BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Jumlah populasi manusia di dunia terus bertambah sehingga kebutuhan manusia
pun ikut bertambah. Transportasi merupakan kebutuhan yang bisa dikatakan pokok
dikarenakan manusia membutuhkan suatu mobilitas untuk menunjang hidupnya.
Mobilitas tersebut didalamnya terdapat fungsi untuk memindahkan orang atau
barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Mobilitas tidak lepas dari peyediaan
prasarana yang baik, dalam hal ini pengadaan jalan adalah hal yang paling penting
untuk menunjang itu.
Kenyaman, keamanan, dan ketertiban dalam penggunaan jalan tersebut harus
dibuat suatu peraturan yang sangat mengikat antara satu aspek dengan aspek
lainnya. Pengklasifikasian, pelayanan dan sistem pelayanan jalan harus dibuat
secara benar supaya dapat memenuhi kebutuhan mobilitas untuk para pengguna
jalan tersebut.
Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini memiliki masalah dalam
penyediaan jalan yang dikarenakan perkembangan pengguna jalan tidak berbanding
lurus dengan volume jalan yang tersedia untuk menampung itu. Kondisi topografi di
Indonesia pun tergolong memilik banyak bentuk dari dartar, berbukit dan
pegunungan sehingga dibutuhkan suatu pedoman mengenai sistem jalan supaya
prasarana tersebut baik digunakan untuk rakyat Indonesia.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam kajian ini adalah :
1. Bagaimana klasifikasi jalan di Indonesia ?
2. Bagaimana sistem pelayanan jaringan jalan di Indonesia ?
3. Bagaimana spesifikasi jalan di Indonesia ?
1
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam kajian ini adalah :
1. Mengetahui mengenai klasifikasi jalan di Indonesia.
2. Mengetahui mengenai sistem pelayanan jaringan jalan di Indonesia.
3. Mengetahui spesifikasi jalan di Indonesia.
: Pendahuluan
Bab II
Bab III
: Kajian
Bab IV
: Penutup
2
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
BAB II
KETENTUAN DAN PERATURAN LALU LINTAS DAN JALAN DI
INDONESIA
2.1.Sistem Pelayanan Jaringan Jalan
Menurut pasal 7 UU No. 38 tahun 2004 :
Sistem jaringan jalan dibagi menjadi dua yaitu sistem jaringan jalan primer dan
sekunder.
a. Sitem jaringan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud
pusat-pusat kegiatan.
b. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di kawasan perkotaan.
2.2. Jalan Umum Menurut Fungsinya
Menurut pasal 8 UU No.38 tahun 2004 :
Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan menjadi :
1. Jalan arteri
Jalan arteri berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri pelayanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dann jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya
guna.
2. Jalan kolektor
Jalan lokal berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
3. Jalan lokal
Jalan lokal berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
4. Jalan lingkungan
3
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
4
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
2. Jalan provinsi
Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau
antaribukota kabupaten/kota dan jalan strategsi provinsi.
3. Jalan kabupaten
Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan primer, yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan
lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
4. Jalan kota
Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan
antarpusat permukman yang berada di dalam kota.
5. Jalur desa
Jalur desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
Jalan Arteri: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien,
5
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciriciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk
dibatasi,
Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan
jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Secara terperinci berikut pengklasifikasiaannya:
6
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
mempunyai funsi primer dan fungsi sekunder serta pelayanan jaringan jalan dari rumah
ke rumah.
Oleh sebab itu disebut Jalan kolektor (pengumpul/pembagi) yaitu berfungsi
untuk menjamin kelancaran mengumpulkan dan mendistribusikan baham-bahan pokok
kebutuhan masyarakat ke kota kecil.
Selain itu, jaringan jalan sekonder juga berfungsi untuk melayani keperluan lalu
lintas mulai dari jenis kendaraan berat, hingga kendaraan ringan. Dengan kecepatan
sedang hingga cepat, yaitu 40 sampai 80 km/jam.
Sistem jaringan jalan raya sekunder dibedakan pula menjadi :
1. Jalan Arteri Primer
Yaitu jalan yang menghubungkan antar ibu kota propinsi atau dengan ibu kota
kabupaten/kota dengan cirri antara lain :
a. Melayani lalu lintas kendaraan dengan kevepatan rencana diatas 60 km/jam.
b. Lebar jalur lalu lintas min. 2 X 3,75 m.
c. Jalan raya Arteri Primer tidak boleh terganggu oleh berbagai kegiatan lalu lintas
local.
d. Kapasitas jalan harus lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
e. Jalan masuk dibatasi secara efisien, sehingga kecepatan rencana dan kapasitas
jalan dapat tercapai.
f. Jalan rata Arteri primer tidak boleh terputus sekalipun jalan tersebut
memasuki/melewati daerah perkotaan.
2. Jalan Kolektor Primer
Yaitu jaringan jalan yang menghubungkan antar Ibu Kota kabupaten/Kota, atau
menghubungkan Kota kabupaten dengan kota Kecamatan dengan cirri antara lain :
a. Melayani lalu lintas dengan kecepatan rencana 40-80 km/jam
b. Lebari jalur perkerasan jalan min. 2 X 3,50 m.
c. Jalan kolektor primer tidak boleh terputus
7
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
d. Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata.
e. Jaln masuk dibatasi, sehinnga kecepatan rencana dan kapasitas jalan tidak
terganggu.
3. Jalan Lokal Primer
Yaitu jalan yang menghubungkan antar kota kecamatan, dengan kota pada
jenjang dibawahnya sampai persil dengan syarat antara lain, bahwa kecepatan
kendaraan dibawah 40 km/jam, dan lebar jalan min. 6 m.
4. Jalan Arteri Sekunder
Yaitu jalan yang menghubungkan antara kawasan primer dengan kawasan
sekunder, atau menghubungkan antara sesame kawasan sekunder dengan kawasan
persil dibawahnya dengan syarat antara lain :
a. mealayani lalu lintas dengan kecepatan rencana diatas 30 km/jam.
b. Lebar jalan lalu lintas min. 2 X 3,75 m.
c. Kapasitas jalan sama dengan atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata, dan
tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
5. Jalan Kolektor Sekunder
Yaitu jaln yang menghubungkan antar kawasan sekunder ke 1, atau jalan yang
mernghubungkan antar kawasan sekunder ke II dengan sekunder ke II. Dengan syarat
melayani kecepatan rencana rendah dan lebar jalur lalu lintas min. adalah 2 X 3 m.
2.5. Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
Jalan raya diklasifikasikan berdasarkan karakteristik lalu lintas yang lewat,yaitu
menurut tingkat kepadatan arus lalu lintas pada waktu-waktu tertentu, serta menurut
jenis kendaraan, menurut ukuran dan daya angkut kendaraan serta berdasarkan beban
maksimum sumbu kendaraan bermotor yang diijinkan. Jumlah lalu lintas yang lewat
pada ke dua buah lajur lalu lintas lazuinmnya disebut Volume Lalu Lintas yaitu
berdasarkan jumlah lalu lintas Harian Rata-Rata dalam satu tahun, atau 365 hari.
8
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Kelas I
Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya tak terdapat
kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan
jalan-jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang
terbaik dalam arti tingginya tingkatan pelayanan terhadap lalu lintas.
Kelas II
Kelas jalan ini mencakup semua jalaln-jalan sekunder. Dalam komposisi Ialu
lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Kelals jalan ini, selanjutnya berdasarkan komposisi
dan sifat lalu lintasnya, dibagi dalam tiga kelas, yaitu : IIA, IIB dan IIC.
Kelas IIA
Adalah jalan-jalan raya sekuder dua jalur atau lebih dengan konlstruksi
permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau yang setaraf, di mana dalam
9
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
komposisi lalu lihtasnya terdapat kendaraan lambat tapi, tanpa kendaraan tanpa
kendaraan yang tak bermotor. Untuk lalu lintas lambat, harus disediakan jalur tcrsendiri.
Kelas IIB
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan
dari penetrasi berganda atau yang setaraf di mana dalam komposisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa kendaraan yang tak bermotor.
Kelas IIC
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan
dari jenis penetrasi tunggal di mana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan
lambat dari kendaraan tak bermotor.
Kelas III
Jalan kelas I, yaitu jalan arterti yang dapat dilalui kendaraan berotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar
dari 10 ton
b.
Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebih 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkn 10 ton.
c.
Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
10
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
d.
Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton,
e.
Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
11
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Adapun nilai factor Ekivalen dari setiap jenis kendaraan tersebut, menurut
beberapa sumbner adalah sbb :
Tabel 2. Daftar Nilai Ekivalen Kendaraan
JENIS LALU LINTAS
AASTHO (1954)
Mobil Penumpang
2,5
Bus
Sepeda motor
Sepeda
0,5
BEBAN GANDAR
TUNGGAL
KELAS
FUNGSI PELAYANAN
Jalan Raya Utama
Jalan Sekunder
Jalan penghubung
JALAN
I
>20000
> 10 ton
II A
600-20000
> 5 ton
II B
1500-8000
< 5 ton
II C
< 2000
< 2 ton
III
12
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
TOPOGRAFI
0-9,99
Datar (D)
10-24,9
Bukit (B)
>25
Pegunungan )G)
pengendalian,
yaitu
dalam
bidang
pembangunan
dan
operasi
13
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
14
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
mengurangi waktu tempuh, yang disebabkan oleh waktu yang hilang oleh
ditiadakannya beberapa rintangan dalam perjalanan
15
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
16
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Lebar Jalur Lalu-Lintas Untuk Mobil, Truk Dan Kendaraan Bermotor Lainnya
Yang Sejenis
Lebar jalur lalu lintas untuk mobil, truk dan kendaraan-kendaraan lain yang
sejenis itu tidak dapat ditetapkan dengan setepat-tepatnya karena beraneka ragam
bentuk dan ukuran-ukuran kendaraan-kendaraan tersebut.
Sebelum menetapkan lebar jalur lalu lintas terlebih dahulu harus diadakan
penelitian dan pengamatan mengenai keadaan lalu lintas kendaraan-kendaraan di jalan
tersebut di kemudian hari.
Lebar jalan lalu lintas yang normal untuk mobil dan truk yang ditetapkan
diberbagai negara itu tidak sama. Sebagian perbandingan diberikan contoh sebagai
berikut: Lebar jalur lalu lintas yang normal untuk mobil dan truk di Amerika (U.S.A.)
dan di lnggris ialah 12 feet = 3,65 m, di Negeri Belanda 3,60 m dan di Jerman Barat
3,75 m.
Di Indonesia lebar jalur lalu lintas itu ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga
seperti yang tercantum, pada daftar "Standar Perencanaan Geometrik".
Standar desain geometri untuk Trans Asia dan standar nasional ditetapkan seperti pada
Tabel-2 dan Tabel-3. Dalam PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan pada pasal 31 (3)
mengklasifikasi kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan sebagai berikut:
1) Jalan Bebas Hambatan, yaitu jalan minimum 4 lajur 2 arah dengan median,
kontrol akses penuh, dan pagar pembatas atas kepemilikan jalan (rumija),
dengan lebar lajur paling sedikit 3,50 m.
2) Jalan Raya, yaitu jalan minimum 4 lajur 2 arah terbagi dengan kontrol akses
yang terbatas, dengan lebar lajur paling sedikit 3,50 m.
3) Jalan Sedang, yaitu jalan 2 lajur 2 arah dengan lebar jalur paling sedikit 7,00 m,
dan;
4) Jalan Kecil, yaitu jalan 2 lajur 2 arah dengan lebar jalur paling sedikit 5,50 m.
17
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
18
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
B. Jalan Propinsi
- Jalan Kolektor Primer, yang menghubungkan ibukota propinsi dengan ibukota
Kabupaten/Kotamadya.
19
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
kabupaten
kotamadya.
- Jalan selain dari yang disebut diatas, mempunyai nilai strategis terhadap.
kepentingan propinsi,
20
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Kelas
Arteri
>8
II
10
III A
Kolektor
III A
Lokal
III B
III C
2.
a.
Kelas
PRIMER
Arteri
II
Kolektor
SEKUNDER
II
Arteri
21
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Kelas
(dalam SMP)
Primer - Arteri
- Kolektor
> 10.000
< 10.000
II
> 20.000
< 20.000
II
- Kolektor
> 6.000
II
- Jalan Lokal
< 6.000
III
> 500
III
< 500
IV
Primer - Arteri
Kelas
Kecepatan
(dalam SMP)
(Km / Jam)
D
SEKUNDER
> 500
III A
50
40
30
Jalan Lokal
201 500
III B1
40
30
30
50 200
III B2
40
30
30
< 50
III C
30
30
20
( Sumber: Petunjuk Perencanaan Teknis jalan Kabupaten 1992 Dirjen Bina Marga)
22
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
2.
Daerah Milik Jalan (DAMIJA) atau ROW (Right of Way), meliputi Damaja dan
sejalur tanah tertentu, dibatasi oleh patok tanda batas DAMIJA,
3..
4.
Tanah Dasar (Subgrade) adalah lapisan tanah asli / tidak asli yang disiapkan /
diperbaiki kondisinya, untuk meletakkan perkerasan jalan.
1.
digunakan
untuk
lalu
lintas
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, diabatasi oleh marka lajur
jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu
kendaraan bermotor
Bahu jalan adalah bagian jalan yang berdampingan di tepi jalur lalu lintas, dan
harus diperkeras, berfungsi untuk lajur lalu lintas darurat, ruang bebas samping
dang penyangga perkerasan terhadap beban lalu lintas.
4.
Median adalah bagian jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu lintas
yang berlawanan arah, guna memungkinkan kendaraan bergerak cepat dan
aman. Fungsi median adalah : memisahkan dua aliran lalu lintas yang
berlawanan, ruang lapak tunggu penyeberangan jalan, penempatan fasilitas
jalan, tempat prasarana pekerjaan sementara, penghijauan, pemberhantian
23
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
darurat, cadangan lajur dan mengurangi silau dari lampu kendaraan pada malam
hari dan dari arah berlawanan.
5.
Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang terletak pada DAMIJA, diberi lapisan
permukaan, diberi elevasi yang lebih tinggi dari permukaan perkerasan dan
umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan.
6.
7.
Jalur parkir adalah jalur khusus yang disediakan untuk parkir atau berhenti yang
merupakan bagian dari jalur lalu lintas.
8.
Jalur lalu lintas lambat adalah jalur yang ditentukan khusus untuk kendaraan
lambat.
9.
Jalur putaran adalah jalur khusus kendaraan yang disediakan untuk percepatan /
perlambatan kendaraan pada saat akan masuk / keluar jalur lalu lintas menerus.
Elemen Geometrik
1.
2.
3.
Alinyemen pada tikungan adalah seluruh bagian dari lengkung peralihan dan
lengkung lingkaran.
4.
Jalur Pendakian adalah jalur jalan yang disediakan pada bagian ruas jalan
dengan kemiringan besar, untuk menampung kendaraan berat pada saat
menanjak, agar tidak mengganggu kendaraan lain, yang lebih cepat.
5.
Jalur samping adalah jalan yang dibangun sejajar sepanjang jalur lalu lintas
menerus, berfungsi sebagai akses tambahan pada lahan sekitar atau jalan lokal,
biasa dipisahkan oleh struktur fisik.
6.
Pengaturan jalan masuk adalah suatu kaidah mengenai jalan masuk, yang
diterapkan memalui suatu aturan dan hak jalan masuk umum dari dan ketempat
tempat yang berada disepanjang jalan.
24
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
7.
Ruang bebas jalan adalah ruang pengandaian yang dibuat pada permukaan jalan
yang hanya disediakan untuk kendaraan atau pejalan kaki, dimana dalam batas
ruang tersebut, tidak diijinkan adanya struktur lain selain struktur jalan, pohon
atau benda yang bergerak lainnya.
Komponen Geometrik
1.
Jari jari lengkung / tikungan adalah jari jari tikungan yang ditarik dari pusat
lengkung dengan memenuhi kriteria geometrik yang disyaratkan.
2.
Derajat kelengkungan adalah sudut yang dibentuk oleh kedua jari jari suatu
kelengkungan atau tikungan yang menghasilkan panjang busur 25 m.
3.
4.
5.
6.
Bagian tangen adalah bagian yang berbentuk lurus, sebelum atau sesudah terjadi
perubahan bentuk menjadi suatu lengkungan pada suatu tikungan.
7.
8.
Daerah bebas samping adalah ruang yang disediakan pada suatu tikungan agar
pengemudi mempunyai kebebasan pandangan, sesuai jarak pandang yang
dipersyaratkan.
9.
25
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Perencanaan Geometrik
1.
Kecepatan Rencana adalah kecepatan maksimum yang aman dan bisa tetap
dipertahankan pada suatu ruas jalan, apabila keadaan jalan tersebut baik dan
sesuai dengan yang ditentukan dengan yang ditentukan dalam perencanaan awal.
2.
3.
Volume lalu lintas harian rata rata (LHR) adalah volume total kendaraan yang
melintasi suatu titik atau ruas jalan untuk kedua jurusan selama satu tahun dibagi
jumlah hari dalam satu tahun.
4.
Volume jam rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas perjam, pada
jam sibuk tahun rencana, dinyatakan dalam satuan SMP/jam, dihitung dari
perkalian VLHR dengan faktor K (faktor volume lalu lintas jam sibuk).
5.
Volume lalu lintas harian rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas
harian, untuk masa yang akan datang, pada bagian jalan tertentu.
6.
7.
8.
Tingkat pelayanan adalah tolak ukur untuk menilai kualitas pelayanan suatu
sistem transportasi jalan.
9.
Gaya sentrifugal adalah gaya yang mendorong kendaraan ke arah radial keluar
dari lajur jalan, akibat suatu kecepatan kendaraan yang melalui tikungan.
10.
Koefisien geser melintang adalah besarnya besarnya gesekan yang timbul antara
ban kendaraan dengan permukaan jalan dan arah melintang jalan.
11.
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan di depan.
26
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
12.
27
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
28
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
29
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
30
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
31
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
Asia. Standar tinggi ruang bebas yang ditetapkan Trans Asia adalah 4,50 meter. Secara
prinsip di dalam standar geometrik jalan Indonesia sebetulnya sudah menetapkan 5,00
meter. Pertanyaannya apakah semua ruas jalan nasional, kecuali jalan tol, sudah
menerapkan standar yang sama ?
c. Lebar perkerasan jalan; konsekuensi penerapan Trans Asia di sejumlah negara mau
tidak mau harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh Trans Asia termasuk lebar lajur
jalan nasional. Berdasarkan data yang didapatkan, pada sebagian besar ruas jalan
nasional yang menjadi bagian Trans Asia, beberapa segmen ruas jalan masih di bawah
standar Trans Asia untuk kelas arteri primer. Lebar jalan nasional yang masih di bawah
7,00 meter masih berkisar 62% pada koridor AH-25, sedangkan untuk koridor AH-2
hanya berkisar 1,4%. Untuk koridor AH-25 diperkirakan masih banyak memerlukan
usaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan standar Trans Asia.
d. Lebar bahu jalan; lebar bahu masih menjadi persoalan bila mengikuti standar Trans
Asia, yang menstandarkan lebar bahu jalan untuk arteri primer 2,00-3,50 meter. Kondisi
eksisting lebar bahu jalan nasional memperlihatkan sebagian masih berada di bawah
2,00 meter baik untuk koridor AH-25 dan koridor AH-2. Oleh karena itu tugas berat
kedepan adalah bagaimana menyiapkan bahu yang standar yang tentu saja memiliki
konsekuensi pendanaan yang tidak kecil.
Sedangkan beberapa permasalahan yang akan muncul untuk ruas jalan nasional
di mana pada ruas jalan Trans Asia di negara lain tidak diulas antara lain :
a) Pembatasan akses; pembatasan akses sebagai persyaratan jalan arteri primer masih
menjadi persoalan di ruas-ruas jalan nasional. Sebuah pertanyaan yang menarik dari
para ahli jalan yang sering menggelitik adalah dapatkah ruas Pantura Jawa sebagai ruas
arteri primer dipandang sebagai kelas jalan raya dengan fungsi arteri? Permasalahan ke
depan adalah bagaimana menerapkan standar geometrik secara maksimal pada ruas-ruas
jalan arteri primer sesuai kelas dan fungsinya.
b) Pembatasan bukaan median; di negara-negara maju penggunaan U-Turn tidak
sepopuler di Indonesia. Penggunaan U-Turn untuk ruas-ruas jalan arteri primer yang
32
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
didesain dengan kecepatan relatif tinggi sangat beresiko terhadap konflik lalu lintas
yang pada akhirnya akan menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
c) Drainase jalan; kebanyakan drainase jalan ruas-ruas jalan nasional, sebagaimana
diungkapkan oleh berbagai media, masih memerlukan perhatian tersendiri. Bentuk dan
dimensi drainase jalan harus didesain sedemikian rupa agar mampu mengalirkan air di
permukaan jalan dengan baik. Fakta yang sering dihadapi pada kondisi eksisting,
seringkali air permukaan jalan tidak teralirkan dengan baik sehingga mengakibatkan
banjir. Selain berpengaruh terhadap kerusakan jalan, kondisi ini juga berpengaruh
terhadap kecelakaan lalu lintas. Penanganan drainase jalan ke depan harus
mempertimbangkan pengaruh banjir akibat perubahan iklim global.
d) Lalu lintas sepeda motor; Populasi penggunaan sepeda motor di negara-negara Asia
termasuk Indonesia tergolong tinggi. Akan tetapi, keberadaan sepeda motor pada ruasruas jalan Trans Asia tidak mendapatkan perhatian khusus. Tingginya proporsi
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor di negara-negara Asia (81% untuk
Indonesia) seyogianya menjadi catatan penting di dalam penyediaan prasarana yang
berkeselamatan bagi semua pengguna jalan. Riset berkaitan dengan sepeda motor
dipandang perlu guna memberi saran penting terhadap kebijakan lajur sepeda motor di
Indonesia. Puslitbang Jalan dan Jembatan dalam dua tahun terakhir telah melakukan
beberapa kajian penting, sambil menunggu kebijakan perlu tidaknya lajur sepeda motor.
Dalam waktu dekat, Puslitbang Jalan dan Jembatan akan melakukan seminar nasional
terkait dengan infrastruktur sepeda motor.
Mempertimbangkan perkembangan penggunaan sepeda motor yang tumbuh
cepat, pesatnya pengembangan penyediaan angkutan masal untuk orang, munculnya
kemacetan-kemacetan, dan kecelakaan lalu-lintas yang banyak melibatkan sepeda
motor, serta klasifikasi jalan, maka perlu untuk dipikirkan pengembangan infrastruktur
jalan sebagai berikut:
1) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, dalam tingkat
kepadatan tertentu dimana volume sepeda motor belum tinggi, dapat dilakukan
33
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, sepeda motor
diwajibkan hanya menggunakan lajur paling kiri.
2) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, jika tingkat kepadatan
lalu-lintas cukup tinggi dimana volume sepeda motor juga cukup tinggi, perlu dilakukan
pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, dapat
dikembangkan jalur lambat yang sejajar dengan jalur utama, dipisahkan oleh jalur
pembagi, sebagai jalan untuk sepeda motor bercampur dengan kendaraan lambat
lainnya.
3) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan sedang, pada tingkat
kepadatan tertentu dan volume sepeda motor cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan
sepeda motor dari kendaraan bermotor roda-4. Pemisahan tersebut dapat dilakukan
dengan meningkatkan jalan dimana bahu jalan diperlebar untuk jalan sepeda motor dan
kendaraan lambat lainnya, atau meningkat menjadi jalan raya sesuai butir 1) atau butir
2) di atas.
4) Bila kebutuhan sepeda motor sudah cukup tinggi sehingga sudah sangat tidak efisien
jika digabungkan dengan kendaraan bermotor roda-4, maka perlu dipikirkan kedepan
bagaimana pengembangan Jalur Khusus Sepeda Motor (JKSM) yang merupakan
pengembangan dari jaringan jalan yang ada.
Pengaturan kecepatan aliran lalu-lintas yang diizinkan dalam setiap ruas jalan
tersebut, dapat mengacu kepada batasan-batasan kecepatan rencana yang diatur dalam
PP 34/2006. PP tersebut mengatur bahwa untuk jalan arteri dalam sistem primer,
kecepatan rencana minimum 60km/jam, sementara itu dalam sistem sekunder minimum
30km/jam. Kecepatan yang diizinkan untuk pengguna jalan dibatasi tidak melebihi
kecepatan rencana jalan tersebut.
1) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, dalam tingkat
kepadatan tertentu dimana volume sepeda motor belum tinggi, dapat dilakukan
pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, sepeda motor
diwajibkan hanya menggunakan lajur paling kiri.
34
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
2) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, jika tingkat kepadatan
lalu-lintas cukup tinggi dimana volume sepeda motor juga cukup tinggi, perlu dilakukan
pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, dapat
dikembangkan jalur lambat yang sejajar dengan jalur utama, dipisahkan oleh jalur
pembagi, sebagai jalan untuk sepeda motor bercampur dengan kendaraan lambat
lainnya.
3) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan sedang, pada tingkat
kepadatan tertentu dan volume sepeda motor cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan
sepeda motor dari kendaraan bermotor roda-4. Pemisahan tersebut dapat dilakukan
dengan meningkatkan jalan dimana bahu jalan diperlebar untuk jalan sepeda motor dan
kendaraan lambat lainnya, atau meningkat menjadi jalan raya sesuai butir 1) atau butir
2) di atas.
4) Bila kebutuhan sepeda motor sudah cukup tinggi sehingga sudah sangat tidak efisien
jika digabungkan dengan kendaraan bermotor roda-4, maka perlu dipikirkan kedepan
bagaimana pengembangan Jalur Khusus Sepeda Motor (JKSM) yang merupakan
pengembangan dari jaringan jalan yang ada.
Pengaturan kecepatan aliran lalu-lintas yang diizinkan dalam setiap ruas jalan tersebut,
dapat mengacu kepada batasan-batasan kecepatan rencana yang diatur dalam PP
34/2006. PP tersebut mengatur bahwa untuk jalan arteri dalam sistem primer, kecepatan
rencana minimum 60km/jam, sementara itu dalam sistem sekunder minimum
30km/jam. Kecepatan yang diizinkan untuk pengguna jalan dibatasi tidak melebihi
kecepatan rencana jalan tersebut.
Dimensi dan MST Kendaraan
Jika diperkirakan dengan beroperasinya Trans Asia di Indonesia akan membawa
sejumlah konsekuensi tersendiri terutama bagi lalu lintas nasional. Dimensi kendaraan
sebagai salah satu parameter di dalam perencanaan desain geometri harus
mempertimbangkan dimensi kendaraan yang beroperasi di negara-negara Asia lainnya.
Demikian juga dengan penerapan MST untuk ruas-ruas jalan nasional yang menjadi
35
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
bagian dari Trans Asia harus mempertimbangkan MST di negara-negara lainnya. Untuk
Indonesia, dimensi kendaraan dan MST yang berlaku adalah seperti diberikan pada
Tabel-4. Dimensi dan MST kendaraan pada tabel tersebut merupakan standar pelayanan
jalan berdasarkan klasifikasi, fungsi dan pemanfaatannya sebagaimana termuat di dalam
UU No. 38 tahun 2004 dan PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan, serta PP No. 44 tahun
1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, dan revisi UU No. 14 tahun 1992 (yang saat
ini sedang dalam pengesahan).
Dimensi dan MST kendaraan sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan
menjadi standar minimum [Iskandar, 2008] yang harus dipenuhi guna mewujudkan
keselamatan transportasi darat. Penerapan dimensi dan MST kendaraan untuk ruas arteri
bagi ruas-ruas jalan yang menjadi bagian Trans Asia khusus untuk jalan kelas I dengan
fungsi arterial dijinkan dengan MST >10 ton. Namun bila memasuki kelas dan fungsi
jalan yang lebih rendah, tentunya diperlukan pengaturan sehingga kendaraan dengan
MST>10 ton tidak serta merta diperkenankan. Oleh karena itu, tantangan ke depan
perpindahan moda berdasarkan ukuran dan MST kendaraan harus difasilitasi dengan
terminal barang. Di sisi lain, untuk ruas-ruas jalan Trans Asia baik pada koridor AH-2
dan AH-25 yang belum memiliki standar jalan dengan MST>10 ton ke depan harus
menyesuaikan dengan standar Trans Asia untuk jalan kelas primer dan kelas I yang
berstandar MST 10 ton. Pembatasan beban seperti yang dinyatakan di dalam
perundang-undangan pada dasarnya selain untuk mewujudkan parasarana transportasi
yang aman, juga untuk mencegah terjadinya overloading yang dapat berdampak
terhadap kerusakan permukaan jalan. Konsekuensi kerusakan jalan tidak saja terhadap
terjadinya penurunan umur rencana jalan, tetapi memiliki dampak yang lebih luas ke
bidang lain seperti kecelakaan lalu lintas dan makin lamanya waktu perjalanan,
sebagaimana yang terjadi pada ruas-ruas jalan di jalur Pantura Jawa.
2.13. Tingkat Pelayanan (Level Of Service)
Adalah tolak ukur digunakan untuk menyatakan kualitas pelayanan suatu jalan.
Tingkat pelayanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kecepatan perjalanan dan
perbandingan antara volume dengan kapasitas (V/C). Kecepatan perjalanan merupakan
indikator dari pelayanan jalan, makin cepat berarti pelayanan baik atau sebaliknya.
36
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
2.
dipilih
sesuai kehendak pengemudi
3.
4.
5.
6.
37
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
BAB III
KAJIAN
3.1.Kajian
Dilihat dari ketentuan dan peraturan pada Bab II, menunjukan bahwa
adanya perkembangan suatu peraturan lalu lintas dan jalan dari tahun 1992
hingga tahun 2009. Dalam perkembangan yang paling signifikan terjadi pada
pembagian kelas jalan yang dimana pada PP no 43 tahun 1993 yang
mengklasifikasikan jalan menjadi kelompok jalan kelas I, II, IIIA, IIIB dan IIIC
dan pada UU no.22 tahun 2009 mengklasifikasi kelmopok jalan menjadi kelas
I,II,III dan Jalan khusus. Untuk klasifikasi jalan menurut jenis, fungsi pelayanan,
topografi dan administrasi tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Lalu perkembangannya saat ini bahwa kita dapat merencanakan
bagaimana lebar ruas jalan dan alternative desain untuk berbagai jenis jalan,
jenis kendaraan hingga daerah tertentu karena lebar ruas jalan sangat
berpengaruh dari social, budaya dan ekonomi, misalnya di daerah kota akan
sangat diperlukan lebar tambahan untuk lajur sepeda dan lain sebagainya. Dari
hal tersebut dapat pula dipelajari dari undang undang dan peraturan
pemerintah dari 1980 hingga 2009. Dari hal tersebut kita dapat mempelajari
bagaimana sebuah peraturan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan
pengguna jalan raya dan kita harus mematuhinya.
Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi/peran merupakan hal mendasar
namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam merencanakan suatu
sistem jaringan jalan. Telah disinggung dalam penjelasan di atas tentang
peraturan yang harus dipatuhi dalam merencanakan suatu sistem jaringan jalan
dan fungsi sistem jaringan jalan untuk suatu wilayah. Namun menurut penulis
peraturan peraturan yang diterapkan dalam perencanaan suatu sistem jaringan
jalan belum sepenuhnya berhasil, karena banyak jaringan jalan yang digunakan
belum tepat pada sasaran, contohnya pada jalan lokal primer, jalan ini sengaja
didesain dengan lebar jalan tidak kurang dari 6 m. Tetapi pada kenyataanya
38
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
terjadi penyempitan badan jalan akibat adanya pedagang pedagang kaki lima
yang menjualan dangannya di pinggir jalan sampai masuk ke badan jalan, hal ini
yang dapat mengakibatkan kemacetan dan kecelakaan, sehingga tujuan dari
perencanaan jalan yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna
jalan belum tercapai dengan baik. Begitu pula pada jalan lokal sekunder, jalan
lokal primer yang didesain dengan lebar jalan tidak kurang dari 5 m, badan
jalannya menyempit karena banyak pedagang yang berdagang sampai masuk ke
badan jalan.
Hal hal inilah yang dapat merusak jalan, karena secara tidak langsung
sampah sampah pedagang berserakan dipinggir jalan sehingga sistem drainase
yang terdapat pada sisi sisi jalan tersumbat maka jika terjadi hujan yang besar
air akan meluap dengan membawa sampah sampah yang ada di dalamnya,
jalan pun yang harusnya bersih dari sampah dan mempunyai sistem drainase
yang berfungsi dengan baik malah menjadi banyak sampah dan sistem drainase
tersumbat. Tentunya masih banyak hal hal yang bermasalah dalam pemakaian
jalan ini akibat kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
lingkungan sekitarnya.
Jalan harus didesain agar kendaraan dapat melewatinya.
Produksi
39
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dari berbagai ketentuan dan peraturan jalan
yang
4.2.Saran
Diperlukan suatu pembuatan pedoman yang tidak hanya berbentuk tulisan
yang dikeluarkan oleh pemerintah melainkan harus dikembangkan lagi dalam
bentuk teblaris dan gambar.
40
Zaky Prawira (1103614) Prodi Teknik Sipil S-1 UPI