Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

(DRAFT ARTIKEL PUBLIKASI)

GAMBARAN PROFIL PEMBANGUNAN


KELUARGA DI KOTA BANDUNG

Penyusun

Erna Herawati, S.Ant; MA; PhD


NIP 197612032001122001
Farisadri Fauzan, S.T.P., MBA
NIP 19900206 2019113001
Dr Risna Resnawaty, S.Sos., M.P
NIP 198112072006042002
Prof. Ida Widianingsih, S.IP., MA., PhD
NIP 19710615199932001

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FEBRUARI 2023
LEMBAR PENGESAHAN PENELITIAN MANDIRI
PENULISAN DRAFT ARTIKEL PUBLIKASI

Judul artikel : Gambaran Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga)


Kota Bandung
Bidang/Rumpun Ilmu : Kebijakan, Budaya dan informasi
Pusat Studi : Desentralisasi dan Pembangunan Partisipatif
Ketua
a. Nama : Erna Herawati, S.Ant; MA; PhD
b. NIP : 19761203
c. Jabatan Fungsional : Lektor
d. Prodi/Fakultas Antropologi/llmu Sosial dan Ilmu Politik
e. Nomor HP : 082116962499
f. Alamat E-mail : e.herawati@unpad.ac.id
Anggota
a. Nama : Prof. Ida Widianingsih, S.IP., MA., PhD
b. NIP : 19710615199932001
c. Prodi/Fakultas : Administrasi Publik/ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Anggota
d. Nama : Dr Risna Resnawaty, S.Sos., M.P
e. NIP : 198112072006042002
f. Prodi/Fakultas : Kesejahteraan Sosial/ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Anggota
p. Nama : Farisadri Fauzan, S.T.P., MBA
q. NIP : 19900206 2019113001
r. Prodi/Fakultas : Administrasi Bisnis/ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Nominal dana : Rp 5.000.000, 00
Sumber dana : Mandiri
Periode penulisan draft : Agustus 2022 – Agustus 2023

Jatinangor, 5 Februari 2023

Ketua Pusat Studi, Ketua Kegiatan


Desentraliasi dan Pembangunan Partisipatif

Dr. Rd. Ahmad Buchari, S.IP; M.Si Erna Herawati, S.Ant; MA; PhD
NIP. 19710709 200812 1 002 NIP. 1976 12032001122001

Mengetahui
Wakil Dekan Bidang Pembelajaran, Kemaharsiswaan, dan Riset

Prof. Ida Widianingsih, S.IP., M.A, Ph.D.


NIP. 19710615 199903 2 001
GAMBARAN INDEKS PEMBANGUNAN KELUARGA
DI KOTA BANDUNG

Erna Herawati
Departemen/Prodi Antropologi, FISIP Universitas Padjadjaran
Farisadri Fauzan
Departemen/Prodi Administrasi Bisnis, FISIP Universitas Padjadjaran
Risna Resnawati
Departemen/Prodi Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Padjadjaran
Ida Widianingsih
Departemen/Prodi Administrasi Publik, FISIP Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Keluarga adalah unit sosialisasi, enkulturasi, dan edukasi terkecil serta pondasi sosial
masyarakat. Keluarga adalah tempat sumber daya manusia unggul lahir dan besar. Oleh
karena itu kualitas keluarga perlu dipertahankan dan ditingkatkan melalui program-program
pembangunan. Program pembangunan keluarga dipantau dan diukur untuk evaluasi dan revisi
arah dan desainnya.
Penelitian bertujuan mengukur hasil pembangunan keluarga di Kota Bandung, dengan
menggunakan indeks pembangunan keluarga (iBangga). Metode penelitian menggunakan
disain metode campuran (sequential mixed method) yaitu survei kuantitatif dan wawancara
mendalam kualitatif. Pemilihan sampel survei kuantitatif dilakukan dengan teknik sampling
stratified random pada 30 kecamatan. Jumlah responden di setiap kecamatan adalah 100 KK
dan total responden adalah 3000 KK. Instrumen survei menggunakan kuesioner desain
BKKBN yang terdiri atas 17 variabel untuk mengukur dimensi ketentraman, dimensi
kemandirian, dan dimensi kebahagiaan. Nilai iBangga pada kajian ini dihitung dengan
menggunakan model penghitungan dengan mengacu pada buku metadata BKKBN 2021.
Hasil penghitungan menunjukkan bahwa nilai iBangga Kota bandung pada 2022
adalah 86.1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata iBangga pada 3000 responden yang
disurvei berada pada angka >70 atau dalam kategori tangguh. Angka ini lebih tinggi dari hasil
penghitungan di tahun 2021 oleh BKKBN yaitu 55.52, dan lebih tinggi dari target iBangga
yang ditetapkan Kota Bandung pada 2022, yaitu 55.0, bahkan lebih tinggi dari target RJPMD
2024, yaitu 60. Namun demikian, meski rata-rata nilai iBangga berada di kategori tangguh,
ditemukan bahwa 05% dari 3000 responden yang disurvei, memilki nilai iBangga kategeori
rentan.

PENDAHULUAN
Orientasi pembangunan nasional tidak hanya mengacu pada pembangunan ekonomi
tetapi juga pada pembangunan sosial. Pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi
memiliki peran sejajar dan saling melengkapi. Sebab, kemajuan pembangunan sosial, yang
menempatkan manusia sebagai pusat orientasi pembangunan akan mendorong terciptanya
kemajuan pembangunan ekonomi, demikian pula sebaliknya. Hal ini menjadi kunci penting
dalam upaya mencapai visi Indonesia maju dengan SDM unggul dicanangkan Presiden.
Upaya mewujudkan SDM unggul hanya akan dapat dicapai melalui peningkatan
kualitas keluarga. Keluarga merupakan institusi sosial terkecil, terdiri atas sekelompok orang
yang diikat oleh hubungan atas dasar pernikahan, keturunan, atau adopsi serta tinggal
bersama di rumah tangga biasa (Zastrow, 2006). Sebagai sebuah institusi sosial terkecil,
keluarga menjadi lingkungan sosial pertama bagi individu dan menjadi tempat mereka
mengenai cinta kasih, moral keagamaan, sosial budaya dan berbagai aspek kehidupan
lainnya. Peningkatan kualitas individu hanya akan dapat dicapai melalui peningkatan kualitas
keluarga. Oleh karena itu, kini pembangunan nasional mengkombinasikan pendekatan
individu dan keluarga sebagai paradigma baru.
Kekuatan pembangunan nasional, berakar pada elemen keluarga sebagai komunitas
mikro dalam masyarakat. Keluarga sejahtera merupakan pondasi dasar bagi keutuhan
kekuatan dan keberlanjutan pembangunan. Sebaliknya, keluarga yang rentan dan tercerai-
berai mendorong lemahnya pondasi kehidupan masyarakat bernegara. Oleh karena sifatnya
yang penting ini, peran keluarga dalam pembangunan nasional ditegaskan dalam Undang-
Undang. Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera menyebut bahwa “Ketahanan keluarga menjadi tolok ukur pelaksanaan
peranan, fungsi, tugas-tugas, dan tanggung jawabnya keluarga dalam mewujudkan
kesejahteraan anggotanya (individu). Peran penting keluarga juga dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Pandemi Covid- 19 tidak hanya berdampak pada kondisi kesehatan masyarakat, tetapi
juga berdampak secara signifikan pada situasi sosial ekonomi keluarga dan ketahanan
keluarga. Pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM
(Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan masyarakat) menghilangkan sumber penghasilan
keluarga karena banyak para pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja, atau
pedagang yang kehilangan pembeli saat masyarakat harus berdiam diri di rumah. Situasi
keuangan yang tidak menentu di dalam keluarga menimbulkan kerentanan di dalam interaksi
sosial antar anggota keluarga dan menjadi pemicu konflik dan permasalahan lain; seperti
meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak, kehamilan yang tidak diinginkan,
peningkatan angka putus sekolah, perceraian, dan berbagai permasalahan lainnya. Merespon
keadaan ini, pemerintah pusat telah menggelontorkan berbagai program khususnya sebagai
upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat di masa pandemi serta
meningkatkan ketahanan keluarga pada situasi pasca pandemi, antara lain: Program Keluarga
Harapan (PKH), BPNT, BST, BLT-DD, dan bantuan beras 10 Kg. Program-program tersebut
dilakukan untuk menjaga ketahanan keluarga Indonesia, serta menjaga kualitas keluarga dan
anak-anak Indonesia agar bisa tumbuh dan bahagia.
Di tingkat daerah, selain bantuan finansial dan kebutuhan pokok, pemerintah daerah
juga menanggulangi dampak pandemi dengan dengan kegiatan yang dapat menunjang
peningkatan ketahanan keluarga. Di Provinsi Jawa Barat, Dinas Pemberdayaan Perempuan
Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) menggalakkan program Bangga
Kencana yang secara keseluruhan bertujuan mempercepat penanggulangan stunting, melalui
pelaksanaan program Kampung KB (Kampung Keluarga Berkualitas), pendataan keluarga,
dan sinergi pencegahan perkawinan anak.
Di tingkat kota, Pemerintah Kota Bandung melalui misi 1 yaitu “Membangun
masyarakat yang Humanis dan Agamis, Berkualitas dan Berdaya Saing” pada RPJMD tahun
2018-2023, berkomitmen mewujudkannya dalam bentuk peningkatan ketahanan keluarga,
kesejahteraan sosial, serta perlindungan perempuan dan anak. Selain itu, Pemerintah Kota
Bandung, melalui Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB),
berupaya memantau pembangunan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui 3 indikator
ketahanan keluarga, yaitu: (1) Ketahanan Fisik; yang diindikasikan oleh kemampuan
ekonomi keluarga atau kemampuan anggota keluarga dalam memperoleh sumber daya
ekonomi dari luar sistem keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang,
perumahan, pendidikan dan kesehatan; (2) Ketahanan Sosial : yaitu kekuatan keluarga
dalam menerapkan nilai agama, memelihara ikatan dan komitmen, komunikasi efektif,
pembagian dan penerimaan peran, penetapan tujuan serta dorongan untuk maju, yang akan
menjadi kekuatan dalam menghadapi masalah keluarga serta memiliki hubungan sosial yang
positif; serta (3) Ketahanan Psikologis: yaitu kemampuan anggota keluarga untuk mengelola
emosinya sehingga menghasilkan konsep diri yang positif dan kepuasan terhadap pemenuhan
kebutuhan dan pencapaian tugas perkembangan keluarga. Kemampuan mengelola emosi dan
konsep diri yang baik menjadi kunci dalam menghadapi masalah-masalah keluarga yang
bersifat non fisik (masalah yang tidak berkaitan dengan materi seperti masalah
kesalahpahaman, konflik suami dan istri).
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 mengenai Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa tujuan pembangunan keluarga
adalah meningkatkan kualitas keluarga agar timbul rasa aman, tentram dan harapan masa
depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendisain model pengukuran
kualitas keluarga yang disebut dengan iBangga. iBangga (Indeks Pembangunan Keluarga)
merupakan sebuah komposit indeks yang disusun dari 3 dimensi, 4 indikator, dan 17 variabel
yang menggambarkan ketentraman, kemandirian dan kebahagiaan keluarga. Nilai indeks
berkisar antara 0-100 dengan kategori rentan/kurang baik jika <40; berkembang/baik jika 40-
70; dan baik/tangguh jika >70.
Pada 2020, BKKBN melakukan pengukuran iBangga yang menghasilkan baseline
data bagi seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Indeks tertinggi dicapai Angka indeks Kota
Bandung pada 2020 adalah 52,62 (kategori berkembang/baik). Pemerintah Kota Bandung
menargetkan peningkatan Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) menjadi 55,0 pada tahun
2021 (yang akan diukur pada 2022) dan 61,0 pada akhir RJPMD 2024. Ketercapaian target
ini perlu dipantau dan diukur setiap tahun sebagai dasar perumusan kebijakan dan strategi
peningkatan indeks di tahun selanjutnya; agar nilai akhir yang ditargetkan dapat tercapai.
Hasil pengukuran iBangga di Kota Bandung menampilkan gambaran kualitas, peran dan
fungsi keluarga. Pengukuran ini perlu dilakukan setiap tahun untuk mendapatkan gambaran
kenaikan atau penurunan skor, yang akan menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan
mengenai program pembangunan keluarga serta prioritas pelaksanaan pembangunan keluarga
pada suatu wilayah dengan tingkat urgensi tertentu. Namun, baseline data iBangga Kota
Bandung hanya tersedia untuk tahun 2020 yang dilakukan oleh BKKBN; dan belum tersedia
untuk data tahun 2021 (yang akan diukur di tahun 2022). Padahal, indeks ini perlu diukur
setiap tahun sebagai dasar bagi para pemangku kepentingan dan pengambil
kebijakan/program/kegiatan untuk merumuskan strategi peningkatan pembangunan keluarga.
Oleh karena itu, pengukuran indeks Pembangunan Keluarga di Kota Bandung sangat perlu
dilakukan untuk mendapatkan angka indeks dan gambaran konteks dan aspek yang terkait
dengan tinggi rendahnya indeks tersebut

KAJIAN PUSTAKA

Keluarga
Keluarga secara etimologis diartikan sebagai kelompok yang terdiri atas bapak, ibu
dan anak-anaknya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995: 471). Secara konseptual, keluarga
didefinisikan dengan cara beragam bergantung pada konteks dan dinamika sosio-kultural
masyarakat. Marilyn M. Friedman (1998) yang menyatakan bahwa keluarga adalah kumpulan
dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dimana
individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Duval dan
Logan (1986) menyebut bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan
kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga.
Salvicion G Bailon dan Aracelis Maglaya (1978) menjelaskan bahwa keluarga adalah dua
atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah atau
adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing
dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Makhfudli Efendy (2009) menyatakan
bahwa keluarga adalah cerminan sebuah organisasi, dimana setiap anggota keluarga memiliki
peran dan fungsinya masing-masing, sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Organisasi
yang baik ditandai dengan adanya hubungan yang kuat antara anggota sebagai bentuk saling
ketergantungan dalam mencapai tujuan.
Keluarga dapat dibedakan tipenya menurut:
A. Komposisi anggota keluarga, yaitu:
1. Keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family) terdiri atas bapak, ibu, dan
anak, disana terjalin hubungan kekeluargaan;
2. Pasangan yang menikah maupun tidak, tanpa anak;
3. Kelompok yang terdiri dari seorang bapak dan ibu yang menikah atau tidak,
yang cerai ataupun yang ditinggal bersama anak-anaknya;
4. Kelompok anak yang ditinggalkan orangtuanya;
5. Seorang yang hidup berpoligami dengan atau tanpa anak;
6. Beberapa sanak saudara dengan anak-anak yang berumah tangga. (Subhan,
2004: 1-2).
B. Karakteristik komposisi, yaitu:
1) Keluarga tradisional
a. Keluarga inti: keluarga yang terdiri atas ayah ibu dan anak
b. Pasangan inti: keluarga yang terdiri atas suami dan istri saja
c. Keluarga dengan orang tua tunggal satu orang sebagai kepala keluarga,
biasanya bagian dari konsekuensi perceraian
d. Lajang yang tinggal sendirian
e. Keluarga besar yang mencakup tiga generasi
f. Pasangan usia pertengahan atau pasangan lanjut usia
g. Jaringan keluarga besar
2) Keluarga non-tradisional
a. Pasangan yang memiliki Anak tanpa menikah
b. Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah (kumpul kebo)
c. Keluarga homoseksual (gay dan atau lesbian)
d. Keluarga komuni: keluarga dengan lebih dari satu pasang monogami dengan
anak-anak secara bersama-sama menggunakan fasilitas serta sumber-sumber
(Sussman, 1974 dan Maclin, 1988 dalam Efendi dan Makhfudli, 2013)
C. Alur kekerabatan, yaitu:
Alur kekerabatan dalam keluarga dapat dirunut melalui dua jalur, yaitu jalur ayah
(patrilineal) saja, jalur ibu (matrilineal) saja, atau jalur kedua belah pihak (bilateral).
Diantara ketiga alur itu, patrilineal merupakan bentuk yang paling banyak dianut
masyarakat di Indonesia (Agipitio, 2012 dalam Efendi dan Makhfudli, 2013).
Fungsi keluarga secara umum, yaitu:
1. Fungsi Agama. Fungsi agama dalam keluarga dikembangkan agar keluarga menjadi
tempat persemaian nilai-nilai agama dan budaya bangsa, sehingga seluruh anggota
keluarga menjadi insan agamis yang penuh iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi Sosial Budaya. Dalam fungsi sosial budaya, keluarga diharapkan dapat
mengenalkan budaya Indonesia sebagai dasar-dasar nilai kehidupan, sehingga anak
mempunyai wawasan terhadap berbagai budaya, baik daerah maupun nasional.
3. Fungsi Cinta Kasih. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan cinta
kasih. Dengan cinta dan kasih sayang yang terjadi dengan baik di keluarga, maka
rumah tangga akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi anggota keluarga yang
lain.
4. Fungsi Perlindungan. Fungsi ini menekankan bahwa keluarga merupakan pelindung
yang pertama dan utama dalam memberikan kebenaran, keteladanan, serta tempat
bernaung kepada anak dan keturunan.
5. Fungsi Reproduksi. Mengetahui dan menanamkan fungsi reproduksi sangat penting
bagi keluarga untuk mengatur reproduksi sehat yang terencana, sehingga anak yang
dilahirkan nantinya mampu menjadi generasi penerus yang berkualitas. Fungsi
Sosialisasi Pendidikan. Pendidikan dalam keluarga tidak hanya tentang bagaimana
meningkatkan fungsi kognitif atau mencerdaskan, akan tetapi bagaimana membentuk
karakter yang berakhlak mulia.
6. Fungsi Ekonomi. Keluarga dalam fungsi ekonomi merupakan tempat membina dan
menanamkan nilai-nilai keuangan keluarga, dan merencanakan keuangan keluarga,
sehingga terwujud keluarga sejahtera.
7. Fungsi Lingkungan. Kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih, sehat, dan
nyaman perlu ditanamkan sejak dini. Hal ini bertujuan agar mendorong sikap dan
perilaku peduli lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya, melakukan
kegiatan penghijauan, hemat energi, dan sebagainya (BKKBN, 2017)

Fungsi Keluarga dalam bidang kesehatan menurut Friedman (1988) dalam Mubarak (2011),
yaitu:
1) Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan, karena tanpa
kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti. Orangtua perlu mengenal keadaan
kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya. Perubahan
sekecil apapun yang dialami anggota keluarga, secara tidak langsung akan menjadi
perhatian keluarga atau orangtua. Apabila menyadari adanya perubahan, keluarga
perlu mencatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar
perubahannya.
2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat
sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di antara anggota
keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan sebuah tindakan.Tindakan
kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan
yang sedang terjadi dapat dikurangi atau teratasi. Jika keluarga mempunyai
keterbatasan dalam mengambil keputusan, maka keluarga dapat meminta bantuan
kepada orang lain di lingkungan tempat tinggalnya.
3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Sering kali keluarga mengambil tindakan yang tepat, tetapi jika keluarga masih
merasa mengalami keterbatasan, maka anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang
lebih parah tidak terjadi.Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan
atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan tindakan untuk
pertolongan pertama.
4) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan kesehatan keluarga
atau anggota keluarga harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di
sekitarnya. Keluarga dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga kesehatan
keperawatan untuk memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya,
sehingga dapat bebas dari segala macam penyakit.
5) Mempertahankan suasana rumah yang sehat
Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung, dan bersosialisasi bagi anggota
keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki waktu lebih banyak berhubungan
dengan lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, kondisi rumah haruslah dapat
menjadikan lambang ketenangan, keindahan, ketenteraman, dan dapat menunjang
derajat kesehatan bagi anggota keluarga.

Ketahanan Keluarga
Ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) didefinisikan secara
beragam; diantaranya:
1. Kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber daya
untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih, pelayanan
kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di
masyarakat, dan integrasi sosial (Frankenberger, 1998).
2. Kondisi dinamik keluarga yang memiliki keuletan, ketangguhan, dan kemampuan
fisik, materil, dan mental untuk hidup secara mandiri (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 1994).
3. Kemampuan keluarga untuk mengembangkan dirinya untuk hidup secara harmonis,
sejahtera dan bahagia lahir dan batin untuk mengelola sumber daya dan masalah untuk
mencapai kesejahteraan (Sunarti 2001)
4. Kemampuan keluarga untuk bertahan dan beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang
senantiasa berubah secara dinamis serta memiliki sikap positif terhadap berbagai
tantangan kehidupan keluarga (Walsh, 1996).
5. Kemampuan keluarga untuk menangkal atau melindungi diri dari berbagai
permasalahan atau ancaman kehidupan baik yang datang dari dalam keluarga itu
sendiri maupun dari luar keluarga seperti lingkungan, komunitas, masyarakat, maupun
negara.

Indikator ketahanan keluarga yaitu:


a. adanya sikap saling melayani sebagai tanda kemuliaan;
b. adanya keakraban antara suami dan istri menuju kualitas perkawinan yang baik;
c. adanya orang tua yang mengajar dan melatih anak-anaknya dengan berbagai
tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten, dan mengembangkan keterampilan;
d. adanya suami dan istri yang memimpin seluruh anggota keluarganya dengan penuh
kasih sayang; dan
e. adanya anak-anak yang menaati dan menghormati orang tuanya.
Konsep ketahanan keluarga memiliki makna yang berbeda dengan konsep
kesejahteraan keluarga, tetapi keduanya saling berkaitan erat. Keluarga dengan tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi berpotensi lebih besar untuk dapat memiliki ketahanan
keluarga yang lebih tangguh. Kedua konsep tersebut dirumuskan menjadi satu kesatuan
dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, yaitu pada Pasal 1 Ayat 11. Pada ayat tersebut dituliskan ketahanan
dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material guna hidup mandiri dan
mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 menyebut bahwa ketahanan keluarga dapat
diukur menggunakan pendekatan sistem yang meliputi komponen input (sumber daya fisik
dan nonfisik), proses manajemen keluarga (permasalahan keluarga dan mekanisme
penanggulangannya), dan output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psiko-sosial). Atas dasar
pendekatan ini, maka ketahanan keluarga merupakan ukuran kemampuan keluarga dalam
mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumber daya yang dimiliki untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya (Sunarti, 2001).
Keluarga dikatakan memiliki tingkat ketahanan yang tinggi apabila memenuhi
beberapa aspek yaitu:
a. ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
pendidikan dan kesehatan;
b. ketahanan sosial yaitu berorientasi pada nilai agama, komunikasi yang efektif, dan
komitmen keluarga tinggi;
c. ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan masalah nonfisik,
pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif, dan kepedulian suami terhadap
istri.

Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan merupakan tujuan hidup yang didambakan oleh setiap manusia dan
dapat diraih dengan usaha yang keras. Menurut Eckersley (2005) kesejahteraan merupakan
makna yang dimiliki seseorang tentang cara menjalani hidup dengan menggali potensi yang
dimiliki, serta merasa bahwa hidupnya begitu berharga. Kesejahteraan merupakan suatu hal
yang bersifat subjektif, sehingga setiap keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki
pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang
faktor- faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (BKKBN, 2015). Kesejahteraan adalah
suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat
dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup. (Badan Pusat Statistik. 2014).
World Bank, membuat indikator kesejahteraan penduduk berdasarkan kriteria: (1)
tingkat harapan hidup penduduk dalam setahun, (2) angka kematian bayi per seribu kelahiran,
(3) tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan dasar dan menengah, (4) pengeluaran
penduduk per hari, yang dibagi atas 3 kelompok, yaitu miskin (pengeluaran perhari rata-rata
sebesar $1 USD), sedang (pengeluaran per hari rata-rata antara $1USD - $2 USD), sejahtera
(pengeluaran perhari rata-rata diatas $2 USD) (Yulianto, 2005).
Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang
sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota
dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 52 tahun 2009).
BKKBN (2015; 2017) mendefinisikan keluarga berdasarkan konsep/pendekatan
kesejahteraan keluarga dan menghasilkan 5 tingkatan berikut:
1) keluarga prasejahtera (KPS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya seperti kebutuhan agama, pangan, sandang, dan kesehatan; atau keluarga
yang belum dapat memenuhi salah satu dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs)
sebagai keluarga sejahtera I (Faturochman dan Dwiyanto, 1998). Keluarga
prasejahtera diukur menggunakan 21 indikator sesuai dengan pemikiran para pakar
sosiologi dalam membangun keluarga sejahtera dengan mengetahui faktor-faktor
dominan yang menjadi kebutuhan setiap keluarga. Faktor-faktor dominan tersebut
meliputi 1) pemenuhan kebutuhan dasar, 2) pemenuhan kebutuhan psikologi, 3)
kebutuhan pengembangan, dan 3) kebutuhan aktualisasi diri dalam berkontribusi bagi
masyarakat di lingkungannya.
2) Keluarga sejahtera I, yaitu keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal tetapi belum dapat kebutuhan psikologis (psychological needs)
keluarga. Indikator yang digunakan yaitu:
a) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
b) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian.
c) Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai dan dinding yang
baik.
d) Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan.
e) Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi.
f) Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.
3) Tahapan Keluarga Sejahtera II (KS II), yaitu keluarga yang mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya
(Psychological needs), tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya,
seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. Adapun indikator
keluarga sejahtera II (KS II) atau indikator “kebutuhan psikologis (Psychological
needs) keluarga yaitu:
a) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing.
b) Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan
daging/ikan/telur.
c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru
dalam setahun.
d) Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah.
e) Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat
melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.
f) Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh
penghasilan.
g) Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.
h) Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat/obat
kontrasepsi.
4) Tahapan Keluarga Sejahtera III (KS III), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhan fisik dasar, sosial psikologis dan pengembangan keluarganya
(developmental needs); dengan indikatornya yaitu:
a) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.
b) Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang atau barang.
c) Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali
dimanfaatkan untuk berkomunikasi.
d) Keluarga ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal.
e) Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar, majalah, radio, tv, internet.
5) Tahapan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III+); yaitu keluarga yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangannya dam
akuntabilitas diri (self esteem) telah terpenuhi, adapun indikator keluarga sejahtera III
plus yaitu:
a) Keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan materil
untuk kegiatan sosial.
b) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan
sosial/yayasan/ institusi masyarakat.
c) Kelompok yang dikategorikan penduduk miskin oleh BKKBN adalah KPS dan
KS.
Secara teoritis, pengukuran kesejahteraan keluarga dapat dilakukan dengan beberapa
indikator. Misal Todaro dan Smith (2003) mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat
dengan indikator terentaskannya kemiskinan, kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dan peningkatan produktivitas masyarakat. Sritua (1998)
mengukur kesejahteraan sosial-ekonomi melalui keadaan atau kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat yang diukur dengan indeks tingkat hidup menyeluruh masyarakat. Indeks tingkat
hidup menyeluruh masyarakat dihitung dengan menggunakan indikator, diantaranya kondisi
perumahan, pendidikan, kesehatan, leisure dan partisipasi politik masyarakat. Salvatore
(1997) mengemukakan teori ekonomi kesejahteraan secara mikro. Teori ekonomi
kesejahteraan mempelajari berbagai kondisi dimana cara penyelesaian dari model ekuilibrium
dapat dikatakan optimal.
Badan Pusat Statistik mengukur kesejahteraan dengan indikator:
1. Kependudukan
2. Kesehatan dan gizi; yang meliputi:
- Tingkat kematian bayi di daerah tersebut. Angka kematian bayi secara peka
menggambarkan taraf ketersediaan air bersih, kondisi dalam rumah dan
kesejahteraan ibu,
- Angka harapan hidup dalam setahun. Sementara angka harapan hidup satu
tahun merefleksikan taraf gizi dan keadaan lingkungan luas di luar rumah.
3. Pendidikan, meliputi:
a) angka melek huruf penduduk 15 tahun ke atas
b) rata-rata lama sekolah penduduk
4. Ketenagakerjaan (tempat kerja penduduk).
5. Taraf dan pola konsumsi; yang diindikasikan oleh rata-rata pengeluaran per kapita riil
yang disesuaikan (adjusted real per capita expenditure):
- sangat miskin: kemampuan minimal untuk memenuhi konsumsi setara atau
kurang dari 1900 kalori per orang per hari dan pengeluaran non makanan atau
senilai Rp. 120 000 per bulan.
- miskin: kemampuan minimal untuk memenuhi konsumsi antara 19002100
kalori per orang dan pengeluaran non makanan atau senilai Rp. 150.000 per
orang bulan.
- sejahtera: kemampuan minimal untuk memenuhi konsumsi antara 21002300
kalori per orang per hari atau keatas dan pengeluaran Non makanan atau
senilai Rp. 175.000 per orang bulan atau selebihnya (Yulianto, 2005):

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 mengenai keluarga, menjelaskan keterkaitan


antara kualitas penduduk dan kualitas keluarga; di mana kesejahteraan penduduk
diindikasikan oleh keluarga yang berkualitas. Dimensi kesejahteraan keluarga sangat luas dan
kompleks; sehingga taraf kesejahteraan keluarga tidak hanya dilihat dari ukuran yang terlihat
(fisik dan kesehatan) tapi juga dari ukuran non-fisik (spiritual). Oleh karena itu, terdapat
beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga
(Puspitawati, 2005), sebagai berikut:
1. Economic well-being: yaitu kesejahteraan ekonomi; indikator yang digunakan adalah
pendapatan (GNP, GDP, pendapatan per kapita per bulan, nilai asset).
2. Social well-being, yaitu kesejahteraan sosial; indikator yang digunakan diantaranya
tingkat pendidikan (SD/MI-SMP/MTs-SMA/MA-PT; pendidikan non-formal Paket A,
B, C; melek aksara atau buta aksara) dan status dan jenis pekerjaan (white collar =
elite/profesional, blue collar = proletar/buruh pekerja; punya pekerjaan tetap atau
pengangguran).
3. Physical well-being, yaitu kesejahteraan fisik; indikator yang digunakan adalah status
gizi, status kesehatan, tingkat mortalitas tingkat morbiditas.
4. Psychological/spiritual mental, yaitu kesejahteraan psikologi; indikator yang
digunakan adalah sakit jiwa, tingkat stres, tingkat bunuh diri, tingkat perceraian,
tingkat aborsi, tingkat kriminal (perkosaan, pencurian/perampokan, penyiksaan/
pembunuhan, penggunaan narkoba/ NAPZA, perusakan), tingkat kebebasan seks.

Konsep kesejahteraan dapat pula dikaitkan dengan konsep kebutuhan (needs),


khususnya mengenai pemenuhannya. Maslow menggambarkan rumusan tentang kebutuhan
yang hierarkis dalam bentuk segitiga, dimana kebutuhan yang ada di atas akan terpenuhi
setelah kebutuhan di bawahnya terpenuhi. Tingkatan paling bawah dalam hierarkis kebutuhan
tersebut adalah kebutuhan fisik yang menyangkut kebutuhan pokok seperti sandang, pangan
dan papan. Kemudian berturut-turut adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial dan
kebutuhan penghargaan atas diri. Keterkaitan antara konsep kesejahteraan dan konsep
kebutuhan adalah dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka seseorang sudah
dapat dinilai sejahtera karena tingkat kebutuhan tersebut secara tidak langsung sejalan dengan
indikator kesejahteraan (Puspitawati, 2015).

Ketahanan sosial
Ketahanan keluarga diidentikan dengan ketahanan sosial karena keluarga merupakan
unit terkecil dalam sistem sosial. Badan Pusat Statistik mendefinisikan ketahanan sosial
sebagai hasil dari dinamika sosial skala lokal dan global.
Dinamika sosial skala lokal terdiri atas dua bagian yaitu 1) dinamika sistem sosial
skala lokal (small scale system) dan 2) karakteristik sistem sosial skala lokal (characteristics
of the small scale system) atau faktor komunal (Communal Factors). Faktor komunal yang
berpengaruh terhadap ketahanan sosial antara lain:
a. organisasi sosial reproduksi meliputi: formasi keluarga, sistem pernikahan dan
pertalian darah, serta prinsip turunan, warisan, dan suksesi;
b. organisasi sosial produksi meliputi: stratifikasi dan pembagian kerja berdasarkan
gender, usia, dan kelas sosial;
c. organisasi sosial partisipasi politik meliputi: kepemimpinan lokal dan pola
manajemen; dan
d. organisasi sosial keagamaan meliputi: hukuman dan insentif yang memperkuat norma
sosial yang berlaku.

Sementara itu, dinamika sosial skala global merujuk pada dinamika sosial pada sistem
sosial skala global (large scale system) yang disebut sebagai Faktor Sosial (Societal
Factors). Faktor sosial yang berpengaruh terhadap ketahanan sosial antara lain:
a. derajat integrasi ke sistem ekonomi pasar global (misalnya prevalensi upah/gaji buruh,
monetisasi, mekanisasi, penggunaan teknologi, penanaman modal asing, orientasi dan
ketergantungan ekspor, dan ketergantungan impor);
b. derasnya arus pengetahuan dan informasi global;
c. derajat integrasi ke dalam tata kehidupan perkotaan; dan
d. penerapan kebijakan skala internasional, nasional, non-lokal berpengaruh terhadap
wilayah (misal kebijakan terkait kependudukan, kesehatan dan pendidikan).

Indikator ketahanan sosial (yang merupakan hasil dari dinamika sosial skala lokal dan global)
diukur melalui:
a. tingkat perlindungan yang diberikan kepada penduduk lanjut usia, anak-anak,
perempuan, orang dengan disabilitas;
b. tingkat dukungan yang diberikan kepada individu maupun keluarga/rumah tangga
rentan seperti keluarga miskin, orang tua tunggal, anak-anak dan penduduk lanjut usia
yang terlantar, orang dengan disabilitas yang terlantar;
c. tingkat partisipasi individu, kelompok dan keluarga dalam kehidupan sosial dan
politik;
d. tingkat konservasi/keberlanjutan sumber daya lingkungan bagi penghidupan
masyarakat lokal; dan
e. tingkat kontrol sosial terhadap kekerasan (rumah tangga, komunitas, dan lintas
budaya)

Indeks Pembangunan Keluarga


Indeks pembangunan keluarga dapat dihitung dengan berbagai cara. Salah satunya
adalah dengan menggunakan kerangka Indeks Pembangunan Keluarga (IPK) yang
merupakan bagian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 . Penghitungan IPM). IPK
menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan membangun kualitas keluarga;
menentukan level pembangunan keluarga suatu wilayah, dan dapat dijadikan target
pembangunan suatu wilayah. Dengan kata lain, angka IPK merupakan kunci dari
keberhasilan pembangunan (Kulonprogokab, 2020). Selain IPK, ada indeks lain yang
digunakan dalam menghitung kualitas keluarga, yaitu indeks pembangunan keluarga
(iBangga). Indeks ini didesain oleh BKKBN dan merupakan bagian dari Indeks Kinerja
Utama (IKU) BKKBN (BKKBN, 2020).
iBangga merupakan komposit indeks yang menggabungkan aneka konsep tentang
pengukuran ketahanan dan kesejahteraan keluarga yang telah dijabarkan di atas; yang
diringkas menjadi 3 dimensi, 4 indikator, dan 17 variabel. iBANGGA digunakan untuk
mengklasifikasikan suatu wilayah dengan status pembangunan keluarga tangguh,
berkembang atau rentan dan memiliki skema perhitungan yang telah ditetapkan. Nilai
iBangga berkisar antara 0-100 dengan kategori sebagai berikut:
1. iBangga yang kurang baik (rentan) apabila nilainya di bawah 40.
2. iBangga yang cukup baik (berkembang) apabila nilainya antara 40 - 70.
3. iBangga yang baik (tangguh) apabila nilainya di atas 70 (BKKBN, 2017).

1
Konsep IPM pertama kali diperkenalkan UNDP melalui Human Development Report tahun 1996.
IPM digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai salah satu indikator pembangunan
sosial-ekonomi. (Setiawan dan Hakim, 2013).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed method). Teknik pengumpulan data
kuantotatof dilakukan melalui survei online dengan google form dan tatap muka. Metode
kualitatif dilakukan dengan model studi kasus untuk menelusuri dan menggambarkan aspek
dan konteks terkait hasil temuan survei kuantitatif pada setiap kategori indeks iBangga
(rentan, berkembang, dan tangguh) serta pada setiap dimensi (ketentraman, kebahagiaan,
kemandirian). Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam
dan pengamatan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap; 1) kuantitatif, 2) kualitatif, dan 3)
triangulasi data kuantitatif dan kualitatif untuk menarik kesimpulan. Metode kuantitatif
dimulai dengan menentukan sampel secara statistik. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan prinsip sampling stratifikasi. Perhitungan banyaknya sampel minimal dilakukan
dengan menggunakan metode Isaac and Michael (Chauduri, 2005). Metode ini dipilih karena
prinsip perumusannya lebih lengkap yaitu memasukkan banyak populasi, mempertimbangkan
margin of error, serta tingkat keyakinan dalam pengambilan sampel. Formulasi perhitungan
sampel metode Isaac and Michael tampak dalam formula (3.1)

2
Z (α/ 2) NP(1−P)
e2 ( N−1 ) + Z 2(α /2) P(1−P)

N menunjukkan jumlah KK di setiap kecamatan (banyaknya populasi KK dibuat per


kecamatan di Kota Bandung), margin error e=5 % , tingkat kepercayaan dalam pengambilan
sampel adalah 95%, sehingga nilai α =0.05 (nilai Z( α / 2)=1.96 ), deviasi standar ( σ )dan proporsi
( P )ditentukan adalah 0.5. Dari formulasi perhitungan sampel minimal, diperoleh banyaknya
sampel per kecamatan adalah sama rata yaitu 100 KK, sehingga secara total (Kota Bandung
dengan 30 kecamatan) adalah 100 x 30 = 3000 KK. 2 Sebanyak 3000 sampel dalam penelitian
ini dikumpulkan oleh surveyor, dan sisanya oleh relawan (petugas dari DPPKB).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data yang dikumpulkan melalui survei diolah mengikuti prinsip analisa data kuantitatif
menggunakan software statistik dan disajikan dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Profil demografis
2. Ringkasan 17 variabel pembentuk iBangga
3. Hubungan asosiasi antar variabel iBangga

2
4. Penghitungan nilai iBangga. Pada bagian ini nilai iBangga dihitung dengan
mengikuti berbagai model, yaitu mengikuti pedoman penghitungan dalam buku
metadata iBangga, dan model alternatif dengan pembobotan dan perangkingan

Profil demografis responden


Profil demografis responden menggambarkan jumlah (frekuensi) responden berdasarkan
variabel demografis, seperti usia jenis kelamin, pekerjaan, agama, tempat lahir, status
perkawinan, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran setiap bulan, bantuan
sosial, dan tipe keluarga. Ringkasan profil demografis responden dalam kajian ini tampak
pada tabel berikut:

Variabel Sub Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

L 798 26.6
Jenis kelamin
P 2201 73.4
17-20 15 0.50
21-30 246 8.20
31-40 584 19.47
Usia 41-50 972 32.40
51-60 763 25.43
>60 418 13.93
Tidak diisi dengan benar 2 0.07
Kota Bandung 2286 76.20
Tempat Lahir
Luar Kota Bandung 714 23.80
Belum Kawin 66 2.20
Cerai Hidup 97 3.23
Status Perkawinan
Cerai Mati 250 8.33
Kawin 2587 86.23
Sunda 2640 88.00
Suku bangsa Jawa 241 8.03
Lainnya 119 3.97
Buddha 7 0.23
Hindu 1 0.03
Islam 2932 97.77
Agama
Katolik 26 0.87
Konghucu 1 0.03
Kristen Protestan 32 1.07
SD 367 12.23
SMP 482 16.07
SMA 1599 53.30
Pendidikan Diploma 202 6.73
Sarjana 334 11.13
Magister 10 0.33
Doktor 6 0.20
Mengurus Rumah
1748 58.27
Pekerjaan Tangga (IRT)
Belum/Tidak Bekerja 118 3.93
Wirausaha 309 10.30
Pensiun 106 3.53
Pegawai Negeri Sipil 40 1.33
Karyawan Honorer 29 0.97
Karyawan Swasta 288 9.60
Guru 34 1.13
Buruh Harian Lepas 154 5.13
Lainnya 174 5.80

< Rp 1.500.000 558 18.60


> Rp 3.500.000 575 19.17
Pengeluaran Per Bulan Rp 1.500.000 - Rp
1154 38.47
2.500.000
Rp 2.500.001 - Rp
713 23.77
3.500.000
Penerima 909 30.3
Bantuan Sosial
Bukan penerima 2091 69.7
Batih (Ayah, Ibu, dan
2369 78.97
Anak)
Suami dan Istri (Tanpa
174 5.80
Tipe Keluarga Anak)
Ibu dan Anak 282 9.40
Ayah dan Anak 52 1.73
Lainnya 123 4.10
Sumber: Data hasil survei Juni 2022

Berdasarkan hasil survei, sebagian besar responden yang terlibat di dalam kajian ini adalah
perempuan yang berprofesi sebagai Ibu rumah tangga dan berada dalam rentang usia
produktif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kemudahan mendapatkan responden dengan
profil demikian. Pada saat survei dilakukan dari rumah ke rumah, merekalah yang berada di
rumah dan bersedia untuk disurvei. Sebagian besar responden berstatus menikah dan hanya
sebagian kecil mengalami cerai hidup. Pengeluaran setiap keluarga sebagian besar berkisar
antara Rp 1.500.000 - 2.500.000 per bulan.
Tipe keluarga yang disurvei di dalam kajian ini, sebagian besar adalah keluarga batih,
yaitu orang tua yang tinggal dengan anak-anaknya yang belum menikah. Sebagian besar dari
responden mengaku sebagai warga asli Bandung, berlatar belakang etnis Sunda, dan
beragama Islam. Latar belakang pendidikan sebagian besar responden adalah sekolah
menengah atas.

Ringkasan Statistik 17 variabel pembentuk iBangga


Jumlah dan persentase jawaban YA atau TIDAK dari 17 variabel pembentuk iBangga
tampak pada Tabel berikut:

Jumlah Persentase

No Variabel Ya Tidak NA Ya Tidak NA


1 Ibadah rutin 2952 48 0 0.98 0.02 0.00

2 Memiliki Akta Nikah 2701 79 220 0.90 0.03 0.07

3 Memiliki Akta Kelahiran 2627 109 264 0.88 0.04 0.09

4 Memiliki Kartu Kesehatan 2250 750 0 0.75 0.25 0.00

5 Tidak ada Konflik Keluarga 2876 124 0 0.96 0.04 0.00

6 Tidak Cerai Hidup 2782 218 0 0.93 0.07 0.00

7 Memiliki penghasilan 2687 313 0 0.90 0.10 0.00

8 Makanan beragam 2826 174 0 0.94 0.06 0.00

9 Rumah layak huni 2425 575 0 0.81 0.19 0.00

10 Memiliki tabungan 1723 1277 0 0.57 0.43 0.00

11 Tidak ada putus sekolah 1413 964 623 0.47 0.32 0.21

12 Tidak ada keluarga sakit 2450 376 0 0.82 0.13 0.00

13 Akses medsos 2729 271 0 0.91 0.09 0.00

14 Interaksi antar anggota keluarga 2918 82 0 0.97 0.03 0.00


Ringkasan Statistik dari 17 Variabel Penyusun iBangga (lanjutan)
Jumlah Persentase

No Variabel Ya Tidak NA Ya Tidak NA

15 Pengasuhan anak bersama 2366 264 370 0.79 0.09 0.12

16 Rekreasi keluarga 2192 808 0 0.73 0.27 0.00

17 Keikutsertaan kegiatan sosial 2512 488 0 0.84 0.16 0.00

Pada Tabel di atas terdapat variabel berisikan nilai NA. Artinya, pertanyaan tidak dapat
dijawab oleh responden karena berbagai kondisi responden. Contohnya variabel Pengasuhan
anak bersama, NA terjadi jika pasangan tersebut tidak memiliki anak atau responden belum
menikah). Pada variabel Tidak ada putus sekolah (untuk usia 7-18 tahun) juga mungkin
memperoleh nilai NA dikarenakan belum atau tidak ada anggota keluarga pada rentang usia
tersebut. Dari Tabel tersebut terlihat pula bahwa mayoritas responden menjawab Ya pada
setiap pertanyaan variabel iBangga.
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar responden menjawab Ya untuk setiap
variabel yang bernilai skor tinggi. Namun, pada variabel kepemilikan tabungan untuk 3
bulan ke depan, responden yang menjawab ‘Ya’ dan ‘Tidak’ berjumlah hampir seimbang.
Selain itu pada variabel yang mengukur angka putus sekolah, keluarga yang mengalami putus
sekolah jumlahnya cukup signifikan, yaitu sekitar 59.4%. Data dari kedua variabel ini
(keuangan dan pendidikan) menunjukkan aspek yang paling rentan pada setiap responden
yang terlibat di dalam kajian ini.
Pada dimensi ketentraman, hampir semua responden menjawab ‘Ya’ pada pertanyaan
tentang ibadah rutin. Apabila menyingkirkan asumsi bahwa jawaban tersebut sekedar
normatif, maka dapat dikatakan bahwa seluruh responden sangat religius. Tingkat religiusitas
ini menujukkan bahwa fungsi keluarga sebagai tempat sosialiasi dan enkulturasi agama telah
terpenuhi.

Hasil Penghitungan iBangga


Nilai iBangga adalah hasil rata-rata penjumlahan indeks per dimensi. Nilai indeks per
dimensi dan nilai iBangga mulai level terkecil yaitu RT/RW/Kelurahan/Kecamatan.
Kecamatan dengan nilai komposit iBangga tertinggi adalah Coblong (88.6) dan kecamatan
dengan nilai komposit iBangga terendah adalah Cibiru (83.4). Nilai indeks per dimensi,
rata-rata terendah adalah dimensi kemandirian, dan tertinggi adalah dimensi ketentraman.
Oleh karena nilai komposit iBangga yang didapat dalam kajian ini semua > 70, agar didapat
peta iBangga dengan warna yang berbeda, maka nilai iBangga kelompokkan dalam interval
5. Peta gradasi warna yang menggambarkan perbedaan nilai indeks iBangga per kecamatan
tersaji dalam peta sebagai berikut:

Gambar Peta iBangga Kota Bandung

Catatan:
Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) pada kajian ini merupakan hasil perhitungan pada
sampel yang diperoleh pada setiap kecamatan. Nilai iBangga ini secara statistik belum dapat
mewakili indeks kecamatan ataupun Kota Bandung atau bersifat bias. Hal ini dikarenakan
pengambilan sampel yang tidak memenuhi kaidah random sehingga sampel secara
keseluruhan tidak bisa disebut sebagai sampel probabilistik. Di masa mendatang,
pengumpulan data melalui survei sebaiknya sesuai dengan rancangan secara statistik agar
perhitungan iBangga dapat digunakan untuk merepresentasikan seluruh populasi
Gambar Peta Indeks Ketentraman Kota Bandung
Indeks Ketentraman dari sampel masyarakat Kota Bandung secara umum sangat baik,
yaitu di angka 92.31. Nilai menggambarkan bahwa responden memiliki ketentraman yang
sangat tinggi. Nilai indeks ketentraman terendah ditemukan di Kecamatan Arcamanik dan
yang tertinggi dari Kecamatan Regol. Hal yang menarik adalah jika dilihat pada peta, letak
kecamatan-kecamatan dengan indeks ketentraman yang mirip cenderung berdekatan (kecuali
Kecamatan Ujung Berung yang sekitarnya sudah memiliki indeks ketentraman > 92.5). Perlu
diselidiki lebih lanjut kaitan antara efek spasial dalam ketentraman dari warga yang
kecamatannya berdekatan.

Gambar Peta Indeks Kemandirian Kota Bandung


Pada Indeks kemandirian, interval juga diberlakukan sebesar 2.5. Secara umum, dari
seluruh nilai komposit iBangga, indeks kemandirian memilki skor paling rendah diantara
indeks lainnya. Indeks kemandirian tertinggi ditemukan di Kecamatan Coblong, dengan nilai
indeks 85.3, sedangkan kecamatan dengan indeks kemandirian yang kurang dari 77.5 adalah
Kecamatan Bojongloa Kidul, Antapani, Cibeunying Kidul, Cibiru, Sukajadi, dan Babakan
Ciparay. Indeks ini dibangun dari pertanyaan tentang penghasilan, makan makanan beragam,
memiliki rumah layak huni, memiliki tabungan, tidak ada putus sekolah, tidak ada keluarga
sakit, dan memiliki akses media sosial).

Gambar Peta Indeks Kebahagiaan Kota Bandung


Indeks kebahagiaan dari responden di Kota Bandung secara keseluruhan adalah 85.66.
Indeks ini cukup baik walaupun tidak sebaik indeks ketentraman. Indeks kebahagiaan tinggi
ditemukan di Kecamatan Panyileukan, Cidadap, Astana Anyar, dan Rancasari. Indeks
kebahagiaan tertinggi di Kecamatan Panyileukan, dengan nilai yang cukup jauh dengan
peringkat dibawahnya. Sementara di Kecamatan Bandung kulon dan Antapani indeks
kebahagiaan terendah.
Apabila nilai iBangga yang diperoleh dari survei ini dirangking dengan mengabaikan
wilayah (RT/RT/Kel/Kec), maka rentang nilai iBangga per responden berada diantara 13.1
sampai dengan 100. Nilai rata-rata iBangga di setiap kecamatan berdasarkan hasil kajian ini
telah melebihi angka 70 atau berada pada kategori tangguh. Merujuk kategorisasi indeks
menurut buku metadata BKKBN (dengan mengabaikan wilayah), maka distribusi kategori
iBangga pada 3000 sampel pada kajian ini adalah:
● Kategori rentan (<40) sejumlah 0.47%
● Kategori berkembang (40-70) sejumlah 10.07%
● Kategori tangguh (>70) sejumlah 89.47%
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa angka iBangga menggambarkan kualitas
setiap keluarga yang dilibatkan dalam kajian ini. Pada kategori keluarga dengan indeks
iBangga rentan dan berkembang, ternyata semua memiliki tipikal yang mirip, yaitu keluarga
dengan pengalaman perceraian (baik cerai hidup maupun cerai mati) memiliki pengalaman
konflik di dalam keluarga, berpenghasilan tidak tetap, dan tidak memilki tabungan. Hampir
semua responden tidak bersedia menjelaskan alasan konflik dan perceraian mereka. Mereka
hanya menyebut ketidakcocokan dan selisih pendapat sebagai sumber konflik dan bahkan
berujung pada perceraian. Di dalam konteks finansial, kondisi keuangan yang tidak menentu
berimbas pada rendahnya indeks kemandirian dan kebahagiaan para keluarga dikategori
rentan dan berkembang.
Pada kategori tangguh, semua keluarga tidak memiliki pengalaman konflik dan
perceraian, meski kondisi finansial tidak prima. Tiga keluarga yang masuk kategori tangguh
dan wawancarai dalam kajian ini, memilki rumah layak huni yang sederhana, tetapi memiliki
penghasilan tetap, dan tidak atau jarang berkonflik. Hal ini yang kemudian menyebabkan
indeks pada tiga dimensi semuanya tinggi. Kemampuan mengelola konflik menjadi hal
penting di dalam keluarga tangguh. Hal ini tampak pada cerita dari beberapa responden di
kategori tangguh untuk mengalah atau pasangan mereka mengalah saat terjadi selisih
pendapat di dalam rumah tangga. Manajemen konflik yang baik terbukti mampu menjaga
ketangguhan keluarga bahkan di saat kondisi finansial tidak terlalu baik.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil survei dan wawancara dalam kajian ini, dapat disimpulkan bahwa
dari 3000 keluarga yang disurvei didapatkan nilai komposit iBangga diatas 80. Artinya,
sebagian besar keluarga berada dalam kategori tangguh. Angka ini jauh melesat dari hasil
penghitungan di tahun 2021 yang dilakukan oleh BKKBN yang berada di angka 52; dan
target tahun 2022 yang hanya sebesar 55, serta target di akhir RPJMD 2024 yang berada di
kisaran 60. Namun, meski sebagian besar indeks telah mencapai tangguh, masih ada sebagian
kecil keluarga yang berada di kategori rentan dan berkembang. Selain itu, jika diperhatikan
angka indeks setiap dimensi, maka dimensi kemandirian selalu memiliki angka paling kecil
dibandingkan indeks dimensi lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor keuangan yang terbatas
sehingga banyak keluarga yang tidak dapat menabung sama sekali atau hanya memilki dana
yang tipis dalam tabungan. Hal ini menjadikan keluarga-keluarga di Bandung rentan secara
ekonomi. Selain itu angka putus sekolah cukup besar. Hal ini cukup mengkhawatirkan
karena pendidikan merupakan variabel penting di dalam upaya penciptaan SDM unggul.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. (2014). Statistik Indonesia Tahun 2014. Jakarta Pusat:
Badan Pusat Statistik
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, B. K. (2015). Petunjuk Teknis Kampung KB.
Jakarta.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, B. K. (2017). Penanaman Dan Penerapan
Nilai Karakter Melalui 8 Fungsi Keluarga. Jakarta
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, B. K. (2017). Petunjuk Teknis Kampung KB.
Jakarta.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, B. K. (2017). Buku Saku Pengenalan Indeks
Pembangunan Keluarga. Jakarta
Bailon, S.G. & Maglaya, A. (1978). Perawatan Kesehatan Keluarga: Suatu Pendekatan
Proses (Terjemahan). Jakarta: Pusdiknakes
Bowen, P., Rose, R., & Pilkington, A. (2017). Mixed methods-theory and practice.
Sequential, explanatory approach. International Journal of Quantitative and
Qualitative Research Methods, 5(2), 10-27.
Duvall, E. R. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development. Harper & Row
Efendi, F., & Makhfludi. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika
Efendi, Ferry dan Makhfudli.(2013). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Eckersley. (2005). The wellbeing Manifesto.http://www.wellbeingmanifesto.net. Diakses
tanggal 30 Maret 2022 pukul 07.00 WIB.
Faturochman, F., & Dwiyanto, A. (1998). Validitas dan Reliabilitas Pengukuran Keluarga
Sejahtera. Populasi, 9(1)
Friedman, M. M. (1998). Keperawatan keluarga. EGC.
Indeks Pembangunan Keluarga, (16 Maret 2020). pemberdayaan.kulonprogokab.go.id.
Diakses tanggal 31 Maret 2022, dari
https://pemberdayaan.kulonprogokab.go.id/detil/1044/indeks-pembangunan-keluarga
Mubarak, W. I., Chayatin, N., Santoso, B. A. (2011). Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep
dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
Noor, I. (2013). Daerah maju Indonesia maju: strategi pembangunan yang mensejahterakan
dan berkeadilan. Grafindo Books Media.
Puspitawati, H. (2015). Kajian Akademik Pengertian Kesejahteraan dan Ketahanan
Keluarga. Bogor: IPB Press.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Setiawan, M. B., & Hakim, A. (2013). Indeks pembangunan manusia Indonesia. Jurnal
Economia, 9(1), 18-26.
Subhan, Zaitunah. (2004). Membina Keluarga Sakinah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Supardi, I. (1994). Pembangunan Yang Memanfaatkan Sumber Daya. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Tjahja, S. (2000). Konsep Pembangunan Yang Melakukan Pendekatan Kemanusiaan.
Yogyakarta: Gadjah Mada Press
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga.
Yulianto, Trimo. (2005). Fenomena Program-Program Pengentasan Kemiskinan di
Kabupaten Klaten (Studi Kasus Desa Jotangan Kecamatan Bayat). Tesis

Anda mungkin juga menyukai