Anda di halaman 1dari 127

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA

PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY DI PT X


(Studi Kasus Dengan Unit Kerja NDT)

SKRIPSI

Disusun oleh:

MUHAMAD RIDWAN FAUZI


NIM. 2015030298

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2019
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA
PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY DI PT X
(Studi Kasus Dengan Unit Kerja NDT)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Dalam Rangka Memperoleh Gelar

Sarjana Teknik Mesin Universitas Pamulang

Disusun oleh:

MUHAMAD RIDWAN FAUZI


NIM. 2015030298

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2019

i
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : MUHAMAD RIDWAN FAUZI


NIM : 2015 0302 98
Program Studi : Teknik Mesin
Fakultas : Teknik
Jenjang Pendidikan : Strata 1

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat dengan judul:

“ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA PROSES TWIN ROLL


ASSEMBLY DI PT X”

1. Merupakan hasil karya tulis ilmiah sendiri, bukan merupakan karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik oleh pihak lain, dan bukan
merupakan hasil plagiat.
2. Saya ijinkan untuk dikelola oleh Universitas Pamulang sesuai dengan norma
hukum dan etika yang berlaku.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia
menerima konsekuensi apapun sesuai aturan yang berlaku apabila dikemudian
hari pernyataan ini tidak benar.

Tangerang Selatan, 11 Mei 2019

materai
cukup

Muhamad Ridwan Fauzi


NIM. 2015 0302 98

ii
Universitas Pamulang
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
(Hasil Karya Perorangan)

Sebagai sivitas akademik Universitas Pamulang, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Muhamad Ridwan Fauzi


NIM : 2015 0302 98
Program Studi : Teknik Mesin
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan dan pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Pamulang Hak Bebas Royalti Non- Eksklusif (Non- exclusive
Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA PROSES TWIN ROLL
ASSEMBLY DI PT X”
Beserta perangkat yang ada (bila diperlukan) Dengan Hak Bebas Royalty Non-
Eksklusif ini Universitas Pamulang menyimpan, mengalih media/formatkan,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (data base), mendistribusikannya,
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta dalam karya ilmiah ini
menjadi tanggung jawab saya pribadi.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Tangerang Selatan


Pada tanggal : 11 Mei 2019

Yang menyatakan

(Muhamad Ridwan Fauzi)


NIM: 2015 0302 98

iii
Universitas Pamulang
LEMBAR PERSETUJUAN

NIM : 2015 0302 98


Nama : MUHAMAD RIDWAN FAUZI
Program Studi : TEKNIK MESIN
Fakultas : TEKNIK
Jenjang Pendidikan : Strata 1
Judul Skripsi : “ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA
PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY DI PT X”

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui,


Tangerang Selatan,...............................................................

Pembimbing I Pembimbing II

(Ir. Sunardi M.T) (Ir. Mulyadi, M.Si)


NIDN. 0315107103 NIDK. 8868500016

Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknik Mesin

(Dr. Ir. Djuhana, M.Si)


NIDN. 0405065404

iv
Universitas Pamulang
LEMBAR PENGESAHAN

NIM : 2015 0302 98


Nama : MUHAMAD RIDWAN FAUZI
Program Studi : TEKNIK MESIN
Fakultas : TEKNIK
Jenjang Pendidikan : Strata 1
Judul Skripsi : “ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA
PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY DI PT X”

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan dewan penguji ujian Sidang di Program
Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, dan dinyatakan LULUS.

Tangerang Selatan,................................................

Penguji I, Penguji II,

(Ersam Mahendrawan S.PD.,M.Pd) (Sulanjari, S.SI,M.SC)


NIDN. 0413088901 NIDN. 0412068901

Pembimbing I , Pembimbing II,

(Ir. Sunardi M.T) (Ir. Mulyadi, M.Si)


NIDN. 0315107103 NIDK. 8868500016

Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik

(Syaiful Bakhri,S.T,M.Eeng.Sc,PH.D)
NIDN. 04211274002

v
Universitas Pamulang
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : MUHAMAD RIDWAN FAUZI

Tempat, tanggal lahir : DEPOK, 24 November 1995

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. H Dimun Raya No.37 Rt 03/06 Kel. Sukamaju

Kec. Cilodong – Depok, Jawa Barat, 16411

Nomor Hp : 0822-1334-2299

E-mail : mridwan.fauzi01@gmail.com

Riwayat Pendidikan : SDN Sukmajaya 2 Lulus Tahun 2008.

SMP Negeri 4 Depok Lulus Tahun 2011.

SMK MIGAS 2, Cepu, Blora Lulus Tahun 2014.

Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenarnya.

Pamulang, 11 Mei 2019


Penyusun,

(Muhamad Ridwan Fauzi)


NIM: 2015030298

vi
Universitas Pamulang
ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA


PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY DI PT X
(Studi Kasus Dengan Unit Kerja NDT)

Muhamad Ridwan Fauzi


Email : mridwan.fauzi01@gmail.com

Penelitian ini adalah penelitian pengujian deskriptif yang bersifat studi kasus.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan
repair pada proses Twin Roll Assembly di PT. X dan memberikan solusi untuk mengatasi
permasalahan repair yang terjadi. Metode pengujian dye-penetrant bertujuan untuk
mengetahui jawaban dari hipotesa yang ada. Sedangkan untuk analisis data digunakan
analisis komponen kimia serta analisi hasil pengujian dye-penetrant. Hasil dari penelitian
ini mengemukakan bahwa dengan dilakukan perlakuan panas (preheating) dan cleaning
sebelum dilakukan pengelasan dapat memberikan hasil / kualitas pengelasan yang lebih
baik untuk proses twin roll assembly. Hal ini didasari oleh hasil pengujian komposisi
kimia dengan menggunakan Spectrometer yang menunjukkan dengan adanya pre heating
dapat memperkuat/ memunculkan unsur-unsur yang terkandung serta berdasarkan hasil
pengujian dye-penetrant menunjukan hasil pengelasan yang lebih baik dibandingkan
sebelum dilakukan proses preheating dan cleaning.

Kata Kunci: Twin Roll Assembly, Repair, Dye-penetrant, Preheating, Cleaning Process,
Pengelasan, MIG Welding

vii
Universitas Pamulang
ABSTRACK

ANALYSIS OF REPAIR CAUSING FACTORS


TWIN ROLL ASSEMBLY PROCESS IN PT X
(Case Study with NDT Work Unit)

Muhamad Ridwan Fauzi


Email : mridwan.fauzi01@gmail.com

This research is a descriptive testing study that is case study. The purpose of this
study is to find out what are the factors that cause repair in the Twin Roll Assembly
process at PT. X and provide a solution to overcome the problem of repair that occurs.
The dye-penetrant testing method aims to find out the answers to the existing hypotheses.
While for data analysis used chemical component analysis and analysis of dye-penetrant
test results. The results of this study suggest that by preheating and cleaning before
welding can provide better welding results / quality for the twin roll assembly process.
This is based on the results of testing the chemical composition using a Spectrometer
which shows that the presence of pre heating can strengthen / emerge the elements
contained and based on the dye-penetrant test results show better welding results than
before the preheating and cleaning process.

Key Words: Twin Roll Assembly, Repair, Dye-penetrant, Preheating, Cleaning Process,
Pengelasan, MIG Welding

viii
Universitas Pamulang
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah

selesai dari satu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain,

dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

~Q.S. Al Insyirah : 6-8~

“Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak pernah disakiti.

Menarilah bagaikan tak seorang pun sedang menonton”

~Mark Twain~

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari


betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah”

~Thomas Alva Edison~

“Jangan pernah menganggap belajar sebagai suatu kewajiban, tetapi anggaplah ia

sebagai suatu kesempatan menyenangkan untuk membebaskan diri dalam

mempelajari keindahan alam dan kehidupan. Belajar adalah untuk kebahagiaanmu

sendiri, dia akan memberikan keuntungan bagi masyarakat tempatmu bekerja

nanti”

~Albert Einstein~

“Life is so simple, you just must choice and never look back”

~Han from “The Fast and The Furious: Tokyo Drift”~

ix
Universitas Pamulang
PERSEMBAHAN

Dengan senang hati dan rasa bersyukur, karya tulis ini penulis ingin

persembahkan kepada :

 Kedua orang tuaku Bapak Saryono dan Ibu Aminarni terkasih.


 Keluarga tercinta.
 Dosen Jurusan Teknik Mesin.
 Prima Eka Wulandari yang selalu setia membantu serta menemani proses
pembuatan skripsi ini.
 Teman – teman dan sahabat – sahabatku yang telah memberi bantuan moral
dan spiritual kepadaku.
 Pembaca yang senantiasa menambah ilmu.

x
Universitas Pamulang
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan penelitian skripsi yang merupakan salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan program studi strata satu (S1) pada Program Studi Teknik Mesin
di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan. Saya menyadari skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Karena itu, kritik dan saran akan senantiasa saya terima
dengan senang hati.

Dengan segala keterbatasan, saya menyadari pula bahwa skripsi ini takkan
terwujud tanpa bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk
itu, dengan segala kerendahan hati, saya menghaturkan ucapan terima kasih
kepada:
1. Allah S.W.T. karena atas segala kuasa-Nya lah saya dapat menyelesaikan
skripsi ini,
2. Dr. (HC). Drs. H Darsono, selaku ketua yayasan Sasmita Jaya,
3. Drs. H. Dayat Hidayat, MM, selaku Rektor Universitas Pamulang,
4. Syaiful Bakhri,S.T.,M.Eng.Sc,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Pamulang,
5. Dr. Ir. Djuhana, M,Si , selaku ketua program studi Teknik Mesin di
Universitas Pamulang,
6. Ir. Sunardi, M.T, dan Ir. Mulyadi M.Si, selaku Dosen Pembimbing,
7. Seluruh pihak PT. X, atas keramahannya mengizinkan saya untuk
melaksanakan penelitian di perusahaan, dalam rangka menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Segala bantuan, kerjasama yang baik, dan dukungan
sangat precious untuk saya.
8. Kedua orang tua tercinta, yang telah membantu serta mendukung proses
pembuatan proposal pengajuan skripsi ini.
9. Prima Eka Wulandari, yang selalu mendampingi serta membantu dalam
proses penyusunan skripisi ini.
10. Dan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pembuatan proposal pengajuan
skripsi yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu – persatu.

xi
Universitas Pamulang
Akhir kata saya hanya bias berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi saya dan pembaca sekalian walaupun masih jauh dari sempurna,
untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dikemudian hari dan semoga Allah SWT membalas kebaikan dan selalu
mencurahkan hidayah serta taufik-Nya, Amin Ya Robbal Alamin.

Pamulang, 11 Mei 2019


Penulis

Muhamad Ridwan Fauzi


(NIM : 2015030298)

xii
Universitas Pamulang
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN HASIL KARYA SENDIRI ........................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................................... iv

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................................. vii

ABSTRACT ................................................................................................................. viii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... ix

KATA PENGANTAR .................................................................................................. xi

DAFTAR ISI .............................................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xvii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xx

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3

1.3 Batasan Masalah ........................................................................................... 3

1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4

1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4

1.6 Metode Penelitian ......................................................................................... 5

1.7 Sistematika Penulisan ................................................................................... 5

xiii
Universitas Pamulang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Twin Roll Press (TRP) .............................................................. 6

2.2 Sand Blasting .............................................................................................. 8

2.3 Pengelasan................................................................................................... 10

2.4 Imperfection Weld ....................................................................................... 20

2.5 Non-Destructive Test (NDT)....................................................................... 32

2.6 Metalografi .................................................................................................. 55

2.7 Termokopel ................................................................................................. 62

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Diagram Alir Penelitian ............................................................................. 63

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 64

3.3 Fokus Penelitian dan Narasumber............................................................... 64

3.4 Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 65

3.5 Metode Penelitian ....................................................................................... 65

3.6 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 66

3.7 Desain Penelitian ........................................................................................ 68

3.8 Teknik Analisa Data ................................................................................... 78

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Hasil Uji Komposisi Kimia .................................................... 80

4.2 Pembahasan Hasil Foto Struktur Mikro ...................................................... 85

4.3 Pembahasan Hasil Uji Dye-penetrant ......................................................... 87

4.4 Pembahasan Hasil Analisis Data ................................................................ 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

xiv
Universitas Pamulang
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 93

5.2 Saran ........................................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 95

LAMPIRAN............................................................................................................. 100

xv
Universitas Pamulang
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Parameter Teknik Twin Roll Presses (TRP) ..................................... 7


Tabel 2.2. Spesifikasi Trinocular Inverted Metallurgical Microscope
(IMM 901)……………………………………………………….....61
Tabel 4.1. Hasil Pengujian Komposisi Kimia Stainless Steel 316 .................... 80
Tabel 4.2. Data Komposisi Kimia Raw Material Stainless Steel 316 ............... 81
Tabel 4.3. Hasil Uji Dye-penetrant tanpa perlakuan pre-heating process…….88
Tabel 4.4. Hasil Uji Dye-penetrant dengan perlakuan pre-heating process…..89

xvi
Universitas Pamulang
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Twin Roll Press (TRP) ...................................................................6

Gambar 2.2. Ruang Proses Sand Blasting...........................................................8

Gambar 2.3. Jenis-jenis material Sand Blasting .................................................9

Gambar 2.4. Proses Pengelasan Las MIG ...........................................................15

Gambar 2.5. Kawat Las AWS ER316LSI (Kanan), Simulasi pemasangan kawat

las pada mesin las KEMPPI FastMig MXF 67 (Kiri) .....................18

Gambar 2.6. Daerah las dan sekitarnya...............................................................19

Gambar 2.7. Kampuh V ......................................................................................20

Gambar 2.8. Retak Dingin (Cold Cracking) .......................................................23

Gambar 2.9. Contoh cacat retak panas ................................................................24

Gambar 2.10. (a) Penembusan Kurang Baik (b) Penembusan Baik .....................25

Gambar 2.11. Daerah Pengerukan / Under cut .....................................................25

Gambar 2.12. Cacat porositas ................................................................................26

Gambar 2.13. Pengerutan Benda Kerja las ...........................................................28

Gambar 2.14. Contoh cacat incomplete fusion......................................................28

Gambar 2.15. Cacat over spatter...........................................................................29

Gambar 2.16. Liquid Penetrant Examination .......................................................34

Gambar 2.17. Dasar atau prinsip Pengujian dengan Liquid Penetrant .................37

Gambar 2.18. Magnetic Particle Testing ..............................................................39

Gambar 2.19. Prinsip Kerja Ultrasonic Testing ....................................................46

xvii
Universitas Pamulang
Gambar 2.20. Unit flaw detector ...........................................................................47

Gambar 2.21. Blok Kalibrasi V1 dan V2 ..............................................................48

Gambar 2.22. Pengujian Radiografi/ X-ray ..........................................................50

Gambar 2.23. IQI tipe lubang ...............................................................................52

Gambar 2.24. Sketsa IQI tipe kawat ASTM/ASME .............................................53

Gambar 2.25. Sketsa IQI tipe kawat DIN .............................................................53

Gambar 2.26. Fasa Ferit ........................................................................................57

Gambar 2.27. Fasa Perlit .......................................................................................58

Gambar 2.28. Spectrometer Oxford Instrumental by VULCAN............................60

Gambar 2.29. Trinocular Inverted Metallurgical Microscope (IMM 901) ..........61

Gambar 2.30. Termokopel ....................................................................................62

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian .................................................................63

Gambar 3.2. Raw ring material (kiri), Perangkaian/penyusunan ring kedalam

inner shell (kanan) ..........................................................................69

Gambar 3.3. Blasting Process .............................................................................69

Gambar 3.4. Stick out posisi normal, biasa digunakan untuk amper tinggi ........71

Gambar 3.5. Stick out yang biasa dipakai dalam amper menengah ....................71

Gambar 3.6. Stick out yang biasa dipakai dalam amper rendah..........................72

Gambar 3.7. Pre-Heating Process .....................................................................72

Gambar 3.8. Hasil Pengujian Spectrometer ........................................................73

Gambar 3.9. Contoh Sampel ...............................................................................74

xviii
Universitas Pamulang
Gambar 3.10. Mesin Poles ....................................................................................75

Gambar 3.11. Perbandingan antara permukaan halus dan kasar, permukaan

kasar (kiri), permukaan halus (kanan) ............................................75

Gambar 3.12. Sampel yang telah di etsa ...............................................................76

Gambar 3.13. Oven ...............................................................................................76

Gambar 4.1. Hasil Foto Struktur Mikro ..............................................................86

xix
Universitas Pamulang
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sertifikat Welder............................................................................... 101


Lampiran 2 Liquid Penetrant Testing Report ...................................................... 102
Lampiran 3 Composition Test (Spectrometer) Report......................................... 106

xx
Universitas Pamulang
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menghadapi persaingan bisnis yang semakin lama semakin meningkat,
perusahaan dituntut untuk mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan
mampu diterima pasar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Pentingnya sebuah
kualitas, khususnya bagi perusahaan yang menghasilkan produk, menjadi
salah satu penentu keberhasilan perusahaan dalam mempercepat laju
perkembangan bisnisnya.

Manajemen kualitas yang baik adalah mengintegrasikan perhatian pada


kualitas produk, fokus pada konsumen, dan orientasi pada karyawan dengan
menyediakan pendekatan integral dengan isu-isu organisasi
(Damayanti,2005). Berdasarkan persepsi tersebut, maka manajemen kualitas
dapat diartikan sebagai cara perusahaan untuk meningkatkan kualitas produk
demi memenuhi kebutuhan konsumen dengan melibatkan karyawan sebagai
partner terbaik.

PT. X merupakan salah satu perusahaan penyedia layanan jasa service


yang meliputi jasa pemeliharaan roll, roll grinding, roll balancing hingga test
run roll rekondisi, welding dan layanan jasa dengan technology terkini.
Sebagai sebuah perusahaan manufaktur yang telah bersertifikasi ISO 9001,
ISO 14001, dan Sistem Manajemen K3, semua prosedur produksi sudah
mempunyai struktur yang jelas, dan sudah dilaksanakan dalam proses
produksi sehari-hari demi menjamin mutu dan kualitas dari produk yang
dihasilkan. Berkomitmen dalam memberikan layanan terbaik, PT. X
mengedepankan kombinasi kualitas roll atau bagian dari mesin yang sudah
diservice untuk mencapai kepuasan konsumen.

Salah satu proses produksi yang memegang peranan penting adalah proses
twin roll assembly, yaitu proses perangkaian raw ring material kedalam inner

1
Universitas Pamulang
2

shell menjadi satu roll utuh. Proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati,
untuk mencegah adanya reject (produk gagal) dan harus dipastikan seluruh
produk sudah baik kualitasnya saat proses QC (Quality Control). Proses ini
dilakukan dengan sangat hati-hati, untuk mencegah adanya reject (produk
gagal) dan memastikan seluruh produk sudah baik kualitasnya. Bila terdapat
defect pada proses twin roll assembly, maka produk harus dikembalikan pada
proses dimana cacatnya terjadi, dan dilakukan perbaikan. Jika cacat yang
terjadi masih bisa diperbaiki, maka akan dilakukan perbaikan (repair). Repair
akan dilaksanakan secepat mungkin setelah diketahui adanya defect pada
produk. Namun jika sudah diluar dari kriteria perbaikan yang ada, maka
produk tersebut harus dibuang dan tidak boleh digunakan.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya repair ini sudah dirasakan terus
menerus di PT. X, seperti adanya peningkatan biaya produksi mulai dari
penambahan biaya listrik dan overhead pabrik, biaya lembur karyawan karena
harus bekerja melebihi jam kerja, sehingga penambahan biaya bahan baku
yang harus dikeluarkan akibat penggunaan alat yang melebihi jam kerja.
Keadaan yang seperti ini tidak sehat bagi perusahaan apabila tidak ditindak
lanjuti segera. Perusahaan harus menemukan cara dan metode yang mampu
memperbaiki proses pekerjaan tersebut, sehingga dapat mengurangi biaya
yang akan dikeluarkan oleh perusahaan.

Baja tahan karat (stainless steel) adalah baja paduan tinggi, maka jelas
bahwa kualitas sambungan lasnya sangat dipengaruhi dan menjadi getas oleh
panas. Jika kita menginginkan kualitas hasil pengelasan yang lebih baik maka
perlu diperhatikan mengenai perlakuan panas sebelum dilakukan pengelasan.
Berdasakan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian tehadap
pengaruh preheating process tehadap hasil pengelasan baja tahan karat, agar
diketahui variabel preheating temperature yang paling tepat untuk
mendapatkan hasil las yang baik.

Baja tahan karat mempunyai sifat yang berbeda dengan baja karbon
maupun baja paduan rendah, hal mana sangat mempengaruhi sifat mampu

Universitas Pamulang
3

lasnya. Paduan utama dari baja tahan karat adalah chrome (Cr) dan nikel (Ni)
dengan sedikit unsur tambahan lain seperti molibdenum (Mo), tembaga (Cu)
dan mangan (Mn). Bedasarkan kenyataan tersebut maka perlu diadakan
penelitian tentang kualitas hasil pengelasan dengan perlakuan preheating
sebelum proses pengelasan dan pendinginan pada suhu ruangan. Oleh
karenanya dengan adanya perumusan ini saya mencoba memberikan terobosan
baru yaitu berupa “ANALISIS FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA
PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY DI PT. X”.

1.2 Rumusan Masalah


Perumusan masalah yang peneliti ajukan adalah:

1. Bagaimana cara mengetahui cacat pengelasan pada twin roll assembly di


PT. X?
2. Apa faktor penyebab terjadinya repair pada proses twin roll assembly di
PT X?
3. Bagaimana pengaruh penerapan preheating terhadap hasil pengelasan pada
proses twin roll assembly?

1.3 Batasan Masalah


Agar penelitian ini tidak menyimpang dari permasalahan yang diteliti,
maka akan dibatasi permasalahanya pada:

1. Dilakukan pemberian panas awal (preheat) tanpa cleaning, dan preheat


dengan kegiatan pemberisahan sebelumnya, dimana didalam prosesnya
memiliki beberapa variable preheat temperature sebesar 100˚C, 150˚C,
dan 200˚C yang kemudian dilanjutkan dengan pengelasan jenis Metal
Inert Gas (MIG).
2. Sifat fisis yang dibatasi pada pengujian menggunakan Non-Destructive
Test (NDT) dengan metode dye-penetrant.
3. Pengujian perubahan komposisi material menggunakan Spectrometer.
4. Perbandingan pemuaian sampel uji baik yang menerima perlakuan preheat
maupun non-preheat pada pengujian mikrostruktur menggunakan
Trinocular Inverted Metallurgical Microscope .

Universitas Pamulang
4

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian Analisis Faktor Penyebab Repair Pada Proses Twin Roll
Assembly di PT. X antara lain :

1. Mengetahui cara mendeteksi cacat pengelasan pada twin roll assembly di


PT. X.
2. Mengetahui faktor penyebab terjadinya repair pada proses twin roll
assembly di PT X.
3. Mengetahui pengaruh penerapan preheating terhadap hasil pengelasan
pada proses twin roll assembly dengan variasi preheating temperature.

1.5 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan referensi yang bermanfaat bagi
perusahaan yaitu PT. X dalam perkembangan dan perbaikan perusahaan
kedepannya. Hasil penelitian ini akan mengacu kepada faktor penyebab
repair dalam proses twin roll assembly dan solusi yang dapat ditawarkan
kepada perusahaan dari repair yang terjadi. Diharapkan hasil penelitian
ini akan membawa masukan yang baik bagi perbaikan kualitas dalam
perusahaan guna meningkatkan kualitas dan mutu produk menjadi lebih
baik.

2. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti dalam
menambah wawasan mengenai perusahaan manufaktur, mengetahui
lingkup bisnis di perusahaan manufaktur, dan menambah kemampuan
menulis ilmiah. Dari hasil penelitian ini juga diharapkan pembaca dapat
terus mengembangkan pengetahuannya mengenai bidang terkait.

Universitas Pamulang
5

1.6 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada hasil pengelasan di proses twin roll assembly
yang menggunakan bahan utama stainless steel 316 dengan metode pengujian
komposisi kimia dengan spectrometer, foto struktur mikro, dan uji tidak
merusak dye-penetrant.

1.7 Sistematika Penulisan


Adapun penulisan penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Membahas mengenai latar belakang masalah, maksud dan tujuan penulisan


tugas akhir, perumusan masalah, metodologi pengumpulan data, dan
sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memberikan penjelasan mengenai kajian empiris, penjelasan


mengenai twin roll press, twin roll assembly, pengelasan, proses penetrant
test, jenis-jenis cacat pengelasan,dan lainnya.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menunjukan diagram alir pengujian pada proses “ANALISIS


FAKTOR PENYEBAB REPAIR PADA PROSES TWIN ROLL ASSEMBLY
DI PT. X”.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Mengumpulkan hasil pengujian serta proses menganalisa data dari hasil


pengujian sesuai dengan metode penelitian pada bab sebelumnya.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan, saran dan penutup dari skripsi ini.

Universitas Pamulang
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Twin Roll Press (TRP) [PT. Valmet Technology Center,2010]
Twin Roll Press (TRP) merupakan salah satu dari bagian mesin kertas yang
berfungsi untuk otomatisasi pencucian dan pencabutan filtrat dan pulp
concentrates. Alat ini cocok untuk mengekstrasi black liquor dan konsentrasi dari
pulp, seperti non-wood pulp, bamboo pulp, bagasse pulp, wood pulp, and waste
paper pulp. Twin Roll Press (TRP) terdiri dari pers gulungan, sekrup pembawa,
paking pengikis, filtrat penerima dan lain sebagainya. Twin Roll Press (TRP)
digunakan untuk pencucian coarse pulp dan pengekstrasian black liquor.

Gambar 2.1. Twin Roll Press (TRP)

Twin Roll Press (TRP) ini bisa juga digunakan untuk pencucian atau
pengkonsentrasi pulp setelah proses pemutihan. Twin Roll Press (TRP) ini cocok
untuk mengolah chemical pulping, chemical pulp dan limbah paper pulp dalam
jumlah produksi besar.

6
Universitas Pamulang
7

Tabel 2.1. Parameter Teknik Twin Roll Press (TRP)

(Sumber : PT. Valmet Technology Center,2010)

Prinsip kerja mesin Twin Roll Press (TRP) adalah peralatan konsentrat cuci yang
efisien untuk pengeringan dan pencucian pulp secara berkelanjutan berdasarkan
prinsip replacement press. Umumnya, pengisian konsentrasi pulp dalam tangki
adalah 3% -5% (kadang-kadang hingga 10%), dengan pompa hingga tekanan 0,02-
0,06Mpa ke dalam tangki, konsentrasi dan aliran pulp dapat dikontrol secara
otomatis. Pulp dibuang di sepanjang permukaan Twin Roll Press (TRP) untuk
membentuk filter pulp, yang melewati area antara Twin Roll Press (TRP) dan diperas
sampai kering. Keringnya pulp dipengaruhi oleh tekanan Twin Roll Press (TRP),
ukuran Twin Roll Press (TRP), dan kecepatan Twin Roll Press (TRP). Pulp melewati
zona ekstrusi dari Twin Roll Press (TRP) yang dikikis oleh scraper dan dibawa oleh
konveyor. Selanjutnya, pulp dihancurkan menjadi butiran kasar dan dipindahkan ke
outlet spiral, dan kemudian pulp dipindahkan ke saluran peluncuran atau dibawa oleh
konveyor menuju bagian selanjutnya.

Universitas Pamulang
8

1. Twin Roll Assembly [PT. Valmet Technology Center,2011]


Twin roll assembly merupakan suatu proses perakitan atau perangkaian
bagian-bagian dari twin roll menjadi satu kesatuan utuh. Dimana dalam
prosesnya terdapat berbagai macam kegiatan seperti pengecekan visual,
perangkaian, pengelasan, sand blasting, Non-Destructive Test (NDT) dengan
metode dye-Penetrant, bubut, dan lain sebagainya.

2. Continous Improvement
Continuous improvement adalah sebuah usaha yang dilakukan terus-
menerus untuk meningkatkan atau memperbaiki produk, jasa maupun proses-
proses yang ada pada perusahaan dan lebih terarah pada customer service,
process improvement, higher product quality dan long term strategies
(Summer,2006). Continouos improvement dapat membantu perusahaan dalam
menangani permasalahan yang ada, menemukan solusi dan
mengimplementasikan solusi secara berkesinambungan demi mendapatkan
perubahan lebih baik dari waktu ke waktu.

2.2 Sand Blasting

Gambar 2.2. Ruang Proses Sand Blasting


Sand blasting adalah suatu proses pembersihan permukaan dengan cara
menembakan partikel (pasir) ke suatu permukaan material sehingga menimbulkan
gesekan/tumbukan dengan tujuan untuk menghilangkan material-material

Universitas Pamulang
9

kontaminasi seperti karat, cat, garam, oli dan lain-lain. Selain itu juga bertujuan
untuk membuat profile (kekasaran) pada permukaan metal sehingga cat lebih
melekat. Tingkat kekasarannya dapat disesuaikan dengan ukuran pasirnya serta
tekanannya. Blasting dapat dikategorikan sebagai surface treatment yang banyak
diaplikasikan pada dunia keteknikan seperti pada pembuatan kapal, tangki,
maintenance system perpipaan, maintenance peralatan/mesin-mesin fluida dan
lain-lain (Batis, Koulombi, and Soulis ,1998)

Steel Grit Aluminium Zircon Steel Grit

GH 40 GH 20 GH 14

Gambar 2.3. Jenis-jenis material Sand Blasting


Material yang digunakan untuk melakukan sand blasting terdapat banyak
macamnya, seperti aluminium zircon, steel grit, silica, dan granite. Untuk ukuran
dari partikel material yang digunakan adalah antara GH10 hingga GH40.
Semakin besar angka, hal ini menandakan semakin kecil partikelnya.
PT.X menggunakan metode sand blasting untuk proses pembersihan
sekaligus pembuatan profile pada permukaan twin roll untuk menunjang proses
pengelasan. Material utama dari twin roll adalah SS316, sehingga pada proses ini
menggunakan material blasting berbahan aluminium zircon dengan ukuran
GH20, serta blasting pressure sebesar 6-7 bar guna mendapatkan profile yang
diharapkan.

Universitas Pamulang
10

2.3 Pengelasan
Pengelasan yang dalam bahasa Inggrisnya welding, dalam buku The Welding
Institute (2010) diartikan sebagai “an operator in which two or more parts are
united by means of heat or pressure or both, in such a way that there is continuity
in the nature of the metal between these parts”. Dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai kegiatan menggabungkan lebih dari dua bagian dengan adanya
sumber panas dan tekanan melibatkan logam diantara kedua bagiannya. Proses
pengelasan digunakan untuk menyatukan beberapa bagian produk hingga
melapisi produk dengan material anti karat (Twi Sea,2010).

Las menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), "adalah penyambungan


besi dengan cara membakar”. Dalam referensi-referensi teknis, terdapat beberapa
definisi dari Las, yakni sebagai berikut:

Berdasarkan defenisi dari Deutsche Industrie Normen (DIN) dalam Harsono


dkk (1991:1), mendefinisikan bahwa "las adalah ikatan metalurgi pada
sambungan logam paduan yang dilakukan dalam keadaan lumer atau cair ".
Sedangkan menurut Maman Suratman (2001:1) mengatakan tentang pengertian
mengelas yaitu salah satu cara menyambung dua bagian logam secara permanen
dengan menggunakan tenaga panas. Sedangkan menurut Sriwidartho, Las adalah
suatu cara untuk menyambung benda padat dengan dengan jalan mencairkannya
melalui pemanasan. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kerja las adalah menyambung dua bagian logam atau lebih dengan
menggunakan energi panas.

Proses pengelasan dapat dibedakan berdasarkan posisi mengelasnya, metode


mengelasnya, hingga rotasi mengelasnya. Berdasarkan klasifikasinya pengelasan
dapat dibagi dalam tiga kelas utama yaitu : pengelasan cair, pengelasan tekan dan
pematrian.

Universitas Pamulang
11

1. Pengelasan cair adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan


sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau sumber api gas
yang terbakar.
2. Pengelasan tekan adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan dan
kemudian ditekan hingga menjadi satu.
3. Pematrian adalah cara pengelasan dimana sambungan diikat dan disatukan
dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah.
Dalam hal ini logam induk tidak turut mencair.

Ditinjau berdasarkan proses dan jenisnya maka pengelasan dapat dibedakan


sebagai berikut:

1. Berdasarkan Panas Listrik

a. Shield Metal Arch Welding (SMAW)

Shield Metal Arch Welding (SMAW) adalah las busur nyala api listrik
terlindung dengan mempergunakan busur nyala listrik sebagai sumber
panas pencair logam. Jenis ini paling banyak dipakai dimana–mana untuk
hampir semua keperluan pekerjaan pengelasaan. Tegangan yang dipakai
hanya 23 sampai dengan 45 Volt AC atau DC, sedangkan untuk pencairan
pengelasan dibutuhkan arus hingga 500 Ampere. Namun secara umum
yang dipakai berkisar 80 – 200 Ampere.

b. Submerged Arch Welding (SAW)

Submerged Arch Welding (SAW) adalah las busur terbenam atau


pengelasan dengan busur nyala api listrik. Untuk mecegah oksidasi cairan
metal induk dan material tambahan, dipergunakan butiran–butiran fluks /
slag sehingga busur nyala terpendam di dalam ukuran–ukuran fluks
tersebut.

Universitas Pamulang
12

c. Electro Slag Welding (ESW)

Electro Slag Welding (ESW) adalah pengelasan busur terhenti,


pengelasan sejenis SAW namun bedanya pada jenis ESW busurnya nyala
mencairkan fluks, busur terhenti dan proses pencairan fluks berjalan terus
dan menjadi bahan pengantar arus listrik (konduktif). Sehingga elektroda
terhubung dengan benda yang dilas melalui konduktor tersebut. Panas
yang dihasilkan dari tahanan terhadap arus listrik melalui cairan fluks/slag
cukup tinggi untuk mencairkan bahan tambahan las dan bahan induk yang
dilas temperaturnya mencapai 3500° F atau setara dengan 1925° C.

d. Stud Welding (SW)

Stud Welding (SW) adalah las baut pondasi, gunanya untuk


menyambung bagian satu konstruksi baja dengan bagian yang terdapat di
dalam beton (baut angker) atau “Shear Connector “.

e. Electric Resistant Welding (ERW)

Electric Resistant Welding (ERW) adalah las tahanan listrik yaitu


dengan tahanan yang besar panas yang dihasilkan oleh aliran listrik
menjadi semakin tinggi sehingga mencairkan logam yang akan dilas.
Contohnya adalah pada pembuatan pipa ERW, pengelasan plat–plat
dinding pesawat, atau pada pagar kawat.

f. Electron Beam Welding (EWB)

Electron Beam Welding (EWB) adalah las dengan proses pemboman


elektron, suatu pengelasan yang pencairannya disebabkan oleh panas yang
dihasilkan dari suatu berkas loncatan elektron yang dimampatkan dan
diarahkan pada benda yang akan dilas. Pengelasan ini dilaksanakan di
dalam ruang hampa, sehingga menghapus kemungkinan terjadinya
oksidasi atau kontaminasi.

Universitas Pamulang
13

2. Berdasarkan Panas Listrik dan Gas


a. GMAW (Gas Metal Arch Welding)

GMAW (Gas Metal Arch Welding) terdiri dari ; MIG (Metal Active
Gas) dan MAG (Metal Inert Gas) adalah pengelasan dengan gas nyala
yang dihasilkan berasal dari busur nyala listrik, yang dipakai sebagai
pencair metal yang dilas dan metal penambah. Sebagai pelindung oksidasi
dipakai gas pelindung yang berupa gas kekal (inert) atau CO2. MIG
digunakan untuk mengelas besi atau baja, sedangkan gas pelindungnya
adalah mengunakan Karbon dioxida CO2. TIG digunakan untuk mengelas
logam non besi dan gas pelindungnya menggunakan Helium (He) dan/atau
Argon (Ar).

b. GTAW (Gas Tungsten Arch Welding) atau TIG (Tungsten Inert Gas)

GTAW (Gas Tungsten Arch Welding) atau TIG (Tungsten Inert Gas)
adalah pengelasn dengan memakai busur nyala dengan tungsten/elektroda
yang terbuat dari wolfram, sedangkan bahan penambahnya digunakan
bahan yang sama atau sejenis dengan material induknya. Untuk mencegah
oksidasi, dipakai gas kekal (inert) 99 % Argon (Ar) murni.

c. FCAW (Flux Cored Arch Welding)

FCAW (Flux Cored Arch Welding) pada hakikatnya hampir sama


dengan proses pengelasan GMAW. Gas pelindungnya juga sama-sama
menggunakan carbon dioxide (CO2). Biasanya, pada mesin las FCAW
ditambah robot yang bertugas untuk menjalankan pengelasan biasa disebut
dengan super anemo.

d. PAW (Plasma Arch Welding)

PAW (Plasma Arch Welding) adalah las listrik dengan plasma yang
sejenis dengan GTAW hanya pada proses ini gas pelindung menggunakan

Universitas Pamulang
14

bahan campuran antara Argon (Ar), Nitrogen (N) dan Hidrogen (H) yang
lazim disebut dengan plasma. Plasma adalah gas yang luminous dengan
derajat pengantar arus dan kapasitas termis/panas yang tinggi dapat
menampung suhu diatas 5000° C.

3. Berdasarkan Panas yang Dihasilkan Campuran Gas


a. OAW (Oxigen Acetylene Welding)
OAW (Oxigen Acetylene Welding) adalah sejenis dengan las karbid/las
otogen. Panas yang didapat dari hasil pembakaran gas acetylene (C2H2)
dengan zat asam atau Oksigen (O2). Ada juga yang sejenis las ini dan
memakai gas propane (C3H8) sebagai ganti acetylene. Ada pula yang
memakai bahan pemanas yang terdiri dari campuran gas hidrogen (H) dan
zat asam (O2) yang disebut OHW (Oxy Hidrogen Welding).

4. Berdasarkan Ledakan dan Reaksi Isotermis


a. EXW (Explosion Welding)
EXW (Explosion Welding) adalah las yang sumber panasnya
didapatkan dengan meledakkan amunisi yang dipasang pada suatu cetakan
pada bagian tersebut dan mengisi cetakan yang tersedia. Cara ini sangat
praktis untuk menyambung kawat baja, slenk. Cara pelaksanaannya adalah
ujung-ujung tambang kawat dimasukkan ke dalam mold yang telah terisi
amunisi selanjutnya serbuk ledak tersebut dinyalakan dengan pemantik
api, maka terjadilah reaksi kimia eksotermis yang sangat cepat sehingga
menghasilkan suhu yang sangat tinggi dan mengakibatkan adanya
ledakan. Ledakan tersebut mencairkan kedua ujung kawat baja yang
terdapat didalam mold tersebut, sehingga cairan metal terpadu dan mengisi
ruangan yang tersedia didalam mold.

Universitas Pamulang
15

b. Las Karbit
Las Karbit adalah proses penyambungan logam dengan logam
(pengelasan) yang menggunakan gas karbit (gas acetylene = C2H2)
sebagai bahan bakar. Prosesnya adalah membakar bahan bakar yang telah
dibakar gas dengan oxygen sehingga menimbulkan nyala api dengan suhu
yang dapat mencairkan logam induk dan logam pengisi.

1. Las Metal Inert Gas (MIG)


Las MIG merupakan proses penyambungan dua material logam atau lebih
menjadi satu melalui proses pencairan setempat dengan menggunakan
elektroda gulungan (filler) berupa kawat yang sama dengan logam dasar yang
disambung (base metal) dan menggunakan gas pelindung (inert gas) (Tim
Fakultas Teknik UNY, 2010).

Gambar 2.4. Proses Pengelasan Las MIG (Budiarsa, 2008)


Pada dasarnya mesin las MIG merupakan bagian dari Submerged Arc
Welding (SAW) yang prinsip kerjanya menggunakan arus listrik baik bolak-
balik (alternating current) maupun searah (direct current). Umumnya las
MIG menggunakan arus listrik bolak balik yang berasal dari arus (AC) yang
kemudian diubah menjadi arus searah (DC).

Universitas Pamulang
16

Mesin las MIG merupakan mesin las DC, umumnya berkemampuan


sampai 250 ampere. Dilengkapi dengan sistem kontrol, penggulung kawat gas
pelindung, sistem pendingin dan rangkaian lain. Sumber tenaga untuk Las
MIG (metal inert gas) merupakan mesin las bertegangan konstan. Tenaga
yang dikeluarkan dapat berubah-ubah sendiri sesuai dengan panjang busur.
Panjang busur adalah jarak antara ujung elektroda ke benda kerja. Panjang
busur ini bisa diatur. Bila busur berubah menjadi lebih pendek dari setelan
semula, maka arus bertambah dan kecepatan kawat berkurang. Sehingga
panjang busur kembali semula. Sebaliknya bila busur berubah menjadi lebih
panjang, arus berkurang, kecepatan kawat elektroda bertambah. Dengan
sistem otomatis seperti ini, yaitu mesin yang mengatur sendiri, maka panjang
busur akan konstan dan hasil pengelasan akan tetap baik (Constant Voltage).

2. Posisi Pengelasan
Menurut Harsono,dkk (1991) terdapat 4 macam posisi pengelasan yaitu:
1. Posisi dibawah tangan
Posisi pengelasan dibawah adalah posisi pengelasan yang paling
mudah melakukannya. Oleh sebab itu untuk menyelasaikan setiap
pekerjaan pengelasan sedapat mungkin diusahakan pada posisi dibawah
tangan. Kemiringan elektroda pada posisi ini adalah 10 – 20 derajat
terhadap garis vertical dan 70 – 80 derajat terhadap benda kerja.

2. Posisi mendatar/horizontal
Pada posisi horizontal kedudukan benda dibuat tegak dan arah
pengelasan mengikuti garis horizontal. Posisi elektroda kira-kira 5 – 10
derajat kebawah untuk menahan lelehan logam cair dan 20 derajat kearah
lintasan las (sudut jalan elektroda 70 derajat). Panjang busur nyala dibuat
lebih pendek jika dibandingkan dengan panjang busur nyala pada posisi
pengelasan dibawah tangan.

Universitas Pamulang
17

3. Posisi vertical
Pada pengelasan vertical, benda kerja dalam posisi tegak dan arah
pengelasan dapat dilakukan keatas (naik) atau kebawah (turun). Arah
pengelasan yang dilakukan tergantung kepada jenis elektroda yang
dipakai. Elektroda yang berbusur lemah dilakukan pengelasan keatas
sedangkan elektroda yang berbusur keras dilakukan pengelasan kebawah.
Dalam melakukan pengelasan dengan posisi vertical, cairan logam
cenderung mengalir kebawah. Kecenderungan penetesan dapat diperkecil
dengan memiringkan elektroda sebesar 10 – 15 derajat kebawah dan 70 –
85 derajat terhadap benda kerja. Sedangkan untuk pengelasan keatas
diperlukan pengayunan elektroda yang teliti dan tepat sehingga dapat
diperoleh hasil rigi – rigi yang baik dan arus pengelasan keatas lebih kecil
dari pada pengelasan kebawah.

4. Posisi diatas kepala


Posisi pengelasan diatas kepala, dilakukan apabila benda kerja berada
pada sudut 45 derajat terhadap garis vertical dan juru las berada
dibawahnya. Pengelasan posisi diatas kepala ini memiliki sudut jalan
elektorda berkisar antara 75 – 85 derajat tegak lurus terhadap kedua benda
kerja. Busur nyala dibuat sependek mungkin agar pengaliran cairan logam
dapat ditahan. Ada dua jenis ayunan elektroda pada pengelasan dengan
posisi diatas kepala. Pada umumnya ayunan elektroda hamper sama
dengan ayunan elektroda pada posisi vertical. Pengelasan diatas kepala ini
sangat sukar dan berbahaya, sebab percikan logam banyak yang jatuh.

3. Elektroda MIG
Elektroda atau kawat las adalah suatu benda yang dipergunakan untuk
melakukan pengelasan listrik yang berfungsi sebagai pembakar yang akan
menimbulkan busur nyala.

Universitas Pamulang
18

Penggolongan elektroda diatur berdasarkan standar system American


Welding Society (AWS) dan American Society Testing Material (ASTM).
Elektroda jenis ER316Si dapat dipakai dalam semua posisi pengelasan dengan
arus las AC maupun DC. Rigi-rigi yang dihasilkan akan sangat halus maka
terak yang ada akan mudah untuk di bersihkan dan busurnya dapat di
kendalikan dengan mudah. Elektroda dengan kode ER316Si untuk setiap
huruf dan setiap angka mempunyai arti masing-masing yaitu:
a. ER = Elektroda atau welding rod
b. 316= Menyatakan nilai tegangan tarik minimum hasil pengelasan
dikalikan dengan 1000 Psi. (Material Kawat las)
c. S = Solid atau Rod
d. I = Komposisi kimia

Gambar 2.5. Kawat Las AWS ER316LSI (Kanan), Simulasi pemasangan kawat las
pada mesin las KEMPPI FastMig MXF 67 (Kiri)
Elemen tambahan yang digunakan dalam elektroda aluminium adalah
magnesium, mangan, seng, silikon dan tembaga. Alasan utama menambahkan
elemen tersebut adalah untuk meningkatkan kekuatan dan logam aluminium
murni. Selain itu ketahanan korosi dan weldability juga merupakan alasan
penambahan elemen tersebut. Elektroda yang paling sering digunakan adalah
elektroda yang mengandung magnesium 5356 dan mengandung silikon 4043.
Elektroda aluminium menggunakan standar penomoran menurut AWS A5.3.
Dengan material dasar stainless steel 316 (SS316) maka digunakan lah
kawat las dengan AWS ER316LSI.

Universitas Pamulang
19

4. Daerah Pengaruh Panas


Tiga daerah hasil pengelasan yang akan kita temui bila kita melakukan
pengelasan daerah yang pertama yaitu logam las adalah daerah dimana terjadi
pencairan logam dan dengan cepat kemudian membeku. Daerah yang kedua
yaitu daerah logam induk yang mengalami perubahan struktur atau susunan
dari logam akibat panas dari tindakan pengelasan. Daerah yang kedua ini
sering disebut dengan Heat Affected Zone (HAZ). Daerah yang ke tiga adalah
daerah logam itu sendiri yang tidak mengalami perubahan struktur. Daerah
Heat Affected Zone (HAZ) merupakan daerah paling kritis dari sambungan
las, karena selain berubah strukturnya juga terjadi perubahan sifat pada daerah
ini. Secara umum struktur dan sifat daerah panas efektif di pengaruhi dari
lamanya pendinginan dan komposisi dari logam induk itu sendiri.

Gambar 2.6. Daerah las dan sekitarnya (Budiarsa,2008)

5. Kampuh V
Sambungan kampuh V dipergunakan untuk menyambung logam atau plat
dengan ketebalan 6-15 mm. Sambungan ini terdiri dari sambungan kampuh V
terbuka dan sambungan kampuh V tertutup. Sambungan kampuh V terbuka
dipergunakan untuk menyambung plat dengan ketebalan 6-15 mm dengan
sudut kampuh antara 600-800, jarak akar 2 mm, tinggi akar 1-2 mm (Sonawan
dan Suratman, 2004).

Universitas Pamulang
20

Gambar 2.7. Kampuh V (Sonawan dan Suratman ,2004)

6. Preheating (Pemanasan Mula)


Pemanasan mula adalah memanaskan sebagian atau seluruh logam yang
akan dilas untuk mengurangi perbedaan suhu (gradient temperature) yang
terjadi antara daerah pengelasan dan daerah lain benda kerja (Alip, 1989)
Pemanasan mula dapat dilakukan dengan nyala api oxy-gas, dapur tempa,
dan oven. Menyinggung masalah kegunaan preheating terhadap lasan tentu
tidak akan melebihi peruntukannya antara lain:
1. Mencegah terjadinya retak dingin.
2. Menurunkan kekerasan pada Heat Affected Zone (HAZ).
3. Menurunkan residual stress.
4. Menurunkan distorsi.
5. Membuka rongga pori-pori material induk.
6. Menghilangkan sisa oli ataupun chemical pada material induk.

2.4 Imperfection Weld


Dalam pengelasan dikenal juga istilah imperfection, yaitu ketika ada
penyimpangan dari kriteria pengelasan ideal. Hal ini disebut juga dengan istilah
cacat las. Menurut BS EN ISO 6520-1, cacat las dibedakan menjadi enam
kelompok, yaitu:

a. Crack (retakan), crack adalah adanya retakan yang ditemukan dalam area
pengelasan (weld pool), biasanya disebabkan oleh adanya perpecahan
material ketika proses pengelasan.
b. Cavities (rongga), cavities adalah rongga yang terbentuk di dalam weld pool,
dapat berupa gas yang terperangkap dalam weld pool yang dikenal dengan
istilah gas cavities (gas yang terperangkap dalam pipa).

Universitas Pamulang
21

c. Solid Inclusions, merupakan keadaan dimana adanya benda padat yang


terperangkap dalam material pengelasan.
d. Lack of fusion and penetration, adalah keadaan dimana kurangnya penyatuan
antara logam yang dilas dengan induk yang dilas.
e. Imperfect shapes and dimensions, merupakan jenis cacat las dimana
ditemukan adanya lekukan yang tidak sesuai berdasarkan karakteristik
kedalaman pengelasan, panjang weld pool dan ketajaman pengelasan.
f. Miscellaneous imperfections, merupakan jenis cacat las yang tidak termasuk
dalam kelima kategori diatas, seperti adanya pola tertentu dalam pipa.

Semua jenis cacat las pada umumnya disebabkan kurangnya pengetahuan dari
welder/juru las terhadap teknik-teknik pengelasan termasuk pemilihan parameter
las. Oleh karena itu dari mulai pengelasan sampai akhir pengelasan harus selalu
diadakan pemeriksaan dengan cara-cara yang telah ditentukan, misalnya secara
visual, dye -Penetrant, radiography, ultrasonic atau dengan cara-cara lain.

Cacat las/weld defect adalah suatu keadaan yang mengakibatkan turunnya


kualitas dari hasil pengelasan. Kualitas hasil las yang dimaksud adalah berupa
turunnya kekuatan dibandingkan kekuatan bahan dasar base metal atau tidak
baiknya performa/tampilan dari suatu hasil las atau dapat juga berupa terlalu
tingginya kekuatan hasil las sehingga tidak sesuai dengan tuntutan kekuatan suatu
konstruksi.

Terjadinya cacat las ini akan mengakibatkan banyak hal yang tidak diinginkan
dan mengarah pada turunnya tingkat keselamatan kerja, baik keselamatan alat,
operator, lingkungan dan perusahaan. Di samping itu juga secara ekonomi akan
mengakibatkan melonjaknya biaya produksi dan pada gilirannya perusahaan
tersebut mengalami kerugian atau penurunan laba.

Sedangkan definisi pengelasan sendiri adalah proses penyambungan antara


dua logam/baja atau lebih dengan menggunakan energi panas sebagai media nya.

Universitas Pamulang
22

Karena proses ini maka logam disekitar las mengalami siklus termal cepat yang
menyebabkan terjadinya deformasi. Hal ini sangat erat hubungannya dengan
terjadinya cacat las yang mempunyai pengaruh fatal terhadap keamanan kontruksi
material yang di-las terutama pada bagian Face Length dari Twin Roll Press.
Cacat las pada umumnya dapat dikategorikan seperti:
a. Rounded indication atau cacat bulat
b. Linear indication atau cacat memanjang

Rounded indication atau cacat bulat adalah merupakan cacat las yang
diperbolehkan apabila dimensi/ukuran panjang kumpulan cacat masih berada
pada cacat maksimum sesuai kriteria penerimaan yang dipakai, misal: liang-liang
renik (porosity) linear indication atau cacat memanjang adalah cacat yang tidak
diperbolehkan sama sekali (retak, penembusan kurang, peleburan kurang).

1. Macam-macam Cacat Las


Pengelasan adalah proses penyambungan antara dua logam atau lebih
dengan menggunakan energi panas sebagai medianya. Karena proses ini maka
logam disekitar lasan mengalami siklus termal cepat yang menyebabkan
terjadinya deformasi (Twi Sea,2010). Hal ini erat sekali hubunganya dengan
terjadinya cacat las yang secara umum mempunyai pengaruh yang fatal
terhadap keamanan kontruksi material yang dilas.
1. Retak Las
Cacat las yang sering sekali terjadi pada saat proses pengelasan adalah
retak las yang dapat dibagi menjadi dua kategori yakni: retak dingin dan
retak panas.

a. Retak Dingin
Retak dingin adalah retak yang terjadi pada daerah las pada suhu
kurang lebih 300˚ C. Sedangkan retak panas adalah retak yang terjadi
pada suhu diatas 500˚ C. Retak dingin tidak hanya terjadi pada daerah
HAZ (Heat Affected Zone) atau sering disebut dengan daerah pergaruh

Universitas Pamulang
23

panas tetapi biasanya terjadi pada logam las. Retak dingin ini dapat
terjadi pada daerah panas yang sering terjadi. Dan retakan ini dapat
dilihat dibawah manik Ias, retak akar dan kaki, serta retak melintang

Gambar 2.8. Retak Dingin (Cold Cracking) (Twi Sea, 2010)


Retak dingin didaerah HAZ ini biasanya terjadi antara beberapa
menit sampai 48 jam sesudah pengelasan. Retak dingin ini disebabkan
oleh:
- Struktur daerah pangaruh Panas.
- Hidrogen difusi didaerah las.
- Tegangan.

b. Retak Panas
Sedangkan retak panas dibagi menjadi dua kelas yaitu retak karena
pembebasan tegangan pada daerah pengaruh panas yang terjadi pada
suhu 500oC - 700oC dan retak yang terjadi pada suhu diatas 900oC yang
terjadi pada peristiwa pembekuan logam las. Retak panas sering teriadi
pada logam las karena pembekuan, biasanya berbentuk kawah dan retak
memanjang. Retak panas ini terjadi karena pembebasan tegangan pada
daerah kaki didalam daerah pengaruh panas.
Retak ini biasanya terjadi pada waktu logam mendingin setelah
pembekuan dan terjadi karena adanya tegangan yang timbul, yang
disebabkan oleh penyusutan dan sifat bajayang ketangguhannya turun

Universitas Pamulang
24

pada suhu dibawah suhu pembekuan. Keretakkan las yang lain adalah
retak sepanjang rigi-rigi lasan retak disamping las dan retak memanjang
diluar rigi-rigi lasan. Akan tetapi penyebab umum pada semua jenis
keretakan las ini adalah:
a. Pilihan jenis elektroda yang salah atau tidak tepat.
b. Benda kerja terbuat dari baja karbon tinggi.
c. Pendinginan setelah pengelasan yang terlalu cepat.
d. Benda kerja yang dilas terlalu kaku.
e. Penyebaran panas pada bagian-bagian yang di las tidak seimbang

Gambar 2.9. Contoh cacat retak panas

2. Penembusan Kurang Baik

Selain retak cacat las yang juga sering terjadi adalah penembusan las
yang kurang dan jelek. Jika penembusan pengelasan kurang maka akibat
yang timbul pada konstruksi adalah kekuatan konstruksi yang kurang
kokoh karena penembusan yang kurang. Karena kurang penembusan inilah
maka penyambungan tidak sempurna.
Penyebab dari penembusan yang kurang ini antara lain:
a. Kecepatan pengelasan yang terlalu tinggi.
b. Arus terlalu rendah.

Universitas Pamulang
25

c. Diameter elektroda yang terlalu besar atau terlalu kecil.


d. Benda kerja terlalu kotor.
e. Persiapan kampuh atau sudut kampuh tidak baik.
f. Busur las yang terlalu panjang.

(a) (b)
Gambar 2.10. (a) Penembusan Kurang Baik (b) Penembusan Baik

3. Pengerukan/Under cut
Cacat las yang lain adalah pengerukan atau yang sering disebut dengan
under cut pada benda kerja. Pengerukan ini terjadi pada benda kerja atau
konstruksi yang termakan oleh las sehingga benda kerja tadi berkurang
kekuatan konstruksi meskipun sebelumnya telah dilakukan pengelasan.

Gambar 2.11. Daerah Pengerukan / Under cut (Twi Sea, 2010)

Universitas Pamulang
26

Sebab-sebab pengerukan las antara lain:


a. Arus yang terlalu tinggi.
b. Kecepatan pengelasaan yang terlalu tinggi pula.
c. Busur nyala yang terlalu panjang.
d. Ukuran elektroda yang salah.
e. Posisi elektroda selama pengelasan tidak tepat.
f. Ayunan elektroda selama pengelasan tidak teratur.

4. Porositas
Keropos merupakan cacat las yang juga sering terjadi dalam
pengelasan. Keropos ini bila didiamkan, lama kelamaan akan menebar
yang diikuti dengan perkaratan atau korosi pada konstriksi sehingga
kontruksi menjadi rapuh karena korosi tadi. Cacat ini memang kelihatannya
sepele akan tetapi dampak yang ditimbulkan oleh cacat ini cukup
membahayakan juga.

Gambar 2.12. Cacat porositas


Penyebab keropos ini yakni:
a. Busur pendek.
b. Kecepatan mengelas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
c. Kurang waktu pengisian.

Universitas Pamulang
27

d. Terdapat kotoran-kotoran pada benda kerja.


e. Kesalahan memilih jenis elektroda.
f. Terciptanya gas hidrogen akibat panas las
g. Arus terlalu rendah

5. Bentuk Yang Tidak Sempurna


Jenis cacat ini memberikan geometri sambungan las yang tidak baik
(tidak sempurna) seperti: undercut, underfill, overlap, excessive
reinforcement dan lain-lain. Morfologi geometri dari cacat ini biasanya
bervariasi. Pengerukan ini terjadi pada benda kerja atau konstruksi yang
termakan oleh las sehingga benda kerja tadi berkurang kekuatan konstruksi
meskipun sebelumnya telah dilakukan pengelasan. Sebab-sebab
pengerukan las antara lain:
a. Ayunan elektroda selama pengelasan tidak teratur.
b. Kecepatan pengelasaan yang terlalu tinggi pula.
c. Busur nyala yang terlalu panjang.
d. Posisi elektroda selama pengelasan tidak tepat.
e. Ukuran elektroda yang salah.
f. Arus yang terlalu tinggi
g. sudut dari brander dan bahan tambah yang tidak benar.

6. Pengerutan Benda Kerja.


Pada dasarnya setiap logam bila dipanasi akan memuai dan mengkerut
bila di dinginkan. Bila salah satu permukaan las tipis dilas pada arah
memanjang, maka setelah dingin terjadilah pelengkungan atau melenting
atau deformasi.
Dan pada dua bilah plat tipis dilas (tanpa membuat pengikat lebih
dulu) maka kedua sisi kampuh yang masih bebas akan bergeser, bahkan
sampai kedua sisi tersebut dapat berimpit Penyebab pengerutan adalah:
a. Pengisian pengelasan kurang.

Universitas Pamulang
28

b. Pengkleman salah.
c. Pemanasan yang berlebihan.
d. Kesalahan persiapan kampuh.
e. Pemanasan tidak merata.
f. Penempatan bagian-bagian yang disambung kurang baik.
g. Salah urutan pengelasan.

Gambar 2.13. Pengerutan Benda Kerja las (Twi Sea,2010)

7. Incomplete Fusion
Incomplete Fusion adalah cacat antara bahan dasar dengan logam las
tidak dapat di tanggulangi dengan menambah kuat arus, ayunan las dapat
di tambah.

Gambar 2.14. Contoh cacat incomplete fusion


Penyebab terjadinya incomplete fusion adalah sebagai berikut:
a. Posisi pengelasan yang salah

Universitas Pamulang
29

b. Sudut elektrode yang salah


c. Panas yang diterima terlalu kecil
d. Welding gap terlalu kecil
e. Permukaan kampuh kotor
f. Kecepatan pengelasan terlalu tinggi

8. Over Spatter (percikan las yang terlalu banyak)


Over Spatter merupakan kondisi dimana sisa hari hasil pengelasan
berupa tetesan elektroda terlalu berlebihan sehingga banyak dari sisa
tersebut mengotori area dari pengelasan tersebut.
Penyebab over spatter adalah sebagai berikut:
a. Arus terlalu besar
b. Busur las terlalu jauh
c. Electrode menyerap uap

Gambar 2.15. Cacat over spatter

2. Cara penanggulangan cacat las


Cacat las yang timbul dapat di tanggulangi dengan beberapa cara,
tergantung dari jenis cacatnya. Berikut ini adalah metode atau cara
penanggulangan cacat las yang sesuai :

Universitas Pamulang
30

1. Penanggulangan Retak Las


Dalam menghindari terjadinya retakan las pada daerah panas, atau
usaha penaggulanganya supaya tidak terjadi retak pada las antara lain:
a. Menggunakan elektroda yang betul, dalam hal ini sedapat mungkin
menggunakan elektroda dengan fluks yang mempunyai kadar
hydrogen rendah.
b. Sebelum mengelas, pada daerah sekitar kampuh harus dibersihkan dari
air, karat, debu, minyak dan zat organik yang dapat menjadi sumber
hidrogen.
c. Mendinginkan perlahan-lahan setelah dilas.
d. Membebaskan kampuh dari kekakuan.
e. Mengadakan pemanasan pendahuluan sebelum memulai pengelasan,
dengan cara ini retak las dapat terhindarkan.

2. Penanggulangan Penembusan Las Yang Kurang Baik


Cara untuk mengatasi cacat las penembusan yang kurang baik dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penyetelan arus pengelasan yang tepat.
b. Pengelasan diperlambat dan stabil agar panas yang didapat lebih
merata.
c. Mengatur kecepatan las, sehingga kedua sisi benda kerja mencair
dengan baik.
d. Memilih diameter elektroda yang sesuai dengan ukuran coakan.
e. Membersihkan benda kerja dari terak dan kotoran yang ada.
f. Mempertahankan panjang busur nyala yang tepat.
g. Membetulkan sudut kampuh.

3. Penanggulangan Pengerukan las (Under Cut)


Cara untuk mengatasi cacat las pengerukan/under cut dapat dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menyetel arus yang tepat.

Universitas Pamulang
31

b. Mengurangi kecepatan mengelas.


c. Mempertahankan panjang busur nyala yang tepat.
d. Menggunakan ukuran elektroda yang benar.
e. Menyetel posisi elektroda, sehingga gaya busur nyala akan menahan
cairan pengelasan.
f. Mengupayakan ayunan elektroda dengan teratur.

4. Penanggulangan Cacat Las Karena Keropos.


Cara untuk mengatasi cacat las keropos dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mempertahankan jarak busur yang baik.
b. Mengurangi kecepatan pengelasan atau kecepatan dipertinggi.
c. Memberi waktu pengisian yang cukup untuk melepaskan gas.
d. Membersihkan benda kerja.
e. Menggunakan elektroda yang tepat.

5. Penanggulangan Pengerutan Benda Kerja


Cara mengatasinya adalah sebagai berikut:
a. Mengurangi arus yang terlalu besar.
b. Memperkuat take welding.

6. Penanggulangan Incomplete Fusion


Cara mengatasinya adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki posisi pengelasan.
b. Memperbaiki sudut electrode.
c. Panas yang diterima harus sesuai prosedur.
d. Welding gap harus cukup.
e. Permukaan kampuh harus benar.
f. Kecepatan pengelasan harus sesuai prosedur.

7. Penanggulangan Over Spatter


Cara mengatasinya adalah sebagai berikut:

Universitas Pamulang
32

a. Turunkan arus.
b. Sesuaikan panjang busur (1 x diameter electrode).
c. Keringkan kembali electrode/pergunakan yang sudah di oven.
8. Penanggulangan Porositas
Cara mengatasi adalah sebagai berikut:
a. Memperpendek nyala busur.
b. Arus disesuaikan dengan prosedur yang ditentukan.
c. Pergunakan elektrode low-hydrogen.
d. Menggunakan baja dengan kandungan belerang yang rendah.
e. Mengurangi kelembaban dengan cara memberikan preheat.
f. Meningkatkan kebersihan material dengan cara digerinda terlebih
dahulu.
g. Hindari pendinginan terlalu cepat.

2.5 Non-Destructive Test (NDT)


Pengujian tak merusak (NDT) adalah aktivitas pengujian atau inspeksi
terhadap suatu benda/material untuk mengetahui adanya cacat, retak atau
discontinuity lain tanpa merusak benda yang kita uji (ASME Section V, 2010).
Karena NDT tidak mengubah material yang sedang diperiksa. Serta merupakan
teknik yang dapat menghemat uang dan waktu dalam evaluasi produk, pemecahan
masalah, dan penelitian. Saat ini NDT adalah alat yang sering digunakan dalam
rekayasa forensik, teknik mesin, teknik elektro, teknik sipil, teknik sistem, teknik
aeronautika, obat-obatan, dan seni. NDT umumnya memiliki metode termasuk
ultrasonik, magnetik-partikel, penetrant cair, radiografi, dan pengujian eddy
current.

Tujuan adanya aktivitas NDT diantaranya yaitu mendeteksi


cacat/discontinuity (di atas permukaan, di bawah permukaan, dan di dalam suatu
material), untuk mengukur geometri benda, dan menentukan komposisi kimia
material. Bagi para pekerja industri kegiatan NDT sangat penting di karenakan

Universitas Pamulang
33

beberapa faktor antara lain untuk meyakinkan kehandalan produk, mencegah


kecelakaan, memberi keuntungan bagi pengguna, meyakinkan kepuasan
pelanggan, membantu dalam merancang produk agar lebih baik, meningkatkan
reputasi pemanufaktur, menghemat biaya menufaktur, mempertahankan
keseragaman tingkat kualitas dan meyakinkan kesiapan operasi.

Aplikasi atau penggunaan Non-Destructive Testing (NDT) dalam manufaktur,


pengelasan biasanya digunakan untuk menggabungkan dua atau lebih permukaan
logam. Karena koneksi mungkin menghadapi beban dan kelelahan selama hidup
produk, ada kemungkinan bahwa mereka mungkin gagal jika tidak diciptakan
untuk spesifikasi yang tepat. Sebagai contoh, logam dasar harus mencapai suhu
tertentu selama proses pengelasan, harus mendinginkan pada tingkat tertentu, dan
harus dilas dengan bahan yang kompatibel atau sambungan mungkin tidak cukup
kuat untuk menahan permukaan bersama-sama, atau retak bisa terbentuk di las
menyebabkan itu gagal. Cacat pengelasan khas, kurangnya fusi lasan ke logam
dasar, retak atau porositas di lasan, dan variasi dalam kepadatan las, dapat
menyebabkan suatu struktur untuk istirahat atau pipa pecah.

Pada pengujian NDT terdapat beberapa metode, diantaranya adalah magnetic


particle inspection, liquid Penetrant inspection, eddy current, visual test,
ultrasonic inspection, leak test, proof test, acaustic emission, dan radiographic
inspection.

1. Dye-Penetrant Test
Metode dye-Penetrant test merupakan metode Non-Destructive Test
(NDT) yang paling sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat
di permukaan terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam,
seperti keramik dan plastik fiber. Melalui metode ini, cacat pada material
akan terlihat lebih jelas.
Caranya adalah dengan memberikan cairan berwarna terang pada
permukaan yang diinspeksi. Cairan ini harus memiliki daya penetrasi yang

Universitas Pamulang
34

baik dan viskousitas yang rendah agar dapat masuk pada cacat dipermukaan
material. Selanjutnya, Penetrant yang tersisa di permukaan material
disingkirkan. Cacat akan nampak jelas jika perbedaan warna Penetrant
dengan latar belakang cukup kontras. Seusai inspeksi, Penetrant yang
tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer (PUSDIKLAT
BAPETEN, 2014)

Gambar 2.16. Liquid Penetrant Examination


(https://www.nationalboard.org/index.aspx?pageID=164&ID=374)

Dye-Penetrant test adalah sebuah proses yang dilakukan oleh departemen


Quality Control pada unit kerja Non-Destructive Test (NDT). Pengujian ini
merupakan uji hasil pengelasan dengan menggunakan zat kimia khusus.
Tujuan dari uji ini adalah untuk melihat adanya indikasi defect (kemungkinan
produk cacat dan tidak sesuai kriteria) dan harus dilakukan proses pengerjaan
ulang atau perbaikan produk.

1. Penggunaan Liquid Penetrant Test ini sangat terbatas yakni :


a. Keretakan atau kekeroposan yang diselidiki dapat dideteksi apabila
keretakan tersebut terjadi sampai ke permukaan benda. Keretakan di
bawah permukaan (subsurface cracks) tidak dapat dideteksi dengan
cara ini.

Universitas Pamulang
35

b. Permukaan yang terlalu kasar atau berpori-pori juga dapat


mengakibatkan indikasi yang palsu.
c. Tidak dianjurkan menyelidiki benda-benda hasil powder metallurgi
karena kurang padat (berpori-pori).

2. Klasifikasi Liquid Penetrant Test berdasarkan cara pembersihannya


Ada tiga macam sistem liquid Penetrant yang dapat digunakan
ketiganya memiliki perbedaan yang mencolok. Pemilihan salah satu
sistem bergantung pada faktor-faktor:
a. Kondisi permukaan benda kerja yang diselidiki.
b. Karakteristik umum keretakan logam.
c. Waktu dan tempat penyelidikan.
d. Ukuran benda kerja.

3. Ketiga sistem Liquid Penetrant Test yang dapat digunakan adalah :


a. The Water Washable Penetrant System
Sistem ini dapat berupa flucreacont atau fisibledye.Yang
direncanakan agar liquid Penetrant dapat dibersihkan dari sistem
serupa. Prosesnya cepat dan efisien. Pembasuhan harus dilakukan
secara hati-hati, karena liquid Penetrant dapat terhapus habis dari
permukaan yang retak. Derajat dan kecepatan pembasuh untuk proses
ini tergantung pada karakteristik dari spray nozzle, tekanan, temperatur
air selama pembasuhan, kondisi permukaan benda kerja, dan
karakteristik liquid Penetrant sendiri.

b. The Post Emulsifisible System


The Post Emulsifisible System digunakan untuk menyelidiki
keretakan yang sangat kecil, digunakan Penetrant yang tidak dapat
dibasuh dengan air (not water washable). Hal ini penting agar tidak
ada kemungkinan Penetrant terbasuh oleh air. Penetrant jenis ini

Universitas Pamulang
36

dilarutkan dalam oli dan membutuhkan langkah tambahan pada saat


penyelidikan yaitu pembubuhan emulsifier dibiarkan pada permukaan
benda kerja, harus dibatasi waktunya agar Penetrant yang berada di
dalam keretakan tidak menjadi water washable agar tidak ikut
terbasuh.

c. The Solvent Removable System


Suatu system yang dibutuhkan untuk penyelidikan pada daerah
yang sempit pada permukaan benda kerja yang penyelidikannya
dilakukan di lapangan. Biasanya benda kerjanya besar atau ongkos
pemindahan benda kerja ini dari lapangan ke tempat penyelidikan
adalah relatif mahal. Pada situasi seperti ini solvent removable system
digunakan pada saat pembersihan pendahuluan (pracianing) dan
pembasuhan Penetrant. Proses seperti ini sesuai dan sangat luas
digunakan untuk inspeksi lapangan. Penetrant jenis ini larut dalam oli.
Pembersihan pelarut secara optimum dapat dicapai dengan cara
mengelap permukaan benda kerja dari Penetrant dengan lap yang
dibasuhi solvent. Tahap akhir dari pengelapan dilakukan dengan kain
kering. Penetrant dapat pula dibasuh dengan cara membanjiri
permukaan benda kerja dengan solvent. Cara ini diterapkan pada
benda kerja yang besar. Tetapi pelaksanaannya harus berada dalam
keretakan tidak ikut tebasuh. Proses seperti ini biasanya dilakukan
untuk aplikasi yang khusus, karena prosesnya memakan tenaga yang
relatif banyak dan tidak praktis untuk diterapkan sebagai inspeksi pada
hasil produksi. Proses ini merupakan proses liquid Penetrant
inspection yang paling sensitif bila dilakukan dengan cara yang baik.

a. Prinsip Kerja Pengujian Liquid Penetrant Testing


Cairan Penetrant akan masuk kedalam defect di permukaan
berdasarkan aksi kapilaritas. Cairan yang tertinggal di dalam defect akan

Universitas Pamulang
37

ditarik oleh developer. Penetrant dapat diterapkan untuk komponen uji


dengan mencelupkan, penyemprotan, atau menyikat. Setelah waktu
penetrasi yang cukup, penetrant dihilangkan, develpoer digunakan.
Developer membantu untuk menarik Penetrant dari cacat mana indikasi
yang terlihat menjadi terlihat oleh inspektor. Pemeriksaan dilakukan di
bawah sinar ultraviolet atau cahaya putih, tergantung pada jenis pewarna
yang digunakan, fluorescent atau nonfluorescent (terlihat).

Gambar 2.17. Dasar atau prinsip Pengujian dengan Liquid Penetrant


(PUDIKLAT BAPETEN, 2014)

b. Material atau Spesimen Liquid Penetrant Testing


Penetrant diklasifikasikan berdasarkan tingkat sensitivitas. Terlihat
Penetrants biasanya berwarna merah, dan mewakili sensitivitas terendah.
Penetrants fluorescent berisi dua atau lebih zat warna yang berpendar
ketika gembira dengan ultraviolet (UV-A) radiasi (juga dikenal sebagai
cahaya hitam). Sejak inspeksi penetrant Fluorescent dilakukan di
lingkungan yang gelap, dan pewarna bersemangat memancarkan cahaya
kuning-hijau terang yang sangat kontras dengan latar belakang gelap,
bahan ini lebih sensitif terhadap cacat kecil.

Universitas Pamulang
38

Ketika memilih tingkat sensitivitas seseorang harus


mempertimbangkan banyak faktor, termasuk lingkungan di mana tes akan
dilakukan, hasil akhir permukaan spesimen, dan ukuran dari cacat dicari.
Kita juga harus menjamin bahwa bahan kimia yang kompatibel dengan uji
sampel sehingga pemeriksaan tidak akan menyebabkan pewarnaan
permanen, atau kerusakan. Teknik ini bisa sangat portabel, karena dalam
bentuk yang paling sederhana inspeksi membutuhkan kaleng aerosol
hanya 3 spray, handuk kertas, dan cahaya tampak memadai. Sistem Tulis
dengan aplikasi khusus, mencuci, dan stasiun pengembangan, lebih mahal
dan rumit, tapi menghasilkan sensitivitas yang lebih baik dan sampel yang
lebih tinggi melalui-menaruh.

Berikut ini beberapa spesimen dalam Liquid Penetrant Testing Standar


Organisasi Internasional:
1. ISO 3452-2, pengujian non-destruktif, pengujian penetrant, pengujian
bahan penetrant.
2. ISO 3452-3, pengujian non-destruktif, pengujian penetrant, uji blok
Referensi.
3. ISO 3452-4, pengujian non-destruktif, pengujian penetrant, Peralatan.
4. ISO 3452-5, pengujian non-destruktif, pengujian penetrant,pengujian
penetrant pada temperatur yang lebih tinggi dari 50 °C.
5. ISO 3452-6, pengujian non-destruktif, pengujian penetrant, uji
penetrasi pada suhu yang lebih rendah dari 10 °C.
6. ISO 12706, pengujian non-destruktif, pengujian penetrant, Kosakata.
7. ISO 23277, pengujian non-destruktif pengelasan, penetrant pengujian
pengelasan, Penerimaan tingkat.
8. ASTM E 165 Practice, standar untuk Ujian penetrant cair untuk
Industri Umum.
9. ASTM E 1417, Standar Praktek untuk Ujian penetrant cair.

Universitas Pamulang
39

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Liquid Penetrant Testing


Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam Liquid
Penetrant testing:
1) Kondisi permukaan benda kerja yang diselidiki.
2) Karakteristik umum keretakan logam.
3) Waktu dan tempat penyelidikan.
4) Ukuran benda kerja.
d. Keuntungan dari liquid Penetrant test adalah:
1) Mudah diaplikasikan.
2) Murah.
3) Tidak dipengaruhi oleh sifat kemagnetan material dan komposisi
kimianya.
4) Jangkauan pemeriksaan cukup luas.

e. Kekurangan dari metode ini:


Tidak dapat dilakukan pada benda berpori atau material produk
powder metallurgy. Hal tersebut akan menyebabkan terserapnya cairan
Penetrant secara berlebihan sehingga dapat mengindikasikan cacat palsu.

2. Magnetic Particle Testing


Magnetic Particle Testing (MPT) adalah pengujian non-destruktif (NDT)
proses untuk mendeteksi diskontinuitas permukaan dan bawah permukaan
pada material besi. Proses ini menempatkan sebuah medan magnet ke bagian.
Bagian ini dapat magnet dengan magnetisasi langsung atau tidak langsung.
Magnetisasi langsung terjadi ketika arus listrik dilewatkan pada benda uji dan
medan magnet terbentuk dalam material. Magnetisasi tidak langsung terjadi
bila tidak ada arus listrik melewati benda uji, tetapi medan magnet diterapkan
dari sumber luar. Garis-garis gaya magnet tegak lurus terhadap arah arus
listrik yang mungkin baik alternating current (AC) atau beberapa bentuk arus
searah (DC) (AC diperbaiki).

Universitas Pamulang
40

Gambar 2.18. Magnetic Particle Testing


(http://ndt-indonesia.com/magnetic-particle-inspection-160)

Kehadiran permukaan atau bawah permukaan diskontinuitas dalam


materi memungkinkan fluks magnet bocor. Partikel besi Fe diterapkan ke
bagian. Partikel-partikel mungkin kering atau basah dalam suspensi. Jika luas
kebocoran fluks hadir partikel akan tertarik ke wilayah ini. Partikel-partikel
akan membangun pada daerah kebocoran dan bentuk apa yang dikenal
sebagai indikasi. Sinyal kemudian dapat dievaluasi untuk menentukan apa itu,
apa yang mungkin menyebabkannya, dan tindakan apa yang harus diambil
jika ada. (PUSDIKLAT BAPETEN, 2014)

a. Klasifikasi Magnetic Particle Testing


Pada metode Magnetic Particle Inspection (MPI) terdapat tiga metode
pengujian:
1) Metode Wet Visible
Partikel magnetik juga disertakan dalam suspensi basah seperti air
atau minyak (Magnetik Particle Inspection Wet Visible). Metode
pengujian partikel magnetik basah umumnya lebih sensitif daripada
kering karena suspensi menyediakan partikel dengan mobilitas lebih
banyak dan memungkinkan partikel yang lebih kecil untuk digunakan
karena debu dan kepatuhan ke permukaan kontaminasi dikurangi atau

Universitas Pamulang
41

dihilangkan. Metode basah juga membuatnya mudah untuk


menerapkan partikel merata ke daerah yang relatif besar.
Metode magnetik partikel basah memiliki produk berbeda dari
produk serbuk kering dalam beberapa cara. Salah satu cara adalah
bahwa baik partikel terlihat dan neon yang tersedia. Kebanyakan non-
fluorescent partikel oksida besi feromagnetik, yang hitam atau cokelat
warna. Fluorescent partikel yang dilapisi dengan pigmen yang
berpendar bila terkena sinar ultraviolet. Partikel yang berpendar hijau-
kuning yang paling umum untuk mengambil keuntungan dari puncak
sensitivitas warna mata tetapi warna neon lainnya juga tersedia.
Partikel digunakan dengan metode basah memiliki ukuran lebih
kecil daripada yang digunakan dalam metode kering karena alasan
yang disebutkan di atas. Partikel biasanya 10 mm (0,0004 inch) lebih
kecil dan oksida besi sintetis memiliki diameter partikel sekitar 0,1
mm (0,000004 inch). Ukuran sangat kecil merupakan hasil dari proses
yang digunakan untuk membentuk partikel dan tidak terlalu
diinginkan, karena partikel hampir terlalu halus untuk menyelesaikan
keluar dari suspensi. Namun, karena magnetisme sisa sedikit, partikel
oksida yang hadir sebagian besar dalam kelompok yang
menyelesaikan keluar dari suspensi jauh lebih cepat dibandingkan
dengan partikel individu. Hal ini memungkinkan untuk melihat dan
mengukur konsentrasi partikel untuk tujuan pengendalian proses.
partikel basah juga merupakan campuran ramping panjang dan partikel
bulat.
Solusi pembawa dapat air atau berbasis minyak. Pembawa air
berbasis bentuk indikasi lebih cepat, umumnya lebih murah, hadiah
kecil atau tidak ada bahaya kebakaran, tidak mengeluarkan asap
petrokimia, dan lebih mudah untuk membersihkan dari bagian
tersebut. solusi berbasis air biasanya dirumuskan dengan inhibitor
korosi untuk menawarkan beberapa perlindungan korosi. Namun,

Universitas Pamulang
42

solusi carrier berbasis minyak menawarkan perlindungan


embrittlement (penggetasn) unggul korosi dan hidrogen untuk bahan-
bahan yang rentan terhadap serangan oleh mekanisme ini.

2) Metode Dry Visible


Magnetik Particle Inspection Dry Visible atau Partikel magnetik
kering biasanya dapat dibeli dalam banyak warna yaitu merah, hitam,
abu-abu, kuning dan banyak lagi sehingga tingkat tinggi kontras antara
partikel dan bagian yang sedang diperiksa dapat dicapai. Ukuran
partikel magnetik juga sangat penting. Produk Partikel magnetik
kering diproduksi untuk menyertakan berbagai ukuran partikel.
Partikel halus adalah sekitar 50 mm (0,002 inch) dalam ukuran, dan
sekitar tiga kali lebih kecil dengan diameter lebih dari 20 kali lebih
ringan dari partikel kasar (150 mm atau 0.006 inch). Hal ini membuat
mereka lebih sensitif terhadap bidang kebocoran dari diskontinuitas
yang sangat kecil. Namun, pengujian partikel kering tidak bisa dibuat
secara eksklusif dari partikel-partikel halus. Partikel kasar yang
diperlukan untuk menjembatani diskontinuitas besar dan untuk
mengurangi sifat berdebu bubuk itu. Selain itu, partikel kecil mudah
melekat ke permukaan kontaminasi, seperti sisa-sisa kotoran atau uap
air, dan terjebak dalam fitur kekasaran permukaan. Ini juga harus
diakui bahwa partikel halus akan lebih mudah terpesona oleh angin,
karena itu, kondisi berangin dapat mengurangi sensitivitas inspeksi.
Selain itu, reklamasi partikel-partikel kering tidak dianjurkan karena
partikel kecil cenderung ditangkap kembali dan “pernah digunakan”
campuran akan menghasilkan inspeksi yang kurang sensitif.
Bentuk partikel juga berpengaruh. Bentuk yang panjang, partikel
ramping cenderung menyesuaikan diri sepanjang garis gaya magnetik.
Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa jika serbuk kering hanya
terdiri dari bentuk panjang, partikel ramping, proses aplikasi akan

Universitas Pamulang
43

kurang diinginkan. Partikel memanjang berasal dari dispenser di


rumpun dan kurangnya kemampuan untuk mengalir bebas dan
membentuk “awan” yang diinginkan partikel mengambang pada
komponen. Oleh karena itu, partikel bulat ditambahkan yang lebih
pendek. Campuran hasil partikel bulat dan memanjang dalam bubuk
kering yang mengalir dengan baik dan mempertahankan sensitivitas
yang baik. Kebanyakan partikel kering campuran memiliki partikel
dengan rasio L/D antara satu dan dua.
Salah satu keuntungan dari inspeksi partikel magnetik ini adalah
memiliki beberapa metode evaluasi yaitu indikasi cacat umumnya
menyerupai cacat sebenarnya. Ini tidak terjadi dengan metode NDT
seperti inspeksi saat ultrasonik dan eddy, di mana sebuah sinyal
elektronik harus ditafsirkan. Ketika pemeriksaan partikel magnetik
digunakan, retak pada permukaan bagian muncul sebagai garis tajam
yang mengikuti jalan retak. Cacat yang ada di bawah permukaan
bagian yang kurang didefinisikan dan lebih sulit untuk dideteksi.
Berikut adalah beberapa contoh indikasi partikel magnetik diproduksi
menggunakan dry particle (partikel kering).

3) Metode Wet Fluorescent


Pengujian logam dengan metode MPI Wet Flourescent pada
dasarnya hampir sama dengan metode Wet visible, hanya metode ini
menggunakan serbuk magnet yang akan terlihat dengan sinar UV (20
Lux) dan Back light (1000 Lux).
Ketiga metode tersebut pada prinsipnya sama, namun sebuk
magnet yang di gunkan pada setiap pengujian yang berbeda.

b. Material Atau Spesimen Magnetic Particle Testing


Standar material atau spesimen dalam pengujian magnetic particle
menurut beberapa sumber yang ada adalah sebagai berikut:

Universitas Pamulang
44

1. ISO 3059, pengujian non-destruktif - pengujian penetrant dan


pengujian partikel magnetik - Melihat kondisi.
2. ISO 9934-1, pengujian non-destruktif - pengujian partikel magnetik -
Bagian 1: Prinsip Umum.
3. ISO 9934-2, pengujian non-destruktif - pengujian partikel magnetik -
Bagian 2: media Deteksi.
4. ISO 9934-3, pengujian non-destruktif - pengujian partikel magnetik -
Bagian 3: Peralatan.
5. ISO 17638, pengujian non-destruktif pengelasan - pengujian partikel
magnetic.
6. ISO 23279, pengujian non-destruktif pengelasan - pengujian partikel
magnetik lasan - Penerimaan tingkat.

American Society of Testing and Material (ASTM) :


1. ASTM E1444-05.
2. ASTM A 275 / A 275M Metode uji untuk Pengujian Partikel
Magnetik dari Baja tempa.
3. ASTM A456 Spesifikasi Inspeksi Partikel Magnetik dari tempa
crankshaft Besar.
4. ASTM E543 Praktik Standar Spesifikasi untuk Mengevaluasi
Lembaga yang tak rusak Pertunjukan Pengujian.
5. ASTM E 709 Panduan untuk Ujian Pengujian Partikel Magnetik.
6. ASTM E 1316 untuk Ujian tak rusak Terminologi.
ASTM E 2297 Standar Pedoman Penggunaan UV-A dan Visible Light
Meter Sumber dan digunakan dalam Cair dengan penetrasi dan Metode
Partikel Magnetik.

Universitas Pamulang
45

3. Ultrasonic Testing
Pengujian ultrasonik (UT) menggunakan energi suara berfrekuensi tinggi
untuk melakukan pemeriksaan dan membuat pengukuran. Pemeriksaan
ultrasonik dapat digunakan untuk deteksi cacat/evaluasi, pengukuran dimensi,
dan banyak lagi. Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara.
Gelombang suara yang dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang
ditransmisi atau dipantulkan diamati dan interpretasikan. Gelombang
ultrasonic yang digunakan memiliki frekuensi 0.5 – 20 MHz. Gelombang
suara akan terpengaruh jika ada void, retak, atau delaminasi pada material.
Gelombang ultrasonic ini dibangkitkan oleh transducer dari bahan
piezoelektrik yang dapat menubah energi listrik menjadi energi getaran
mekanik kemudian menjadi energi listrik lagi. Prinsip pemeriksaan umum
adalah pulsa / echo metode konfigurasi inspeksi khas digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 2.19. Prinsip Kerja Ultrasonic Testing


(http://www.sdindt.com/Ultrasonic-Testing.html)
Keterangan:
Initial Pulse = Pulsa inisial yang pertama
Crack Echo = Echo cacat pada material (jarak posisi dari kecacatan
yang ada pada bahan)
Back Surface Echo = Echo pantulan balik dari bahan (Ketebalan bahan)

Universitas Pamulang
46

Pemeriksaan ultrasonik merupakan metode NDT yang sangat berguna dan


serbaguna. Beberapa keuntungan dari pemeriksaan ultrasonik yang sering
dikutip meliputi:
1. Hal ini sensitif terhadap kedua permukaan dan bawah permukaan
diskontinuitas. Kedalaman penetrasi untuk deteksi cacat atau pengukuran
lebih unggul daripada metode NDT lainnya.
2. Hanya akses satu-sisi dibutuhkan ketika teknik pulse-echo digunakan.
3. Hal ini sangat akurat dalam menentukan posisi reflektor dan
memperkirakan ukuran dan bentuk.
4. Minimal persiapan bagian yang diperlukan.
5. Peralatan elektronik memberikan hasil seketika.
6. Detail gambar dapat diproduksi dengan sistem otomatis.
7. Memiliki kegunaan lain, seperti pengukuran ketebalan, selain deteksi
cacat.

Seperti semua metode NDT, inspeksi ultrasonik juga memiliki


keterbatasan, yang meliputi:
1. Permukaan harus dapat diakses untuk mengirimkan USG.
2. Keterampilan dan pelatihan yang lebih luas dibandingkan dengan
beberapa metode lain.
3. Ini biasanya memerlukan kopling media untuk mempromosikan transfer
energi suara ke dalam benda uji.
4. Material yang kasar, tidak teratur bentuknya, sangat kecil, sangat tipis atau
tidak homogen sulit untuk memeriksa.
5. Pemain besi dan bahan berbutir kasar yang sulit untuk memeriksa karena
transmisi suara yang rendah dan kebisingan sinyal tinggi.
6. Cacat Linear berorientasi sejajar dengan berkas suara mungkin tidak
terdeteksi.
7. Referensi standar yang diperlukan untuk kedua kalibrasi peralatan dan
karakterisasi kekurangan.

Universitas Pamulang
47

Pengenalan diatas memberikan pengenalan disederhanakan metode NDT


pengujian ultrasonik. Namun, untuk secara efektif melakukan inspeksi
menggunakan ultrasonik, lebih banyak tentang metode ini perlu diketahui.
Halaman-halaman berikut menyajikan informasi ilmu pengetahuan yang
terlibat dalam inspeksi ultrasonik, peralatan yang umum digunakan, beberapa
teknik pengukuran yang digunakan, serta informasi lainnya. (PUSDIKLAT
BAPETEN, 2014)

a. Peralatan Uji Ultrasonik


Berikut merupakan peralatan untuk melakukan uji ultrasonik:
1) Unit Flaw Detector
Peralatan Ultrasonic flaw detector dengan merek Tiede US 004.
SIUI CTS 9005 dengan sertifikat kalibarasi yang valid. Peralatan harus
dari jenis pulse-echo yang mampu dipakai dengan probe berfrekuensi
1 - 6 MHz. Tampilan layarnya harus scan ‘A’ yang disearahkan.

Gambar 2.20. Unit flaw detector

2) Transducer / Probe
a) Probe Normal (gelombang longitudinal) berbentuk bundar harus
memiliki kristal berdiameter tidak kurang dari 20mm dan tidak

Universitas Pamulang
48

lebih dari 28mm. Probe tersebut bisa berjenis kristal tunggal atau
kristal double (twin).
b) Probe normal harus memiliki frekuensi antara 2 sampai dengan 5
MHz.
c) Probe sudut harus memiliki kristal berbentuk kotak, yang berjenis
tunggal atau double (twin). Lebar kristal antara 15 hingga 25mm,
dan tingginya antara 15 sampai 20mm.
d) Probe sudut harus memiliki frekuensi antara 2 hingga 2,5 MHz.
e) Probe sudut harus menghasilkan sudut gelombang bias sebesar
45˚, 60˚, atau 70˚ didalam material yang diuji dengan toleransi plus
minus 2˚.
3) Blok-Blok Referensi

Gambar 2.21. Blok Kalibrasi V1 dan V2


(https://docplayer.info/66582339-Makalah-tentang-pengujian-non-
destruktif.html)
a) Blok – Blok IIVV V1 dan V2 harus digunakan untuk kalibrasi
jarak dan sensitivitas.
b) Blok RC harus digunakan untuk pemeriksaan resolusi pada
probe–probe sudut.
4) Couplan
Couplan untuk media pengujian antara material dengan probe,
memakai minyak/pelumas.

Universitas Pamulang
49

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengujian Ultrasonic


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengujian ultrasonic, adalah:
1) Frekuensi
Frekuensi mempengaruhi kepekaan dan penetrasi. Kepekaan yang
dimaksud adalah kemampuan untuk mendeteksi diskontinuiti mikro.
Sedangkan penetrasi merupakan besarnya jangkauan pemeriksaan
yang masih dapat terdeteksi indikasi diskontinuitinya. Frekuensi tinggi
dan penetrasi tinggi menyebabkan kepekaan terhadap cacat serta
jangkauan pemeriksaan tinggi. Begitu pula sebaliknya.

2) Attenuasi
Berkurangnya intensitas getaran ultrasonic selama perambatannya
dalam suatu benda. Hal ini dapat disebabkan adanya efek impedansi
akustik dan sebagainya.

3) Type gelombang
Jenis gelombang dibedakan menjadi dua berdasarkan arah
perambatannya, yaitu gelombang transversal dan longitudinal.
Gelombang transversal merupakan gelombang yang arah
perambatannya tegak lurus terhadap arah geraknya. Sedangkan
gelombang longitudinal merupakan gelombang yang arah
perambatannya searah dengan arah geraknya.

4) Dead Zone
Di layer CRT pada daerah di dekat pulsa awal biasanya terdapat
banyak gelombang yang dipengaruhi adanya getaran yang ikut masuk
ke dalam benda kerja, sehingga diskontinuiti tidak terdeteksi oleh
probe, daerah ini disebut dead zone.

5) Couplant
Getaran pada probe harus disalurkan ke benda uji. Karena benda
uji merupakan benda padat, sementara terdapat udara antara probe

Universitas Pamulang
50

dengan benda uji dengan perbedaan kerapatan yang sangat besar,


maka diperlukan zat perantara atau couplant. Couplant ini dapat
berupa: minyak, vaseline, grease, dan berbagai macam bentuk pasta.

4. Radiographic (X-Ray) Testing


Pengujian atau Pemeriksaan radiografi dan X-ray merupakan metode Non-
Destruktive Testing (NDT) yang mendeteksi cacat dalam bahan oleh penetrasi
foton energi tinggi. Jumlah radiasi diserap kemudian dapat diukur untuk
menentukan ketebalan atau komposisi bahan.

Gambar 2.22. Pengujian Radiografi/ X-ray


(https://www.researchgate.net/figure/Working-princhple-of-radiographic-test-
34-35_fig2_287471979)

Sebuah ilustrasi dari proses pemeriksaan radiografi, menunjukkan inspeksi


dan pemeriksaan kualitas film fotografi. Pengujian radiografi memiliki
sensitivitas yang tinggi, hampir semua kecacatan sebagian besar dapat
terdeteksi, tapi akibatnya adalah prosedur inspeksi yang lebih mahal daripada
metode Non Destruktive Testing (NDT) lainnya. Ada juga bahaya radiasi ketika
menggunakan metode ini, dan beberapa retakan yang normal berorientasi ke
sumber radiasi berisiko tidak terdeteksi. Kebutuhan untuk radiografi atau x-ray

Universitas Pamulang
51

pemeriksaan mencakup berbagai produk dari peralatan, hingga kamar gelap


untuk penetrameters.
Metode Non Destruktive Testing (NDT) ini dapat untuk menemukan cacat
pada material dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma. Prinsipnya, sinar
X dipancarkan menembus material yang diperiksa. Saat menembus objek,
sebagian sinar akan diserap sehingga intensitasnya berkurang. Intensitas akhir
kemudian direkam pada film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka
intensitas yang terekam pada film tentu akan bervariasi. Hasil rekaman pada
film ini lah yang akan memperlihatkan bagian material yang mengalami cacat.
(ASME Section V Article 6)

a. Sumber radiasi untuk Radiography Test


1. Sumber radiasi X-Ray biasanya digunakan untuk bahan metal paduan
ringan dan bahan yang mempunyai kerapatan jenis yang rendah.
Pemilihan KV dan exposure time biasanya dilihat dari manual book
yang terdapat pada pesawat sinar x itu sendiri.
2. Sumber radiasi Gamma-Ray biasanya pemilihan sumber sinar gamma
didasarkan pada ketebalan material yang akan diperiksa.

b. Penggunaan Pengujian Radiografi Pada Kehidupan Sehari-hari


Sinar-X ditemukan pada tahun 1895 oleh Wilhelm K Rontgen, disebut
juga sinar rontgen. Sinar-X mempunyai frekuensi antara 1016 Hz
sampai 1020 Hz. Namun panjang gelombangnya sangat pendek
yaitu antara 10-9 cm – 10-6 cm. Karena panjang gelombangnya sangat
pendek sinar-X mempunyai daya tembus yang kuat. Sinar-X dapat
menembus benda-benda lunak seperti daging dan kulit, tetapi tidak dapat
menembus benda-benda keras seperti hidung, gigi, dan logam. Karena itu
sinar ini sering dimanfaatkan di dalam bidang kedokteran, terutama untuk
melihat kondisi dalam tubuh tanpa melakukan pembedahan. Foto sinar-X
diambil menggunakan kamera sinar-X. Bagian-bagian tubuh yang keras

Universitas Pamulang
52

akan menahan sinar-X sehingga bagian ini memancarkan sinar fluoresens


pada film.
Selain di bidang kedokteran, sinar-X juga digunakan untuk mendeteksi
suatu benda. Di bandara, hotel, dan pusat perbelanjaan untuk memeriksa
barang-barang yang dibawa oleh pengujung atau penumpang. Sinar-X
juga digunakan dalam teknik radiografi untuk menguji sebuah benda dan
memeriksa kerusakan atau cacat pada mesin. Sinar-X juga sering
dimanfaatkan untuk memeriksa struktur kristal.

c. Spesimen Pengujian Radiografi


Dalam radiografi, untuk menentukan kualitas gambar radiografi atau
kualitas teknik radiografi, digunakan alat yang dinamakan penetrameter
atau Image Quality Indicator (IQI). Umumnya, IQI tersebut ditempatkan
pada sisi material yang menghadap ke sumber.
1) Jenis-jenis Penetrameter
Berikut adalah jenis-jenis IQI yang digunakan di Indonesia, seperti
IQI ASTM/ASME tipe lubang, IQI ASTM/ASME tipe kawat, IQI
DIN tipe kawat.
a) IQI ASME type lubang

Gambar 2.23. IQI tipe lubang


(https://docplayer.info/66582339-Makalah-tentang-pengujian-non-
destruktif.html)

IQI tipe lubang yang ditetapkan oleh ASTM (American


Standard of Testing Material) dan ASME (American Siciety of

Universitas Pamulang
53

Mechanical Enginer) ada dua jenis yaitu IQI persegi dan IQI
cakram, seperti ditunjukan pada gambar berikut.

b) IQI ASTM/ASME Tipe Kawat


IQI ASTM/ASME terdiri atas 21 kawat yang disusun menjadi 4 set
dimana setiap set berisi 6 kawat.

ASTM

1B03

Gambar 2.24. Sketsa IQI tipe kawat ASTM/ASME


(ASME Section V Article 6)

c) IQI DIN tipe Kawat


IQI tipe kawat standar DIN (Deutche Industrie Norm) yang terdiri
atas 16 kawat, yang disusun menjadi tiga set. Setiap set terdiri dari 7
kawat

DIN 62

10 ISO

Gambar 2.25. Sketsa IQI tipe kawat DIN


(ASME Section V Article 6)

Universitas Pamulang
54

d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengujian Radiografi


Dalam prosedur pelaksanaan radiografi sinar-x ada beberapa hal
penting yang harus ditentukan atau diperhitungkan terlebih dahulu untuk
memperoleh hasil penyinaran yang baik. Beberapa hal tersebut antara lain
adalah jarak sumber ke film (SFD), penumbra (UG), dan lama waktu
penyinaran. Jarak sumber ke film perlu ditentukan untuk menghitung
penumbra (UG).
Berdasarkan pengalaman, SFD minimum adalah 1,5 kali panjang
benda yang diuji. Semakin panjang SFD maka akan semakin baik, karena
akan menghasilkan UG yang semakin kecil. Selain itu SFD juga
menentukan besar daerah yang dinterpretasi. Besar SFD maksimum yang
dijinkan telah ditetapkan dalam standar yang umum digunakan yaitu
ASME.

1) Secara matematis, besar UG ditentukan oleh tiga faktor yaitu:


a) Dimensi / besar fokal spot sumber radiasi.
b) Jarak film ke sumber (SFD).
c) Tebal spesimen benda uji.
2) Untuk menghitung lama waktu penyinaran, ada beberapa cara yang
dipakai dalam penentuan waktu penyinaran:
a) Dengan memakai slide rule untuk sumber yang sesuai.
b) Dengan memakai grafik yang dikeluarkan oleh pabrik tertentu.
3) Keuntungan radiografi:
a) Dapat digunakan untuk semua jenis material.
b) Dapat mendeteksi defect di permukaan dan subsurface.
c) Dapat digunakan untuk menginspeksi bentuk yang rumit dan
struktur yang berlapis tanpa membongkar komponen.
d) Preparasi benda uji sederhana.
4) Kekurangan radiografi:
a) Skill dan training yang tinggi dibutuhkan.

Universitas Pamulang
55

b) Pengujian memerlukan 2 sisi benda uji.


c) Arah radiasi pada defect sangat mempengaruhi.
d) Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk material yang tebal.
e) Peralatan relatif mahal

2.6 Metalografi

Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari metode observasi/


pemeriksaan/ pengamatan/ pengujian dengan tujuan untuk menentukan/
mempelajari hubungan antara struktur dengan sifat-sifat karakter dan perlakuan
yang pernah dialami oleh logam, serta paduan bahan-bahan lainnya. Ada
beberapa metode yang dipakai yaitu: mikroskop (optik maupun elektron), difraksi
( sinar-X, elektron dan neutron), analasis (X-ray fluoresence, elektron
mikroprobe) dan juga stereometris metalografi. Pada praktikum metalografi ini
digunakan metode mikroskop, sehingga pemahaman akan cara kerja mikroskop,
baik optik maupun elektron perlu diketahui.
Pengamatan metalografi dengan mikroskop umumnya dibagi menjadi dua,
yaitu:

1. Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10 – 100


kali,
2. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas 100
kali.
Sebelum dilakukan pengamatan struktur mikro dengan mikroskop maka
diperlukan proses-proses persiapan sampel. Langkah-langkah persiapan sampel
untuk mikroskop telah diterangkan dalam modul-modul sebelumnya.
(FTUI,2011)

1. Mikrostruktur Stainless Steel 316

Stainless steel 316 termasuk jenis austenitic stainless steel yang tidak
bersifat magnetis karena pengaruh kandungan unsur nikel antara 8 -13 %.

Universitas Pamulang
56

Mekanisme austenitic stainless steel tidak bersifat magnetik yaitu unsur nikel
yang berkisi Face Centered Cubic (FCC) mempromote terbentuknya phasa
austenit dengan cara merubah phasa feritic menjadi phasa gama austenit.

alpha (BCC) + Ni (FCC) –> Gama (FCC) Austenit

Batas minimum kestabilan phasa austenit untuk karbon = 0.03%, Chrom


17 – 21% dan Molibdenum = 2-3% untuk austenitic stainless steel, yaitu
minimum kandungan nikel 8%. Semakin banyak unsur nikel maka semakin
luas phasa austenit (semakin stabil phasa austenit), sehingga stainless steel
tersebut semakin ulet dan tahan magnit. Sebaliknya apabila semakin sedikit
kandungan nikel di stainless steel atau kurang dari 8% maka semakin
mempromote terbentuknya phasa ferit yang bersifat magnetik. Unsur unsur
yang mempromote terbentuknya phasa ferit yaitu karbon (C), Crom (Cr),
Molibdenum (Mo) dan unsur-unsur pembentuk karbida lainnya.

Pada umumnya stainless steel 316 bersifat tidak magnetik, oleh karena itu
pemesan 316 selalu membawa magnet untuk mengecek hasilnya.Pada saat
dilapangan, pembuatan autenitic stainless steel sedikit sulit. Contohnya adalah
hasil pemeriksaan spectrometer sedikit kelebihan unsur karbon, sehingga
untuk mencapai target komposisi karbon tersebut caranya dengan proses
holding, dengan temperatur pembuatan sekitar 1650 oC. Apabila pada saat
proses holding terlalu lama maka akan ada unsur lain yang masuk dari lining,
atau kandungan nikel banyak yang hilang pada saat peleburan maka austenitic
stainless steel yang bersifat non magnetik tidak terjadi. Oleh karena itu
pengendalian komposisi, temperatur, atmosfir tungku peleburan, proses, SDM
dan peralatan sangat menentukan keberhasilan pembuatan stainless steel.
(www.migas-indonesia.com/files/article/Stainless_Material.doc)

Universitas Pamulang
57

2. Diagram Fasa
Diagram fasa adalah diagram yang menampilkan hubungan antara
temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan
pemenasan yang lambat dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar
pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. (R. E. Swallman &
R. J. Bishop, 1999)
Fungsi diagram fasa adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan
yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil (perlakuan
panas pada logam hasil cold working), normalizing maupun proses
pengerasan.
Stainless steel 316 termasuk jenis austenitic stainless steel yang tidak
bersifat magnetis karena pengaruh kandungan unsur nikel antara 8 -13 %.
Struktur mikro dan sifat yang diinginkan dapat diperoleh melalui proses
pemanasan dan proses pendinginan pada temperatur tertentu.

Macam –macam struktur yang ada pada Stainless steel 316 adalah:
a. Ferit

Gambar 2.26. Fasa Ferit


(https://ardra.biz/sain-teknologi/metalurgi/besi-baja-iron-
steel/diagram-sistem-besi-besi-karbida/)
Ferit adalah larutan padatkarbon dan unsur paduan lainya pada besi
kubus pusat badan (Fe). Ferit terbentuk akibat proses pendinginan yang
lambat dari austenit baja hypotektoid pada saat mencapai A3. Ferit bersifat
sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar 70-100 BHN dan
memiliki konduktifitas yang tinggi.

Universitas Pamulang
58

b. Sementit
Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal
sebagai karbida besi dengan prosentase karbon 6,67%C yang bersifat keras
dengan kekerasan berkisar antara 5-68 HRC.

c. Perlit

Gambar 2.27. Fasa Perlit


(https://ardra.biz/sain-teknologi/metalurgi/besi-baja-iron-
steel/diagram-sistem-besi-besi-karbida/)
Perlit adalah campuran sementit dan ferit yang memiliki kekerasan
sekitar 10-30 HRC. Perlit yang terbentuk sedikit dibawah temperatur
eutectoid yang memiliki kekerasan lebih rendah dan memerlukan waktu
inkubasi yang lebih banyak.

d. Bainit
Bainit merupakan fasa yang kurang stabil yang diperoleh dari austenit
pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit
dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit.

e. Martensit
Martensit merupakan larutan padat dari karbon yang lewat jenuh pada
besi alfa sehingga latis-latis sel satuanya terdistorsi.

Universitas Pamulang
59

3. Karbon
Karbon adalah unsur penyetabil austenit. Kegunaan dari baja tergantung
dari sifat-sifatnya yang sangat bervariasi yang diperoleh melalui pemaduan
dan penerapan proses perlakuan panas. Sifat mekanik dari baja sangat
tergantung pada struktur mikronya, sedangkan struktur mikro sangat mudah
diubah melalui proses perlakuan panas.
Sebenarnya yang mempengaruhi sifat mekanik adalah mikrostruktur,
dimana dapat kita gambarkan sebagai berikut:
a. Kekerasan: ferit < perlit < sementit
b. Kekuatan : ferit < sementit < perlit
c. Keuletan : sementit < perlit < ferit.

Salah satu unsur paduan yang sangat penting yang dapat mengontrol sifat
baja adalah karbon (C). Jika besi dipadu dengan karbon, transformasi yang
terjadi pada rentang temperatur tertentu erat kaitanya dengan kandungan
karbon. Berdasarkan pemaduan antara besi dan karbon, karbon didalam besi
dapat berbentuk larutan atau berkombinasi dengan besi membentuk karbida
besi (Fe3C).
Baja dengan kadar karbon 0,8% disebut baja eutektoid. Sedangkan baja
dengan kadar karbon kurang dari 0,8% disebut baja hipotektoid. Jika baja
eutektoid didinginkan dari temperatur austenisasinya, maka pada saat
mencapai titik – titik sepanjang garis tersebut akan bertransformasi menjadi
suatu campuran eutektoid yang disebut perlit. Jika baja hipotektoid
didinginkan dari temperatur austenisasinya, pada saat mencapai garis GS, ferit
akan terbentuk sepanjang batas butir austenit.
Hasil pendinginan yang lambat pada temperatur kamar akan terdiri dari:
a. Ferit , dengan kandungan karbon 0,007% - 0,25%C
b. Ferit dan perlit, dengan kadungan karbon 0,025% - 0,8%C
c. Perlit dan sementit, dengan karbon, 0,8% - 1,7%C
d. Perlit dan grafit, dengan karbon 1,7% - 4,2%C (dengan perlakuan khusus)

Universitas Pamulang
60

4. Spectrometer Infrared
Spectrometer Infrared (spectrophotometer, b atau spectroscope)
merupakan satu teknik spektroskopi yang menggunakan wilayah panjang
gelombang inframerah pada spektrum elektromagnetik (sekitar 800 sampai
2500 nm). Dikatakan "inframerah dekat" (IMD) karena wilayah ini berada di
dekat wilayah gelombang merah yang tampak.(Silverstein, R.M., G.C.
Bassler, and T.C. Morrill, 1981)

Gambar 2.28. Spectrometer Oxford Instrumental by VULCAN

Spectrometer Infrared dekat didasarkan pada efek overtone molekul dan


getaran kombinasi. Transisi dua efek terlarang dalam aturan pada mekanika
kuantum. Sebagai hasilnya, absorptivitas molar pada wilayah inframerah
dekat cukup kecil.Teknik ini memiliki keuntungan karena Spectrometer
Infrared secara umum dapat jauh menembus sampel
daripada radiasi "inframerah sedang". Teknik ini dikenal kurang sensitif,
tetapi sangat berguna dalam pengujian material "mentah" (belum diolah),
tanpa atau hanya sedikit persiapan sebelumnya. Dalam praktik, Spectrometer
Infrared seringkali dikalibrasi dengan teknik lain yang lebih sensitif untuk
mendapatkan hubungan antara hasil kedua teknik itu.
Spectrometer Infrared umumnya sangat lebar, sehingga terbentuk
spektrum-spekrum yang rumit. Ini menyulitkan penentuan komponen kimiawi
yang spesifik. Teknik-teknik kalibrasi statistika multivariat (seperti analisis

Universitas Pamulang
61

komponen utama atau kuadrat terkecil parsial) sering dipakai untuk


memberikan informasi tentang kandungan kimiawi yang diinginkan.

5. Trinocular Inverted Metallurgical Microscope

Selain spectrometer guna mendapatkan data unsur-unsur yang terkandung


dari material stainless steel 316, digunakan pula mikroskop guna
mendapatkan gambaran dari struktur mikro yang terbentuk.

Gambar 2.29. Trinocular Inverted Metallurgical Microscope (IMM 901)


(https://www.metkon.com/Products-Details/4/179/73/imm-901/)

Tabel 2.2. Spesifikasi Trinocular Inverted Metallurgical Microscope (IMM 901)

Basic Magnification 100x - 1000x


Eyepieces WF10x eyepieces paired (field of view ø16 mm)
10x/0.25 (W.D. 6.7mm), 25x/0.40 (W.D. 0.76mm)
Objectives
40x/0.65 (W.D. 0.67mm), 100x/1.25(W.D. 0.3 mm)
Mechanical stage 200x 152mm travel with right
Stage hand Coaxial drop-down controls, movable range
15 x 15 mm.
Coaxial low position coarse & fine focus controls
Focusing
graduated to 2 microns per division.
Illumination 6V 20W adjustable light sources with halogen lamp.
(https://www.metkon.com/Products-Details/4/179/73/imm-901/)

Universitas Pamulang
62

Alat ini adalah Trinocular Inverted Metallurgical Microscope (IMM 901)


dari Metkom. Alat ini mampu memberikan hasil yang maksimal dalam
pengambilan data berupa foto mikrostruktur dari HAZ pada stainless stell 316
yang nantinya dapat menunjukan perbedaan ukuran yang terbentuk mulai dari
bahan tanpa preheat dengan bahan yang mengalami preheating.

2.7 Termokopel
Pada dunia elektronika, termokopel adalah sensor suhu yang banyak
digunakan untuk mengubah suhu dalam benda menjadi perubahan tegangan listrik
(voltase). Termokopel yang sederhana dapat dipasang, dan memiliki jenis
konektor standar yang sama, serta dapat mengukur temperatur dalam jangkauan
suhu yang cukup besar dengan batas kesalahan pengukuran kurang dari 1 °C.

Gambar 2.30. Termokopel


Termokopel paling cocok digunakan untuk mengukur rentangan suhu yang
luas, hingga 1800 Kelvin. Sebaliknya, kurang cocok untuk pengukuran dimana
perbedaan suhu yang kecil harus diukur dengan akurasi tingkat tinggi, contohnya
rentang suhu 0-100°C dengan keakuratan 0.1°C dapat menggunakan alat
Termistor dan Resistance Temperature Detector (RTD) karena akan lebih cocok.
Contoh Penggunaan Termokopel yang umum antara lain :
1. Industri besi dan baja.
2. Pengaman pada alat-alat pemanas.
3. Untuk termopile sensor radiasi.
4. Pembangkit listrik tenaga panas radioisotop, salah satu aplikasi termopile.

Universitas Pamulang
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Diagram Alir Penelitian

Mulai
I :70-80 A

Pengujian Pengelasan dengan V: 18 Volt


pengelasan MIG E: ER316LSI, Ø 1,2mm
*(Constan Voltage)
Analisis Penyebab Cacat Pengelasan dengan
Teknik NDT (Dye-Penetrant) dan Mikrostruktur

Tanpa Preheating Dengan Preheating

Tanpa Cleaning Dengan Cleaning

100˚C 150˚C 200˚C

Hasil Pengujian Pengelasan


berdasarkan Hipotesis yang ada

Analisis dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

63
Universitas Pamulang
64

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian merupakan lokasi dimana peneliti dapat menemukan


berbagai macam informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dan valid. Lokasi
yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah di PT. X.

Tempat tersebut dipilih karena proses konsultasi dan pengujian dapat


dilakukan dengan baik, sehingga apabila dikaitkan dengan pokok
permasalahan yang akan diteliti telah memenuhi syarat. Sedangkan untuk
waktu penelitian dimulai 28 Januari 2019 – 28 Februari 2019.

3.3 Fokus Penelitian dan Narasumber

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah proses twin roll assembly,
yang dilaksanakan oleh teknisi NDT PT. X. Proses twin roll assembly
merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh unit kerja Non Destructive
Testing (NDT) dengan metode dye-penetrant yang bertujuan untuk
mengidentifikasi kemungkinan cacat atau adanya kerusakan yang tidak sesuai
dengan kriteria penerimaan produk.

Penelitian ini berfokus pada faktor penyebab terjadinya repair pada


proses twin roll assembly dengan proses pengelasan dan metode pengujian
dye-penetratnt test. Sedangkan sumber data pada penelitian ini adalah hasil
dokumentasi teknisi pada unit kerja Non Destructive Testing (NDT) yang
bertugas pada proses twin roll assembly di PT. X dan pekerja pada bagian
produksi yang bertanggung jawab pada proses pengelasan (welding). Serta
Pengujian secara langsung guna mendapatkan data yang konkret dan akurat.

Teknik pengambilan data untuk objek penelitian dilakukan dengan teknik


snowball. Teknik ini merupakan teknik pengambilan sampel kecil ke besar.
Peneliti dapat melakukan pengumpulan data dari hasil dokumentasi dan
pengujian secara langsung, yang kemudian berkembang menjadi banyak
hingga data yang dibutuhkan terpenuhi. Teknik pengambilan data ini sangat

Universitas Pamulang
65

berguna bagi penelitian dengan ruang lingkup yang lebih spesifik dan
menyempit (E Sugiyono,2007).

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, sebagai berikut:

Data primer, yaitu data yang dihasilkan melalui teknik pengujian langsung
dengan melakukan kegiatan pengelasan secara langsung berdasarkan variable
yang telah ditentukan dan mengujinya guna mendapatkan data yang konkret.

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen yang sudah
tersedia di PT. X. Adapun dokumen yang digunakan adalah semua dokumen
repair proses twin roll assembly periode 28 Januari 2019 – 30 Maret 2019.

3.5 Metode Penelitian

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode eksperimen.


Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan
manipulasi terhadap obyek penelitian serta adanya kontrol.

Metode eksperimen yang digunakan adalah metode eksperimen desain


acak sempurna model tetap eksperimen faktorial. Desain acak sempurna
adalah desain ini dimana perlakuan dilakukan sepenuhnya secara acak kepada
unit eksperimen atau sebaliknya. Dimana syarat yang harus dipenuhi dalam
desain ini adalah mempunyai data yang homogen. Desain model tetap yaitu
desain yang digunakan apabila peneliti hanya mempunyai a buah taraf faktor
A dan b buah faktor B dan semuanya digunakan dalam eksperimen yang
dilakukan. Eksperimen faktorial adalah eksperimen yang semua (hampir
semua) taraf sebuah faktor tertentu dikombinasikan atau disilangkan dengan
semua (hampir semua) taraf tiap faktor lainnya yang ada dalam eksperimen itu
(Sudjana,1996).

Universitas Pamulang
66

Pada penelitian ini untuk pengukuran hasil pengelasan digunakan desain


eksperimen faktorial 1 x 3 dimana ketiganya dibedakan berdasarkan
temperature preheating, yaitu 100˚C, 150˚C dan 200˚C. Terhadap satu
variabel bebas yang kemudian pada desain eksperimen ini disebut faktor.
Faktor itu mempunyai tiga taraf yaitu variasi penanganan terhadap material
induk mulai dari tanpa preheating dan tanpa cleaning, dengan preheating
tanpa cleaning, dan dengan dilakukan preheating dan cleaning. Sehingga pada
eksperimen ini diperoleh desain eksperimen faktorial 1 x 3. Dengan demikian
diperlukan 3 kondisi eksperimen atau 3 kombinasi perlakuan yang berbeda –
beda. Pada masing – masing perlakuan dilakukan 1 kali replikasi dan di ambil
3 spesimen dengan perbedaan temperature yaitu 100˚C, 150˚C dan 200˚C
yang kemudian dilakukan pengujian hasil pengelasan dengan dye-penetrant,
sehingga total data yang diperoleh 9 data.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

1. Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini ada 3 variabel yaitu variabel bebas,


variabel terikat, dan variabel control.

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penanganan terhadap


material induk mulai dari tanpa preheating dan tanpa cleaning, dengan
preheating tanpa cleaning, dan dengan dilakukan preheating dan
cleaning. Dengan perbedaan preheat temperature sebesar 100˚C,
150˚C dan 200˚C.
b. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pengujian hasil las dengan
dye-penetrant dari pengelasan raw material twin roll (SS316).
c. Variabel kontrol yang dimaksud disini adalah semua faktor yang
mempengaruhi hasil pengelasan dan pemanasan. Adapun variabel
kontrol tersebut antara lain :

Universitas Pamulang
67

1) Prosedur pengelasan yaitu cara-cara pengelasan yang baik dan


benar sehingga diharapkan mendapatkan hasil pengelasan yang
berkualitas.
2) Bahan yang sama untuk semua penelitian yaitu raw material twin
roll (SS316).
3) Elektroda yang digunakan harus sama jenis dan ukurannya yaitu
menggunakan elektroda AWS ERSS316LSI dengan diameter 1
mm.
4) Parameter proses pengelasan yang sama.

2. Sumber Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi, observasi dan eksperimen langsung yaitu metode
pengumpulan data penelitian yang dengan sengaja dan secara sistematis
mengadakan perlakuan atau tindakan pengamatan terhadap suatu variabel.
Dilakukan dengan cara pengujian tanpa pemanasan awal dan dengan
pemanasan awal (preheat) pada raw material twin roll (SS316)

3. Pelaksanaan Eksperimen

a. Bahan Penelitian :
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Raw Twin roll yang menggunakan material utama SS316 dengan
ketebalan 4 mm.
2) Elektroda las yang digunakan AWS ER316Lsi dengan diameter 1
mm.
3) Tegangan yang digunakan adalah 18 V dengan posisi pengelasan
datar.
4) Gas yang digunakan adalah Tri-Mixes Short-Circuiting Stainless
Steel (campuran antara argon 7.5%, helium 90%, dan karbon
dioksida 2.5%).
5) Kampuh yang digunakan adalah kampuh V terbuka dengan posisi
plat menempel (tanpa jarak), tinggi ujung kampuh 1 mm dan sudut
kampuh 600.

Universitas Pamulang
68

b. Alat Penelitian :
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1) APD (Alat Pelindung Diri)
2) Mesin gerinda tangan.
3) Mesin las Fast Mig MXF67 “KEMPPI” Pulse 350.
4) Sikat baja
5) Termokopel
6) Kikir
7) Tang penjepit
8) Clamp
9) Palu
10) Penggaris sudut digital
11) Vacuum Cleaner
12) Alat uji kimia (Spectrometer).
13) Amplas Kasar
14) Amplas halus (400-1000 Mesh)
15) Partikel Alumina 5µm
16) Partikel Alumina 1 µm
17) Oven
18) Trinocular Inverted Metallurgical Microscope (IMM 901)
19) Cairan Methyl Ethyl Keton (MEK)
20) Cairan kimia Dye-Penetrant Test.
21) Majun / kain absorban.

3.7 Desain Penelitian


1. Persiapan Spesimen Sebelum Dilakukan Pengelasan
a. Langkah–langkah yang dilakukan dalam persiapan spesimen sebelum
dilakukan pengelasan adalah:
b. Merangkai raw ring material (cincin material) kedalam inner shell.
c. Memasang clamp pada raw ring material agar tidak bergeser dari
posisinya.
d. Buat garis sudut pada bagian yang akan dibuat kampuh V.

Universitas Pamulang
69

Gambar 3.2. Raw ring material (kiri), Perangkaian/penyusunan ring


kedalam inner shell (kanan)
e. Membuat kampuh V terbuka dengan ukuran yang telah ditentukan
yaitu pada sudut 60˚, yang berarti setiap sisi dikenakan sudut 30˚
menggunakan mesin gerinda tangan sesuai prosedur pengoperasian
mesin.
f. Meratakan sisi – sisi pemotongan dengan kikir agar rapi dan tidak
membahayakan.
g. Menyesuaikan posisi roll pada stand blasting untuk selanjutnya
dilakukan proses blasting .

2. Blasting Process

Gambar 3.3. Blasting Process


Setelah twin roll sudah pada posisi yang tepat, dilakukan persiapan
awal guna mendapat pengaturan yang sesuai dengan dimensi roll yaitu,
7300mm panjangnya dan diameter 1050mm. Parameter yang ditetapakan

Universitas Pamulang
70

adalah menggunakan carriage speed 50mm/min dengan tekanan sebesar 5


Bar dan putaran roll 10 rpm (konstan). Material yang digunakan adalah
Almuniun Zircon dengan ukuran GH 20 guna mendapatkan profil material
sesuai yang diharapkan. Proses blasting berlangsung selama 146 menit
(±2,4 jam) dalam mode automatic, dan proses vacumming 7,3 menit
dengan kecepatan carriage 1000mm/min saat proses vacumming.

3. Cleaning Process (Proses Pembersihan)


Berdasarkan data aktual dilapangan, cleaning process (proses
pembersihan) tidak pernah dilakukan. Namun dalam pengujian ini saya
mengambil beberapa section guna dijadikan sampel sebagai area yang
mendapatkan treatment cleaning process. Proses pembersihan dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Pembersihan sisa-sisa material blasting pada kubu-kubu ring raw
material dengan menggunakan sikat baja.
b. Melakukan proses vacumming dengan menggunakan hand vacuum
cleaner pada bagian/posisi yang kemungkinan tidak terjangkau oleh
mesin blasting.
c. Melap permukaan dengan kimia Methyl Ethyl Keton (MEK) yang tidak
bersifat korosif dan aman bagi material stainless steel, hal ini
dilakukan dengan tujuan menghilangkan sisa residu pada permukaan
material.

4. Pengelasan
Standar pengelasan yang digunakan dalam perangkaian/penyatuan raw
material adalah sebagai berikut:
a. Pengelasan posisi datar.
b. Elektroda las yang digunakan AWS ER316Lsi dengan diameter 1 mm.
c. Tegangan yang digunakan adalah 18 V.
d. Pendinginan dengan udara ruangan.
e. Gas yang digunakan adalah Tri-Mixes Short-Circuiting Stainless Steel
(campuran antara argon 7.5%, helium 90%, dan karbon dioksida
2.5%).

Universitas Pamulang
71

f. Kampuh yang digunakan adalah kampuh V terbuka dengan posisi plat


menempel (tanpa jarak), tinggi ujung kampuh 1 mm dan sudut kampuh
600.

5. Pelaksanaan Pre-Heat saat Proses Pengelasan


Adapun prosedur pengelasan MIG (metal inert gas) adalah sebagai
berikut:
a. Hubungkan kabel mesin las ke sumber tenaga, lalu hidupkan mesin.
b. Setel pengontrol penggerak kawat pada posisi nol, supaya kawat tidak
jalan dulu sebelum waktunya.
c. Buka katup-katup pada tabung gas dan tabung air pendingin.
d. Tarik pelatuk pistol las,buka kran air aliran gas pada pengaturnya,
kemudian setel aliran gas menurut ketentuan.
e. Sekarang setel kecepan geerak kawat.
f. Setel besar tegangan sebesar 18V.
g. Setel stick out ( lihat gambar stick out di bawah ini)

Gambar 3.4. Stick out posisi normal, biasa digunakan untuk ampere tinggi
(Ausaid,2001)

Gambar 3.5. Stick out yang biasa dipakai dalam ampere menengah
(Ausaid,2001)

Universitas Pamulang
72

Gambar 3.6. Stick out yang biasa dipakai dalam ampere rendah
(Ausaid,2001)

h. Setelah semua selesai dengan baik; pengelasan dapat di mulai.


sentuhkan ujung elektroda ke benda kerja sehingga timbul busur
listrik, dan pelatuk segera di tarik.
i. Selanjunya memulai pengelasan untuk spesimen pengelasan
nonpreheated.
j. Memanaskan raw ring material dengan nyala api dari gas Tri-mix
hingga suhu permukaan berada pada temperatur 1000C, kemudian
diukur dengan termokopel, kemudian lakukan pengelasan untuk
spesimen pengelasaan dengan preheated 1000C.
k. Memanaskan raw ring material dengan nyala api dari gas Tri-mix
hingga suhu permukaan berada pada temperatur 1500C, kemudian
diukur dengan termokopel, kemudian lakukan pengelasan untuk
spesimen pengelasaan dengan preheated 1500C.

Gambar3.7. Pre-Heating Process

Universitas Pamulang
73

l. Memanaskan raw ring material dengan nyala api dari gas Tri-mix
hingga suhu permukaan berada pada temperatur 2000C, kemudian
diukur dengan termokopel, kemudian lakukan pengelasan untuk
spesimen pengelasaan dengan preheated 2000C.

6. Pengujian Komposisi
Pengujian raw material komposisi Stainless Steel 316 ini sudah
diketahui dari katalog produk PT. Taloe Metal Teknika. Namun untuk
mengetahui perbedaan komposisi Stainless Steel 316 yang mengalami
Preheat perlu diadakan kembali pengujian komposisi kimia. Pengujian
komposisi digunakan untuk mengetahui jumlah persen senyawa penyusun
material yang nantinya akan digunakan untuk menentukan suhu
pemanasan yang efektif. Pengujian komposisi ini dilakukan 3 burn di titik-
titik yang akan dicari komposisi bahan spesiment tersebut. Adapun
langkah pengujian komposisi kimia adalah sebagai berikut:
a. Menyiapkan alat uji komposisi kimia, Spectrometer.
b. Menempelkan ujung alat ke material yang akan diuji. Benda y a n g
a k a n d i uji harus menutupi seluruh permukaan ujung Spectrometer.
c. Bila terjadi kebocoran maka mesin uji tidak bekerja dengan benar,
karena pada waktu penembakan laser akan terjadi kebocoran.
d. Menghidupkan mesin. Pada tahap ini terjadi penembakan material
dengan laser selama kurang lebih 60 detik.

Gambar 3.8. Hasil Pengujian Spectrometer

Universitas Pamulang
74

e. Hasil pembakaran berupa cahaya yang berwarna yang kemudian


menuju optik dan dibiaskan berupa warna unsur dan ditangkap oleh
detektor dalam jumlah persen.
f. Melihat pada layar monitor hasil dari penembakan dan bisa dicetak
pada kertas yang sudah disediakan.

Selain pengujian kadar unsur material, dilakukan pula pengujian


dengan menggunakan Trinocular Inverted Metallurgical Microscope
(IMM 901) guna mendapatkan foto dari mikrostruktur material stainless
steel sehingga kita dapat membedakan perbedaan antara struktur material
dengan preheat maupun tanpa preheat.
Sebelum dilakukan pengambilan foto mikrostruktur, sampel
pengujian perlu dilakukan preparasi sampel. Berikut prosedur persiapan
sampel:
a. Penentuann ukuran sampel, tergantung pada sifat material dan
informasi yang akan didapat. Umumnya bervariasi antara 5-30 mm
dan ketebalan lebih kecil dari dimensi tersebut dan kali ini digunakan
sampel dengan dimensi Ø 20 mm dan ketebalannya 2 mm pada
seluruh sampel.

Gambar 3.9. Contoh Sampel


b. Mounting sample, dilakukan karena ukuran sampel terlalu kecil guna
mempermudah melakukan penanganan untuk proses selanjutnya.
c. Amplas kasar, umumnya untuk menghaluskan permukaan yang
tergores cukup dalam pada proses pemotongan.

Universitas Pamulang
75

d. Amplas halus, dilakukan dengan amplas berpartikel SiC yang


memiliki ukuran antara 400-1000 mesh.

Gambar 3.10. Mesin Poles


e. Poles kasar, dilakukan dengan menggunakan partikel alumina atau
intan dengan besar partikel sekitar 5 μm. Proses ini digunakan untuk
menghilangkan goresan yang masih tersisa dari proses amplas.
f. Poles halus, untuk menghilangkan goresan yang amat halus dengan
menggunakan partikel alumina atau intan dengan besar partikel kurang
dari 1 μm. Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel
yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan
menghilangkan ketidakteraturan sampel hingga orde 0.01 μm.

Gambar 3.11. Perbandingan antara permukaan halus dan kasar,


permukaan kasar (kiri), permukaan halus (kanan) (FTUI,2011)

Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus


benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang,
maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena

Universitas Pamulang
76

cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh


permukaan sampel.
g. Etsa (Etching), dilakukan pada sampel yang telah dikeringkan setelah
poles halus dengan menggunakan zat kimia yang bersifat asam atau
basa.

Gambar 3.12. Sampel yang telah di etsa


h. Pre-Heat Process, spesimen mengalami perlakuan panas dengan cara
sampel dimasukkan ke dalam oven dan dilakukan pemanasan dengan
variasi suhu, yaitu 100˚C, 150˚C, dan 200˚C. Waktu pre-heating,
dilakukan dengan cara memantau suhu oven secara terus menerus dan
melakukan penyesuaian setting pemanasan berulang kali agar
temperatur konstan pada suhu yang diinginkan.

Gambar 3.13. Oven


Setalah sampel telah selesai di preparasi, maka sampel siap di amati
dengan mikroskop optik dan dilakukan pengambilan foto mikrostruktur.
Adapun langkah pengambilan foto mikrostruktur dengan menggunakan
Trinocular Inverted Metallurgical Microscope (IMM 901) adalah sebagai
berikut:
a. Letakkan sampel pada preparat , berikan lilin pada bagian bawah
sampel.

Universitas Pamulang
77

b. Ratakan letak sampel dengan alat penekan sampel.


c. Letakkan sampel di atas meja objektif mikroskop optik.
d. Nyalakan lampu mikroskop. Jangan terlalu tinggi.
e. Tentukan perbesaran dengan perbesaran yang kecil terlebih dahulu.
f. Tentukan perbesaran yang diinginkan dengan mengatur lensa objektif.
g. Atur fokus dengan menaik-turunkan lensa.
h. Setelah fokus tentukan diafragma dan pencahayaannya.
i. Setelah selesai, pengambilan foto dapat dilakukan.
j. Foto dari pengambilan gambar mikrostruktur ini dapat dicopy untuk
kemudian di print melalui computer.
k. Setelah selesai ambail kembali sampel dari meja objektif dan matikan
lampu mikroskop.

7. Pengujian Dye-Penetrant
Tahapan-tahapan pengujian Dye-Penetrant Test:

a. Hasil pengelasan yang masih panas ditunggu hingga dingin sebelum


dilakukan pengujian.
b. Persiapan Permukaan: Salah satu langkah yang paling penting dari
pengujian dye-penetrant adalah persiapan permukaan. Permukaan
harus bebas dari minyak, lemak, air, atau kontaminan lainnya yang
dapat mencegah penetrant masuk.
c. Aplikasi penetrant: Setelah permukaan telah dibersihkan dan
dikeringkan, bahan penetrant di aplikasikan dengan penyemprotan
pada bagian yang akan diuji.
d. Dwell Time: dye penetrant yang tersisa di permukaan selama waktu
yang cukup dapat memungkinkan penetrant untuk menarik atau
meresap ke cacat. Waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini ialah 15
menit.
e. Excess Penetrant Removal: Ini adalah bagian yang paling penting dari
prosedur pemeriksaan dikarenakan kelebihan penetrant harus
dihilangkan dari permukaan sampel sehingga dapat memperlihatkan
cacat.

Universitas Pamulang
78

f. Application Developer: Material yang telah di bersikan selanjutnya di


beri bahan develover,hal ini mengakibatkan penetrant yang sudah
berada di dalam keretakan timbul kembali sehingga keretakan dapat
terlihat.
g. Inspeksi atau finding indication: Setelah development terjadi,
pemeriksaan permukaan dilaksanakan dibawah cahaya yang cukup.
h. Pembersihan permukaan: Langkah terakhir dalam proses ini adalah
proses pembersihan terakhir untuk benar-benar membersihkan
permukaan bagian sampel.

3.8 Teknik Analisa Data


Analisis data hasil pengujian pemberian panas awal dibandingkan dengan
spesimen tanpa pemberian panas awal dilakukan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:

1. Analisa Komposisi kimia


Uji komposisi dilakukan dengan alat Spectrometer. Pengujian ini dapat
memberikan informasi mengenai komposisi kimia material Stainless Steel
316 secara makro. Selanjutnya, dari komposisi tersebut dapat digunakan
untuk mengetahui jumlah persen komposisi kimia yang akan digunakan
untuk menentukan suhu pemanasan yang efektif. Komposisi yang terdapat
pada Stainless Steel 316 sudah ada pada katalog produk Ragavendra
Engineering. Namun untuk mengetahui perbedaan komposisi Stainless
Steel 316 yang mengalami preheat perlu diadakan kembali pengujian
komposisi kimia. Untuk itu dilakukan lagi pengujian komposisi kimia
pada spesimen yang telah mengalami preheat .

Sedangkan untuk hasil dari foto mikrostruktur dilakukan guna


mendapatkan luas muai dari sempel yang mengalami preheat dengan
temperature yang berbeda. Dari hasil foto mikrostruktur ini dapat
membuktikan bahwasannya dengan temperature yang berbeda dapat
menyebabkan muai logam induk yang berbeda serta hasil dari kualitas
pengelasan yang berbeda pula.

Universitas Pamulang
79

2. Analisis Dye-Penetrant
Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
kualitas hasil pengelasan antara bahan yang mengalami perlakuan yang
berbeda yaitu dengan metode Non-destructive test. Hasil dari pengujian
dye-penetrant berupa penampakan cacat permukaan pada sambungan
pengelasan yang nantinya akan dibandingkan antar spesimen yang
mendapatkan perlakuan berbeda, juga pembuatan presentase cacat setiap
spesimennya.

Setelah didapatkan hasil pengujian, setiap hasilnya akan di


dokumentasikan dengan foto sebagai bukti otentik. Bukti ini nanti yang
akan dijadikan bahan perbandingan, guna menjawab hipotesa yang ada.
Sehingga hasil dari penelitian ini dapat bersifat konkret dengan dibarengi
fakta yang berasal dari data yang ada.

Universitas Pamulang
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Hasil Uji Komposisi Kimia


Dari hasil pengujian tersebut dapat diketahui kandungan unsur penyusun
material Stainless steel 316 yang mengalami pengelasan dengan Pre-heat.
Pada pengujian ini menggunakan alat spectrometer oxford instrument merk
Vulcan di PT X. Pengujian ini dilakukan dengan penembakan sinar laser pada
spesimen raw material setelah mengalami preheat. Pengujian dilakukan
dengan standar komposisi Non-ferro dengan maksud agar logam-logam selain
ferro dapat terdeteksi secara maksimum.

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Komposisi Kimia Stainless steel 316

Hasil Pengujian
No Unsur Temp. Preheat Temp. Preheat Temp. Preheat
100oC 150oC 200oC
1 Cu 0,40 0,13 0,21
2 Fe 70,24 67,35 65,20
3 Cr 15,54 16,59 18,13
4 Ni 10,00 11,17 9,95
5 Mo 2,02 2,79 2,46
6 Mn 1,32 1,42 2,62
7 Al 0,00 0,00 0,00
8 Co 0,10 0,16 0,21
9 Si 0,32 0,32 1,03
10 Nb 0,01 0,00 0,12
11 Ti 0,00 0,00 0,01
12 V 0,5 0,06 0,06

Hasil uji komposisi kimia dilakukan pada tiga spesimen setelah mengalami
preheat dengan variable temperatur yang berbeda-beda. Pengujian pada
spesimen ini dilakukan dengan standar non steel carbon karena pada dasarnya
Stainless steel 316 ini terindikasi adalah Stainless steel yang bersifat tidak

80
Universitas Pamulang
81

magnetis. Berdasarkan data dari katalog produk Ragavendra Engineering


Stainless steel 316 komposisi kimia dapat dilihat dalam tabel 4.2

Tabel 4.2. Data Komposisi Kimia Raw Material Stainless steel 316
Unsur C Si Mn P S Cr Ni Mo
Berat % 0,08 1,0 2,0 0,045 0,03 16,0-18,0 10,0-14,0 2,0-3,0
(Ragavendra Engineering,2019)

Dari hasil uji tersebut ada beberapa unsur yang tidak terdeteksi dengan
jelas. Pada raw material Stainless steel 316 dari katalog, unsur Fe, Cu, Co,
V,dan Nb tidak terdeteksi dengan jelas. Namun lain halnya dengan Stainless
steel 316 yang telah mengalami pre-heat unsur-unsur yang tidak terdeteksi
akan terdeteksi dengan jelas pada masing-masing daerah seperti pada tabel 4.1
Dari kesemua unsur tambahan yang terdeteksi dengan jelas tersebut memiliki
persen yang sangat sedikit sekali. Namun walaupun demikian hal ini tidak
dapat dianggap bahwa komposisi tambahan yang terdeteksi tersebut tidak
mempengaruhi terhadap ketangguhan bahan. Justru sebaliknya, komposisi ini
memiliki peran penting dalam segi ketangguhan material Stainless Steel 316.

Stainless Steel 316 merupakan baja paduan yang mengandung minimal


10,5% Cr. Sedikit baja stainless mengandung lebih dari 30% Cr atau kurang
dari 50% Fe. Daya tahan Stainless Steel terhadap oksidasi yang tinggi di udara
dalam suhu lingkungan biasanya dicapai karena adanya tambahan minimal
13% (dari berat) Krom. Krom membentuk sebuah lapisan tidak aktif ,
Kromium (III) Oksida (Cr2O3) ketika bertemu Oksigen. Lapisan ini terlalu
tipis untuk dilihat, sehingga logamnya akan tetap berkilau. Logam ini menjadi
tahan air dan udara, melindungi logam yang ada di bawah lapisan tersebut.
Fenomena ini disebut passivation dan dapat dilihat pada logam yang lain,
seperti pada alumunium dan titanium.

Berdasarkan data yang ada, unsur karbon (C) tidak muncul pada hasil
pengujian spectrometer. Hal ini dikarenakan spectrometer menguji bahan
dengan menggunakan standar non steel carbon. Sehingga unsur karbon tidak
muncul pada hasil uji spectrometer. Sedangkan unsur belerang (S) dan fosfor
(P) tidak muncul dalam hasil pengujian dikarenakan unsur ini terbilang sangat

Universitas Pamulang
82

sensitif terhadap panas. Belerang (S) sebagaimana fosfor (P) memiliki


kecenderungan untuk segregasi (pemisahan) sebagai segregasi blok maupun
gas. Hal ini akan terjadi terutama apabila proses peleburan khususnya baja
dilakukan secara tidak cermat serta terjadi banyak sekali gejolak. Dengan
demikian unsur ini juga dimasukan dalam golongan unsur yang tidak
dikehendaki. Mn (0,5% – 0,9%) merupakan unsur yang ditambahkan untuk
mencegah efek buruk yang disebabkan oleh S.

Pada hasil komposisi diatas memiliki berbagai macam unsur yang


terbentuk dan membentuk menjadi sebuah kesatuan yang memiliki sifat
tersendiri. Sifat yang paling dominan adalah kandungan antara Fe, Cr, Ni.
Stainless steel pada dasarnya ialah besi (Fe) dengan tambahan unsur
Chromium (Cr) dan Nikel (Ni). Sedangkan unsur Karbon ( C ) hanya sampai
dengan 0,08% (maksimal). Bila kadar unsur karbon ( C) lebih dari 0.08%,
maka material tersebut tidak lagi tergolong dalam jenis Stainless steel.

Kandungan unsur paduan seperti Cromium (Cr) pada semakin meningkat


pada temperatur preheat yang semakin tinggi, hal ini mengakibatkan
meningkatnya ketangguhan terhadap beban kejut pada Stainless steel 316.
Chromium (Cr) merupakan salah satu komponen unsur paduan yang mampu
mengendalikan carbide secara stabil serta mengatasi pengaruh buruk unsur
silicon (Si).

Unsur Chromium juga dapat memberikan pengaruh yang besar terutama


dalam proses kimia pada saat proses pemanasan yaitu terjadinya peristiwa
sensitasi pada besi sehingga mengakibatkan peningkatan kwalitas Stainless
steel 316 tersebut, hal ini terjadi karena unsur Chromium dapat mendukung
terbentuknya karbida dan kadar Chromium dalam spesimen dapat juga
mendorong terbentuknya fasa martensit sehingga spesimen ini mempunyai
struktur martensit.

Molibdenum (Mo) mempunyai fungsi utama untuk mempromosikan


pengerasan pada grafit atau perlit, untuk meningkatkan ketahanan terhadap
temperature yang tinggi. Penambahan kecil (2-3%) dari molibdenum untuk

Universitas Pamulang
83

Stainless steel dapat meningkatkan ketahanan permukaan. Molybdenum (Mo)


sangat berperan dalam pembentukan carbide. Molybdenum meningkatkan
kekuatan,dan batas mulur Stainless steel, terutama terhadap pembebanan yang
continue, serta ketahanan terhadap korosi dari chlorides (seperti air laut).

Unsur Nikel (Ni) dalam spesimen uji mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan. Unsur nikel pada Stainless steel memberikan sifat tahan karat, yang
merupakan salah satu keunggulan dari material Stainless steel. Dalam keadaan
murni, nikel bersifat lembek, namun bila dipadukan dengan besi (Fe),
Chromium (Cr), dan logam lainnya, unsur ini dapat membentuk material yang
tahan karat dan keras.

Unsur Silicon (Si) dalam spesimen uji mempunyai pengaruh yang


signifikan. Pada Stainless steel sebagian dari Silicon juga akan membentuk
karbida (silikonkarbid), sehingga secara umum bila dibandingkan dengan
unsur karbon, Silicon hampir tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan
struktur Stainless steel. Pada Stainless steel dengan kandungan Silicon tinggi,
atom-atom yang menyusun unit sel akan tertata secara merata dan membentuk
struktur jenuh yang memiliki karakteristik seragam. Tatanan ini akan
meningkatkan sifat hantar listrik serta sekaligus juga tingkat kerapuhan
bahan sehingga proses pengerjaan dingin hanya mungkin dilakukan
terhadap Stainless steel dengan kandungan Silicon maksimum 1%, bahkan
pada kandungan Silicon lebih dari 7%, proses pengerjaan panas pun hanya
dapat dilakukan dengan hasil yang buruk. Pada kandungan Silicon diatas 10%,
paduan sudah kehilangan kemampuan bentuknya. Kandungan Silicon yang
lebih banyak pada logam las mengakibatkan baja ini mudah memiliki karbida
yang lebih tinggi daripada logam induk.

Unsur lain yang cukup berpengaruh untuk meningkatkan kekerasan


spesimen uji adalah mangan (Mn), dalam jumlah diatas 2 % akan bereaksi
dengan belerang membentuk sulfida mangan. Ikatan ini rendah bobot jenisnya
dan dapat larut dalam terak. Mangan merupakan unsur deoksidasi dan
khususnya sebagai pengikat unsur belerang (S), pemurni sekaligus
meningkatkan fluiditas, kekuatan dan kekerasan Stainless steel. Akibat dari

Universitas Pamulang
84

persenyawaannya dengan unsur belerang (S) menjadi mangansulfida (MnS)


yang memiliki temperature lebur tinggi, Stainless steel dengan kandungan Mn
tinggi tidak mudah patah pada temperature tinggi. Bila kadarnya semakin
besar dalam Stainless steel maka kemungkinan akan meningkatkan
terbentuknya ikatan kompleks dengan karbon. Dari data hasil pengujian
diperoleh kandungan unsur tersebut mencapai 1,32% hingga 2,62%. Unsur
kandungan dari logam las memiliki kandungan paduan yang lebih tinggi dari
logam induk.

Vanadium (V) memberikan efek tahan terhadap korosi karena memiliki


lapisan pelindung oksida di permukaannya.

Dari hasil pengujian komposisi kimia didapatkan penyusun utama adalah


besi (Fe) = berkisar antara 65-71%, paduan dengan unsur ini dapat
dipergunakan memperbaiki kekuatan tarik dan dapat memperhalus struktur
kristalnya.

Khrom (Cr) merupakan unsur terpenting untuk baja konstruksi dan


perkakas yang menginginkan daya atau sifat mekanik yang baik, baja menjadi
tahan karat dan asam, meningkatkan keausan, kekakuan, tahan aus, kemampu
kerasan dan ketahanan panas, dimana kandungan tertinggi terdapat pada
spesimen dengan preheat pada temperature 200oC yaitu 18,13 % .

Mangan (Mn) sebagai unsur paduan logam pada baja konstruksi dan
perkakas dalam meningkatkan kakuatan, kekerasan, dan ketahanan aus.
dimana kandungan tertinggi terdapat pada spesimen dengan preheat pada
temperature 200oC yaitu 2.62 %.

Nikel (Ni) meningkatkan keuletan, kekakuan, mampu las dan tahan karat,
dimana kandungan tertinggi terdapat pada spesimen dengan preheat pada
temperature 150oC yaitu 11,17 % .

Silium (Si) untuk meningkatan kekakuan, kekerasan, tahan aus, tahan


panas dan karat, tetapi juga mampu menurunkan tegangan, kemampuan tempa

Universitas Pamulang
85

dan mampu las, dimana kandungan tertinggi terdapat pada spesimen dengan
preheat pada temperature 200oC yaitu 1.03%.

Tembaga (Cu) mempunyai sifat fisik daya penghantar listrik yang tinggi,
daya hantar panas dan tahan karat. Cu sangat malleable dan ductile (dapat
ditempa dan ulet) dapat dirol, ditarik, ditekan dan ditempa dengan mudah,
dimana kandungan tertinggi terdapat pada spesimen dengan preheat pada
temperature 100oC yaitu 0.4%.

Dari hasil pengujian ini dapat dilihat bahwa, setelah dilakukan proses
preheat kandungan yang terdapat pada Stainless steel 316 berubah
komposisinya. Serta perbedaan besar kecilnya temperatur pemanasan
mempengaruhi kadar masing-masing unsur. Dari hasil pengujian ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa proses preheat mempengaruhi komposisi dan
menyebabkan perubahan struktur mikro.

4.2 Pembahasan Hasil Foto Struktur Mikro


Eksperimen ini dilakukan guna mengamati kondisi struktur mikro pada
logam induk tanpa mengalami pre-heating proses dan mengamati luas
pemuaian logam induk yang mengalami pre-heating proses dengan varisai
temperaturee yaitu 100˚C, 150˚C, dan 200˚C.

Hasil dari pengujian ini berupa foto struktur mikro, dimana terdapat
perbedaan antara luas struktur mikro, material yang tidak mengalami pre-
heating proses dengan material yang mengalami pre-heating dengan variasi
temperaturee.

Pembuatan gambar struktur mikro dilakukan dengan menggunakan


Trinocular Inverted Metallurgical Microscope. Pada gambar struktur mikro
sampel yang menggunakan Trinocular Inverted Metallurgical Microscope
dengan perbesaran 1 strip sama dengan 10 mikron, diperoleh data
sebagaimana pada Gambar 4.1.

Universitas Pamulang
86

Gambar 4.1. Hasil Foto Struktur Mikro


Hasil dari pengamatan struktur mikro secara keseluruhan pada smua
spesimen, fasa yang tampak jelas yaitu austenit (warna putih), karbida Cr
(khrom) dengan butiran yang halus (bintik-bintik hitam), dan ferit (gelap).

Dari Gambar 4.1 dapat dijelaskan bahwa material induk dengan proses
pemanasan 100˚C mengalami pemuaian namun luas pemuaian tidak terlalu
signifikan, karena bila di perhatikan dari luas area ferit dan austenit, disana
tidak banyak terdapat perubahan, hanya pada karbida Cr mengalami pemuaian

Universitas Pamulang
87

yang ditandai dengan lebih besarnya bintik-bintik hitam dibandingkan dengan


material yang tidak mengalami pre-heating proses.

Kemudian untuk spesimen yang mengalami pre-heating dengan


temperaturee 150 ˚C, disana tampak jelas terjadi perubahan luas area yang
cukup signifikan dibandingkan dengan pre-heating dengan temperature 100
˚C. Hal ini terlihat dari luas area dari ferit dan austenit serta karbida Cr yang
lebih besar. Dari sini mulai terlihat adanya pemuaian dari spesimen tersebut,
dan dapat dilihat pada kondisi ini komposisi yang terbentuk terlihat merata,
dalam artian luas area antara ferit, austenite, dan karbida Cr terlihat seimbang .

Lalu untuk spesimen yang mengalami pre-heating dengan temperaturee


200 ˚C, terjadi pemuaian yang terlihat berlebihan. Penarikan kesimpulan ini
didasari pada luas area dari ferit, austenite, dan karbida Cr yang terlalu luas
sehingga menyebabkan tidak terjaganya keseimbangan komposisi didalamnya.
Ada area yang menerima terlalu banyak ferit dan ada area yang menerima
terlalu banyak austenit pada pembesaran 100 mikron. Hal ini tentu memicu
terjadinya perubahan metalurgi pada spesimen dan dapat merubah kondisi
hasil pengelasan nantinya.

Sehingga dari analisa data yang ada dapat disimpulkan, temperature yang
baik digunakan dalam proses pre-heating sebelum melakukan pengelasan
adalah pada temperaturee 150˚C. Dimana spesimen tetap mengalami
pemuaian yang cukup, namun tidak merubah komposisi dari penyusun
spesimen yang ada.

4.3 Pembahasan Hasil Uji Dye-Penetran


Eksperiman untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil pengelasan
antara bahan yang mengalami perlakuan sebelum pengelasan dengan bahan
yang tidak mengalami perlakuan sebelum pengelasan.

Hasil dari pengujian ini berupa penampakan visual, dimana bila terdapat
cacat pada hasil pengelasan tersebut, cairan penetrant akan menunjukkan
lokasi dan jenis cacat pada hasil pengelasan tersebut. Pada dasarnya hasil

Universitas Pamulang
88

pengujian ini hanyalah pengujian dibagian permukaan hasil pengelasan yang


terdapat celah. Pengujian ini dirasa cukup untuk mengetahui kualitas
pengelasan dari proses Twin Roll Assembly. Hal ini didasari oleh ketebalan
bahan yang hanya 4 mm. Sehingga dirasa pengujian ini lebih dari cukup untuk
menentukan kualitas dari hasil pengelasan disetiap spesimen yang ada. Hasil
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.3. Hasil Uji Dye-penetrant tanpa perlakuan pre-heating process

Hasil Uji Dye-penetrant Pada Hasil Pengelasan Tanpa Perlakuan Pre-heating


dan Cleaning Process

Spesimen 1 Spesimen 2 Spesimen 3

Dari data tabel hasil pengujian Dye-penetrant diatas dapat diketahui hasil
pengelasan pada tiap spesimen tanpa perlakuan pre-heat dan tanpa cleaning
process dengan pengelasan MIG.

Spesimen 1 terdapat porosity yang cukup besar ukurannya, hal ini


kemungkinan besar disebabkan karena material kawat las tidak dapat menyatu
dengan material induk. Hal ini dapat terjadi karena permukaan material induk
yang masih kotor oleh residu dari proses sand blasting dan kurang besarnya
pori-pori permukaan material induk, sehingga mengurangi kualitas peleburan
antara material induk dengan material kawat las.

Spesimen 2 terjadi cold crack pada salah satu sisi permukaannya. Besar
kemungkinan hal ini dapat terjadi diakibatkan oleh suhu permukaan material
induk yang terlalu dingin, sehingga material kawat las yang mencair lebih
cepat mengeras dan menjadi getas, selain itu penyebaran panas yang tidak

Universitas Pamulang
89

merata pun merupakan faktor penyebab cacat ini terjadi. Fenomena ini
dikatakan sebagai cold crack, karena retakan yang terjadi setelah beberapa jam
berlalu ketika akan dilakukan dye-penetrant test.

Spesimen 3 terbentuk linear porosity, hal ini kemungkinan besar


disebabkan karena material kawat las tidak dapat menyatu dengan material
induk. Hal ini dapat terjadi karena permukaan material induk yang masih
kotor oleh residu dari proses sand blasting dan kurangnya besar pori-pori
permukaan, sehingga mengurangi kualitas peleburan antara material induk
dengan material kawat las.

Tabel 4.4. Hasil Uji Dye-penetrant dengan perlakuan pre-heating process


Perlakuan Bahan Dengan Perlakuan Pre- Dengan Perlakuan
Sebelum heating, Tanpa Cleaning
Pengelasan
Pre-heating dan
Spesimen Process Cleaning
Suhu Pre-Heat (A) (B)

Spesimen 1
(Suhu Pre-Heat
100˚C )

Spesimen 2
(Suhu Pre-Heat
150˚C)

Spesimen 3
(Suhu Pre-Heat
200˚C)

Universitas Pamulang
90

Dari data tabel hasil pengujian Dye-penetrant diatas dapat diketahui


perbedaan hasil pengelasan pada tiap spesimen yang mengalami pre-heat
tanpa cleaning process dan spesimen yang mengalami pre-heat dengan
cleaning process, dimana setiap spesimennya mengalami proses pre-heating
yang suhunya berbeda-beda.

Spesimen A1 terbentuk pin hole porosity yang cukup dalam yang dapat
dilihat dari kontras warna penetrant yang cukup tinggi, dari sini dapat
dipastikan bahwa porotisy ini cukup dalam dikarenakan banyaknya cairan
penetrant yang terserap kedalamnya dan banyaknya partikel blasting di area
pengelasan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya cleaning process
dan logam induk yang belum matang (temperaturee permukaan rendah)
sehingga memungkinan residu yang terdapat di bagian tersebut menutupi area
pengelasan dan terlepas ketika proses pendinginan, sehingga menyebabkan
terbentuknya porosity pin hole.

Spesimen A2 terdapat abnormality. Hal ini dapat terjadi dikarenakan sisa


residu terdapat di tengah permukaan material induk dan membentuk jalur
porosity yang terdapat di dalam permukaan hasil pengelasan hingga
pertemuan antara 2 material induk yang kemudian dapat terbaca oleh cairan
penetrant.

Spesimen A3 dari hasil pengujian terdapat pin hole porosity di ujung hasil
las, namun dikarenakan tidak adanya cairan penetrant yang keluar dari dalam
pin hole tersebut, maka hal ini dikategorikan pin hole porosity in tolerance.
Inspector menyatakan bahwa pin hole porosity jenis ini masih masuk dalam
toleransi dan dapat diterima hasilnya dikarenakan porosity yang terbentuk
tidak dalam (< 1,5mm). Hal ini terbentuk dikarenakan temperature permukaan
logam induk yang over heat, sehingga menyebabkan pori-pori yang terbentuk
terlalu besar dan terjadilah perubahan metalurgi pada logam induk yang tidak
diharapkan. Selain itu kondisi sekitar hasil pengelasan pun terdapat banyak
sisa residu.

Spesimen B1 terdapat abnormality yang sama dengan spesimen A1 dan

Universitas Pamulang
91

A3,hanya saja luas areanya sangatlah kecil dan masih dianggap masuk dalam
toleransi. Sehingga oleh inspector hasil pengelasan ini masih dapat di terima.

Spesimen B2 didapatkan hasil pengelasan yang terbilang sangat mumpuni,


karena tidak ditemukan cacat pada hasil pengelasan setelah dicek dengan
proses NDT Dye-penetrant. Hal ini membuktikan bahwa kawat las melebur
dan menyatu masuk kedalam pori-pori material induk dengan baik dan
membentuk struktur yang baik.

Spesimen B3 terdapat pin hole porosity pada hasil pengelasannya, namun


karena tidak adanya cairan penetrant yang keluar dari dalam pin hole tersebut,
maka hal ini dikategorikan pin hole porosity in tolerance. Inspector
menyatakan bahwa pin hole porosity jenis ini masih masuk dalam toleransi
dan dapat diterima hasilnya dikarenakan porosity yang terbentuk tidak dalam
(< 1,5mm), namun hal ini tidak dapat ditolerir apabila kondisi ini terbentuk
lebih dari 10% dari seluruh hasil pengelasan pada 1 unit twin roll.

Hasil pengujian diperoleh dari alat penguji tidak merusak (Non-Destructive


Test/NDT) dengan menggunakan metode Dye-penetrant pada benda uji
menunjukkan bahwa pada proses “Twin Roll Assembly” khususnya perlakuan
sebelum dilakukan pengelasan perlu sangan diperhatikan. Pada spesimen uji
dengan material yang tidak melalui proses pre-heat dan cleaning process pada
spesimen, rata-rata menunjukan kualitas yang kurang baik bahkan terdapat
cacat yang cukup fatal.

Sedangkan pada material yang melalui proses Pre-heat Non-cleaning


Process pada spesimen uji Dye-penetrant menunjukan hasil yang lebih baik
dibandingkan tanpa proses pre-heat walaupun masih terdapat beberapa cacat
kecil akibat residu yang menutupi permukaan.

Dan pada material yang melalui proses Pre-heat dan cleaning process
pada spesimen uji Dye-penetrant menunjukan hasil yang cukup memuaskan.
Meski masih terdapat beberapa cacat pada hasil pengelasannya, namun masih
dalam batas toleransi. Selain itu adapula hasil pengelasan yang terbilang

Universitas Pamulang
92

sangat mumpuni karena hasilnya yang cukup memuaskan.

Selain itu berdasarkan kondisi hasil pengelasan degan perlakuan pre-


heating sebelumnya, dapat dilihat bahwa perbedaan temperature juga
mempengaruhi hasil pengelasan. Dari seluruh spesimen yang ada, terbukti
bahwa temperature yang tepat untuk pre-heating proses pada material
stainless steel 316 dengan ketebalan material 4 mm adalah pada temperaturee
150˚C. Hal ini didukung dengan hasil pengelasan yang mumpuni pada kondisi
ini, dibandingkan dengan kondisi logam induk dengan pre-heating proses 100
˚C maupun 200 ˚C.

4.4 Pembahasan Hasil Analisis Data


Setelah dilakukan analisis data hasil eksperimen dapat dikemukakan
fakta- fakta sebagai berikut :

1. Hasil uji komposisi menunjukkan ada perbedaan pada raw material


Stainless steel 316, dimana unsur Fe, Cu, Co, V, Nb tidak terdeteksi
dengan jelas. Namun lain halnya dengan Stainless steel 316 yang telah
mengalami pre-heat unsur-unsur yang tidak terdeteksi akan terdeteksi
dengan jelas. Hal ini membuktikan adanya pemuaian dan pembukaan pori-
pori permukaan material, sehingga akurasi pengujian struktur mikro lebih
baik dan akurat.

2. Hasil foto struktur mikro menunjukan temperature yang baik digunakan


dalam proses pre-heating sebelum melakukan pengelasan adalah pada
temperaturee 150 ˚C. Dimana spesimen tetap mengalami pemuaian yang
cukup, namun tidak merubah komposisi dari penyusun spesimen yang ada.

3. Hasil uji komposisi Dye-penetrant menunjukan hasil pengujian dari


kualitas hasil pengelasan sehingga membuktikan bahwa material induk
yang mengalami perlakuan pre-heating dan cleaning jauh lebih baik
dibandingkan yang hanya menerima perlakuan pre-heating tanpa cleaning
dan yang tidak mendapatkan perlakuan pre-heating maupun cleaning.

Universitas Pamulang
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan terhadap raw material dari
Twin Roll yaitu Stainless Steel 316, dari hasil pengelasan tanpa pemberian
panas awal (Nonpreheat) dengan pemberian panas awal (Preheat) dan
berdasarkan data yang ada dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Cara mengetahui cacat pengelasan pada proses twin roll assembly di PT. X
yang paling efektif adalah dengan metode dye-penetrant, uji komposisi
kimia dengan spectrometer, dan foto mikro struktur.

2. Dari hasil pengujian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa faktor


penyebab terjadinya repair pada proses twin roll assembly di PT. X adalah
karena kurang menyatunya material induk dengan elektroda. Hal ini terjadi
akibat temperatur material induk terlalu rendah dan permukaan material
induk yang mengalami pengelasan kurang bersih.

3. Penerapan proses preheating sebelum dilakukan pengelasan pada proses


twin roll assembly sangatlah berpengaruh, dan pengaruhnya terhadap hasil
pengelasan sangatlah baik. Ditambah proses cleaning tentu menambah
kualitas pengelasan menjadi makin baik. Temperatur yang tepat untuk
proses preheating adalah pada suhu 150oC, dimana suhu material induk
tidak terlalu panas sehingga komposisi keseimbangan struktur mikro tetap
terjaga.

5.2 Saran
Untuk lebih menyempurnakan penelitian ini diwaktu yang akan datang
maka dapat disarankan sebagai berikut :

93
Universitas Pamulang
94

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah variasi suhu


pada proses pendinginan sehingga diperoleh hasil yang optimal untuk
meningkatkan sifat fisis dan mekanis raw material Twin Roll.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah variasi


pengujian yaitu pengujian kekerasan.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan pengujian impak


pada kondisi temperature rendah (sekitar -200 C sampai 200 C). Hal ini
dilakukan denga tujuan untuk mengetahui ketangguhan sambungan las
apabila dipakai pada suhu ekstrim.

Universitas Pamulang
DAFTAR PUSTAKA

Alip, M., 1989, Teori dan Praktik Las.Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Ardra. 2019. Diagram Sistem Besi-Besi Karbida.https://ardra.biz/sain- teknologi/
metalurgi/ besi-baja-iron-steel/diagram-sistem-besi-besi-karbida/ (Diakses
pada 05/03/2019)
ASME Section V Article 6. Non Destructive Test Examination, 2010 Edition. New
York : American Professional Association
Ausaid. 2001 . Dasar Las MIG/MAG (GMAW). Batam :Institutional Development
Project.
Batis, G., Kouloumbi, N., Soulis, E. 1998. Sandblasting: the only way to eliminate
rust. Anti-Corrosion Methods and Materials, Vol. 45 Iss: 4, 222 – 226.
Europ: MCB University Press
Budiarsa, I. N. 2008. “Pengaruh Besar Arus Pengelasan Dan Kecepatan Volume
Alir Gas Pada Proses Las GMAW Terhadap Ketangguhan 13
Aluminium 5083”. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Cakram, 2 (2), 112- 116 .
Bali : Universitas Udayana
Buku panduan teknik Liquid Penetrant Test Level. 2014. Pusat DIKLAT BAPETEN
Nasional. Batan : Pusdiklat Bapten
Camarillo. 1994. Ultrasonic Testing. http://www.sdindt.com/Ultrasonic-Testing.html
(Diakses pada 21/02/2019)
Damayanti, R.W. 2005. “Analisis Faktor-Faktor Pendukung Implementasi Six
Sigma”, Tesis Magister, Program Studi Teknik dan Manajemen Industri, ITB,
Bandung: Institut Teknologi Bandung
Dickson Kho. 2019. Pengertian Termokopel .
https://teknikelektronika.com/pengertian-termokopel-thermocouple-dan-
prinsip-kerjanya/ (Diakses pada 05/03/2019)
E Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Keduabelas, Bandung:

95
Universitas Pamulang
96

Penerbit Alfabeta.
E. Sugiyono 1999. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
Jim Worman. 2011. Liquid Penetrant Examination.
https://www.nationalboard.org/index.aspx?pageID=164&ID=374 (Diakses
pada 21/02/2019)
Katalog Produk Ragavendra Engineering, Januari 2019.

Metkon. IMM 901. https://www.metkon.com/Products-Details/4/179/73/imm-901/


(Diakses pada 05/03/2019)
Migas Indonesia. 2003. Stainless Steel MSDS. Error! Hyperlink reference not valid.
(Diakses pada 20/01/2019)
Universitas Indonesia.Modul Praktikum Metalografi & HST. 2011. Laboratorium
Metalografi dan HST Departemen Metalurgi dan Material. FTUI : Depok
Mustafa Taskin, dkk. 2011. Working Principle of Radiographic Test.
https://www.researchgate.net/figure/Working-principle-of-
radiographic-test-
34-35_fig2_287471979 (Diakses pada 22/02/2019)
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
PT. Testindo. 2018. Magnetic Particle Inspection. http://ndt-indonesia.com/magnetic-
particle-inspection-160 (Diakses pada 21/02/2019)
PT. Valmet Technology Center. 2010. Pulp Making section and Bleaching
Process PT. Valmet Technology Center, Cikarang:VTC Press
PT. Valmet Technology Center. 2011. Twin Roll Assembly Work Instruction PT.
Valmet Technology Center,Cikarang: VTC Press
R. E. Swallman, R. J. Bishop. 1999. Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa
Material. Jakarta: Erlangga.
Silverstein, R.M., G.C. Bassler, and T.C. Morrill. Spectrometric Identifikation of
Organic Compounds, 4th Ed., John Wiley and Sons, Singapore, 1981,
Singapore : John Wiley & Sons Inc.
Sonawan, H., Suratman, R., 2004, Pengantar Untuk Memahami Pengelasan
Logam, Bandung:Alfa Beta.

Universitas Pamulang
97

Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi. Bandung : Tarsito


Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Summer, D.C.S. 2006. Quality Upper Saddle River. New Jersy: Pearson
Education Inc.
Tim Fakultas Teknik UNY. 2010. Diktat Las MIG Teknik Pengelasan.Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Twi Sea 2010. Welding Inspection (WIS5). Yogyakarta: PT. Beyond
Wiryosumarto, Harsono, 1991. Teknik pengelasan logam. Jakarta: Pradnya Paramita
Yoga Dwi Wijanarko. 2015. Makalah Tentang Pengujian Non-Destruktif.
https://docplayer.info/66582339-Makalah-tentang-pengujian-non-
destruktif.html (Diakses pada (22/02/2019)

Universitas Pamulang
LAMPIRAN
Report No. : VAL/TRP/06/02/2019-PT-001

LIQUID PENETRANT TESTING Request No. : N/A

REPORT Date of test : 06 February 2019

Page : 1 of 4 Rev.00
Code : FR-SPRNDTPT001-01 Rev.: 01 Effective date : 15/11/2019

CUSTOMER: Muhamad Ridwan Fauzi


ONTRACTOR: Valmet Co., Ltd.
PROJECT: Twin Press Roll DPA-1555 Roll No. P-01470
ITEM DESCRIPTION: PENETRANT TESTING
EXAMINATION STANDARD: ASME SECTION V, ARTICLE 6
ACCEPTANCE STANDARD: CLIENT SPECIFICATION
PROCEDURE: SPR-NDT-PT-001
EQUIPMENT & MATERIALS
DWELL TIME
MATERIAL BRAND/MODEL TECHNIQUE REMARK
( Minutes )
Solvent Removable Post Emulsifiable Visible
Penetrant: MAGNAFLUX SKL-SP 5
Water Washable Fluorescent
Developer: MAGNAFLUX SKD-S2 Dry Aqueous Wet Non Aqueous Wet 10
Cleaner/Remover: MAGNAFLUX SKC-S Solvent Water
Light Meter: Spectroline :XRP-3000, Serial No; 1751164

OPERATION PARAMETERS
State Of Examination: Prepared Edge As Weld As Part Other
Surface Examination: Internal External
Surface Preparation: Grinding Machining Blasting Brushing

Drying After Preparation:


The solvent removable by wiping with a cloth
Pre cleaning: The surfaces dried by normal evaporation.
absorbent moistened with solvent.
Inspection Area Of Interest: The surface area of the weld connection
Within the temperature range of between the ring raw material TRP (4mm)
Surface Temp:
(10°C to 52°C).
Penetrant Application: Excess Penetrant Removal: The solvent removable by wiping with a
Applied by spraying as soon as possible after cloth absorbent moistened with solvent.
Developer Application:
Post Cleaning:
penetrant removal evaporation.

SYSTEM PERFORMANCE
Light Intensity Check: > (1000Lux) at the surface.
Final Interpretation: After the application of the developer or as soon as per possible is dry.

PART IDENTIFICATION & INFORMATION


Equipment Name : P-01470 Part Form : As Part
Drawing No. : N/A Line No. : N/A

INDICATION TABLE
Weld Identification Flaw Length Of Type Of Result
Remark
Joint No. Welder No. Material Weld Length No. Indication Indication Acc. Rej.
S1 FWS01 SS316 25mm 1 - Porosity X -
S2 FWS01 SS316 25mm 1 - Crack X Cold Crack
S3 FWS01 SS316 25mm 1 - Porosity (l) X Linear Porosity
A1 FWS01 SS316 25mm 1 - Porosity (ph) X Pin Hole Porosity
A2 FWS01 SS316 25mm 1 - Impurity X
A3 FWS01 SS316 25mm 1 - Porosity (ph) X PinHole Porosity <1.5mm
B1 FWS01 SS316 25mm 1 - Porosity (ph) X Pin Hole Porosity
B2 FWS01 SS316 25mm 1 - - X
B3 FWS01 SS316 25mm 1 - Porosity (ph) X PinHole Porosity <1.5mm

Note: SS = Stainless Steel, FWS = Fiber Workshop, A1=Raw Material Section A, Weld No. 1

TESTING OPERATOR REVIEWED REVIEWED / APPROVED

SIGNATURE : SIGNATURE : SIGNATURE : SIGNATURE :

TESTING TESTING
FERWIN PRIMA S. INDRA SETIAWAN NAME: M. AHDY AL-AZHAR NAME: VALENTIN NECULAU
OPERATOR1 : OPERATOR2 :
DATE : 06/02/2019 DATE: 06/02/2019 DATE : 07/02/2019 DATE : 08/02/2019
Report No. : VAL/TRP/06/02/2019-PT-001

LIQUID PENETRANT TESTING Request No. : N/A

REPORT Date of test : 06 February 2019

Page : 2 of 4 Rev.00
Code : FR-SPRNDTPT001-01 Rev.: 01 Effective date : 15/11/2019

Picture Report

Join Picture Remark


t

Porosity
S1 30% > from Weld Length
(Sampel S1) Reject

Crack
S2
(Sampel S2) Cold Crack after Cooling
Reject

Porosity
S3 Linear Porosity
(Sampel S3) Reject
Report No. : VAL/TRP/06/02/2019-PT-001

LIQUID PENETRANT TESTING Request No. : N/A

REPORT Date of test : 06 February 2019

Page : 3 of 4 Rev.00
Code : FR-SPRNDTPT001-01 Rev.: 01 Effective date : 15/11/2019

Picture Report

Join Picture Remark


t

Porosity
A1 Deep Pin Hole Porosity
(Sampel A1)
Reject

Impurity
A2 Dirty Weld
(Sampel A2) Reject

Porosity
A3 Shallow Pin Hole Porosity
(Sampel A3) Accepted
Report No. : VAL/TRP/06/02/2019-PT-001

LIQUID PENETRANT TESTING Request No. : N/A

REPORT Date of test : 06 February 2019

Page : 4 of 4 Rev.00
Code : FR-SPRNDTPT001-01 Rev.: 01 Effective date : 15/11/2019

Picture Report

Join Picture Remark


t

B1
(Sampel B1) Porosity
Shallow Pin Hole Porosity
Accepted

B2
(Sampel B2) WDW
Well Done Weld
Accepted

Porosity
Shallow Pin Hole Porosity
B3 Accepted
(Sampel B3)
COMPOSITION TEST Report No. : VAL/TRP/11/02/2019-CT-001

(SPECTROMETER) Request No. : N/A

Date of test :
REPORT
11 February 2019

Page : 1 of 2 Rev.00
Code : FR-SPRCTSPECT001-01 Rev.: 01 Effective date : 18/11/2019

CUSTOMER: Muhamad Ridwan Fauzi


ONTRACTOR: Valmet Co., Ltd.
PROJECT: Twin Press Roll DPA-1555 Roll No. P-01470
ITEM DESCRIPTION: COMPOSITION TEST (SPECTROMETER)
EXAMINATION STANDARD: DYNATECH ELEMENTAL ANALYSIS Ver. LIBS
ACCEPTANCE STANDARD: CLIENT SPECIFICATION
PROCEDURE: SPR-NDT-PT-001
SPECTROMETER RESULTS

A. Preheating 100oC

B. Preheating 150oC

C. Preheating 200oC
COMPOSITION TEST Report No. : VAL/TRP/11/02/2019-CT-001

(SPECTROMETER) Request No. : N/A

Date of test :
REPORT
11 February 2019

Page : 1 of 2 Rev.00
Code : FR-SPRCTSPECT001-01 Rev.: 01 Effective date : 18/11/2019

COMPOSITION TEST TABLE

TESTING RESULT (%)


No. ELEMENT Preheat Temp. Preheat Temp. Preheat Temp.
100oC 150oC 200oC

1 Cu 0,40 0,13 0,21


2 Fe 70,24 67,35 65,20
3 Cr 15,54 16,59 18,13
4 Ni 10,00 11,17 9,95
5 Mo 2,02 2,79 2,46
6 Mn 1,32 1,42 2,62
7 Al 0,00 0,00 0,00
8 Co 0,10 0,16 0,21
9 Si 0,32 0,32 1,03
10 Nb 0,01 0,00 0,12
11 Ti 0,00 0,00 0,01
12 V 0,5 0,06 0,06
*Note: Abbreviation of elements based on Indonesian Periodic Table Standards

TESTING OPERATOR REVIEWED REVIEWED / APPROVED

SIGNATURE : SIGNATURE : SIGNATURE : SIGNATURE :

TESTING TESTING
DESI SUPIANTI M. SHOLIHIN NAME: M. AHDY AL-AZHAR NAME: VALENTIN NECULAU
OPERATOR1 : OPERATOR2 :
DATE : 12/02/2019 DATE: 12/02/2019 DATE : 13/02/2019 DATE : 14/02/2019

Anda mungkin juga menyukai