TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada
Program Studi Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Institut Teknologi Bandung
Oleh:
Putu Nayaka Rahadita Diana
12112027
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui Untuk
Oleh:
Dosen Pembimbing
i
Abstrak
i
Abstract
Tailrace tunnel is a tunnel that serves to conveying water after pass the powerhouse
chamber. In the tunnel excavation of this tunnel, drill and blast is the method for
making tailrace tunnel. The analysis of excavation progress is necessary to optimize
the tunneling excavation so that we got the maximum excavation progress without
neglecting the safety factor.
This study focused on tailrace tunnel inlet and tailrace tunnel upstream using daily
progress report and RMR value judgements in order to get the effectiveness of tunnel
excavation, effective working hours, lost hours, and the progress of the excavation of
the tunnel per time unit.
In this study, the efficiency of the tailrace inlet tunnels has efficient working time by
68% and tailrace upstream tunnel by 80%. Although the efficient working time at
upstream tailrace tunnel higher, but the excavation progress was lower due RMR
value smaller than the tailrace tunnel inlet. With the average advancement tailrace
tunnel excavation of 13.67 meters per week, it will take to dig a tunnel tailrace during
the 56 weeks of the month of June 2016.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan Tugas Akhir yang berjudul Studi Kinerja Kemajuan Penggalian
Terowongan Tailrace PLTA Peusangan PT PLN (Persero). Tugas akhir ini diajukan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Pogram Studi
Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut
Teknologi Bandung.
1. Bapak Dr. Eng. Ganda Marihot Simangunsong selaku Ketua Program Studi Teknik
Pertambangan ITB yang telah memberikan izin dalam pelaksanaan Tugas Akhir di
lapangan ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Sulistianto, MT, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan Tugas Akhir dan
telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga serta senantiasa memberikan
bimbingan dan arahan penulis selama penyusunan Tugas Akhir.
3. Bapak Prof., Dr., Ir., Irwandy Arif, M.Sc. selaku dosen wali yang telah memberikan
saran dan nasihat selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Program Studi Teknik
Pertambangan.
4. Bapak Firly Rachmaditya Baskoro, S.T., M.T. selaku dosen yang membantu dan
memberikan nasihat dan semangat dalam pengerjaan Tugas Akhir ini.
i
5. Seluruh dosen dan karyawan Program Studi Teknik Pertambangan ITB yang telah
membantu penulis selama menjalani perkuliahan di Program Studi Teknik
Pertambangan ITB.
6. Pak Ikhsan, Bang Hari, Bang Fadil, Bang Singgar, Mas Nanda, selaku pegawai
PLN yang membimbing saya selama pengerjaan tugas akhir di lapangan.
7. Bapak Alit dan Ibu Yuni selaku orang tua penulis yang selama selalu mendukung,
memberikan semangat tiada henti dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
8. Qodri Hadi Putra yang telah menjadi teman seperjuangan penulis yang selalu
pantang menyerah dan tidak bosan menemani dalam menyelesaikan Tugas Akhir
ini.
9. Nurur dan Fani yang telah membantu dalam memahami permasalahan dalam
pengerjaan Tugas Akhir ini
10. Anzhari, Hizha, Qori, Habib, Joken, Rifki, Ipul, Mukti, Dani, Resti selaku teman
seperjuangan di Laboratorium Perencanaan tambang.
11. Robby, Valdo, Arwin, Marty, Penyok, Kipli, Zulis, Tiara, Gifari, Bagus, Tri,
Samid, serta teman-teman Tambang 2012 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu
persatu sebagai rekan seperjuangan dan keluarga selama menempuh rangkaian
akademik maupun non akademik di Program Studi Teknik Pertambangan ITB
12. Himpunan Mahasiswa Tambang yang telah memberikan pelajaran dan pegalaman
yang sangat berharga bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa hasil penyusunan Tugas Akhir ini masih jauhh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
ii
Daftar Isi
Abstrak ........................................................................................................................... i
Abstract .......................................................................................................................... i
iii
2.5.1 Surveying ............................................................................................... 14
iv
4.1.1 Lokasi Pengambilan Data ..................................................................... 39
4.2.3 RMR Rata Rata Terowongan Tailrace Inlet dan Terowongan Tailrace
Upstream .............................................................................................................. 44
4.6 Waktu per Siklus Peledakan untuk Terowongan Tailrace Inlet dan
Terowongan Tailrace Upstream .............................................................................. 56
v
5.1.2 Optimasi Waktu Terjadwal ................................................................... 63
Daftar Gambar
vi
Gambar 4.3 Data Harian Terowongan Tailrace Inlet .................................................. 41
Gambar 4.4 Jumlah Shift yang Digunakan Dalam Pengolahan Data ......................... 45
Gambar 4.5 Pembagian Waktu Terjadwal Terowongan Tailrace Inlet Mei ............... 49
Gambar 4.6 Presentase Kegiatan Penggalian Terowongan Tailrace Inlet Mei .......... 50
Gambar 4.7 Pembagian Waktu Terjadwal Terowongan Tailrace Inlet Juni ............... 50
Gambar 4.8 Presentase Kegiatan Penggalian Terowongan Tailrace Inlet Juni .......... 51
Gambar 4.9 Pembagian Waktu Terjadwal Terowongan Tailrace Upstream Mei ...... 52
Gambar 4.10 Presentase Kegiatan Penggalian Terowongan Tailrace Upstream Mei 53
Gambar 4.11 Pembagian Waktu Terjadwal Terowongan Tailrace Upstream Juni .... 53
Gambar 4.12 Presentase Kegiatan Penggalian Terowongan Tailrace Upstream Juni
..................................................................................................................................... 54
Gambar 4.13 Perbandingan Kemajuan Terowongan Per Minggu .............................. 55
Gambar 4.14 Akumulasi Kemajuan Terowongan Bulan Mei - Juni ........................... 56
Gambar 4.15 Jarak Penyanggaan Steel Support .......................................................... 59
Gambar 4.16 Jarak Penyemprotan Shortcrete ............................................................. 59
Gambar 4.17 Jarak Antar Baris Rockbolt ................................................................... 60
Gambar 4.18 Jarak Antar Perkuatan Grouting .......................................................... 60
Gambar 5.1 Pembagian Waktu Terjadwal Tailrace Upstream .................................... 61
Gambar 5.2 Perbandingan Waktu Terjadwal Terowongan Tairace PLTA Peusangan
..................................................................................................................................... 62
Gambar 5.3 Perbandingan Waktu Drilling for Forepoling......................................... 66
Gambar 5.4 Perbandingan Waktu Grouting................................................................ 66
Gambar 5.5 Perbandingan Waktu Installation of Steel Support ................................. 67
Gambar 5.6 Perbandingan Waktu Installation Rock Bolts.......................................... 67
Gambar 5.7 Perbandingan Jarak Tiap - Tiap Penyanggaan ........................................ 68
vii
Daftar Tabel
viii
Tabel 4-12 Pembagian Waktu Baku Terjadwal Terowongan Tailrace Inlet Juni ...... 50
Tabel 4-13 Pembagian Waktu Terjadwal Terowongan Tailrace Upstream Mei ........ 52
Tabel 4-14 Pembagian Waktu Terjadwal Terowongan Tailrace Upstream Juni ....... 53
Tabel 4-15 Kemajuan Terowongan Tailrace Per Minggu .......................................... 55
Tabel 4-16 Kemajuan Rata - Rata Terowongan Tailrace ........................................... 55
Tabel 4-17 Akumulasi Kemajuan Terowongan Tailrace............................................ 56
Tabel 4-18 Waktu per Siklus Peledakan Terowongan Tailrace Inlet ......................... 57
Tabel 4-19 Waktu per Siklus Peledakan Terowongan Tailrace Upstream ................. 57
Tabel 4-20 Waktu per Siklus Peledakan Terowongan Tailrace Upstream Juni ......... 58
Tabel 5-1 Data Lost Hours Terowongan Tailrace Bulan Mei dan Juni...................... 63
Tabel 5-2 Perbandingan Efektivitas, Kemajuan, dan RMR Terowongan Tailrace .... 65
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan suatu masalah yaitu diperlukannya
studi kinerja kemajuan penggalian terowongan tailrace PLTA Peusangan untuk
mengetahui dan mengoptimasi efektivitas penggalian terowongan.
1
1.3 Tujuan Penelitian
1. Terowongan tailrace yang diteliti adalah terowongan tailrace inlet dan tailrace
upstream
2. Jumlah hari kerja pada satu minggu adalah 7 hari kerja, dengan jumlah shift
pada satu hari kerja adalah 2 shift, dengan jumlah jam dalam satu shift adalah
12 jam
3. Usia dan kondisi alat tidak diperhitungkan dalam kemajuan terowongan
4. Penelitian ini tidak mempertimbangkan aspek ekonomis
Alur penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini dapat dilihat pada gambar 1.1
2
Gambar 1.1 Alur Penelitian
3
1.6 Sistematika Penulisan
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Tinjauan Umum
Bab 3 Teori Dasar
Bab 4 Data dan Pengolahan Data
Bab 5 Analisis dan Pembahasan
Bab 6 Penutup
Manfaat yang diharapkan dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk mengetahui
efektivitas kemajuan penggalian, faktor faktor teknis dan non teknis yang menjadi
kendala selama alat beroperasi, serta parameter operasi yang paling memengaruhi
kemajuan penggalian terowongan sehingga kemajuan terowongan dapat dioptimasi.
4
BAB 2
TINJAUAN UMUM
5
Gambar 2.1 Jalur Koordinasi Proyek PLTA Peusangan (PT PLN, 2012)
Sampai dengan 30 April 2016, progress pembuatan PLTA Peusangan sudah mencapai
58,40% seperti pada tabel 2-1 dan gambar 2.2 2.4 Pembangunan PLTA Peusangan
nantinya akan menghasilkan daya sebesar 323 GW per tahunnya.
6
Tabel 2-1 Progress Pengerjaan masing masing Lot PLTA Peusaangan (PT PLN, 2016)
Gambar 2.2 Kurva Pengerjaan Lot 1 PLTA Peusangan (PT PLN, 2016)
7
Gambar 2.3 Kurva Pengerjaan Lot 2 PLTA Peusangan (PT PLN, 2016)
Gambar 2.4 Kurva Pengerjaan Lot 3 PLTA Peusangan (PT PLN, 2016)
8
2.2 Lokasi dan Ketersampaian Daerah
9
Gambar 2.5 Lokasi Ketersampaian Proyek PLTA Peusangan (PT PLN, 2016)
10
Gambar 2.6 Lokasi PLTA Peusangan Berdasarkan Google Maps (Google, 2016)
11
Gambar 2.7 Gambar Tampak Atas Proyek PLTA Peusangan (PT PLN, 2012)
Gambar 2.8 Gambaram Umum Tampak Samping Proyek PLTA Peusangan (PT PLN, 2012)
12
2.3 Kondisi Topografi dan Lingkungan
Secara geografis Kabupaten Aceh Tengah berada di posisi antara 4010 4058 LU
dan 96018 96022 BT. Kabupaten Aceh Tengah memiliki wilayah seluas 431.839
Ha atau setara dengan 4.318,39 km2, berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener
Meriah dan Bireuen di sebelah utara, Kabupaten Gayo Lues di sebelah selatan,
Kabupaten Nagan Raya dan Pidie di sebelah barat, serta Kabupaten Aceh Timur di
sebelah timur.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan berada di wilayah Kabupaten Aceh
Tengah memiliki klasifikasi kelerengan <8%, 8-15%, 16-25%, 26-40%, dan >40%.
Kondisi ketinggian Kabupaten Aceh Tengah dibedakan menjadi datar, landau,
berombak, bergelombang, berbukit, bergunung dengan ketinggian 100 2000 mdpl.
Penggunaan lahannya didominasi oleh kawasan hutan seluas 280.647 Ha atau 64,98%
dari luas wilayah, dan sisanya berupa tanah bangunan, sawah, kebun, ladang, padang
rumput, rawa rawa, kolam, tambak, dan perkebunan.
Batuan yang ada pada terowongan tailrace di PLTA Peusangan terdiri dari, batupasir
(sandstone), skis (schist), dan breksi vulkanik (volcanic breccia). Bidang lemah yang
ada di daerah terowongan tailrace umumnya terdiri dari bidang perlapisan dan vertical
joint. Struktur patahan yang ada pada lokasi tersebut terdiri dari dua yaitu bedding fault
dan lateral fault. Bedding fault kemungkinan terbentuk pada masa Late Mesozoic
hingga Early Cenozoic, sedangkan lateral fault kemungkinan terbentuk pada masa Late
Tertiary hingga Quarternary.
Menurut N.R. Cameron et al, secara regional Takengon mengalami dua periode
deformasi yaitu pada Zaman Pra Tersier dan Tersier. Pada Zaman Pra Tersier,
lipatan isoclinal pada Formasi Kluet pada umumnya sumbu lipatan berarah barat laut
tenggara. Fase utama deformasi zaman tersier adalah lipatan di Group Meureudu
13
yang disertai dengan batas batas plutonisme. Deformasi ini sudah terjadi pada
oligosen akhir dimana strukturnya sangat kompleks.
Struktur geologi daerah Takengon sangat dipengaruhi oleh sistem sesar sumatera
(Sumatera Fault System) yang berarah barat laut tenggara. Daerah PLTA Peusangan
sendiri kemungkinan termasuk kedalam Formasi Bampo, dimana batuan yang ada di
formasi tersebut adalah black pyritic mudstone atau argillite, batulanau dan batupasir
karbonat. Formasi yang ada di sekitar daerah penelitian adalah Formasi Penarun,
Formasi Tawar, Formasi Peutu, Formasi Bruksah.
Operasi pembuatan terowongan PLTA Peusangan dengan panjang kurang lebih 3200
meter dimulai dengan tahap pengembangan pada bulan Agustus 2012 dan penggalian
lubang bukaan terowongan dimulai pada tanggal 26 September 2012. Terowongan
tailrace memiliki bentuk lubang bukaan berupa tapal kuda dengan lebar 4,7 m dan
tinggi 4,45m. Kondisi batuan disekitar terowongan terowongan tailrace yang buruk
mengharuskan terowongan tailrace menggunakan penyanggan type D.
2.5.1 Surveying
Surveying merupakan kegiatan pertama yang dilakukan pada operasi penggalian
terowongan tailrace. Surveying dilakukan oleh surveyor setiap hari dengan peralatan
14
yang tertera pada tabel 2-2. Survey berguna untuk menentukan posisi face aktual,
sehingga dengan data dari surveyor, dapat menentukan kemajuan terowongan secara
berkala.
Tabel 2-2 Alat Alat Survey pada Terowongan Tailrace (Hyundai, 2012)
15
Gambar 2.10 Geometri Peledakan Terowongan Tailrace PLTA Peusangan (Hyundai, 2012)
16
Gambar 2.11 Geometri Lubang Peledakan Terowongan Tailrace PLTA Peusangan (Hyundai, 2012)
Mucking dilakukan dengan backhoe sebagai loading unit dan dump truck kapasitas 5
ton digunakan sebagai hauling vehicle untuk membawa material menuju dumping
point.
17
Gambar 2.12 Pemasangan Steel Support Terowongan Tailrace PLTA Peusangan
Gambar 2.13 Penyemprotan Shortcrete dan Metode Penyemprotan Shortcrete Terowongan Tailrace
18
2.5.6 Rockbolt Installation
Pemboran lubang rockbolt dilakukan dengan 2-boom jumbo drill dengan diameter 37
50 mm. Setelah pemboran lubang rockbolt, lubang tersebut akan disemprotkan
dengan air dan udara untuk membersihkan serpihan batuan yang masih tersisa pada
lubang rockbolt. Setelah pembersihan lubang rockbolt, instalasi rockbolt dilakukan
untuk memperkuat struktur terowongan. Rockbolt yang dipasang memiliki spesifikasi
panjang 2.0 meter atau 2.5 meter.
19
BAB 3
TEORI DASAR
3.1 Pendahuluan
20
peralatan-peralatan tambang seperti roadheader dan backhoe. Akan tetapi
penggalian dengan metode ini memerlukan kondisi lapisan yang kering
sehingga proses penirisan sangat penting untuk dilakukan di awal penggalian.
Kelemahan dari metode ini adalah durasi yang relatif lama bila dibandingkan
dengan metode lainnya.
Tunnel Boring Machine (TBM), merupakan suatu mesin yang memiliki
diameter satu meter sampai hampir enam belas meter yang menggali
terowongan dengan penampang lingkaran yang dapat menembus berbagai
lapisan tanah dan batuan. Secara garis besar, TBM dibagi ke dalam dua kategori
berdasarkan lapisan yang akan digali, yaitu hard rock dan soft ground TBM.
Sesuai dengan namanya, hard rock TBM digunakan untuk membuat
terowongan pada lapisan batuan yang relatif keras, sementara soft ground TBM
digunakan untuk membuat terowongan pada lapisan tanah yang relatif lebih
lunak. Kelemahan dari metode ini adalah biaya kapital yang dikeluarkan sangat
besar.
Metode drilling and blasting merupakan salah satu metode penggalian terowongan
yang sering digunakan. Metode ini memiliki kelebihan pada capital cost yang relatif
murah dibanding dengan metode penggalian terowongan lainnya. Meskipun tergolong
lebh murah, metode drilling and blasting memiliki kelemahan, yaitu menyebabkan
kebisingan dan getaran yang cukup signifikan terhadap daerah sekitar area peledakan.
Secara garis bersar, metode drilling and blasting dibagi menjadi beberapa urutan
kegiatan seperti pada gambar 3.1, yaitu:
Drilling
Charging
Blasting
Smoke Clearing
21
Loading and Hauling
Scaling
Supporting, dan
Surveying
3.2.1 Drilling
Drilling merupakan tahap pertama dalam metode drilling and blasting. Drilling
bertujuan untuk membuat lubang tembak sesuai dengan desain peledakan yang
direncanakan.
22
3.2.2 Charging
Lubang tembak yang dibuat pada proses drilling selanjutnya akan dimasukkan
explosive material kedalam lubang tersebut. Pemilihan explosive material tergantung
dengan spesifikasi bukaan terowongan yang akan digali.
3.2.3 Blasting
Energi yang dilepaskan pada proses blasting membuat retakan pada batuan. Dengan
adanya proses blasting, batuan batuan pada area blasting akan terpecah dan memiliki
ukuran yang lebih kecil sehingga mudah untuk diangkut oleh alat berat.
3.2.6 Scaling
Dalam pembuatan terowongan, setelah loading and hauling berlangsung, maka akan
terlihat bagaimana kondisi face terowongan. Face terowongan setelah proses ini dapat
dibagi menjadi dua kategori, apakah face terowongan memiliki hasil underbreak atau
overbreak. Proses scaling bertujuan untuk membentuk face terowongan agar sesuai
dengan desain yang dikehendaki. Bila proses overbreak terjadi, maka akan dilakukan
cementing dan bila underbreak terjadi, maka akan dilakukan rock breaking
menggunakan rock breaker
23
3.2.7 Supporting
Sebelum maju untuk melakukan proses blasting lanjutan, bila dirasa kondisi batuan
tidak dapat menyangga strukturnya sendiri, maka akan dipasang penyanggaan agar
tidak terjadi deformasi pada terowongan yang telah digali. Jenis supporting system
yang digunakan pada terowongan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, salah
satunya yaitu melalui RMR
3.2.8 Surveying
Surveying bertujuan untuk mengetahui sejauh apa kemajuan terowongan setelah
peledakan yang biasanya dideskripsikan melalui koordinat. Surveying harus dilakukan
berkala untuk memastikan arah kemajuan terowongan sesuai dengan rencana awal.
24
keberlangsungan proyek secara signifikan baik dari segi biaya dan waktu. Kondisi
geologi yang baik akan mempermudah penggalian terowongan karena semakin baik
kondisi geologi, maka semakin sedikit penyanggan yang dibutuhkan oleh terowongan
tersebut.
Tabel 3-1 Hubungan Nilai UCS dengan Kualitas Massa Batuan (Bieniawski, 1989)
25
b. Point Load Test
Uji point load dilakukan di lapangan untuk mendapatkan nilai kuat
tekan batuan secara tidak langsung dengan sampel batuan tidak harus
berbentuk silinder namun diusahakan dengan ukuran 50 mm. Dengan
uji ini estimasi nilai kuat tekan batuan didapat dengan persamaan (3.2)
sebelum dilakukan uji UCS di laboratorium.
= (kg/2 ) (3.1)
2
Keterangan:
Is = Point Load Strength Index (Indeks Franklin) ( kg/2 )
P = Beban maksimum sampai percontoh pecah (kg)
D = Jarak antara 2 konus penekan (cm)
26
Tabel 3-2 Pembobotan Parameter Kekuatan Batuan Utuh (Bieniawski, 1989)
27
Metode ini bermaksud bahwa perhitungan RQD berdasarkan pada hasil
coring yang tersedia. Cara menentukan nilai RQD dapar menggunakan
persamaan (3.3):
100
= 100% .. (3.3)
1
= ... (3.5)
Keterangan:
Js = jarak antar diskontinu, m
= banyaknya diskontinu dalam 1 meter
28
Keterangan:
Jv = jumlah kekar per 3
29
4. Kondisi Kekar (Condition of Discontinuities)
Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi kekar, yaitu:
a) Continuity
Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu, atau
juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu
b) Separation
Separation merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu.
Jarak ini biasanya diisi oleh material lainnya (filling material) atau juga bisa
diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu
tersebut.
c) Roughness
Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan
parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu.
Suatu permukaan yang kasar akan depat mencegah terjadinya pergeseran
antara kedua permukaan bidang diskontinu. Penggolongan dan pembobotan
kekasaran batuan tertera seperti pada tabel 3-5.
30
Tabel 3-6 (Lanjutan)
d) Filling
Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu
mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu yang dipengaruhi oleh
ketebalan, kekonsistenan, dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang
lebih tebal dan memiliki sifat mengembang bila terkena airdan butiran
sangat halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.
e) Weathering
Weathering menunjukan derajat kelapukan permukaan diskontinu.
Pembagian tingkat kelapukan batuan tertera pada tabel 3-7.
31
Tabel 3-7 Tingkat Kelapukan Batuan (Bieniawski, 1976)
Klasifikasi Keterangan
Tidak terlapukan Tidak terlihat tanda-tanda terlapukan, batuan
segar, butiran Kristal terlihat jelas dan terang
Sedikit terlapukan Kekar terlhat berwarna atau kehitaman, bisanya
terisi dengan lapisan tipis material pengisi. Tanda
kehitaman biasanya akan tampak mulai dari
permukaan sampai kedalam batuan sejauh 20%
dari spasi
Terlapukan Tanda kehitaman tampak pada permukaan batuan
dan sebagian material batuan terdekomposisi.
Tekstur asli batuan masih utuh namun mulai
menunjukan butiran batuan mulai terdekomposisi
menjadi tanah
Sangat terlapukan Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna
atau kehitaman. Dilihat secara penampakan
menyerupai tanah. Namun tekstur batuan masih
utuh dan butiran batuan telah terdekomposisi
menjadi tanah
32
Tabel 3-8 Panduan Klasifikasi Kondisi Kekar (Bieniawski, 1989)
Parameter Rating
<1m 1-3 m 3-10 m 10-20 m >20 m
Continuity
6 4 2 1 0
Tidak ada <0.1 mm 0.1-1 mm 1-5 mm >5 mm
Separation
6 5 4 1 0
Sangat Kasar Sedikit Halus Slickenside
Roughness kasar kasar
6 5 3 1 0
Keras Lunak
Tidak ada
Unfilling < 5 mm >5mm < 5 mm >5mm
6 4 2 2 0
Tidak Sedikit lapuk Sangat Hancur
Weathering lapuk lapuk lapuk
6 5 3 1 0
33
General condition: mengamati atap dan dinding terowongan secara
visual, sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaan
umumdari permukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir.
Kondisi air tanah yang dpada pengukuran kekar diidentifikasikan sebagai salah
satu kondisi berikut dan diberi pembobotan seperti pada tabel 3-9.
34
Lima parameter pertama mewakili parameter dasar dari sistem klasifikasi ini.
Nilai RMR yang dihitung dari lima parameter dasar tadi disebut RMR basic.
Hubungan antara RMR basic dengan RMR ditunjukan pada persamaan dibawah
ini.
= + . (3.7)
Dimana,
= ( + + + + )..... (3.8)
Jurus (strike) dan kemiringan (dip) kekar dan arah penggalian terowongan
menentukan pola diskontinuitas terhadap arah penggalian. Penilaian pengaruh
kekar terhadap lubang bukaan adalah seperti pada tabel 3-10 dan 3-11
Tabel 3-10 Pengaruh Orientasi Kekar Terhadap Penggalian Terowongan (Bieniawski, 1989)
35
Tabel 3-11 Penyesuaian Terhadap Pengaruh Orientasi Kekar Pada Terowongan (Bieniawski, 1989)
Klasifikasi massa batuan menggunakan metoda RMR bertujuan untuk menentukan sifat
dan karakteristik massa batuan serta kemampuannya untuk menahan beban dan
rekomendasi pemilihan penyangga. Panduan ini tergantung pada beberapa factor seperti
kedalaman lubang bukaan dari permukaan, ukuran, dan bentuk terowongan serta metode
penggalian yang dipakai (Bieniawski, 1989) seperti pada tabel 3-12.
36
Saat penggalian, kekuatan batuan yang digali dan jarak penggalian yang belum sempat
disangga harus diperhitungakan untuk memastikan tingkat keamanan penggalian bukaan
bawah tanah. Terdapat suatu hubungan antara kekuatan massa batuan yang dihitung
dengan metoda RMR dengan jarak penggalian yang belum sempat disangga (span) dan
waktu sangga (stand-up time) menurut Bieniawski (1989) seperti terlihat pada gambar
3.2
Gambar 3.2 Hubungan antara Stand Up Time dengan Span untuk Berbagai Kelas Massa Batuan Berdasarkan
Klasifikasi Sistem RMR (Bieniawski, 1989)
37
Effective Working Hours
Effective working hours merupakan waktu kerja dan persiapan kerja yang digunakan oleh
para pegawai dan pekerja (manpower) dalam operasi penggalian terowongan
Rest Hours
Rest hours adalah waktu yang digunakan para pegawai dan pekerja (manpower) untuk
beristirahat
Lost Hours
Lost hours adalah waktu dimana para pegawai tidak bekerja karena adanya faktor
faktor penghambat baik karena faktor alat, menunggu pekerja, maupun faktor eksternal
lainnya.
38
BAB 4
DATA DAN PENGOLAHAN DATA
Gambar 4.1 Tampak Samping Terowongan Tailrace PLTA Peusangan (Nippon Koei, 2012)
39
Gambar 4.2 Peta Main Access Tunnel dan Terowongan Tailrace PLTA Peusangan (PT PLN, 2016)
40
Gambar 4.3 Data Harian Terowongan Tailrace Inlet (Nippon Koei, 2016)
Pengambilan data dilakukan oleh konsultan Nippon Koei dilakukan dengan dua cara,
yaitu mencatat data yang diberikan oleh site office supervisor dan observasi langsung ke
front face terowongan. Pengambilan data dari site office supervisor mencakup kemajuan
per shift, jumlah alat penyanggaan yang digunakan, jumlah pekerja dan alat yang
digunakan, dan waktu per kegiatan yang berlangsung pada shift itu. Observasi langsung
ke terowongan menghasilkan gambaran visual keadaan terowongan seperti pada gambar
diatas yang mencakup posisi dan jenis penyanggaan pada terowongan serta keadaan face
terowongan yang digali.
41
Ada beberapa peralatan penunjang dalam pengambilan data yaitu kendaraan bermotor
(digunakan untuk menuju front face terowongan), alat tulis (digunakan untuk mencatat
data yang diperlukan), dan kamera (digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan
penggalian terowongan).
4.2 Nilai RMR Terowongan
Pengambilan data RMR dilakukan pada tanggal 14 Juni 2016 sampai dengan 21 Juni
2016. Pengambilan data RMR dilakukan bersama dengan geologist engineer Nippon
Koei.
42
Tabel 4-3 (Lanjutan)
43
Tabel 4-6 RMR Terowongan Tailrace Upstream Tanggal 18
4.2.3 RMR Rata Rata Terowongan Tailrace Inlet dan Terowongan Tailrace
Upstream
Dengan menggunakan data RMR pada tabel 4-1 4-7, didapat rentang nilai RMR
terowongan tailrace seperti pada tabel 4-7:
Tabel 4-8 RMR Rata - Rata Terowongan Tailrace Inlet dan Terowongan Tailrace Upstream
RMR
Tailrace Inlet 30.5 41
Tailrace Upstream 22 - 27.5
44
4.3 Kinerja Penggalian Tunnel
Kinerja penggalian tunnel dinilai dengan cara menggunakan data harian yang diambil
tiap shift oleh konsultan Nippon Koei baik di terowongan tailrace inlet maupun
terowongan tailrace upstream. Penilaian kinerja penggalian tunnel menggunakan 93 data
shift terowongan tailrace inlet dan 101 data shift tailrace upstream seperti pada gambar
4.5.
Pengolahan
Data
Tailrace Tairace
Inlet Upstream
Mei (53 Shift) Juni (40 Shift) Mei (54 Shift) Juni (47 Shift)
45
Tabel 4-10 (Lanjutan)
46
Tabel 4-11 (Lanjutan)
47
Tabel 4-13 (Lanjutan)
48
Tabel 4-15 (Lanjutan)
Dengan menggunakan data pada subbab 4.3, didapatkan hasil sebagai berikut:
27%
8% 65%
49
No work
Other
11%
1% %0%
1% 0%
0%
0% Cleaning
1%1% Core Drilling
2%
2% 18% Rest Time
2% Mucking
2% Temporay Work
3% Breaker Excavation
Preparation
4% Surveying
Drilling for Blasting
10% Dewatering
5% Spraying Shotcrete
Wating for shotcrete material
Waiting for shotcrete machine
6% Drilling for Rock Bolt
9% Waiting for surveyer
Machine Trouble
7% Charging & Blasting
Installation of Steel Support
Installation Rock Bolts
8% Grouting
7%
8% Wating for grout
Drilling for Forepilling
Waiting for jumbo drill
Repair of overbreak
8%
73%
50
Breaker Excavation
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
1% No work
2%2% Mucking
3% 16%
3% Spraying Shotcrete
Rest Time
4%
Cleaning
4% Drilling for Blasting
Installation of Steel Support
4% Preparation
14% Surveying
Temporay Work
4%
Charging & Blasting
Machine Trouble
5% Drilling for Rock Bolt
Installation Rock Bolts
5% Wating for blasting material
14% Waiting for shotcrete machine
Core Drilling
8% Waiting for surveyer
9%
Probe Hole
Wating for shotcrete material
Other
Wating for excavator
51
Pembagian Waktu Terjadwal
Tailrace Tunnel Inlet Mei
Tabel 4-18 Pembagian Waktu
Terjadwal Terowongan Tailrace
11% Upstream Mei
6%
Effective Hour 32170 83%
52
Breaker Excavation
Mucking
Preparation
00%
1%
1% % 0%
0%
0%
0%
0% Cleaning
1%1%
2% No work
2% 17%
Spraying Shotcrete
3%
Rest Time
3% Grouting
Surveying
3% Installation of Steel Support
Drilling for Blasting
4% Drilling for Forepilling
12% Charging & Blasting
Machine Trouble
4%
Drilling for Rock Bolt
Installation Rock Bolts
Temporay Work
6%
Probe Hole
Wating for shotcrete material
10%
Other
7% Wating for blasting material
Waiting for shotcrete machine
Wating for grout
7% 7%
Core Drilling
7%
Waiting for surveyer
Drain hole
53
Breaker Excavation
No work
0%
0%
0% Mucking
11%
1%
1%
1% %
1%
1%
2% Rest Time
2% 17%
2% Preparation
2% Cleaning
2% Spraying Shotcrete
3% Grouting
54
Tabel 4-20 Kemajuan Terowongan Tailrace Per Minggu
15
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dari gambar 4.13 diatas, terlihat bahwa terowongan tailrace inlet tidak mengalami
kemajuan penggalian dari Mei minggu pertama sampai dengan Juni minggu pertama.
55
Ini disebabkan karena pada rentang tersebut, terowongan tailrace inlet mengalami
partial collapse (terowongan runtuh namun masih dapat beroperasi).
80
60
40
20
0
May Week 1May Week 2May Week 3May Week 4June Week 1June Week 2June Week 3June Week 4
4.6 Waktu per Siklus Peledakan untuk Terowongan Tailrace Inlet dan
Terowongan Tailrace Upstream
Perhitungan waktu per siklus peledakan menggunakan data harian seperti pada tabel
dibawah. Dengan melihat kapan dilakukan peledakan dan menghitung interval setiap
peledakan, maka didapat waktu siklus per peledakan untuk terowongan tailrace. Tabel
56
4-18 berikut menyatakan jumlah peledakan, tanggal peledakan, dan kemajuan per tiap
peledakan untuk terowongan tailrace inlet dan terowongan tailrace upstream tertera
pada tabel 4-23 sampai 4-26.
Untuk tailrace inlet Mei tidak dilakukan peledakan dan tidak ada kemajuan penggalian
karena adanya partial collapse di terowongan tailrace inlet pada bulan Mei.
57
Tabel 4-25 (Lanjutan)
Tabel 4-26 Waktu per Siklus Peledakan Terowongan Tailrace Upstream Juni
58
4.7 Perbandingan Jarak Tiap Pemasangan Penyanggaan pada Terowongan
Tailrace
Jarak pemasangan penyanggan didapat dari penggambaran visual yang tertera pada
data harian. Perbandingan jarak pemasangan antar penyanggaan pada terowongan
tailrace inlet dan terowongan tailrace upstream dapat dilihat pada gambar 4-15 4.18.
Jarak Penyanggaan
Steel Support (m)
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Tailrace Inlet Tailrace Upstream
Kemajuan Shortcrete
(m)
0.75
0.5
0.25
0
Tailrace Inlet Tailrace Upstream
59
Jarak Antar Baris Rockbolt
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Tailrace Inlet Tailrace Upstream
Jarak Grouting
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Tailrace Inlet Tailrace Upstream
60
BAB 5
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Waktu terjadwal pada proyek penggalian terowongan tailrace inlet dan terowongan
tailrace upstream adalah 12 jam. Dalam satu hari kerja terdapat 2 shift, yaitu shift pagi
dan shift malam. Shift pagi dimulai setiap pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul
19.00 WIB. Sementara shift malam dimulai setiap pukul 19.00 WIB dan berakhir pada
pukul 07.00 WIB. Adapun batas dimulai dan berakhirnya suatu shift berlokasi di luar
main access tunnel. Waktu terjadwal dibagi ke tiga bagian, yaitu effective working
hours, rest hours, dan lost hours.
18%
8%
74%
61
Gambar 5.2 Perbandingan Waktu Terjadwal Terowongan Tairace PLTA Peusangan
Bila melihat efisiensi waktu kerja pada terowongan tailrace secara keseluruhan, maka
efisiensi waktu kerja tailrace inlet bulan Mei dan Juni berada dibawah rata rata.
Bila melihat sepuluh kegiatan yang paling berpengaruh pada penggalian terowongan
tailrace inlet bulan Mei, kegiatan yang paling banyak memakan waktu adalah
parameter no work (tidak ada pekerjaan) dengan presentase 22.11% atau sebesar 6940
menit. Parameter no work (tidak ada pekerjaan) menyumbang 22.11% lost hours dari
total sebesar 27% lost hours.
Terowongan tailrace inlet bulan Juni memiliki lost hour sebesar 19%, dengan
penyumbang presentase terbanyak terhadap lost hour adalah parameter no work (tidak
ada pekerjaan) sebesar 17,06% atau 4140 menit. No work (tidak ada pekerjaan)
merupakan parameter yang paling banyak memakan waktu kedua setelah breaker
excavation untuk penggalian terowongan tailrace inlet bulan Juni.
Adanya presentase yang relatif tinggi pada parameter no work (tidak ada pekerjaan)
disebabkan karena tidak adanya supervisor shift yang khusus menetap di front
penggalian. Supervisor shift yang bertugas pada penggalian tailrace bersifat mobile
(tidak menetap di front face penggalian) sehingga pada saat satu kegiatan telah selesai
berlangsung dan tidak adanya supervisor di front face terowongan, maka pekerja di
62
front face terowongan otomatis menganggur yang berdampak pada meningkatnya
waktu pada parameter no work (tidak ada pekerjaan).
Tabel 5-1 Data Lost Hours Terowongan Tailrace Bulan Mei dan Juni
Untuk solusi parameter no work, telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa
supervisor khusus yang ada di front site diperlukan untuk mengoptimalkan kinerja
penggalian terowongan tailrace. Parameter lainnya yang berpengaruh terhadap total
lost hours adalah waktu tunggu alat berat dan pegawai. Salah satu kekurangan di front
face penambangan adalah tidak adanya handy talky yang dibawa oleh satu pegawai
pun, sehingga saat ada keperluan ataupun kedala pada pekerjaan seperti menunggu
63
mesin atau sejenisnya tidak dapat diantisipasi secepat mungkin. Alat komunikasi yang
ada pada terowongan tailrace hanyalah wall phone (telepon yang ditempel di side wall
terowongan) yang ada setiap 250 meter sekali, sehingga bila front terowongan jauh
dari wall phone, maka akan sulit untuk berkomunikasi dengan pekerja yang ada di site
office diluar terowongan.
Machine trouble merupakan parameter lain penyumbang lost hours pada penggalian
terowongan tailrace. Kontraktor Hyundai Corporation tidak memiliki program untuk
melakukan periodic maintenance pada alat berat penggalian terowongan, sehingga
memungkinkan untuk menimbulkan kerusakan kerusakan kecil yang berdampak
terhadap peningkatan lost hours di parameter machine trouble. Pemeriksaan spare part
juga perlu dilakukan pihak kontraktor untuk memastikan adanya alat pengganti bila
terdapat bagian mesin yang rusak.
Bila melakukan langkah langkah diatas dan diasumsikan tidak adanya lost hour
setelahnya, maka total lost hours yang dapat dieliminasi pada penggalian terowongan
tailrace adalah:
64
Tabel 5-2 Perbandingan Efisiensi Waktu Kerja, Kemajuan, dan RMR Terowongan Tailrace
Tabel 5-2 diatas menunjukkan efisiensi waktu kerja tailrace inlet lebih rendah
dibanding tailrace upstream, namun dari sisi kemajuan penggalian tailrace upstream
(dengan efektivitas kerja lebih tinggi) memiliki kemajuan yang lebih rendah. Kemajuan
yang lebih rendah pada tailrace upstream disebabkan karena nilai RMR yang lebih
rendah dibanding dengan tailrace inlet. Lebih rendahnya nilai RMR berdampak
terhadap perlakuan penyanggaan massa batuan di sekitar terowongan. Lebih rendah
nilai RMR berarti lebih banyak dibutuhkan penyanggaan, sehingga dibutuhkan lebih
banyak waktu untuk instalasi penyanggaan yang berdampak ke lebih rendahnya
kemajuan penggalian.
65
Gambar 5.3 Perbandingan Waktu Drilling for Forepoling
66
Gambar 5.5 Perbandingan Waktu Installation of Steel Support
67
Gambar 5.7 Perbandingan Jarak Tiap - Tiap Penyanggaan
Dari gambar 5.3 5.7, karena nilai RMR terowongan tailrace upstream yang relatif
lebih buruk, terbukti bahwa dibutuhkan waktu lebih banyak pada terowongan tailrace
upstream untuk memasang penyanggaan yang berdampak signifikan pada nilai
kemajuan penggalian terowongan terowongan tailrace upstream.
68
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
1. Pemberian handy talky (HT) kepada pekerja di front face terowongan untuk
mempermudah komunikasi dengan site officer yang berada di luar terowongan
2. Dilakukannya maintenance berkala terhadap alat berat penggalian terowongan
3. Dilakukannya briefing kepada pegawai dan pekerja sebelum memulai
pekerjaan.
69
Daftar Pustaka
70