Anda di halaman 1dari 228

Bunga Rampai Pemikiran Mastel 2022

Menuju Kesehatan, Pertumbuhan,


Keberlangsungan, dan Kemandirian
Industri Telematika di Indonesia
Kata Pengantar

e- book Mastel (Masyarakat Telematika) edisi pertama Desember 2022, disusun dan
didorong beberapa keadaan.

Pertama, banyak catatan lepas dari kegiatan Mastel selama ini yang dibuat oleh lebih
dari 300 ahli ( expert) anggota Mastel, Dewan Pengurus Harian, Pengurus Profesi
dan Asosiasi perlu direkam dan disebarluaskan dan bermakna sesuai konteks masa
kini dan masa mendatang.

Kedua, Indonesia telah terbukti sukses memegang presidensi di G20 tahun


2022 maupun ASEAN di tahun 2023, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan
untuk suksesnya transformasi digital dan ekonomi digital sebagai realitas solusi
bangkit bersama dan lebih kuat bersama menghadapi pandemi kesehatan,
tantangan terhadap akses kesempatan kerja, pendidikan, pangan, kesehatan, energi
hijau dan perubahan iklim di mana digitalisasi akan menjadi salah satu proses penting
percepatan untuk bangkit bersama secara ekonomi dan sosial. Pengawasan dan
realisasi pelaksanaan kesepakatan akan menjadi prioritas kegiatan Mastel di 2023
baik di dalam maupun di luar negeri.

Ketiga, secara institusi Mastel mempunyai visi dan misi yang sejalan untuk menjaga
kesehatan, pembangunan, keberlangsungan dan kemandirian industri dan layanan
telematika di Indonesia dengan mengedepankan pentingnya sumber daya manusia
Indonesia menjadi tulang punggung keberhasilan transformasi digital dan ekonomi
digital di Indonesia, melalui kolaborasi dan kerjasama berbagai institusi dan
pemangku kepentingan baik di dalam maupun di luar negeri.

e-book edisi kali ini akan mencakup berbagai catatan, pikiran dan pendapat yang
cukup luas mengenai pentingnya terobosan penggunaan dan penggelaran
teknologi baru (5G dan lain-lain) untuk pemerataan, pemanfaatan broadband untuk
smart city dan e-government, analog switch off dan konvergensi penyiaran, integrasi
IOT dan AI, maupun pandangan mengenai keuangan Terbuka (open finance).

e-book juga berisi pemikiran dan pandangan mengenai hubungan telematika


dengan sustainable development goals, makro regulasi tentang masukan peraturan
pemerintah dan peraturan pelaksanaan tentang UU Perlindungan Data Pribadi,
regulasi tentang pungutan sewa lahan dan utilitas Pemda, mengingatkan kembali
kepada perlindungan konsumen atas kebenaran tagihan jasa telematika.

Selain itu, e-book edisi ini berisi kumpulan catatan tentang kemandirian perangkat
telematika nasional dan perlunya Pusat Aplikasi Nasional (NiNA) untuk TKDN dan e-
katalog. Tidak kalah penting tulisan pemicu terhadap kewaspadaan penggunaan
internet melalui pengetahuan pola-pola praktis kerja sistem internet yang
mendukung literasi digital.

Terima kasih yang tak terhingga kepada para kontributor e-book kali ini.

e-book ini akan terus dibuat secara berjenjang dan berlanjut dan akan terus
disempurnakan sesuai masukan dan kebutuhan. Selamat menikmati dan jangan
lupa untuk memberikan review masukan untuk kesempurnaannya.

Jakarta, 22 Desember 2022

Sarwoto Atmosutarno
Daftar Isi

1. Pengantar ………………………………………………………………………………………………………………………… i

2. Indonesia Broadband Plan, Smart City dan


Transformasi Digital …………………………………………………………………………………………………….. 1
3. Mendukung Sustainable Development Goals …………………………………………………. 13
4. Membangun Keyakinan Konsumen Akan Kebenaran Tagihan Jasa
Telekomunikasi ……………………………………………………………………………………………………………… 35

5. Pungutan Sewa Penempatan Jaringan Utilitas oleh Pemda ……………………. 61

6. Kajian Regulasi Pemanfaatan Jalan sebagai Infrastruktur Publik dalam


Percepatan Pembangunan Infrastruktur TIK di Indonesia ………………………… 69
7. Terobosan Nasional Mutlak Perlu: Pemerataan Jaringan vs Teknologi
Baru Telekomunikasi …………………………………………………………………………………………………… 83
8. Ketersediaan Layanan 5G diharapkan Menjadi Game Changer Digital
Life Style dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia ………. 93
9. Penggelaran 5G di Indonesia dari Perspektif MOT: Hype vs Reality ………… 103
10. Integrasi Artificial Intelligence (AI) Dengan Internet Of Things (IOT) ………
… 119

11. Analog Switch Off TV FTA: Antara Keniscayaan, Kepastian Hukum dan
Keberlangsungan Usaha …………………………………………………………………………………………… 129
12. Masukan Untuk Rancangan Peraturan Pemerintah Undang-Undang
Pelindungan Data Pribadi ………………………………………………………………………………………… 151
13. Mewaspadai Konten di Internet (Suatu Pola Praktis Berdasarkan
Pengetahuan Tentang Pola Kerja Internet) ………………………………………………………. 159
14. Open Finance dan Waspada Kejahatan Siber …………………………………………………. 171
15. Menuju Kedaulatan Teknologi Perangkat Telekomunikasi Nasional ……. 183
16. Menuju ‘National In-House Applications’ Melalui Peningkatan TKDN
dan Pemberdayaan E -Katalog ……………………………………………………………………………….. 197
DISCLAIMER
Isi tulisan dan konten di dalam masing-masing artikel sepenuhnya menjadi
tanggung jawab penulis
INDONESIA BROADBAND PLAN, SMART CITY DAN
TRANSFORMASI DIGITAL

Garuda Sugardo, IPU


Wantiknas

Abstrak - Tahun 2023 segera menjelang. Kabar baiknya, seiring meredanya covid-
19, Pemerintah akan menormalisasi kehidupan masyarakat dengan mengkaji
pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dalam
blantika teknologi informatika dan komunikasi (TIK) atau telematika, di sepanjang
pagebluk dan PPKM ini, tak syak lagi tema transformasi digital menjadi primadona
topik bahasan pada forum-forum diskusi atau webinar. Hal ini tak lepas dari
kenyataan, bahwa di balik derita pandemi ini ada “hikmah” tersembunyi, yakni
realisasi transformasi digital di seluruh belahan dunia terjadi begitu cepat.
Prakiraan bahwa transformasi digital akan berjalan selama 4 tahun ke depan,
ternyata terwujud hanya dalam waktu 6 bulan saja. Di Indonesia, kampanye “5
Langkah Percepatan Transformasi Digital” tak tanggung-tanggung disampaikan
oleh Presiden Joko Widodo sendiri, pada tanggal 3 Agustus 2020. Dari kelima
langkah tersebut, butir keempatnya yaitu menyiapkan kebutuhan SDM yang
bertalenta digital, adalah faktor penentu implementasi transformasi digital
Indonesia dan berbagai aktivitas ikutan atau problematika terkaitnya. Masyarakat
telematika di tanah air pastilah amat menyimak, bahwa instruksi-instruksi lanjutan
Presiden setelah itu adalah menyangkut hal-hal strategis lainnya, yaitu:
kemandirian digital, kedaulatan digital, dan juga penguatan produksi dalam negeri.
Karenanya keterlibatan aktif-kreatif dan kolaborasi total multistakeholder industri
dalam negeri (kalangan akademi, bisnis, pemerintah, komunitas dan media)
mutlak diperlukan. Transformasi Digital Indonesia tentu tidak berdiri sendiri. Sejak
2014, Indonesia telah menyiapkan konsep Rencana Pitalebar Indonesia yang pada
gilirannya berkembang melahirkan gagasan penerapan Smart City untuk seluruh
Kabupaten/Kota di Indonesia. Lalu, seiring derap global, pada tahun 2018 Presiden
pun telah mencanangkan gerakan Making Indonesia 4.0 sebagai
pengewajantahan dari Industry 4.0. Tiada yang tidak berubah selain perubahan itu
sendiri. Masyarakat terdidik Indonesia kini dituntut untuk meningkatkan
kemampuan literasi digitalnya. Kehidupan yang serba online, terintegrasi dan
realtime, menuntut peran segenap perguruan tinggi, sekolah dan juga Mastel untuk
secara nyata berpartisipasi mencerdaskan kehidupan bangsa. Disadari
sepenuhnya, bahwa Transformasi Digital bukanlah sekedar teknologi, lebih dari itu
1
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

penerapannya menyangkut pembentukan kultur baru di dalam semua aspek


kehidupan masyarakat yang terus berkembang dan berubah setiap saat.
Karenanya diperlukan D-Leadership dan pemenuhan tenaga bertalenta digital
serta berkemampuan iptek. Selamat berkolaborasi menyongsong Indonesia Emas
2045!

1. Pendahuluan
1.1. MBKI Menuju Smart City

Indonesia menyusun rancangan broadband internet sejak ditetapkannya Peraturan


Presiden No. 96 Tahun 2014 tanggal 15 September 2014 tentang Rencana Pitalebar
Indonesia (RPI) 2014 -2019. Dengan Perpres tersebut, maka dimulailah kampanye RPI
atau Indonesia Broadband Plan (IBP).

Dengan RPI, Indonesia sebagai bangsa bertekad menyelenggarakan sebuah sistem


internet yang usable, affordable and empowering (bermanfaat, terjangkau dan
memberdayakan) bagi masyarakat luas. Kita juga bercita-cita akan menghapuskan
kesenjangan digital (digital divide) pada akhir tahun 2019. Di samping itu, Indonesia
memulai penerapan gerakan Meaningful Broadband Kabupaten/Kota Initiative
(MBKI).

Sebagai satuan unit yang ditugaskan untuk “mengawal” pelaksanaan IBP, maka
bekerja sama dengan tim konsultan dari World Bank, Dewan Teknologi Informatika
dan Komunikasi Nasional (Wantiknas), pada tahun 2015 melakukan proyek
percontohan MBKI di 7 kabupaten/kota terpilih, yaitu: Kab. Banyuasin (Sumatera
Selatan), Kota Pekalongan (Jawa Tengah), Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur),
Kabupaten Jembrana (Bali), Kota Balikpapan (Kalimantan Timur), Kabupaten
Minahasa Utara (Sulawesi Utara), dan Kabupaten Jayapura (Papua).

Bersamaan dengan penyelenggaraan MBKI IBP tersebut, pada tahun 2015 itu juga,
Wantiknas dan organisasi Masyarakat Telematika (Mastel) menerima kunjungan dari
Japan International Cooperation Agency (JICA), secara terpisah. Tim JICA pada
prinsipnya menyampaikan konsep pengembangan dan pelayanan kota berbasis TIK
yang tengah berlangsung di pelbagai kota (besar) di seluruh negara maju. Dan
konsep inilah yang sekarang kita kenal dengan sebutan “Smart City”.

1.2. Connect, Innovate and Transform

Dengan pertimbangan referensi implementasi yang ada, penggunaan aplikasi yang


tersedia, dan sekaligus turut dalam gerak percepatan penyediaan SDM bertalenta TIK
bagi wilayah Indonesia yang luas, Tim Pelaksana Wantiknas yang diketuai Ilham A.

2
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Habibie, bersepakat “me-merge” MBKI sebagai Smart City, dengan


mempertimbangkan wawasan global, konsepsi nasional, dan berkearifan lokal.

Berbasis pemikiran adanya keunggulan teknologi Internet of Things (IoT), maka pada
dasarnya penyelenggaraan Smart City yang MBKI memiliki 5 program prioritas: e-
Government, e-Health, e-Education, e-Logistic, dan e-Procurement. Adapun platform
yang digunakan menganut asas: Connect, Innovate, and Transform. Dalam
perkembangannya, maka platform ini juga disinergikan dengan konsep global yang
berkembang dan kemudian hadir di Indonesia, seperti kita kenal sekarang sebagai
gerakan: Transformasi Digital.

Dari kelima program prioritas tersebut, e-Government telah dirumuskan menjadi


Perpres No.95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).
Dalam perjalanannya SPBE sejatinya telah menjadi “induk” dari berbagai sistem
berbasis elektronik, termasuk penerapan Smart City di seluruh kabupaten/kota di
Indonesia.

2 . Transformasi Digital Indonesia

2.1. Kesenjangan Digital

Pada saat memberikan policy statement di Konferensi International


Telecommunication Union (ITU) 2022 di Bucharest Romania, pada 27 September
2022, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate

3
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

menyampaikan bahwa guna menanggulangi kesenjangan digital, Indonesia


menggelar kabel serat optik sepanjang 460.000 km yang membentang di darat dan
di bawah laut Nusantara. Gelaran tersebut lebih dari 11 kali keliling bumi yang
panjangnya 40.075 km.

Upaya Indonesia dalam membangun infrastruktur digital merupakan bagian dari


cita-cita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan akses internet
kepada semua orang di muka bumi. PBB menargetkan aksesibilitas internet tersebut
pada tahun 2030, dan diyakini akan membuat mutu kehidupan umat manusia di
planet ini menjadi lebih baik.

Sebagai catatan, saat ini masih ada 2,7 miliar orang dari 8 miliar populasi dunia yang
belum terhubung internet. Dari jumlah itu, 60 juta di antaranya ada di Indonesia. Dari
data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), per kuartal I/2022 jumlah
pengguna internet di Indonesia adalah 210,02 juta atau sekitar 76 persen dari populasi
Indonesia per 30 Juni 2022, sebesar 275.361.261 jiwa.

Lebih detail dari hal itu, Kemkominfo per Februari 2022 menginformasikan pula
bahwa 12.548 dari 83.216 Desa dan Kelurahan di Indonesia, belum terjangkau akses
Internet berkecepatan tinggi (4G).

Dengan kenyataan tersebut, kita bisa menyatakan bahwa penerapan transformasi


digital secara menyeluruh di Indonesia harus dilaksanakan secara paralel.
Implementasi dan konektivitas Transformasi Digital di wilayah yang telah tersedia
akses internet pita lebar dapat berjalan di depan, sementara di wilayah 3T (terdepan,
terluar, dan tertinggal) dilaksanakan sambil melakukan pembangunan jaringan baik
oleh Operator, Pemkab, khususnya oleh BAKTI Kominfo.

2.2. Dampak Transformasi Digital

Pagebluk pandemi covid-19 yang melanda dunia sejak sekitar awal tahun 2020, tidak
dipungkiri telah menyebabkan pelambatan pembangunan bidang infrastruktur dan
meluluhlantakan kegiatan pelbagai sektor industri. Namun di balik musibah tersebut,
kita mendapatkan hikmah perubahan yang amat signifikan di bidang kehidupan
masyarakat.

Kebijakan pembatasan dalam bentuk “lockdown” atau di Indonesia dikenal sebagai


Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara ketat mulai kuartal
I/2020 selama sekitar satu setengah tahun, telah menjadikan masyarakat Indonesia
bertransformasi menjadi insan digital.

4
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

PPKM memaksa masyarakat bekerja secara online dengan metoda work from home
(WFH); menjadikan para siswa dan mahasiswa menuntut pelajaran dengan cara
online Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ); dan pemanfaatan jasa kesehatan melalui
media online, seperti Halodoc, Alodokter dan lain-lain. Lebih dari itu transaksi
pelayanan jasa transportasi dan belanja secara online, meningkat drastis. Gojek, Grab,
Tokopedia, Shopee dan pelbagai jasa yang diselenggarakan pihak swasta, berperan
besar dalam pemberian fasilitas layanan jasa di saat pandemi.

Pembangunan masyarakat digital global yang semula diperkirakan terjadi dalam


waktu 4 tahun ke depan, nyatanya dapat terjadi dalam waktu 6 bulan saja. Ini adalah
“prestasi” yang luar biasa, sekaligus momentum perubahan cara hidup atau bahkan
pembentukan budaya/kultur baru di kalangan masyarakat secara masif.

Saat ini masyarakat telah amat terbiasa dengan aplikasi-aplikasi online dalam
kesehariannya. Masuk ke dalam mal dengan menggunakan Peduli Lindungi, dan
pelbagai berkomunikasi lainnya. Kuncinya adalah menggunakan ponsel di tangan,
adanya sinyal internet dan tersedianya media aplikasi.

2.3. Percepatan Transformasi Digital

Di Indonesia proses digitalisasi telah dimulai sejak tahun 1990-an, saat mana PT
Telkom melakukan perubahan dari sistem telepon analog menjadi sistem telepon
digital, dengan melakukan instalasi Sentral Telepon Digital Indonesia (STDI) dan STDI-
Kecil (STDI-K) di seluruh Indonesia. Di bidang seluler, PT Telkom juga memulai
digitalisasi dengan Pilot Project Sistem Telepon Bergerak Seluler (STBS) dengan
sistem Global System for Mobile Communication (GSM) 2G digital di Batam dan
Bintan pada tahun 1993.

Isu transformasi digital secara global kemudian lahir di sekitar tahun 2013 menyusul
semakin merebaknya tema Industry 4.0 yang diluncurkan di Hannover Fair 2011.
Banyak definisi yang dapat ditemukan. Salah satunya, “Transformasi Digital adalah
bagian dari proses teknologi yang terus berkembang. Transformasi Digital juga
merupakan perubahan yang berhubungan dengan penerapan teknologi digital
dalam semua aspek kehidupan masyarakat” (Wikipedia).

Seorang guru besar Universitas Columbia USA, lebih jelas menyampaikan bahwa,
“Digital Transformation is not about technology. It’s about strategy, leadership and
new way of thinking” .

5
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Di Indonesia, transformasi digital telah menjadi gerakan nasional dengan


dicanangkannya program “5 Langkah Percepatan Transformasi Digital” oleh
Presiden Joko Widodo, pada tanggal 3 Agustus 2020.

Kelima langkah tersebut adalah: (lihat gambar).

2.4. Penyiapan SDM Bertalenta Digital

Salah satu poin penting dalam program percepatan transformasi digital Indonesia,
adalah dalam bidang penyediaan SDM bertalenta digital. Presiden memerintahkan
agar dalam 15 tahun ke depan, Indonesia mampu menyediakan lulusan perguruan
tinggi dengan kompetensi TIK atau digital sebanyak 600.000 per tahun. Artinya
dalam rangka menyongsong program Indonesia Emas 2045, kita memerlukan
tambahan 9.000.000 tenaga sarjana bertalenta digital.

Hal ini juga sejalan dengan 4 Target Kabinet Indonesia Maju jilid II, di mana
penyediaan tenaga SDM yang berkemampuan Iptek menjadi program prioritas
Indonesia pada kurun waktu 2019 – 2024. Salah satu target prioritas utama lainnya
adalah penerapan Making Indonesia 4.0 yang telah dicanangkan oleh Presiden pada
tanggal 4 April 2018.

6
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Smart City Nasional


3.1. Smart City Is City Mayor’s Passion

Judul sub bab di atas kiranya amat mewakili persepsi banyak pihak, siapa sebenarnya
pejabat yang paling berwenang dalam pelaksanaan program Smart City di suatu
Kabupaten atau Kota. Saat ini di Indonesia terdapat 514 Kab/Kota yang tersebar di 38
Provinsi (termasuk 4 provinsi baru di tanah Papua) di seluruh NKRI.

Yang kedua, harus diakui bahwa kementerian teknis yang membawahi


Provinsi/Kabupaten/Kota adalah Kementerian Dalam Negeri. Oleh karenanya kepada
Kemendagri-lah para Gubernur/Bupati/Walikota seyogyanya berkiblat dalam
pelaksanaan program Smart City di masing-masing wilayahnya.

Masalah adanya kementerian lain yang terlibat (atau merasa paling terlibat), hal ini
amat wajar terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian
tersebut. Kementerian Kominfo tentu amat berperan, mengingat basis penerapan
Smart City adalah teknologi informatika dan komunikasi. Kementerian Penertiban
Aparatur Negara terkait prosedur tata kelola dan kebijakan birokrasi (program SPBE),
Kementerian Kesehatan menyangkut program e-health, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam hal konten e-education; dan seterusnya.

Di tingkat Kabupaten/Kota pun demikian pula. Di bawah pimpinan Bupati/Walikota,


program Smart City harus merupakan agenda kerja semua dinas yang ada, sesuai
tupoksi masing-masing. Pimpinan daerah sebaiknya membentuk Dewan Smart City,
sehingga persepsi bahwa program ini dimiliki salah satu dinas dapat terhindari.

3.2. Apakah Smart City?

Banyak sekali definisi tentang Smart City yang bisa didapat dari pelbagai sumber.
Namun dari materi Strategi dan Arah Pengembangan Kebijakan Smart City
Indonesia, diperoleh definisi sebagai berikut:

7
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.3. Konsep Smart City

Sebaik-baik konsep Smart City, maka filosofi yang seharusnya dianut adalah
berwawasan global, berstandar nasional dan dalam penerapannya berkearifan lokal.

Di banyak negara, guna menampung sedemikian banyak aspirasi multistakeholders,


dibentuklah Dewan Smart City Nasional atau Badan Smart City Nasional yang
dikepalai oleh semacam “Chief of Smart City Officer”. Berdasarkan dari banyak kota
yang ada, diperoleh sebuah penjabaran atas konsep dan standar nasional, sistem
interoperabilitas antara satu dan lain kota, pola berbagi pakai (sharing) aplikasi
sehingga terjadi efisiensi dan penyaluran data/informasi yang berjenjang dari tingkat
kota – provinsi – dan nasional dan sebaliknya.

Bila hal ini dapat diimplementasikan di Indonesia, maka sustainability program


Smart City akan sangat efisien dan efektif, dan tidak akan terpengaruh bila terjadi
perubahan kepemimpinan di daerah. Aliran satu data dan satu kebijakan pemerintah
pusat akan sangat powerful. Hal ini sesuai dengan kaidah awal pita lebar, yaitu:
usable, affordable, dan empowering.

Berikut adalah kutipan 6 konsep Smart City dari referensi yang sama:

8
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.4. Dari Smart City Menuju Smart Nation

Dengan menggunakan acuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, mau tidak


mau program Smart City Nasional wajib memenuhi amanat “6 Layanan Dasar” yang
harus diberikan Pemkab/kota kepada masyarakat, yaitu: bidang Pendidikan,
Kesehatan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Ketentraman Masyarakat, dan
Sosial.

Bila keenam layanan dasar tersebut dapat dipenuhi dan ditambah lagi pelbagai
layanan kreativitas Pemda yang sesuai dengan kondisi masyarakat, maka dari
program Smart City diharapkan akan terbentuk Smart Nation yang berbasis pada
Smart People. Itulah pada dasarnya Smart City yang berstandar nasional dan
berkearifan lokal.

3.5. Digital Leadership

Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan program Transformasi Digital


dan Smart City, seperti telah diuraikan di atas. Faktor pertama adalah tersedianya
konektivitas berupa sarana dan prasarana infrastruktur, berupa jaringan digital yang
berkualitas dan reliable. Melengkapi faktor network, diperlukan perangkat, aplikasi
dan konten. Dengan kata lain, secara dukungan teknologi diperlukan Device,
Network, dan Application (DNA).

Namun yang paling utama adalah diperlukannya kepemimpinan digital dari orang
nomor satu di tempat penerapannya, baik di perusahaan maupun di wilayah. Dialah
yang akan mewarnai kebijakan transformasi digital di sana, karena pada dasarnya
kreativitas dan implementasi pada satu unit berbeda dengan unit yang lain. Dia
adalah bupati atau walikota, di tingkat kabupaten atau kota.

Faktor berikut adalah peran serta dari obyeknya. Mereka adalah para pemangku
kepentingan, yaitu masyarakat luas dalam tataran daerah, atau pelanggan/nasabah
dalam suatu perusahaan. Program Transformasi Digital atau Smart City tidak ada
gunanya bila tidak memberikan nilai tambah dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Pembentukan kultur atau cara kehidupan baru pada akhirnya terbentuk dengan
penerapan digitalisasi.

9
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Terakhir, keberhasilan Smart City ditandai dengan seberapa jauh tingkat


pertumbuhan kecerdasan masyarakat sebagai obyek dan subyek. Dia adalah smart
people yang memiliki kualitas sebagai insan dan kaya dengan asupan literasi.

Korelasi keempat faktor penentu tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut:

4. Kesimpulan

1. Keberhasilan program Transformasi Digital Indonesia dalam pelbagai


bentuk penerapannya (SPBE, Smart City, Making Indonesia 4.0 dan lain-
lain) akan berdampak positif bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan
negara.
2. Mastel mampu berperan besar dalam program Percepatan Transformasi
Digital
3. Diperlukan kepemimpinan digital, penggalakan budaya literasi dan
penyertaan unsur Academy (perguruan tinggi), Business, Government
(aparatur pemerintah), Community, dan Media (ABGCM) secara intens dan
berkelanjutan.
4. Penerapan Smart City Nasional memerlukan “Chief of Smart City Officer”,
sehingga keterpaduan, efisiensi dan interoperabilitasnya dapat berjalan
efektif.
5. Momentum pembentukan masyarakat digital sebagai dampak dari masa
pandemi adalah modal yang amat berharga bagi proses transformasi
digital menuju Indonesia Emas 2045.

Bandung, 28 November 2022

10
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Garuda Sugardo

Alumni Fakultas Teknik di Universitas Indonesia. Penulis pernah menjadi kepala


proyek percontohan di GSM TELKOMSEL, Batam Bintan pada tahun 1993 sampai
tahun 1994. Selain itu, penulis juga pernah memimpin Tim Peluncuran Satelit
TELKOM di Kourou, France Guiana.

Pada tahun 2000, penulis mendapatkan predikat “Bapak Selular Indonesia” dari Pokja
Wartawan Telco. Juga seorang penulis novel sejarah berjudul “TELKOMSEL IN FIRST
ERA”, dan artikel tentang TIK.

11
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
MENDUKUNG SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALs

Risargati
Ketua Bidang Teletopik

Abstrak - Menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045, telah ditetapkan sasaran-


sasaran yang tertuang dalam Target Pembangunan Berkelanjutan atau lebih
dikenal dengan istilah Sustainable Development Goals. Berdasarkan pemutakhiran
informasi dari Bappenas atas pencapaian Indonesia dalam program SDGs, Mastel
menyoroti beberapa sasaran yang belum tercapai yang diyakini dapat diselesaikan
melalui pendekatan digital. Sejalan dengan tugas Mastel untuk mengawal
transformasi digital yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi melalui
ekonomi digital, Mastel mengulas lebih dalam tentang dua dari empat pilar SDGs
yaitu pilar Pembangunan Ekonomi dan pilar Hukum dan Tata Kelola. Kedua pilar
tersebut berkaitan erat dengan kepastian tersedianya jaringan pita lebar untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta tersedianya sistem layanan publik
dan tata kelola pemerintahan yang baik melalui Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE).

Peningkatan kualitas SDM Indonesia sangat prioritas untuk dipersiapkan


mengingat Index Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang masih harus
ditingkatkan. Pemberdayaan SDM yang berliterasi dan beretika digital merupakan
kunci untuk memanfaatkan teknologi digital demi kemakmuran rakyat, dan
selanjutnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki akan mampu mendorong
kemajuan Indonesia. Sangat dipercaya bahwa kualitas SDM Indonesia yang unggul
akan mendorong target pengentasan kemiskinan, sehingga tercipta masyarakat
adil dan makmur yang merata di seluruh Indonesia.

Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan studi literatur dari dokumen-


dokumen yang diterbitkan pada tahun 2021-2022 dari berbagai sumber yang
terpercaya, untuk mengetahui posisi Indonesia di regional dan internasional.
Diharapkan dengan informasi ini dapat dipilih langkah-langkah yang tepat sasaran
untuk mengisi kesenjangan dalam pencapaian target-target SDGs sehingga akan
terwujud visi Indonesia sebagai negara maju.

1. Latar Belakang

Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV yang memuat tujuan dan cita-cita bangsa
Indonesia, menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
13
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,


mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mencapai
cita-cita dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, Pemerintah
mencanangkan Visi Indonesia 2045 saat Indonesia mencapai usia 100 tahun.

Dalam rangka mencapai Visi Indonesia 2045 Pemerintah telah menetapkan target-
target Tujuan Pembangunan Berkesinambungan (TPB) atau yang kita kenal dengan
istilah Sustainable Development Goals (SDGs).

Pemerintah menargetkan GDP per kapita sebesar USD 23.199 pada tahun 2045,
dengan sasaran antara target 2036 sebesar USD 13.162 (Gambar-1)1. Capaian ini
tentunya membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Pandemi
covid-19 menjadi pertimbangan dampak pencapaian target TPB, diharapkan dengan
New Normal kita optimis target-target tersebut dapat dicapai.

Tulisan ini dimaksudkan agar kita dapat memahami apa yang menjadi target
Pemerintah dalam melaksanakan programs-program SDGs. Dengan demikian
diharapkan pembaca juga dapat berkontribusi secara aktif.

Gambar-1: Visi Indonesia 2045 – TPB/SDGs Sebagai Instrumen Utama

1 Presentasi Kepala Bappenas – Sosialisasi Peraturan Presiden No 111 Tahun 2022 tanggal 18 Oktober
2022

14
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Berdasarkan paparan Kepala Bappenas pada tanggal 18 Oktober 2022 dalam acara
Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2022, disampaikan capaian-capaian
atas target 4 (empat) pilar pembangunan, yaitu Pilar Sosial, Pilar Ekonomi, Pilar
Lingkungan, dan Pilar Hukum dan Tata Kelola. Capaian program-program SDGs
dikategorikan dalam 3 indikator yaitu:

a. Indikator sudah mencapai target,


b. Indikator yang akan tercapai/membaik,
c. Indikator membutuhkan perhatian yang serius.

Sejalan dengan fokus Mastel untuk memberikan masukan-masukan regulasi TIK


dan mengawal transformasi digital yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi
melalui ekonomi digital, maka Mastel fokus pada 2 (dua) pilar yaitu Pilar
Pembangunan Ekonomi serta Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola,
khususnya pada indikator yang membutuhkan masukan perbaikan.

2. Pilar Pembangunan Ekonomi

Mastel menyoroti indikator yang masuk dalam kategori “indikator yang


membutuhkan perhatian yang serius”. Sebagaimana dijelaskan pada Gambar-22,
Pemerintah menetapkan 2 (dua) indikator, antara lain:

a. Proporsi “Penduduk yang Terlayani Mobile Broadband”, dan


b. Persentase “Penduduk Miskin di Daerah Tertinggal”.

2 Presentasi Kepala Bappenas – Sosialisasi Peraturan Presiden No 111 Tahun 2022 tanggal 18 Oktober
2022
15
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-2: Highlight Capaian Pilar Pembangunan Ekonomi.

Proporsi “Penduduk yang Terlayani Mobile Broadband” baru mencapai 96,19%, sedikit
di bawah target nasional sebesar 98,5%. Sementara Persentase “Penduduk Miskin di
Daerah Tertinggal” meningkat dari tahun 2019, 2020 dan 2021 sebesar 20,1%, 26,43%
dan 26,68%. Hal ini dimungkinkan terjadi dengan adanya pandemi covid-19 yang
berdampak pada sektor ekonomi.
Mastel menganalisa adanya korelasi di antara kedua indikator tersebut, bahwa
meningkatnya kemiskinan di daerah tertinggal karena kurangnya fasilitas jaringan
broadband (pita lebar) di daerah tersebut.

Hal ini dapat dibuktikan pada daerah perkotaan dan pedesaan yang telah terlayani
layanan pita lebar, maka ekonomi rakyat yang terimbas pandemi covid-19 lebih cepat
pulih karena banyak kegiatan yang semula dilakukan secara luring dapat dilakukan
secara daring. Gambar-3 memperlihatkan peringkat kabupaten/kota yang berada di
peringkat 10 besar di tahun 20213 menunjukkan index kompetitif digital (digital
competitive index) sebagai ukuran ketersediaan ekosistem digital yang memadai.

3 Digital Competitive Index 2021 – East Venture

16
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-3: EV-DCI Score Distribution Map

Namun demikian, pengertian tersedianya layanan digital tidak semata-mata hanya


karena tersedianya jaringan pita lebar, tetapi juga termasuk tersedianya ekosistem
digital yaitu tersedianya gawai pintar (smartphone) dan paket data dengan harga
yang terjangkau serta literasi digital bagi pengguna layanan digital.

Gambar-4 memperlihatkan belum meratanya jumlah pengguna smartphone


berdasarkan geografis Indonesia. Pulau Jawa dan Sumatera telah mencapai
penetrasi 86,6% dan 84,4%, pulau Kalimantan baru mencapai 52,12% sementara pulau
Bali & Nusa Tenggara dan pulau Sulawesi baru mencapai angka 45,24% dan 43,82%.
Penetrasi yang masih rendah tentu menjadi hambatan bagi masyarakat untuk
mendapatkan manfaat dari layanan digital.

Dorongan untuk meningkatkan penggunaan smartphone, perlu diselaraskan antara


smartphone dan smart user dengan meningkatkan literasi digital. Hal ini tentu
penting agar masyarakat dapat mengoptimalkan seluruh sarana dan prasarana
digital untuk kegiatan yang produktif dan untuk mencegah masyarakat dari
penipuan/kejahatan digital.

17
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-4: Jumlah pengguna smartphone di Indonesia4

3. Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola

Berdasarkan paparan kepala Bappenas tanggal 18 Oktober 2022 (Gambar-5) 5,


disampaikan bahwa dari sisi tata kelola negara, score Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) termasuk salah satu “indikator yang akan
tercapai/membaik”.

Gambar-5: Highlight Capaian Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola

4 https://goodstats.id/article/mengulik-perkembangan-penggunaan-smartphone-di-indonesia-sT2LA
5 Presentasi Kepala Bappenas – Sosialisasi Peraturan Presiden No 111 Tahun 2022 tanggal 18 Oktober
2022

18
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Hasil ini memberikan ruang peningkatan score SAKIP agar masuk dalam kategori
indikator yang memenuhi target nasional. Yang menarik dari penilaian ini, adanya
catatan bahwa terjadi penurunan persentase Kementerian/Lembaga yang memiliki
score > B. Gambar-6 menggambarkan score B berada pada rentang angka 60 < B <
70 dimana score B berada 4 (empat) tingkat di bawah score AA, A dan BB.

Sejalan dengan tujuan transformasi digital, akuntabilitas kinerja instansi pemerintah


seyogyanya dapat semakin ditingkatkan. Mastel menganalisa bahwa kondisi tersebut
ada korelasi dengan belum terimplementasinya Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE) yang terpadu secara nasional. Saat ini, beberapa Pemerintah
Daerah dan Kementerian/Lembaga memang telah memiliki sistem komputerisasi,
namun belum terhubung secara nasional menjadi satu pusat data dan informasi.
Masing-masing masih terpisah satu dengan yang lainnya. Belum adanya standarisasi
data akan menyulitkan terbentuknya management information system nasional
yang terpadu.

Besarnya jumlah penduduk di Indonesia mengharuskan Indonesia memiliki Satu


Pusat Data dan Informasi yang berguna untuk:

a. Proses pengambilan keputusan yang strategis di tingkat nasional,


b. Penetapan program-program kerja Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan
data yang ada dan system monitoring pencapaian program kerja,
c. Pengukuran indeks kepuasan masyarakat atas layanan publik dari suatu instansi
pemerintah,

19
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-6: Kategori Penilaian SAKIP6

d. Pengukuran indeks kinerja instansi Pemerintah termasuk kinerja koordinasi antar


instansi Pemerintah,
e. Tersedianya satu data nasional yang akurat dari lintas instansi, sehingga
menghasilkan analisa big data yang akurat.
f. Penetapan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik baik dari aspek tata kelola, prosedur, kemampuan SDM, maupun kebijakan.

4. Peran Pusat Data Nasional (PDN) dalam SPBE.

Sebagaimana disebutkan diatas pentingnya peran satu data nasional sebagai


dukungan atas pelayanan publik oleh Pemerintah. Pemerintah Indonesia sedang
melakukan pembangunan satu dari empat Pusat Data Nasional. Peletakan batu
pertama pembangunan Pusat Data Nasional (PDN) di Cikarang - Jawa Barat

6 https://www.menpan.go.id/site/reformasi-birokrasi/tingkat-penilaian-akip-rating

20
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dilakukan pada tanggal 9 November 2022 oleh Menkominfo7 dan diharapkan selesai
dalam 2 (dua) tahun.

PDN kedua dibangun di Batam, yaitu di kawasan Nongsa Digital Park. Kawasan ini
dipilih karena dinilai sudah memiliki infrastruktur digital yang mampu
menghubungkan wilayah tersebut dan sekitarnya ke kawasan Barat Indonesia.
Selanjutnya, PDN ketiga akan dibangun di Balikpapan, Kalimantan Timur guna
mendukung pusat pemerintahan baru. Terakhir, PDN keempat akan dibangun di
Labuan Bajo untuk menghubungkan Indonesia bagian barat dengan timur. Koneksi
antar PDN, akan memanfaatkan jaringan Palapa Ring.

Data Nasional yang akan tersimpan di dalam PDN merupakan satu dari beberapa
domain yang membentuk kerangka arsitektur SPBE Nasional (Gambar-7).
Momentum tersedianya PDN harus terus didukung agar transformasi digital di sisi
layanan Pemerintah melalui implementasi SPBE minimal dapat mencapai tingkat
memuaskan (score A).

Berdasarkan kerangka arsitektur SPBE Nasional, secara paralel harus juga disiapkan
domain-domain yang lain, agar jika “rumah” PDN telah selesai dibangun secara fisik
diharapkan manajemen SPBE dapat langsung beroperasi sehingga manfaat yang
disasar dapat tercapai.

Dibutuhkan pembahasan yang cukup rinci, sehingga ada beberapa hal yang cukup
krusial yang patut menjadi perhatian antara lain:

a. domain Keamanan SPBE yang kita kenal dengan istilah keamanan siber (cyber
security) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan peta jalan (road map) di
Bappenas, dan

b. domain proses bisnis SPBE yang antara lain menyangkut aspek organisasi
pengelola, kewenangan, keterkaitan antar instansi, dan penyiapan personil yang
ahli di bidangnya.

7 https://aptika.kominfo.go.id/2022/11/menkominfo-resmikan-pembangunan-pusat-data-nasional-
pemerintah-pertama-di-indonesia/
21
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar 7. Kerangka Arsitektur SPBE Nasional

Implementasi SPBE memerlukan digital leadership dan etika digital (digital ethic)
dari para pemimpin di tingkat pusat dan daerah maupun Kementerian/Lembaga.
Digital Leadership dibutuhkan agar setiap pimpinan memahami manfaat
infrastruktur dan layanan berbasis digital sebagaimana dijelaskan pada Gambar-7.
Pemimpin (leader) yang memiliki digital leadership akan :
a. Mampu mendorong agar setiap instansi yang dipimpinnya memberikan
kontribusi input yang dibutuhkan oleh sistem SPBE,
b. Menggunakan data/informasi yang ada di PDN untuk menganalisa setiap situasi
yang ada dalam kewenangannya dengan menggunakan data yang benar,
c. Menggunakan informasi dari PDN untuk menghasilkan output yang benar.
d. Memiliki kepedulian untuk meningkatkan literasi digital bagi timnya.

Etika digital diperlukan oleh seluruh jajaran instansi pemerintah, agar dapat
menjaga seluruh prosedur yang ditetapkan dalam SPBE untuk menjaga keamanan
informasi dan semata-mata digunakan untuk pelayanan kepada masyarakat.

Kedepannya penghargaan Adipura dapat diperluas dengan penilaian capaian


layanan SPBE, sehingga Daya Saing Digital (Digital Competitive Index) Indonesia di

22
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

tahun 2023 dapat meningkat secara signifikan dari peringkat 56 di tahun 2020,
peringkat 53 di tahun 2021 dan peringkat 51 di tahun 20228.

5. Peringkat Indonesia

Mengamati capaian dari Pilar Ekonomi dan Pilar Hukum dan Tata Kelola tersebut di
atas, terdapat tiga kata kunci terkait dengan SDGs yang memerlukan upaya
perbaikan, yaitu:

a. Proporsi penduduk yang terlayani broadband baru mencapai 96,19% (target


nasional 98,5%),
b. Peningkatan persentase penduduk miskin di daerah tertinggal (26,68% di tahun
2021).
c. Penurunan prosentase Kementerian/Lembaga yang memiliki score > B.

Merujuk pada beberapa indikator yang berhubungan dengan ketiga kata kunci di
atas, Mastel melakukan pengamatan indeks pembangunan manusia (IPM) yang
terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
IPM mengukur 3 (tiga) indikator yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat yang merujuk pada ketentuan UNDP9, yaitu :
● Umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life);
● Pengetahuan (knowledge); dan
● Standar hidup layak (decent standard of living).

Dimensi umur panjang dan hidup sehat direpresentasikan oleh indikator umur
harapan hidup saat lahir. Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH) merupakan rata-rata
perkiraan lamanya waktu (dalam tahun) yang dapat dijalani oleh seseorang selama
hidupnya termasuk faktor yang berkaitan dengan ketersediaan nutrisi yang cukup
dan kesehatan yang baik.

Dimensi pengetahuan direpresentasikan oleh Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-
rata Lama Sekolah (RLS). Kedua indikator tersebut merefleksikan kemampuan
masyarakat untuk mengakses pendidikan, khususnya pendidikan formal. HLS
menggambarkan kesempatan yang dimiliki masyarakat untuk menempuh jenjang
pendidikan formal, sedangkan RLS menggambarkan stok modal manusia yang
dimiliki oleh suatu wilayah. Harapan Lama Sekolah adalah lamanya sekolah (dalam
tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak yang berumur 7 tahun, sementara

8 sumber : Institute Management of Development/IMD 2022


9 Sumber: Badan Pusat Statistik 2022
23
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

rata-rata lama sekolah merupakan jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk usia 25
tahun ke atas dalam menempuh pendidikan formal.

UNDP menggunakan data Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebagai
indikator pada dimensi standar hidup layak. Akan tetapi, data tersebut tidak tersedia
di tingkat daerah sehingga digunakan indikator pengeluaran riil per kapita yang
disesuaikan sebagai alternatif. Indikator ini dapat dihitung hingga tingkat
kabupaten/kota. Indikator pengeluaran riil per kapita juga mampu mencerminkan
indikator pendapatan masyarakat dan menggambarkan tingkat kesejahteraan yang
dinikmati oleh penduduk sebagai output dari kegiatan ekonomi.

Gambar-8: Capaian IPM dan pertumbuhannya di Indonesia 2010-2021

Pandemi mengakibatkan melemahnya IPM (Gambar-8), namun dengan berjalannya


waktu, IPM Indonesia kembali meningkat di tahun 2021. Sebagaimana kita ketahui,
selain kebijakan Pemerintah yang tepat sasaran dalam penanganan covid-19, peran
layanan digital juga berkontribusi besar untuk perbaikan peringkat IPM Indonesia.

Penggunaan layanan telemedicine sangat membantu masyarakat yang terdampak.


Tentunya layanan telemedicine tersebut juga dapat meningkatkan kesehatan ibu
dan anak/bayi sehingga memperbaiki dimensi Umur Panjang dan Hidup Sehat.

Sementara itu layanan e-education dapat mengurangi angka putus sekolah dengan
menyediakan sarana belajar digital di lokasi umum terdekat di desa sehingga
meningkatkan dimensi pengetahuan. Peningkatan Standar Hidup Layak dapat
memanfaatkan teknologi digital dalam pengolahan kekayaan alam setempat untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat misalnya aplikasi pemantauan cuaca untuk

24
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

nelayan dan petani, teknologi penyemprotan pupuk menggunakan drone yang


dinavigasi melalui aplikasi di smartphone, pemasaran hasil produk/jasa masyarakat
melalui platform digital, dan sebagainya. Hal ini tentu akan meningkatkan
Pendapatan Nasional Bruto (PNB) yang mencerminkan pendapatan masyarakat
pada suatu wilayah. PNB lebih merepresentasikan kondisi riil di lapangan
dibandingkan PDB.

Gambar-9: Capaian IPM per Provinsi 2021

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ketersediaan layanan digital dapat


meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dapat dibuktikan dengan
membandingkan Gambar-9 dengan Gambar-3 terlihat bahwa propinsi-propinsi yang
telah memiliki layanan digital memiliki peringkat IPM yang setara dengan standar
nasional (score: 72,29)

Peringkat IPM Indonesia tahun 2021 dan 2022 bertahan di peringkat 114 dari 183
negara10. Peringkat IPM memperlihatkan posisi Indonesia masih memerlukan kerja
keras dari seluruh pemangku kepentingan agar target pengentasan kemiskinan
dapat dicapai. Mastel meyakini bahwa layanan digital yang merata di seluruh wilayah
Indonesia dapat meningkatkan peringkat-peringkat tersebut secara signifikan.

10 (sumber: https://hdr.undp.org/data-center/country-insights#/ranks)
25
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

6. Pentingnya Jaringan Pita Lebar

Syarat pertama agar layanan digital dapat terselenggara tentu dengan ketersediaan
jaringan pita lebar. Penetrasi tercepat dari layanan pita lebar adalah melalui layanan
mobile broadband, yang dapat tercapai jika penggelaran jaringan pita lebar dapat
dilaksanakan dengan cepat dan terarah. Arah pembangunan jaringan pita lebar
seyogyanya diselaraskan dengan rekapitulasi data nasional dimana wilayah-wilayah
yang harus mendapatkan jaringan pita lebar, sehingga setiap penggelaran jaringan
dapat segera dirasakan efektifitasnya.

Jaringan pita lebar khususnya di daerah terpencil dibangun dari dana USO sebagai
kontribusi dari para penyelenggara telekomunikasi, termasuk operator seluler.
Program kerja Kementerian Kominfo untuk mencapai target pembangunan jaringan
pita lebar di daerah 3T patut diapresiasi. Hal yang terpenting adalah ketersediaan
jaringan pita lebar ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.

Dalam kenyataannya, saat ini masih terdapat kendala dalam penggelaran jaringan
pita lebar di beberapa daerah karena adanya hambatan dari Pemerintah Daerah.
Diperlukan satu komando dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
memberikan perlakuan yang setara atas keseriusan membangun infrastruktur
jaringan pita lebar seperti halnya Pemerintah serius membangun infrastruktur
jalan tol, jalan penghubung, pelabuhan dan bandara.

Sejatinya, jaringan pita lebar merupakan bagian dari infrastruktur yang patut
didukung keberadaannya. Pandemi covid-19 membuktikan kesiapan Penyelenggara
Telekomunikasi (khususnya Operator Seluler dan Operator Fixed Broadband)
Indonesia dalam mendukung kebutuhan Pemerintah dan masyarakat akan layanan
digital. Pembangunan jaringan pita lebar memang menjadi kewajiban
Penyelenggara Telekomunikasi tersebut sebagai bagian dari kewajiban atas lisensi
yang dimiliki.

Namun hambatan perizinan penggelaran jaringan di sejumlah daerah di tingkat


kabupaten/kota mengakibatkan terhambatnya kelancaran pembangunan jaringan
pita lebar. Mastel mengusulkan agar jaringan pita lebar dimasukkan ke dalam
peraturan perundang-undangan sebagai essential infrastructure facilities dan
sebagai aset nasional yang perlu didorong pembangunannya dan dijaga
keberadaannya, demi tercapainya pemerataan layanan digital di seluruh wilayah
Indonesia. Komitmen ini termasuk juga tersedianya regulasi yang mencegah
terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan jaringan pita lebar.

26
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

7. Layanan Digital sebagai Solusi mendukung SDGs – program


pengentasan kemiskinan/ peningkatan kesejahteraan masyarakat

Sejalan dengan motto Mastel – Living Enabler, pandemi covid-19 telah membuktikan
bahwa layanan digital memungkinkan hampir seluruh kegiatan masyarakat tetap
dapat dilakukan melalui kegiatan daring, baik kegiatan ekonomi, pendidikan,
kesehatan, perkantoran/organisasi, pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan,
manufaktur dan sebagainya.

Oleh karena itu, program pengentasan kemiskinan juga dapat dipercepat dengan
bantuan layanan digital. Masyarakat dapat diberdayakan sesuai dengan sumber daya
alam yang tersedia sehingga masyarakat dapat dilatih untuk produktif mengolah
hasil alam sekitar untuk menghasilkan produk/jasa berkualitas prima.

Petani dan nelayan, misalnya, tidak hanya fokus sebagai penanam dan pemanen hasil
bumi, namun juga mampu mengolah hasil panennya menjadi suatu barang
setengah jadi atau barang jadi yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dengan
memanfaatkan teknologi.

Layanan digital dapat dimanfaatkan untuk:

a. Alat monitoring Pemerintah dalam mengevaluasi pencapaian program-program


peningkatan kesejahteraan masyarakat,
b. Pemerintah dapat menyelenggarakan layanan publik yang lebih berkualitas dan
merata di seluruh wilayah Indonesia,
c. Pemerintah dan masyarakat dapat memasarkan hasil-hasil produk/jasa Indonesia,
tidak saja dalam lingkup nasional namun juga internasional,
d. Alat bantu analisa produk/jasa dan target pasar sesuai minat konsumen sehingga
meningkatkan kelas UMKM,
e. Pemerintah dapat menyalurkan Bantuan Sosial secara non-tunai dengan
membangun budaya non-tunai (cashless society).

8. Layanan Digital – mendukung Cashless Society

Luasnya geografi Indonesia memberikan kendala tersendiri dalam penyediaan uang


tunai. Hal tersebut dapat diminimalkan jika Pemerintah mendorong program
transaksi non-tunai melalui layanan digital sehingga terbentuk cashless society.
Dalam penerapan program non-tunai perlu dibuat pengelompokan sesuai
kebutuhan (needs) masyarakat akan layanan jasa keuangan yang dapat berbeda-
beda di setiap wilayah.

27
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Tingkat penetrasi penggunaan smartphone di Indonesia yang belum merata


(Gambar-4), menyebabkan tidak semua penduduk dapat mengakses layanan
keuangan non-tunai. Masih diperlukan teknologi sederhana seperti SMS untuk dapat
dilakukannya transaksi non-tunai. Sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, menjadi dasar pemberian kesempatan kepada seluruh lapisan
masyarakat dapat menikmati layanan keuangan non-tunai.

Mendorong industri smartphone dalam negeri dengan harga yang terjangkau


(affordable) merupakan salah satu wujud implementasi layanan digital untuk
mendorong kesejahteraan masyarakat.

Di berbagai negara, pembayaran mikro (micro payment) menggunakan kode QRIS


sudah merambah sampai ke pelaku ekonomi mikro, hal ini bukan tidak mungkin
dapat dilakukan juga di seluruh Indonesia. Banyak keuntungan dari transaksi non
tunai, selain aman, nyaman dan dapat melayani jumlah kecil (micro payment).
Keuntungan transaksi non tunai selain meminimalkan kendala distribusi uang kertas,
juga menghindarkan kemungkinan pemalsuan dan kerusakan uang kertas.

Gambar-10 dan Gambar-1111, menunjukkan perbandingan negara yang menggunakan


transaksi tunai dan non-tunai. Prosentase pembayaran secara tunai di Indonesia
sebesar 15% sementara di Norwegia, Finlandia dan Selandia Baru hanya 2%, dan di
Singapura hanya 1%.

11 (sumber: https://www.paymentscardsandmobile.com/which-countries-are-most-reliant-on-cash-and-
which-are-least-reliant/)

28
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-10: Negara yang bergantung kepada transaksi tunai

Di beberapa kota besar di Indonesia sudah mulai dapat ditemukan tempat-tempat


yang menyediakan pembayaran dengan QRIS. Namun masih perlu diperluas ke
pedagang-pedagang kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan di kota-kota
besar, tukang sayur keliling, penjual makanan/minuman keliling dan pedagang-
pedagang sektor informal lainnya masih bergelut dengan uang kertas. Kecakapan
para pekerja di sektor informal ini dalam memanfaatkan layanan digital merupakan
guru yang baik untuk meningkatkan literasi digital saat mereka pulang kampung.

Untuk mendukung program non-tunai tentu diperlukan kehandalan sistem dan


keamanan bertransaksi.

29
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-11: Penggunaan non-tunai pada 10 negara Eropa

Jumlah unbanked people di Indonesia yang masih cukup besar tentunya menjadi
kendala tersendiri dalam transaksi non-tunai, mengingat saat ini semua layanan e-
money berkorelasi dengan akun di bank. Data Bank Dunia menunjukkan di tahun
2021 terdapat 97,74 juta orang dewasa di Indonesia yang masuk kategori “tidak
tersentuh layanan perbankan” (unbanked). Jumlah tersebut setara dengan 48% dari
populasi dewasa di dalam negeri.

Jumlah penduduk unbanked di Indonesia merupakan yang terbesar keempat di


dunia, setelah India, Cina, dan Pakistan. Secara rinci, jumlah penduduk unbanked di
India tercatat sebanyak 228,98 juta orang pada 2021 atau setara dengan 22% dari
populasi India. Cina menyusul dengan jumlah penduduk dewasa unbanked sebesar
130,27 juta orang atau 11,29%. Kemudian, penduduk dewasa unbanked di Pakistan
sebanyak 113,77 juta orang atau 79,02%.

30
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar-12:. Komposisi Pelanggan Paska Bayar dan Pra Bayar

Mengingat masih banyaknya jumlah masyarakat Indonesia yang unbanked, salah


satu solusi peningkatan transaksi non-tunai dapat ditempuh melalui kebijakan
Pemerintah dengan mendorong unbanked people untuk mendapatkan layanan
keuangan melalui jasa layanan keuangan yang dimiliki Operator Seluler.

Jumlah pelanggan telepon seluler tahun 2021 berjumlah 365,88 juta pelanggan
(Gambar-12), jauh lebih besar dari jumlah nasabah bank. Operator Seluler memiliki
lisensi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang diterbitkan Bank Indonesia,
sehingga memungkinkan para pelanggannya mendapatkan layanan keuangan
digital.

Layanan Keuangan Digital dari Operator Seluler merupakan kolaborasi yang sangat
baik dengan Bank. Seluruh dana yang terhimpun diwajibkan disimpan di Custodian
Bank, tidak perlu ada akun perorangan di Bank sehingga mudah bagi masyarakat
yang belum terlayani layanan perbankan.

31
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

9. Penutup

Keberhasilan transformasi digital Indonesia dalam mendukung pencapaian target-


target SDGs membutuhkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan melalui
digital society. Mengisi kemerdekaan internet pita lebar dengan mendukung
kemudahan penggelaran infrastruktur jaringan, memiliki digital leadership,
meningkatkan digital literasi dan soft skill, menemukan inovasi produk dan jasa
digital untuk mendukung kegiatan masyarakat, meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat melalui layanan SPBE, beretika dalam dunia digital, memberikan rasa
optimis bahwa Visi Indonesia Maju akan terwujud. Seluruh target tersebut perlu
didukung dengan regulasi yang pro transformasi digital untuk memberikan
kepastian hukum dan kedaulatan digital Indonesia.

32
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Risargati
Penulis adalah Ketua Bidang Teletopik Mastel 2022 sampai sekarang. Sebelumnya
penulis menjadi Wakil Ketua Bidang Teletopik dari 2021 sampai 2022.

Lulusan Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia tahun 1986 ini pernah bekerja
sebagai Head of Regulatory PT Indosat pada 2009 sampai 2015.

Penulis juga pernah menjadi Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Mastel dari 2018
sampai 2021.

33
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
MEMBANGUN KEYAKINAN KONSUMEN
AKAN KEBENARAN TAGIHAN JASA TELEKOMUNIKASI

Johny Siswadi
Ketua Bidang Regulasi dan Hukum Telematika
MASTEL

Abstrak - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal mengatur


‘wajib tera’ dan ‘wajib tera ulang’ bagi alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya. Di sisi lain, terhadap sistem billing telekomunikasi tidak ada
‘wajib tera’ maupun ‘wajib tera ulang’. Padahal sistem billing telekomunikasi berupa
perangkat berbasis IT (Information Technology) yang melibatkan penggunaan
perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang tidak mudah
dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Apalagi, perangkat lunak yang
digunakan mengandung algoritma-algoritma rumit, yang ilmunya hanya dikuasai
oleh segelintir ahli pengembang aplikasi IT. Dalam hal ini, diperlukan persyaratan
sertifikasi dan/atau audit guna memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa
sistem billing telekomunikasi dapat dipercaya, handal dan akurat. Tujuan ‘wajib
sertifikasi’ dimaksudkan untuk menyetarakan dengan ‘wajib tera’, dan ‘wajib audit’
untuk menyetarakan dengan ‘wajib tera ulang’.
Kata kunci : tagihan jasa telekomunikasi, perlindungan konsumen, sistem billing,
audit sistem billing.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Tagihan jasa telekomunikasi merupakan beban finansial yang tergolong primer bagi
mayoritas warga negara di era digital sekarang ini. Pengeluaran biaya perorangan,
biaya rumah tangga maupun biaya perusahaan untuk jasa telekomunikasi menjadi
beban rutin yang tidak sedikit jumlahnya. Bagi konsumen golongan ekonomi
menengah ke atas kemungkinan tidak menjadi beban yang memberatkan, namun
bagi golongan menengah ke bawah hampir dapat dipastikan cukup memberatkan.
Tagihan jasa telekomunikasi dalam hal ini berlaku baik untuk jenis prabayar maupun
pasca bayar. Dengan prabayar, tagihan berjalan/terjadi paralel dengan saat
pemakaian atau setidaknya semi real time sesaat setelah selesai pemakaian.

Konsumen jasa telekomunikasi pada umumnya mengetahui satuan-satuan


pemakaian jasa telekomunikasi, akan tetapi tidak paham bagaimana
mengukur/menghitung pemakaiannya. Satuan-satuan pemakaian dan tarif per

35
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

satuan akan menghasilkan tagihan. Tampaknya sederhana, namun faktanya tagihan


jasa telekomunikasi tidak mudah dipahami oleh mayoritas konsumen jasa
telekomunikasi. Apalagi mayoritas masyarakat konsumen jasa telekomunikasi tidak
memiliki kemampuan untuk mengukurnya, sehingga tidak bisa mengkonfirmasi
kebenaran atau akurasi tagihan yang diterimanya (untuk konsumen pasca bayar),
atau kecepatan berkurangnya deposit paket data atau deposit pulsa yang dimilikinya
(untuk konsumen prabayar). Akibatnya, konsumen hanya pasrah pada tagihan yang
harus dibayarnya atau kecepatan ‘pembakaran’ deposit pulsa/paket data yang
dimilikinya. Walaupun disediakan media komplain atau pengaduan oleh pelaku
usaha telekomunikasi, namun pada prakteknya konsumen selalu pada posisi lemah.
Faktanya, kebanyakan komplain tagihan jasa telekomunikasi diselesaikan tanpa
pernyataan puas dari konsumen.

Ketidakpuasan konsumen atas penyelesaian klaim tagihan jasa telekomunikasi


dan/atau ketidakpahaman konsumen akan tagihan pemakaian jasa telekomunikasi
tidak begitu saja dapat dinilai sebagai ketiadaan perlindungan konsumen. Untuk
menilai ada tidaknya perlindungan konsumen jasa telekomunikasi terkait dengan
tagihan memerlukan kajian komprehensif. Tulisan ini diharapkan dapat menyajikan
kajian akan hal tersebut.

1.2 . Identifikasi Masalah

Berbagai permasalahan yang harus dicarikan jawabannya dan diberikan solusinya


melalui kajian ini adalah:

1. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang ada dapat melindungi


konsumen jasa telekomunikasi terkait dengan jaminan kebenaran dan/atau
akurasi tagihan pemakaian jasa telekomunikasi?
2. Bagaimana pelaku usaha telekomunikasi seharusnya mengupayakan agar
konsumen jasa telekomunikasi dapat menerima tagihan jasa telekomunikasi
dengan keyakinan akan kebenaran dan keakurasiannya secara memadai?
3. Apakah regulasi sistem billing telekomunikasi di Indonesia sudah memadai?
Bagaimana dengan penegakan regulasi dimaksud?

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji tingkat keyakinan (level of confidence) akan
kebenaran dan keakuratan tagihan jasa telekomunikasi yang dirasakan atau dialami
oleh masyarakat konsumen jasa telekomunikasi pada umumnya. Keyakinan tersebut
sangat menentukan kepercayaan (trust) terhadap ekosistem telekomunikasi di
Indonesia yang dipandu oleh regulasi yang harus menaunginya.

36
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Dari penelusuran sepintas, terutama benchmark dengan regulasi telekomunikasi


negara lain, perlindungan konsumen terkait sistem billing telekomunikasi di
Indonesia masih belum memadai. Dengan kajian ini diharapkan dapat dicarikan
solusi regulasi dan implementasinya untuk meningkatkan kepercayaan konsumen
terhadap kebenaran dan keakuratan tagihan jasa telekomunikasi (untuk konsumen
pasca bayar) dan/atau pembayaran jasa telekomunikasi secara real time dengan
pengurangan deposit (untuk konsumen prabayar).

Kebutuhan regulasi sistem billing telekomunikasi memerlukan justifikasi yang logis


dan mencukupi. Melalui benchmark dengan regulasi telekomunikasi dari beberapa
negara lain diharapkan tulisan ini dapat digunakan sebagai acuan awal (initial
reference) untuk menyusun regulasi sistem billing telekomunikasi di Indonesia.

2. Kajian Berbagai Aspek

2.1 . Kajian Aspek Teknis Pengukuran

Semua jenis tagihan atas pembayaran barang dan/atau jasa melibatkan berbagai
metrik yang relevan yaitu satuan-satuan ukuran, takaran, timbangan, atau ukuran
kadar/kualitas. Benda-benda yang kasat indera (terutama indera mata) pada
umumnya ada alat ukur, alat takar atau alat penimbangnya. Untuk jasa ada beberapa
jenis jasa yang takaran/ukuran/timbangannya jelas, mudah dipahami dan dapat
dikonfirmasi seperti jasa transportasi (berat/km, kecepatan km/jam, lama perjalanan
dalam jam atau menit), jasa akomodasi (ukuran kamar, lama menginap, dan
sebagainya). Tagihan-tagihan atas pembelian atau konsumsi barang-barang/jasa-
jasa tersebut bertumpu pada harga per satuan barang/jasa. Satuan-satuan yang
dikenal masyarakat luas antara lain: satuan berat kilogram (kg), satuan panjang/lebar
meter (m), satuan volume cairan (liter), satuan panas derajat celcius ( C), satuan daya
o

listrik watt, kilo watt (W, kW), satuan jarak kilometer (km), satuan kecepatan kilometer
per jam (km/jam), dan sebagainya. Karena sifatnya relatif sederhana dan tidak perlu
melibatkan kedalaman ilmu pengetahuan yang kompleks, maka tagihan-tagihan
atas pembelian atau konsumsi barang/jasa tersebut mudah dipahami dan diyakini
kebenarannya oleh konsumen. Bagaimana dengan tagihan jasa telekomunikasi?

Jasa telekomunikasi juga memiliki berbagai satuan ukuran sebagai dasar untuk
penagihan. Berbagai satuan ukuran pemakaian jasa telekomunikasi di antaranya
adalah:
1. Satuan ukuran volume/lama panggilan adalah ‘menit panggilan’ (minutes call);

37
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. Satuan ukuran layanan pesan singkat (SMS) adalah ‘jumlah SMS per hari’, ‘jumlah
SMS per minggu’, ‘jumlah SMS per bulan’, atau ’jumlah SMS per paket SMS’.
Batasan per SMS yang berlaku adalah 160 karakter per SMS;
3. Satuan layanan internet dapat terdiri dari:

a. jumlah satuan sambungan internet (tanpa melihat trafik penggunaan);


b. kecepatan transmisi data digunakan ‘Kbps (Kilobyte per second)’, ‘Mbps
(Megabyte per second)’, atau ‘Gbps (Gigabyte per second);

c. volume data paket yang digunakan MB (Mega Byte) per paket atau GB (Giga
Byte) per paket.

4. Satuan penggunaan satuan sambungan digunakan jumlah lines atau jumlah


nomor smartphone yang digunakan.
5. Satuan layanan sewa kanal digunakan jumlah kanal per periode sewa (misalnya
hari, bulan, atau tahun);
Belum lagi paket bundling berbagai jenis layanan telekomunikasi seperti paket data
yang digabung dengan menit panggilan dan jumlah SMS per bulan, paket data untuk
penggunaan internet, media sosial dan streaming, serta berbagai kombinasi
bundling lainnya.

Konsumen jasa telekomunikasi pada umumnya mengetahui satuan-satuan ukuran


pemakaian jasa telekomunikasi tersebut, namun jarang yang memahami bagaimana
mengukur volume konsumsinya.

Semua ukuran pemakaian tersebut ada alat ukurnya, yaitu sistem billing (billing
system) yang memanfaatkan teknologi IT (information technology). Karena harus
melibatkan sistem IT yang kompleks dengan algoritma yang sulit dipahami, proses
dan cara kerja sistem billing telekomunikasi juga tidak dipahami oleh mayoritas
konsumen jasa telekomunikasi. Akibatnya, output sistem billing telekomunikasi yang
divisualisasikan dalam bentuk tagihan pemakaian jasa telekomunikasi (untuk jenis
pasca bayar) atau dalam bentuk pengurangan deposit prabayar (untuk jenis
prabayar) menjadi tidak diyakini kebenaran atau keakurasiannya. Dengan kata lain
output sistem billing telekomunikasi berupa tagihan jasa telekomunikasi tidak
mudah dikonfirmasi kebenaran dan keakurasiannya. Kalaupun bisa dikonfirmasi,
belum tentu konsumen bisa memahaminya. Oleh karena itu mau tidak mau
konsumen terpaksa harus percaya pada data tagihan (untuk pasca bayar) yang
diterbitkan, atau kecepatan pengurangan deposit (untuk prabayar) yang diatur oleh
pelaku usaha telekomunikasi melalui sistem billing telekomunikasi.

Selain itu, terdapat alat-alat tera atau alat peneraan untuk memastikan
kebenaran/akurasi berbagai alat ukur seperti timbangan (alat penimbang berat), alat

38
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

ukur panjang/lebar (meteran), alat ukur listrik (meteran listrik), alat ukur waktu (stop
watch), alat ukur volume zat cair (literan). Keberadaan alat-alat tera tersebut
memberikan keyakinan kepada masyarakat akan keakuratan dan kebenaran alat-alat
ukur barang-barang kasat mata seperti benda padat, benda cair, ukuran kecil
maupun ukuran besar dan juga barang tak kasat mata yang umum seperti listrik,
tekanan udara, kecepatan dan sebagainya. Sayangnya, untuk alat ukur jasa
telekomunikasi ‘alat teranya’ tidak tersedia. Perlu dicarikan solusi yang bisa
memberikan keyakinan konsumen atas kebenaran atau akurasi pengukuran
konsumsi jasa telekomunikasi.

2.2 . Kajian Peraturan Perundang-undangan

2.2.1 . Regulasi Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) dalam beberapa pasalnya


mengatur hal-hal sebagai berikut :

1. Pasal 4 angka 1, memberikan hak kepada konsumen untuk


mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Dengan kata lain, Pelaku Usaha berkewajiban menjamin
dipenuhinya hak-hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan
dan keselamatan mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Untuk semua jenis
barang dan/atau jasa, termasuk jasa telekomunikasi, “kenyamanan”
mengkonsumsi sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan (trust)
terhadap tagihan pembayaran yang akan timbul.

2. Pasal 4 angka 3, memberikan hak kepada konsumen untuk mendapatkan


informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa. Pasal 7 huruf b, mengatur kewajiban bagi Pelaku Usaha untuk
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan. Artinya, tagihan jasa telekomunikasi juga harus benar dan jelas.
Selain itu, penyelenggara telekomunikasi harus jujur dalam proses penagihannya.
Harus dipastikan tidak ada hal-hal yang secara sengaja maupun tak sengaja
disembunyikan atau tidak transparan.

3. Pasal 8 ayat (1) huruf c, mengatur larangan bagi Pelaku Usaha untuk
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya. Larangan bagi Pelaku Usaha ini menimbulkan
kewajiban kepada Pelaku Usaha untuk memproduksi dan/atau

39
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

memperdagangkan sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah


dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. Jika diterapkan untuk jasa
telekomunikasi, maka sistem billing telekomunikasi harus benar dan akurat
pencatatan dan perhitungannya sesuai dengan konsumsi jasa telekomunikasi
yang sebenarnya, serta dengan menerapkan harga yang benar.

4. Pasal 7 huruf c, mewajibkan Pelaku Usaha untuk memperlakukan dan/atau


melayani konsumen secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Tampak di sini
kebenaran tagihan dan kejujuran perhitungan tagihan dari Pelaku Usaha
ditegaskan kembali.

Penerapan pasal-pasal Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut pada


perdagangan barang dan/atau jasa pada umumnya (di luar jasa telekomunikasi)
tampaknya tidak perlu disangsikan. Namun penerapan untuk perdagangan jasa
telekomunikasi memerlukan instrumen tambahan, baik berupa regulasi lebih detil
maupun tindakan teknis tambahan lainnya guna memberikan keyakinan akan
kebenaran pengukuran yang lebih baik yang pada gilirannya memberikan kepuasan
kepada konsumen.

2.2.2 . Regulasi Telekomunikasi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan


Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi,
mengatur perihal tagihan pemakaian jasa telekomunikasi sebagai berikut :

1. Pasal 18 UU 36/1999

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci


pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna
telekomunikasi.

(2) Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa


telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikannya.

(3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa


telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

40
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. Pasal 16 PP Nomor 52 Tahun 2000

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci


pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna
telekomunikasi.

(2) Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa


telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikannya.

3. Pasal 17 PP Nomor 52 Tahun 2000

(1) Catatan/rekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disimpan sekurang-


kurangnya 3 (tiga) bulan.

(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi berhak memungut biaya atas permintaan


catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi.

Dari kutipan pasal-pasal peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi


di atas, tampak bahwa pelaku usaha telekomunikasi hanya wajib memastikan
ketersediaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi (secara rinci).
Tujuannya tentu saja dalam rangka perlindungan konsumen. Sejauh mana rincian
rekamannya tidak didefinisikan/diuraikan lebih lanjut. Seharusnya rincian rekaman
pemakaian jasa telekomunikasi dapat diatur lebih lanjut pada peraturan perundang-
undangan pada hirarki di bawahnya yaitu pada Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika yang relevan. Untuk itu marilah kita periksa peraturan dimaksud.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13 Tahun 2019


tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, dalam Pasal 21 mengatur:

“Penyelenggara jasa telekomunikasi menjamin akurasi sistem pencatatan


pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan untuk penagihan (billing) atas
pemakaian jasa telekomunikasi oleh pelanggan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”

Ditegaskan di sini bahwa akurasi sistem billing telekomunikasi harus dijamin sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi peraturan perundang-
undangan yang mana tidak ditunjukkan dengan tegas. Semestinya regulasi ini
diterjemahkan lagi ke dalam standar akurasi yang dapat dijadikan referensi. Tidak
dijumpai peraturan yang mengatur standar akurasi sistem billing telekomunikasi di
Indonesia. Dalam prakteknya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pelaku
usaha jasa telekomunikasi.

41
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2.2.3 . Regulasi Metrologi Legal

Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas. Metrologi


legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metoda-metoda
pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan
berdasarkan undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam
hal kebenaran pengukuran.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (UU 2/1981) Tentang Metrologi Legal mengatur
satuan-satuan ukuran dasar yang berlaku sah. Satuan-satuan ukuran tersebut harus
berdasarkan standar internasional. Undang-undang ini juga mengatur tentang
standar-standar satuan dan persyaratannya, alat-alat ukur, takar, timbang, dan
perlengkapannya serta berbagai persyaratan yang harus dipenuhi terkait alat-alat
dimaksud.

Meski UU 2/1981 mengatur berbagai macam satuan-satuan dasar ukuran serta alat-
alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya, namun masih banyak satuan-satuan
ukur, takar, timbang yang terlewatkan atau tidak diatur di dalamnya. Pasal 3 ayat (1)
menyebutkan daftar satuan-satuan ukuran terbatas pada :

a. Satuan dasar besaran panjang adalah meter;

b. Satuan dasar besaran massa adalah kilogram;


c. Satuan dasar besaran waktu adalah sekon;
d. Satuan dasar besaran arus listrik adalah ampere;
e. Satuan dasar besaran suhu termodinamika adalah kelvin;
f. Satuan dasar besaran kuat cahaya adalah kandela;

g. Satuan dasar besaran kuantitas zat adalah mole.

Satuan-satuan umum lainnya banyak yang tidak masuk dalam daftar tersebut, antara
lain satuan tegangan listrik volt, satuan daya listrik watt, satuan volume zat cair liter,
satuan kecepatan kilometer per jam. Tidak dimasukkannya satuan-satuan tersebut
kemungkinan karena satuan-satuan tersebut tidak masuk dalam kategori satuan
dasar, melainkan masuk kategori satuan turunan yang harus diatur dalam Peraturan
Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang berhirarki lebih rendah
seperti Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal atau Peraturan Lembaga Non
Kementerian. Sayangnya penulis belum menemukan peraturan-peraturan
dimaksud. Begitu pula satuan-satuan ukuran konsumsi jasa telekomunikasi, penulis
tidak menemukan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

42
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Tidak kalah penting adalah persyaratan mengenai alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya. Pasal 12 UU 2/1981 mengamanatkan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya, dengan ketentuan:

a. wajib ditera dan ditera ulang;

b. dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya;

c. syarat-syaratnya harus dipenuhi.

Menera adalah hal menandai dengan tanda tera sah atau tanda tera batal yang
berlaku, atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah
atau tanda tera batal yang berlaku, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak
melakukannya berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar,
timbang dan perlengkapannya yang belum dipakai. Tera ulang adalah hal menandai
berkala dengan tanda-tanda tera sah atau tera batal yang berlaku atau memberikan
keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tera batal yang berlaku,
dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya berdasarkan pengujian
yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang telah
ditera.

Lebih lanjut Pasal 13 UU 2/1981 memerintahkan Menteri mengatur tentang:

a. pengujian dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;

b. pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang;

c. tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan tera ulang alat-
alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis-jenis tertentu.

Kemudian Pasal 14 UU 2/1981 mengatur sebagai berikut:

(1) Semua alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang pada waktu
ditera atau ditera ulang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c Undang-undang ini dan yang tidak mungkin
dapat diperbaiki lagi, dapat dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi, oleh
pegawai yang berhak menera atau menera ulang.

(2) Tatacara pengrusakan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya


diatur oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Peraturan Pemerintah 2/1985 mengatur tentang wajib dan pembebasan


untuk ditera dan/atau ditera ulang serta syarat-syarat bagi alat-alat ukur, takar,

43
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

timbang, dan perlengkapannya. Pasal 2 PP 2/1985 mengatur alat-alat ukur,


takar, timbang dan perlengkapannya yang secara langsung atau tidak
langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai untuk
keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan
untuk:
a. kepentingan umum;
b. usaha;
c. menyerahkan atau menerima barang;
d. menentukan pungutan atau upah;
e. menentukan produk akhir dalam perusahaan;

f. melaksanakan peraturan perundang-undangan;

wajib ditera dan ditera ulang.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-Dag/Per/10/2014 tentang Tera dan Tera


Ulang Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya mengatur hal-hal teknis
mengenai peneraan alat-alat ukur dimaksud, yaitu termasuk kegiatan-kegiatan
pemeriksaan, pengujian dan pembubuhan tanda tera, tempat pelaksanaan tera dan
tera ulang, serta persyaratan-persyaratannya.

Jelas bahwa sistem billing telekomunikasi merupakan alat ukur yang semestinya
masuk kategori wajib ditera dan ditera ulang. Akan tetapi penulis tidak menemukan
informasi publik yang mengabarkan bahwa sistem billing telekomunikasi di
Indonesia ditera, apalagi ditera ulang. Meskipun berfungsi sebagai alat ukur, alat takar
atau alat hitung satuan pemakaian jasa telekomunikasi termasuk perhitungan biaya
yang harus dibayar oleh konsumennya, akan tetapi dianggap tidak berada di bawah
domain pengaturan di dalam UU 2/1981, PP 2/1985 maupun Peraturan Menteri
Perdagangan 70/M-Dag/Per/10/2014. Seharusnya ada peraturan tersendiri yang
mengatur peneraan sistem billing telekomunikasi. Ini menunjukkan ketidaksetaraan
antara sistem billing jasa telekomunikasi dengan jenis barang dan/atau jasa lainnya
yang diperdagangkan di masyarakat.

3. Sistem Billing Telekomunikasi

3.1 . Umum

Telecom Billing is a process of measuring and collecting telecommunications usage


records, aggregating them, applying required usage and rental charges, and finally
generating invoices for the customers. Telecom Billing process also includes receiving

44
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

and recording payments from the customers (Penagihan Telekomunikasi adalah


suatu proses pengukuran dan pengumpulan catatan penggunaan telekomunikasi,
penggabungannya, pengenaan biaya penggunaan dan biaya sewa yang sesuai, dan
akhirnya penerbitan tagihan untuk para pelanggan. Proses Penagihan
Telekomunikasi dapat juga termasuk penerimaan dan pencatatan pembayaran dari
pelanggan)

A billing system is a combination of software and hardware that receives call detail
and service usage information, grouping this information for specific accounts or
customers, produces invoices, creating reports for management, and recording
(posting) payments made to customer accounts (Sistem billing adalah suatu
kombinasi perangkat lunak dan perangkat keras yang mengolah informasi detil
panggilan dan penggunaan layanan, mengumpulkan informasi dimaksud untuk
akun-akun atau konsumen-konsumen spesifik, menerbitkan tagihan-tagihan,
menyusun laporan manajemen, dan mencatat (menempatkan) pembayaran yang
dilakukan ke akun-akun konsumen).

3.2 . Fungsi Sistem Billing

Sistem Billing melibatkan perangkat lunak (software) berkualitas tinggi (kelas atas),
handal dan mahal yang menjalankan berbagai fungsi, namun tidak terbatas pada
fitur-fitur penting berikut ini:

1. Pentarifan dan penagihan (rating and billing), yaitu fungsi pengenaan tarif
penggunaan produk atau layanan dan menerbitkan tagihan bulanan.

2. Memproses pembayaran (payment processing), yakni menampung/mencatat


pembayaran dari konsumen pada akun pembayaran.
3. Pengawasan dan pengumpulan piutang/tagihan (credit control and
collections), yaitu mengejar tagihan yang belum dibayar dan mengambil Langkah
atau tindakan yang tepat agar dilakukan pembayaran.

4. Perselisihan dan penyesuaian (disputes and adjustments), yakni mencatat


perselisihan dengan konsumen menyangkut tagihan-tagihannya dan melakukan
penyesuaian yang diperlukan untuk mengembalikan jumlah yang diperselisihkan
agar perselisihan dapat diselesaikan.
5. Layanan pembayaran di muka dan pembayaran di belakang (prepay and
postpay services) yakni memberikan dukungan kepada konsumen prabayar
maupun pascabayar.

6. Multi-bahasa dan berbagai mata uang (multilingual and multiple currencies),


yaitu dukungan multi-bahasa dan bermacam-macam mata uang yang

45
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

diperlukan, jika bisnisnya tersebar ke seluruh dunia dan memiliki konsumen dari
berbagai negara atau jika pengaturan oleh pemerintah menghendaki hal itu.
7. Penyelesaian antar operator (Inter-carrier settlements), yakni bagi hasil di antara
para operator yang saling menyediakan layanan terhadap konsumen operator
lainnya.

8. Produk dan layanan (products and services), yaitu menyediakan cara-cara yang
fleksibel untuk menjaga berbagai produk dan layanan serta menjualnya secara
individual ataupun dikemas dalam paket.

9. Pemberlakuan diskon (discount applications), yaitu mendefinisikan berbagai


skema diskon guna menghambat penurunan jumlah konsumen dan upaya
menarik serta meningkatkan basis konsumen.

3.3 . Jenis Layanan dan Jenis Beban Biaya

Jenis-jenis tagihan layanan jasa telekomunikasi yang harus ditangani oleh sistem
billing telekomunikasi meliputi:

1. Panggilan suara (voice call);


2. Layanan faksimili (fax services);
3. Layanan pesan singkat (SMS), layanan pesan multimedia (MMS) dan layanan
pesan lainnya (other messaging services);
4. Koneksi internet (internet connection);

5. Layanan unduh dan unggah data (data download and upload);

6. Panggilan video (video call), konferensi video (video conferencing), video


streaming;

7. Layanan-layanan berbasis internet protocol (IP based services), antara lain layanan
suara di atas IP (voice over IP) atau suara di atas VPN (voice over Virtual Private
Network).

Jenis-jenis layanan jasa telekomunikasi termasuk kategori layanan dasar. Kreatifitas


para pengembang produk dan layanan relatif tak terbatas. Banyak inovasi produk/
layanan jasa telekomunikasi dalam bentuk paket bundling berbagai jenis layanan
dasar dimaksud. Ini jelas membutuhkan variasi formula algoritma sistem billing yang
kreatif pula.

Kategori jenis beban biaya atau skema pengenaan biaya jasa telekomunikasi dapat
dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu :

46
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

1. Beban sewa (rental charges), yaitu biaya yang dikenakan kepada konsumen
sebagai biaya rutin bulanan atau per periode lainnya, misalnya biaya abonemen
per satuan sambungan telekomunikasi;

2. Biaya pemakaian (usage charges), yaitu biaya diambil dari konsumen


berdasarkan banyaknya pemakaian/pemanfaatan layanan, misalnya biaya
konsumsi data (untuk download, upload, atau streaming;

3. Biaya sekali pungut (one time charge), yaitu biaya yang diambil dari
pelanggan/konsumen hanya 1 X (sekali) saja, misalnya biaya inisiasi layanan
(pasang baru), biaya instalasi, biaya penangguhan atau biaya penghentian
layanan.

Bermacam-macam jenis biaya yang dipungut dari konsumen tersebut tergantung


dari kategori layanan yang dikonsumsi atau yang diterima oleh konsumen. Apapun
jenisnya harus bisa diproses oleh sistem billing telekomunikasi yang digunakannya.

3.4 . Tipe-tipe Tagihan (Billing Types)

Sistem billing telekomunikasi harus mampu menangani atau memproses berbagai


tipe tagihan jasa telekomunikasi yang mungkin diciptakan, yaitu:

1. Billing prabayar (pre-pay billing), yaitu suatu mekanisme penagihan, di mana


konsumen/pelanggan membayar di muka dan setelah itu baru mulai
menggunakan layanan. Biasanya, pelanggan prabayar tidak menerima faktur apa
pun dan langsung ditagih serta dipotong depositnya seketika oleh sistem billing
yang cerdas.
2. Billing pascabayar (post-pay billing), yaitu suatu mekanisme penagihan di mana
pelanggan membeli produk dan layanan dan menggunakannya sepanjang
periode waktu tertentu, misalnya periode bulan, dan pada akhir bulan, faktur
dihasilkan oleh penyedia layanan dan mengirimkan faktur tersebut kepada
pelanggan untuk melakukan pembayaran jatuh tempo.

3. Billing Interkoneksi (Interconnect billing), yaitu suatu mekanisme penagihan di


mana operator jaringan telekomunikasi biasanya bertanggung jawab secara
finansial untuk layanan yang diberikan kepada pelanggannya oleh jaringan lain
terlepas dari apakah pelanggan membayar atau tidak untuk layanan tersebut.
Tagihan interkoneksi terkait dengan antar-operator biasanya dikenal dengan
penyelesaian interkoneksi antar mitra (interconnect settlement).

4. Beban-beban jelajah (roaming charges), yaitu beban yang timbul ketika seorang
pelanggan berpindah dari satu area jangkauan operator jaringan ke area
jangkauan operator lain, operator pertama akan membayar biaya marginal ke

47
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

operator kedua untuk memberikan layanan kepada pelanggan mereka. Jenis


biaya tersebut diselesaikan melalui tagihan jelajah/roaming.
5. Billing konvergen (convergent billing), yaitu integrasi semua biaya layanan ke satu
faktur pelanggan. Tagihan konvergen berarti menciptakan tampilan layanan
terpadu tentang pelanggan dan semua layanan (layanan seluler, jasa
telekomunikasi tetap, layanan berbasis IP, dan lainnya) yang disediakan untuk
pelanggan dimaksud.

3.5 . Persyaratan Sistem Billing Telekomunikasi

Sistem billing telekomunikasi harus memenuhi kebutuhan untuk menangani


berbagai hal yang erat hubungannya dengan berbagai aspek manajemen yang
dapat memastikan kemampuan memaksimalkan tagihan/pendapatan dan
penerimaan pembayaran. Sistem billing telekomunikasi yang lengkap akan
memenuhi kebutuhan sebagai berikut:

1. Layanan Kastamer (Customer-interface Management). Sistem penagihan harus


dapat menangani kontak yang diinisiasi oleh pelanggan, mencermati kontak
pelanggan keluar, dan mengelola siklus kontak.

2. Pengelolaan Pesanan (Order Management). Ini adalah fungsi dasar yang harus
tersedia dalam sistem penagihan biasa. Sistem penagihan harus cukup mampu
untuk menangkap pesanan produk dan layanan dan mengelola siklus pesanan
masuk, dan mengawasi siklus penyelesaian pemesanan.
3. Penjualan dan Pemasaran (Sales and Marketing). Sistem penagihan yang
sempurna harus menjawab pertanyaan pelanggan, menangani pesanan,
memberikan dukungan penjualan, melacak prospek, mengelola kampanye
penawaran, menganalisis kinerja produk, dan mengakuisisi unit-unit tempat
tinggal prospektif berlangganan.

4. Paket Harga dan Pentarifan (Rate Plans and Rating). Sistem penagihan harus
mengelola berbagai produk dan layanan, paket tarif berbeda yang terkait dengan
produk dan layanan tersebut dan harus menyediakan cara yang fleksibel untuk
mengenakan harga penggunaan yang dihasilkan oleh produk dan layanan
tersebut.
5. Potongan Harga (Discounting). Sistem penagihan harus mampu memberikan
berbagai jenis diskon untuk berbagai penggunaan, abonemen, dan penyewaan.

6. Permintaan Bayar (Invoicing). Sistem billing akan melakukan pemeriksaan


tagihan, menghasilkan tagihan, memproses setoran, melakukan administrasi
akun, memelihara informasi pajak dan biaya, dan memproses informasi
keuangan.

48
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

7. Kontrol Kredit dan Pengumpulan (Credit Control & Collection). Sistem penagihan
harus mengontrol penggunaan dan pendapatan dengan menetapkan kelas
kredit yang berbeda untuk pelanggan yang berbeda. Sistem harus mendukung
pengumpulan pembayaran dan menampilkannya pada berbagai faktur.
8. Dukungan Multibahasa (Multilingual Support). Dukungan multibahasa
mencakup pemberian faktur dan layanan penanganan pelanggan dalam
berbagai bahasa untuk konsumen dari berbagai negara yang berbeda bahasanya.
9. Berbagai Mata Uang (Multiple Currencies). Banyak mata uang yang digunakan di
berbagai negara dapat menyulitkan sistem penagihan. Oleh sebab itu, sistem
penagihan dan layanan pelanggan harus mampu merekam dan memproses
dalam unit berbagai mata uang.
10. Pengelolaan Pendapatan Mitra (Partner Revenue Management). Manajemen
pendapatan mitra adalah pembagian pendapatan antara operator yang
menyediakan layanan kepada pelanggan satu sama lain (interkoneksi).
11. Penanganan Aduan (Problem Handling). Sistem penagihan juga harus dapat
mengatur masuknya tiket aduan, mengkoordinasikan penutupan tiket aduan,
dan melacak progres penyelesaian tiket aduan.

12. Laporan Kinerja (Performance Reporting). Sistem billing yang memuaskan akan
menyediakan pelaporan kinerja, memastikan pelaporan kualitas-layanan (QoS),
membuat laporan manajemen, dan menghasilkan laporan terkait regulasi
(regulation report).

13. Instalasi dan Pemeliharaan (Installation and Maintenance). Sistem billing juga
harus menyediakan penjadwalan tenaga kerja dan mengelola kegiatan yang
dilakukan di lokasi pelanggan.
14. Audit dan Keamanan (Auditing & Security). Sistem penagihan harus melakukan
audit data dan pemeriksaan integritas. Sistem yang aman selalu diinginkan oleh
operator.

3.6 . Kesalahan-kesalahan Tagihan (Typical Billing Errors)

Berbagai kesalahan tagihan jasa telekomunikasi yang mungkin terjadi antara lain
adalah :

• Tagihan untuk layanan yang sudah dihentikan (Still billed for disconnected
services).
Jika pelanggan meminta layanan dihentikan, pelanggan perlu melihat tagihan
telekomunikasinya dengan sangat hati-hati. Tidak tertutup kemungkinan pelanggan
dapat terus ditagih untuk layanan yang tidak lagi digunakannya. Pelanggan harus

49
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

melihat tagihan telekomunikasinya dengan hati-hati, dan memastikannya hanya


membayar layanan yang disetujui untuk dibeli/digunakan.

• Tagihan untuk layanan bagi pelanggan lain (billed for services that belong to
another customer)

Kesalahan tagihan bisa terjadi karena ketidaksesuaian identitas pelanggan. Dalam


hal ini, harus dipastikan bahwa yang bersangkutan benar-benar ditagih untuk
layanan yang dibeli, dan tidak membayar layanan telekomunikasi orang lain.

• Pemakaian melampaui paket yang dibeli (usage in excess of your plan


allowances)

Apakah pelanggan membeli paket layanan yang tepat? Jika pelanggan terus
menggunakan lebih banyak layanan dari yang diizinkan oleh paket layanan yang
dibeli, maka pelanggan akhirnya harus membayar tarif premium untuk layanan-
layanan di atas dan di luar paket yang dibeli pelanggan. Kasus ini terjadi karena
pelanggan salah memilih paket layanan, sehingga harus membayar terlalu banyak.

• Pemakaian jauh di bawah isi paket layanan (usages far below plan allowance)

Di sisi lain, apakah pelanggan setuju untuk membeli layanan yang tidak digunakan
pelanggan? Jika ini menggambarkan situasi pelanggan, maka pelanggan
dimaksud membayar lebih untuk kebutuhan paket layanannya. Dalam hal ini,
pelanggan telah salah memilih paket yang justru paling tidak menguntungkan
secara ekonomi bagi dirinya.

• Tagihan ke banyak akun dari perusahaan telekomunikasi yang sama (billed on


multiple accounts by the same vendor)

Jika pelanggan atas nama perusahaan besar dengan banyak akun, maka perlu
diperiksa secara silang semua akun untuk memastikan bahwa pelanggan tidak
membayar lebih dari satu akun untuk layanan yang sama. Jika kasus ini terjadi,
perusahaan telekomunikasi akan mendapat keuntungan finansial dari ‘kebingungan’
pelanggan ketika sampai pada sistem penagihan.

• Pendekatan “satu ukuran pas buat semua” (the “one size fits all” procurement
approach)

Paket layanan yang sesuai dengan pelanggan tertentu, tidak bisa menjadi solusi
terbaik untuk semua pelanggan. Bisa menjadi satu kesalahan jika pelanggan memilih
paket yang paling populer, padahal paket layanan tersebut tidak sesuai dengan
kebutuhan pelanggan yang bersangkutan.

50
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

• Tagihan untuk layanan paket daluwarsa (billed for services on outdated plans)

Lingkungan telekomunikasi berubah begitu cepat, sehingga kemasan paket layanan


telekomunikasi juga ikut berubah cepat menjadi usang/daluwarsa. Jika paket
layanan yang dibeli pelanggan sudah usang, maka tentunya harga layanan juga tidak
sesuai lagi dengan layanan yang diberikan. Ketika tersedia layanan baru yang lebih
baik, layanan lama menjadi usang, akibatnya pelanggan membayar layanan usang
dengan harga yang sangat mahal.

• Tagihan untuk layanan yang tidak ada dalam kontrak (billed for services not
under contract)

Pelanggan harus mengingat/mencatat semua layanan yang didaftarkan ketika


pelanggan menandatangani kontrak telekomunikasi. Jika pelanggan tidak
sepenuhnya yakin apa yang telah pelanggan setujui, maka pelanggan mungkin akan
membayar kesalahan untuk layanan yang tidak ada dalam kontrak.

4. Benchmarks Regulasi Sistem Billing Telekomunikasi

4.1 . Regulasi Sistem Billing Telekomunikasi di Indonesia

Mencermati uraian pada B.2 tentang kajian peraturan perundang-undangan yang


ada, dapat dilihat bahwa regulasi sistem billing telekomunikasi di Indonesia masih
belum memadai. Di mana peraturan perundang-undangan atau regulasi yang fokus
mengatur sistem billing telekomunikasi belum tersedia. Peraturan perundang-
undangan yang ada hanya mengatur hal-hal yang berhubungan atau dapat
dihubungkan dengan persoalan tagihan. Itupun hanya bersifat normatif. Pengaturan
yang bersifat teknis dan aplikatif belum tersedia. Fakta ini berbeda dengan
telekomunikasi di beberapa negara lain. Di negara-negara seperti India, Malaysia dan
Inggris, regulasi telekomunikasi mengatur secara detail sistem billing
telekomunikasi.

Terdapat beberapa regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan


Informatika yang mengatur standar kualitas pelayanan jasa telekomunikasi, di mana
di dalamnya mengatur standar kinerja tagihan. Hanya saja, regulasi-regulasi tersebut
beberapa tahun lalu dicabut dan hingga kini belum ada penggantinya. Regulasi-
regulasi tersebut adalah :

1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14/PER/M.KOMINFO/04/


2011 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan
Publik;

51
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 25 Tahun 2012 tentang


Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap Sambungan
Langsung Jarak Jauh;

3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 26 Tahun 2012 tentang


Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap Sambungan
Langsung Internasional;

4. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 27 Tahun 2012 tentang


Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap dengan
Mobilitas Terbatas;

5. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 15 Tahun 2013 tentang


Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap Lokal;
6. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 16 Tahun 2013 tentang
Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Bergerak Seluler;
7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 34 Tahun 2014 tentang
Standar Kualitas Pelayanan bagi Penyelenggara Jaringan Bergerak Satelit dan
Penyelenggara Jasa Teleponi Dasar Melalui Satelit;

Sesuai dengan jenis jasa telekomunikasi yang diatur di dalamnya, masing-masing


regulasi tersebut mengatur standar kinerja tagihan yang mencakup :

1. Prosentase keluhan atas akurasi tagihan maksimum dalam 1 (satu) bulan;


2. Cara perhitungan prosentase keluhan akurasi tagihan dimaksud;

3. Prosentase penyelesaian keluhan atas akurasi tagihan yang selesai dalam jangka
waktu 15 hari;
4. Cara perhitungan persentase penyelesaian keluhan atas tagihan dimaksud.

Meskipun materi regulasi tagihan dalam peraturan-peraturan tersebut di atas sangat


dangkal, namun fakta itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa ada
regulasi. Peraturan-peraturan Menteri tersebut telah dicabut melalui Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Jasa Telekomunikasi. Tampaknya beberapa peraturan Menteri yang dicabut tersebut
disatukan menjadi satu Peraturan Menteri. Akan tetapi dalam regulasi pengganti
Peraturan Menteri dimaksud tidak ditemukan lagi standar kinerja tagihan. Tidak
ditemukan penjelasan mengapa regulasi tersebut dicabut.

4.2 . Regulasi Sistem Billing Telekomunikasi di India

Regulator telekomunikasi India [Telecommunications Regulatory Authority of India


(TRAI)] mengatur sistem billing telekomunikasi sejak tahun 2006. TRAI telah

52
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

mengembangkan “Code of Practice for Metering and Billing Accuracy” dalam


rangka standarisasi dan transparansi prosedur yang harus diikuti oleh para
penyelenggara jasa telekomunikasi di India agar tagihan telekomunikasi memiliki
tingkat akurasi lebih baik.

Code of Practice for Metering and Billing Accuracy memuat prinsip-prinsip


pengukuran dan penagihan pemakaian jasa telekomunikasi sebagai berikut :

1. Mengatur akurasi pengukuran waktu, durasi, kuantitas, serta resolusi konsumsi


jasa telekomunikasi baik secara individual (per item) maupun agregat (total item),
yaitu:

Variabel Akurasi
Durasi +1 detik atau +0,1% -0.02%
Waktu harian + 1 detik
Hitungan Event +0.004% (1:25.000) -0.1%(1:1.000)
Nilai Tagihan +0.05% -0.002%
Jumlah Overcharged 0.004% (1:25.000)

2. Menetapkan aturan pembulatan untuk setiap satuan konsumsi jasa


telekomunikasi;
3. Pelaku usaha telekomunikasi wajib memiliki dan menerapkan “handling system
for billing complaint” untuk mengidentifikasi, menginvestigasi dan menangani
pengaduan tagihan serta membuat catatan-catatan penting yang diperlukan;

4. Menunjuk tim independen untuk menyeleksi auditor sistem billing yang


qualified dan menyediakan daftarnya untuk dipilih oleh pelaku usaha
telekomunikasi;
5. Mewajibkan pelaku usaha telekomunikasi melakukan audit sistem billing-nya
setiap tahun dengan memilih auditor dari daftar yang disediakan oleh TRAI, dan
melaporkan hasil auditnya kepada TRAI. Audit sistem billing dimaksudkan untuk
memastikan sistem billing yang digunakan memenuhi persyaratan standar yang
ditetapkan TRAI.

4.3 . Regulasi Sistem Billing di Malaysia

Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC) tidak secara


spesifik mengatur sistem billing telekomunikasi, melainkan menyisipkannya dalam
General Consumer Code of Practice for the Communications and Multimedia
Industry. Dalam Code of Practice tersebut diatur kewajiban pelaku usaha
telekomunikasi untuk :

53
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

1. memastikan agar konsumen mendapatkan informasi billing telekomunikasi yang


benar dan tepat waktu;
2. memastikan bahwa akurasi billing telekomunikasi dapat diverifikasi;

3. memastikan bahwa billing telekomunikasi tepat waktu;


4. menyimpan catatan billing telekomunikasi konsumen paling tidak untuk periode
1 tahun;

5. menyediakan saluran pengaduan/komplain mengenai tagihan telekomunikasi


dan melayani setiap komplain.

6. memenuhi ketentuan standar kualitas (QoS) billing telekomunikasi sebagai


berikut:

a. rasio komplain terhadap jumlah billing yang diterbitkan < 2% per bulan
b. penyelesaian komplain dalam kurun waktu 15 hari > 90% x jumlah komplain

4.4 . Regulasi Sistem Billing Telekomunikasi di Inggris

Regulator penyiaran, telekomunikasi, dan pos negara Inggris, dikenal dengan Ofcom
(Office of Communications), mengatur sistem billing telekomunikasi dalam Metering
and Billing Direction yang memuat persyaratan-persyaratan Total Metering and
Billing System (TMBS), yaitu antara lain:

1. TMBS harus mampu mencatat secara akurat pemakaian/penggunaan jasa


telekomunikasi dan mampu menghitung beban-beban tagihan yang harus
dibayar oleh konsumen dengan tarif yang benar;

2. Memastikan tersedianya catatan/laporan bulanan yang membuktikan kinerja


TMBS;

3. Pelaku usaha jasa telekomunikasi memiliki, menjalankan dan


mendokumentasikan :
a. proses untuk menerima, mengidentifikasi, menyelidiki dan menangani
kesalahan-kesalahan tagihan, termasuk proses di mana konsumen dapat
dengan mudah mempertanyakan akurasi tagihannya;
b. mekanisme pendeteksian kejadian kesalahan billing yang besar (gross billing
errors) dan penanganan perbaikannya;

4. TMBS harus mendapat Certificate of Approval dari Approval Body (terakreditasi


oleh UK Accreditation Service). Beberapa Approval Body misalnya TUV SUD BABT,
Enigma QOM, dan British Standard Institute.
5. Standar akurasi tagihan :

54
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Variabel Akurasi
Durasi +1 detik atau +0,01%
Volume data +100kB atau +0.01%
Waktu harian + 1 detik
Hitungan Event +0.004% (1:25.000)
Nilai Tagihan +0.1penny atau +0.01%

5. Rekomendasi

Pada dasarnya konsumen telekomunikasi tidak mungkin memverifikasi keakuratan


semua tagihan biaya layanan telekomunikasi yang dibuat oleh pelaku usaha
telekomunikasi, terutama jika tagihan biaya tersebut didasarkan pada
konsumsi/pemakaian layanan yang tengah berlangsung atau yang telah selesai
dilakukannya. Rekomendasi ini mensyaratkan bahwa sistem dan proses yang
digunakan untuk menghasilkan aktivitas/peristiwa telekomunikasi berbayar dan
penentuan harga/biaya selanjutnya dari aktivitas/peristiwa berbayar tersebut
dirancang dengan tepat untuk mencatat penggunaan secara akurat dan
memungkinkan penghitungan dengan tarif yang benar, bahwa aktivitas/peristiwa
berbayar tersebut berlangsung dalam batas yang dirancang dengan baik dan
terdapat bukti kinerja sistem tagihan yang digunakan. Diakui pula bahwa akan selalu
ada kebutuhan untuk melakukan perubahan pada sistem tagihan dan proses yang
mendasarinya serta mensyaratkan bahwa setiap perubahan yang dilakukan harus
dinilai risikonya untuk memastikan bahwa perubahan tersebut tidak membahayakan
integritas sistem. Lebih lanjut, diperlukan cara bagaimana konsumen telekomunikasi
yang menduga adanya tagihan yang tak wajar (terlalu tinggi) memiliki akses ke
proses untuk menginvestigasi dan/atau melaporkan masalah tersebut.

Secara lebih komprehensif namun ringkas, berikut ini penulis memberikan


rekomendasi substansi pengaturan sistem billing telekomunikasi sebagai berikut :
1. Untuk memproses penagihan dan pembayaran jasa telekomunikasi, pelaku usaha
telekomunikasi dapat (wajib) menggunakan sistem billing berbasis teknologi
informasi.

2. Sistem billing telekomunikasi harus memenuhi 5 (lima) prinsip integritas sebagai


berikut:

a. Pengukuran setiap aktivitas/peristiwa pemakaian jasa telekomunikasi (status


keterhubungan/koneksi, waktu, durasi, dan volume) harus akurat;
b. Tidak ada tagihan bagi kegagalan koneksi telekomunikasi (atau ada tagihan
tetapi pada nilai nol);

55
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

c. Setiap hubungan telekomunikasi yang berhasil/sukses harus dapat ditagih;

d. Pemakaian jasa telekomunikasi yang ditagih harus diukur dengan benar,


hasil ukur terdokumentasi dengan baik, dan dikenakan tarif sesuai dengan
ketentuan tarif yang berlaku;
e. Rincian informasi tagihan harus cukup memadai/lengkap, tersedia tepat
waktu, infonya tidak ambigu dan harus benar melalui apapun media
pemberitahuannya.
3. Sistem billing telekomunikasi harus mampu memproses tagihan dan
pembayaran prabayar dan pascabayar untuk setiap jenis dan nama
produk/layanan yang disediakan oleh pelaku usaha telekomunikasi dengan
berbagai skema pentarifan dan skema pengemasan produk/layanan yang
ditawarkan.

4. Sistem billing telekomunikasi harus bersertifikat (certified) yang diterbitkan oleh


lembaga sertifikasi yang berwenang dan sah berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
5. Pelaku usaha telekomunikasi harus memiliki, menjalankan dan
mendokumentasikan:
a. mekanisme/proses untuk menerima, mengidentifikasi, menyelidiki dan
menangani kesalahan-kesalahan tagihan, termasuk proses di mana
konsumen dapat dengan mudah mempertanyakan akurasi tagihannya;
b. mekanisme pendeteksian kejadian kesalahan billing yang besar/massal
(gross billing errors) dan penanganan perbaikannya.
6. Akurasi dan keandalan kinerja sistem billing telekomunikasi harus senantiasa
terpelihara dari waktu ke waktu (terus menerus) dan harus memenuhi standar
akurasi dan keandalan yang ditetapkan, serta harus dilaporkan secara berkala
kepada Menteri Komunikasi dan Informatika RI selaku regulator telekomunikasi.
7. Pelaku usaha telekomunikasi wajib menjamin terpeliharanya akurasi dan
keandalan kinerja sistem billing telekomunikasi :

Variabel Akurasi
Durasi +1 detik atau +0,1% -0.02%
Volume data -
Waktu harian + 1 detik
Hitungan Event +0.004% (1:25.000) -0.1%(1:1.000)
Nilai Tagihan +0.05% -0.002%

56
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Jumlah Overcharged 0.004% (1:25.000)


Jumlah Undercharged 0.1% (1:1.000)

8. Guna memastikan jaminan terpeliharanya akurasi dan keandalan kinerja sistem


billing telekomunikasi, Menteri Komunikasi dan Informatika dapat meminta
pelaku usaha telekomunikasi untuk melakukan audit kinerja sistem billing
telekomunikasi, baik dilakukan secara self-assessment ataupun melalui auditor
independen yang ditunjuk dan dibiayai oleh pelaku usaha telekomunikasi
dimaksud;

9. Pelaku usaha telekomunikasi wajib menyediakan saluran pengaduan/komplain


mengenai tagihan dan melayani setiap komplain serta menyelesaikannya
dengan itikad baik;
10. Pelaku usaha telekomunikasi harus memenuhi persyaratan kinerja penanganan
komplain sebagai berikut :

Parameter Komplin Billing Batasan

% komplain terhadap jumlah billing yang diterbitkan < 2% per bulan


% penyelesaian komplain dalam kurun waktu 15 hari > 90% x jumlah komplain

6. Penutup

Kompleksitas dan kecanggihan sistem billing telekomunikasi membuat masyarakat


pada umumnya enggan mengkonfirmasi kebenaran dan akurasi tagihan
telekomunikasi yang harus dibayarnya. Keengganan mengkonfirmasi tersebut harus
dikompensasi dengan deklarasi dari pelaku usaha telekomunikasi untuk memberi
keyakinan kepada para konsumen telekomunikasi bahwa tidak ada yang perlu
diragukan dengan kebenaran dan akurasi sistem billing telekomunikasi yang
digunakannya. Adapun yang dideklarasikan adalah hasil audit sistem billing
telekomunikasi oleh auditor yang kompeten. Audit harus dilakukan secara rutin
(misalnya 3 tahun sekali) oleh auditor independen atau secara self-assesment oleh
pelaku usaha telekomunikasi itu sendiri. Hasil audit atau self-assessment sistem
billing telekomunikasi harus diumumkan ke publik.

57
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Referensi :

1. ETSI TR 102 847 V1.1.1 (2010-06) Technical Report, User Group; Quality of ICT
Services; Standardization and regulation references in the Metering and Billing
area.
2. Ofcom Metering and Billing Direction Unofficial Consolidated Version

3. General Conditions of Entitlement Unofficial Consolidated Version,


Ofcom
4. Code of Practice for Metering and Billing Accuracy, TRAI, India
5. General Consumer Code of Practice for the Communications and
Multimedia Industry, MCMC, Malaysia
6. Telecom Billing Tutorial, https://www.tutorialspoint.com/telecom-
billing/index.htm#
7. Peraturan perundang-undangan di bidang Telekomunikasi di Indonesia,
meliputi UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan peraturan
perundang-undangan turunannya.
8. Peraturan perundang-undangan mengenai Metrologi Legal, yaitu UU No 2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal dan peraturan perundang-undangan
turunannya.
9. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
berikut peraturan perundang-undangan turunannya.

58
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Biografi Penulis

Johny Siswadi, lulus S1 fakultas hukum (spesialisasi Hukum Publik Internasional) dari
Universitas Sumatera Utara, Medan, 1987. Tahun 2000, penulis menyelesaikan
pendidikan S2 Hukum Bisnis di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Pada
tahun 1992-1993 penulis mendapatkan beasiswa dari Carl Duisberg Gesellschaft
(CDG), Jerman, untuk belajar manajemen telekomunikasi, diselenggarakan di
Bremen oleh Fortbildung von Fach- und Führungskräften aus Entwicklungsländern
(FFFE) dari Telekom Jerman (Deutsche Telekom).

Penulis juga aktif menghadiri berbagai seminar dan pelatihan internasional maupun
domestik di berbagai bidang manajemen, valuasi bisnis, multiplikasi pengetahuan
dan ketrampilan, bisnis telekomunikasi, hukum dan regulasi, regulasi telekomunikasi,
asuransi, dan beberapa bidang lainnya.

Sebelum mulai menjalani profesi sebagai advokat dan pengacara yang ditekuni sejak
2012 hingga saat ini, penulis pernah bekerja di BUMN telekomunikasi dan anak
perusahaan terbesarnya. Penulis mengemban tugas awalnya sebagai karyawan
bidang hukum, kemudian menduduki berbagai posisi manajemen senior yang
bertanggungjawab di bidang bisnis, kepatuhan hukum, tata-kelola perusahaan,
urusan-urusan umum serta konsultan manajemen.

Tahun 2016-2019, penulis bergabung di Kantor Hukum “PIHI” (Pusat Informasi Hukum
Indonesia) di Bandung, bertindak sebagai Advokat dan Pengacara Senior. Paralel
dengan itu, penulis juga menduduki jabatan Wakil Ketua Mastel Institute, sebuah
komite kerja bagian dari organisasi MASTEL.

Periode 2019-2020, penulis menduduki jabatan sebagai Komisioner BRTI (Badan


Regulasi Telekomunikasi Indonesia), yang didirikan oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika. Setelah berakhir dari BRTI, sejak April 2021 hingga sekarang, penulis

59
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

kembali berprofesi sebagai Advokat dan Pengacara di Kantor Hukum PIHI dan paralel
bergabung di MASTEL sebagai anggota DPH (Dewan Pengurus Harian) yang
bertanggungjawab mengkoordinasikan hal-hal terkait hukum dan regulasi
telematika.

60
PUNGUTAN SEWA PENEMPATAN
JARINGAN UTILITAS OLEH PEMDA
Andi Budimansyah
Anggota Dewan Pengawas Mastel

Abstrak - Ketersediaan akses telekomunikasi dan internet merupakan salah satu


penunjang kemajuan suatu daerah. Di sisi lain, tidak sedikit penerapan Peraturan
Daerah justru memberatkan operator telekomunikasi dalam upaya membangun
sarana telekomunikasi yang merata pada daerah tersebut.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, telah


mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi. Dengan perubahan itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah diamanatkan memfasilitasi dan/atau memberikan kemudahan kepada
penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur
telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien.

Berdasarkan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


juga dapat berperan serta menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif
telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara
bersama dengan biaya terjangkau. Hal ini memberikan harapan baru bagi pelaku
sektor telekomunikasi untuk bersama-sama dengan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menyesuaikan kembali Peraturan Daerah
yang menghambat pembangunan telekomunikasi, yang merugikan
pembangunan di daerah dan masyarakat.

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang

Dalam rangka penataan menara telekomunikasi, Pemerintah Daerah telah


mengeluarkan sejumlah aturan terkait zonasi, IMB, dan pemanfaatan bersama
menara. Hanya saja, masing-masing Pemerintah Daerah mengeluarkan aturan yang
berbeda-beda sehingga biaya penempatan jaringan telekomunikasi menjadi
sangat mahal, dan tentu membebani para pelaku usaha.

Pasal 2 UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, mensyaratkan bahwa asas manfaat, adil


dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemiteraan, etika, dan kepercayaan pada
diri sendiri merupakan dasar dalam penyelenggaraan layanan telekomunikasi.
Selanjutnya, Pasal 3 UU Telekomunikasi menegaskan bahwa telekomunikasi
bertujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung

61
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan


antarbangsa.

Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
telah mengamanatkan pengalihan kewenangan pengelolaan pajak dan restribusi
daerah-diantaranya adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan-dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Kabupaten/Kota bersama DPRD
diberikan kewenangan untuk menentukan kebijakan pajak dan retribusi daerah.
Ketentuan ini menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan sendiri
pengenaan pajak serta tarif, termasuk di dalamnya infrastruktur telekomunikasi baik
berupa menara BTS maupun biaya sewa lahan atas penggelaran kabel/fibre optic
telekomunikasi di wilayah tersebut.

Di sisi lain, salah satu ketentuan pada Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem
Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) menyatakan bahwa untuk mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta
pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya diperlukan sistem pemerintahan
berbasis elektronik yang juga membutuhkan jaringan internet untuk mengakses
layanan publik.

Untuk mendukung agenda tersebut, anggota DPA Mastel telah merumuskan 7


masukan pemikiran. Pada rapat Dewan Pertimbangan Asosiasi (DPA) Mastel yang
digelar secara hybrid pada Kamis, 17 November 2022 di Bumi Apsari Jakarta Selatan,
telah dilakukan pembahasan dan pendalaman atas masukan pemikiran tersebut
yang penulis iterasi dan kompilasi menjadi tulisan ini.

1.2. Identifikasi Masalah

Sejumlah Pemerintah Daerah menerapkan pajak dan restribusi yang mahal,


sehingga memberatkan operator telekomunikasi, karena tidak feasible lagi secara
bisnis. Kondisi itu mengakibatkan masyarakat tidak mendapatkan akses layanan
yang baik dan merata. Demikian juga pemerintah daerah tidak dapat memberikan
layanan yang optimal. Pada akhirnya, semua itu menjadi hambatan bagi Pemda
dalam memajukan daerahnya pada sektor ekonomi, pendidikan, layanan
pemerintahan serta layanan publik lainnya yang semestinya sesuai arahan Perpres
SPBE.

Apabila hal ini terus berlangsung tanpa ada terobosan yang saling menguntungkan,
dikhawatirkan akan merugikan Pemerintah Daerah dan masyarakat secara umum.

62
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian

Kajian ini disusun berdasarkan masukan dari Anggota DPA Mastel dalam mencari
jalan keluar yang saling menguntungkan bagi masyarakat, Pemerintah Daerah dan
operator telekomunikasi dari kebuntuan yang terjadi akibat dari penerapan pajak
dan restribusi daerah yang memberatkan.

2. Kajian Praktek Empiris dan Teoritis


2.1. Kajian Regulasi

Pasal 2 UU Telekomunikasi menjadi dasar pelaksanaan telekomunikasi berupa asas


manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemiteraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri. Pasal 3 UU Telekomunikasi menyebutkan bahwa
telekomunikasi bertujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antarbangsa. Kedua ketentuan itu merupakan tujuan luhur yang harus
diperjuangkan oleh seluruh stakeholder, termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, operator telekomunikasi serta masyarakat.

Penerapan UU 28/2009 yang terkait dengan pembangunan infrastruktur


telekomunikasi, baik berupa penggelaran kabel maupun BTS, pada beberapa
Pemerintah Daerah dirasa terlalu memberatkan operator telekomunikasi sehingga
kebutuhan atas akses internet dan telekomunikasi yang adil dan merata bagi
Pemerintah Daerah maupun masyarakat menjadi tidak dapat dilayani dengan baik.

Namun, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja pada halaman 507 Pasal 71, beberapa
ketentuan dalam UU 36/1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3881) diubah:

Pasal 34A (tambahan terhadap UU 36/99) hal 511, ayat (1): Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan kepada
penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur
telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien. Di mana pada
penjelasan ayat 1 tersebut disampaikan bahwa yang dimaksud dengan
“infrastruktur telekomunikasi” antara lain: gorong-gorong (ducting), tiang
telekomunikasi (tower), dan tiang yang dapat digunakan untuk penggelaran
jaringan telekomunikasi.

63
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Pada ayat (2) lebih jauh disampaikan bahwa dalam penyelenggaraan


telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta
untuk menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk
digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya
terjangkau. Hal ini juga berarti bahwa Pemda tidak dapat memutuskan sepihak
memungut biaya sewa dan lain-lain untuk penempatan perangkat pasif
telekomunikasi, di mana pada ayat (3) disampaikan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penempatan perangkat telekomunikasi di lahan daerah di lahan umum untuk


fasilitasi dan akses telekomunikasi di daerah harus mengacu UU 36/1999 pasal 12.
Pemda justru seharusnya memberikan fasilitasi dan dukungan penempatan
perangkat telekomunikasi demi kepentingan dan kemajuan daerah.

Hak dan kewajiban penyelenggara dan masyarakat sebagaimana tertulis pada Pasal
12 UU 36/1999 ayat 1 menyebutkan: dalam rangka pembangunan, pengoperasian,
dan/atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi
dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan/atau bangunan yang dimiliki
atau dikuasai pemerintah. Pada penjelasan UU 36/1999 Pasal 12 Ayat (1) disebutkan:
yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan/atau
bangunan yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah adalah kemudahan yang
diberikan kepada penyelenggara telekomunikasi.

Lebih lanjut pada Pasal 13 ditegaskan bahwa: penyelenggara telekomunikasi dapat


memanfaatkan atau melintasi tanah dan/atau bangunan milik perseorangan untuk
tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi
setelah terdapat persetujuan di antara para pihak. Sehingga untuk penggunaan
lahan pribadi perlu mendapatkan izin pemilik dan kompensasi wajar yang
disepakati.

Dengan berlakunya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, khususnya terkait perubahan


atas UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, memberikan landasan dan harapan baru
bagi pelaku sektor telekomunikasi untuk mengkomunikasikan kembali kepada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan DPRD agar dapat merevisi Peraturan
Daerah yang menghambat pembangunan telekomunikasi yang merugikan
pembangunan Pemerintah Daerah dan masyarakat pada umumnya.

64
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Rekomendasi
Dengan berlakunya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, khususnya terkait perubahan
atas UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, memberikan landasan dan harapan baru
bagi sektor telekomunikasi untuk kembali berunding dengan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah dan DPRD untuk dapat melakukan penyesuaian kembali
Peraturan Daerah yang dinilai menghambat pembangunan telekomunikasi yang
merugikan pembangunan Pemerintah Daerah dan masyarakat pada umumnya.

Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah infrastruktur dasar yang menunjang


segala sektor, termasuk ekonomi, pariwisata, sosial, pendidikan dan pemerintahan
serta layanan publik lainnya, seyogyanya diperlakukan sebagaimana diamanahkan
pada UU 36/1999 beserta perubahannya pada UU 11/2020. Sudah seharusnya semua
pemangku kepentingan di daerah mengupayakannya secara maksimal agar
tercapai tujuan pembangunan sesuai asas manfaat , adil dan merata, kepastian
hukum, keamanan, kemiteraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk
mencapai tujuan mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung
kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa. Sehingga pada gilirannya daerah akan merasakan dari pertumbuhan
di segala bidang dan kesejahteraan masyarakat, kemandirian dan Penerimaan Asli
Daerah.

Beberapa rekomendasi dari rapat DPA Mastel 17 November 2022, disampaikan


sebagai berikut:
1. Mastel harus berperan sebagai mediator antara operator telematika dengan
Pemkot/Pemkab, atau BUMD guna menata jaringan dengan baik dan rapi.
2. Mastel mengirimkan surat ke Menkominfo. Selanjutnya eskalasi ke
Setneg/KSP untuk dibahas pada Sidang Kabinet.
3. Menyelenggarakan kelompok kerja (pokja) dengan anggota Mastel yang
terkait, dan Pemerintah Daerah, untuk dapat mengusulkan kesepakatan sewa
yang saling menguntungkan (win-win) untuk kedua pihak.
4. Beban sewa yang memberatkan salah satu pihak ini, harus dilihat sebagai
bagian pelayanan dari Pemerintah Daerah kepada warga masyarakat. Jika
warga masyarakat setempat mendapat fasilitas telekomunikasi dan signal
untuk data yang baik, stabil dan cepat, maka akan menghasilkan percepatan
pertumbuhan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi.
5. Perlu adanya political will dari pemerintah pusat akan pentingnya jaringan
telekomunikasi untuk percepatan transformasi digital. Demikian juga
Pemerintah Daerah harus mempunyai visi yang sama. Sedangkan Mastel
dapat berperan untuk menjembatani operator telekomunikasi dengan

65
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Pemerintah Daerah dalam memberikan masukan pengaturan IMB seumur


hidup bagi jaringan yang sudah ada serta perkiraan harga sewa tertinggi yang
win-win baik untuk operator maupun untuk Pemerintah Daerah.
6. Pemerintah Daerah agar lebih mengedepankan peran dan kontribusi
teknologi digital terhadap kemajuan daerah.
7. Berkenaan dengan efisiensi biaya, disarankan menggunakan skema
kerjasama sharing tower telekomunikasi. Sementara terkait retribusi atau
pungutan daerah, Mastel mengupayakan pendekatan (lobby) ke Kementerian
Dalam Negeri yang membawahi Pemerintah Daerah dan Kementerian terkait
lainnya. Jika memang ada ketentuan kontribusi untuk daerah, nilai kontribusi
tersebut dibuat standard dan seminimum mungkin. Inisiatif untuk koordinasi
tingkat nasional bisa digagas oleh Mastel.

Daftar Pustaka

1. Masukan Anggota DPA Mastel pada rapat tanggal 17 November 2022


2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah
4. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan
Berbasis Elektronik (SPBE)
5. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

66
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Andi Budimansyah

Penulis memulai karirnya sebagai programmer komputer, system analyst, manager


pada PT. Elnusa Yellow Pages kemudian menjadi PT. Infomedia Nusantara pada
tahun 1998. Penulis pernah bekerja sebagai Dewan Ketua dan Dewan Pengawas
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2002 sampai
dengan tahun 2006. Pada tahun 2013 sampai tahun 2015, penulis bekerja sebagai
tenaga ahli Menteri Pertahanan Bidang DNS Security. Penulis juga pernah bekerja
sebagai Team Penapisan Konten Negatif/yang dilarang Kemkominfo pada tahun 2015
sampai tahun 2019.

Saat ini, penulis bekerja sebagai Counselor untuk Indonesia pada ASEAN Chief of
Information Officer Association (ACIOA) Thailand, Board of Director dari ASIA Domain
Registry di Hongkong, Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Masyarakat
Telematika Indonesia (MASTEL), dan Ketua Federasi Teknologi Informasi Indonesia
(FTII).

67
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
KAJIAN REGULASI PEMANFAATAN JALAN
SEBAGAI INFRASTRUKTUR PUBLIK DALAM PERCEPATAN
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TIK DI INDONESIA
Didi Muharwoko
Wakil Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional/Infratelnas Mastel &
Junike Laura Merryanna Tobing

Abstrak - Sebagai infrastruktur publik, pemanfaatan jalan merupakan salah satu


upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia. Artikel ini akan mengkaji
tentang bagaimana pemanfaatan jalan, yakni pada ruang manfaat jalan, dalam
membantu percepatan pembangunan infrastruktur TIK di Indonesia, salah satunya
adalah pitalebar. Artikel ini juga akan mengulas kebijakan yang telah ditetapkan
dan dijalankan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan pemanfaatan jalan
sebagai infrastruktur publik dalam rangka melayani kepentingan umum, serta
prospek terobosan kebijakan pemerintah untuk mendukung perkembangan
teknologi baru dalam mencapai tujuan tersebut.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Globalisasi, demokratisasi, dan inovasi teknologi terutama Teknologi Informasi dan


Komunikasi (TIK) memungkinkan informasi mengalir bebas dan tidak mengenal
batas negara dan waktu. Saat ini peran informasi menjadi sangat penting, baik untuk
kepentingan pemerintahan, perekonomian, sosial budaya, dan bahkan pertahanan
keamanan. Oleh karena itu, pola pikir yang menempatkan prasarana informasi dan
komunikasi hanya sebagai pelengkap dan pemberdaya, harus disesuaikan dengan
kondisi global saat ini yang menuntut informasi menjadi motor penggerak
pembangunan.1

Peran TIK, khususnya pitalebar, sebagai mesin pertumbuhan di seluruh aspek


pembangunan di tahun-tahun mendatang tidak saja diyakini secara nasional tetapi
juga oleh dunia internasional.2 Berbagai kajian dan pengalaman internasional

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan


1

Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Rencana Pita Lebar 2014-2019 (Jakarta, 2014), hal. 12.

2
Ibid.

69
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

menunjukkan tingginya keterkaitan pembangunan pitalebar dengan pertumbuhan


ekonomi, peningkatan daya saing, dan kualitas hidup masyarakat suatu negara.
Lembaga telekomunikasi internasional seperti ITU dan Broadband Commission, serta
komunitas regional seperti ASEAN bahkan mendorong pembangunan pitalebar
sebagai bagian dari kewajiban universal.

Pemahaman akan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur TIK di


Indonesia, dituangkan dalam Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 dan ditetapkan
dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014. Hal ini sebagai tindak lanjut
penerapan amanat UUD 1945, sebagaimana disebutkan pada Pasal 28F UUD 1945:
menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pitalebar dalam Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 didefinisikan sebagai akses


internet dengan jaminan konektivitas selalu tersambung, terjamin ketahanan dan
keamanan informasinya serta memiliki kemampuan triple-play dengan kecepatan
minimal 2 Mbps untuk akses tetap (fixed) dan 1 Mbps untuk akses bergerak (mobile).3

Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 disusun untuk memberikan panduan dan


arah bagi pembangunan pitalebar nasional4. Sinergi dan kolaborasi menjadi kata
kunci bagi keberhasilan pembangunan pitalebar nasional. Sejalan dengan
kecenderungan global yang menempatkan pitalebar sebagai kunci pembangunan,
Indonesia juga mendorong pembangunan pitalebar dalam pembangunan nasional
untuk mewujudkan Visi 2045: masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur.
Langkah tersebut ditempuh dengan memperhatikan empat hal yaitu amanat
konstitusi; Visi Transformasi Indonesia tahun 2025; tahapan dan arah pembangunan
nasional; serta upaya peningkatan posisi daya saing Indonesia di tingkat global.5

3
Ibid. Hal. 6
4
Ibid. Hal. 7
5
Ibid. Hal. 16. Lihat Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI): Transformasi Visi 2025. MP3EI bertujuan untuk mentransformasikan
Indonesia dari ekonomi peringkat ke-17 besar dunia pada tahun 2010 ke peringkat ke-12
dunia tahun 2025 dengan PDB sebesar US$ 4,0-4,5 triliun. Transformasi tersebut tidak dapat
dilakukan tanpa dukungan TIK khususnya pitalebar. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 difokuskan kepada pembangunan kompetitif
perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang
berkualitas, serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan pitalebar di
tiga platform ini akan meningkatkan kedayagunaan dan ketepatgunaan proses dan hasil
pembangunan.

70
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2020-2024. RPJMN Tahun 2020-2024 merupakan penjabaran dari visi, misi dan
program presiden, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum,
Proyek Prioritas Strategis, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/
Lembaga, arah pembangunan kewilayahan dan lintas kewilayahan, Prioritas
Pembangunan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana
kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif. Salah satu major project dalam RPJMN 2020-2024 ini adalah pembangunan
Infrastruktur TIK untuk mendukung transformasi digital, yang manfaatnya adalah:

i. Berkurangnya kesenjangan digital;


ii. Menyediakan layanan internet cepat untuk mendukung digitalisasi sektor
ekonomi, sosial dan pemerintahan.

RPJMN 2020-2024 berperan penting sebagai fondasi untuk mewujudkan Visi


Indonesia 2045, cita-cita Indonesia yang bertepatan dengan 100 Tahun
Kemerdekaan. Untuk menuju Indonesia sebagai negara maju, yang ditunjukkan
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kelima dunia pada 2045 mendatang,
transformasi ekonomi harus dimulai pada 2020-2024. Salah satu langkah strategis
untuk membangun landasan kokoh menuju Indonesia sebagai negara maju adalah
keluar dari middle income trap atau ‘jebakan negara berpendapatan menengah’
pada 2036. Pada RPJMN 2020 -2024 ini, strategi pembangunan infrastruktur TIK dan
jalan sebagai infrastruktur ekonomi menjadi strategi yang ditargetkan menjadi
highlight pada tahun 2024.

Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur TIK di darat memanfaatkan


infrastruktur pembangunan, yakni jalan. Pada bagian jalan terdapat jalur jaringan
utilitas terpadu yang merupakan ruang manfaat jalan. Keberadaan jalur jaringan
utilitas terpadu sebagai tempat ditempatkannya pipa/kabel utilitas untuk melayani
kepentingan umum, antara lain: listrik, gas, telekomunikasi, limbah, air, yang harus
diadakan oleh penyelenggara jalan. Jalur jaringan utilitas terpadu merupakan ruang
manfaat jalan berdasarkan ketentuan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022, harus
disediakan oleh penyelenggara jalan. Bentuk jalur jaringan utilitas terpadu dalam hal
ini idealnya berupa sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT), yang merupakan sebuah
bangunan yang berada di bawah tanah, namun dalam pandangan penulis, sampai
saat ini belum ada bangunan konstruksi SJUT yang benar-benar ideal dan secara
serius diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah pada bagian
jalan.

71
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Keberadaan SJUT sesungguhnya tidak hanya berfungsi sebagai lokasi pembangunan


jaringan utilitas untuk melayani kepentingan umum saja, lebih dari itu tujuan
penyelenggaraan SJUT di kota antara lain dalam rangka: pengurangan yang
signifikan dalam hal jumlah pembongkaran dan perbaikan jalan perkotaan;
mengurangi masalah lalu lintas yang disebabkan oleh pengeboran di daerah
perkotaan; mengelola ruang bawah permukaan serta mencegah gangguan di antara
masing-masing utilitas dengan utilitas lainnya (Rezaee, 2015, hal. 36)6. Melindungi
jaringan utilitas pada saat krisis, seperti terjadinya bencana alam atau masa konflik,
sebagai unit manajemen dan koordinasi antar sistem utilitas kota (Ge & Zu, 2019)7.

Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran


rakyat8, memberikan kewenangan penataan ruang kepada Pemerintah dan
Pemerintah Daerah9. Penyelenggara jaringan telekomunikasi memerlukan ruang
manfaat jalan dalam pembangunan dan pengoperasian infrastruktur TIK. Jalan yang
merupakan infrastruktur ekonomi kenyataannya sangat dibutuhkan untuk
mendukung pembangunan infrastruktur TIK, di antaranya untuk pembangunan,
penempatan dan pengoperasian jaringan telekomunikasi, tiang microcell, bangunan
pelengkap. Kabel telekomunikasi merupakan jaringan utilitas yang menyangkut
kepentingan umum dalam penginstalasiannya dapat memanfaatkan jalur jaringan
utilitas terpadu pada bagian jalan.

Seperti termaktub dalam UU 2/2012, makna kepentingan umum adalah kepentingan


bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat10. Tanah untuk kepentingan
umum digunakan untuk pembangunan sebanyak 18 kategori, antara lain adalah

6
Gholamreza Kazemian, et. al., “Management Barriers to Implementation of an Urban
Common Utilities Tunnel in Tehran”, Amanshahr Architecture & Urban Development, Vol. 13,
Issue 33, Winter 2021, hal. 224.
“The Common Utilities Tunnel, also called the Common Utilities Duct, is one of the city's
infrastructure structures. Any structure above, below and above the ground that has more
than two types of urban utilities lines is referred to by this name (Zandieh & Ardaneh, 2011).
Urban utilities tunnel is an underground space in the city to integrate various lines of urban
utility, such as electricity, communications, gas, water and drainage, which are planned and
managed as a unit (Liu, Zhao, Li, & Dong, 2018). In the common urban tunnel, the five
infrastructures of water, electricity, gas, telephone, telecommunication and sewage system
are routed that will play an effective role in providing urban safety, saving infrastructure costs,
increasing visual beauty along with reducing the amount of visual pollution and organizing
the urban infrastructure management system (Divsalar, Haghiju, & Habibi, 2011)”.
7
Ibid.
8
Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN. No. 68
Tahun 2007, Psl. 7 ayat (1).
9
Ibid., Psl. 7 ayat (2).
10
Suriansyah Murhaini, Hukum Pertanahan: Alih Fungsi Tanah dan Fungsi Sosial Hak atas
Tanah (Yogyakarta: LaksBang Justitia, 2021) cetakan kedua, hal. 73.

72
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

jalan, jembatan dan lainnya11. Di lain pihak, kebijakan pemerintah dan pemerintah
daerah lebih berfokus pada pemanfaatan jalan sebagai aset atau barang milik
negara/daerah tersebut, untuk mendatangkan sumber penerimaan bagi negara atau
daerah.

Berbeda dengan kebijakan negara lain dalam mendukung percepatan


pembangunan infrastruktur TIK. Menteri Komunikasi dan Teknologi India, Ashwini
Vaishnaw mengumumkan amandemen peraturan Right of Way (RoW) dalam rangka
percepatan penggelaran 5G dengan biaya murah dan proses yang mudah. Dalam
amandemen peraturan RoW, terdapat pengaturan perihal kemudahan penggunaan
bagian jalan untuk penggelaran jaringan telekomunikasi, proses perizinan yang lebih
cepat, rasionalisasi berbagai biaya administrasi perizinan, serta meniadakan
kewajiban penyelenggara telekomunikasi dalam pembayaran kompensasi
pemanfaatan lahan untuk pendirian tiang telepon. Amandemen peraturan RoW
merupakan satu dari empat elemen utama percepatan penggelaran 5G di India12.

Pentingnya infrastruktur TIK bagi pemulihan ekonomi disadari betul oleh pemerintah
negara maju seperti Amerika Serikat. Kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS)
dalam meningkatkan aksesibilitas internet berkecepatan tinggi sebagai berikut13:

1. Pemerintah AS telah menyiapkan dana $45 miliar untuk memastikan setiap


warga AS mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi pada tahun 2028.
Pendanaan tersebut merupakan bagian dari program infrastruktur Presiden Joe
Biden sebagaimana diatur dalam UU Lapangan Kerja dan Investasi Infrastruktur
(The Infrastructure Investment and Jobs Act) yang disahkan pada 15 November
2021.

2. Untuk mendapatkan dana tersebut, setiap Gubernur Negara Bagian diminta


mengirimkan surat ketertarikan (letter of intent) kepada Pemerintah Federal.
Setiap Negara Bagian juga akan mendapatkan $5 juta untuk beraudiensi dengan
masyarakat terkait kebutuhan internet dan menyiapkan rencana pemenuhannya.

11
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Psl. 10.
12
Samaya Dharmaraj, India Amends Right of Way Rules to Speed Up 5G Rollout, OPENGOV
28 Agustus 2022, https://opengovasia.com/india-amends-right-of-way-rules-to-speed-up-5g-
rollout/, diakses pada 23 Oktober 2022.
13
Nindya Aldila, Parlemen AS Loloskan UU Infrastruktur Presiden Parlemen Senilai US $ 1,2
Triliun, tanggal 7 November 2021,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20211107/620/1463033/parlemen-as-loloskan-uu-
infrastruktur-presiden-joe-biden-senilai-us12-triliun, diakses pada 9 Juni 2022.

73
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Dalam memanfaatkan dana tersebut, Pemerintah Negara Bagian akan


melibatkan penyelenggara telekomunikasi untuk menggelar kabel serat optik,
membangun wi-fi, dan memberikan subsidi layanan internet di wilayah non
ekonomis. Pemerintah Negara Bagian bertugas memastikan harga layanan
internet yang terjangkau dan terciptanya persaingan usaha yang sehat.

Dalam rangka mendukung perkembangan teknologi informasi, kebijakan


Pemerintah AS di atas dapat menjadi referensi bagi Pemerintah Indonesia dalam
meningkatkan aksesibilitas internet berkecepatan tinggi. Pemerintah berperan
dalam menyediakan dana, mengidentifikasi kebutuhan, memastikan harga
terjangkau, dan menciptakan persaingan usaha yang sehat. Dalam menyediakan
akses internet, Pemerintah dapat bekerja sama dengan penyelenggara
telekomunikasi.

Pemanfaatan bagian jalan untuk jalur jaringan utilitas terpadu yang menyangkut
kepentingan umum, salah satunya adalah untuk penggelaran jaringan
telekomunikasi agar terjadi pemerataan percepatan internet di seluruh wilayah
Indonesia. Namun, pada saat ini yang terjadi pemanfaatan bagian jalan untuk
pembangunan dan pemeliharaan jaringan telekomunikasi, dilaksanakan dengan
mekanisme perdata, yakni berupa sewa barang milik negara/daerah yang tarifnya
tertentu menambah beban penyelenggara jaringan, apalagi kalau hal itu diterapkan
pada seluruh pemerintah kabupaten/kota dan Kementerian PUPR, yang pada
akhirnya akan menjadi beban pelanggan atau pengguna jasa telekomunikasi.

1.2. Identifikasi Masalah

Tulisan ini berfokus pada pemanfaatan infrastruktur ekonomi berupa jalan, dalam
perwujudan arah dan strategi percepatan pembangunan infrastruktur TIK untuk
pemerataan layanan telekomunikasi di Indonesia. Adanya kebijakan mengenai
pengelolaan BMN/D yang berfokus pada pemanfaatan berupa sewa aset BMN/D,
sebagai salah satu sumber penerimaan yang menimbulkan isu dalam percepatan
pembangunan infrastruktur TIK, berpotensi menghambat percepatan layanan
telekomunikasi, di antaranya akses internet, di Indonesia.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian

Menghasilkan konsep regulasi yang ideal dan sinergitas kebijakan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan percepatan pembangunan
infrastruktur TIK dalam rangka pemerataan layanan telekomunikasi akses internet di

74
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal ini adalah pemanfaatan BMN/D berupa
infrastruktur ekonomi, dalam hal ini adalah jalan.

2. Kajian Regulasi
2.1. Kajian Filosofis

Kajian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif filosofis


yang objek materialnya adalah kebijakan Pemerintah dan infrastruktur publik.
Dengan penelitian kepustakaan ini, diupayakan untuk memahami secara filosofis
mengenai hubungan infrastruktur dan kebijakan Pemerintah. Guna menjawab
permasalahan yang disampaikan di atas, bentuk metode yang digunakan adalah
metode yuridis normatif, yaitu dengan cara melihat bahan pustaka atau disebut
dengan penelitian kepustakaan14. Sedangkan norma hukum yang menjadi acuan
utamanya adalah berbagai peraturan di Indonesia.

2.2. Kajian Regulasi/Yuridis

Beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah


mengenai pengelolaan BMN/D lebih berfokus pada pemanfaatan untuk
memaksimalkan penerimaan dibandingkan dengan pengelolaan BMN/D yang
dimaksimalkan dalam rangka kepentingan umum. Hal ini dapat dilihat pada
beberapa pengaturan kebijakan yang dituangkan pada beberapa ketentuan
peraturan perundangan sebagai berikut:

1. Pemerintah Kota Surabaya yang menetapkan Peraturan Daerah Kota Surabaya


Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penataan Jaringan Utilitas (Perda 5/2017), yang
mengenakan tarif sewa pemanfaatan bagian jalan yang belum tersedia sarana
jaringan utilitas terpadu (SJUT) atau bagian jalan yang sudah tersedia SJUT;

2. Pemerintah Daerah Kota Mojokerto yang menetapkan Peraturan Daerah Kota


Mojokerto Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah
Kota Mojokerto Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Perda
16/2019), yang mengenakan tarif retribusi izin mendirikan bangunan untuk tiang
telekomunikasi, menara dan penggelaran fiber optic;

3. Pemerintah Kota Provinsi DKI Jakarta yang menetapkan Peraturan Gubernur


Nomor 106 Tahun 2019 tentang Pedoman Infrastruktur Jaringan Utilitas (Pergub
106/2019), yang mengenakan tarif sewa pemanfaatan bagian jalan yang sudah

14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm. 66.

75
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

tersedia sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT) atau retribusi pada pemanfaatan
bagian jalan yang belum tersedia SJUT.

Di samping beberapa peraturan daerah tersebut, pengaturan tingkat pusat sebagai


penyelenggara jalan nasional yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat, turut mengenakan sewa pemanfaatan bagian jalan untuk
penggelaran jaringan utilitas dengan merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 20/PRT/M/2010. Penerbitan izin untuk penggunaan jalan nasional,
jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota oleh pemberi izin dilakukan setelah
persyaratan dipenuhi yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak dilengkapinya seluruh persyaratan oleh pemohon. Izin ini akan digunakan
sebagai rekomendasi teknis dalam rangka pemanfaatan barang milik negara/daerah
(BMN/D) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan15. Di samping beberapa
peraturan yang mengenakan ketentuan sewa dalam pemanfaatan bagian jalan
untuk pembangunan jaringan telekomunikasi, terdapat pula kebijakan terhadap
pemanfaatan bagian jalan sebagai bentuk pelayanan pemerintah daerah dengan
mengenakan tarif retribusi, antara lain:

1. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, di mana
pada Lampiran III poin A. bagian d. diatur tarif retribusi atas penyediaan sarana
penempatan jaringan utilitas dan bangunan pelengkap yang disediakan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta/Pemerintah Daerah.

2. Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, di mana
pada Pasal 5 disebutkan Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah adalah
Pemakaian atas Kekayaan Daerah, yang meliputi antara lain atas pemakaian: c.
tanah milik Pemerintah Daerah untuk pemasangan utilitas jaringan gas, listrik, air,
dan/atau telepon.

Beberapa contoh pada kebijakan pengaturan pemanfaatan bagian jalan tersebut


menunjukkan perbedaan konsep antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan konsep, terutama dalam merujuk ketentuan
peraturan undang-undang yang lebih tinggi dalam membuat kebijakan yang
dituangkan pada Peraturan Daerah. Perbedaan tersebut dapat diduga telah terjadi
disharmonisasi dalam menerjemahkan peraturan perundang-undangan, yang salah

15
Indonesia, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Pemanfaatan dan
Penggunaan Bagian-Bagian Jalan, Permen PU Nomor: 20/PRT/M/2010, Psl. 9 ayat (9) sampai
ayat (12).

76
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

satu implikasinya adalah isu antara Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan
penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam memenuhi syarat-syarat kewajiban
pembayaran kepada negara/daerah untuk memperoleh izin atau persetujuan
pemanfaatan jalan dalam rangka pembangunan infrastruktur TIK, secara khusus
jaringan telekomunikasi.

Dalam menilai bekerjanya kebijakan dalam masyarakat, ada suatu model penilaian
dan evaluasi yang dinamakan sebagai optimalitas pareto yang pertama kali
diperkenalkan oleh Ekonom Vilfredo Pareto16. Model ini menilai bekerjanya kebijakan
publik sebagai “suatu perubahan dalam organisasi ekonomi yang memberikan
kemajuan positif setiap orang atau lebih tepatnya, membuat suatu atau lebih
anggota masyarakat menjadi lebih baik tanpa merugikan semuanya anggota
lainnya17.” Dalam rangka pembentukan suatu peraturan perundang-undangan,
diperlukan adanya kecermatan dalam melihat dasar peraturan yang lebih tinggi dan
tentunya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lain, sehingga
tercipta harmonisasi peraturan. Dalam perspektif normatif, pembahasan
keberlakuan hukum secara teoritik maupun keberlakuan hukum dalam ranah
implementasi didasarkan pada cara berpikir deduktif. Di mana keberlakuan sebuah
aturan hukum harus dilandaskan pada keberlakuan hukum yang lebih tinggi,
selanjutnya dilandaskan pada aturan hukum yang lebih tinggi lagi, hingga sampailah
pada sumber yang bersifat meta yuridis18.

Melalui buku bertajuk “The Morality of Law” Lon Fuller menjelaskan terdapat delapan
azas yang harus dipenuhi oleh hukum. Apabila delapan azas tersebut tidak terpenuh,
maka hukum yang hadir akan gagal untuk kemudian dapat disebut sebagai hukum,
atau dapat dikatakan dalam hukum harus ada kepastian hukum. Dari penjelasan Lon
Fuller tersebut, dapat disimpulkan hal kepastian hukum yang dikemukakan Lon
memiliki pengertian dan tujuan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Sudikno
Mertokusumo. Kepastian hukum adalah jaminan agar hukum yang ada dapat
berjalan dengan semestinya.

16
Dian Pudji Simatupang, Determinasi Kebijakan Anggaran Negara Indonesia (Studi Yuridis)
(Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005), hal. 15. Hal ini dikemukakan oleh Prof. A. Hamid S.
Attamimi dalam bukunya, Keuangan Negara Lingkup Pengertiannya dan Hakekat
Perundang-undangannya Menurut UUD 1945, sebagaimana dikutip dalam Sekretaris
Jendral Badan Pemeriksa Keuangan, hal. 30.
17
Ibid
18
FX. Adji Samekto, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie
Dalam Pendekatan Normatif-Filosofis”, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No.1, April 2019, hal. 1.

77
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Lon Fuller pun menjelaskan kedelapan azas yang harus dipenuhi oleh hukum, yaitu
sebagai berikut.

1. Sistem yang dibuat oleh pihak berwenang dan berwibawa haruslah terdiri dari
peraturan yang tidak berdasarkan pada putusan sesaat belaka untuk hal-hal
tertentu.

2. Peraturan yang ditetapkan oleh pihak berwenang dan berwibawa harus


diumumkan kepada publik.

3. Peraturan yang ditetapkan tidak berlaku surut, karena dapat merusak integritas
suatu sistem.

4. Peraturan tersebut dibuat dalam sebuah rumusan yang dapat dimengerti oleh
masyarakat umum.

5. Peraturan satu dan lainnya tidak boleh ada yang saling bertentangan.

6. Suatu peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh menuntut suatu tindakan yang
kiranya melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh terlalu sering diubah-ubah.

8. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, harus memiliki kesesuaian antara


peraturan dan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari kedelapan azas yang dikemukakan oleh Lon Fuller, dapat disimpulkan bahwa
harus ada kepastian di antara peraturan serta pelaksanaan hukum tersebut. Dengan
begitu hukum positif dapat dijalankan apabila telah memasuki ke ranah perilaku,
aksi, serta faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana hukum itu berjalan.

Barang milik negara merupakan bagian tak terpisahkan dengan keuangan negara
sehingga memerlukan pengelolaan agar dapat digunakan secara maksimal untuk
kepentingan negara dalam pencapaian tujuannya19. Upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat diwujudkan melalui pembangunan ekonomi dengan
mengoptimalkan aset milik negara untuk menyediakan barang publik (public goods)

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawai Djafar, Hukum Keuangan Negara: Teori dan
19

Praktik, edisi keempat (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), Cetakan-7, hal. 71

78
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

yang memadai dan dapat dinikmati dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat,
baik berupa layanan umum, fungsi pemerintahan, maupun infrastruktur20.

Jalan adalah domain negara yang publik, atau milik negara untuk kepentingan
umum, pemerintah tidak dapat menetapkan syarat-syarat finansial. Penggantian
finansial dan pengenaan pembatasan-pembatasan dalam pemakaian biasa hanya
dapat dilakukan berdasarkan hukum publik, yang khusus dibayangkan adalah
pemungutan dalam bentuk pajak21 atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pemanfaatan bagian-bagian Jalan, sebagaimana diatur pada Pasal 11 ayat (9) UU
2/2002, selain peruntukannya wajib memperoleh izin dari Penyelenggara Jalan sesuai
dengan kewenangannya dan pelaksanaannya mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/barang milik
daerah.

Dalam membuat kebijakan pengaturan mengenai pemanfaatan ruang manfaat


jalan, diperlukan penerapan asas pembentukan peraturan perundang-undangan
untuk melahirkan peraturan perundang-undangan yang sesuai secara materil dan
formil berdasarkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan diterapkannya asas pembentukan peraturan perundang-undangan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang pada akhirnya dapat menciptakan
harmonisasi mengenai pemanfaatan bagian jalan untuk pembangunan dan
pengoperasian jaringan telekomunikasi dalam rangka melayani kepentingan umum.
Sehingga visi dan misi Presiden dalam RPJMN 2020-2024 untuk percepatan
pembangunan infrastruktur TIK, penetrasi broadband dalam rangka mengurangi
kesenjangan digital di Indonesia, dapat tercapai.

2.3. Kajian Sosiologis dan Budaya

Menurut Cotterrell, esensi dari interpretasi sosiologis dari ide-ide hukum terletak
dalam tiga postulat sebagai berikut:

1. hukum dipandang sebagai fenomena sosial;

20
Anita Kamilah, “Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Pemanfaatan Aset Negara
Melalui Model Build Operate and Transfer/BOT”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 50 No.
3 (2020), hal. 605.

Winahyu Erwiningsih, Fakhrisya Zaili Sailan, Beheerstaad Pengelolaan Langsung Negara


21

Atas Tanah (Yogyakarta: FH UII Press, 2020), hal. 19.

79
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. hukum sebagai fenomena sosial yang dihadapi haruslah dipandang secara


empiris dan historis;

3. hukum dilihat secara sistematis. Hadir bersama dengan yang lainnya sebagai
legal system dan dihidupi sebagai dan dalam sebuah sistem.

3. Rekomendasi

1. Membantu percepatan pembangunan infrastruktur TIK yang merata di Indonesia


melalui pemanfaatan jalan sebagai infrastruktur pembangunan.

2. Pemahaman bahwa infrastruktur pembangunan, berupa jalan, merupakan


infrastruktur publik sebagai sarana untuk memberikan kemudahan dan kepastian
hukum bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi, dalam melaksanakan
pembangunan dan pemeliharaan, untuk mempercepat pemerataan layanan
telekomunikasi.

3. Tulisan ini bersifat kajian awal untuk memantik gagasan dimaksud di atas.
Diharapkan kajian ini dapat dilanjutkan dengan kajian lebih mendalam, di
antaranya mencakup aspek empiris, analisis SWOT, kajian ekosistem dan lain
sebagainya.

80
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Didi Muharwoko

Didi Muharwoko lahir di Palembang, dan lulus dari Universitas Telkom jurusan Teknik
Telekomunikasi pada tahun 1991. Pada tahun 1996-2003, penulis bekerja di divisi
Network PT Telkom Indonesia. Lalu penulis bekerja di divisi yang berbeda, yakni divisi
multimedia pada tahun 2003 sampai tahun 2005. Penulis juga pernah bekerja di divisi
Enterprise pada tahun 2005 sampai tahun 2013. Saat ini penulis bekerja di PT Telkom
Indonesia divisi Regulatory Management.

Junike Laura Merryanna Tobing

Junike Laura Merryanna Tobing Lahir di Jakarta, dan lulus dari Universitas Indonesia
jurusan Hukum tentang Kegiatan Ekonomi. Saat ini, penulis sedang melanjutkan
pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia jurusan Hukum Administrasi
Negara (sub. Hukum Keuangan Publik). Pada tahun 2006, penulis melakukan
magang di PT Telkom Indonesia di divisi Carrier & Interconnection Service Center.
Setelah penulis menyelesaikan magang, penulis melanjutkan pekerjaannya di divisi
Carrier & Interconnection Service (Outsourcing Employee) mulai dari tahun 2006
sampai dengan tahun 2007. Lalu penulis pindah divisi pada tahun 2007, yaitu divisi
Wholesale Service – Legal & Compliance. Saat ini, penulis bekerja di PT Telkom
Indonesia sebagai Corporate Secretary Dept. – Regulatory Management Unit, Sub
Unit: Broadband & Resources Regulation.

81
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
TEROBOSAN NASIONAL MUTLAK PERLU:
PEMERATAAN JARINGAN VS TEKNOLOGI BARU
TELEKOMUNIKASI
Arnold Ph Djiwatampu
Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Mastel

Abstrak - Pemerataan jaringan berkualitas seperti pita-lebar (broadband) harus


diprioritaskan untuk mencapai percepatan Pembangunan Nasional sebagaimana
dicanangkan dalam kebijakan pemerintah, bukan mendahulukan penerapan
teknologi terkini seperti 5G. Indonesia sebagai negara berkembang, harus berani
mengambil kebijakan terobosan untuk mempertahankan teknologi yang ada
sampai cukup merata, tidak mengikuti teknologi yang sedang ditawarkan, dan
kemudian melompat ke teknologi berikutnya. Sinergi para penyelenggara
(operator) nasional agar dijadikan langkah menentukan menghadapi tantangan
perusahaan multinasional. Saat ini para operator nasional lebih mementingkan
keunggulan sendiri. Sambungan ke luar negeri merupakan bagian biaya terbesar
dari tarif, di sisi lain penyelenggara yang seharusnya bersinergi, masing-masing
mengadakan sambung sendiri-sendiri ke luar negeri, dan terpaksa menyewa
kapasitas terbatas ke luar negeri untuk menekan tarif. Akibatnya menimbulkan
ketersumbatan (bottleneck) trafik Internet. Palapa Ring sebagai jaringan tulang
punggung nasional terpadu, akan sekaligus mendukung sinergi sambungan ke
luar negeri

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Pedoman kebijakan telekomunikasi yang mendahulukan kemajuan nasional


menyeluruh, termasuk pendidikan, kesempatan warga untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga, dan peluang usaha, akan ditentukan oleh pemerataan
jaringan akses telekomunikasi.

Pimpinan nasional, para ahli, operator, dan pebisnis lebih terpukau dengan
kemudahan teknologi terkini telekomunikasi hasil industri negara-negara maju.
Memang wajar selama disertai dengan kesadaran akan keterbatasan dan risiko di
lapangan bagi Indonesia sebagai negara-negara berkembang.

Akibat dari keinginan penerapan teknologi terkini tanpa pemerataan tersebut,


hanya dapat terlaksana di dalam kota metropolitan dan beberapa kota besar,
mengingat jaringan nasional belum semuanya bisa mengadopsi teknologi terkini

83
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

seperti 5G. Hal ini malah akan memperbesar jurang kesenjangan telah ada antara
Pusat dan Daerah, yang berisiko menghambat kemajuan nasional secara
keseluruhan.

Kiranya kita semua setuju, bahwa kekuatan suatu rantai ditentukan oleh mata-
rantai terlemah, maka demikianpun kemajuan Bangsa ditentukan oleh keadaan
daerah yang terbelakang, ditambah dengan ketertinggalan akses
telekomunikasinya. Hal ini akibat dari kesalahan kebijakan pimpinan, regulator, dan
dan atau penyelenggara telekomunikasi dalam pengembangan jaringan
telekomunikasi nasional, dalam penerapan teknologi terkini.

Peringatan dari Dirjen Postel pertengahan tahun 80an, Ir. S. Abdulrachman, kiranya
masih berlaku, bahwa negara berkembang tidak dapat mengikuti derap tahap-
tahap pembangunan teknologi baru negara-negara maju, melainkan harus berani
mengambil kebijakan untuk mempertahankan teknologi yang ada sampai cukup
merata, tidak mengikuti teknologi yang sedang ditawarkan, dan kemudian
melompat ke teknologi berikutnya.

1.2. Identifikasi Masalah dan Peluang Pemerataan Jaringan Telekomunikasi

Di satu sisi para penyelenggara telekomunikasi bersaing dan bangga memamerkan


keberhasilan dalam mengoperasikan teknologi 5G tanpa memperhatikan keadaan
akses jaringan telekomunikasi di daerah, khususnya daerah terpencil yang
memprihatinkan. Banyak daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua
masih belum memiliki kualitas akses 3G sekalipun.

Oleh karena itu Indonesia perlu secepatnya menemukan terobosan untuk


mempercepat peningkatan kapasitas atau kecepatan telekomunikasi di daerah 3T
(Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) pada khususnya.

Pemerataan jaringan pada setiap tahap teknologi, akan mempercepat peluang


penyelenggara dan masyarakat, khususnya di daerah 3T, untuk menerapkan tahap
teknologi berikutnya. Akses dengan pita-lebar memungkinkan masyarakat di
daerah terpencil untuk dapat menawarkan hasil-hasil pertanian atau kerajinan
produk daerah lewat internet ke tingkat nasional dan bahkan internasional.

Pemerataan jaringan selain memberikan kesempatan masyarakat di daerah untuk


lebih cepat maju dan membuka kesempatan usaha, oleh karena dapat menjangkau
dunia luar untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu, pemerataan jaringan
telekomunikasi akan menambah jumlah pelanggan yang akan meningkatkan
pemasukan, yang kemudian memberikan kesempatan para penyelenggara untuk

84
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

mempercepat pengembalian modal yang telah ditanam pada teknologi yang ada,
dengan bertambahnya jumlah pelanggan.

Dengan demikian para penyelenggara telekomunikasi lebih mampu menyisihkan


dana untuk tahap teknologi berikutnya, dan meringankan beban tarif pelanggan
karena adanya pergantian teknologi.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan tulisan adalah untuk mendorong pemerintah, Kominfo, bekerjasama secara


terpadu dengan para Ahli, penyelenggara, dan industri manufaktur untuk
menemukan terobosan arah, penerapan, dan jaminan bagi kemajuan nasional
secara keseluruhan.

Hal ini sesuai dengan Azas dan Tujuan telekomunikasi yang tercantum dalam Pasal
2 UU no. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan “Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri”. Lebih lanjut Pasal 3
menyatakan, “Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan
pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa”.

Pemerintah diharapkan memberikan pedoman dan jadwal penerapan dari


teknologi baru, katakan saja 5G antara lain agar keadilan dan pemerataan jaringan
nasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU 36/1999, sekaligus memberikan
kesempatan bagi industri manufaktur dalam negeri untuk berkembang. Hal ini
selaras dengan yang dinyatakan dalam ayat (2) dan (3) Pasal 4, antara lain agar
Pembinaan telekomunikasi meliputi penetapan kebijakan, pengaturan,
pengawasan, dan pengendalian, dan dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.

Indonesia sebagai negara nomor empat (4) dalam jumlah penduduk, tentunya tidak
ingin, hanya menjadi konsumen teknologi 5G yang akan menguasai seluruh budaya
kehidupan masyarakat, melainkan juga menjadi pelaku pengembangan dan
penelitian perangkat teknologi 5G.

Apabila kita berhasil dengan penelitian dan pengembangan misalnya pada


perangkat 5G, maka harga jual perangkat 5G dapat diatur sehingga nilai tambah
yang merupakan bagian terbesar dari perangkat dapat diturunkan, yang akan
menguntungkan para penyelenggara, sehingga tarif penggunan akan lebih
murah.

85
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. Peta Jalan Jaringan Telekomunikasi

2.1. Terobosan Kebijakan

Sasaran NAWACITA antara lain adalah meningkatkan Kualitas Hidup Manusia


Indonesia, meningkatkan produktivitas Rakyat dan daya saing di pasar internasional,
hanya akan terwujud dengan pemerataan jaringan telekomunikasi, yang
selanjutnya akan meningkatkan peluang bagi rakyat untuk berinteraksi dengan
masyarakat luas secara nasional dan internasional.

Sasaran Nawacita diperkuat dengan Sasaran Strategis Kementerian Kominfo bagi


tersedianya infrastruktur TIK serta pengembangan ekosistem TIK yang merata dan
efisien di seluruh wilayah Indonesia.

Sasaran-sasaran ini dapat tercapai a.l. dengan menggariskan peta jalan (roadmap)
yang memberikan pedoman bagi industri telekomunikasi, baik para penyelenggara
telekomunikasi yang langsung melayani rakyat dan industri manufaktur yang tidak
ragu dalam mengeluarkan dana untuk penelitian dan pengembangan produknya
yang akan digunakan oleh para penyelenggara di lapangan.

Para penyelenggara telekomunikasi tidak ragu meraba-raba jadwal implementasi


teknologi baru dengan skala ekonomi dengan harga lebih ekonomis tercapai oleh
industri produksi perangkat dalam negeri (TKDN) dibandingkan dengan harga
perangkat impor luar negeri. Nilai tambah produk dalam negeri akan menjadi
bagian terbesar dari harga perangkat apabila didukung oleh penelitian dan
pengembangan tingkat teknologi terakhir.

Apabila tingkat kemandirian teknologi belum dapat dicapai oleh industri perangkat
dalam negeri maka sebaiknya diberikan waktu cukup bagi industri perangkat dalam
negeri, dengan menunda implementasi dari suatu teknologi baru. Para
penyelenggara tidak perlu tergesa-gesa meninggalkan teknologi yang ada di
lapangan, Kemudian mempersiapkan untuk melakukan lompatan teknologi
berikutnya.

Para penyelenggara telekomunikasi dapat ikut serta dan memegang saham dalam
pendanaan industri perangkat telekomunikasi, termasuk sebagai pemegang
saham. Tidak dianjurkan penyelenggara melakukan akuisisi industri perangkat
telekomunikasi, karena akan menimbulkan monopoli terselubung yang
menimbulkan ketidakadilan dan mengganggu kepercayaan dan kebersamaan dari
penyelenggara telekomunikasi lain.

86
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2.2. Kemampuan UKM dan Kelemahan Posisinya

Pada awal tahun 2000an sudah muncul pengusaha-pengusaha kecil menengah


(UKM) yang memiliki idealisme dan kemampuan mandiri untuk membuat produk
telekomunikasi dalam negeri yang didukung oleh tenaga peneliti dan
pengembangan yang keahliannya tidak kalah dengan tenaga-tenaga ahli luar
negeri.

Sebagai contoh adalah TKD (Trans Komunikasi Data), suatu perusahaan UKM yang
berhasil tidak saja membuat perangkat terminal, melainkan juga sentral NGN (Next
Generation Network) yang dengan kerjasama RISTI TELKOM berhasil
mengoperasikan sentral pedesaan (rural) di lapangan bersama Telkom di Sumatera
Utara dan Indosat di Sulawesi Tenggara

Sayangnya pada saat undangan lelang (tender) oleh Telkom untuk sistem NGN-nya
pada pertengahan tahun 80an, Telkom a.l. mencantumkan persyaratan bahwa
peserta lelang harus memiliki pengalaman minimal di 2 (dua) negara, dengan
demikian pengajuan keikutsertaan TKD ditolak oleh Telkom oleh karena TKD hanya
memiliki pengalaman di satu negara, negerinya sendiri. Dengan penolakan ini maka
pupuslah peluang TKD menjadi perusahaan skala besar untuk masa depannya di
negerinya sendiri. Alasan penolakan Telkom adalah bahwa ketentuan di atas
mereka demikian, kata Dirut Telkom saat itu.

Apabila memang ada peraturan pemerintah atau Telkom di atas, merupakan suatu
kebijakan nasional yang merugikan perkembangan industri perangkat
telekomunikasi nasional. Salah satu perusahaan multinasional peserta lelang
merasa khawatir dengan pengajuan TKS sebagai peserta, menyatakan kepada
pimpinan TKD bahwa perusahaan kecil UKM seperti TKD tidak pantas ikut serta
dalam lelang tersebut.

Meskipun demikian, TKD tidak putus asa dan mencoba ikut lelang serupa di suatu
negara di Timur Tengah yang tidak mempersyaratkan pengalaman di dua negara
sebagaimana dialaminya di negerinya sendiri, dan berhasil menjadi finalis bersama
dengan perusahaan Tiongkok. Perusahaan ini kemudian memberikan secara gratis
dan memenangkan pelelangan tersebut.

TKD sebagai suatu perusahaan UKM jelas tidak dapat melakukan tindakan serupa,
tanpa adanya dukungan nasional, dari pelaku industri telekomunikasi dan atau
pemerintah. TKD kehilangan dana dan peluang untuk mengembangkan usahanya,
dan para ahlinya kehilangan pekerjaan dan banyak yang pindah ke perusahaan lain,
termasuk luar negeri.

87
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Menurut Direktur Utama TKD, di samping TKD masih ada puluhan perusahaan UKM
serupa di Indonesia. Andaikata perusahaan-perusahan UKM manufaktur dapat
disinergikan dalam suatu asosiasi, mereka akan lebih kuat baik untuk berbicara
dengan pemerintah atau menanggapi tantangan-tantangan bersama.

2.3. Tulang Punggung Jaringan Telekomunikasi

Pada tahun 2004, PT Tiara Titian Telekomunikasi (TT-Tel) menyerahkan suatu


gagasan kepada Dirjen Postel, Dr. Djamhari Sirat, yang disebut RENCANA JARINGAN
CSO-N (Cincin Serat Optik Nasional) yang mencakup seluruh provinsi dan
Kabupaten saat itu 33 Provinsi dan 450-an Kabupaten/Kota, berupa 6 (enam) Cincin
SO yang terpadu dan tidak terputus sepanjang 35.000 km mengelilingi semua
pulau se Nusantara dengan jaringan serat optik (SO). CSON merupakan suatu
jaringan tulang punggung

Gagasan ini saat dianggap strategis sekali oleh Dirjen Postel, dan kemudian
disampaikan ke Menteri Perhubungan yang membawahi Direktorat Jenderal Postel
saat itu. Menhub menyetujui gagasan yang telah beralih menjadi gagasan Ditjen
Postel tersebut, dan kemudian menamakannya menjadi PALAPA RING, mengikuti
nama SKSD Palapa yang diresmikan Presiden Soeharto pada tahun 1976.

Selanjutnya, Ditjen Postel mengadakan kajian Palapa Ring, masing-masing TT-Tel


dalam bidang teknis dan Konsultan ITB dalam bidang finansial. Rancangan (design)
bidang teknis diminta menghitung biaya keseluruhan jaringan sebagai dasar bagi
tim bidan finansial mengkaji apakah proyek ini memenuhi persyaratan usaha
finansial, Tim teknis berhasil dengan bantuan seorang ahli kabel laut Jepang, suatu
perkiraan biaya keseluruhan 1,5 Milyar Dolar AS (US$ 1,5 Milyar) untuk pembangunan
seluruh jaringan Palapa Ring termasuk sambungan SO ke seluruh 33 Provinsi dan
450an Kota/Kabupaten menggunakan SO di bawah laut (submarine cable) yang
pembangunannya diperkirakan 2-3 tahun saja.

Sayangnya setelah kajian selesai dan disepakati oleh konsultan Bappenas dalam
Rapat terakhir yang dipimpin Dirjen Postel, pak Basuki Yusuf Iskandar, dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh semua penyelenggara telekomunikasi, ditolak oleh
Telkom meski disetujui oleh 6 (penyelenggara) lainnya.

Untuk menyelamatkan gagasan Palapa Ring, Pak Basuki mengusahakan suatu jalan
kompromi, dengan terlebih dahulu membangun jaringan Palapa Ring di bagian
timur dahulu, yang kemudian disambung bagian barat menggunakan jaringan SO
Telkom, oleh suatu konsorsium yang terdiri dari ketujuh penyelenggara.

88
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Konsorsium ini kemudian bubar, karena satu demi satu peserta Konsorsium
mengundurkan diri, kecuali Telkom. Penyebabnya adalah bahwa para peserta
Konsorsium ragu-ragu apakah Telkom yang memiliki monopoli jaringan SO paling
luas ke bagian Barat wilayah Nusantara, akan memberikan sambungan yang sesuai
harapan penyelenggara lainnya. Menurut salah satu penyelenggara, apabila
demikian, maka pembangunan Palapa Ring bagian Timur sama saja membangung
proyek sosial saja bagi mereka.

Pada masa Rudiantara menjabat sebagai Menkominfo, gagasan Palapa Ring


diteruskan untuk menjangkau 57 Kabupaten/Kota terpencil yang belum
tersambung oleh jaringan SO, yang dibagi dalam 3 (tiga) wilayah saat dilelang,
Indonesia bagian Barat, bagian Tengah, dan bagian Timur. Proyek dilaksanakan oleh
BP3T dengan cara kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dengan pinjaman dari
Bank yang dijamin oleh pemerintah sehingga bunganya rendah.

Penanganan dan perluasan jangkauan Palapa Ring yang telah dibangun kini
dilakukan oleh BAKTI suatu perusahaan penyelenggara yang tidak komersial
langsung di bawah Menkominfo yang ditugasi memperluas akses jaringan Palapa
Ring melalui titik interkoneksi dengan jaringan penyelenggara lain yang memiliki
akses ke pelanggan, termasuk Telkom yang memiliki jaringan paling luas.

Di sisi lain, masih diperlukan kebijakan dan pengaturan lebih lanjut dari Kominfo
agar pelaksanaan interkoneksi lebih lancar karena selama ini praktik di lapangan
terjadi kesulitan kesepakatan, baik sambungan atau pentarifan sewa, untuk
menjangkau akses ke titik interkoneksi.

3. Kesimpulan dan Saran

Pedoman terobosan dibutuhkan untuk pemerataan jaringan telekomunikasi yang


mendukung kemajuan nasional menyeluruh, termasuk pendidikan,
kesempatan warga untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, dan peluang
usaha, yang sangat tergantung pada kapasitas akses telekomunikasi. Apabila tidak,
akan menimbulkan melebarnya kesenjangan antara Pusat dan Daerah yang telah
ada (existing).

Kebijakan pemerataan jaringan telekomunikasi merupakan syarat


pemenuhan Azas dan Tujuan telekomunikasi Pasal 2 dan Pasal 3 UU no. 36 tahun
1999 tentang Telekomunikasi, yang intinya adalah antara lain untuk akses adil dan
merata, kepastian hukum, kepercayaan pada diri sendiri, mendukung persatuan
dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kegiatan
pemerintahan.

89
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat mengikuti kecepatan derap


tahap penerapan teknologi terkini mengikuti negara maju, melainkan harus berani
mengambil kebijakan terobosan untuk mempertahankan teknologi yang ada
sampai cukup merata, tidak mengikuti teknologi yang sedang ditawarkan, dan
kemudian melompat ke teknologi berikutnya.

Selanjutnya, Penelitian dan Pengembangan (R&D) produksi dalam negeri perangkat


terkini secara terpadu, 5G pada khususnya, untuk mempersiapkan teknologi terkini
menjadi suatu keharusan untuk penyediaan perangkat telekomunikasi yang
ekonomis dan menguntungkan baik para penyelenggara maupun para pelanggan.

Pemerintah disarankan untuk mengeluarkan ketentuan terobosan secepatnya


untuk penerapan pemerataan jaringan telekomunikasi yang mengatur persyaratan
penerapan tahap teknologi terkini, yang juga akan mempercepat pengembalian
modal penyelenggara.

Jakarta, 21-11-2022

90
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Arnold Ph. Djiwatampu

Lulus dari Institut Teknologi Bandung jurusan Sarjana Telekomunikasi pada tahun
1963. Penulis pernah bekerja sebagai Kepala Bagian Satelit Perumtel pada tahun
1978 sampai tahun 1980. Penulis juga pernah ditunjuk sebagai Gubernur South East
Asia Group (SEAG), mewakili Indonesia, Filipina, dan Thailand pada Dewan
Gubernur INTELSAT pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1979. Saat ini, Penulis
bekerja sebagai Direktur di PT Tiara Titian Telekomunikasi sejak tahun 1965.

91
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
KETERSEDIAAN LAYANAN 5G DIHARAPKAN
MENJADI GAME CHANGER DIGITAL LIFE STYLE
DAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT INDONESIA
Merza Fachys

Wakil Ketua Dewan Profesi dan Asosiasi Mastel

Abstrak - Sejak diluncurkan pertama kalinya pada Mei 2021, layanan 5G di


Indonesia hingga saat ini belum terasa manfaat signifikan. Layanan 5G
sebagaimana banyak dipropagandakan akan merubah banyak hal dalam
kehidupan masyarakat digital. Tersedianya layanan 5G pun masih sebatas pada
spot-spot tertentu, belum massif di seluruh penjuru kota maupun area ekonomi
pada umumnya. Hal ini berbeda dengan saat layanan 4G yang dimulai pada 2014
silam, yang langsung merambah ke seluruh sudut kota dalam waktu yang relatif
singkat. Disamping karena nilai investasi untuk menggelar jaringan 5G memang
jauh lebih mahal dibandingkan dengan 4G, ternyata untuk mendapat kualitas 5G
yang “bukan kaleng-kaleng” di Indonesia masih banyak “check-list items” yang
harus diselesaikan oleh para pemangku kepentingan di negeri ini. Mulai dari peta
jalan (roadmap) penggelaran 5G yang seiring dengan perkembangan wilayah,
kesiapan aplikasi serta skala prioritas industri, spektrum frekuensi yang masih
perlu ditata ulang, valuasi nilai spektrum frekuensi yang wajar yang akan
membuat operator tetap dapat tumbuh sehat, menyiapkan mekanisme lelang
spektrum yang dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat, penggelaran
fiber optic secara massif di seluruh area layanan, pembangunan sarana lokasi BTS
tambahan, penyesuaian regulasi-regulasi pemerintah dalam turut menyediakan
fasilitasi serta kemudahan perijinan penggelaran jaringan telekomunikasi
termasuk pemanfaatan bangunan tinggi hingga jaringan di dalam gedung plus
perlunya disiapkan insentif pemerintah bagi investasi 5G. Tak kalah pentingnya
adalah edukasi sumber daya manusia dan masyarakat dalam menghadapi era
perubahan yang diakibatkan oleh besarnya peluang yang diciptakan oleh
kehadiran 5G. Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan itu perlu disimpulkan
bersama bagaimana strategi pembangunan yang komprehensip, melibatkan
seluruh pemangku kepentingan, guna menghadirkan layanan 5G dengan kualitas
yang bukan kaleng-kaleng atau sekedar asal ada 5G di Indonesia.

93
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

1. Pendahuluan

Kapan layanan 5G akan secara luas tersedia di Indonesia guna mendukung


transformasi digital, telah sering menjadi materi bahasan di masyarakat selama
beberapa tahun terakhir. Namun kenyataannya sampai saat ini masih belum banyak
tempat, di mana dapat ditemukan tersedianya layanan 5G dari operator seluler yang
ada di Indonesia. Beberapa operator sejak tahun 2020 sudah memulai penggelaran
jaringan 5G di beberapa tempat, namun masih sangat terbatas pada spot area
tertentu ataupun untuk keperluan aplikasi tertentu. Belum nampak adanya
penggelaran yang secara luas mencakup seluruh wilayah di suatu kota.

Teknologi 5G digadang-gadang sebagai solusi yang akan memberikan kapasitas


lebih besar dalam jaringan, yang berarti dapat lebih banyak pengguna dan
perangkat akan mendapatkan kecepatan data yang sangat tinggi serta
memungkinkan lebih banyak pengguna dan perangkat untuk terhubung sekaligus.
Hal ini tidak akan bisa didapat pada generasi teknologi jaringan sebelumnya.
Teknologi 3G dan 4G terbukti mengalami kesulitan dalam memberikan kualitas
layanan yang diharapkan, terutama bila pada saat bersamaan terhubung terlalu
banyak perangkat di tempat dan waktu yang bersamaan.

Yang tidak kalah pentingnya, teknologi 5G juga menjanjikan waktu latensi yang
sangat pendek, yang akan memberikan kecepatan merespons jauh lebih pendek
dari teknologi generasi sebelumnya.

Dengan semua kelebihan yang dijanjikan oleh teknologi 5G, maka sangat wajar bila
masyarakat pengguna layanan seluler, para pelaku usaha hampir di semua sektor,
para penyelenggara layanan publik sampai para pelaku UMKM sangat berharap
agar layanan 5G dapat segera hadir di semua area tempat mereka beraktivitas. Para
pelaku industri hari ini juga sudah ramai mempersiapkan otomatisasi robotik
berbasis IOT, AI dan segala hal yang membutuhkan konektivitas digital sekelas
layanan 5G.

Di sisi lain, bagi operator untuk dapat menggelar jaringan 5G yang sempurna, agar
dapat meraih semua kelebihan yang dijanjikan oleh teknologi 5G, masih
menghadapi banyak hal yang harus disiapkan. Mulai dari kebutuhan spektrum
yang memadai, jaringan fiber optic yang diperlukan untuk backhaul dan juga
backbone, pengembangan lokasi-lokasi Base Tranceiver Station (BTS)
tambahan karena jaringan 5G akan membutuhkan lebih banyak lokasi BTS,
modernisasi perangkat Core Networks, pengadaan perangkat BTS, peningkatan
kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) hingga mencari sumber dana investasi yang
tepat dan bersedia.

94
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Seberapa cepatkah seluruh persiapan yang dibutuhkan di atas dapat dinyatakan


selesai hingga mencapai tahap mendekati sempurna, apa saja yang dapat
mendorong hingga penyelesaiannya dapat lebih cepat, apa saja hambatan yang
perlu segera diatasi, seberapa tersedia regulasi yang ada dalam mengatasi
munculnya fenomena model bisnis baru serta bentuk-bentuk layanan baru, dan
banyak lagi check list yang perlu diselesaikan bersama-sama oleh seluruh
pemangku kepentingan, termasuk seluruh calon pengguna layanan 5G. Hal-
hal itulah yang saat ini masih menjadi “pekerjaan rumah” kita semua. Dan saatnya
5G telah tersedia di banyak area, betulkah semua wacana tentang kecanggihan 5G
akan menjadi game changer dalam dunia digital akan menjadi kenyataan, inipun
masih menghantui keraguan bagi banyak pihak

2. Spektrum Sebagai Sumber Daya Utama 5G yang Masih Langka

Bermacam aplikasi diyakini akan menjadi pemicu utama besarnya trafik pada
jaringan 5G, mulai dari enhanced mobile broadband service (eMBB), ultra-reliable
and low-latency communications (URLLC) hingga massive machine type
communications (mMTC). Karenanya berbagai band spektrum dibutuhkan secara
simultan, baik yang low , mid dan juga high spectrum band. Hal ini akan menjamin
bahwa jaringan 5G akan memberikan kapasitas dan kualitas sesuai dengan yang
dijanjikan oleh teknologi 5G, dan tidak akan menimbulkan masalah untuk melayani
segala macam 5G use cases.

Low-bands (<1 GHz) akan sangat esensial untuk menyediakan layanan dengan
jangkauan coverage yang luas dan ekonomis. Low-bands akan mengatasi
kesenjangan digital antara area urban dengan area pedesaan. Juga akan
memberikan sinyal lebih kuat untuk penetrasi layanan seluler di dalam
bangunan/gedung. Perkembangan aplikasi IOT akan juga banyak didukung oleh
jaringan berbasis low-bands. Spektrum low-bands yang saat ini tersedia adalah 900
MHz, 850/800 MHz and 700 MHz telah dialokasikan untuk layanan seluler. Untuk
memberikan layanan 5G yang memadai setidaknya 20 – 40 MHz low-bands
dibutuhkan oleh setiap operator seluler.

Saat ini spektrum 850/800 MHz dan 900 MHz telah diberikan hak penggunaannya
kepada para operator seluler, sementara spektrum 700 MHz masih dalam proses
penataan ulang melalui program migrasi siaran TV analog menjadi TV digital.
Diharapkan setelah program Analog Switch Off (ASO) selesai tuntas, maka tersedia 2
x 45 MHz spektrum 700 MHz yang dapat dialokasikan untuk layanan seluler.

Mid-bands (1-7 GHz) akan memberikan manfaat berimbang antara coverage dan
kapasitas bagi jaringan 5G. Pada mid-bands ini spektrum dengan dukungan

95
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

ekosistem terbesar adalah 3,5 GHz. Di Indonesia pada range tersebut saat ini masih
digunakan sebagai C-Band jaringan satelit. Selain spektrum 3,5 GHz, peluang
mendapatkan mid-bands untuk jaringan 5G juga ada pada spektrum 2,6 GHz yang
saat ini digunakan oleh operator TV berbayar melalui satelit.

Pemerintah saat ini sedang melakukan perencanaan penataan ulang atas spektrum
3,5 GHz dan 2,6 GHz tersebut dan diskusi dengan para seluruh operator satelit untuk
menemukan solusi terbaik. Setidaknya 80 – 100 MHz spektrum dibutuhkan oleh
setiap operator sebagai titik awal penggelaran jaringan 5G

High-bands (>24 GHz) atau dikenal juga sebagai mmWave akan menjadi
komplemen bagi low-bands dan mid-bands di daerah urban yang padat trafik.
Spektrum ini juga disebut dapat memberikan kualitas layanan setara dengan
jaringan fiber optik, menjamin latensi yang rendah, sehingga juga sangat cocok
untuk memenuhi kebutuhan aplikasi 5G pada sektor industri.

Pemerintah telah mengalokasikan 26 GHz sebagai high-bands untuk jaringan 5G


yang saat ini memang masih belum dipakai untuk apapun. Setidaknya 600 – 1000
MHz spektrum dibutuhkan oleh setiap operator untuk dapat memberikan layanan
terbaik bagi aplikasi-aplikasi yang berbasis mmWave tersebut.

Ketersediaan ketiga band spektrum di atas secara bersamaan amatlah penting bagi
operator. Karena layanan 5G dengan kualitas seperti banyak dijanjikan dalam
banyak kesempatan hanya akan dicapai bila jaringan 5G digelar dengan 3 band
spektrum tersebut secara simultan. Oleh karena nya sangat disarankan proses
lelang spektrum baru sebaiknya diadakan oleh pemerintah secara bundling untuk
ketiga band spectrum tersebut.

3. Mekanisme Seleksi dan Penetapan Nilai BHP Frekuensi Perlu


Dikaji Ulang
Upaya dan kerja keras dari pemerintah dalam rencana menata ulang kebijakan
terkait spektrum frekuensi radio, khususnya bagi operator seluler, agar tercipta
sektor telekomunikasi yang sehat dan berkelanjutan perlu diapresiasi setinggi-
tingginya. Keberhasilan transformasi digital dalam waktu yang cepat akan sangat
bergantung pada platform digital yang kuat, yang berkualitas dan tersedia bagi
seluruh masyarakat serta pelaku ekonomi di Indonesia. Operator seluler harus
mampu berada di depan dalam memenuhi tuntutan tersebut dan secara
bersamaan harus mampu mengatasi tantangan bahwa teknologi seluler terus
berkembang dengan cepat serta memicu kebutuhan investasi yang terus
meningkat.

96
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Dapat disimpulkan perihal kondisi industri telekomunikasi saat ini, konsolidasi


operator seluler telah mencapai titik optimalnya dengan melahirkan empat
penyelenggara. Oleh karenanya kebijakan pemerintah seyogyanya berfokus kepada
keempat penyelenggara tersebut, agar dapat berkembang secara sehat serta
berkelanjutan (sustainability) dan kuat (resilience).

Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka perlu dipertimbangkan adanya


langkah-langkah strategis dan afirmatif terkait kebijakan pengalokasian sumber
daya spektrum frekuensi kepada operator seluler serta pengendalian nilai Biaya Hak
Penggunaan (BHP) Frekuensi yang wajar dan menyehatkan industri serta
meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Alokasi sumberdaya spektrum frekuensi bagi para operator seharusnya merata dan
seimbang, meskipun tidak harus sama rata. Oleh sebab itu, mekanisme dan proses
seleksi pengalokasian spektrum frekuensi harus dapat menciptakan terbentuknya
pemerataan penggunaan spektrum frekuensi di antara para operator seluler.

Pemerataan alokasi spektrum frekuensi ini akan mendorong kompetisi sehat


diantara para operator dan akan memberikan pilihan kepada masyarakat serta
pelaku industri untuk mendapatkan layanan terbaik sesuai dengan kebutuhannya.

Mekanisme dan proses seleksi seyogyanya tidak mengarah kepada adu


kemampuan finansial semata dari peserta seleksi, namun harus mengarah kepada
tercapainya kewajaran beban regulatory charge (khususnya besaran BHP
Frekuensi). BHP Frekuensi yang sehat, yang berada pada kisaran 5% - 7% dari
pendapatan bruto operator juga perlu dijadikan sasaran seleksi

Penetapan waktu pelaksanaan seleksi harus lebih mengutamakan adanya


ketersediaan ekosistem (D-N-A / Device-Network-Application) global atau telah
banyak tersedia di pasar terlebih dahulu, sebelum seleksi atas rentang spektrum
frekuensi radio tersebut digelar untuk menyambut teknologi yang mutakhir.

Target perhitungan besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio hasil seleksi, agar dapat
diselaraskan dengan ketersediaan ekosistem, daya terima pengguna serta kondisi
pasar, dan tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan frequency propagation
index.

Besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio yang mengacu pada formula yang selalu
naik setiap tahun (ref. berbasis formula) agar dapat dijadikan menjadi nilai tetap
(fixed price). Penyesuaian besaran BHP Spektrum Frekuensi berbasis IHK, justru
akan memicu kenaikan IHK itu sendiri, sehingga tidak sejalan dengan program
pemerintah untuk menekan angka laju inflasi.

97
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Kewajiban pembayaran up-front fee sebesar 2x nilai BHP bagi pemenang seleksi,
merupakan beban yang sangat berat, yang dapat menghambat laju investasi
penyelenggara telekomunikasi pemenang seleksi. Hal ini tidak sejalan dengan
ambisi pemerintah untuk melakukan percepatan transformasi digital

Mekanisme dan proses seleksi spektrum frekuensi radio seharusnya terpisah


dengan kewajiban komitmen pembangunan (apalagi di wilayah layanan USO).
Adanya tambahan alokasi sumberdaya spektrum frekuensi radio, merupakan
potensi untuk meningkatkan kesehatan penyelenggara dalam memberikan
layanan terbaik kepada masyarakat. Beban komitmen pembangunan di depan
akan menghilangkan potensi tsb.

4. Fiber Optic Sebagai Tulang Punggung Jaringan 5G

Kinerja yang jauh lebih hebat dari 5G hanya bisa didapat jika didukung oleh
keberadaan jaringan fiber optic yang cukup sebagai penghubung site-site BTS
dengan Core nya. Secara kasar saat ini site-site BTS para operator yang terhubung
dengan fiber optic bahkan masih jauh di bawah 30%. Pembangunan jaringan fiber
optic secara masif jelas harus mulai dilakukan. Mengingat geografi negara Indonesia
yang tidak mudah untuk penggelaran jaringan fiber optic, maka perlu dipikirkan
solusi yang tepat, dengan konsep penggunaan bersama dan dibangun secara
bersama-sama.

Yang paling penting dalam percepatan pembangunan jaringan fiber optic ini
adalah dukungan pemerintah untuk memperpendek proses perijinan (Right of
Way) mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintahan daerah pada strata yang
paling ujung. Proses perijinan yang kompleks serta memakan waktu lama harus
segera dipangkas. Serta biaya-biaya terkait penggelaran jaringan kabel
telekomunikasi, seperti skema sewa lahan untuk tempat galian kabel, retribusi serta
biaya-biaya resmi dan tidak resmi lainnya seharusnya tidak menggunakan skema
atau formula yang menyebabkan biaya tinggi.

Karena lamanya proses dan waktu yang dibutuhkan untuk penggelaran jaringan
fiber optic, maka perlu digunakan solusi substitusi untuk mengatasi kebutuhan
bandwidth besar pada site-site BTS sebagai solusi sementara atau bahkan solusi
permanen di beberapa tempat. Salah satunya adalah menggunakan microwave
terrestrial backhaul, seperti E-Band, yang bekerja pada frekuensi 60/70/80 GHz,
yang saat ini masih kosong. Namun dalam implementasinya penggunaan teknologi
ini masih terganjal oleh mahalnya biaya Izin Stasiun Radio (ISR). Oleh sebab itu
dibutuhkan segera dukungan pemerintah untuk menetapkan nilai yang wajar atas

98
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

nilai ISR dalam penggunaan microwave terrestrial backhaul di atas, yang bahkan di
beberapa negara tidak dipungut biaya ISR sama sekali (free of charge).

5. Peta Jalan Penggelaran Layanan 5G Mulai dari yang Mendasar

Banyak pertanyaan dalam setiap diskusi tentang 5G seputar apa aplikasi unggulan
yang diharapkan akan menjadi revenue driver operator seluler. Sampai hari ini
belum ada jawaban pasti apa killer apps dari layanan 5G. Negara-negara yang telah
menggelar 5G secara komersial menunjukkan hasil yang tidak terlalu memuaskan
dari indikator pertumbuhan revenue maupun ARPU dibandingkan pada layanan 4G.
Namun tidak satu pendapat pun yang menyatakan bahwa 5G tidak bermanfaat
bagi industri telekomunikasi maupun perannya dalam mendorong percepatan
transformasi digital dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karenanya, pemerintah bersama dengan seluruh pemangku kepentingan


industri digital perlu membuat peta jalan penggelaran jaringan 5G, agar dicapai
kesepahaman dari seluruh tatanan untuk jalan, berkembang dan tumbuh serta
sehat bersama.

Secara logis penggelaran jaringan 5G harus direncanakan untuk menjangkau


coverage layanan mobilitas yang luas atas satu wilayah. Apakah itu daerah urban
atas sebuah kota, ataupun area dengan ciri tertentu, misalkan daerah kawasan
industri, kawasan pemerintahan, kawasan pendidikan dan lain-lain. Namun yang
paling mendasar adalah bahwa feature eMBB harus dapat dinikmati oleh seluruh
pengguna di wilayah tersebut dengan kualitas yang memadai. Selanjutnya layanan
FWA berbasis 5G juga dapat digelar di wilayah tersebut untuk area-area yang belum
terjangkau oleh layanan fixed broadband. Bila kualitas coverage di wilayah tersebut
dapat menghasilkan kualitas koneksi yang merata, maka aplikasi berbasis IOT akan
segera berkembang di wilayah tersebut. Demikian pula dengan aplikasi mission
critical untuk kebutuhan wilayah tersebut akan ikut tumbuh.

Setelah fase layanan dasar tersebut cukup berkembang, maka dapat diyakini
aplikasi-aplikasi yang lebih capital intensive akan mulai ikut bertumbuh, seperti
Industri 4.0 atau e-health misalnya.

Dengan keberhasilan di satu wilayah tersebut, maka satu per satu, wilayah demi
wilayah akan tumbuh seiring dengan tumbuhnya sarana, prasarana dan ecosystem
lain yang dibutuhkan, termasuk kesiapan sumber daya manusia untuk penggelaran
jaringan 5G maupun pengguna aplikasi 5G.

99
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

6. Jaringan 5G di dalam Bangunan (in building) adalah Wajib

Pada kenyataannya pengguna layanan 5G lebih banyak berada di dalam rumah,


kantor, tempat-tempat aktivitas umum seperti apartemen, gedung-gedung
perkantoran, kampus, mal belanja, bandara, pabrik-pabrik dan lain-lain, dibanding
digunakan saat mobile di area terbuka. Sinyal 5G yang bekerja pada tiga macam
band spectrum secara simultans akan menghasilkan propagasi yang berbeda-beda
pada saat harus menembus dinding-dinding bangunan yang besar. Oleh sebab itu
wajib diupayakan bahwa coverage jaringan 5G harus sampai di dalam gedung
dengan kualitas yang sama dibanding di luar gedung/bangunan.

Tidak adanya regulasi right of ways ke dalam gedung-gedung baik yang dikuasai
pemerintah maupun swasta, mengakibatkan sulitnya bagi operator untuk dapat
memasang perangkat jaringannya agar sinyal di dalam gedung mempunyai
kualitas yang sama dengan di luar gedung. Perlu adanya regulasi pemerintah yang
mewajibkan semua gedung, bangunan dan kawasan tertutup untuk membuka
akses kepada operator seluler guna memasang perangkat jaringannya.

7. Penutup

Teknologi 5G menjanjikan banyak kelebihan yang tentu saja akan menghadirkan


banyak manfaat bagi seluruh sendi kehidupan bertelekomunikasi. Kebutuhan data
yang semakin meningkat tentunya akan dapat dijawab dengan hadirnya layanan 5G
yang merata, berkualitas dan terjangkau.

Di sisi lain masih banyak hal di Indonesia yang ditengarai belum siap untuk dapat
menghadirkan layanan 5G dengan kualitas yang dijanjikan oleh teknologi itu sendiri.
Disamping hal-hal teknis terkait teknologi, jaringan serta layanan 5G, killer
application yang saat ini dapat diklaim sebagai revenue driver layanan 5G masih
belum dapat disimpulkan.

Literasi kepada masyarakat harus terus dilakukan atas segala aspek yang timbul di
depan kita dengan banyaknya perubahan life style yang timbul sebagai konsekuensi
lahirnya aplikasi-aplikasi baru berbasis layanan 5G

Beberapa regulasi baru yang dapat mendorong percepatan penggelaran 5G masih


harus dirumuskan dan ditetapkan.

Semua pekerjaan rumah di atas harus diselesaikan secara bersama-sama, seiring


sejalan dengan penggelaran jaringan 5G itu sendiri.

100
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Merza Fachys

Lulus dari Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Elektro pada tahun 1980, dan
Lulus dari IPMI Business School dengan gelar Magister di bidang Administrasi Bisnis
pada tahun 2006. Penulis merupakan seorang profesional yang berkarir di bidang
telekomunikasi. Penulis pernah menjabat sebagai General Manager dan Regional
Account Manager di PT Siemens Indonesia pada tahun 1998 sampai tahun
2007. Penulis juga pernah menduduki jabatan strategis lain di perseroan, yakni
Direktur dan Chief Corporate Affairs Perseroan dari tahun 2007 sampai tahun 2009,
Presiden Direktur dari tahun 2009 sampai tahun 2011, serta Direktur Teknologi dan
Jaringan dari tahun 2011 sampai tahun 2015.

Saat ini penulis menjabat sebagai Direktur di PT Smart Telecom sejak tahun 2013,
serta menjabat sebagai Presiden Direktur di PT Distribusi Sentra Jaya sejak tahun
2014.

101
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
PENGGELARAN 5G DI INDONESIA
DARI PERSPEKTIF MOT: HYPE VS REALITY
Sigit Puspito Wigati Jarot
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional (Infratelnas) Mastel

Abstrak – Indonesia secara resmi telah memasuki era 5G dengan dimulainya


penggelaran jaringan 5G pada pertengahan 2021. Besar harapan berbagai pihak
penggelaran 5G di Indonesia dapat berkontribusi signifikan dalam agenda
transformasi digital nasional, dan juga lebih baik daripada sejarah penggelaran
generasi sebelumnya. Tulisan in mengupas secara sederhana perjalanan
penggelaran 5G termasuk prospek dan tantangannya ke depan dari perspektif
Management of Technology baik pada tataran pengguna akhir, mikro korporasi
maupun level makro negara, baik aspek siklus teknologi, maupun tujuan teknologi,
dan beberapa tantangannnya. Dan disertai juga beberapa rekomendasi kebijakan
untuk pemangku kepentingan yang terkait, termasuk penggelaran 5G untuk
peningkatan daya saing bangsa, untuk ibukota negara (IKN), untuk Making
Indonesia 4.0 dan juga 5G untuk transformasi digital.

1. Pendahuluan

5G adalah penerus dari G-G sebelumnya mulai 1G, 2G, 3G, dan kemudian 4G,
merujuk pada sebutan yang berlaku secara global untuk menamai sebuah generasi
teknologi selular generasi kelima. Secara global, 1G – generasi pertama mulai
diluncurkan sekitar tahun 1979, kemudian dilanjutkan dengan 2G – generasi kedua
sekitar tahun 1991, 3G – generasi ketiga sekitar tahun 1998, 4G – generasi keempat
sekitar tahun 2008 dan terakhir 5G mulai diluncurkan secara global pertama kali
tahun 2019, kemudian disusul di beberapa negara pada 2020. Dari pola sejarah
peralihan generasi tersebut, maka tidak berlebihan jika kemudian disimpulkan
bahwa secara umum, setiap sepuluh tahun atau satu dekade muncul generasi baru
dalam teknologi seluler.

Pola inilah yang kemudian menjadi salah satu rujukan bagi berbagai pihak dalam
membuat berbagai persiapan, mulai dari peneliti dan inventor teknologi untuk
membuat berbagai inovasi baru, bagi pihak yang menyusun standarisasi global
dalam melakukan penjadwalan revisi sampai peralihan generasi, bagi vendor
penyedia perangkat dan layanan teknologi dalam menyiapkan strategi produknya,
bagi operator selular dalam melakuan strategi pengadaan dan peralihan
teknologinya, bagi regulator dalam meng-update kebutuhan regulasinya, termasuk
sampai ke pengguna akhir. Dan pola ini berlaku secara umum di semua negara,
dengan berbagai kekhasan dan kekhususannya di masing-masing negara.

103
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Indonesia mulai mengadopsi 2G(GSM) pada tahun 1995 sekitar terlambat 4-5 tahun,
kemudian adopsi 3G Release 99 pada tahun 2006 sekitar 7 tahun setelah launching
pertama secara global, sedangkan adopsi LTE Release 8 pada tahun 2014 berarti
sekitar 8 tahun dari launching pertama secara global. Berbeda halnya dengan 5G,
dimana secara global pertama kali diluncurkan tahun 2019, dan diikuti banyak
negara pada tahun 2020, Indonesia hanya terlambat 1 hingga 2 tahun untuk
meluncurkan 5G yaitu pada pertengahan 2021. Kecepatan adopsi ini mungkin
menjadi sebuah catatan tersendiri bagi 5G di Indonesia.

Bahkan jauh sebelum peluncuran jaringan 5G pertama di Indonesia, 5 sampai 6


tahun sebelumnya sudah banyak dilakukan studi, kajian, diskusi, seminar,
simposium dan lain sebagainya. Sebagai contoh, pada pertengahan 2015 sudah
didirikan Forum 5G Indonesia (i5gf.org), September 2015 mengadakan simposium
5G Indonesia bersama 5G Forum Japan1, kemudian November 2015 Mastel sudah
mengadakan ICT Roundtable on Next Generation Broadband 5G2 (mastel.id). Pada
awal 2016 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kominfo membentuk Studi Group
untuk melalukan Kajian Awal 5G melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Diikuti oleh berbagai diskusi, symposia dan sebagainya dengan harapan agar dapat
menyambut kedatangan 5G di Indonesia secara lebih baik dari sebelumnya. Bahkan
pada tahun 2020, Kominfo kemudian membentuk Gugus Tugas 5G yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk operator selular, akademisi
dan Mastel untuk Menyusun Roadmap 5G di Indonesia.

Karenanya, besar harapan bahwa panjangnya sejarah Indonesia dalam mengadopsi


berbagai generasi teknologi selular, juga mewujud pada tumbuhnya kematangan
adopsi teknologi tersebut dilihat dari perspektif Management of Technology,
sehingga adopsi teknologi tersebut bukan sekedar kepentingan bisnis atau
menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar saja, tapi dari waktu ke waktu, secara
bertahap bisa juga lebih memiliki dampak yang lebih signifikan untuk
meningkatkan kemakmuran, mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui berbagai
peluang inovasi dan adopsi teknologi yang tepat guna dan tepat waktu.

2. Mengenal Kemampuan dan Potensi 5G

Secara singkat, untuk mengenal 5G sekaligus perbandingannya dengan generasi


sebelumnya dapat dijelaskan dengan beberapa aspek sebagai berikut: (1) Key
Performance Indicator, (2) Use Case, dan (3) Key Technology Enablers.

1
https://bali.antaranews.com/berita/78566/bali-tuan-rumah-internasional-code-2015
2
https://mastel.id/tag/indonesia-ict-roundtable/

104
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar 1 KPI Teknis 5G menurut ITU (Sumber: ITU-R M.2038)

Pertama secara KPI (key performance indicator) secara teknis merujuk kepada
dokumen resmi dari ITU. Dibandingkan dengan generasi keempat 4G/LTE, 5G
ditargetkan sampai 20 kali lebih cepat secara peak data rate yaitu 20 Gbps pada 5G
berbanding 1 Gbps pada 4G. Secara kecepatan yang dirasakan langsung oleh
pengguna (User experienced data rate), 5G ditargetkan 10 kali lebih baik yaitu 100
Mbps dibandingnya dengan 10 Mbps pada 4G. Peningkatan sampai 10 sampai 20
kali lipat secara kecepatan data tersebut, didukung dengan penggunaan spektrum
efisiensi yang 3x lebih baik dibandingkan dengan 4G/LTE, juga mampu mendukung
penggunaan dengan mobilitas sampai 500 km/jam. Demikian juga dalam hal Area
Traffic Capacity (kapasitas trafik data per luas area) ditarget sampai lebih 100 kali
lebih baik yaitu 10 Mbps/m2 dibandingkan dengan 4G/LTE yang hanya mampu 0.1
Mbps/m2. Juga dalam hal efisiensi energi, 5G ditargetkan memiliki tingkat efisiensi
yang 100 kali lebih baik dibandingkan dengan 4G/LTE. Selain sejumlah KPI di atas
yang tentunya sudah jelas sangat menjanjikan performa yang luar biasa untuk
penggunaan 5G sebagai enhanced mobile broadband, 5G juga memilih dua KPI
lagi yang sangat penting, dan menjadi kunci untuk perluasan use-case 5G
dibanding generasi sebelumnya. Yaitu dalam hal kerapatan konektivitas
(Connection Density), yang sangat penting untuk menggunakan IoT. Juga dari segi
latency yang ditargetkan sampai 1ms dan membuka peluang cukup besar untuk
penggunaan 5G yang sifatnya mission-critical.

105
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar 2 Use-case, Potensi Market dan Kesiapan 5G

Kedua adalah aspek use-case (penggunaan). Berangkat dari target KPI 5G yang
secara kinerja teknis memang mengalami peningkatan sangat signifikan
dibandingkan dengan generasi sebelumnya, maka 5G ini sangat diharapkan banyak
menghadirkan ekspansi yang sangat signifikan secara banyaknya jenis use-
case(penggunaan) yang merambah ke berbagai sektor, bukan lagi terbatas kepada
sektor telko. Sebagai ilustrasi secara sederhana sebagai ditunjukkan pada gambar di
atas. Misalnya penggunaan 5G untuk enhanced mobile broadband (eMBB), virtual
reality (VR)/augmented reality(AR)/Hologram, Smart City, Automotive dan Smart
Factory yang berhubungan erat dengan Revolusi Industri 4.0, aplikasi Drone,
Wearable, eHealth atauy aplikasi kesehatan, Retail/Payment, Energy, dan masih
banyak lagi yang lainnya. Bahkan sudah dapat diprediksi juga berapa kira-kira
bandwidth frekuensi yang diperlukan, mulai dari yang cukup rendah dibawah 10
Mbps, sampai yang sangat lebar 6-10 Gbps. Dari sini sudah dapat diduga bahwa
potensi 5G secara use-case baru akan terbuka secara utuh dan optimal jika disertai
dengan adanya ketersediaan spektrum frekuensi yang mencukupi. Jika tidak, maka
aplikasi 5G hanya terbatas pada use-case yang dapat diwujudkan dengan
bandwidth frekuensi terbatas saja.

Ketiga dari perspektif key technology enablers yang menjadikan target KPI 5G ini
dapat dicapai, dapat disebutkan beberapa seperti ditampilkan pada gambar berikut

106
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

ini. Dan salah satu yang menjadi kunci adalah terjadinya “software-isasi”. Berbagai
fungsi yang dulunya diimplementasikan secara hardware (perangkat keras), pada
era 5G ini secara agresif dapat diimplementasikan secara software (perangkat
lunak). Jika pada generasi legacy, sebagian besar software dan hardware yang
digunakan lebih banyak yang sifatnya proprietary dan saling terkait, maka pada era
5G ini bisa dikatakan terjadi decoupling pada hardware dan software, bahkan
terjadi “atomization of software” karena bisa dipecah menjadi modul-modul
software yang masing-masingnya lebih kecil dan sederhana, dan diperkirakan tren
ini akan terus menguat menuju generasi mendatang, pasca 5G, 6G dst. Hal ini relatif
revolusioner, dan memberikan dampak sangat luas baik soal bagaimana 5G itu
diproduksi, 5G itu dioperasikan, sampai dengan siapa saja pemain-pemain baru
yang bisa masuk ke dalam ekosistem 5G itu sendiri. Termasuk juga diperlukannya
beberapa penyesuaian regulasi telekomunikasi.

Gambar 3 5G Key Technology Enablers

107
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar 4 Softwarisasi pada 5G dan Decoupling Software-Hardware

3. Analisis Permasalahan Penggelaran 5G dari Perspektif MoT: Hype vs Reality

Setelah berjalan hampir dua tahun sejak dimulainya penggelaran 5G sampai


dengan ketika artikel ini ditulis, berbagai komentar dan pendapat dari berbagai
pihak mulai bermunculan, sepertinya misalnya 5G Indonesia terjebak pada “suam-
suam kuku”3 , 5G di Indonesia masih tersendat 4, 5G masih terbatas show-case,
belum mau atau belum bisa?5 , dan lain sebagainya.

Di artikel ini akan dilakukan analisis sederhana permasalahan penggelaran 5G di


Indonesia dari perspektif Management of Technology (MoT)). MoT sendiri adalah
sebuah disiplin ilmu yang mengintegrasikan berbagai bidang seperti sains,
engineering, manajemen, ilmu bisnis, industri dsb, diantaranya mengkaji mengenai
desain, adopsi, penggunaan dan inovasi berbagai teknologi untuk menjadi tujuan
ekonomi dan sosial baik pada pengguna akhir, tataran mikro korporasi maupun
tataran makro negara. MoT juga dapat memberi penjelasan kepada korporasi
maupun negara beberapa pertanyaan terkait teknologi seperti, bagaimana proses
kelahiran sebuah teknologi, begaimana teknologi dapat menciptakan peluang
bisnis, bagaimana mengintegrasikan teknologi dengan strategi bisnis, bagaimana
agar adopsi teknologi dapat meningkatkan competitive advantage, termasuk

3
https://selular.id/2022/06/seperti-filipina-indonesia-terjebak-pada-5g-suam-suam-kuku/
4
https://www.indotelko.com/read/1642048781/5g-masih-tersendat-karena-masih-mencari-
demand
5
https://www.smartcityindo.com/2022/01/5g-masih-terbatas-di-indonesia-belum.html

108
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

bagaimana menentukan waktu untuk mengadopsi dan meninggalkan sebuah


teknologi, dan sebagainya6.

Dalam tulisan singkat ini, akan dilihat dalam beberapa aspek sebagai berikut yang
terkait dengan 5G: (1) Aspek Siklus Teknologi dan tantangan mengelola peralihan
teknologi, (2) Aspek Tujuan Teknologi, baik pada tataran pengguna akhir, korporasi
maupun negara, dan (3) Aspek Tantangan Prasayarat Teknis Lainnya.

1. Aspek Siklus Teknologi

Pada umumnya sebuah teknologi memiliki umur (usia kehidupan), bahkan


ada siklus kehidupannya. Siklus kehidupan sebuah teknologi, misalnya dibagi
menjadi beberapa fase, dimulai dari fase embrio, dilanjutkan dengan fase
pertumbuhan, lalu fase matang, dan terakhir adalah fase penuaan sampai
sebagian menemui ajalnya. Adakalanya siklus kehidupan itu berlangsung
lama, adakalanya sebuah teknologi lebih cepat menemui ajalnya, bisa jadi
karena limitasi alamiahnya sebagai sebuah teknologi, ataupun karena alasan
lain sepertinya munculnya teknologi baru yang lebih cepat dan secara fungsi
jauh lebih baik, lebih efisien, lebih efektif memberikan solusi dibanding
teknologi pendahulunya. Sebagai contoh, untuk teknologi seluler, maka
generasi pertama yaitu 1G (NMT, AMPS, dsj) relatif sudah habis siklus
hidupnya secara global, digantikan oleh generasi berikutnya yaitu 2G (GSM,
PDC, dsj). Dalam konteks ini, maka kehadiran 5G, bisa jadi membawa
konsekuensi harus mengakhiri generasi sebelumnya, apakah itu 2G, 3G atau
4G. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang cermat, baik secara bisnis, investasi,
teknologi, regulasi dan lainnya. Sebagai contoh, Jepang langsung mematikan
layanan 2G-PDC nya untuk mendorong penggelaran 3G-WCDMA nya secara
masif pada awal tahun 2000-an, karena berbagai pertimbangan diantaranya
ketidakmampuan 2G-PDC yang khas Jepang saat itu untuk bersaing secara
global dan ketidakmampuan roaming internasional. Demikian juga,
kehadiran 5G sekitar tahun 2020-an, telah mempercepat switch-off (matinya)
generasi 2G-GSM dan 3G-WCDMA di beberapa negara 7.Terutama di negara
maju, dimana secara coverage (cakupan layanan) relatif sama untuk masing-
masing generasi, secara pengguna akhir dan ekosistem juga sudah siap,
sedangkan secara fungsi, efisiensi frekuensi, dan berbagai karakteristik teknis
lainnya, tentunya generasi yang terakhir hampir bisa dipastikan lebih baik.
Indonesia tentunya bukan pengecualian, sekitar satu tahun setelah 5G mulai

6
Tarek Khalil, Management of Technology, The Key to Competitiveness and Wealth Creation,
2001.
7
https://eshop.sectron.eu/en/2g-and-3g-networks-are-shutting-down-globally/a-6316/

109
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

digelar, sebagian operator sudah mulai mematikan layanan 3G atas izin dari
Kominfo 8.

Kesimpulannya sejauh mana sebuah negara pada tataran makro, maupun


korporasi pada tataran mikro mampu mengelola peralihan teknologi ini, atau
dalam kata lain mengelola keusangan sebuah teknologi lama (managing
technology obsolesces) menjadi hal yang sangat penting. Sebaliknya, adanya
ketidakakuratan melakukan peralihan teknologi, termasuk di dalamnya
melepas teknologi lama, dapat berakibat pada tambahan beban yang tidak
perlu, misalnya karena harus tetap mengeluarkan biaya operasional yang
tinggi atau lebih tinggi dari teknologi baru karena faktor rendahnya efisiensi
dan sebagainya.

Gambar 5 Siklus Kehidupan dan Transisi Teknologi

2. Aspek Tujuan Teknologi

Dari perspektif MoT, tujuan mengadopsi teknologi baru pada level pengguna
akhir diantaranya untuk mendapatkan tambahan kemudahan atau
kecanggihan secara fungsi, dan lain sebagainya. Sedangkan para level mikro
korporasi adalah untuk menjaga sustainabilitas ataupun untuk menciptakan
competitive advantage dibandingkan dengan pesaingnya. Untuk level makro

8
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220316132458-37-323276/kominfo-matikan-
jaringan-bagaimana-nasib-jaringan-2g

110
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

negara, diantara tujuannya misalnya untuk mendorong inovasi,


meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendorong penggunaan teknologi
yang lebih bertanggung jawab dan tepat guna untuk masyarakat banyak,
memanfaatkan teknologi untuk proyek strategis nasional, untuk mencapai
tujuan-tujuan bernegara, dan lain sebagainya. Maka perspektif MoT akan
membantu pemerintah dan pengambil keputusan untuk merumuskan
kebijakan publik. Jadi untuk kasus 5G, perlu kita uji di level pengguna akhir
sejauh mana mereka merasakah nilai lebih menggunakan 5G dibandingkan
dengan teknologi yang sudah ada, apakah secara kelebihan fungsional sudah
bisa dirasakan, ketersediaan ekosistem perangkat sudah dapat dijangkau,
atau apakah sudah banyak ketidaknyamanan dan keterbatasan pada
teknologi sebelumnya sudah memaksa untuk beralih kepada teknologi yang
lebih baru. Pertanyaan sejenis ini dapat menjadi awal untuk melakukan
analisis di level ini.

Sedangkan pada tataran mikro korporasi, misalnya apakah investasi pada


generasi sebelumnya sudah kembali (RoI), apakah operator sudah melihat 5G
sebagai peluang untuk meningkatkan competitive advantage atau justru
sebaliknya menambah beban yang berpotensi mengganggu sustainabilitas,
dan masih banyak lagi.

Pada tataran makro negara, misalnya sejauh mana 5G berpotensi


meningkatkan daya saing bangsa, meningkatkan inovasi, membantu
keberhasilan proyek strategis nasional seperti transformasi digital, ekonomi
digital, Making Indonesia 4.0, IKN dan lain sebagainya. Jika dikaitkan dengan
pilihan use-case, maka use-case seperti apa yang terkait, dan prasayarat apa
yang dibutuhkan untuk mewujudkan use-case tersebut, misalnya soal versi
rilis teknologi, kebutuhan spektrum frekuensi, serta kesiapan ekosistem, dan
seterusnya.

3. Aspek Tantangan Prasyarat Teknis

Diantara aspek tantangan prasyarat teknis terkait dengan penggelaran 5G,


yang paling utama adalah ketersediaan spektrum frekuensi. Selain itu ada
beberapa faktor lain seperti ketercapaian KPI teknis, arsitektur, bandwidth vs.
latensi, adopsi IPv6, faktor sekuriti, dll. Sebagai prasyarat, maka jika tidak
terpenuhi, akan berdampak tidak terpenuhinya KPI tertentu, fungsi tertentu
sehingga tidak terwujudnya use-case tertentu. Jika 5G sudah berfungsi secara
lengkap secara KPI, baik secara kecepatan, kerapatan koneksi, maupun
latensi, maka harapannya 5G dapat menjangkau lapisan pengguna yang
sangat luas, mulai dari niche market, konsumen umum dan juga yang

111
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

terutama adalah penggunaan pada berbagai sektor industri yang luas, yang
belum terjangkau sebelumnya oleh generasi legasi dari 2G sampai 4G.

Menurut analisis Prof M. Dohler9, memperhatikan Cooper’s Law, bahwa


kapasitas koneksi wireless telah mengalami peningkatan dalam beberapa
dekade terakhir sampai 1 juta kali lipat, dan rupanya kontribusi terbesar
peningkatan kapasitas itu adalah perubahan pada arsitektur selular yang
mengalami pengecilan ukuran sel secara signifikan yang mampu
meningkatkan kapasitas sampai 1600 kali, kemudian diikuti oleh faktor
spektrum yang meningkatkan kapasitas sampai 25 kali, kemudian disusul
dengan faktor lain seperti perbaikan teknologi di layer fisik dan lainnya.

Ketersedian spektrum bandwidth menjadi tantangan yang sangat penting,


karena akan berpengaruh juga pada ketercapaian latensi dari application
encoding, juga berpengaruh pada akurasi dari sensing, seperti diilustrasikan
pada gambar di bawah ini.

Gambar 6 Tantangan Prasyarat Teknis

4. Beberapa Rekomendasi

Memperhatikan analisis sederhana dari persepktif MoT di atas, dapat dipahami


bahwa lambatnya ekspansi penggelaran 5G di Indonesia, boleh jadi bukan sekedar

9
M. Dohler et.al, Is the PHY Layer Dead?, IEEE Communications Magazine 2011.

112
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

aspek teknis, ataupun aspek bisnis, namun perlu dilihat secara lebih mendalam,
mengakar dan menyeluruh. Karenanya, strategi upaya percepatan penggelaran 5G
perlu memperhatikan berbagai aspek terkait, prasyarat terkait, dan apa saja use-
case yang menentukan. Juga lebih efektif bila dilaksanakan secara sinergi dengan
strategi yang lain.

Merujuk pada gambar berikut dari kajian Arthur D. Little10 mengenai kebijakan
kunci yang sangat kritikal dalam ekonomi digital, bahwa strategi 5G, seperti halnya
kebijakan broadband nasional, kebijakan spektrum frekuensi, strategi keamanan
siber, perlindungan data dan privasi, dan regulasi telekom, menjadi kebijakan kunci
di semua negara dalam konteks ekonomi digital, apakah itu masuk kategori
innovation hub, efficient prosumer, service powerhouse, global factory, business
hub, ICT patron ataupun ICT novice. Sedangkan posisi Indonesia kemungkinan
diperkirakan antara ICT Patron dan Business hub.

Gambar 7 Kebijakan Kunci dalam Ekonomi Digital (Sumber: Arthur D. Little)

Maka untuk mendorong penggelaran 5G yang lebih masif di Indonesia, kami


mengusulkan beberapa rekomendasi berikut:

10
https://www.adlittle.com/ja/node/23614 Think archetype. Your digital economy model.

113
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

• 5G dan Peningkatan Daya Saing Bangsa

Agar berperan dalam meningkatkan daya saing bangsa, perlu


memperhatikan parameter-parameter yang digunakan dalam berbagai
pemeringkatan daya saing bangsa. Misalnya untuk IMD World
Competitiveness Ranking11, yang terkait dengan 5G dalam aspek Infrastruktur
Teknologi, khususnya mengenai jumlah investasi telekomunikasi terhadap
investasi GDP, jumlah pelanggan broadband 4G/5G, kecepatan Internet, dan
jumlah pengguna Internet. Untuk mendorong peran 5G untuk kepentingan
tersebut, diperlukan use-case 5G eMBB secara meluas dari segi cakupan
sehingga berdampak pada peningkatan jumlah pelanggan broadband,
peningkatan jumlah pengguna Internet, dan peningkatan kecepatan
Internet. Maka diperlukan kebijakan kemudahan perluasan penggelaran
eMBB baik dalam bentuk kemudahan regulasi, subsidi dan sebagainya.
Termasuk di dalamnya terobosan penggunaan 5G untuk Fixed Wireless
Access. Sebagai prasyarat, tentu diperlukan ketersediaan spektrum frekuensi
yang mencukupi terutama di mid-band, yang mampu melayani kapasitas
yang cukup, dan cakupan yang lumayan baik. Sedangkan untuk low-band,
cakupan bisa baik, tapi secara kapasitas otomatis akan sangat terbatas. Posisi
Indonesia untuk Infrastruktur Teknologi per 2022 di posisi 49. Demikian juga
dengan IMD World Digital Competitiveness Ranking12, yang terkait dengan 5G
adalah parameter Technological Framework, dimana terdapat beberapa sub-
categori seperti teknologi komunikasi [posisi Indonesia 45], jumlah pelanggan
broadband [43], wireless broadband [47], Internet bandwidth speed [61] dan
Investasi di sektor telekomunikasi [08].

Maka secara investasi, Indonesia sudah sangat baik, namun bisa diduga
masih perlu banyak perbaikan secara kualitas jaringan, kecepatan layanan,
luas cakupan, jumlah pelanggan broadband, dsb. Untuk pemeringkatan
yang lainnya, seperti Broadband Index, Mobile Connectivity Index, Digital
Economy and Society Index, dll, perlu pencermatan masing-masing sehingga
harapan untuk peningkatan posisi Indonesia dalam berbagai pemeringkatan
tersebut dapat dicapai.

11
https://www.imd.org/centers/world-competitiveness-center/rankings/world-
competitiveness/
12
https://www.imd.org/centers/world-competitiveness-center/rankings/world-digital-
competitiveness/

114
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

• 5G dan Ibukota Negara (IKN)

5G disebut sangat potensial, bahkan sudah dipilih sebagai teknologi yang


akan digunakan dalam pengembangan Ibukota Negara (IKN). Untuk
mensukseskan hal tersebut, tentunya perlu diperhatikan prasyarat dalam
use-case terkait, misalnya penggunaan 5G untuk Smart City, 5G untuk
Massive IoT, 5G untuk Smart Home, Smart Building, Smart Transportation dan
sebagainya. Secara ketersedian spektrum frekuensi tidak membutuhkan
spektrum yang terlalu lebar, namun secara teknologi lebih efektif dengan rilis
standar yang sudah mencakup penggunaan MMTC atau Massive IoT. Juga
perlu kesiapan regulasi terkait IoT, regulasi terkait adopsi IPv6, dsb.

• 5G dan Industry 4.0, Making Indonesia 4.0

5G banyak diharapkan berperan penting untuk Industry 4.0, versi Indonesia


dengan nama Making Indonesia 4.0. Karena pendekatan revolusi industri 4.0
ini mencakup jenis sektor industri yang sangat luas dan beraneka ragam,
tentunya use-case 5G yang relevan pun sangat beragam, seperti 5G untuk
smart factory, smart manufacturing, smart mining, 5G untuk critical mission,
5G untuk AR/VR/MR dan lain-lain. Kebutuhan bandwidth-nya pun beragam,
mulai dari yang cukup 10-an Mbps, sampai yang harus diatas 100 Mbps. Maka
sekali lagi, ketersedian spektrum frekuensi sangat menentukan dalam
keberhasilan penggelaran 5G untuk keperluan ini. Selain itu juga mungkin
ada beberapa tantang regulasi, seperti misalnya kemudahan untuk
penggelaran 5G Private Network atau 5G micro-operator, yang dalam
menyesuaiakan kebutuhan masing-masing penggunanya, dan bisa jadi
berbeda tingat fleksibilitas, sekuriti dan fungsi lainnya dibandingkan dengan
layanan yang disediakan melalui jaringan publik.

Gambar 8 Proses Transformasi Digital [Sumber: Volker Lang, Digital Fluency 2021]

115
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

• 5G dan Transformasi Digital

Penggunaan 5G untuk transformasi digital tentu bisa sangat beragam.


Karena transformasi digital itu sendiri adalah sebuah istilah yang banyak
disebut, namun implementasinya bisa sangat beragam, dan memerlukan
perjalanan (journey) yang cukup panjang. Misalnya Volker Lang, dalam
Digital Fluency13 menyebutkan bahwa Transformasi Digital (digital
transformation) didahului dengan dua proses sebelumya, yaitu Digitisasi
(digitization) dan Digitalisasi (digitalization).

Digitisasi lebih pada perubahan format berbagai data dan proses dari analog
menjadi digital, kemudian baru diikuti fase berikutnya Digitalisasi berupa
perubahan business model sehingga dapat menciptakan sumber
pendapatan baru dan kesempatan-kesempatan baru dengan memasuki
bisnis digital. Baru pada yang akhirnya disebut Transformasi Digital dimana
terjadi modernisasi secara IT, optimizasi secara digital, penemuan berbagai
business model baru dan seterusnya. Teknologi 5G, berpotensi mengambil
peran penting terutama pada fase Digitisasi dan juga Digitalisasi. “Software-
isasi” dan Decoupling Software/Hardware pada 5G yang cukup masif,
diprediksi memberikan perubahan proses bisnis telko menjadi proses bisnis
digital yang lebih mirip perusahaan IT, dan hal ini akan dapat mengakselerasi
proses digitisasi, digitalisasi dan pada akhirnya transformasi digital.

Volker Lang, Digital Fluency, Understanding the Basics of Artificial Intelligence, Blockchain
13

Technology, Quantum Computing and Their Application, 2021.

116
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Sigit Puspito Wigati Jarot

Penulis mendapatkan gelar B.Eng, M.Eng, Ph.D dari Keio University Japan. Sekarang
Ketua Bidang Infrastruktur Nasional di Mastel periode 2021-2024, Pendiri dan Ketua
5G Forum Indonesia sejak 2015, dan CEO di Cloudtech. Sebelumnya, sebagai Peneliti
di Nokia Research Center Japan, Komisioner BRTI periode 2012-2015, dan Ketua
Bidang 5G/IOT di Mastel periode 2019-2021. Sekarang juga sebagai dosen di STTNF
dan Pascasarjana Teknik Elektro UI. Sebelumnya di Telkom University, Internasional
Islamic University Malaysia, dan Keio University Japan.

117
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
INTEGRASI ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI)
DENGAN INTERNET OF THINGS (AI)
Teguh Prasetya
Ketua Bidang Industri dan Kemandirian IOT, AI dan Big Data (TRIOTA)

Abstrak - Komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia untuk


menyampaikan informasi, perasaan dan lain-lain berbagai jenis bahasa di
berbagai belahan dunia. Manusia dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
yang berbeda. Di dunia yang serba digital seperti saat ini, informasi adalah kunci
kesuksesan, dan komunikasi adalah cara untuk berbagi informasi dan
pengetahuan. Internet of Things (IoT) merupakan konsep baru dalam komunikasi
yang mendukung manusia untuk dapat saling berkomunikasi dan melakukan
banyak hal secara otomatis. Konsep IoT muncul sejak 2012 dan telah ditetapkan
Menurut ITU-T (International Telecommunication Union Telecommunication
Standarization Sector), Internet of Things (IoT) didefinisikan (Rekomendasi ITU-T
Y.2060 (06/2012)) sebagai infrastruktur global untuk masyarakat informasi,
memungkinkan layanan lanjutan dengan menghubungkan hal-hal (fisik dan
virtual) berdasarkan informasi interoperable yang ada dan berkembang. Dan
teknologi komunikasi. ITU-T sendiri adalah adalah sebuah badan internasional
yang merancang standar tingkat dunia untuk teknologi telekomunikasi. Langkah
selanjutnya adalah menambahkan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence
(AI) ke sistem IoT. Kecerdasan buatan semakin banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Ini adalah konsep yang luas dan berlaku dalam praktik di
banyak bidang ilmu pengetahuan. Dalam artikel ini dijelaskan perpaduan
komunikasi, teknologi, dan kecerdasan buatan dalam sistem dan aplikasinya serta
peluang di masa depan. Penerapan AI dan IoT dilakukan di banyak sektor, seperti
industri, kesehatan (healthcare), rumah pintar, dan kendaraan otonom. IoT dan
kecerdasan buatan menyatu menjadi produk baru yang terintegrasi dan ke depan
mempengaruhi teknologi dunia di masa depan untuk menjadikan teknologi lebih
otomatis.

Internet of things (IoT) didefinisikan sebagai salah satu teknologi yang digunakan
saat ini di dunia, IoT adalah jaringan objek yang saling berhubungan secara cerdas
untuk mendukung manusia dalam kegiatan sehari-hari mereka dengan kapabilitas
perhitungan, komunikasi, penyediaan informasi serta mengumpulkannya guna
pengambilan keputusan. Investasi untuk teknologi baru akan diperlukan untuk
mendapatkan potensi penuh perangkat IoT serta kombinasi Kecerdasan Buatan (AI)
dengan Internet of Things (IoT) memiliki potensi untuk membuka peluang baru

119
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dalam operasi industri, bisnis, dan ekonomi. Kombinasi ini disebut Artificial
Intelligence of Things (AIoT).

Kombinasi IoT dan sistem pintar membuat AIoT solusi yang kuat dan penting untuk
banyak aplikasi seperti Lalu Lintas Manufaktur Drone, Kendaraan Otonom, robot
yang terinterkoneksi serta ritel pintar. Masa depan industri ini sangat besar,
sementara industri 3.0 hanya berfokus pada otomatisasi satu mesin dan proses,
industri 4.0 jelas mengacu pada Revolusi Industri keempat yang mengumpulkan
berbagai teknologi secara real time dan berfokus pada digitalisasi pekerjaan fisik
dan integrasi ekosistem baru serta menganalisis dan mengkomunikasikan data
yang dikumpulkan oleh teknologi tersebut. Industri 4.0 merupakan kumpulan dari
sepuluh teknologi berbeda salah satunya adalah Industrial Internet of Things (IIoT).

Menurut analisa bisnis, ada lebih dari 24 miliar perangkat IoT yang terpasang pada
tahun 2020, yaitu rata rata 4 perangkat untuk setiap manusia di bumi dan
diproyeksikan akan ada lebih dari 41 miliar perangkat IoT pada tahun 2027 dan itu
menunjukkan bagaimana permintaan IoT meningkat dari tahun ke tahun. Banyak
perusahaan industri ingin menerapkan teknologi baru pada rantai produksi mereka
dan ingin menemukan kembali perusahaan mereka menjadi pabrik pintar yang
dikenal sebagai masa depan produksi digital. Misalnya, Siemens berinvestasi pada
proyek bernama Mindsphere yang merupakan solusi layanan aplikasi IoT industri
menggunakan AI untuk analitik tingkat lanjut yang dikombinasikan dengan solusi
IoT dan cloud dari produk yang terhubung untuk mengoptimalkan operasi,
mengontrol, dan melindungi data untuk produk berkualitas lebih baik. Menurut Mr.
Klaus Helmrich, Siemens berfokus pada pembentukan kembali proses dengan
melalui digitalisasi baik dari proses industri perusahaan maupun operasional
produksinya. Mereka adalah contoh kisah sukses perusahaan lain yang melakukan
implementasi di pabrik pintar antara lain seperti Amazon, Adidas, Whirlpool dan
lebih banyak perusahaan lain yang memulai atau yang akan mulai menerapkan
teknologi baru pada rantai produksi mereka.

120
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Pasar IOT di Indonesia hingga tahun 2025 menurut ASIOTI (Asosiasi IOT Indonesia)
sebagaimana digambarkan di bawah :

121
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Di tahun 2025, pemanfaatan dan penetrasi IOT di sektor kesehatan akan mencapai
50%, sedangkan di sektor manufaktur dan industri sebesar 40%. Adapun Total
pangsa pasarnya diproyeksi sebesar USD 40 juta atau sekitar Rp. 554 Triliun dengan
jumlah perangkat/sensor mencapai 678 juta yang dodominasi oleh perangkat
berupa smartphone untuk sektor Telecom & Media serta personal
healthcare/wearable di sektor kesehatan, disusul oleh sektor pertanian dan industri
manufaktur.

Artificial Intelligence of Things merupakan penggabungan inovasi Artificial


Intelligence (AI) dengan solusi komunikasi Internet of Things (IoT) untuk
mewujudkan solusi IoT serta sarana komunikasi antara mesin dengan manusia yang
lebih baik serta meningkatkan proses analitik dari informasi yang didapatkan. IoT
didasarkan pada tiga teknologi utama yang ada, pertama yakni AI (Kecerdasan
Buatan) dengan fungsi dan sistem yang dapat diprogram yang memungkinkan

122
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

perangkat IoT untuk mempelajari dan memproses informasi seperti manusia,


selanjutnya jaringan 5G yang merupakan Jaringan generasi seluler kelima dengan
data berkecepatan tinggi dan latensi mendekati nol serta teknologi Big Data,
kumpulan data besar dari berbagai sumber yang terhubung ke internet.

Teknologi utama yang muncul dari Artificial Intelligence of Things berfokus pada
penerapan penggunaan model terkomputerisasi untuk mensimulasikan pemikiran
manusia, dampak AIoT pada segmen tersebut adalah semakin bertumbuhnya:

1. Industri pintar di mana sektor Industri dari manufaktur hingga


pertambangan mengandalkan transformasi digital untuk menjadi lebih
efisien serta guna mengurangi kesalahan manusia dari analisis data real-time
hingga sensor rantai pasokan, perangkat pintar membantu menghindari
kesalahan mahal dalam industri tersebut. Faktanya, Gartner juga
memperkirakan bahwa lebih dari 80% proyek IoT perusahaan akan
menggabungkan AI pada tahun 2022.

2. Smart City, Kota yang pintar dengan menggunakan teknologi IoT pada
sensor, lampu, dan meter yang digunakan untuk mengumpulkan data guna
membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup.

3. Mobil Otonom yang selalu memantau kondisi mengemudi dengan


mengandalkan kamera video dan sensor.

4. Perangkat yang dapat dikenakan dapat terus memantau dan menyiapkan


preferensi dan kebiasaan pengguna. Hal ini tidak hanya menyebabkan
aplikasi di sektor teknologi kesehatan, tetapi juga bekerja dengan baik untuk
olahraga dan kebugaran. Menurut perusahaan riset teknologi terkemuka
Gartner, pasar perangkat wearable global diperkirakan akan menghasilkan
pendapatan lebih dari 87 miliar dolar AS pada tahun 2023.

Hadirnya AIoT di industri 4.0 menyebabkan kebutuhan chip AI meningkat pesat.


Chip AI yang dibenamkan pada perangkat keras telah mengalami perkembangan
pesat dalam mendukung pengembangan dan penyebaran model AI. Contohnya
unit pemrosesan grafis (GPU) terbaru NVIDIA, yang diperkenalkan pada Maret 2021
dan cocok untuk kasus penggunaan AI, seperti sistem pemberi rekomendasi dan
sistem visi komputer. Penggunaan perangkat keras AI diperlukan untuk
mengurangi perhitungan model dan mendorong kemampuan perangkat IoT agar
dengan mudah menjalankan model AI, Deep Learning, dan Machine Learning. Ada
juga beberapa Perangkat IoT yang digunakan untuk AIoT seperti Mxchip Devkit dari
Microsoft Azure yang menggunakan bahasa C dan Raspberry Pi yang

123
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

menggunakan Python sebagai bahasa pemrograman, bahkan ada juga metode


yang dapat membuat kedua perangkat tersebut bekerja sama dengan layanan
platform Azure IoT. Perangkat keras lain yang digunakan juga untuk teknologi AIoT
adalah sirkuit terintegrasi FPGA yang dirancang untuk dikonfigurasi oleh konsumen
dengan menggunakan operasi berbasis teks guna membuat interaksi antar
perangkat keras.

Di bagian perangkat lunak, AIoT menggunakan berbagai platform dan teknologi


yang menggunakan AI dan IoT seperti Machine Learning (ML), Deep Learning dan
Neuro Language Program . Penanaman ML akan mengubah perangkat AIoT
menjadi sistem cerdas yang dapat memproses data secara mandiri. Kemajuan
teknis di berbagai bidang memungkinkan untuk menerapkan teknologi AI secara
efisien. Contoh populer adalah model ML pada perangkat versi TensorFlow Lite atau
Lightweight OpenPose. Sedangkan pembelajaran mendalam (Deep Learning) yakni
pembelajaran mesin dalam melatih sistem dengan menggunakan banyak lapisan
jaringan syaraf buatan untuk mengekstrak fitur dan wawasan tingkat yang semakin
tinggi dari data input yang kompleks. Pembelajaran mendalam bekerja dengan
data input yang sangat besar, beragam, dan kompleks dan memungkinkan sistem
untuk belajar secara berulang, meningkatkan kesempurnaan hasil dengan setiap
langkah. Selanjutnya, pemrosesan bahasa alami (Neuro Language Program - NLP):
ini adalah cabang AI yang berinteraksi antara manusia dan sistem.

Dengan AI, sebuah perangkat keras IoT dapat berkomunikasi dengan perangkat
lunak AI. Beberapa perangkat keras yang digunakan misalnya Tensorflow, adalah
alat kecerdasan buatan persis pada bagian Deep Learning yang mendukung bahasa
pemrograman baru, biasanya Tensorflow digunakan untuk grafik dengan python
/C++ dan ini membutuhkan CPU processor atau GPU, dan prosesor tersebut adalah
perangkat IoT dengan penggunaan tensorflow dan prosesor itu memfasilitasi
komunikasi antara manusia & mesin.

Perangkat keras lainnya ada AIoT Edge Computing yang bertugas untuk
menggabungan materi AI dan IoT, alih-alih data ditransfer di cloud di server,
beberapa algoritma seperti algoritma AI untuk berjalan di perangkat edge atau
beberapa perangkat edge, dan perangkat edge yang kuat ini menganalisia jumlah
data yang rendah tetapi pada berbagai perangkat secara bersamaan. Metode
komputasi tepi (edge computing) AIoT ditandai dengan adanya operasi secara real
time, ada transmisi sejumlah besar data yang tidak dapat dilakukan oleh server
cloud secara real time karena keterlambatan transmisi data karena harus melalui
dan membutuhkan bandwidth jaringan. Tidak ketinggalan soal konsumsi energy,
pusat data mengkonsumsi banyak daya energi dan kurang memenuhi persyaratan
untuk optimalisasi konsumsi energi di industri.

124
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Kebutuhan lainnya yang tak kalah penting adalah Data Privacy; menggunakan AIoT
soft-hard dengan komputasi tepi meningkatkan keamanan data alih-alih
mengunggah atau mengunduhnya dari cloud yang dibagikan dengan lingkungan
terpusat. AIoT Edge Computing memenuhi kebutuhan kritis industri TI dalam hal
kecerdasan aplikasi, operasi real time, optimalisasi energi dan data privasi.

Kinerja AIoT dalam industri Aplikasi algoritma Machine Learning seperti


Conventional Neural Network (CNN) membutuhkan persyaratan pada memori
dengan perpaduan antara Artificial Intelligence/Machine Learning dengan sistem
IoT agar menghasilkan frame rate yang tinggi. Contoh, pemrosesan deteksi obyek
real-time seperti mobil otonom dan menggunakan gambar real-time.

Integrasi teknologi baru Ai dan IoT pada industri 4.0 menunjukkan manfaat seperti
konsumsi energi rendah, pemeliharaan prediktif otonom, dan kemudahan
mengendalikan data. Solusi lain dari AIoT dengan aplikasi industri 4.0 adalah Nexys
3, pengembangan sistem Field Programmable Gate Array (FPGA). Ini adalah
perangkat keras dengan sirkuit yang terhubung melalui interkoneksi yang dapat
diprogram dan menggunakan Xilinx spartan 6 FPGA. FPGA dapat diprogram dari
memori yang berisi file .bit dengan pemrograman JTAG, file .bit ditransfer dari PC ke
FPGA dengan port usb dan menolak file .bit yang tidak sesuai dengan FPGA yang
tepat. Solusi industri FPGA memungkinkan sistem industri mengurangi biaya. Solusi
FPGA memberikan jalur pengembangan yang cepat dengan fleksibilitas untuk
beradaptasi dengan solusi yang berkembang untuk mewujudkan visi dan aplikasi
cerdas untuk industri 4.0.

Artificial Intelligence of Things menunjukkan dampak manfaat di industri 4.0 antara


lain adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan efisiensi karena data dan tindakan tersedia, dengan AIoT tidak
ada waktu tunggu untuk mentransfer data seperti di cloud atau waktu
pemrosesan, dan teknologi AIoT diharapkan dapat untuk mengidentifikasi
masalah secara real time.

2. Mengurangi kegagalan dalam industri 4.0 karena dengan teknologi AIoT,


data dihasilkan dan dapat dianalisis untuk mengidentifikasi kegagalan,
masalah, dan parameter untuk mencegah terjadinya kegagalan. Hal tersebut
akan memangkas biaya dan mempersingkat waktu.

3. Aliran pendapatan di industri 4.0 dengan AIoT membuka peluang bagi


pebisnis untuk menawarkan produk dan layanan baru yang dapat
meningkatkan pendapatan mereka dan mengatur area untuk membuka

125
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

pasar baru. Banyak industri telah mulai menggunakan AIoT dalam


pemrosesan bahasa alami (NLP) untuk berinteraksi lebih baik dengan
manusia, sistem manajemen armada yang lebih canggih untuk memantau
posisi kendaraan secara real-time, seperti drone untuk sampai ke area yang
sulit dijangkau manusia.

Sebagai kesimpulan perpaduan Kecerdasan Buatan (AI) dan Internet of Things (IoT)
menawarkan potensi yang sangat besar di berbagai industri, ini mendorong batas
ancaman data dan pembelajaran cerdas untuk tahun-tahun mendatang yang
memberikan manfaat bagi industri dengan mengurangi biaya energi dan waktu,
peningkatan efisiensi, dan menimbulkan aliran pendapatan baru. Inovasi AIoT akan
membuka peluang baru untuk komunikasi manusia-mesin daripada komunikasi
manusia ke manusia saja yang berdampak pada AIoT di industri 4.0 dan membuat
teknologi baru lebih kuat dan mudah digunakan. Saat ini masih merupakan cara
terbaik untuk mengintegrasikan AIoT di banyak industri seperti mobil, perawatan
kesehatan farmasi, manajemen rantai pasokan serta manufaktur pintar.
Penggabungan AI dan IoT membantu meningkatkan adopsi dari industri 4.0.

126
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Ir. Teguh Prasetya MWP, MT

Penulis menjabat Ketua Bidang TRIOTA (IOT, AI & BIG DATA) Mastel yang sudah
lebih dari 30 tahun berpengalaman di dunia Telematika, Pendiri dan Ketua Asosiasi
IOT Indonesia, Ketua Asosiasi Managed Service Indonesia (APJASTEL) dan CEO di PT.
ALITA PRAYA MITRA. Beliau merupakan lulusan S1 di ITS, dan S2 di UI jurusan Teknik
Elektro. Sebelumnya, beliau adalah CEO PT. Indonesian Cloud, CIO PT TRG
Investama, Direktur & Komisaris PT. IndosatM2 dan SVP (Group Head) PT. INDOSAT
tbk. Pendiri Indonesian Cloud Forum serta aktif di berbagai institusi pendidikan
maupun forum internasional sebagai Pembicara, Dosen Tamu serta Advisor.

127
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
ANALOG SWITCH OFF TV FTA:
ANTARA KENISCAYAAN, KEPASTIAN HUKUM DAN
KEBERLANGSUNGAN USAHA
Neil R. Tobing
Ketua Bidang Penyiaran DigiBroadcast MASTEL

Abstrak - Penggantian siaran televisi analog dengan siaran televisi digital


merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas siaran televisi di
Indonesia. Namun, proses migrasi tersebut tidak serta merta menjamin
keberlangsungan usaha stasiun televisi free-to-air (FTA). Artikel ini akan mengkaji
permasalahan yang dihadapi stasiun televisi FTA dalam proses Analog Switch Off
(ASO) siaran televisi di Indonesia, serta bagaimana kepastian hukum dan
keberlangsungan usaha dijadikan sebagai faktor penting dalam proses ASO.
Selain itu, artikel ini juga akan mengulas tentang upaya-upaya yang telah dan
harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin kepastian hukum dan
keberlangsungan usaha industri stasiun televisi FTA serta prospek terobosan
teknologi baru dalam mendukung tujuan tersebut.

1. Pendahuluan
Dengan mengusung tagline “Bersih, Jernih, Canggih” pada tanggal 2 November
2022 Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan Republik Indonesia (“Menkopolhukam”) Mahfud MD secara resmi
mengumumkan dimulainya proses migrasi penyiaran televisi terestrial dari
teknologi analog ke teknologi digital melalui penghentian siaran analog/Analog
Switch Off (“ASO”) di 222 kabupaten/kota1 dari total 514 kabupaten/kota, termasuk
wilayah layanan Jabodetabek. Menurut Menkopolhukam, ASO harus dilakukan
dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (“UUCK”) khususnya Paragraf 15 Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran
Pasal 72 Angka 8 (“Pasal 72 angka 8 UUCK”). Sedangkan untuk 292 daerah lainnya,
ASO akan dilaksanakan setelah tanggal 2 November 2022 secara bertahap dengan

1
222 kabupaten/kota terdiri dari 14 kabupaten/kota layanan Jabodetabek, 35 kabupaten/kota
yang hanya dilayani oleh siaran analog TVRI, dan 173 kabupaten/kota yang tidak terjangkau
layanan terrestrial (non-terrestrial service)

129
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

memperhatikan kesiapan masyarakat dan ketersediaan Set-Top-Box (STB) untuk


menerima siaran digital di wilayah layanan tersebut2.

Namun tidak dapat dipungkiri proses persiapan dan pelaksanaan ASO diwarnai oleh
polemik, pandangan atau interpretasi yang berbeda di antara regulator, pelaku
industri, dan pemangku kepentingan lainnya terutama terkait kesiapan masyarakat
dalam menerima siaran digital dan landasan yuridis atau regulasi migrasi siaran
digital dan ASO, khususnya model bisnis penyiaran digital. Salah satu pemicunya
adalah keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MKRI”) perkara No.
91/PUU-XVIII/2020 (“Putusan MK No.91”) yang mengabulkan permohonan hak uji
materil/judicial review atas UUCK dan memerintahkan untuk menangguhkan
segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas kepada
masyarakat3. Bahkan tiga bulan menjelang tanggal 2 November 2022, Mahkamah
Agung Republik Indonesia (“MARI”) pada tanggal 2 Agustus 2022 mengeluarkan
keputusan yang mengabulkan sebagian dari permohonan Hak Uji Materil atas
Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan
Penyiaran (“PP 46/ 2021”) dengan membatalkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) PP 46/
2021 yang mengatur tentang sewa slot multipleksing oleh lembaga penyiaran
dalam rangka penyelenggaraan penyiaran televisi digital4.

Dari faktor kesiapan masyarakat, rentang waktu 2 (dua) tahun yang disediakan oleh
UUCK dinilai tidak cukup untuk mensosialisasikan program ASO secara optimal.
Bahkan untuk wilayah layanan Jabodetabek, yang dianggap paling siap menerima
siaran digital, tingkat penetrasi televisi digital masih relatif rendah yaitu di angka
32% sementara di wilayah Non-Jabodetabek hanya mencapai 24,6%5. Saat tulisan ini
dipersiapkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
(“Kemkominfo”) baru saja mengeluarkan jadwal ASO lanjutan di beberapa ibukota
provinsi di Pulau Jawa6.

2
https://www.kominfo.go.id/content/detail/45206/siaran-pers-no-482hmkominfo102022-
tentang-penuhi-amanat-uu-cipta-kerja-analog-switch-off-aso-serentak-dilaksanakan-2-
november-2022/0/siaran_pers
3
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=91%2FPUU-
XVIII%2F2020; dalam amar putusanya, MKRI menyatakan UUCK inkonstitusional bersyarat
dan memerintahkan kepada pembentuk UU melakukan perbaikan terhadap UUCK dalam
jangka waktu 2 tahun sejak putusan MKRI
4
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaed50e4d2b38dd6a4353039303
53233.html
5
Update Nielsen 11 cities 22 November 2022
6
https://inet.detik.com/law-and-policy/d-6421684/kominfo-akan-matikan-siaran-tv-
analog-di-bandung-surabaya-yogyakarta

130
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Isu-isu tersebut di atas masih tetap relevan dan menarik untuk dikaji lebih lanjut
dalam kerangka pikir hukum dan sosial ekonomi. Tulisan ini diharapkan dapat
memberikan perspektif lain dalam khazanah berpikir untuk memandang dan
menyikapi migrasi digital dan ASO secara lebih obyektif agar manfaat dari migrasi
digital dan ASO dapat dirasakan oleh seluruh stakeholder penyiaran dan pada saat
yang sama tercipta kepastian hukum.

2. Landscape TV FTA Indonesia

Setelah hampir 30 tahun TVRI menjadi pemain tunggal di dunia penyiaran TV Free
To Air Penerimaan tetap tidak berbayar (“TV FTA”), pada tahun 1987 perubahan
besar terjadi. Departemen Penerangan memberikan ijin prinsip penyiaran kepada
RCTI yang kemudian diikuti ijin prinsip kepada SCTV dan TPI/MNC TV (1990), ANTV
(1991) dan Indosiar (1993). Pada tahun 1998, Departemen Penerangan mengeluarkan
5 ijin baru kepada Metro TV, Lativi/tvOne, Tivi7/Trans7, TransTV dan Global TV. Seiring
dengan diberlakukannya Undang-Undang No.32 tahun 2022 tentang Penyiaran
(“UU Penyiaran”) yang mengusung konsep Keberagaman Konten dan
Keberagaman Kepemilikan melalui penyiaran berjaringan/Sistem Stasiun Jaringan
("SSJ”)7, konstelasi industri televisi nasional berubah total dengan muncul dan
menjamurnya TV-TV lokal di seluruh provinsi Indonesia. Pada saat ini Indonesia
memiliki 77 lembaga penyiaran yang bersiaran digital dan 503 lembaga penyiaran
yang bersiaran simulcast sehingga total keseluruhan sebanyak 580 lembaga
penyiaran8 yang terdiri dari Lembaga Penyiaran Publik (“LPP”), Lembaga Penyiaran
Swasta (“LPS”), Lembaga Penyiaran Berlangganan (“LPB”) dan Lembaga Penyiaran
Komunitas (“LPK”). Jumlah tersebut mengukuhkan Indonesia sebagai negara
dengan jumlah stasiun TV FTA terbanyak di dunia.

Sesuai dengan nature-nya, industri TV FTA merupakan industri yang padat modal
dan padat karya. Disebut padat modal karena TV FTA harus
membangun infrastruktur transmisi dan fasilitas pendukung di seluruh wilayah
layanannya di 34 propinsi, belum lagi Master Control Room dan fasilitas produksi
seperti studio, outside broadcasting van (obvan), kamera dan lain-lain yang secara
total nilainya trilyunan rupiah. Disamping itu stasiun televisi harus mempekerjakan
sumber daya manusia profesional yang cukup banyak, diperkirakan lebih dari 25,000
karyawan profesional dan didukung oleh puluhan ribu konten kreator yang bekerja
di berbagai production house, distributor film/seri drama dan vendor fasilitas
penunjang dalam rangka men-supply dan memproduksi konten yang berkualitas
untuk dinikmati masyarakat secara gratis.

7
Pasal 31 UU Penyiaran
8
Nielsen Media Research, CMV 2015-Q32022. All 10+,11cities

131
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Penetrasi TV FTA kepada masyarakat masih yang tertinggi di antara seluruh media,
yaitu mencapal 81,1%9. Dengan jangkauan (coverage) yang luas membuat TV FTA
masih menjadi pilihan utama bagi pengiklan dalam memasarkan produknya
terutama Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Namun, tingkat penetrasi ini dalam
prosesnya menurun sebesar 8,6% selama tiga tahun terakhir10 akibat dari dampak
disrupsi digital dan konvergensi media, ditengah-tengah masyarakat Indonesia
yang didominasi oleh Generasi millennial dan Generasi Z, yang cenderung tidak lagi
menikmati konten di media konvensional yang menyiarkan program secara
terjadwal (scheduled program), melainkan ingin menikmati konten anywhere,
anytime and with any device.

Dari sisi ekonomi, industri TV FTA sepenuhnya menggantungkan hidup-matinya


dari pendapatan iklan, berbeda halnya dengan sektor telekomunikasi. Indonesia
hanyalah sedikit dari negara dimana pemirsa TV-nya dapat menikmati konten-
konten premium dengan harga akuisisi yang sangat mahal seperti gelaran FIFA
World Cup, Champions League Cup, Moto GP secara gratis. Konten-konten
ditayangkan secara fresh dan stripping untuk mengejar rating dan audience shares
yang tinggi yang secara langsung mempengaruhi rate iklan untuk setiap program.
Walaupun masih menjadi pilihan utama dalam beriklan oleh para pengiklan/agensi,
namun perlahan pangsa pasar belanja iklan (advertising expenditures/adex) TV FTA
terus mengalami penurunan akibat disrupsi digital. Menurut laporan Media Partners
Asia (MPA), belanja iklan TV FTA mengalami penurunan sampai dengan 19% pada
tahun 2020 akibat pandemi COVID-19, dan hanya bisa pulih sebesar 5% pada tahun
2021, sementara internet bertumbuh pesat sebesar 24,9%. MPA memprediksi pada
tahun 2025 belanja iklan dan pangsa pasar internet akan melampaui TV FTA dan
media konvensional lainnya dengan belanja iklan bersih mencapai USD1,8 miliar dan
pangsa pasar mencapai 55%11.

Bercermin pada data di atas, penurunan jumlah penonton TV FTA yang tercermin
dari perolehan rating dan shares berpengaruh langsung pada pendapatan iklan
dan profit and loss stasiun TV FTA. Ketidaksiapan masyarakat dalam proses migrasi
digital dan ASO merupakan ancaman nyata yang harus dihadapi TV FTA dalam
mempertahankan keberlangsungan usahanya, bahkan lebih dari itu menimbulkan
pertanyaan apakah TV FTA akan tetap relevan di era transformasi digital ke
depannya.

9
Nielsen Media Research, CMV 2015-Q32022. All 10+,11cities
10
ibid
11
Media Partners Asia, Edisi Juni 2022

132
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Migrasi Digital TV FTA


3.1. Regulasi Migrasi Digital Pra UUCK

Migrasi sistem penyiaran TV FTA dari analog ke digital (“migrasi digital”) merupakan
keniscayaan dan sudah menjadi tuntutan global bagi dunia penyiaran dalam rangka
menciptakan efisiensi penggunaan frekuensi sebagai sumber daya alam yang
terbatas dan mendukung terciptanya masyarakat ekonomi digital Indonesia. Migrasi
digital akan menghasilkan bonus digital atau yang dikenal sebagai digital /dividend
sebesar 112 MHz yang akan dialokasikan untuk mendukung industri 4.0 antara lain
transformasi digital, internet berkecepatan tinggi melalui 5G, dan internet of things.
Penataan spektrum frekuensi serta pemanfaatan digital dividend diharapkan akan
mendorong integrasi teknologi dan layanan dalam bentuk konvergensi digital yang
pada akhirnya akan memenuhi ekspektasi pemirsa untuk mendapatkan akses
terhadap berbagai konten dengan lebih berkualitas.

Kesepakatan International Telecommunication Union (ITU), organisasi internasional


di bidang telekomunikasi dan penyiaran, di Jenewa pada tahun 2006 (Geneva
Agreement 2006) telah menetapkan jadwal pelaksanaan ASO di Region 1 (Eropa,
Afrika, Arab States dan CIS) pada tanggal 17 Juni 2015. Negara-negara maju di
Region 2 (negara-negara di benua Amerika) juga mengambil kebijakan yang sama.
Sementara untuk negara berkembang di Region 2 tersebut diberikan waktu
tambahan hingga tahun 2020, khususnya dalam penggunaan frekuensi pada VHF
band 174-230 MHz. Untuk Region 3 (Asia Pasifik), dimana Indonesia tergabung di
dalamnya, Geneva Agreement 2006 mengatur bahwa kebijakan ASO ditetapkan
oleh masing-masing pemerintahnya sesuai dengan kondisi industri TV FTA-nya.
Walaupun tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang batas akhir
(deadline) untuk ASO di Region 3, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemkominfo
telah memulai penyusunan roadmap migrasi digital yang dimulai tahun 2008
dengan target ASO pada tahun 2018. Lebih lanjut the 4 ASEAN Senior Officials
th

Meeting Responsible for Information Working Group Meeting on ASEAN Digital


Broadcasting (4th SOMRI WG ADB) di Bangkok pada tanggal 20-21 September 2018,
menghasilkan kesepakatan bahwa negara-negara ASEAN berkomitmen untuk
menyelesaikan ASO pada tahun 2020.

Roadmap migrasi digital Indonesia tahun 2008 memuat rencana penyusunan


regulasi TV digital termasuk penetapan masterplan frekuensi12. Melalui Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang


12

Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Siaran Televisi Digital
Terestrial Pada Pita Frekuensi 478-694 MHz.

133
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak


Berbayar (Free to Air) (“PM 22”) Pemerintah menetapkan jadwal periode simulcast
serta penetapan batas akhir pelaksanaan ASO pada akhir tahun 2017. Berdasarkan
PM 22 ini pemerintah melakukan seleksi dan penetapan 33 lembaga penyiaran
penyelenggara penyiaran multipleksing (“LPPPM”) yang dikuti dengan aturan
tentang permohonan lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan siaran televisi
digital melalui sistim terrestrial (IPP Digital)13.

Sejak awal, penyusunan roadmap dan penetapan kebijakan terkait ASO sarat
dengan permasalahan dan reluktansi dari beberapa stakeholders dengan berbagai
argumentasinya. Pada tahun 2012, rencana migrasi digital tersebut mendapat ujian
ketika Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (“ATVLI”) dan Asosiasi Televisi Jaringan
Indonesia (“ATVJI”) sebagai stakeholders yang lahir dari diterbitkannya UU
Penyiaran berkeberatan dan mengajukan judicial review ke MARI terhadap PM 22.

ATVLI dan ATVJI beranggapan bahwa PM 22 yang menjadi regulasi penyangga


sistem penyiaran digital dianggap belum dapat memberikan jaminan
keberlangsungan usaha pelaku industri, khususnya TV lokal. TV lokal khawatir
dengan model alokasi frekuensi via penyelenggaraan multipleksing dan persaingan
yang timpang di antara TV nasional berjaringan dan TV lokal dalam mendapatkan
alokasi frekuensi multipleksing. Di samping itu frekuensi analog yang selama ini
mereka pegang berdasarkan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (“IPP”) dan Ijin Stasiun
Radio (“ISR”) yang harus dilepas tanpa adanya kompensasi ketika ASO
dilaksanakan. Dalam amar putusan perkara No.38P/HUM/2012 dan
No.40P/HUM/2012 keduanya tertanggal 3 April 2013, MARI mengabulkan
permohonan untuk membatalkan keberlakuan PM 22 dengan pertimbangan
hukum antara lain: PM 22 bertentangan dengan kebijakan yang diamanatkan
dalam UU Penyiaran, karena tidak memberikan jaminan bagi LPS yang telah
memiliki IPP dan ISR berdasarkan UU Penyiaran untuk dapat melakukan kegiatan
penyiaran; penerapan kebijakan ASO seharusnya diatur dengan regulasi setingkat
undang-undang; serta nomenklatur LPPPM dan LPPPS bertentangan dengan
konsep LPS berdasarkan UU Penyiaran. Dari sisi formalitas, pembentukan PM 22
melanggar asas kesesuaian antara muatan materi dan jenis peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan14.

13
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Tata Cara
dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi Secara Digital
Melalui Sistem Terestrial
14
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/f2486712ac95dcdc588736bb354
4eec3.html

134
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Sebagai konsekuensi dibatalkannya PM 22, ATVLI mengajukan permohonan


pembatalan 33 Surat Keputusan Menkominfo tentang penetapan LPPPM ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta pada tahun 2014. Dalam amar
putusannya, PTUN DKI Jakarta mengabulkan permohonan pembatalan 33 Surat
Keputusan Menkominfo tentang penetapan LPPPM karena dianggap cacat
hukum15. Menyikapi keputusan PTUN DKI Jakarta tersebut, Kemkominfo
menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2014 mengenai moratorium proses
perizinan bagi pemegang izin prinsip penyelenggaraan penyiaran LPS jasa
penyiaran televisi secara digital (“SE 04/2014”). Namun di tengah masa moratorium,
Kemkominfo memproses dan menerbitkan IPP Tetap Digital kepada setidaknya 8
lembaga penyiaran yang semula memiliki IPP Prinsip. Lebih ironis lagi, ada di antara
ke delapan lembaga penyiaran tersebut yang ditetapkan Kemkominfo sebagai
penyelenggara multipleksing di tahun 2021. Hal ini harus menjadi catatan khusus
dalam proses migrasi digital.

3.2. Regulasi Migrasi Digital Pasca UUCK

Dengan kandasnya PM 22 tersebut, selanjutnya Pemerintah mengupayakan revisi


terhadap UU Penyiaran untuk mengakomodasi rencana ASO. Namun karena proses
legislasi yang panjang di parlemen, Pemerintah cq Kemkominfo melakukan
terobosan dengan melakukan amandemen atas sebagian ketentuan dari UU
Penyiaran melalui UUCK, yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 2
November 2020. Pasal 72 Angka 8 UUCK yang mengamanatkan migrasi penyiaran
televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital dan ASO diselesaikan
paling lambat 2 tahun sejak mulai berlakunya UUCK. Namun sayangnya UUCK tidak
mengatur model bisnis penyelenggaraan siaran digital khususnya penggunaan
frekuensi sebelum dan setelah ASO dilaksanakan. Alih-alih mengatur model bisnis
penyelenggaraan siaran dalam peraturan setingkat undang-undang sebagaimana
telah ditetapkan dalam Putusan MARI, Kemkominfo membuat blunder baru
dengan mengatur ketentuan tersebut melalui PP 46/ 2021. Hal ini menimbulkan
polemik dan problematika hukum yang perlu dibenahi.

Lebih lanjut sebagai teknis pelaksana dari PP 46/2021, pada tanggal 1 April 2021
Kemkominfo menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.6
tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran (“PM 06”) yang salah satunya
mengatur mengenai pelaksanaan ASO secara bertahap. Namun tak lama berselang,
pada tanggal 10 Agustus 2021, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 11 tahun 2021 tentang Perubahan atas

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/fe1808c282ce7e9c7c058447730
15

d6b64.html

135
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.6 tahun 2021 tentang


Penyelenggaran Penyiaran (“PM 11”). PM 11 mengubah tahapan ASO dari semula
lima tahap menjadi tiga tahap. Tahap pertama ASO adalah 30 April 2022, tahap
kedua pada 25 Agustus 2022, dan tahap ketiga pada 2 November 2022. Kemkominfo
juga telah mengeluarkan berbagai produk hukum dalam proses migrasi antara lain
mengenai pengembalian ISR16 dan pengakhiran ISR pada bulan April dan November
202217.

Pada tanggal 28 April 2022, stasiun TV lokal PT Lombok Nuansa Televisi (“Lombok
TV”) mengajukan Permohonan Uji Materiil tehadap PP 46/2021 kepada MARI. Dalam
salah satu permohonannya Lombok TV menyatakan bahwa Pasal 81 ayat (1) PP
46/2021 bertentangan dengan UUCK dan UU Penyiaran karena telah mengatur
sebuah kewajiban baru untuk menyewa slot multipleksing dari LPS penyelenggara
multipleksing, norma yang tidak diatur dalam UUCK dan UU Penyiaran. Lombok TV
merasa sangat dirugikan karena IPP dan ISR yang diperoleh dengan susah payah
menjadi tidak berarti, investasi infrastruktur penyiaran yang telah dikeluarkan
menjadi tidak terpakai dan pada saat yang sama harus menyediakan biaya
tambahan untuk menyewa slot multipleksing. Dalam amar putusannya, MARI
membatalkan keberlakuan dari Pasal 81 ayat (1) PP 46/2021 dengan pertimbangan
adanya pengaturan kewajiban baru bagi pelaku usaha (d/h LPS) untuk
menyelenggarakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing.
Kewajiban baru ini tidak diatur dalam UU Penyiaran juncto UUCK, sehingga
disimpulkan bahwa Pasal 81 ayat (1) PP46/2021 bertentangan dengan Pasal 33 ayat
(1) UU Penyiaran sebagaimana diubah oleh ketentuan Pasal 72 angka 3 UUCK18.

Terlepas dari beberapa upaya hukum yang telah dilakukan dan telah ada
putusan finalnya (in Kracht), ASO tetap dijalankan pada tanggal 2 November 2022.
Namun mengingat masih terdapat 292 kota/kabupaten yang masih diperbolehkan
bersiaran secara simulcast, muncul pertanyaan apakah pelaksanaan ASO secara
parsial dapat dibenarkan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 72 Angka 8 UUCK?
Banyak tafsiran yang muncul dalam masyarakat sampai tulisan ini dibuat, salah

16
Surat Edaran Direktur Operasi Sumber Daya Nomor 717 Tahun 2022 tentang Pengembalian
Izin ISR Dalam Rangka Migrasi Penyiaran Terestrial dari Teknologi Analog ke Teknologi
Digital tertanggal 7 April 2022
17
Surat Edaran Direktur Operasi Sumber Daya Nomor 901 Tahun 2022 tentang Pengakhiran
ISR dalam Rangka Pelaksanaan Tahapan Penghentian Tetap Siaran Televisi Analog
tertanggal 30 April 2022; Surat Direktorat Jenderal Sumber Daya dan perangkat Pos dan
Informatika perihal Pengakhiran ISR Untuk Keperluan Penyelenggaraan Penyiaran Jasa
Penyiaran Televisi Dengan Teknologi Analog tertanggal 2 November 2022 yang ditujukan
kepada masing-masing LPS

18
Op.cit, hal.1

136
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

satunya adalah pernyataan yang disampaikan oleh Bambang Wuryanto, Ketua


Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (“DPR RI”) yang
berpendapat bahwa pelaksanaan ASO yang hanya terbatas di wilayah Jabodetabek
bertentangan dengan putusan MKRI dan undang-undang yang berlaku nasional19.
Pendapat senada disampaikan pula oleh Partai Solidaritas Indonesia melalui juru
bicaranya, Sigit Widodo, yang menyesalkan masih ada 292 kota/kabupaten yang
belum melaksanakan ASO 2 November 2022 dan hal ini dianggap sebagai
kegagalan untuk memenuhi amanat Pasal 72 angka 8 UUCK20. MNC Group dalam
siaran persnya juga menyampaikan bahwa pelaksanaan ASO secara parsial
merupakan pengabaian dari amanat UUCK dan merugikan masyarakat21. Polemik
ini harus segera diselesaikan dalam waktu dekat agar tahapan ASO berikutnya
dapat dilaksanakan lebih baik dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Selain dari perbedaan tafsir tentang pelaksanaan ASO secara serentak di seluruh
wilayah Indonesia, menarik pula untuk dikaji lebih lanjut implikasi hukum dari
putusan MARI yang membatalkan Pasal 81 ayat (1) PP 46/2021 dalam kaitannya
dengan masih berlakunya Pasal 20 UU Penyiaran, karena tidak dicabut oleh UUCK,
dan Pasal 33 Undang-Undang No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang
merupakan acuan bagi lembaga penyiaran dalam penggunaan spektrum radio22.
Mengacu pada Putusan MARI, timbul pertanyaan mendasar; Seperti apa bisnis
model penggunaan frekuensi dalam penyelenggaraan siaran digital mengingat
Pasal 20 UU Penyiaran masih berlaku? Apakah LPS digital dalam menggunakan slot
frekuensi penyelenggara multipleksing memerlukan izin dari Pemerintah? Apakah
LPS digital dapat menggunakan slot penyelenggara multipleksing pasca
dicabutnya seluruh ISR analog oleh Kemkominfo pada tanggal 2 November 2022
yang lalu? Apakah LPS (termasuk penyelenggara multipleksing) masih dapat
menggunakan frekuensi analognya untuk bersiaran berdasarkan Pasal 20 UU
Penyiaran? Kondisi ini menimbulkan dualisme hukum dan ketidakpastian hukum
serta membahayakan keberlangsungan usaha bagi LPS, suatu hal yang
bertentangan dengan semangat UUCK untuk menciptakan kemudahan dan
jaminan berusaha. Pada saat Rapat Dengar Pendapat (“RDP”) pada tanggal 23

19
https://nasional.okezone.com/read/2022/11/02/337/2699733/solusi-dpr-terkait-suntik-mati-tv-
analog-yang-dinilai-bermasalah
20
https://nasional.tempo.co/read/1652311/masih-ada-292-kabupaten-atau-kota-belum-
matikan-tv-analog-psi-kegagalan-kominfo
21
https://www.cnbcindonesia.com/market/20221104110208-17-385147/hary-tanoe-protes-
siaran-tv-analog-cuma-kiamat-di-jabodetabek
22
Pasal 20 UU Penyiaran berbunyi “Lembaga Penyiaran Swasta jasa radio dan jasa penyiaran
televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu)
saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.” Pasal 33 ayat (1) UU Telekomunikasi
sebagaimana diubah dengan Paragraf 15 Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran Pasal 71 Angka
5 UUCK berbunyi “Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh Pelaku
Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat" 137
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

November 2022, Komisi I DPR RI telah mengingatkan Kemkominfo agar


menindaklanjuti Putusan MARI secara serius. Komisi I DPR RI telah meminta
Kemkominfo untuk memastikan bahwa institusi penegak hukum memiliki
pandangan yang sama dengan posisi Kemkominfo dalam menyikapi Putusan MARI
agar praktek penyewaan slot multipleksing saat ini tidak masuk ke ranah hukum
seperti halnya kasus IM2 karena memiliki banyak kesamaan, baik dari sisi regulasi
maupun model penggunaan frekuensi23. Lebih lanjut, Komisi I DPR RI juga telah
meminta Kemkominfo untuk memastikan bahwa pasca Putusan MARI
keberlangsungan usaha TV Lokal harus dapat dijamin24.

3.3. Kesiapan Masyarakat Indonesia menghadapi ASO

Waktu persiapan dan sosialisasi ASO di Indonesia yang diberikan oleh UUCK
terhitung sangat singkat dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Inggris,
Swedia, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Swiss yang memiliki populasi dan stasiun
TV FTA yang jauh lebih sedikit daripada Indonesia. Negara-negara tersebut
menyelesaikan ASO dalam kurun waktu 8 sampai 16 tahun dan menetapkan
threshold penetrasi siaran digital dikisaran 90% sampai 95% sebelum ASO
diberlakukan. Sedangkan Indonesia dengan kompleksitas yang disebabkan oleh
kondisi geografis, jumlah penduduk, tantangan coverage dan dengan jumlah
stasiun TV terbanyak di dunia harus menyelesaikan proses migrasi dan ASO hanya
dalam jangka waktu 2 tahun.

Tabel 125

Tanggal
Negara Penetapan Dasar Hukum Migrasi Digital
ASO
UK 1996 2006-2012

Swedia 1997 2008

Spanyol 1998 2012

Finlandia 1996 2007

Jerman 2002 2010

Prancis 2000 2010

Swiss 2003 2015

23
https://www.youtube.com/watch?v=S9L9JCzSvQU&feature=youtu.be
24
Ibid.
25
Fontaine, G., & Pogorel (2006. DTT and digital convergence: A European policy perspective.
Digital broadcasting. Policy and practice in the Americas; Rianto, P., Wahyono,B., Yusuf,
I.A.dkk (2012). Digitalisasi Televisi di Indonesia

138
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Thailand yang memiliki struktur industri TV FTA yang mirip dengan Indonesia telah
menetapkan kebijakan migrasi digital pada tahun 2012 sebagai dasar untuk
menyusun roadmap migrasi digital. Thailand telah memperkirakan bahwa
persiapan migrasi digital membutuhkan waktu selama 4 tahun26. Di tahun 2017
Thailand pertama kali melaksanakan ASO secara bertahap untuk beberapa channel
siaran televisi dan secara keseluruhan ASO baru dapat diselesaikan di tahun 2020.

Sempitnya waktu persiapan ASO berakibat pada proses sosialisasi ASO yang kurang
terstruktur dan terkoordinasi dengan baik, dan kurang masif, di tengah-tengah
kondisi pembatasan mobilitas akibat pandemi COVID-19. Kondisi ini diperburuk oleh
data RTM yang baru divalidasi pada bulan Agustus 2022, sehingga memperlambat
proses distribusi STB kepada penerima yang memiliki hak serta terbatasnya
ketersediaan dan distribusi STB kepada masyarakat luas. Selain itu belum pulihnya
kondisi ekonomi nasional sebagai dampak dari pandemi COVID-19 serta ancaman
resesi akibat ketidakpastian ekonomi global dan naiknya harga bahan bakar sangat
mempengaruhi psikologis dan daya beli masyarakat Indonesia (yang bukan
dikategorikan RTM) untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan STB
atau antena TV.

Berdasarkan data yang diterbitkan Nielsen, per November 2022, jumlah populasi TV
FTA yang telah siap menerima siaran digital masih sangat terbatas. Pada bulan
November sebelum pelaksanaan ASO, tingkat jumlah populasi yang telah siap
menerima siaran digital di wilayah Jabodetabek dan Non-Jabodetabek masih di
bawah 30%.

26
Tubtian, Arnon (2014). Digital TV: New Landscape for Thai Broadcasting Industry

139
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Tabel 227

Jabodetabek Non-Jabodetabek ALL-Markets


Bulan Tipe
Populasi % Populasi % Populasi %

Analog 20.046.374 71,8% 15.789.264 77,5% 35.835.638 74,2%


Digital
Oktober 7.886.034 28,2% 4.583.996 22,5% 12.470.030 25,8%
Teresterial
Total FTA 27.932.408 100,0% 20.373.260 100,0% 48.305.668 100,0%
Analog 18.953.158 67,9% 15.371.031 75,4% 34.324.189 71,1%
November
Digital
Sebelum 8.979.250 32,1% 5.002.229 24,6% 13.981.479 28,9%
Teresterial
ASO
Total FTA 27.932.408 100,0% 20.373.260 100,0% 48.305.668 100,0%
Analog 0 0,0% 15.371.031 75,4% 15.371.031 52,4%
November Digital
8.979.250 100,0% 5.002.229 24,6% 13.981.479 47,6%
Pasca ASO Teresterial
Total FTA 8.979.250 100,0% 20.373.260 100,0% 29.352.510 100,0%

Di Jabodetabek, wilayah yang sudah menerapkan ASO pada tanggal 2 November


2022, jumlah populasi TV FTA mengalami penurunan yang signifikan. Dari data
Tabel 2, tercermin penurunan jumlah eyeballs (penonton televisi) secara signifikan
di wilayah Jabodetabek dari semula 27,9 juta menjadi 8,9 juta pasca ASO, atau hanya
32% masyarakat di Jabodetabek yang dapat menikmati siaran TV digital. Angka
tersebut masih jauh dibandingkan dengan benchmark kesiapan masyarakat untuk
menerima siaran digital di negara-negara maju dan sebagian negara-negara ASEAN
yang telah terlebih dahulu melaksanakan ASO. Dapat diprediksi penurunan jumlah
penonton televisi TV FTA yang lebih besar terjadi di wilayah Non-Jabodetabek
apabila ASO tetap dilaksanakan di wilayah-wilayah tersebut dalam waktu dekat.

Penurunan jumlah eyeballs menyebabkan pengiklan dan agency bersikap wait and
see sampai dengan tercapainya tingkat recovery jumlah penonton televisi yang
diharapkan. Hal ini jelas akan berdampak pada penurunan pendapatan TV FTA
mengingat rating di wilayah Jabodetabek merepresentasikan 58% dari total rating
yang dilakukan oleh Nielsen. Industri penyiaran memiliki kekhawatiran bahwa
penurunan jumlah eyeballs di tengah kondisi ekonomi yang kurang kondusif saat
ini akan menimbulkan anggapan dari pengiklan bahwa televisi bukan lagi media
yang efektif untuk mempromosikan produk barang dan jasa. Sebelumya pada bulan
Oktober, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (“ATVSI”) telah menyampaikan

27
Nielsen Report, All Markets, October- 22 November 2022

140
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

mengenai concern tersebut kepada Presiden Republik Indonesia, namun demikian


ASO tetap dilaksanakan di wilayah Jabodetabek pada tanggal 2 November 2022.
Masih rendahnya penetrasi siaran digital tentunya merugikan banyak masyarakat
karena tidak dapat menonton hiburan gratis.

3.4. Ketersediaan STB dan Fluktuasi Harga

Mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (“DTKS”) yang dikeluarkan oleh
Kementerian Sosial Republik Indonesia (“Kemensos”), terdapat kurang lebih 5,5 juta
RTM di seluruh Indonesia. Seluruh RTM akan disubsidi via komitmen dari
penyelenggara multipleksing dan bantuan Pemerintah. Apabila kita melihat data
yang pernah dikeluarkan Panasonic Gobel beberapa waktu yang lalu, jumlah rumah
tangga yang memerlukan STB mencapai 80% dari total rumah tangga/household di
Indonesia yang mencapai 52 juta.

Komitmen penyediaan STB untuk RTM dapat dilihat dalam Tabel 3 dibawah ini.
Sampai dengan tanggal 5 November 2022, pelaksanaan komitmen distribusi STB
belum terealisasi dengan baik. Kemkominfo sudah membagikan 1,1 juta unit STB
atau sekitar 93,6% dari kewajibannya sedangkan realisasi pembagian STB oleh
penyelenggara multipleksing tidak lebih dari 6% dari total komitmennya.

Tabel 3. Pembagian STB hingga 23 November 202228

Alokasi (unit) Realisasi (unit) %

Penyelenggara Multipleksing 4.330.760 228.956 5,3

Pemerintah 1.204.784 1.127.896 93,6

TOTAL 5.535.544 1.356.852

Tolak ukur utama tingkat kesiapan masyarakat untuk menerima siaran televisi
digital adalah ketersediaan dan distribusi STB baik yang disediakan secara gratis
oleh Pemerintah dan penyelenggara multipleksing kepada RTM, maupun yang
secara komersial tersedia di pasar dengan harga yang terjangkau. Menurut
informasi dari situs siaran digital.kominfo.go.id, per November 2021 setidaknya

28
https://inet.detik.com/law-and-policy/d-6425080/data-terkini-realisasi-set-top-box-gratis-
tv-digital-mnc-group-terkecil

141
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

terdapat 13 brand STB TV digital yang telah tersertifikasi oleh Kemkominfo29.


Berselang satu tahun kemudian terjadi penambahan jumlah brand STB yang
tersertifikasi menjadi 40 brand dari 40 produsen30. Pada bulan April 2021 diketahui
harga satu unit STB berada dalam kisaran Rp180 ribu sampai dengan Rp280 ribu
walaupun untuk satu brand tertentu dapat mencapai harga Rp600 ribu. Kisaran
harga STB tersebut masih dianggap wajar karena demand masyarakat masih relatif
rendah mengingat saat itu siaran televisi analog masih dapat dinikmati. Pasca ASO
tanggal 2 November 2022, terjadi kenaikan harga STB yang signifikan dalam
rentang Rp240 ribu sampai Rp499 ribu31. Kenaikan harga tersebut disebabkan
meningkatnya permintaan dari masyarakat dan terjadi kelangkaan unit di pasar.

Melihat besarnya peluang STB tidak tersertifikasi beredar di pasar menjelang ASO,
Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) melakukan survei di bulan
Maret 2022 dan dalam laporannya PR2Media menyimpulkan masih banyak ditemui
STB tidak bersertifikasi dijual di pasaran dengan harga yang relatif lebih murah
dibandingkan yang telah tersertifikasi dari Kemkominfo32. Pembelian STB tidak
tersertifikasi atau black market beresiko pada daya pakai yang pendek bahkan tidak
kompatibel untuk menerima siaran digital standard DVB-T2, disamping negara
dirugikan karena pengadaannya tidak melalui prosedur impor resmi. Bercermin
dari fluktuasi harga STB tersertifikasi dan meningkatnya peredaran STB black
market di toko-toko elektronik, pasar tradisional dan toko on-line dan e-commerce,
pemerintah dituntut untuk lebih pro aktif menjaga ketersediaan dan
keterjangkauan harga STB baik menjelang maupun pasca pelaksanaan ASO secara
menyeluruh di Indonesia, selain pendistribusian STB gratis yang tepat sasaran.

Selain isu ketersediaan dan keterjangkauan harga STB bagi masyarakat, LPS sendiri
menghadapi tantangan lainnya terkait Logical Channel Number (LCN) yang
sebelumnya telah ditetapkan Kemkominfo bagi masing-masing LPS. Dengan
penetapan LCN tersebut setiap stasiun televisi digital mendapatkan nomor kanal
tersendiri (dedicated channel) dan perangkat televisi dan STB secara teknis akan
menerima siaran sesuai dengan nomor kanal stasiun televisi tersebut. Selain itu,
perangkat televisi atau STB memiliki fitur untuk menon-aktifkan LCN yang
memungkinkan penerimaan siaran digital dari satu stasiun televisi di nomor kanal
perangkat tersebut berbeda dengan LCN yang telah ditetapkan. Kondisi ini

29
https://www.kompas.com/wiken/read/2021/11/20/074000081/set-top-box-stb-untuk-
migrasi-tv-analog-ke-tv-digital-bisa-didapatkan?page=all
30
Situs web Kementerian Perindustrian RI
31
https://tekno.tempo.co/read/1654802/harga-set-top-box-siaran-tv-digital-di-toko-online-
dulu-dan-sekarang
32
https://teknologi.bisnis.com/read/20220505/101/1530165/banyak-set-top-box-tak-
bersertifikat-beredar-di-pasaran-kemen-kominfo-kurang-sosialisasi

142
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

menyebabkan inkonsistensi antara nomor kanal yang sudah ditetapkan dan dapat
menyebabkan stasiun televisi tertentu “terlempar” ke nomor kanal lebih dari 2 digit.
Kondisi ini berpotensi pada penurunan jumlah penonton stasiun televisi tertentu
karena keengganan penonton untuk melakukan upaya ekstra untuk mengakses
siaran televisi dengan nomor kanal televisi yang melebihi 2 digit. Perlu adanya
terobosan regulasi untuk menjalankan LCN secara konsisten.

3.5. Alokasi Digital Dividend untuk Kepentingan Future Broadcast

Disrupsi digital dan konvergensi media telah menuntut televisi untuk


bertransformasi agar dapat bersaing dengan media baru (new media) terutama di
tengah menjamurnya layanan Over-The-Top (OTT). Dalam menghadapi tantangan
tersebut, televisi harus dapat merespon keinginan pemirsa televisi terutama dari
kalangan digital native generasi Millennials dan Generasi Z yang memiliki preferensi
konsumsi media secara anytime, anywhere dan dengan interactivity.

Migrasi digital ditujukan agar industri penyiaran dapat memberikan layanan yang
lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik dan cakupan wilayah yang lebih luas
(More, Better and Larger Coverage of Service) kepada masyarakat. Siaran televisi
digital yang menggunakan modulasi digital untuk menyiarkan gambar, suara dan
data dapat menyediakan layanan siaran dengan kualitas High Definition (HD)
bahkan Ultra High Definition (4K UHD & 8K UHD). Migrasi digital juga membuka
kesempatan kepada stasiun televisi untuk dapat mengembangkan teknologi
penyiarannya dan memberikan layanan nilai tambah (value added service) kepada
pemirsa. Teknologi seperti personal video recorder, datacasting, layanan Electronic
Programme Guide (EPG) dan catch up TV di HbbTV yang mengintegrasikan
broadcasting dan broadband, memberikan layanan yang memungkinkan pemirsa
dapat menikmati konten di mana saja serta memberikan layanan interaktif bagi
pemirsa untuk berpartisipasi secara aktif dalam suatu program televisi. Untuk
menghadirkan konten dengan format UHD, diperlukan bandwidth yang lebih
besar.

Pasca ASO, Kemkominfo telah merencanakan proses lelang spektrum frekuensi


700MHz hasil dari bonus frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk lembaga
penyiaran analog mulai kwartal 1 tahun 202333. Melihat potensi perkembangan
teknologi penyiaran dan dalam rangka mempertahankan eksitensi dan
keberlangsungan industri penyiaran, maka digital dividend yang dihasilkan dari
migrasi digital ini seharusnya tidak hanya diperuntukkan untuk pengembangan 5G

33
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/11/24/pemerintah-janjikan-lelang-baru-
spektrum-frekuensi-bisa-dilakukan-tahun-2023

143
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

broadband melainkan sepantasnya juga sebagian dikembalikan untuk kepentingan


industri penyiaran ke depan.

3.6. Nasib Infrastruktur dan Ribuan Karyawan TV FTA Pasca ASO

Pasca ASO, menjadi pertanyaan mendasar bagi regulator bagaimana nasib dari
investasi atas infrastruktur bernilai trilyunan rupiah yang sudah ditanamkan oleh
LPS selama ini? Sebagaimana telah didiskusikan diatas, Indonesia adalah negara
dengan jumlah LPS terbanyak di dunia dan masing-masing LPS telah membangun
teknologi state of the art untuk menyiarkan program untuk ditonton oleh
masyarakat secara gratis. Demikian pula halnya dengan karyawan dan pekerja yang
selama ini menjalankan dan memelihara infrastruktur tersebut selama bertahun-
tahun. Dengan komposisi kepemilikan IPP multipleksing saat ini maka diperkirakan
ratusan tower, antenna dan transmisi akan terbuang percuma dan ribuan karyawan
akan terkena gelombang PHK, di tengah-tengah kondisi perlambatan ekonomi
seperti saat ini.

Seyogyanya pemerintah cq Kemkominfo memberikan solusi atas permasalahan di


atas sebagaimana diamanatkan oleh UUCK mengingat manfaat yang diberikan oleh
digital dividend baik dari sisi penggunaan dan pemanfaatan frekuensi maupun
pendapatan kepada negara sangatlah besar. Perlu didiskusikan dan disepakati pola
kompensasi yang layak diberikan kepada para LPS.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan:

1. Migrasi TV analog ke digital merupakan suatu keniscayaan dan telah menjadi


tuntutan global, yang akan memberikan siaran yang lebih bersih gambarnya,
jernih suaranya dan canggih teknologinya, serta menciptakan efisiensi
penggunaan frekuensi di Indonesia sebagai sumber daya alam yang terbatas.

2. Untuk mensukseskan proses migrasi digital dan ASO, setidaknya diperlukan dua
prasyarat utama yaitu landasan hukum atau regulasi yang kuat serta kesiapan
masyarakat dalam menerima siaran digital.

3. Payung hukum setingkat UU diperlukan sebagai landasan hukum penetapan


model bisnis penyelenggaraan siaran digital sebagai konsekuensi dari Putusan
MARI tahun 2012 dan tahun 2022 demi menjamin kepastian hukum dan
keberlangsungan usaha penyiaran televisi.

144
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

4. Ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan siaran digital berpotensi


menimbulkan permasalahan atau perkara hukum baik pidana, perdata maupun
tata usaha negara yang dapat merugikan pelaku usaha.

5. ASO yang dilaksanakan tanggal 2 November 2022 di wilayah Jabodetabek


terkesan dipaksakan di tengah ketidaksiapan masyarakat untuk menerima siaran
digital sehingga mempertaruhkan hak konstitusional masyarakat untuk
mendapatkan informasi dan kesempatan untuk menikmati hiburan gratis
melalui TV FTA.

6. Pelaksanaan ASO dengan tingkat kesiapan masyarakat menerima siaran digital


yang rendah berdampak langsung terhadap penurunan belanja iklan TV FTA dan
membahayakan keberlangsungan usaha dari industri TV FTA di tengah-tengah
disrupsi digital dan era konvergensi media.

7. Belum terdapat jaminan ketersediaan dan distribusi STB yang merata dan
dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat di seluruh Indonesia.

8. Migrasi digital membuka kesempatan kepada televisi dalam mengembangkan


teknologi penyiaran untuk memperkaya dan memberi nilai tambah pada
layanannya (value added service).

Rekomendasi:

1. Pemerintah dan DPR RI segera menyelesaikan revisi UUCK sebagaimana telah


diamanatkan oleh putusan MKRI atau menuntaskan amandemen UU Penyiaran
sebagai payung hukum untuk mengatur model bisnis penyiaran digital berikut
dengan peraturan pelaksanaannya dengan memperhatikan fakta-fakta hukum
yang ada sampai dengan saat ini.

2. Pemerintah melalui Kemkominfo menunda pelaksanaan ASO tahap berikutnya


sampai dengan butir 1 di atas diselesaikan agar tidak terjadi implikasi hukum
yang berpotensi merugikan Lembaga Penyiaran dan masyarakat.

3. Pemerintah harus memastikan pelaksanaan ASO di suatu wilayah layanan hanya


akan dilakukan apabila seluruh RTM di wilayah tersebut telah menerima
perangkat STB secara gratis dan tingkat penetrasi digital masyarakat telah
mencapai sekurang-kurangnya 90%.

4. Dengan terjadinya fluktuasi harga STB tersertifikasi dan meningkatnya peredaran


STB black market, Pemerintah cq Kemkominfo harus menjaga ketersediaan dan
keterjangkauan harga STB tersertifikasi bagi masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia.

145
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

5. Seluruh stakeholder industri TV FTA harus segera mewujudkan perluasan


pengukuran pemirsa televisi (Television Audience Measurement/TAM Expansion),
bukan hanya di 11 kota seperti saat ini, sehingga pengukuran kepemirsaan tidak
lagi Jakarta sentris mengingat saat ini Jabodetabek merepresentasikan 58% dari
total rating. Selain itu TAM Expansion akan memberikan data kepemirsaan yang
lebih representatif menggambarkan minat penonton terhadap siaran televisi dan
produk di wilayah Indonesia yang lebih luas.

6. Penyusunan rencana penggunaan digital dividend seharusnya tidak hanya


mengutamakan pengembangan 5G broadband, namun juga harus juga
memperhitungkan alokasi frekuensi untuk industri penyiaran televisi dalam
rangka mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran yang terus
berkembang dinamis. Tambahan pendapatan yang diperoleh negara dari
pemanfaatan digital dividend harus dikembalikan kepada LPS dalam bentuk
insentif untuk membantu LPS dalam menyelesaikan permasalahan terkait PHK
ribuan karyawan dan investasi atas infrastruktur penyiaran yang terbuang
percuma pasca ASO.

146
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku

1. Fontaine, G., & Pogorel, DTT and Digital Convergence: A European Policy Perspective.
Digital Broadcasting, Policy and Practice in the Americas, Europe and Japan, 2006
2. Rianto, P., Wahyono,B., Yusuf, I.A.dkk, Digitalisasi Televisi di Indonesia, 2012
3. Tubtian, Arnon, Digital TV: New Landscape for Thai Broadcasting Industry,2014

Laman Website

1. https://www.kominfo.go.id
2. https://www.kemenperin.go.id
3. https://www.pr2media.or.id
4. https://inet.detik.com/law-and-policy/d-6425080/data-terkini-realisasi-set-top-box-gratis-
tv-digital-mnc-group-terkecil
5. https://inet.detik.com/law-and-policy/d-6421684/kominfo-akan-matikan-siaran-tv-analog-
di-bandung-surabaya-yogyakarta
6. https://nasional.okezone.com/read/2022/11/02/337/2699733/solusi-dpr-terkait-suntik-mati-
tv-analog-yang-dinilai-bermasalah
7. https://nasional.tempo.co/read/1652311/masih-ada-292-kabupaten-atau-kota-belum-
matikan-tv-analog-psi-kegagalan-kominfo
8. https://www.cnbcindonesia.com/market/20221104110208-17-385147/hary-tanoe-protes-
siaran-tv-analog-cuma-kiamat-di-jabodetabek
9. https://teknologi.bisnis.com/read/20220505/101/1530165/banyak-set-top-box-tak-
bersertifikat-beredar-di-pasaran-kemen-kominfo-kurang-sosialisasi
10. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/11/24/pemerintah-janjikan-lelang-baru-
spektrum-frekuensi-bisa-dilakukan-tahun-2023
11. https://www.kompas.com/wiken/read/2021/11/20/074000081/set-top-box-stb-untuk-
migrasi-tv-analog-ke-tv-digital-bisa-didapatkan?page=all
12. https://www.youtube.com/watch?v=S9L9JCzSvQU&feature=youtu.be

Peraturan Perundang -Undangan

1. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.


2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
3. Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran
4. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.6 tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran
5. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 tahun 2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.6 tahun 2021 tentang
Penyelenggaran Penyiaran
6. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak
Berbayar (Free to Air)
7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23/PER/M.KOMINFO/11/2011
tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Siaran Televisi
Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi 478-694 MHz

147
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Tata Cara
dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi Secara
Digital Melalui Sistem Terestrial

Putusan Peradilan

1. Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 tertanggal 25 November 2021


2. Putusan MARI No. 40P/HUM/2022 tertanggal 2 Agustus 2022
3. Putusan MARI No. 38P/HUM/2012 tertanggal 3 April 2012
4. Putusan MARI No. 40P/HUM/2012 tertanggal 3 April 2012
5. Putusan PTUN Jakarta Nomor 119/6/2014/PTUN.JKT tertanggal 5 Maret 2015

Lain-Lain

1. Surat Edaran Direktur Operasi Sumber Daya Nomor 717 Tahun 2022 tentang
Pengembalian Izin ISR Dalam Rangka Migrasi Penyiaran Terestrial dari Teknologi Analog
ke Teknologi Digital tertanggal 7 April 2022
2. Surat Edaran Direktur Operasi Sumber Daya Nomor 901 Tahun 2022 tentang Pengakhiran
ISR dalam Rangka Pelaksanaan Tahapan Penghentian Tetap Siaran Televisi Analog
tertanggal 30 April 2022

Konten dalam tulisan ini merupakan pendapat pribadi Penulis berdasarkan telaah yang
dilakukan atas berbagai literatur, pemberitaan dan putusan lembaga yudisial.

148
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Neil Ricardo Tobing

Seorang profesional dengan pengalaman 20+ tahun di bidang teknologi, media, dan
industri komunikasi, memiliki keahlian hukum dan peraturan yang kuat di lapangan
media digital dan penyiaran. Saat ini juga aktif di berbagai organisasi nirlaba
organisasi media dan teknologi informasi. Penulis pernah bekerja di Link
Communications Pty Ltd, Melbourne, Australia sebagai Direktur pada tahun 2003
sampai dengan tahun 2009. Saat ini penulis bekerja sebagai Director & Corporate
Secretary di PT Visi Media Asia, dan bekerja sebagai Commissioner di PT Lativi
Mediakarya. Serta aktif berkegiatan di MASTEL sebagai Ketua bidang
DIGIBROADCAST, dan aktif berkegiatan sebagai Wakil Ketua 1 di ATVSI.

149
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
MASUKAN UNTUK RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH UNDANG-UNDANG
PELINDUNGAN DATA PRIBADI

Betti S. Alisjahbana
Ketua Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika (MASTEL)

Abstrak - Pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang
menjadi bagian dari pelindungan diri pribadi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP yang telah disahkan dan
diundangkan pada 17 Oktober 2022 perlu dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah
sebagai peraturan pelaksanaan UU PDP dan juga satu Peraturan
Pemerintah tentang Lembaga Pelindungan Data Pribadi.

Artikel ini memberikan masukan agar PP tersebut memastikan independensi


Lembaga Otoritas, mengisinya dengan SDM yang berintegritas dan mumpuni serta
tata kelola yang menunjang indepensi lembaga. Hal lain yang tidak kalah penting
adalah batasan yang jelas tentang pengecualian-pengecualian, ketegasan dan
kesetaraan implementasi UU PDP serta pentingnya pencegahan dan sosialisasi.
Sosialisasi perlu mencakup peningkatan edukasi literasi digital pada masyarakat
soal pentingnya menjaga data pribadi, sosialisasi pada para pelaku usaha dan
pelaku industri terutama tentang kewajiban mereka sebagai pengendali data
pribadi. Tidak kalah penting adalah sosialisasi ke berbagai Kementerian dan
Lembaga, serta badan publik lainnya. Perlu langkah-langkah pencegahan agar
data pribadi yang sudah beredar secara ilegal di publik agar tidak digunakan untuk
tindakan kejahatan.

1. Pendahuluan

Pelindungan data pribadi ditujukan untuk menjamin hak warga negara atas
pelindungan diri pribadi. Pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi
manusia yang menjadi bagian dari pelindungan diri pribadi. Undang-undang
Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan dan diundangkan pada 17
Oktober 2022 merupakan landasan hukum untuk memberikan keamanan atas data
pribadi, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Walaupun secara yuridis UU PDP ini langsung berlaku sejak tanggal diundangkan,
namun UU ini juga mengamanatkan banyak hal yang perlu diatur lebih lanjut dalam

151
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU PDP dan juga satu


Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Pelindungan Data Pribadi.

Artikel yang merupakan rangkuman dari hasil rapat Dewan Profesi dan Asosiasi (DPA)
Mastel yang diselenggarakan pada tanggal 17 November 2022 ini ditujukan sebagai
masukan untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut. DPA Mastel
memberikan penekanan pada hal-hal di bawah ini yang perlu diberi perhatian :

• Lembaga Otoritas Pelindungan Data Pribadi


• Kejelasan UU PDP dan Peraturan Pemerintah

• Ketegasan Implementasi UU PDP

• Pencegahan dan Sosialisasi

2. Lembaga Otoritas Pelindungan Data Pribadi

Lembaga Otoritas Pelindungan Data Pribadi adalah Lembaga yang berperan


mewujudkan penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi sesuai dengan Ketentuan
UU Pelindungan Data Pribadi. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk
merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi Pelindungan Data Pribadi
yang menjadi panduan bagi Subyek Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi, dan
Prosesor Data Pribadi. Lembaga ini juga mempunyai tugas pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi serta melaksanakan penegakan hukum
administratif terhadap pelanggaran UU PDP dan memfasilitasi penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Dalam hal terjadi peristiwa pidana, Lembaga ini akan
membantu aparat penegak hukum dalam penanganan dugaan tindak pidana Data
Pribadi.

Melihat pentingnya peranan Lembaga Otoritas Pelindungan Data Pribadi pada


keberhasilan penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi, beberapa hal mendasar
perlu mendapat perhatian, yaitu :

2.1. Independensi

Independensi Lembaga Otoritas Pelindungan Data Pribadi sangat penting dan harus
menjadi prioritas Presiden. Lembaga harus terbebas dari pengaruh publik manapun
karena nantinya akan mengawasi pengelola data layanan publik yang dikelola publik
pemerintahan dan juga pengelola data layanan privat atau swasta. Lembaga yang
ublicdent akan mendorong kepercayaan publik, mencegah kejahatan siber, dan

152
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

memberikan kepastian hukum ke para pemangku kepentingan, termasuk


kelangsungan investasi.

2.2. Sumber Daya Manusia yang Berintegritas dan Mumpuni

Kepastian hukum merupakan prasyarat bagi aliran data lintas batas dan dapat
memicu persaingan yang lebih sehat antar pelaku usaha. Untuk itu, Lembaga ini
perlu didukung sumber daya manusia/tenaga ahli yang mumpuni, pakar dalam
mitigasi risiko digital dan independen dari pengaruh pemerintah/swasta. Peraturan
Pemerintah harus mengatur dengan jelas kriteria para anggotanya dan fungsi
masing-masing anggota.

2.3. Tata Kelola

Selain itu, ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wewenang Lembaga otoritas
PDP perlu diatur secara rinci dalam peraturan pemerintah, termasuk di dalam
mengawasi kepatuhan pengendalian data pribadi serta pengenaan sanksi kepada
Kementerian dan Lembaga.

Pembahasan RUU PDP berlangsung lama, salah satunya, karena adanya perbedaan
pendapat antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) sebagai bagian dari satuan kerja pemerintah dalam
pembahasan RUU PDP. DPR telah menampung banyak masukan dari perwakilan
kelompok masyarakat dan industri. DPR mengajukan agar badan pengawas
sebaiknya bersifat independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Sementara Kemenkominfo dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa
fungsi pengawasan seharusnya berada di bawah Direktorat Jenderal Aplikasi
Informatika yang ada di dalam institusinya. Inisiatif untuk segera mengesahkan RUU
PDP di tengah semakin besarnya arus digitalisasi dan penetrasi teknologi digital ke
setiap aspek hidup masyarakat perlu disambut baik. Kini bola ada di tangan Presiden
melalui pembentukan Peraturan Pemerintah untuk memastikan bahwa Lembaga
Otoritas Pelindungan Data Pribadi betul-betul independen dan profesional, sehingga
dapat menjalankan perannya dengan efektif.

3. Kejelasan UU PDP dan Peraturan Pemerintah

Agar efektif dalam implementasinya, kejelasan UU PDP dan Peraturan Pemerintah


menjadi sangat penting. Kejelasan yang dimaksud mencakup definisi dan kriteria
Data Pribadi yang wajib dilindungi serta tata laksananya. Tak kalah penting adalah
memastikan agar implementasinya konsisten.

153
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Contoh ketidakjelasan dalam UU PDP diantaranya adalah soal pengecualian. Sebagai


contoh, pasal 19 sampai dengan pasal 49 mengatur Kewajiban Pengendali Data
Pribadi dan Prosesor Data Pribadi dalam Pemrosesan Data Pribadi. Pada pasal 50
tercantum pengecualian atas Kewajiban Pengendali Data Pribadi untuk :

• Kepentingan pertahanan dan keamanan nasional;


• Kepentingan proses penegakan hukum;
• Kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara;
• Kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran
dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan negara.

Pengecualian tersebut hanya dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-


undang.

Pasal 36 mengatur: dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data


Pribadi wajib menjaga kerahasiaan Data Pribadi. Dengan pengecualian di atas, maka
kerahasiaan data pribadi tidak lagi wajib dijaga kerahasiaannya. Beberapa waktu
yang lalu pemberitaan media masa dipenuhi berita tentang kebocoran data pribadi
dari aplikasi Peduli Lindungi. Menjadi pertanyaan dengan pengecualian di atas,
apakah pengendali data di aplikasi Peduli Lindungi wajib menjaga kerahasiaan data
pribadi ? Apabila mereka tidak wajib melindungi data itu, betapa besar kerugian yang
dirasakan oleh masyarakat sebagai subyek data pribadi.

Pengecualian-pengecualian haruslah sangat terbatas, dan jelas definisinya, agar tidak


disalahgunakan yang pada akhirnya akan sangat merugikan subjek data pribadi.
Peraturan Pemerintah yang sedang disusun hendaknya mengatur secara lebih jelas
batasan mengenai pengecualian di atas.

4. Ketegasan dan Kesetaraan Implementasi UU PDP

UU PDP hanya akan memberikan manfaat apabila ada ketegasan yang konsisten
tanpa pandang bulu dalam implementasinya. Ketegasan yang dimaksud misalnya
saja dalam hal sanksi bagi pengendali data pribadi yang memperoleh data pribadi
tanpa seizin subjek data pribadi. Demikian pula bila aparat pemerintah memberikan
data pribadi tanpa seizin subjek data pribadi. Sanksi hendaknya jelas, dan konsisten
dalam penerapannya.

Indonesia berada di ranking 83 dari 160 negara dari segi Indeks Keamanan Siber
Nasional (National Cyber Security Index). Hal ini menunjukkan adanya masalah yang
besar di area ini. Peraturan Pemerintah hendaknya mengatur lebih detail

154
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

penggunaan data pribadi, pihak-pihak yang berwenang, teknik untuk menjamin


keamanan data serta sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
penggunaan data pribadi yang tidak sah.

Tidak kalah penting adalah kesetaraan sanksi antara pelanggaran yang dilakukan
oleh Pemerintah, swasta maupun publik. UU PDP yang telah disahkan menurut
hemat kami tidak imbang dalam memberikan sanksi kepada lembaga publik dan
korporasi yang menyalahi aturan pengumpulan, pengelolaan, dan pemrosesan data
pribadi. Dalam UU PDP diatur jika pelanggaran dilakukan oleh lembaga publik maka
hanya mungkin dikenakan sanksi administrasi (Pasal 57 ayat (2)). Sedangkan pada
sektor privat, selain dapat dikenakan sanksi administrasi, juga dapat diancam denda
administrasi sampai dengan 2 persen dari total pendapatan tahunan (Pasal 57 ayat
(3)), bahkan dapat dikenakan hukuman pidana denda mengacu pada Pasal 67, 68, 69,
70. Dengan rumusan demikian, meski disebutkan undang-undang ini berlaku
mengikat bagi sektor publik dan privat, dalam kapasitas yang sama sebagai
pengendali/pemroses data, namun, dalam penerapannya, akan lebih tajam pada
korporasi, tumpul terhadap badan publik.

5. Pencegahan dan Sosialisasi

Kehadiran UU Pelindungan Data Pribadi diharapkan dapat menjadi instrumen


hukum untuk mengatur secara spesifik pelindungan data pribadi di tengah
maraknya kebocoran data pribadi yang cukup banyak justru berasal dari lembaga
pemerintah. Meski proses pengesahannya cukup lama, kita patut bersyukur bahwa
kita kini memiliki UU PDP. Di ASEAN kita berada di urutan kelima setelah Malaysia,
Singapura, Filipina, dan Thailand dalam pengesahan UU PDP. Pengesahan UU PDP
bisa menjawab kebutuhan masyarakat selama ini yang merasa dirugikan akibat
kebocoran data pribadi.

Agar dapat berfungsi efektif, UU PDP ini harus diikuti dengan peningkatan edukasi
literasi digital pada masyarakat soal pentingnya menjaga data pribadi. Tingkat literasi
digital kita masih sangat rendah. Perlu sosialisasi yang masif untuk menghimbau
agar warga masyarakat melindungi datanya, termasuk memahami hak-hak mereka
seperti diatur dalam UU. Sosialisasi ini hendaknya mencakup hal-hal yang perlu
dilakukan untuk dapat menjadi data pribadinya agar tidak disalahgunakan.

Pemangku kepentingan yang lain yang perlu mendapatkan sosialisasi adalah para
pelaku usaha dan pelaku industri. Mereka perlu siap mengimplementasikan UU PDP
ini, terutama tentang kewajiban-kewajiban mereka sebagai pengendali data pribadi.
Hal ini untuk mencegah sanksi-sanksi yang dapat timbul apabila mereka tidak
menjalankan kewajibannya. Kerjasama dengan berbagai asosiasi usaha perlu

155
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dilakukan. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian diantaranya adalah formulasi


persetujuan penggunaan data pribadi. Pendekatan Dynamic Consent (DC), yang
melibatkan subyek data dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana data
pribadi harus digunakan. DC dianggap sangat kompatibel dengan TI karena
menggabungkan etika, hukum dan teknologi sebagai sarana komunikasi dan
partisipasi pengguna (subyek data). Dalam DC, perangkat lunak dikembangkan
untuk memberikan kontrol kepada subyek data atas bagaimana data mereka akan
digunakan. Hal lain yang perlu dimiliki oleh pelaku usaha adalah Privacy Policy di
dalam perusahaan yang perlu diketahui oleh pihak di dalam perusahaan maupun
masyarakat sebelum menyerahkan data pribadinya. Selanjutnya adalah saluran
ketika terjadi sengketa data pribadi. Pengesahan UU PDP ini hendaknya dapat
menjadi momentum untuk meningkatkan pemahaman kita tentang betapa
pentingnya data dan keharusan untuk menjaganya secara bertanggung jawab.
Pandemi Covid-19 telah menjadi pendorong terjadinya digitalisasi dan transformasi
digital secara masif di hampir semua segmen usaha, di tingkat korporasi sampai ke
tingkat UMKM. Berbagai kegiatan digital ini melibatkan data secara masif, termasuk
data pribadi. Karenanya mencegah berbagai kebocoran data pribadi yang
dikendalikannya menjadi sangat penting.

Tidak kalah penting adalah sosialisasi ke berbagai kementerian dan Lembaga, serta
badan publik lainnya. Belakangan ini kita banyak membaca di media, kebocoran
justru bersumber dari sini. Kini adalah saat yang tepat untuk membangun disiplin
yang ketat di dalam melindungi data pribadi. Hak warga negara atas pelindungan
diri pribadi adalah bagian dari hak asasi manusia. Pelindungan data pribadi
merupakan salah satu bagian dari pelindungan diri pribadi. Dalam hal ini, Pemerintah
dan Lembaga, serta badan publik lainnya hendaknya ada di garda terdepan.
Keberhasilan Pemerintah dan Lembaga di dalam melindungi data pribadi warganya
akan menciptakan suatu sistem administrasi pemerintahan yang efisien dan efektif
dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.

6. Penutup
Perkembangan pengaturan atas Pelindungan Data secara umum akan
menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara dengan tingkat
perekonomian yang maju, yang telah menerapkan hukum mengenai Pelindungan
Data. Hal ini akan memperkuat dan memperkokoh posisi Indonesia sebagai pusat
bisnis terpercaya, yang merupakan suatu strategi kunci dalam ekonomi nasional
Indonesia seperti dalam sektor telekomunikasi, sektor penyedia jasa keuangan,
sektor kesehatan dan sektor pendidikan. Penyusunan Peraturan Pemerintah untuk
melengkapi UU PDP agar dapat dilaksanakan dengan efektif menjadi faktor yang
sangat penting.

156
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Betti Alisjahbana

Betti Alisjahbana memulai karirnya di IBM pada tahun 1984 sebagai Management
Trainee. Setelah itu penulis memegang berbagai posisi kunci di IBM Indonesia dan di
kawasan Regional ASEAN dan Asia Selatan. Di antaranya sebagai General Manager for
General Business, lalu sebagai General Manager for e-business & Cross Industries
Solutions untuk Kawasan ASEAN dan Asia Selatan. Pada tahun 2000, penulis kembali
ke Indonesia dan diangkat sebagai Presiden Direktur PT IBM Indonesia (tahun 2000
– 2008). Penulis adalah wanita pertama yang memegang posisi ini.

Di awal tahun 2008 penulis melepaskan posisinya sebagai Presiden Direktur PT IBM
Indonesia dan mendirikan PT Quantum Business International /QB Leadership
Center, dengan fokus pada pengembangan kepemimpinan melalui :
Pelatihan, Konsultasi, Coaching dan Mentoring.

157
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
MEWASPADAI KONTEN DI INTERNET
(Suatu Pola Praktis Berdasarkan Pengetahuan
tentang Pola Kerja Internet)
Ashwin Sasongko Sastrosubroto
Ketua Bidang Digitalent

Abstrak - Dari berbagai berita selama ini dapat dilihat bahwa konten di Internet
ada yang berupa berita bohong dan menyesatkan dan dapat menimbulkan
berbagai masalah. Untuk itu, disampaikan tentang pola kerja Internet secara
umum karena dengan mengetahui pola kerja Internet, diharapkan kita dapat lebih
mudah mengidentifikasi konten yang perlu diwaspadai, yang perlu di-check dan
recheck. Juga disampaikan beberapa rekomendasi ringkas untuk mengatasinya.

1. Pendahuluan

Saat ini masalah konten Internet, baik di media sosial, seperti facebook, Twitter,
Instagram dan sebagainya maupun Intermessaging Service seperti WA, Telegram
dan sebagainya sering menimbulkan berbagai masalah. Berbagai studi dan berita
menunjukkan konten di Internet bisa menimbulkan berbagai masalah di masyarakat.
Konten berupa berita bohong dan menyesatkan telah banyak dibicarakan, demikian
juga konten-konten yang mencemarkan nama baik, penghinaan dan berbagai
konten lain yang melanggar peraturan perundangan telah banyak diberitakan juga.

Pada tulisan kali ini, akan dibahas secara ringkas, tentang pola kerja Internet secara
umum. Dari pengetahuan ini diharapkan kita dapat lebih mudah mewaspadai
berbagai berita bohong dan menyesatkan, yang dari pengalaman sebelumnya telah
menimbulkan berbagai masalah.

Tujuan tulisan ini memberikan gambaran kepada pembaca tentang cara cepat dan
mudah mewaspadai suatu berita, apakah layak dipercaya atau perlu di-check dan
recheck lebih lanjut. Cara yang digunakan berdasarkan pengetahuan tentang pola
kerja Internet.

159
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. Kajian Secara Umum

2.1. Perkembangan dan Pola kerja Internet secara Umum

Pada awalnya, jaringan telekomunikasi yang kita gunakan untuk berkomunikasi


melalui suara di Telepon, melalui mesin Fax dan juga SMS (Short Message Service).
Jaringan ini lalu berkembang dan menghubungkan berbagai negara di dunia.
Pengaturan globalnya diatur oleh sebuah institusi di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB),
yaitu ITU, International Telecommunication Union.

Lalu komputer berkembang. Komputer bisa saling terhubung dengan komputer lain,
dengan peralatan lain seperti printer, umumnya melalui kabel. Komputer pun
berkembang terus dan digunakan di seluruh dunia.

Setelah jaringan telekomunikasi tergelar di hampir semua negara di seluruh dunia,


berkembanglah penelitian untuk menggunakan jaringan telekomunikasi yang
sudah ada guna menghubungkan berbagai komputer di seluruh dunia.

Penelitian dan lalu implementasinya terutama dilaksanakan oleh Defense Advanced


Research Project Agency (DARPA), suatu institusi dari Department of Defense (US
DoD), Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. Terbentuklah suatu jaringan antar
komputer yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi ini. Jaringan ini disebut
ARPANet.

ARPANet lalu dibagi dua: jaringan untuk keperluan militer dan non mIliter. Jaringan
non militer ini kemudian ditransfer ke US Department of Commerce (US DoC),
Kementrian Perdagangan Amerika Serikat. Selanjutnya, jaringan ini dikelola secara
bisnis untuk seluruh dunia oleh suatu non profit organization bernama Internet
Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).

Dari aspek teknis, agar komputer bisa menghubungi komputer lain di dunia,
diperlukan penomoran, mirip penomoran telepon saja. Nomor ini dikenal sebagai
Internet Protocol Address (IP Address). Selanjutnya berkembanglah nama domain
serta website, dimana sekarang diberikan nama bagi komputer kita sehingga kita
tidak perlu mengingat nomor-nomor IP Address jika akan menghubungi komputer
teman kita.

Tiap negara kini diberikan nama domain masing-masing oleh ICANN. Indonesia
diberikan nama [.id], Jepang [.jp], Columbia [.co], Tuvalu [.tv], Singapura [.sg] dan
sebagainya. Ini dikenal sebagai Country Code Top Level Domain (CCTLD).

160
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Pola ini mirip dengan kode telepon antar negara. Indonesia mendapat kode [+62],
Singapura [+65] dan seterusnya dari ITU. Selain itu juga ada institusi-institusi yang
mengoperasikan nama domain non negara, seperti [.com], [.net], [.org] dan
sebagainya yang disebut Generic Top Level Domain (GTLD). Saat ini bahkan ICANN
membolehkan berbagai institusi membuat berbagai nama TLD seperti [.bank], [.asia],
[.berlin] dan sebagainya.

Di Indonesia, nama domain [.id] dikelola oleh Pengelola Nama Domain Internet
Indonesia (PANDI). Perlu dicatat, mengingat pengelolanya institusi di Indonesia,
maka para pengguna TLD, baik Pemerintah maupun non Pemerintah, harus
mengikuti peraturan perundangan di Indonesia. Institusi pengelola [.jp] tentu harus
mengikuti peraturan-peraturan di Jepang, pengelola [.co] harus mengikuti aturan di
Colombia dan seterusnya.

Lalu bagaimana dengan pengelola berbagai GTLD ? Mereka tentu harus mengikuti
peraturan dimana operatornya berada, misal, karena [.com] dikelola oleh Verisign Inc,
suatu perusahaan di AS, Amerika Serikat, maka mereka harus mengikuti aturan di
negaranya.

2.2. Aplikasi dan Konten di Internet

Dengan berkembangnya Internet ke seluruh dunia, berkembang pula berbagai


aplikasi yang menggunakan Internet untuk mengaksesnya dan dioperasikan oleh
berbagai institusi, baik swasta maupun pemerintah. Berbagai aplikasi ini dapat diisi
berbagai konten, baik yang dibuat oleh pengelola aplikasinya sendiri, maupun, jika
diperbolehkan pengelolanya, dibuat oleh pengguna aplikasi tersebut yang dikenal
dengan User Generated Content (UGC).

Website, misalnya, memiliki banyak sekali konten yang umumnya dibuat oleh
pengelolanya sendiri. Sosial media seperti facebook, YouTube, Instagram dan
sebagainya, sebagian besar kontennya dibuat oleh penggunanya.

Perlu dicatat, bahwa operator aplikasi tentu saja beroperasi sesuai dengan aturan di
negaranya. Misalnya website yang menggunakan TLD [.id], seperti [mastel.id] dimana
baik Mastel maupun pengelola [.id] ada di Indonesia, harus mengikuti aturan di
Indonesia. Demikian juga [facebook.com], karena baik pengelola facebook dan [.com]
ada di Amerika Serikat, maka mereka tentunya mengikuti peraturan di negeri
tersebut.

Lalu bagaimana jika suatu aplikasi di suatu negara digunakan di negara lain? Aplikasi
facebook misalnya, banyak digunakan di Indonesia. Dalam kaitan ini tentu operator

161
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

facebook perlu mengikuti aturan hukum di Indonesia. Kalau tidak, aplikasi tersebut
dapat di blok oleh pemerintah, tidak bisa dibuka di Indonesia.

Dari pola kerja Internet di atas, dapat dilihat masalah yang mungkin timbul akibat
penggunaan Internet secara global. Berbagai aplikasi sosial media di berbagai
negara didunia dapat dibuka di Indonesia, demikian juga sebaliknya. Pengelola
aplikasi ini jumlahnya banyak sekali, apalagi kontennya. Jumlah website di dunia
jumlahnya juga banyak sekali. Berbagai sosial media, seperti facebook, digunakan
oleh berjuta-juta orang di dunia dan setiap pengguna bisa membuat banyak konten.
Jadi banyak sekali konten yang bisa dibuka di Indonesia.

Sebagian konten yang jelas terlarang seperti website yang isinya konten pornografi
misalnya, tinggal diblok seluruh websitenya sehingga tidak dapat dibuka di
Indonesia. Tapi bagaimana dengan konten di sosial media yang diunggah pengguna
konten tersebut? Jika isinya konten yang melanggar peraturan dan mudah dikenali
seperti gambar pornografi misalnya, maka operatornya dapat memblok konten
tersebut untuk Indonesia. Bagaimana jika isinya bukan gambar pornografi yang
mudah dikenali, tapi berita bohong atau yang bersifat mengadu domba masyarakat?
Tentu perlu waktu untuk me-review konten tersebut.

Bagaimana kita dengan relatif mudah dan cepat bisa mewaspadai konten-konten
semacam ini dari pengetahuan tentang pola kerja Internet di atas? Disinilah perlunya
pengetahuan tentang pola kerja dan tata kelola internet global untuk
mengidentifikasi berbagai aplikasi dan konten di Internet.

2.3. Mewaspadai Aplikasi dan Konten

Saat pertama kali kita men-download, mengunduh suatu aplikasi, umumnya kita
harus agree, setuju dengan hal-hal yang dipersyaratkan operator aplikasi tersebut.
Misalnya kita akan men-download suatu aplikasi Intermessaging Service, seperti WA,
banyak persyaratan yang diterapkan operator WA yang harus kita setujui sebelum
kita bisa men-download .

Misalnya dilarang mengirim berita bohong, menakut-nakuti dan sebagainya.


Masalahnya, WA tidak mengecek apakah kita sudah membaca dan mengerti dengan
benar persyaratan-persyaratan tersebut. WA mempercayai kita akan menepati janji.

Lalu jika kita menjadi anggota suatu WA Group dan ada anggota WAG yang
memposting kontem yang melanggar aturan WA, apakah yang sebaiknya kita
lakukan?

162
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Sesama anggota di suatu WAG, tentunya bisa mengingatkan rekannya untuk


mematuhi aturan WA. Ya, mirip kita memperingatkan teman agar tidak melanggar
lampu merah saat mengendarai mobil bersama kita.

Berikutnya tentang pengguna suatu aplikasi sosial media, misalnya facebook atau
Instagram. Pertama-tama kita harus men-download aplikasinya dan menyetujui
persyaratan-persyaratan bagi penggunaan aplikasi tersebut. Kemudian untuk
menjadi pengguna aplikasi tersebut, kita diminta memasukkan data-data kita,
kadang termasuk foto kita. Sekali lagi, operator aplikasi umumnya mempercayakan
hal ini kepada kita, bahwa kita akan mengisi data dengan benar. Masalahnya, karena
aplikasi ini dapat diakses secara global, apakah semua orang di dunia, termasuk di
Indonesia, akan mengisi semua data tersebut dengan benar?

Kalau aplikasi tersebut operatornya ada di Indonesia, tentunya mereka harus


mengikuti hukum di sini. Dibuat peraturan bahwa operator aplikasi diharuskan
mengecek identifikasi setiap pengguna aplikasi, misal melalui KTP-nya bahkan bisa
diharuskan datang secara pribadi.

Tetapi karena operator aplikasi tersebut ada di negara lain, maka mereka akan
mengikuti peraturan di negaranya. Di pihak lain, jika suatu negara tidak dapat
menerima pola kerja operator tersebut karena misalnya bertentangan dengan
hukum di negaranya, tentunya operator tersebut bisa diblokir.

Selanjutnya, mari kita me-review tentang bagaimana kita melihat suatu konten dari
aspek tata kelola di atas.

2.4. Penilaian konten dari aspek Tata Kelola

Selanjutnya, mari kita me-review cara melihat suatu konten dari aspek tata kelola.
Misalkan anda melihat suatu website. Pertama tama perlu dilihat dulu CCTLD-nya.
Jika TLD-nya [.id], maka website tersebut ada di Indonesia. Jadi seharusnya mereka
mengikuti aturan di Indonesia dan jika sampai melanggar, maka dengan mudah
dapat di blok bahkan pengelolanya bisa dicari dan diberi sanksi.

Ini karena semua pengguna CCTLD [,id] dicatat identifikasinya oleh PANDI.
Alamatnya di dunia fisik, physical space, di kota mana, jalan apa, nomor berapa dan
sebagainya, juga nama-nama pengelolanya dan sebagainya terdata dengan lengkap.
Jika pengelolanya mengunggah konten yang melanggar hukum, dapat dicari
dengan mudah. Karena itu, website ini umumnya tidak memuat konten yang
melanggar hukum.

163
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Demikian juga jika anda menerima suatu e-mail, bahkan dari seseorang yang tidak
anda kenal, jika CCTLD-nya [.id], si pengirim mudah ditelusuri orangnya. Karena itu,
umumnya email yang TLD-nya [.id] tidak berisi konten-konten yang melanggar
hukum. Perlu dicatat bahwa pengelola e-mail tersebut mungkin adalah suatu
perusahaan atau suatu kantor pemerintah dan para karyawannya mendapat email
address. Institusi tersebut harus tahu benar siapa karyawannya yang dapat
menggunakan email address tersebut.

Bagaimana jika kita melihat suatu website yang tidak menggunakan [.id] misalnya
saja menggunakan GTLD [.com] atau yang lain seperti CCTLD [.co] atau [.tv]? Kita
perlu mempelajari dengan lebih komprehensif.

Jika website tersebut milik media di Indonesia, perlu dicek apakah media tersebut
sudah terdaftar resmi. Semua media pers di Indonesia seperti koran dan majalah
seharusnya tercatat di Dewan Pers. Semua media penyiaran baik televisi maupun
radio juga seharusnya tercatat di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Baik Dewan Pers
maupun KPI bertugas memonitor konten di media-media, dan jika melanggar
hukum, tentunya akan diambil tindakan sesuai peraturan yang berlaku.

Bagaimana jika media atau sumber konten tersebut tidak terdaftar? Paling tidak
perlu dilihat apakah pengelola media tersebut memiliki alamat lengkap di physical
space. Jika tidak ada? Ya membacanya perlu hati-hati sebab siapa pembuat berita
tersebut tidak kita ketahui.

Bisa saja yang bersangkutan menulis apa saja dan sulit menelusuri siapa penulisnya.
Bahkan si penulis bisa saja menggunakan nama dan foto orang lain, bahkan
seseorang yang terkenal. Ini mirip membaca suatu berita di atas kertas yang ditempel
di sebuah pohon di pinggir jalan, yang dinyatakan ditulis oleh seseorang yang
mungkin sangat terkenal.

Bagaimana kita bisa memastikan bahwa memang benar penulisnya orang yang
bersangkutan? Untuk memastikan tentu kita bisa mengontak langsung penulis
tersebut kalau kita mengenalnya dan tahu nomor telpon atau rumahnya.

Banyak berita yang ditulis secara menarik dan sering disertai foto-foto bahkan video
untuk menunjukkan kebenarannya, sehingga membuat pembaca percaya
kebenaran beritanya walaupun konten tersebut berasal dari sumber yang sulit
ditelusuri.

Terkadang tulisan tersebut ditambah dengan info bahwa ini berasal dari media yang
terpercaya, sudah tercatat di Dewan Pers dan sebagainya. Bahkan disertai link ke
website media tersebut. Masalahnya, apakah benar klaim tersebut? Apakah informasi

164
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

singkat yang diklaim berasal dari suatu media benar-benar sama dengan berita dari
media tersebut? Untuk memastikannya, perlu dibuka langsung website media dan
tidak langsung percaya kepada klaim yang disampaikan.

Perlu dicatat juga, dengan berbagai software yang ada saat ini, tidak sulit membuat
foto atau bahkan video palsu.

Di sinilah diperlukan kewaspadaan kita. Informasi dari sumber yang sulit ditelusuri
keberadaannya di physical space, sulit untuk langsung dipercaya sebab yang
bersangkutan saja tidak mau menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.

Tentu bisa timbul masalah yang lebih besar lagi, jika kita mem-forward suatu konten
yang tidak bisa ditelusuri sumber beritanya melalui Intermessaging Service ke teman
atau misalnya ke WAG, sebab itu berarti kita meneruskan suatu informasi yang belum
kita konfirmasi kebenarannya karena bisa saja informasi tersebut tidak benar.

Untuk ini, ingatlah janji kita saat bersepakat dengan operator aplikasi, misalnya
dengan operator WA, jangan sampai kita mencederai janji kita walaupun operator
tersebut tidak memonitor kita setiap saat.

Pemerintah menyikapi hal ini dengan memonitor berbagai berbagai berita bohong,
hoax, dan lalu menginfokan kepada masyarakat bahwa suatu berita adalah hoax.
Masalahnya, banyak sekali konten di sosial media, terutama yang berupa UGC, dan
tentu cukup sulit dimonitor semuanya. Umumnya hanya berita yang viral yang lalu
ditelusuri apakah berita tersebut hoax atau bukan.

Akan jauh lebih sulit memonitor berita yang beredar di Intermessaging Service,
kecuali ada anggotanya yang menanyakan tentang kebenaran konten tersebut.

2.5. Perkembangan Serangan Siber

Pertanyaan selanjutnya kenapa ada konten-konten semacam berita bohong dan


menyesatkan? Ini bisa dilihat perkembangan serangan di Cyberspace, dunia siber.

Dari sejak awal berkembangnya Internet secara global, serangan terhadap para
pengguna Internet mulai terjadi. Awalnya, dimulai dengan serangan terhadap suatu
sistem komputer. Misalnya suatu sistem komputer diserang sehingga sistemnya
tidak bisa bekerja. Bayangkan jika sistem tersebut digunakan untuk mengoperasikan
suatu pembangkit listrik, maka pembangkit listrik tersebut pasti terganggu
operasinya.

165
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Tahap berikutnya, serangan terhadap data yang ada di komputer, misal dengan
mengubah data yang ada. Melalui serangan ini, sistem komputer tetap bekerja,
sehingga akan dianggap sistem berjalan baik. Tapi bagaimana jika data di komputer
tersebut diubah, misalnya data untuk alarm dimatikan. Pada saat ada masalah,
komputer tidak mendeteksi bahaya dan sistem yang dikontrolnya bisa mengalami
kerusakan berat.

Pola serangan lain terhadap data adalah dengan meng-copy data tersebut lalu
dibocorkan keluar atau bahkan dijual kepada mereka yang berminat. Data desain
produk baru suatu industri bisa di-copy dan dijual ke kompetitor. Selanjutnya,
kompetitor bisa membuat produk dengan desain serupa tanpa memulai proses
desain dari awal yang memerlukan biaya besar.

Pola serangan terus berkembang. Bahkan muncul pola serangan dilakukan terhadap
pengguna komputer. Penyerangan ini umumnya berupa konten yang menyerang
pola pikir pembacanya. Jadi sistem komputer dan datanya tidak terganggu, tapi
penggunanya diberi berbagai konten yang bisa mengubah jalan pikirannya.

Info-info yang salah tentang kesehatan misalnya, bisa membuat pembacanya


membeli produk-produk tertentu yang sebetulnya tidak diperlukan oleh yang
bersangkutan, tapi tentu menguntungkan pembuat produk tersebut.

Pola ini bisa dikembangkan untuk berbagai kepentingan, termasuk memberi


informasi yang salah tentang kegiatan suatu proyek pembangunan yang
dilaksanakan oleh suatu kontraktor tertentu misalnya, sehingga masyarakat
menganggap proyek tersebut gagal. Serangan ini bisa menguntungkan kompetitor
perusahaan tersebut untuk mendapatkan kontrak-kontrak proyek berikutnya.

Untuk menghadapi serangan siber kepada pengguna sistem komputer, diperlukan


kemampuan untuk mewaspadai konten apapun yang ada, berdasarkan
pengetahuan tentang pola kerja Internet.

2.6. Konten yang di-frame

Membuat dan lalu mengunggah konten yang salah memang dilarang di banyak
negara termasuk di Indonesia. Namun pola penyerangan terhadap pengguna
komputer masih terus berkembang. Salah satunya melalui penyebaran berita yang
benar tetapi di-frame, disusun sedemikian rupa, agar pembacanya mengambil
kesimpulan tertentu sesuai yang diinginkan pembuat berita.

166
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Framed news ini cukup sulit diwaspadai karena pembuat kontennya bisa dengan
tenang menginformasikan siapa dirinya, bahkan bisa ditulis di media yang besar dan
terkenal, karena memang beritanya tidak melanggar aturan.

Misalnya saja anda pimpinan suatu perusahaan yang memiliki banyak karyawan.
Tetapi terdapat satu karyawan yang sering melakukan hal-hal yang kurang terpuji,
misalnya sering mabuk-mabukan atau bahkan melakukan tindakan kriminal seperti
makan tanpa membayar.

Berita tentang perilaku seorang karyawan tersebut bisa disebarkan secara meluas
ditambah informasi bahwa yang bersangkutan adalah karyawan perusahaan anda.
Berita yang memang benar ini, jika ditulis di banyak media dan berulang-ulang, bisa
saja masyarakat memberi penilaian buruk kepada karyawan-karyawan perusahaan
anda, padahal karyawan-karyawan lain bekerja dengan baik. Framed news ini dapat
memberikan persepsi yang salah kepada masyarakat.

167
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Rekomendasi

Setelah mengetahui berbagai aspek operasional Internet, diharapkan kita semua


dapat lebih mewaspadai konten-konten yang dibaca. Disarankan agar masyarakat
umum juga mengetahui tentang pola kerja Internet sehingga bisa mengidentifikasi
dengan baik dari mana suatu berita berasal. Hal ini tentu memerlukan sosialisasi yang
luas tentang pola kerja Internet dan tata cara mewaspadai konten-kontennya.

Dari sisi tata kelola, diharapkan agar seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)
dapat diidentifikasi dengan jelas dengan bisa ditelusuri alamatnya. Sedangkan
pengguna yang bisa mengunggah konten, harus benar-benar dimonitor bahwa PSE
tersebut mengikuti peraturan di Indonesia seperti mendaftarkan PSE-nya dan
memastikan konten yang ada dapat dibuka dari Indonesia, tidak ada yang melanggar
peraturan di Indonesia.

Di sisi internasional, Indonesia telah menggaungkan agar berbagai negara di dunia


mengikuti Cyber Ethics, membantu negara-negara lain agar operator di negaranya
memblok konten-konten yang melanggar aturan agar tidak diteruskan ke negara-
negara lain tersebut.

Akhirnya, perlu kiranya dipelajari kemungkinan badan dunia seperti PBB dapat
melaksanakan pengaturan jaringan Internet global yang digunakan tidak hanya oleh
negara tempat operatornya berada, tetapi juga oleh negara lain. Hal ini mirip dengan
banyak aktivitas yang sudah dilaksanakan PBB, seperti pengaturan untuk
Telekomunikasi oleh ITU, Pos oleh UPU, dan sebagainya.

168
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Ashwin Sasongko Sastrosubroto

Penulis lahir di Surabaya pada 16 Mei 1954. Menyelesaikan S1 nya di Departemen


Elektroteknik ITB, Bandung tahun 1978. Penulis kemudian bekerja sebagai peneliti di
Lembaga Elektroteknika Nasional LIPI sejak 1978 sambil menyelesaikan pendidikan
Master tahun 1980 dan PhD-nya tahun 1989 di Aston University di Birmingham UK.

Sejak 1998, penulis dipindahkan ke berbagai Institusi antara lain PT LEN Industri
(Persero), Kementerian BUMN, BPPT, Kementerian Ristek dan Kementerian Kominfo.
Penulis juga sempat ditugaskan sebagai Komisaris di PT POS Indonesia (Persero) dan
PT KAI (Persero). Pada akhir tahun 2013 penulis kembali bertugas sebagai peneliti di
Pusat Penelitian Informatika LIPI sampai memasuki masa pensiunnya tahun 2019.

Saat ini Ashwin menjadi anggota Dewan TIK Nasional (Teknologi Informasi dan
Komunikasi). Penulis juga menjadi dosen luar biasa di Universitas Telkom,
Langlangbuana, UNPAD dan juga di UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia).
Penulis juga aktif di berbagai kegiatan terkait TIK seperti di Mastel, ID IGF, ICANN, PII
dan sebagainya.

169
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
OPEN FINANCE DAN WASPADA KEJAHATAN SIBER
Tris Yulianta
Ketua Bidang Blockchain dan Inklusi Fintech Nasional

Abstrak - Indonesia memiliki proyeksi perkembangan digital ekonomi yang baik,


meskipun di sisi lain masih terdapat berbagai tantangan digitalisasi di Indonesia.
Penggunaan teknologi informasi dalam kerja sama sektor jasa keuangan (open
finance) juga semakin berkembang dan memberikan kebermanfaatan bagi
kontribusi sektor perekonomian. Namun demikian, terdapat risiko yang harus
dimitigasi terkait pengambilan berbagai data/cyber attack dalam open finance.
Indonesia masih memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan di sektor fintech yang
masih sangat rendah dan dapat menyebabkan masyarakat rentan menghadapi
kejahatan internet/mobile banking. Dalam hal ini pemangku kepentingan perlu
melakukan peningkatan literasi dan keamanan digital.

Kata Kunci: Fintech, Open Finance, Perlindungan Data, Kejahatan Siber.

1. Pendahuluan

Perekonomian Indonesia terus membaik sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia


pada tahun 2020. Saat itu, pertumbuhan ekonomi terkontraksi hingga -5,32 persen
year on year pada triwulan II. Pada periode selanjutnya, perekonomian Indonesia
cenderung mengalami penguatan hingga pada triwulan III tahun 2022, mencapai
5,72 persen year on year (Badan Pusat Statistik, 2022). Hal tersebut tidak lepas dari
berbagai upaya mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah, baik terkait dengan
kesehatan, perlindungan sosial dan perekonomian (Kemenkominfo, 2021).

Gambar 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%, y-on-y)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2022).

171
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Menurut laporan Kemenkominfo (2021), pemerintah telah memberikan stimulus dan


insentif seperti bantuan kepada pelaku UMKM, insentif fiskal, penjaminan kredit,
subsidi bunga, dan lain sebagainya dalam bidang ekonomi. Selain itu, pemerintah
juga mengupayakan agar pemanfaatan teknologi dapat memaksimalkan potensi
ekonomi yang ada, terutama di masa pandemi dan pasca pandemi sehingga
diharapkan pemulihan ekonomi nasional dapat berlangsung lebih cepat.

Dalam perekonomian Indonesia, UMKM telah menjadi pilar penting (Kementerian


Koordinator Bidang Perekonomian, 2021). Pemerintah telah menjalankan sejumlah
program dukungan UMKM, di antaranya bantuan insentif dan pembiayaan melalui
program PEN, Kredit Usaha Rakyat, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia
(Gernas BBI), digitalisasi pemasaran UMKM, penguatan Wirausaha Alumni Program
Kartu Prakerja Melalui Pembiayaan KUR, dan termasuk pula strategi jangka panjang
menaikkan kelas UMKM melalui UU Cipta Kerja. Kementerian Koperasi dan UKM
(2022) menyatakan bahwa kemampuan UMKM berkontribusi sebesar 60,51% bagi
PDB, menyerap 96,92% tenaga kerja, serta menyumbang 15,65% ekspor non migas.
Jika dilihat dari jumlah usaha yang ada di Indonesia, 99% didominasi oleh UMKM, yaitu
sebesar 64,2 juta pelaku usaha.

Khusus di bidang transformasi digital, pemerintah telah menyusun Peta Jalan


Indonesia Digital 2021-2024 yang disusun untuk mendukung visi Indonesia Emas
2045. Tujuan dari peta jalan tersebut secara garis besar adalah memberikan
penjelasan mengenai arah kebijakan, implementasi atau pelaksanaan, serta target
capaian dalam mempercepat akselerasi transformasi digital Indonesia.

Pemerintah mengakui bahwa terdapat beberapa masalah utama yang menjadi


tantangan digitalisasi di Indonesia diantaranya yaitu peningkatan konektivitas digital
dan literasi digital (Kemenkominfo, 2022). Khusus di bidang keuangan, konektivitas
digital menjadi hal penting dalam membangun ekosistem digital. Sejak pandemi,
tidak dapat dipungkiri bahwa adopsi digital semakin merubah arah industri
keuangan di Indonesia menjadi serba digital. Sejalan dengan itu, beberapa
perusahaan memulai membangun ekosistem keuangan digitalnya.

Meningkatnya digitalisasi di Indonesia menimbulkan permasalahan tambahan. Hal


ini diakibatkan karena tingkat literasi digital di masyarakat Indonesia belum
memadai. Menurut Kemenkominfo (2022), indeks literasi digital 2021 telah meningkat
dari 3,46 di 2020 menjadi 3,49 dengan skala 1-5. Dari survei tersebut ditemukan bahwa
budaya digital (digital culture) mendapatkan skor tertinggi, 3,90. Etika digital (digital
ethics) memiliki skor 3,53 dan kecakapan digital (digital skill) sebesar 3,44.
Selanjutnya, keamanan digital (digital safety) mendapat skor terendah, sebesar 3,10.
Rendahnya literasi keamanan digital di Indonesia mengindikasikan bahwa tingkat

172
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

pemahaman dan kesadaran terhadap potensi kejahatan dalam transaksi digital


masih perlu ditingkatkan. Sejalan dengan hal tersebut, permasalahan infrastruktur
keamanan digital juga perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan.
Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN 2022), selama periode 1 Januari sampai
dengan 18 Oktober 2022, BSSN mencatat lebih dari 893 juta anomali trafik atau usaha
yang mencurigakan yang menginfeksi keamanan siber di Indonesia.

2. Pembahasan

2.1. Open Finance

Menurut laporan eConomy SEA 2022 (Google, Temasek, dan Bain &
Company), terlepas dari hambatan ekonomi makro, ekonomi digital tetap berada di
jalur untuk mencapai sekitar $200 miliar dalam nilai barang dagangan bruto (GMV)
pada tahun 2022. Faktanya, angka tersebut mencapai level tiga tahun lebih awal dari
yang e-Conomy SEA perkirakan dalam laporan e-Conomy SEA 2016. Adopsi digital
terus meningkat bahkan hingga hari ini, meskipun dengan kecepatan yang lebih
lambat daripada akselerasi tajam yang terlihat pada puncak pandemi.

Dalam era teknologi informasi, Indonesia dapat menyoroti tiga hal utama yang
berkaitan dengan efek positif teknologi informasi dan komunikasi pada
pertumbuhan ekonomi, yaitu (i) mendorong inovasi dan penyerapan teknologi; (ii)
meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya; dan (iii) mengurangi biaya produksi
(Yogaswara, 2015). Dalam hal efisiensi alokasi sumber daya, teknologi informasi dan
komunikasi dapat menyediakan sektor bisnis alat yang lebih efisien dan efektif untuk
riset pasar, komunikasi dengan pelanggan dan pemasok. Dengan memperdalam
penetrasi teknologi informasi dan komunikasi akan meningkatkan rata-rata kinerja
bisnis perusahaan, dan akibatnya akan memiliki dampak positif pada pertumbuhan
ekonomi.

Di bidang keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator telah


memfasilitasi berbagai inovasi keuangan digital. Hal ini dibuktikan dengan berbagai
stimulus regulasi yang ditetapkan oleh OJK dalam mengakomodir penggunaan
teknologi informasi di sektor keuangan, seperti dukungan kepada bank digital,
penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh bank
umum maupun oleh lembaga jasa keuangan non-bank, ketentuan baru mengenai
fintech P2P lending sebagai lembaga jasa keuangan lainnya, adanya sandbox
regulatory bagi inovasi keuangan digital, dan berbagai stimulus lainnya.

Industri keuangan terus berkembang dalam mengadopsi teknologi informasi.


Industri telah memulai proses digitalisasi sektor jasa keuangan. Hal ini juga ditandai

173
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dengan semakin banyaknya kerja sama pengembangan bisnis berbasis teknologi


informasi baik antar sektor jasa keuangan maupun dengan non sektor jasa keuangan
untuk dapat meningkatkan perluasan pasar. Kerja sama tersebut mencakup adanya
pertukaran data yang riskan terhadap potensi kebocoran data.

Kerja sama berbasis open API yang marak dimulai oleh perbankan memunculkan
istilah open banking. Era perkembangan teknologi informasi mendorong perluasan
kerja sama tersebut dilakukan oleh sektor jasa keuangan yang lain dan diistilahkan
menjadi open finance. Kerja sama pada ekonomi digital diprediksi memiliki nilai
ekonomi yang terus meningkat.

Gambar 2. Ilustrasi Open Finance dan Potensi Cyber Attack

Sumber: diolah.

Dalam kerja sama open finance, terdapat potensi adanya cyber attack berupa
pengambilan berbagai data. Data tersebut diantaranya berupa database perusahaan,
jaringan, aplikasi, dan juga data server yang dapat merugikan perusahaan maupun
pengguna sebagai pemilik data. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus
menyadari perlunya keamanan digital yang memadai agar dapat memitigasi potensi
ancaman siber.

Di Indonesia telah terdapat standar mengenai sistem manajemen keamanan


informasi (SNI: 27001) yang diakui. Upaya keamanan yang dilakukan sesuai standar

174
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

SNI: 27001 dapat membuat sistem tidak mudah bocor, dicuri, dan disalahgunakan.
Namun demikian, belum terdapat kebijakan khusus sebagai pedoman penerapan
pengamanan digital yang terstandar berkaitan dengan penerapan sistem
manajemen keamanan informasi tersebut bagi seluruh pelaku industri dalam rangka
penyelenggaraan usaha berbasis teknologi informasi. Di sisi lain, sumber daya
manusia yang handal dalam pengamanan data (misalnya keahlian kriptografi) masih
menjadi keterbatasan di Indonesia. Dari berbagai startup yang telah bertumbuh
besar di Indonesia, sumber daya manusia utama di bidang teknologi informasi masih
banyak menggunakan sumber daya manusia berasal dari luar negeri.

2.2. Waspada Kejahatan Internet

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang
dilakukan oleh OJK menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia
sebesar 49,68 persen, naik dibanding tahun 2019 yang hanya 38,03 persen. Sementara
indeks inklusi keuangan tahun 2022 mencapai 85,10 persen meningkat dibanding
periode SNLIK sebelumnya di tahun 2019 yaitu 76,19 persen. Pada tahun 2022 khusus
di sektor financial technology (fintech), tingkat literasi keuangan berada pada angka
10,90% dengan tingkat inklusi keuangan hanya sebesar 2,56%.

Kecilnya tingkat inklusi keuangan di sektor fintech mengindikasikan bahwa


masyarakat di Indonesia belum memiliki akses yang baik terhadap layanan fintech
yaitu hanya 2,56% yang telah mengakses layanan fintech. Selain itu, tingkat
pemahaman terhadap layanan fintech juga masih sangat rendah yaitu 10,90%
masyarakat Indonesia yang memahami terhadap manfaat dan risiko layanan fintech.
Hal ini dapat menyebabkan masyarakat di Indonesia memiliki tingkat kerentanan
terhadap kejahatan internet/mobile banking. Beberapa modus yang sering
digunakan diantaranya:

a. Pharming:
Penipu atau hacker melakukan pengalihan dari situs yang sah ke situs palsu tanpa
diketahui dan disadari oleh korban. Kemudian mengambil data yang dimasukkan
oleh korban sehingga masuk ke dalam area yang menjadi permainan penipu
tersebut.

b. Phishing:

Tindakan memperoleh informasi pribadi seperti user ID, PIN, nomor rekening
bank/ nomor kartu kredit secara tidak sah. Informasi ini kemudian dimanfaatkan
untuk mengakses rekening, melakukan penipuan kartu kredit atau memandu

175
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

nasabah untuk melakukan transfer ke rekening tertentu dengan iming-iming


hadiah.

c. Spoofing:

Menggunakan perangkat lunak untuk menutupi identitas dengan menampilkan


alamat email/nama/nomor telepon palsu di komputer. Dengan menampilkan
identitas palsu korban merasa berurusan dengan pebisnis terkemuka.

d. Sniffing:
Pekerjaan menyadap paket data yang lalu-lalang pada jaringan.

e. Keylogger:

Penggunaan software yang dapat menghafal tombol keyboard yang digunakan


tanpa diketahui oleh pengguna atau korban.

Dengan semakin berkembangnya fintech, berdasarkan data OJK (2022), beberapa


modus yang sering digunakan dalam kejahatan pada fintech diantaranya:

a. Pencurian dan Penyalahgunaan Data Pribadi

Aplikasi memiliki akses berlebihan terhadap data pengguna pada smartphone.


Akses berlebihan data pribadi cenderung disalahgunakan untuk kepentingan
lain seperti modus penawaran produk/jasa lain serta profiling identitas.

b. Penyebaran Data Pribadi

Data pribadi yang diakses disebarkan kepada orang lain, misalnya dalam
rangka penagihan pinjaman macet.

c. Penggunaan Identitas Palsu

Data pribadi milik orang lain digunakan untuk mengakses produk/jasa tanpa
seizin orang tersebut yang berdampak pada kerugian materi.

Berbagai modus kejahatan internet/mobile banking menimbulkan permasalahan


yang harus dimitigasi oleh pemangku kepentingan. Penguatan penggunaan
teknologi pengamanan informasi (kriptografi) dan peningkatan literasi serta inklusi
keuangan digital menjadi tantangan pemangku kepentingan di Indonesia.

176
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Kesimpulan

Penggunaan teknologi informasi dalam kerja sama sektor jasa keuangan (open
finance) semakin berkembang di Indonesia dan memberikan kebermanfaatan bagi
kontribusi perekonomian. Namun demikian, terdapat risiko adanya ancaman siber
berupa pengambilan berbagai data dalam open finance. Pemangku kepentingan
harus menyadari perlunya keamanan digital yang memadai agar dapat memitigasi
potensi ancaman siber.

Indonesia memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan di sektor fintech yang masih
sangat rendah. Selain itu, indeks literasi digital di Indonesia juga masih perlu
ditingkatkan sehingga masyarakat dapat memiliki kesadaran terhadap keamanan
digital. Belum baiknya tingkat pemahaman masyarakat terhadap layanan digital atau
fintech dapat menyebabkan masyarakat menghadapi kejahatan internet/mobile
banking yang masih rentan.

Berdasarkan informasi pada bab pembahasan, kami merekomendasikan hal-hal


sebagai berikut:

1. Pemerintah dapat menyediakan regulasi yang lebih baik dalam penerapan


teknologi pengamanan digital. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai
teknologi pengamanan informasi belum diatur secara jelas, khususnya standar
penerapan oleh pelaku usaha. Selain itu, pemerintah atau penegak hukum juga
perlu memiliki tools yang legal untuk dapat membuka sandi.

2. Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (Undang-Undang Nomor


27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi). Namun demikian, diperlukan
tindak lanjut agar seluruh elemen masyarakat dapat memastikan peningkatan
keamanan dan memitigasi penyalahgunaan data pribadi. Para pelaku usaha
digital khususnya wajib memenuhi (compliance) penggunaan data pribadi sesuai
UU Perlindungan Data Pribadi.

3. Pengembangan bisnis digital dan fintech di Indonesia masih tumbuh secara


masif sehingga menuntut keamanan transaksi dan data pribadi yang kuat.
Pemerintah harus mendorong adopsi terhadap produk pengamanan transaksi
digital dan data pribadi harus dapat terjangkau oleh para pelaku usaha digital.
Potensi ekonomi digital dan pangsa pasar sangat besar di Indonesia dan terus
berkembang. Teknologi pengamanan informasi dapat menjadi tools
pengamanan transaksi baik transaksi keuangan dan transaksi lainnya dalam
ekosistem.

177
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

4. Tingkat literasi dan inklusi digital atau fintech yang dimiliki oleh masyarakat
masih rendah dan mayoritas masyarakat belum memiliki sense of digital safety
serta memahami terhadap risiko layanan fintech. Pemerintah dan seluruh
pemangku kepentingan perlu menginisiasi program peningkatan literasi dan
inklusi nasional secara terukur.

178
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Referensi:

Badan Pusat Statistik. (2022). Berita Resmi Statistik. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Retrieved November 7, 2022

Badan Siber dan Sandi Negara. (2022). Today and Tomorrow's Cybersecurity Talent:
Issues and Challenges. Seminar Nasional Rangkaian Global Cybersecurity
Awareness Month. Depok.

Google, Temasek, dan Bain & Company. (2022). e-Conomy SEA. Singapore: Google,
Temasek, dan Bain & Company.

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2021, September 9). Maksimalkan


Potensi Ekonomi dengan Teknologi Digital. Retrieved from Berita
Pemerintahan Kementerian Komunikasi dan Informatika:
https://www.kominfo.go.id/content/detail/36914/maksimalkan-potensi-
ekonomi-dengan-teknologi-digital/0/berita

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2022, Januari 20). Budaya Digital


Membaik, Indeks Literasi Digital Indonesia Meningkat. Retrieved from Siaran
Pers Kementerian Komunikasi dan Informatika:
https://www.kominfo.go.id/content/detail/39488/siaran-pers-no-
15hmkominfo012022-tentang-budaya-digital-membaik-indeks-literasi-digital-
indonesia-meningkat/0/siaran_pers

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2022, Maret 23). Kominfo Beberkan


Enam Arah Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024. Retrieved from Direktorat
Jenderal Aplikasi Informatika: https://aptika.kominfo.go.id/2022/03/kominfo-
beberkan-enam-arah-peta-jalan-indonesia-digital-2021-2024/

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2022, April 28). Menkominfo Jelaskan 3


Isu Prioritas Terkait Ekonomi Digital di DEWG G20. Retrieved from Isu Aptika
Kementerian Komunikasi dan Informatika:
https://aptika.kominfo.go.id/2022/04/menkominfo-jelaskan-3-isu-prioritas-
terkait-ekonomi-digital-di-dewg-g20/

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2021, Oktober 28). Pemerintah


Dorong UMKM Perempuan Maksimalkan Potensi Melalui Digitalisasi dan
Sertifikasi Halal. Retrieved from Siaran Pers:
https://ekon.go.id/publikasi/detail/3408/pemerintah-dorong-umkm-
perempuan-maksimalkan-potensi-melalui-digitalisasi-dan-sertifikasi-halal

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2021, Mei 5). UMKM Menjadi Pilar
Penting dalam Perekonomian Indonesia. Retrieved from Siaran Pers:
https://ekon.go.id/publikasi/detail/2969/umkm-menjadi-pilar-penting-dalam-
perekonomian-indonesia

Kementerian Koperasi dan UKM. (2022, Agustus 12). Potret UMKM Indonesia: Si Kecil
yang Berperan Besar. Retrieved from Kemenkop UKM SMESTA:

179
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

https://smesta.kemenkopukm.go.id/potret-umkm-indonesia-si-kecil-yang-
berperan-besar/

Otoritas Jasa Keuangan. (2022, November 24). Booklet Survei Nasional Literasi dan
Inklusi Keuangan 2022. Retrieved from Publikasi Otoritas Jasa Keuangam:
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Booklet-Survei-
Nasional-Literasi-dan-Inklusi-Keuangan-Tahun-2022.aspx

World Bank. (2018). Data. Retrieved from World Bank:


https://data.worldbank.org/country/indonesia

Yogaswara, A. (2015, Maret 26). Peranan Teknoloi Informasi dan Komunikasi (TIK)
dalam Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Berkembang. Retrieved
from Pusat Pendidikan & Pelatihan Industri Kementerian Perindustrian:
http://pusdiklat.kemenperin.go.id/www/informasi/artikel-umum/artikel-
nasional/512-peranan-teknologi-informasi-dan-komunikasi-tik-dalam-
pertumbuhan-ekonomi-di-negara-negara-berkembang.html

180
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Tris Yulianta

Penulis saat ini diberi amanah sebagai Direktur Pengaturan, Perizinan, dan
Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan. Sebelumnya, pernah
ditempatkan di Kantor OJK Kalimantan Selatan, Departemen Perizinan dan Informasi
Perbankan, Departemen Pengawasan Bank – Pemeriksa Spesialis TI, Departemen
Penelitian dan Pengaturan Perbankan, dan Grup Inovasi Keuangan Digital di Otoritas
Jasa Keuangan. Penulis mengawali karir di Bank Indonesia dan pernah ditempatkan
pada beberapa posisi di berbagai satuan kerja, yaitu Biro Pengawasan Bank Swasta
Devisa dan Bank Asing, Departemen Pemeriksaan Bank, Departemen Pengawasan
Bank, Departemen Pengawasan Bank – Pemeriksa Spesialis TI, Departemen Perizinan
dan Informasi Perbankan, dan Pengawas Bank Kantor Regional Kalimantan Selatan.

181
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
MENUJU KEDAULATAN TEKNOLOGI PERANGKAT
TELEKOMUNIKASI NASIONAL
Yovita Bellina Lim & Sjamsudin Ali
Bidang Perangkat Nasional (RANGKATNAS)

Abstrak- Industri perangkat nasional khususnya telekomunikasi dan telematika di


Indonesia kondisinya cukup memprihatinkan. Di mana, kandungan lokal perangkat
telekomunikasi dan telematika masih terbatas. Fakta bahwa ketergantungan
teknologi perangkat telekomunikasi yang masih cukup tinggi terhadap industri
telekomunikasi luar negeri menyebabkan suatu permasalahan yang secara
signifikan mempengaruhi situasi industri perangkat telekomunikasi dalam negeri.
Sehubungan dengan hal tersebut, analisis pengambilan keputusan strategis
keamanan nasional jangka menengah dan jangka panjang diperlukan dalam
rangka mencapai target hilirisasi teknologi perangkat telekomunikasi nasional.

1. Latar Belakang

Secara berturut-turut, konflik bersenjata antar negara adidaya, perang dagang,


pandemi Covid-19, serta krisis teknologi menerpa dunia. Ketergantungan teknologi
yang masih cukup tinggi satu sama lain menyebabkan masalah di suatu tempat di
dunia mempengaruhi belahan dunia lain tanpa dapat dicegah.

Industri perangkat nasional, khususnya telekomunikasi dan telematika di Indonesia,


hingga kini masih mengandalkan impor dalam jumlah besar. Keadaan ini
menyebabkan Indonesia mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap luar
negeri dari sisi teknologi. Ketergantungan yang tinggi ini akan secara terus-menerus
merongrong kedaulatan teknologi dan keamanan nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu analisis pengambilan keputusan


strategis keamanan nasional jangka menengah dan jangka panjang.

Salah satu visi pembangunan jangka panjang Indonesia 2020-2025 adalah


mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dengan mengedepankan pembangunan
sumber daya manusia berkualitas, meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan
IPTEK melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan menuju inovasi secara
berkelanjutan.

Untuk mendorong pengembangan dan penguatan riset inovasi nasional tersebut,


maka telah dikeluarkan sejumlah kebijakan, antara lain Undang-Undang Nomor 11

183
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Tahun 2019 tentang Sistem Nasional IImu Pengetahuan dan Teknologi, yang
mengamanatkan bahwa pemerintah wajib menjamin pemanfaatan hasil penelitian,
pengembangan, pengkajian, dan penerapan dalam bentuk invensi dan inovasi untuk
pembangunan nasional. Sejalan dengan itu, di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, terdapat amanat untuk
mentransformasi perekonomian Indonesia menjadi perekonomian yang berbasis
pengetahuan, teknologi dan inovasi. Riset dan Inovasi menjadi salah satu kunci
penting yang dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional,
penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Situasi Industri Perangkat Telekomunikasi Nasional

Industri telekomunikasi dapat dibagi menjadi empat bagian, yang dapat


diilustrasikan ke dalam filosofi DNA (Device, Network, Application) sebagaimana yang
dijelaskan di dalam Gambar 1. Keempat bidang ini memiliki peluang dan tantangan
masing-masing, meskipun masih terkait dalam satu kesatuan.

Gambar 1. Filosofi DNA


Devices (Perangkat) adalah fondasi dasar dari keberadaan industri telekomunikasi.
Devices menjadi building block dari Network, begitu pula OS/Platform yang berjalan
di atas Devices. Selain itu, Devices juga diperlukan untuk menjalankan Applications
(Aplikasi). Keberadaan Devices sebagai inti dari keberadaan industri telekomunikasi
menjadi sangat krusial: industri manapun yang menguasai Devices akan menguasai
keseluruhan industri telekomunikasi.

Dalam kenyataan di lapangan, industri-industri lokal yang bertempat di Indonesia


lebih banyak yang bergerak di bidang Applications. Industri-industri lokal yang
bergerak di bidang Devices masih sangat terbatas, sehingga Indonesia masih lebih
banyak mengimpor perangkat dari luar negeri. Konsekuensinya, ketergantungan
terhadap perangkat maupun komponen luar masih cukup tinggi.

184
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Permasalahan, Tantangan, dan Tolak Ukur

Permasalahan umum yang terjadi dalam industri perangkat di Indonesia antara lain:

• Riset dan Pengembangan yang lebih tersegmentasi dan tidak holistik

Setiap pengembangan riset dan inovasi dalam membangun industri perangkat


nasional selalu membutuhkan modal yang besar, bersifat jangka panjang, serta
berisiko tinggi. Pada umumnya, industri lokal tidak memiliki permodalan yang cukup
besar untuk dapat bersaing dengan industri dari luar negeri.

Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) terhadap pertumbuhan


ekonomi nasional hanya mencapai 0,9% dari Total Pertumbuhan Ekonomi. Produk-
produk riset dan inovasi belum sepenuhnya dikomersialisasi, sehingga dikhawatirkan
menjadi “Valley of Death” bagi Riset dan Inovasi Produk. Hal itu terbukti dari masih
rendahnya skor Global Innovation Index (GII) Indonesia, yakni hanya ke-85 dari total
129 negara, atau posisi ke-7 di ASEAN.

Tak hanya itu, besar proporsi Dana Riset dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di
Indonesia termasuk masih rendah. Indonesia hanya menyumbang 0,24% dari PDB
untuk Dana Riset, sementara Singapura menyumbang 2,6%. Sementara itu, Korea
Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat menyumbang lebih besar dari 3% PDB mereka.
Terakhir, pendanaan kegiatan riset ini juga masih didominasi pemerintah. Di
Indonesia, 80% dana riset didanai oleh pemerintah, barulah sisanya pihak swasta yang
hanya menyumbang 20%. Hal ini berbanding terbalik dengan Singapura dan Korea
Selatan (Pemerintah: 20%, Swasta 80%).

Isu permasalahan kontribusi IPTEK ini perlu menjadi perhatian khusus ketika hendak
membangun industri nasional yang berinovasi tinggi.

• Human Capital yang Terbatas

Permasalahan permodalan yang terjadi tidak hanya berupa pendanaan (resource


capital) saja, tetapi juga modal manusia (human capital). Selain keterbatasan
pendanaan, akses terhadap modal manusia lokal yang menguasai teknologi
telekomunikasi dan telematika secara mendalam juga sangat terbatas. Para ahli
teknologi lokal ini jumlahnya terbatas di Indonesia, dan di antara mereka banyak yang
pada akhirnya bekerja di bidang lain yang tidak berhubungan langsung dengan
industri telekomunikasi dan telematika. Industri lokal tidak banyak yang
menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.

185
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Kurangnya sumber daya manusia yang unggul dan berpengalaman untuk berperan
sebagai tenaga-tenaga ahli di bidang telekomunikasi dan telematika menjadi
tantangan lain yang juga perlu diperhatikan di dalam membangun industri
perangkat.

• Industri Manufaktur yang masih CBU (Completely-Built Unit) atau SKD (Semi
Knocked-Down), masih minim sekali yang CKD (Completely Knocked-Down)

Nilai tambah suatu industri manufaktur dapat dideskripsikan sebagai suatu Smiling
Curve. Yakni, nilai tambah (value-added) dari suatu produk di sisi awal (di sisi
pengembangan/Development), lebih tinggi daripada nilai tambah di sisi perakitan
(Processing) maupun pengepakan (Distribution).

Gambar 2. Smiling Curve

Tren industri manufaktur perangkat lokal masih fokus kepada perakitan dan
pengepakan saja, di mana keduanya termasuk kegiatan yang memberikan nilai
tambah terendah dari suatu produk. Akibat akses yang terbatas terhadap teknologi
tinggi, banyak industri hanya menjalankan fungsi perakitan dan pengepakan yang
secara permodalan tidak terlalu membutuhkan akuisisi teknologi tinggi. Dengan
tidak dimilikinya akses ke teknologi tinggi, baik dari sisi pendanaan maupun dari sisi
modal manusia, maka industri manufaktur perangkat lokal tidak memiliki aspek yang
terpenting untuk memungkinkan industri lokal supaya dapat menjalankan
pemrosesan produk secara lengkap, yakni pemrosesan CKD (Completely Knocked-
Down).

Pada akhirnya, para pemain industri lokal berkompromi dengan hanya menjalankan
proses finalisasi produk-produk asing sebelum dijual ke pasar dalam negeri. Produk-
produk asing tersebut diimpor dalam bentuk produk utuh (Completely-Built Unit

186
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

atau CBU) atau dalam bentuk siap rakit (Semi Knocked-Down atau SKD). Untuk
produk CBU, bagian yang dapat dijalankan industri lokal adalah bagian pengepakan,
sementara untuk produk SKD, bagian yang dapat dijalankan adalah bagian perakitan
dan pengepakan.

• Supply Chain (Rantai Pasok) yang hampir tidak ada dan tidak adanya insentif
untuk menarik Supply Chain agar dapat Terbangun di Indonesia

Untuk dapat menyelenggarakan proses manufaktur lengkap dari hulu hingga sisi
hilir, diperlukan adanya kerjasama dan pembagian tugas antar pemain industri satu
sama lain, sehingga membentuk suatu ekosistem rantai pasok (supply chain). Rantai
pasok yang ideal memungkinkan masing-masing industri menjalankan perannya
dalam ekosistem untuk memasok barang-barang yang dibutuhkan oleh industri-
industri lainnya dari bahan mentah hingga ke barang jadi yang siap dipasarkan secara
lengkap.

Sayangnya di Indonesia, untuk industri manufaktur perangkat, ekosistem rantai


pasok yang lengkap seperti ini tidak mudah untuk diwujudkan. Keterbatasan
permodalan yang cukup menyebabkan sejumlah besar mata rantai penting dalam
suatu rantai pasok tidak cukup tersedia secara lokal, sehingga harus dipasok dari luar
negeri. Karena industri manufaktur lokal tidak banyak yang menjalankan
pemrosesan produk dari bahan baku hingga menjadi barang jadi (CKD), banyak
industri yang hanya menjalankan proses finalisasi produk seperti perakitan,
pengepakan, penyimpanan, atau distribusi.

Pada akhirnya, keterbatasan ekosistem rantai pasok lokal ini mengakibatkan


ketergantungan yang semakin besar dari luar negeri.

• Pengawasan TKDN yang Masih Belum Optimal

Dalam rangka mengurangi ketergantungan yang tinggi dan mempertahankan


kemandirian teknologi, dibentuk konsep Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Regulasi TKDN tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2018 tentang
Pemberdayaan Industri, serta Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 22 Tahun 2020
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam
Negeri Produk Elektronika dan Telematika. Setiap komoditas yang menjadi subjek
TKDN diwajibkan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam TKDN.

187
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Dalam pelaksanaannya, penerapan TKDN menemui banyak kendala di lapangan.


Implementasi roadmap TKDN masih belum dilaksanakan secara maksimal,
dikarenakan kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas.

4. Rekomendasi

Dalam rangka membangun industri perangkat di Indonesia yang lengkap, maka


dipandang perlu untuk memperhatikan hal-hal berikut :

• Peningkatan TKDN yang disertai dengan adanya pengawasan dan penegakan


hukum yang tegas dalam pelaksanaannya.

Pengawasan dan penegakan hukum yang jujur, tegas, dan ketat menjadi hal yang
sangat penting demi terselenggaranya fungsi TKDN dengan semestinya. Dengan
berjalannya fungsi TKDN dengan semestinya, maka dimungkinkan terjadi transfer
permodalan dari pihak-pihak luar yang dapat dimanfaatkan oleh industri lokal untuk
menjalankan kegiatan industri yang membutuhkan teknologi tinggi, terutama di
bidang manufaktur perangkat.

Selain itu, kegiatan TKDN juga perlu dievaluasi, dan jika memang disepakati sebagai
hal yang perlu, dimodifikasi secara berkala sambil mendengarkan masukan-masukan
dari pihak-pihak yang terkait, termasuk di antaranya kendala-kendala yang
dilaporkan di lapangan selama proses TKDN berlangsung.

• Program/kegiatan dengan prioritas peningkatan kemampuan dan inovasi di


bidang IPTEK, antara lain melalui penciptaan ekosistem inovasi.

Dengan menciptakan ekosistem inovasi yang kreatif dan progresif, diharapkan dapat
membantu merekrut bakat-bakat baru ke dalam industri, yang kemudian
diharapkan dapat berperan dalam mendukung kelancaran proses industri
manufaktur perangkat secara lokal di Indonesia.

Ketika pemerintah menyediakan insentif awal terhadap riset dan pengembangan


suatu produk, maka daur hidup suatu pengembangan produk akan mengikuti “Life
Circle Pengembangan Produk” seperti yang dideskripsikan pada Gambar 3.

188
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Gambar 3. Life Cycle Pengembangan Produk

Dengan tersedianya dukungan/investasi awal tersebut, maka akan muncul captive


market untuk menyerap hasil pengembangan produk. Penyerapan hasil
pengembangan produk ini akan mendorong terjadinya akselerasi pertumbuhan
industri, yang kemudian akan mendukung terjadinya inovasi untuk proses
pengembangan produk-produk baru. Sehingga, life cycle pengembangan produk
akan kembali berulang.

Oleh karena itu, maka peran pemerintah menjadi sangat penting dalam hal
pengembangan produk industri perangkat nasional, terutama di sisi awal, yakni riset
dan pengembangan. Akses pendanaan atau insentif sangat dibutuhkan di sisi riset
dan pengembangan produk (RnD) ini, karena dari hal inilah pembangunan industri
perangkat nasional dapat berkembang semakin luas dan melaju.

• Dukungan kebijakan untuk ekosistem inovasi melalui kebijakan baik dari sisi
permintaan (demand) maupun penawaran (supply).

Dengan ditetapkannya kebijakan di sisi permintaan, diharapkan supaya permintaan


dapat diarahkan untuk lebih mendukung produk-produk hasil riset dan teknologi
yang diselenggarakan di Indonesia. Kebijakan tersebut dapat berbentuk kewajiban
bagi calon-calon pengguna untuk mengutamakan pemesanan terhadap produk-
produk hasil riset dan pengembangan dalam negeri ketika suatu target pencapaian
(milestone) dari proses riset dan pengembangan tersebut telah tercapai. Selain itu,
pemerintah juga dapat berinisiatif untuk menjadi pihak pemesan utama dari produk-
produk tersebut hingga target penyerapan pasar tertentu telah tercapai, Kegiatan

189
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

pemesanan dari pemerintah tersebut dapat diskalakan dan dievaluasi dalam jangka
waktu tertentu hingga industri menjadi independen.

Begitu pula di sisi penawaran, diharapkan supaya bentuk-bentuk suplai produk di


pasar agar lebih banyak didominasi oleh produk-produk hasil riset dan teknologi
tersebut. Pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan dalam bentuk
kewajiban bagi calon-calon penjual produk-produk dalam negeri tersebut untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu (domestic market obligation)
atau dalam bentuk penghapusan dan pengenaan pajak yang berlaku.

• Percepatan hilirisasi/komersialisasi dan peningkatan kontribusi manfaat


produk riset dan inovasi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu kendala terbesar bagi bangsa Indonesia untuk dapat meningkatkan
kemandirian di sektor manufaktur perangkat adalah ketiadaan industri yang
menyelenggarakan kegiatan manufaktur CKD (Completely Knocked-Down)
sepenuhnya secara lokal.

Dengan mempercepat proses akuisisi teknologi tinggi yang memungkinkan


terjadinya hilirisasi produk-produk lokal, maka secara keseluruhan proses riset dan
produksi industri akan sudah lengkap tersedia secara lokal, sehingga kegiatan
manufaktur CKD dapat sepenuhnya terjadi secara lokal.

Dengan dimanfaatkannya produk-produk hasil riset dan inovasi teknologi tinggi yang
digunakan untuk menjalankan kegiatan manufaktur CKD tersebut, maka selain
memberikan manfaat bagi para pengguna produk, juga memberikan insentif
tersendiri bagi para pelaksana riset dan inovasi lokal untuk dapat terus dapat
berkarya dan terus berkontribusi dalam membangun industri nasional.

• Skema pembiayaan alternatif dari skema pembiayaan yang sudah ada.

Setiap kegiatan riset dan pengembangan produk membutuhkan akses ke


pendanaan, dan pendanaan ini perlu disediakan di awal mula kegiatan riset dan
pengembangan dilangsungkan (semisal pendanaan untuk Non-Recurring
Engineering/NRE), bukan ketika produk sudah dihasilkan.

Pendanaan dapat berbentuk fasilitas kredit yang berupa pinjaman lunak dari
lembaga-lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah dan lainnya dengan bunga
pinjaman yang diskalakan sesuai dengan derajat pencapaian (milestone) dari proses
riset dan pengembangan yang dilaporkan dari pengembang. Semakin tinggi
milestone yang dicapai, bunga pinjaman dapat diturunkan. Selain itu, kredit yang

190
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dibebankan tersebut dapat pula dipertimbangkan untuk dikonversi sebagian


menjadi hibah, sesuai dengan milestone yang telah dicapai.

Untuk memastikan itu semua berjalan dengan kejujuran dan tanggung jawab,
adalah juga perlu bagi pihak-pihak yang berwenang untuk juga melangsungkan
kegiatan pengawasan dan audit secara jujur, tegas, dan ketat.

Diharapkan tersedia metode-metode tambahan untuk menyediakan pendanaan


alternatif seperti ini, sehingga kegiatan-kegiatan riset dan inovasi lokal dapat
memiliki sumber-sumber penerimaan pendanaan yang lebih stabil, lebih aman, dan
lebih utuh.

• Perancangan Model Kerjasama Hilirisasi antara Industri – Pemerintah –


Akademisi (Triple Helix).

Pemerintah diharapkan dapat menciptakan ruang yang kondusif untuk mendukung


berlangsungnya kerjasama hilirisasi antara pihak industri, pihak akademisi, dan
pemerintah itu sendiri, dengan menyediakan peraturan-peraturan yang
mempermudah industri mengakuisisi teknologi tinggi yang diperlukan untuk
menjalankan kegiatan manufaktur CKD dalam rangka hilirisasi industri, serta
menyediakan akses bagi pihak akademisi untuk mempelajari dan mengembangkan
teknologi tinggi tersebut.

Di sisi lain, diharapkan pihak akademisi juga dapat menyediakan karya-karya ilmu
pengetahuan, riset dan teknologi (IPTEK) yang dapat digunakan untuk mendukung
inovasi industri. Bentuk kontribusi penerapan IPTEK tersebut dapat diilustrasikan
seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema Penerapan IPTEK

191
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Buah karya penelitian, pengembangan, dan/atau pengkajian yang dihasilkan akan


digunakan untuk mendukung proses alih teknologi, yakni ketika buah karya para
akademisi lokal ini dimanfaatkan untuk meng-upgrade, memperluas, atau
mensuplementasi keberadaan teknologi sebelumnya. Begitu pula di sisi intermediasi
teknologi, yakni ketika hasil-hasil invensi/inovasi IPTEK ini diperkenalkan kepada para
pengguna potensial, dan di sisi komersialisasi, yakni ketika industri menerima dan
mengimplementasikannya dalam bentuk kegiatan manufaktur dan pemasaran.
Terakhir, proses difusi IPTEK dengan mengintegrasikan buah karya IPTEK ini ke
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga manfaat nyata dari kerja keras
para akademisi ini dapat dirasakan oleh segenap masyarakat di tanah air.

Dalam rangka mewujudkan penerapan IPTEK tersebut, diperlukan kolaborasi produk


inovasi antara pihak industri dan pihak akademisi, dengan difasilitasi dan diregulasi
oleh pemerintah. Bentuk kolaborasi antara pihak industri dan pihak akademisi
tersebut dapat dijabarkan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Kolaborasi Industri – Akademisi

Untuk menjamin kelangsungan bentuk-bentuk kolaborasi produk inovasi tersebut,


adalah perlu bagi pihak-pihak terkait untuk menempatkan tujuan dan sasaran yang
disepakati bersama, menentukan kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam
menjalankan kolaborasi, serta menjabarkan kegiatan-kegiatan apa saja yang akan
dilaksanakan untuk mengimplementasikan bentuk kerja sama tersebut, yakni dari
awal penerapan hasil riset hingga dapat dihasilkan produk yang siap diproduksi
secara massal.

Selain itu, dibutuhkan juga skenario seleksi untuk menentukan skala prioritas produk
inovasi. Yakni, produk mana yang perlu diutamakan untuk dikembangkan lebih

192
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

lanjut oleh akademisi serta produk mana yang perlu segera masuk dan diolah ke
dalam industri, dan juga sebaliknya. Setelah itu, produk-produk inovasi yang terpilih
tersebut akan ditentukan berapa anggaran yang dibutuhkan, serta menuju segmen
pasar mana produk akan diperkenalkan.

Setelah seluruh skenario tersebut telah dijabarkan, maka pihak akademisi dapat
diarahkan untuk secara berkala menyediakan human capital dalam jumlah tertentu
sesuai milestone yang sudah ditentukan sebelumnya untuk diserap, serta pihak
industri dan pemerintah untuk menyediakan resource capital dalam jumlah yang
sudah disepakati untuk mendanai proses riset dan pengembangan yang telah
direncanakan tersebut. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan insentif bagi
pihak akademisi yang mengutamakan untuk berkreasi di dalam negeri.

• Pembuatan Roadmap Industri yang bersifat Jangka Pendek, Menengah dan


Panjang yang disertai adanya pemantauan dalam implementasi nyata.

Untuk dapat mewujudkan terjadinya hilirisasi tersebut, maka diperlukan


perencanaan yang matang dalam bentuk roadmap industri, yang melingkupi
roadmap jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Ketika roadmap industri tersebut sudah cukup matang dilakukan, maka proses
pelaksanaannya juga perlu untuk diawasi agar tidak menyimpang dari rencana-
rencana semula.

• Mengubah Mindset (Pola Pikir) untuk berani mengadopsi teknologi terbaru.

Harus ada keberanian untuk mengubah mindset yang sebelumnya “tidak gegabah”
berubah menjadi “berani berubah”. Dengan mengubah paradigma untuk berani
terjun dan mengadopsi teknologi-teknologi terbaru, maka akan ada keberanian
untuk menerima fakta bahwa pakem-pakem lama harus ditinggalkan dan diganti
dengan yang baru. Teknologi terbaru yang sudah terbukti bermanfaat di luar negeri
perlu sesegera mungkin diadopsi, serta dilakukan riset, pengembangan, dan
implementasi di Indonesia.

193
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

5. Kesimpulan

• Riset dan pengembangan harus diutamakan, dalam rangka mempercepat


hilirisasi industri dan peningkatan value added yang lebih tinggi.

• Perlu ada perubahan Mindset (Pola Pikir) untuk berani mempelajari teknologi
terbaru dan meninggalkan yang lama.

• Perlu ada bentuk kerjasama percepatan hilirisasi antara Industri – Pemerintah –


Akademisi yang komprehensif di bidang inovasi IPTEK.
• Perlu ada bentuk Roadmap Industri yang bersifat jangka pendek, menengah dan
panjang.

• Pengawasan TKDN perlu diterapkan dengan ketat agar tidak menyimpang dari
rencana semula.

194
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Sjamsuddin Ali, B.Sc. ECE., M.B.A.


Penulis menjabat sebagai Wakil Ketua DPH Rangkatnas Mastel periode 2021-2024.
Founder TSM Technologies dan founder dari PT. Intersys Indonesia ini juga
pernah menjabat sebagai Executive V.P. di sejumlah perusahaan teknologi di
Amerika Serikat selama lebih dari 23 tahun. Kini, penulis menjadi salah satu praktisi
pada tim ahli Gugus Tugas (Task Force) Penyiapan Kebijakan Implementasi 5G dari
Unsur Praktisi Bidang Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi, Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

dr. Yovita Bellina Lim

Penulis menjabat sebagai Ketua DPH Rangkatnas Mastel periode 2021-2024.


Penulis menjadi Co-founderdari perusahaan teknologi TSM Technologies, founder dari
perusahaan teknologi finansial PT. Tata Sarana Makmur, dan founder dari perusahaan
teknologi Kesehatan PT. Sure Teknologi Indonesia. Penulis kini menjabat sebagai
Ketua Umum Asosiasi Pengembang dan Produsen Perangkat Seluler Indonesia. Tak
hanya itu, penulis kini menjadi salah satu praktisi pada tim ahli pada Gugus Tugas
(Task Force) Penyiapan Kebijakan Implementasi 5G dari Unsur Pabrikan Perangkat
Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

195
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
MENUJU ‘NATIONAL IN-HOUSE APPLICATIONS’
MELALUI PENINGKATAN TKDN
DAN PEMBERDAYAAN E-KATALOG
Djarot Subiantoro & Ashari Abidin
Bidang Aplikasi/Platform Nasional (PLATFORMATIKA)

Abstrak - Aplikasi sebagai unsur utama dalam sistem layanan digital yang
menjembatani langsung komunikasi dan interaksi dengan pengguna layanan;
mengalami perkembangan pesat mengikuti perkembangan teknologi dan
'business model', memerlukan penyesuaian berkelanjutan untuk mendukung
perkembangan organisasi/usaha. Implementasi aplikasi menuntut pemahaman
mendalam terhadap 'business process' dan teknologi, sehingga diperlukan tim
pengembang, operasi dan pemeliharaan, yang senantiasa siap mendukung
perubahan. Tantangan utama di kementerian dan lembaga pemerintah adalah
sistem pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), yang konstan dimutasikan
sehingga mengurangi kelahiran spesialis-spesialis yang andal. Penerapan cara
khusus seperti DTO (Digital Transformation Organization) di Kemenkes, Organisasi
Bayangan di Kemendikbud mungkin dapat menjawab tantangan namun juga
menimbulkan permasalahan terkait sistem penganggaran. Untuk
dipertimbangkan: pembentukan Badan Layanan Unit (BLU), yang di bawah
kendali pemerintah, dapat mempertahankan SDM spesialis, serta menjangkau
SDM lebih luas dari industri digital.

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang

Kondisi aplikasi TIK di pemerintahan memerlukan penanganan dan solusi yang


komprehensif dan tepat guna. Dalam hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani
mengutarakan kekecewaan atas kementerian yang mempunyai 24.000 aplikasi,
tetapi tidak semua beroperasi. Saat ini pemerintah mempunyai lebih dari 400.000
aplikasi. Bahkan setiap kementerian/lembaga memiliki 24.000 aplikasi, yang tidak
semuanya bisa dioperasikan. Kemudian setiap lembaga itu mempunyai 2.700
database sendiri-sendiri. Pemerintah saat ini tengah menginisiasi kebijakan untuk
membuat e-government. Sehingga, nantinya aplikasi dan kebijakan antar
kementerian dan lembaga akan saling terhubung. Jadi disebut intergovernmental
connection maupun penggunaan aplikasi, sehingga tidak setiap orang
(kementerian/ lembaga) membuat aplikasi sendiri-sendiri yang tidak interoperable,
tetapi mereka akan lebih terkordinasi.

197
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Digitalisasi di lingkungan pemerintah memberikan banyak manfaat bagi keuangan


negara. Sehingga, belanja barang seperti alat tulis kantor (ATK) mengalami
penurunan. Sementara belanja internet justru meningkat. Meski demikian,
pemerintah akan tetap menerapkan keamanan data untuk menerapkan e-
government. Beberapa kali beberapa site pemerintah juga terkena serangan hack,
faktor cybersecurity menjadi sangat penting," Menteri Komunikasi dan Informatika
(Menkominfo) Johnny G. Plate merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani
yang menyebut saat ini ada sekitar 24.000 aplikasi di kementerian/ lembaga dan
tidak semuanya beroperasi ini dinilai hanya menghabiskan anggaran negara.
Menkominfo mencatat ada 24.400 aplikasi di kementerian/ lembaga, termasuk di
pemerintah daerah (pemda). Dia pun mengakui bahwa banyak aplikasi di
kementerian/ lembaga sangat tidak efisien. Selanjutnya Kominfo akan menutup
seluruh aplikasi tersebut secara bertahap dan menggantinya dengan satu aplikasi
super lengkap (super apps) milik pemerintah. Saat ini pemerintah juga terus
menyiapkan aplikasi yang akan terintegrasi antar kementerian/ lembaga dan
Pemda. Hal ini, akan menghemat anggaran negara hingga puluhan triliun rupiah.

Dari Semuel Pangerapan DirJen Aptika: "Kami sedang membahas di dalam


pemerintahan, konsepnya GovTech. Nanti semua tenaga IT di Kementerian
Lembaga masuk ke sini. Dan kami akan masukkan tenaga IT dari luar pemerintah.
Ini nanti yg mengurus SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik)."

Tidak seperti unsur TIK yang lain, infrastruktur hardware, system software, tools yang
bersifat dan menjalankan fungsi yang tertentu, tetap dan konstan, Aplikasi bersifat
lebih cair dan fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan operasi/ bisnis. Kebutuhan
tersebut berkembang dari waktu ke waktu sehingga memerlukan penyesuaian atau
upgrade dari waktu ke waktu. Pengembangan aplikasi juga menuntut metoda dan
proses yang tepat, dengan tenaga ahli yang sesuai, kombinasi antara bisnis dan
teknologi yang digunakan, melibatkan pemahaman kebutuhan pengguna dan
framework yang sanggup mendukung dan berorientasi ke masa depan. Dalam
metoda dan prosesnya ada dua siklus yang umum digunakan, sesuai dengan
karakteristik, ketersediaan SDM dan jangka waktu yang disediakan, yaitu Waterfall
dan Agile.

198
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

1.2. Identifikasi Masalah/Potensi Masalah/Peluang/Potensi Peluang (potensi


dapat diartikan belum ada indikasi/bunyi yang mengarah kepada hal
tersebut)

Isu dalam Pengembangan Industri Perangkat Lunak Indonesia antara lain,


keterlibatan pemerintah dalam industri piranti lunak. Peran pemerintah dalam

199
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

mendorong pertumbuhan industri perangkat lunak harus ditingkatkan, terutama


dalam aspek perlindungan terhadap software developer dalam negeri. Dibutuhkan
kebijakan afirmasi pemerintah yang mengatur penanggulangan atas tindak
pembajakan software, mengingat piracy rates Indonesia mencapai 83%.

Isu yang kedua yaitu, sarana penghubung (marketplace platform) user dengan
pengembang. Kebutuhan user sulit ditangkap secara komprehensif oleh developer
akibat belum terdapatnya platform yang menghubungkan secara efektif antara
user dengan developer. Maka dari itu dibutuhkan infrastruktur pendukung bagi
software developer dalam mengidentifikasi kebutuhan software di pasar dan
perkembangan teknologi global.

Isu yang ketiga yaitu, keterbatasan pengetahuan software development, kurangnya


pengetahuan mengenai standard method dan tata kelola agile computing,
sehingga software yang dihasilkan belum memiliki keunggulan kompetitif yang
signifikan. Pergerakan teknologi yang dinamis juga menuntut developer untuk
selalu aktif dalam mempelajari trend perkembangan software development terkini.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian

• Menyusun pendekatan yang sesuai sebagai solusi bagi kebutuhan aplikasi bagi
sektor pemerintah, yang terstruktur dan tepat guna, dari segi pemenuhan
kebutuhan secara fungsi, waktu dan keterkaitan satu sama lain dalam konteks
yang lebih luas.

• Penyediaan organisasi dengan SDM yang efektif

• Proses kerja secara terintegrasi namun dengan tetap menjawab kebutuhan unik
dari tiap-tiap organisasi

• Sistem penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan aplikasi


yang kadang-kadang perlu multi-year dan pengembangan dan pemeliharaan
terus menerus.

200
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2. Kajian Praktik Empiris dan Teoritis

2.1. Kajian Pelaksanaan di Lapangan dan Empiris

2.1.1. Building Blocks Industri Software/ Internet Indonesia

Status Building Blocks Industri saat ini berada di fase ‘Venture Capital firms
specializing in Technology/ Internet, lalu beranjak menuju ke fase ‘ Alliance with
Global IT Products To “WEBIFY” Local Industries, kemudian diperlukan standar dan
sertifikasi kompetensi semacam CMMi (Capability Maturity Model integration) di
tingkat nasional. Pada tahun 2009 pernah diperkenalkan KIPI (Kematangan Industri
Piranti Lunak Indonesia) yang mengadopsi CMMi, menyesuaikan dengan
kebutuhan dan keunikan lokal.

201
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Status Strategi Pengembangan saat ini di bidang SDM; terdapat 400+ perguruan
tinggi yang mengembangkan jurusan TIK – tergabung dalam Aptikom, dengan
jumlah lulusan 35 ribu per tahun. Di bidang Infrastruktur Fisik: kelanjutan
pengembangan Palapa Ring – menyediakan jaringan pita lebar ke seluruh
kepulauan Nusantara. Penyediaan jaringan wireless dan satelit baik secara kapasitas
maupun pemanfaatan teknologi-teknologi mutakhir di bidang jaringan pita lebar.
Di bidang Kebijakan – percepatan kebijakan berupa bentuk-bentuk UU, PP maupun
PM yang menunjang pertumbuhan dan pengembangan pendayagunaan TIK. Di
bidang Pemanfaatan: mendorong inovasi dan peluang monetasi industri TIK di
Indonesia, mendukung efisiensi, efektivitas dan produktivitas dunia usaha,
pendidikan maupun hiburan.

2.1.2. e-Katalog

Merencanakan kerja sama dengan Kemenparekraf melengkapi kategori aplikasi


sesuai KBLI terkait. Status dari e-Katalog adalah etalase aplikasi/software telah
tersedia dalam e-Katalog mulai 12 Agustus 2022. Untuk tindak lanjut yang akan
dilakukan adalah memantau progres pemasukan data aplikasi dan melanjutkan
sosialisasi, termasuk penentuan tingkat TKDN aplikasi terdaftar.

202
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

E-Katalog merupakan aplikasi atau platform belanja online yang dikembangkan


oleh LKPP. LKPP sendiri merupakan lembaga non departemen yang bertugas
menyusun regulasi dan kebijakan terkait penyedia barang/jasa yang diperlukan oleh
instansi pemerintahan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang
terdaftar dan terakreditasi.

Melalui platform e-Katalog, LKPP juga memberikan peluang seluas-luasnya kepada


pelaku usaha di Indonesia untuk turut menjadi penyedia dan menawarkan barang-
barang yang dibutuhkan oleh instansi pemerintah.

Katalog elektronik (e-Katalog) LKPP ini telah diatur oleh Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Jenis-Jenis Katalog pada E-Katalog LKPP

Pada e-Katalog LKPP, terdapat tiga jenis katalog yang perlu kita ketahui sebagai
penyedia, antara lain; Katalog Elektronik Nasional, Katalog Elektronik Sektoral, dan
Katalog Elektronik Lokal.

Katalog Elektronik Nasional adalah katalog elektronik yang dikelola oleh LKPP.
Kemudian, Katalog Elektronik Sektoral adalah katalog elektronik yang dikelola oleh
lembaga atau kementerian. Sedangkan Katalog Elektronik Lokal merupakan
katalog elektronik yang dikelola oleh pemerintah daerah.

2.1.3. TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) Software

Merencanakan kerjasama dengan Kemenperin dalam menyusun formulasi dan


mekanisme implementasi serta pemantauannya. Status dari TKDN adalah in
progress penyusunan TKDN Software setelah selesai dengan TKDN komponen
SmartPhone yang telah diterapkan. Tindak lanjut yang akan dilakukan yaitu
melanjutkan proses penyusunan bersama Kemenperin.

2.2. Kajian Filosofis

Pengembangan perangkat lunak diisi oleh proses yang sistematis. Programmer


mempelajari bahasa pemrograman, teknik, metode, dan prosedur untuk sampai
pada alur kerja yang secara umum dapat diterima.

Meskipun semua tampak kaku dan hanya ada sedikit ruang untuk inovasi dan
kreativitas dalam proses pengembangan perangkat lunak, teta[I nyatanya tidak
selalu demikian. Dengan mengadopsi filosofi pengembangan perangkat lunak

203
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dapat memberikan pendekatan dan juga keunggulan unik agar menghasilkan


proses perangkat lunak yang lebih selaras dengan budaya dan karakter perusahaan
dan juga selaras dan sesuai dengan target pasar.

Meskipun metodologi, teknik, dan proses pengembangan perangkat lunak dapat


berfungsi sebagai tolok ukur kualitas untuk bekerja secara harmonis dalam
membangun produk yang hebat, namun penerapan filosofi pengembangan
perangkat lunak dapat menjadi pemandu upaya pengembangan perangkat lunak
oleh tim agar mencapai keselarasan tersebut di atas, dan bahkan berkontribusi
secara umum pada Body of Knowledge pengembangan perangkat lunak.

Seperti sudah diterangkan pada paragraf-paragraf di atas, proses pengembangan


perangkat lunak sangat bergantung pada prinsip, proses, bahasa pemrograman,
metode, dan konsep lain yang menentukan alur kerja dan output dari programmer.
Secara sekilas, menambahkan filosofi pengembangan perangkat lunak ke dalam
kumpulan kegiatan standar pengembangan perangkat lunak tampaknya tidak
begitu dibutuhkan. Tapi membangun filosofi pengembangan perangkat lunak
akan membantu kita pada dua hal berikut:

1. Filosofi pengembangan perangkat lunak berguna saat merekrut talenta baru

Menemukan talenta hebat adalah prioritas utama bagi organisasi manapun, apalagi
untuk sebuah perusahaan pengembangan perangkat lunak. Kandidat dengan
pengalaman tahunan dan memiliki semua keterampilan teknis yang dibutuhkan
untuk berhasil dalam sebuah posisi dalam tim pengembangan perangkat lunak kita
belum tentu merupakan orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Pada kenyataannya,
kandidat yang benar-benar tepat sering kali memiliki perpaduan antara kompetensi
teknis dan soft skill, tapi juga memiliki kesesuaian budaya.

Menemukan bakat ini dari sekumpulan kandidat yang memenuhi syarat dapat
tampak seperti menemukan jarum di tumpukan jerami. Tetapi jika kita memiliki
filosofi pengembangan perangkat lunak yang memandu tim kita, kita dapat
mengidentifikasi kandidat yang memiliki nilai yang sama dengan perusahaan kita.
Hal ini membuat perekrutan jauh lebih mudah.

2. Filosofi pengembangan perangkat lunak membangun keseragaman tim,

Meskipun kita mungkin memiliki ide cemerlang untuk meningkatkan alur kerja dan
produktivitas tim, tapi ide-ide ini dapat dengan mudah diabaikan saat kita
meninggalkan tim atau saat kita tidak lagi mengawasi aktivitas tim dengan cermat.
Hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan klien dan bahkan internal perusahaan

204
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

sendiri, atau proyek yang kualitasnya tidak konsisten dan tidak selaras dengan
pencapaian tim kita sebelumnya.

Menetapkan filosofi pengembangan perangkat lunak adalah cara yang bagus untuk
mengkomunikasikan harapan dengan jelas kepada anggota tim dan menyusun ide
yang dapat dengan mudah dibahas dan disepakati oleh anggota tim saat kita tidak
ada. Dengan cara ini, tim dapat terus membangun produk berkualitas yang
memenuhi standar yang ditetapkan secara konsisten.

Salah satu filosofi yang harus diterapkan sesuai dengan maksud dan tujuan Kajian
ini adalah kesadaran untuk selalu mengutamakan produk yang dapat
meningkatkan nilai TKDN dan pemberdayaan e-Katalog.

2.3. Kajian Regulasi / Yuridis

Regulasi terkait kajian ini ada dua, yaitu Peraturan Menteri Perindustrian No. 22
tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat
Komponen Dalam Negeri Produk Elektronika dan Telematika dan Peraturan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 9 tahun 2021 tentang
Toko Daring dan Katalog Elektronik Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan e-Katalog akan lebih


terbuka, transparan dan efisien dengan memangkas proses dan waktu dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebagai contoh untuk pengadaan obat-
obatan, bahan medis habis pakai dan alat kesehatan oleh fasilitas kesehatan milik
pemerintah yang melakukan pembelian melalui e-Katalog dapat dilakukan dengan
cepat dan efisien. Jika sebelumnya pada pelaksanaan pengadaan alat kesehatan
melalui lelang banyak terjadi kebocoran dan penyimpangan, maka melalui sistem e-
Katalog, hal tersebut dapat dihindari.

Pelaksanaan e-Katalog dalam pengadaan barang/jasa pemerintah berpengaruh


pada sektor UMKM, sebab masih adanya pelaku industri kecil yang selama ini
menjadi rantai distribusi barang/jasa. Menerapkan e-Katalog begitu saja tanpa
melihat kenyataan di lapangan dapat memutus rantai distribusi tersebut dan pada
akhirnya menyebabkan terhapusnya peran penyedia jasa kecil yang selama ini
menjadi bagian dari rantai distribusi. Singkatnya peran UMKM sebagai rantai
distribusi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah akan mati dengan
pemberlakuan sistem e-Katalog. Pemerintah sendiri telah mendorong pemanfaatan
sistem e-Katalog bagi UMKM, salah satunya partisipasi UMKM khususnya produk
lokal dalam e-Katalog. Sayangnya, pada pelaksanaannya pemanfaatan sistem e-
Katalog bagi UMKM masih kurang. Masih minimnya pemanfaatan sistem e-Katalog

205
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

dalam pengadaan barang/jasa pemerintah oleh UMKM disebabkan masih


terbatasnya modal dan kurangnya informasi terkait penggunaan sistem e-Katalog.

Oleh sebab itu diperlukan adanya peran aktif dan sinergi dari pemerintah melalui
LKPP untuk menghasilkan kebijakan dan pengembangan informasi e-Katalog bagi
UMKM. Kementerian Perindustrian memang sangat perlu mengembangkan
kebijakan terkait Tingkat Penggunaan Komponen Dalam Negeri (TKDN) bersama
Kementerian Koperasi dan UMKM dan Kementerian Perdagangan untuk
mengembangkan serta membina UMKM agar tidak tertinggal ketika penerapan e-
Katalog sudah diwajibkan.

2.4. Kajian Sosiologis dan Budaya

2.4.1. Lanskap Industri Perangkat Lunak Indonesia

Kementerian Perindustrian dalam Berita Industri tahun 2018 menyatakan bahwa


Kemenperin terus mendorong perkembangan industri perangkat lunak atau
software, konten dan animasi nasional, sebagai bagian dari kesiapan menghadapi
revolusi industri 4.0. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 29 tahun 2017 yang diharapkan mampu mendorong inovasi
berkelanjutan.

Sumber Daya Manusia

SDM sebagai modal utama dalam pengembangan industri perangkat lunak,


dimana kualitas dan kuantitas developer akan berbanding lurus dengan
pengembangan industri software, antara lain: Binar Academy yang merupakan
Training Technical skill terkait software development yang didirikan oleh ex Vice
President Go-Jek Alamanda Shantika, SMK Coding yang merupakan Program
pembelajaran coding di SMK oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan
Platform Pemasaran Software yakni Platform online untuk memasarkan software
yang dikelola oleh ASPILUKI (software.or.id) dan Bekraf (bisma.bekraf.go.id).

Industri Perangkat Lunak

Industri Perangkat lunak merupakan salah satu sub-sektor ekonomi kreatif, dimana
saat ini terdapat 107 Perusahaan Perangkat Lunak yang terdaftar di ASPILUKI,
antara lain; Infrastruktur yang dimaksud adalah development tools, desain,
komunikasi, serta infrastruktur lainnya. Pemerintah telah menargetkan percepatan
dan perluasan jaringan internet dalam RPJMN sebagai infrastruktur pendukung
ekosistem digital, Kebijakan Pemerintah dalam bersaing dengan perusahaan global,
industri perangkat lunak Indonesia akan sulit berkembang apabila tidak didukung
oleh kebijakan afirmatif pemerintah. Gerakan 1000 Start-up Digital program

206
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

inkubasi dan akselerasi start-up berbasis digital oleh Kementerian Komunikasi dan
Informasi, yang menargetkan tiga Unicorn baru pada 2024 dan sudah dituangkan
dalam RPJMN. Beberapa contoh produk (Software) produksi Indonesia; Accurate,
Picmix, PC Media Antivirus, GOJEK, Tokopedia, Jurnal.ID.

2.4.2 Contoh Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan Urgensi dalam
mendorong HAKI dan Posisi Indonesia dalam Indeks HKI Global

Berdasarkan hasil penilaian ekosistem Kekayaan Intelektual Global, Indonesia


berada pada posisi 46 dari 53 negara. Adapun kelemahan implementasi HAKI di
Indonesia meliputi hambatan pada proses perizinan dan komersialisasi atas aset KI,
tantangan dalam membangun ekosistem hak paten dan potensi pembajakan,
lisensi atau hak paten teknologi harus dilakukan di Indonesia, serta rendahnya
partisipasi dalam perjanjian HKI Internasional.

Optimalisasi HAKI dalam mencegah software piracy

Berdasarkan laporan dari Global Innovation Policy Center dan Kamar Dagang
Industri AS dalam Laporan Art of Possible tahun 2020 menyatakan bahwa HAKI
yang dikelola secara optimal dalam suatu negara mampu memberikan manfaat
terhadap kegiatan ekonomi, seperti mendorong pertumbuhan bisnis secara
optimal dan meningkatkan minat investor asing, potensi untuk menghasilkan
output yang lebih inovatif, meningkatkan modal usaha dan private equity,
peningkatan investasi pada sektor swasta dalam aktivitas penelitian dan
pengembangan, dan meningkatkan indeks kompetisi global, serta meningkatkan
kualitas peneliti dan keunggulan kompetitif SDM dalam negeri.

207
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

MasTel cq Bidang Aplikasi Nasional diminta menyusun konsep NinA (National In-
House Applications) dengan pendekatan non-konvensional; dimana diusulkan agar
dapat dibentuk kelompok software development untuk kebutuhan aplikasi
pemerintah. Nantinya NinA akan menyediakan developer khusus untuk aplikasi
pemerintahan / e-Government. Aplikasi / Developers yang akan mengikuti seluruh
update kebutuhan aplikasi pemerintahan / e-Government agar sejalan dengan
kebijakan terbaru / terkini, terpadu dan terintegrasi.

2.5. Kajian Teknis

2.5.1. e-Katalog

Syarat-Syarat Menjadi Penyedia E-Katalog

Tertarik menjadi penyedia barang untuk pemerintah? Pastikan Anda memenuhi


syarat yang ditentukan. Pada situs resmi E-Katalog, pihak LKPP telah memberikan
informasi terkait hal tersebut.

Syarat pengajuan penyediaan barang berbeda-beda untuk setiap programnya.


Anda bisa melihatnya pada detail setiap pendaftaran program penyediaan yang
juga ada pada situs resmi e-Katalog LKPP di menu Pengumuman.

Tata cara pendaftaran untuk menjadi penyedia di e-Katalog LKPP yaitu membuat
akun SPSE, kemudian mendaftar pada SIKAP, setelah mendaftar akses e-Katalog
dan lakukan pengajuan, dan tahap terakhir adalah penandatanganan kontrak
katalog.

208
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2.5.2. TKDN Software

Saat ini persyaratan TKDN software meliputi rancang bangun, haki, tenaga kerja,
SKKNI, dan alat kerja. Untuk prasyarat TKDN software sendiri adalah server lokal,
lokal apps store, minimum active user, dan minimum injection apps.

TKDN dalam sektor Software/Aplikasi membantu dalam formulasi dan penentuan


tingkat TKDN bagi Software/Aplikasi yang tersedia dalam e-Katalog.

2.5.3. NinA

NinA dicita-citakan akan menjadi BLU (Badan Layanan Umum), seperti Bhakti
dalam bidang Telekomunikasi, dimana di belakangnya bisa fully supported oleh
pengembang swasta termasuk UMKM, sebagaimana Bhakti di belakangnya
didukung oleh para operator telekomunikasi. Kita perlu detailkan konsep ini dan
dituangkan dalam bentuk dokumen. Kebutuhan akan aplikasi pemerintah semakin
meningkat dan terus tumbuh, sehingga NinA berpotensi menjadi besar dan
penting.

Dengan konsep termaksud [dalam bentuk dokumen], MasTel akan mendatangi


kementerian atau Lembaga pemerintah lain yang dapat mendorong pengguliran
NinA. e-Katalog dapat menjadi sarana pendukung, namun juga perlu disaring dalam
prosesnya, agar tidak semua aplikasi sembarangan masuk kesana, hanya yang telah
diverifikasi oleh MasTel melalui software.or.id atau paling tidak diprioritaskan bagi
yang sudah terverifikasi dalam software.or.id.

Diperlukan perencanaan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait, terutama


Kemenpan RB dalam dukungan terhadap pelaksanaan Arsitektur SPBE (Sistem
Pemerintahan Berbasis Elektronik). Pihak-pihak tersebut adalah Senior IT Advisor
Menkeu yang bertugas untuk mendukung dan mengarahkan ke KemenPAN RB,
DirJen Aptika untuk penyusunan Govtech, KemenPAN RB yang bertugas
melakukan implementasi arsitektur SPBE sebagai acuan bagi Kementerian &
Lembaga, serta status saat ini adalah dalam pembahasan Wamen Kemenkeu
dengan Kemensesneg terkait usulan pembentukan GovTech (berdasarkan
Kemendikbudpar kepada Presiden), langkah berikutnya adalah menindaklanjuti
KemenPAN RB dengan dukungan Kemenkeu.

209
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

2.6. Kajian Ekonomi

2.6.. e-Katalog

Jenis Barang yang Dapat Ditawarkan pada E-Katalog

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bagi penyedia barang dan jasa bisa
melakukan penawaran yang diminta dalam menu Pengumuman pada situs e-
Katalog. Dengan begitu, jenis barang/jasa yang bisa ditawarkan merupakan jenis
barang/jasa yang dibutuhkan oleh kementerian atau lembaga.

Tapi, seperti apa contoh jenis barangnya? Sejak 2015, Bhinneka telah menjadi
penyedia barang untuk e-Katalog LKPP. Untuk jenis barang, Bhinneka menyediakan
barang terkait IT dan MRO, perkakas, serta furniture kantor.

210
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3. Rekomendasi

3.1. Sasaran yang akan diwujudkan

Aplikasi sangat berkaitan dengan kebutuhan proses usaha, [business requirements]


yang kemungkinan sarat dengan Business Model baru. Masalahnya adalah apakah
model bisnisnya tepat dan menjawab kebutuhan pengguna akhir dan membuat
mereka terpuaskan? Explorasi dan interaksi berulang dengan pengguna diperlukan
untuk bisa menjadi cikal bakal aplikasi yang baik. Berusaha menghasilkan aplikasi
yang berhasil, yang tidak mengulang-ulang kesalahan yang umum.

Setidaknya terdapat 19 sektor yang terdampak atas aplikasi, termasuk area yang
sangat diatur seperti keuangan, Kesehatan, dan Pendidikan (ini hanyalah puncak
dari gunung es). Potensi disrupsi sangat besar di sini, perlu ada adaptasi bertahap
agar tidak menimbulkan seperti di bidang transportasi. Ada peluang besar sekaligus
tantangan yang besar juga, semua aplikasi akan syarat dengan data publik,
sehingga keamanan data di level aplikasi perlu diantisipasi.

Aplikasi sebisa mungkin adaptif terhadap peraturan terkait institusi pengguna.


Layanan Infrastruktur Cloud bisa menjadi solusi bagi pengembangan aplikasi
berbasis platform dari sisi skalabilitas yang tepat dan efisien. Aplikasi saat ini banyak
juga yang didukung dengan IoT/ M2M sehingga irisan dengan bagian ini juga perlu
diperhatikan dan aplikasi yang baik punya tujuan awal, agar menghindarkan proses
yang terlalu panjang, melakukan transformasi birokrasi, dimana pengguna akhir
bisa punya akses langsung ke market / pairing end user lain. Dari sini dapat
dimunculkan aplikasi nyata sebenarnya yaitu penerapan distribusi blockchain,
aman, dan menmghindari munculnya ‘penguasa-penguasa’ baru.

211
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.2. Analisa SWOT

Strength

Memberikan kemudahan dan keamanan bagi kementerian/ lembaga pemerintah


dalam mencari solusi software untuk kebutuhan operasional di organisasi masing-
masing.

Weakness

Memerlukan support dan komitmen dari seluruh kementerian/ lembaga untuk


menggunakan NinA secara konsisten dan berkelanjutan.

Opportunity

Belum ada lembaga atau solusi yang dapat menghubungkan antara kebutuhan
software/aplikasi dari kementerian/ lembaga dengan para produsen software.

Threats

Perlu ada kepastian mengenai kualitas dari software/aplikasi yang


direkomendasikan oleh NinA baik dari sisi kelancaran, keamanan, dan keakuratan.

3.3. Kajian Ekosistem / Global

3.3.1. Mega Tren Pertumbuhan Industri Software Global

Kebutuhan akan perangkat lunak (software) menjadi salah satu komponen yang
menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam 5 tahun ke depan dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari disrupsi teknologi. Software menjadi solusi utama dalam
memenuhi kebutuhan bisnis maupun masyarakat secara luas serta key enabler
dalam transformasi digital. Dengan pendapatan sebesar 509 Miliar USD per tahun
2018, International Data Corporation (IDC) memproyeksikan pasar software global
akan memberikan kontribusi CAGR sebesar 8% hingga tahun 2023.

212
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.3.2. Mega Trend Pertumbuhan Industri Software Global berdasarkan Segmen


Pasar

Perangkat lunak (software) memiliki pangsa pasar yang terdiri atas berbagai macam
subsegmen, dimana setiap software memiliki karakteristik dan dinamika yang
berbeda sesuai dengan keunggulan kompetitif masing-masing. Meskipun beberapa
segmentasi pasar software terkonsentrasi untuk fungsi tertentu, keberadaan Cloud
Computing telah menurunkan barriers to entry dan meningkatkan kompetisi antar
pengembang software maupun perusahaan startup untuk membangun solusi
yang bersifat end-to-end.

213
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

214
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.3.3 Mega Trend Industri Software Global berdasarkan Segmen Pasar dan Jenis
Software

215
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.3.4. e-Katalog

Cakupan Pasar E-Katalog LKPP

Bagi pemilik usaha yang tertarik melebarkan sayap dengan menjadi penyedia di e-
Katalog LKPP, informasi mengenai cakupan pasar e-Katalog ini sangat penting.
Bhinneka contohnya, sebagai salah satu penyedia e-Katalog, membagikan
pengalamannya terkait hal tersebut. Novrita Andriana Fitri, Head of Corporate Sales
Bhinneka, menyampaikan bahwa e-Katalog LKPP ini dapat diakses oleh setiap
instansi pemerintahan di Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa e-Katalog
mencakup seluruh KLPD di Indonesia. Dengan cakupannya yang luas, e-Katalog
juga memberikan hasil yang cukup signifikan untuk Bhinneka sebagai penyedia.
“Sebagai perusahaan e-commerce yang fokusnya ke B2B dan B2G, adanya e-
Katalog cukup signifikan dalam proses pengadaan barang/jasa yang dilayani,” ujar
Novrita.

3.4. Usulan Strategi dan Tahapannya

3.4.1. Gagasan Strategi Pengembangan Industri Software Indonesia Penekanan


pada Pembangunan SDM Unggul

Pemberian insentif bagi software developer dalam negeri, Insentif berupa


penurunan tarif pajak bagi software developer buatan Indonesia yang mengajukan
permohonan HKI. Peningkatan dana hibah penelitian untuk mendorong industri
perangkat lunak.

Link and Match antara Software Developer dengan permintaan pasar,


Menggiatkan kerjasama antara akademisi, profesional, dan dunia usaha untuk
meningkatkan pengetahuan developer terhadap technical skills dan tren software
development. Membentuk hub-center sebagai sarana dalam mendorong inovasi,
kolaborasi, dan peningkatan kualitas software developer. Contoh : Tokopedia
Artificial Intelligence Research Center, CompFest Universitas Indonesia, LINOV, BSD
City Digital Hub.

Peran Akademisi dalam mengembangkan SDM, Penyelarasan kurikulum


pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri 4.0. Peningkatan kualitas pengajaran
software development dan quality assurance.

216
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

3.4.2. Urgensi dalam membangun Tata Kelola Ekosistem Perangkat Lunak


(Software Ecosystem)

Dalam memastikan terwujudnya sustainability, daya inovasi, serta tata kelola yang
optimal pada perangkat lunak, maka suatu ekosistem perlu dibangun dengan
mempertimbangkan setidaknya 7 komponen sebagai berikut:

Pembentukan organisasi khusus untuk sumberdaya pengembangan dan


pemeliharaan aplikasi bagi sektor pemerintah. Bentuk organisasi dapat berupa BLU
(Badan Layanan Umum) di bawah koordinasi Kemenpan RB. Adapun usulan dari
persyaratan TKDN software yaitu Net Promoter Score (NPS), stickiness, cohort, core
interaction, monopoly local market, secret, technology breakthrough, HAKI, server,
active user, sertifikasi lokal (SKKNI), tenaga kerja, keanggotaan asosiasi / Aspiluki,
dan proses rancang bangun.

Net Promoter Score (NPS) merupakan kesediaan konsumen untuk


merekomendasikan produk kepada teman/kerabat. Sedangkan Stickiness adalah
pengguna yang bertahan dan terus menggunakan produk. (Daily Active Users ÷
Monthly Active Users) × 100. Cohort Analysis sendiri adalah subset analitik perilaku
yang mengambil data dari platform eCommerce, aplikasi web, atau game online
tertentu dengan memecah pengguna menjadi beberapa grup terkait untuk
dianalisis. Sedangkan Monopoly (Local Market) yaitu competition is for losers. Core
Interaction yaitu serangkaian tindakan yang dilakukan produsen dan konsumen
pada platform secara berulang untuk mendapatkan nilai dari platform. Secret yaitu
“what important truth do very few people agree with you on?”.

217
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

4. Kesimpulan

Efektivitas belanja TIK di sektor pemerintah masih relatif rendah. Kementerian


/Lembaga mempunyai visi dan program sendiri namun dari aspek hardware dan
software kurang terkoordinasi. Perkembangan teknologi mengarah ke Cloud dan
Edges yg terintegrasi dengan Data Centre menuju everything as a service.

National In-House Application (NinA) merupakan pabrik software yang terkendali


oleh pemerintah termasuk untuk security dan threshold safety nya. NinA dikelola
secara profesional, attract talents indonesia yg saat ini menyebar di seluruh dunia,
terutama young talents yang bangga jadi abdi negara dengan remunerasi yang
memadai. Untuk keperluan pembentukan NinA ini kita akan bekerjasama dengan
K/L inisiator e-Katalog dan TKDN. NinA berbentuk minimal Badan Layanan Umum
(BLU).

218
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Djarot Subiantoro

Lebih dari 30 tahun penulis telah berkiprah di industri Layanan Teknologi


Informasi (TI). Bermula di IBM Indonesia (1982 – 1995), sebagai account manager,
kemudian di Sigma Cipta Caraka yang menawarkan layanan pengembangan
software, TI dan alih daya Data Center (1995 – 2010) sebagai direktur utama.
Dilanjutkan ke Indonet, ISP pertama di Indonesia yang menawarkan layanan
infrastruktur digital (DC, Network & Cloud) (2010 - 2022), sebagai direktur utama, di
DCII (Data Center Infrastruktur Indonesia) sebagai komisaris (2012 - 2021) Aktif di
asosiasi terkait TIK: Aspiluki – Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia (2002 –
sekarang), sebagai ketua umum. Di MasTel (Masyarakat Telematika) sebagai
anggota DPA dan sekarang DPH - Ketua bidang Aplikasi Nasional.

Ir. Ashari Abidin, MT


Lebih dari 24 tahun penulis berkiprah di industri Layanan Teknologi Informasi (TI).
Bermula di PT. Zenith Era Telematika (1999 - 2003), sebagai direktur,
kemudian di Cyber Campus : IT College & Training Center ( 2003 - 2004 ), sebagai
direktur. Setelah itu, penulis bekerja di PT. Digital Mind System ( 2005 - 2006 ), sebagai
Project Manager. Lalu di PT. BNI Multifinance ( 2006 - 2007 ), sebagai IT Operation
Team Leader. PT. Sigma Cipta Caraka ( 2007 - 2008 ), sebagai Software Project
Manager ( Banking & Multifinance Company ). PT. Quantum Business
International ( 2008 - 2015 ), sebagai Director, lalu di PT. Inovasi Cyber Investama
(2016 - sekarang “tidak aktif”), sebagai direktur, dilanjutkan di PT. Immobi Solusi

219
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia

Prima ( 2017 - 2017 ), sebagai Deputy Director, lalu di PT. Permodalan Nasional
Madani (BUMN) ( 2017 - 2018 ), sebagai Vice Division Head - IT Solution &
Infrastructure, dilanjutkan di PT. Karya Digital Nusantara (KMDN) ( 2020 - 2021),
sebagai CTO, setelah itu di .PT. Immobi Solusi Prima ( 2022 - sekarang), sebagai
Deputy CTO.

220
Menuju Kesehatan, Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Kemandirian Industri Telematika di Indonesia
Tim Penyusun:

Ketua:
Sigit Puspito Wigati Jarot

Anggota:
Johny Siswadi
Teguh Prasetya
Risargati

Tim Sekretariat MASTEL

Editor:

Legiman Misdiyono
Faried Cahyono
Dian Iskandar

Desain Cover:

M. Nadzif Subkhi

Layout:

Ardo Setiawan
M. Nadzif Subkhi

ISBN: 978-602-60450-5-8 (EPUB)

Anda mungkin juga menyukai