Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, menyebutkan klasifikasi jalan umum berdasarkan sistem,
fungsi, status dan kelas jalan. Maksud dilakukannya klasifikasi jalan umum tersebut, selain untuk efisiensi
jaringan, juga dalam rangka pembagian kewenangan pembinaan jalan, sehingga jelas pihak yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan suatu ruas jalan tertentu. Bentuk kegiatan penyelenggaraan
sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan tersebut meliputi: Pengaturan,
Pembinaan, Pembangunan dan Pengawasan (TURBINBANGWAS).
Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum
dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan. Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan
untuk:
1. Mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan;
2. Mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan;
3. Mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada
masyarakat;
4. Mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat;
5. Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung
terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan
6. Mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka.
Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan
sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan. Pembinaan jalan secara umum meliputi
kegiatan:
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-1
1. Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman penyelenggaraan jalan;
2. Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan; dan
3. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.
Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan
konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Pembangunan jalan meliputi kegiatan:
1. Pemrograman dan penganggaran;
2. Perencanaan teknis;
3. Pengadaan tanah;
4. Pelaksanaan konstruksi; dan
5. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan.
Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan
pembangunan jalan. Pengawasan jalan secara umum meliputi:
1. Kegiatan evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan;
2. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan; dan
3. Pemenuhan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
Sesuai pasal 6 (1) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, disebutkan bahwa jalan sesuai peruntukkannya
terdiri atas jalan umum dan jalan khusus.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum (pasal 1 UU No. 38 Tahun 2004).
Termasuk ke dalam jalan umum ini adalah jalan tol.
Jalan khusus adalah jalan yang bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum, dalam rangka distribusi
barang dan jasa yang dibutuhkan (pasal 6 (3) UU No. 38 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan jalan
khusus (penjelasan pasal 6 (3) UU No. 38 Tahun 2004), antara lain: jalan di dalam kawasan pelabuhan,
jalan kehutanan, jalan perkebunan, jalan inspeksi pengairan, jalan di kawasan industri dan jalan di
kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada pemerintah.
Dalam rangka efisiensi penyelenggaraan jaringan jalan, maka pada pasal 7 s.d pasal 10 UU No. 38 Tahun
2004 tentang Jalan, maka jalan umum dikelompokkan lebih lanjut menurut:
1. Sistem jaringan, yang terdiri atas: sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
2. Fungsi jalan, yang dikelompokkan menjadi: Jalan arteri, Jalan kolektor, Jalan lokal, Jalan lingkungan.
3. Status jalan, yang dikelompokkan menjadi: Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten, Jalan
Kota dan Jalan Desa.
4. Kelas jalan, yang dikelompokan menjadi: jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang dan jalan
kecil.
Pada Tabel 3.1 disampaikan definisi untuk masing-masing istilah pengelompokkan jalan umum tersebut di
atas. Secara umum dapat diperoleh kesimpulan bahwa landasan dalam UU No. 38 Tahun 2004 dalam
mengklasifikasi jalan seperti ditampilkan pada Tabel 3.1.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-2
Tabel 3.1 Definisi Istilah Dalam Klasifikasi Jalan Umum di Indonesia
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-3
No Pembagian Klasifikasi Definisi
melebihi 4.200 mm, muatan sumbu melebihi 10 t.
Sumber: UU No. 38 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 2009
Selanjutnya mengacu kepada Penjelasan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 9 ayat 2
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jalan strategis nasional adalah jalan yang melayani
kepentingan nasional atas dasar kriteria strategis yaitu mempunyai peranan untuk membina kesatuan dan
keutuhan nasional, melayani daerah-daerah rawan, bagian dari jalan lintas regional atau lintas
internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, serta dalam rangka pertahanan dan
keamanan.
3.1.2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan menggantikan Undang-undang
No. 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Raya. Undang-undang tersebut mengatur
antara lain pembinaan dan penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, pembinaan lalulintas dan
angkutan jalan dilakukan oleh pemerintah dan meliputi: (1) perencanaan, (2) pengaturan, (3)
pengendalian dan (4) pengawasan.
Pembinaan lalulintas dan angkutan jalan yang dilakukan oleh instansi pembina meliputi:
1. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem lalulintas dan angkutan jalan.
2. Penetapan norma, standar, pedoman, keriteria dan prosedur penyelenggaraan lalulintas dan
angkutan jalan yang berlaku secara nasional.
3. Penetapan kompensasi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang lalulintas dan angkutan jalan
secara nasional.
4. Pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin dan bantuan teknis kepada pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
5. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria dan prosedur yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah.
Pembinaan dan penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh instansi pembina
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan dilakukan
secara terkoordinasi dan dilakukan oleh forum lalulintas dan angkutan jalan. Forum Lalulintas dan
Angkutan Jalan melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam
merencanakan dan menyelesaikan masalah lalulintas dan angkutan jalan. Keanggotaan Forum Lalulintas
dan Angkutan Jalan terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi dan masyarakat.
Penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan yang meliputi beberapa bidang seperti ditampilkan pada
Tabel 3.2.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-4
No Bidang Pembinaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan Berlalulintas
Sumber: UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan
Sesuai pasal 7 PP No. 34 Tahun 2006 sistem jaringan jalan primer melayani distribusi barang dan jasa
untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional yang menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan (kota).
Lebih lanjut pada pasal 9 (3) PP No. 34 Tahun 2006 fungsi jalan pada sistem jaringan primer dibedakan
atas jalan arteri primer (JAP), jalan kolektor primer (JKP), jalan lokal primer (JLP), dan jalan lingkungan
primer (JLingkP). Adapun pusat-pusat kegiatan yang dihubungkan oleh masing-masing fungsi jalan primer
tersebut disampaikan pada pasal 10 PP No. 34 Tahun 2006.
Pada Tabel 3.3 disampaikan matriks hubungan yang diperankan oleh setiap fungsi jalan primer tersebut,
adapun pada Gambar 3.1 disampaikan ilustrasi hirarki jalan pada sistem jaringan jalan primer dan
Gambar 3.2 menampilkan hirarki jaringan jalan antar kota.
Tabel 3.3 Matriks Hubungan Fungsi Jalan Pada Sistem Jaringan Jalan Primer
Pusat Kegiatan
Pusat Kegiatan Pusat Kegiatan Pusat Kegiatan
Lingkungan
Nasional (PKN) Wilayah (PKW) Lokal (PKL)
(PKLingk)
Pusat Kegiatan Jalan Arteri Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Lokal
Nasional (PKN) Primer (JAP) Primer (JAP) Primer (JKP) Primer (JLP)
Pusat Kegiatan Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Kolektor Jalan Lokal
Wilayah (PKW) Primer (JAP) Primer (JKP) Primer (JKP) Primer (JLP)
Pusat Kegiatan Jalan Kolektor Jalan Kolektor Jalan Lokal Jalan Lokal
Lokal (PKL) Primer (JKP) Primer (JKP) Primer (JLP) Primer (JLP)
Pusat Kegiatan
Jalan Lokal Jalan Lokal Jalan Lokal Jalan Lokal
Lingkungan
Primer (JLP) Primer (JLP) Primer (JLP) Primer (JLP)
(PKLingk)
Keterangan: Jalan lingkungan primer menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan
di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
Sumber: Pasal 10 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-5
JALAN ARTERI
PKN PRIMER (JAP) PKN
JALAN JALAN
LOKAL KOLEKTOR JALAN ARTERI JALAN ARTERI
PRIMER PRIMER PRIMER (JAP) PRIMER (JAP)
(JLP) (JKP)
PKW JALAN
JALANKOLEKTOR
KOLEKTOR PKW
PRIMER
PRIMER(JKP)
(JKP)
JALAN LOKAL
PKLing PRIMER (JLP) PKLing
Keterangan:
PKN : Pusat Kegiatan Nasional
JALAN LINGKUNGAN PRIMER:
PKW : Pusat Kegiatan Wilayah
DI DALAM KAWASAN PERDESAAN
PKL : Pusat Kegiatan Lokal
PKLing : Pusat Kegiatan Lingkungan
Gambar 3.1 Ilustrasi Hirarki Fungsi Pada Sistem Jaringan Jalan Primer
(Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan)
Sesuai pasal 8 PP No. 34 Tahun 2006, sistem jaringan jalan sekunder melayani distribusi barang dan jasa
untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-6
mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke persil.
Lebih lanjut pada pasal 9 (5) PP No. 34 Tahun 2006, fungsi jalan pada sistem jaringan sekunder
dibedakan atas jalan arteri sekunder (JAS), jalan kolektor sekunder (JKS), jalan lokal sekunder (JLS) dan
jalan lingkungan sekunder (JLingkS). Adapun kawasan yang dihubungkan oleh masing-masing fungsi
jalan sekunder disampaikan pada pasal 11 PP No. 34 Tahun 2006.
Pada Tabel 3.4 disampaikan matriks hubungan yang diperankan oleh setiap fungsi jalan sekunder
tersebut, adapun pada Gambar 3.3 disampaikan ilustrasi hirarki jaringan jalan sekunder dan Gambar 3.4
menampilkan ilustrasi hirarki jaringan jalan dalam kota.
Tabel 3.4 Matriks Hubungan Fungsi Jalan Pada Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-7
F1
Kawasan
Primer
F 2,1 F 2,1
Kawasan JALAN ARTERI Kawasan
Sekunder SEKUNDER (JAS) Sekunder
I I
JALAN LOKAL
SEKUNDER (JLS)
Perumahan
Gambar 3.3 Ilustrasi Hirarki Fungsi Jalan Pada Sistem Jaringan Jalan Sekunder
(Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan)
Sebagaimana disampaikan pada Tabel 3.4, terdapat beberapa hubungan antar kawasan yang tidak diatur
(diberikan tanda t.a) pada PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Tidak diaturnya hubungan ini dapat
dipersepsikan bahwa: (1) Daerah dapat menetapkan fungsi jalan yang menghubungkan antar kawasan
tersebut, atau kemungkinan besar yang lebih tepatnya, bahwa (2) sebaiknya hubungan antar kawasan
tersebut dilakukan sesuai hirarki jalan yang telah ditetapkan melalui hirarki kawasan yang lebih tinggi.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-8
Contohnya, hubungan antara Kawasan Sekunder Kedua, Kawasan Sekunder Ketiga, dan Perumahan ke
Kawasan Primer, sebaiknya dilakukan melalui jalan arteri sekunder (JAS) yang menghubungkan Kawasan
Sekunder Kesatu dengan Kawasan Primer. Demikian, jiga hubungan antara Kawasan Sekunder Ketiga
dengan Kawasan Sekunder Kesatu sebaiknya melalui Jalan Arteri Sekunder (JAS) yang menghubungkan
Kawasan Sekunder Kedua (yang ada pada hirarki diatas Kawasan Sekunder Ketiga yang bersangkutan)
dengan Kawasan Sekunder Kesatu.
Pada Tabel 3.5 disampaikan persyaratan teknis jalan pada jaringan jalan primer sesuai dengan klasifikasi
fungsinya yang diatur dalam pasal 13 s.d pasal 16 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Persyaratan
teknis ini harus dipenuhi oleh setiap ruas jalan yang ditetapkan sebagai bagian dari jaringan jalan primer
agar fungsinya dapat optimal sesuai dengan fungsi hubungan yang diperankan/diembankan masing-
masing ruas jalan pada sistem distribusi nasional/antar kota.
Pada Tabel 3.6 disampaikan persyaratan teknis jalan pada jaringan jalan sekunder sesuai dengan
klasifikasi fungsinya yang diatur dalam pasal 17 s.d pasal 20 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Persyaratan teknis ini harus dipenuhi oleh setiap ruas jalan yang ditetapkan sebagai bagian dari jaringan
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-9
jalan sekunder agar fungsinya dapat optimal sesuai dengan fungsi hubungan yang
diperankan/diembankan masing-masing ruas jalan pada sistem distribusi dalam kawasan perkotaan.
Secara prosedural pada pasal 62 PP No. 34 Tahun 2006 disiratkan bahwa untuk dapat menetapkan
status jalan diperlukan masukan mengenai ketetapan fungsi jalan. Hal ini diperjelas lagi dalam pasal 25
s/d pasal 30 PP No. 34 Tahun 2006 dimana untuk setiap status jalan ditetapkan ruas-ruas jalan yang
menjadi bagiannya berdasarkan hirarki fungsinya. Pada Tabel 3.7 disampaikan hubungan status jalan
dengan fungsi jalan yang dilingkupinya sedangkan Gambar menampilkan skema hubungan sistem
jaringan, fungsi dan status jalan.
Tabel 3.7 Pemetaan Hubungan Antara Fungsi Dengan Status Ruas Jalan
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-10
No Status Jalan Fungsi Jalan yang Dilingkupi
dan
d. jalan strategis kabupaten.
4 Jalan Kota jalan umum pada jaringan jalan sekunder di dalam kota
jalan lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten di
5 Jalan Desa dalam kawasan perdesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa
Secara lebih gamblang, pada Tabel 3.8 disampaikan penetapan mengenai hubungan antara penetapan
fungsi dan status jalan
Tabel 3.8 Hubungan Antara Penetapan Fungsi dengan Penetapan Status Jalan
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-11
3.1.4 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak
terpisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh.pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibagi menurut status yaitu:
a. Hutan negara (dapat berupa meliputi hutan adat) yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.
b. Hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Sedangkan pada Pasal 6 UU No. 41 tahun 1999, pembagian hutan menurut fungsinya adalah sebagai
berikut:
a. Hutan produksi
b. Hutan lindung
c. Hutan konservasi.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 7 UU No. 41 tahun 1999, hutan konservasi terdiri dari:
Dalam hal pengelolaan hutan (Pasal 21,UU No. 41/1999 tentang Kehutanan) kegiatan yang diatur
meliputi:
Sedangkan dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan beberapa hal perlu menjadi
perhatian yaitu :
a. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (Pasal 24)
b. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru
diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 25)
c. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Pasal 26)
d. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
(Pasal 28).
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-12
3.1.5 Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Palu
Lokasi KEK Palu berdampingan dengan Pelabhan Pantoloan yang terletak di Teluk Palu. Secara
geostrategis, konsep pengembangan KEK Palu telah terintegrasi dengan konsep pengembangan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Palu, Donggala, Parigi Moutong dan Sigi (KAPET PALAPAS)
dan pengembangan jaringan jalan nasional Palu - Parigi yang akan menghubungkan perairan Selat
Makassar dengan perairan Teluk Tomini.
Pada Pasal 2 PP 31 tahun 2014 disebutkan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus Palu terletak dalam
wilayah Kecamatan Tawaeli, Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah seperti ditampilkan pada Gambar 3.5.
3.1.6 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 567 Tahun 2010 Tentang Rencana Umum
Jaringan Jalan Nasional
Berdasarkan KM PU No. 567 Tahun 2010 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional, bahwa jalan
nasional yang terdiri atas jaringan jalan nasional bukan jalan tol, jaringan jalan nasional jalan tol, dan
jaringan jalan strategis nasional rencana. Jaringan jalan strategis nasional rencana adalah jalan yang
belum terhubung, dalam proses pembangunan, berstatus jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan kota,
yang mendukung berfungsinya sistem jaringan jalan nasional.
Adapun jaringan jalan di Provinsi Sulawesi Tengah disampaikan pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-13
Tabel 3.9 Jaringan Jalan Nasional Bukan Jalan Tol di Provinsi Sulawesi Tengah
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
1 28 3 1 UMU (BTS. PROV. GORONTALO) - PALELEH 45.940
2 28 2 2 PALELEH - BODI 49.348
3 28 1 3 BODI - BUOL 47.937
4 27 3 4 BUOL - LAKUAN 48.266
5 27 2 5 LAKUAN - LAULALANG 49.457
6 27 1 6 LAULALANG - LINGADAN 16.251
7 11 7 LINGADAN - BTS. KOTA TOLITOLI 40.711
8 11 14 K 7 11 K JLN. M. SALEH (TOLI-TOLI) 8.547
9 11 13 K 7 12 K JLN. YOS SUDARSO (TOLITOLI) 2.225
10 11 12 K 7 13 K JLN. SYARIF MANSUR (TOLITOLI) 0.708
11 11 11 K 7 14 K JLN. A. YANI (TOLITOLI) 0.452
12 45 2 8 BTS. KOTA TOLITOLI - SILONDOU 33.581
13 45 25 K 8 11 K JLN. MOH. HATTA (T0LITOLI) 0.744
14 45 24 K 8 12 K JLN. ABDUL MUIS (TOLITOLI) 0.908
15 45 23 K 8 13 K JLN. WOLTER MONGINSIDI (TOLITOLI) 1.120
16 45 22 K 8 14 K JLN. SONA (TOLITOLI) 2.351
17 45 21 K 8 15 K JL. TADULAKO (TOLITOLI) 1.208
18 45 1 9 SILONDOU - MALALA 38.692
19 26 2 10 MALALA - OGOTUA 54.875
20 26 1 11 OGOTUA - OGOAMAS 35.151
21 25 2 12 OGOAMAS - SIBOANG 62.925
22 25 1 13 SIBOANG - SABANG 51.824
23 10 3 14 SABANG - TAMBU 28.814
24 10 2 15 TAMBU - TOMPE 28.336
25 10 1 16 TOMPE - PANTOLOAN 64.698
26 46 17 PANTOLOAN - TAWAELI 3.795
27 3 18 KEBUNSARI (TALISE) - TAWAELI 8.887
28 3 1A K 18 11 K JLN. TANAH RUNTUH - KEBONSARI (PALU) 6.606
29 3 19 K 18 12 K JLN. SUDIRMAN (PALU) 0.542
30 3 18 K 18 13 K JLN. YOS SUDARSO (PALU) 1.464
31 3 17 K 18 14 K JLN. SAM RATULANGI (PALU) 1.285
32 3 14 K 18 15 K JLN. WOLTER MONGINSIDI (PALU) 1.022
33 3 13 K 18 16 K JLN. EMMY SAELAN (PALU) 1.146
34 3 12 K 18 17 K JLN. BASUKI RAHMAT (PALU) 1.710
35 3 11 K 18 18 K JLN. ABDUL RAHMAN SALEH (PALU) 1.484
WATUSAMPU (TAMAN RIA) - AMPERA (BTS. KAB.
36 1 19 14.940
DONGGALA)
37 1 11 K 19 11 K JLN. HASANUDDIN I (PALU) 0.418
38 1 12 K 19 12 K JLN. GAJAH MADA (PALU) 0.592
39 1 13 K 19 13 K JLN. IMAM BONJOL (PALU) 0.571
40 1 14 K 19 14 K JLN. DIPONEGORO (PALU) 2.503
41 1 15 K 19 15 K JLN. MALONDA (PALU) 4.070
AMPERA (BTS. KOTA DONGGALA) - SURUMANA (BTS
42 33 20 39.226
PROV.SULBAR)
43 24 2 21 MOLOSIPAT (BTS. PROV. GORONTALO) - LAMBUNU 41.827
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-14
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
44 24 1 22 LAMBUNU - MEPANGA 45.436
45 9 3 23 MEPANGA - TINOMBO 55.579
46 9 2 24 TINOMBO - KASIMBAR 57.828
47 9 1 25 KASIMBAR - AMPIBABO 56.492
48 8 26 AMPIBABO - TOBALI 29.618
49 5 27 TOBALI - PARIGI 16.057
50 16 28 PARIGI - TOLAI 29.659
51 17 29 TOLAI - SAUSU 28.401
52 18 30 SAUSU - TOMARO (BTS. KAB. POSO) 13.139
53 31 TOMARO (BTS. KAB. PARIMO) - TAMBARANA 9.022
54 19 32 TAMBARANA - BTS. KOTA POSO 49.227
55 19 14 K 32 11 K JLN. PULAU SABANG (POSO) 1.267
56 19 13 K 32 12 K JLN. PULAU SUMATRA (POSO) 0.724
57 19 12 K 32 13 K JLN. PULAU KALIMANTAN (POSO) 0.552
58 7 1 33 POSO - TOGELU 7.290
59 7 11 K 33 11 K JLN. TANJUNG BULU (POSO) 0.324
60 7 12 K 33 12 K JLN. DIPONEGORO (POSO) 0.781
61 7 13 K 33 13 K JLN. TABATOKI (POSO) 2.754
62 12 1 34 TOGELU - MALEI 18.260
63 12 11 K 34 11 K JLN. PATTIMURA (POSO) 0.690
64 12 12 K 34 12 K JLN. LETJEN. SUPRAPTO (POSO) 0.350
65 12 13 K 34 13 K JLN. U. MANASOLI (POSO) 1.030
66 12 14 K 34 14 K JLN. LAWANGA - TOYONDO (POSO) 17.000
67 35 MALEI - UEKULI 28.700
68 12 2 36 UEKULI - MAROWO 73.243
69 12 3 37 MAROWO - AMPANA 26.943
70 34 1 38 AMPANA - BALINGARA 41.080
Sumber: KM PU No. 567 Tahun 2010
Tabel 3.10 Jaringan Jalan Strategis Nasional Rencana di Provinsi Sulawesi Tengah
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
1 18 19 K JLN. HASANUDIN II (PALU) 0.850
2 19 16 K JLN. MALONDA II (BULURI - WATUSAMPU) (PALU) 5.640
3 19 17 K JLN. SUNGAI GUMBASA (PALU) 0.230
4 19 18 K JLN. DANAU POSO (PALU) 0.400
5 19 19 K JLN. SUNGAI DOLAGO (PALU) 0.200
6 19 1A K JLN. SIS ALJUPRI I (PALU) 0.350
7 33 14 K JLN. YOS SUDARSO (POSO) 0.650
8 15 43 LUWUK - BATUI 42.114
9 15 11 K 43 11 K JLN. SAMRATULANGI (LUWUK) 0.321
10 15 12 K 43 12 K JLN. A. YANI (LUWUK) 1.492
11 15 13 K 43 13 K JLN. URIP SUMOHARJO (LUWUK) 0.886
12 15 14 K 43 14 K JLN. SUDIRMAN (LUWUK) 0.976
13 15 15 K 43 15 K JLN. M. HATTA (LUWUK) 10.553
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-15
No. Ruas Panjang
No Nama Ruas
Lama Baru Ruas (km)
14 32 44 BATUI - TOILI 40.955
15 40 1 45 TOILI - RATA 53.346
16 40 2 46 RATA - BATURUBE 57.000
17 63 MEPANGA - PASIR PUTIH 23.000
18 64 PASIR PUTIH - BASI 32.500
19 65 TOMATA - PAPE 64.000
20 66 SALAKAN - SAMBUT 24.000
TOTAL PROVINSI SULAWESI TENGAH 359.463
Sumber: KM PU No. 567 Tahun 2010
1. Tahap Persiapan, yang merupakan langkah awal dari kegiatan pelaksanaan pekerjaan, berupa
mobilisasi personil, pengenalan situasi/lingkungan lokasi pekerjaan, pembuatan program kerja,
pengurusan ijin-ijin survei dan mobilisasi peralatan survei, serta tahap pengembangan metodologi
perencanaan yang meliputi penyusunan konsep dan metoda perencanaan.
Seperti studi-studi yang lain, dalam tahap ini juga dilakukan kajian terhadap rencana-rencana
pengembangan yang terkait, seperti: kajian terhadap tata ruang dan juga rencana pengembangan
infrastruktur transportasi lainnya untuk mengidentifikasi pengembangan wilayah di Provinsi
Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Morowali dan Kota Palu yang secara khusus merupakan
daerah pengaruh jalan lintas dan tempat dibangunnya simpang tidak sebidang tersebut.
Kesepakatan berkaitan dengan batasan wilayah studi tersebut terlebih dulu harus mendapat
persetujuan dari Tim Teknis pihak Pemberi Tugas. Selain itu studi-studi transportasi terkait juga
direview. Hasil tahap persiapan ini disampaikan pada Laporan Pendahuluan.
2. Tahap Pengumpulan Data, berupa tahapan kegiatan pengumpulan data berupa data sekunder
maupun data primer. Data sekunder yang dikumpulkan pada studi ini merupakan data yang
dikumpulkan secara instansional yang terkait dengan perencanaan desain jalan dan simpang tak
sebidang. Sedangkan survei primer yang dilakukan, antara lain: survei lalulintas, survei kondisi dan
geometrik jalan dan survei penyelidikan tanah. Catatan detail mengenai kebutuhan data dan
metoda pengumpulannya disampaikan pada bagian selanjutnya.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-16
1. Kepmen PU No. 630/2009; No.631/2009; No. Latar Belakang, Maksud dan
567/2010
Tujuan, dan Ruang Lingkup
2. Kep.Dirjen BM No. 48/2011
3. PP No 26/2008 tentang RTRW Nasional Kegiatan
4. PP No 31/2014 tentang KEK Palu
Persiapan 5. Perda No. 8/2013 tentang RTRW Provinsi
Sulawesi Tengah
6. Perda No. 2/2012 tentang RTRW Kabupaten Pengenalan awal
Morowali; wilayah studi
7. Perda No. 2/2011tentang RTRW Kabupaten
Parigi Moutong;
8. Perda No. 16/2011 tentang RTRW Kota
Palu. Survei Pendahuluan
Penentuan
Penentuan Alternatif Orientasi Data
Alternatif Rute
STS Lalulintas
Analisis Kelayakan
Ekonomi
Gambar 3.6 Tahapan Kegiatan “Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi”
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-17
Pada tahapan ini, juga dilakukan kajian awal identifikasi dan deskripsi alternatif-alternatif dari
kegiatan yang dikaji, khususnya alternatif perencanaan fisik, meliputi bentuk geometrik maupun
pemilihan jenis struktur yang digunakan. Identifikasi alternatif ini didasarkan pada 4 (empat) faktor
utama, yaitu:
Tahapan identifikasi dan deskripsi alternatif-alternatif ini diharapkan menghasilkan keluaran berupa
uraian lanjut atau detail yang secara teknis mampu mengidentifikasi rute dasar maupun spesifkasi
teknis lainnya. Dengan demikian, penilaian dan penentuan rute terpilih yang diusulkan dapat dikaji
lebih akurat. Hasil tahap pengumpulan data ini disampaikan pada Laporan Antara.
3. Tahap Analisis, pada prinsipnya tahapan ini merupakan pengolahan lanjut data sekunder serta
data primer dari lapangan yang diikuti dengan perencanaan dan penggambaran, tahapan desain
yang dilakukan adalah desain geometrik dan perkerasan jalan, desain struktur, desain drainase
dan estimasi biaya dan analisis kelayakan ekonomi.
4. Tahap Finalisasi, merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari tahap sebelumnya berdasarkan
hasil dari diskusi dan pembahasan yang dilakukan bersama pemberi kerja. Selain laporan akhir,
sebagai dokumentasi seluruh kegiatan, dokumen-dokumen lain seperti yang disyaratkan dalam
kerangka acuan juga dihasilkan pada akhir tahap ini.
Di dalam tahap persiapan ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai awal (inisiasi) dari seluruh rangkaian
kegiatan yang direncanakan. Hasil tahap persiapan ini akan sangat mempengaruhi proses yang dilakukan
dalam tahap-tahap selanjutnya.
Secara umum terdapat 3 (tiga) kegiatan utama di dalam tahap persiapan ini, yakni:
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-18
regional atau lokal.
b) Menelaah sejumlah metoda pelaksanaan studi sejenis yang pernah dilakukan.
c) Menelaah standar-standar nasional maupun internasional mengenai prasarana jalan baik
pada ruas.
Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan data, baik data sekunder (instansi terkait) maupun data
primer yang diperoleh dari survei di lapangan.
Persiapan survei ini dilakukan untuk merencanakan secara detail pelaksanaan survei yang berkaitan
dengan:
(1) Pemilihan metoda survei;
(2) Penyiapan formulir survei sesuai dengan metoda survei yang digunakan;
(3) Penyiapan sumberdaya survei dan penyusunan jadual pelaksanaan survei.
Kegiatan ini difokuskan pada upaya untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai kondisi
obyektif di wilayah studi, baik simpang tidak sebidang Pelabuhan Pantoloan maupun jalan lintas
Kolonodale - Baturube. Kegiatan ini, pada prinsipnya, merupakan respon atas pemahaman terhadap
kondisi wilayah dan obyek studi yang bersumber dari beragam informasi atau data sekunder serta diskusi
dengan pihak-pihak terkait.
Isu-isu strategis yang berusaha diperoleh pada tahapan ini menyangkut jawaban atas beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Konfirmasi atas identifikasi lokasi rencana simpang tidak sebidang dan jalan lintas Baturube-
Kolonodale;
2. Identifikasi dan status ruas-ruas jalan di wilayah studi;
3. Kebijakan atau rencana pengembangan ruas-ruas jalan (dan sistem transportasi lain0 di wilayah
studi.
Keluaran dari kegiatan survei pendahuluan ini, selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan kegiatan survei
sekunder maupun primer.
Secara umum data yang dibutuhkan dapat digolongkan dalam 2 (dua) kategori, yakni: data untuk analisis
teknis dan data untuk kebutuhan analisis kelayakan ekonomi.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-19
prasarana dan pelayanan transportasi yang berada di dalam daerah studi. Data yang dikumpulkan
merupakan data eksisting dan data rencana pengembangannya;
(4) Data Kondisi Geografis dan Geoteknik, yang meliputi data topografi, keberadaan hambatan alam
(sungai, bukit, daerah rawan bencana alam, dll.) di sekitar lokasi, serta kondisi tanah untuk
keperluan kajian kemungkinan peningkatan prasarana pada ruas yang ditinjau;
(5) Data kondisi Right of Way (ROW) koridor yang ditinjau untuk kemungkinan pengembangan dan
identifikasi potensi permasalahan sosial yang mungkin terjadi.
Data yang dibutuhkan untuk analisis kelayakan ekonomi adalah sebagai berikut:
1) Data biaya operasi kendaraan yang akan dihemat untuk kelayakan ekonomi;
2) Data generalised cost transportasi;
3) Data kecepatan;
4) Data teknis (topografi dan geoteknik) pada ruas jalan terpilih.
Data-data tersebut dapat berupa data primer maupun sekunder atau data yang merupakan output dari
suatu analisis.
Secara keseluruhan, kebutuhan data sekunder dalam pelaksanaan studi ini ditampilkan pada Tabel 3.11.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-20
Adapun data primer yang dikumpulkan melalui kegaitan survei atau pengamatan lapangan pada kegiatan
ini, mencakup:
1. Survei atau pengamatan ruas-ruas jalan lingkar perkotaan di Pulau Jawa
2. Survei kondisi lalulintas
3. Survei pengukuran topografi
4. Survei penyelidikan tanah.
Pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni: survei sekunder dan survei primer. Adapun
metoda pelaksanaan survai tersebut dijelaskan sebagai berikut:
A. Survei Sekunder
Survei sekunder dilakukan dengan mendatangi instansi terkait untuk meminta sejumlah dokumentasi data
dari institusi pengelola sistem transportasi, perencana tata ruang dan sejumlah instansi lain yang dapat
menyediakan data yang berkaitan dengan pelaksanaan studi.
B. Survei Primer
Dalam studi ini, survei primer dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung di lapangan. Survei
primer yang perlu dilakukan adalah survei lalulintas, survei topografi, survei penyelidikan tanah dan
hidrologi.
Survei lalulintas diperlukan untuk melihat kondisi dan kinerja sistem transportasi di wilayah studi untuk
kemudian dilakukan analisis pada kondisi ’dengan’ dan ’tanpa’ pembangunan masing-masing di lokasi
simpang tidak sebidang di Pelabuhan Pantoloan dan jalan lintas Baturube-Kolonodale. Selain itu juga
sebagai bahan kajian untuk melihat bangkitan dan tarikan perjalanan yang akan dilayani oleh rute jalan
yang sedang dikaji ini.
Selanjutnya, survei topografi diperlukan untuk kebutuhan perancangan alternatif bentuk geometrik dan
struktur baik simpang tidak sebidang dan jalan lintas Baturube-Kolonodale.
Secara terinci, berikut ini disampaikan pembahasan mengenai kegiatan survei primer yang dilakukan
dalam pelaksanaan studi ini.
1. Survei Pendahuluan
Dalam melaksanakan survei pendahuluan, dilakukan peninjauan lapangan untuk melakukan identifikasi
daerah studi dan membandingkannya dengan data-data sekunder yang diperoleh untuk dipergunakan
sebagai bahan analisis data dan pemilihan rute. Tinjauan lapangan dilakukan terhadap beberapa aspek
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Topografi
a. Keadaan topografi
b. Kondisi utilitas
(2) Geologi
a. Sifat-sifat fisik tanah
b. Ciri-ciri geologi
(3) Hidro-Oceanografi
a. Kondisi drainase
b. Kondisi pantai dan laut/gelombang (untuk wilayah pesisir)
c. Hal-hal lannya yang diperlukan
(4) Sosial dan Ekonomi
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-21
a. Identifikasi ciri-ciri tata guna tanah
b. Kependudukan dan tenaga kerja
c. Struktur wilayah administrative
d. Identifikasi sarana dan prasarana sosial ekonomi
e. Persepsi dan ciri-ciri kondisi ekonomi regional
(5) Budaya dan lingkungan
a. Inventarisasi situs sejarah dan peninggalan budaya
b. Inventarisasi rona lingkungan awal.
Volume lalulintas merupakan salah satu karakteristik dasar lalulintas selain kepadatan dan kecepatan.
Sehingga lebih jauh lagi data volume lalulintas merupakan dasar dalam penentuan desain jalan,
penentuan tingkat pertumbuhan lalulintas, analisis kecelakaan, perencanaan jaringan, pendanaan dan
sebagainya.
Survei volume lalulintas digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai tingkat penggunaan suatu
ruas jalan yang telah ada, seperti:
• Volume Lalulintas per jam atau harian
• Klasifikasi kendaraan
• Kecepatan kendaraan.
(2) Survei Waktu Perjalanan. Pencatatan waktu tempuh suatu kendaraan dari satu titik ke titik yang lain
pada suatu ruas jalan dilakukan secara manual selama 3 hari (2 hari kerja dan 1 hari libur). Jumlah
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-22
titik dan lokasi survei harus dapat mewakili lingkup wilayah studi dan disesuaikan dengan kebutuhan
analisis yang diperlukan dalam studi ini.
Lokasi survai yang dipilih harus dapat mewakili kondisi lalu lintas yang ada. Jumlah titik pengamatan
tersebut masih berupa perkiraaan dan akan ditetapkan lebih lanjut setelah dilakukan survei pendahuluan.
3. Survei Topografi
Survei topografi dilakukan di sepanjang rencana trase jalan di dalam koridor yang ditetapkan untuk
penyiapan peta topografi dengan skala tertentu sesuai kebutuhan. Dalam survei topografi konsultan harus
memperhatikan beberapa hal sesuai ketentuan yang terdapat dalam kerangka acuan kerja yaitu:
a. Survei Pengukuran Lapangan berupa poligon tertutup, waterpass, dan stake out per 1 kilometer.
b. Pemasangan Bench Mark utama dan sekunder/pembantu setiap 1 km.
c. Penentuan Koordinat melalui survei GPS minimal per 1 km.
d. Penampang melintang, dengan lebar penampang dan interval yang disesuaikan dengan kebutuhan
pada daerah datar setiap 1 km dan pada daerah lainnya yang memerlukan pengukuran tambahan
dengan interval yang lebih kecil.
e. Penampang memanjang rencana as jalan dengan interval yang disesuaikan dengan kebutuhan
pada daerah datar dan pada daerah lainnya yang memerlukan pengukuran tambahan dengan
interval yang lebih kecil.
f. Perhitungan dan Penggambaran.
g. Hasil pengukuran lapangan yang dikombinasikan dengan peta Bakosurtanal.
h. Hasil analisis berupa gambar ROW Plan dan di plot dalam peta citra satelit dan peta bakosurtanal
sebagai dasar pembebasan tanah.
Fokus penyelidikan tanah pada lokasi dimaksudkan sebagai data masukan dalam analisis desain
perkerasan jalan.
Survei kondisi dan struktur tanah merupakan survei lapangan untuk mengidentifikasi kondisi data tanah
yang diperoleh untuk dipergunakan sebagai bahan analisis data, survei yang dilakukan yaitu:
(1) Test Pit diperlukan untuk mengetahui susunan atau komposisi, baik yang sudah beraspal maupun
belum. Jumlah titik test pit yang dilaksanakan minimal 24 titik. Pada setiap test pit dilakukan
pengamatan/deskripsi struktur dan jenis tanah, dan diambil sampelnya serta dilakukan pengujian
laboratorium antara lain compaction dan CBR laboratorium.
(2) Pekerjaan sondir harus dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kekuatan tanah pada
lokasi yang ditinjau. Jumlah titik sondir yang dilaksanakan minimal 24 titik.
(3) Boring dengan kedalaman ± 30 m dilakukan setiap persimpangan jalan dengan sungai (untuk
keperluan pembangunan jembatan) dengan perkiraan terdapat 10 titik persimpangan sungai.
Standard Penetration Test (SPT) dilakukan setiap interval 3 - 5 m.
(4) Pemeriksaan Laboratorium untuk mendapatkan gambaran karakteristik tanah yang akan digunakan
dalam perhitungan perencanaan.
Dalam survei ini dilakukan identifikasi dampak lingkungan dan ketersediaan lahan untuk dipergunakan
sebagai bahan analisis data dan pertimbangan pemilihan rute. Pada saat bersamaan konsultan harus
melakukan survei hidrologi/drainase untuk mengidentifikasi jumlah dan karakteristik sungai, catchment
area dan aliran sungai/drainase sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan rute dan penentuan
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-23
struktur jalan/jembatan dalam proses pra design.
Tahap ini terdiri dari beberapa bagian, yakni: analisis awal, analisis teknik, analisis penghematan
pengguna jalan dan analisis kelayakan ekonomi serta analisis dampak. Berikut disampaikan detail
bahasan untuk setiap item yang termasuk dalam tahapan ini.
Analisis awal merupakan kegiatan untuk menginterpretasi sejumlah data yang diperoleh dari survei.
Kegiatan ini dilakukan untuk:
1) Memverifikasi dan validasi kualitas dan jenis data yang diperoleh;
2) Mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang ada di dalam sistem transportasi pada daerah
sekitar yang dituangkan dalam bentuk numerik, uraian, ataupun gambar;
3) Membentuk basis data yang operatif untuk digunakan dalam perencanaan dan analisis.
Terdapat ruas missing link (terputus) pada lintas timur yaitu di ruas Baturube - Kolonodale di Provinsi
Sulawesi Tengah. Ruas terputus tersebut saat ini dilayani angkutan penyeberangan (Sejak November
2013, dengan waktu tempuh 3 jam - www.antarasulteng.com). Merujuk pada kondisi fisik wilayah, rencana
pembangunan jalan lintas Baturube - Kolonodale ini harus mempertimbangkan aspek-aspke sebagai
berikut:
Kondisi topografi yang cenderung berbukit/bergunung
Adanya kawasan cagar alam.
Pembahasan lebih lanjut mengenai struktur permasalahan ini akan disampaikan pada pembahasan
tentang isu strategis.
Seperti disampaikan pada metodologi, kegiatan pra desain ini mencakup analisis pemilihan trase jalan
(mencakup arah pelayanan simpang tidak sebidang dan lintas Baturube-Kolonodale) serta perencanaan
geometrik jalan, hidrologi dan drainase dan struktur perkerasan jalan.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-24
A. Analisis Pemilihan Trase
Analisis pemilihan trase mencakup 2 lingkup kegiatan, yaitu (1) pemilihan arah pelayanan simpang tidak
sebidang Pelabuhan Pantoloan dan (2) pemilihan trase jalan lintas Baturube-Kolonodale. Pengambilan
keputusan dalam proses pemilihan trase ini dihadapkan kepada sejumlah variabel yang kompleks sesuai
sifat ke-multi-an dari sistem transportasi/jalan itu sendiri. Keputusan terhadap suatu trase yang dipilih
harus didasarkan pada suatu analisis komprehensif tentang aspek kemultian dalam perencanan suatu
jaringan jalan.
Analisis Multi Kriteria (Multi Criteria Analysis) merupakan alternatif teknik yang mampu menggabungkan
sejumlah kriteria dengan besaran yang berbeda (multi-variable) dan dalam persepsi pihak terkait yang
bermacam-macam (multi-facet). Dalam penelitian ini teknik analisis multi kriteria digunakan untuk
menganalisis dan melakukan prioritasi terhadap sejumlah usulan pengembangan sistem transportasi yang
digali dari daerah.
Adapun konsep yang dikembangkan dalam analisis multi kriteria adalah sebagai berikut:
1. Analisis sudah mempertimbangkan semua variabel sekomprehensif mungkin dengan tetap menjaga
proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan.
2. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan kepentingan pihak-pihak yang harus diakomodasi.
3. Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan dengan mengembangkan
sejumlah kriteria yang terukur.
4. Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu.
5. Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria.
Metodologi aplikasi pendekatan analisis ini dapat direpresentasikan seperti pada Gambar 3.7.
Usulan Trase
Kriteria/Variabel
Penilaian
Selanjutnya, dari hasil identifikasi alternative trase jalan yang akan dikembangkan dilakukan analisis
berdasarkan pembobotan dari karakteristik masing-masing alternatif menurut kriteria yang digunakan
dalam analisis pemilihan. Mengacu pada karakteristik obyek analisisnya, analisis pemilihan trase jalan
lingkar ini menggunakan pendekatan analisis multi kriteria (AMK). Kriteria pemilihan trase beserta
pembobotannya, pada studi ini, mengacu pada Pedoman Studi Kelayakan Proyek Jalan dan Jembatan
yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Teknik, Dirjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen
Pekerjaan Umum, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.12. Dalam pelaksanaannya beberapa variabel
pendukungnya dapat dikembangkan atau mengalami perubahan, disesuaikan dengan karakteristik ruas
jalan lingkar yang terpilih. Kriteria ini yang nantinya menjadi dasar dalam pemilihan suatu trase dan
diberikan kepada setiap stakeholder sehingga setiap pihak memiliki persepsi terhadap masing-masing
trase dengan dasar atau benchmark pemikiran yang sama. Besar bobot untuk masing-masing kriteria
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-25
diperoleh dengan melakukan survei wawancara ke stakeholder, sehingga diperoleh kesepakatan
penilaian yang obyektif.
Perencanaan geometrik jalan termasuk simpang tak sebidang meliputi: perencanaan alinyemen horisontal
dan vertikal dan perencanaan penampang melintang. Kriteria perencanaan geometrik yang digunakan
mengacu kepada ”Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997”.
Alinyemen horisontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang horisontal (denah). Alinyemen
horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-26
Dasar-dasar Perencanaan Alinyemen Horizontal
Untuk menentukan jari-jari minimum dimana tidak dibutuhkan lengkung peralihan atau transisi didasarkan
keadaan jika lengkung tersebut dipasang maka alinyemen mendatar akan bergeser dari garis singgung.
Rumus yang digunakan adalah:
L2
S= 1
24
R
dimana: S : nilai pergeseran, diambil 0.20 m
L : panjang lengkung peralihan minimum [m]
R : jari-jari lengkung [m]
Panjang lengkung peralihan yang disarankan oleh standar ini adalah harga dari 3 detik dari kecepatan
atau:
L = V ⋅t
dimana: L : panjang peralihan minimum [m]
V : kecepatan rencana [km/jam]
t : waktu tempuh, yaitu 3 detik.
Panjang lengkung transisi dapat juga ditentukan dengan panjang yang dibutuhkan untuk mencapai
kemiringan. Harga kemiringan tepi jalur lalu lintas atau kelandaian relatif dapat digunakan untuk hal
tersebut.
Lengkung Peralihan (Ls) adalah lengkung yang disisipkan diantara bagian lurus dan bagian lengkung
yang berjari-jari tetap. Fungsinya adalah untuk mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dan bentuk
lurus (R yang tak berhingga) sampai pada bentuk lengkung dengan R tetap sedemikian rupa sehingga
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-27
gaya sentrifugal yang bekerja dapat berubah secara berangsur.
Dalam perancangan tikungan, dapat digunakan tiga kriteria utama sebagai dasar dan kontrol
perancangan. Ketiga kriteria tersebut adalah panjang Tangens (T) yang tersedia, panjang offset (E) dan
jari-jari tikungan (R). Terdapat tiga jenis tikungan yang umum di gunakan dalam perancangan geometrik
jalan, yaitu tikungan lingkaran penuh (full circle), tikungan spiral-lingkaran (spiral-circle-spiral) dan
tikungan spiral (spiral-spiral).
Tc = R tan 1
2 ∆
∆
Lc = 2π R
360 0
R
Ec = − R, atau
∆
cos
2
Ec = Tc tan 14 ∆
Ls 360
θS = k = X C − R sin θ S
2 R 2π
∆c = ∆ − 2θ S p = YC − R (1 − cos θ S )
∆
Lc =
∆c
2πR Ts = (R + p ) tan + k
360 2
Ls 2 Es =
(R + p)
− R
YC = ∆
6R cos
2
Ls 3 L total = Lc + 2 Ls
X C = Ls −
40 R 2
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-28
c. Tikungan spiral (spiral-spiral)
θ S = 12 ∆ k = X C − R sin θ S
∆c = 0 p = YC − R(1 − cos θ S )
Lc = 0 ∆
Ts = (R + p ) tan + k
Ls 2 2
YC = (R
+ p)
6R Es = − R
3 ∆
Ls cos
X C = Ls − 2 2
40 R
L total = 2 Ls
Alinyemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang vertikal yang melalui sumbu jalan
tersebut. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau dari
titik awal perencanaan, alinyemen vertikal dapat berupa tanjakan (landai positif), turunan (landai negatif),
dan datar (landai nol). Maka lengkung vertikal dan perancangannya adalah:
Kontrol yang umum digunakan dalam perencanaan lengkung vertikal adalah sebagai berikut:
1. Kelandaian diusahakan mengikuti bentuk permukaan tanah asli sebanyak mungkin untuk mengurangi
galian dan timbunan untuk menekan biaya
2. Perencanaan harus dilakukan sebaik karena sulit dan mahal untuk memperbaiki suatu kelandaian
jalan dikemudian hari
3. Penggunaan landai maksimum sebaiknya dihindari dan jika kondisi harus menggunakan landai
maksimum maka perlu ditambahkan jalur pendakian khusus
4. Perencanaan alinyemen vertikan dikoordinasikan dengan alinyemen horizontal.
Kelandaian harus dibuat sesuai dengan kelandaian maksimum. Patokan kelandaian standar maksimum
didasarkan pada truk bermuatan penuh dengan kecepatan lebih besar dari setengah kecepatan rencana
dan tanpa menggunakan gigi rendah dengan kecepatan pada awal tanjakan yang digunakan adalah 60
dan 80 km/jam. Kelandaian maksimum disesuaikan dengan standar perencanaan seperti pada Tabel
3.14.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-29
Tabel 3.14 Kelandaian Maksimum untuk Perencanaan Alinyemen Vertikal
V R (km/jam) 100 80 60 50 40 30 20
Kelandaian Maksimum (%) 3 4 5 6 7 8 9
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, Deptemen PU, Ditjen Bina Marga, 1992
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat
mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari
kecepatan rencana. Lama perjalanan tersebut tidak boleh lebih dari satu menit. Daftar panjang kritis untuk
masing-masing kelandaian disampaikan pada Tabel 3.15.
Lengkung vertikal mengikuti persamaan parabola sederhana, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11.
Catatan:
• V atau PVI adalah titik perpotongan kelandaian
• g1 dan g2 adalah kelandaian jalan dalam %
• Analisa dilakuan dari kiri ke kanan dan nilai g(+) jika naik dan
g(-) jika turun
• (g2 - g1) adalah Perbedaan aljabat kelandaian, A (%)
• Nilai e atau Ev adalah nilai y pada x = ½ L
• L atau Lv adalah panjang lengkung
• Nilai y(-) untuk lengkung Cembung dan y(+) untuk lengkung
Cekung
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-30
A.3 Potongan Melintang Jalan
Yaitu penampang melintang geometrik jalan, yang menggambarkan lebar jalan (berdasarkan jumlah lajur
yang telah ditentukan) beserta kemiringan melintang jalan, baik pada segmen lurus maupun pada segmen
tikungan horisontal. Pada desain potongan melintang, juga akan ditentukan lebarnya median/pembatas
jalur.
Penentuan hujan rata-rata dilakukan dengan beberapa metoda salah satu diantaranya metoda rata-rata
aritmatic berdasarkan formula berikut:
Dimana:
d = Nilai hujan rata-rata (mm)
dA, dB, .... = Curah hujan dari stasiun A dan B
N = Jumlah stasiun
Analisis ini bertujuan untuk memperkirakan besar hujan dengan periode ulang tertentu. Banyak metoda
yang dapat digunakan untuk melakukan analisis prekuensi diantaranya adalah: distribusi normal, log
normal distribusi, preaseontipe 3, gumbel tipe 1 dan log gumbel.
1. Intensitas curah hujan
2. Penentuan dimensi saluran samping
3. Penentuan dimensi gorong-gorong
Perkiraan yang akurat mengenai intensitas, durasi dan periode ulang hujan rencana pada suatu daerah
akan sangat tergantung pada ketersediaan data yang ditentukan. Salah satu metoda yang dapat
digunakan untuk memperkirakan intensitas hujan adalh metoda DR Mononobe dengan persyaratan
sebagai berikut:
Rt 24 m
i =
24 t
Dimana:
It = Intensitas hujan dengan periode ulang t tahun (mm/jam)
Rt = Hujan rencana dengan periode ulang t tahun (mm)
t = Durasi jam (jam)
m = 2/3
Perencanaan perkerasan meliputi bahan dan tebal perkerasan. Adapun tipe yang dipakai diasumsikan
menggunakan perkerasan lentur (flexible pavement). Perencanaan perkerasan lentur dilakukan
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-31
berdasarkan Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Pt - T-01-2002-B dan Metoda Analisis
Komponen, Dinas Pekerjaan Umum.
1. Kondisi lalu lintas diperlukan untuk mengetahui karakteristik pergerakan yang akan menjadi beban
lalu lintas dari rencana jalan yang akan dibuat. Karakteristik pergerakan lalu lintas bisa didapat
dengan dua pendekatan, yaitu melakukan survei primer dengan melakukan pencacahan manual pada
ruas yang akan distudi atau dengan melakukan permodelan berdasarkan data sekunder yang pernah
dilakukan.
Stabilitas tanah dasar dapat diperoleh dari berbagai percobaan di lapangan dan di laboratorium,
seperti misalnya pengujian CBR, Resistance dan Plate Bearing. Nilai CBR tersebut seperti yang
dijelaskan sebelumnya dapat ditentukan langsung di lapangan atau dengan pengujian sampel di
laboratorium. Untuk mengukur CBR langsung di lapangan digunakan DCP (Dynamic Cone
Penetrometer).
Dengan sekumpulan data ini maka diambil nilai CBR yang mewakili dengan pendekatan statistik,
yaitu: dengan mengambil nilai 90% terendah. Nilai CBR yang diambil sangat berpengaruh terhadap
ITP yang didapat. Dengan beban yang sama nilai CBR yang rendah akan menghasilkan perkerasan
yang tebal.
3. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada mempengaruhi lapisan perkerasan jalan dan
tanah dasar antara lain:
a. berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen material lapisan
perkerasan
b. pelapukan bahan material
c. mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan.
Faktor utama yang mempengaruhi konstruksi perkerasan jalan ialah air yang berasal dari hujan dan
pengaruh perubahan temperatur akibat perubahan cuaca.
Analisis kelayakan mencakup beberapa analisis yang akan dilakukan seperti dijelaskan sebagai berikut:
a. Data hasil reconnaissance dan data sekunder dievaluasi dan dianalisis dengan penekanan kepada:
orientasi geografis pelayanan jalan yang akan dibangun, keterkaitan antara sektor dan sub-sektor,
serta pengaruh rencana jalan pada perkembangan sosial ekonomi regional.
b. Berdasarkan hasil analisis data, dilakukan penyusunan alternatif-alternatif rute yang layak untuk
dipertimbangkan sebagai rute terpilih. Penentuan rute terpilih dilakukan dengan mempertimbangkan
aspek-aspek teknis, keuangan, lingkungan dan sosial budaya di sekitar trase rute terpilih.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-32
c. Pengkajian rute terpilih juga didasarkan: preliminary project cost, preliminary economic, serta socio-
economic and environmental impact.
d. Analisis ekonomi dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan jalan layak dilaksanakan. Untuk
mempersiapkan implementasi pengembangan jalan (dalam hal ini simpang tidak sebidang dan jalan
lintas), beberapa kajian perlu dilakukan terlebih dahulu, khususnya yang terkait dengan evaluasi
kelayakan ekonomi.
Indikator ekonomi baku yang biasa digunakan dalam evaluasi kelayakan ekonomi, antara lain: Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Break Event Point
(BEP). Secara umum semua indikator tersebut akan memberikan suatu besaran yang
membandingkan nilai manfaat dan biaya dari setiap alternatif yang diusulkan, namun secara spesifik
setiap indikator tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada umumnya semua indikator
tersebut perlu diperiksa untuk menggambarkan secara lebih jelas kejadian-kejadian ekonomi selama
masa perencanaan. Pada bagian berikut ini disampaikan penjelasan singkat mengenai indikator
kelayakan yang dimaksud.
Jika nilai IRR lebih besar dari discount rate yang berlaku, maka proyek mempunyai keuntungan
ekonomi dan nilai IRR pada umumnya dapat dipakai untuk membuat ranking bagi usulan-
usulan proyek yang berbeda.
Nilai BCR yang lebih kecil dari satu menunjukkan investasi yang tidak layak. Hal ini
menggambarkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh pemakai jalan lebih kecil daripada
investasi yang diberikan pada penanganan jalan.
e. Analisis lingkungan dilakukan untuk memperoleh informasi dampak-dampak lingkungan yang akan
terjadi selama kegiatan proyek sejak pra konstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi.
Penetapan tingkat kepentingan dampak mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak
Penting berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL No. KEP-056/Tahun 1994. Ketujuh faktor yang
digunakan sebagai ukuran dampak penting adalah:
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-33
• Jumlah manusia yang akan terkena dampak
• Luas wilayah persebaran dampak
• Lamanya dampak berlangsung
• Intensitas dampak
• Banyaknya komponen lingkungan yang akan terkena dampak
• Sifat kumulatif dampak, dan
• Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.
Dalam evaluasi dampak penting, dilakukan telaahan secara holistik komponen/parameter lingkungan
yang akan terkena dampak penting, mengevaluasi dampak berdasarkan kegiatan yang akan
dilaksanakan serta menganalisis kegiatan yang dominan menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
Hasil evaluasi dituangkan dalam matriks evaluasi dampak penting sebagai kesimpulan dari analisis
prakiraan dan evaluasi dampak penting. Pembobotan dalam penentuan besar/kecilnya dampak yang
terjadi akan dikelompokkan sebagai berikut:
• + P = Dampak Positif Penting
• +TP = Dampak Positif Tidak Penting
• −P = Dampak Negatif Penting
• −TP = Dampak Negatif Tidak Penting
Hasil evaluasi dampak penting akan digunakan sebagai dasar pertimbangan penyusunan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Penyusunan RKL dan
RPL akan mempertimbangkan beberapa pendekatan, yaitu: pendekatan teknologi, pendekatan
sosial budaya dengan melibatkan masyarakat sekitar lokasi proyek untuk berpartisipasi aktif, serta
pendekatan institusional.
f. Dengan menggunakan rute terpilih, dilakukan pra rencana teknis yang meliputi desain geometrik,
struktur dan perkerasan, perkiraan biaya konstruksi dan pembebasan tanah, analisis geologis dan
geoteknik, serta analisis hidrologi dan drainase.
g. Pada rute terpilih dilakukan analisis terhadap: kemudahan pembebasan tanah, pertimbangan
terhadap rencana pengembangan jaringan jalan, kondisi tata guna lahan serta peminimalan biaya
konstruksi.
Tahap ini merupakan tahap akhir dari studi yang dilaksanakan. Diharapkan rekomendasi yang dihasilkan
dapat digunakan/dimanfaatkan sebagai acuan/dasar untuk tahapan perencanaan lebih lanjut.
Studi Kelayakan dan Desain Awal Jalan Lintas di Pulau Sulawesi 3-34