Anda di halaman 1dari 34

3 Metodologi

3.1 Aspek Normatif


3.1.1 Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

A. Sistem Klasifikasi Jalan Umum di Indonesia

Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, menyebutkan klasifikasi jalan umum berdasarkan sistem,
fungsi, status dan kelas jalan. Maksud dilakukannya klasifikasi jalan umum tersebut, selain untuk efisiensi
jaringan, juga dalam rangka pembagian kewenangan pembinaan jalan, sehingga jelas pihak yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan suatu ruas jalan tertentu. Bentuk kegiatan penyelenggaraan
sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan tersebut meliputi: Pengaturan,
Pembinaan, Pembangunan dan Pengawasan (TURBINBANGWAS).

Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum
dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan. Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan
untuk:
1. Mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan;
2. Mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan;
3. Mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada
masyarakat;
4. Mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat;
5. Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung
terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan
6. Mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka.

Pengaturan jalan secara umum meliputi:


1. Perumusan kebijakan perencanaan;
2. Penyusunan perencanaan umum;
3. Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.

Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan
sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan. Pembinaan jalan secara umum meliputi
kegiatan:

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-1
1. Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman penyelenggaraan jalan;
2. Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan; dan
3. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.

Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan
konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Pembangunan jalan meliputi kegiatan:
1. Pemrograman dan penganggaran;
2. Perencanaan teknis;
3. Pengadaan tanah;
4. Pelaksanaan konstruksi; dan
5. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan.

Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan
pembangunan jalan. Pengawasan jalan secara umum meliputi:
1. Kegiatan evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan;
2. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan; dan
3. Pemenuhan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.

B. Klasifikasi Jalan Menurut Peruntukan

Sesuai pasal 6 (1) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, disebutkan bahwa jalan sesuai peruntukkannya
terdiri atas jalan umum dan jalan khusus.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum (pasal 1 UU No. 38 Tahun 2004).
Termasuk ke dalam jalan umum ini adalah jalan tol.
Jalan khusus adalah jalan yang bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum, dalam rangka distribusi
barang dan jasa yang dibutuhkan (pasal 6 (3) UU No. 38 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan jalan
khusus (penjelasan pasal 6 (3) UU No. 38 Tahun 2004), antara lain: jalan di dalam kawasan pelabuhan,
jalan kehutanan, jalan perkebunan, jalan inspeksi pengairan, jalan di kawasan industri dan jalan di
kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada pemerintah.

C. Klasifikasi Jalan Umum di Indonesia

Dalam rangka efisiensi penyelenggaraan jaringan jalan, maka pada pasal 7 s.d pasal 10 UU No. 38 Tahun
2004 tentang Jalan, maka jalan umum dikelompokkan lebih lanjut menurut:
1. Sistem jaringan, yang terdiri atas: sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
2. Fungsi jalan, yang dikelompokkan menjadi: Jalan arteri, Jalan kolektor, Jalan lokal, Jalan lingkungan.
3. Status jalan, yang dikelompokkan menjadi: Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten, Jalan
Kota dan Jalan Desa.
4. Kelas jalan, yang dikelompokan menjadi: jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang dan jalan
kecil.

Pada Tabel 3.1 disampaikan definisi untuk masing-masing istilah pengelompokkan jalan umum tersebut di
atas. Secara umum dapat diperoleh kesimpulan bahwa landasan dalam UU No. 38 Tahun 2004 dalam
mengklasifikasi jalan seperti ditampilkan pada Tabel 3.1.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-2
Tabel 3.1 Definisi Istilah Dalam Klasifikasi Jalan Umum di Indonesia

No Pembagian Klasifikasi Definisi


1 Menurut Sistem jaringan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang
sistem jalan primer dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional,
dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yg berwujud
pusat kegiatan
Sistem jaringan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang
jalan sekunder dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan
2 Menurut Jalan arteri jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri
fungsi perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara berdaya guna
Jalan kolektor jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau
pembagi dengan ciri perjalananjarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi
Jalan lokal jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi
Jalan lingkungan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan
ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah
3 Menurut Jalan Nasional jalan arteri & jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
status menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional,
serta jalan tol
Jalan Provinsi jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota,
atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi
Jalan Kabupaten jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk
Jalan Nasional maupun Jalan Provinsi, yang menghubungkan
ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal,
antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan
jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis
kabupaten
Jalan Kota jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota,
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang
berada di dalam kota
Jalan Desa jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan
4 Menurut Jalan kelas I Jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan dengan
Kelas ukuran: lebar maks 2.500 mm, tinggi maks 4.200 mm, muatan
sumbu maks 10 t
Jalan Kelas II Jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan dengan ukuran: lebar maks 2.500 mm, panjang maks
12.000, tinggi maks 4.200 mm, muatan sumbu maks 8 t.
Jalan Kelas III Jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan dengan ukuran: lebar maks 2.100 mm, panjang maks
9.000, tinggi maks 3.500 mm, muatan sumbu terberat 8 t.
Jalan kelas Jalan arteri yang dpat dilalui kendaraan dengan ukuran: lebar
khusus melebihi dari 2.500 mm, panjang melebihi dari 18.000, tinggi

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-3
No Pembagian Klasifikasi Definisi
melebihi 4.200 mm, muatan sumbu melebihi 10 t.
Sumber: UU No. 38 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 2009

Selanjutnya mengacu kepada Penjelasan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 9 ayat 2
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jalan strategis nasional adalah jalan yang melayani
kepentingan nasional atas dasar kriteria strategis yaitu mempunyai peranan untuk membina kesatuan dan
keutuhan nasional, melayani daerah-daerah rawan, bagian dari jalan lintas regional atau lintas
internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, serta dalam rangka pertahanan dan
keamanan.
3.1.2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan menggantikan Undang-undang
No. 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Raya. Undang-undang tersebut mengatur
antara lain pembinaan dan penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, pembinaan lalulintas dan
angkutan jalan dilakukan oleh pemerintah dan meliputi: (1) perencanaan, (2) pengaturan, (3)
pengendalian dan (4) pengawasan.
Pembinaan lalulintas dan angkutan jalan yang dilakukan oleh instansi pembina meliputi:
1. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem lalulintas dan angkutan jalan.
2. Penetapan norma, standar, pedoman, keriteria dan prosedur penyelenggaraan lalulintas dan
angkutan jalan yang berlaku secara nasional.
3. Penetapan kompensasi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang lalulintas dan angkutan jalan
secara nasional.
4. Pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin dan bantuan teknis kepada pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
5. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria dan prosedur yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah.
Pembinaan dan penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh instansi pembina
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan dilakukan
secara terkoordinasi dan dilakukan oleh forum lalulintas dan angkutan jalan. Forum Lalulintas dan
Angkutan Jalan melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam
merencanakan dan menyelesaikan masalah lalulintas dan angkutan jalan. Keanggotaan Forum Lalulintas
dan Angkutan Jalan terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi dan masyarakat.

Penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan yang meliputi beberapa bidang seperti ditampilkan pada
Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Penyelenggaraan Lalulintas dan Angkutan Jalan

No Bidang Pembinaan dan Penyelenggaraan


1 Jalan Kementerian negara yang bertanggungjawab di
bidang jalan
2 Sarana dan prasarana lalulintas dan angkutan jalan Kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan prasarana lalulintas dan
angkutan jalan
3 Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional
Manajemen dan Rekayasa Lalulintas serta

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-4
No Bidang Pembinaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan Berlalulintas
Sumber: UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

3.1.3 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan

A. Hirarki Fungsi Jalan Pada Jaringan Jalan Primer

Sesuai pasal 7 PP No. 34 Tahun 2006 sistem jaringan jalan primer melayani distribusi barang dan jasa
untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional yang menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan (kota).

Lebih lanjut pada pasal 9 (3) PP No. 34 Tahun 2006 fungsi jalan pada sistem jaringan primer dibedakan
atas jalan arteri primer (JAP), jalan kolektor primer (JKP), jalan lokal primer (JLP), dan jalan lingkungan
primer (JLingkP). Adapun pusat-pusat kegiatan yang dihubungkan oleh masing-masing fungsi jalan primer
tersebut disampaikan pada pasal 10 PP No. 34 Tahun 2006.

Pada Tabel 3.3 disampaikan matriks hubungan yang diperankan oleh setiap fungsi jalan primer tersebut,
adapun pada Gambar 3.1 disampaikan ilustrasi hirarki jalan pada sistem jaringan jalan primer dan
Gambar 3.2 menampilkan hirarki jaringan jalan antar kota.

Tabel 3.3 Matriks Hubungan Fungsi Jalan Pada Sistem Jaringan Jalan Primer

Pusat Kegiatan
Pusat Kegiatan Pusat Kegiatan Pusat Kegiatan
Lingkungan
Nasional (PKN) Wilayah (PKW) Lokal (PKL)
(PKLingk)
Pusat Kegiatan Jalan Arteri Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Lokal
Nasional (PKN) Primer (JAP) Primer (JAP) Primer (JKP) Primer (JLP)
Pusat Kegiatan Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Kolektor Jalan Lokal
Wilayah (PKW) Primer (JAP) Primer (JKP) Primer (JKP) Primer (JLP)
Pusat Kegiatan Jalan Kolektor Jalan Kolektor Jalan Lokal Jalan Lokal
Lokal (PKL) Primer (JKP) Primer (JKP) Primer (JLP) Primer (JLP)
Pusat Kegiatan
Jalan Lokal Jalan Lokal Jalan Lokal Jalan Lokal
Lingkungan
Primer (JLP) Primer (JLP) Primer (JLP) Primer (JLP)
(PKLingk)
Keterangan: Jalan lingkungan primer menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan
di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
Sumber: Pasal 10 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-5
JALAN ARTERI
PKN PRIMER (JAP) PKN

JALAN JALAN
LOKAL KOLEKTOR JALAN ARTERI JALAN ARTERI
PRIMER PRIMER PRIMER (JAP) PRIMER (JAP)
(JLP) (JKP)

PKW JALAN
JALANKOLEKTOR
KOLEKTOR PKW
PRIMER
PRIMER(JKP)
(JKP)

JALAN KOLEKTOR JALAN KOLEKTOR


PRIMER (JKP) PRIMER (JKP)

JALAN JALAN LOKAL


PKL PRIMER (JLP) PKL
LOKAL
PRIMER
(JLP)
JALAN LOKAL JALAN LOKAL
PRIMER (JLP) PRIMER (JLP)

JALAN LOKAL
PKLing PRIMER (JLP) PKLing

Keterangan:
PKN : Pusat Kegiatan Nasional
JALAN LINGKUNGAN PRIMER:
PKW : Pusat Kegiatan Wilayah
DI DALAM KAWASAN PERDESAAN
PKL : Pusat Kegiatan Lokal
PKLing : Pusat Kegiatan Lingkungan

Gambar 3.1 Ilustrasi Hirarki Fungsi Pada Sistem Jaringan Jalan Primer
(Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan)

Gambar 3.2 Ilustrasi Hirarki Jaringan Jalan Antar Kota


(Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan-diolah)

B. Hirarki Fungsi Jalan Pada Jaringan Jalan Sekunder

Sesuai pasal 8 PP No. 34 Tahun 2006, sistem jaringan jalan sekunder melayani distribusi barang dan jasa
untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-6
mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke persil.

Lebih lanjut pada pasal 9 (5) PP No. 34 Tahun 2006, fungsi jalan pada sistem jaringan sekunder
dibedakan atas jalan arteri sekunder (JAS), jalan kolektor sekunder (JKS), jalan lokal sekunder (JLS) dan
jalan lingkungan sekunder (JLingkS). Adapun kawasan yang dihubungkan oleh masing-masing fungsi
jalan sekunder disampaikan pada pasal 11 PP No. 34 Tahun 2006.

Pada Tabel 3.4 disampaikan matriks hubungan yang diperankan oleh setiap fungsi jalan sekunder
tersebut, adapun pada Gambar 3.3 disampaikan ilustrasi hirarki jaringan jalan sekunder dan Gambar 3.4
menampilkan ilustrasi hirarki jaringan jalan dalam kota.

Tabel 3.4 Matriks Hubungan Fungsi Jalan Pada Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Kawasan Kawasan Kawasan


Kawasan
Sekunder Sekunder Sekunder Perumahan
Primer
Kesatu Kedua Ketiga
Jalan Arteri t.a t.a t.a
Kawasan
Sekunder
Primer
(JAS)
Kawasan Jalan Arteri Jalan Arteri Jalan Arteri t.a Jalan Lokal
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Kesatu (JAS) (JAS) (JAS) (JLS)
Kawasan t.a Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Kolektor Jalan Lokal
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Kedua (JAS) (JKS) (JKS) (JLS)
Kawasan t.a t.a Jalan Kolektor Jalan Lokal Jalan Lokal
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Ketiga (JKS) (JLS) (JLS)
t.a Jalan Lokal Jalan Lokal Jalan Lokal t.a
Perumahan
Sekunder Sekunder Sekunder
(JLS) (JLS) (JLS)
Keterangan: Jalan lingkungan sekunder menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan.
t.a = tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Sumber: Pasal 11 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-7
F1
Kawasan
Primer

JALAN ARTERI JALAN ARTERI


SEKUNDER (JAS) SEKUNDER (JAS)

F 2,1 F 2,1
Kawasan JALAN ARTERI Kawasan
Sekunder SEKUNDER (JAS) Sekunder
I I

JALAN JALAN ARTERI JALAN ARTERI


LOKAL SEKUNDER (JAS) SEKUNDER (JAS)
SEKUNDER
(JLS)
F 2,2 F 2,2
Kawasan JALAN KOLEKTOR Kawasan
Sekunder SEKUNDER (JKS) Sekunder
II II

JALAN KOLEKTOR JALAN KOLEKTOR


SEKUNDER (JKS) SEKUNDER (JKS)
JALAN
LOKAL
SEKUNDER F 2,3 F 2,3
JALAN LOKAL
(JLS) Kawasan Kawasan
SEKUNDER (JLS)
Sekunder Sekunder
III III

JALAN LOKAL
SEKUNDER (JLS)

Perumahan

JALAN LINGKUNGAN SEKUNDER:


Menghubungkan antar persil
di dalam kawasan perkotaan

Gambar 3.3 Ilustrasi Hirarki Fungsi Jalan Pada Sistem Jaringan Jalan Sekunder
(Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan)

Gambar 3.4 Hirarki Jaringan Jalan di Dalam Kota


((Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan-diolah)

Sebagaimana disampaikan pada Tabel 3.4, terdapat beberapa hubungan antar kawasan yang tidak diatur
(diberikan tanda t.a) pada PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Tidak diaturnya hubungan ini dapat
dipersepsikan bahwa: (1) Daerah dapat menetapkan fungsi jalan yang menghubungkan antar kawasan
tersebut, atau kemungkinan besar yang lebih tepatnya, bahwa (2) sebaiknya hubungan antar kawasan
tersebut dilakukan sesuai hirarki jalan yang telah ditetapkan melalui hirarki kawasan yang lebih tinggi.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-8
Contohnya, hubungan antara Kawasan Sekunder Kedua, Kawasan Sekunder Ketiga, dan Perumahan ke
Kawasan Primer, sebaiknya dilakukan melalui jalan arteri sekunder (JAS) yang menghubungkan Kawasan
Sekunder Kesatu dengan Kawasan Primer. Demikian, jiga hubungan antara Kawasan Sekunder Ketiga
dengan Kawasan Sekunder Kesatu sebaiknya melalui Jalan Arteri Sekunder (JAS) yang menghubungkan
Kawasan Sekunder Kedua (yang ada pada hirarki diatas Kawasan Sekunder Ketiga yang bersangkutan)
dengan Kawasan Sekunder Kesatu.

C. Persyaratan Teknis Jalan Sesuai Fungsinya

C.1. Persyaratan Teknis Jalan Primer

Pada Tabel 3.5 disampaikan persyaratan teknis jalan pada jaringan jalan primer sesuai dengan klasifikasi
fungsinya yang diatur dalam pasal 13 s.d pasal 16 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Persyaratan
teknis ini harus dipenuhi oleh setiap ruas jalan yang ditetapkan sebagai bagian dari jaringan jalan primer
agar fungsinya dapat optimal sesuai dengan fungsi hubungan yang diperankan/diembankan masing-
masing ruas jalan pada sistem distribusi nasional/antar kota.

Tabel 3.5 Persyaratan Teknis Jalan Primer

No Fungsi Jalan Persyaratan Teknis


1 Arteri Primer 1. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dan lebar
badan jalan paling sedikit 11 meter.
2. Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata
(V/C < 1)
3. Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalulintas ulang alik, lalulintas
lokal, dan kegiatan lokal
4. Jumlah jalan masuk dibatasi sedemikian rupa sehingga persyaratan butir (1),
(2), (3) terpenuhi
5. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus memenuhi
ketentuan pada butir (1), (2), dan (3) terpenuhi
6. Tidak boleh terputus ketika memasuki kawasan perkotaan
2 Kolektor Primer 1. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dan lebar
badan jalan paling sedikit 9 meter.
2. Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata (V/C
< 1)
3. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan butir (1), (2),
(3) terpenuhi
4. Persimpangan sebidang dgn pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan
butir (1),(2),(3)
5. Tidak boleh terputus ketika memasuki kawasan perkotaan
3 Lokal Primer 1. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dan lebar
badan jalan paling sedikit 7,5 meter
2. Tidak boleh terputus ketika memasuki kawasan perdesaan
4 Lingkungan Primer 1. Jika diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih, maka
didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 15 km/jam dan lebar
badan jalan minimal 6,5 m
2. Jika tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih
harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.
Sumber: pasal 13 s.d pasal 16 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

C.2 Persyaratan Teknis Jalan Sekunder

Pada Tabel 3.6 disampaikan persyaratan teknis jalan pada jaringan jalan sekunder sesuai dengan
klasifikasi fungsinya yang diatur dalam pasal 17 s.d pasal 20 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Persyaratan teknis ini harus dipenuhi oleh setiap ruas jalan yang ditetapkan sebagai bagian dari jaringan

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-9
jalan sekunder agar fungsinya dapat optimal sesuai dengan fungsi hubungan yang
diperankan/diembankan masing-masing ruas jalan pada sistem distribusi dalam kawasan perkotaan.

Tabel 3.6 Persyaratan Teknis Jalan Sekunder

No Fungsi Jalan Persyaratan Teknis


1 Arteri sekunder 1.
Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam dan lebar
badan jalan paling sedikit 11 meter.
2. Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata
(V/C < 1)
3. Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
4. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi
ketentuan butir (1), (2) dan (3)
2 Kolektor sekunder 1. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dan
lebar badan jalan paling sedikit 9 meter
2. Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata
(V/C < 1)
3. Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat
4. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus memenuhi
ketentuan ketentuan butir (1), (2) dan (3)
3 Lokal sekunder Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar
badan jalan paling sedikit 7,5 meter.
4 Lingkungan 1. Jika diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih, maka
sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar
badan jalan paling sedikit 6,5 meter
2. Jika tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih
harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.
Sumber: pasal 17 s.d pasal 20 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

D. Hubungan Antara Fungsi Dengan Status Suatu Ruas Jalan

Secara prosedural pada pasal 62 PP No. 34 Tahun 2006 disiratkan bahwa untuk dapat menetapkan
status jalan diperlukan masukan mengenai ketetapan fungsi jalan. Hal ini diperjelas lagi dalam pasal 25
s/d pasal 30 PP No. 34 Tahun 2006 dimana untuk setiap status jalan ditetapkan ruas-ruas jalan yang
menjadi bagiannya berdasarkan hirarki fungsinya. Pada Tabel 3.7 disampaikan hubungan status jalan
dengan fungsi jalan yang dilingkupinya sedangkan Gambar menampilkan skema hubungan sistem
jaringan, fungsi dan status jalan.

Tabel 3.7 Pemetaan Hubungan Antara Fungsi Dengan Status Ruas Jalan

No Status Jalan Fungsi Jalan yang Dilingkupi


a. jalan arteri primer;
1 Jalan Nasional b. jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota provinsi;
c. jalan tol; dan
d. jalan strategis nasional
a. jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten atau kota;
2 Jalan Provinsi b. jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten atau kota;
c. jalan strategis provinsi; dan
d. jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan masuk ke status jalan
Nasional.
a. jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi;
b. jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
3 Jalan Kabupaten kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antaribukota kecamatan,
ibukota kecamatan dengan desa, dan antardesa;
c. jalan sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi dan jalan sekunder dalam kota;

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-10
No Status Jalan Fungsi Jalan yang Dilingkupi
dan
d. jalan strategis kabupaten.
4 Jalan Kota jalan umum pada jaringan jalan sekunder di dalam kota
jalan lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten di
5 Jalan Desa dalam kawasan perdesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa

Sumber: pasal 25 s/d pasal 30 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

Secara lebih gamblang, pada Tabel 3.8 disampaikan penetapan mengenai hubungan antara penetapan
fungsi dan status jalan

Tabel 3.8 Hubungan Antara Penetapan Fungsi dengan Penetapan Status Jalan

FUNGSI JALAN STATUS JALAN


SISTEM FUNGSI PENETAPAN STATUS PENETAPAN
Sistem Jaringan (1) Arteri Primer Kepmen PU Jalan NASIONAL Kepmen PU
Jalan PRIMER (2) Kolektor Primer yg (Termasuk strategis
menghubungkan antar Nasional dan Jalan
ibukota provinsi TOL)
(1) Kolektor Primer yg Keputusan Jalan PROVINSI Keputusan
tidak menghubungkan Gubernur (termasuk jalan Gubernur
antar ibukota provinsi strategis provinsi)

(1) Lokal Primer Jalan KABUPATEN Keputusan Bupati


(2) Lingkungan Primer (termasuk strategis
Kabupaten dan jalan
sekunder dalam
wilayah Kabupaten
Sistem Jaringan (1) Arteri Sekunder Jalan KOTA Keputusan
Jalan (2) Kolektor Sekunder Walikota
SEKUNDER (3) Lokal Sekunder
(4) Lingkungan Sekunder
Sistem Jaringan (1) Arteri Primer Kepmen PU Jalan NASIONAL Kepmen PU
Jalan PRIMER (2) Kolektor Primer yg (Termasuk strategis
menghubungkan Nasional dan Jalan
antar ibukota provinsi TOL)
(1) Kolektor Primer yg Keputusan Jalan PROVINSI Keputusan
tidak menghubungkan Gubernur (termasuk jalan Gubernur
antar ibukota provinsi strategis provinsi)

(1) Lokal Primer Jalan KABUPATEN Keputusan Bupati


(2) Lingkungan Primer (termasuk strategis
Kabupaten dan jalan
sekunder dalam
wilayah Kabupaten
Sistem Jaringan (1) Arteri Sekunder Jalan KOTA Keputusan
Jalan (2) Kolektor Sekunder Walikota
SEKUNDER (3) Lokal Sekunder
(4) Lingkungan Sekunder
Sumber: UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-11
3.1.4 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak
terpisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh.pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Berdasarkan Pasal 5 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibagi menurut status yaitu:

a. Hutan negara (dapat berupa meliputi hutan adat) yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.
b. Hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

Sedangkan pada Pasal 6 UU No. 41 tahun 1999, pembagian hutan menurut fungsinya adalah sebagai
berikut:

a. Hutan produksi
b. Hutan lindung
c. Hutan konservasi.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 7 UU No. 41 tahun 1999, hutan konservasi terdiri dari:

a. kawasan hutan suaka alam,


b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.

Dalam hal pengelolaan hutan (Pasal 21,UU No. 41/1999 tentang Kehutanan) kegiatan yang diatur
meliputi:

a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,


b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Sedangkan dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan beberapa hal perlu menjadi
perhatian yaitu :

a. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (Pasal 24)
b. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru
diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 25)
c. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Pasal 26)
d. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
(Pasal 28).

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-12
3.1.5 Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Palu

Lokasi KEK Palu berdampingan dengan Pelabhan Pantoloan yang terletak di Teluk Palu. Secara
geostrategis, konsep pengembangan KEK Palu telah terintegrasi dengan konsep pengembangan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Palu, Donggala, Parigi Moutong dan Sigi (KAPET PALAPAS)
dan pengembangan jaringan jalan nasional Palu - Parigi yang akan menghubungkan perairan Selat
Makassar dengan perairan Teluk Tomini.

Pada Pasal 2 PP 31 tahun 2014 disebutkan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus Palu terletak dalam
wilayah Kecamatan Tawaeli, Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah seperti ditampilkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Kawasan Ekonomi Khusus Palu


(Sumber: PP 31 tahun 2014)

3.1.6 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 567 Tahun 2010 Tentang Rencana Umum
Jaringan Jalan Nasional

Berdasarkan KM PU No. 567 Tahun 2010 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional, bahwa jalan
nasional yang terdiri atas jaringan jalan nasional bukan jalan tol, jaringan jalan nasional jalan tol, dan
jaringan jalan strategis nasional rencana. Jaringan jalan strategis nasional rencana adalah jalan yang
belum terhubung, dalam proses pembangunan, berstatus jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan kota,
yang mendukung berfungsinya sistem jaringan jalan nasional.

Adapun jaringan jalan di Provinsi Sulawesi Tengah disampaikan pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-13
Tabel 3.9 Jaringan Jalan Nasional Bukan Jalan Tol di Provinsi Sulawesi Tengah
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
1 28 3 1 UMU (BTS. PROV. GORONTALO) - PALELEH 45.940
2 28 2 2 PALELEH - BODI 49.348
3 28 1 3 BODI - BUOL 47.937
4 27 3 4 BUOL - LAKUAN 48.266
5 27 2 5 LAKUAN - LAULALANG 49.457
6 27 1 6 LAULALANG - LINGADAN 16.251
7 11 7 LINGADAN - BTS. KOTA TOLITOLI 40.711
8 11 14 K 7 11 K JLN. M. SALEH (TOLI-TOLI) 8.547
9 11 13 K 7 12 K JLN. YOS SUDARSO (TOLITOLI) 2.225
10 11 12 K 7 13 K JLN. SYARIF MANSUR (TOLITOLI) 0.708
11 11 11 K 7 14 K JLN. A. YANI (TOLITOLI) 0.452
12 45 2 8 BTS. KOTA TOLITOLI - SILONDOU 33.581
13 45 25 K 8 11 K JLN. MOH. HATTA (T0LITOLI) 0.744
14 45 24 K 8 12 K JLN. ABDUL MUIS (TOLITOLI) 0.908
15 45 23 K 8 13 K JLN. WOLTER MONGINSIDI (TOLITOLI) 1.120
16 45 22 K 8 14 K JLN. SONA (TOLITOLI) 2.351
17 45 21 K 8 15 K JL. TADULAKO (TOLITOLI) 1.208
18 45 1 9 SILONDOU - MALALA 38.692
19 26 2 10 MALALA - OGOTUA 54.875
20 26 1 11 OGOTUA - OGOAMAS 35.151
21 25 2 12 OGOAMAS - SIBOANG 62.925
22 25 1 13 SIBOANG - SABANG 51.824
23 10 3 14 SABANG - TAMBU 28.814
24 10 2 15 TAMBU - TOMPE 28.336
25 10 1 16 TOMPE - PANTOLOAN 64.698
26 46 17 PANTOLOAN - TAWAELI 3.795
27 3 18 KEBUNSARI (TALISE) - TAWAELI 8.887
28 3 1A K 18 11 K JLN. TANAH RUNTUH - KEBONSARI (PALU) 6.606
29 3 19 K 18 12 K JLN. SUDIRMAN (PALU) 0.542
30 3 18 K 18 13 K JLN. YOS SUDARSO (PALU) 1.464
31 3 17 K 18 14 K JLN. SAM RATULANGI (PALU) 1.285
32 3 14 K 18 15 K JLN. WOLTER MONGINSIDI (PALU) 1.022
33 3 13 K 18 16 K JLN. EMMY SAELAN (PALU) 1.146
34 3 12 K 18 17 K JLN. BASUKI RAHMAT (PALU) 1.710
35 3 11 K 18 18 K JLN. ABDUL RAHMAN SALEH (PALU) 1.484
WATUSAMPU (TAMAN RIA) - AMPERA (BTS. KAB.
36 1 19 14.940
DONGGALA)
37 1 11 K 19 11 K JLN. HASANUDDIN I (PALU) 0.418
38 1 12 K 19 12 K JLN. GAJAH MADA (PALU) 0.592
39 1 13 K 19 13 K JLN. IMAM BONJOL (PALU) 0.571
40 1 14 K 19 14 K JLN. DIPONEGORO (PALU) 2.503
41 1 15 K 19 15 K JLN. MALONDA (PALU) 4.070
AMPERA (BTS. KOTA DONGGALA) - SURUMANA (BTS
42 33 20 39.226
PROV.SULBAR)
43 24 2 21 MOLOSIPAT (BTS. PROV. GORONTALO) - LAMBUNU 41.827

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-14
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
44 24 1 22 LAMBUNU - MEPANGA 45.436
45 9 3 23 MEPANGA - TINOMBO 55.579
46 9 2 24 TINOMBO - KASIMBAR 57.828
47 9 1 25 KASIMBAR - AMPIBABO 56.492
48 8 26 AMPIBABO - TOBALI 29.618
49 5 27 TOBALI - PARIGI 16.057
50 16 28 PARIGI - TOLAI 29.659
51 17 29 TOLAI - SAUSU 28.401
52 18 30 SAUSU - TOMARO (BTS. KAB. POSO) 13.139
53 31 TOMARO (BTS. KAB. PARIMO) - TAMBARANA 9.022
54 19 32 TAMBARANA - BTS. KOTA POSO 49.227
55 19 14 K 32 11 K JLN. PULAU SABANG (POSO) 1.267
56 19 13 K 32 12 K JLN. PULAU SUMATRA (POSO) 0.724
57 19 12 K 32 13 K JLN. PULAU KALIMANTAN (POSO) 0.552
58 7 1 33 POSO - TOGELU 7.290
59 7 11 K 33 11 K JLN. TANJUNG BULU (POSO) 0.324
60 7 12 K 33 12 K JLN. DIPONEGORO (POSO) 0.781
61 7 13 K 33 13 K JLN. TABATOKI (POSO) 2.754
62 12 1 34 TOGELU - MALEI 18.260
63 12 11 K 34 11 K JLN. PATTIMURA (POSO) 0.690
64 12 12 K 34 12 K JLN. LETJEN. SUPRAPTO (POSO) 0.350
65 12 13 K 34 13 K JLN. U. MANASOLI (POSO) 1.030
66 12 14 K 34 14 K JLN. LAWANGA - TOYONDO (POSO) 17.000
67 35 MALEI - UEKULI 28.700
68 12 2 36 UEKULI - MAROWO 73.243
69 12 3 37 MAROWO - AMPANA 26.943
70 34 1 38 AMPANA - BALINGARA 41.080
Sumber: KM PU No. 567 Tahun 2010

Tabel 3.10 Jaringan Jalan Strategis Nasional Rencana di Provinsi Sulawesi Tengah
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
1 18 19 K JLN. HASANUDIN II (PALU) 0.850
2 19 16 K JLN. MALONDA II (BULURI - WATUSAMPU) (PALU) 5.640
3 19 17 K JLN. SUNGAI GUMBASA (PALU) 0.230
4 19 18 K JLN. DANAU POSO (PALU) 0.400
5 19 19 K JLN. SUNGAI DOLAGO (PALU) 0.200
6 19 1A K JLN. SIS ALJUPRI I (PALU) 0.350
7 33 14 K JLN. YOS SUDARSO (POSO) 0.650
8 15 43 LUWUK - BATUI 42.114
9 15 11 K 43 11 K JLN. SAMRATULANGI (LUWUK) 0.321
10 15 12 K 43 12 K JLN. A. YANI (LUWUK) 1.492
11 15 13 K 43 13 K JLN. URIP SUMOHARJO (LUWUK) 0.886
12 15 14 K 43 14 K JLN. SUDIRMAN (LUWUK) 0.976
13 15 15 K 43 15 K JLN. M. HATTA (LUWUK) 10.553

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-15
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
14 32 44 BATUI - TOILI 40.955
15 40 1 45 TOILI - RATA 53.346
16 40 2 46 RATA - BATURUBE 57.000
17 63 MEPANGA - PASIR PUTIH 23.000
18 64 PASIR PUTIH - BASI 32.500
19 65 TOMATA - PAPE 64.000
20 66 SALAKAN - SAMBUT 24.000
TOTAL PROVINSI SULAWESI TENGAH 359.463
Sumber: KM PU No. 567 Tahun 2010

3.2 Alur Kegiatan


Secara umum, kegiatan ”Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi” ini akan
dilaksanakan dengan mengikuti bagan alir seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.6. Pelaksanaan
pekerjaan ini secara umum dibagi dalam 4 (empat) tahap utama, yaitu:

1. Tahap Persiapan, yang merupakan langkah awal dari kegiatan pelaksanaan pekerjaan, berupa
mobilisasi personil, pengenalan situasi/lingkungan lokasi pekerjaan, pembuatan program kerja,
pengurusan ijin-ijin survei dan mobilisasi peralatan survei, serta tahap pengembangan metodologi
perencanaan yang meliputi penyusunan konsep dan metoda perencanaan.
Seperti studi-studi yang lain, dalam tahap ini juga dilakukan kajian terhadap rencana-rencana
pengembangan yang terkait, seperti: kajian terhadap tata ruang dan juga rencana pengembangan
infrastruktur transportasi lainnya untuk mengidentifikasi pengembangan wilayah di Provinsi
Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Morowali dan Kota Palu yang secara khusus merupakan
daerah pengaruh jalan lintas dan tempat dibangunnya simpang tidak sebidang tersebut.
Kesepakatan berkaitan dengan batasan wilayah studi tersebut terlebih dulu harus mendapat
persetujuan dari Tim Teknis pihak Pemberi Tugas. Selain itu studi-studi transportasi terkait juga
direview. Hasil tahap persiapan ini disampaikan pada Laporan Pendahuluan.

2. Tahap Pengumpulan Data, berupa tahapan kegiatan pengumpulan data berupa data sekunder
maupun data primer. Data sekunder yang dikumpulkan pada studi ini merupakan data yang
dikumpulkan secara instansional yang terkait dengan perencanaan desain jalan dan simpang tak
sebidang. Sedangkan survei primer yang dilakukan, antara lain: survei lalulintas, survei kondisi dan
geometrik jalan dan survei penyelidikan tanah. Catatan detail mengenai kebutuhan data dan
metoda pengumpulannya disampaikan pada bagian selanjutnya.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-16
1. Kepmen PU No. 630/2009; No.631/2009; No. Latar Belakang, Maksud dan
567/2010
Tujuan, dan Ruang Lingkup
2. Kep.Dirjen BM No. 48/2011
3. PP No 26/2008 tentang RTRW Nasional Kegiatan
4. PP No 31/2014 tentang KEK Palu
Persiapan 5. Perda No. 8/2013 tentang RTRW Provinsi
Sulawesi Tengah
6. Perda No. 2/2012 tentang RTRW Kabupaten Pengenalan awal
Morowali; wilayah studi
7. Perda No. 2/2011tentang RTRW Kabupaten
Parigi Moutong;
8. Perda No. 16/2011 tentang RTRW Kota
Palu. Survei Pendahuluan

Identifikasi alternatif Identifikasi orientasi Data Kependudukan Data Jaringan


jalan lintas Baturube- pembangunan STS dan Perekonomian Jalan di
Kolonodale Palu-Pantoloan Wilayah Wilayah Studi
Pengumpulan Data

Penentuan
Penentuan Alternatif Orientasi Data
Alternatif Rute
STS Lalulintas

Pengumpulan Data Teknis: Pemodelan Transportasi


- Topografi Makro
- Penyelidikan Tanah

Pra Rencana Teknis Ruas Analisis Potensi Wilayah Analisis Transportasi


Jalan Lintas Kolonedale-
Baturube dan STS Palu-Parigi

Analisis Manfaat (Producer Analisis Manfaat


Indikasi Dampak Lingkungan Surplus) (Consumer Surplus) - Road
Analisis dan Finalisasi

Users Cost Analysis

Estimasi Kebutuhan Biaya

Analisis Kelayakan
Ekonomi

Gambar 3.6 Tahapan Kegiatan “Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi”

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-17
Pada tahapan ini, juga dilakukan kajian awal identifikasi dan deskripsi alternatif-alternatif dari
kegiatan yang dikaji, khususnya alternatif perencanaan fisik, meliputi bentuk geometrik maupun
pemilihan jenis struktur yang digunakan. Identifikasi alternatif ini didasarkan pada 4 (empat) faktor
utama, yaitu:

a) Sasaran dan tujuan kegiatan,


b) Kondisi eksisting,
c) Kendala (constrains) yang ada, dan
d) Komponen sistem yang mungkin dirubah

Tahapan identifikasi dan deskripsi alternatif-alternatif ini diharapkan menghasilkan keluaran berupa
uraian lanjut atau detail yang secara teknis mampu mengidentifikasi rute dasar maupun spesifkasi
teknis lainnya. Dengan demikian, penilaian dan penentuan rute terpilih yang diusulkan dapat dikaji
lebih akurat. Hasil tahap pengumpulan data ini disampaikan pada Laporan Antara.

3. Tahap Analisis, pada prinsipnya tahapan ini merupakan pengolahan lanjut data sekunder serta
data primer dari lapangan yang diikuti dengan perencanaan dan penggambaran, tahapan desain
yang dilakukan adalah desain geometrik dan perkerasan jalan, desain struktur, desain drainase
dan estimasi biaya dan analisis kelayakan ekonomi.

4. Tahap Finalisasi, merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari tahap sebelumnya berdasarkan
hasil dari diskusi dan pembahasan yang dilakukan bersama pemberi kerja. Selain laporan akhir,
sebagai dokumentasi seluruh kegiatan, dokumen-dokumen lain seperti yang disyaratkan dalam
kerangka acuan juga dihasilkan pada akhir tahap ini.

3.3 Tahap Persiapan

Di dalam tahap persiapan ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai awal (inisiasi) dari seluruh rangkaian
kegiatan yang direncanakan. Hasil tahap persiapan ini akan sangat mempengaruhi proses yang dilakukan
dalam tahap-tahap selanjutnya.

Secara umum terdapat 3 (tiga) kegiatan utama di dalam tahap persiapan ini, yakni:

(1) Pemantapan metodologi, maksud dari kegiatan ini adalah:


a) Merencanakan secara lebih detail tahap-tahap pelaksanaan kegiatan berikutnya, untuk
mengefisienkan penggunaan waktu dan sumberdaya.
b) Menetapkan metoda survei dan metoda analisis yang akan digunakan, hal ini penting untuk
ditetapkan karena akan mempengaruhi kebutuhan data, penyediaan waktu analisis, dan
kualitas hasil penelitian secara keseluruhan.
(2) Pengenalan wilayah studi, maksud dari kegiatan ini adalah:
a) Proses untuk menyelami permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam kerangka acuan
kerja.
b) Melakukan survei pengenalan situasi dengan cara mengambil gambar atau foto-foto dari
permasalahan maupun potensi permasalahan di wilayah studi atau melakukan diskusi
dengan tim pemberi kerja.
(3) Studi literatur yang berguna untuk:
a) Mengidentifikasi rencana-rencana pengembangan yang terkait dengan wilayah studi, review
terhadap studi-studi transportasi yang pernah dilakukan baik pada wilayah studi juga perlu
dilakukan agar perencanaan yang dilaksanakan sinergis dengan pengembangan secara

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-18
regional atau lokal.
b) Menelaah sejumlah metoda pelaksanaan studi sejenis yang pernah dilakukan.
c) Menelaah standar-standar nasional maupun internasional mengenai prasarana jalan baik
pada ruas.

3.4 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan data, baik data sekunder (instansi terkait) maupun data
primer yang diperoleh dari survei di lapangan.

3.4.1 Persiapan Survei

Persiapan survei ini dilakukan untuk merencanakan secara detail pelaksanaan survei yang berkaitan
dengan:
(1) Pemilihan metoda survei;
(2) Penyiapan formulir survei sesuai dengan metoda survei yang digunakan;
(3) Penyiapan sumberdaya survei dan penyusunan jadual pelaksanaan survei.

3.4.2 Survei Pendahuluan

Kegiatan ini difokuskan pada upaya untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai kondisi
obyektif di wilayah studi, baik simpang tidak sebidang Pelabuhan Pantoloan maupun jalan lintas
Kolonodale - Baturube. Kegiatan ini, pada prinsipnya, merupakan respon atas pemahaman terhadap
kondisi wilayah dan obyek studi yang bersumber dari beragam informasi atau data sekunder serta diskusi
dengan pihak-pihak terkait.

Isu-isu strategis yang berusaha diperoleh pada tahapan ini menyangkut jawaban atas beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Konfirmasi atas identifikasi lokasi rencana simpang tidak sebidang dan jalan lintas Baturube-
Kolonodale;
2. Identifikasi dan status ruas-ruas jalan di wilayah studi;
3. Kebijakan atau rencana pengembangan ruas-ruas jalan (dan sistem transportasi lain0 di wilayah
studi.

Keluaran dari kegiatan survei pendahuluan ini, selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan kegiatan survei
sekunder maupun primer.

3.4.3 Kebutuhan Data

Secara umum data yang dibutuhkan dapat digolongkan dalam 2 (dua) kategori, yakni: data untuk analisis
teknis dan data untuk kebutuhan analisis kelayakan ekonomi.

Data yang digunakan untuk analisis teknis terdiri dari:


(1) Data sosio-ekonomi, yang meliputi data jumlah dan kepadatan penduduk, PDRB dan PDRB
perkapita dan data terkait lainnya yang memiliki hubungan yang kuat dengan kondisi jaringan jalan
di wilayah studi dan desain awal;
(2) Data tata ruang, yang meliputi identifkasi puast-pusat kegiatan (PKN, PKW, PKL), struktur ruang
(terutama terkait jaringan jalan), data penggunaan lahan per jenis kegiatan, pola penyebaran lokasi
kegiatan, besaran penggunaan ruang dan pola kegiatannya serta kawasan hutan;
(3) Data jaringan prasarana dan pelayanan transportasi, yang merangkum data mengenai kondisi

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-19
prasarana dan pelayanan transportasi yang berada di dalam daerah studi. Data yang dikumpulkan
merupakan data eksisting dan data rencana pengembangannya;
(4) Data Kondisi Geografis dan Geoteknik, yang meliputi data topografi, keberadaan hambatan alam
(sungai, bukit, daerah rawan bencana alam, dll.) di sekitar lokasi, serta kondisi tanah untuk
keperluan kajian kemungkinan peningkatan prasarana pada ruas yang ditinjau;
(5) Data kondisi Right of Way (ROW) koridor yang ditinjau untuk kemungkinan pengembangan dan
identifikasi potensi permasalahan sosial yang mungkin terjadi.

Data yang dibutuhkan untuk analisis kelayakan ekonomi adalah sebagai berikut:
1) Data biaya operasi kendaraan yang akan dihemat untuk kelayakan ekonomi;
2) Data generalised cost transportasi;
3) Data kecepatan;
4) Data teknis (topografi dan geoteknik) pada ruas jalan terpilih.

Data-data tersebut dapat berupa data primer maupun sekunder atau data yang merupakan output dari
suatu analisis.

Secara keseluruhan, kebutuhan data sekunder dalam pelaksanaan studi ini ditampilkan pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11 Kebutuhan dan Sumber Data


No. Kelompok Data Item Data Sumber
1. Data Sosial a. Demografi/Kependudukan BPS, Pemda, dan studi
Ekonomi b. Penggunaan ruang terdahulu
c. Produktifitas dan sistem ekonomi
d. Data lain yang terkait dengan pengembangan
wilayah
2. Data Tata Ruang a. Penggunaan lahan/jenis kegiatan Bapeda, Dinas Tata Kota,
(RTRW) b. Pola peneyebaran lokasi kegiatan Dinas PU Provinsi
c. Besaran pengguaan ruang dan pola kegiatannya
d. Rencana pengembangan Tata Ruang
e. Right of way pengembangan jaringan jalan dan
penggunaan tata ruangnya
3. Data Jaringan a. Jaringan jalan Bapeda, Dinas
Prasarana Jalan b. Kondisi dan geometrik jalan Perhubungan, Dinas PU
c. Kinerja jaringan jalan Provinsi
d. Kondisi simpul transportasi yang terkait dengan
rencana jalan
4 Data Kondisi a. Topografi Peta topografi
Geografis b. Keberadaan hambatan alam
5. Data Lalulintas a. Data asal tujuan perjalanan Bapeda, Dinas
dan Pola b. Data volume dan proporsi kendaraan. Perhubungan, Dinas PU
Pergerakan c. IRMS Provinsi
6. Data Kelayakan a. Estimasi komponen biaya (harga satuan, dll) Dinas PU, Dinas
Ekonomi b. Data estimasi biaya operasi kendaraan, nilai Perhubungan Provinsi
waktu perjalanan dan kecelakaan
7. Data Penunjang a. Data Citra Satelit lokasi proyek terbaru Bakosutranal, BMKG, PU,
Lainnya b. Peta dasar rupa bumi lokasi proyek Direktorat Geologi
c. Data hidrologi, geologi dan lingkungan Lingkungan, Bappeda,
d. Data harga satuan pekerjaan Dinas Pertambangan
e. Peta topografi skala 1: 50.000 dari Bakosurtanal
f. Peta Geologi skala 1: 100.000
g. Lokasi situs sejarah
h. Peta Sumber material

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-20
Adapun data primer yang dikumpulkan melalui kegaitan survei atau pengamatan lapangan pada kegiatan
ini, mencakup:
1. Survei atau pengamatan ruas-ruas jalan lingkar perkotaan di Pulau Jawa
2. Survei kondisi lalulintas
3. Survei pengukuran topografi
4. Survei penyelidikan tanah.

3.4.4 Metoda Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni: survei sekunder dan survei primer. Adapun
metoda pelaksanaan survai tersebut dijelaskan sebagai berikut:

A. Survei Sekunder
Survei sekunder dilakukan dengan mendatangi instansi terkait untuk meminta sejumlah dokumentasi data
dari institusi pengelola sistem transportasi, perencana tata ruang dan sejumlah instansi lain yang dapat
menyediakan data yang berkaitan dengan pelaksanaan studi.

B. Survei Primer
Dalam studi ini, survei primer dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung di lapangan. Survei
primer yang perlu dilakukan adalah survei lalulintas, survei topografi, survei penyelidikan tanah dan
hidrologi.

Survei lalulintas diperlukan untuk melihat kondisi dan kinerja sistem transportasi di wilayah studi untuk
kemudian dilakukan analisis pada kondisi ’dengan’ dan ’tanpa’ pembangunan masing-masing di lokasi
simpang tidak sebidang di Pelabuhan Pantoloan dan jalan lintas Baturube-Kolonodale. Selain itu juga
sebagai bahan kajian untuk melihat bangkitan dan tarikan perjalanan yang akan dilayani oleh rute jalan
yang sedang dikaji ini.

Selanjutnya, survei topografi diperlukan untuk kebutuhan perancangan alternatif bentuk geometrik dan
struktur baik simpang tidak sebidang dan jalan lintas Baturube-Kolonodale.

Secara terinci, berikut ini disampaikan pembahasan mengenai kegiatan survei primer yang dilakukan
dalam pelaksanaan studi ini.

1. Survei Pendahuluan

Dalam melaksanakan survei pendahuluan, dilakukan peninjauan lapangan untuk melakukan identifikasi
daerah studi dan membandingkannya dengan data-data sekunder yang diperoleh untuk dipergunakan
sebagai bahan analisis data dan pemilihan rute. Tinjauan lapangan dilakukan terhadap beberapa aspek
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Topografi
a. Keadaan topografi
b. Kondisi utilitas
(2) Geologi
a. Sifat-sifat fisik tanah
b. Ciri-ciri geologi
(3) Hidro-Oceanografi
a. Kondisi drainase
b. Kondisi pantai dan laut/gelombang (untuk wilayah pesisir)
c. Hal-hal lannya yang diperlukan
(4) Sosial dan Ekonomi

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-21
a. Identifikasi ciri-ciri tata guna tanah
b. Kependudukan dan tenaga kerja
c. Struktur wilayah administrative
d. Identifikasi sarana dan prasarana sosial ekonomi
e. Persepsi dan ciri-ciri kondisi ekonomi regional
(5) Budaya dan lingkungan
a. Inventarisasi situs sejarah dan peninggalan budaya
b. Inventarisasi rona lingkungan awal.

2. Survei Pencacahan Lalulintas


Pencacahan volume lalulintas, merupakan perhitungan lalulintas yang dilakukan dengan cara
mencacah/menghitung kendaraan yang lewat pada pos-pos survei. Data pencacahan volume lalulintas
merupakan informasi dasar yang diperlukan untuk fase perencanaan, desain, manajemen sampai
pengoperasian. Data tersebut dapat mencakup seluruh jaringan jalan pada suatu kawasan yang
diinginkan.

Volume lalulintas merupakan salah satu karakteristik dasar lalulintas selain kepadatan dan kecepatan.
Sehingga lebih jauh lagi data volume lalulintas merupakan dasar dalam penentuan desain jalan,
penentuan tingkat pertumbuhan lalulintas, analisis kecelakaan, perencanaan jaringan, pendanaan dan
sebagainya.

Survei volume lalulintas digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai tingkat penggunaan suatu
ruas jalan yang telah ada, seperti:
• Volume Lalulintas per jam atau harian
• Klasifikasi kendaraan
• Kecepatan kendaraan.

Survei Pencacahan Lalulintas secara umum terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

(1) Survei Perhitungan Volume Lalu Lintas di Ruas


a. Jumlah titik dan lokasi survei harus dapat mewakili lingkup wilayah studi dan disesuaikan dengan
kebutuhan analisis yang diperlukan dalam studi ini.
b. Pengumpulan data selama minimal 3 hari (2 hari kerja dan 1 hari libur).
c. Pengumpulan data dilakukan pada kedua jurusan selama 24 jam.
d. Jenis kendaraan:
1. Sepeda motor
2. Sedan/van/jeep
3. Bus kecil (angkutan perkotaan, angkutan perdesaan)
4. Bus sedang (metromini, kopaja, bus ¾)
5. Bus besar
6. Pick-up
7. Truk ¾ ton, 2 as
8. Truk sedang (2 as, tidak termasuk pick-up)
9. Truk besar (3 as)
10. Truk gandengan, kontainer, trailer.

(2) Survei Waktu Perjalanan. Pencatatan waktu tempuh suatu kendaraan dari satu titik ke titik yang lain
pada suatu ruas jalan dilakukan secara manual selama 3 hari (2 hari kerja dan 1 hari libur). Jumlah

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-22
titik dan lokasi survei harus dapat mewakili lingkup wilayah studi dan disesuaikan dengan kebutuhan
analisis yang diperlukan dalam studi ini.

Lokasi survai yang dipilih harus dapat mewakili kondisi lalu lintas yang ada. Jumlah titik pengamatan
tersebut masih berupa perkiraaan dan akan ditetapkan lebih lanjut setelah dilakukan survei pendahuluan.

3. Survei Topografi

Survei topografi dilakukan di sepanjang rencana trase jalan di dalam koridor yang ditetapkan untuk
penyiapan peta topografi dengan skala tertentu sesuai kebutuhan. Dalam survei topografi konsultan harus
memperhatikan beberapa hal sesuai ketentuan yang terdapat dalam kerangka acuan kerja yaitu:
a. Survei Pengukuran Lapangan berupa poligon tertutup, waterpass, dan stake out per 1 kilometer.
b. Pemasangan Bench Mark utama dan sekunder/pembantu setiap 1 km.
c. Penentuan Koordinat melalui survei GPS minimal per 1 km.
d. Penampang melintang, dengan lebar penampang dan interval yang disesuaikan dengan kebutuhan
pada daerah datar setiap 1 km dan pada daerah lainnya yang memerlukan pengukuran tambahan
dengan interval yang lebih kecil.
e. Penampang memanjang rencana as jalan dengan interval yang disesuaikan dengan kebutuhan
pada daerah datar dan pada daerah lainnya yang memerlukan pengukuran tambahan dengan
interval yang lebih kecil.
f. Perhitungan dan Penggambaran.
g. Hasil pengukuran lapangan yang dikombinasikan dengan peta Bakosurtanal.
h. Hasil analisis berupa gambar ROW Plan dan di plot dalam peta citra satelit dan peta bakosurtanal
sebagai dasar pembebasan tanah.

4. Survei Penyelidikan Tanah

Fokus penyelidikan tanah pada lokasi dimaksudkan sebagai data masukan dalam analisis desain
perkerasan jalan.

Survei kondisi dan struktur tanah merupakan survei lapangan untuk mengidentifikasi kondisi data tanah
yang diperoleh untuk dipergunakan sebagai bahan analisis data, survei yang dilakukan yaitu:
(1) Test Pit diperlukan untuk mengetahui susunan atau komposisi, baik yang sudah beraspal maupun
belum. Jumlah titik test pit yang dilaksanakan minimal 24 titik. Pada setiap test pit dilakukan
pengamatan/deskripsi struktur dan jenis tanah, dan diambil sampelnya serta dilakukan pengujian
laboratorium antara lain compaction dan CBR laboratorium.
(2) Pekerjaan sondir harus dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kekuatan tanah pada
lokasi yang ditinjau. Jumlah titik sondir yang dilaksanakan minimal 24 titik.
(3) Boring dengan kedalaman ± 30 m dilakukan setiap persimpangan jalan dengan sungai (untuk
keperluan pembangunan jembatan) dengan perkiraan terdapat 10 titik persimpangan sungai.
Standard Penetration Test (SPT) dilakukan setiap interval 3 - 5 m.

(4) Pemeriksaan Laboratorium untuk mendapatkan gambaran karakteristik tanah yang akan digunakan
dalam perhitungan perencanaan.

4. Survei Lingkungan dan Hidrologi/Drainase

Dalam survei ini dilakukan identifikasi dampak lingkungan dan ketersediaan lahan untuk dipergunakan
sebagai bahan analisis data dan pertimbangan pemilihan rute. Pada saat bersamaan konsultan harus
melakukan survei hidrologi/drainase untuk mengidentifikasi jumlah dan karakteristik sungai, catchment
area dan aliran sungai/drainase sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan rute dan penentuan

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-23
struktur jalan/jembatan dalam proses pra design.

3.5 Analisis dan Perencanaan

Tahap ini terdiri dari beberapa bagian, yakni: analisis awal, analisis teknik, analisis penghematan
pengguna jalan dan analisis kelayakan ekonomi serta analisis dampak. Berikut disampaikan detail
bahasan untuk setiap item yang termasuk dalam tahapan ini.

3.5.1 Analisis Awal

Analisis awal merupakan kegiatan untuk menginterpretasi sejumlah data yang diperoleh dari survei.
Kegiatan ini dilakukan untuk:
1) Memverifikasi dan validasi kualitas dan jenis data yang diperoleh;
2) Mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang ada di dalam sistem transportasi pada daerah
sekitar yang dituangkan dalam bentuk numerik, uraian, ataupun gambar;
3) Membentuk basis data yang operatif untuk digunakan dalam perencanaan dan analisis.

3.5.2 Analisis Struktur Permasalahan

A. Lokasi Simpang Tidak Sebidang Pelabuhan Pantoloan

Struktur permasalahan rencana pembangunan simpang tidak sebidang di Pelabuhan Pantoloan,


utamanya, menyangkut identifikasi lokasi simpang tidak sebidang. KAK menyebutkan obyek studi adalah
Rencana Fly Over/Underpass jalan nasional Palu - Pantoloan dengan rencana jalan akses menuju KEK
Palu Parigi yang berada di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Selanjutnya perlu dilakukan konfirmasi
terhadap lokasi yang dimaksud oleh KAK. Dalam konteks ini, persepsi pemangku kepentingan di daerah
serta aspek berikut ini perlu menjadi pertimbangan:
1. Rencana pembangunan jalan nasional maupun strategis (jika ada)
2. Keberadaan kawasan ekonomi khusus (KEK) Palu Parigi dan pelabuhan Pantoloan.

B. Lokasi Lintas Baturube-Kolonodale

Terdapat ruas missing link (terputus) pada lintas timur yaitu di ruas Baturube - Kolonodale di Provinsi
Sulawesi Tengah. Ruas terputus tersebut saat ini dilayani angkutan penyeberangan (Sejak November
2013, dengan waktu tempuh 3 jam - www.antarasulteng.com). Merujuk pada kondisi fisik wilayah, rencana
pembangunan jalan lintas Baturube - Kolonodale ini harus mempertimbangkan aspek-aspke sebagai
berikut:
 Kondisi topografi yang cenderung berbukit/bergunung
 Adanya kawasan cagar alam.

Pembahasan lebih lanjut mengenai struktur permasalahan ini akan disampaikan pada pembahasan
tentang isu strategis.

3.5.3 Analisis Teknis

Seperti disampaikan pada metodologi, kegiatan pra desain ini mencakup analisis pemilihan trase jalan
(mencakup arah pelayanan simpang tidak sebidang dan lintas Baturube-Kolonodale) serta perencanaan
geometrik jalan, hidrologi dan drainase dan struktur perkerasan jalan.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-24
A. Analisis Pemilihan Trase

Analisis pemilihan trase mencakup 2 lingkup kegiatan, yaitu (1) pemilihan arah pelayanan simpang tidak
sebidang Pelabuhan Pantoloan dan (2) pemilihan trase jalan lintas Baturube-Kolonodale. Pengambilan
keputusan dalam proses pemilihan trase ini dihadapkan kepada sejumlah variabel yang kompleks sesuai
sifat ke-multi-an dari sistem transportasi/jalan itu sendiri. Keputusan terhadap suatu trase yang dipilih
harus didasarkan pada suatu analisis komprehensif tentang aspek kemultian dalam perencanan suatu
jaringan jalan.

Analisis Multi Kriteria (Multi Criteria Analysis) merupakan alternatif teknik yang mampu menggabungkan
sejumlah kriteria dengan besaran yang berbeda (multi-variable) dan dalam persepsi pihak terkait yang
bermacam-macam (multi-facet). Dalam penelitian ini teknik analisis multi kriteria digunakan untuk
menganalisis dan melakukan prioritasi terhadap sejumlah usulan pengembangan sistem transportasi yang
digali dari daerah.

Adapun konsep yang dikembangkan dalam analisis multi kriteria adalah sebagai berikut:
1. Analisis sudah mempertimbangkan semua variabel sekomprehensif mungkin dengan tetap menjaga
proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan.
2. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan kepentingan pihak-pihak yang harus diakomodasi.
3. Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan dengan mengembangkan
sejumlah kriteria yang terukur.
4. Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu.
5. Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria.

Metodologi aplikasi pendekatan analisis ini dapat direpresentasikan seperti pada Gambar 3.7.

Usulan Trase

Analisis Trase Rencana


Multi Kriteria Jalan Terpilih

Kriteria/Variabel
Penilaian

Gambar 3.7 Proses Penyusunan Prioritas Pengembangan Menggunakan AMK

Selanjutnya, dari hasil identifikasi alternative trase jalan yang akan dikembangkan dilakukan analisis
berdasarkan pembobotan dari karakteristik masing-masing alternatif menurut kriteria yang digunakan
dalam analisis pemilihan. Mengacu pada karakteristik obyek analisisnya, analisis pemilihan trase jalan
lingkar ini menggunakan pendekatan analisis multi kriteria (AMK). Kriteria pemilihan trase beserta
pembobotannya, pada studi ini, mengacu pada Pedoman Studi Kelayakan Proyek Jalan dan Jembatan
yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Teknik, Dirjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen
Pekerjaan Umum, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.12. Dalam pelaksanaannya beberapa variabel
pendukungnya dapat dikembangkan atau mengalami perubahan, disesuaikan dengan karakteristik ruas
jalan lingkar yang terpilih. Kriteria ini yang nantinya menjadi dasar dalam pemilihan suatu trase dan
diberikan kepada setiap stakeholder sehingga setiap pihak memiliki persepsi terhadap masing-masing
trase dengan dasar atau benchmark pemikiran yang sama. Besar bobot untuk masing-masing kriteria

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-25
diperoleh dengan melakukan survei wawancara ke stakeholder, sehingga diperoleh kesepakatan
penilaian yang obyektif.

Tabel 3.12 Kriteria Pemilihan Alternatif Trase


No Kriteria/Kandidat Variabel
1 Karakteristik Pelayanan
1a. Jarak (km)
1b. Waktu perjalanan (menit)
2 Kemudahan Pelaksanaan
2a. Luas Lahan yang perlu dibebaskan (Bobot)
* Pemukiman (Ha)
* Pertanian/Perkebunan /Hutan (Ha)
* Komersial/Pertambangan (Ha)
* Industri (Ha)
2b. Kondisi topografi trase
* Estimasi Galian (jt m3)
* Estimasi Timbunan (jt m3)
3 Biaya Kontruksi
3a. Jembatan
3b. Biaya Kontruksi (milyar rupiah)
4 Intregrasi Jaringan
4. Hirarki dan integrasi dengan jalan di sekitarnya
5 Dukungan Terhadap Rencana Pengembangan
5a. Kesesuaian dengan rencana transportasi terkait
5b. Pemanfaatan atau keterhubungan dengan jaringan jalan eksisting
6 Dampak terhadap Kinerja Jaringan Jalan
6a. Potensi pengurangan kemacetan di jalan utama
6b. Jumlah titik potensi gangguan terhadap lalulintas
7 Dampak Lingkungan
7. Keberadaan kawasan (flora dan Fauna) yang dilindungi
a. Hutan Lahan Kering Primer (km')
b. Hutan Lahan Kering Sekunder (km')
c. Semak/Belukar (km')

B. Perencanaan Geometrik Jalan

Perencanaan geometrik jalan termasuk simpang tak sebidang meliputi: perencanaan alinyemen horisontal
dan vertikal dan perencanaan penampang melintang. Kriteria perencanaan geometrik yang digunakan
mengacu kepada ”Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997”.

Komponen perencanaan geometrik jalan adalah sebagai berikut:

A.1 Alinyemen Horisontal

Alinyemen horisontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang horisontal (denah). Alinyemen
horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-26
Dasar-dasar Perencanaan Alinyemen Horizontal

Yang menjadi dasar perencanaan alinyemen horizontal, adalah sebagai berikut:


1. Hubungan antara kecepatan (V), jari-jari tikungan (R), kemiringan melintang/superelevasi (e) dan
gaya gesek samping antara ban dan permukaan jalan (f), didapat dari hukum mekanika F = m.a
(Hukum Newton II).
2
2. Gaya sentrifugal yang terjadi saat kendaraan bergerak di tikungan, dengan persamaan GV ,
gR
dimana G = berat kendaraan dan g = percepatan gravitasi.

Untuk menentukan jari-jari minimum dimana tidak dibutuhkan lengkung peralihan atau transisi didasarkan
keadaan jika lengkung tersebut dipasang maka alinyemen mendatar akan bergeser dari garis singgung.
Rumus yang digunakan adalah:

L2
S= 1
24
R
dimana: S : nilai pergeseran, diambil 0.20 m
L : panjang lengkung peralihan minimum [m]
R : jari-jari lengkung [m]

Panjang lengkung peralihan yang disarankan oleh standar ini adalah harga dari 3 detik dari kecepatan
atau:

L = V ⋅t
dimana: L : panjang peralihan minimum [m]
V : kecepatan rencana [km/jam]
t : waktu tempuh, yaitu 3 detik.

Panjang lengkung transisi dapat juga ditentukan dengan panjang yang dibutuhkan untuk mencapai
kemiringan. Harga kemiringan tepi jalur lalu lintas atau kelandaian relatif dapat digunakan untuk hal
tersebut.

Nilai-nilai Batas Perencanaan Alinyemen Horizontal

Standar perencanaan alinyemen horizontal, dapat dilihat pada Tabel 3.13.

Tabel 3.13 Standar Perencanaan untuk Alinyemen Horizontal


V R (km/jam) 100 80 60 50 40 30 20
Jari-jari Minimum dengan superelevasi mask. (m) 380 230 120 80 - - -
Jari-jari Minimum yang disarankan (m) 700 400 200 150 100 65 30
Jari-jari Minimum dengan kemiringan normal (m) - - 220 150 100 55 25
Jarak Pandangan Henti Minimum (m) 165 110 75 55 40 30 20
Jarak Pandangan Menyiap Minimum min. (m) - 350 250 200 150 100 70
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1992

Lengkung Peralihan (Ls) adalah lengkung yang disisipkan diantara bagian lurus dan bagian lengkung
yang berjari-jari tetap. Fungsinya adalah untuk mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dan bentuk
lurus (R yang tak berhingga) sampai pada bentuk lengkung dengan R tetap sedemikian rupa sehingga

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-27
gaya sentrifugal yang bekerja dapat berubah secara berangsur.

Perencanaan dan Perhitungan Tikungan

Dalam perancangan tikungan, dapat digunakan tiga kriteria utama sebagai dasar dan kontrol
perancangan. Ketiga kriteria tersebut adalah panjang Tangens (T) yang tersedia, panjang offset (E) dan
jari-jari tikungan (R). Terdapat tiga jenis tikungan yang umum di gunakan dalam perancangan geometrik
jalan, yaitu tikungan lingkaran penuh (full circle), tikungan spiral-lingkaran (spiral-circle-spiral) dan
tikungan spiral (spiral-spiral).

a. Tikungan Lingkaran Penuh (Full - Circle)

Tc = R tan 1
2 ∆

Lc = 2π R
360 0
R
Ec = − R, atau

cos
2
Ec = Tc tan 14 ∆

Gambar 3.8 Tikungan Tipe Full Circle

b. Tikungan spiral-lingkaran (spiral-circle-spiral)

Ls 360
θS = k = X C − R sin θ S
2 R 2π
∆c = ∆ − 2θ S p = YC − R (1 − cos θ S )

Lc =
∆c
2πR Ts = (R + p ) tan + k
360 2
Ls 2 Es =
(R + p)
− R
YC = ∆
6R cos
2
Ls 3 L total = Lc + 2 Ls
X C = Ls −
40 R 2

Gambar 3.9 Tikungan Tipe Spiral - Circle - Spiral

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-28
c. Tikungan spiral (spiral-spiral)

θ S = 12 ∆ k = X C − R sin θ S
∆c = 0 p = YC − R(1 − cos θ S )
Lc = 0 ∆
Ts = (R + p ) tan + k
Ls 2 2
YC = (R
+ p)
6R Es = − R
3 ∆
Ls cos
X C = Ls − 2 2
40 R
L total = 2 Ls

Gambar 3.10 Tikungan Tipe Spiral - Spiral

A.2 Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang vertikal yang melalui sumbu jalan
tersebut. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau dari
titik awal perencanaan, alinyemen vertikal dapat berupa tanjakan (landai positif), turunan (landai negatif),
dan datar (landai nol). Maka lengkung vertikal dan perancangannya adalah:

• Diadakan pada setiap pergantian kelandaian.


• Syarat untuk memenuhi kriteria keamanan, kenyamanan, drainase dan keindahan bentuk (estetis).
• Lengkung yang digunakan bisa lingkaran, parabola tingkat 2 (sederhana) atau parabola tingkat 3.
Yang paling sering digunakan (juga sebagai standar di Indonesia) adalah parabola tingkat 2, yang
memberikan perubahan yang konstant sebanding dengan jaraknya.
• Lengkung vertikal dapat berupa Lengkung vertikal cembung (crest) dan Lengkung vertikal cekung
(Sag).

Kontrol dan Batasan Perencanaan

Kontrol yang umum digunakan dalam perencanaan lengkung vertikal adalah sebagai berikut:

1. Kelandaian diusahakan mengikuti bentuk permukaan tanah asli sebanyak mungkin untuk mengurangi
galian dan timbunan untuk menekan biaya
2. Perencanaan harus dilakukan sebaik karena sulit dan mahal untuk memperbaiki suatu kelandaian
jalan dikemudian hari
3. Penggunaan landai maksimum sebaiknya dihindari dan jika kondisi harus menggunakan landai
maksimum maka perlu ditambahkan jalur pendakian khusus
4. Perencanaan alinyemen vertikan dikoordinasikan dengan alinyemen horizontal.

Kelandaian harus dibuat sesuai dengan kelandaian maksimum. Patokan kelandaian standar maksimum
didasarkan pada truk bermuatan penuh dengan kecepatan lebih besar dari setengah kecepatan rencana
dan tanpa menggunakan gigi rendah dengan kecepatan pada awal tanjakan yang digunakan adalah 60
dan 80 km/jam. Kelandaian maksimum disesuaikan dengan standar perencanaan seperti pada Tabel
3.14.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-29
Tabel 3.14 Kelandaian Maksimum untuk Perencanaan Alinyemen Vertikal
V R (km/jam) 100 80 60 50 40 30 20
Kelandaian Maksimum (%) 3 4 5 6 7 8 9
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, Deptemen PU, Ditjen Bina Marga, 1992

Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat
mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari
kecepatan rencana. Lama perjalanan tersebut tidak boleh lebih dari satu menit. Daftar panjang kritis untuk
masing-masing kelandaian disampaikan pada Tabel 3.15.

Tabel 3.15 Panjang Kritis untuk Masing-masing Kelandaian


Kecepatan pada Awal Tanjakan Kelandaian (%)
(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 - 600 500 400 - - -
60 - - 500 400 300 - -
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1992

Persamaan Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal mengikuti persamaan parabola sederhana, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11.

Catatan:
• V atau PVI adalah titik perpotongan kelandaian
• g1 dan g2 adalah kelandaian jalan dalam %
• Analisa dilakuan dari kiri ke kanan dan nilai g(+) jika naik dan
g(-) jika turun
• (g2 - g1) adalah Perbedaan aljabat kelandaian, A (%)
• Nilai e atau Ev adalah nilai y pada x = ½ L
• L atau Lv adalah panjang lengkung
• Nilai y(-) untuk lengkung Cembung dan y(+) untuk lengkung
Cekung

Gambar 3.11 Lengkung Vertikal


Untuk Parabola :
d2Y dY
= r (konstan) dengan integrasi didapat : = rX + C
dX 2 dX
dY dY
untuk X = 0, = g 1 dan untuk X = L, = g2
dX dX
(g 2 − g 1 )
g 1 = 0 + C, g 2 = rL + C, atau r = sehingga,
L
dY  g − g1 
= 2 X + g 1 dan dengan integrasi lagi didapat,
dX  L 
 g − g1  X 2
Y= 2  + g 1 X + C' (C' = 0 untuk X = 0 dan Y = 0)
 L  2
( Y + y) g
dari gambar didapatkan bahwa = 1 sehingga persamaan di atas menjadi
X 1
1  g 2 − g1  2 1A 2
y=-  X atau untuk A = g 2 − g 1 maka y = -  X
2 L  2L
Nilai e (vertical offset) atau Ev adalah untuk x = 1/2 L, yaitu :
A 1
Ev = e =  L = AL
 8  8

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-30
A.3 Potongan Melintang Jalan

Yaitu penampang melintang geometrik jalan, yang menggambarkan lebar jalan (berdasarkan jumlah lajur
yang telah ditentukan) beserta kemiringan melintang jalan, baik pada segmen lurus maupun pada segmen
tikungan horisontal. Pada desain potongan melintang, juga akan ditentukan lebarnya median/pembatas
jalur.

C. Perencanaan Hidrologi dan Drainase

Pekerjaan ini akan meliputi hal-hal sebagai berikut:

B.1 Penentuan Hujan Rata-Rata dari Beberapa Stasiun

Penentuan hujan rata-rata dilakukan dengan beberapa metoda salah satu diantaranya metoda rata-rata
aritmatic berdasarkan formula berikut:

× (dA + dB + ..... + .....dN )


1
d=
N

Dimana:
d = Nilai hujan rata-rata (mm)
dA, dB, .... = Curah hujan dari stasiun A dan B
N = Jumlah stasiun

B.2 Analisis Frekuensi

Analisis ini bertujuan untuk memperkirakan besar hujan dengan periode ulang tertentu. Banyak metoda
yang dapat digunakan untuk melakukan analisis prekuensi diantaranya adalah: distribusi normal, log
normal distribusi, preaseontipe 3, gumbel tipe 1 dan log gumbel.
1. Intensitas curah hujan
2. Penentuan dimensi saluran samping
3. Penentuan dimensi gorong-gorong

B.3 Intensitas Curah Hujan

Perkiraan yang akurat mengenai intensitas, durasi dan periode ulang hujan rencana pada suatu daerah
akan sangat tergantung pada ketersediaan data yang ditentukan. Salah satu metoda yang dapat
digunakan untuk memperkirakan intensitas hujan adalh metoda DR Mononobe dengan persyaratan
sebagai berikut:
Rt  24  m
i =  
24  t 
Dimana:
It = Intensitas hujan dengan periode ulang t tahun (mm/jam)
Rt = Hujan rencana dengan periode ulang t tahun (mm)
t = Durasi jam (jam)
m = 2/3

D. Perancangan Struktur Perkerasan Jalan

Perencanaan perkerasan meliputi bahan dan tebal perkerasan. Adapun tipe yang dipakai diasumsikan
menggunakan perkerasan lentur (flexible pavement). Perencanaan perkerasan lentur dilakukan

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-31
berdasarkan Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Pt - T-01-2002-B dan Metoda Analisis
Komponen, Dinas Pekerjaan Umum.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perancangan struktur perkerasan jalan adalah:

Karakteristik Beban Lalu Lintas Rencana

1. Kondisi lalu lintas diperlukan untuk mengetahui karakteristik pergerakan yang akan menjadi beban
lalu lintas dari rencana jalan yang akan dibuat. Karakteristik pergerakan lalu lintas bisa didapat
dengan dua pendekatan, yaitu melakukan survei primer dengan melakukan pencacahan manual pada
ruas yang akan distudi atau dengan melakukan permodelan berdasarkan data sekunder yang pernah
dilakukan.

2. Kondisi Tanah Dasar


Lapisan tanah dasar (subgrade) merupakan lapisan tanah yang paling atas, dimana diatasnya
diletakkan lapisan material yang lebih baik. Sifat tanah dasar ini mempengaruhi ketahanan lapisan
diatasnya dan mutu jalan secara keseluruhannya.

Stabilitas tanah dasar dapat diperoleh dari berbagai percobaan di lapangan dan di laboratorium,
seperti misalnya pengujian CBR, Resistance dan Plate Bearing. Nilai CBR tersebut seperti yang
dijelaskan sebelumnya dapat ditentukan langsung di lapangan atau dengan pengujian sampel di
laboratorium. Untuk mengukur CBR langsung di lapangan digunakan DCP (Dynamic Cone
Penetrometer).

Dengan sekumpulan data ini maka diambil nilai CBR yang mewakili dengan pendekatan statistik,
yaitu: dengan mengambil nilai 90% terendah. Nilai CBR yang diambil sangat berpengaruh terhadap
ITP yang didapat. Dengan beban yang sama nilai CBR yang rendah akan menghasilkan perkerasan
yang tebal.

3. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada mempengaruhi lapisan perkerasan jalan dan
tanah dasar antara lain:
a. berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen material lapisan
perkerasan
b. pelapukan bahan material
c. mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan.

Faktor utama yang mempengaruhi konstruksi perkerasan jalan ialah air yang berasal dari hujan dan
pengaruh perubahan temperatur akibat perubahan cuaca.

3.5.4 Analisis Kelayakan

Analisis kelayakan mencakup beberapa analisis yang akan dilakukan seperti dijelaskan sebagai berikut:

a. Data hasil reconnaissance dan data sekunder dievaluasi dan dianalisis dengan penekanan kepada:
orientasi geografis pelayanan jalan yang akan dibangun, keterkaitan antara sektor dan sub-sektor,
serta pengaruh rencana jalan pada perkembangan sosial ekonomi regional.

b. Berdasarkan hasil analisis data, dilakukan penyusunan alternatif-alternatif rute yang layak untuk
dipertimbangkan sebagai rute terpilih. Penentuan rute terpilih dilakukan dengan mempertimbangkan
aspek-aspek teknis, keuangan, lingkungan dan sosial budaya di sekitar trase rute terpilih.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-32
c. Pengkajian rute terpilih juga didasarkan: preliminary project cost, preliminary economic, serta socio-
economic and environmental impact.

d. Analisis ekonomi dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan jalan layak dilaksanakan. Untuk
mempersiapkan implementasi pengembangan jalan (dalam hal ini simpang tidak sebidang dan jalan
lintas), beberapa kajian perlu dilakukan terlebih dahulu, khususnya yang terkait dengan evaluasi
kelayakan ekonomi.

Indikator ekonomi baku yang biasa digunakan dalam evaluasi kelayakan ekonomi, antara lain: Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Break Event Point
(BEP). Secara umum semua indikator tersebut akan memberikan suatu besaran yang
membandingkan nilai manfaat dan biaya dari setiap alternatif yang diusulkan, namun secara spesifik
setiap indikator tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada umumnya semua indikator
tersebut perlu diperiksa untuk menggambarkan secara lebih jelas kejadian-kejadian ekonomi selama
masa perencanaan. Pada bagian berikut ini disampaikan penjelasan singkat mengenai indikator
kelayakan yang dimaksud.

• Net Present Value (NPV)


Net Present Value adalah selisih antara Present Value Benefit dikurangi dengan Present Value
Cost. Hasil NPV dari suatu proyek yang dikatakan layak secara ekonomi adalah yang
menghasilkan nilai NPV bernilai positif. Dalam hal ini semua rencana dinyatakan layak apabila
NPV > 0

• Internal Rate of Return (IRR)


Internal Rate of Return (IRR) adalah besarnya tingkat suku bunga pada saat nilai NPV = 0. Nilai
IRR dari suatu proyek harus lebih besar dari nilai suku bunga yang berlaku atau yang
ditetapkan dalam perhitungan kelayakan proyek. Nilai ini digunakan untuk memperoleh suatu
tingkat bunga dimana nilai pengeluaran sekarang bersih (NPV) adalah nol. Perhitungan untuk
dapat memperoleh nilai IRR ini dilakukan dengan cara coba-coba (trial and error).

Jika nilai IRR lebih besar dari discount rate yang berlaku, maka proyek mempunyai keuntungan
ekonomi dan nilai IRR pada umumnya dapat dipakai untuk membuat ranking bagi usulan-
usulan proyek yang berbeda.

• Benefit Cost Ratio ( BCR )


Benefit Cost Ratio adalah Perbandingan antara Present Value Benefit dibagi dengan Present
Value Cost. Hasil BCR dari suatu proyek dikatakan layak secara finansial bila nilai BCR adalah
lebih besar dari 1. Nilai ini dilakukan berdasarkan nilai sekarang, yaitu dengan membandingkan
selisih manfaat dengan biaya yang lebih besar dari nol dan selisih manfaat dan biaya yang
lebih kecil dari nol.

Nilai BCR yang lebih kecil dari satu menunjukkan investasi yang tidak layak. Hal ini
menggambarkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh pemakai jalan lebih kecil daripada
investasi yang diberikan pada penanganan jalan.

e. Analisis lingkungan dilakukan untuk memperoleh informasi dampak-dampak lingkungan yang akan
terjadi selama kegiatan proyek sejak pra konstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi.

Penetapan tingkat kepentingan dampak mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak
Penting berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL No. KEP-056/Tahun 1994. Ketujuh faktor yang
digunakan sebagai ukuran dampak penting adalah:

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-33
• Jumlah manusia yang akan terkena dampak
• Luas wilayah persebaran dampak
• Lamanya dampak berlangsung
• Intensitas dampak
• Banyaknya komponen lingkungan yang akan terkena dampak
• Sifat kumulatif dampak, dan
• Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.

Dalam evaluasi dampak penting, dilakukan telaahan secara holistik komponen/parameter lingkungan
yang akan terkena dampak penting, mengevaluasi dampak berdasarkan kegiatan yang akan
dilaksanakan serta menganalisis kegiatan yang dominan menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.

Hasil evaluasi dituangkan dalam matriks evaluasi dampak penting sebagai kesimpulan dari analisis
prakiraan dan evaluasi dampak penting. Pembobotan dalam penentuan besar/kecilnya dampak yang
terjadi akan dikelompokkan sebagai berikut:
• + P = Dampak Positif Penting
• +TP = Dampak Positif Tidak Penting
• −P = Dampak Negatif Penting
• −TP = Dampak Negatif Tidak Penting

Hasil evaluasi dampak penting akan digunakan sebagai dasar pertimbangan penyusunan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Penyusunan RKL dan
RPL akan mempertimbangkan beberapa pendekatan, yaitu: pendekatan teknologi, pendekatan
sosial budaya dengan melibatkan masyarakat sekitar lokasi proyek untuk berpartisipasi aktif, serta
pendekatan institusional.

f. Dengan menggunakan rute terpilih, dilakukan pra rencana teknis yang meliputi desain geometrik,
struktur dan perkerasan, perkiraan biaya konstruksi dan pembebasan tanah, analisis geologis dan
geoteknik, serta analisis hidrologi dan drainase.

g. Pada rute terpilih dilakukan analisis terhadap: kemudahan pembebasan tanah, pertimbangan
terhadap rencana pengembangan jaringan jalan, kondisi tata guna lahan serta peminimalan biaya
konstruksi.

3.6 Finalisasi Studi

Tahap ini merupakan tahap akhir dari studi yang dilaksanakan. Diharapkan rekomendasi yang dihasilkan
dapat digunakan/dimanfaatkan sebagai acuan/dasar untuk tahapan perencanaan lebih lanjut.

Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-34

Anda mungkin juga menyukai