Anda di halaman 1dari 82

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN PERILAKU MEKANIK POLYLACTIC


ACID DENGAN PENAMBAHAN TRIACETINE DAN
DIETHYLENE GLYCOL DIBENZOATE SETELAH PROSES
ANILASI 80 oC DAN 100 oC

SKRIPSI

JUNIKO NUR PRATAMA


0906633382

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL

DEPOK
JUNI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN PERILAKU MEKANIK POLYLACTIC


ACID DENGAN PENAMBAHAN TRIACETINE DAN
DIETHYLENE GLYCOL DIBENZOATE SETELAH PROSES
ANILASI 80 oC DAN 100 oC

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Teknik

JUNIKO NUR PRATAMA


0906633382

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL

DEPOK
JUNI 2013

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan


semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Juniko Nur Pratama


NPM : 0906633382
Tanda Tangan :
Tanggal :

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Juniko Nur Pratama
NPM : 0906633382
Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material
Judul Skripsi : Perbandingan perilaku mekanik polylactic acid
dengan penambahan triacetine dan diethylene glycol dibenzoate setelah proses
anilasi 80 oC dan 100 oC

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Metalurgi dan Material
Fakultas Teknik, Univeritas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Dr. Mochamad Chalid S,Si. M,Sc,Eng. ( )

Pembimbing 2 : Dr. Lisman Suryanegara M.Agr ( )

Penguji 1 : Dr. Ir. Akhmad Herman Yuwono M.Phil.Eng ( )

Penguji 2 : Nofrijon Sofyan, Ph.D ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 20 Juni 2013

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya atas
rahmat dan karunia-Nyalah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Teknik pada Program Studi Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik,
Univeritas Indonesia. Skripsi ini saya persembahkan kepada orangtua, Ibunda Sri
Yulia Pujiastuti dan Ayahanda Rusmadi Eko Priyono, serta adik saya yang
tercinta Yusuf Donner Dwiyantama atas doa, kasih sayang serta dukungannya
terhadap saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, saya
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, maka sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada.
1. Dr. Mochammad Chalid S.SI, M.Sc.Eng dan Dr. Lisman Suryanegara
M.Agr selaku dosen pembimbing yang membantu saya dalam penyusunan
skripsi.
2. Prof. Dr. Ir. Anne Zulfia, M.T. dan Drs. Sari Katili, M.Sc, selaku dosen
pembimbing akademis yang senantiasa membantu saya dalam masa
perkuliahan
3. Orang Tua serta keluarga penulis yang telah memberikan bantuan
dukungan material dan moral
4. Rekan-rekan saya, Adam, Zainudin, Mbak Laili yang telah saling bekerja
sama dengan baik dari proses pembuatan sampel hingga penyusunan
skripsi,juga pihak yang telah membantu saya dalam memperoleh data yang
saya perlukan seperti mas Masruchin, Pak Sumanto, Mas Yus, Mbak Ary
serta staff pendamping lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
5. Teman teman di Teknik Metalurgi dan Material 2009, Pembina dan
Pengurus IROSI, FUSI, FORMASI, APSIA 2013, Pioneer FTUI atas setia
kebersamaannya mendukung saya dalam pembuatan skripsi ini.
6. Seluruh Karyawan di Departemen Metalurgi dan Material

v
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalasa segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan riset dalam pengembangan
material ke depannya.
Depok, Juni 2013

Penulis

vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Juniko Nur Pratama


NPM : 0906633382
Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material
Departemen : Metalurgi dan Material
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu ppengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berrjudul :

PERBANDINGAN PERILAKU MEKANIK POLYLACTIC


ACID DENGAN PENAMBAHAN TRIACETINE DAN
DIETHYLENE GLYCOL DIBENZOATE SETELAH PROSES
ANILASI 80 oC DAN 100 oC

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di : Depok
Pada tanggal :20 Juni 2013
Yang menyatakan

vii
( Juniko nur Pratama )

viii
ABSTRAK

Nama : Juniko Nur Pratama


Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material
Judul : Perbandingan perilaku mekanik polylactic acid dengan
penambahan triacetine dan diethylene glycol dibenzoate
setelah proses anilasi 80 oC dan 100 oC

Penggunaan plastik konvensional yang terbuat dari minyak bumi atau diebut
sebagai petropolimer. Dalam kondisi ini, jumlah minyak bumi yang tersedia
didunia semakin habis, sehingga pengembangan plastik yang ramah lingkungan
dan terbuat dari bahan alami yang bersifat sustainable sebagai pengganti minyak
bumi sangat dibutuhkan. Polylactic acid (PLA) merupakan salah satu material
biopolimer yang memiliki sifat mekanik yang sangat baik, tetapi salah satu
kekurangannya ialah sifat getas dari PLA, sehingga membutuhkan pemlastis agar
PLA memiliki fleksibilitas yang dibutuhkan. Perlakuan panas seperti anilasi juga
dibutuhkan untuk memperbaiki sifat mekanik serta meningkatkan derajat
kristalinitas dari PLA. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
penambahan diethylene glycol dibenzoate dan triacetine terhadap sifat mekanik
dan derajat kristalinitas polylactic acid. Sifat mekanik diamati dengan uji UTM
dan SEM. Perilaku molekul diamati dengan uji FTIR dan derajat kristalinitas PLA
diamati dengan uji DSC. Hasilnya, morfologi perpatahan menunjukkan
penambahan pemlastis menjadikan material PLA menjadi ulet. Kemungkinan
adanya interaksi molekul antara PLA dengan pemlastis. Triacetine lebih
meningkatkan elongasi dibandingkan dengan diethylene glycol dibenzoate. Dan
sebaliknya diethylene glycol dibenzoate lebih meningkatkan kristalinitas PLA
dibandingkan dengan triacetine.
Kata kunci :
Polylactic acid, diethylene glycol dibenzoate, triacetine, sifat mekanik, sifat
termal, elongasi, kristalinitas.

ix
x
ABSTRACT

Nama : Juniko Nur Pratama


Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material
Judul : Comparison of mechanical behavior of polylactic acid
with the addition of triacetine and diethylene glycol
dibenzoate after annealing 80 oC and 100 oC

The use of conventional plastics that increased dramatically, increase the capacity
of local waste volume. In this condition, the development of eco-friendly plastic
made from nature and the ability to decompose biologically in a relatively short
time is needed. Polylactic acid (PLA) is a biopolymer material that is brittle, so it
requires a pemlastis so that PLA has the flexibility required. Heat treatment such
as annealing also needed to improve the mechanical properties and increase the
degree of crystallinity of PLA. This research aims to study the effect of the
addition of diethylene glycol dibenzoate and triacetine on mechanical properties
and degree of crystallinity of polylactic acid. Mechanical properties were
observed by SEM and UTM test. Molecular behavior observed by FTIR test and
the degree of crystallinity of PLA were observed by DSC test. As a result, the
fracture morphology shows the addition of pemlastis s to make the PLA a resilient
material. The possible existence of molecular interactions between the PLA dan
pemlastis . Triacetine further improve elongation compared with diethylene glycol
dibenzoate. And conversely diethylene glycol dibenzoate further improve the
crystallinity of PLA compared with triacetine.

Keywords:
Polylactic acid, diethylene glycol dibenzoate, triacetine, mechanical properties ,
thermal properties, elongation, crystallinity.

xi
DAFTAR ISI

xii
DAFTAR TABEL

xiii
DAFTAR GAMBAR

xiv
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini penggunaan polimer terus meningkat pesat sejalan dengan
peningkatan kebutuhan manusia sehari-hari. Polimer telah banyak diaplikasikan
dalam kehidupan, sebagai contoh , penggunaan polimer banyak digunakan pada
pembungkus makanan, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan sekolah,
perangkat komputer, kotak telepon, sampul kabel listrik dan kabel telepon,
mainan anak-anak, bahkan klep jantung buatan untuk manusia pun juga dibuat
dari polimer.
Berdasarkan sumbernya, polimer terdiri dari 2 jenis yaitu polimer sintetis
maupun alami. Bahan dasar dari polimer sintetis pada umumnya berasal dari
minyak bumi, atau disebut juga petropolimer. Namun, petropolimer merupakan
jenis polimer yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme di dalam tanah dalam
waktu yang relatif singkat. Sedangkan polimer dari bahan dasar alami dapat diurai
oleh mikroorganisme di dalam tanah dalam waktu yang relatif singkat.
Di Indonesia, masyarakat masih cenderung menggunakan minyak bumi
sebagai bahan baku pembuatan plastik petropolimer. Peningkatan jumlah
penduduk Indonesia telah mencapai 237,6 juta pada tahun 2010 berdampak pada
peningkatan permintaan produk plastik. Hal ini diindikasikan pada peningkatan
permintaan bahan baku plastik yang mencapai 6% (dari 2,65 juta ton menjadi 2,81
juta ton). Polietilen (PE) dan polipropilen (PP) adalah dua jenis bahan baku
plastik yang mengalami peningkatan yang signifikan khususnya dari industri
makanan dan minuman [1].
Penggunaan polimer dalam kehidupan telah memberikan banyak manfaat.
Akan tetapi, limbahnya memberikan dampak yang merugikan. Tumpukan sampah
khususnya limbah plastik akan dengan mudah kita jumpai di sekitar lingkungan
kita, terlebih di kota-kota besar seperti Jakarta. Gambar 1 memberikan data
persentase limbah untuk DKI Jakarta sebagai representasi kota besar di Indonesia.
Apabila tidak ada penanganan lebih lanjut untuk menyelesaikannya maka akan
menimbulkan masalah lingkungan yang lebih luas, seperti pada Gambar 2.

Universitas Indonesia
2

Gambar 1.1. Persentase jenis limbah di DKI Jakarta

Sumber : Kompas / Iwan Setyawan


Gambar 1. 2. Penumpukan sampah pada permukaan laut di tepi pantai Desa
Kamal, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura akibat dampak
antisipasi dan pengelolaan limbah plastik yang tidak tepat.

Beranjak dari permasalahan tersebut, diperlukan ide baru untuk


mendapatkan bahan baku alternatif pengganti minyak bumi. Biodegradable
polymer atau polimer yang berasal dari alam dan yang dapat terurai dalam waktu
yang relatif singkat dapat menjadi solusi dari permasalahan diatas. Polimer yang
terbuat dari sumber yang dapat diperbaharui ini telah menarik banyak perhatian
para peneliti. Hal tersebut disebabkan setidaknya oleh 2 hal yang sangat penting,
yaitu: permasalahan isu lingkungan hidup dan kesadaran bahwa sumber minyak
yang digunakan dalam industri polimer dan persediaan petrokima yang semakin
terbatas dan menipis. Penggunaan biodegradable polymer menjadi solusi

Universitas Indonesia
3

preventif dari masalah limbah plastik yang lebih efisien daripada solusi yang
bersifat kuratif dan yang membutuhkan biaya yang relatif mahal serta proses yang
relatif sulit. Biodegradable polymer dapat diproses dari bahan-bahan alami
seperti tumbuhan dan hewan yang dapat diperbaharui. Selain itu, pemanfaatan
biodegradable polymer akan meningkatkan pemberdayaan sektor agrobisnis.

Secara umum, polimer jenis biodegradable dapat diklasifikasikan menjadi


tiga kelompok besar: (1) polimer alami seperti pati, protein dan selulosa; (2)
polimer sintesis yang diturunkan secara biologi dari monomer-monomer yang
berasal dari bahan alam, seperti poly (lactic acid) (PLA); dan (3) polimer dari
fermentasi biologis seperti polyhydroxybutyrate (PHB)[2].

PLA merupakan kelompok polimer dari gugus alifatik ester yang terbuat
dari asam hidroksi dan termasuk asam poliglikol serta asam polimandel. PLA
memiliki kekuatan, transparansi, kemampuan terurai dalam waktu relatif singkat
oleh alam dan persediaan bahan yang baik. PLA dibuat dengan proses
bioteknologi dari bahan yang terbaharukan, seperti jagung dan kentang. Walaupun
jagung merupakan sumber biomasa yang dapat digunakan untuk alternatif bahan
bakar, ia juga memiliki keuntungan lain karena dapat menghasilkan asam laktat
dengan kadar kemurnian tinggi. PLA dapat disintesis dari asam laktat dengan 2
cara: reaksi polikondensasi secara langsung ataupun polimerisasi cincin terbuka
dari monomer laktida. Teknik polimerisasi cincin terbuka memiliki keuntungan
dalam menghasilkan produk dengan berat molekul yang lebih tinggi. PLA
memiliki blok dasar sebagai penyusun berupa asam laktat (asam 2-
hidroksipropionat) dan struktur kimianya ditunjukkan pada Gambar 3.
Stereoisomeris perbandingan antara L/D dari unit laktida mempengaruhi sifat dari
PLA[2].

Gambar 1.3. Struktur dasar PLA [2]


Homopolimer PLA memiliki temperatur transisi gelas dan leleh pada 60 oC
dan 180 oC. PLA sangat cocok diproses secara termoplastik seperti ekstrusi dan

Universitas Indonesia
4

injeksi. PLA tidak boleh terekspose pada temperatur dan kelembaban tinggi untuk
menghindari degradasi. PLA mengalami degradasi termal pada temperatur 200 oC
oleh proses hidrolisis, pembentukan ulang laktida dan pemotongan rantai utama
akibat oksidasi dan reaksi transesterifikasi inter atau intramolekular. PLA juga
bisa ditambahkan filler/bahan penguat yang terbuat dari mineral yang banyak
digunakan sebagai aditif untuk mempercepat pertumbuhan titik nukleasi pada
produk injeksi, dan juga pemlastis yang ditambahkan pada plastik berbentuk
lapisan untuk memperbaiki ketangguhannya. PLA digunakan sebagai material
implan dan pembedahan serta sistem pelarutan obat dalam tubuh. Aplikasi plastik
yang dapat diuraikan sekarang lebih menarik perhatian daripada produk plastik
konvensional yang memiliki waktu penguraian yang relatif lebih lama.
Pengendalian kualitas produk dalam suatu industri merupakan komponen
penting yang menunjang kemajuan dan perkembangan dari industri tersebut.
Pengendalian kualitas yang baik dapat menjaga kepercayaan konsumen terhadap
produk yang dipakai. Dalam pemilihan material untuk aplikasi kemasan, PLA
memiliki kesulitan untuk diproses dengan mesin ekstrusi karena sifatnya yang
kaku dan tidak stabil terhadap panas[3]. Sifat fisik dari PLA dapat dimodifikasi
dengan mencampur polimer dengan pemlastis yang akan meningkatkan
fleksibilitas PLA yang dibutuhkan dalam aplikasi lapisan kemasan. Sebagai
contoh polimer yang telah dicampurkan dengan PLA adalah termoplastik dasar
pati[4], poli (etilena oksida)[5], poli (etilena glikol)[6], poli caprolaktan[7-9] dan
poli(hidroksibutirat)[10],[11]. Dan pemlastis yang sudah dicampurkan dengan PLA
diantaranya adalah gliserol[4], dan jenis ester dengan berat molekul rendah, seperti
sitrat[12].
Ljunberg yang meneliti efek pemlastis menemukan bahwa triacetine
merupakan salah satu jenis pemlastis yang sangat efektif dalam memplastisasi
PLA[13]. Perkembangan pemlastis selanjutnya menuntut agar penambahan
pemlastis tidak menyebabkan sifat toksik pada polimer. Maka dari itu,
penggunaan pemlastis yang tidak bersifat racun merupakan pilihan utama dalam
penggunaan pemlastis dalam skala industri saat ini.
Seperti halnya triacetine, saat ini terjadi banyak perubahan dalam pemilihan
pemlastis dalam dunia industri. Salah satu contohnya adalah diethylene glycol

Universitas Indonesia
5

dibenzoat (DEDB) yang cukup populer menggantikan pemlastis jenis phtalate


yang bersifat racun.
Triacetine dan DEDB merupakan pemlastis dari jenis ester yang memiliki
berat molekul masing masing yaitu 218,21 g/mol [13]
dan 314,34 g/mol[14].
Triacetine memiliki titik didih pada suhu 258 oC, sedangkan DEDB memiliki titik
didih pada suhu 270 oC. Triacetine dan DEDB merupakan senyawa yang tidak
berbahaya dan dapat terurai di alam dalam waktu relatif singkat. Kedua pemlastis
memiliki berat molekul yang relatif rendah dan titik didih yang cukup tinggi,
sehingga dapat digunakan dalam pemrosesan PLA yang berkisar pada suhu 180
o
C[14 15].
Polimer yang telah dibentuk dengan teknik pemrosesan terkadang memiliki
sifat tertentu yang kurang baik, walaupun ia telah diberikan zat aditif untuk
memperbaiki sifat tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, polimer harus diberikan
pemrosesan lanjutan berupa perlakuan panas. Kulinski, Pluta dan Wei melakukan
proses anilasi untuk memperbaiki sifat mekanik dan meningkatkan kristalinitas
dari PLA pada suhu dan waktu tertentu[16 18].
Tren penelitian yang dikembangkan untuk PLA sekarang ini adalah
meningkatkan kekuatan mekanis dari material yang telah diberikan pemlastis
yang nantinya dapat memotivasi industri untuk melakukan inovasi pada kualitas
produk maupun jenis produk yang dihasilkan.
Untuk menjawab permasalahan ini, tentunya harus dikaji ulang formulasi
yang digunakan, serta didukung oleh pengkondisian parameter proses seperti
penyetelan suhu dan lama waktu dalam melakukan hot press.
Pengkajian produk PLA berkaitan terhadap pengaruh penambahan aditif
DEDB dan triacetine dan pemberian perlakuan anil sehingga PLA mengalami
proses rekristalisasi dalam rangka mengoptimalkan produksi dan pencapaian sifat
mekanis yang diperlukan dalam proses pembuatan PLA harus dilakukan secara
tepat.
1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan polimer PLA sebagai pengganti petropolimer dalam


beberapa aplikasi dan produk yang sesuai dimulai dari dugaan mengoptimalkan
produksi dan pencapaian sifat mekanik yang diperlukan dalam proses pembuatan

Universitas Indonesia
6

PLA. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pemlastis triacetine dengan
fraksi masa 10 % dan DEDB dengan fraksi masa 10 % sebagai aditif yang
menambah fleksibilitas dan mengurangi sifat getas PLA.
Proses dalam memformulasikan aditif dan matriks polimer yang digunakan
adalah bagian terpenting dalam suatu proses produksi. Proses ini tentunya sangat
memperhatikan aspek perbandingan antara kualitas produk, biaya produksi dan
ketersediaan bahan. Oleh karena itu, penelitian ini sangat dibutuhkan untuk
memberikan gambaran mengenai pentingnya ketepatan formulasi antara bahan
aditif dan matriks polimer dalam proses compounding dan keberhasilan dalam
penelitian ini akan membuka banyak kesempatan untuk menghasilkan produk
dengan kualitas terbaik, dan memperbaiki sifat mekanik PLA.
PLA yang telah diberikan pemlastis triacetine dengan fraksi masa 10 %
dan DEDB dengan fraksi masa 10 % selanjutnya dilakukan hot press menjadi
bentuk dogbone dan dianilasi pada suhu 80 oC dan 100 oC dalam waktu 30 menit
sebagai perlakuan panas yang akan meningkatkan kekuatan mekanik PLA dan
merekristalisasi PLA sehingga akan meningkatkan derajat kristalinitas PLA.
Karakterisasi yang dilakukan berupa pengujian tarik micro tensile UTM
untuk melihat pengaruh pemberian pemlastis triacetine dengan fraksi masa 10 %
dan DEDB dengan fraksi masa 10 % serta pemberian perlakuan anil terhadap sifat
mekanik PLA yang telah mengalami rekristalisasi dan penambahan sifat plastis.
Selanjutnya pengujian dilanjutkan dengan melakukan pengujian Fourier Transfer
Infra Red untuk melihat ikatan yang terbentuk setelah pemlastis triacetine dan
DEDB dicampur dengan PLA. Selanjutnya dogbone PLA yang telah patah akibat
pengujian tarik micro tensile diuji dengan SEM untuk melihat morfologi
perpatahannya. Pengujian terakhir berupa pengujian DSC untuk melihat derajat
kristalinitas yang terbentuk akibat proses anilasi.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari peran pemlastis triacetine dan DEDB dalam
meningkatkan kekuatan mekanik PLA.
2. Mempelajari peran perlakuan anil terhadap dogbone PLA hasil
hotpress yang telah diberikan pemlastis triacetine dengan fraksi masa 10 % dan

Universitas Indonesia
7

DEDB dengan fraksi masa 10 % sebagai perlakuan yang akan meningkatkan


kekuatan mekanik PLA, serta
3. Mempelajari peran perlakuan anil terhadap derajat kristalinitas
yang terbentuk.
1.4. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini mencakup 3 hal terkait pengaruhnya terhadap sifat
mekanik dan derajat kristalinitas dari hasil compounding dalam proses
pencampuran pemlastis dengan PLA dan proses anilasi, yaitu:
1. Pengaruh pemberian pemlastis triacetine dan DEDB dalam
formulasi PLA terhadap nilai modulus kekakuan, nilai kekuatan tarik dan persen
elongasi dari hasil hotpres PLA.
2. Pengaruh perlakuan anilasi terhadap optimalisasi hasil
compounding PLA dengan pemlastis triacetine dan DEDB, terhadap nilai
modulus kekakuan, nilai kekuatan tarik dan persen elongasi dari hasil hot press
PLA.
3. Pengaruh perlakuan anilasi terhadap derajat kristalinitas yang
terbentuk pada formulasi PLA dengan pemlastis .

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Inti dari penelitian ini adalah mengembangkan PLA yang bersifat getas
menjadi PLA yang bersifat ulet, tangguh dan memiliki persen elongasi tinggi.
PLA yang telah dimodifikasi ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan dasar
untuk aplikasi kemasan fleksibel, pembungkus makanan, botol air minum dan
aplikasi lain yang berhubungan dengan keuletan dan ketangguhan tinggi. Berikut
ini adalah penjabaran ruang lingkup penelitian ini:
1. Pembuatan campuran larutan PLA dengan pemlastis
Bahan dasar yang digunakan adalah PLA 3001D
Pemlastis yang digunakan adalah triacetine dan DEDB
Metode preparasi yang digunakan adalah metode pelarutan PLA dengan
pemlastis dalam pelarut kimia

Universitas Indonesia
8

Metode penguapan dilakukan dalam lemari asam hingga didapatkan


lapisan tipis PLA
2. Proses hotpres
Proses hotpres dilakukan dalam tahapan preheat selama 3 menit dan
pengepresan pelat dengan beban 10 ton selama 1 2 menit dengan suhu 175 oC
dan pendinginan dilakukan dengan menempelkan pelat cetakan pada logam dingin
selama 7 menit.
3. Proses anilasi
Proses anilasi dilakukan dengan variabel suhu 80 oC dan 100 oC dengan
variabel waktu selama 30 menit untuk melihat pengaruh perbedaan suhu dalam
proses anilasi.
4. Karakterisasi dan pengujian
Uji tarik micro tensile UTM
Derajat kristalinitas dengan uji Differential Scanning Calorimetry
Perilaku interaksi antarmolekul PLA dengan pemlastis dengan uji FTIR
Morfologi perpatahan sampel dengan uji SEM

1.6. Hipotesis

Perlakuan anil akan dalam merekristalisasi PLA secara optimal dan


meningkatkan nilai dari kekuatan mekanik serta pemberian pemlastis akan
meningkatkan elongasi dari PLA.
1.7. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, penulisannya disusun sebagai disusun sebagai berikut


agar didapatkan kerangka alur pemikiran yang mudah dan praktis. Penulisan
skripsi ini disusun berdasarkan bab-bab yang saling berkaitan antara satu dengan
lainnya, yaitu:
o Bab I Pendahuluan
Membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan
penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan.
o Bab II Studi Literatur

Universitas Indonesia
9

Membahas mengenai teori-teori tentang biodegradable polimer, PLA,


pemlastis triacetine dan DEDB , perilaku mekanik polimer, teori plastisasi
oleh pemlastis , dan proses anilkasi yang merupakan pendukung penelitian
yang dibutuhkan.
o Bab III Metodologi Penelitian
Membahas mengenai diagram alir penelitian, alat, bahan, prosedur
penelitian dan pengujian sampel.
o Bab IV Hasil dan Pembahasan
Membahas mengenai pengolahan data yang didapat dari hasil pengujian
yang telah dilakukan, baik berupa angka, gambar maupun grafik.
o Bab V Kesimpulan
Menginformasikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Universitas Indonesia
10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Poly Lactic Acid


Polylactic acid (PLA) adalah polimer berjenis termoplastik rigid yang
memiliki struktur semikristal bergantung pada stereokimia dari backbone polimer.
Asam L-laktida (asam 2-hidroksi propionat) adalah bentuk dari struktur monomer
PLA yang normal dan alami, sedangkan asam D-laktida merupakan bentuk
struktur co-monomer PLA yang dibentuk dari kerja mikroorganisme atau melalui
rasemisasi. Bentuk molekul asam D-laktida seperti halnya komonomer yang
ditambahkan pada PLLA untuk mengoptimasikan kinetika kristalisasi dalam
proses dan aplikasi fabrikasi khusus.[19]
PLA memiliki ranah aplikasi yang cukup luas karena dapat dikristalisasi
dengan perlakuan regangan dan panas; modifikasi kekuatan impak; diberikan
filler; dikopolimerisasi; dan diproses pada peralatan pemrosesan polimer. PLA
dapat dibentuk menjadi lapisan tipis transparan, fiber atau dicetak dengan injeksi
menjadi preform yang dapat ditiup untuk aplikasi botol, seperti PET. PLA juga
memiliki karakteristik organoleptik yang sangat baik, cocok untuk kontak dengan
makanan dan aplikasi kemasan lainnya.[19]
Carothers [20] menemukan pembuatan PLA dari pembentukan siklus dimer
dari asam laktat pada 1932. Bahkan pada 1997, perusahaan polimer besar
Amerika, Cargill Dow LLC memiliki fokus dalam membuat produksi PLA dalam
jumlah besar.[21]
Blok dasar penyusun dari PLA adalah asam laktat, yang berhasil diisolasi
pertama kali pada 1780 dari susu asam oleh kimiawan Swedia, Scheele, dan
pertama kali diproduksi untuk komersial pada 1881.[22] Asam laktat sering
digunakan dalam aplikasi makanan, senyawa buffer, zat perasa asam, dan
penghambat pertumbuhan bakteri pada makanan. Asam laktat yang merupakan zat
pembentuk dasar dari PLA dapat dibuat dengan cara fermentasi karbohidrat atau
sintesis kimia, walaupun proses fermentasi masih lebih sering digunakan.[23-25]

Universitas Indonesia
11

Gambar 2.1. Metode sintesa untuk PLA dengan berat molekul rendah. [22]
Asam laktat (asam 2-hidroksi propionat) adalah asam hidroksi yang paling
sederhana dengan atom karbon yang asimetris dan muncul secara optis dalam dua
konfigurasi yang aktif. Isomer L(+)- diproduksi dalam metabolisme manusia,
sedangkan kedua enantiomer D(-)- dan L(+)- diproduksi dalam sistem
metabolisme bakteri. Secara umum, asam laktat diproduksi dengan bantuan
bakteri Lactobacilli dalam proses fermentasi karbohidrat.[26] Organisme yang
menghasilkan isomer L(+) adalah Lactobacilli amylophilus, L. bavaricus, L. casei,
L. maltaromicus dan L. salivarius. Sedangkan isomer D(-) dihasilkan dari
Lactobacilli jenis delbrueckii, jensenii dan acidophilus.[22] Proses fermentasi ini
membutuhkan waktu 3 6 hari hingga prosesnya selesai. Konsentrasi gula yang
digunakan 5 10 % yang menghasilkan 2 gram asam per 1 liter per jam.
Proses sintesa asam laktat menjadi PLA dengan berat molekul tinggi dapat
dicapai dengan dua jalan polimerisasi yang berbeda, lihat Gambar 2.1. Asam
laktat dipolimerisasi kondensasi untuk menghasilkan PLA dengan berat molekul
rendah dan bersifat kaku/getas.

Universitas Indonesia
12

Proses sintesa kedua untuk membuat PLA adalah dengan mengumpulkan,


memurnikan dan melakukan polimerisasi dengan teknik pembukaan cincin
laktida untuk menghasilkan PLA dengan berat molekul yang tinggi (Mw >
100.000). Proses sintesa ini merupakan proses yang paling baik untuk
menghasilkan PLA murni dengan berat molekul tinggi . Proses ini dilakukan
dengan mendehidrasikan asam laktat dan katalis dalam suatu sistem untuk
menghasilkan PLA dengan berat molekul yang tinggi dari 300.000.[26-29]
Polimerisasi pembukaan cincin laktida pertama kali dilakukan oleh
Carothers pada 1932[30], tetapi metode lain untuk mendapatkan berat molekul
yang tinggi baru didapatkan setelah teknik pemurnian laktida diperbaiki oleh
DuPont pada tahun 1954.[31] Laktida didapatkan dengan depolimerisasi PLA berat
molekul rendah dalam kondisi tekanan rendah untuk mendapatkan sebuah
campuran dari L-laktida, D-laktida atau meso-laktida. Perbedaan persentasi
isomer laktida yang terbentuk tergantung pada persediaan isomer, suhu dan jenis
katalis yang digunakan.[22] Gambar 2.2. menggambarkan sintesa PLA dari cincin
laktida. D-laktida dan L-laktida dapat membentuk stereokompleks rasemik 1:1,
yang meleleh pada suhu 126 oC. [22,32]
Sifat mekanik dan perilaku kristalisasi PLA sangat tergantung pada berat
molekul dan susunan stereokimia dari backbone. Penyusunan stereokimia ini
sangat mudah dikontrol oleh polimerisasi dengan D-laktida, L-laktida dan D,L-
laktida atau meso-laktida untuk membentuk stereokopolimer blok atau acak,
sedangkan berat molekul dikontrol dengan penambahan senyawa hidrofilik
(seperti asam laktat, air, alkohol).[22] Kemampuan untuk mengontrol susunan
stereokimia dapat memberikan kontrol terhadap kecepatan dan derajat
kristalinitas, sifat mekanik, dan temperatur pemrosesan dari material. Degradasi
hidrolisis dari matriks polimer dipengaruhi oleh jumlah kristalinitas dalam
sampel. Pada hasil eksperimen yang telah dilakukan sebelumnya, PLA dengan
kristalinitas tinggi membutuhkan waktu beberapa bulan untuk dihidrolisis menjadi
asam laktat, sedangkan sampel amorfus terdegradasi dalam waktu beberapa
minggu. Hal ini disebabkan oleh impermeabilitas dari daerah kristalin. [33 34]

Universitas Indonesia
13

Gambar 2.2. Formasi Cincin Laktida[22]

Poli(D-laktida) atau poli(L-laktida) yang murni dalam kesetimbangan


kristalinitas memiliki titik leleh 207 oC,[35 38] walaupun secara umum memiliki
titik leleh pada 170o 180 oC. Hal ini disebabkan oleh kristal yang tidak
sempurna dan berbentuk kecil, rasemisasi yang sedikit dan adanya pengotor. Pada
hasil pengamatan lainnya ditemukan perbandingan campuran 1:1 (disebut juga
stereokompleks) antara poli(D-laktida) atau poli(L-laktida) akan menghasilkan gel
yang sulit larut akibat sulitnya pembentukan stereokimia dari kedua polimer
selama proses kristalisasi ataupun polimerisasi. Bentuk gel ini memiliki titik leleh
230 oC dan memiliki sifat mekanik yang jauh lebih baik dari kedua polimer murni
[39, 40]
tersebut. G.L. Loomis dan J.R. Murdoch menyatakan untuk PLA dengan
berat molekul rendah memiliki kekuatan tarik sebesar 50 MPa untuk
perbandingan stereokompleks 1:1 dan 31 MPa untuk L-PLA.[34,35] Variasi
kopolimerisasi dalam bentuk D- dan L-laktida menunjukkan stereokompleksasi
yang sama.[22]

Universitas Indonesia
14

Ketergantungan berat molekul dan konsentrasi isomer L-laktida, serta


kecepatan dan peningkatan derajat kristalisasi juga tergantung pada keberadaan
agen nukleasi saat waktu kristalisasi diatas Tg.[41] Kristalisasi kopolimer PLA
(variasi antara L- dan D-) yang amorfus dapat dikristalisasi dengan cara
penganilan pada temperatur antara 75 oC dengan titik leleh.[41] Bigg juga
menemukan bahwa melakukan anil pada PLA dengan dimensi batang ketebalan 3
mm dibawah 5 menit pada 110 oC tidak memberikan pengaruh pada peningkatan
derajat kristalinitas. Perlakuan anil selama 1 menit tidak cukup untuk membuat
sampel mengalami peningkatan temperatur untuk anil. Perlakuan anil pada suhu
tinggi (seperti 135 oC) tidak memproduksi kristalisasi yang sempurna. Waktu
yang lebih lama pada perlakuan anil diperlukan untuk memproduksi kristal
dengan titik leleh yang tinggi dan lebih sempurna. Hal ini merupakan hasil dari
pelelehan pertama kristal dengan titik leleh rendah dan kurang sempurna serta
membentuknya kembali menjadi kristal dengan titik leleh tinggi dan lebih
sempurna. Perubahan proses kristalisasi dari pembentukan cepat kristal dengan
titik leleh rendah menuju pembentukan kembali dengan lebih lambat kristal
dengan titik leleh tinggi yang terjadi secara bertahap seperti saat peningkatan
temperatur anil dari 100 oC menuju 140 oC.[41]
Perego [42] mempelajari pengaruh berat molekul dan kristalinitas pada sifat
mekanis PLA dengan melakukan polimerisasi L-laktida dan D,L-laktida untuk
membuat polimer amorf dan semikristalin. PLA dengan berat molekul diatas
55.000 g/mol memiliki modulus dan kekuatan tarik paling baik seperti pada tabel
2.1. Kekuatan impak dan temperatur pelunakan meningkat dengan peningkatan
tingkat kristalinitas dan berat molekul. Pada tabel 2.2 juga dijelaskan mengenai
pengaruh stereokimia dan kristalinitas pada L-PLA amorf, anil dan D,L-PLA
amorf. Pada perlakuan anil, ketahanan impak meningkat akibat efek ikatan silang
dari area kristalin, saat kekuatan tarik juga meningkat.

Tabel 2.1. Perbandingan Sifat Fisik PLA Berat Molekul Tinggi dengan Variasi Kondisi
Orientasi[43]
Unoriented Oriented
Ultimate tensile strength (MPa) 47,6 53,1 47,6 166

Universitas Indonesia
15

Tensile yield strength (MPa) 45,5 61,4 N/A


Tensile modulus (MPa) 3447 4000 3889 4137
Notched izod impact (ft-lb/in) 0,3 04 N/A
Elongation at break (%) 3,1 5,8 15 160
Rockwell hardness 82 88 82 88
3
Specivic gravity (g/cm ) 1,25 1,25
Glass transition temperatur ( C) o
57 60 57 60

Tabel 2.2. Efek Stereokimia dan Kristalinitas pada Sifat Mekanik[42]


L-PLA L-PLA Anil D,L-PLA
Tensile strength (MPa) 59 66 44
Elongation at break (%) 7.0 4.0 5.4
Modulus of elasticity (MPa) 3750 4150 3900
Yield strength (MPa) 70 70 53
Flexural strength (MPa) 106 119 88
Unnotched izod impact (J/m) 195 350 150
Notched izod impact (J/m) 26 66 18
Rockwell hardness 88 88 76
o
Heat deflection temperature ( C) 55 61 50
o
Vicat penetration ( C) 59 165 52

PLA memiliki kelemahan terhadap salah satu sifat mekanik, yaitu


rendahnya nilai elongasi, walaupun memiliki potensi terhadap kekuatan mekanik
lain yang cukup tinggi. Hal ini diperkuat dengan Tabel 2.3. yang memperlihatkan
perbandingan sifat mekanis polimer poliester alifatik yang dapat terurai dalam
waktu relatif singkat.
Tabel 2.3. Perbandingan Sifat Mekanis Poliester Alifatik Biodegradable[44]
Sifat PLLA PCL R-PHB PGA
Tm ( C) o
170 190 60 180 225 230
Tg (oC) 50 65 -60 5 40
Tensile Strength (GPa) 0.12 2.3 0.1 0.8 0.18 0.20 0.08 1
Youngs Modulus 7 10 - 56 4 14

Universitas Indonesia
16

(GPa)
Elongation at break 12 26 20 120 50 70 30 40
(%)

Resin PLA dapat diproses dengan fabrikasi yang berbeda, termasuk


cetakan injeksi, ektrusi lembaran, cetakan tiup, thermoforming, pembentukan
lapisan atau fiber spinning. Kunci dari pemrosesan PLA dalah untuk mengontrol
beberapa parameter proses seperti percabangan struktur molekul, konsentrasi
isomer D-laktida dan L-laktida serta persebaran berat molekul. Parameter itu
menyebabkan kontrol kecepatan dan derajat kristalinitas yang tinggi.
2.2. Aditif dalam Formulasi PLA
2.2.1. Penggunaan Pemlastis sebagai Aditif dalam Formulasi PLA
PLA telah banyak memenuhi persyaratan sebagai kemasan termoplastik
dan diusulkan sebagai komoditas resin untuk aplikasi kemasan. PLA dapat
dijadikan sebagai polimer pengganti untuk aplikasi dengan kekuatan tinggi dan
rigid seperti PVC, PP dan PS, juga bisa digunakan sebagai pengganti aplikasi
kemasan yang membutuhkan fleksibilitas tinggi seperti LDPE dan LLDPE, karena
ketika PLA diberikan pemlastis , PLA menjadi sangat fleksibel. Sifat fisik dari
PLA dapat dimodifikasi dengan mencampur polimer dengan pemlastis yang akan
meningkatkan fleksibilitas PLA yang dibutuhkan dalam aplikasi lapisan kemasan,
bioplastik, tas kompos, kemasan makanan dan alat makan/minum yang dapat
dibuang. Sebagai contoh, polimer yang telah dicampurkan dengan PLA adalah
[4]
termoplastik dasar pati, poli (etilena oksida),[5] poli (etilena glikol),[6] poli
[7-9]
caprolaktan, dan poli(hidroksibutirat).[10],[11] Dan pemlastis yang sudah
[4]
dicampurkan dengan PLA diantaranya adalah gliserol, dan jenis ester dengan
[12]
berat molekul rendah, seperti sitrat. Dalam kaitannya dengan produk PLA
yang diinginkan, tren penelitian yang dikembangkan adalah meningkatkan
kekuatan mekanis dari material yang telah diberikan pemlastis yang nantinya
dapat memotivasi industri untuk melakukan inovasi pada kualitas produk maupun
jenis produk yang dihasilkan.
Pemlastis pada umumnya memang digunakan sebagai zat tambahan untuk
memodifikasi sifat polimer agar lebih plastis, meningkatkan fleksibilitas,

Universitas Indonesia
17

kelembutan, dan elongasi. Pemlastis juga sering ditambahkan untuk meningkatkan


ketahanan impak, keuletan, dan memudahkan dalam proses pembuatan dalam
mesin pemrosesan. Pemlastis didominasi oleh golongan ester dengan proses
menggunakan reaksi kimia dari asam atau anhidrida dengan alkohol bercabang
atau primer.[45]
Pemilihan pemlastis disesuaikan dengan aplikasi yang diterapkan pada
hasil akhir. Pada polimer PVC misalnya, pemlastis yang sering digunakan adalah
pemlastis dari golongan phthalate. Efek pemlastis yang bermacam macam,
seperti fleksibilitas dalam suhu rendah, penguapan, kemampuan untuk diproses
dan ketahanan untuk bermigasi dihasilkan dari panjang rantai dan derajat
pencabangan.
Sedangkan beberapa pemlastis memiliki kelebihan yang bersifat khusus.
Seperti halnya rantai alifatik yang digunakan untuk fleksibilitas pada suhu rendah
dan ketahanan retak serta trimelitik anhidrida dari golongan ester yang digunakan
untuk pemlastis dengan tingkat penguapan dan migrasi yang sangat rendah.
Golongan lain dari pemlastis yang terkenal adalah dari dasar epoksi, yaitu
epoxidized soybean oil (ESBO) dan digunakan sebagai penstabil panas pada
pembuatan PVC serta sebagai pemlastis karena memiliki ketahanan migrasi yang
tinggi.[45]
Pemilihan polimer atau pemlastis yang dapat digunakan untuk mengubah
sifat PLA dibatasi oleh aplikasi yang akan digunakan.Untuk pengaplikasian
kemasan yang higienis, hanya bahan yang tidak beracun yang boleh digunakan
untuk kontak dengan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Terdapat beberapa
syarat guna memilih pemlastis dalam pencampurannya dengan PLA, diantaranya
adalah pemlastis harus bisa larut dengan PLA, sehingga menghasilkan larutan
homogen. Pemlastis tidak boleh mudah menguap karena hal ini menyebabkan
mudahnya terjadi penguapan pada temperatur pemrosesan yang meningkat. Hal
yang tidak kalah penting, pemlastis tidak boleh mudah mengalami migrasi karena
dapat menyebabkan kontaminasi pada material pada campuran PLA dengan
pemlastis . Hal ini juga dapat menyebabkan sifat rigid dan kaku dari PLA kembali
karena hilangnya pemlastis yang ditambahkan.[13] Penelitian terakhir yang
dilakukan mengenai pemlastis untuk PLA dilakukan oleh Ljungberg dan Wesslen

Universitas Indonesia
18

[13]
. Ljungberg menggunakan triasetin dan tributil sitrat sebagai pemlastis dan
menyimpulkan bahwa pemberian pemlastis dapat menurunkan nilai Tg dari PLA
sehingga lebih mudah mendapatkan PLA yang lebih lunak. Efek plastisasi
didapatkan setelah pemberian pemlastis yang dapat dilakukan dengan
menggunakan aditif yang secara kimia tidak berbahaya, memiliki titik didih dan
leleh tinggi dan ramah lingkungan, seperti triacetine dan dietilen glikol dibenzoat
(DEDB).
2.2.2. Penggunaan Triacetine sebagai Aditif dalam Formulasi PLA
Triacetine adalah zat kimia yang memiliki rumus molekul C9H14O6
dengan berat molekul dari senyawa kimia tersebut sebesar 218,2 g/mol.
Sedangkan titik didih dan massa jenisnya ialah 258 oC dan 1,16 g/cm3. Triacetine
memiliki sifat yang sangat baik untuk penggunaan sebagai pemlastis , selain itu
triacetine juga hampir larut pada semua pelarut organik, kompatibilitas yang baik
pada karet alam maupun sintetis serta ketahanan terhadap cahaya yang baik.
Triacetine memiliki variasi aplikasi sebagai pemlastis untuk filter rokok
dan selulosa nitrat, pelarut untuk membuat seluloid, lapisan fotografi, fungisida
untuk kosmetik dan beberapa untuk aditif makanan. [14]
Triacetine merupakan trigliserida dan rantai terpendek dari asam lemak
dari ester gliserol, yang mudah terhidrolisis menghasilkan asam asetat dan gliserol
pada lingkungan alkali. [41] Triacetine dapat larut pada air, hidrokarbon aromatik
dan hampir semua pelarut organik. Sebaliknya, triacetine tidak dapat larut pada
hidrokarbon alifatik, minyak sayur dan hewan.

Gambar 2.3. Molekul Triacetine [14]


Triacetine bukan tergolong zat kimia beresiko berdasarkan regulasi EC
No1272/2008 dan bukan diklasifikasikan sebagai zat berbahaya berdasarkan
pedoman 67/548/EEC. US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui
triacetine tersebut untuk food packaging[46].
Pada penelitian yang dilakukan Khairulniza dkk, diketahui bahwa
triacetine memiliki pengaruh dalam meningkatkan kekuatan tarik dan fleksural

Universitas Indonesia
19

pada PLA hingga konsentrasi 5%, serta meningkatkan persentasi elongasi hingga
18,5 %. Triacetine yang digunakan sebagai pemlastis diduga mempermudah
pergerakan rantai molekul sehingga dapat bergerak dan meningkatkan elongasi[47].
2.2.1. Penggunaan Diethylene Glycol Di Benzoat sebagai Aditif dalam
Formulasi PLA
DEDB memiliki rumus molekul C18H18O5 dengan berat molekul 314,34
gr/mol. Struktur molekul DEDB dapat dilihat pada gambar 2.4. DEDB memiliki
densitas 9.8 lb/gal, flash point dan titik didihnya berada pada 199C dan 230 oC
sehingga masih memungkinkan untuk diterapkan dalam pemrosesan PLA yang
berkisar pada suhu 180C.
DEDB merupakan senyawa yang tidak berbahaya dan dapat terdegradasi
[15]
. Hal ini juga sejalan dengan PLA yang ramah lingkungan, sehingga
penggunaan DEDB sebagai pemlastispada PLA akan menghasilkan material yang
ramah lingkungan.
Dalam penelitian yang dilakukan Azadeh[48], DEDB dikemukakan sebagai
green pemlastis . Konsep green pemlastis ini muncul karena pemlastis
konvensional seperti Dioctyl Terephthalate dan Di-(2-ethylhexyl) Terephtalate
merupakan zat kimia yang beracun dan diindikasikan memiliki pengaruh yang
buruk dalam kesehatan seperti pemicu kanker dan agen pemutasi bagi manusia,
hewan dan tumbuhan. Green pemlastis lahir sebagai pemlastis baru yang memiliki
sifat ramah lingkungan karena terbuat dari bahan biologi dan mampu terurai oleh
tanah[48].

Gambar 2.4. Struktur molekul DEDB[15]


DEDB juga seperti triacetine yang bukan tergolong zat kimia beresiko
berdasarkan regulasi EC No1272/2008 dan bukan diklasifikasikan sebagai zat
berbahaya berdasarkan pedoman 67/548/EEC. US Food and Drug Administration
(FDA) menyetujui kedua pemlastistersebut untuk food packaging[46].
Karena triasetin dan DEDB dapat larut dengan air, maka proses yang
dilakukan untuk mencampur kedua pemlastis dengan PLA adalah dengan

Universitas Indonesia
20

melarutkan pemlastis dengan PLA bersamaan dengan pelarut organik yang


digunakan khusus untuk PLA, seperti tetrahydrofuran, benzena dan
dichloromethane.[22] Pada Gambar 2.5 terlihat proses pelarutan PLA dan
pemberian pemlastis triacetine dan DEDB pada larutan PLA, proses pelarutan dan
kecepatan pengadukan berperan penting dalam homogenisasi dan pencampuran
pemlastis dalam PLA. Proses pengadukan ini bertujuan untuk mendistribusikan
dan mendispersikan aditif secara homogen dalam matriks polimer.

Gambar 2.5. Proses pelarutan dan pemberian pemlastis pada PLA.

2.3. Nilai mekanik polimer PLA


Sifat mekanik beberapa material berdasarkan interpretasi kurva tegangan-
regangan yang disajikan oleh Gambar 2.6. menerangkan bahwa PLA tergolong
dalam material sangat rigid, oleh karenanya modifikasi nilai modulus kekakuan
material polimer menjadi hal yang menarik untuk aplikasi tertentu seperti aplikasi
kemasan dan packaging yang membutuhkan nilai modulus kekakuan yang rendah
dan hanya dapat dicapai dengan perlakuan panas atau pemberian aditif/filler
tertentu.

Universitas Indonesia
21

Gambar 2.6. Kurva tegangan-regangan PLA komperesi, PLA kompresi teranil dan PLA
kompresi steril dan teranil[49]
Penentuan nilai mekanik suatu bahan berbasiskan pada nilai modulus
kekakuan (E) diukur pada daerah elastis, dimana nilai modulus kekakuan diukur
dengan persamaan 1 berikut:
= ...........................................Persamaan 1
Dengan = tegangan dan = besar regangan
Persamaan 1 dikenal dengan hukum Hooke, dan hanya berlaku pada
daerah elastis saja, atau pengukuran yang dilakukan harus sebelum menyentuh
nilai yield strength, seperti yang terlihat pada Gambar 2.7.[50] dan 2.8.[51]

Universitas Indonesia
22

Gambar 2.7. Skematik kurva tegangan-regangan untuk suatu material dalam menentukan nilai
yield dan tensile strength [50]

Pada Gambar 2.7. terlihat kemiringan garis pada daerah elastis yang
menunjukkan nilai modulus kekakuan suatu material, semakin tinggi kemiringan
garis, maka semakin kaku/plastis material tersebut.
Penentuan nilai modulus kekakuan dan pemuluran polimer selama proses
pengujian tarik uniaxial dapat dilakukan seperti pada Gambar 2.8. yang terlihat
pada gambar dibawah. Nilai elongasi pada titik yield dan elongasi pada saat
patahan pada polimer setelah uji tarik uniaxial.
2.3.1. Fenomena yielding dalam polimer

Pada saat fenomena necking terjadi pada rantai polimer yang bersifat semi
kristalin seperti PLA, terjadi penataan ulang rantai polimer akibat penarikan
uniaxial menyusun susunan fibril, dimana mereduksi jarak antar molekul dan
berkontribusi dalam menguatkan interaksi antara rantai molekul dan rapat jenis
energi kohesif dari sistem jaringan polimerik rantai molekul PLA[52]. Fenomena
necking pada rantai polimer bersifat amorfus terlihat pada Gambar 2.9.

Universitas Indonesia
23

Gambar 2.8. Diagram ilustrasi kurva tegangan-regangan dalam menentukan nilai kekakuan dan
pemuluran pada polimer [51]

Gambar 2.9. Presentasi skematik fenomena necking dititik (B) yang terjadi akibat proses drawing
sampel polimer amorfus [52]
Poly lactic acid tergolong kedalam material polimer termoplastik, dan
memiliki fasa kristalin dan amorfus dalam penyusunan rantai molekulnya,
sehingga PLA memiliki nilai Tg dan Tm. Proporsi fasa amorfus dan kristalin
menentukan nilai Tg dan Tm pada PLA, secara umum diketahui bahwa nilai Tg
PLA berada dalam rentang 55C - 65C[22].

Gambar 2.10. Skematik diagram orientasi keteraturan dan ketidakteraturan rantai molekul suatu
polimer[53]
Pada Gambar 2.10 terlihat bahwa polimer PLA memiliki fasa amorfus dan
fasa kristalin, dimana ada rantai molekul yang membentuk suatu pola keteraturan
(long range order) dan ada rantai molekul yang membentuk pola yang acak (short
range order), karena adanya fasa kristalin dan fasa amorfus dalam polimer PLA,
maka PLA tergolong sebagai polimer semikristalin, meskipun PLA dominan
memiliki fasa amorfus dalam jaringan polimerik yang terbentuk oleh monomer
laktida.[52]

Universitas Indonesia
24

Efek penambahan pemlastis triasetin dan DEDB adalah dengan


menurunkan nilai Tg, dimana menurunkan nilai tegangan yield dan menambah
persentasi elongasi. Pada Gambar 2.11. terlihat bahwa pada saat terjadi deformasi
pada daerah elastis, rantai molekul pada fasa amorf dan kristalin mulai mengalami
peregangan, dan hal ini ditemukan pada saat melakukan pembebanan tarik
terhadap polimer semikristalin. Pada tahapan pertama diterangkan bahwa, rantai
molekul pada fasa amorfus mengalami peregangan dan terus meregang, namun
energi pembebanan belum mampu meregangkan rantai molekul pada fasa
kristalin, karena energi pembebanan masih bisa diakomodasi oleh peregangan
rantai-rantai pada molekul fasa amorfus.

Gambar 2.11. Tahapan deformasi elastis pada polimer semikristalin. (a) Dua sambungan susunan
rantai lamellae dan interlamellae sebelum deformasi. (b) Pemuluran rantai molekul fasa amorf
pada tahap awal deformasi. (c) Penambahan ketebalan kristalit lamellar (reversibel) akibat
penekukan dan penarikan rantai polimer pada fasa kristalin[50].
Pada Gambar 2.12. terlihat, setelah energi pembebanan tidak mampu lagi
diakomodasi oleh peregangan yang dilakukan rantai molekul polimer yang ada
pada masa fasa amorfus, maka terjadilah peregangan rantai molekul yang ada
pada fasa kristalin, dan terlihat pada tahap ke 3, saat rantai molekul polimer pada
fasa kristalin mengalami pergesekan. Proses shearing berlanjut dan menyebabkan
rantai molekul polimer pada fasa kristalin terfragmentasi menjadi beberapa bagian
kecil, seperti yang terlihat pada Gambar 2.12 tahap 4, dan akhirnya mengalami
failure pada saat hasil fragmentasi rantai molekul pada fasa kristalin mengalami
peregangan lebih lanjut dan akhirnya putus (tahap 5).

Universitas Indonesia
25

Gambar 2.12. Skematik deformasi plastik dalam polimer semikristalin. (b) lamellar chain folds
region kristalin mengalami deformasi sehingga mengalami kemiringan. (c) Pemisahan segmen
pada fasa kristalin. (d) Pemaketan orientasi segmen kristalin hasil pemisahan searah dengan sumbu
pembebanan dan menghasilkan produk deformasi pada polimer semikristalin [50]
2.4. Proses Kristalisasi PLA; Kaitannya dengan fenomena pelipatan
(folding)
2.4.1. Kristalisasi Polimer
Proses kristalisasi polimer dari lelehan dapat dibagi menjadi 3 tahapan,
yaitu nukleasi primer, pertumbuhan kristal dan proses kristalisasi sekunder.
Nukleasi primer adalah proses dimana nuklei kristalin terbentuk dalam kondisi
lelehan. Nuklei dapat dibentuk secara homogen maupun heterogen, walaupun
proses nukleasi lebih sering terjadi membentuk susunan nuklei yang heterogen
dan dimulai dari permukaan, lubang atau retakan dari pengotor yang tidak larut.
Setelah nuklei terbentuk, lamelar kristalin berkembang dan membentuk struktur 3
dimensi. Morfologi kristal yang sering terbentuk dari lelehan adalah sferulit,
walaupun struktur lain terbentuk juga seperti dendrit[54]. Pada umumnya proses ini
dilanjutkan dengan proses kristalisasi sekunder. Proses ini menghasilkan
peningkatan kristalinitas dan ketebalan kristal lamelar yang telah terbentuk,
seperti yang terjadi pada PE dan PHB[55].
Muthukumar mengatakan bahwa konektivitas antar rantai polimer
memiliki pengaruh terhadap proses nukleasi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan
beberapa rantai polimer yang panjang untuk bergabung dalam nuklei dan disebut
juga sebagai kondisi semikristalin, lihat Gambar 2.13.

Universitas Indonesia
26

Pada kristalisasi polimer, kekakuan lokal dari backbone rantai akan berkompetisi
dengan daya tarik monomer yang berdekatan akibat ikatan van der Waals
[56]
mengakibatkan pelipatan rantai pada lamelar . Perbedaan kondisi lipatan
polimer kristalin dipisahkan oleh lapisan pelindung nukleasi. Hal ini
membutuhkan pemahaman dari sifat lapisan pelindung antara kondisi yang
berbeda-beda untuk menjelaskan proses kuantisasi (jumlah lipatan rantai yang
terbentuk). Cheng mengatakan bahwa lapisan ini memiliki hubungan dengan nilai
entalpi dan entropi molekul polimer dan hal ini menentukan kecepatan
pertumbuhan kristal. Cheng juga mengatakan bahwa sifat alami dari struktur dan
rantai polimer yang panjang dapat mempengaruhi lapisan nukleasi ini secara
kuantitas.[57]

Gambar 2.13. Efek konektivitas antar rantai pada nukleasi[56]


Kecepatan tumbuh suatu kristal dari nukleus juga sangat bergantung pada
temperatur. Dengan undercooling yang rendah maka kecepatan tumbuh akan
rendah karena perbedaan entalpi bebas antara fluida dan kristal di mana secara
termodinamik driving force proses kristalisasi masih rendah. Undercooling atau
degree of undercooling merupakan faktor (Tm T) dalam persamaan 4.1, yaitu:

(2.1.)
Dimana apabila terdapat sebuah nukleus dengan ukuran jari-jari r dengan
kondisi fasa di sekelilingnya adalah cair. Terdapat perbedaan entalpi bebas, G,
antara kristal dan fluida. Sedangkan Gv adalah perbedaan entalpi bebas per unit

Universitas Indonesia
27

volume antara kristal dan fluida, adalah energi interfacial dan rk adalah ukuran
kritis nukleus.
Ketika temperatur turun, driving force akan meningkat dan kecepatan
tumbuh kristal pun akan meningkat. Pada sisi lain, pertumbuhan kristal diiringi
dengan pergerakan rantai molekul utama. Pergerakan ini membutuhkan pelepasan
antara satu rantai molekul yang terbelit dengan molekul lain seiring dengan aliran
lelehan polimer. Mobilitas polimer sangat dibutuhkan pada proses pertumbuhan
kristal dan hal ini sangat terkait pada temperatur dan panjang rantai molekul
polimer.[58]
Akibat dari dua efek yang berlawanan maka laju pertumbuhan kristal
dapat mencapai titik maksimum ketika berada pada temperatur di bawah Tm dan
akan menurun hingga tidak ada laju pertumbuhan pada Tg. Dapat dilihat pada
gambar 2.14 bahwa laju kristalisasi akan menjadi nol pada Tg dan Tm dan akan
mencapai titik maksimum pada suatu titik antara Tg dan Tm. Titik maksimum akan
semakin rendah ketika rantai molekul polimer lebih panjang. [58]

Gambar 2.14. Hubungan antara temperatur dan kecepatan kristalisasi[58]

Pelipatan rantai dari blok polimer yang dapat mengalami kristalisasi pada
blok amorfus-kristalin juga bergantung pada proses segregasi dari kedua blok
pada kondisi lelehan. Sebagai contoh, ketika kopolimer blok adalah homogen atau
segregasi yang terjadi adalah segregasi lemah pada kondisi lelehan, pelipatan
rantai menjadi pelipatan yang tegak lurus terhadap lapisan lamelar. Sedangkan
saat kopolimer blok mengalami segregasi secara kuat, pelipatan akan menjadi
paralel pada lapisan lamelar.[59] Pada pelipatan rantai yang tegak lurus, menambah
suhu kristalisasi akan menambah ketebalan lapisan kristalin, mengurangi jumlah

Universitas Indonesia
28

pelipatan rantai dan akhirnya mengurangi luas yang ditempati satu rantai kristalin.
Saat luas untuk rantai kristalin berkurang, maka luas dari rantai amorfus akan
berkurang juga dan menyebabkan rantai amorfus menjadi lebih panjang.
Sedangkan untuk pelipatan rantai secara paralel, meningkatnya ketebalan lapisan
kristalin selama pemanasan diakibatkan oleh bertambahnya luas ruang antara
lipatan yang berseberangan dan mengarah paralel kepada lapisan kristalin, lihat
2.15.

Gambar 2.15. Perubahan peta rantai molekul saat terjadi pelipatan rantai[59]

2.4.2. Struktur & Morfologi

Proses kristalisasi yang tidak terjadi pada seluruh bagian polimer


menyebabkan adanya bagian kristalin dan bagian yang amorfus. Vegt dalam
bukunya From Polymer to Plastics menyebutkan 3 model untuk menggambarkan
struktur dan morfologi kristal. Ketiga model itu ialah model fringedmichele,
model paracrystalline dan model lamella. Hermann dan Gerngross
mengemukakan struktur fringedmichele, dapat dilihat pada gambar 2.16. Pada
model ini digambarkan bagian kristallin berada di antara matriks amorf di mana
terdapat rantai molekul yang saling bersilangan melewati kedua bagian. [58]

Universitas Indonesia
29

Model selanjutnya, paracrystalline yang diperkenalkan oleh Hosemann


pada tahun 1936 di mana bagian amorf berada di antara bagian kristalin seperti
yang terlihat pada gambar 2.16. Tidak lama setelah itu, Keller memperkenalkan
model single crystal pada tahun 1957 untuk polietilen. Rantai membentuk lipatan
yang teratur dan membentuk lamela, dapat dilihat pada gambar 2.16. Panjang
lipatan dan ketebalan lamela akan meningkat seiring dengan tingginya temperatur
kristalisasi. Ketebalan lamella meningkat pada saat proses rekristalisasi dengan
temperatur mendekati Tm. [58]

Gambar 2.16. Skema berbagai jenis struktur kristal a) model fringed micel. b) Model
Paracrystalline. c) model lamella. d) spherulite. [58]

Poly lactic acid memiliki morfologi kristal yang dipengaruhi oleh


komposisi kandungan enantiomer D-laktida dan L-laktida serta sejarah termalnya.
Abe dkk, menunjukkan bahwa kristal PLLA tumbuh pada suhu yang berbeda
melewati tiga perubahan cara/daerah dengan jalan nukleasi dan kecepatan
pertumbuhan kristal. Perubahan morfologi terjadi pada regime I dan II. Untuk
PLLA yang terkristalisasi secara isotermal dari lelehan, morfologi sferulitnya
terjadi pada suhu kristalisasi dibawah 145 oC (Regime II). Selama pertumbuhan
secara isotermal, jari-jari/panjang dari sferulit meningkat berbanding lurus dengan
variabel waktu, dan kemiringan dari kurva merupakan kecepatan pertumbuhan
kristal. Pada suhu yang lebih tinggi, terbentuk sferulit dengan jumlah yang lebih
kecil akibat pengurangan densitas nukleasi. Hal ini memastikan pembentukan
sferulit yang lebih besar dengan meningkatnya suhu kristalisasi. Mengkristalisasi
PLLA pada suhu jauh diatas 150 oC (Regime I) menghasilkan morfologi kristal

Universitas Indonesia
30

berbentuk lamelar heksagonal.[60] Skema perkembangan regime I, II dan III


digambarkan pada Gambar 2.17.

Gambar 2.17. Skema perkembangan kristalisasi dari regime I menuju regime II dan III[64]

Sferulit memiliki beberapa jenis morfologi lamelar, seperti morfologi


heksagonal dan orthorhombic, dengan sumbu panjang dari kristal lamelar paralel
pada jari-jari/panjang sferulit. Dalam sebuah kristal, PLA muncul sebagai sebuah
polimer heliks dengan bentuk orthorhombic serta dimensi a = 1,070 nm dan b =
0,614 nm. Sedangkan letak polimer amorfus berada diantara lamelar-lamelar.

Universitas Indonesia
31

Variasi ketebalan lamelar PLA bergantung pada suhu kristalisasi (Tc), waktu
kristalisasi (tc), kemurnian optis (OP) dan berat molekul. Dengan menggunakan
Atomic Force Microscope, pertumbuhan PLLA pada suhu 120 oC, 140 oC dan 160
o
C memiliki kecenderungan penghitungan lamelar masing-masing pada 14 16,
16 18 dan 18 22 nm. [60]
Untuk polimer dengan enantiomer-L yang banyak dan enantiomer-D serta
meso laktida yang sedikit, terdapat penurunan kesetimbangan suhu pelelehan
disertai dengan pengurangan kemurnian optis (OP). Setidaknya terdapat 2 alasan
mengapa terjadi penurunan kesetimbangan suhu pelelehan. Untuk kasus pertama,
diasumsikan ketidakmurnian secara optis atau penurunan kemurnian optis adalah
sebuah cacat dalam struktur kristal. Hal ini menyebabkan pengurangan suhu titik
pelelehan (Tm) akibat turunnya energi entalpi penggabungan. Pada kasus lainnya,
diasumsikan bahwa ketidakmurnian secara optis dari unit ditolak dari kristal
struktur, menyebabkan terjadinya penurunan suhu titik pelelehan (Tm) akibat
hilangnya efek entropi/ketidakberaturan. Baratian telah mempelajari derajat
kristalinitas, ketebalan sferulit dan suhu pelelehan dari beberapa jenis kopolimer
PLA dengan sifat optis seperti diatas, dibandingkan dengan efek ketidakmurnian
optis dari D-laktida dan meso-laktida. Hasil pengujian SAXS menunjukkan bahwa
ketebalan lamelar berkurang sejalan dengan menurunnya kemurnian optis pada
beberapa suhu pendinginan cepat. [60]
Pyda menjelaskan struktur sferulit untuk PLLA, pada gambar 2.18
diperlihatkan penggambaran kristal menggunakan Atomic Force Microscope dan
miksroskop cahaya polarisasi. Polimer ini dibuat dengan mekanisme ring opening
polymerization menggunakan katalis timbal oktat.[60]
Selama pemrosesan dan prosedur kristalisasi, polimer tidak mencapai titik
suhu kesetimbangan pelelehan mereka. Sebuah contoh yang menjelaskan titik
suhu pelelehan untuk PLA yang didominasi L-laktida dengan peningkatan meso-
laktida. Suhu pelelehan menurun sebesar 3 oC setiap pembentukkan 1% meso-
laktida.[60]

Universitas Indonesia
32

Gambar 2.18. Skema struktur semikristalin PLA.[61]

2.4.3. Derajat Kristalinitas


Secara umum, energi entalpi pembentukan (Hm) yang diperlukan untuk
membuat 100% PLLA dan PDLA homopolimer yang kristalin adalah 93.1 J/g.
Dan persamaan 2.2. digunakan untuk menghitung persentasi kristalinitas dari
pemindaian DSC:

(%) = 100 (2.2)
93.1

Dimana merupakan energi panas untuk pembentukkan dan


merupakan energi panas untuk proses kristalisasi. Nilai dari 93.1 J/g digunakan
berdasarkan literatur yang ada. Selain itu, nilai suhu pelelehan yang turun dengan
menurunnya kemurnian optis (OP), diprediksikan penggunaan nilai yang tetap
untuk melewati semua komposisi optis akan menghasilkan data/nilai yang
tidak valid.Hal yang cukup diketahui ialah PLA dengan kopolimer optis yang
acak dengan L-laktida sebagai monomer utama dan sejumlah kecil D-laktida dan
meso-laktida, penurunan pencapaian persentasi kristalinitas disertai dengan
turunnya kemurnian optis (OP) dan kristalisasi tidak akan terjadi ketika
kemurnian optisnya (OP) lebih kecil dari 0.78. [60]

2.5. Sifat Termal Polimer


Pemlastis memiliki mekanisme untuk menurunkan nilai suhu transisi gelas
(Tg) dari polimer. Dalam definisi ini, semua zat yang mampu untuk menurunkan

Universitas Indonesia
33

nilai Tg dapat diklasifikasikan sebagai pemlastis . Penurunan suhu Tg ini


dikarenakan karena kemampuan pemlastis dalam meningkatkan mobilitas rantai
molekul akibat interaksi antar rantai molekul PLA yang telah berkurang karena
molekul pemlastis yang berada diantara molekul PLA. Untuk banyak aplikasi,
pengurangan nilai Tg sesuai dengan suhu lingkungan sangat dibutuhkan,
walaupun untuk beberapa aplikasi jarak suhu untuk fleksibilitas material lebih
besar. Hal ini juga dapat dilihat dengan mengamati temperatur cold crystallization
(Tcc) dan temperatur leleh (Tm). Setelah penambahan pemlastis , peak atau puncak
yang terbentuk pada temperatur cold crystallization (Tcc) dan tempeartur leleh
(Tm) akan semakin tajam dan bergeser pada temperatur yang lebih rendah. [58]
2.5.1. Temperatur Gelas dan Leleh
Perubahan fasa solid cair suatu material pada umumnya diketahui
sebagai perubahan fasa solid dari sebuah struktur kristal dan berubah menjadi cair
pada temperatur lelehnya diiringi dengan penambahan volume dan nilai
entalpinya.
Representasi yang lebih jelas dari fasa tersebut dapat dilihat dari kekakuan
material yang pada dasarnya akan turun hingga titik nol pada saat mencapai fasa
cair. Dapat dilihat pada gambar 2.19 untuk penurunan modulus kekakuan akan
mencapai titik nol pada temperatur transisi gelas. Pada polimer, di atas Tg, akan
ada penurunan nilai E dengan faktor 1000 hingga 10.000. Fasa rubbery, pada
skala temperatur, akan menjadi lebih panjang seiring dengan bertambah
panjangnya rantai molekul polimer. [58]

Gambar 2.19. Fasa rubbery pada polimer[58]

Universitas Indonesia
34

Polimer terkadang memiliki struktur yang seluruhnya amorf ketika


kristalisasi tidak dimungkinkan. Ketika polimer tersebut dipanaskan di atas Tg
maka fasa solid tidak akan langsung berubah menjadi fasa cair, melainkan akan
masuk pada rubbery state yang jika dipanaskan lebih dengan temperatur yang
lebih tinggi akan berubah menjadi fasa cair. Oleh karena itu Tg juga dapat disebut
sebagai glass-rubber transition temperature. [58]
Pada saat kristalisasi dimungkinkan, fasa solid sebuah polimer akan sangat
sulit untuk membentuk susunan yang murni kristalin melainkan akan ada bagian
yang memiliki struktur amorf. Fasa amorf dapat berada di atas atau di bawah
temperatur gelas. Sehingga perubahan fasa pada polimer dapat dibedakan menjadi
dua hal yang saling berkaitan, yakni :
1. Glass rubber liquid
2. Crystalline liquid
Ada dua faktor utama yang akan memengaruhi nilai Tg, yakni :
1. Fleksibilitas rantai molekul. Semakin fleksibel rantai molekul maka
temperatur transisi gelas akan menurun.
2. Interaksi antar rantai molekul. Semakin besar interaksi antar rantai
molekul maka temperatur transisi gelas akan naik.
Fleksibilitas rantai molekul dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu
kekakuan rantai utama, ukuran cabang dan adanya hubung silang. Sebagai contoh
pengaruh dari kekakuan rantai utama terhadap nilai Tg dapat dilihat pada beberapa
jenis polimer yang terdapat pada gambar 2.20 berikut.

Gambar 2.20. Pengaruh kekakuan rantai molekul utama terhadap Tg[58]

Efek dari besarnya cabang terhadap fleksibilitas ditandai dengan penurunan Tg


dapat dilihat pada gambar 2.21 berikut.

Universitas Indonesia
35

Gambar 2.21. Pengaruh ukuran rantai cabang molekul terhadap Tg[58]

Adanya hubung silang antara rantai molekul akan membatasi mobilitas dan akan
meningkatkan Tg. Dengan jumlah hubung silang yang sedikit, efeknya akan
terbaca dengan jelas. Jumlah hubung silang yang lebih banyak akan menambah
efek yang semakin besar pada kenaikan Tg. [58]
Pada temperatur leleh, Tm, fasa solid dan fasa cair secara termodinamik
berada dalam kesetimbangan sesuai dengan persamaan berikut.

Sehingga nilai Tm dapat dihitung melalui persamaan

H adalah nilai perbedaan entalpi antara kristal dan liquid. H didapatkan


dengan melihat interaction force atara fasa solid dan fasa cair, H merupakan
energi yang dibutuhkan untuk mengubah atau merusak struktur kristal yang ada.
[58]

S adalah nilai perbedaan entropi antara kristal dan liquid. Nilai S


berhubungan dengan tingkat keacakan ketika sebuah kristal meleleh. S akan
semakin meningkat dengan meningkatnya kemungkinan bentuk molekul yang
akan terjadi pada pelelehan atau dengan kata lain fleksibilitas rantai molekul
polimer itu sendiri. Semakin tinggi fleksibilitasnya makan kemungkinan susunan
yang akan terbentuk akan semakin tinggi. Sehingga faktor-faktor yang
memengaruhi fleksibilitas rantai molekul juga akan menjadi faktor yang
memengaruhi nilia temperatur leleh. Dapat dilihat,bahwa interaksi antara molekul

Universitas Indonesia
36

akan menurunkan temperatur lelehnya, begitu juga dengan kekakuan rantai


molekul utamanya. [58]

2.6. Pemlastis Citrate dan Glycol serta Teori Plastisasi


PLA memiliki sifat yang getas dan keras ditandai dengan nilai modulus
yang tinggi dan elongasi yang rendah. Seperti halnya produk polimer lainnya,
rekayasa PLA kedepannya menginginkan nilai plastisitas yang tinggi. Oleh karena
itu, aditif berupa pemlastis dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat plastisitas
sebuah polimer. Pemilihan pemlastis dalam menciptakan produk PLA
mempertimbangkan beberapa hal berikut[61] :

a. Kompabilitas pemlastis terhadap PLA bergantung pada polaritas dan


interaksi antar molekul pemlastis dengan PLA.

b. Konsentrasi pemlastis (berat, densitas dan struktur molekul), proses


plastisasi dan homogenitas/kemurnian produk.

Dalam Handbook of pemlastis s, dijelaskan bahwa teori dalam proses


plastisasi pada molekul polimer terbagi menjadi dua teori, yaitu [61,62] :
a. Teori gel/pelumasan
Pada teori gel/pelumasan dijelaskan bahwa pemlastis berperan dalam
melemahkan gaya intermolecular friction dalam rantai molekul polimer, sehingga
molekul yang satu dengan yang lain bisa lebih mobile saat deformasi terjadi.
Rigiditas resin PLA berasal dari interaksi gesekan antarmolekul, yang mengikat
rantai PLA bersamaan dalam jaringan yang rigid. Pada saat dipanaskan, interaksi
gaya gesekan melemah, dan memungkinkan untuk molekul pemlastis untuk
masuk diantara rantai PLA[61]. Kirkpatrick[62], menjelaskan bahwa sebagian
molekul pemlastis melekat pada sebagian molekul polimer sehingga cenderung ke
arah tindakan seperti pelarut, dan bagian-bagian yang tidak terikat bertindak

Universitas Indonesia
37

sebagai pelumas antara molekul polimer. Kirkpatrick menjelaskan faktor faktor


penting untuk proses plastisasi dengan teori gel/pelumasan:
1. Keberadaan grup yang menyebabkan gaya saling tarik menarik pada
pemlastis dan polimer.
2. Lokasi yang tepat dari grup ini agar saling berikatan dan berhubungan
satu sama lain, sehingga terjadi gaya saling tarik menarik.
3. Bentuk molekul pemlastis yang tepat agar mendapatkan karakteristik
fisik yang tepat dan menghasilkan produk yang diinginkan.
Clark menjelaskan bahwa keberhasilan dalam proses plastisasi sangat bergantung
pada pengisian pemlastis pada ruang kosong yang terbentuk akibat jarak antar
molekul polimer. Pengisian pemlastis itu akan membentuk formasi bidang yang
memudahkan terjadinya gerakan yang fleksibel dari molekul polimer. Pemlastis
mengisi ruang kosong antara bidang luncur seperti pelumas, sehingga saat
diberikan gaya, bidang akan meluncur satu sama lain.

Gambar 2.22. Kemungkinan terbentuknya bidang luncur dalam teori lubrikasi[62]

b. Teori free volum


Pada teori free volum dijelaskan bahwa pemlastismeningkatkan free volum
yang ada antar molekul polimer yang berada dalam fasa amorfus maupun
kristalin, semakin besar free volum, maka mobilitas rantai molekul polimer akan
semakin meningkat, sehingga interaksi antar molekul terhindari akibat
meningkatnya free volum. Pemlastisdisini tidak berinteraksi dengan rantai
molekul PLA, melainkan molekul pemlastishanya meningkatkan ruang kosong
antar molekul PLA.
Pengembangan teori ini menekankan pembentukan ruang kosong yang
diakibatkan oleh tiga hal, yaitu pergerakan ujung, cabang atau rantai utama
molekul polimer. Pergerakan molekul polimer ini membuat Sears dan Darby

Universitas Indonesia
38

menyimpulkan bahwa bertambahnya ruang kosong dapat dilakukan dengan


meningkatkan jumlah gugus akhir (menurunkan berat molekul), meningkatkan
jumlah atau panjang dari rantai cabang, menambah kemungkinan pergerakan
rantai utama dan menambah suhu dari sistem.[62]

Gambar 2.23 Perilaku molekul pada teori free volume [62]

2.7. Perlakuan Panas pada Polimer PLA


Dalam pemrosesan lanjutan sebuah polimer, perlakuan panas yang
dilakukan setelah polimer diproses dan dibentuk akan menambah dan
meningkatkan suatu sifat dari polimer itu. Salah satu diantaranya adalah proses
anilasi yang dilakukan dengan memberikan panas pada polimer sehingga terjadi
peningkatan panas secara perlahan menuju suhu yang diinginkan. Parameter suhu
yang diberikan harus sesuai, yakni suhu diatas titik transformasi gelas dan suhu
dibawah titik pelelehan atau dengan kata lain suhu diantara titik transformasi
gelas dan titik pelelehan. Selain parameter suhu, parameter waktu juga sangat
penting dalam proses annealing. Kulinski melakukan anilasi dengan suhu 137 oC
selama 75 menit pada material PLA dengan pemlastis poly ethylene glycol untuk
meningkatkan kristalinitasnya.[15] Pluta juga melakukan anilasi dengan suhu 120

Universitas Indonesia
39

o
C selama 90 menit pada material PLA juga untuk meningkatkan kristalinitasnya
dengan pemlastis poly ethylene glycol dan silika sebagai penguat .[16] Wei juga
melakukan anilasi dengan suhu 120 oC dan 140 oC selama 120 menit untuk
menemukan puncak anilasi pada suhu endotermik rendah dan hubungan antara
perubahan mikrostruktur dan sifat fisik PLA setelah dianil pada suhu kristalisasi
[17]
dingin. Pada umumnya setelah proses anilasi berjalan dilakukan proses kuens
berupa pendinginan polimer dengan udara, air atau pelat baja pendingin menuju
suhu ruang.[15 17]
Kristalinitas juga dapat dikontrol dengan mengubah teknik pemrosesan.
Jumlah dari formasi kristal atau pembentukn kristal dapat berkurang dengan
melakukan pendinginan dengan sangat cepat atau dinamakan proses kuens.
Dengan teknik yang sama, jumlah dari formasi atau pembentukan kristal juga
dapat bertambah dengan melakukan proses anilasi. Proses anilasi dilakukan
dengan memanaskan polimer diatas Tg dan dibawah Tm ( biasanya tidak lebih
antara 5 - 30 oC). Proses anilasi dilakukan untuk mengatur pertumbuhan dan
perbesaran struktur kristalin.[63]
Salah satu pengaruh proses anilasi yang cukup penting ialah menambah
ketebalan dari kristal pada arah rantai ketika polimer semikristalin dipanaskan
pada suhu yang ditentukan. Terdapat dua poin yang diasumsikan untuk
menjelaskan peristiwa ini. Proses penebalan diyakini terjadi dalam keadaan padat
melalui mekanisme difusi khusus yang memungkinkan perpindahan urutan
molekul melalui kisi-kisi. Pada kondisi lain, diketahui juga penebalan lamelar
terjadi karena pelelehan sebagian atau seluruh kristal diikuti dengan proses
rekristalisasi dari lelehan.[63]

Universitas Indonesia
40

Gambar 2.24. Perubahan dari bagian rantai dari kumpulan lamelar. (a) Sebelum anilasi (b)
Setelah anilasi [63]

Universitas Indonesia
41

BAB 3
Metodologi Penelitian

3.1. Diagram Alir Penelitian


Pada Gambar 3.1 dijelskan diagram alir keseluruhan proses yang
dilakukan dalam penelitian ini.

Gambar 3.1. Diagram alir penelitian

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Labu erlenmeyer

Universitas Indonesia
42

Magnetic stirrer
Stirrer bar
Cawan petri
Pipet tetes
Timbangan digital
Lemari asam
Oven microwave
Teflon lembaran
Hot press
Alat uji UTM
Alat uji DSC
Alat uji SEM
Alat uji FTIR

3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pelet PLA Ingeo Biopolymer 3001D yang dipasok dari Nature Works
sebagai bahan baku utama
Larutan DEDB sebagai pemlastis
Larutan TAc sebagai pemlastis
Larutan DCM sebagai pelarut

3.3. Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian dimulai dengan menyiapkan sampel dengan menimbang
PLA ditimbangan digital, mengukur jumlah pemlastisTAc dan DEDB sesuai
dengan kadar yang diinginkan dan mengukur jumlah pelarut DCM sesuai dengan
kebutuhan. Sebelum melarutkan PLA dengan DCM, labu erlenmeyer dibersihkan
terlebih dahulu dengan etanol untuk menghilangkan pengotor yang ada dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 80C selama 10 menit untuk menghilangkan
air dan uap air yang tertinggal di dalam labu mengingat PLA mudah terdegradasi
secara hidrolisis. Setelah itu 5 gr PLA dilarutkan dengan 56 mL DCM dan diaduk
dengan magnetik stirrer selama 2 jam. Setelah PLA larut, untuk ditambahkan

Universitas Indonesia
43

pemlastis sesuai dengan kadar yang diinginkan yakni masing-masing 10% dan
diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer kembali selama 5 menit. Untuk
sampel neat PLA tidak ditambahkan pemlastis . Semua sampel dituang pada
masing-masing cawan petri yang sudah dilapisi teflon lembaran di dalam lemari
asam. Sampel dibiarkan selama 12 jam di dalam lemari asam sehingga DCM
menguap dan didapatkan sampel berbentuk lembaran. Sampel ini dipotong kecil
agar sesuai dengan ukuran cetakan sampel dan selanjutnya dihotpress agar
berbentuk dogbone. Kemudian untuk sampel neat PLA, PLA/TAc dan
PLA/DEDB 10% dilakukan annealing dengan waktu 30 menit pada suhu 80 oC
dan 100 oC dengan menggunakan oven.
Masing-masing sampel diuji tarik micro tensile dengan UTM untuk melihat
nilai modulus, nilai kekuatan tensile dan persentase elongasi. Lalu diuji dengan
FTIR untuk melihat perilaku interaksi molekul antara PLA dengan triacetine dan
DEDB. Lalu diuji dengan SEM untuk melihat morfologi perpatahan sampel
dogbone setelah dilakukan uji tarik micro tensile. Dan yang terakhir, dilakukan uji
DSC untuk melihat derajat kristalinitas yang terbentuk.
Setelah semua prosedur penelitian ini dilakukan dan data telah terkumpul
maka selanjutnya dilakukan analisis data dan dibandingkan dengan literatur yang
ada sehingga dapat ditarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.

Universitas Indonesia
44

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses penambahan aditif triacetine dan DEDB yang merupakan


pemlastis berbasis ester dengan komposisi fraksi berat 10 %, maupun
perlakuan anilasi dengan variabel suhu sebesar 80 oC dan 100 oC dalam
waktu yang sama, yaitu selama 30 menit, banyak mempengaruhi sifat
mekanik yang berkaitan dengan kekuatan modulus dan derajat kristalinasi
produk akibat pengaruh penambahan aditif dan proses anilasi yang
diberikan. Berikut ini pembahasan pengaruh penambahan pemlastis
triacetine dan DEDB dan juga proses anilasi terhadap sifat mekanik PLA
3001D.
4.1. Analisa Pengaruh Suhu Anilasi terhadap Derajat Kristalinitas
Suhu anilasi berpengaruh terhadap derajat kristalinitas dari PLA.
Berdasarkan literatur yang dikemukakan oleh Kulinzki, Pluta dan Wei [15
17]
, proses anilasi akan meningkatkan derajat kristalinitas dari polimer.
Proses anilasi akan menyempurnakan proses kristalisasi pada bagian
polimer yang masih bersifat amorfus dengan cara memanaskan kembali
secara bertahap polimer antara suhu transisi gelas dengan suhu
pelelehannya. Suhu yang digunakan dalam proses anilasi PLA adalah
o o
dengan memvariasikan suhu pada 80 C dan 100 C, hal ini disebabkan
nilai suhu transisi gelas yang dimiliki PLA berkisar pada suhu 55 65 oC.
Derajat kristalinitas akan menentukan seberapa efektif peran variasi
suhu yang digunakan dalam proses anilasi mengingat proses anilasi akan
meningkatkan derajat kristalinitas. Derajat kristalinitas dari PLA akan
dievaluasi dengan menggunakan alat uji termal dengan DSC Perkin Elmer.
Proses pengujian dilakukan dengan menaikkan suhu dari 0 oC hingga 200 oC
pada heating rate 5 oC/menit lalu diturunkan kembali hingga titik suhu 0 oC
dengan cooling rate yang sama, yaitu 5 oC/menit. Hasil dari pengujian DSC
dapat dilihat pada gambar 4.1 sampai 4.3 yang menjelaskan pengaruh
variasi suhu anilasi terhadap derajat kristalinitas.

Universitas Indonesia
45

Neat PLA
50
45 45.05
40
35
% Kristalinitas

30 31.75
25
20 Neat PLA
15
10
5 6.7
0
Tanpa Anil 80 oC (30 mins) 100 oC (30 mins)
Suhu Anilasi

Gambar 4.1. Grafik variasi suhu anilasi terhadap derajat kristalinitas pada neat PLA

Hasil dari grafik diatas menunjukkan bahwa pemberian suhu anilasi akan
menaikkan % kristalinitas. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan % kristalinitas dari
6,7 % pada kondisi tanpa anilasi, 31,75 % pada anilasi suhu 80 oC dan 45 % pada
anilasi suhu 100 oC. Sedangkan grafik untuk melihat pengaruh suhu anilasi
terhadap % kristalinitas pada PLA yang telah ditambahkan triacetine dan DEDB
dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

PLA/TAc
50
45
42.86 42.12
40
35
% Kristalinitas

30
25
20 PLA/TAc
15 13.83
10
5
0
Tanpa Anil 80 oC (30 mins) 100 oC (30 mins)
Suhu Anilasi

Gambar 4.2. Grafik variasi suhu anilasi terhadap derajat kristalinitas pada PLA dengan
penambahan triacetine sebesar 10% fraksi massa

Universitas Indonesia
46

PLA/DEDB
60

50 52.41
49.9
% Kristalinitas

40

30

20 PLA/DEDB
14.78
10

0
Tanpa Anil 80 oC (30 mins) 100 oC (30 mins)
Suhu Anilasi

Gambar 4.3. Grafik variasi suhu anilasi terhadap derajat kristalinitas pada PLA dengan
penambahan DEDB sebesar 10% fraksi massa
Hasil yang terlihat pada grafik diatas menyatakan bahwa pada masing
masing PLA dengan penambahan triacetine dan DEDB sebesar 10 fraksi massa
terjadi penurunan kristalinitas pada kondisi anilasi pada suhu 100 oC. Puncak %
kristalinitas terjadi saat kondisi anilasi pada suhu 80 oC. Penambahan suhu anilasi
akan meningkatkan nilai derajat kristalinitas. Hal ini dibuktikan dengan
peningkatan nilai entalpi pembentukan (Hm) pada PLA yang telah dianilasi. Hm
pada PLA yang ditambahkan triacetine dan dianilasi pada suhu 80 oC dan 100 oC,
berturut- turut memiliki nilai sebesar 35,92 J/g dan 35,33 J/g, sehingga
berdasarkan perhitungan pada persamaan 1, akan didapatkan nilai persentasi
kristalinitas sebesar 42,86 pada suhu anilasi 100 oC yang merupakan penurunan
jika dibandingkan dengan nilai persentasi kristalinitas sebesar 42,12 pada suhu
anilasi 80 oC.
Sedangkan untuk peningkatan nilai entalpi pembentukan (Hm) pada
PLA yang telah dianilasi. Hm pada PLA yang ditambahkan DEDB dan dianilasi
pada suhu 80 oC dan 100 oC, berturut- turut memiliki nilai sebesar 43,97 J/g dan
41,86 J/g, sehingga berdasarkan perhitungan pada persamaan 1, akan didapatkan
o
nilai persentasi kristalinitas sebesar 49,9 pada suhu anilasi 100 C yang
merupakan penurunan jika dibandingkan dengan nilai persentasi kristalinitas
sebesar 52,41 pada suhu anilasi 80 oC.

Universitas Indonesia
47

100
(%) = 100 ...
93.1 %

Persamaan 1
Peningkatan dalam persentasi kristalinitas disebabkan oleh mekanisme
pemanasan pada rantai-rantai polimer yang bersifat amorfus. Pemanasan
dilakukan pada suhu diatas suhu transisi gelas yang merupakan titik transisi dari
suatu material pada fase yang keras menjadi fase yang lunak. Rantai polimer yang
bersifat amorfus akan lebih mudah bergerak daripada rantai yang bersifat kristalin.
Hal ini menyebabkan proses kristalisasi pada rantai polimer yang bersifat
amorfus, sehingga derajat kristalinitas akan meningkat.

Gambar 4.4. Penampang melintang struktur polimer sebelum anilasi (a) dan setelah anilasi (b) [17]
Pada gambar 4.4 diatas terlihat bahwa pada saat proses anilasi, daerah
amorfus (pada Gambar 4.2a) akan menjadi dua bagian daerah amorfus yang ada
(pada Gambar 4.2b), yaitu daerah amorfus yang bersifat rigid dan mobile. Sifat
yang rigid memiliki arti bahwa proses anilasi membantu penataan rantai polimer
yang bersifat amorfus menjadi bentuk lamelar yang mengindikasikan peningkatan
daerah lamelar dan kristalinitas. Sedangkan sifat mobile pada daerah amorfus
yang lain mengindikasikan pergerakan yang lebih mudah akibat pelepasan energi
regangan pada fase amorfus sebelum terjadinya proses anilasi.[17]
4.2. Analisa Pengaruh Sinergisitas Penambahan Pemlastis dan Proses
Anilasi Triacetine dan DEDB terhadap Derajat Kristalinitas
Pengaruh penambahan pemlastis triacetine dan DEDB dengan
persentasi fraksi masa 10 % terhadap derajat kristalinitas dapat dilihat setelah
proses anilasi dilakukan pada PLA. Penambahan pemlastis dan proses anilasi akan

Universitas Indonesia
48

semakin meningkatkan persentasi kristalinitas ditandai dengan peningkatan nilai


entalpi pembentukan (Hm) pada PLA yang telah diberikan penambahan
pemlastis dan melalui proses anilasi. Hm pada PLA yang diberikan triacetine dan
dianilasi pada suhu 80 oC dan 100 oC memiliki nilai sebesar 35,92 J/g dan 35,33
J/g. Pada pemberian pemlastis yang lain, yaitu DEDB pada PLA yang selanjutnya
dianilasi pada suhu 80 oC dan 100 oC, secara berturut-turut memiliki nilai Hm
sebesar 52,41 J/g dan 49,9 J/g. Sedangkan PLA yang tidak diberikan penambahan
pemlastis tetapi tetap dianilasi pada suhu 80 oC dan 100 oC, secara berturut-turut
memiliki nilai Hm Hm sebesar 31,75 J/g dan 45,05 J/g.
Peningkatan atau penurunan nilai Hm ini dievaluasi dengan alat
DSC , lihat Gambar 4.5, sehingga nilai persentasi kristalinitas dapat diperoleh
dengan penghitungan berdasarkan persamaan 1, sehingga didapatkan nilai
persentasi kristalinitas untuk PLA yang telah ditambahkan triacetine dan dianilasi
pada suhu 80 oC dan 100 oC sebesar 42,86 % dan 42,12 %. Sedangkan untuk PLA
dengan penambahan DEDB yang dianilasi pada suhu 80 oC dan 100 oC memiliki
nilai persentasi kristalinitas sebesar 52,41 % dan 49,9 %.

% Kristalinitas vs. Suhu Anilasi


60

50 52.41
49.9
42.86 45.05
42.12
% Kristalinitas

40

30 31.75 Neat PLA

20 PLA/TAc 10
14.78
13.83 PLA/DEDB 10
10
6.7
0
Tanpa Anil 80 oC (30 mins) 100 oC (30 mins)
Suhu Anilasi

Gambar 4.5. Hasil pengujian DSC terhadap pemanasan dengan kecepatan 5 oC/menit pada neat
PLA dan PLA yang telah ditambahkan triacetine dan DEDB dan dianilasi pada suhu 80 oC dan
100 oC selama 30 menit

Pada subbab 4.1, dijelaskan mekanisme anilasi yang menyebabkan


penataan ulang rantai polimer yang bersifat amorfus menjadi bentuk lamelar, yang

Universitas Indonesia
49

merupakan cikal bakal pembentukan sferulit dan struktur kristal. Penambahan


pemlastis akan meningkatkan kemampuan PLA untuk kristalisasi, nilai suhu
kristalisasi dingin (Tcc) menurun dan puncak kristalisasi menjadi lebih sempit. Hal
ini dibuktikan dengan kurva yang dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Peristiwa yang menyebabkan penurunan kristalinitas yang terjadi saat
penambahan suhu anilasi disebabkan oleh tidak homogennya daerah/area pada
PLA yang telah diberikan triacetine maupun DEDB yang dapat dikristalisasi.
Hasil pengujian terhadap PLA yang telah ditambahkan dengan triacetine
dan DEDB serta yang telah dianilasi dapat membuktikan bahwa terjadi penurunan
nilai Tg yang diakibatkan pemisahan fase amorfus dan
berkumpulnya/bertambahnya fase kristalin pada PLA yang telah dianilasi. Pada
semua sampel yang telah dianil juga terdapat dua puncak pelelehan yang
menandakan perubahan fase amorfus menjadi fase kristalin.. Proses kristalisasi
dingin juga tidak dapat dideteksi karena kristalinitas PLA yang meningkat dua
kali lipat akibat proses anilasi. Parameter ini dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1. Data nilai Tg, Tcc, Tm, Hm dan % kristalinitas dari sampel neat PLA,
PLA/triacetine dan PLA/DEDB
Sampel Suhu Tg Tcc Tm (oC) Hm %
o o
Anilasi ( C) ( C) (J/g) Kristalinitas
o
( C)
Neat PLA Tanpa 44,7 113,1 169,7 6,3 6,7
anil
Neat PLA 80 60,95 96,36 169,22 29,56 31,75
Neat PLA 100 170,02 41,95 45,05
PLA/TAc Tanpa 34,2 91,2 163,8 11,6 13,83
anil
PLA/TAc 80 162,36 35,92 42,86
PLA/TAc 100 165,22 35,33 42,12
PLA/DEDB Tanpa 31,6 90,6 163,4 12,4 14,78
anil
PLA/DEDB 80 163,21 43,97 52,41
PLA/DEDB 100 - 164,34 41,86 49,90

Universitas Indonesia
50

4.3. Analisa Pengaruh Pemlastis terhadap Perilaku Molekul PLA dan


Mekanisme Folding
Pada kristalisasi polimer, kekakuan lokal dari rantai backbone akan
berkompetisi dengan daya tarik monomer yang berdekatan akibat ikatan van der
Waals mengakibatkan pelipatan rantai pada lamelar. Perbedaan kondisi pelipatan
polimer kristalin dipisahkan oleh aksi dari lapisan pelindung nukleasi. Hal ini
membutuhkan pemahaman dari sifat lapisan pelindung antara kondisi yang
berbeda-beda untuk menjelaskan proses kuantisasi (jumlah lipatan rantai yang
terbentuk). Cheng mengatakan bahwa lapisan ini memiliki hubungan dengan nilai
entalpi dan entropi molekul polimer dan hal ini menentukan kecepatan
pertumbuhan kristal. Cheng juga mengatakan bahwa sifat alami dari struktur dan
rantai polimer yang panjang dapat mempengaruhi lapisan nukleasi ini secara
kuantitas[53]. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.6 dibawah ini.

Gambar 4.6. Efek konektivitas antar rantai pada nukleasi yang dipengaruhi oleh peran
pemlastis [52]
Pelipatan rantai dari blok polimer yang dapat mengalami
kristalisasi pada blok amorfus-kristalin bergantung pada proses segregasi dari
kedua blok pada kondisi lelehan. Dalam studi ini, penambahan pemlastis akan
memberikan efek kebalikan dari daya tarik menarik antar rantai PLA yang
berseberangan (yang disebabkan oleh ikatan sekunder hidrogen) dan
menyebabkan rantai PLA terpisah akibat keberadaan pemlastis dan membuat
molekul PLA dapat bergerak lebih bebas. Keberadaan pemlastis ini selanjutnya

Universitas Indonesia
51

akan dijelaskan dalam mekanisme lubrikasi yang merupakan salah satu dari teori
plastisasi.
Mekanisme lubrikasi terjadi saat kondisi pelelehan PLA, saat itu
triacetine dan DEDB sebagai pemlastis akan masuk diantara rantai molekul PLA
yang daya tarik menarik akibat ikatan sekunder hidrogen melemah akibat
adanya energi panas saat masuk dalam fase pelelehan. Triacetine dan DEDB yang
merupakan pemlastis berjenis ester (ditandai dengan adanya unsur O dan H) dan
memiliki struktur molekul lurus, lihat Gambar 4.7, akan membentuk ikatan
sekunder O dan H baru terhadap PLA yang juga memiliki banyak ikatan O dan H,
sehingga triacetine dan DEDB akan menempel pada PLA akibat daya tarik
menarik ikatan sekunder O dan H yang ada antara PLA dengan triacetine dan
DEDB.

Gambar 4.7. Struktur molekul PLA, triacetine dan DEDB


Hal ini mengartikan bahwa mekanisme lubrikasi selain memiliki
peranan penting dalam meningkatkan pergerakan dari molekul polimer juga
berperan dalam menurunkan kekakuan lokal pada backbone rantai yang
menyebabkan mudahnya mekanisme pelipatan pada molekul polimer. Hal ini juga
dapat dijadikan sebagai referensi tambahan bahwa pemberian pemlastis akan
menurunkan energi permukaan yang dibutuhkan untuk membentuk lamelar yang
merupakan hasil dari fenomena pelipatan itu sendiri. Kulinzki menjelaskan bahwa
penurunan energi permukaan memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan energi

Universitas Indonesia
52

pelipatan.[15] Proses pembentukan lamelar dan sferulit memiliki peranan penting


dalam meningkatkan derajat kristalinitas dari PLA.
Tinjauan terhadap ikatan sekunder O dan H yang terbentuk antara PLA
dengan triacetine dan DEDB ini dapat dibuktikan dengan uji FTIR untuk melihat
kemungkinan adanya ikatan sekunder baru yang terbentuk setelah proses
formulasi antara PLA dengan pemlastis . Proses pengamatan ini akan sangat
mendukung terjadinya ikatan sekunder O-H antara PLA dengan pemlastis
sekaligus mengevaluasi performa triacetine dan DEDB sebagai pemlastis .

Gambar 4.8. Idealisasi reaksi antara PLA dengan triacetine

Gambar 4.9. Idealisasi reaksi antara PLA dengan DEDB


Berdasarkan Gambar 4.8 dan 4.9 terlihat bahwa untuk mengevaluasi
performa triacetine dan DEDB sebagai pemlastis dengan mekanisme lubrikasi,
nilai vibrasi gugus O H yang terbentuk pada pengujian nilai vibrasi molekul
dengan metode FTIR harus dapat terukur.
Pembentukan ikatan sekunder O H, hal ini dibuktikan dengan
kemunculan puncak dari hasil pengujian FTIR pada sampel PLA, triacetine dan
DEDB dengan nilai 1455 cm-1 untuk hasil pengujian FTIR dengan triacetine
(lihat Gambar 4.10) serta nilai 1455 cm-1 untuk hasil pengujian FTIR dengan
DEDB (lihat gambar 4.11) yang merupakan identitas dari frekuensi vibrasi gugus
O H (H bonded). Kemunculan puncak dari hasil pengujian FTIR pada PLA yang

Universitas Indonesia
53

telah ditambahkan triacetine dan DEDB, serta yang telah melewati proses anilasi
pada suhu 100 oC selama 30 menit membuktikan bahwa triacetine dan DEDB
memiliki peranan penting dalam perilaku molekul serta proses anilasi yang tidak
menghilangkan pengaruh dari pemlastis dalam melakukan mekanisme lubrikasi
yang memudahkan mekanisme pelipatan molekul polimer yang menyebabkan
pembentukan lamelar dan meningkatkan derajat kristalinitas dari PLA.
Selain itu, pembentukan ikatan sekunder O H juga dapat dibuktikan
dengan meningkatnya persentasi terbentuknya ikatan primer C = O stretch pada
setiap penambahan triacetine dan DEDB. Peningkatan persentasi pembentukan
ikatan primer C = O stretch ini diyakini sebagai akibat munculnya ikatan sekunder
O H yang terbentuk dengan menarik gugus O pada pemlastis , sehingga terjadi
peningkatan pembentukan ikatan primer C = O stretch. Peningkatan persentasi
terbentuknya ikatan primer C = O stretch dievaluasi dengan penurunan nilai
transmitasi yang dihasilkan berdasarkan hasil uji FTIR yang disajikan pada Tabel
4.2.
Adanya interaksi antara PLA dengan pemlastisDEDB dan TAC
menunjukan kemungkinan bahwa pemlastisbekerja dengan pendekatan teori
lubrikasi di mana pemlastismelekat pada rantai molekul PLA dan meningkatkan
mobilitasnya. Peningkatan mobilitas ini didapatkan karena pemlastisyang
menempel akan membentuk gliding planes dengan molekul pemlastislainnya
seperti yang terlihat pada gambar 4.8. Pada proses pendinginan, PLA akan
mengalami solidifikasi dan proses kristalisasi dimulai, sedangkan pemlastisbaik
itu DEDB atau pun TAC akan tetap dalam fasa cair sehingga gliding planes dapat
terbentuk dan terjadi mekanisme lubrikasi pada PLA. Proses ini akan
mengakibatkan meningkatnya mobilitas rantai molekul PLA yang juga
mempermudah terjadinya proses kristalisasi. Peningkatan derajat kristalinitas
dibahas pada subbab selanjutnya.

Tabel 4.2. Nilai transimitansi PLA, PLA/DEDB dan PLA/TAc

FTIR
Sampe
Struktur Transmittance (%)
l cm-1 Ikatan
Neat 5 wt% 10 20

Universitas Indonesia
54

wt% wt%

92,7 88,6 88,6 86,1


691 C-H bend
3 4 9 6
91,6 87,3 88,0 86,2
755 C-H bend
0 1 1 6
92,9 89,0 89,5 87,4
871 C-C stretch
7 5 1 5
104 C-O-C 83,5 74,4 75,0 71,0
3 stretch 8 7 3 4
108 C-O-C 79,3 66,2 67,1 61,6
4 stretch 4 2 4 8
113 C-O-C 84,1 74,2 75,4 70,6
1 stretch 4 8 3 2
118 C-O-C 81,8 59,8 71,6 66,1
PLA / 2 stretch 7 3 1 8
DEDB + 135 93,1 88,4 89,4 86,7
CH3 bend
9 3 6 9 0
138 94,5 90,7 91,5 89,3
CH3 bend
4 0 3 5 6
145 93,5 88,7 89,8 87,0
O-H bend
5 8 9 1 6
174 83,6 72,3 75,6 69,8
C=O stretch
8 1 8 0 0
294 99,0 98,4 96,5 96,0
CH3 stretch
8 4 0 6 0
299 98,5 95,7 95,9 95,2
CH3 stretch
8 6 4 7 5
340 98,2 94,7 95,0 94,1
O-H stretch
0 0 8 1 2
92,7 96,5 85,2 80,7
691 C-H bend
3 9 2 8
91,6 95,9 82,4 76,9
755 C-H bend
PLA / 0 9 8 4
TAC 92,9 96,6 84,6 78,6
871 C-C stretch
7 2 4 4
+
104 C-O-C 83,5 92,3 62,2 45,2
3 stretch 8 3 8 1

Universitas Indonesia
55

108 C-O-C 79,3 90,0 51,2 31,5


4 stretch 4 3 4 9
113 C-O-C 84,1 92,7 62,6 46,3
1 stretch 4 8 0 2
118 C-O-C 81,8 91,2 55,9 35,3
2 stretch 7 9 3 8
135 93,1 96,8 83,0 74,6
CH3 bend
9 3 7 5 7
138 94,5 97,4 86,4 79,2
CH3 bend
4 0 1 6 7
145 93,5 97,0 84,3 76,6
O-H bend
5 8 4 1 5
174 83,6 92,6 59,7 37,8
C=O stretch
8 1 3 3 1
294 99,0 98,4 97,1 94,3
CH3 stretch
8 4 8 1 6
299 98,5 98,3 96,2 92,9
CH3 stretch
8 6 2 9 5
340 98,2 98,1 96,3 93,8
O-H stretch
0 0 7 7 0

Universitas Indonesia
56

Gambar 4.9. Kurva transmisi-wavenumber PLA dengan penambahan


O H bonded
triacetin berdasarkan hasil uji FTIR

C=O stretch

Gambar 4.9. Kurva transmisi-wavenumber PLA dengan penambahan triacetin


berdasarkan hasil uji FTIR

O H bonded

C=O stretch

Universitas Indonesia
57

Gambar 4.10 Kurva transmisi-wavenumber PLA dengan penambahan DEDB serta proses anilasi
berdasarkan hasil uji FTIR

4.4. Analisa Pengaruh Penambahan Triacetine dan DEDB dan Proses


Anilasi terhadap Kekuatan Mekanik
Pengaruh penambahan pemlastis triacetine dan DEDB dengan persentasi
fraksi masa 10 % serta proses anilasi terhadap sifat mekanik PLA dilakukan
dengan uji tarik UTM dengan mengacu pada standar ASTM D1708-06a, dimana
strain rate proses penarikan sebesar 1 mm/menit.
Sampel yang disimpan dalam wadah tertutup rapat dan bebas dari oksigen
maupun udara selama 24 jam dilakukan uji tarik untuk mendapatkan nilai
modulus kekakuan, nilai kekuatan tarik dan nilai persentasi elongasi dari sampel
PLA. Sampel diuji sebanyak 3 kali untuk mendapatkan standard deviasi.

Gambar 4.11 Kurva tegangan-regangan uji tarik pengaruh antara triacetine


dan DEDB terhadap sifat mekanik PLA

Universitas Indonesia
58

Pada Gambar 4.12 terlihat penurunan nilai kekuatan tarik setelah sampel
diberikan triacetine dan DEDB. Hal ini sesuai dengan peran triacetine dan DEDB
sebagai pemlastis yang diberikan untuk meningkatkan flesikbilitas. Triacetine
berperan lebih baik dalam menurunkan nilai tegangan dan meningkatkan nilai
regangan jika dibandingkan dengan peran oleh DEDB yang cenderung memiliki
nilai tegangan yang lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh susunan struktur molekul
dan perilaku molekul yang berbeda-beda antara kedua pemlastis ini, walaupun
secara umum telah ditetapkan mekanisme yang digunakan oleh kedua pemlastis
dalam meningkatkan elongasi dari PLA adalah dengan dengan mekanisme
lubrikasi.
Dalam literatur dijelaskan bahwa pemberian pemlastis akan
meningkatkan nilai plastisasi atau fleksibilitas dari polimer. Hal ini dapat
direpresentasikan dalam bentuk penurunan nilai modulus kekakuan dan
peningkatan persentasi elongasi dari polimer.

Universitas Indonesia
59

Modulus Young vs. T [anil]


400

341.62
350 332.58
318.39

300
Modulus Young (MPa)

250
Neat PLA
200
PLA/DEDB 10

150 125.44 130.40 127.99 PLA/TAc 10

100
97.32
50
65.99 66.31

0
Tanpa Anil 80 oC 100 oC

Formatted: Centered, Indent: Left: 0", First line: 0"


Modulus Young vs. T [anil]
400

350

300
Modulus Young

250

200

150

100

50

0
Tanpa Anil 80 oC 100 oC
Neat PLA 318.39 332.58 341.62
PLA/DEDB 10 125.44 130.40 127.99
PLA/TAc 10 65.99 66.31 97.32

Gambar 4.12 Grafik nilai modulus kekakuan (E) terhadap PLA dengan penambahan
triacetine dan DEDB

Universitas Indonesia
60

Pada Gambar 4.12 terlihat grafik penurunan nilai modulus kekakuan


pada PLA/triacetine dan PLA/DEDB dengan tingkat penurunan lebih tinggi
ditunjukkan oleh PLA dengan triacetine dan penurunan nilai modulus kekakuan
yang cukup besar terlihat pada PLA dengan penambahan triacetine dan DEDB
tanpa anilasi. Sedangkan setelah pemberian variasi suhu anilasi, penurunan nilai
modulus kekakuan menjadi turun. Hal ini disebabkan oleh peran suhu anilasi
yang semakin meningkatkan nilai modulus kekakuan.
Pada neat PLA yang tidak diberikan proses anilasi memiliki nilai
modulus kekakuan sebesar 318,39 21,48 MPa yang mengalami penurunan
menjadi 125,44 8,28 MPa ketika ditambahkan DEDB dengan fraksi berat 10%,
sedangkan penambahan triacetine dengan fraksi 10% menurunkan nilai modulus
kekakuan menjadi 65,99 3,37 MPa. Pada neat PLA yang diberikan proses
anilasi pada suhu 80 oC memiliki nilai modulus kekakuan sebesar 332,58 50,29
MPa yang mengalami penurunan menjadi 130,4 9,87 MPa ketika ditambahkan
DEDB dengan fraksi berat 10%, sedangkan penambahan triacetine dengan fraksi
10% menurunkan nilai modulus kekakuan menjadi 66,30 0,71 MPa. Pada neat
PLA diberikan proses anilasi pada suhu 100 oC memiliki nilai modulus kekakuan
sebesar 341,62 10,55 MPa yang mengalami penurunan menjadi 127,99 1,86
MPa ketika ditambahkan DEDB dengan fraksi berat 10%, sedangkan penambahan
triacetine dengan fraksi 10% menurunkan nilai modulus kekakuan menjadi 97,31
12,84 MPa.
Nilai modulus kekakuan akibat penambahan suhu anilasi menyebabkan
peningkatan yang berbanding lurus dengan penambahan suhu anilasi. Pada grafik
4.12 dapat dilihat penurunan nilai modulus kekakuan pada penambahan DEDB
dengan fraksi berat 10% antara proses anilasi 80 oC dan 100 oC, yaitu dari 130,4
MPa menjadi 127,99 MPa. Penurunan nilai modulus kekakuan antara PLA dengan
DEDB dengan fraksi berat 10% dengan suhu anilasi 80 oC dan 100 oC, seolah
menyatakan pengaruh anilasi yang menurunkan nilai kekakuan modulus
berkebalikan dengan literatur yang menyatakan penambahan suhu anilasi akan
berpengaruh dalam menambah efektivitas dalam mengkristalisasi PLA, sehingga
tren yang didapatkan seharusnya peningkatan nilai modulus kekakuan.

Universitas Indonesia
61

Penurunan nilai modulus kekakuan pada proses anilasi 80 oC dan 100 oC


disebabkan oleh data yang kurang presisi, hal ini ditandai dengan standar deviasi
yang besar pada nilai kekakuan modulus pada PLA dengan penambahan DEDB
dengan fraksi berat 10% dan proses anilasi pada suhu 80 oC, yaitu 9,87 MPa,
sedangkan standar deviasi pada nilai kekakuan modulus pada PLA dengan
penambahan DEDB dengan fraksi berat 10% dan proses anilasi pada suhu 100 oC
memiliki nilai yang kecil, yaitu 1,86 MPa, sehingga tren peningkatan nilai
modulus kekakuan dapat dikatakan berbanding lurus dengan penambahan suhu
anilasi 80 oC menjadi 100 oC.
Penambahan triacetine dan DEDB dengan fraksi berat 10 % lebih
dimaksudkan untuk menurunkan nilai kekakuan, seperti terlihat pada Gambar
4.12. Penambahan triacetine dan DEDB dengan fraksi berat 10 % juga
berpengaruh terhadap nilai kekuatan tarik, hal ini sesuai dengan Gambar 4.11
yang menyatakan penambahan triacetine dan DEDB dengan fraksi berat 10 %
akan menurunkan nilai tegangan sekaligus meningkatkan nilai regangan dari PLA.
Nilai kekuatan tarik merupakan perilaku mekanik yang dapat ditinjau lebih dalam
sesuai dengan Gambar 4.13.

Tensile strength vs T [Anil]


60
50
40
TS (MPa)

30
20
10
0
Tanpa Anil 80 oC 100 oC
Neat PLA 44.085 46.22 48.17
PLA/DEDB 10 21.63 25.60 24.75
PLA/TAc 10 18.36 20.99 24.75

Pada Gambar 4.12 terlihat grafik penurunan nilai kekuatan tarik


pada PLA/triacetine dan PLA/DEDB dengan tingkat penurunan lebih tinggi
ditunjukkan oleh PLA dengan triacetine dan penurunan nilai kekuatan tarik yang
cukup besar terlihat pada PLA dengan penambahan triacetine dan DEDB tanpa
anilasi. Sedangkan setelah pemberian variasi suhu anilasi, penurunan nilai

Universitas Indonesia
62

kekuatan tarik menjadi turun. Hal ini disebabkan oleh peran suhu anilasi yang
semakin meningkatkan nilai modulus kekakuan.
Pada neat PLA yang tidak diberikan proses anilasi memiliki nilai
kekuatan tarik sebesar 44,08 2,68 MPa yang mengalami penurunan menjadi
21,63 1,25 MPa ketika ditambahkan DEDB dengan fraksi berat 10%, sedangkan
penambahan triacetine dengan fraksi 10% menurunkan nilai kekuatan tarik
menjadi 18,36 1,62 MPa. Pada neat PLA yang diberikan proses anilasi pada
suhu 80 oC memiliki nilai kekuatan tarik sebesar 46,22 1,01 MPa yang
mengalami penurunan menjadi 26,24 1,74 MPa ketika ditambahkan DEDB
dengan fraksi berat 10%, sedangkan penambahan triacetine dengan fraksi 10%
menurunkan nilai kekuatan tarik menjadi 20,98 1,79 MPa. Pada neat PLA
diberikan proses anilasi pada suhu 100 oC memiliki nilai kekuatan tarik sebesar
48,17 1,83 MPa yang mengalami penurunan menjadi 24,74 3,31 MPa ketika
ditambahkan DEDB dengan fraksi berat 10%, sedangkan penambahan triacetine
dengan fraksi 10% menurunkan nilai kekuatan tarik menjadi 24,75 2,19 MPa.
Penambahan suhu anilasi menyebabkan peningkatan yang berbanding
lurus dengan nilai kekuatan tarik. Pada grafik 4.12 dapat dilihat penurunan nilai
modulus kekakuan pada penambahan DEDB dengan fraksi berat 10% antara
proses anilasi 80 oC dan 100 oC, yaitu dari 130,4 MPa menjadi 127,99 MPa.
Penurunan nilai modulus kekakuan antara PLA dengan DEDB dengan fraksi berat
10% dengan suhu anilasi 80 oC dan 100 oC, seolah menyatakan pengaruh anilasi
yang menurunkan nilai kekakuan modulus berkebalikan dengan literatur yang
menyatakan penambahan suhu anilasi akan berpengaruh dalam menambah
efektivitas dalam mengkristalisasi PLA, sehingga tren yang didapatkan
seharusnya peningkatan nilai modulus kekakuan.
Penurunan nilai modulus kekakuan pada proses anilasi 80 oC dan 100 oC
disebabkan oleh data yang kurang presisi, hal ini ditandai dengan standar deviasi
yang besar pada nilai kekakuan modulus pada PLA dengan penambahan DEDB
dengan fraksi berat 10% dan proses anilasi pada suhu 80 oC, yaitu 9,87 MPa,
sedangkan standar deviasi pada nilai kekakuan modulus pada PLA dengan
penambahan DEDB dengan fraksi berat 10% dan proses anilasi pada suhu 100 oC
memiliki nilai yang kecil, yaitu 1,86 MPa, sehingga tren peningkatan nilai

Universitas Indonesia
63

modulus kekakuan dapat dikatakan berbanding lurus dengan penambahan suhu


anilasi 80 oC menjadi 100 oC.

Universitas Indonesia
64

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil pengujian dan analisis dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Pemberian DEDB dan TAc meningkatkan % elongasi dan menurunkan
nilai modulus kekakuan
2. Proses anilasi akan meningkatkan nilai modulus kekakuan dan kekuatan
tarik, tetapi menurunkan % elongasi
3. Pemberian DEDB lebih efektif dalam meningkatkan % kristalinitas
daripada TAc
4. Proses anilasi sangat efektif dalam meningkatkan % kristalinitas PLA
5. Proses anilasi pada PLA/DEDB lebih efektif dalam meningkatkan %
kristalinitas daripada PLA/TAc

5.2. Saran
Saran dan rekomendasi yang dapat dihimpun berdasarkan data pengujian
adalah sebagai berikut :
1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melakukan perbandingan sifat
mekanik antara material PLA yang berbeda grade nya, untuk melihat perilaku
setelah pemberian pemlastis lain maupun proses anilasi.

Universitas Indonesia
65

DAFTAR PUSTAKA

1. Pefindo, Berlina. Primary Report. http://new.pefindo.com/files/2010-11-


16-brna-01-en.pdf. 2010. Akses 15 Juni 2011.
2. Yu, L dan Chen, L.. Biodegradable Polymer Blends and Composites from
Renewable Resources. 2009. John Willey & Sons
3. Meinander, K.; Niemi, M.; Hakola, J. S.; Selin, J-F. Macromolecular
Symp 1997, 123, 147.
4. Martin, O.;Averous, L.; L. Polymer 2001, 42, 6209.
5. Nijenhuis, A.; Colstee, E.; Grijpma, D.W.; Pennings, A.J. polymer 1996,
37, 5849.
6. Sheth, M.; Kumatr, A.; Dave, V.; Gross, R.A.; McCarthy, S.P. J Applied
Polymer Science 1997, 66, 1495.
7. Lostocco, M.R.; Borzacchiello, A.; Huang, S.J. Macromol Symp 1998,
130, 151.
8. Hiljanen-Vainio, M.; Varpomaa, P.; Seppala, J.; Tormala, P.
Macromolecular Chemical Physical 1996, 197, 1503.
9. Yang, J.-M.; Chen, H.-L.; You, J.-W.; Hwang, J.C. Polymer 1997, 29,
657-662.
10. Blumm, E.; Owen, A. J. Polymer 1995, 36, 4077-4081.
11. Iannace, S.; Ambrosio, L.; Huang, S.J.; Nicolais, L. J. Applied Polymer
Science 1994, 54, 1525-1536.
12. Labrecque, L.V.; Kumar, R.A.; Dave, V.; Gross R.A.; McCarthy, S.P. J
Applied Polymer Science 1997, 66, 1507-1513.
13. Ljungberg, Nadia. 2002. The Effects of Plasticizers on the Dynamic
Mechanical and Thermal Properties of Poly(Lactic Acid). Lund, Sweden.
14. OEC SIDS. (2002). Triacetine. UNEP PUBLICATION
15. Velsicol Chemical Corporation. (2001). Diethylene Glycol Dibenzoate
Robust Summary.
16. Kulinski and Piorkowska, Polymer 46 (2005) 10290 10300
17. M. Pluta, Polymer 45 (2004) 8239 8251
18. Z. Wei, Polymer xxx (2013) 1 8

Universitas Indonesia
66

19. Lipinsky, E.S. and Sinclair, R.G., Chem. Eng. Prog., 82, 26 32, 1986.
20. Carothers, H., Dorough, G. L., and Van Natta, F.J., Am. Chem.Soc., 54,
761, 1932.
21. Nef, J.U., Ltebtgs. Ann. Chem., 403, 204, 1941; Pelouze, P.M.J., Ann.
Chem. Phys., 13, 257, 1845.
22. M. H. Hartmann (1998) in D. L. Kaplan (Ed.), BiopolymersRenewable
Resources, Springer-Verlag, Berlin, pp. 367411.
23. H. Benninga (Ed.) (1990) AHistory of Lactic Acid Making,Kluwer -
Academic Publishing, Boston, London, Dordrecht.
24. J. H. Van Ness (1981) in Kirk-Othmer Encyclopedia of Chemical
Technology, 3rd ed., Vol. 13, John Wiley and Sons, New York, to pp. 80
103.
25. R. Datta, S. Tsai, P. Bonsignore, S. Moon, and J. Frank (1995) FEMS
Microbiology Reviews 16, 221231.
26. K. Enomoto, M. Ajioka, dan A. Yamaguchi (1994) U.S. Patent 5, 310,
865.
27. T. Kashima, T. Kameoka, C. Higuchi, M. Ajioka dan A. Yamaguchi
(1995) U.S. Patent 5, 428, 126.
28. F. Ichikawa, M. Kobayashi, M. Ohta, Y. Yoshida, S. Obuchi dan H. Itoh
(1995) U.S. Patent 5, 440, 008.
29. M. Ohta, Y. Yoshida, S. Obuchi (1995) U.S. Patent 5, 144, 143.
30. W. H. Carothers, G. L. Dorough, and F. J. Van Natta (1932) Journal of the
American Chemical Society 54, 761772.
31. C. E. Lowe (1954) U.S. Patent 2,668,162
32. J. Lunt (1998) Polymer Degradation and Stability 59, 145 152.
33. G.B. Kharas, F. Sanchez-Riera and D.K. Severson (1994) in D.P. Mobley
(Ed.), Plastics From Microbes, Hanser-Gardner, Munich, pp. 93 137.
34. H.R. Kricheldorf, I. Kreiser-Saunders, C. Jurgens and D. Wolter (1996)
Die Makromolekulare Chemie, Macromolecular Symposia 103, 85 102.
35. D.K. Gilding and A.M. Reed (1979) Polymer 20, 1459 1464.
36. H.R. Kricheldorf, I. Kreiser-Saunders, and C. Boettcher (1995) Polymer
36(6), 1253 1259.

Universitas Indonesia
67

37. R. Vasanthakumari and A.J. Pennings (1983) Polymer 24(2), 175 178.
38. B. Kalb and A.J. Pennings (1980) Polymer 21(6),607 612.
39. G.L. Loomis and J.R. Murdoch (1990) U.S. Patent 4, 902, 515.
40. G.L. Loomis and J.R. Murdoch (1988) U.S. Patent 4, 719, 246.
41. D.M. Bigg (1996) in Society of Plastics Engineers- Annual Technical
Conference 54(2), 2028 2039.
42. G.Perego, G.D. Cella and C. Bastioli (1996) Journal of Applied Polymer
Science 59, 37 43.
43. M.H. Naitove (1995) Plastic Technology 41(3), 15 17
44. Tsuji H. 2002a. Poly(lactide). In: Doi Y, Steinbuchel A. editors.
Polyesters III (Biopolymers, vol. 4) Weinheim: Wiley-VCH. p. 129177.
45. Herman F. Mark, Encyclopedia of Polymer Science and Technology 3rd
edition, Willey & Sons
46. http://apps.kemi.se/flodessok/floden/ dietylenglykoldibensoat diakses
pada 24 mei 2013.
47. Mansor, M.K., Ibrahim, N.A., Wan, M.D. 2011. Effect of Triacetin On The
Mechanical Properties, Morphology and Water Absorption of
PLA/Tapioca Strach Composites. Malaysian Polymer Journal, Vol. 6,
No.2, p 165 175.
48. Kermanshahi, Azadeh.2010. Towards the Development of Green
Plasticizers. Department of Chemical Engineering. McGill University.
Canada
49. N.A. Weir, F.J. Buchanan, Elsevier, Biomaterial 25 (2004) 3939 3949
50. Callister, William D.Jr. 2007. Materials Science and Engineering An
Introduction 7th edition. John Wiley & Sons, Inc.
51. Shah, Vishu. 2007. Handbook of Plastics Testing and Failure Analysis 3rd
edition. Wiley&Sons.
52. Yves, Gnanou dan Fontanille, Michel. 2008. Organic and Physical
Chemistry of Polymers. John Wiley&Sons Inc.
53. Sweeney, J dan Ward, I.M. 2004. An Introduction to The Mechanical
Properties of Solid Polymers 2nd edition. John Wiley & Sons, Inc.

Universitas Indonesia
68

54. Wunderlich B. Macromolecular physics. Crystal structure, morphology,


defects, vol. 1. New York: Academic Press; 1973.
55. Di Lorenzo ML, Raimo M, Cascone E, Martuscelli E. Poly(3-
hydroxybutyrate) based copolymers and blends: influence of a second
component on crystallization and thermal behavior. J Macromol Sci, Phys
B 2001;40:639.
56. M. Muthukumar. Commentary on theories of polymer crystallization. Eur.
Phys. J. E 3, 199202 (2000)
57. Cheng, S. Z. D., Li, C. Y. & Zhu, L. 2000 Commentary on polymer
crystallization: selection rules in different length scales of a nucleation
process. Eur. Phys. J. E3, 195197.
58. Vegt, A. K. 2002. From Polymer to Plastic. Delft University Press.
59. J.K. Kim et. al. Polymer 42 (2001) 7429 7441
60. DE. Henton, P Gruber. Polylactic Acid Technology. 2005.Crcnetbase.
61. Chalid, Mochammad. 2011. Diktat Kuliah Material Aditif. Fakultas Tenik
Universitas Indonesia
62. Wypych, George. 2004. Handbook of Plasticizers. ChemTec Publishing:
New York
63. E.W. Fischer. Effect of Annealing and Temperature on The Morphological
Structure of Polymers. Germany

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai