Anda di halaman 1dari 129

UNIVERSITAS INDONESIA

Kombinasi Proses Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis untuk Dekolorisasi Pewarna


Tartrazine dan Produksi Hidrogen secara Simultan Menggunakan Komposit CuO-
TiO2 Nanotubes

TESIS

Oleh:
LAILY FITRI PELAWI
1806154116

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2020
UNIVERSITAS INDONESIA

Kombinasi Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis untuk Dekolorisasi Pewarna


Tartrazine dan Produksi Hidrogen Menggunakan Komposit CuO-TiO2 Nanotubes

TESIS

LAILY FITRI PELAWI


1806154116

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2020
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang diketik maupun

dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Laily Fitri Pelawi

NPM : 1806154116

Tanda Tangan :

Tanggal : 17 Juli 2020

iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama : Laily Fitri Pelawi
NPM : 1806154116
Program studi : Teknik Kimia
Judul Tesis : Kombinasi Proses Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis untuk
Dekolorisasi Pewarna Tartrazine dan Produksi Hidrogen secara
Simultan Menggunakan Komposit CuO-TiO2 Nanotubes
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
persyaratan mata kuliah pratesis pada Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Slamet, M.T. ( )

Penguji I : Elsa Anisa Krisanti, Ph.D ( )

Penguji II : Eny Kusrini, Ph.D ( )

Penguji III : Dr. Ir. Setiadi, M.Eng ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 28 Juli 2020

iv
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Laily Fitri Pelawi


NPM : 1806154116
Program Studi : S2 Teknik Kimia Reguler
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memperikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free)
atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Kombinasi Proses Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis untuk Dekolorisasi Pewarna


Tartrazine dan Produksi Hidrogen secara Simultan Menggunakan Komposit CuO-
TiO2 Nanotubes

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 28 Juli 2020
Yang Menyatakan

(Laily Fitri Pelawi)

v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis dengan judul Kombinasi Proses
Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis untuk Dekolorisasi Pewarna Tartrazine dan
Produksi Hidrogen secara simultan Menggunakan Komposit CuO-TiO 2 Nanotubes
dalam memenuhi syarat kelulusan sebagai Magister Teknik Program Studi Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari
masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Prof. Dr. Ir. Slamet, M.T selaku dosen pembimbing tesis yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, bimbingan, dan masukan kepada penulis.
(2) Prof. Dr. Ir. Asep Handaya Saputra, M.Eng selaku ketua Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
(3) Prof. Ir. Sutrasno Kartohardjono, M.Sc, Ph.D selaku Pembimbing Akademis
(4) Dr. Ir. Setiadi, M.Eng selaku Kepala Riset Grup RPKA, Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
(5) Mama Zaina Yuniar, Alm. Papa Mustaqim Pelawi, dan adek Fenny Musdalifah dan
keluarga besar Pelawi dan Zakaria di Medan yang senantiasa memberikan doa dan
dukungan baik secara moril dan materil.
(6) Teman-teman RPKA selaku temen seperjuangan penelitian yang saling mendukung
satu sama lain.
(7) Teman-teman angkatan S2 Teknik Kimia Reguler 2018 dan pihak-pihak lain yang telah
mendukung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Depok, 21 Juli 2020


Laily Fitri Pelawi
ABSTRAK

Nama : Laily Fitri Pelawi

Program Studi: Teknik Kimia

Judul : Kombinasi Proses Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis untuk


Dekolorisasi Pewarna Tartrazine dan Produksi Hidrogen secara
simultan Menggunakan Komposit CuO-TiO2 Nanotubes

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Slamet, M.T

Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi proses elektrokoagulasi dan fotokatalisis dan
melihat efek dopan CuO dalam TiO2 nanotubes untuk mendokolorisasi limbah pewarna
dan sekaligus menghasilkan H2. Dekolorisasi dan produksi hidrogen secara simultan
dilakukan dalam reaktor yang terbuat dari akrilik yang dilengkapi dengan power supply
dan lampu UV. H2 dihasilkan dari reduksi ion H+ dalam larutan pada katoda stainless steel
dan watersplitting oleh fotokatalisis secara bersamaan. Dekolorisasi tartrazin diperoleh dari
kombinasi adsorpsi dengan elektrokoagulasi dan degradasi dengan fotokatalisis. TiO2
nanotubes disintesis dengan metode anodisasi, kemudian dimodifikasi dengan memberi
dopan CuO dengan metode SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction).
Hasil SEM dengan adanya dopan CuO 0,04 M; 0,05 M; dan 0,06 M mengkonfirmasi
bahwa struktur nanotubes masih terbentuk dengan baik dengan diameter rata-rata berturut-
turut 149 nm, 158 nm, dan 166 nm dan ketebalan tabung rata-rata berturut-turut 44 nm, 50
nm, dan 52 nm. Kehadiran Cu terdeteksi oleh analisis dengan EDX, yang berjumlah 0,4%
wt, 1,09% wt dan 1,68% wt berturut-turut untuk dopan CuO 0,04 M; 0,05 M; dan 0,06 M
pada TiO2 nanotubes. Hasil XRD menunjukkan bahwa TiO2 nanotubes berada dalam fase
anatase dengan ukuran kristal 27,8 nm; 27 nm; dan 26,9 nm. Energi band gap dihitung
menggunakan persamaan Kubelka-Munk dari hasil karakterisasi UV-Vis DRS. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa, energi band gap dari CuO-TiO2 nanotubes berkurang
dari band gap TiO2 nanotubes murni. Konversi dekolorisasi tartrazin berturut-turut pada
sistem elektrokoagulasi, fotokatalisis dan elektrokoagulasi-fotokatalisis dalam waktu 4 jam
reaksi adalah 87,6%; 32,3% dan 99,3%. Baku mutu pada sistem tunggal elektrokoagulasi
50 V dapat dicapai sekitar 1,3 jam reaksi dan jika dikombinasikan dengan sistem
fotokatalisis CuO-TiO2 nanotubes hanya dibutuhkan waktu kurang dari 1 jam. Akumulasi
produk H2 yang dihasilkan berturut-turut pada sistem elektrokoagulasi, fotokatalisis, dan
kombinasinya yaitu sebesar 0,997 mmol, 0,008 mmol, dan 1,841 mmol. Hal ini
menunjukkan dengan mengkombinasikan sistem fotokatalisis pada elektrokoagulasi dapat
meningkatkan kemampuan dalam mendekolorisasi sebanyak 21,7% sehingga dapat
mempercepat waktu dalam mencapai baku mutu dan produksi H2 sebanyak 83%. Kinetika
dekolorisasi tartrazin pada sistem fotokatalisis dan elektrokoagulasi 50 V mengikuti
persamaan laju reaksi orde dua, dengan konstanta laju reaksi berturut-turut 0,006 L/mg.jam
dan 0,080 L/mg.jam sedangkan sistem kombinasi mengikuti persamaan laju reaksi adsorpsi
Langmuir dengan konstanta laju reaksi sebesar 1,202 jam -1. Dari data kinetika dapat
disimpulkan sistem kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan CuO-TiO 2 nanotubes
merupakan sistem yang paling efektif dari sistem tunggal elektrokoagulasi dan
fotokatalisis.

vii Universitas Indonesia


Kata kunci: CuO-TiO2 nanotubes, elektrokoagulasi-fotokatalisis, hidrogen, tartrazin

viii Universitas Indonesia


ABSTRACT

Name : Laily Fitri Pelawi


NPM : 1806154116
Study Program : Chemical Engineering
Title : Process Combination of Electrocoagulation and
Photocatalysis for Decolorization of Tartrazine Dyes
and Hydrogen Production Simultaneously Using CuO-
TiO2 Nanotubes Composite
Supervisor : Prof. Dr. Ir. Slamet, M.T
In this study a combination of electrocoagulation and photocatalysis processes was carried
out and observed at the effect of CuO dopant in TiO 2 nanotubes to decolorize the dye waste
and simultaneously produce H2. The simultaneous decolorization and production of
hydrogen is carried out in an acrylic reactor equipped with a power supply and UV lamps.
H2 is produced from the combination of the reduction of H + ions in solution at a stainless
steel cathode and watersplitting by photocatalysis. Tartrazine decolorization is obtained
from the combination of adsorption by electrocoagulation and degradation by
photocatalysis. TiO2 nanotubes were synthesized by anodizing method, then modified by
giving CuO dopant by SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction) method.
SEM results in the presence of 0.04 M CuO dopants; 0.05 M; and 0.06 M confirmed that
the nanotubes structure was still well formed with an average diameter of 149 nm, 158 nm,
and 166 nm and an average tube thickness of 44 nm, 50 nm and 52 nm, respectively. The
presence of Cu was detected by analysis with EDX, which amounted to 0.4% wt, 1.09% wt
and 1.68% wt respectively for 0.04 M CuO dopants; 0.05 M; and 0.06 M on TiO 2
nanotubes. The XRD results showed that TiO 2 nanotubes were in the anatase phase with a
crystal size of 27.8 nm; 27 nm; and 26.9 nm. Band gap energy is calculated using the
Kubelka-Munk equation from the results of UV-Vis DRS characterization. The calculation
results show that, the band gap energy of CuO-TiO 2 nanotubes is reduced from pure TiO2
nanotubes band gap. Conversion of tartrazine decolorization respectively for the
electrocoagulation, photocatalysis and electrocoagulation-photocatalysis systems within 4
hours of reaction was 87.6%; 32.3% and 99.3%. The quality standard in a single 50 V
electrocoagulation system can be achieved in about 1.3 hours of reaction and when
combined with a photocatalysis system CuO-TiO 2 nanotubes only takes less than 1 hour.
The accumulation of H2 products produced in the electrocoagulation, photocatalysis, and
combination system is 0.997 mmol, 0.008 mmol and 1.841 mmol. This shows that by
combining the photocatalysis system in electrocoagulation can increase the ability to
decolorize by 21.7% so it will accelerate the time in achieving quality standards and H 2
production by 83%. The reaction kinetics in the 50 V photocatalysis and electrocoagulation
system follows the second order reaction rate equation, with reaction rate constants of
0.006 L/mg.hour and 0.080 L/mg.hour while the combination system follows the Langmuir
adsorption reaction rate equation with reaction rate constants 1,202 hour -1. From the
kinetics data it can be concluded that the combination of electrocoagulation-photocatalysis
systems with CuO-TiO2 nanotubes is the most effective system than a single system of
electrocoagulation and photocatalysis.

ix Universitas Indonesia
Keywords: CuO-TiO2 nanotubes, electrocoagulation-photocatalysis, hydrogen, tartrazine

x Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................................iii


HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................................iv
KATA PENGANTAR...........................................................................................................v
ABSTRAK...........................................................................................................................vii
ABSTRACT........................................................................................................................viii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ix
BAB I.....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................4
1.4 Batasan Masalah......................................................................................................4
1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................................5
1.6 Hipotesis Penelitian.................................................................................................5
1.7 Sistematika Penulisan..............................................................................................5
BAB II....................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................7
2.1 Perkembangan Teknologi Pengolahan Limbah Pewarna........................................7
2.2 Perkembangan Teknologi Produksi Hidrogen.........................................................9
2.3 Penambahan dopan CuO pada Fotokatalis TiO2 nanotubes..................................11
2.4 Metode Dopan CuO pada TiO2 nanotubes............................................................13
2.5 Mekanisme Dekolorisasi Zat Warna Tartrazin dan Produksi Hidrogen................15
2.4.1 Proses Fotokatalisis..............................................................................................15
2.4.2 Proses Elektrokoagulasi.......................................................................................19
2.5 State of The Arts....................................................................................................25
BAB III.................................................................................................................................28
METODE PENELITIAN.....................................................................................................28
3.1 Tahapan Penelitian.....................................................................................................28
3.2 Alat dan Bahan...........................................................................................................29
3.3 Prosedur Penelitian................................................................................................30
3.3.1 Sintesis Fotokatalis CuO-TiO2 nanotubes...........................................................30
3.3.2 Karakterisasi CuO-TiO2 nanotubes.....................................................................32

xi Universitas Indonesia
3.3.3 Fotokatalisis.........................................................................................................33
3.3.4 Elektrokoagulasi..................................................................................................33
3.3.5 Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis....................................................34
3.4 Variabel Penelitian................................................................................................36
3.4.1 Fotokatalisis.........................................................................................................36
3.4.2 Elektrokoagulasi..................................................................................................36
3.4.2 Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis..........................................................37
3.5 Teknik Pengolahan Data.............................................................................................38
3.5.1 Hasil Karakterisasi...............................................................................................38
3.5.2 Rumus Pengolahan Data Karakterisasi................................................................39
3.5.3 Degradasi Zat Warna Tartrazin............................................................................40
3.5.4 Pengujian Akumulasi Produk Hidrogen..............................................................40
BAB IV................................................................................................................................41
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................................41
4.1 Karakterisasi Nanokomposit TiO2 nanotubes.......................................................42
4.1.1 Karakterisasi FTIR.........................................................................................42
4.1.2 Karakterisasi SEM-EDX................................................................................43
4.1.3 Karakterisasi XRD.........................................................................................46
4.1.4 Karakterisasi UV-Vis DRS............................................................................49
4.2 Uji Fotokatalisis pada Dekolorisasi Tartrazin.......................................................50
4.2.1 Variasi pH awal larutan awal tartrazin...........................................................51
4.2.2 Variasi konsentrasi dopan CuO pada TiO2 nanotubes...................................53
4.3 Uji Elektrokoagulasi pada Dekolorisasi Tartrazin dan Produksi H2.....................54
4.3.1 Variasi Tegangan pada Elektroda..................................................................55
4.3.2 Variasi pH awal larutan tartrazin.........................................................................58
4.4 Kombinasi Sistem Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis pada Dekolorisasi
Tartrazin dan Produksi H2................................................................................................61
4.5 Tinjauan Kinetika pada Sistem Fotokatalisis, dan Sistem Elektrokoagulasi-
Fotokatalisis pada Dekolorisasi Tartrazin........................................................................68
4.5.1 Variasi konsentrasi dopan CuO pada TiO2 nanotubes...................................70
4.5.2 Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada Dekolorisasi Tartrazin.....711
BAB V..................................................................................................................................76
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................................76
5.1 Kesimpulan............................................................................................................76

xii Universitas Indonesia


5.2 Saran......................................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................78
LAMPIRAN.........................................................................................................................82

DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Spektrum FTIR dari plat Titanium dan fotokatalis hasil sintesis TiO2
nanotubes
Gambar 4.2 Spektrum DR-FTIR diamond …………………………..42

DAFTAR TABEL
67

xiii Universitas Indonesia


DAFTAR LAMPIRAN

xiv Universitas Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hampir setiap industri menggunakan zat warna untuk mewarnai produknya.
Diperkirakan 10-15% pewarna hilang masuk ke dalam limbah selama proses
pewarnaan (Bahadir & Burdurlu, 1999; Young & Yu, 1997). Limbah cair industri
umumnya mengandung zat warna yang dapat menjadi berbahaya. Tartrazin
(C16H9N4Na3O9S2) adalah salah satu dari banyak pewarna yang digunakan untuk
pewarna makanan, obat-obatan, kosmetik, mainan, bahan kemasan makanan, dan
sejenisnya. Meskipun digunakan sebagai pewarna makanan, konsumsi jangka
panjang makanan yang mengandung tartrazin berlebihan dapat menyebabkan alergi
dan diare, juga dapat menyebabkan hiperaktif, dan bahkan memengaruhi
perkembangan intelektual anak-anak; saat pemasukan melebihi kapasitas hati akan
meningkatkan beban dari regulasi diri dan menyebabkan kerusaakan pada ginjal
dan hati (Palupi, 2006).
Keluarnya limbah tersebut ke dalam ekosistem adalah sumber polusi,
eutrofikasi dan gangguan pada kehidupan akuatik (Kadirvelu, Faur-Brasquet, &
Cloirec, 2000; Lee, Low, & Gan, 1999), sehingga zat warna ini tidak boleh
dilepaskan ke badan air secara langsung sebelum mencapai kadar yang tepat.
Berdasarkan peraturan KBPOM No.37 dapat dikatakan aman bagi lingkungan jika
konsentrasinya berkisar antara 0 – 7,5 mg/L. Untuk mencapai kadar ini seharusnya
pabrik-pabrik yang menghasilkan limbah mengandung zat pewarna seharusnya
mengolahnya terlebih dahulu. Di sisi lain dengan meningkatnya kebutuhan energi,
pengembangan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti hidrogen
(H2) diperlukan. Dengan kedua isu tersebut maka diperlukanlah kombinasi
pengolahan limbah dan produksi energi sekaligus.
Metode pengolahan limbah secara konvensional yaitu oksidasi kimia,
adsorpsi fisik, perawatan biologis, dan pemisahan membran. Namun, teknologi ini

1 Universitas Indonesia
2

memiliki beberapa kekurangan di antaranya efisiensinya rendah, polutan tidak


dapat sepenuhnya menjadi tidak berbahaya, polusi sekunder dapat mudah terjadi,
ruang lingkup penggunaannya terbatas dan tidak cukup luas, hanya dapat
diterapkan pada polutan tertentu, dan/atau konsumsi energinya relatif tinggi
(Palupi, 2006). Salah satu teknologi pengolahan limbah yang berpotensi untuk
dekolorisasi yaitu fotokatalisis. (Kadirvelu et al., 2000). Fotokatalis merupakan
teknologi hemat energi, ramah lingkungan, dan ekonomis karena proses
fotokatalisis hanya memanfaatkan energi foton dan katalis berbahan semikonduktor
(S. V. Kumar et al., 2013). Salah satu fotokatalis yang banyak digunakan karena
berbagai keunggulannya adalah titanium dioksida (TiO2) (Kadirvelu et al., 2000).
TiO2 dapat digunakan dalam proses sintesis organik ramah lingkungan, degradasi
polutan organik, dan produksi hidrogen secara fotokatalitik tanpa menghasilkan
emisi karbon. TiO2 dalam mendokolorisasi tartrazin dapat memproduksi hidrogen
secara simultan sebagai produk sampingnya (Slamet & Kurniawan, 2018).
Selain berbagai keunggulan yang terdapat pada TiO2, terdapat dua
kelemahannya yaitu tingkat rekombinasi yang lebih tinggi dari elektron dan lubang
fotogenerasi dan celah pita yang relatif lebar (D. P. Kumar et al., 2013). Oleh
karena itu, banyak pendekatan efektif telah dikembangkan untuk meningkatkan
sifat fotokatalitik TiO2, misalnya, TiO2 didopan dengan logam transisi (Amorós-
Pérez, Cano-Casanova, Castillo-Deltell, Lillo-Ródenas, & Román-Martínez, 2019),
dimasukkan logam mulia (Chiarello, Dozzi, Scavini, Grunwaldt, & Selli, 2014),
dan ditambahkan dengan donor atau akseptor elektron (Sánchez‐Polo, Rivera‐
Utrilla, Prados‐Joya, & Ocampo‐Pérez, 2012).
Penambahan logam mulia dapat mengurangi reaksi rekombinasi pada suatu
tingkat, tetapi karena mahalnya Pt, banyak penelitian dikerjakan untuk dapat
menemukan logam dengan harga rendah yang dapat meningkatkan aktivitas
fotokatalis. Di sisi lain, aplikasi Cu, baik dalam bentuk logam maupun oksida
logam CuOx, telah banyak digunakan sebagai electron-trapper untuk menghambat
rekombinasi elektron-hole dalam berbagai aplikasi. Penggunaan dopan CuO pada
fotokatalis TiO2 nanotubes juga berfungsi untuk menurunkan band gap pada
fotokatalis TiO2 nanotubes untuk mendegradasi zat warna tatrazin dan produksi H 2
secara simultan.

Universitas Indonesia
3

Selain fotokatalisis, teknologi lainnya yang berpotensi untuk dekolorisasi dan


produksi hidrogen secara simultan adalah elektrokoagulasi (Modirshahla,
Behnajady, & Kooshaiian, 2007). Elektrokoagulasi yaitu proses elektrokimia yang
menghasilkan koagulan yang dapat digunakan untuk mengadsorp zat warna untuk
dekolorisasi limbah industri zat cair. Proses elektrokoagulasi terbentuk melalui
pelarutan logam melalui proses oksidasi pada anoda yang kemudian berinteraksi
secara simultan dengan ion hidroksi membentuk koagulan, misalnya Al(OH)3. Di
sisi lain pada katoda dapat menghasilkan gas hidrogen secara simultan.

Selain kelebihan yang dimiliki, masing-masing sistem juga memiliki


kekurangan. Kekurangan elektrokoagulasi dan fotokatalisis berturut-turut yaitu
koagulan mempunyai kapasitas maksimum adsorpsi tertentu serta fotokatalisis yang
dalam mendegradasi tartrazin dapat menghasilkan intermediet yang masih
menghasilkan zat warna. Kombinasi metode ini turut saling melengkapi kekurangan
dari metode lainnya. Dimana metode fotokatalis yang murah dan mudah diterapkan
dapat mendegradasi turunan limbah cair industri yang belum terdegradasi pada
metode elektrokoagulasi. Slamet (2018) telah melakukan kombinasi fotokatalisis
dan elektrokoagulasi untuk degradasi tartrazin dan produksi hidrogen secara
simultan tetapi fotokatalis yang digunakan masih TiO 2 murni yang memiliki
beberapa kelemahan, dan juga belum dilakukan optimasi kondisi pH pada masing-
masing sistem dan variasi voltase pada elektrokoagulasi. Oleh karena itu, penelitian
yang akan dikerjakan adalah mengoptimalkan kondisi operasi yaitu pH larutan awal
dan voltase pada elektrokoagulasi serta melakukan penambahan dopan CuO pada
TiO2 nanotubes pada berbagai konsentrasi prekursor Cu(NO 3)2 untuk mendapatkan
hasil yang lebih efektif pada sistem elektrokoagulasi-fotokatalisis untuk
dekolorisasi tartrazin dan produksi H2 secara simultan.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh kondisi pH larutan awal tartrazin dan voltase pada
sistem elektrokoagulasi terhadap kemampuan dekolorosisasi tartrazin dan
produksi hidrogen secara simultan?

Universitas Indonesia
4

2. Bagaimana pengaruh pemberian dopan CuO pada komposit TiO2 nanotubes


dan kondisi pH larutan awal tartrazin terhadap kemampuan dekolorosisasi
tartrazin pada sistem fotokatalisis?
3. Apakah kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis menggunakan komposit
CuO-TiO2 nanotubes dapat lebih efektif dibandingkan sistem tunggal
elektrokoagulasi dan fotokatalisis dalam mendekolorisasi tartrazin dan
produksi H2 secara simultan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan kondisi pH larutan awal tartrazin dan voltase terbaik pada
elektrokoagulasi untuk mencapai dekolorosisasi tartrazin serendah-
rendahnya serta produksi hidrogen sebanyak-banyaknya secara simultan.
2. Mendapatkan konsentrasi dopan CuO terbaik pada komposit TiO2
nanotubes kondisi pH larutan awal tartrazin terbaik pada sistem fotokatalisis
untuk mencapai dekolorosisasi tartrazin serendah-rendahnya.
3. Mendapatkan kondisi operasi terbaik pada sistem kombinasi
elektrokoagulasi-fotokatalisi menggunakan komposit CuO-TiO2 nanotubes
untuk mencapai dekolorosisasi tartrazin serendah-rendahnya serta produksi
hidrogen sebanyak-banyaknya secara simultan.

1.4 Batasan Masalah


1. Fotokatalis yang digunakan yaitu lapisan tipis TiO2 dengan morfologi dan
ukuran nanotube di atas plat Titanium
2. Kemampuan dekolorisasi pada sistem hanya diamati berdasarkan penurunan
konsentrasi larutan tartrazin menggunakan UV-Vis spektrofotometer
3. Kemampuan produksi H2 pada sistem diamati berdasarkan konsentrasi dan
jumlah H2 yang dihasilkan
4. Kemampuan dekolorisasi pewarna tartrazin dilakukan pada sistem
elektrokoagulasi, fotokatalisis, dan kombinasi kedua sistem
5. Kemampuan produksi H2 hanya dilakukan pada sistem elektrokoagulasi dan
kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis, dikarenakan keterbatasan waktu
penggunaan lab selama wabah pandemi covid19

Universitas Indonesia
5

1.5 Manfaat Penelitian


1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan memberi kontribusi ilmiah tentang
proses pengolahan limbah zat warna tartrazin dan produksi hidrogen secara
simultan dengan kombinasi sistem fotokatalis-elektrokoagulasi dengan
fotokatalis CuO-TiO2 nanotubes.
2. Secara praktik, hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu rekomendasi
untuk dekolorisasi limbah zat warna tartrazin dan produksi hidrogen sebagai
produk samping yang berpotensi digunakan sebagai sumber energi terbarukan.

1.6 Hipotesis Penelitian


Pada sistem kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis untuk dekolorisasi
tartrazin dan produksi H2 secara simultan diduga bahwa:
1. Penambahan dopan CuO pada TiO2 nanotubes dapat meningkatkan kemampuan
dekolorisasi zat warna tartarzin maupun produksi hidrogen secara simultan.
2. Kondisi pH pada larutan akan sangat mempengaruhi dekolorisasi dan produksi
H2 karena dilihat secara termodinamika pengaruh pH sangat besar pada fasa
cair.
3. Kenaikan voltase yang diberikan pada elektrokoagulasi akan semakin
meningkatkan kemampuan dekolorisasi tartrazin dan produksi H2 dikarenakan
lebih mudahnya terjadi proses oksidasi dan reduksi sampai dengan besar voltase
tertentu, dan akan turun kemampuannya ketika voltase terus dinaikkan
dikarenakan kejenuhan pada plat elektroda.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam makalah ini dilakukan dengan membagi tulisan
menjadi lima bab, yaitu:

BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini terdiri atas penjelasan mengenai latar belakang, perumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini menjelaskan mengenai beberapa teori-teori pendukung yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Universitas Indonesia
6

BAB III: METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang diagram alir penelitian, variabel bebas, variabel
tetap, variabel terikat, peralatan dan bahan yang digunakan dalam
penelitian, serta prosedur penelitian.

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang telah dilakukan dan
analisisnya.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran terkait hasil penelitian
tersebut

4.

Universitas Indonesia
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Teknologi Pengolahan Limbah Pewarna


Berbagai upaya dan metode untuk mengatasi pencemaran zat warna
sebelum dibuang ke perairan telah dilakukan, antara lain metode koagulasi,
oksidasi dan elektrokimia. Namun metode ini dirasa kurang memadai untuk
mengatasi masalah pencemaran zat warna, karena metode ini pada dasarnya hanya
menghasilkan keadaan yang mengandung polutan yang lebih terkonsentrasi.
Beberapa metode modern seperti metode biodegradasi, klorinasi, dan ozonisasi
telah dikembangkan. Metode ini memang memberikan hasil yang cukup meuaskan,
tetapi membutuhkan biaya operasional yang cukup mahal sehingga kurang efektif
diterapkan di Indonesia. Metode elektrokoagulasi dan fotokatalisis mempunyai
potensi dan keefektifan yang sangat baik dalam mendekolorisasi zat warna.
Berikutnya akan dijelaskan mengenai riset-riset mengenai dekolorisasi pada sistem
fotokatalisis dan elektrokoagulasi.

Laju degradasi fotokatalitik dari larutan tartrazin dengan dan tanpa asam
benzoat setelah didegradasi selama 90 menit yaitu 99% dan 29%. Asam benzoat
berperan sebagai donor elektron yang akan bereaksi dengan holes dari fotogenerasi,
menekan atau menghambat rekombinasi fotogenerasi holes dan elektron yang akan
meningkatkan laju secara signifikan. Proses degradasi terutama disebabkan oleh
O2•- dan lubang fotogenerasi (h+). Sistem asam benzoat/TiO2 juga cocok untuk
degradasi pewarna organik lainnya seperti metil jingga, rhodamin B, metilen biru,
dan metil ungu. Kondisi asam disukai pada sistem degradasi tartrazin dengan asam
benzoat. Penurunan pH dalam larutan menandakan jumlah proton yang lebih
banyak dalam sistem yang dapat digunakan untuk memprotonasi grup reaktif, yang
akan mengarahkan untuk meningkatkan degradasi. (Y. Zhou, Qin, Dai, & Luo,
2019)
Degradasi fotokatalitik dengan katalis 4%wt Cu2O-CuO/TiO2 dapat
mendekolorisasi larutan pewarna RB 49 5 ppm sebesar 76% setelah 80 menit.
(Ajmal et al., 2016) Kombinasi UV+ H2O2+TiO2 dapat mendegradasi larutan

7
Universitas Indonesia
8

tartrazin 6x10-5 sebesar 93% pada pH 11 dengan jumlah katalis yang digunakan
sebesar 0,18 mg/l. (Gupta, Jain, Nayak, Agarwal, & Shrivastava, 2011)

8
Universitas Indonesia
9

Elektrokoagulasi pada limbah cair tekstil dapat menurunkan kekeruhan


sampai 96% pada 24 V dan 30 menit reaksi dengan 6 lembar alumunium (Hari &
Harsanti, 2010). Elektrokoagulasi dengan advanced oxidation process elektrokimia
dengan sistem Fe/steel pada larutan tartrazin dengan tambahan NaCl 0,05 M pada
pH natural 6,3 dan 0,2 A dapat mendekolorisasi ±96% (Thiam, Zhou, Brillas, &
Sirés, 2014). Penggunaan elektroda alumunium dan stainless steel 316 mampu
menghilangkan kekeruhan, zat warna, kromium pada limbah air. Alumunium
elektroda menunjukkan dekolorisasi yang lebih besar daripada menggunakan
stainless steel pada tegangan 2,5V, dekolorisasi adalah 99,78% (pH optimal adalah
4) untuk elektroda alumunium dan 94,76% (pH optimal adalah 4) untuk elektroda
stainless steel. (Mahmad, Rozainy, Abustan, & Baharun, 2016)
Efisiensi dekolorisasi tartrazin dengan elektrokoagulasi tercapai dengan
menggunakan konsentrasi larutan awal tartrazin 40 ppm ditambah dengan NaCl
400 mg/l, densitas arus 120 A/m2, waktu elektrolisis 5 menit, jarak antar elektroda
(Al-Fe) 1,5 cm sebesar 99,21%. Dengan semakin besarnya jarak antara elektroda,
Interaksi antar ion dengan polimer-polimer hidroksida lebih rendah dengan kata
lain, dengan turunnya konsentrasi ion-ion & polimer-polimer hidroksida serta
turunnya gaya elektrostatik yang akan menurunkan kemampuan dekolarisasi
tertrazine. Konsentrasi awal larutan tartrazin yang semakin tinggi di atas 40 ppm
akan menurunkan efisiensi dekolorisasi. Hal ini kemungkinan terjadi karena
terbentuknya produk antara/intermediet yang terbentuk pada konsentrasi yang lebih
tinggi yang akan berkompetisi dengan tartrazin dan air untuk sisi aktif aktif
elektroda tersebut atau produk intermediet ini tidak dapat larut dalam air dan akan
menghalangi sisi aktif dari elektroda. Faktor terpenting pada dekolorisasi dalam
elektrokoagulasi adalah proses adsorpsi pada flok-flok logam hidroksida dan
kapasitas adsorpsi yang terbatas. (Modirshahla et al., 2007)
Oleh karena itu teknologi alternatif yang lebih ekonomis, efektif, dan ramah
lingkungan untuk mendegradasi zat warna pada limbah cair industri dapat
menggunakan kombinasi sistem fotokatalis dan elektrokoagulasi. Penggunaan
fotokatalis terbukti dapat berperan secara efektif sebagai dua fungsi yaitu
mendegradasi zat warna tartrazin hingga batas aman yang dapat dilepas ke
lingkungan serta memproduksi hidrogen yang berpotensi sebagai energi terbarukan

Universitas Indonesia
10

tanpa menghasilkan emisi karbon secara simultan. Sedangkan elektrokoagulasi


adalah proses yang bertujuan untuk dekolorisasi zat warna dengan cara
mengalirkan arus listrik searah melalui air yang menyebabkan terbentuknya
gumpalan yang mudah dipisahkan.
2.2 Perkembangan Teknologi Produksi Hidrogen
Hidrogen merupakan salah satu alternatif energi terbarukan yang akan terus
berkembang dan ramai digunakan di masa depan karena tidak menghasilkan emisi
karbon dan menghasilkan energi yang cukup besar. Bahan baku produksi hidrogen
saat ini berasal dari bahan bakar fosil antara lain gas alam, minyak bumi, dan
lainnya. Proses umum seperti reforming dan elektrolisa air memiliki banyak
kelemahan, diantaranya membutuhkan energi yang sangat besar karena
memerlukan temperatur tinggi dan menghasilkan banyak gas CO2 sebagai gas efek
rumah kaca. Berikutnya akan dijelaskan mengenai riset-riset mengenai produksi
hidrogen pada sistem fotokatalisis dan elektrokoagulasi.
Produksi H2 dengan sistem fotokatalisis menggunakan Cu-TiO2 dalam
bentuk bubuk yang dibuat dengan metode dopan incipient-wetness impregration
pada pemuatan optimal 1,2% berat Cu diikuti oleh kalsinasi pada 400oC
meningkatkan produksi H2 hingga 10 kali lipat dibandingkan dengan TiO2 murni.
H2 yang diproduksi meningkat konsentrasinya secara tunak sampai mencapai
keadaan jenuhnya. Keadaan jenuh tercapai bukan terjadi karena deaktivasi
katalis tetapi karena kesetimbangan telah tercapai. Band gap menurun dengan
penambahan Cu pada TiO2 dari 3,15 eV menjadi 3,09 eV. (Wu & Lee, 2004)
Produksi hidrogen pada sistem fotokatalisis dengan menggunakan Cu/TiO2
dengan kehadiran sacrificial electron donors oleh Maldonado (2018)
menunjukkan pada pH netral atau basa lebih baik daripada pH asam. Fotokatalis
Cu/TiO2 disintesis menggunakan metode sol-gel, dan Cu direduksi oleh NaBH4.
Di antara sacrificial electron donors metanol, gliserol, dan limbah air kota yang
digunakan oleh Maldonado (2018), larutan gliserol menyediakan suasana yang
terbaik atau reaktif untuk produksi H2. (Maldonado et al., 2018)
Chen (2018) dalam memproduksi H2 secara fotokatalisis dengan sumber
cahaya lampu Xe 300 W (λ=300 nm) yang menggunakan sacrificial agent
metanol sebanyak 65 ml (20 vol %) dengan menggunakan fotokatalis TiO 2

Universitas Indonesia
11

nanorod didopan Cu sebesar 0,1 persen berat menghasilkan H2 sebesar 1023,8


μmol/h. Dari data LSV (Linear Sweap Voltametry) dibandingkan dengan TiO2
murni, Cu-TiO2 mempunyai densitas arus yang lebih tinggi yang
mengindikasikan lebih tingginya aktifitas reaksi produksi hidrogen. Setelah
diradiasi setelah 36 jam jumlah H2 yang diproduksi sebanyak 35,9 mmol dengan
TON (Turn Over Number) mencapai 23,5 yang mengindikasikan hidrogen lebih
terbentuk pada reaksi fotokatalisis dibandingkan proses reaksi kimia. (W. Chen
et al., 2018)

Cu/TiO2 dengan Cu 2,71% berat yang dipreparasi dengan metode wet


impregnation dan diberikan post-annealing dapat mendekolorisasi Metil Orange
(MO) pada pH 11. Larutan awal MO 30 ppm diberikan cahaya UVC 120 W
selama 5 jam. Ion Cu memainkan peran penting dalam menekan rekombinasi
pembawa muatan dengan membentuk keadaan inter-band dalam kisi Cu-TiO2.
Aktifitas fotokatalitik sangat bergantung pada kemampuan generasi pembawa
muatan, yang akan menghasilkan radikal bebas (·OH). Radikal bebeas ini yang
akan mendegradasi metil orange secara efektif. (Sreekantan, Zaki, Lai, & Tzu,
2014)

Pada pH 6, dengan densitas arus 14 mA/cm 2 dengan waktu


elektrokoagulasi 125 menit dapat mendokolorisasi sebesar 94% dan
memproduksi H2 sebesar 16% dari konsumsi energi, dengan kondisi yang sama
pada pH 7 dapat mendekolorisasi limbah sebesar 93% dan memproduksi H2
sebesar 15% dari konsumsi energi.

Slamet dan Kurniawan (2018) telah melakukan variasi tegangan yang


diberikan pada elektrokoagulasi yaitu pada range 5-15 V. Pada penelitiannya
ditunjukkan pada tegangan yang lebih tinggi yang diterapkan pada elektroda
meningkatkan kemampuan elektroda untuk mendegradasi pewarna tartrazin.
Konversi degradasi terbesar pewarna tartrazin dicapai pada tegangan 15 volt
pada 82,45% dalam waktu 240 menit. Tegangan yang diberikan pada elektroda
berbanding lurus dengan penurunan konsentrasi larutan. Ini karena semakin
banyak ion Al3+ dilepaskan dalam proses oksidasi (melepaskan elektron), di

Universitas Indonesia
12

mana peningkatan tegangan juga meningkatkan arus yang diberikan dengan


jumlah resistansi yang sama. (Slamet & Kurniawan, 2018)

Hidrogen yang diproduksi dari kombinasi sistem elektrokoagulasi-


fotokatalisis merupakan salah satu cara yang berpotensi efektif untuk
menghasilkan jumlah H2 yang lebih banyak karena H2 yang dihasilkan
merupakan akumulasi dari kedua sistem. Hidrogen merupakan salah satu
alternatif energi terbarukan yang akan terus berkembang dan ramai digunakan di
masa depan karena tidak menghasilkan emisi karbon, tidak beracun, dapat
diproduksi dari sumber daya terbarukan, menghasilkan energi yang cukup besar,
dan bukan merupakan gas rumah kaca. Hidrogen dipercaya sebagai bahan bakar
alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan negara pada bahan bakar fosil
dan mengurangi gas rumah kaca. Hidrogen juga disebut sebagai pembawa energi
bersih karena pembakarannya menghasilkan air sebagai produk sampingnya.

2.3 Penambahan dopan CuO pada Fotokatalis TiO2 nanotubes


TiO2 sebagai fotokatalis memiliki beberapa kekurangan yaitu kurang
responsif terhadap sinar tampak, band gap yang cukup tinggi, mudah mengalami
rekombinasi. Peningkatan kinerja katalis TiO2 dapat pula dilakukan dengan
memodifikasi nanotubes dengan dopan logam X seperti Pt, Ni, Cu, Zn, Zr, Fe
sehingga terbentuk nano-komposit X-TiO2. TiO2 mempunyai energy band gap 3,2
eV untuk kristal anatase dan 3 eV untuk rutile sehingga hanya responsif terhadap
sinar yang mempunyai λ < 400 nm. Fungsi dopan logam selain sebagai electron
trapper yang bisa menekan laju rekombinasi e-/h+ juga berfungsi sebagai pusat aktif
sehingga akan bersinergi dalam aplikasinya.
Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa graphene, MoS2 dan spesies
logam transisi, seperti Cu dan Ni, adalah kandidat alternatif selain Pt sebagai ko-
katalis yang efisien untuk evolusi H2 atau degradasi polutan organik. Spesies
tembaga termasuk Cu, CuOx, Cu(OH)2, dan Cu2(OH)2CO3 yang dimuat pada TiO2
dapat meningkatkan evolusi hidrogen karena perannya sebagai hole scavengers dan
meningkatkan efisiensi dekolorisasi dengan pembentukan inter-band states dalam
kisi Cu-TiO2 (Ni, Shen, Li, Ma, & Zhai, 2017; Sreekantan et al., 2014).

Universitas Indonesia
13

Penambahan logam mulia dapat mengurangi reaksi rekombinasi pada suatu


tingkat, tetapi karena mahalnya Pt, banyak penelitian dikerjakan untuk dapat
menemukan logam dengan harga rendah yang dapat meningkatkan aktivitas
fotokatalis. Contohnya, Cu dalam percobaan Wu et al. (Wu & Lee, 2004), yang
dideposit pada permukaan TiO2 terbukti dapat meningkatkan produksi hidrogen
hingga 10 kali lipat dengan tanpa penambahan Cu.
Di sisi lain, aplikasi Cu, baik dalam bentuk logam maupun oksida logam
CuOx, telah banyak digunakan sebagai electron-trapper untuk menghambat
rekombinasi elektron-hole dalam berbagai aplikasi. Perannya sebagai electron-
trapper ini disebabkan oleh tinggi dan positifnya potensial reduksi dari Cu (0.34
V). Selain sebagai electron trapper, penambahan dopan CuOx juga dapat
meningkatkan absorbansi bagi fotokatalis melalui mekanisme penyempitan band
gap (H. W. N. Slamet, Purnama, Riyani, & Gunlazuardi, 2009).
Tembaga mempunyai dua macam oksida yang telah diketahui yaitu tenorite
(CuO) dan cuprite (Cu2O). Keduanya termasuk dalam semikonduktor tipe –p
(Johan et al., 2011). CuO adalah senyawa semikonduktor dengan struktur
monoklinik. CuO merupakan anggota paling sederhana senyawa tembaga dan
menunjukkan berbagai sifat fisik yang berguna seperti superkonduktivitas suhu
tinggi, efek korelasi elektron dan dinamika putar. Sebagai semikonduktor tipe-p,
CuO telah digunakan dalam banyak aplikasi seperti dalam gas sensor, katalis,
baterai, superkonduktor suhu tinggi, konversi energi surya dan bidang emisi.
(Ghane, Sadeghi, Jafari, & Paknejhad, 2010)
Nanokatalis CuO/TiO2 telah diaplikasikan dalam beberapa penelitian. Lee et
al. (2002) mensintesis tembaga oksida tersupport TiO2 dengan metode sol-gel
kemudian diaplikasikan pada proses pembakaran benzena. CuO yang tersebar pada
permukaan TiO2 berperan sebagai situs aktif pada dekomposisi oksidatif benzena
(C.-K. Chen, Chen, Lin, Lin, & Lee, 2010). Aktifitas katalitik meningkat pada
katalis yang mengandung TiO2-anatase. Dalam penelitian Slamet et al. (2007) hasil
karakterisasi XRD CuO/TiO2 pada peak 2θ=35,6° menunjukkan fase CuO dimana
prekursor Cu yang digunakan adalah Cu-Asetat dan Cu-Nitrat. Secara fotokatalitik,
katalis CuO/TiO2 mempunyai kemampuan mendegradasi fenol lebih baik

Universitas Indonesia
14

dibandingkan hanya TiO2 yaitu sebesar 97,18%, sedangkan pada TiO2 sebesar
93,81% (Slamet, Arbianti, & Marliana, 2007).
Penambahan Cu pada TiO2 menyebabkan penurunan konsentrasi simazine
yang lebih besar 39% selama 4 jam dalam proses fotokatalisis karena adanya peran
Cu dalam mencegah rekombinasi elektron-holes yang meningkatkan kemampuan
fotokatalitiknya. Penurunan band gap dengan adanya dopan Cu 0,45 wt% pada
TiO2 nanotubes dari 3,1 eV menjadi 2,9 eV. Spektrum reflektans menunjukkan
adanya pergerseran pada respon optis pada Cu/TiO 2 nanotubes yang menunjukkan
absorpsi pada sinar tampak yang lebih tinggi. Struktur morfologi nanotube
meningkatkan luas permukaan yang menghasilkan kenaikan kemampuan transfer
elektron. (Meriam Suhaimy, Abd Hamid, Lai, Hasan, & Johan, 2016)
Spesi Cu tembaga yang digunakan sebagai dopan baru-baru ini menarik
banyak perhatian karena oksida tembaga termasuk Cu2O (2,0 eV) dan CuO (1,7
eV) ramah lingkungan dan dapat memperpanjang penyerapan ke daerah cahaya
tampak (Sun, Li, Sun, & Dong, 2013). Heciak et al. (Heciak, Morawski, Grzmil, &
Mozia, 2013) membuat serangkaian fotokatalis CuO/Cu2O/TiO2 yang menunjukkan
peningkatan aktivitas fotokatalitik dalam pembuatan hidrokarbon alifatik dan
hidrogen yang dibandingkan dengan TiO2 murni.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
penggunaan CuOx sebagai dopan bagi fotokatalis pada sistem kombinasi
elektrokoagulasi-fotokatalisis agar dapat dilihat efek sinergisme antara inhibisi
proses rekombinasi (melalui mekanisme electron trapping) dan aktivitas fotokatalis
terhadap sinar tampak (melalui mekanisme penyempitan band-gap) sehingga dapat
meningkatkan performa dalam mendekolorisasi tartrazin dan produksi H2 secara
simultan.

2.4 Metode Dopan CuO pada TiO2 nanotubes


Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk preparasi yaitu sebagai berikut:
- Anodisasi insitu
- Photo Assisted Deposition
- Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction (SILAR)
Metode anodisasi insitu adalah proses elektrokimia untuk mengoksidasi
substrat logam, dalam hal ini plat Titanium untuk membentuk TiO 2 nanotubes,

Universitas Indonesia
15

beserta dengan dopan logam dengan menambahkan larutan prekursor logam


tertentu dalam larutan elektrolit, dalam hal ini Cu dapat didopan dengan larutan
Cu(NO3)2 atau CuCl2.

Metode Photo Assisted Deposition merupakan metode deposisi ion


menggunakan hasil eksitasi dari fotokatalisis, baik e- atau h+ yang lepas
kepermukaan partikel. Agar elektron dapat mereduksi ion logam Cu2+ maka
potensial reduksi dari Cu2+/Cu harus lebih positif dari pita konduksi dari TiO 2 dan
tingkat energi Cu/Cu2+ harus lebih negatif dari pita valensi TiO 2. Cu2+/Cu memiliki
nilai Eo = +0,34 V dimana berada pada domain band gap TiO2 sehingga elektron
dapat mereduksi ion logam Cu2+ menjadi Cu dan tertempel pada TiO2.

Metode Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction (SILAR) yang


juga dikenal sebagai versi modifikasi dari chemical bath deposition. Selain
sederhana, SILAR memiliki sejumlah keunggulan: (i) cara yang sangat mudah
untuk membuat film dengan hampir semua elemen dalam proporsi apa pun dengan
hanya menambahkannya dalam beberapa bentuk solusi kationik, (ii) tidak seperti
closed vapour deposition method, SILAR tidak memerlukan target kualitas tinggi
dan/atau substrat juga tidak memerlukan kondisi vakum pada setiap tahapnya, yang
merupakan keuntungan besar jika metode tersebut akan digunakan untuk aplikasi
industri, (iii) laju deposisi dan ketebalan film dapat dapat dengan mudah
dikendalikan pada rentang yang luas dengan mengubah siklus deposisi, (iv) dapat
menghasilkan film pada bahan yang kurang kuat, (v) tidak menyebabkan
pemanasan berlebihan yang dapat merusak material yang akan didepositkan dan
(vi) hampir tidak ada batasan pada material substrat, dimensi atau profil
permukaannya. Selain itu, ini relatif murah, sederhana dan nyaman untuk deposisi
area yang luas. Hal ini dapat dilakukan dalam beaker glass. Bahan awal umumnya
tersedia dan bahannya relatif murah. SILAR adalah metode kimia jadi sejumlah
substrat dapat dilapisi. Dengan demikian, setiap permukaan yang tidak larut dimana
larutan memiliki akses bebas akan menjadi substrat yang cocok untuk deposisi.
Deposisi dilakukan pada atau dekat dengan suhu kamar, untuk menghindari
oksidasi atau korosi pada substrat logam. Deposit secara stoikiometri mudah
diperoleh. Karena pembentukan dasarnya adalah ion dan bukan atom, parameter

Universitas Indonesia
16

preparatif mudah dikontrol dan orientasi yang lebih baik dan struktur yang lebih
baik dapat diperoleh. (Pathan & Lokhande, 2004)

Di antara metode deposisi Cu, seperti elektrodeposisi, reduksi fotokatalitik


dan metode reduksi kimia, Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction
(SILAR) diyakini sebagai proses yang mudah dan hijau untuk mendopan Cu pada
TiO2 nanotubes. (Wang, Qiao, Xu, & Gao, 2014)

2.5 Mekanisme Dekolorisasi Zat Warna Tartrazin dan Produksi Hidrogen


Untuk mendapatkan dekolorisasi zat warna tartrazin dan produksi hidrogen
yang efektif maka perlu diketahui berbagai hal mengenai sistem proses yang
digunakan berkaitan dengan fotokatalisis dan elektrokoagulasi.
2.4.1 Proses Fotokatalisis
Fotokatalisis merupakan suatu proses transformasi kimia yang
melibatkan unsur cahaya dan katalis sekaligus dalam melangsungkan dan
mempercepat proses transformasi yang terjadi. (Serpone & Emeline, 2002).
Suatu bahan dapat dijadikan fotokatalis jika memiliki daerah energi kosong
yang disebut celah pita energi (energy band gap). Fotokatalisis dibedakan
menjadi dua yaitu fotokatalisis homogen dan fotokatalisis heterogen, pada
penelitian ini akan digunakan fotokatalisis heterogen.

TiO2 adalah salah satu fotokatalis memiliki aktifitas fotokatalisis lebih


tinggi dari pada fotokatalisis lain seperti ZnO, CdS, WO 2, dan SnO2
(Okamoto, Yamamoto, Tanaka, Tanaka, & Itaya, 1985). TiO2 mempunyai
nilai band gap sebesar 3,2 eV yang sebanding dengan cahaya UV (388 nm)
untuk fasa kristal anatase, dan 3,0 eV yang sebanding dengan cahaya UV
(413 nm) untuk fasa kristal rutile. TiO2 dalam fasa anatase mempunyai
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan fasa rutil, fasa anatase TiO 2
memiliki luas permukaan yang lebih besar dan ukuran yang lebih kecil
dibanding rutil (Matthews & McEvoy, 1992). Bentuk kristal anatase yang
diamati pada penelitian terjadi pada pemanasan TiO 2 serbuk mulai dari suhu
120oC hingga menjadi fasa anatase sempurna pada 500 oC. Kemudian
pemanasan pada suhu 700oC mulai terbentuk kristal rutil dan terjadi

Universitas Indonesia
17

penurunan luas permukaan serta pelemahan aktivitas fotokatalis secara


drastis. (Ollis and Elkabi, 1991)
Irradiasi partikel TiO2 dengan jumlah energi foton lebih besar dari
energi band gapnya menghasilkan elektron dari valence band (VB) ke
conduction band (CB). Mekanisme pembentukan spesi aktif yaitu radikal
hidroksil untuk mendegradasi polutan berbahaya dalam limbah secara
fotokatalisis diawali saat TiO2 menyerap energi foton dari cahaya (hv). Jika
TiO2 dikenai cahaya (hν) dengan energi yang sesuai, maka elektron (e-) pada
pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi, dan meninggalkan hole (h+)
pada pita valensi. Absorpsi foton mengeksitasi elektron ke pita konduksi (e-)
menghasilkan hole positif di pita valensi (h+). Pembawa muatan, yaitu
elektron dan hole dapat terjebak sebagai Ti3+ dan O dalam kisi TiO2, atau
dapat bergabung kembali pada proses rekombinasi dalam dan melepaskan
energi. Gambar 2.1 diberikan beberapa tahap mekanisme fotokatalisis untuk
mendegrasi polutan organik.

Gambar 2.1 Mekanisme Fotokatalisis


(Anku, Oppong, & Govender, 2018)

Pembawa muatan dapat bermigrasi ke permukaan katalis dan memulai


reaksi redoks dengan adsorbat. Hole (h+) dapat mengoksidasi air di
permukaan untuk menghasilkan radikal hidroksil OH• dan H+ dimana radikal
hidroksil merupakan oksidator yang sangat kuat didalam air dengan potensial
oksidasi sebesar 2,8 eV. Radikal hidroksil yang dihasilkan kemudian dapat
mengoksidasi spesies organik (polutan) dengan memproduksi CO2 dan H2O
(persamaan 2.5). Di sisi lain, ion hidrogen (H +) yang dihasilkan akan
direduksi oleh elektron (e-) menjadi gas hidrogen (persamaan 2.8).

Universitas Indonesia
18

𝑇𝑖𝑂2 + ℎ𝑣 → h+ + 𝑒− (2.1)
h+ + 𝑒− → energi (2.2)
𝐻2𝑂 + h+ → 𝑂𝐻• + 𝐻+ (2.3)
𝑂𝐻• + tartrazin (polutan organik) → intermediet (2.4)
Intermediet → 𝐶𝑂2 + 𝐻2𝑂 (2.5)
Reaksi absropsi foton:
2ℎ𝑣 → 2ℎ+ + 2𝑒− (2.6)
1
𝐻2𝑂 + 2ℎ+ → 𝑂2 + 2𝐻+ (2.7)
2
2𝐻+ + 2𝑒− → 𝐻2(𝑔) (2.8)
Secara lebih rinci proses mineralisasi tartrazin membentuk beberapa
produk antara atau intermediet telah diusulkan oleh dos Santos (2014) terdapat
pada Gambar 2.2. Terdegradasinya tartrazin dimulai dari trisodium; 5-oxo-1-
(4-sulfonatophenyl)-4-[(4-sulfonatophenyl)diazenyl]-4H-pyrazole-3-
carboxylate (nama IUPAC tartrazine) disinari UV mengakibatkan hilangnya
tiga ion natrium ditambah penambahan dua hidrogen, menghasilkan ion
deprotonasi yang diidentifikasi oleh MS/MS. Selanjutnya, hilangnya dua
molekul air secara berturut-turut (m/z = 449,4) dan (m/z = 431,5),
karakteristik senyawa hidroksilasi. Pada produk II (m/z = 298,2) terjadi
pembelahan ikatan azo −𝑁=𝑁 yang menyebabkan hilangnya N2 (Ar = 28)
yang netral sebagai ion deprotonasi [𝐼𝐼−𝑆𝑂3𝐻−𝑁2]− (m/z = 189,0). Kehadiran
produk ionik [𝐻2𝐶𝑁𝐶6𝐻4𝑆𝑂3]− (m/z = 184,1), akibat pecahnya cincin
pirazolone dan hilangnya kelompok −𝑆𝑂3𝐻 pada ion [𝐼𝐼 − 𝑆𝑂3𝐻]− (m/z =
217,1) dan (m/z = 189,0) ion. (dos Santos, Zocolo, Morales, de Aragão
Umbuzeiro, & Zanoni, 2014).

Universitas Indonesia
19

H2O + CO2 Benzene + NO2 + SO2

Gambar 2.2 Skema degradasi fotokimia tartrazin oleh UV berdasarkan struktur yang diidentifikasi dengan
LC–ESI–MS/MS (dos Santos et al., 2014)

Hilangnya senyawa tersebut umum terjadi pada senyawa polisulfonasi


dan dapat dijelaskan oleh destabilisasi yang terjadi oleh kelompok sulfat ke
ion deprotonasi. Pada produk III, identifikasi dari fragmen ion yang dihasilkan
dari pecahnya lima cincin: [𝐼𝐼𝐼−𝑁]− (m/z = 269,0), [𝐼𝐼𝐼−𝐶3𝐻4𝑁]− (m/z =
229,0), [𝐼𝐼𝐼−𝐶3𝐻2𝑁2𝑂]− (m/z = 201,0), [𝐼𝐼𝐼−𝐶4𝐻2𝑁2𝑂]− (m/z = 189,0),
[𝐼𝑉−𝐶3𝐻3𝑁2𝑂]− (m/z = 157.1). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan sejauh ini
dan pada data fragmentasi senyawa analog, adalah mungkin untuk
mengusulkan skema degradasi tartrazin dengan iradiasi UV. (dos Santos et al.,
2014)

Universitas Indonesia
20

Aktifitas fotokatalisis TiO2 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor


yang menentukan aktivitas fotokatalis TiO2 adalah morfologi permukaan,
luas permukaan, fasa kristal, kristalinitas, dan ukuran kristal terutama dalam
skala nano. Material dengan ukuran nano (1-100 nm) memiliki sifat kimia,
optik, elektrik dan magnetik yang berbeda dengan material sejenis dengan
ukuran besar (bulk). Sifat ini sangat bergantung pada ukuran maupun
distribusi ukuran, komponen kimiawi unsur-unsur penyusun material
tersebut, keadaan dipermukaan dan interaksi antar atom penyusun material
nanostruktur. Keterkaitan sifat parameter-parameter memungkinkan sifat
material memiliki sifat stabilitas termal yang sangat tinggi (Mahdia, 2016).
TiO2 nanotubes mempunyai morfologi seperti tabung-tabung tersusun
rapi dan vertikal. TiO2 nanotubes lebih mudah menyerap foton dengan tidak
ada TiO2 nanotubes yang saling bertumpukkan sehingga memungkinkan
terkonversinya banyak kontaminan organik menjadi air dan CO 2. Hal ini
menyebabkan penyerapan foton pada morfologi TiO 2 nanotubes lebih baik.
Oleh karena itu, reaksi fotokatalis dapat berlangsung lebih efektif dengan
adanya fotokatalis (Basyarkan, 2010).
Nilai pH merupakan parameter penting pada proses degradasi. pH
larutan mempengaruhi muatan permukaan TiO2, kekuatan ionik, sifat dye dan
mempengaruhi adsorbsi dye pada partikel TiO2. Nilai pH dimana permukaan
suatu oksida tidak bermuatan didefinisikan sebagai zero point charge (pHzpc).
Untuk TiO2, pHzpc bernilai 6,25. Di bawah nilai ini TiO2 akan bermuatan
positif, sedangkan di atasnya bermuatan negatif berdasarkan reaksi:
TiOH + H+ → TiOH2+ (2.9)
TiOH + OH- → TiO- + H2O (2.10)

2.4.2 Proses Elektrokoagulasi


Proses elektrokoagulasi merupakan proses yang melibatkan 2
reaksi yaitu reaksi reduaksi dan oksidasi (redoks). Selama proses
berlangsung terjadi transfer elektron pada elektroda dimana reduktor
berperan sebagai pemberi elektron dan oksidator sebagaai penerima
elektron. Perpindahan elektron tersebut berpengaruh terhadap
pembentukan flok-flok yang berfungsi untuk menyerap zat warna.

Universitas Indonesia
21

Kemampuan dalam melakukan reaksi redoks dapat dilihat dari nilai


potensial reduksi (E0) masing-masing logam yang digunakan sebagai
elektroda. Alumunium memiliki nilai potensial redoks sebesar -1,662
volt. Selain faktor nilai potensial reduksi (E0), faktor lain yang
berpengaruh dalam proses perpindahan elektron adalah energi ioniasasi
yang merupakan energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan
elektron dari suatu ikatan, energi ioniasasi ini bergantung pada nomor
atom dan jari-jari atom.

Proses elektrokoagulasi merupakan gabungan proses elektrokimia,


proses flokulasi dan koagulasi (Susetyaningsih & Endro Kismolo, 2008).
Elektrokoagulasi merupakan salah satu metode pengolahan air secara
elektrokimia dengan menggunakan arus listrik searah, dimana pada anoda
terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam ke dalam larutan.
Sedangkan pada katoda terjadi reaksi elektrolisis berupa pelepasan gas
hidrogen (ASLa, Moshtaghi, & Hassani, 2014). Elektrokoagulasi
merupakan suatu proses koagulasi kontinyu dengan menggunakan arus
listrik searah melalui peristiwa elektrokimia dimana elektrodanya logam.
Dalam proses ini akan terjadi proses reaksi reduksi dimana logam-logam
akan direduksi dan diendapkan di katoda.
Berlangsungnya proses reaksi elektrodik mengakibatkan terjadinya
perubahan komposisi elektrolit terutama kenaikan pH karena adanya
pelepasan OH− dan gas H2 pada reaksi katodik. Pelepasan gas hidrogen
akan membantu pencampuran dan pembentukan flok-flok. Besar atau
kecilnya pengaruh-pengaruh tersebut tergantung pada rapat arus katoda dan
jumlah Al3+ yang terhidrolisis.

Pembentukan ion logam menjadi koagulan memerlukan perbedaan


potensial antar elektroda. Perbedaan potensial ini diperlukan untuk
menimbulkan reaksi elektrokimia pada masing-masing elektroda. Reaksi
yang terjadi di dalam elektroda adalah reduksi dan oksidasi. Reaksi reduksi
dan oksidasi ditandai oleh adanya tranfer elektron dari zat yang dioksidasi
(reduktor) menjadi zat yang direduksi (oksidator) (Mollah, Schennach,
Parga, & Cocke, 2001). Elektroda dalam proses elektrokoagulasi

Universitas Indonesia
22

merupakan salah satu alat untuk menghantarkan arus listrik ke dalam


larutan agar larutan tersebut terjadi reaksi kimia. Pada reaksi ini terjadi
pergerakan ion-ion positif (kation) yang bergerak pada katoda yang
bermuatan negatif sedangkan ion negatif bergerak menuju anoda yang
bermuatan positif.
Untuk pertimbangan penentuan penggunaan elektrokoagulasi, Mollah
(2001) memberikan gambaran tentang kelebihan dari penggunaan
elektrokoagulasi, yaitu:
1. Elektrokoagulasi membutuhkan peralatan yang sederhana dan mudah
dioperasikan
2. Air limbah yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan effluen
yang jernih, tidak berwarna dan tidak berbau
3. Lumpur yang dihasilkan elektrokoagulasi relatif stabil dan mudah
dipisahkan karena berasal dari oksida logam. Selain itu jumlah yang
dihasilkan sedikit
4. Elektrokoagulasi menghasilkan effluen yang mengandung TDS (Total
Dissolved Solids) dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
pengolahan kimiawi. Jika air hasil pengolahan ini digunakan kembali,
kandungan TDS yang rendah akan mengurangi biaya recovery.
5. Proses elektrokoagulasi memiliki keuntungan dalam mengolah partikel
koloid yang berukuran sangat kecil karena dengan pemakaian arus
listrik menyebabkan proses koagulasi lebih mudah terjadi dan lebih
cepat.
6. Proses elektrokoagulasi tidak memerlukan pemakaian bahan kimia
sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia dan
tidak membutuhkan kemungkinan pengolahan berikutnya jika terjadi
penambahan senyawa kimia yang terlalu tinggi seperti pada penggunaan
bahan kimia.
7. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses
elektrolisis yang terjadi cukup dikontrol dan pemakaian listrik tanpa
perlu memindahkan bagian di dalamnya.

Universitas Indonesia
23

Gambar 2.3 Interaksi dalam Proses Elektrokoagulasi


Apabila dalam suatu larutan elektrolit terdapat dua elektroda dan
dialiri arus listrik searah maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu
gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke anoda
dan (anion) bergerak ke katoda. Sehingga, membentuk flok yang mampu
mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah, hal tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2.3. Elektrokoagulasi memiliki kemampuan
untuk membersihkan berbagai polutan dengan berbagai kondisi mulai dari
warna dari larutan yang mengandung pewarna, zat-zat padat tersuspensi,
logam berat, produk petroleum, humus cair, dan defluoridasi air.
Mekanisme yang mungkin terjadi pada saat proses elektrokoagulasi
berlangsung yaitu arus dialirkan melalui suatu elektroda logam, yang
mengoksidasi logam menjadi kationnya. Secara simultan, air tereduksi
menjadi gas hidrogen dan ion hidroksil (OH -). Kation terhidrolisis di dalam
air yang membentuk hidroksida dengan spesies-spesies utama yang
ditentukan oleh pH larutan. Kation bermuatan tinggi mendestabilisasi
setiap partikel koloid dengan pembentukan komplek polihidrosida
polivalen. Komplek-komplek ini memiliki sifat-sifat penyerapan yang
tinggi, yang membentuk agregat dengan polutan.
Pada penelitian ini, anoda yang digunakan merupakan elektroda
alumunium dikarenakan nilai konduktivitasnya yang cukup tinggi sehingga
dianggap baik untuk menghantarkan muatan-muatan listrik dalam proses

Universitas Indonesia
24

elektrokoagulasi. Selain itu, alumunium dalam bentuk alum Al(OH)3 juga


merupakan salah satu koagulan yang digunakan dalam pengolahan limbah
secara kimiawi.
Terdapat dua macam reaksi yang terjadi pada saat proses
elektrokoagulasi berlangsung, yaitu reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi
pada plat yang berbeda, berikut penjelasan mengenai kedua reaksi yang
terjadi pada anoda maupun katoda sebagai berikut:
A. Reaksi pada Katoda
1. Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali, ion-ion logam alkali
tanah, ion logam Al3+ dan ion Mg2+, maka ion-ion logam alkali ini dapat
direduksi dari larutan, kemudian akan mengalami reduksi adalah pelarut
(air) dan terbentuk gas hidrogen.
2𝐻2𝑂 + 2𝑒− → 2𝑂𝐻− + 𝐻2 (2.11)
2. Jika larutan mengandung asam, maka ion H+ dari asam akan direduksi
menjadi gas hidrogen pada katoda.
2𝐻+ + 2𝑒− → 𝐻2(𝑔) (2.12)
B. Reaksi pada Anoda
Dalam sistem elektrokimia dengan anoda terbuat dari alumunium,
reaksi-reaksi yang terjadi pada elektroda sebagai berikut:
Anoda : 𝐴𝑙 → 𝐴𝑙3+ + 3𝑒− (2.13)
Katoda : 2𝐻2𝑂 + 2𝑒− → 2𝑂𝐻− + 𝐻2 (2.14)
Pembentukan koagulan Al(OH)3:
𝐴𝑙3+ + 3𝑂𝐻− → Al(𝑂𝐻)3 (2.15)
Al(𝑂𝐻)3 + polutan organik → mengadsorpsi zat warna (2.16)

Universitas Indonesia
25

Gambar 2.4 Mekanisme Elektrokoagulasi


(Achmad & Si, 2004)
Gambar 2.4 menunjukkan proses elektrokoagulasi pada suatu limbah.
Ketika proses elektrokoagulasi dimulai, berbagai reaksi berjalan secara
simultan. Pertama, ion logam (Al3+) akan terlepas ke dalam air. Pada
permukaan katoda, air terhidrolisis menjadi gas hidrogen (H 2) dan grup
hidroksil (OH-). Sementara itu, elektron mengalir bebas untuk
mendestabilisasi permukaan bermuatan pada padatan terlarut (pewarna)
dan minyak teremulsi. Kemudian flok akan terbentuk dan mengandung
padatan terlarut (pewarna), logam berat dan kontaminan lainnya.

Universitas Indonesia
26

2.5 State of The Arts


Peneletian terkait usulan ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penelitian terkait Fotokatalisis dan Elektrokoagulasi

No
Referensi Kegiatan & Kesimpulan
.
Fotokatalis CuO/TiO2 dengan 1,5 wt% Cu dalam bentuk serbuk
Kumar et
1 dengan ukuran mikro partikel dapat memproduksi H2 99823
al., 2013
μmol/hgcat dalam 4 jam dari larutan air-gliserol
Degradasi fotokatalitik dengan katalis 4%wt Cu2O-CuO/TiO2 dapat
Ajmal et
2 mendekolorisasi larutan pewarna RB 49 5 ppm sebesar 76% setelah 80
al., 2016
menit.
Kombinasi UV + H2O2 + TiO2 dapat mendegradasi larutan tartrazin
Gupta et
3 6x10-5 M Sebesar 93% pada pH 11 dengan jumlah katalis yang
al., 2011
digunakan sebesar 0,18 mg/L
Hari dan Elektrokoagulasi pada limbah cair tekstil dapat menurunkan kekeruhan
4 Harsanti, sampai 96% pada 24 V dan 30 menit reaksi dengan 6 lembar
2010 alumunium
Thiam et. Elektrokoagulasi dengan sistem Fe/Steel pada larutan NaCl 0,05 M
5
al., 2013 pada pH natural 6,3 dan 0,2 A dapat mendekolorisasi ±96%
Laju pembentukan hidrogen sebesar 9,5 μmol/gh dicapai pada
Ni et al.,
6 kandungan Cu 2,0 wt% dengan etanol sebagai pelarut saat grinding.
2017
Fotokatalis Cu/TiO2 disintesis menggunakan metode sol-gel, lalu Cu
Maldonad direduksi oleh NaBH4. Produksi hidrogen pada pH netral atau basa
7 o et al., lebih baik dari pada pH asam dengan adanya sacrificial electron
2018 donors seperti metanol, gliserol, dan limbah air kota. Larutan gliserol
menyediakan suasana yang terbaik reaktif untuk produksi H2.
Pada pH 6, dengan densitas arus 14 mA/cm 2 dengan waktu
elektrokoagulasi 125 menit dapat mendokolorisasi sebesar 94% dan
Deghles,
8 memproduksi H2 sebesar 16% dari konsumsi energi, dengan kondisi
2017
yang sama pada pH 7 dapat mendekolorisasi limbah sebesar 93% dan
memproduksi H2 sebesar 15% dari konsumsi energi.
Efisiensi dekolorisasi tartrazin dengan elektrokoagulasi tercapai
Modirsahl
dengan menggunakan larutan tartrazin 40 ppm ditambah dengan NaCl
9 a et. Al.,
400 mg/l, densitas arus 120 A/m2, waktu elektrolisis 5 menit, jarak
2006
antar elektroda (Al-Fe) 1,5 cm sebesar 99,21%.
Penggunaan elektroda alumunium dan stainless steel 316 mampu
menghilangkan kekeruhan, zat warna, kromium pada limbah air.
Mahmad Alumunium elektroda menunjukkan dekolorisasi yang lebih besar
10
et al, 2016 daripada menggunakan stainless steel pada tegangan 2,5V,
dekolorisasi adalah 99,78% untuk elektroda alumunium dan 94.76%
untuk elektroda stainless steel dengan pH optimum 4.
11 Slamet et Sistem kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis memperoleh

Universitas Indonesia
27

degradasi pewarna tartrazin sebesar 90,68% dan konsentrasi gas


al., 2018 hidrogen dihasilkan dari sebesar 17,07% pada 15 V dan pH 4.

Dari penelitian yang sudah dilakukan, terdapat beberapa hal yang menjadi dasar
usulan penelitian ini :
1) Dari penelitian Kumar (2013), Ni (2017), dan Maldonado (2018) terbukti bahwa dopan
Cu, CuO, dan/atau Cu2O pada TiO2 dapat meningkatkan kemampuan fotokatalis dalam
memproduksi H2.
2) Pada penelitian Ajmal (2016) terbukti bahwa dopan Cu2O-CuO pada TiO2 dapat
meningkatkan medekolorisasi perwarna sampai dengan 76%.
3) Dalam penelitian Gupta (2011) fotokatalis TiO 2 pada pH 11 (basa) dapat
memfotodegradasi tartrazin sampai dengan 93%
4) Hari (2010), Thiam (2013), Modirsahla (2006) dan Mahmad (2016) menunjukkan
elektrokoagulasi secara efektif dapat mendekolorisasi limbah pewarna dalam berbagai
kondisi pH, voltase, dan tambahan elektrolit yang disesuaikan.
5) Deghles (2017) pada penelitiannya menunjukkan pada pH 6 dapat mendekolorisasi
pewarna 94% dan menghasilkan H2 sebanyak 16% dari konsumsi energi.
6) Slamet (2018) melakukan degradasi tartrazin dan produksi hidrogen secara simultan
dengan kombinasi sistem fotokatalis dan elektrokoagulasi, tapi masih belum diteliti
lebih lanjut pengaruh keadaan pH larutan awal, dan katalis TiO2 yang digunakan masih
mempunyai kelemahan karena tingginya rekombinasi.
Sehingga, untuk pengembangan selanjutnya perlu pH larutan awal akan
divariasikan dan TiO2 akan didopan dengan CuO untuk meningkatkan konduktivitas dan
kemampuannya dalam mendekolorisasi tartrazin dan produksi hidrogen secara simultan.
Riset ini akan menggunakan fotokatalis TiO2 berbasis plat Titanium (Ti) dengan morfologi
nanotubes karena masih jarang dilakukan riset untuk aplikasi dekolorisasi tartrazin
dan/atau produksi hidrogen secara simultan. Dalam penelitian ini akan digunakan
prekursor plat titanium dengan tebal 0,025 mm yang lebih tipis dibandingkan yang
digunakan oleh Slamet (2018). Variasi potensial yang digunakan dalam elektrokoagulasi
telah dilakukan oleh Slamet (2018) pada range 5-15 V, dan didapat voltase terbaik pada 15
V. Pada voltase yang lebih tinggi, kemampuan anoda dan katoda dalam melakukan
oksidasi maupun reduksi semakin meningkat, sehingga pada penelitian ini akan diteliti

Universitas Indonesia
28

rentang potensial yang lebih tinggi yaitu 20-50 V untuk mengetahui pengaruh voltase yang
lebih tinggi pada kemampuan dekolorisasi tartrazin dan produksi H2 secara simultan.

Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tahapan Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian tersajikan dalam diagram alir pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

29 Universitas Indonesia
30

Penelitian dimulai dengan sintesis fotokatalis TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2


nanotubes dengan melakukan variasi komposisi dopan CuO pada komposit TiO 2
nanotubes. Variasi komposisi CuO dilakukan dengan melakukan variasi terhadap
konsentrasi larutan prekursor Cu(NO3)2 dalam melakukan dopan CuO dengan metode
SILAR pada TiO2 nanotubes. Setelah semua fotokatalis selesai disintesis, fotokatalis
dikarakterisasi dengan XRD, UV-Vis DRS, dan SEM-EDX. Lalu dilakukan pengujian
dekolorisasi tartrazin dan produksi H2 secara simultan dan didapat hasil dengan
komposisi CuO terbaik pada TiO2 nanotubes. Komposisi terbaik yang dimaksud adalah
dekolorisasi tartrazin mencapai konsentrasi baku mutu dan/atau mencapai konsentrasi
serendah-rendahnya serta mendapatkan jumlah akumulasi produk H2 sebanyak-
banyaknya. Selanjutnya, dengan menggunakan komposisi dopan CuO terbaik pada
TiO2 nanotubes dilakukan optimasi kondisi operasi dengan memvariasikan pH larutan
awal pada dekolorisasi tartrazin dan produksi H2.
Selanjutnya dilakukan optimasi kondisi operasi elektrokoagulasi dengan
memvariasikan potensial listrik yang digunakan pada elektrokoagulasi untuk
dekolorisasi tartrazin dan produksi H2. Kondisi operasi terbaik terbaik yang dimaksud
adalah dekolorisasi tartrazin mencapai konsentrasi baku mutu dan/atau mencapai
konsentrasi serendah-rendahnya serta mendapatkan jumlah akumulasi produk H 2
sebanyak-banyaknya. Setelah itu. dengan menggunakan potensial listrik terbaik
dilakukan optimasi kondisi operasi dengan memvariasikan pH larutan awal tartrazin
pada dekolorisasi tartrazin dan produksi H2.
Setelah didapat kondisi operasi terbaik yaitu pH baik pada fotokatalisis maupun
elektrokoagulasi, potensial listrik pada elektrokoagulasi, dan komposisi CuO pada TiO 2
nanotubes dilakukan uji pada kombinasi sistem elektrokoagulasi-fotokatalisis.
Selanjutnya akan didapat kondisi operasi terbaik pada elektrokoagulasi-fotokatalisis.
Setelah mendapat seluruh data, diolah, dan dianalisis.

3.2 Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pewarna tartrazin (lokal),
akuades, gliserol, natrium hidroksida, ammonium florida, asam nitrat, asam klorida,
copper(II) nitrate trihydrate analytical grade EMSURE® ACS, plat Ti yang sangat
tipis dengan ketebalan 0,025 mm, anoda alumunium 0,05 mm dan katoda Stainless
Steel 316 (SS-316) 1 mm. Dekolorisasi dan produksi hidrogen secara bersamaan

Universitas Indonesia
31

dilakukan dalam reaktor yang terbuat dari akrilik yang dilengkapi dengan power
supply, tedlar bag, tabung kuarsa, tabung pyrex dan lampu UV blacklight blue dengan
merk Sankyo Denki 80 watt dan memiliki panjang gelombang 352 nm.
Peralatan dan Bahan yang digunakan secara detail dilampirkan pada Lampiran
A.
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan persiapan alat dan bahan untuk proses
fotokatalisis, elektrokoagulasi dan sintesis CuO-TiO2 nanotubes dalam skala lab.
Selanjutnya, rancang bangun reaktor fotokatalisis-elektrokoagulasi dilakukan
untuk mendapatkan kondisi terbaik pada proses tersebut. Kondisi terbaik didapat
dengan menguji kinerja pada dekolorisasi tartrazin dan produksi H2. Parameter
luaran yang diharapkan yaitu mencapai konsentrasi tartrazin di bawah baku mutu
dan/atau mencapai konsentrasi serendah-rendahnya serta mendapat akumulasi
produksi H2 sebanyak-banyaknya. Setelah didapatkan kondisi terbaik dari kedua
proses tersebut, dilakukan kombinasi antara keduanya dan dilihat efektifitas
degradasi tartrazin dan produksi H2 dari kombinasi tersebut.

3.3.1 Sintesis Fotokatalis CuO-TiO2 nanotubes


Sintesis CuO-TiO2 nanotubes dilakukan dengan metode
electrochemical anodization, dimana prosesnya terdiri dari 2 tahap yaitu
pretreatment plat Ti dan proses anodisasi.
• Pretreatment Plat Ti
Sebelum plat titanium dianodisasi, plat Ti (ketebalan 0,025 mm
dengan ukuran 8 cm x 2,5 cm) dibersihkan sampai bersih dengan
menggunakan tissue atau kain yang halus untuk membersihkan kotoran-
kotoran yang ada. Kemudian, plat titanium dicuci dengan akuades.
Setelah itu dilakukan chemical polishing dengan menggunakan campuran
HF : HNO3 : H2O pada perbandingan volume 1 : 3 : 46 (0,2 ml : 0,6 ml :
9,2 ml). Fungsi dari larutan chemical polishing ini adalah untuk
melarutkan pengotor dari oksida-oksida yang menempel pada plat
titanium yang tidak bisa dihilangkan ketika dicuci dengan akuades atau
dengan pengamplasan. Dengan perlakuan tersebut diperoleh permukaan
plat titanium dengan tingkat kemurniaanya menjadi semakin tinggi.

Universitas Indonesia
32

Setelah itu, membersihkan plat Ti dengan akuades, dikeringkan pada


suhu ruang, lalu disimpan dalam desikator.

• Proses Anodisasi plat Ti


Anodisasi dilakukan dalam wadah anodisasi yang berisi
larutan elektrolit sebanyak 160 ml. Larutan elektrolit yang digunakan
adalah gliserol yang diperoleh dari PT. Brataco. Larutan elektrolit ini
mengandung 0,5% massa NH4F (0,888 gram) dan 25% volume air (40
ml), setelah semuanya dicampur diaduk secara konstan dengan
pengadukan magnetik. Pengadukan ini bertujuan untuk
menghomogenkan larutan elektrolit agar didapatkan TiO2 nanotubes
dengan ukuran yang seragam (Perillo & Rodriguez, 2012) dan menambah
kecepatan pergerakan ion didalam larutan (Mohapatra, Misra, Mahajan,
& Raja, 2007). Proses anodisasi dilakukan dengan menghidupkan
Volomax DC Power Supply KXN-645D untuk mengontrol voltase 50 V
selama 2 jam.

Dua elektroda digunakan dalam anodisasi seperti yang ditampilkan


pada Gambar 3.2. Elektroda platina (Pt) dengan ketebalan 2 mm, ukuran
3 cm x 1,5 cm digunakan sebagai katoda, sementara plat Ti yang telah
diberi perlakuan sebelumnya digunakan sebagai anoda. Jarak antara
kedua elektroda sebesar 3 cm. Pemilihan jarak ini mempertimbangkan
ukuran reaktor dan morfologi TiO2 nanotubes yang dihasilkan (Yoriya,
2012). Skema alat proses anodisasi dapat dilihat pada Gambar 3.2:
Setelah anodisasi, plat dibilas dengan akuades, dikeringkan pada suhu
ruang.

Universitas Indonesia
33

Gambar 3.2 Skema Proses Anodisasi


(Bessegato, Guaraldo, & Zanoni, 2014)

• Dopan CuO dengan metode SILAR


Proses dopan CuO menggunakan metode SILAR (Successive Ionic
Layer Adsorption and Reaction). Pertama, TiO2 nanotubes direndam
dalam larutan Cu(NO3)2 pada 75°C selama 10 menit, kemudian
dipindahkan ke akuades selama 30 detik, dan sampel dikeringkan pada
suhu ruang selama 30 detik. Perendaman hingga proses pengeringan
disebut sebagai satu siklus SILAR, dan operasi dilakukan selama 20
siklus untuk deposisi CuO. Studi fotoelektrokimia mengungkapkan
bahwa Cu2O yang didopan pada 80°C menunjukkan photocurrent yang
tinggi dan stabilitas yang baik (Baig, Khattak, Soucase, Beg, & Ullah,
2018).

Lalu dikalsinasi dengan udara pada suhu 500°C selama 3 jam


untuk mendapatkan struktur kristal anatase yang stabil. Setelah itu,
Cu/TiO2 nanotubes hasil kalsinasi dikarakterisasi untuk mendapatkan
Cu/TiO2 nanotubes dengan morfologi tertentu (Dey, Roy, Fabry, &
Schmuki, 2011) dan (Mohapatra et al., 2007).

Universitas Indonesia
34

Gambar 3.3 Metode dopan CuO pada TiO2 nanotubes dengan metode SILAR

3.3.2 Karakterisasi CuO-TiO2 nanotubes


Pada tahap ini, dilakukan karakterisasi untuk mengetahui sifat fisik
dan kimia dari katalis yang telah disintesis dan dikompositkan. Data hasil
karakterisasi digunakan sebagai parameter keberhasilan katalis dan
penanganan dari katalis tersebut. Proses karakterisasi yang dilakukan yaitu:
a. SEM-EDX/Mapping, dilakukan untuk analisis morfologi
permukaan katalis, ukuran partikel katalis, komposisi material katalis,
serta persebaran material penyusun katalis;
b. FTIR, untuk mengetahui karakteristik ikatan yang
terbentuk pada katalis dan sampel;
c. XRD, dilakukan untuk menentukan struktur dan kristalinitas
katalis;
d. UV-Vis DRS, dilakukan untuk menentukan band gap katalis.
3.3.3 Fotokatalisis
Prosedur penelitian fotokatalisis dilakukan sebagai berikut:
1) Membuat larutan induk tartrazin dengan melarutkan 1 gram tartrazin
ke dalam 1000 ml akuades dalam labu takar 1 L.
2) Larutan standar tartrazin sebesar 20 ppm dibuat dengan melarutkan 8
ml larutan induk ke dalam 392 ml akuades.
3) Plat yang sudah dianodisasi pada proses sebelumnya, diletakkan
didalam tabung reaksi yang terdapat pada reaktor.

Universitas Indonesia
35

4) Proses fotokatalisis dilakukan dengan menyalakan mengiradiasi


campuran tersebut dengan sinar UV selama 240 menit dan diaduk
menggunakan magnetic stirrer.
5) Sampel sebanyak 2 – 3 ml diambil setiap 1 jam selama 4 jam dan
dianalisis dengan UV-Vis spektrofotometer pada λ = 427nm.
6) Lubang keluaran tabung elektrolizer dihubungkan dengan tedlar bag
sebagai tempat penampung gas, sehingga apabila timbul gas maka gas
tersebut akan mengalir ke atas.
7) Volume gas hasil fotokatalisis dianalisis dengan Gas Chromatography
menggunakan kolom Molecular Sieve Hidrogen 5A yang telah
diketahui retention time dari gas hidrogennya.
8) Mengamati laju penurunan warna terhadap waktu dan semua
eksperimen dilakukan pada suhu ruang 30°C.
3.3.4 Elektrokoagulasi
Pada tahap elektrokoagulasi, prosedur penelitian yang dilakukan
adalah sebagai berikut:

1) Larutan tartrazin 20 ppm dimasukkan ke dalam reaktor sebanyak 400 ml.


2) Memasang elektroda stainless steel 316 (ketebalan 2 mm, ukuran 10
cm x 2,5 cm) sebagai katoda, sementara 2 plat alumunium (ketebalan 2
mm, ukuran 10 cm x 2,5 cm) digunakan sebagai anoda yang diletakkan
antara plat stainless steel 316
3) Mengatur jarak antar elektroda sebesar 2,75 cm
4) Elektroda positif (anoda) dan elektroda negatif (katoda) dihubungkan
dengan kabel menuju power supply DC.
5) Power Supply DC dihidupkan dengan memberi tegangan 20 V untuk
mengoperasikan proses elektrokoagulasi.
6) Sampel diambil sebanyak 2 – 3 ml setiap 1 jam selama 4 jam dan
dianalisis dengan UV-Vis spektrofotometer pada λ = 427nm (pH 4) dan λ
= 405 nm (pH 11).
7) Lubang keluaran tabung elektrolizer yang dipasang pada plat SS-316
dihubungkan dengan tedlar bag sebagai tempat penampung gas,
sehingga apabila timbul gas maka gas tersebut akan mengalir ke atas.

Universitas Indonesia
36

8) Volume gas hasil elektrokoagulasi dianalisis dengan Gas


Chromatography menggunakan kolom Molecular Sieve Hidrogen 5A
yang telah diketahui retention time dari gas hidrogennya.
3.3.5 Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis
Skema reaktor untuk elektrokoagulasi-fotokatalisis dapat dilihat
pada Gambar 3.4. Dekolorisasi dan produksi hidrogen secara simultan
dilakukan dalam reaktor yang terbuat dari akrilik yang dilengkapi dengan
power supply, tedlar bag, dan lampu UV di dalam fotoreaktor.

Gambar 3.4 Skema Reaktor Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis


Keterangan :
1 = Lampu UV 6 = Tedlar bags
2 = TiO2 nanotubes 7 = Reaktor akrilik
3 = SS 316 8= Tabung kuarsa
4 = Alumunium 9 = Tabung pyrex
5 = Power supply DC

Pada tahap elektrokoagulasi-fotokatalisis, prosedur penelitian yang


dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Memasukkan larutan tatrazin sebanyak 400 ml ke dalam reaktor
2) Plat titanium yang sudah dianodisasi pada proses sebelumnya, diletakkan
didalam tabung reaksi yang terdapat pada reaktor.

Universitas Indonesia
37

3) Memasang elektroda stainless steel 316 (ketebalan 2 mm, ukuran 10 cm x


2,5 cm) sebagai katoda, dan 2 plat alumunium (ketebalan 2 mm, ukuran
10 cm x 2,5 cm) yang diletakkan antara plat stainless steel 316 dengan
jarak 2,75 cm.
4) Menghubungkan anoda dan katoda ke power supply DC.
5) Power Supply DC dihidupkan dengan tegangan 20 V
6) Menyalakan lampu UV (λ = 352 nm) selama 240 menit.
7) Sampel diambil sebanyak 2 – 3 ml setiap 1 jam selama 4 jam dan
dianalisis dengan UV-Vis spektrofotometer pada λ = 427 nm (pH 4) dan λ
= 405 nm (pH 11).
8) Lubang keluaran tabung elektrolizer yang dipasang pada plat SS-316 dan
katalis TiO2 nanotubes dihubungkan dengan tedlar bag sebagai tempat
penampung gas.
9) Volume gas hasil elektrokoagulasi dianalisis dengan Gas Chromatography
menggunakan kolom Molecular Sieve Hidrogen 5A yang telah diketahui
retention time dari gas hidrogennya.
3.4 Variabel Penelitian
Parameter keefektifan dari hasil penelitian ini yaitu tercapainya baku mutu
konsentrasi maksimum tartrazin yang terlarut dalam larutan.
3.4.1 Fotokatalisis
a. Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o pH limbah awal (pH 4 dan 11)

o Konsentrasi larutan prekursor Cu(NO3)2 untuk dopan CuO pada metode


SILAR: 0,04 M, 0,05 M, dan 0,06 M
b. Variabel Terikat
Variabel terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Persentase degradasi tartrazin

o Jumlah hidrogen yang dihasilkan

o Loading Cu (%wt)

c. Variabel Kontrol

Universitas Indonesia
38

Variabel kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Konsentrasi zat warna tartrazin awal (20 ppm atau 20 mg/l)

o Daya lampu UV (λ = 352 nm) yang digunakan (80 W)

3.4.2 Elektrokoagulasi
a. Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o pH limbah awal (pH 4 dan 11)

o Tegangan listrik yang digunakan (20 V, 30 V, 40 V, dan 50 V)

b. Variabel Terikat
Variabel terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Persentase degradasi tartrazin

o Jumlah hidrogen yang dihasilkan

c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Konsentrasi zat warna tartrazin awal (20 ppm atau 20 mg/l)

o Jarak 2,75 cm antar plat

o 2 plat anoda alumunium dan 1 plat katoda SS 316

3.4.2 Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis


a. Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah pH limbah awal (pH
terbaik pada fotokatalisis dan pH terbaik pada elektrokoagulasi)
b. Variabel Terikat
Variabel terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Konversi degradasi tartrazin

o Jumlah hidrogen yang dihasilkan

c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Konsentrasi zat warna tartrazin awal (20 ppm atau 20 mg/l)

Universitas Indonesia
39

o Daya lampu UV (λ = 352 nm) yang digunakan (80 W)

o Jarak 2,75 cm antar plat

o 2 plat anoda alumunium dan 1 plat katoda SS 316

o Tegangan listrik terbaik pada elektrokoagulasi

o Konsentrasi terbaik larutan prekursor Cu(NO3)2 untuk dopan CuO pada


metode SILAR pada fotokatalisis
3.5 Teknik Pengolahan Data
3.5.1 Hasil Karakterisasi
Pengolahan hasil karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Teknik Pengolahan Karakterisasi

Karakterisasi Tujuan Data Teknik Pengolahan Data


Mendapatkan nilai hυ pada
Daya absorpsi, Reflektansi dan F(R) = 0 yang merupakan nilai
UV-Vis DRS celah energi panjang energi celah dari spesi
(band gap) gelombang pengabsorpsi dari beberapa plot
persamaan.
Intensitas dan
Struktur dan Menghitung fasa rutile dan
panjang celah
XRD komposisi anatase serta ukuran struktur
pada sudut 2θ
kristal kristal untuk nanokomposit.
tertentu
Struktur
permukaan Hasil SEM untuk nanokomposit
(morfologi), Foto permukaan menunjukkan morfologi nano
porositas, fotokatalis dan komposit. Grafik dari analisis
SEM/EDX ketebalan, persentase berat kualitatif EDX digunakan untuk
komposisi, atomik dan berat mengetahui komposisi unsur-
persebaran total unsur yang terkandung dalam
elemen sampel.
penyusun
Menganalisis gugus fungsi yang
Mengetahui ditunjukkan oleh puncak
Grafik bilangan
karakteristik serapan yang terdapat pada
FT-IR gelombang vs
permukaan grafik yang didapatkan untuk
transmitan
komposit melihat ikatan pada
nanokomposit.

Universitas Indonesia
40

3.5.2 Rumus Pengolahan Data Karakterisasi


1) XRD
Dari lebar puncak pada grafik XRD, ukuran kristal dapat ditentukan
dari Persamaan Scherrer (Waseda et al., 2011) :
0,89 λ
𝐿= (3.1)
βcosθ
Dengan:
L = Ukuran kristal (nm)
λ = Panjang gelombang radiasi sinar X yang digunakan (nm)
(Cu Kα = 1,5406 Å)
β = Pelebaran garis saat intensitas setengah maksimum (full-width at
halfmaximum /FWHM dalam radian)
θ = Sudut puncak (dalam satuan derajat)
2) UV-Vis DRS
Penentuan nilai energi celah fotokatalis dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer yang dilengkapi dengan sphere yang terintegrasi dengan
menggunakan Persamaan 3.2 (Tauc et al., 1966):
(1−R) 2 k
F(𝑅) = =s (3.2)
2R
Dengan:
F(R) = faktor Kubelka-Munk
k = koefisien absorbsi molar
s = koefisien scattering
R = nilai reflektan yang diukur
Hubungan F dengan energi foton diketahui melalui Persamaan 3.3:
m
F(𝑅) = A(h c−Eg) 2 (3.3)

Dengan:
h = konstanta Planck (6,6261 x 10-34 J.s)
A = konstanta proporsional
Eg = energy gap (energi celah)
m = 1 (untuk transisi langsung yang diperbolehkan)

Universitas Indonesia
41

Dengan membuat plot antara F(R) terhadap hυ dan ekstrapolarsi daerah


liniernya, maka dapat ditentukan nilai hυ pad F(R) = 0 yang merupakan nilai
energi celah dari spasi pengabsorbsi. Besar panjang gelombang didapatkan
melalui persamaan berikut:
hc
𝐸𝑔 = ℎ𝑣 = (3.4)
λ

Dengan h adalah konstanta planck (4,135 x 10-15 eV.s) dan v=c/λ


8
dengan c adalah kecepatan cahaya (3 x 10 m/s) dan λ adalah panjang
gelombang (nm).

3.5.3 Degradasi Zat Warna Tartrazin


Penentuan persen penurunan konsentrasi tartrazin dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1600, Japan). Persen penurunan
konsentrasi tartrazin dihitung dari perumusan:
Cawal −Cakhir
% Penurunan: x 100 % (3.5)
C awal
Dengan Cawal adalah konsentrasi tartrazin mula-mula, sedangkan Cakhir
adalah konsentrasi tartrazin setelah degradasi.
3.5.4 Pengujian Akumulasi Produk Hidrogen
Untuk mengetahui produktifitas H2 yang dihasilkan dapat dilakukan
pengujian menggunakan kromatografi gas (Shimadzu Gas Chromatograph GC-
8A dengan gas pembawa Argon, dan kolom Molecular Sieve 5A). Hasil data
berupa grafik yang menunjukkan luas area peak dan waktu retensi. Kurva
kalibrasi dibuat terlebih dahulu sebelum menghitung jumlah hidrogen yang
terproduksi. Dari hasil kurva kalibrasi didapatkan persamaan regresi dengan
sumbu x merupakan fraksi volume H2 dan sumbu y merupakan luas area peak
H2. Persamaan regresi tersebut yang digunakan untuk menghitung jumlah
hidrogen yang terproduksi dari setiap sampel.

Universitas Indonesia
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian tentang dekolorisasi
zat warna tartrazin dan produksi hidrogen secara simultan dengan kombinasi
elektrokoagulasi-fotokatalisis. Pembahasan ini dimulai dari karakterisasi hasil
fotokatalis TiO2 nanotubes hasil sintesis dengan metode anodisasi dan dopan
CuO dengan metode Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction (SILAR)
pada uji fotokatalisis untuk dekolorisasi tartrazin dan produksi H 2. Uji
elektrokoagulasi menggunakan plat alumunium dan plat stainless steel 316
sebagai pasangan anoda dan katoda. Kinerja penambahan fotokatalis TiO2
nanotubes dan CuO-TiO2 nanotubes ke sistem elektrokoagulasi akan dibahas
pengaruhnya terhadap kemampuan dekoloisasi tartrazin dan produksi hidrogen
secara simultan. Kedua metode ini dibandingkan dalam kemampuannya untuk
menurunkan konsentrasi tartrazin dan produksi hidrogen. Berikut penamaan
sampel dapat dlihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Penamaan substrat mengacu pada variasi percobaan yang dilakukan
Nama Sampel Keterangan

Fotokatalis TiO2 berbentuk lapisan tipis dengan morfologi nanotube di atas


TiO2 nanotubes
substrat plat Titanium (Ti)

Fotokatalis TiO2 berbentuk lapisan tipis dengan morfologi nanotube di atas


0.04 M CuO-TiO2 nanotubes substrat plat Titanium (Ti) dengan dopan CuO melalui metode SILAR dengan
konsentrasi larutan dopan 0,04 M Cu(NO3)2•3H2O

Fotokatalis TiO2 berbentuk lapisan tipis dengan morfologi nanotube di atas


0.05 M CuO-TiO2 nanotubes substrat plat Titanium (Ti) dengan dopan CuO melalui metode SILAR dengan
konsentrasi larutan dopan 0,05 M Cu(NO3)2•3H2O

Fotokatalis TiO2 berbentuk lapisan tipis dengan morfologi nanotube di atas


0.06 M CuO-TiO2 nanotubes substrat plat Titanium (Ti) dengan dopan CuO melalui metode SILAR dengan
konsentrasi larutan dopan 0,06 M Cu(NO3)2•3H2O

42
43

4.1 Karakterisasi Nanokomposit TiO2 nanotubes


Karakterisasi nanokomposit yang dilakukan adalah FTIR, XRD, UV–Vis
DRS, dan SEM-EDX dimana bertujuan untuk melihat sifat fisik dan kimia dari
nanokomposit CuO-TiO2 nanotubes yang telah disintesis, data karakterisasi tersebut
digunakan sebagai parameter keberhasilan dalam pembuatan nanokomposit.

4.1.1 Karakterisasi FTIR


Karakterisasi dengan FTIR (Fourier Transform Infra-Red
Spectroscopy) ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan ikatan
antara -Ti-O-Ti- pada preparasi TiO2 yang telah dilakukan. Untuk
mengidentifikasi keberadaan ikatan pada TiO2 didapat dengan cara
membandingkan profil serapan yang terbentuk antara plat titanium yang
sudah ditumbuhi dengan TiO2 nanotubes dengan plat titanium yang
belum ditumbuhi TiO2 nanotubes (blanko), yang ditampilkan pada
Gambar 4.1
Transmitansi (a.u)

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500


Bilangan Gelombang (cm-1)

Gambar 4.1 Spektrum FTIR dari plat Titanium dan fotokatalis hasil sintesis TiO 2
nanotubes di atas plat Titanium
Berdasarkan spektrum FTIR tersebut terlihat spektrum (1), (2),
(3), dan (4) berturut-turut merupakan spektrum dari 0,06 M CuO-TiO 2
nanotubes, 0,05 M CuO-TiO2 nanotubes, 0,04 M CuO-TiO2 nanotubes,
dan TiO2 nanotubes di atas plat Titanum hasil preparasi sedangkan
spektrum (5) yang berwarna biru muda merupakan spektrum dari blanko
yang hanya mengandung plat titanium saja. Ikatan Ti-O-Ti berada pada

Universitas Indonesia
44

daerah yang memiliki bilangan gelombang sekitar 400-600 cm-1 (Burgos


& Langlet, 1999). Pada Gambar 4.1 menunjukkan adanya puncak pada
bilangan gelombangan 582 cm-1 sebagai reprensentasi dari ikatan -Ti-O-
Ti- yang menandakan keberadaan TiO2. Hal ini menunjukkan bahwa
proses anodisasi dan kalsinasi yang dilakukan telah berhasil
menumbuhkan lapisan tipis TiO2 pada sampel fotokatalis (1), (2), (3), dan
(4).

Gambar 4.2 Spektrum DR-FTIR diamond


(Benea & Rosczyk, 2013)

Dalam spektrum FTIR pada Gambar 4.2 terdapat puncak-puncak


khas dari diamond yang seharusnya tidak terbaca pada spektrum FTIR
sampel TiO2 nanotubes, kemunculan puncak-puncak tersebut
dikarenakan adanya ketidaktelitian alat FTIR, sehingga terbacanya kristal
diamond dari alat FTIR tersebut. Spektrum FTIR dari diamond murni
dapat dilihat pada Gambar 4.2, daerah spektrum dari 2670 hingga 1600
cm-1 mewakili penyerapan dari ikatan rangkap C=C yang khas dari
diamond. Selanjutnya, untuk mengetahui kristal yang terbentuk pada
TiO2 nanotubes dilakukan karakterisasi XRD.

4.1.2 Karakterisasi SEM-EDX


Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan untuk
mengetahui morfologi dan struktur, serta EDX merupakan karakterisasi
yang digunakan untuk mengenali jenis atom pada permukaan yang
mengandung multiatom. Nanokomposit yang dikarakterisasi.

Universitas Indonesia
45

( (
a) b)

1 6
26 nm 1 nm

( (
c) d)
1
4 85 nm
5 nm

Gambar 4.3. Perbandingan Morfologi Nanokomposit pada Perbesaran 50,000x (a) TiO2
nanotubes, (b) 0.04 M CuO-TiO2 nanotubes, (c) 0.05 M CuO-TiO2 nanotubes, dan (d) 0.06
M CuO-TiO2 nanotubes

Gambar 4.3 menunjukkan morfologi TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2


nanotubes. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 4.3, setelah deposisi
dengan nanopartikel CuO, struktur nanotubular dari TiO2 nanotubes dapat
terlihat jelas tanpa perubahan morfologi yang signifikan, ini dikarenakan
jumlah CuO yang masuk dalam jumlah kecil. Tabel 4.2 menyajikan data

Universitas Indonesia
46

diameter dan ketebalan rata-rata nanotubes dalam fotokatalis, diameter dan


ketebalan rata-rata didapatkan dengan mengukur seluruh diameter dan
ketebalan pada nanotubes, lalu dijumlah seluruh data yang didapat dan
dibagi dengan jumlah seluruh nanotubes yang diukur. Dari Tabel 4.2
diamati peningkatan diameter rata-rata tubes tetapi keberadaan dopan
nanopartikel CuO relatif tidak signifikan dalam mempengaruhi ketebalan
dinding tubes. Peningkatan diameter mengindikasikan adanya pengaruh
pada proses kalsinasi fotokatalis, pada fotokatalis yang didopan CuO
kemungkinan ada larutan prekursor Cu(NO3)2 yang masih tertinggal pada
fotokatalis sehingga berpengaruh pada konduktifitas atau adanya mobilitas
dopan CuO yang menyisip dalam bentuk katalis amorf. Sehingga pada
proses kalsinasi dari bentuk amorf menjadi kristal, larutan dopan CuO
meningkatkan mobilitas atau konduktifitas sehingga berperan dalam
meningkatkan diameter tubes.
Dari hasil karakterisasi SEM pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa
TiO2 nanotubes yang terbentuk terorganisasi sendiri (self organized),
teratur, dan rapi. Hasil nanotubes tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah pengadukan mekanik pada proses anodisasi yang
bertujuan untuk mendapatkan ukuran yang seragam (Perillo & Rodriguez,
2012) dan menambah kecepatan pertumbuhan TiO2 nanotubes (Mohapatra
et al., 2007).
Dalam bentuk amorf, TiO2 nanotubes banyak mengandung pori, dan
setelah annealing porinya berkurang sehingga diameter dalam tubes
menjadi lebih besar. Pada bentuk amorf permukaan TiO2 nanotubes
tertutupi oleh sisa gliserol yang ada (Slamet & Kurniawan, 2018). Setelah
proses annealing, diameter dalam tubes menjadi sedikit lebih besar,
sementara tebal dinding tubes relatif tidak berubah dan sebagian gliserol
(warna abu-abu pada Gambar 4.3) berkurang karena terdekomposisi dengan
adanya panas. Pada Gambar 4.3, sebagian gliserol masih tersisa pada
permukaan TiO2 nanotubes (Gambar 4.3.(a)), pada permukaan fotokatalis
CuO-TiO2 nanotubes (Gambar 4.3. (b), (c), dan (d)) dengan adanya dan
meningkatnya jumlah Cu pada fotokatalis terlihat jumlah gliserol yang

Universitas Indonesia
47

tersisa makin berkurang hal ini sesuai dengan data EDX yang menunjukkan
dengan meningkatnya jumlah Cu membuat jumlah C semakin berkurang.
Hal ini dikarenakan dengan adanya Cu pada fotokatalis dapat meningkatkan
konduktivitas sehingga pemanasan pada proses annealing menjadi lebih
baik sehingga gliserol terdekomposisi lebih baik.

Universitas Indonesia
48

Tabel 4.2 Diameter (d) dan ketebalan dinding (x) fotokatalis TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes pada berbagai komposisi dopan Cu

Rata-rata Rata-rata
Cu ukuran ketebalan
Fotokatalis
(%w/w) diameter dalam dinding
tube (nm) tube (nm)
TiO2 nanotubes 0 134 47
0.04 M CuO-
0,4 149 44
TiO2 nanotubes
0.05 M CuO-
1,09 158 50
TiO2 nanotubes
0.06 M CuO-
1,68 166 52
TiO2 nanotubes

Tabel 4.3 Hasil EDX Unsur pada Nanokomposit Hasil Sintesis

% Massa Komponen
Jenis Nanokomposit
Cu Ti O C F
TiO2 nanotubes 0 53,15 28,74 17,15 0,96
0.04 M CuO-TiO2 nanotubes 0,4 60,67 30,23 7,58 1,13
0.05 M CuO-TiO2 nanotubes 1,09 61,25 30,06 6,47 1,4
0.06 M CuO-TiO2 nanotubes 1,68 58,52 33,12 5,97 0,68

Selanjutnya dibandingkan data %massa komponen dari hasil


karakterisasi EDX dari TiO2 nanotubes murni dan CuO-TiO2 nanotubes
mendeteksi karakteristik Cu dari sinyal sinar-X (Tabel 4.3), mengkonfirmasi
bahwa nanopartikel Cu telah berhasil didopan pada TiO 2 nanotubes. Tabel
4.3 menunjukkan persentase massa komponen Cu dalam pada TiO 2
nanotubes yang didopan metode SILAR 20 kali siklus dengan kosentrasi
larutan prekursor Cu(NO3)2 berturut-turut 0,04 M, 0,05 M, dan 0,06 M
Cu(NO3)2 masing-masing adalah 0,4%, 1,09%, dan 1,68%.
4.1.3 Karakterisasi XRD
Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan agar mengetahui
struktur dan fase kristalinitas pada nanokomposit CuO-TiO2 nanotubes hasil
preparasi serta ukuran kristal yang terbentuk, hasil dari karakterisasi
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.4. Adapun TiO2 yang dikarakterisasi
adalah TiO2 yang dipreparasi dengan metode anodisasi selama 2 jam dengan
elektrolit NH4F dalam campuran gliserol dan air, yang kemudian dikalsinasi
pada suhu 500oC selama 3 jam untuk mengubah struktur TiO 2 dari amorf
menjadi fase kristal anatase.

Universitas Indonesia
49

A = TiO2 anatase
Ti = Titanium

(a) TiO2 nanotubes


(b) 0,04 M CuO-
TiO2 nanotubes
(c) 0,05 M CuO-
TiO2 nanotubes
(d) 0,06 M CuO-
TiO2 nanotubes

Gambar 4.4 Perbandingan Difraksi Sinar-X pada Setiap Nanokomposit

Pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa TiO2 nanotubes pada ke-empat
sampel fotokatalis setelah dikalsinasi mengandung fase anatase yang
ditandai dengan munculnya puncak difraksi fasa anatase pada 2θ yaitu pada
puncak 25,52, 37,98, 48,24, 54,08, dan 55,22 (JCPDS No. 21-1272)
selebihnya merupakan puncak dari titanium logam sebagai substratnya.
Puncak XRD Titanium dapat diamati pada puncak 38,56, 40,32, 53,26, dan
63,12 (JCPDS No.89-5009). Puncak pada fasa kristal rutile pada 27,37,
36,02, 41,16, dan 56,53 tidak dapat teramati, menandakan seluruh
fotokatalis TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2 nanotubes yang disintesis berfasa
100% anatase.
Efek dopan CuO terhadap kristalinitas TiO2 nanotubes ditunjukkan
pada Gambar 4.4, hasil XRD menunjukkan bahwa keempat fotokatalis
memiliki fase anatase 100%. Oleh karena itu, dengan adanya dopan CuO
tidak berpengaruh pada pembentukan struktur kristal. Puncak anatase di
keempat sampel lebih tinggi dari puncak Ti mengindikasikan lapisan TiO 2
nanotubes lebih tebal dari lapisan Ti. Dibandingkan dengan penelitian
Slamet dan Kurniawan (2018) yang menggunakan plat Ti yang lebih tebal,

Universitas Indonesia
50

pola XRD TiO2 nanotubes menunjukkan bahwa puncak Ti lebih tinggi


daripada puncak anatase. (Slamet & Kurniawan, 2018).

Pola XRD ini menunjukkan bahwa Ti tidak lebih dominan daripada


TiO2 nanotubes anatase, menunjukkan bahwa Ti sebagai bahan awal
menjadi lebih tipis. Puncak anatase lebih tinggi untuk fotokatalis CuO-TiO2
nanotubes seiring dengan naiknya jumlah Cu yang terdopan (sesuai data
EDX pada Tabel 4.3) pada TiO2 nanotubes, ini mengindikasikan
pembentukan fase anatase lebih baik ketika fotokatalis TiO 2 nanotubes
ditambahkan dengan dopan CuO, ini karena CuO memiliki konduktivitas
yang lebih tinggi (konduktivitas Cu adalah 33 W/mK dan konduktivitas
TiO2 adalah 4,8 W/mK), sehingga dapat menghantarkan panas lebih baik
dan membuat kristal anatase lebih mudah terbentuk selama proses kalsinasi.
Ukuran kristal anatase dapat dihitung menggunakan persamaan Debye
Scherrer seperti pada persamaan 3.1.

Tabel 4.4 Ukuran kristal anatase fotokatalis hasil sintesis

FWHM Ukuran kristal


Nanokomposit 2θ (deg)
(deg) anatase (nm)
TiO2 nanotubes 25,4571 0,2796 28,5
0.04 M CuO-TiO2 nanotubes 25,4698 0,287 27,8
0.05 M CuO-TiO2 nanotubes 25,4648 0,2946 27,0
0.06 M CuO-TiO2 nanotubes 25,4941 0,296 26,9

Dari data FWHM, ukuran kristal dari fotokatalis yang telah


disintesis disajikan pada Tabel 4.4. Dari Tabel 4.4 dapat dilihat ukuran
kristal anatase dalam fotokatalis tidak berubah secara signifikan meskipun
CuO ditambahkan ukuran kristal keempat fotokatalis hasil sintesis berkisar
27-28 nm. Dibandingkan dengan standard powder diffraction card of
JCPDS, copper (Cu) file No. 04–0836, tiga puncak pada nilai 2θ yaitu
43,297, 50,433, dan 74,133 deg yang sesuai dengan bidang (111), (200),
dan (220) Cu tidak dapat diamati. Ini berhubungan dengan CuO dalam
jumlah kecil (konsentrasi CuO dalam TiO2 nanotubes tidak mencapai 3%
sehingga tidak dapat terbaca pada XRD (Hainer et al., 2018) yang
berhubungan dengan indikasi nanopartikel CuO masuk ke dalam kisi TiO 2

Universitas Indonesia
51

nanotubes atau CuO masih dalam bentuk amorf. Konsentrasi rendah 0,4%,
1,09%, dan 1,68% Cu pada TiO2 nanotubes menguntungkan dalam kasus ini
karena tidak akan menyebabkan efek shielding (Janczarek & Kowalska,
2017), sehingga tidak mengurangi sisi aktif fotokatalis TiO2 nanotubes.

4.1.4 Karakterisasi UV-Vis DRS


Karakterisasi UV-Vis DRS (Diffuse Reflectance Spectrocopy)
dilakukan untuk mengetahui besar nilai celah energi (band gap) yang
dipengaruhi oleh adanya dopan logam Cu pada komposit TiO2 nanotubes.
Berikut adalah hasil karakterisasi dari UV – Vis DRS dari nanokomposit
CuO-TiO2 nanotubes dengan variasi komposisi larutan dopan Cu(NO3)2
yang dapat dilihat pada Gambar 4.5.
0.95

1.6
0.9

0.85

0.8

1.4
0.75

0.7

0.65
1.2
37 5 400 425

0.8
Abs

0.6

(d)
0.4
(c)
(b)
0.2 (a)

0
300 350 400 450 500 550 600 650 700

Wavelength (nm)

Gambar 4.5. Perbandingan Spektrum UV-Vis DRS setiap Nanokomposit (a) TiO2
nanotubes, (b) 0.04 M Cu TiO2 nanotubes, (c) 0.05 M Cu TiO2 nanotubes, dan (d) 0.06 M
Cu TiO2 nanotubes
Karakterisasi UV-Vis DRS dilakukan untuk menentukan nilai band
gap fotokatalis. Efek dopan CuO ke TiO2 nanotubes pada kemampuan
penyerapan cahaya ditunjukkan pada Gambar 4.5. Pada sumbu y
menunjukkan absorbansi fotokatalis terhadap sinar dengan panjang
gelombang antara 300-700 nm yang ditunjukkan oleh sumbu x. Dari hasil
ekstrapolasi pada garis lurus pada garis lurus kearah sumbu x dapat diamati

Universitas Indonesia
52

bahwa respon ketiga fotokatalis CuO-TiO2 nanotubes terhadap sinar tampak


lebih baik dibanding TiO2 nanotubes murni. Pada Gambar 4.5 tampak
bahwa terdapat pergeseran absorbansi ke panjang gelombang yang lebih
tinggi dengan adanya dopan CuO melalui metode SILAR, ini menunjukkan
peningkatan kemampuan fotokatalis untuk menyerap cahaya tampak.
Perhitungan celah pita energi diperkirakan menggunakan persamaan
Kubelka-Munk yang terdapat pada persamaan 3.2. F(R) sebanding dengan
koefisien absorpsi. Dari data ini, energi band gap CuO-TiO2 nanotubes
dengan berturut-turut konsentrasi larutan dopan Cu(NO3)2 0,04 M, 0,05 M,
dan 0,06 M adalah 3,03 eV, 2,98 eV dan 2,96 eV, lebih kecil dari TiO 2
nanotubes murni yaitu 3,16 eV. Penurunan celah pita energi terjadi karena
dopan CuO pada nanotubes TiO2 di mana celah pita energi CuO lebih kecil
daripada energi band gap TiO2 (Celah pita CuO = 1,2 eV (Dahrul & Alatas,
2016)) sehingga dapat memperpanjang penyerapan ke daerah cahaya
tampak.
Tabel 4.5 Hasil Perbandingan Nilai Band Gap dari Nanokomposit TiO2 nanotubes dan CuO-
TiO2 nanotubes pada variasi komposisi Cu
Jenis Nanokomposit Band Gap (eV) Panjang Gelombang (nm)
TiO2 nanotubes 3,16 392
0,04 M CuO-TiO2 nanotubes 3,03 409
0,05 M CuO-TiO2 nanotubes 2,98 416
0,06 M CuO-TiO2 nanotubes 2,96 419

4.2 Uji Fotokatalisis pada Dekolorisasi Tartrazin


Uji fotokatalisis dilakukan dalam kotak reaktor dengan bahan akrilik dan
satu sisi bagian terbuat dari kuarsa yang akan disinari oleh lampu UV dengan
panjang gelombang 352 nm. Percobaan fotokatalisis dilakukan dengan
menggunakan fotokatalis TiO2 berupa thin film dengan morfologi nanotubes di atas
2 plat titanium dengan ukuran plat 8 cm x 2,5 cm. Sehingga luas permukaan
fotokatalis yang digunakan adalah 80 cm2. Volume larutan tartrazin yang digunakan
adalah 400 ml.Mekanisme reaksi fotokatalisis TiO2 nanotubes dijelaskan melalui
persamaan reaksi sebagai berikut:
𝑇𝑖𝑂2 + ℎ𝑣 → 𝑇𝑖𝑂2 (ℎ+ + 𝑒−) (4.1)
𝑇𝑖𝑂2 (ℎ+) + 𝐻2𝑂 → •𝑂𝐻 + 𝐻+ + 𝑇𝑖𝑂2 (4.2)

Universitas Indonesia
53

•𝑂𝐻 + tartrazin → 𝐻2𝑂 + 𝐶𝑂2 (4.3)


Pada saat lampu UV dinyalakan terjadi penyinaran, maka dengan adanya
energi foton tersebut, TiO2 akan menghasilkan pasangan elektron dan hole yang
dapat mendegradasi zat warna.

4.2.1 Variasi pH awal larutan awal tartrazin


Nilai pH memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik
limbah dan pembentukan radikal hidroksil. Fotodegradasi zat warna dapat
terjadi melalui mekanisme reaksi, yaitu serangan radikal hidroksil dan
oksidasi langsung oleh hole, tergantung pada keadaan dasar substrat dan pH.
Tartrazin adalah pewarna anionik, mengandung dua sulfonat, satu
azo (N=N) dan satu gugus fungsi karboksilat . pH larutan awal tartrazin
mempengaruhi muatan permukaan TiO2, kekuatan ionik, sifat pewarna, dan
mempengaruhi adsorpsi pewarna pada partikel TiO2. Nilai pH dimana suatu
permukaan oksida tidak bermuatan didefinisikan sebagai zero point charge
(pHzpc). Untuk TiO2, pHzpc bernilai 6,25. Di bawah nilai ini TiO 2 akan
bermuatan positif, sedangkan di atasnya bermuatan negatif berdasarkan:

TiOH + H+ → TiOH2+ (4.4)


TiOH + OH- → TiO- + H2O (4.5)

Pengaruh pH larutan awal zat warna tartrazin terhadap aktivitas


fotokatalis TiO2 nanotubes dapat dilihat dari penurunan kadar tartrazin
dalam larutan tersebut yang dikondisikan pada pH 4 dan pH 11 untuk
mewakili kondisi asam dan kondisi basa. Konsentrasi awal tartrazin yang
digunakan adalah 20 mg/l. Larutan NaOH dan HNO3 ditambahkan pada
larutan tartrazin sehingga diperoleh larutan dengan pH yang diinginkan.
Pengaruh pH larutan awal zat warna tartrazin terhadap aktivitas fotokatalis
TiO2 nanotubes dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Universitas Indonesia
54

20

15

Konsentrasi Tartrazin (mg/l)


10

0
0 2 4 6 8 10 12

Waktu Reaksi (jam)

Gambar 4.6 Profil penurunan konsentrasi tartrazin pada sistem fotokatalisis


pH 4 dan pH 11
pH adalah media reaksi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
sifat permukaan katalis TiO2, yang meliputi muatan permukaan partikel, dan
ukuran agregat partikel katalis yang terbentuknya. Reaksi fotokatalis pada
umumnya bergantung pada pH karena reaksi degradasi fotokatalitik terjadi
pada permukaan katalis. Jumlah muatan positif pada permukaan TiO 2
berkurang dengan meningkatnya pH dan mencapai nol pada pHzpc. Oleh
karena itu pH secara signifikan mempengaruhi sifat adsorpsi-desorpsi
senyawa model pada permukaan katalis.
Perlakuan dengan suasana asam dan basa menunjukkan adanya
penurunan kadar tartrazin lebih baik yaitu pada pH 11 (basa) dimana kadar
tartrazin dalam larutan tartrazin turun sebesar 13,19 mg/l atau 65% setelah
12 jam. Sedangkan pada pH 4 penurunan konsentrasi tartrazin setelah 12
jam reaksi hanya mencapai 20,43% atau turun sebesar 4,12 mg/l dari 20
mg/l ke 16,09 mg/l. Semakin besar pH aktivitas fotokatalisis juga
meningkat, karena pada suasana yang semakin basa fotokatalis TiO 2
bermuatan negatif, dikarenakan banyak OH- yang masuk ke dalam
permukaan fotokatalis bertemu dengan h+ menjadi OH•, dan OH• ini akan
menyerang tartrazin sehingga dapat terjadi degradasi atau dekolorisasi zat
warna tartrazin.

Skema umum dari degradasi fotokatalitik TiO 2 dari senyawa organik


dimulai dengan eksitasi dengan foton suprabandgap, dan terus melalui

Universitas Indonesia
55

reaksi redoks di mana •OH radikal yang terbentuk pada permukaan


fotokatalis, memainkan peran utama. (Ali & Ooi, 2006)

Iradiasi TiO2 dengan energi foton yang besarnya sama sampai lebih
besar dari pada energi band gap nya (hν>Eg = 3,2 eV; λ=390 nm) sehingga
terjadi eksitasi elektron dari pita valensi (vb) ke pita konduksi (cb) dari
partikel. TiO2 anatase memiliki energi band gap 3,2 eV. Berikut adalah
mekanisme yang dijelaskan oleh Gupta et al (2007). Hasil dari proses ini
adalah terjadinya muatan positif pada vb (h+) dan elektron bebas (e-) pada cb
(Persamaan 4.6):

TiO2 + hv → TiO2 (h+ + e-) (4.6)

Holes yang dihasilkan dari fotogenerasi bermigrasi ke permukaan


partikel untuk bereaksi dengan gugus hidroksil yang terikat pada permukaan
(OH-) dan molekul air (H2O) untuk membentuk radikal hidroksil (OH•)
(Persamaan 4.7 dan 4.8)

h+ + OH- → OH• (4.7)


h+ + H2O → H+ + OH• (4.8)

Pembentukan OH• bergantung pada pH larutan. Radikal hidroksil


dikenal sebagai agen pengoksidasi yang kuat dan tidak pandang bulu.
Selama reaksi fotokatalitik, hidroksil dapat bereaksi dengan senyawa
organik pada permukaan semikonduktor, dan akhirnya terjadi degradasi.
(Persamaan 4.9 dan 4.10)

OH• + RH → H2O + R• (4.9)

R• + O2 → ROO• → CO2 (4.10)

4.2.2 Variasi konsentrasi dopan CuO pada TiO2 nanotubes


Pada Gambar 4.7 dapat kita amati dengan adanya dopan CuO pada
fotokatalis TiO2 nanotubes membuat kemampuan dekolorisasi tartrazin
menjadi lebih baik dibandingkan dengan TiO2 nanotubes murni.
Setelah dilakukan reaksi fotokatalisis 12 jam terdapat penurunan
kosentrasi sebesar 18,4%, 29,1%, dan 64% berturut-turut untuk fotokatalis

Universitas Indonesia
56

TiO2 nanotubes, 0,04 M CuO-TiO2 nanotubes, dan 0,06 M CuO-TiO2


nanotubes. CuO berperan sebagai electron trapper untuk menghambat
rekombinasi electron-holes yang meningkatkan kemampuan
fotokatalitiknya. Semakin banyak jumlah dopan CuO pada fotokatalis TiO2
nanotubes akan semakin meningkatkan kemampuan fotokatalitiknya dalam
mendokolorisasi tartrazin.

20

15
Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

10

0
0 2 4 6 8 10 12

Waktu Reaksi (jam)

Gambar 4.7 Profil konsentrasi tartrazin dengan variasi jumlah dopan CuO pada fotokatalis
TiO2 nanotubes
Pada sistem fotokatalis sampai dengan waktu reaksi 12 jam dengan
menggunakan fotokatalis TiO2 nanotubes dan 0,04 M CuO-TiO2 nanotubes
belum dapat mencapai baku mutu. Dengan adanya dopan CuO yang lebih
besar pada fotokatalis 0,06 M CuO-TiO2 nanotubes, baku mutu dapat
dicapai pada waktu reaksi sampai dengan 12 jam. Dibutuhkan waktu yang
lebih lama untuk sistem fotokatalis yang digunakan dikarenakan jumlah
fotokatalis yang digunakan sangat sedikit yaitu hanya berbentuk lapisan
yang sangat tipis di atas plat Titanium dengan luas permukaan plat 80 cm 2
dibandingkan volume larutan tartrazin yang harus didegradasi yaitu 400 ml.

4.3 Uji Elektrokoagulasi pada Dekolorisasi Tartrazin dan Produksi H2


Proses elektrokoagulasi dilakukan pada reaktor elektrokoagulasi yang di
dalamnya terdapat katoda dan anoda sebagai penghantar arus listrik searah yang
tercelup dalam larutan limbah zat warna tartrazin sebagai larutan elektrolit.

Universitas Indonesia
57

Elektroda yang digunakan sebagai katoda adalah stainless steel 316,


sedangkan anodanya adalah 2 buah plat alumnunium. Dalam penelitian ini
digunakan 2 buah plat alumunium selain untuk memperluas permukaan adalah
untuk menyediakan alumunium sebagai katoda yang akan mengalami reduksi
menjadi koagulan, semakin banyak alumunium koagulan yang terbentuk juga dapat
semakin banyak terbentuk yang nantinya akan menyerap zat warna tartrazin dan
menurunkan kosentrasi zat warna tartrazin dengan lebih baik.
Pada proses elektrokoagulasi ini menghasilkan gelembung-gelembung gas,
yang akan membawa kotoran-kotoran yang terbentuk dalam air terangkat ke atas
permukaan air. Flok-flok yang terbentuk mempunyai ukuran yang relatif kecil,
sehingga semakin banyak kotoran yang terangkat ke atas maka ukuran flok akan
semakin besar. Kemudian dapat terjadi proses pengendapan yang akan
mengendapkan partikel-partikel atau flok yang terbentuk. Pada proses
elektrokoagulasi ini terjadi pembentukan endapan dan flok-flok yang terapung
(flotation), hal ini sebagai indikasi bahwa ion-ion Al 3+ mengikat polutan atau
pengotor sangat efektif (Hari B & Harsanti, 2010). Bila alumunium digunakan
sebagai elektroda, reaksi yang terjadi dalam sistem elektrokimia adalah sebagai
berikut:
a) Reaksi pada katoda
Pada katoda akan terjadi reaksi reduksi terhadap kation (ion H+ dan ion-ion
logam). Ion H+ dari suatu asam dalam larutan akan direduksi menjadi gas hidrogen
yang akan bebas sebagai gelembung-gelembung gas, sesuai dengan persamaan
berikut
Reaksi: 2H2O + 2e− → 2OH− + H2 (4.11)

b) Reaksi pada anoda


Pada anoda akan terjadi reaksi oksidasi terhadap anion. Plat alumunium
yang digunakan sebagai anoda akan teroksidasi sesuai reaksi pada persamaan 4.12
dan reaksi pembentukan koagulan pada persamaan 4.13 sebagai berikut
(Modirshahla et al., 2007):
Al(s) → Al3+ + 3e− (4.12)
Al3+(aq) + 3H2O → Al(OH)3 + 3H+ (4.13)

4.3.1 Variasi Tegangan pada Elektroda

Universitas Indonesia
58

Pengaruh voltase terhadap dekolorisasi tartrazin dan produksi H 2


dapat dilihat pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9. Dari gambar tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi voltase yang diberikan pada elektroda
maka akan meningkatkan kemampuan elektroda tersebut dalam
mendekolorisasi larutan zat warna tartrazin dan memproduksi H2 secara
simultan.

20

15
Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

10
(a)

(b)
5
(c)
(d)
0
0 1 2 3 4
Waktu Reaksi (jam)

Gambar 4.8 Profil penurunan konsentrasi tartrazin pada berbagai tegangan terhadap waktu

Pada Gambar 4.8 dapat diamati penurunan konsentrasi zat warna


tartrazin terbesar dicapai pada tegangan 50 volt sebesar 17,5 mg/l dalam
waktu 4 jam. Penurunan konsentrasi tartrazin sebesar 56%, 71%, 82%, dan
88% berturut-turut pada tegangan 20 V, 30 V, 40 V dan 50 V. Hasil
maksimum terjadi pada tegangan 50 Volt yang mampu mendegradasi zat
warna tartrazin dari konsentrasi awal 20 mg/l menjadi 2,45 mg/l. Dari
keempat variasi tegangan tersebut, proses degradasi yang telah mencapai
baku mutu paling cepat adalah 50 volt, yaitu setelah reaksi elektrokoagulasi
kurang dari 1 jam. Penurunan konsentrasi tartrazin dari masing-masing
tegangan dapat dilihat pada lampiran 11. Pada saat proses elektrokoagulasi
berlangsung, aliran listrik yang melewati anoda dan katoda akan
menyebabkan berpindahnya elektron dari katoda menuju anoda. Hal ini
sesuai dengan hukum ohm yang menyatakan bahwa kuat arus (I) berbanding
terbalik dengan hambatan dan berbanding lurus dengan tegangan. Setelah
aliran listrik mengalir maka akan terbentuk molekul Al(OH)3 yang berikatan

Universitas Indonesia
59

dengan zat warna sehingga terbentuk flok-flok yang dapat mengendap. Pada
proses elektrokoagulasi ini menghasilkan gelembung-gelembung gas, yang
akan membawa kotoran-kotoran yang terbentuk dalam air terangkat ke atas
permukaan air. Flok-flok yang terbentuk mempunyai ukuran yang relatif
kecil, sehingga semakin banyak kotoran yang terangkat ke atas maka ukuran
flok akan semakin besar. Kemudian dapat terjadi proses pengendapan yang
akan mengendapkan partikel-partikel atau flok yang terbentuk. Flok-flok
atau endapan ini pada akhir proses dapat diambil dan dipisahkan dari larutan
pada akhir reaksi.
Semakin lama aliran listrik berlangsung maka akan semakin banyak
flok yang terbentuk. Sehingga proses penyerapan zat warna menjadi lebih
efektif.
20

15
Akumulasi Produk H2 (mmol)

10

0
0 1 2 3 4

Waktu reaksi (jam)

Gambar 4.9 Profil akumulasi produk H2 yang dihasilkan terhadap waktu reaksi pada
variasi voltase pada sistem elektrokoagulasi

Gambar 4.9 menunjukkan profil akumulasi produk H 2 yang


dihasilkan terhadap waktu reaksi pada variasi tegangan yang diberikan pada
sistem elektrokoagulasi. Pada produksi H2 dapat diamati setelah 4 jam
reaksi terdapat kenaikan jumlah H2 yang dihasilkan seiring dengan
meningkatnya voltase yang diberikan, yaitu 1,52 mmol, 3,58 mmol, 10,86
mmol, dan 17,03 mmol berturut-turut pada tegangan 20 V, 30 V, 40 V, dan
50 V. Besarnya tegangan dan waktu kontak berpengaruh terhadap
penurunan konsentrasi zat warna dalam limbah maupun jumlah produksi H 2

Universitas Indonesia
60

secara simultan. Semakin besar tegangan yang diberikan semakin banyak Al


yang teroksidasi (Persamaan 4.12) sehingga elektron yang dihasilkan juga
semakin banyak. Dengan banyaknya elektron yang dihasilkan, mampu
mereduksi ion H+ yang terdapat dalam larutan elektrolit sehingga gas
hidrogen yang dihasilkan juga semakin banyak, dimana ion H+ akan
bereaksi dengan elektron membentuk hidrogen, sesuai dengan reaksi pada
persamaan:
2H+ + 2e- → H2 (4.14)
4.3.2 Variasi pH awal larutan tartrazin
pH merupakan parameter penting yang mempengaruhi kinerja
proses elektrokimia (X. Chen, Chen, & Yue, 2000). Untuk menguji
pengaruh pH larutan awal zat warna tartrazin terhadap kemampuan
elektrokoagulasi dalam memproduksi H2 akan diamati pada kedua keadaan
yaitu suasana asam (pH 4) dan basa (pH 11). Konsentrasi awal tartrazin
yang digunakan adalah 20 mg/l. Larutan NaOH dan HNO 3 ditambahkan
pada larutan tartrazin sehingga diperoleh larutan dengan pH yang
diinginkan.
20

15
Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

10

0
0 1 2 3 4

Waktu Reaksi (jam)

Gambar 4.10 Profil konsentrasi tartrazin terhadap waktu pada sistem elektrokoagulasi
pada pH 4 (a) dan pH 11 (b)
Pada Gambar 4.10 dapat diamati profil penurunan konsentrasi
tartrazin terhadap waktu dalam proses elektrokoagulasi. Perlakuan dengan
suasana asam dan basa menunjukkan adanya penurunan kadar tartrazin yang
lebih baik pada pH 11 (basa) dimana konsentrasi tartrazin turun sebesar 17,5
mg/l atau 88% setelah 4 jam mencapai konsentrasi 2,5 mg/l. Sedangkan

Universitas Indonesia
61

pada pH 4 penurunan konsentrasi tartrazin setelah 4 jam reaksi hanya


mencapai 80% atau turun sebesar 16 mg/L dari 20 mg/L menjadi 4,0 mg/L.
Semakin besar pH kemampuan elektrokoagulasi pada dekolorisasi
tartrazin juga meningkat, karena pada suasana yang semakin basa, semakin
banyak terdapat OH- yang akan berikatan dengan Al3+ untuk membentuk
koagulan sesuai dengan persamaan reaksi:

Al3+(aq) + 3OH- → Al(OH)3 (4.15)

Semakin banyak koagulan yang terbentuk akan semakin banyak


flok-flok yang terbentuk untuk menyerap zat warna tartrazin, sehingga
proses dekolorisasi tartrazin pada pH yang lebih besar (basa) menunjukkan
performa yang lebih baik.
Penurunan konsentrasi tartrazin menjadi lebih jenuh setelah
melewati waktu 2 jam, terlihat slope yang jauh lebih landai yang
menandakan keterbatasan kapasitas adsorpsi pada sistem elektrokoagulasi
setelah melewati waktu tertentu. Walaupun jumlah Al(OH) 3 yang dihasilkan
pada pH 11 jauh lebih banyak dibandingkan dengan pH 4, penurunan
konsentrasi tartrazin setelah melewati jam kedua memiliki kemampuan
dekolorisasi tartrazin pada kedua pH relatif sama yaitu dapat menurunkan
sebesar 2,93 mg/l dan 2,97 mg/l berturut-turut untuk pH 4 dan pH 11. Hal
ini mengindikasikan dekolorisasi dengan menggunakan sistem
elektrokoagulasi mempunyai keterbatasan, walaupun dengan jumlah
Al(OH)3 yang banyak pada waktu tertentu tidak sebanding dengan
penurunan konsentrasi tartrazin.

Universitas Indonesia
62

Transmitansi (a.u.)

4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500

Bilangan Gelombang (cm-1)

Gambar 4.11 Hasil karakterisasi FTIR endapan Al(OH)3 pada pH 4 (a) dan pH 11 (b)

Dari pengamatan visual jumlah endapan Al(OH)3 pada pH 11


sekitar 10 kali lipat lebih banyak dibanding dengan endapan Al(OH) 3 pada
pH 4. Untuk mengetahui terbentuknya koagulan Al(OH)3 dalam
penyerapan warna maka dilakukan analisis FTIR terhadap hasil endapan
pada proses elektrokoagulasi. Hasil FTIR pada Gambar 4.11 menunjukkan
adanya endapan Al(OH)3 dimana ikatan Al-O berada pada range 500 – 750
cm-1 dan ikatan –OH pada range 1600 – 1700 cm -1 (Zou et al., 2012). Untuk
hasil FTIR di atas, peak yang menunjukkan hasil tersebut adalah 589,57
cm-1 dan 1636,87 cm-1 untuk koagulan pada pH 4, 590,64 cm-1 dan 1635,75
cm-1 untuk koagulan pada pH 11. Dari pengamatan hasil FTIR endapan
pada akhir reaksi tidak nampak ada perbedaan kandungan pada koagulan
pada perbedaan pH.
Dalam spektrum FTIR pada Gambar 4.11 terdapat puncak-puncak
khas dari diamond yang seharusnya tidak terbaca pada spektrum FTIR
sampel TiO2 nanotubes. Kemunculan puncak-puncak tersebut dikarenakan
terbacanya kristal diamond pada sampling port FTIR pada pembacaan
sampel padat FTIR. Spektrum FTIR dari diamond murni dapat dilihat pada
Gambar 4.2, daerah spektrum dari 2670 hingga 1700 cm -1 pada Gambar4.11
mewakili penyerapan dari ikatan rangkap C=C yang khas dari diamond.

Universitas Indonesia
63

20

18 17.03

16

14

Akumulasi Produk H2 (mmol)


12

10
8.19
8

6 4.75
4 3.29
2.43
1.49
2 0.49 0.81
0.00
0
0 1 2 3 4

Waktu Reaksi (jam)

Gambar 4.12 Profil konsentrasi produksi H2 pada sistem elektrokoagulasi pada pH 4 (a)
dan pH 11 (b)
Perlakuan pada suasana asam dan basa pada sistem elektrokoagulasi
pada Gambar 4.12 menunjukkan produksi H2 lebih baik pada pH 11 (basa)
dimana akumulasi produk H2 dalam sebesar 17,03 mmol setelah 4 jam.
Sedangkan pada pH 4 akumulasi produk H2 yang dihasilkan setelah 4 jam
reaksi hanya mencapai 2,43 mmol. Jumlah H2 yang dihasilkan pada suasana
asam (pH 4) sekitar 7 kali lebih kecil dibandingkan H2 yang dihasilkan pada
suasana basa (pH 11).
Hasil ini sesuai dengan yang sudah dilakukan oleh Gupta et al
(2011). Dalam penelitiannya degradasi fotokatalitik tartrazin dalam kisaran
pH 2,2 hingga 11 pada konsentrasi zat warna tetap 6 × 10-5 M dan dosis
TiO2 (0,18 g/L). Laju degradasi meningkat dalam kisaran netral hingga basa
dibandingkan dengan kondisi pH asam pada penelitian Gupta et al (2011).
Kenaikan laju reaksi dalam kondisi alkali dapat dikaitkan dengan
peningkatan ion hidroksil, yang pada yang menginduksi pembentukan lebih
banyak radikal hidroksil. Radikal hidroksil yang terbentuk akan
menginisiasi proses degradasi. (Gupta et al., 2011)
Pada suasana yang semakin basa, semakin banyak terdapat OH- yang
akan berikatan dengan Al3+ untuk membentuk koagulan sesuai dengan
Persamaan 4.15. Al3+ sebagai produk oksidasi di anoda terus berkurang
karena bereaksi dengan OH- yang melimpah pada suasana basa, sehingga

Universitas Indonesia
64

kesetimbangan reaksi bergeser ke arah kanan atau produk yang membuat


semakin meningkatnya jumlah Al3+ maupun jumlah elektron yang
dihasilkan. Elektron yang dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak akan
meningkatkan kemampuan reduksi H+ pada katoda sehingga jumlah H2 yang
dihasilkan akan meningkat dan lebih baik dibandingkan pada pH 4 atau pH
asam dimana kadar OH- lebih rendah.

4.4 Kombinasi Sistem Elektrokoagulasi dan Fotokatalisis pada Dekolorisasi


Tartrazin dan Produksi H2
Kinerja penambahan fotokatalis CuO-TiO2 nanotubes ke sistem
elektrokoagulasi akan dibahas pengaruhnya terhadap dekolorisasi tartrazin dan
produksi hidrogen secara simultan. Kedua metode ini dibandingkan dalam
kemampuannya untuk menurunkan produksi tartrazin dan hidrogen.

20
Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

15

10

0
0 1 2 3 4

Waktu Reaksi (jam)

20
Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

15
(a)

10

(b)
0 (c)
0 1 2 3 4

Waktu Reaksi (jam)

Universitas Indonesia
65

Gambar 4.13 Profil konsentrasi penurunan konsentrasi tartrazin pada sistem elektrokoagulasi pada
(a) 20 V dan (b) 50 V, sistem fotokatalisis dan kombinasi sistem keduanya pada keadaan pH 11 dan
konsentrasi larutan awal tartrazin sebesar 20 mg/l
Pada Gambar 4.13 bagian (a) dapat diamati profil penurunan konsentrasi
tartrazin pada sistem-sistem tunggal dan kombinasinya. Pada sistem tunggal
elektrokoagulasi dan fotokatalisis, konsentrasi tartrazin menurun berturut-turut
menjadi 8,4 mg/l (menurun 58%) dan 13,8 mg/l (menurun 32%). Kombinasi proses
elektrokoagulasi dengan fotokatalis dapat meningkatkan mendekolorisasi tartrazin
sampai dengan 79% (mencapai konsentrasi tartazin 4,2 mg/l). Hal ini
mengindikasikan bahwa kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan
menggunakan komposit CuO-TiO2 nanotubes dapat beroperasi dengan lebih efektif
dibandingkan dengan sistem tunggal elektrokoagulasi maupun fotokatalisis saja
dibuktikan dengan konversi tartrazin yang lebih tinggi. Fotokatalis CuO-TiO2
dengan morfologi nanotubes sebagai fotokatalis memiliki area permukaan yang
besar sehingga lebih banyak foton memasuki katalis dan mengeksitasi elektron dari
pita valensi ke pita konduksi. Pembentukan e- dan h+ dari eksitasi kemudian
membentuk radikal OH yang dapat menurunkan konsentrasi tartrazin. Dengan
kombinasi elektrokoagulasi dan fotokatalisis, %dekolorisasi yang lebih tinggi dapat
dicapai karena koagulan Al(OH)3 yang terbentuk juga turut mengeliminasi tartrazin
dengan cara mengkoagulasinya.
Untuk mencapai baku mutu berdasarkan peraturan KBPOM (Badan
Nasional Pengawasan Obat dan Makanan) No.37 tahun 2013 tentang batas
maksimum penggunaan zat pewarna seperti tartrazin dapat disetujui aman bagi
lingkungan jika konsentrasinya terkait antara 0-7,5 mg/l. Untuk mencapai
konsentrasi standar kualitas yang aman untuk dibuang ke lingkungan, dapat
dilakukan dengan memberikan dopan CuO pada fotokatalis untuk kombinasi sistem
elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan voltase 20 V, dan dibutuhkan waktu reaksi
dalam sistem sekitar 3 jam, sementara sistem tunggal fotokatalisis dan
elektrokoagulasi pada voltase 20 V, dalam waktu 4 jam belum dapat mencapai baku
mutu.
Untuk mencapai baku mutu lebih cepat dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem kombinasi pada voltase 50 V. Pada Gambar 4.13 bagian (b)
dapat kita amati hasil kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis yang telah

Universitas Indonesia
66

dilakukan pada keadaan terbaik yaitu 50 V pada elektrokoagulasi, dan dengan


konsentrasi dopan 0,06 M CuO pada TiO2 nanotubes, terjadi penurunan konsentrasi
terhadap zat warna tartrazin terbaik selama proses berlangsung. Hasil kombinasi
elektrokoagulasi-fotokatalisis menghasilkan penurunan konsentrasi tartrazin paling
besar dari 20 mg/l menjadi 0,15 mg/l dibandingkan dengan sistem tunggal pada
fotokatalisis atau elektrokoagulasi saja. Sistem kombinasi ini menghasilkan
konversi dekolorisasi (%) yang dihasilkan sebesar 99,26% lebih besar
dibandingkan sistem elektrokoagulasi dan fotokatalisis berturut-turut yaitu 87,6%
dan 32,3%. Pada sistem kombinasi, fotokatalisis turut membantu dalam
mendegradasi tartrazin sehingga beban adsorpsi koagulan pada elektrokoagulasi
berkurang sehingga kemampuan elektrokoagulasi juga meningkat, sehingga pada
kedua sistem dapat mendokolorisasi tartrazin dengan sangat baik hampir mencapai
dekolorisasi sempurna.
Jika dibandingkan dengan persentase dekolorisasi tartrazin pada sistem
kombinasi elektrokoagulasi dan fotokatalisis oleh Slamet (2018) menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan persentase dekolorisasi tartrazin. Pada Slamet (2018)
dihasilkan sebanyak 90,68%, sedangkan dalam penelitian ini dengan penambahan
CuO pada fotokatalis dan optimasi kondisi operasi didapatkan persentase
dekolorisasi tartrazin yang lebih baik yaitu 99,26%.
Dengan naiknya voltase dari 20 V dan 50 V pada kombinasi sistem dapat
menaikkan persentase dekolorisasi tartrazin sebesar 20,5% setelah 4 jam reaksi.
Pada sistem kombinasi pada 20 V dibutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk mencapai
konsentrasi baku mutu, sedangkan dibutuhkan waktu yang jauh lebih singkat yaitu
tidak sampai 1 jam untuk mencapai baku mutu pada kombinasi sistem 50 V.

Universitas Indonesia
67

Gambar 4.14 Pengamatan visual uji kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis pada zat warna
tartrazin per 1 jam pada pH 11, voltase 50 V dengan menggunakan komposit CuO-TiO2 nanotubes
(dari kiri ke kanan: 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan 4 jam)

Pada Gambar 4.14 menunjukkan pengamatan visual uji kombinasi


elektrokoagulasi-fotokatalisis pada zat warna tartrazin per 1 jam pada pH 11,
voltase 50 V dengan menggunakan komposit CuO-TiO 2 nanotubes dapat diamati
terjadi perubahan warna yang siginifikan dari jam pertama sampai dengan jam
keempat. Pada dasarnya, dalam proses fotokatalisis, senyawa organik seperti
tartrazin akan terdegradasi oleh ion hidroksil yang dihasilkan dari proses
fotokatalis menjadi senyawa intermediet yang lebih sederhana. Dimana reaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut :

TiO2 + hv → h+ + e- (4.18)

h+ + e- → energi (4.19)

H2O + h+ → OH• + H+ (4.20)

O2 + e- → OOH• + OH- (4.21)

OOH• + H+ 2e- → OH• + OH- (4.22)

2OH- + 2h+ → 2OH• (4.23)

OH• + polutan organik → CO2 + H2O (4.24)

Hasil uji produksi gas hidrogen secara simultan selama 4 jam dapat dilihat
pada Gambar 4.15. Terlihat bahwa kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan
menggunakan komposit 0,06 M CuO-TiO2 nanotubes menghasilkan volume gas
yang lebih besar dibanding proses pada sistem tunggal fotokatalisis dan
elektrokoagulasi lainnya. Akumulasi produk H2 yang dihasilkan berturut-turut pada
sistem elektrokoagulasi, fotokatalisis, dan kombinasinya yaitu sebesar 0,997 mmol,
0,008 mmol, dan 1,841 mmol. Pada sistem kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis
dihasilkan gas H2 yang lebih banyak dikarenakan gas H2 yang dihasilkan
merupakan akumulasi dari dua proses reduksi air pada proses elektrokoagulasi dan
fotokatalisis. Gambar 4.15 menampilkan profil akumulasi produk H 2 yang
dihasilkan.

Universitas Indonesia
68

1.0

0.8

Akumulasi Produk H2 (mmol)


0.6

0.4

0.2

0.000 0.000 0.000 0.000


0.0
0 1 2 3 4

Waktu Reaksi (jam)

Gambar 4.15 Profil konsentrasi produki H2 pada sistem elektrokoagulasi 20 V, fotokatalisis


menggunakan 0.06 M CuO – TiO2 nanotubes dan kombinasi sistem keduanya pada keadaan pH 11
dan konsentrasi larutan awal tartrazin sebesar 20 mg/l

Dalam proses elektrokoagulasi, hidrogen berasal dari elektrolisis air. Ketika


elektrokoagulasi dikombinasikan dengan fotokatalisis, ada dua cara untuk
membentuk hidrogen. Sehingga jumlah hidrogen yang terbentuk menjadi lebih
banyak. Hal ini terjadi karena proses fotokatalisis menghasilkan elektron untuk
mereduksi H+ yang berasal dari air menjadi H2. Gambar 4.15 menunjukkan bahwa
produksi hidrogen menggunakan kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan
komposit CuO-TiO2 nanotubes meningkatkan produksi H2 sebanyak 83%
dibandingkan dengan hanya menggunakan sistem elektrokoagulasi saja. Sebagai
dopan oksida logam CuO dapat mentransfer elektron ke TiO 2 sehingga jumlah
elektron yang digunakan untuk mereduksi H+ menjadi lebih banyak, sehingga
produksi hidrogen menjadi lebih banyak.
Jika dibandingkan dengan hasil produksi H2 pada sistem kombinasi
elektrokoagulasi dan fotokatalisis oleh Slamet (2018) menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan dalam jumlah produk H2 yang dihasilkan. Pada Slamet (2018)
dihasilkan sebanyak 17,1% H2 dalam 35 ml gas yaitu 0,24 mmol, sedangkan dalam
penelitian ini dengan penambahan CuO pada fotokatalis dan optimasi kondisi
operasi didapatkan H2 6,7 kali lipat yaitu sebesar 23,5% dalam 194 ml atau sekitar
1,84 mmol.

Universitas Indonesia
69

Setelah 1 jam reaksi, dapat dilihat tidak nampaknya kenaikan yang


signifikan dari jumlah produksi H2 pada sistem elektrokoagulasi, sedangkan ketika
dikombinasikan dengan sistem fotokatalisis didapatkan hasil produksi H2 yang naik
lebih signifikan dibandingkan sistem elektrokoagulasi saja. Ini dimungkinkan mulai
jenuhnya katoda dalam mereduksi H+ sehingga dengan adanya fotokatalisis yang
membantu dalam mereduksi H+ pada pita konduksi yang tidak semuanya dapat
direduksi pada katoda setelah waktu 1 jam. Dikarenakan adanya H + yang diambil
sebagai reaktan pada proses reduksi di katoda, kesetimbangan reaksi bergeser lagi
ke kanan, sehingga reaksi reduksi H+ di katoda kemungkinan berjalan dengan baik
kembali nampak dengan naiknya jumlah H2 yang dihasilkan ketika sudah
dikombinasikan dengan sistem fotokatalisis.
Jika dilihat dari Gambar 4.15 dapat diamati adanya hubungan sinergis
antara sistem elektrokoagulasi dan fotokatalisis. Setelah 4 jam reaksi sistem
elektrokoagulasi dan fotokatalisis dapat menghasilkan H2 sebesar 0,997 mmol dan
0,008 mmol berturut-turut. Jika diakumulasikan jumlah H2 yang dihasilkan pada
kedua sistem didapatkan H2 sebesar 1,005 mmol, sedangkan pada eksperimen
didapatkan 1,841 mmol (meningkat 83%). Hal ini mengindikasikan bahwa
kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan menggunakan komposit CuO-TiO2
nanotubes dapat beroperasi dengan lebih efektif dibandingkan dengan sistem
tunggal elektrokoagulasi maupun fotokatalisis saja dibuktikan dengan produksi H2
yang lebih tinggi. Adanya efek sinergis antara kedua sistem dalam menghasilkan H2
diindikasikan adanya akumulasi produk H+ dari H2O ataupun dari larutan elektrolit
kedua sistem yang saling membantu dalam menghasilkan jumlah H + yang lebih
banyak. OH- yang dihasilkan pada katoda di sistem elektrokoagulasi (Persamaan
4.20) selain bertemu dengan Al3+ juga bereaksi dengan hole pada sistem
fotokatalisis, sehingga elektron dari proses fotokatalisis tidak mengalami
rekombinasi dan lebih mudah atau banyak bertemu dengan H+ menghasilkan H2.
Hal ini menunjukkan adanya elektrokoagulasi dapat mengurangi laju rekombinasi
elektron-hole pada sistem fotokatalisis. Berikut adalah mekanisme reaksi produksi
H2 pada sistem fotokatalisis pada Persamaan 4.16 – 4.19 (Ismail & Bahnemann,
2014) dan elektrokoagulasi pada persamaan 4.20 – 4.21 (Thiam et al., 2014).
H2O → H+ + OH- (4.16)

Universitas Indonesia
70

Fotokatalisis:
𝑇𝑖𝑂2 + ℎ𝑣 → h+ + 𝑒− (4.17)
1
Pita Valensi: 𝐻2𝑂 + 2ℎ+ → 𝑂2 (g) + 2𝐻+ (4.18)
2
Pita Konduksi: 2𝐻+ + 2𝑒− → 𝐻2(𝑔) (4.19)
Elektrokoagulasi:
Katoda: 2𝐻2𝑂 + 2𝑒− → 2𝑂𝐻− + 𝐻2(𝑔) (4.20)
2H+ + 2e- → 𝐻2(𝑔) (4.21)

4.5 Tinjauan Kinetika pada Sistem Fotokatalisis, dan Sistem Elektrokoagulasi-


Fotokatalisis pada Dekolorisasi Tartrazin
Katalis/nanokomposit memiliki kinerja fotodegradasi yang berbeda dan
kemampuan adsorpsi yang berbeda, untuk membandingkannya digunakan tinjauan
secara kinetika reaksi. Dalam semua percobaan, sebelum iradiasi, fotokatalis dalam
larutan pewarna diaduk dalam gelap selama 30 menit untuk membentuk
kesetimbangan adsorpsi-desorpsi. Kinetika proses degradasi fotokatalitik telah
dijelaskan dengan baik oleh model kinetik Langmuir-Hinshelwood (M. Zhou, Yu,
& Yu, 2009) (Persamaan 4.25),
dC kKC
r= = (4.25)
dt 1+ KC
dimana r adalah laju fotodegradasi (mgL-1jam-1), k adalah konstanta laju reaksi
(mgL-1jam-1), K adalah koefisien adsorpsi kesetimbangan reaktan (Lmg-1), t adalah
waktu iradiasi (min) dan C adalah konsentrasi reaktan pada waktu t (mgL -1). Ketika
konsentrasi awal reaktan (C0) rendah, integrasi Persamaan 4.25 menghasilkan
persamaan kinetika pseudo-orde-pertama yang disederhanakan (Persamaan 4.26)
(Mahyar, Behnajady, & Modirshahla, 2010):

ln ( CoC )=k ' . t (4.26)

di mana k’ adalah konstanta laju pseudo-orde-pertama (jam -1) dan C0 adalah


konsentrasi awal reaktan (mgL-1) (setelah pembentukan kesetimbangan adsorpsi-
desorpsi). Dikarenakan konstanta laju reaksi tidak berhubungan dengan konsentrasi
zat warna yang diadsorpsi, adalah mungkin untuk menentukan aktivitas

Universitas Indonesia
71

fotokatalitik yang tidak bergantung pada periode adsorpsi sebelumnya dalam gelap
(Shi, Chen, Wang, Wu, & Xu, 2009).
Persamaan kinetika laju reaksi untuk data yang didapatkan (data dapat
dilihat pada Lampiran 11) ditinjau dengan adsorpsi Langmuir-Hinhselwood
(Mahyar et al., 2010) dan orde 2, sehingga penurunan persamaan tersebut untuk
mendapatkan nilai kinetika dapat dilihat pada Persamaan 4.26 untuk adsorpsi
Langmuir-Hinshelwood dan 4.27 untuk orde 2 (penurunan persamaan dapat dilihat
di Lampiran 13).

( C1 − Co1 )=k .t (4.27)

dengan
C = Absorbansi pada waktu tertentu
Co = Absorbansi awal
t = Waktu Reaksi
k = Konstanta Laju Reaksi

Universitas Indonesia
72

4.5.1 Variasi konsentrasi dopan CuO pada TiO2 nanotubes


1.2

1.0 TiO2
f(x) = 0.08 x
R² = 0.99 nanot
ubes
0.8
ln (Co/Ct) Linear
(TiO2
0.6 nanot
ubes)
0.4 0.04
M
f(x) = 0.03 x CuO-
0.2 R² = 0.98 TiO2
f(x) = 0.02 x
R² = 0.98 nanot
0.0 ubes
0 4 8 12
t (jam)

0.10

0.09

0.08
f(x) = 0.01 x
0.07
R² = 0.97
TiO2
0.06 nanotub
1/Ct - 1/Co

es
0.05
Linear
0.04 (TiO2
nanotub
0.03 es)
0.04 M
0.02 CuO-
f(x) = 0 x TiO2
0.01 R² nanotub
f(x)==0.97
0x
es
0.00 R² = 0.98
0 4 8 12

t (jam)

Gambar 4.16 Perbandingan Plot x vs y Nanokomposit (a) Adsorpsi Langmuir (b) Orde 2
pada Dekolorisasi Tartrazin Nanokomposit pada Variasi Konsentrasi dopan CuO pada TiO2
nanotubes

Tabel 4.6 Nilai Laju Kinetika Dekolorisasi Tartrazin Nanokomposit pada Variasi
Konsentrasi dopan CuO pada TiO2 nanotubes
Adsorpsi Langmuir Orde 2
Jenis Sampel
k’ (jam-1) R2 k (L/mg.jam) R2
TiO2 nanotubes 0,0172 0,929 0,0009 0,9435
0,04 M CuO-TiO2 nanotubes 0,0272 0,923 0,0015 0,9239
7
0,06 M CuO-TiO2 nanotubes 0,0849 0,954 0,0064 0,9343
6

Universitas Indonesia
73

Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa untuk katalis TiO 2 nanotubes,
0,04 M CuO-TiO2 nanotubes, dan 0,06 M CuO-TiO2 nanotubes memiliki
nilai R2 yang lebih besar dari 0,92 untuk kedua jenis persamaan laju reaksi,
sedangkan untuk nanokomposit 0,06 M CuO-TiO2 nanotubes memiliki R2
yang lebih kecil jika mengikuti persamaan orde dua dan R2 yang lebih besar
dari 0,95 jika mengikuti persamaan adsorpsi Langmuir.
Perbandingan kinerja katalis dan nanokomposit dalam fotodegradasi
tartrazin dapat ditinjau dari nilai konstanta laju reaksinya yang didapatkan
berdasarkan persamaan laju reaksi dengan R2 yang lebih tinggi. Nilai
konstanta laju reaksi untuk katalis TiO2 nanotubes mengikuti reaksi orde
dua dalam fotodegradasi tartrazin sebesar 0,0009 L/mg.jam. Pada
fotokatalis 0,04 M CuO-TiO2 nanotubes mempunyai nilai R2 yang tidak jauh
berbeda antara laju reaksi orde dua dan adsorpsi Langmuir berturut-turut
yaitu 0,9239 untuk dan 0,9237. Pada fotokatalis 0,06 M CuO-TiO2
nanotubes mengikuti persamaan adsorpsi Langmuir dan memiliki nilai
konstanta laju reaksi yang paling besar di antara sampel lain yaitu 0,0064
L/mg.jam, hal tersebut dikarenakan dengan adanya dopan CuO yang
bertindak sebagai electron trapper yang mencegah rekombinasi holes dan
elektron sehingga OH radikal yang terbentuk bisa lebih banyak yang dapat
mempercepat laju degradasi tartrazin. Dari hasil XRD pada Gambar 4.4
dapat dilihat semakin banyak CuO yang didopan pada TiO2 nanotubes,
maka akan semakin meningkatkan jumlah kristal anatase yang terbentuk.
Dengan naiknya jumlah kristal anatase yang terbentuk, maka sisi aktif
fotokatalis semakin meningkat, dan reaksi adsorpsi pada fotokatalis juga
semakin baik yang menyebabkan makin banyaknya CuO yang terdopan
membuat kinetika reaksi semakin mengikuti persamaan adsorpsi Langmuir.

4.5.2 Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada Dekolorisasi Tartrazin


Perhitungan persamaan kinetika dari persamaan adsorpsi Langmuir
dan orde dua berupa plot grafik antara x dan y yang dapat dilihat pada
Gambar 4.17, dan Gambar 4.18 dan nilai kinetika reaksi dapat dilihat pada
Tabel 4.7 berturut-turut untuk sistem elektrooagulasi, fotokatalisis dan
kombinasinya pada 20 V dan 50 V.

Universitas Indonesia
74

f(x) = 0
R² = 0 1.80

1.60
Elektrokoagul
1.40
asi (20V)
1.20 f(x) = 0.33 x Linear
R² = 0.96 (Elektrokoagul
asi (20V))
ln (Co/Ct)

1.00
Fotokatalis
0.80 (0,06 Cu)-
TiO2
0.60 nanotubes)

0.40 Linear
(Fotokatalis
(0,06 Cu)-
0.20
f(x) = 0.06 x TiO2
R² = 0.94 nanotubes))
0.00
0 1 1 2 2 3 3 4 4

t (jam)

0.20

0.18

0.16
Elektrokoa
0.14 gulasi
(20V)
f(x) = 0.03 x
0.12 Linear
R² = 0.85
1/Ct - 1/Co

(Elektrokoa
0.10 gulasi
(20V))
0.08
Fotokatalisi
0.06 s (0,06M
f(x) = 0.02 x CuO-TiO2
0.04 R² = 0.97 nanotubes)
0.02 Linear
f(x) = 0.01 x (Fotokatali
0.00 R² = 0.98 sis (0,06M
0 1 1 2 2 3 3 4 4 CuO-TiO2
nanotubes)
t (jam) )

Gambar 4.17 Perbandingan Plot x vs y Nanokomposit (a) Adsorpsi Langmuir (b) Orde 2
pada Fotokatalisis, Elektrokoagulasi dan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada 20 V

Universitas Indonesia
75

5
Elektrokoag
f(x) = 1.22 x
ulasi (50V)
R² = 1
4 Linear
(Elektrokoag

ln (Co/Ct)
ulasi (50V))
3
Fotokatalisis
(0.06M
CuO-TiO2
2 f(x) = 0.56 x
nanotubes)
R² = 0.98
Linear
1 (Fotokatalisi
s (0.06M
CuO-TiO2
0 f(x) = 0.1 x nanotubes))
R² = 0.97
0 1 2 3 4

t (jam)

6 Elektrokoa
gulasi
5 (50V)
Linear
f(x) = 1.12 x (Elektroko
4
1/Ct - 1/Co

R² = 0.78 agulasi
(50V))
3 Fotokatalis
is (0.06M
CuO-TiO2
2 nanotubes)
Linear
1 (Fotokatali
sis (0.06M
CuO-TiO2
0 f(x) = 0.08 x nanotubes)
f(x)==10.98
0 R² 0.01 x1 2 2 3 3 4 4 )
R² = 0.98
t (jam)

Gambar 4.18 Perbandingan Plot x vs y Nanokomposit (a) Adsorpsi Langmuir (b) Orde 2
pada Fotokatalisis, Elektrokoagulasi dan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada 50 V

Tabel 4.7 Nilai Laju Kinetika Reaksi pada Fotokatalisis, Elektrokoagulasi dan
Elektrokoagulasi-Fotokatalisis
Adsorpsi
Orde 2
Sistem Langmuir
k’ (jam-1) R2 k (L/mg.jam) R2
Fotokatalisis (0.06M CuO- 0,889
0,1028 0,0061 0,9314
TiO2 nanotubes) 9
Elektrokoagulasi (20V) 0,3275 0,908 0,0151 0,9361
0,941
Elektrokoagulasi (50V) 0,5595 0,0797 0,9575
9
Elektrokoagulasi-
0,988
Fotokatalisis (20V, 0.06M 0,2055 0,0337 0,7346
4
CuO-TiO2 nanotubes)
Elektrokoagulasi-
0,998
Fotokatalisis (50V, 0.06M 1,2022 1,154 0,6621
2
CuO-TiO2 nanotubes)

Universitas Indonesia
76

Pada reaksi fotokatalisis dan elektrokoagulasi baik pada voltase 20


V maupun 50 V dalam mendokolorisasi tartrazin keduanya mempunyai nilai
R2 yang lebih besar dari 0,93 pada persamaan laju reaksi orde dua dan R 2
yang lebih kecil pada persamaan adsorpsi Langmuir. Ini mengindikasikan
reaksi pada sistem tunggal fotokatalisis dan elektrokoagulasi pada sistem ini
mengikuti persamaan laju reaksi dua. Tahap penentu laju reaksi pada sistem
elektrokoagulasi tunggal yaitu proses reduksi air menjadi OH- (Persamaan
4.11) pada katoda dan oksidasi Al menjadi Al 3+ (Persamaan 4.15) pada
anoda. Tahap penentu laju reaksi pada fotokatalisis yaitu proses degradasi
tartrazin oleh OH• (Persamaan 4.24)
Pada sistem kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis pada kedua
voltase mempunyai nilai R2 yang lebih besar dari 0,98 pada persamaan
adsorpsi Langmuir dan R2 yang lebih kecil pada persamaan laju reaksi orde
dua baik pada voltase 20 V maupun 50 V. Hal ini menunjukkan ketika
dikombinasikan kedua sistem mengikuti persamaan adsorpsi Langmuir.
Tahap penentu laju reaksi pada sistem kombinasi adalah proses adsorpsi
melalui penggunaan OH- yang dihasilkan oleh katoda (Persamaan 4.11)
maupun dari watersplitting fotokatalisis digunakan pada sistem fotokatalisis
untuk memproduksi OH• (Persamaan 4.23) yang akan mendegradasi
tartrazin melalui proses adsorpsi di sisi aktif katalis, serta pembentukan
Al(OH)3 (Persamaan 4.15) sebagai koagulan yang akan mengadsorpsi
tartrazin.
Dari hasil kinetika reaksi dari persamaan adsorpsi Langmuir dan laju
reaksi orde dua, dapat dilihat adanya perbedaan voltase tidak mempengaruhi
adanya perbedaan kinetika reaksi.
Konstanta laju dekolorisasi tartrazin pada reaksi fotokatalisis adalah
0,0061 L/mg.jam sekitar 2,5 kali lebih rendah dibandingkan dengan
konstanta dekolorisasi tartrazin oleh reaksi elektrokoagulasi 20 V yaitu
sebesar 0,0151 L/mgjam. Pada sistem fotokatalis yang digunakan adalah
lapisan tipis katalis TiO2 yang jumlahnya sangat sedikit, sehingga jika
dibandingkan dengan laju reaksi elektrokoagulasi dengan suplai daya
tentunya jauh berbeda. Kelebihan penggunaan sistem elektrokoagulasi yaitu

Universitas Indonesia
77

pada sistem ini tidak menghasilkan intermediet yang dapat menghasilkan


warna. Pada sistem elektrokoagulasi untuk mendokolorisasi zat warna
menggunakan proses adsorpsi langsung oleh koagulan yang dihasilkan dari
reaksi Al3+ yang dihasilkan pada anoda dengan OH- dari hasil reduksi pada
katoda ataupun dari larutan elektrolit tartrazin. Sedangkan pada sistem
fotokatalisis dekolorisasi tartrazin melalui proses fotodegradasi melalui
beberapa senyawa antara sesuai pada mekanisme reaksi pada Gambar 2.2.
Dalam proses degradasi tartrazin melewati beberapa mekanisme reaksi yang
menghasilkan beberapa intermediet yang kemungkinan masih dapat
menghasilkan warna sebelum mencapai degradasi sempurna. Pada proses
fotodegradasi tartrazin dilakukan oleh fotokatalis TiO2 yang terjadi pada
permukaan nanokomposit dengan reaksi yang dapat dilihat pada Persamaan
2.1 – 2.5.
Tartrazin tidak langsung seluruhnya terdegradasi menjadi CO 2 dan
H2O tetapi melalui beberapa rangkaian reaksi hingga menjadi CO2 dan H2O
tersebut. Tartrazin bereaksi dengan radikal OH sehingga kehilangan unsur
C, N, S hingga sepenuhnya menjadi CO2 dan H2O.
Konstanta laju reaksi pada elektrokoagulasi meningkat dengan
signifikan dengan mengkombinasikan sistem fotokatalisis dengan
elektrokoagulasi. Efek sinergis ini terjadi karena OH- yg dihasilkan pada
katoda di sistem elektrokoagulasi (Persamaan 4.21) selain bertemu dengan
Al3+ juga bereaksi dengan hole. Sehingga radikal hidroksil yang dihasilkan
akan lebih banyak dan dekolorosasi menjadi lebih baik. (efek sinergis pada
dekolorisasi tartrazin)
Konstanta laju dekolorisasi tartrazin pada kombinasi
elektrokoagulasi-fotokatalis pada voltase 50 V meningkat 5,8 kali lipat
dibandingkan dengan sistem kombinasi pada 20 V. Hal ini dikarenakan
dengan meningkatnya voltase akan lebih mudah pada anoda menghasilkan
Al3+ yang akan bereaksi dengan OH- membentuk koagulan yang menyerap
zat warna tartrazin lebih banyak dan lebih cepat pada voltase yang tinggi.

Universitas Indonesia
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Pada sistem elektrokoagulasi, kondisi terbaik yang didapatkan yaitu pada pH
laurtan awal tartrazin pada pH 11 dibandingkan dengan pH 4 dan voltase 50 V
di antara rentang 20-50 V sehingga didapat dekolorisasi tartrazin sebesar
87,6% dan produksi H2 sebesar 17,03 mmol. Semakin besar voltase semakin
baik kemampuan elektrokoagulasi dalam mendekolorisasi tartrazin dan
produksi H2 secara simultan.
2. Pada sistem fotokatalisis, kondisi terbaik didapatkan pada pH laurtan awal
tartrazin pada pH 11 dibandingkan dengan pH 4 dan konsentrasi dopan CuO
pada fotokatalis 0,06 M CuO-TiO2 nanotubes yaitu sebesar 1,68% Cu sehingga
didapat dekolorisasi tartrazin sebesar 32,3% dan produksi H 2 sebesar 0,008
mmol
3. Mengkombinasikan sistem fotokatalisis pada sistem elektrokoagulasi dapat
meningkatkan kemampuan dekolorisasi tartrazin sebesar 20,8% pada voltase
20 V dan 11,7% pada voltase 50 V. Kenaikan voltase pada sistem
elektrokoagulasi-fotokatalisis dapat meningkatkan laju dekolorisasi sehingga
dapat mencapai baku mutu dalam waktu yang lebih singkat. Serta
meningkatkan produksi H2 sebesar 84,7% pada sistem kombinasi pada voltase
20 V.

5.2 Saran
Berikut saran yang menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya, antara lain yaitu:
1. Melakukan tinjauan kinetika laju reaksi lebih lanjut pada sistem
elektrokoagulasi, fotokatalisis, dan kombinasinya.
2. Melakukan optimasi fotokatalis dengan dopan logam, non-logam, atau logam
oksida lain pada fotokatalisis TiO 2 nanotubes untuk digunakan pada kombinasi
sistem elektrokoagulasi dan fotokatalisis.
3. Melakukan variasi penggunaan jumlah dan/atau luas permukaan plat
fotokatalis, jumlah dan jenis plat anoda maupun elektroda.

Universitas Indonesia
4. Melakukan uji BET dan XPS pada fotokatalis hasil sintesis

Universitas Indonesia
80

5. Menganalisis TOC pada sampel larutan dekolorisasi tartrazin, sehingga dapat


dianalisis senyawa intermediet yang ada pada proses fotokatalisis dan
elektrokoagulasi.

Universitas Indonesia
81

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R., & Si, M. (2004). Kimia Lingkungan. penerbit ANDI. In: Yogyakarta.
Ajmal, A., Majeed, I., Malik, R., Iqbal, M., Nadeem, M. A., Hussain, I., . . . Nadeem, M.
A. (2016). Photocatalytic degradation of textile dyes on Cu2O-CuO/TiO2 anatase
powders. Journal of environmental chemical engineering, 4(2), 2138-2146.
Ali, R., & Ooi, B. S. (2006). Photodegradation of new methylene blue N in aqueous
solution using zinc oxide and titanium dioxide as catalyst. Jurnal Teknologi, 45(1),
31-42.
Amorós-Pérez, A., Cano-Casanova, L., Castillo-Deltell, A., Lillo-Ródenas, M., & Román-
Martínez, M. (2019). TiO2 Modification with transition metallic species (Cr, Co,
Ni, and Cu) for photocatalytic abatement of acetic acid in liquid phase and propene
in gas phase. Materials, 12(1), 40.
Anku, W. W., Oppong, S. O., & Govender, P. P. (2018). Bismuth-Based Nanoparticles as
Photocatalytic Materials. Bismuth: Advanced Applications and Defects
Characterization, 25.
ASLa, D., Moshtaghi, M., & Hassani, D. (2014). Efficiency evaluation of
electrocoagulation process for removal of chromium (heavy metal) from municipal
and industrial wastewater. Indian Journal of Sciences Research, 7, 1258-1268.
Bahadir, M., & Burdurlu, Y. (1999). Proceedings of the 1st International Workshop on
Environmental Quality and Environmental Engineering in the Middle East Region-
October 5-7, 1998 Selcuk University, Tr-Konya, Turkey-Foreword. In: INST
LEBENSMITTELTECHNOLOGIE ANALYTISCHE CHEMIE TECHNISCHE
UNIVERSITAT ….
Baig, F., Khattak, Y. H., Soucase, B. M., Beg, S., & Ullah, S. (2018). Effect of anionic
bath temperature on morphology and photo electrochemical properties of Cu 2O
deposited by SILAR. Materials Science in Semiconductor Processing, 88, 35-39.
Benea, I. C., & Rosczyk, B. R. (2013). Crystallographic defects and mechanical strength of
micron size monocrystalline diamond. Intertech, Baltimore, MD, USA.
Bessegato, G. G., Guaraldo, T. T., & Zanoni, M. V. B. (2014). Enhancement of
photoelectrocatalysis efficiency by using nanostructured electrodes. In Modern
Electrochemical Methods in Nano, Surface and Corrosion Science: IntechOpen.
Burgos, M., & Langlet, M. (1999). The sol-gel transformation of TIPT coatings: a FTIR
study. Thin Solid Films, 349(1-2), 19-23.
Chen, C.-K., Chen, Y.-W., Lin, C.-H., Lin, H.-P., & Lee, C.-F. (2010). Synthesis of CuO
on mesoporous silica and its applications for coupling reactions of thiols with aryl
iodides. Chemical Communications, 46(2), 282-284.
Chen, W., Wang, Y., Liu, S., Gao, L., Mao, L., Fan, Z., . . . Jiang, Z. (2018). Non-noble
metal Cu as a cocatalyst on TiO2 nanorod for highly efficient photocatalytic
hydrogen production. Applied Surface Science, 445, 527-534.
Chen, X., Chen, G., & Yue, P. L. (2000). Separation of pollutants from restaurant
wastewater by electrocoagulation. Separation and purification technology, 19(1-2),
65-76.
Chiarello, G. L., Dozzi, M. V., Scavini, M., Grunwaldt, J.-D., & Selli, E. (2014). One step
flame-made fluorinated Pt/TiO2 photocatalysts for hydrogen production. Applied
Catalysis B: Environmental, 160, 144-151.

Universitas Indonesia
82

Dahrul, M., & Alatas, H. (2016). Preparation and optical properties study of CuO thin film
as applied solar cell on LAPAN-IPB Satellite. Procedia Environmental Sciences,
33, 661-667.
Dey, T., Roy, P., Fabry, B., & Schmuki, P. (2011). Anodic mesoporous TiO 2 layer on Ti
for enhanced formation of biomimetic hydroxyapatite. Acta Biomaterialia, 7(4),
1873-1879.
dos Santos, T. C., Zocolo, G. J., Morales, D. A., de Aragão Umbuzeiro, G., & Zanoni, M.
V. B. (2014). Assessment of the breakdown products of solar/UV induced
photolytic degradation of food dye tartrazine. Food and chemical toxicology, 68,
307-315.
Ghane, M., Sadeghi, B., Jafari, A., & Paknejhad, A. (2010). Synthesis and characterization
of a Bi-Oxide nanoparticle ZnO/CuO by thermal decomposition of oxalate
precursor method. International Journal of Nano Dimension, 1(1), 33-40.
Gupta, V. K., Jain, R., Nayak, A., Agarwal, S., & Shrivastava, M. (2011). Removal of the
hazardous dye—tartrazine by photodegradation on titanium dioxide surface.
Materials Science and Engineering: C, 31(5), 1062-1067.
Hainer, A. S., Hodgins, J. S., Sandre, V., Vallieres, M., Lanterna, A. E., & Scaiano, J. C.
(2018). Photocatalytic hydrogen generation using metal-decorated TiO 2: sacrificial
donors vs true water splitting. ACS Energy Letters, 3(3), 542-545.
Hari, B., & Harsanti, M. (2010). Pengolahan limbah cair tekstil menggunakan proses
elektrokoagulasi dengan sel Al-Al. Paper presented at the Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”, ISSN.
Heciak, A., Morawski, A. W., Grzmil, B., & Mozia, S. (2013). Cu-modified TiO 2
photocatalysts for decomposition of acetic acid with simultaneous formation of C1–
C3 hydrocarbons and hydrogen. Applied Catalysis B: Environmental, 140, 108-114.
Janczarek, M., & Kowalska, E. (2017). On the origin of enhanced photocatalytic activity of
copper-modified titania in the oxidative reaction systems. Catalysts, 7(11), 317.
Kadirvelu, K., Faur-Brasquet, C., & Cloirec, P. L. (2000). Removal of Cu (II), Pb (II), and
Ni (II) by adsorption onto activated carbon cloths. Langmuir, 16(22), 8404-8409.
Kumar, D. P., Shankar, M. V., Kumari, M. M., Sadanandam, G., Srinivas, B., &
Durgakumari, V. (2013). Nano-size effects on CuO/TiO 2 catalysts for highly
efficient H 2 production under solar light irradiation. Chemical Communications,
49(82), 9443-9445.
Kumar, S. V., Huang, N., Lim, H., Marlinda, A., Harrison, I., & Chia, C. H. (2013). One-
step size-controlled synthesis of functional graphene oxide/silver nanocomposites at
room temperature. Chemical Engineering Journal, 219, 217-224.
Lee, C., Low, K., & Gan, P. (1999). Removal of some organic dyes by acid-treated spent
bleaching earth. Environmental technology, 20(1), 99-104.
Mahdia Ista M, R. (2016). Preparasi TiO2 Nanorods dari Titanil Sulfat Hasil Pelarutan
Ilmenite. Universitas Sebelas Maret,
Mahmad, M. K. N., Rozainy, M. M. R., Abustan, I., & Baharun, N. (2016).
Electrocoagulation process by using aluminium and stainless steel electrodes to
treat total chromium, colour and turbidity. Procedia Chemistry, 19, 681-686.
Mahyar, A., Behnajady, M. A., & Modirshahla, N. (2010). Characterization and
photocatalytic activity of SiO2-TiO2 mixed oxide nanoparticles prepared by sol-gel
method.
Maldonado, M. I., López-Martín, A., Colón, G., Peral, J., Martínez-Costa, J., & Malato, S.
(2018). Solar pilot plant scale hydrogen generation by irradiation of Cu/TiO 2

Universitas Indonesia
83

composites in presence of sacrificial electron donors. Applied Catalysis B:


Environmental, 229, 15-23.
Matthews, R. W., & McEvoy, S. R. (1992). A comparison of 254 nm and 350 nm
excitation of TiO2 in simple photocatalytic reactors. Journal of Photochemistry and
Photobiology A: Chemistry, 66(3), 355-366.
Meriam Suhaimy, S., Abd Hamid, S., Lai, C., Hasan, M., & Johan, M. (2016). TiO 2
nanotubes supported Cu nanoparticles for improving photocatalytic degradation of
simazine under UV illumination. Catalysts, 6(11), 167.
Modirshahla, N., Behnajady, M., & Kooshaiian, S. (2007). Investigation of the effect of
different electrode connections on the removal efficiency of Tartrazine from
aqueous solutions by electrocoagulation. Dyes and Pigments, 74(2), 249-257.
Mohapatra, S. K., Misra, M., Mahajan, V. K., & Raja, K. S. (2007). Design of a highly
efficient photoelectrolytic cell for hydrogen generation by water splitting:
Application of TiO2-x C x nanotubes as a photoanode and Pt/TiO 2 nanotubes as a
cathode. The Journal of Physical Chemistry C, 111(24), 8677-8685.
Mollah, M. Y. A., Schennach, R., Parga, J. R., & Cocke, D. L. (2001). Electrocoagulation
(EC)—science and applications. Journal of hazardous materials, 84(1), 29-41.
Ni, D., Shen, H., Li, H., Ma, Y., & Zhai, T. (2017). Synthesis of high efficient Cu/TiO 2
photocatalysts by grinding and their size-dependent photocatalytic hydrogen
production. Applied Surface Science, 409, 241-249.
Okamoto, K.-i., Yamamoto, Y., Tanaka, H., Tanaka, M., & Itaya, A. (1985).
Heterogeneous Photocatalytic Decomposition of Phenol over TiO 2 Powder.
Bulletin of the Chemical Society of Japan, 58(7), 2015-2022.
doi:10.1246/bcsj.58.2015
Palupi, E. (2006). Degradasi Methylene Blue dengan Metode Fotokatalisis dan
Fotoelektrokatalisis Menggunakan Film TiO2. Skripsi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, IPB, Bogor.
Pathan, H., & Lokhande, C. (2004). Deposition of metal chalcogenide thin films by
successive ionic layer adsorption and reaction (SILAR) method. Bulletin of
Materials Science, 27(2), 85-111.
Perillo, P. M., & Rodriguez, D. F. (2012). Growth control of TiO 2 nanotubes in different
physical environments. Nanoscience Methods, 1(1), 194-200.
Sánchez‐Polo, M., Rivera‐Utrilla, J., Prados‐Joya, G., & Ocampo‐Pérez, R. (2012).
Metronidazole photodegradation in aqueous solution by using photosensitizers and
hydrogen peroxide. Journal of Chemical Technology & Biotechnology, 87(8),
1202-1208.
Serpone, N., & Emeline, A. (2002). Suggested terms and definitions in photocatalysis and
radiocatalysis. International Journal of Photoenergy, 4(3), 91-131.
Shi, J.-w., Chen, S.-h., Wang, S.-m., Wu, P., & Xu, G.-h. (2009). Favorable recycling
photocatalyst TiO2/CFA: Effects of loading method on the structural property and
photocatalytic activity. Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 303(1-2), 141-
147.
Slamet, Purnama, E., Riyani, K., & Gunlazuardi, J. (2009). Effect of copper species in a
photocatalytic synthesis of methanol from carbon dioxide over copper-doped titania
catalysts. World Applied Sciences Journal, 6(1), 112-122.
Slamet, Arbianti, R., & Marliana, E. (2007). Pengolahan limbah Cr (VI) dan Fenol dengan
Fotokatalis Serbuk TiO2 dan CuO/TiO2. Reaktor, 11(2), 78-85.

Universitas Indonesia
84

Slamet & Kurniawan, R. (2018). Degradation of tartrazine and hydrogen production


simultaneously with combination of photocatalysis-electrocoagulation. Paper
presented at the AIP Conference Proceedings.
Sreekantan, S., Zaki, S. M., Lai, C. W., & Tzu, T. W. (2014). Post-annealing treatment for
Cu-TiO2 nanotubes and their use in photocatalytic methyl orange degradation and
Pb (II) heavy metal ions removal. The European Physical Journal Applied Physics,
67(1), 10404.
Sun, Q., Li, Y., Sun, X., & Dong, L. (2013). Improved photoelectrical performance of
single-crystal TiO2 nanorod arrays by surface sensitization with copper quantum
dots. ACS Sustainable Chemistry & Engineering, 1(7), 798-804.
Susetyaningsih, R., & Endro Kismolo, P. (2008). Kajian Proses Elektrokoagulasi Untuk
Pengolahan Limbah Cair. Paper presented at the Seminar Nasional IV SDM
Teknologi Nuklir Yogyakarta.
Thiam, A., Zhou, M., Brillas, E., & Sirés, I. (2014). Two-step mineralization of Tartrazine
solutions: study of parameters and by-products during the coupling of
electrocoagulation with electrochemical advanced oxidation processes. Applied
Catalysis B: Environmental, 150, 116-125.
Wang, Q., Qiao, J., Xu, X., & Gao, S. (2014). Controlled synthesis of Cu nanoparticles on
TiO2 nanotube array photoelectrodes and their photoelectrochemical properties.
Materials Letters, 131, 135-137.
Wu, N.-L., & Lee, M.-S. (2004). Enhanced TiO 2 photocatalysis by Cu in hydrogen
production from aqueous methanol solution. International Journal of Hydrogen
Energy, 29(15), 1601-1605.
Yoriya, S. (2012). Effect of inter-electrode spacing on electrolyte properties and
morphologies of anodic TiO2 nanotube array films. Int. J. Electrochem. Sci,
7(9454), e9464.
Young, L., & Yu, J. (1997). Ligninase-catalysed decolorization of synthetic dyes. Water
Research, 31(5), 1187-1193.
Zhou, M., Yu, J., & Yu, H. (2009). Effects of urea on the microstructure and photocatalytic
activity of bimodal mesoporous titania microspheres. Journal of Molecular
Catalysis A: Chemical, 313(1-2), 107-113.
Zhou, Y., Qin, Y., Dai, W., & Luo, X. (2019). Highly Efficient Degradation of Tartrazine
with a Benzoic Acid/TiO2 System. ACS Omega, 4(1), 546-554.
Zou, J., Dai, Y., Tian, C., Pan, K., Jiang, B., Wang, L., . . . Xing, Z. (2012). Structure and
properties of noncrystalline nano-Al (OH) 3 reclaimed from carbonized residual
wastewater treatment sludge. Environmental science & technology, 46(8), 4560-
4566.

Universitas Indonesia
LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Alat dan Bahan


A. Sintesis CuO-TiO2 nanotubes
1.Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Stopwatch g. Furnace
b.Magnetic stirrer h. Power Supply DC
c. Pinset i. Timbangan
d.Sonikator j. Kaca arloji
e. Spatula k. Alat gelas
f. Magnetic bar
2.Bahan
Adapun bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1.Gliserol 5. Akuades
2.NH4F 6. Plat Ti
3.HF 7. Cu(NO3)2•3H2O
4.HNO3
B. Elektrokoagulasi
1.Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Power supply DC e. pH meter
b. Kabel f. Stopwatch
c. Pinset g.Tedlar bag
d. Alat gelas
2.Bahan
Adapun bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Zat warna tartrazin d. Plat alumunium
b. Akuades e. Plat stainless steel
c. pH meter

Universitas Indonesia
C. Fotokatalisis
1.Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Lampu UV d.Stopwatch
b. Alat gelas
c. pH meter

2. Bahan

Adapun bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Zat warna tartrazin

c. Plat TiO2 nanotube

b. Akuades

D. Kombinasi Elektrokoagulasi-Fotokatalisis

1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

Universitas Indonesia
a. Power supply DC

b. Kabel

c. Pinset

d. Lampu UV

e. Alat gelas

f. pH meter

g. Stopwatch

2. Bahan

Adapun bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Zat warna tartrazin


b. Akuades
c. Plat TiO2 nanotubes
d. Plat alumunium
e. Plat stainless steel 316
Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR plat Titanium, TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes
Plat Titanium

Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR plat Titanium, TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes
TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR plat Titanium, TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes (lanjutan)
0,04 M CuO- TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR plat Titanium, TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes (lanjutan)
0,05 M CuO- TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR plat Titanium, TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes (lanjutan)
0,06 M CuO- TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 3. Hasil Karakterisasi EDX TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2 nanotubes
Instrumen : JSM-IT300 InTouchScope™ SEM-EDX
Voltase : 15,00 kV
Perbesaran : 50,000 x
Pixel : 5120 x 3840
1. TiO2 nanotubes

2. 0.04 M CuO– TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 3. Hasil Karakterisasi EDX TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2 nanotubes(lanjutan)

3. 0,05 M CuO– TiO2 nanotubes

4. 0,06 M CuO– TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 4. Hasil Karakterisasi XRD TiO2 nanotubes

Universitas Indonesia
Lampiran 4. Hasil Karakterisasi XRD 0,04 M CuO- TiO2 nanotubes (lanjutan)

Universitas Indonesia
Lampiran 4. Hasil Karakterisasi XRD 0,05 M CuO- TiO2 nanotubes (lanjutan)

Universitas Indonesia
Lampiran 4. Hasil Karakterisasi XRD 0,06 M CuO- TiO2 nanotubes (lanjutan)

Universitas Indonesia
Lampiran 5. Hasil Karakterisasi UV – Vis DRS TiO2 nanotubes dan CuO-TiO2
nanotubes
Perhitungan band gap dari katalis didapatkan dari plot grafik antara (F(R)hv) 1/2
dengan hv. Nilai band gap dapat dihitung dengan persamaan 3.1 dan 3.2. Nilai band gap
merupakan perpotongan gradien terbesar pada grafik dengan sumbu x.

3.4

3.2

2.8
(F(R)hv)1/2

2.6

2.4

2.2

1.8
2.9 2.95 3 3.05 3.1 3.15 3.2 3.25 3.3

hv (eV)

Gambar 5.1 Plot hv vs (F(R)hv)1/2 Spektrum DRS Nanokomposit (a) TiO2 nanotubes, (b) 0.04 M CuO-TiO2
nanotubes, (c) 0.05 M CuO-TiO2 nanotubes, dan (d) 0.06 M CuO-TiO2 nanotubes

Band gap didapatkan dari perpotongan antara ekstrapolasi garis pada daerah linear
dan menariknya ke sumbu x. Melalui Gambar 5.1 didapatkan energi band gap TiO2
nanotubes, CuO-TiO2 nanotubes dengan berturut-turut konsentrasi larutan dopan Cu(NO 3)2
0,04 M, 0,05 M, dan 0,06 M adalah 3,16 eV, 3,03 eV, 2,98 eV dan 2,96 eV. Besar panjang
gelombang didapatkan melalui persamaan 3.4.

Universitas Indonesia
Lampiran 6. Penentuan Panjang Gelombang dan Kalibrasi Tartrazin

1. Membuat larutan induk tartrazin


1 gram serbuk tartrazin dilarutkan dengan akuades sebanyak 250 ml hingga larut
kemudian ditambahkan akuades dalam labu takar 1 L hingga tanda batas diperoleh
larutan tartrazin 1000 ppm atau 1000 mg/l sebanyak 1000 ml.

2. Membuat larutan standar tartrazin


Larutan standar dibuat dari larutan induk yang diencerkan menjadi 100 ppm atau 100
mg/l sebanyak 50 ml dan diencerkan kembali sesuai dengan konsentrasi yang telah
ditentukan.

Tabel 6.1 Data Kalibrasi Spektrofotometri Tartrazin


A.

B. pH 4 (λ = 427 nm)

Konsentras
Absorbansi
i (mg/l)
0 0
2 0,093
4 0,17
6 0,255
8 0,344
10 0,435
12 0,514
14 0,606
16 0,679
18 0,764
20 0,857

C. pH 11 (λ = 405 nm)

Konsentrasi
Absorbansi
(mg/l)

Universitas Indonesia
0 0
2 0,083
4 0,14
6 0,199
8 0,265
10 0,331
12 0,393
14 0,46
16 0,527
18 0,603
20 0,651

Universitas Indonesia
Lampiran 6. Penentuan Panjang Gelombang dan Kalibrasi Tartrazin
(Lanjutan)

0.9

0.8 f(x) = 0.04 x


R² = 1
0.7

0.6

0.5
Absorbansi

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

Gambar 6.3 Kurva kalibrasi tartrazin pada pH 4 (λ = 427 nm)

0.9

0.8

0.7

0.6 f(x) = 0.03 x


R² = 1
0.5
Absorbansi

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Konsentrasi Tartrazin (mg/l)

Gambar 6.2 Kurva kalibrasi tartrazin pada pH 11 (λ = 405 nm)

Universitas Indonesia
Lampiran 7. Hasil Karakterisasi FTIR Endapan Al(OH)3
Pada pH larutan awal 4

Universitas Indonesia
Lampiran 7. Hasil Karakterisasi FTIR Endapan Al(OH)3
Pada pH larutan awal 11

Universitas Indonesia
Lampiran 8. Data Kalibrasi H2
Uji produksi hidrogen dilakukan pada setiap uji untuk melihat seberapa
besar pengaruh uji terhadap produksi hidrogen secara simultan. Uji produktifitas
hidrogen dilakukan dengan menampung gas menggunakan tedlar bag, lalu dianalisis
dengan Gas Chromatography (GC). Kurva kalibrasi hidrogen menghubungkan antara
konsentrasi gas H2 dan luas area dari data yang dihasilkan oleh instrumen GC.
Kalibrasi dilakukan dengan memasukkan gas dalam syringe dengan kapasitas 1 ml
yang diisi dengan variasi volume gas H2 pada rentang 0 – 1 ml lalu diencerkan dengan
udara sampai 1 ml. Sampel kemudian diinjeksikan ke dalam GC dengan kolom
Molecular Sieve 5A. Waktu retensi dan luas area dari peak (kromatogram) yang
terbentuk dicatat. Data Kalibrasi dapat dilihat pada tabel 8.1 dibawah ini:

Tabel 8.1 Tabel Kalibrasi Gas Hidrogen

N Waktu Fraksi Volume


Luas Area
o Retensi H2 (VHidrogen/Vtot)
1 0 0 0
2 0,738 0,02 52809
3 0,653 0,04 85620
4 0,713 0,06 128425
5 0,748 0,08 171233
6 0,753 0,1 214038
7 0,808 0,2 428076
8 0,807 0,3 642113
9 0,773 0,4 860000
10 0,765 0,5 1070210
11 0,79 0,6 1284227
12 0,787 0,7 1461885
13 0,789 0,8 1665196
14 0,795 0,9 2006039
15 0,792 1 2140378

Universitas Indonesia
2500000

2000000 f(x) = 2143052.44 x


R² = 1

1500000

Luas Area
1000000

500000

0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fraksi Volume (VHidrogen/Vtot)

Gambar 8.1 Kurva kalibrasi fraksi volume gas hidrogen terhadap luas area

Dari hasil kurva kalibrasi, diperoleh persamaan garis yang dapat digunakan
untuk menghitung gas hidrogen (H2) yang dihasilkan dari setiap uji. Gas H 2 yang
dihasilkan dilakukan ditampung dari awal reaksi sampai dengan selesai di dalam
tedlar bag, dan setiap jam diambil sampel 1 ml dengan syringe untuk diuji akumulasi
produk H2 nya dengan instrument GC. Lalu didapatkan data berupa luas area dan
waktu retensi. Luas area dari peak khas untuk gas hidrogen tersebut dihubungkan
dengan persamaan garis yang telah didapatkan dari kurva kalibrasi sehingga
didapatkan akumulasi produk H2 dari setiap sampel uji, baik dari uji elektrokoagulasi,
fotokatalisis, maupun kombinasi fotokatalisis-elektrokoagulasi.

Universitas Indonesia
Lampiran 9. Percobaan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis untuk Dekolorisasi Pewarna
Tartrazin dan Produksi H2 secara simultan dengan komposit CuO-TiO2 nanotubes

Gambar 9.1 Percobaan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada pH 11, voltase 50 V dengan menggunakan 2 plat
fotokatalis 0.06 M CuO-TiO2 nanotubes pada t = 0

Gambar 9.2 Percobaan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada pH 11, voltase 50 V dengan menggunakan 2 plat
fotokatalis 0.06 M CuO-TiO2 nanotubes pada t = 4 jam

Universitas Indonesia
Lampiran 10. Hasil Uji Elektrokoagulasi, Fotokatalisis, dan Kombinasi Sistem pada
Dekolorisasi Pewarna Tartrazin

Gambar 10.1 Pengamatan Visual Uji Elektrokoagulasi pada Larutan Pewarna Tartrazin per 1 jam pada
voltase 50 V, pada pH 11 dengan Konsentrasi Larutan Tartrazin Awal 20 mg/l (Dari Kiri ke Kanan: 1 jam, 2
jam, 3 jam, dan 4 jam)

Gambar 10.2 Pengamatan Visual Uji Fotokatalisis pada Larutan Pewarna Tartrazin per 1 Jam Menggunakan
Komposit 0.06 M CuO-TiO2 nanotubes, pada pH 11 dengan Konsentrasi Larutan Tartrazin Awal 20 mg/l
(Dari Kiri ke kanan: 1 jam, 2 jam, dan 4 jam)

Gambar 10.3 Pengamatan Visual Uji Kombinasi Fotokatalisis pada Larutan Pewarna Tartrazin per 1 Jam
pada voltase 50 V Menggunakan Komposit 0.06 M CuO-TiO2 nanotubes, pada pH 11 dengan Konsentrasi
Larutan Tartrazin Awal 20 mg/l (Dari Kiri ke kanan: 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan 4 jam)

Universitas Indonesia
Lampiran 11. Hasil Uji Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi, Fotokatalisis, dan Kombinasinya

A. Uji Elektrokoagulasi pada Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin


Tabel 11.1 Data Eksperimental Kinetika Reaksi Dekolorisasi Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi
Absorbansi Rata-Rata Larutan Tartrazin
t pH 11 50 V
(jam) 20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 0,6510 0,6510 0,6510 0,6510 0,857 0,6510
1 0,5800 0,4630 0,356 0,278 0,516 0,278
2 0,4010 0,3525 0,2750 0,1790 0,2980 0,1790
3 0,3115 0,2380 0,1520 0,1280 0,2400 0,1280
4 0,2890 0,1880 0,1140 0,0810 0,1725 0,0810
Konsentrasi Tartrazin (ppm atau mg/l)
t pH 11 50 V
(jam) 20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 19,7273 19,7273 19,7273 19,7273 20,0234 19,7273
1 17,5758 14,0303 10,7879 8,4242 12,0561 8,4242
2 12,1515 10,6818 8,3333 5,4242 6,9626 5,4242
3 9,4394 7,2121 4,6061 3,8788 5,6075 3,8788
4 8,7576 5,6970 3,4545 2,4545 4,0304 2,4545
Persentase Konversi Dekolorisasi Tartrazin (%)
t pH 11 50 V
(jam) 20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
1 10,9063 28,8786 45,3149 57,2965 39,7900 57,2965
2 38,4025 45,8525 57,7573 72,5038 65,2275 72,5038
3 52,1505 63,4409 76,6513 80,3379 71,9953 80,3379
4 55,6068 71,1214 82,4885 87,5576 79,8716 87,5576

Universitas Indonesia
Lampiran 11. Hasil Uji Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi, Fotokatalisis, dan Kombinasinya (lanjutan)

B. Uji Fotokatalisis pada Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin


Tabel 11.2 Data Eksperimental Kinetika Reaksi Dekolorisasi Tartrazin pada Sistem
Fotokatalisis
Absorbansi Rata-Rata Larutan Tartrazin
0,06 M CuO -
pH 11
TiO2 nanotubes
t 0 M CuO
0.04 M 0.06 M
(jam) - TiO2
pH 4 pH 11 CuO - TiO2 CuO - TiO2
nanotube
nanotubes nanotubes
s
0 0,8835 0,6770 0,6770 0,6770 0,6770
1 0,8140 0,5560 0,6340 0,6160 0,5560
2 0,7940 0,5180 0,6240 0,6050 0,5180
3 0,7815 0,4880 0,6220 0,6015 0,4880
4 0,7690 0,4580 0,6200 0,5980 0,4580
Konsentrasi Tartrazin (ppm atau mg/l)
0,06 M CuO -
pH 11
TiO2 nanotubes
t 0 M CuO
0.04 M 0.06 M
(jam) - TiO2
pH 4 pH 11 CuO - TiO2 CuO - TiO2
nanotube
nanotubes nanotubes
s
0 20,2174 20,3916 20,3916 20,3916 20,3916
1 18,6270 16,7470 19,0964 18,5542 16,7470
2 18,1693 15,6024 18,7952 18,2229 15,6024
3 17,8833 14,6988 18,7349 18,1175 14,6988
4 17,5973 13,7952 18,6747 18,0120 13,7952
Persentase Konversi Dekolorisasi Tartrazin (%)
0,06 M CuO -
pH 11
TiO2 nanotubes
t 0 M CuO
0.04 M 0.06 M
(jam) - TiO2
pH 4 pH 11 CuO - TiO2 CuO - TiO2
nanotube
nanotubes nanotubes
s
0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
1 7,8664 17,8730 6,3516 9,0103 17,8730
2 10,1302 23,4860 7,8287 10,6352 23,4860
3 11,5450 27,9173 8,1241 11,1521 27,9173
4 12,9598 32,3486 8,4195 11,6691 32,3486

Universitas Indonesia
Lampiran 11. Hasil Uji Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi, Fotokatalisis, dan Kombinasinya (lanjutan)

C. Uji Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin


Tabel 11.3 Data Eksperimental Kinetika Reaksi Dekolorisasi Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi-Fotokatalisis
Absorbansi Rata-Rata Larutan Tartrazin
t 50 V, 0,06 M CuO - TiO2 nanotubes
(jam) pH 4 pH 11
0 0,8835 06770
1 0,2700 0.,1860
2 0,2150 0,0665
3 0,0955 0,0160
4 0,0575 0,0050
Konsentrasi Tartrazin (ppm atau mg/l)
t 50 V, 0,06 M CuO - TiO2 nanotubes
(jam) pH 4 pH 11
0 20,2174 20,3916
1 6,1785 5,6024
2 4,9199 2,0030
3 2,1854 0,4819
4 1,3158 0,1506
Persentase Konversi Dekolorisasi Tartrazin (%)
t 50 V, 0,06 M CuO - TiO2 nanotubes
(jam) pH 4 pH 11
0 0,0000 0,0000
1 69,4397 72,5258
2 75,6650 90,1773
3 89,1907 97,6366
4 93,4918 99,2614

Universitas Indonesia
Lampiran 11. Hasil Uji Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi, Fotokatalisis, dan Kombinasinya (lanjutan)

D. Uji Elektrokoagulasi, Fotokatalisis dan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada


Dekolorisasi Larutan Pewarna Tartrazin (pH 11)
Tabel 11.4 Data Eksperimental Kinetika Reaksi Dekolorisasi Tartrazin pada Sistem
Elektrokoagulasi, Fotokatalisis, dan Elektrokoagulasi-Fotokatalisis pada pH 11
Absorbansi Rata-Rata Larutan Tartrazin
Elektrokoagulasi-
t Fotokatalisis, Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi Fotokatasis, 0,06
(jam 0,06 M CuO-TiO2 -Fotokatasis,
20 V M CuO-TiO2
) nanotubes TiO2 nanotubes
nanotubes
0 0,660 0,6770 0,660 0,660
1 0,557 0,5560 0,539 0,543
2 0,454 0,5180 0,418 0,425
3 0,366 0,4880 0,341 0,282
4 0,277 0,4580 0,263 0,140
Konsentrasi Tartrazin (ppm atau mg/l)
Fotokatalisis, Elektrokoagulasi-
t Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi 0,06 M CuO-TiO2 Fotokatasis, 0,06
(jam -Fotokatasis,
20 V nanotubes M CuO-TiO2
) TiO2 nanotubes
nanotubes
0 20,000 20,3916 20,000 20,000
1 16,879 16,7470 16,334 16,440
2 13,758 15,6024 12,667 12,879
3 11,076 14,6988 10,319 8,561
4 8,394 13,7952 7,970 4,242
Persentase Konversi Dekolorisasi Tartrazin (%)
Fotokatalisis, Elektrokoagulasi-
t Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi 0,06 M CuO-TiO2 Fotokatasis, 0,06
(jam -Fotokatasis,
20 V nanotubes M CuO-TiO2
) TiO2 nanotubes
nanotubes
0 0,00 0,0000 0,00 0,00
1 15,61 17,8730 18,33 17,80
2 31,21 23,4860 36,67 35,61
3 44,62 27,9173 48,41 57,20
4 58,03 32,3486 60,15 78,79

Universitas Indonesia
Lampiran 12. Hasil Uji Produksi H2 pada Sistem Elektrokoagulasi, dan
Elektrokoagulasi-Fotokatalisis
Tabel 12.1 Data Eksperimental Produksi H2 pada Sistem Elektrokoagulasi

Luas area peak H2


pH 11 50 V
t (jam)
20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 0 0 0 0 0 0
1 259826 360613 555389 624813 154926 624813
2 270960 469455 562664 632997 252154 632997
3 274524 582924 747903 841391 462681 841391
4 298775 686045 1263902 1421890 747072 1421890
Fraksi Volume H2 (Vhidrogen/Vtot)
pH 11 50 V
t (jam)
20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 0 0 0 0 0 0
1 0,1212 0,1682 0,2591 0,2915 0,0723 0,2915
2 0,1264 0,2190 0,2625 0,2953 0,1176 0,2953
3 0,1281 0,2719 0,3489 0,3925 0,2159 0,3925
4 0,1394 0,3201 0,5896 0,6633 0,3485 0,6633
Volume total H2 (ml)
pH 11 50 V
t (jam)
20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 161 161 161 161 161 161
1 189 190 235 280 170 280
2 216 219 309 399 171 399
3 244 249 384 519 172 519
4 271 278 458 638 173 638
Akumulasi Produk H2 (mmol)
pH 11 50 V
t (jam)
20 V 30 V 40 V 50 V pH 4 pH 11
0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
1 0,9197 1,2877 2,4525 3,2871 0,4946 3,2871
2 1,0990 1,9335 3,2683 4,7466 0,8097 4,7466
3 1,2552 2,7201 5,3858 8,1920 1,4943 8,1920
4 1,5204 3,5770 10,8619 17,0256 2,4269 17,0256

Universitas Indonesia
Lampiran 12. Hasil Uji Produksi H2 pada Sistem Elektrokoagulasi, Fotokatalisisdan
Elektrokoagulasi-Fotokatalisis (lanjutan)
Tabel 12.2 Data Eksperimental Produksi H2 pH 11 pada Sistem Elektrokoagulasi dan Elektrokoagulasi-
Fotokatalisis

Luas area peak H2


Elektrokoagulasi-
t Fotokatalisis, Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi Fotokatasis, 0,06
(jam 0,06 M CuO-TiO2 -Fotokatasis,
20V M CuO-TiO2
) nanotubes TiO2 nanotubes
nanotubes
0 0 0 0 0
1 259826 0 291974 291981
2 270960 0 384642 427215
3 274524 1159 427033 458183
4 298775 2012 465080 504435
Fraksi Volume H2 (Vhidrogen/Vtot)
Elektrokoagulasi-
t Fotokatalisis, Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi Fotokatasis, 0,06
(jam 0,06 M CuO-TiO2 -Fotokatasis,
20V M CuO-TiO2
) nanotubes TiO2 nanotubes
nanotubes
0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
1 0,1212 0,0000 0,1362 0,1362
2 0,1264 0,0000 0,1794 0,1993
3 0,1281 0,0005 0,1992 0,2138
4 0,1394 0,0009 0,2170 0,2353
Volume total H2 (ml)
Elektrokoagulasi-
t Fotokatalisis, Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi Fotokatasis, 0,06
(jam 0,06 M CuO-TiO2 -Fotokatasis,
20V M CuO-TiO2
) nanotubes TiO2 nanotubes
nanotubes
0 161 211 161 161
1 165 211 167 169
2 169 211 173 178
3 174 211 179 186
4 178 211 184 194
Akumulasi Produk H2 (mmol)
Elektrokoagulasi-
t Fotokatalisis, Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi Fotokatasis, 0,06
(jam 0,06 M CuO-TiO2 -Fotokatasis,
20V M CuO-TiO2
) nanotubes TiO2 nanotubes
nanotubes
0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
1 0,8058 0,0000 0,9147 0,9284
2 0,8616 0,0000 1,2471 1,4253
3 0,8944 0,0046 1,4313 1,6003
4 0,9968 0,0080 1,6098 1,8407

Universitas Indonesia
Lampiran 13. Persamaan Reaksi Adsorpsi Langmuir dan Orde 2

Perhitungan nilai konstanta laju reaksi dari katalis TiO2 pada nanokomposit
dilakukan penurunan persamaan laju reaksi terlebih dahulu (persamaan laju reaksi yang
ditinjau adalah adsorpsi langmuir dan orde 2), kemudian dapat diplot persamaan yang
diturunkan antara sumbu y dan x, berikut penurunan persamaan laju reaksi tersebut :

- Adsorpsi Langmuir
dC kKC
=
dt 1+ KC

Dimana untuk C<< dan C = A, persamaan tersebut menjadi

dA
=kKA
dt

dA
=k ' A
dt

dA
∫ = k ' dt
A ∫

Ao
ln =k ' t → y=mx (13.1)
A

- Orde Dua
dC
=k C2
dt

dC
=k d t
C2

Dimana C = A

dA
∫ A 2 =∫ k dt

1 1
− =kt → y =mx (13.2)
A Ao

Kemudian plot grafik antara y dan x dan gradien tersebut merupakan nilai k.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai