closed Mold Processes .................................. 31
2.14 Pengaruh Metode Manufaktur Komposit Terhadap Material Cacat .................. 33
2.15 Pengujian Kekuatan Tarik .................................................................................. 33
2.16 Hipotesis............................................................................................................. 34

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Metode Penelitian............................................................................................... 36
3.2 Tempat Penelitian ............................................................................................... 36
3.3 Variabel Penelitian .............................................................................................. 36
3.3.1 Variabel Bebas ........................................................................................... 36
3.3.2 Variabel Terikat ......................................................................................... 36
3.3.3 Variabel Terkontrol .................................................................................... 37
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................................... 37
3.4.1 Bahan Penelitian ........................................................................................ 37
3.4.2 Alat Penelitian ............................................................................................ 39
3.5 Uji Tarik Komposit ............................................................................................. 43
3.6 Proses Pelaksanaan.............................................................................................. 45
3.6.1 Proses Pembuatan Serat Tunggal ............................................................... 45
3.6.2 Proses Perendaman Alkali ......................................................................... 45
3.6.3 Proses Vacuum Infusion Resin .................................................................. 46
3.7 Diagram Alir Penelitian ...................................................................................... 48
3.8 Analisa Data ......................................................................................................... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Data hasil Pengujian Uji Serat Tunggal Komposit .............................................. 51
4.2 Analisis Pengaruh Perendaman Naoh Pada Serat Tunggal Bambu petung
Komposit Bermatrik Polyester Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Pada
Pengujian Pull Out .............................................................................................. 53
4.3 Data hasil Pengujian Uji Tarik Komposit ............................................................ 56
4.4 Morfologi Serat Bambu Petung (SEM)................................................................ 58

ii
4.5 SEM Patahan Komposit berpenguat Bambu petung ............................................ 61
4.6 Analisis Patahan Komposit .................................................................................. 64
4.6.1 Analisis Patahan Matrik Tanpa Perendaman NaOH .................................. 64
4.6.2 Analisis Patahan Matrik Perendaman NaOH 1 jam ................................... 65
4.6.3 Analisis Patahan Matrik Perendaman NaOH 2 jam ................................... 66
4.6.4 Analisis Patahan Matrik Perendaman NaOH 3 jam ................................... 67

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 69
5.2 Saran ..................................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


Tabel 2.1 Komposisi Beberapa Biofiber ........................................................................... 23
Tabel 3.1 Ukuran Spesimen Uji Tarik ASTM D638-03 dengan T = 3.2 mm .................. 44
Tabel 3.2 Hasil Uji kekuatan Tarik ................................................................................... 50
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Pull Out................................................................................... 54
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


Gambar 2.1 Arudinaria Japonica......................................................................................6
Gambar 2.2 Bambusa Arudinacea Wild ............................................................................7
Gambar 2,3 Bambusa Blumena .........................................................................................7
Gambar 2.4 Bambusa Polymorpha .................................................................................... 8
Gambar 2.5 Dendrocalamus Asper .................................................................................... 8
Gambar 2.6 Bambu Petung .............................................................................................. 10
Gambar 2.7 Klasifikasi Komposit .................................................................................... 14
Gambar 2.8 Particle-Reinforce (Filler Composite) ......................................................... 15
Gambar 2.9 (1) Discontinuous Fibre, Undirectional (2) Discontinuous Fibres, Random (3)
Continuous Fibres, Undirectional ................................................................ 15
Gambar 2.10 Sandwich Panel Composite .......................................................................... 16
Gambar 2.11 Struktur Kimia Polyester .............................................................................. 20
Gambar 2.12 Struktur Selulosa .......................................................................................... 23
Gambar 2.13 Struktur Hemiselulosa .................................................................................. 24
Gambar 2.14 Struktur Lignin ............................................................................................. 25
Gambar 2.15 Hand Lay Up ................................................................................................ 28
Gambar 2.16 Vacuum Bag ................................................................................................. 29
Gambar 2.17 Pressure Bag ................................................................................................ 29
Gambar 2.18 Spray Up ....................................................................................................... 30
Gambar 2.19 Filament Winding ......................................................................................... 30
Gambar 2.20 Compression Molding .................................................................................. 31
Gambar 2.21 Injection Molding ......................................................................................... 31
Gambar 2.22 Continuous Pultrusion.................................................................................. 32
Gambar 2.23 Resin Transfer Molding ................................................................................ 32
Gambar 2.24 Variasi Metode Manufaktur Komposit Terhadap Porosity........................... 33
Gambar 3.1 Resin dan Katalis .......................................................................................... 37
Gambar 3.2 Serat Bambu Petung ..................................................................................... 38
Gambar 3.3 Larutan Alkali .............................................................................................. 38
Gambar 3.4 Mesin Uji Tarik Serat Tunggal dan Pull Out ............................................... 39
Gambar 3.5 Mesin uji tarik .............................................................................................. 39
Gambar 3.6 Jangka Sorong Digital .................................................................................. 40
Gambar 3.7 Cetakan ......................................................................................................... 40
Gambar 3.8 Timbangan digital ........................................................................................ 41
Gambar 3.9 Sealent Tape ................................................................................................. 41
Gambar 3.10 Peel Ply ........................................................................................................ 41
Gambar 3.11 Mesh ............................................................................................................. 42
Gambar 3.12 Plastic Bag ................................................................................................... 42
Gambar 3.13 Vacuum Compressor .................................................................................... 42
Gambar 3.14 Resin Trap .................................................................................................... 43
Gambar 3.15 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03 .............................. 43
Gambar 3.16 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03 .............................. 44
Gambar 3.17 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03 .............................. 45
Gambar 3.18 Proses Vacuum Infusion Resin ..................................................................... 46
Gambar 4.1 Hasil Kekuatan Tarik Serat Tunggal ............................................................ 51
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Perendaman Naoh Pada Serat Tunggal Bambu petung Komposit
Bermatrik Polyester Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Pada Pengujian Pull Out
...................................................................................................................... 53
Gambar 4.3 Data hasil Pengujian Uji Tarik Komposit .................................................... 56
Gambar 4.4 Foto SEM 0 Jam Pada Serat Bambu Petung (Tanpa Perendaman) .............. 58
Gambar 4.5 Foto SEM 1 Jam Pada Serat Bambu Petung Perendaman Naoh 6% ........... 58
Gambar 4.6 Foto SEM 2 Jam Pada Serat Bambu Petung Perendaman Naoh 6% ........... 59
Gambar 4.7 Foto SEM 3 Jam Pada Serat Bambu Petung Perendaman Naoh 6% ........... 59
Gambar 4.8 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Tanpa Perendaman
Naoh 6% ....................................................................................................... 61
Gambar 4.9 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Perendaman 1 Jam
Naoh 6% ....................................................................................................... 61
Gambar 4.10 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Perendaman 2 Jam
Naoh 6% ....................................................................................................... 62
Gambar 4.11 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Perendaman 3 Jam
Naoh 6% ....................................................................................................... 62
Gambar 4.12 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Tanpa Perendaman
Naoh ............................................................................................................. 64
Gambar 4.13 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Perendaman
Naoh 1 Jam ................................................................................................... 65

Gambar 4.14 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Perendaman


Naoh 2 Jam ................................................................................................... 66
Gambar 4.15 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Perendaman
Naoh 3 Jam ................................................................................................... 67
DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul
Lampiran 1 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 0 Jam (Tanpa Perendaman) Spesimen 1
Lampiran 2 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 0 Jam (Tanpa Perendaman) Spesimen 2
Lampiran 3 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 0 Jam (Tanpa Perendaman) Spesimen 3
Lampiran 4 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 1 Jam Spesimen 1
Lampiran 5 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 1 Jam Spesimen 2
Lampiran 6 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 1 Jam Spesimen 3
Lampiran 7 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 2 Jam Spesimen 1
Lampiran 8 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 2 Jam Spesimen 2
Lampiran 9 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 2 Jam Spesimen 3
Lampiran 10 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 3 Jam Spesimen 1
Lampiran 11 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 3 Jam Spesimen 2
Lampiran 12 Pengujian Serat Tunggal Perlakuan Naoh 3 Jam Spesimen 3
Lampiran 13 Tabel Hasil Uji Tarik Serat Tunggal Tanpa Perendaman Naoh
Lampiran 14 Tabel Hasil Uji Tarik Serat Tunggal Perendaman 1 Jam Naoh
Lampiran 15 Tabel Hasil Uji Tarik Serat Tunggal Perendaman 2 Jam Naoh
Lampiran 16 Tabel Hasil Uji Tarik Serat Tunggal Perendaman 3 Jam Naoh
Lampiran 17 Pengujian Pull Out Serat Perendaman Naoh 0 Jam Bermatrik Polyester
Lampiran 18 Pengujian Pull Out Serat Perendaman Naoh 1 Jam Bermatrik Polyester
Lampiran 19 Pengujian Pull Out Serat Perendaman Naoh 2 Jam Bermatrik Polyester
Lampiran 20 Pengujian Pull Out Serat Perendaman Naoh 3 Jam Bermatrik Polyester
Lampiran 21 Pengujian Pull Out Variasi Serat Perendaman Naoh Bermatrik Polyester
Lampiran 22 Penelitian Uji Tarik Komposit
Lampiran 23 Hasil Uji Tarik Komposit
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita semua paham mengambil terus menerus hasil tambang bukan merupakan solusi,
karena cepat atau lambat hasil tambang akan semakin berkurang atau bahkan habis. Salah
satunya inovasi yang paling banyak dicari yaitu pada pengembangan inovasi dibidang
material. Komposit menjadi salah satu alternative yang mulai dikembangkan untuk
menggantikan bahan logam. Komposit fiberglass akan menjadi lebih ramah lingkungan
dibanding dengan logam atau barang mineral lain yang berasal dari tambang. Akan tetapi
serat gelas pun nyatanya masih dirasa kurang ramah lingkungan, sehingga muncul komposit
berpenguat serat alam. Material komposit merupakan area penelitian yang sangat luas dan
telah menjadi solusi untuk banyak permasalahan. Salah satu pemanfaatan material komposit
yang banyak dijumpai adalah biokomposit
Bambu merupakan salah satu serat alam yang jumlahnya melimpah di Indonesia, salah
satu jenis bambu yang ada adalah Bambu Petung (Dendrocalamus Asper). Terdapat
beberapa jenis bambu di Indonesia, yaitu bambu tali, bambu wulung, bambu ampel, bambu
petung, bambu kuning, dan bambu tulup. Bambu petung memiliki presentase yang cukup
banyak di Indonesia yaitu sekitar 22,8 %. Hal ini disebabkan karena bambu petung memiliki
presntase tumbuh bibit yang cukup baik yaitu sebesar 52% sehingga pertumbuhan bambu
yang cukup cepat ini menjadi suatu kemudahan saat dijadikan sebagai bahan baku
(Adiwinnan.1991). Pada penelitian, akan digunakan serat alam bambu petung. Bambu
petung memiliki karakteristik yang cukup baik. Selain harganya cukup terjangkau, tanaman
ini sangat ramah lingkungan untuk diaplikasikan dalam material komposit.
Serat alami telah menunjukkan keunggulan dalam beberapa tahun terakhir.
Keunggulan dari serat alami dibandingkan dengan serat sintetis adalah harganya murah,
densitas rendah, mudah lepas, bahan terbarukan dan terbiodegradasi dan tidak berbahaya
bagi kesehatan. Akibatnya, ada peningkatan upaya untuk mengeksplorasi serat alam baru
dan penggunaan serat tanaman oleh sektor industri yang berbeda, seperti komposit untuk
aplikasi otomotif dan untuk menggantikan serat sintetis (Suryanto et al., 2014a)
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang peranan
sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk
dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah

1
2

dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu
juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di
sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat pedesaan
(Krisdianto, G. S., dkk, 2006).
Penelitian yang mengarah terhadap pengembangan komposit telah dilakukan,
terutama komposit penguat serat alam. Penelitian ini dilakukan seiring dengan majunya
eksploitasi penggunaan bahan alam dalam kehidupan sehari-hari. Keuntungan mendasar
yang dimiliki oleh serat alam adalah jumlah berlimpah, dapat diperbaharui dan di daur
ulang serta tidak mencemari lingkungan. Untuk memperoleh sifat mekanik yang tinggi
maka serat alam telah diberi berbagai macam perlakuan yang dapat meningkatkan sifat
mekaniknya.
Serat-serat alam dikelompokan berdasarkan sumbernya yaitu berasal dari tanaman,
binatang atau mineral. Serat hewan, terdiri atas protein-protein, sementara serat tanaman
terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat tanaman meliputi serat kulit pohon, daun
atau serat-serat keras, benih, buah, kayu, dan serat-serat rumput lain. Sudah banyak serat-
serat alam yang telah dikembangkan sebagai penguat dalam bahan komposit.Dan ternyata
hasil yang diinginkan memang sangat memuaskan disamping keunikan yang dimiliki serat
alam ciri khas dari serat alami ini menjadi kelebihan tersendiri dari bahan komposit tersebut.
Bahan-bahan komposit serat alam telah meningkat penggunaan karena harganya relatif
murah, mampu untuk didaur ulang dan dapat bersaing dengan baik berdasarkan kekuatan
per berat dari material.
Pada komposit polimer berpenguat serat alam, sifat antar muka matriks dan serat perlu
diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan kompatibilitas antara serat dengan matriks dan sifat
hidrofilik serat. Alkalisasi adalah salah satu cara modifikasi serat alam untuk meningkatkan
kompatibilitas matriks-serat.Lokantara dan Suardana telah meneliti, tentang analisis arah
serat serta rasio hardener terhadap sifat fisis dan mekanis komposit polyester dimana
perlakuan NaOH. Perlakuan NaOH pada serat membeikan pengaruh yang signifikan
terhadap kekuatan tarik.
Dari pertimbangan-pertimbangan diatas peneliti mencoba untuk memanfaatkan bambu
jenis petung sebagai bahan komposit dengan matriks polyester. Dalam penelitian ini
komposit serat bambu yang bermatrik polyester diuji dengan metode pengujian serat tunggal
dan dilakukan dengan cara resin infusion.
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasrkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan rumuskan permasalahan
sebagai berikut Bagaimana pengaruh perendaman NaOH pada serat bambu petung
(dendrocalamus asper) penyusunan searah terhadap kekuatan tarik komposit bermatrik
Polyester ?

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Saat pembuatan komposit serat bambu petung digunakan temperatur ruang.
2. Kecepatan aliran resin pada metode vacuum infusion.
3. Kondisi umur dari tanaman Bambu Petung

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah dapat mengetahui pengaruh perendaman NaOH pada
serat bambu petung (dendrocalamus asper) penyusunan searah terhadap kekuatan tarik
komposit bermatrik Polyester

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Menghasilkan produk hasil komposit serat bambu peung (Dendrocalamus asper)
bermatrik Polyester yang memiliki kekuatan tarik yang tinggi
2. Memberikan hasil yang maksimal dalam bidang rekayasa material biokomposit
3. Menjadi perantara dan referensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
Pengaruh Perendaman NaOH pada Serat Bambu Petung (Dendrocalamus Asper)
Terhadap Kekuatan Tarik Bermatrik Polyester.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sebelumnya


Dalam penelitian ini, digunakan komposit serat bambu petung tanpa perendaman
NaOH, 1 jam perendaman NaOH, 2 jam perendaman NaOH dan 3 jam perendaman
NaOH. Pada penelitian ini, uji tarik dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik dari
berbagai variasi perendaman NaOH pada serat sebagai reinforcement. Penelitian ini
menggunakan metode vacuum infusion dengan ukuran spesimen tarik sesuai standar
ASTM D638-03. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama perendaman NaOH
dapat menurunkan kekuatan tarik kompositnya dikarenakan kandungan kimia berupa
lignin dan selulosa pada serat mengalami degradasi seiring lamanya perendaman NaOH.
Scanning Electron Microscope digunakan untuk melihat morfologi serat untuk melihat
pengaruh perendaman pada kandungan lignin dan selulosa dan daerah patahan untuk
melihat ikatan antara matriks dan serat. Hal ini terbukti bahwa hasil komposit serat bambu
petung tanpa perendaman memiliki kekuatan tarik paling tinggi yaitu 200 MPa, diikuti
oleh komposit serat bambu petung 1 jam perendaman NaOH sebesar 163 MPa, 2 jam
perendaman NaOH sebesar 124 MPa dan 3 jam perendaman NaOH sebesar 105 MPa.
Dan didapatkan nilai debonding produk komposit dengan metode vacuum infusion
terbesar terdapat pada komposit serat bambu petung tanpa perendaman NaOH sebesar
5.98%, komposit serat bambu petung dengan 1 jam perendaman NaOH sebesar 5,07%,
komposit serat bambu petung dengan 2 jam perendaman NaOH tidak terdapat debonding,
dikarenakan serat patah disebabkan oleh serat yang rapuh. Diikuti oleh perendaman 3 jam
NaOH yang mempunyai serat yang lebih rapuh. (Tiara, 2018)
Hidayatulloh, et al (2017) Telah melakukan penelitian tentang pengaruh waktu
perlakuan alkali terhadap kekuatan mekanik komposit serat pelepah salak. Dari penelitian
yang telah dilakukan didapatkan bahwa komposit serat pelepah salak Rhdpe mengalami
peningkatan kekuatan bending dan impak pada perlakuan alkali serat 1 jam, 2 jam, dan 3
jam lalu mengalami penurunan pada perlakuan serat 3 jam yaitu sebesar 33,62 Mpa dan
38,295 KJ/m². Perlakuan alkali meningkatkan kekuatan mekanik komposit akan tetapi
perlakuan alkali terlalu lama maka serat akan rusak dan berakibatkan menurunkan
kekuatan mekaniknya.

4
5

Abrarsyah dkk (2016), dalam penelitian “Pengaruh Perendaman Bambu


Petung,Bambu Hitam Dan Bambu Apus Di Air Rawa”, dimana Nilai dari modulus Young
bambu naik tidak terlalu signifikan dan setelah perendaman 15 hari nilai dari modulus ini
hampir rata kecuali bambu petung pada awalnya menurun kemudian naik setelah
perendaman 15 hari. Kuat tarik dari ketiga jenis bambu tersebut turun cukup besar karena
kemungkinan terjadi hidrolisis gugus OH pada selulosa dengan gugus CH3 akibat reaksi
selulosa dengan metan dari air rawa.
Azwa dkk (2017), dalam penelitian “Sifat fisik dan mekanis pada serat bambu
berpenguat komposit yang terkonsentrasi pada kadar air dan konidsi hygrothermal”,
dimana komposit menggunakan serat bambu dan resin polyester yang direndam oleh air
pada temperatur ruangan (25 ˚C) selama 60 hari dan 80 ˚C selama 2 hari. Selama prosentase
pebengkakan akhir sama untuk semua komposit ditemukan bahwa kekuatan tarik maksimum
pada kedua kondisi adalah saat kenaikan 2% pada temperatur ruang dan penurunan 13,6 % pada
80 C.
Kosjoko (2014), meneliti “Pengaruh perendaman (NaOH) terhadap kekuatan
tarik dan bending komposit serat bambu tali (Gigantochloa Apus)”. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa : komposit serat bambu
tali (gigantochloa apus) tanpa diperlakukan perendaman menggunakan alkali (NaOH),
pada fraksi volume 20%, 30% dan 40% yang menunjukan uji tarik yang paling kuat
adalah pada fraksi volume 20% serat. Nilai kekuatan uji tarik sebesar 15 kN/mm2, Uji
bending sebesar 6,9 kN/mm2. Kekuatan tarik dan bending rata-rata serat komposit
(fibrous composite) bambu tali (gigantochloa apus) perlakuan 5% NaOH selama 120
menit dengan fraksi volume serat bambu tali 40% serat, nilai kekuatan uji tarik sebesar
42 kN/mm2 dan uji bending sebesar 15,4 kN/mm2
Ditinjau dari penelitian yang telah dilakukan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa kekuatan tarik dipengaruhi oleh adanya perlakuan pada serat, semakin diberi
perlakuan alkali semakin tinggi pula kekuatannya maka dari itu penulis akan mencoba
untuk meneliti komposit berpenguat serat bambu petung dengan perlakuan NaOH
bermatriks polyester.

2.2 Bambu
Salah satu jenis pohon yang kegunaannya begitu luar biasa adalah bambu. Mulai
dari tunas, akar hingga daun bisa dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan manusia
Pohon bambu merupakan salah satu jenis tanaman dengan pertumbuhan paling cepat.
6

Dalam sehari bisa tumbuh hingga 60 cm lebih. Ini di karenakan bambu memiliki sistem
rhizoma-dependen unik. Bambu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang sangat
penting bagi pembangunan Indonesia. Bambu telah menjadi bahan baku produk seperti
mebel, anyaman, ukiran, perabot rumah tangga, alat musik dan konstruksi. Salah satu
jenis bambu yang diperdagangkan untuk bermacam-macam keperluan yaitu bambu
petung.
2.2.1 Jenis-jenis Bambu
1. Arundinaria japonica
Arundinaria japonica atau bambu jepang memliki ciri batangnya yang
berwarna kuning-cokelat dan memiliki daun seperti palm. Tanaman ini
merupakan jenis bambu yang tumbuh dengan baik di daerah dingin dan tempat-
tempat teduh serta di bawah sinar matahari penuh.

Gambar 2.1 Arundinaria Japonica


Sumber: Chandra AK, Ghosh D, Mukhopadhyay S, et al. (2004,p.42)
7

2. Bambusa Arundinacea Wild


Bambu jenis memiliki ciri batangnya yang tidak lurus. Warna batangnya hijau
terang dan akan berubah kecokelatan saat terjadi kekeringan. Tunas mudanya
memiliki warna ungu pekat. Di seluruh batangnya terdapat senjata berupa gagah
dan duri yang melengkung. Saat bersentuhan dengan tangan akan mengakibatkan
gatal.

Gambar 2.2 Bambusa Arundinacea wild


Sumber: David Farelly (1984)

3. Bambusa Blumeana
Disebut juga dengan bambu duri karena pada ranting dan batangnya tumbuh
duri. Di Jawa bambu ini dikenal dengan pring gesing dan haur cucuk untuk orang
Sunda. Bambu duri memiliki penampilan luar berwarna hijau dimana panjang ruas
berkisar 25-35 cm dan diameter 8-15 cm. Bentuk daunnya seperti tombak dengan
panjang rata-rata 10-20 cm dan lebar 12-25 mm. Bambu jenis ini tumbuh di
daerah.tropis lembab dan kering seperti di tepi sungai, lereng bukit dan di
sepanjang sungai air tawar.

Gambar 2.3 Bambusa Blumeana


Sumber: David Farelly (1984)
8

4. Bambusa Polymorpha
Ciri fisik bambu ini bisa dilihat dari warna batangnya yang hijau, ditutupi
dengan rambut cokelat keputihan dana akan berubah menjadi hujau kecokelatan
saat terjadi kekeringan.. Bambu ini mempunyai cabang yang dimulai dari
pertengahan batang ke atas. Batangnya terbungkus dengan selubung berwarna
hijau muda dan menjadi cokelat ketika sudah dewasa.

Gambar 2.4 Bambusa Polymorpha


Sumber: David Farelly (1984)

5. Dendrocalamus Asper (Bambu betung)


Juga dikenal sebagai bambu kasar atau bambu raksaksa. Habitat bambu ini
berada di daerah tropis dan subtropis tepatnya di Asia Tenggara. Bambu ini
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bangunan dan tunasnya dikonsumsi
sebagai sayuran. Warna batang bambu ini hijau agak keabu-abuan dan menjadi
cokelat kusam ketika kering. Batangnya lurus dengan panjang tipa ruas sekitar 25-
60 cm dan diameter batangnya 3,5-15 cm.

Gambar 2.5 Dendrocalamus Asper


Sumber: Dokumentasi Pribadi
9

2.3 Bambu Petung ( Dedrocalamus Asper )


Bambu petung telah digunakan untuk konstruksi bangunan rumah, jembatan dan
tiang pancang (Subyakto, 2011)
Bambu petung merupakan jenis bambu yang mempunyai rumpun agak sedikit
rapat, tinggi buluh dapat mencapai 20 m dengan garis tengah sampai 20 cm. Pada buku-
buku sering terdapat akar-akar pendek dan menggerombol, panjang ruas berkisar antara
40-60 cm, dinding buluh cukup tebal 1-1,5 cm (Rulliaty, 2012). Bambu ini akan tumbuh
baik bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering.
Bambu petung sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya besar-
besar serta ruasnya panjang.
Bambu termasuk zat higroskopis, artinya bambu mempunyai afinitas terhadap
air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kayu atau bambu mempunyai kemampuan
mengabsorpsi atau desorpsi yang tergantung dari suhu dan kelembaban. Menurut
Dransfield dan Widjaja (1995) kadar air batang bambu merupakan faktor penting dan
dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya.
Menurut Liese (1980) dalam Pathurahman (1998) kandungan air dalam batang
bambu bervariasi baik arah memanjang maupun arah melintang. Hal itu tergantung dari
umur, waktu penebangan dan jenis bambu. Pada umur satu tahun batang bambu
mempunyai kandungan air yang relatif tinggi, yaitu kurang lebih 120 hingga 130%, baik
pada pangkal maupun ujungnya. Kadar air ialah kandungan air yang terdapat pada
bambu. Pada bagian ruas bambu kandungan air lebih rendah dibanding pada bagian
nodia atau buku.
10

Kandungan air dalam tiap jenis bambu berbeda tergantung dari banyak faktor.
Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah tebal bilah masing-masing bambu
tersebut. Semakin tebal dinding/bilah bambu maka makin tinggi air yang dapat
dikandung bambu tersebut. Bambu betung memiliki tebal bilah 10- 25 mm (Pujirahayu
2012). Pada umumnya jika bambu sudah berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami
penurunan kadar air. Pada batang bambu muda penurunan kadar air berkisar antara 50-
90%, sedang pada bambu tua berkisar antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Gambar 2.6 Bambu Petung


Sumber : Dokumentasi Pribadi

Menurut Janssen (1981) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan


bambu adalah :

a. Kekuatan tarik bambu akan menurun dengan meningkatnya kandungan air


b. Bagian arah melintang bahan. Kekuatan tarik maksimum bagian luar batang
bambu paling besar dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain. Kekuatan
tarik maksimum yang besar diiringi oleh persentase serabut sklerenkim yang
besar pula
c. Ada tidaknya nodia. Di dalam inter-nodia sel-selnya berorientasi ke arah
sumbu aksial sedang di dalam nodia sel-selnya mengarah pada sumbu Serat
alam mempunyai sifat polar dan untuk mengatasi hal tersebut dilakukan
alkalisasi menggunakan NaOH. Senyawa alkali akan melarutkan senyawa
11

amorfh seperti hemiselulosa, lignin dan wax, sehingga didapatkan


kompatibilitas dan adhesivitas yang tinggi terhadap matrik resin (Li dkk.,
2007). Perubahan polaritas serat akibat alkalisasi akan menjadi lebih
hidrofobik sehingga memungkinkan terjadi adhesi dengan matriks resin (Jhon
dan Anabdjiwala, 2008) transversal. Oleh karena itu, batang-batang yang
bernodia mempunyai kekuatan yang lebih rendah daripada batang-batang yang
tidak bernodia
Bambu petung memiliki nilai MOR sebesar 1.236 kg/cm2 untuk bagian buku dan
bagian tanpa buku sebesar 2.065 kg/cm2, MOE pada buku 103 kg/cm2 dan tanpa buku
216 kg/cm2, dan keteguhan tekan pada buku dan tanpa buku adalah sebesar 548 kg/cm2
dan 587 kg/cm2. Sifat mekanis bambu tanpa buku lebih besar dibandingkan bambu dengan
bukunya (Idris, 1980).
Nilai Modulus Elastisitas berkaitan dengan regangan, defleksi, dan perubahan
bentuk yang terjadi. Besarnya nilai defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi
pembebanan, panjangnya, ukuran penampang, dan nilai MOE. Hubungan antara MOE
dengan defleksi yaitu apabila semakin tinggi MOE suatu balok, maka semakin berkurang
defleksinya dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk (Haygreen dan Bowyer, 2003).
Memahami sifat-sifat fisis dan mekanis dari material bambu akan sangat berguna
dalam pengembangan eksplorasi karakter material tersebut ketika dilakukan
eksperimentasi-eksperimentasinya. Hal yang perlu diketahui dalam memahami sifat -sifat
bambu tersebut antara lain struktur batang, sifat elastisitas, kekuatan terhadap beban,
bentuk dan ukuran.
Dari pemahaman yang berkaitan dengan karakteristik fisis dan mekanis ini nantinya
dapat digunakan dalam hal mempertimbangkan jenis-jenis belahan terhadap ruas bambu
baik yang berupa belahan longitudinal, belahan tangensial dan belahan potongan radial-
nya.
Berlainan dengan kayu, bambu mulai menyusut pada permulaan pengeringan.
Bambu yang lebih muda akan kehilangan kelembaban lebih cepat daripada bambu yang
sudah dewasa, tetapi akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk menjadi kering
sepenuhnya karena kadar kelembaban permulaan yang lebih tinggi.
Serat bambu merupakan salah satu jenis dari serat alam yang dapat dijadikan bahan
penguat komposit. Salah satu keunggulan serat alam yaitu elastis, kuat, bahan baku
melimpah, ramah lingkungan dan pembuatannya mengkomsumsi energi sekitar 70% ,
yang lebih rendah dibandingkan dengan komposit polimer serat gelas (Jensen, 1987).
12

2.4 Umur Bambu


Umur bambu merupakan salah aspek penting dalam pembuatan komposit yang
menggunakan serat bambu petung sebagai penguatnya. Dapat mempengaruhi komposisi
kimia dan kekuatan tarik yang menjadi faktor penyusun kekuatan dari bambu itu sendiri.
Bambu tua biasanya berumur lebih dari 3 tahun, bambu dewasa berkisar 2 antara 2 – 3
tahun, dan bambu muda berkisar antara 0 – 2 tahun. Apabila tidak terdapat data secara rinci,
umur bambu dapat diketahui secara visual. Bambu tua memiliki warna permukaan kulit
yang sudah berubah dari warna aslinya (agak putih) dan bercorak akibat ditempeli jamur.
Pada bambu muda masih banyak terdapat pelepah pada batang dan warna batang masih
hijau. Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper di Indonesia dikenal dengan nama
bambu petung. Bambu jenis ini mempuyai rumpunagak rapat, dapat tumbuh di datara
rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan air laut.
Pertumbuhan cukup baik khususnya untuk daerah yang tidak terlalu kering. Warna kulit
batang hijau kekuning-kuningan, batang dapat mencapai panjang 10-14 m, panjang ruas
berkisar antara 40–60 cm, diameter 6–15 cm, dan tebal dinding 10-15 mm (Morisco, 1999).
Kadar air pada bambu tua cukup sedikit karena struktur kimia yang sudah tersusun
sempurna membuat tempat penyerapan air hanya sedikit, tetapi untuk bambu muda sendiri
memiliki kadar air yang cukup tinggi karena diperlukan untuk tumbuh. Diameter untuk
bambu tua khususnya bambu petung sendiri sekitar 10-15 cm, sementara untuk bambu
muda 6-10 cm. Jika diteliti lebih lanjut kandungan pada bambu petung yang lebih tua
memiliki, lignoselulosa yang cukup tebal, dan memiliki penguat alami yang cukup baik.
2.5 Komposit
Kata komposit berasal dari kata “to compose” yang berarti menyusun atau
menggabung. Secara sederhana bahan komposit berarti bahan gabungan dari dua atau
lebih bahan yang berlainan. Jadi komposit adalah suatu bahan yang merupakan gabungan
atau campuran dari dua material atau lebih pada skala makroskopis untuk membentuk
material ketiga yang lebih bermanfaat. Komposit dan alloy memiliki perbedaan dari cara
penggabungannya yaitu apabila komposit digabung secara makroskopis sehingga
masih kelihatan serat maupun matriknya (komposit serat) sedangkan pada alloy/paduan
digabung secara mikroskopis sehingga tidak kelihatan lagi unsur-unsur
pendukungnya.
Menurut Matthews dkk, (1984) komposit adalah material yang terbentuk dari
kombinasi dua atau lebih material pembentuknya melalui campuran yang tidak homogen,
dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya berbeda. Dari
13

campuran tersebut dihasilkan material komposit yang mempunyai sifat mekanik dan
karakteristik yang berbeda dari material pembentuknya.
Komposit dibentuk dari dua jenis material yang berbeda, yaitu:
1. Penguat (reinforcement), yang mempunyai sifat kurang ductile tetapi lebih
rigid serta lebih kuat.
2. Matrik, umumnya lebih ductile tetapi mempunyai kekuatan dan rigiditas yang
lebih rendah.
Pada material komposit sifat unsur pendukungnya masih terlihat dengan jelas,
sedangkan pada alloy/paduan sudah tidak kelihatan lagi unsur-unsur pendukungnya.
Salah satu keunggulan dari material komposit bila dibandingkan dengan material
lainnya adalah penggabungan unsur-unsur yang unggul dari masing-masing unsur
pembentuknya tersebut. Sifat material yang unggul dari masing-masing unsur
pembentuknya tersebut. Sifat material kelemahan yang ada pada masing-masing
material penyusunnya. Sifat-sifat yang dapat diperbaiki antara lain:
1. Kekuatan (Strength)
2. Kekakuan (Stiffness)
3. Ketahanan korosi (Corrosion resistance)
4. Ketahanan gesek/aus (Wear resistance)
5. Berat (Weight)
6. Ketahanan lelah (Fatigue lift)
7. Meningkatkan konduktivitas panas
8. Tahan lama.
Secara alami kemampuan tersebut diatas tidak ada semua pada waktu yang
bersamaan. Sekarang ini perkembangan teknologi komposit mulai berkembang dengan
pesat. Komposit sekarang ini digunakan dalam berbagai variasi komponen antara lain
untuk otomotif, pesawat terbang, pesawat luar angkasa, kapal dan alat-alat olah raga.
Keunikan dari komposit adalah, sifat dari komposit tergantung dari sifat material
penyusunnya, sehingga aplikasi material komposit sangat luas dan dapat disesuaikan
sesuai dengan kebutuhan. Material penyusun yang berbeda akan memberikan sifat yang
berbeda pada komposit. Material komposit serat alam, atau lebih familiar disebut bio-
komposit, merupakan komposit yang menggunakan natural fiber sebagai penguatnya.
Hal ini tentu sangan cocok dikembangkan di Indonesia yang memiliki sumber daya alam
yang melimpah dan memiliki potensi untuk dikembangkan.
Keuntungan dan kerugian penggunaan material komposit diantaranya adalah:
14

Keuntungan :
1. Bobotnya yang lebih ringan jika dibandingkan dengan material logam tetapi
memiliki keuntungan yang hampir sama.
2. Tahan korosi.
3. Tidak sensitif terhadap bahan-bahan kimia.
4. Sifat komposit tergantung dari sifat material pembentuknya sehingga mudah di
sesuaikan dengan kebutuhan.
5. Ekonomis (biaya produksi murah).

Kerugian :
1. Metode pengujian komposit yang cenderung rumit dan mahal.
2. Proses pembuatan yang relatif rumit dan memerlukan waktu yang lama.
3. Memerlukan perlindungan cahaya dari sinar matahari.

Berdasarkan bentuk komponen dan strukturalnya komposit, secara garis besar


diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu
1. Komposit serat (Fibrous Composites)
2. Komposit partikel (Particulate Composites)
3. Komposit lapis (Laminates Composites)

2.6 Klasifikasi Material Komposit


Material komposit dapat diklasifikasikan menurut beberapa aspek, berikut ini
merupakan klasifikasi komposit ditinjau dari berbagai aspek.

Gambar 2.7 Klasifikasi komposit


Sumber : Callister (1985,p.579)
15

1. Komposit partikel (Particle-Reinforce)


Particle-Reinforce (komposit berpenguat partikel) merupakan jenis Komposit
yang menggunakan partikel/butiran sebagai filler (pengisi). Partikel berupa logam
atau non logam dapat digunakan sebagai filler. Dalam penerapannya, komposit
partikel dibedakan menjadi dua, yaitu partikel besar dan partikel terdispersi merata.

Gambar 2.8 Particle-Reinforce (filler composites)


Sumber : F. L. Matthews dan Rees D. Rawlings (1999,p.8)

2. Komposit Serat (Fiber Polysmer Composite)


Fiber composite merupakan komposit tersusun dari matrik dan diperkuat serat
(fiber). Serat komposit dari komposit dapat berbentuk serat pendek (short fiber
composite) atau serat panjang (long fiber composite). Komposit serat atau fiber
composite ini hanya terdiri dari satu lamina atau lapisan menggunakan serat sebagai
penguat. Serat ini bisa disusun secara acak dengan orientasi serah maupun orientasi
acak.

(1) (2) (3)


Gambar 2.9 (1) Discontinuous Fibre, Undirectional (2) Discontinuous Fibres, Random
(3) Continuous Fibres, Undirectional
Sumber : F. L. Matthews dan Rees D. Rawlings (1999,p.8)
16

3. Komposit Struktur (Structural Composite Materials)


Structural Composite Materials (Komposit Struktur) adalah jenis komposit yang
terdiri dari sekurang-kurangnya dua material berbeda yang direkatkan bersama-sama.
Proses pelapisan dilakukan dengan mengkombinasikan aspek terbaik dari masing-
masing lapisan untuk memperoleh material dengan sifat yang terbaik. Komposit
struktur dibedakan menjadi dua, yaitu komposit lamina dan sandwich panel. Dimana
dalam pembuatan komposit lamina, dapat menggunakan dua cara yaitu dry
lamination atau wet lamination.

Gambar 2.10 Sandwich panel composite


Sumber : Callister (1985,p.612)

Komposit ini terdiri dari bermacam-macam lapisan material dalam satu matriks. Bentuk
nyata dari komposit lamina adalah:
a. Bimetal
Bimetal adalah lapis dari dua buah logam yang mempunyai koefisien
ekspansi thermal yang berbeda. Bimetal akan melengkung seiring dengan
berubahnya suhu sesuai dengan perancangan, sehingga jenis ini sangat cocok
untuk alat ukur suhu.
b. Pelapisan logam
Pelapisan logam yang satu dengan yang lain dilakukan untuk mendapatkan
sifat terbaik dari keduanya.
17

c. Kaca yang dilapisi


Konsep ini sama dengan pelapisan logam. Kaca yang dilapisi akan lebih
tahan terhadap cuaca.
d. Komposit lapis serat
Dalam hal ini lapisan dibentuk dari komposit serat dan disusun dalam
berbagai orientasi serat. Komposit jenis ini biasa digunakan untuk panel sayap
pesawat dan badan pesawat.

2.7 Unsur-unsur Utama Pembentuk Komposit FRP


FRP (Fiber Reinforced Plastics) mempunyai dua unsur bahan yaitu serat
(fiber) dan bahan pengikat serat yang disebut dengan matriks. Unsur utama dari bahan
komposit ada bahan seperti kekuatan, keuletan, kekakuan dan sifat mekanik yang lain.
Serat menahan sebagian besar gaya yang bekerja pada material komposit,
sedangkan matriks mengikat serat, melindungi dan meneruskan gaya antar serat .
Secara prinsip, komposit dapat tersusun dari berbagai kombinasi dua atau
lebih bahan, baik bahan logam, bahan organik, maupun bahan non organik. Namun
demikian bentuk dari unsur-unsur pokok bahan komposit adalah fibers, particles,
leminate or layers, flakes fillers and matrix. Matrik sering disebut unsur pokok body,
karena sebagian besar terdiri dari matriks yang melengkapi komposit .
1. Serat
Serat atau fiber dalam bahan komposit berperan sebagai bagian utama yang
menahan beban, sehingga besar kecilnya kekuatan bahan komposit sangat tergantung
dari kekuatan serat pembentuknya. Semakin kecil bahan (diameter serat mendekati
ukuran kristal) maka semakin kuat bahan tersebut, karena minimnya cacat pada
material (Triyono,& Diharjo k, 2000).
Selain itu serat (fiber) juga merupakan unsur yang terpenting, karena seratlah
nantinya yang akan menentukan sifat mekanik komposit tersebut seperti kekakuan,
keuletan, kekuatan dan sebagainya. Fungsi utama dari serat adalah:
a. Sebagai pembawa beban. Dalam struktur komposit 70% - 90% beban dibawa
b. Memberikan sifat kekakuan, kekuatan, stabilitas panas dan sifat-sifat lain dalam
komposit.
c. Memberikan insulasi kelistrikan (konduktivitas) pada komposit, tetapi ini tergantung
dari serat yang digunakan.
18

2. Matrik
Syarat pokok matrik yang digunakan dalam komposit adalah matrik harus bisa
meneruskan beban, sehingga serat harus bisa melekat pada matrik dan kompatibel
antara serat dan matrik. Umumnya matrik dipilih yang mempunyai ketahanan panas yang
tinggi.
Matrik yang digunakan dalam komposit adalah harus mampu meneruskan beban
sehingga serat harus bisa melekat pada matrik dan kompatibel antara serat dan
matrik artinya tidak ada reaksi yang mengganggu. Menurut Diharjo (1999) pada
bahan komposit matrik mempunyai kegunaan yaitu sebagai berikut :
a. Matrik memegang dan mempertahankan serat pada posisinya.
b. Pada saat pembebanan, merubah bentuk dan mendistribusikan tegangan ke
unsur utamanya yaitu serat.
c. Memberikan sifat tertentu, misalnya ductility, toughness dan electrical insulation.
Menurut Diharjo (1999), bahan matrik yang sering digunakan dalam
komposit antara lain :
a. Polimer : Polimer merupakan bahan matrik yang paling sering digunakan.
Adapun jenis polimer yaitu:
1. Thermoset, adalah plastik atau resin yang tidak bisa berubah karena
panas (tidak bisa didaur ulang). Misalnya : epoxy, polyester, phenotic.
2. Termoplastik, adalah plastik atau resin yang dapat dilunakkan terus
menerus dengan pemanasan atau dikeraskan dengan pendinginan dan
bisa berubah karena panas (bisa didaur ulang). Misalnya : Polyamid, nylon,
polysurface, polyether.
b. Keramik
Pembuatan komposit dengan bahan keramik yaitu Keramik dituangkan pada serat
yang telah diatur orientasinya dan merupakan matrik yang tahan pada temperatur
tinggi. Misalnya : SiC dan SiN yang sampai tahan pada temperatur 1650 oC
c. Karet
Karet adalah polimer bersistem cross linked yang mempunyai kondisi semi kristalin
di bawah temperatur kamar.
d. Matrik logam
Matrik cair dialirkan ke sekeliling sistem fiber, yang telah diatur dengan perekatan
difusi atau pemanasan.
19

e. Matrik karbon
Fiber yang direkatkan dengan karbon sehingga terjadi karbonisasi.
Pemilihan matrik harus didasarkan pada kemampuan elongisasi saat patah yang
lebih besar dibandingkan dengan filler. Selain itu juga perlunya diperhatikan berat
jenis, viskositas, kemampuan membasahi filler, tekanan dan suhu curring, penyusutan
dan voids.
Voids (kekosongan) yang terjadi pada matrik sangatlah berbahaya, karena pada
tersebut fiber tidak didukung oleh matriks, sedangkan fiber selalu akan mentransfer
tegangan ke matriks. Hal seperti ini menjadi penyebab munculnya crack, sehingga komposit
akan gagal lebih awal. Kekuatan komposit terkait dengan void adalah berbanding terbalik
yaitu semakin banyak void maka komposit semakin rapuh dan apabila sedikit void
komposit semakin kuat.
Dalam pembuatan sebuah komposit, matriks berfungsi sebagai pengikat bahan
penguat, dan juga sebagai pelindung partikel dari kerusakan oleh faktor lingkungan.
Beberapa bahan matriks dapat memberikan sifat-sifat yang diperlukan sebagai keliatan dan
ketangguhan. Pada penelitian ini matrik yang digunakan adalah polimer termoset dengan
jenis resin polyester Matriks polyester paling banyak digunakan terutama untuk aplikasi
konstruksi ringan, selain itu harganya murah, resin ini mempunyai karakteristik yang khas
yaitu dapat diwarnai, transparan, dapat dibuat kaku dan fleksibel, tahan air, tahan cuaca
dan bahan kimia.
3. Polyester
Resin polyester, fiberglass resin atau resin kapal banyak dipasarkan di dunia
khususnya Indonesia dengan warna yang berbeda-beda seperti merah, putih kekuning-
kuningan dan hijau yang akan telihat sedikit transparan apabila diaplikasikan dalam lapisan
yang relatif tipis. Penggunaan jenis polyester resin diperkirakan sekitar 70% dalam seluruh
penggunaan seluruh jenis resin diseluruh dunia. Proses pengerasan resin ini akan dimulai
setelah dicampur rata dengan katalis yang biasanya dijual sepaket dengan resin polyester.
Kekurangan resin ini adalah tidak akan kuat apabila hanya digunakan untuk lapisan tipis
tetapi memerlukan bahan lain seperti talek (mirip bedak bayi) dan serat kaca (matfiberglass)
karena tanpa bahan tambahan ini lapisan resin polyester hanya akan mudah retak atau
terkelupas.
Sifat lain resin polyester adalah permukaan akhir yang tetap lengket di udara
terbuka karena memang dirancang khusus demikian untuk memperkuat rekatan dengan
lapisan-lapisan selanjutnya. Polyester resin ini tidak cocok untuk lapisan akhir (finishing)
20

untuk aplikasi pada permukaan benda-benda tertentu terutama kayu yang menonjolkan
corak artistik kayu tersebut. Karena dengan resin polyester ini, kita akan membutuhkan
waktu dan tenaga lebih banyak lagi untuk menghilangkan sifat lengket dan bekas jari
apabila disentuh. Untuk finishing tentunya kita menginginkan tampilan yang menarik dan
elegan yaitu mengkilap (glossy) dan memang ini bisa diakali dengan cara mengamplas habis
lapisan yang lengket tersebut dan memoles lagi dengan alat pemoles dan pasta/krim khusus
waxing atau melapisinya lagi dengan cat transparan (clear). Opsi paling mudah adalah
dengan melapisi permukaan yang lengket langsung dengan resin sejenis atau resin epoxy.
Resin polyester ini sangat baik dalam produksi fiberglass seperti pembuatan kapal, fairing
motor, kotak atau kontainer penampungan air, dan tentu masih banyak lagi yang tidak
membutuhkan tampilan glossy dan transparan dan tahan untuk jangka waktu lebih dari 15
tahun.

Gambar 2.11 Struktur Kimia Polyester


Sumber : Lokantara, Sifat Mekanis Komposit Polyester dengan Penguat Serat Sabut Kelapa
(2014)

2.8 Perlakuan Serat


Komposit serat adalah komposit yang berpenguat serat sehingga serat lah yang
menahan sebagian besar gaya-gaya yang bekerja pada komposit serat. Pentingnya
kemampuan serat untuk menahan gaya-gaya yang bekerja pada komposit sehingga para ahli
banyak meneliti tentang meningkatkan kekuatan, kekakuan serta meningkatkan ikatan.
Untuk meningkatkan kekuatan, kakakuan dan ikatan serat tersebut banyak metode
perlakuan serat salah satunya adalah perlakuan kimia. Perlakuan kimia perlu dilakukan
21

terhadap serat alam untuk meningkatkan ketangguhan serat alam tersebut sebagai bahan
penguat komposit. (Winoto dkk, 2013).
Perlakuan atau modifikasi kimia terhadap serat sangat berpengaruh secara langsung
terhadap struktur serat. Dari modifikasi kimia tersebut dapat merubah komposisi serat,
mengurangi kecenderungan penyerapan, kelembapan oleh serat sehingga akan
meningkatkan ikatan antar serat dengan matriks yang lebih baik. Hal ini dapat menghasilkan
suatu komposit dengan sifat mekanik yang lebih baik.
Kekuatan dan kekakuan serat alam banyak atau hampir semua tergantung pada
kandungan selulosa serat tersebut. Apabila kandungan selulosa pada serat tersebut tinggi
atau banyak maka serat tersebut memiliki kekuatan atau kekakuan serat yang baik. Selulosa
adalah suatu unsur yang menjadi faktor kunci untuk meningkatkan sifat serat maka dari itu
serat diberikan perlakuan seperti perlakuan alkali. (Witono dkk, 2013).
Perlakuan alkali pada serat alam dilakukan untuk tujuan membersihkan permukaan
serat dari kotoran dan getah yang menempel pada serat dan mereduksi kandungan air yang
ada di serat tersebut sehingga ikatan interfacial Antara serat dan matriks pada komposit
menjadi lebih baik. Alkali memiliki tiga jenis larutan berupa KOH, LiOH, NaOH dimana
larutan yang sering digunakan untuk memodifikasi serat alam adalah NaOH. Pengaruh
perlakuan alkali NaOH pada serat alam menyebabkan selulosa mengalami peningkatan mutu
permukaan serat alami dan menyebabkan meningkat pula kekerasan pada permukaan
sehingga dapat meningkatkan daya ikat interfacial antara serat dan matriks. Permukaan
tersebut akan menghasilkan mechanical interlocking yang lebih baik dengan matriks. (Bifel
dkk, 2015).
2.8.1 Perlakuan Alkali (NaOH)
Sifat alami serat adalah Hyrophilic, yaitu suka terhadap air berbeda dari
polimer yang hidrophilic. Pengaruh perlakuan alkali terhadap sifat permukaan serat
alam selulosa telah diteliti dimana kandungan optimum air mampu direduksi
sehingga sifat alami hidropholic serat dapat memberikan ikatan interfecial dengan
matrik secara optimal (Bismarck dkk 2002).
NaOH merupakan larutan basa yang tergolong mudah larut dalam air dan
termasuk basa kuat yang dapat terionisasi dengan sempurna. Menurut teori
arrhenius basa adalah zat yang dalam air menghasilkan ion OH negatif dan
ion positif. Larutan basa memiliki rasa pahit, dan jika mengenai tangan terasa
licin (seperti sabun). Sifat licin terhadap kulit itu disebut sifat kaustik basa.
22

Perlakuan alkali pada serat alam bertujuan untuk membersihkan permukaan


serat dari kotoran, getah dan mereduksi kandungan air pada serat sehingga ikatan
interfacial antara serat dan matrik menjadi lebih baik. Pengaruh perlakuan alkali
NaOH pada serat alam menunjukan peningkatan mutu permukaan serat alami
hydrophilic. Eichron, dkk, 2011, Mishra, dkk, 2002.

2.9 Komposisi Kimia Serat Alam


Komponen kimia utama dari tanaman hidup adalah air. Berdasarkan atas berat
kering maka dinding sel semua tanaman terdiri dari polimer berbasis gula (karbohidrat)
yang berkombinasi dengan lignin, bahan ekstraktif, protein, pati, dan bahan anorganik
dengan jumlah yang lebih rendah. Komponen kimia didistribusikan melalui dinding luar sel
yang terdiri dari lapisan dinding primer dan sekunder. Komposisi kimia bervariasi pada tiap
tanaman bahkan pada berbagai bagian didalam tanaman yang sama. Komposisi kimia juga
bervariasi dalam tanaman tergantung pada lokasi geografis, umur, iklim dan kondisi tanah
yang berbeda (Rowell et al., 2000). Komposisi dari beberapa serat yang umum digunakan,
menunjukkan bahwa mayoritas kandungan serat adalah selulosa selanjutnya hemiselulosa,
lignin dan sejumlah kecil lilin dan pektin.
23

Tabel 2.1
Komposisi Beberapa Biofiber

Moisture
Hemicellulose
Fiber (%) Cellulose (%) Lignin (%) Others (%) Content
(%)
(%)
Mps 72.14 20.2 3.44 4.2 4.2-5.2
Cotton 85-90 1-3 0.7-1.6 5.4-13.3 8-10
Flax 85 9 4 2 8.76-10
Saseviera 79.7 10.13 3.8 0.09 6.02
Hemp 58.7 14.2 6 21.1 12
Jute 58-63 20-24 12-15 - 10.99
Rice Straw 64 - 8 3 10-22
Sea Grass 57 28 5 10 -
Sorghum
65.1 - 5.5 29.4 9.5
Stem
Wheat Straw 38.8 39.5 17.1 4.6 5
Sisal 78 19 8 3 10-22
Coir 32-43 0.15-0.25 40-45 3-4 8
Alfa Grass 33-38 - 17-19 33-40 10.2
Sumber: Suryanto et al., 2014 b

2.9.1 Selulosa
Selulosa merupakan komponen struktural yang paling penting dari hampir
semua dinding sel tanaman hijau, terutama di banyak serat alam seperti rami, goni,
rami, kapas, dll. Polimer selulosa terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen, dengan
gambaran struktur selulosa. Selulosa adalah senyawa polisakarida yang dapat
diturunkan menghasilkan glukosa. Unit terkecil yang berulang adalah
selobiosadibentuk oleh kondensasi dua unit glukosa dan oleh karena itu juga dikenal
sebagai anhydroglucose (glukosa minus air). Masing-masing satuan berulang berisi
tiga kelompok hidroksil. Kelompok hidroksil ini dan kemampuannya untuk
mengikat hidrogen memainkan peran yang utama di dalam mengarahkan struktur
kristalin dan juga mengembangkan sifat fisika dari selulosa (Summerscales et al.,
2010).

Gambar 2.12 Struktur Selulosa


Sumber: Suryanto et al., 2014 b
24

2.9.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida dengan berat molekul rendah, sering
mengalami kopolimer dengan glukosa, asam glukuronat, mannosa, arabinosa dan
xilosa, dapat berbentuk acak, bercabang amorf atau struktur nonlinier dengan
kekuatan rendah. Hemiselulosa mudah dihidrolisis oleh asam atau basa encer, atau
enzim hidrolisis (Summerscales et al., 2010). Pada tanaman serat, hemiselulosa
berfungsi sebagai matrik dari selulosa (Bergander & Salmen, 2002).
Secara umum, fraksi hemiselulosa tanaman terdiri dari kumpulan polimer
polisakarida dengan derajat polimerisasi lebih rendah dibandingkan dengan selulosa
dan mengandung terutama gula D-xylopyranose,D-glukopiranosa, D-
galactopyranose, Larabinofuranose, D-mannopyranose, dan asam D-
glucopyranosyluronic dengan sejumlah kecil gula lainnya. Polisakarida tersebut
biasanya berisi rantai utama yang terdiri dari satuunit gula berulang terkait dengan
titik cabang (1-2), (1-3), dan / atau (1-6) (1-4) (Rowell et al., 2000).

Gambar 2.13 Struktur Hemiselulosa


Sumber: Suryanto et al., 2014 b

2.9.2 Lignin
Lignin dibentuk dengan penghilangan non-reversibel air dari gula (terutama
xilosa) untuk membuat struktur aromatik. Lignifikasi berlangsung pada tanaman
dewasa untuk kestabilan mekanik tanaman. Lignin berfungsi memberi kekakuan
kepada tanaman, terlokalisasi pada permukaan lumen dan daerah dinding berpori
untuk mempertahankan kekuatan dinding, permeabilitas dan membantu transport air.
Lignin tahan serangan mikroorganisme dan kebanyakan dalam bentuk cincin
aromatik yang tahan terhadap proses anaerobik sehingga kerusakan akibat proses
anaerobik pada lignin adalah lambat (Bismarck et al., 2005).
Lignin bersifat hydrophobic secara alami dan mengandung tiga ko-polimer
dimensional dari unsur-unsur aromatik dan alifatik dengan bobot molekul yang
25

sangat tinggi yaitu hidroksil, metoksil dan gugus karbonil. Lignin diketahui
mengandung lima hidroksil dan lima metoksil per unit bangun. Diyakini bahwa
satuan struktural dari molekul lignin diturunkan dari 4-hydroxy-3-methoxy
phenylpropane. Kesulitan utama di dalam kimia lignin adalah tidak ada metoda yang
mapan untuk mengisolasikan lignin dalam kondisi asli dari serat. Lignin dianggap
sebagai suatu polimer termoplastik yang memperlihatkan adanya temperatur transisi
glass di sekitar 90°C dan meleleh pada temperatur sekitar 170°C (Olesen & Plackett,
1999). Lignin tidak terhidrolisis oleh asam, hanya dapat larut di dalam alkali panas,
dapat teroksidasi, dan dengan mudah terkondensasi dengan fenol (Bismarck et al.,
2005).

Gambar 2.14 Struktur Lignin


Sumber: Suryanto et al., 2014 b

2.10 Sifat Mekanis Serat Alam


Fase matrik amorf dalam dinding sel adalah sangat kompleks dan terdiri dari
hemiselulosa, lignin, dan dalam beberapa serat terdapat pektin. Molekul hemiselulosa adalah
hidrogen yang terikat kepada selulosa dan bertindak sebagai pengikat diantara
mikrofibrilmikrofibril selulosa, membentuk jaringan selulosa-hemiselulosa, dan merupakan
komponen struktural utama dari sel serat. Jaringan lignin yang hidrofobik mempengaruhi
sifat dari jaringan lain, bertindak sebagai suatu kopel agen dan meningkatkan kekakuan dari
komposit selulosa/hemiselulosa. Struktur, sudut mikrofibril, ukuran sel, cacat-cacat, dan
komposisi kimia serat-serat adalah variabel-variabel penting yang paling menentukan sifat
menyeluruh dari serat (Mukherjee & Satyanarayana, 1986).
26

2.11 Jenis Cacat Pada Komposit


Dalam proses pembuatannya, sangat memungkinkan apabila terjadi cacat pada
produk hasil manufaktur komposit. Berikut ini merupakan macam-macam cacat yang sering
terjadi pada komposit sehingga menurunkan kualitas produk dan juga sifat mekaniknya.
 Cacat material merupakan cacat yang terjadi sebelum material penyusun komposit
mengalami proses manufaktur dan merupakan cacat material penyusun komposit.
1. Cacat serat : Merupakan cacat yang terjadi akibat kualitas serat yang kurang baik,
serat yang tersobek, terlipat, dan berlubang tentunya akan mempengaruhi kualitas
dari produk komposit yang dihasilkan
2. Cacat Matrik : Merupakan cacat yang terjadi pada matrik sebelum dicampurkan
dengan serat, cacat ini terjadi akibat dari komposisi campuran matrik yang tidak sesuai
sehingga matrik memasuki gelling time sebelum tersebar secara merata.
 Cacat produk merupakan cacat yang terjadi pada produk komposit setelah mengalami
proses pembuatan dan manufaktur komposit.
1. Porosity / Void : Merupakan cacat yang terbentuk karena adanya gelembung udara
yang terperangkap pada produk komposit pada saat proses curing akibat kurang
meratanya resin yang dicampurkan pada permukaan fiber.
2. Resin Rich : Merupakan cacat yang terjadi akibat terlalu berlebihannya resin
yang diberikan sehingga melewati batas idealnya.
3. Resin Starved : Merupakan cacat yang terjadi akibat kurangnya resin yang diberikan
pada serat sehingga terjadi kekuarangan resin pada komposit
4. Delaminasi : Merupakan cacat yang terjadi Karena terpisahnya lamina satu
dengan lainnya sehingga menurunkan sifat mekanisnya.
5. Fiber ringkle : Merupakan cacat pada komposit dimana serat pada produk komposit
mengalami pengerutan di dalam komposit.
6. Exess resin : Merupakan cacat komposit dimana terdapat penumpukan matrik
pada salah satu bagian komposit.
7. Improper pressure : Merupakan cacat pada produk komposit dikarenakan
tekanan yang diberikan pada komposit pada saat proses curing tidak sesuai dengan
yang dibutuhkan.
8. Debonding : Merupakan cacat yang terjadi akibat kurang kuatnya ikatan antara
matrik dan serat sehingga kekuatan komposit akan menurun.
9. Srinkage : Merupakan cacat yang terjadi akibat penyusutan dimensi komposit
sehingga tidak sesuai dengan dimensi awal.
27

2.12 Teori Ikatan Matriks dan Serat Penguat


Ketika matriks melapisi dan melekat pada serat penguat terjadi ikatan antar serat
dengan matriks ada beberapa macam ikatan yang terbentuk antara lain :
a) Mechanical Bonding
Matriks cair yang akan menyebar ke seluruh permukaan serat penguat akan
mengisi setiap lekuk atau sisi permukaan serat penguat yang kasar akan saling
mengerat satu sama lain menjadi semakin kasar pada permukaaan serat maka
ikatan yang terjadi akan semakin kuat. ikatan mekanis paling efektif ketika gaya
diterapkan sejajar dengan antarmuka, dengan kata lain, kekuatan geser dapat
dipertimbangkan
b) Electrostatic Bonding
Ikatan ini terjadi antara matriks dan serat penguat ketika salah satu
permukaan yang mempunyai muatan positif dan permukaan lain mempunyai
muatan negative, sehingga terjadi gerakan tarik menarik antara kedua
permukaan. Mengarah pada tarikan elektrostatik antara komponen-komponen
dengan komposit yang akan tergantung pada perbedaan muatan pada
permukaannya. Interaksi elektrostatik adalah jarak pendek dan hanya efektif
pada jarak kecil dari urutan dimensi atom.
c) Reaction Bonding atau Chemical Bonding
Molekul dari dua komponen atau lebih dalam komposit memang akan
degan mudah bereaksi terutama pada permukaaan sehingga terjadi ikatan reaksi
atau reaksi secara kimia. Ikatan ini akan secara otomatis membentuk lapisan
pada permukaan yang mempunyai sifat berbeda dari kedua komponen dasar
tersebut. Difusi atom pada permukaan dari komponen tersebut yang membantu
terjadinya ikatan

2.13 Metode Manufaktur Komposit


Seiring pengan matrikerkembangan zaman yang semakin maju dan modern ini,
kemajuan teknologi juga mempengaruhi berkembangnya metode manufaktur komposit.
Pada dasarnya metode manufaktur komposit terbagi menjadi dua proses, cetakan terbuka
(open-mold process) dan cetakan tertutup (close-mold process).
28

2.13.1 Proses Cetakan Terbuka / Open-Mold Proces


A. Hand lay Up / Contact Molding
Hand lay-up adalah metoda yang paling sederhana dan merupakan salah satu
proses dengan metode cetakan terbuka dari proses fabrikasi komposit. Adapun
proses dari pembuatan dengan metode ini adalah dengan cara menuangkan resin
dengan tangan kedalam serat berbentuk anyaman, rajuan atau kain, kemudian
memberi takanan sekaligus meratakannya menggunakan rol atau kuas. Proses
tersebut dilakukan berulang-ulang hingga ketebalan yang diinginkan tercapai. Pada
proses ini resin langsung berkontak dengan udara dan biasanya proses pencetakan
dilakukan pada temperatur kamar.

Gambar 2.15 Hand Lay Up


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.128)
B. Vacuum Bag
Proses vacuum bag merupakan penyempurnaan dari hand lay-up, penggunaan
dari proses vakum ini adalah untuk menghilangkan udara yang terperangkap dan
kelebihan resin. Pada proses ini digunakan pompa vakum untuk menghisap udara
yang ada dalam wadah/tempat dimana komposit akan dilakukan proses pencetakan.
Dengan divakumkan udara dalam wadah maka udara yang ada diluar penutup plastik
akan menekan kearah dalam. Hal ini akan menyebabkan udara yang terperangkap
dalam spesimen komposit akan dapat diminimalkan. Metode vakum memberikan
penguatan konsentrasi yang lebih tinggi, adhesi yang lebih baik, dan kontrol yang
lebih antara lapisan dan resin.
29

Gambar 2.16 Vacuum bag


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.119)

C. Pressure Bag
Pressure bag memiliki kesamaan dengan metode vacuum bag, perbedaannya
adalah metode ini tidak memakai pompa vakum tetapi menggunakan udara atau
uap bertekanan yang dimasukkan malalui suatu wadah elastis. Wadah elastis ini
yang akan berkontak pada komposit yang akan dilakukan proses. Besar tekanan
yang di berikan pada proses ini adalah sebesar 30 sampai 50 psi.

Gambar 2.17 Pressure bag


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.150)

D. Spray-Up
Spray-up merupakan metode cetakan terbuka yang dapat menghasilkan
bagian-bagian yang lebih kompleks dan lebih ekonomis dari hand lay-up. Proses
spray-up dilakukan dengan cara penyemprotan serat (fibre) yang telah melewati
tempat pemotongan (chopper). Sementara resin yang telah dicampur dengan
katalis juga disemprotkan secara bersamaan Wadah tempat pencetakan spray-up
telah disiapkan sebelumnya. Setelah itu proses selanjutnya adalah dengan
membiarkannya mengeras pada kondisi atsmosfer standar. Teknologi ini
menghasilkan struktur kekuatan yang rendah, yang biasanya tidak termasuk pada
30

produk akhir. Spray-up ini juga digunakan secara terbatas untuk mendapatkan
fiberglass splash dari alat transfer.

Gambar 2.18 Spray up


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.135)

E. Filament Winding

Fiber tipe roving atau single strand dilewatkan melalui wadah yang berisi resin,
kemudian fiber tersebut akan diputar sekeliling mandrel yang sedang bergerak dua
arah, arah radial dan arah tangensial. Proses ini dilakukan berulang, sehingga cara
ini didapatkan lapisan serat dan sesuai dengan yang diinginkan.

Gambar 2.19 Filament winding


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.140)
31

2.13.2 Proses Cetakan Tertutup / Closed Mold Processes


A. Proses Cetakan Tekan (Compression Molding)
Proses cetakan ini menggunakan hydraulic sebagai penekannya. Serat
yang telah dicampur dengan resin dimasukkan ke dalam rongga cetakan,
kemudian dilakukan penekanan dan pemanasan.

Gambar 2.20 Compression Molding


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.179)

B. Injection Molding
Metode injection molding juga dikenal sebagai reaksi pencetakan
cairan atau pelapisan tekanan tinggi. Fiber dan resin dimasukkan ke dalam
rongga cetakan bagian atas, kondisi temperatur dijaga supaya tetap dapat
mencairkan resin. Resin cair beserta fiber akan mengalir ke bagian bawah,
kemudian injeksi dilakukan oleh mandrel ke arah nozel menuju cetakan.

Gambar 2.21 Injection Molding


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.197)
32

C. Continuous Pultrusion
Fiber jenis roving dilewatkan melalui wadah berisi resin, kemudian
secara kontinu dituangkan ke cetakan pra cetak dan diawetkan (cure),
kemudian dilakukan pengerolan sesuai dengan dimensi yang diinginkan.
Atau juga bisa disebut sebagai penarikan serat dari suatu jaring atau creel
melalui bak resin, kemudian dilewatkan pada cetakan yang telah dipanaskan.
Fungsi dari cetakan tersebut ialah mengontrol kandungan resin, melengkapi
pengisian serat, dan mengeraskan bahan menjadi bentuk akhir setelah
melewati cetakan.

Gambar 2.22 Continuous pultrusion


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.150)

D. Resin Transfer Molding (RTM)


Resin Tansfer Molding (RTM) attau biasa disebut resin infusion
adalah metode pembuatan komposit dengan menggunaan aplikasi tekanan
rendah untuk mengatur jalannya resin menjadi lamina. Setelah lembaran -
lembaran antara resin dan matrik sudah terbentuk, vacuum akan menghisap
sisa sisa resin yang tertinggal sehingga lembaran komposit yang terbentuk
memiliki ketebalan yang sama.

Gambar 2.23 Resin Transfer Molding


Sumber : Sanjay Mazumdar (2001,p.159)
33

2.14 Pengaruh Metode Manufaktur Komposit Terhadap Material Cacat


Komposit dengan material polimer sebagai penguat akan menghasilkan beberapa
kecacatan pada material komposit, hal ini dikarenakan dengan metode manufaktur atau
metode pembuatan material komposit yang digunakan. Salah satu cacat yang sering terjadi
pada metode manufaktur adalah porositas. Metode manufaktur dalam pembentukan material
komposit akan mempengaruhi porositas yang terdapat di dalam material kompositm hal ini
dapat dilihat pada gambar 2.22 Dari grafik dapat dilihat bahwa metode RTMV memiliki
porositas yang sangat kecil dibandingkan metode hand lay up. Dari grafik diatas maka dapat
dilihat bahwa metode RTMV memiliki porositas yang sangat kecil dibandingkan metode
hand lay up. Metode RTMV dapat mengurangi tekanan udara di dalam rongga cetakan,
sehingga memiliki tingkat porositas yang rendah.

Gambar 2.24 Variasi metode manufaktur komposit terhadap porosity


Sumber : Bryan Harris, Engineering composites (1999)

2.15 Pengujian Kekuatan Tarik


Pengujian Tarik bertujuan untuk mengetahui tegangan maksimum, tegangan luluh,
dan regangan (perpanjangan). Pembebanan Tarik dilakukan dengan memberikan beban
secara perlahan sampai material komposit mengalami putus. Adapun keuletan material,
daerah elastisitas dan plastis serta titik putus.
P
α= ………………………………………………………..(2-1)
Ao
Dimana :

α = Tegangan tarik (N/mm²)

P = Beban (N)
Aₒ = Luas penampang patahan (mm²)
34

Nilai regangan dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut : (Kurniawan, K., 2012)

△𝐿
Ɛ= …………………………………………………………(2-2)
𝐿
Dimana :
Ɛ = Tegangan-regangan (%)
△L = Deformasi/pemanjangan (mm)
L = Panjang daerah ukur (mm)

Sebuah spesimen uji tarik dikatakan elastis apabila diberikan beban, spesimen
meregang sesuai dengan beban. Efek ini disebut sifat elastis linier, jika beban ditiadakan
spesimen kembali ke bentuk dan panjangnya semula. (Kalpakijan dkk, 2001).
Ketika beban mulai mengalami peningakatan pada level tegangan tertentu, spesimen
mengalami perubahan bentuk permanen (plastis). Pada tingkatan itu, tegangan dan
regangan tidak lagi sebanding seperti pada daerah elastis. Tegangan dimana peristiwa
ini terjadi disebut dengan tegangan yield (yield strength). Istilah tegangan yield juga
digunakan untuk menetapkan titik dimana tegangan dan regangan tidak lagi sebanding.
Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength) adalah tegangan maksimum
yang dapat ditanggung oleh material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai
kekuatan tarik maksimum ditentukan dari beban maksimum dibagi dengan luas penampang
lintang awal. (Yuwono,2009)
Jika spesimen diberi beban diluar dari kekuatan tarik maksimumnya, maka akan
terjadi necking. Sepanjang daerah necking luas daerah spesimen tidak lagi seragam
panjangnya dan lebih kecil pada daerah necking. Ketika pengujian diteruskan maka
tegangan teknik akan turun dan spesimen akan mengalami perpatahan di daerah necking.
Tegangan teknik saat terjadi patah disebut sebagai tegangan patah atau tegangan putus.
(Kalpakijan dkk, 2001)
35

2.16 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka, muncul hipotesis dari permasalahan yang diamati.
Perbedaan karakteristik pada tiap perendaman akan membuat hasil kekuatan tarik yang
berbeda pula pada tiap komposit yang akan dihasilkan. Semakin lama perendaman akan
membuat komposisi kimia dari serat bambu akan berubah dikarenakan perlakuan alkalisasi
menyebabkan hilangnya kandungan lignin pada serat membuat selulosa serat bambu petung
terdegradasi yang menyebabkan turunnya hasil kekuatan tarik komposit.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Pada penelitian ini metode yang digunakan yaitu menggunakan metode
eksperimental nyata (True Experimental Research) metode resin infusion. Yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh waktu perlakuan alkalisasi NaOH terhadap kekuatan serat alam
yang digunakan, dalam penelitian ini peneliti menggunakan serat Bambu petung sebagai
bahan dasar pembuatan komposit berserat alam. Peneliti berharap agar dari penelitian ini
didapat data-data yang valid agar dapat mendukung hasil penelitian baik dari sumber buku
pendukung maupun jurnal dan buku.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada Januari – Mei 2018. Tempat yang digunakan untuk
penelitian ini adalah :
1. Pembuatan Komposit : Laboratorium Pengecoran Logam FT UB
2. Uji tarik serat tunggal : Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
3. Uji Pull Out : Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
4. Uji Tarik : Politeknik Kediri
5. Uji SEM : Laboratorium Sentral Mesin FT UB

3.3 Variabel Penelitian


Terdapat tiga variabel pada penelitian ini yaitu variabel bebas, variabel terikat, dan
variabel terkontrol.

3.3.1 Variabel Bebas


Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat diubah sehingga variabel ini
mempengaruhi hasil penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lama perendaman
0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam.

3.3.2 Variabel Terikat


Variabel terikat adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel bebas.
Variabel terikat dari penelitian ini merupakan nilai kekuatan tarik maksimum.

36
37

3.3.3 Variabel Terkontrol


Variabel terkontrol adalah variabel yang besarnya harus dijaga konstan supaya tidak
mempengaruhi hasil dari variabel terikat. Variabel pada penelitian ini yakni :
1. Material yang digunakan sebagai matriks adalah polyester dengan 1 % hardener dari per
60 gram resin.
2. Material serat yang digunakan adalah 10 gram.
3. NaOH yang digunakan untuk merendam serat 6%
4. NaOH yang digunakan sebagai larutan alkali memiliki kadar kemurnian NaOH sebesar
98%.
5. Pembuatan komposit dilakukan dengan metode vacuum infusion
6. Orientasi serat yang digunakan adalah searah.

3.4 Alat dan Bahan Penelitian


3.4.1 Bahan Penelitian
A. Resin dan Katalis
Resin ini berbentuk cairan kental yang digunakan untuk penguat pada komposit
atau serat. Sedangkan katalis adalah cairan yang berfungsi untuk mempercepat proses
pengerasan pada resin atau yang sering disebut dengan hardener atau pengeras.

Gambar 3.1 Resin dan Katalis


38

A. Serat
Serat adalah bahan penguat yang memiliki kekuatan serta kekakuan yang bagus.
Serat yang digunakan adalah serat bambu betung.

Gambar 3.2 Serat bambu betung

B. Larutan Alkalisasi
Larutan alkali (NaOH) Natrium Hidroxida adalah larutan yang digunakan untuk
membersihkan lignin, silica dan hemiselulosa. Untuk meningkatkan penyatuan atau
impregnasi antara serat dan matrik.

Gambar 3.3 Larutan Alkali


39

3.4.2 Alat Penelitian


A. Mesin Uji Tarik Serat dan Pull Out

Gambar 3.4. Mesin Uji Tarik Serat Tunggal dan Pull Out

Spesifikasi :
- Merek : IMADA
- Kapasitas : 50-60 N
B. Mesin Uji Tarik Komposit
1. Mesin uji tarik

Gambar 3.5 Mesin uji tarik


Sumber: Laboratorium Pengujian Bahan Politeknik Negeri Kediri
40

Alat ini digunakan untuk memberikan beban tarik kepada spesimen yang akan di ukur
kekuatan tariknya. Mesin uji tarik ini memiliki spesifikasi sebagai berikut :
 Max. Load : 20 kN
 Load capacity : 0,4% - 100% of max test load
 Load accuracy : ≤ ± 1%
 Resolution of displacement measurement : better than 0,01 mm
 Crosshead velocity : 0,01 mm/min – 500 mm/min

2. Jangka sorong digital


Digunakan untuk mengukur dimensi specimen.

Gambar 3.6 Jangka Sorong Digital

C. Cetakan
Cetakan digunakan untuk meletakkan resin dan serat yang telah tercampur, dan
dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan serta sesuai dengan standar yang
digunakan. Dalam cetakan ini dibagi menjadi cetakan untuk uji tarik.

Gambar 3.7 Cetakan


41

D. Timbangan digital
Timbangan digital untuk mengukur berat dari serat, matrik, katalis dan promoter,
serta untuk membuat larutan alkali.

Gambar 3.8 Timbangan digital

E. Sealent Tape
Berfungsi Sebagai perekat dan mencegah kebocoran.

Gambar 3.9 Sealent Tape

F. Peel Ply
Peel Ply berfungsi untuk memudahkan pencabutan komposit setelah proses
pembuatan specimen selesai.

Gambar 3.10 Peel Ply


42

G. Mesh
Mesh berfungsi sebagai jalan masuk serin setelah proses vakum selesai.

Gambar 3.11 Mesh

H. Plastic Bag
Plastic Bag berfungsi sebagai penjebak udara dalam ruang agar tidak ada yang
masuk dari lari dan menjaga udara agar hanya keluar melalui T-Connector.

Gambar 3.12 Plastic bag

I. Vacuum Compressor
Berfungsi sebagai pemberi ruang hampa dengan menghisap udara yang ada pada
tempat cetakan.

Gambar 3.13 Vacuum Compressor


43

J. Resin Trap
Berfungsi sebagai penampung resin agar tidak masuk terus sampai ke Vacuum
Compressor.

Gambar 3.14 Resin Trap

3.5 Uji Tarik Komposit


Spesimen uji tarik pada pengujian tarik ini menggunakan standar ASTM D638-03
ukuran spesimen sebagai berikut :

Gambar 3.15 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03


Sumber : ASTM D638-03, Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic
44

Ukuran spesimen uji tarik berdasarkan standar ASTM dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1
Ukuran Spesimen Uji Tarik ASTM D638-03, T = 3.2 mm (0.12)
Dimension Value, mm (in)
Thickness <7mm (0.28in), T 32 ± 0.4 (0.12 ± 0.02)
Width of narrow selection, W 13 (0.5)
Length of narrow selection, L 57 (2.25)
Width overall, WO 19 (0.75)
Length overall, LO 165 (6.5)
Gauge length, G 50 (2.00)
Distance between grips, D 115 (4.5)
Radius of fillet, R 76 (3.00)
Sumber : ASTM D638-03, Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic

Fraksi volume Vc = 6,86 mm3 Struktur serat yang


serat 50% searah

Gambar 3.16 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03


Sumber : ASTM D638-03, Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic
45

Gambar 3.17 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03


Sumber : ASTM D3379-75, Single Fibre Test Specimens

3.6 Proses Pelaksanaan


3.6.1 Proses Pembuatan Serat Tunggal
Proses pembuatan serat tunggal dilakukan dengan beberapa tahapan, anatara lain :
a) Mempersiapkan bambu betung yang akan digunakan
b) Memotong bambu betung sesuai dengan ukuran
c) Menggunakan palu untuk memisahkan serat dan gunting untuk memotong serat kulit
bambu petung.
d) Serat setelah tanpa perendaman, perendaman 1 jam, 2 jam, 3 jam serat bambu betung
diukur dengan ukuran panjang serat sesuai cetakan dengan berat 10 gram

3.6.2 Proses Perendaman Alkali


Pada proses alkalisasi dilakukan beberapa tahapan-tahapan proses pengerjaan, antara
lain
a) Menyiapkan peralatan, antara lain : timbangan, gelas ukur, sendok pengaduk.
b) Menyiapkan bahan, antara lain : aquades, NaOH 98 % dan serat kulit bambu petung
c) Menggunakan perlengkapan safety, antara lain : kaos tangan, masker.
d) Menghitung persentase NaOH 6%
e) Menimbang NaOH sesuai dengan hasil perhitungan yang telah dilaksanakan
f) Menuangkan aquades kedalam 3 gelas ukur dengan masing-masing variasi
g) Memasukkan NaOH kedalam gelas ukur yang telah dituangkan aquades
46

h) Merendam serat bambu petung pada larutan alkali yang telah disiapkan
i) Merendam serat bambu petung selama 1 jam, 2 jam, dan 3 jam
j) Jika perendaman telah mencapai 1 jam, 2 jam dan 3 jam maka serat di cuci dengan air
bersih dan kemudian dikeringkan

3.6.3 Proses Vacuum Infusion Resin

Gambar 3.18 Proses Vacuum Infusion Resin

Tahapan dalam proses ini, antara lain :


1. Mempersiapkan alat bahan
2. Mempersiapkan serat yang akan digunakan
3. Meletakkan alas cetakan pola di atas meja
4. Meletakkan cetakan pola di atas alas
5. Memberi tanda pada alas sesuai ukuran cetakan pola
6. Memberikan release agent pada alas sesuai dengan daerah yang sudah ditandai dan
memberikan pula release agent pada cetakan pola
7. Meletakkan kembali cetakan pola di atas alas
8. Memasang sealant tape pada alas cetakan mengitari cetakan pola
9. Mengukur dan potong peel ply, mesh, plastic bag
10. Memasukkan serat pengisi pada cetakan pola
11. Memasang peel ply diatas cetakan pola, dan merekatkannya
12. Memasang mesh diatas cetakan pola, dan merekatkannya
47

13. Mengukur selang spiral sesuai panjang salah satu sisi cetakan pola dan memotong
sebanyak dua
14. Memasang T-connector pada bagian tengah selang spiral
15. Meletakkan kedua selang spiral yang telah di pasang T-connector pada kedua sisi
cetakan pola
16. Memberikan sealant tape pada setip siku T-connector
17. Menutup semua bagian yang ada di atas alas cetakan dengan plastic bag
18. Memberi lubang untuk T-connector agar dapat menebus plastic bag
19. Merekatkan plastic bag dengan sealant tape yang terpasang pada alas cetakan
20. Memberikan sealant tape lagi pada siku T-connector
21. Memotong PE-tube sesuai panjang yang disesuaikan dengan jarak dari penampung
resin ke cetakan pola, cetakan pola ke resin trap dan dari resin trap ke vacuum
compressor
22. Memasang PE-tube dengan kedua Tconnector
23. Menyumbat PE-tube arah masuk resin dengan clamp
24. Menyambungkan PE-tube arah keluar ke resin trap
25. Menyambungkan PE-tube dari resin trap ke vacuum compressor
26. Menyalakan vacuum compressor
27. Menunggu sampai pressure gauge sudah tidak dapat naik (kondisi maksimal)
28. Mematikan vacuum compressor dan menunggu selama dua jam untuk mengetahui
kebocoran
29. Jika tekanan stabil selama 2 jam, melakukan pencampuran resin dan katalis dengan
volume yang sudah disesuaikan
30. Setelah resin dan katalis tecampur lalu menyambungkan PE-tube arah masuk
kedalam tempat penampung resin dan buka clamp
31. Menunggu sesaat sampai resin mengalir ke cetakan dan masuk ke resin trap untuk
memastikan semua resin masuk ke dalam cetakan
32. Menyumbat kedua aliran masuk dan keluar dengan clamp dan menunggu resin
hingga mengering
48

3.7 Diagram Alir Penelitian

Mulai

Identifikasi masalah
studii literatur

Mempersiapkan Alat
dan Bahan

Uji Serat

Tarik Pull Out

Uji
SeratTari
k

Data Tidak
terpenuhi

Ya

A
49

Variasi
perendaman ( 0
jam, 1 jam, 2 jam
dan 3 jam)

Proses pembuatan specimen dengan infuse


vakum

Sepesimen Uji
Tarik

Uji Tarik

Hasil Uji Tarik

Uji SEM

Analisis pembahasan

Kesimpulan

Selesai
50

3.8 Analisa Data

Data yang diambil pada penelitian kali ini meliputi pengujian Tarik dan pengujian foto
makro dari produk komposit yang dihasilkan guna mengetahui kualitas produk. Pada setiap
variasi resin akan dilakukan pengujian kekuatan tarik sebanyak 3 kali guna memastikan
validasi nilai uji tariknya dan dapat digunakan sebagai pembanding dari data . Data yang
didapat akan dicatat dan diolah kemudian dimasukkan kedalam tabel. Adapun rancangan
tabel data yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2
Hasil Uji kekuatan Tarik
Kekuatan tarik
No Resin Pengulangan
(Mpa)
1
1 Polyester 2
3
Sumber: Dokumentasi Pribadi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data hasil Pengujian Uji Serat Tunggal Komposit

250
Kekuatan Tarik (MPa)

200 191,3 MPa

150 138,7 MPa


112,5 MPa 98,4 MPa
100

50

0
0 1 2 3
Waktu Perendaman (Jam)

Gambar 4.1 Hasil Kekuatan Tarik Serat Tunggal

Gambar 4.1 Menunjukkan perbandingan kekuatan tari dari setiap perendaman NaOH
pada serat bambu petung. Urutan kekuatan serat tunggal jika diurutkan dari yang paling
rendah ke tinggi adalah perendaman 3 jam NaOH yaitu 98,4 Mpa, perendaman 2 jam NaOH
yaitu 112,5 Mpa, perendaman 1 jam NaOH yaitu 138,7 Mpa, dan yang memiliki kekuatan
tarik yang paling tinggi adalah serat tunggal tanpa perendaman NaOH yaitu sebesar 191,3
Mpa. Peranan penting dari matrik alami pada serat bambu petung itu sendiri yang mampu
memperkuat ikatan, sehingga dapat dilihat nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada variasi
tanpa perlakuan karena matrik alami dari polyester tidak terpengaruh sama sekali oleh
perlakuan alkalisasi. Terlepasnya matrik alami karena perlakuan NaOH diharapkan dapat
digantikan oleh matrik resin yang akan digabungkan menjadi komposit. Dari gambar terlihat
penurunan kekuatan pada serat dengan variasi perendaman 1 jam, 2 jam, dan 3 jam NaOH.
yang terjadi pada saat proses perendaman kandungan zat kimia serat terlepas, sehingga
semakin lama waktu perendaman maka semakin banyak pula zat kimia serat yang terlepas

51
52

sehingga pada variasi perendaman 3 jam memiliki kekuatan serat tunggal paling kecil, serat
atau komposisi yang berfungsi sebagai penguat ikut terkikis karena lamanya waktu
perendaman dan matrik pada serat sendiri memang belum mencapai kondisi maksimal untuk
mengisi peranan sebagai pengikat yang alami.kimia serat terlepas dan serat yang berfungsi
sebagai penguat, dan matrik belum maksimal untuk mengisi peranan sebagai pengikat alami.
53

4.2 Analisis Pengaruh Perendaman Naoh Pada Serat Tunggal Bambu petung
Komposit Bermatrik Polyester Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Pada
Pengujian Pull Out

Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Perendaman Naoh Pada Serat Tunggal Bambu petung
Komposit Bermatrik Polyester Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Pada Pengujian Pull Out

Gambar 4.2 menunjukkan perbandingan kekuatan tarik antara perendaman NaOH


pada serat bambu petung dan matriks. Dapat dilihat bahwa urutan kekuatan ikatan serat
dengan matriks diurutkan dari yang paling tinggi ke rendah adalah tanpa perendaman NaOH
yaitu 189.94 MPa, perendaman 1 jam NaOH yaitu 135,58 MPa, perendaman 2 jam NaOH
yaitu 106.83 MPa, perendaman 3 jam NaOH yaitu 97.8 MPa dengan panjang serat yang
tertanam yaitu 3 mm. Hal ini menunjukan bahwa serat dengan perlakuan perendaman NaOH
tidak kompatibilitas terhadap matrik resin polyester. Dari hasil pengujian pull out fiber
kompatibilitas antara serat polyester petun dan matrik resin polyester tidak bagus hal ini
terlihat resin yang menempel pada serat semakin lama perendaman NaOH semakin sedikit
resin yang menempel.
54

Tabel 4.1
Tabel Hasil Pengujian Pull Out
No Perlakuan Foto Keterangan Kekuatan
NaOH 6% Tarik
1 0 jam Tercabut 189.94 Mpa

(a)
2 1 jam Tercabut 135,58 Mpa

(b)
3 2 jam Tercabut 106.83 Mpa

(c)
4 3 jam Tercabut 97.8 Mpa

(d)
Sumber: Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
55

Pada Tabel 4.1 menunjukan hasil lubang cabutan pengujian pull out fiber dengan
serat polyester tanpa perendaman NaOH (a) menunjukan hasil cabutan serat tanpa perlakuan
perendaman NaOH mengalami kerusakan dikarenakan kompabilitas antara serat dengan
matrik resin polyester bagus sehingga resin menempel pada serat dan serat rusak, sedangkan
pada (b), (c), (d) menunjukan lubang hasil cabutan serat dengan perlakuan perendaman
NaOH dengan lama perendaman 60 menit, 120 menit, dan 180 menit yang dimana resin
yang menempel pada serat mulai berkurang dan serat setelah tercabut masih utuh seperti
semula ini dikarenakan perendaman NaOH dapat mempengaruhi komposisi dari serat
sehingga serat dan resin tidak berikatan dengan baik.
56

4.3 Data hasil Pengujian Uji Tarik Komposit

Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Kekuatan Tarik Polyester, Serat Bambu Petung Dan
Komposit

Gambar 4.3 Dapat dilihat pada masing-masing variasi memiliki tiga spesimen yang
sudah diproses menjadi komposit. Serat polyester yang sudah diproses menjadi komposit
jika diurutkan dari yang paling tinggi ke rendah maka yang memiliki kekuatan tarik yang
paling tinggi adalah pada serat polyester tanpa perendaman yaitu sebesar 171 Mpa, serat
polyester perendaman 1 jam sebesar 138 Mpa, serat polyester perendaman 2 jam sebesar 102
Mpa, dan yang memiliki kekuata tarik paling rendah adalah pada serat bambu perendama 3
jam yaitu sebesar 81 Mpa. Dengan urutan kekuatan tarik seperti diatas memiliki kesamaan
dengan hasil pengujian tarik serat tunggal, nilai kekuatan tarik paling besar berada pada serat
tanpa perendaman NaOH dan kekuatan tarik serat tunggal akan menurun seiring lama waktu
perendaman. Komposisi kimia pada serat menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan
kekuatan tarik dari serat karena pada komposit tanpa perendaman NaOH terhalang oleh
adanya lapisan lignin di permukaan serat seperti pada dasar teori lignin merupakan salah satu
senyawa kimia pada serat alami yang bersifat kaku, lepasnya ikatan antara serat dengan
matrik yang disebut dengan istilah “fiber pull out” menjadi penyebab utama ketika diuji tarik
mengalami kegagalan. Kekuatan tarik yang paling rendah terjadi pada perendaman dengan
waktu selama 3 jam yang memiliki nilai kekuatan tarik sebesar 81 Mpa. Senyawa kimia
57

penyusun serat alam ada yang mengalami kerusakan atau terlepas dari ikatan seperti lignin
dan hemiselulosa dengan sifat yang dimiliki oleh zat tersebut akan sangat mempengaruhi
kekuatan tarik dari serat ketika senyawa tersebut terlepas dari ikatan karena waktu
perendaman yang cukup lama. Kemampuan matrik dan serat pada saat menahan beban dan
meregang lebih besar memang masih terlihat, namun ikatan yang seharusnya terbentuk
antara matrik dengan serat gagal, maka komposit yang terbentuk pun mengalami kegagalan
lebih awal akrena serat-serat yang terkandung mengalami degradasi. Hal ini dapat diperjelas
karena pada perendaman NaOh 6% seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hemiselulosa
dan lignin berangsur-angsur berkurang karena lamanya waktu perendaman, kekuatan serat
alam yang terbentuk secara alami akan menurun karena kumpulan microfibil penyusun serat
menjadi salah satu faktor penguat yang disatukan leh senyawa bernama lignin akan terpisah,
sehingga serat yang terdapat menyisakan serat-serat halus yang hanya memiliki sedikit atau
cenderung mulai habis dari kandungan senyawa pembentuk tadi sehingga terpisah satu sama
lain.
58

4.4 Morfologi Serat Bambu Petung (SEM)


Morfologi bambu petung dapat dilihat dan diamati menggunakan alat uji foto SEM
(scanning electron microscopy) dengan perbesaran 500x dan 1000x yang bertujuan untuk
mengetahui jaringan struktur pada bambu petung. Variasi morfologi bambu petung yang
diamati menggunakan variasi waktu perendaman 0 jam, 1 jam, 2 jam, dan 3 jam dengan
konsentrasi 6% NaOH.
Adapun hasil foto SEM tersebut sebagai berikut:

Selulosa

227 µm
227 µm

Lignin

Gambar 4.4 Foto SEM 0 Jam Pada Serat Bambu Petung (Tanpa Perendaman)

Selulosa mulai
terpecah

Lignin
berkurang

0.72 µm
227 µm
\
Gambar 4.5 Foto SEM 1 Jam Pada Serat Bambu Petung Perendaman Naoh 6%
59

Selulosa mulai retak

Lignin berkurang

0.45 µm
227 µm
Gambar 4.6 Foto SEM 2 Jam Pada Serat Bambu Petung Perendaman Naoh 6%

Selulosa terkikis

Selulosa pecah

Gambar 4.7 Foto SEM 3 Jam Pada Serat Bambu Petung Perendaman Naoh 6%

Pada gambar 1 Serat tanpa perlakuan yang memiliki kekuatan tarik paling tinggi
dibandingkan dengan serat yang sudah mengalami perlakuan, pada foto hasil pengujian
tersebut dapat dilihat serat bambu petung tanpa perlakuan masih dipenuhi lignin yang
menempel pada permukaannya seperti yang terbentuk secara alami, banyaknya lignin akan
menyebabkan serat dan matrik merekat tidak maksimal. Nampak hemiselulosa masih utuh
belum mengalami keretakan.
60

Pada gambar 2 permukaan serat terlihat lebih bersih karena telah melalu proses
perendaman NaOH selama 1 jam, namun terdapat bagian pada permukaan serat yang
mengalami keretakan kecil. Sedangkan pada gambar 3 dengan serat perlakuan NaOH selama
2 jam adanya retakan pada permukaan serat yang lebih besar daripada serat polyester
perlakuan NaOH 1 jam. Lalu, pada gambar 4 dengan perlakuan NaOH 3 jam selulosa dan
lignin atau yang bisa dianggap daging serat mulai terkikis, serat mulai terlihat rusak.
Presentase NaOH yang cukup besar yang digunakan untuk perlakuan pada serat bambu
petung, hal ini akan berpengaruh langsung kepada kondisi serat polyester itu sendiri terutama
pada bagian permukaan seratnya dengan begitu kandungan kimia yang sebelumnya
terbentuk akan mengalami perubahan bahkan rusak seiring bertambahnya lama waktu
perendaman. Dengan kondisi kandungan kimia yang berubah dan cenderung akan rusak
tentunya mengakibatkan munculnya rongga-rongga pada serat hal inilah yang dapat
menyebabkan penurunan kekuatan dikarenakan distribus tegangan yang akan diterima
menjadi tidak merata dan akan terkonsentrasi pada titik tertentu. Dengan begitu akan sangat
mempengaruhi karakteristik dari serat tersebut.
61

4.5 SEM Patahan Komposit Berpenguat Bambu Petung

Pull Out

Pull Out
Matrik
Retak

Gambar 4.8 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Tanpa Perendaman Naoh 6%

Pull Out

Matrik
Retak

Gambar 4.9 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Perendaman 1 Jam Naoh 6%
62

Serat Mulai
mengalami
kerapuhan

Resin
Starved

Gambar 4.10 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Perendaman 2 Jam Naoh 6%

Pull Out

Serat Sudah Serat Sudah


Rusak Rusak

Gambar 4.11 Foto SEM Pada Komposit Serat Bambu Petung Perendaman 3 Jam Naoh 6%

Perlakuan NaOH pada serat menyebabkan hilangnya sebagian hemiselulosa, lignin,


yang terdapat pada permukaan serat, permukaan serat menjadi lebih kasar sehingga
menghasilkan mengikat secara mekanik yang lebih baik dengan matriksnya. Dengan
hilangnya lignin di permukaan serat maka bidang reaksi dan ikatan kimia antara serat dan
matriks meningkat yang akan meningkatkan sifat mekaniknya. Tetapi pada alkalisasi 6%
NaOH kandungan hemiselulosa, lignin berangsur berkurang maka kekuatan serat alam
akan menurun karena kumpulan microfibril penyusun serat yang disatukan oleh lignin akan
terpisah, sehingga serat hanya berupa serat-serat halus yang terpisah satu sama lain.
63

Kandungan NaOH 6% terlalu besar sehingga mengikis sebagian besar lignin seiring
bertambahnya waktu perendaman. Karena zat kandungan penting menghilang,
menyebabkan serat menjadi rusak dan menurunkan kekuatan tarik serat bambu petung ini.
Dan besarnya tegangan dan regangan yang mampu ditahan oleh komposit menjadi menurun
seiring lamanya perendaman.
Serat membengkak dikarenakan semakin lama waktu perendaman semakin banyak
pula molekul air yang diserap oleh serat. Lepasnya ikatan permukaan serat dengan polyester
atau disebut debonding pada serat yang berakibat pada kerusakan mekanis atau menurunnya
kekuatan mekanis komposit, seperti ditunjukkan pada patahan foto SEM pada gambar.
Pada penampang patahan komposit tanpa perendaman (Gambar 4.8). Pada patahan tersebut
Nampak jelas beberapa titik terjadi cacat atau kegagalan pull out, hal ini mampu mengurangi
kekuatan Tarik. Pada tahap pembesaran selanjutnya ditemukan kembali fakto yang dapat
mempengaruhi kekuatan yaitu Debonding, Lepasnya daya ikat antara serat dan matrik.
Pada sampel uji dengan lama perendaman NaOH selama 1 jam (Gambar 4.9)
menunjukkan jenis kegagalan yaitu debonding dan fiber pull out. Namun persentase
kegagalan lebih didominasi oleh mekanisme fiber pull out daripada kegagalan debonding.
Kegagalan debonding lebih disebabkan karena lemahnya ikatan antara serat dan matriks.
Sedangkan jenis kegagalan fiber pull out lebih disebabkan karena putusnya serat sebagai
akibat serat tidak mampu menanggung beban yang diterima. Debonding yang terjadi pada
perendaman 1 jam NaOH lebih sedikit daripada komposit serat bambu petung tanpa
perendaman NaOH.
Pada sampel uji dengan lama perendaman NaOH selama 2 jam (Gambar 4.10)
menunjukkan jenis kegagalan berupa banyak serat terlihat mulai rapuh yang lebih banyak
daripada tanpa perendaman NaOH dan perendaman 1 jam NaOH kerapuhan ini sangat
berdampak besar pada kekuatan tarik dari komposit karena jika tersebar pada seluruh serat
tentunya akan menurunkan kekuatan secara drastis. Penyebabnya adalah kekuatan serat lebih
rendah daripada kekuatan ikatan serat-matriks sehingga serat yang mengalami patah lebih
dahulu. Gambar 4.11 adalah penampang patahan komposit 3 jam yang memiliki nilai
kekuatan tarik terendah. Dikarenakan serat terlihat sangat rapuh dan kerapuhan pada serat
telah merata ketika dikenai perendaman 3 jam. Sehingga putusnya ikatan antara serat dan
matriks disebabkan oleh rapuhnya serat. Dengan rapuhnya serat tersebut mengakibatkan
lignin dan hemiselulosa hamper menghilang atau hanya tersisa sedikit saja.
64

4.6 Analisis Patahan Komposit


4.6.1 Analisis Patahan Matrik Tanpa Perendaman NaOH

Pull Out

Debonding

Gambar 4.13 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Tanpa Perendaman Naoh

Dari gambar diatas terlihat bahwa komposit dengan Serat Tanpa Perendaman
NaOH terdapat pull out dan debonding. Apabila dilihat lebih seksama, komposit dengan
matrik Tanpa Perendaman NaOH, rata-rata debonding sebesar 4.75 %. Pada produk
komposit dengan tanpa perlakuan perendaman NaOH, memiliki debonding cenderung
paling kecil atau memiliki rataan yang kecil dibandingkan dengan patahan komposit
lainnya. Mekanisme lepasnya serat dan matrik akibat kurang mampunya gaya ikat antara
matrik dan serat sehingga terkelupas sebelum dapat mentransfer gaya yang diterima
dengan maksimal. Jika dibandingkan dengan patahan komposit lain, komposit bermatrik
Tanpa Perendaman NaOH memiliki daerah patahan yang lebih seragam dan perpaduan
komposisi antara serat dan resin cukup baik. Dan komposit serat bambu petung tanpa
perendaman NaOH juga memiliki kekuatan tarik yang paling tinggi yaitu 171 MPa.
65

4.6.2 Analisis Patahan Matrik Perendaman NaOH 1 jam

Pull Out

Debonding

Gambar 4.14 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Perendaman Naoh 1 Jam

Dari gambar diatas terlihat bahwa produk komposit dengan serat dengan 1 jam
Perendaman NaOH menunjukkan jenis kegagalan kombinasi antara debonding dan fiber
pull out. Fiber Pull Out yang terjadi pada komposit serat bambu dengan perendaman 1 jam
lebih mendominasi daripada debonding yang terjadi. Kegagalan debonding lebih disebabkan
karena lemahnya ikatan antara serat dan matriks. Sedangkan jenis kegagalan fiber pull out
lebih disebabkan karena putusnya serat sebagai akibat serat tidak mampu menanggung beban
yang diterima. Rata-rata debonding yang ada pada spesimen komposit serat bambu petung
dengan perendaman NaOH 1 jam yaitu 4,88 %. Dan kekuatan tariknya menurun menjadi
138 MPa dikarenakan perlakuan alkalisasi serat 1 jam NaOH kondisi permukaan serat yang
langsung membuat serat mulai terdegradasinya kandungan lignin dan hemiselulosa pada
serat bambu petung yang berpengaruh pada kekuatan tarik komposit dan ikatan pada matrik
polyester
66

4.6.3 Analisis Patahan Matrik Perendaman NaOH 2 jam

Pull Out

Resin Starved

Debonding

Gambar 4.15 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Perendaman Naoh 2 Jam

Dari gambar diatas terlihat bahwa produk komposit dengan serat dengan 2 jam
Perendaman NaOH menunjukkan serat tercabut dari matriks yang lebih banyak daripada
tanpa perendaman NaOH dan perendaman 1 jam NaOH dan pada komposit ini terdapat resin
starved yaitu merupakan cacat yang terjadi akibat kurangnya resin yang diberikan pada serat
sehingga terjadi kekuarangan resin pada komposit. Penyebab dari tercabutnya serat matrik
adalah kekuatan serat lebih rendah daripada kekuatan ikatan serat-matriks sehingga serat yang
mengalami patah lebih awal, sedangkan kekurangan resin terjadi karena lepasnya resin yang
tidak mengikat secara penuh serat yang diakibatkan beban yang diterima material komposit.
Pada produk komposit ini juga terjadi pull out. Serabut yang keluar dari komposit ini adalah
serabut-serabut yang gagal patah pada daerah patahan matrik saat pembebanan pada materia,
sehingga patahan pada serabut serat berebeda. Ketidakmampuan menerima gaya secara
merata, sehingga terjadilah Pull Out. Patahan yang terjadi bukan dikarenakan debonding
tetapi lebih didominasi oleh berberapa serat yang mulai rapuh dan kekuatan tariknya menurun
menjadi 102 MPa dikarenakan perlakuan alkalisasi serat 2 jam NaOH kondisi permukaan
67

serat yang langsung membuat serat lebih terdegradasinya kandungan zat amorf pada serat
bambu petung dari variasi komposit tanpa perendaman dan perendaman 1 jam NaOH.

4.6.4 Analisis Patahan Matrik Perendaman NaOH 3 jam

Pull Out

Pull Out
Debonding

Gambar 4.16 Foto Permukaan Patah Spesimen Komposit Serat Perendaman Naoh 3 Jam

Dari gambar patahan diatas, dapat terlihat bahwa produk komposit dengan matrik
Perendaman NaOH 3 jam mengalami kegagalan material yang cukup mempengaruhi
kekuatannya diantaranya adalah disebabkan oleh rapuhnya dan semakin menjadi licin pada
permukaan serat saat perendaman 3 jam NaOH menghasilkan patahan komposit 3 jam yang
memiliki nilai kekuatan tarik terendah. Dengan perendaman 3 jam serat lebih banyak yang
lepas dari ikatan matriksnya karena ketidakmampuannya membuat ikatan satu sama lain
dibandingkan dengan perendaman 2 jam, 1 jam dan tanpa perendaman. Dengan kekuatan
tarik komposit terendah yaitu 81 Mpa. Presentase NaOH yang cukup besar sangat-sangat
mempengaruhi dari komposisi serat tertutama pada perendaman 3 jam adalah alkalisasi
terlama pada serat bambu petung sehingga sangat banyak memberi pengaruh terhadap
kondisi permukaan serat yang langsung membuat serat menjadi terdegradasi dan
68

kandungan kimianya rusak. Hal ini terjadi dikarenakan alkali tersebut akan mengikis
permukaan dari serat bambu petung ini. Sehingga patah komposit tidak disebabkan oleh
debonding tetapi disebabkan oleh rapuhnya serat ketika diberi perlakuan perendaman
NaOH. Namun, terdapat pula Pull Out yang membuat kekuatn dari komposit semakin
menurun.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dillakukan maka dapat disimpulkan bahwa Pengaruh
perendaman NaOH pada serat bambu petung (dendrocalamus asper) dengan penyusunan
searah terhadap kekuatan tarik komposit bermatrik polyester adalah semakin lama waktu
perlakuan alkalisasi atau perendaman akan menurunkan kekuatan tarik dari produk komposit,
sementara produk komposit tanpa perendaman akan memiliki kekuatan tarik yang paling
tinggi. Didapatkan hasil Didapatkan hasil pengujian kekuatan tarik produk komposit dengan
metode vacuum infusion tertinggi terdapat pada komposit serat bambu petung tanpa
perendaman NaOh yaitu sebesar 171 Mpa, komposit serat bambu petung dengan 1 jam
perendaman yaitu sebesar 138 MPa, komposit serat bambu petung dengan 2 jam perendaman
NaOH yaitu sebesar 102 MPa, komposit serat bambu petung dengan 3 jam perendaman
NaOH yaitu sebesar 81 Mpa.
Hal Tersebut terjadi pada saat proses perendaman kandungan zat kimia serat terlepas,
sehingga semakin lama waktu perendaman maka semakin banyak pula zat kimia serat yang
terlepas sehingga pada variasi perendaman 3 jam memiliki kekuatan produk komposit paling
kecil, serat atau komposisi yang berfungsi sebagai penguat ikut terkikis karena lamanya
waktu perendaman dan matrik pada serat sendiri memang belum mencapai kondisi maksimal
untuk mengisi peranan sebagai pengikat yang alami. Bambu etung memiliki ikatan alami
yang sudah kuat dibandingkan pada bambu petung yang sudah diberi perlakuan

5.2 Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kekuatan maksimal pada
matrik dengan serat bambu petung yang lebih spesifik.
2. Perlunya ketelitian dalam proses pembuatan spesimen terutama ketika proses
pembuatan dengan metode vacuum infusion dan pengaruh alkalisasi
3. Perlu dilakukan pencarian alat pendukung yang mempermudah metode vacuum
infusion.
4. Mencari variasi perendaman yang tepat dalam perlakuan NaOH karena kekuatan yang
terdapat pada serat malah semakin menurun

69
DAFTAR PUSTAKA

Abrarsyah, Noerel, Djonaedi. (2016). Pengaruh Perendaman Bambu


Petung,Bambu Hitam Dan Bambu Apus Di Air Rawa. Jakarta : Universitas
Negeri Jakarta

A. Amarudin dan S.M.B. Respati. (2017). Kompatibilitas Serat Pelepah Pohon


Pisang Kepok (Musaceae) Pada Perlakuan Perebusan Air Jahe (Zingiber
Officinale) Dan Perlakuan Resin Polyester. Universitas Wahid Hasyim
Semarang

ASTM International. (2003). Standard Test Method for Tensile Properties of


Plastics, Pensylvenia. West Conshohocken.

Astari, L., Subyakto, Munawar, S.S., Kusumaningrum, W.B. (2011). Research of


nanofiber production from oil palm empty fruit bunches with mechanical
process. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI.

Avner, S.H. (1974). Introduction to Physical Metallurgy. New York : McGraw-Hill


book Company.

Bowyer, J. L., R. Shmulsky dan J. G. Haygreen. (2003). Forest Products and Wood
Science. USA : An Introduction, 4th edition. Iowa State Press.

Callister W. D. (2007). Material Science and Engineering, 7nd edition. New York
: Jhon Wolley & Sons, Inc.

Changwoon. (2013). Molecular Dynamics Simulation of Vynil ester resin


Crosslinking. United Stated : Mississipi State University.

Chandra AK, Ghosh D, Mukhopadhyay S, et al. (2004) . Effect of bamboo shoot,


Bambusa arundinacea

Clayton A. (1987). Epoxy Resins: Chemistry and Technology (Second ed.). New
York : Marcel Dekker Inc. p. 794. ISBN 0-8247-7690-9.

David Farelly. (1984). The Book Of Bamboo. Sierra Club Books. University of
Minnesota

Dransfield S, Widjaja, E A. (1995). Plant resources of South-East Asia No.7


Bambos. Backhuys Publishers, Leiden.189 pp.

Diharjo, K. (2006). Kajian sifat fisis-mekanis dan akustik komposit sandwich serat
kenafpolyester dengan core kayu sengon laut. Disertasi Program Doktor,
Ilmu-ilmu Teknik UGM : Yogyakarta.

Harris Bryan. (1999). Engineering composites. London : The Institute of Materials


H.P.G. Santafé Júnior. (2010) Mechanical Properties of Tensile Tested Coir Fiber
Reinforced Polyester Composites. Revista Materia.
Idris AA, Anita F, Purwito. (1994). Penelitian Bambu Untuk Bahan Bangunan.
Dalam: Strategi Penelitian Bambu di Indonesia. Serpong : PUSPITEK.

Janssen. (1981). Bamboo Building Structure. USA : Technische Hogeschool


Eindhoven.

Kaw Autar. (2006). Mechanics of Composites Material. New York : CRC Press-
Taylor & Francis Group.

Krisdianto, G.S. (2000). Sari Hasil Penelitian Bambu. Sari Hasil Penelitian Rotan
dan Bambu. Bogor : Puslitbang Hasil Hutan

Kusumah, S.S., B. Subiyanto, M. Yusram M. (2011). Optimasi Pembuatan Papan


Komposit Berbahan Baku Limbah Kayu dan Bambu. Jakarta : Widyariset.

Kosjoko (2014). Pengaruh perendaman (NaOH) terhadap kekuatan tarik dan


bending komposit serat bambu tali (Gigantochloa Apus)”. Jember :
Universitas Muhammadiyah

Lokantara dan Ngakan Putu Gede Suardana.(2007).Analisi dan perlakuan serat


tapis kelapa serta rasio epoxy hardener terhadap sifat fisis dan mekanik
komposist tapis kelapa. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM
Manuhuwa, E dan Loiwatu, M. (2007). Komponen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis
Bambu. Jurnal Agroforestri Vol III No.2.

Maryanti Budha. (2011). Pengaruh Alkalisasi Komposit Serat Kelapa-Poliester


Terhadap Kekuatan Tarik. Universitas Brawijaya

Matthews F. L. & R.D. Rawling. (1994). Composite Material Engineering Science


Technology and Medicine. London : Chopman & Hall.

Morisco (1999). “Rekayasa Bambu”, Nafiri Offset, Yogyakarta

Mueller D. H. dan Krobjilowski A. (2003) . New Discovery in The Properties of


Composites Reinforced With Natural Fiber. Jurnal of Industrial Textiles

Mutia, T., Susi S., Teddy K., Hendro R (2014). Potensi Serat dan Pulp Bambu
untuk Komposit Peredam Suara. Jurnal Selulosa, Vol. 4, No. 1.

Nayiroh Nurun. (2014). Teknologi Material Komposit. Universitas Islam Negeri


Maulana Malik Ibrahim : Malang.

PT. Justus Sakti Raya. (2003). Jakarta : Spesifikasi Resin Hardener Epoxy.
Sanjay K. Mazumdar, Ph.D. (2002) Composites manufacturing : materials,
product, and process engineering. Corporate Blvd. Florida : Boca Raton.

S.A.H Roslan, M.Z. Hasan, S.A Zaki. (2015). Sifat mekanik komposit bambu
berpenguat epoxy dengan struktur sandwich. Malaysia : Universiti Teknologi

Sidik Mustafa. ( 2005 ). Karakteristik Sifat Fisika Dan Mekanika Bambu Petung
Pada Bambu Muda, Dewasa Dan Tua. Universitas Gajahmada

Surdia T. (1999). Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta : Prandinya Paramita.

Sudarsono, Rusianto T, Suryadi Y. (2010). Pembuatan Papan partikel Berbahan


Baku Sabut Kelapa dengan Bahan Pengikat Alami (Lem Kopal). Jurnal
Teknologi, Vol 3 (1).

Suryanto .et.al. (2004) . Serat Alam : Komposisi, Struktur, Dan Sifat Mekanis.

Tiara.2018.Pengaruh Perendaman NaOH pada serat bambu petung


(Dendrocalamus Asper) terhadap kekuatan tarik komposit bermatrik
Epoxy. Universitas Brawijaya

Widjaja, E.A. (2001). Identifikasi Jenis-Jenis Bambu Di Jawa. Bogor : Laporan


Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI.

Ziaulla, Yousif, Mainul. (2016). Analisis patahan pada komposit epoxy berpenguat
serat bambu. Asutralia : University Queensland

Anda mungkin juga menyukai