Anda di halaman 1dari 22

“REVIEW LITERATUR

DAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT”

KELOMPOK 1
ARIF SEPRIANSYAH 19021105011
HENOCH N WALUKOW 19021105046
NUGRAH RHISANDI ARIF 19021105026
LUCY WAGEY 19021105073
MEYKA P MANGINSELA 19021105049
INDRI A. DONDO 19021105061
HUMAYROH LADJOLO 19021105008
PUTRI JULAENI BAHRI 19021105024
ARLIZA P PANGALIMA 19021105076
MITA AMELIA PAPUTUNGAN 19021105015

MATA KULIAH :
STUDIO PERENCANAAN KAWASAN PERBUKITAN,
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DOSEN PENGAMPU :
Dr.Ir. TONDOBALA LINDA DEA
RIENEKE LUSIA EVANI SELA ST, MT
DWIGHT M RONDONUWU ST, MT

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
TAHUN 2021
REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13


TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2OO8 TENTANG RENCANA TATA
RUANG WILAYAH NASIONAL

Pada Pasal I, beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun


2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Lembaran Negara Republik
Indonesia diubah sebagai berikut:

Pada pasal 21 (1) Jaringan jalur kereta api umum terdiri atas jaringan jalur kereta
api antarkota; dan jaringan jalur kereta api perkotaan. (2) Jaringan jalur kereta api
antarkota dikembangkan untuk menghubungkan PKN dengan pusat kegiatan di
negara tetangga, antar-PKN, PKW dengan PKN atau antar-PKW. (3) Jaringan jalur
kereta dikembangkan untuk api perkotaan menghubungkan kawasan perkotaan
dengan bandar udara pengumpul skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan
pelabuhan utama/pengumpul; dan mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan.
(4) Jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan beserta prioritas
pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perkeretaapian.

Pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, pelabuhan


pengumpan regional, dan pelabuhan pengumpan lokal. (2) Pelabuhan utama
dikembangkan untuk melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas
angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah besar, menjangkau wilayah
pelayanan sangat luas dan menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.
(3) Pelabuhan pengumpul dikembangkan untuk melayani kegiatan pelayaran dan
alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah
menengah wilayah pelayanan menengah dan memiliki fungsi sebagai simpul
jaringan transportasi laut nasional. (4) Pelabuhan pengumpan regional
dikembangkan untuk melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut
nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis
dalam jumlah menengah dan menjangkau wilayah pelayanan menengah. (5)
Pelabuhan pengumpan lokal dikembangkan untuk melayani kegiatan pelayaran dan
alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran ralgrat, angkutan sungai, dan
angkutan perintis dalam jumlah kecil dan menjangkau wilayah pelayanan terbatas.
(6) Pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pada Pasal 33 (l) Jaringan jalan arteri ditetapkan dengan criteria menghubungkan
antar-PKN, antara PKN dan PKW, dan/atau PKN/PKW dengan bandar udara
pengumpul skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan
utama/pengumpul, berupa jalan umum yang melayani angkutan, melayani
perjalanan jarak jauh memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata-rata
tinggi dan membatasi jumlah jalan masuk secara berdaya guna. (2) Jaringan jalan
kolektor primer ditetapkan dengan criteria, menghubungkan antar-PKW dan antara
PKW dan PKL, berupa jalan umum yang berfungsi melayani angkutan, melayani
perjalanan jarak sedang, memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata-
rata sedang dan membatasi jumlah jalan masuk. (3) Kriteria jaringan jalan strategis
nasional dan jaringan jalan tol ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

Pada Pasal 34 (1) Jaringan jalur kereta api antarkota dengan kriteria
menghubungkan antara PKN dan pusat kegiatan di negara tetangga, antar-PKN,
PKW dengan PKN, atau antar-PKW. (2) Jaringan jalur kereta api perkotaan
ditetapkan dengan kriteria menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar
udara pengumpul skala pelayanan primer/ sekunder/ tersier dan pelabuhan
utama/pengumpul atau mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan
metropolitan. (3) Kriteria teknis jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan
ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perkeretaapian.

Pada Pasal 38 (1) Sistem jaringan energi nasional terdiri atas jaringan infrastruktur
minyak dan gas bumi; jaringan infrastruktur ketenagalistrikan. (2) Jaringan
infrastruktur ketenagalistrikan merupakan segala hal yang berkaitan dengan
Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana pendukungnya dan
Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana pendukungnya. (3) Jaringan
infrastruktur pembangkitan tenaga listrik merupakan segala hal yang berkaitan
dengan pembangkit, jett5r, sarana pemyimpanan bahan bakar, sarana pengolahan
hasil pembakaran, travo step up, dan pergudangan. (4) Jaringan infrastruktur
penyaluran tenaga listrik merupakan segala hal yang berkaitan dengan transmisi
tenaga listrik, gardu induk, distibusi tenaga listrik, dan gardu hubung.

Pada Pasal 39 (1) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi dikembangkan untuk
menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi ke kilang pengolahan
dan/atau tempat penyimpanan dan menyalurkan minyak dan gas bumi dari kilang
pengolahan atau tempat penyimpanan ke konsumen. (2) Jaringan infrastruktur
minyak dan gas bumi beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang minyak dan gas bumi

Pada Pasal 4O (1) Pembangunan Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan untuk


memenuhi penyediaan tenaga listrik sesuai kebutuhan yang mampu mendukung
kegiatan perekonomian. (2) Pembangunan Janngan infrastruktur ketenagalistrikan
dapat dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten/ kota berdasarkan kriteria yang
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pada Pasal 42 Sistem jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi, pembangkitan
tenaga listrik, serta jaringan transmisi tenaga listrik ditetapkan oleh menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang energi.
Pada Pasal 43 (l) Jaringan infrastruktur minyak dan gas ditetapkan dengan criteria
adanya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, fasilitas pengolahan dan/atau
penyimpanan, serta konsumen yang terintegrasi dengan fasilitas tersebut berfungsi
sebagai pendukung sistem pasokan energi nasional. (2) Infrastruktur pembangkitan
tenaga listrik dan sarana pendukungnya ditetapkan dengan criteria yang
mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di
kawasan perkotaan, perdesaan hingga kawasan terisolasi dan mendukung
pengembangan kawasan perdesaan, pulau-pulau kecil, dan kawasan terisolasi;
mendukung pemanfaatan teknologi baru untuk menghasilkan sumber energi yang
mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan; berada pada
kawasan dan/ atau di luar kawasan yang memiliki potensi sumber daya energi; dan
berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak
bebas dan jarak aman. (3) Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukungnya ditetapkan dengan criteria mendukung ketersediaan pasokan tenaga
listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, perdesaan, hingga kawasan
terisolasi; mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau-pulau kecil, dan
kawasan terisolasi; melintasi kawasan perrnukiman, wilayah sungai, laut, hutan,
persawahan, perkebunan, dan jalur transportasi; berada pada lokasi yang aman
terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan persyaratan ruang bebas dan jarak
aman; merupakan media penyaluran tenaga listrik adalah kawat saluran udara,
kabel bawah laut, dan kabel bawah tanah; dan menyalurkan tenaga listrik
berkapasitas besar dengan tegangan nominal lebih dari 35 kilo Volt.

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA NOMOR 1


TAHUN 2017 TENTANG RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2017-
2037

Strategi untuk mewujudkan kebijakan pengembangan sistem pusat kegiatan


kelautan dan perikanan yang efisien dan efektif secara hirarkis yang terdiri dari

a. Mengembangkan sistem jaringan internasional, nasional dan regional


penghubung antar wilayah laut, darat, dan udara pada PKSN, PKN, PKW,
dan PKL;
b. Mengembangkan dan memantapkan sistem jaringan internasional, nasional
dan regional penghubung antar pusat-pusat produksi kelautan, perikanan,
pariwisata, dan pertanian dengan PKSN, PKN, PKW, dan PKL;
c. Mengembangkan prasarana teknologi modern kelautan, perikanan,
pariwisata, dan pertanian;
d. Mengembangkan sistem jaringan dan moda transportasi andal guna
mendukung sektor kelautan, perikanan, pariwisata, dan pertanian;
e. Meningkatkan jaringan energi dalam sistem kemandirian energi listrik
dengan lebih menumbuh-kembangkan pemanfaatan sumberdaya terbarukan
yang ramah lingkungan; dan
f. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana
transportasi, informasi, telekomunikasi, energi dan sumberdaya air, sanitasi
yang terpadu dan merata di seluruh wilayah provinsi
Review Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor PER.17/MEN/2008 Tentang Kawasan Konservasi di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil

Peraturan menteri kelautan dan perikanan tentang kawasan konservasi di wilayah


pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam peraturan ini terdiri dari 8 BAB Pembahasan dan 1 BAB Penutup. Dengan
isi pokok peraturan sebagai berikut:

BAB I Ketentuan umum


Menjelaskan tentang Pengertian, Tujuan dan sasaran, Ruang lingkup pengaturan
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

BAB II Kategori Kawasan Konservasi


Kategori Kawasan Konservasi Pesisir dan pulau-pulau kecil yang disebut KKP3K,
juga terdiri dari Kawasan Konservasi Maritim yang disebut KKM, Kawasan
Konservasi Perairan yang disebut KKP dan Sempadan Pantai.

BAB III Penetapan KKP3K Dan KKM


Penetapan KKP3K yang dimaksud sesuai dengan kepentingan yang dilaksanakan
melalui beberapa tahapan yaitu:
- Usulan inisiatif calon KKP3K
- Identifikasi dan inventarisasi KKP3K
- Pencadangan KKP3K
- Penetapan KKP3K
- Penataan batas KKP3K
Penetapan KKM yang dimaksud sesuai dengan kepentingan yang dilaksanakan
melalui beberapa tahapan yaitu:
- Usulan inisiatif calon KKM
- Penilaian kelayakan calon KKM
- Penetapan KKM

BAB IV Kewenangan Pengelolaan KKP3K Dan KKM


Pemerintah untuk kawasan konservasi nasional, dan Pemerintah daerah provinsi
untuk kawasan konservasi provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk
kawasan konservasi kabupaten/kota.

BAB V Pola dan Tata Cara Pengelolaan


Pola dan Tata Cara Pengelolaan kawasan konservasi meliputi perencanaan
kawasan, pola pengelolaan dan tata cara pengelolaan kawasan konservasi.

BAB VI Perizinan dan Pembiayaan


Dalam melakukan upaya pokok KKP3K dan KKM diperlukan izin dari menteri,
gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
BAB VII Ketentuan Peralihan

BAB VIII Ketentuan Lain-lain


Pasal 44 : Dalam hal keterbatasan atau ketersediaan peta dasar dan luasan kawasan
konservasi tertentu, skala peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 22, dan Pasal 23 dapat disesuaikan
dengan kondisi lapangan dan menggunakan peta yang diterbitkan oleh
lembaga resmi pemerintah yang telah dilakukan koreksi.
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 24/PERMEN-KP/2019 TENTANG TATA CARA
PEMBERIAN IZIN LOKASI PERAIRAN DAN IZIN PENGELOLAAN
PERAIRAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 24/PERMEN-


KP/2019 merupakan peraturan yang mengenai tata car ape,berian izin lokasi
perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Isi Pokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia No. 24/PERMEN-KP/2019 meliputi :

Pasal 4 : Untuk melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan peissir secara
menetap wajib memiliki izin lokasi perairan yang diberikan berdasarkan rencana
zonasi. Izin lokasi perairan diberikan kepada pelaku usaha.

Pasal 12 : Pemegang izin lokasi perairan dapat memanfaatkan ruang perairan sesuai
lokasi, jenis kegiatan, luasan, dan jangka waktu sesuai dengan izin yang diberikan
serta untuk menjadi dasar bagi persyaratan/pengurusan izin-izin terkait
melaksanakan kegiatan pemanfaatan ruang perairan.

Pasal 16 : Untuk mendapatkan izin lokasi perairan pelaku usaha harus mengajukan
permohonan kepada menteri melalui lembaga OSS yang berlaku efektif setelah
pelaku usaha memenuhi komitmen kepada menteri melalui lembaga OSS

Pasal 22 : Izin lokasi perairan berlaku sampai dengan berakhirnya izin pengelolaan
perairan, izin pelaksanaan reklamasi, atau izin usaha sektor lain. Secara menetap
belum diterbitkan, maka Izin lokasi perairan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun
sejak diterbitkan

Pasal 37 : Perpanjangan izin pengelolaan periran diajukan dalam jangka waktu 4


bulan sebelum masa berlaku izin pengelolaan berakhir

Pasal 47 : Pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan kepada
masyarakat lokal dilakukan melalui proses verifikasi.

Pasal 56 : Menteri melakukan pencatatan dan pengadministrasian izin lokasi


perairan dalam sistem kadaster laut. Penyajian dan pemeliharaan data untuk
melakukan pengelolaan data dasar (basis data) izin lokasi perairan dan izin
pengelolaan perairan.

Pasal 57 : Pengawasan dilakukan terhadap pelaksanaan izin lokasi dan pengelolaan


perairan. Dalam hal hasil pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau
penyimpangan, menteri atau gubernur sesuai kewenangannya ,emberikan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 58 : Sanksi yang akan di dapatkan berupa :

 peringatan tertulis
 penghentian sementara kegiatan berusaha
 pengenaan denda administrative
 pembatalan izin lokasi dan pengelolaan perairan
 pencabutan izin lokasi dan pengelolaan perairan
 pengurangan luasan izin lokasi perairan

Pasal 62 : Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat diselenggarakan


melalui tata cara : Pemerintah yang berkepentingan menyampaikan permohonan
penetapan lokasi kepada menteri atau gubernur sesuai kewenangannya yang di
lengkapi dengan dokumen pendukung berupa : peta lokasi dengan titik koordinat
geografis, luasan lokasi, maksud dan tujuan kepentingan pembangunan pada ruang
perairan pesisir yang dimohonkan, dan data atau peta pemanfaatan ruang laut yang
telah ada.

Pasal 64 : Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya memberikan persetujuan


atau penolakan penetapan lokasi dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak
diterimanya dokumen permohonan secara lengkap.

Pasal 69 : Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Izin lokasi
perairan yang diterbitkan tanpa berdasarkan rencana zonasi dan masih berlaku pada
saat Rencana zonasi ditetapkan, maka izin lokasi perairan tersebut harus
disesuaikan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak rencana zonasi ditetapkan.
Review Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.
3/PERMEN-KP/2018 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Zona Inti Pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
untuk Eksploitasi

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 3/PERMEN-


KP/2018 merupakan peraturan yang mengatur tentang tata cara perubahan
peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil untuk eksploitasi.

Isi dari Permen tersebut terdiri atas 3 BAB Pembahasan aturan :

BAB I KETENTUAN UMUM (Ps. 1-2)

BAB II PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI ZONA INTI (Ps. 3-7)

BAB III KETENTUAN PENUTUP (Ps. 8)

Hal-hal pokok yang diatur pada Permen-KP No. 3 Tahun 2018 meliputi :

1. Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi hanya
dapat dilaksanakan dalam rangka penetapan proyek strategis nasional
Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 3 no. 1 (Perubahan peruntukan dan
fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi untuk eksploitasi hanya dapat
dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan) dan 2 (Kebijakan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan proyek strategis
nasional)
2. Rekomendasi perubahan peruntukan dan fungsi zona inti dapat berupa
mengubah alokasi ruang maupun tidak mengubah alokasi ruang
Dimuat dalam pasal 5 yaitu :
Hasil penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
rekomendasi perubahan peruntukan dan fungsi Zona Inti yang:
a) tidak mengubah alokasi ruang untuk Kawasan Konservasi dalam
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan
Rencana Zonasi Kawasan Laut atau pola ruang dalam Rencana Tata
Ruang Laut Nasional/Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; atau
b) mengubah alokasi ruang untuk Kawasan Konservasi dalam Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dan Rencana Zonasi
Kawasan Laut atau pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Laut
Nasional/Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
3. Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti yang mengubah alokasi ruang
merupakan perubahan kawasan yang berdampak penting dan cakupan luas
serta bernilai strategis

Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 6 ayat (2) (Perubahan peruntukan dan
fungsi Zona Inti yang mengubah alokasi ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) huruf b merupakan perubahan kawasan yang ber-Dampak Penting
dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis)

REVIEW PEDOMAN TATA BATAS : PETUNJUK TEKNIS PENATAAN


BATAS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-
PULAU KECIL

Petunjuk Teknis Penataan Batas Kawasan Konservasi terdiri dari :


a. Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (KKP3K)
b. Kawasan Konservasi Maritim (KKM)
c. Kawasan Konservasi (KKP)
d. Sempadan Pantai

Tata batas dalam hal ini dimaksudkan untuk menentukan batas kawasan konservasi
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penataan tata batas dalam rangka realisasi
legalitas status kawasan diperlukan untuk menegaskan batas definitif dilapangan
dan memperoleh status hukum yang jelas.

Tujuan dari Pedoman Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Konservasi Pesisir


Dan Pulau-Pulau Kecil disusun untuk :
1. Memberikan acuan
2. Menjamin dukungan penetapan kawasan konservasi

Daftar Istilah :
-Garis Dasar : triangulasi dengan dasar pengukuran sudut pemetaan, arah dan
perhitungan jarak.
-Garis Bujur : hubungan tempat dengan jarak yang sudutnya sama dari pusat bumi
-Sistem Referensi : metode pencatatan letak tempat
-Skala : perbandingan ukuran peta
-Titik Referensi : dasar penetapan posisi dalam pembuatan peta
-Triangaulasi : mengukur dengan sudut untuk menghitung posisi titik dipermukaan
bumi

Tata Laksana Penataan Batas meliputi tahapan : Perancangan Penataan Batas >
Pemasangan Tanda Batas > Pengukuran Batas > Pemetaan Batas Kawasan >
Sosialisasi Penandaan Batas Kawasan > Pembuatan Berita Acara Tata Batas >
Pengesahan Batas Kawasan

Dalam Perencangan Penataan Batas :


1. Pengumpulan dan Analisis Data
2. Proyeksi Batas di Atas Peta
3. Penetapan Jenis Tanda Batas
4. Persiapan Air dan Bahan

Dalam Pengukuran Batas meliputi tahapan pekerjaan sebagai berikut :


1. Pengecekan titik
2. Prosedur sebelum pengamatan
3. Prosedur saat pengamatan
4. Prosedur setelah pengamatan

Dalam Pemetaan Kawasan Batas harus diperhatikan sebagai berikut :

1. Simbol
2. Tata Letak
3. Penentuan Skala
4. Sistem Koordinat dan Proyeksi Peta

Tanda Batas Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sebagai Perangkat
Pengelolaan dengan penandaan tanda batas pemasangan atribut. Untuk jenis tanda
batas seperti tanda batas alam sebagai berikut :

1. Alur Sungai
2. Garis Pantai
3. Pulau/gosong

Dan untuk tanda batas buatan seperti pemasangan rambu ditempat berikut :

1. Pertemuan sungai dan anak sungai


2. Tikungan sungai dengan tepi yang curam dan berliku-liku
3. Alur pelayaran dengan frekunsi lalu lintas yang tinggi
4. Lokasi tertentu sesuai perkembangan lalu lintas pelayaran

pemasangan papan informasi dengan mencantumkan pembagian kriteria zonasi


kawasan konservasi perairan sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Adapun pemasangan Pai Batas dibuat dengan beton dan
rangka
REVIEW LITERATUR

Judul : Proses Padu Serasi dalam Pengembangan Kawasan Pesisir Kota


Semarang

Tahun : 2019

Penulis : Mohammad Agung Ridlo1, Eppy Yuliani2

Publikasi : Jurnal Planologi

Latar Belakang Penelitian

Penataan ruang pada kawasan pesisir yang belum dapat selaras dengan
potensi sumberdaya pesisir, menjadi salah satu alasan dari munculnya
berbagai permasalahan yang ada. Tidak satupadunya tujuan, target dan
rencana dalam pengelolaan sumberdaya pesisir membuat penataan kawasan
pesisir kurang menyatu.

Kota Semarang merupakan kota yang sangat miskin akan ruang publik.
Dalam pengelolaan kawasan pesisir perlu adanya pengarahan bahwa
kawasan pesisir ini sebagai ruang publik, tidak sekedar suatu proses dagang
semata dengan tujuan profit oriented. Namun tetap memberikan akses ke
ruang bebas dari pantai yang dapat dimasuki oleh siapapun. Ruang bebas
dapat diwujudkan dengan memberikan jarak bebas tertentu dari garis pantai.
Oleh karenanya, maka perpaduan rencana tata ruang darat dan rencana zonasi
pesisir sangat diperlukan. Dalam proses penyusunan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) dan rencana zonasi (RZ) wilayah pesisir, perlu dilakukan
proses padu serasi.

Metode Penelitian

Pada penelitiannya, jurnal ini menggunakan metode penelitian kualitatif


rasionalistik.

Alat Analisis

Penulis menggunakan pendekatan administratif berupa review perundangan


yang berlaku terkait kawasan pesisir seperti Undang-Undang Penataan
Ruang dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sedangkan
pada pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
merupakan upaya pendekatan dengan melihat kondisi secara kritis dalam
memandang permasalahan yang berdasarkan aspek nilai lingkungan dan
berkelanjutan.

Hasil

• Pengembangan kawasan pantai hendaknya mempertimbangkan bahwa


pemanfaatan potensi yang dimiliki untuk mensejahterakan masyarakat atau
kawasan di sekitarnya, dapat diakses oleh siapa pun, sebagai bagian dari ruang
terbuka publik kota, sekaligus tetap menjaga kelestarian ekosistem kawasan
pantai.
• Pemerintah Kota Semarang hendaknya menyiapkan Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Pesisir-Pantai yang diperhitungkan secara
ekologis dan sustainable. RTBL juga perlu dikaji secara komprehensif, sesuai
dengan kaidah-kaidah secara planologis, mengakomodir semua kepentingan,
termasuk adanya kemudahan bagi publik dalam mengakses dan menikmati
kawasan pesisir dan pantai.
• Pengembangan kawasan pesisir-pantai akan meliputi pengembangan kawasan
budidaya dan pengembangan kawasan perlindungan ekosistem pada kawasan
lindung.
• Memberikan informasi dan sosialisasi kepada stakeholder (masyarakat,
pengembang (investor) maupun aparat kelurahan dan kecamatan) yang terlibat
dalam pengembangan kawasan pesisir-pantai), mengenai potensi dari adanya
sumberdaya alam (hayati dan non hayati), agar dapat dikelola dan dimanfaatkan
secara terpadu dan berkelanjutan.
• Untuk menghidari dampak negatif yang mungkin terjadi, diharapkan adanya
pengawasan dan pemantauan lingkungan pesisir dan pantai secara kontinyu.
• Pemerintah Kota Semarang mestinya perlu mengarahkan bahwa kawasan pesisir
ini sebagai ruang publik, tidak sekedar suatu proses dagang semata dengan
tujuan profit oriented. Namun tetap memberikan akses ke ruang bebas dari
pantai yang dapat dimasuki oleh siapapun. Ruang bebas dapat diwujudkan
dengan memberikan jarak bebas tertentu dari garis pantai.
• Pemerintah harus bersikap realistis dalam mengukur kemampuan dan potensi
suatu kawasan, sehingga rencana di atas, secara ekonomi feasible, secara sosial
adaptable, secara kebutuhan realible dan yang paling penting yaitu sustainable.
• Terciptanya keseimbangan dan keharmonisan dalam pemanfaatan kawasan
pesisir dan pantai, terlestarikannya lingkungan secara berkelanjutan, pada
gilirannya taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Perpaduan rencana tata ruang darat dan rencana zonasi pesisir sangat diperlukan.
Dalam proses penyusunan RTRW dan rencana zonasi (RZ) wilayah pesisir, perlu
dilakukan proses padu serasi melalui badan yang terkait.
PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR

Judul : Perencanaan pengembangan kawasan pesisir

Tahun :, 2002:

Penulis : Achmad Djunaedi dan M. Natsir Basuki

Publikasi : Jurnal Teknologi Lingkungan

Wilayah pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik dibandingkan


dengan kawasan yang lain.. Wilayah ini merupakan agregasi dari berbagai
komponen ekologi dan fisik yang saling terkait dan saling berinteraksi.
Pembangunan dengan memanfaatkan sumberdaya pantai tanpa memperhatikan
prinsip-prinsip ekologis akan dapat merusak fungsi ekosistem pantai.

Pengembangan wilayah pada kawasan pesisir sebagaimana pengembangan


wilayah pada kawasan lainnya, mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui perencanaan
pengembangan dalam suatu proses yang didalamnya terdapat berbagai
pendekatan yang harus diperhatikan. Dewasa ini pembangunan pada kawasan
pantai berkembang sangat pesat dan ditunjukkan dengan adanya multi kegiatan,
misalnya usaha tambak, nelayan, pengusaha industri, hotel dan rekreasi wisata,
dan usaha-usaha. Dengan semakin meningkat dan kompleksitas kegiatan
didalamnya maka perlu dilakukan perencanaan pengembangan kawasan
pantai/pesisir.

Pada umumnya satu wilayah berkembang dari keadaan yang tingkat


kompleksitasnya lebih rendah menuju kepada keadaan yang kompleksitasnya
lebih tinggi. Meningkatnya kompleksitas tersebut menyebabakan
bertambahnya problem kebijakan pengembangan wilayah yang sering menjadi
tidak mudah diselesaikan. Terdapat banyak kasus pada problem pengembangan
wilayah, dan problem-problem semacam ini akan terjadi pula dalam
pengembangan wilayah pesisir.

Sebagaimana diketahui bahwa suatu wilayah itu mempunyai kondisi yang


spesifik. Apabila dibandingkan kondisi wilayah yang satu terhadap lainnya, maka
masing-masing akan berbeda, yaitu perbedaan dari sisi karakteristiknya, dan bila
dilihat lebih mendalam maka akan berbeda pula problem yang ada atau terjadi
didalamnya. Dengan demikian, akan pemiliki perbedaan dalam cara
penanganannya. Adapun karakteristik wilayah pesisir yang spesifik adalah bahwa
pada wilayah ini merupakan agregasi dari berbagai komponen ekologi dan fisik
yang saling mempengaruhi, serta secara ekologis sangat rapuh. Pembangunan atau
pengusahaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip
ekologi akan sangat mudah merusak proses atau fungsi ekosistem pantai.
Disamping itu ditunjukkan adanya komunitas serta terdapatnya multi kegiatan
pada wilayah pesisir, misalya: petambak, nelayan, petani, pengusaha industri,
hotel dan rekreasi wisata, dan usaha-usaha yang berhubungan dengan laut atau
pesisir.

KONSEP WILAYAH

Dalam perencanaan pengembang- an wilayah sering terlebih dahulu dlakukan


delineasi wilayah (region) yang didalamnya terdapat kegiatan untuk menentukan
batas- batas wilayah. Penentuan batas wilayah dengan memperhatikan terhadap
konsep wilayah. Dalam kaitan ini, konsep wilayah lebih menekankan “wilayah”
sebagai suatu alat (means) untuk suatu tujuan dibandingkan dengan tujuannya
sendiri. Sebagai suatu konsep, dapat ditunjukkan dengan mengambil contoh konsep
wilayah yang telah digunakan sebagai suatu metode klasifikasi melalui dua fase
yang berbeda, yaitu dari fase yang merefleksikan kemajuan ekonomi dari suatu
ekonomi agraris yang sederhana menuju suatu sistem perindustrian yang
kompleks.

• Fase pertama memperlihatkan wilayah formal (menyangkut uniformitas,


dan didefinisikan melalui homogenitas).
• fase kedua menunjukkan perkembangannya sebagai wilayah fungsional
(menyangkut interdependen, interrelationship dan didefinisikan
berdasarkan hubungan internasional)

KARAKTERISTIK WILAYAH PESISIR

Wilayah pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik. Wilayah ini


merupakan agregasi dari berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling
terkait dan saling mempengaruhi, serta secara ekologis sangat rapuh.
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa pembangunan sumberdaya alam
yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak
proses atau berfungsinya

ekosistem pantai. Suatu ekosistem pantai adalah komposisi dari berbagai


komponen (komponen ekologi dan biologi, serta lingkungan fisik pantai)
serta interaksinya. Komponen ekologi dan biologi dari ekosistem pantai termasuk
spesi binatang, tumbuhan dan organisme.

PERMASALAHAN DAN KONFLIK DI WILAYAH PANTAI

Tekanan yang keras dari proses pembangunan di wilayah pantai akan


berakibat pada gangguan atau dampak yang merusak pada fungsi dan integritas
dari ekosistem pantai. Akibat yang timbul adalah degradasi lingkungan dan
menurunnya tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Upaya
yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan ekonomi dan
intergritas ekosistem pantai adalah menekankan usaha konservasi sumber daya
alam pantai untuk menunjang pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan.
Namun di dalam prakteknya, pendekatan pengelolaan tersebut tidak sepenuhnya
fleksibel secara politis dan sukar dilaksanakan. Manfaat jangka pendek dari
pembangunan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam, pada kenyataannya,
dibutuhkan di dalam pengembangan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial
masyarakat pantai. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan praktis dari
berbagai pandangan harus diupayakan untuk menyeleraskan kepentingan yang
berorientasi jangka pendek dan jangka panjang.

Problem dan konflik yang cenderung terjadi akibat adanya “multiple


management entities” adalah fragmentasi di dalam pengambilan keputusan,
duplikasi/overlapping kewenangan/yuridiksi adalah tidak efektif dan tidak efisien.
Agar menjadi efektif dan efisien, maka problem tersebut harus dipecahkan.
Konflik kadang mempunyai dampak positif di dalam merangsang kreatifitas
pemecahan masalah di dalam managemen publik. Namun konflik kewenangan
dan kepentingan yang berkepanjangan akan menghambat pencapaian tujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan wilayah dan ekosistem pantai.

PENDEKATAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN PESISIR


Konsepsi pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan
dan selalu terdapat isue-isue yang lebih menonjol tergantung dari kondisi wilayah
pesisir bersangkutan. Pendekatan- pendekatan ini meliputi:

(1) pendekatan ekologis;

(2) pendekatan fungsional/ ekonomi;

(3) pendekatan sosio-politik;

(4) pendekatan behavioral dan kultural.


Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia

Judul : Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia

Tahun :, 2009

Penulis : Nurul Fajri Chikmawati

Publikasi : Jurnal

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah perkembangan


baru yang memiliki potensi sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Wilayah ini selain memiliki fungsi
konservasi, juga memiliki fungsi lain sangat penting bagi penyediaan barang dan
jasa kelautan. Potensi yang besar ini perlu dikelola dengan pendekatan terintegrasi
antar sektor agar keseluruhan fungsi dapat dimanfaatkan dengan baik dan
berkelanjutan. Untuk itu Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian
direvisi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-
Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dengan alasan belum mewujudkan pendekatan Integrated Coastal
Management, yang ditandai dengan tidak adanya pembaharuan atas penguasaan
dan pengusahaan yang timpang dan adanya ketidaksinkronan dengan peraturan
perundang-undang lainnya. Undang-Undang ini juga dianggap lebih
mementingkan aspek investasi dan lebih berpihak kepada dunia usaha sehingga
tidak ada ruang bagi masyarakat, khususnya masyarakat nelayan tradisional dan
masyarakat adat dalam pengusulan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Dengan adanya revisi maka diharapkan hak-hak masyarakat
tradisional, khususnya hak-hak ekonomi secara umum diakomodir sejak dalam
proses perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan serta pengawasan terkait dengan
pengelolaan WP3K.

1. Tujuan Dan Ruang Lingkup Undang-undang No. 1 Tahun 2014 atas


perubahan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Tujuan dari penyusunan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini adalah :
- Untuk menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai
pengelolaan WP3K khususnya yang menyangkut perencanaan,
pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik,
konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan
pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;
- Untuk membangun sinergi dan saling memperkuat hubungan kerja
antarlembaga Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang
terkait dengan pengelolaan WP3K sehingga tercipta hubungan yang
harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan
konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
- Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta
memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan
hak-hak masyarakat.

2. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berdasarkan


UndangUndang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 Tahun 2007


tentang Pengelolaan WP3K dinyatakan bahwa perencanaan dilaksanakan
melalui pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
secara terpadu atau yang dikenal dengan istilah Integrated Coastal
Management, yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun
oleh berbagai sector terkait dan sesuai dengan tugas dan kewenangan
pemerintah pusat dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan penguatan
dalam pemanfaatan.
Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun semua rencana tersebut
diatas, termasuk Rencana Zonasi rinci, sesuai dengan kewenangannya
masingmasing dengan melibatkan masyarakat sesuai dengan norma, standar
dan pedoman yang berlaku. Selanjutnya terdapat perubahan isi dalam Pasal
14 ayat (1) yang mengatur mekanisme penyusunan rencana bahwa dalam
usulan penyusunan RS-WP3K, RZ-WP3K, RP-WP3K dan RAP-WP3K
akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha.

Penutup
Dari pembahasan mengenai pengelolaan WP3K maka dapat diambil
keputusan bahwa:
1. Hak-hak masyarakat tradisional, khususnya hak-hak ekonomi secara
umum telah diakomodir sejak dalam proses perencanaan, pemanfaatan
dan pengawasan serta pengawasan terkait dengan pengelolaan WP3K.
2. Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengakui
keberadaan masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal
atas WP3K yang telah dimanfaatkan secara turun temurun tidak
dinyatakan dengan jelas bagaimana bentuk pengakuan itu dituangkan
sehingga berpotensi konflik dalam praktinya. Sehingga dalam
penerapan pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional
dan kearifan lokal tersebut sebagai acuan dalam pengelolaan WP3K ini
menjadi tidak efektif.
3. Penegakan hukum tanpa pandang bulu merupakan hal yang sangat
penting meskipun telah dibuat pengaturan sanksi yang berat para pihak
yang melanggar. Hal ini sangat diperlukan mengingat WP3K ini
merupakan wilayan yang sangat penting dan strategis baik dalam aspek
sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan serta keamanan Negara.

Anda mungkin juga menyukai