Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Material Requierement Planning (MRP)


Ginting (2012) menjelaskan bahwa MRP adalah suatu prosedur logis
atau teknik untuk menterjemahkan Jadwal Induk Produksi (JIP) dari end item
atau barang jadi menjadi kebutuhan bersih untuk beberapa komponen yang
membutuhkan pengimplementasian JIP. MRP digunakan untuk menentukan
jumlah total dari kebutuhan material sebagai pendukung JIP dan jadwal
terhadap kapan material tersebut dibutuhkan.
Masih menurut Ginting (2012) MRP dapat didefinisikan sebagai suatu
set prosedur sistematis atau alat yang digunakan dalam penentuan waktu serta
kuantitas dalam proses pengendalian bahan baku terhadap permintaan
komponen-komponen yang saling bergantungan (dependent demand items).
Permintaan dependen sendiri merupakan komponen barang akhir seperti suku
cadang, bahan mentah, dan subperakitan yang jumlah persediaannya
dibutuhkan tergantung (dependen) terhadap jumlah permintaan barang akhir
suatu item.
2.1.1. Langkah-langkah Penyusunan MRP

Metode MRP memiliki empat langkah utama yang harus


diterapkan urutan langkahnya pada setiap item dan perode
perencanaanya. Langkah-langkah penyusunan proses MRP tersebut
yaitu sebagai berikut (Nasution, 2008) :
a. Kebutuhan bersih (Netting) merupakan proses perhitungan
penetapan jumlah kebutuhan bersih pada setiap periode selama
horizon perencanaan yang besarnya merupakan selisih antara
keadaan persediaan (yang sedang dipesan dan yang ada dalam
persediaan) dan kebutuhan kotor.

7
8

b. Penentuan ukuran Lot (Lotting) merupakan penentuan jumlah


pesanan lot yang menjamin semua kebutuhan-kebutuhan dapat
dipenuhi. Pesanan akan dijadwalkan untuk menyelesaikan
kebutuhan bersih yang positif pada awal periode.
c. Rencana Pemesanan (Offsetting) merupakan salah satu langkah
pada metode MRP untuk menentukan waktu yang tepat dalam
perencanaan pemesanan pemenuhan kebutuhan bersih. Rencana
pemesanan dilakukan dengan cara menggabungkan besarnya
waktu ancang-ancang dengan saat awal tersedianya lot size (ukuran
lot) yang diinginkan. Waktu ancang-ancang ini sama dengan
besarnya waktu saat barang mulai diproduksi hingga siap pakai
maupun saat awal barang baru mulai dipesan.
d. Perhitungan kebutuhan kotor (Exploding) merupakan proses
perhitungan kebutuhan kotor untuk level yang lebih bawah dalam
struktur suatu produk serta didasarkan atas perencanaan
pemesanan.
2.2. Definisi Peramalan (Forecasting)
Peramalan (forecasting) didefinisikan sebagai suatu proses prediksi
keadaan pada masa yang akan datang dengan menggunakan data historis di
masa lalu (Baroto, 2002). Assauri (2008) juga menjelaskan bahwa peramalan
adalah suatu kegiatan untuk mengetahui nilai variabel dependen yang
dijelaskan pada masa yang akan datang dengan mempelajari variabel
independen pada masa lalu dengan cara melakukan ekstrapolasi bagu nilai-
nilai dimasa yang akan datang dan menganalisis data.
Menurut Herjanto (2008), berdasarkan horizon waktu, peramalan dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama peramalan jangka panjang,
kedua peramalan jangka menengah, dan ketiga permalan jangka pendek,
berikut penjelasannya :
a. Peramalan jangka panjang, yaitu cakupan waktu yang lebih besar dari 18
bulan. Misal, peramalan yang berkaitan dengan perencanaan fasilitas,
perencanaan kegiatan litbang, dan penanaman modal.
9

b. Peramalan jangka menengah, yaitu cakupan waktunya antara 3 sampai 18


bulan. Misal, perencanaan produksi, perencanaan tenaga kerja tidak tetap,
dan perencanaan penjualan.
c. Peramalan jangka pendek, cakupan waktunya kurang dari 3 bulan. Misal,
peramalan yang dalam hubungannya dengan penugasan karyawan atau
penjadwalan kerja.
2.2.1. Pemilihan Metode Peramalan

Keakuratan atau ketepatan suatu metode peramalan merupakan


imbas dari kesesuaian suatu metode yang menunjukkan seberapa jauh
model peramalan tersebut mampu meramal data dengan aktual.
Tidaklah mungkin suatu peramalan bisa benar-benar tepat atau akurat.
Nilai dari hasil peramalan pasti akan selalu tidak saman dengan data
aktual. Meskipun jumlah dari suatu nilai kesalahan dapat dihindari,
namun kembali pada tujuan peramalan yaitu meminimalisir sekecil
mungin nilai kesalahan peramalan tersebut (Suwandi, dkk. 2015).
Dalam permodelan metode time series, sejumlah data yang
diketahui bisa digunakan untuk meramalkan sisa data selanjutnya
sehingga memungkinkan orang lain untuk mempelajari ketepatan dari
peramalan (Suwandi, dkk. 2015). Model yang terdapat nilai kesalahan
terkecil adalah yang dianggap sebagai model yang cocok dimana nilai
kesalahan itu dapat diatasi (Heizer dan Render, 2015).
2.2.2. Jenis-jenis Peramalan

Jenis-jenis peramalan metode time series yang dipakai dalam


penyusunan penelitian adalah :
a. Metode Rata-rata Bergerak (Moving Averages)
Metode Rata-rata Bergerak menggunakan sejumlah data
aktual permintaan yang baru untuk perhitungan nilai ramalan untuk
permintaan di masa yang akan datang. Metode ini efektif
diterapkan apabila kita dapat mengasumsikan bahwa permintaan
pasar terhadap produk akan tetap stabil sepanjang waktu. Metode
10

ini mempunyai sifat khusus yaitu untuk membuat peramalan


memerlukan data historis dalam jangka waktu tertentu, semakin
panjang moving averages akan menghasilkan moving averages
yang semakin halus pula, secara sistematis metode moving
averages adalah :

+ − ….. −( + )
+ =

Keterangan:
St+1 : Forecast untuk periode ke t+1
Xt : Data pada periode t
n : Jangka waktu Moving Average
Nilai n : Banyaknya periode rata-rata bergerak
b. Weight Moving Averages (WMA)
Metode Weight Moving Averages (WMA) menggunakan
sejumlah data aktual permintaan yang baru untuk membangkitkan
nilai ramalan untuk permintaan di masa yang akan datang. Metode
WMA akan efektif diterapkan apabila permintaan pasar terhadap
produk diasumsikan stabil sepanjang waktu.

∑( )( )
=

Metode WMA mempunyai sifat yang lebih responsif


terhadap perubahan. Hal ini karena data dari periode yang baru
biasanya diberi bobot yang lebih besar
b. Metode Peramalan Exponential Smoothing

= − + ( − − − )

Dimana Ft-1merupakan ramalan untuk periode selanjutnya, α


adalah faktor perataan (0< α<1) dan Xt adalah permintaan yang
didapat berdasarkan data historis sebelumnya pada periode ke t.
Dalam penerapan metode ini, penentuan faktor penghalus Alpha
(α) harus dilakukan terlebih dahulu. Pada praktek langsung
11

seringkali dipakai dalam ketetapan pemilihan faktor penghalus


yaitu :0,05 (5%), 0,10 (10%), dan 0,20 (20%).
c. Peramalan Metode Kuadrat Terkecil (Least Squares)
Garis kuadrat terkecil yang paling mendekati rangkaian titik
(X1, Y1), (X2, Y2), dan (Xn, Yn) memiliki persamaan :

= a0 + a1 X

Dimana konstanta-konstanta a0 dan a1, ditentukan dengan


menyelesaikan secara :

∑Y = a0N + a1∑X

∑XY = a0N + a1∑X2

Hal ini biasa disebut persamaan-persamaan normal bagi garis


kuadrat terkecil.
d. Analisis Trend
Metode peramalan dengan Analisis Trend ini mencocokkan
garis trend item kedalam rangkaian titik data historis kemudian
memproyeksi garis kedalam ramalan jangka menengah hingga
jangka panjang. Jika mengembangkan garis trend linier dengan
metode statistic, metode yang tepat digunakan adalah metode least
square. Pendekatan ini menghasilkan garis lurus yang
meminimalkan jumlah kuadrat perbedaan vertikal dari garis pada
setiap observasi aktual.
e. Analisis Regresi Linier
Metode Analisis Regresi Linier menggunakan data nilai
historis untuk variabel yang diramalkan. Faktor-faktor yang bisa
dipertimbangkan misalnya dalam membuat perencanaan produksi
harus mempertimbangkan kesiapan tenaga kerja, kesiapan kondisi
mesin yang baik. Rumus perhitungan regresi linier yaitu sebagai
berikut :
12

= +
∑ − ∑
=

.∑ − ∑ .∑
=
.∑ − (∑ )

=


=

Keterangan :
Y = hasil peramalan
n = periode
a = perpotongan dengan sumbu tegak
b = menyatakan slope atau kemiringan garis regresi
f. Multiplicative Decomposition (Seasonal)
Formula Multiplicative decomposition dengan menggunakan
dasar penghalusan (basis for smoothing) yaitu :
Average for all data

CMA =∑

Ratio =

Seasona =

Smoothed =

Ŷ unadjusted = a + bx
Ŷ adjusted = Ŷ unadjusted x Seasonal
Keterangan:
CMA = Centered Moving Average
Ŷ unadjusted = peramalan yang tidak disesuaikan
Ŷ adjusted = peramalan yang disesuaikan
13

Centered Moving Average



CMA =

Ratio =

Seasonal =

Smoothed =

Ŷ unadjusted = a + bx
Ŷ adjusted = Ŷ unadjusted x Seasonal
g. Additive Decomposition (seasonal)
Formula Additive Decomposition dengan menggunakan
dasar penghalusan (basis for smoothing) yaitu :
Average for al data

CMA =∑

Difference = Demand – CTD MA



Seasonal =

Smoothed = Demand-Seasonal
Ŷ unadjusted = a + bx
Ŷ adjusted = Ŷ unadjusted x Seasonal
Keterangan:
CMA = Centered Moving Average
Ŷ unadjusted = peramalan yang tidak disesuaikan
Ŷ adjusted = peramalan yang disesuaikan
Centered Moving Average

CMA =

Difference = Demand-CTD MA

Seasonal =

Smoothed = Demand-Seasonal
Ŷ unadjusted = a + bx
Ŷ adjusted = Ŷ unadjusted x Seasonal
14

2.2.3. Pengukuran Kesalahan Peramalan

Pengukuran kesalahan peramalan dapat dihitung dengan rumus


sebagai berikut:
a. MAD (Mean Absolute Deviation) adalah mengukur akurasi
peramalan dengan merata-ratakan kesalahan peramalan (nilai
absolutnya)

[∑ ]
=

Keterangan:
e(t) : kesalahan deviasi untuk periode yaitu f(t) –A(t)
n : nomor periode dimana e(t) dapat dicari, i, e, mempunyai
kedua f(t) dan A(t)
b. MSE (Mean Squared Error) adalah merupakan metode alternatif
dalam mengevaluasi suatu teknik peramalan. Setiap kesalahan atau
residual dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan
jumlah observasi. Persamaannya adalah:

∑( )
=

Keterangan:
e(t) : kesalahan deviasi ) untuk periode yaitu f(t) –A(t)
n : nomor periode dimana e(t) dapat dicari, i, e, mempunyai
kedua f(t) dan A(t)
c. MAPE (The Mean Absolute Percentage Error) dapat dihitung
dengan menggunakan kesalahan absolut pada tiap periode dibagi
dengan nilai observasi yang nyata untuk periode itu. Kemudian,
merata-rata kesalahan persentase absolut tersebut. Pendekatan ini
berguna ketika ukuran atau besar variabel ramalan itu penting
dalam mengevaluasi ketepatan ramalan. MAPE mengindikasi
seberapa besar kesalahan dalam meramal yang dibandingkan
15

dengan nilai nyata pada deret. MAPE dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

∑[PEt]
MAPE = t=1

N
Keterangan :
PEt : Persentase nilai error absolut
N : Nomor periode PEt yang dicari
2.3. Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule)
Jadwal induk produksi atau Master Production Schedule (MPS)
merupakan gambaran atas periode perencanaan dari suatu permintaan,
termasuk peramalan, backlog, rencana penawaran, persediaan akhir, dan
kuantitas yang dijanjikan tersedia (Available To Promise). MPS disusun
berdasarkan perencanaan produksi agregat, dan merupakan kunci
penghubung dalam rantai perencanaan dan pengendalian. MPS berkaitan
dengan pemasaran, rencana distribusi, perencanaan produksi dan
perencanaan kapasitas. MPS mengendalikan MRP dan merupakan masukan
utama dalam proses MRP. MPS harus dibuat secara realistis, dengan
mempertimbangkan kemampuan kapasitas produksi, tenaga kerja, dan
subkontraktor (Herjanto, 2008). Febian (2011) menyebutkan bahwa sebagai
suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS) membutuhkan
lima input utama sebagai berikut:
1. Data Permintaan Total, merupakan salah satu sumber data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan
ramalan penjualan (sales forecast) dan pesanan-pesanan (orders).
2. Status Pesediaan, berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory,
stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock),
pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released
production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus
mengetahui secara akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan
menentukan berapa banyak yang harus dipesan.
16

3. Rencana Produksi, memberikan sekumpulan batasan kepada MPS.MPS


harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, persediaan,
dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu.
4. Data Perencanaan, berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot sizing yang
harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan
waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item tersedia dalam file
induk dari item (Item Master File).
2.4. Bill of Material (BOM)
Bill of Materials (BOM) dapat didefinisikan sebagai daftar jumlah
material, komponen, dan campuran bahan yang diperlukan untuk suatu
produk. Produk yang berada diatas segala tingkatan dinamakan produk
induk, sedangkan yang berada dibawa tingkatan tersebut dinamakan
komponen. Suatu BOM memberikan struktur bagi produk itu sendiri.
BOM tidak hanya menspesifikasikan kebutuhan produksi, tetapi juga
berguna untuk pembebanan biaya. Selain itu BOM dapat dipakai sebagai
daftar bahan yang harus dikeluarkan untuk produksi maupun perakitan.
2.4.1. Penomoran Komponen
Setiap komponen harus memiliki identifikasi khusus atau unik
yang hanya mengidentifikasikan satu komponen yang biasa disebut
Part Number atau Item Number. Penentuannya dapat dilakukan
dengan 3 cara berikut :
a. Random, Suatu nomor yang digunakan hanya sebagai
identitas atau pengenal dan bukan sebagai penjelas, tidak
menjelaskan lebih jauh mengenai suatu komponen. Contoh :
28997 untuk Upper Barrel Clip
b. Significant, Adalah nomor yang juga dapat menjelaskan
informasi khusus tentang item atau komponen tertentu, seperti
sumber material, bahan, bentuk dan deskripsi.
c. Semisignificant, Digit pertama menjelaskan mengenai komponen
tersebut, sementara digit berikutnya berupa angka random.
17

2.4.2. Konsep lnduk Komponen


Komponen adalah objek atau bagian yang dirakitkan secara
bersama-sama untuk membuat induk. Suatu komponen akan menjadi
induk bagi objek lain dibawahnya yang menjadi pembentuknya.
2.4.3. Bom Levels
Cara ini dimulai dengan level 0 untuk produk akhir.
Komponen pembentuk produk akhir ditempatkan pada level angka
selanjutnya sehingga membentuk sebuah hierarki yang disebut
struktur produk.
2.5. Deskripsi Persediaan
Definisi persediaan yaitu barang yang disimpan untuk digunakan atau
dijual-belikan kembali pada periode yang akan datang. Macam bentuk
persediaan dapat berupa bahan baku yang disimpan untuk diproses, barang
dalam proses pada manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk dijual.
Persediaan memegang peran yang penting agar perusahaan dapat berjalan
dengan lancar (Kusuma, 2009).
Persediaan bahan baku adalah suatu item yang dibeli dari para pemasok
untuk digunakan sebagai salah satu input dalam proses produksi. Bahan baku
akan dikonversi atau ditransformasikan menjadi barang akhir (Yamit, 2008).
Menurut Yamit (2008), tujuan dari manajemen persediaan adalah untuk
menjamin persediaan material yang tepat, biaya yang rendah, dan lead time
yang tepat. Manajemen persediaan sangat berkaitan erat dengan sistem
persediaan dalam sebuah perusahaan, tujuannya adalah untuk menciptakan
proses konversi yang efisien (Tampubolon, 2004).
2.5.1. Tujuan Persediaan
Tujuan perusahaan menyelenggarakan persediaan menurut
Assauri (2008) adalah :
a. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan yang
dapat mengakibatkan terhentinya proses produksi.
b. Menjaga agar persediaan tidak berlebihan sehingga biaya yang di
timbulkan jadi lebih besar
18

c. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan tidak terjadi karena


akan mengakibatkan biaya pemesanan yang tinggi.
2.5.2. Biaya Dalam Persediaan

Yamit (2008) menjabarkan biaya-biaya yang terdapat dalam


kegiatan persediaan yang terdiri atas :
1. Purchase Cost atau Biaya Pembelian adalah biaya produksi per
unit apabila diproduksi didalam perusahaan atau harga produk per
unit apabila item berasal dari luar. Biaya per unit selalu akan
menjadi bagian biaya dari suatu item dalam kegiatan persediaan.
Untuk item yang diproduksi di dalam perusahaan sendiri, biaya per
unit terdiri dari biaya marerial, biaya overhead pabrik, dan biaya
tenaga kerja. Sedangkan untuk biaya item yang berasal dari luar,
biaya per unit adalah biaya pengangkutan ditambah harga beli.
2. Order Cost/Setup Cost atau biaya pemesanan adalah biaya yang
berasal dari pembelian pesanan dari supplier/pemasok ataupun
biaya setup/persiapan apabila item tersebut diproduksi oleh
perusahaan sendiri. Biaya akan diasumsikan tidak akan berubah
secara langsung dengan jumlah pemesanan. Biaya pemesanan
terdiri dari biaya analisis pemasok, pembuatan pemesanan
pembelian, pembuatan daftar pemesanan, inspeksi bahan,
penerimaan bahan, dan proses transaksi. Sedangkan biaya
persiapan terdiri dari biaya yang dikeluarkan akibat dari perubahan
proses produksi, persiapan sebelum produksi, pembuatan jadwal,
dan quality control.
3. Biaya penyimpanan adalah biaya yang terjadi atas investasi dalam
pemeliharaan dan persediaan ataupun investasi secara fisik untuk
penyimpanan persediaan. Biaya persediaan terdiri dari pajak,
asuransi, biaya modal, keusangan, pemindahan, ataupun semua
biaya yang dikeluarkan dalam memelihara persediaan.
19

4. Biaya kekurangan persediaan adalah biaya yang timbul akibat dari


konsekuensi ekonomis atas kekurangan dari dalam maupun dari
luar perusahaan. Kekurangan dari dalam dapat berupa suatu
departemen tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen lain.
Sedangkan kekurangan dari luar terjadi apabila pesanan konsumen
tidak terpenuhi.
2.6. Catatan Persediaan (Inventory Master File)
Heizer dan Render (2015) menyebutkan bahwa metode agar MRP dapat
berkerja dengan baik membutuhkan suatu manajemen persediaan yang baik.
Jika perusahaan belum mencapai setidaknya 99% ketelitian catatan, maka
perencanaan kebutuhan material tidak akan berkerja dengan baik. Sistem
MRP haruslah memiliki dan menjaga suatu data persediaan yang up to date
untuk setiap komponen produk.
Data ini harus menyediakan informasi yang akurat tentang ketersediaan
komponen dan seluruh transaksi persediaan, baik yang telah terjadi maupun
yang sedang direncakan. Data ini mencakup nomor identifikasi, jumlah
produk yang terdapat di gudang, jumlah yang dialokasikan, tingkat
persediaan minimum (safety stock level), komponen yang sedang dipesan dan
waktu kedatangan, serta waktu tenggang (procurement lead time) bagi setiap
komponen (Herjanto, 2008).
Data persediaan bisa merupakan catatan manual selama di update dari
waktu ke waktu. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan semakin
murahnya harga komputer dan internet maka kini perusahaan sudah
menggunakan jaringan sistem informasi yang selalu terbarukan sehingga
apabila barang masuk atau barang terpakai maupun terjual, datanya dapat
langsung diketahui unit terkait (Herjanto, 2008).
20

2.7. Penentuan Lot Size


Ginting (2012) menjelaskan lot size (ukuran lot) adalah menyatakan
jumlah bahan baku pada suatu periode yang harus dipesan. Berdasarkan
jumlah tersebut ukuran lot dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah
ukuran lot yang besarannya selalu tetap untuk tiap-tiap pemesanan,
sedangkan yang kedua adalah ukuran lot yang besarannya berubah-ubah pada
tiap kali melakukan pemesanan.
Dalam sistem MRP dikenal terdapat beberapa metode untuk menentukan
besarnya lot size (ukuran lot) pesanan bahan baku, sehingga sesuai kaitannya
dengan JIP. Salah satu cara terbaik untuk menentukannya adalah dengan
menggunakan perbandingan total biaya yang telah dikeluarkan oleh
perusahaan. Beberapa biaya yang digunakan adalah biaya pembelian, biaya
pemesanan, dan biaya penyimpanan (Nasution, 2008). Berikut ini beberapa
metode yang akan digunakan dalam menentukan ukuran pemesanan :
a. Economic Order Quantity (EOQ)
Besarnya ukuran lot dengan menggunakan metode ini adalah tetap.
Namun perhitungannya telah mencakup biaya-biaya pesan sekaligus
biaya-biaya simpan. Perumusan yang digunakan dalam metode ini adalah
sebagai berikut :

√ . .
=

Keterangan :
D : Demand / kebutuhan rata-rata
K : Order cost / biaya pesan per pesan
H : Holding cost / biaya simpan per periode
21

b. Period Order Quantity (POQ)


Salah satu aturan dalam melakukan penentuan jumlah pesaan secara
dinamis adlah jumlah pesanan yang berkala. POQ merupakan jumlah yang
sama dengan jumlah yang dibutuhkan dalam beberapa minggu sejak bahan
yang dipesan diterima, lalu ditambah dengan jumlah persediaan pengaman
dan dikurangi dengan jumlah persediaan awal atau on hand.

√ .
= =
. .

Keterangan : EOI : Interval pemesanan ekonomis dalam satu tahun


C : Biaya pemesanan setiap kali pesan
H : Persentase biaya simpan setiap periode
P : Harga atau biaya pembelian per unit
R : Rata-rata permintaan per periode
c. Lot for Lot (LFL)
Metode penetapan ukuran lot dengan didasarkan pada pesanan
diskrit. Teknik ini merupakan cara yang paling sederhana dari semua
metode lot sizing yang ada. Tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk
meminimumkan ongkos simpan, sehingga ongkos simpan yang ada
menjadi nol.
d. Fixed Period Requirement (FPR)
Pendekatan menggunakan metode Fixed Period Requirement (FPR)
atau konsep ukuran lot dengan periode tetap, yaitu pesanan dilakukan
berdasarkan periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah pesanan tidak
didasarkan oleh ramalan tetapi dengan penjumlahan kebutuhan bersih
pada interval pemesanan dalam beberapa periode yang ditentukan.
22

Teknik FPR ini menggunakan knsep interval pemesanan yang


konstan dan berkala, sedangkan kuantitas pemesanan bervariasi. Bila
dalam metode FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap, sementara
selang waktu antar pemesanan tidak tetap. Sedangkan dalam metode FPR
ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai
dengan kebutuhan bersih.
Ukuran kuantitas pemesanan tersebut merupakan penjumlahan
kebutuhan bersih tiap periode yang tercakup dalam interval pemesanan
yang telah ditetapkan. Penetapan interval dilakukan secara sembarang.
Pada teknik FPR ini, jika saat pemesanan jatuh pada periode yang
kebutuhan bersihnya sama dengan nol, maka pemesanannya dilaksanakan
pada periode berikutnya.
e. Fixed Order Quantity (FOQ)
Pendekatan dengan konsep jumlah pemesanan tetap ini biasanya
dikarenakan keminiman fasilitas. FOQ dapat memunculkan kemungkinan
permintaan yang terdapat pada masa yang akan datang pada MRP dan
meminimasi biaya pesan. Teknik ini digunakan apabila kita
membutuhkan barang dan dilakukan pemesanan secara periodic dengan
besar pemesanan tetap.
Teknik FOQ menggunakan kuantitas pemesanan yang tetap untuk
suatu persediaan item tertentu, pemesanan dapat dilakukan secara
sembarang atau berdasarkan faktor-faktor intuitif. Dalam menggunakan
teknik ini jika perlu, jumlah pesanan diperbesar untuk menyamai jumlah
kebutuhan bersih yang tinggi pada suatu periode tertentu yang harus
dipenuhi, artinya ukuran kuantitas pemesanannya adalah sama untuk
seluruh periode selanjutnya dalam perencanaan. Metode ini dapat
digunakan untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost)
sangat besar.
23

2.8. Penelitian Terdahulu


Terdapat beberapa penelitian mengenai MRP yang telah dilakukan oleh
peneliti terdahulu, berikut tabel penelitian MRP terdahulu :
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Penulis Tahun Judul Hasil

1 Putri Febian 2011 Analisa Perencanaan Metode EOQ adalah metode


Kebutuhan Material yang memiliki karakteristik
pada Industri Pakaian yang sama atau sesuai
Jadi di PT.Lestari dengan kondisi perusahaan,
Dini Unggul dengan menghitung besaran
kuantitas pembelian yang
optimum untuk bahan baku
utama dan hal ini dapat
membuat perusahaan
melakukan penentuan jumlah
pemesanan yang paling
ekonomis.
2 Agus 2013 Penerapan Metode Metode lot sizing Wagner-
Surianto Material Requirement Within (WW) memberikan
Planning (MRP) di solusi untuk setiap bahan
PT.Bokormas baku dengan tingkat biaya
Mojokerto terendah dari metode lot
sizing lainnya seperti LFL,
EOQ, POQ, dan PPB. Selain
itu, metode Wagner-Within
ini juga memberikan hasil
yang lebih akurat serta
optimal.
24

No Penulis Tahun Judul Hasil

3 Dewi dan 2014 Implementasi Metode Diantara metode-metode


Saroso Material Requirement yang digunakan ditemukan
Planning pada bahwa metode yang paling
Perencanaan cocok diterapkan adalah
Persediaan Material metode Lot For Lot yang
Panel Listrik di menghasilkan total biaya
PT.TIS Sinergi persediaan yang lebih efisien
daripada menggunakan
metode lain seperti Fixed
Order Quantity.
4 Anggriana 2015 Analisis Perencanaan Diantara tiga metode lot
dan Pengendalian sizing yang di uji coba yaitu
Persediaan Busbar Lot For Lot (LFL), Economic
Berdasarkan Sistem Order Quantity (EOQ), dan
MRP (Material Period Order Quantity
Requirement (POQ), metode POQ
Planning) diPT.TIS merupakan metode yang
biaya pengadaannya paling
minimum.
Sumber : Primer
69

68

Anda mungkin juga menyukai