Anda di halaman 1dari 96

i

Pendampingan Pastoral berbasis Komunitas Gereja

bagi Anak dengan Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga

SKRIPSI

Diajukan kepada

Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Untuk memenuhi

Sebagian persyaratan

Guna memperoleh gelar Sarjana Filsafat Keillahian

Oleh:

Fernando Sihaloho

NIM: 215772012098

Jakarta

April 2018
Lembar Pengesahan

Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, melalui Dosen Pembimbing dan Tim
Pembaca/Penguji telah menerima kajian skripsi berjudul: Pendampingan Pastoral
berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh
Anggota Keluarga. Kajian ini disusun, diserahkan dan dipertahankan oleh Fernando
Sihaloho dalam memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Filsafat Keillahian.

Pembimbing/penguji

(Pdt. Besly J. T. Messakh)

Pembaca/Penguji 1 Pembaca/Penguji 2

( ) ( )

Ketua STT Jakarta Pembantu Ketua I Bidang


Akademik

STT Jakarta

(Pdt. Yusak Soleiman) (Pdt Agustinus Setiawidi)

ii
Lembar Pernyataan Bebas Plagiarisme

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama: Fernando Sihaloho

Nomor Induk Mahasiswa: 215772012098

Menyatakan bahwa skripsi berjudul:

Pendampingan Pastoral berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas

Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga

Dibawah bimbingan: Pdt. Besly J. T.Messakh

Merupakan hasil kajian ilmiah saya sendiri, dengan mengikuti kaidah-kaidah dan
etika keilmuan yang bertanggungjawab. Pernyataan ini saya buat dengan sejujur-
jujurnya. Bila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan plagiarisme,
maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh STT Jakarta (lihat
Peraturan Plagiarisme , disahkan dalam Rapat Senat STT Jakarta VIII/2009-
2010, 2 Maret 2010).

Jakarta, 20 April 2018

(Feranando Sihaloho)

iii
Kata Pengantar

Pada akhirnya, tibalah sebuah peziarahan seorang pengembara di waktu

yang sangat berharga. Tiga tahun silam memasuki dunia perkuliahan dengan

pergumulan dan rasa khawatir. Namun, perjalanan ini tidak dapat dihentikan

karena keputusan memasuki perkuliahan adalah keputusan pribadi dan sudah

seharusnya dituntaskan. Dengan terseok-seok dan penuh kebingungan serta air

mata dilalui hanya dengan satu kekuatan, yaitu Allah pemberi kekuatan dan

kesehatan memampukan saya untuk berjalan hingga selesai dan karena cinta

Allah akan hadir bagi setiap orang yang memerlukan dukungan, topangan serta

membentukku.

Pada akhirnya, saya dapat mengatakan terpujilah Allah karena dapat

melewati perkuliahan tersebut. Allah yang begitu baik dan orang-orang baik

yang dihadirkan di dalam kehidupanku. Kata terima kasih tidak cukup untuk

mewakili rasa cintaku terhadap semua orang yang berperan dalam penuntasan

tulisan ini. Namun, biarlah ucapan terima kasih ini menjadi ungkapan yang tulus

dari hati terdalam kuberikan kepada orang-orang yang telah berjalan bersamaku

selama ini.

Terima kasih pertama, saya ucapkan kepada kedua orang tuaku, yaitu

Timbul Sihaloho dan mamak tercinta yaitu Sutiara Manalu. Beliau yang tidak

bosan-bosannya memberikan nasihat dan menyakinkan saya semua akan baik-

iv
baik saja, beliau yang senantiasa mendoakan saya di dalam setiap pergumulan

saya. Beliau yang begitu cinta memberikan kekuatan kepada saya untuk tetap

berjuang meski lelah, menahan malu karena ulah saya dan masih tetap berjuang

untuk harapan saya. Pada akhirnya, saya dapat melewati semua dan selesai.

Terima kasih Allah buat cinta yang Kau berikan lewat mamakku tercinta.

Terima kasih juga buat orang-orang yang selalu ada bersamaku, adik-

adikku yang senantiasa mengingatkan untuk tetap berjuang sampai akhir. Begitu

juga buat teman-teman Angkatan 2015 yang senantiasa selalu ada buat saya,

selama tiga tahun selalu bersama, menjadi adik, teman, sahabat dan saudara.

Yang selalu mengingatkan saya dengan kesempatan yang Allah berikan. Menjadi

teman berdebat dan berantam tetapi tetap satu. Terima kasih juga buat Siska

Gorat yang memberi semangat dan bantuan untuk mencari sumber-sumber

kasus saya.

Terima kasih tak terhingga kuucapkan kepada nantulang Rusmaya

Nainggolan yang membantu finansial setiap bulan. Kiranya Allah yang

menambahkan kepada nantulang. Terima kasih terkhusus buat Timothy Pelmar

yang telah membantu dalam berbagai aspek termasuk memakai printernya.

Begitu juga buat adik-adikku dan menjadi temanku yang ada di Kalibata City

yang siap-sedia ikut menemani dalam pengerjaan tulisan ini. Terima kasih buat

Bindu Sitompul sebagai tuan rumah. Syukur kepada Allah yang selalu siap-sedia.

Terima kasih juga buat Marlita Siregar yang jauh di sana, ikut

berpartisipasi membantu dalam finasial dan menjadi pengingat untuk tetap

semangat dalam menyelesaikan perkuliahan. Wanita yang siap menemani dari

tahun pertama perkuliahan di Jakarta dengan segala kondisi yang saya alami.
v
Terima kasih juga buat Pdt. Benny Sinaga yang merupakan mantan

dosenku yang kini menjadi teman satu almamater, Pdt. Romeo Sinaga yang

memberikan masukan dalam pelayanan dan memberikan masukan-masukan

terhadap penulis dari sudut pandang budaya batak, Pdt. Jetty Samosir yang

memberikan semangat dalam penulisan, Pdt. Freddy Limbong yang memberi

motivasi untuk tetap semangat dalam kuliah, Pdt. Tiapul yang membantu

memberikan bahan dalam penulisan dan perkuliahan dan Pdt. Nathanael Tarigan

yang membantu mencari sumber-sumber buku.

Terima kasih kuucapkan kepada GKI Pondok Indah yang telah membantu

dalam finansial perkuliahan untuk mengurangi pengeluaran semester. Tuhanlah

yang melimpahkan berkat-Nya bagi jemaat GKI Pondok Indah. Terima kasih juga

buat HKBP Menteng jalan Jambu terkhusus Guru Sekolah Minggu yang mengerti

dan memahami keadaan saya.

Terima kasih juga saya ucapkan buat dosen pembimbingku, pak Besly

Messakh yang bersusah payah membimbing dan mengarahkan bahkan telaten

dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga buat kak Isabella Sinulingga

yang mau menjadi tempat untuk bercerita mengenai kasus yang saya bahas.

Terima kasih juga buat orang yang tidak dapat kusebutkan satu persatu.

Terlalu banyak cinta dan terlalu dalam cinta yang mereka berikan kepada saya.

Dan yang terakhir saya mengucapkan terima kasih buat anak disabilitas dan

narasumber yang memberikan pengetahuan dan pemahaman baru, terkhusus

buat saya. Saya menyadari bahwa semua orang memiliki keterbatasan dan

semua orang butuh orang lain untuk dapat berkarya. Terima kasih saya ucapkan

sekali lagi buat perkenalan dan pembelajaran tersebut.


vi
Pada akhirnya, perziarahan ini akan tetap berlanjut namun seperti

seorang pengembara yang terus berjalan, maka saya juga akan tetap berjalan

sesuai dengan tuntunan Allah. Perziarahan ini tidak akan berhenti sampai di sini,

namum ini menjadi pintu masuk menuju perziarahan yang lebih berwarna. Dan

saya percaya, Allah akan tetap menaungi langkah saya dan memberikan

kekuatan untuk mengerjakannya. Terhkusus angkatan selamat berproses

dalam perziarahan.

Jakarta, 20 Mei 2018

Penulis

vii
Daftar Isi

Halaman

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………… iv

Daftar )si ……………………………………………………………………………………………….. viii

Abstrak …………………………………………………………………………………………………. x

Pendahuluan …………………………………………………………………………………………. 1

A. Latar belakang masalah ………………………………………………………………. 1


B. Perumusan masalah ……………………………………………………………………. 3
C. Pembatasan masalah …………………………………………………………………... 7
D. (ipotesis …………………………………………………………………………………….. 7

Metodologi Penelitian …………………………………………………………………. 8

E. Alasan Pemilihan Judul dan Manfaat Penulisan …………………………….. 9


F. Sistematika Penulisan ………….............................................................................. 10

Bab I: (asil Penelitian, Analisa, dan Kesimpulan ……………………………………... 12

A. Hasil Observasi dan Wawancara …………………………………………………. 13

B. Analisa ………………………………………………………………………………………. 26

C. Kesimpulan ………………………………………………………………………………… 31

Bab II: Mendampingi Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga: Sebuah Pandangan Teologis .……………………………………….. 32

A. Pandangan masyarakat Yahudi tentang orang yang buta sejak lahir 35

B. Pandangan dan sikap Yesus terhadap disabilitas …………………………. 36

C. Menyikapi keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga ………………………………………….………………………………………… 41

viii
Halaman

Bab III: Pendampingan Pastoral anak Disabilitas korban Pemerkosaan oleh

Anggota Keluarga …………………………………………………...………………….. 46

A. Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga ……... 46

B. Komunitas ramah Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota

Keluarga …………………………………………………….………………………………. 48

C. Pendampingan anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota

Keluarga ………………………………………………...…………………………………... 54

D. Tujuan Pendampingan ………………………………………………………………... 54

E. Peran konselor …………………………………………………………………………… 55

F. Pemulihan anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota

Keluarga ……………………………………………………...…………………………….. 58

1. Anak butuh diperlakukan bukan sebagai orang cacat ………… 58

2. Anak butuh untuk diterima ………………………………………………. 59

3. Anak disabilitas membutuhkan komunitas dan komunikasi . 60

4. Anak disabilitas membutuhkan hidup mandiri ………………..… 60

5. Anak disabilitas sebagai jantung hati .……………………………… 61

G. Metode ………………………………………………………………………………………. 62

Bab IV: Kesimpulan dan Saran ……………………………………………………………….. 64

Lampiran Wawancara …………………………………………………………………………… 68

ix
Abstrak

Penulisan skripsi ini dilatarberlakangi pengalaman saya melihat


kehidupan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang
masih mengalami penolakan di dalam komunitas bahkan gereja. Cerita dari
narasumber di dalam bab satu menunjukkan bahwa masyarakat bahkan gereja
kurang menunjukkan keterbukaan terhadap keberadaan anak disabilitas korban
pemerkosaan oleh anggota keluarga yang di sekitarnya. Melalui tulisan ini, saya
berargumen bahwa seharusnya masyarakat dan gereja harus terbuka dan
menerima keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota
keluarga.
Bagi saya, keterbukaan dan penerimaan dari komunitas terutama gereja
menjadi jawaban untuk keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh
anggota keluarga. Hal ini diperlukan karena anak disabilitas korban
pemerkosaan oleh anggota keluarga masih bagian dari keluarga dan komunitas.
Bagi saya, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga
ciptaan Tuhan yang sempurna dengan keterbatasan yang dimilikinya. Bahkan,
saya berargumen bahwa setiap orang di dalam dirinya memiliki keterbatasan
dalam melakukan sesuatu hal.
Melalui tulisan ini, saya menekankan perlunya keterbukaan dan
penerimaan serta pendampingan pastoral yang dilakukan gereja sebagai
komunitas terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota
keluarga. Biarlah melalui penerimaan dan keterbukaan komunitas memberikan
kesempatan bagi anak disabilitas untuk berkarya bagi dirinya, meraih cita-cita
dan harapannya.

Kata Kunci: Pemerkosaan oleh anggota keluarga, komunitas, gereja dan


penerimaan.

x
Pendahuluan

Latar belakang masalah

Kekerasan adalah bentuk perilaku verbal maupun non-verbal yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau

sekelompok orang lain, sehingga menimbulkan efek negatif secara fisik,

emosional, sosial dan psikologis terhadap mereka yang menjadi sasarannya

(Hayati 2000, 28). Tindak kekerasan seperti yang dijelaskan di atas dapat terjadi

dimana saja, seperti di gereja, keluarga dan masyarakat. Selain itu, tindak

kekerasan di atas juga dapat dialami oleh siapa saja.

Umumnya, dalam berbagai tindak kekerasan yang terjadi, yang menjadi

korban adalah mereka yang lemah, dikuasai dan dikontrol oleh para pelaku

kekerasan yang memiliki kekuasaan. Karena itu, misalnya dalam konteks

perbedaan peran jender, laki-laki kemudian lebih berpeluang melakukan tindak

kekerasan terhadap perempuan ketimbang sebaliknya. Dalam konteks hubungan

orang tua dan anak, kebanyakan orang tua lebih berpeluang melakukan

kekerasan terhadap anak mereka ketimbang sebaliknya.

Alasannya, karena laki-laki dan orang tua oleh masyarakat memang

diimajinasikan sebagai kelompok orang yang berkuasa karena identitas dan

statusnya yang harus dan mesti menguasai perempuan dan anak-anak.

Sepanjang hal tersebut masih diimajinasikan dan diakui dengan cara demikian,

laki-laki dan orang tua akan selalu punya ruang dan kesempatan melakukan

tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

1
2

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kuasa dan kontrol dalam

bentuk apa saja yang dimiliki seorang pelaku kekerasan sangat memudahkan

seseorang memilih jalan kekerasan yakni, dengan memaksakan keinginan dan

kehendaknya atas korban, dalam rangka menguasai dan atau mengambil

keuntungan tertentu dari mereka yang menjadi korban.

Tindak kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas memiliki dampak yang

luar biasa terhadap korban. Kekerasan yang terjadi berdampak dalam perilaku

keseharian korban. Hal ini menjadikan korban mengisolasikan diri dari

sekitarnya.

Sehubungan dengan uraian di atas, salah satu bentuk tindak kekerasan

yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak adalah tindak kekerasan

terhadap anak. Tindak kekerasan terhadap anak perlu diperhatikan, kerena

tingginya angka kekerasan yang dialami anak. Hal ini menunjukkan bahwa

mereka sangat rentan terhadap anak-anak korban kekerasan. Lembaga KPAI

memaparkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 116 orang anak yang mengalami

kekerasan seksual yang semua melibatkan ayah tiri dan kandung, keluarga

terdekat dan temannya (Kekerasan seksual pada anak website 2017). Jumlah

kekerasan seksual pada anak tiap tahun bertambah. Bahkan kekerasan seksual

pada anak menjadi ancaman terbesar sama seperti pemakaian narkoba dan

terorisme. Sedangkan, kesadaran untuk pendidikan sangat minim di dalam

masyarakat Indonesia. Belum lagi, hal ini masih ditambah dengan lemahnya

penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan (10 catatan penting akhiri

kekerasan terhadap perempuan dan anak website 2017).


3

Karena itu, dalam skripsi ini saya akan membahas tentang pendampingan

pastoral terhadap anak. Khususnya, saya akan membahas tentang

pendampingan pastoral terhadap anak-anak yang mengalami tindak pelecehan

seksual berupa pemerkosaan dari anggota keluarganya sendiri. Saya

memfokuskan diri pada anak korban pemerkosaan karena melihat bahwa

mereka adalah anak-anak yang karena kondisinya membutuhkan tindakan

pemulihan secara pribadi.

Perumusan masalah

Ada beberapa jenis pelecehan seksual. Pertama, pelecehan seksual yang

disertai kontak fisik. Hal ini mencakup sentuhan pada payudara atau alat kelamin

korban, ciuman penuh nafsu, pemaksaan terhadap si korban, dll. Kedua,

pelecehan seksual secara verbal (melalui kata-kata). Ketiga, pelecehan seksual

secara visual (pandangan). Keempat, pelecehan seksual secara psikologis

(Heggen 2008, 4-6). Apapun bentuknya, tindak pelecehan seksual sebagaimana

digambarkan di atas membawa dampak traumatis yang membahayakan hidup

para korban yang mengalaminya.

Salah satu bentuk kekerasan seksual di atas dapat terjadi di antara

anggota keluarga. Pelakunya biasanya adalah anggota keluarga yang lebih

dewasa dan korbannya adalah anak-anak. Kekerasan seksual dalam bentuk

pemerkosaan biasanya terjadi secara berulang, karena bagi korban dirinya

terjebak dengan ancaman pelaku (Hayati 2000, 39).

Masalah ini bertambah runyam bagi anak-anak korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga kalau anak-anak tersebut pada saat yang sama juga adalah
4

mengalami keterbatasan atau disabilitas. Dampak yang diterima anak disabilitas

korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah luka yang

dalam di dalam diri anak yang bersangkutan. Luka yang dialami anak berupa

trauma yang berkepanjangan setelah peristiwa yang terjadi dalam

kehidupannya. Anak disabilitas korban pemerkosaan biasanya kemudian

mengalami penurunan kemampuan psikologi, mental yang lemah dan tidak

dapat menerima keberadaan dirinya. Jika hal tersebut terus-menerus terjadi

akan memberikan dampak negatif di dalam diri anak disabilitas sehingga mereka

tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya (Imbens 1992, 133).

Karena itu, sangat disayangkan bahwa orang dewasa, termasuk orang-orang

yang memiliki hubungan dekat dengan akan-anak, yang seharusnya menjadi

tempat perlindungan bagi anak-anak disabilitas justru menjadikan mereka

sebagai alat untuk pemuas nafsu.

Lalu, bagaimana dengan penanganan terhadap anak-anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga? Sejauh yang saya ketahui bahwa

anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga biasanya

kurang ditangani dengan baik. Sebagai contoh, kita bisa lihat dari sikap gereja

dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Gereja umumnya beranggapan bahwa dengan melakukan ibadah

penguatan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

sudah cukup. Gereja tidak memberikan waktu dan kesempatan untuk mengenal

dan merangkul keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga tersebut. Bahkan, ironisnya banyak gereja menganggap bahwa

pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri masih tabu untuk
5

dibicarakan di depan publik karena akan merusak nama baik keluarga dari anak

tersebut. Oleh karena itu, gereja biasanya hanya melakukan dispilin gereja bagi

pelaku dan penguatan dalam ibadah bagi keluarga dan korban.

Padahal, setiap orang harusnya memahami bahwa pengakuan dan

penerimaan dari masyarakat terhadap keberadaan anak disabilitas sebagai

bagian dari komunitas merupakan sesuatu yang diperlukan. Pengakuan ini

dimaksudkan untuk memberikan tempat bagi anak disabilitas dalam berkarya

sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya (Vanier 1999, 43). Oleh karena itu,

masyarakat diharapkan tidak melihat keterbatasan anak disabilitas sebagai

kelemahan, melainkan semangat.

Anak disabilitas membutuhkan semangat dari komunitas sebagai salah

satu cara penerimaan komunitas terhadap keberadaannya. Semangat yang

diberikan komunitas terhadap anak disabilitas akan membangun karakter anak

disabilitas tersebut. Semangat tersebut juga akan memberikan kelegaan di dalam

diri anak disabilitas untuk tetap berada di dalam komunitas.

Hryniuk dalam buku Theology, Disability and Spirituality Transformation

mengatakan bahwa komunitas haruslah hidup dan memberikan cinta kepada

setiap orang yang ada di dalamnya sehingga dia dapat bertumbuh dari cinta yang

diperoleh. Oleh karena itu, sangat diperlukan perasaan menerima keberadaan

diri kita terlebih dahulu sebagai bentuk keikutsertaan orang lain terhadap

keberadaan Tuhan di dalam diri kita (Hryniuk 2010, 92).

Vanier memaparkan bahwa cinta yang diberikan oleh orang terdekat bagi

anak akan memberikan pendewasaan untuk memahami keberadaan komunitas

sebagai tempat yang aman dan nyaman. Anak yang harus tetap tumbuh dan
6

berkembang dalam fisik, iman dan spiritualnya. Anak yang akan diperkenal

mengenai komunitas dengan kepercayaan dan pengenalan di dalam Tuhan. Oleh

karena itu, masyarakat harus memberikan cinta yang sesungguhnya bagi anak

sejak dini. Cinta yang diberikan dalam kehidupan anak akan mengantarkannya

meraih cita-cita dan harapannya (Vanier 1999, 36).

Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas seperti yang disinggung

di atas akan saya pakai sebagai usulan bagi gereja dalam mengembangkan

pelayanan pastoral yang berpihak pada anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga. Saya mengangkat tugas gereja karena menurut saya

gereja pada hakikatnya merupakan sebuah komunitas penyembuh. Gereja

seharusnya menjadi sahabat bagi semua orang termasuk anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Gereja yang menjadi sahabat akan

memberikan ruang bagi anak disabilitas untuk dapat bersuara di tengah-tengah

jemaat dan masyarakat. Gereja yang dapat memberikan kesempatan bagi anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk berkarya dan

berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang ada di dalam masyarakat maupun

gereja. Gereja sebagai komunitas merangkul anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk berani mengenal orang lain di

sekitarnya.

Oleh karena itu yang akan saya permasalahkan dalam skripsi ini adalah:

kehadiran gereja sebagai komunitas penyembuh di tengah masyarakat

memungkinkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

sebagai bagian dari komunitas gereja menemukan jalan untuk menerima diri
7

mereka dan pulih dari trauma yang dialami. Berdasarkan masalah di atas, maka

pertanyaan penelitiannya adalah:

1. Sejauh mana anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga disikapi keberadaanya oleh komunitas dalam rangka menolong

anak-anak tersebut agar bisa menerima keberadaan dirinya di tengah

komunitas?

2. Model pendampingan pastoral seperti apa yang perlu dikembangkan

gereja dalam melakukan pendampingan pastoral terhadap anak-anak

disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga

yang ada di tengah komunitas sehingga mereka dapat pulih dari trauma

yang dialaminya?

Pembatasan masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih berfokus dan tidak meluas dari ,

maka saya membatasi pembahasan skripsi ini pada beberapa ruang lingkup.

Pertama, saya akan membatasi pembahasna pada peran komunitas bagi anak

disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Adapun

yang dimaksud dengan komunitas di sini adlaah komuitas gereja yang mampu

menjadi komunitas penyembuh bagi anak disabilitas korban pemerkosaan yang

dilakukan oleh anggota keluarga. Kedua, saya membatasi pembasan saya dalam

skripsi ini pada beberapa kasus pemerkosaan oleh anggota keluarga yang terjadi

di beberapa keluarga Kristen yang ada di Indonesia.

Hipotesis
8

Hipotesis yang ingin dibuktikan dalam skripsi ini adalah:

1. Komunitas umumnya kurang peka dalam menyikapi persoalan yang

dihadapi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh

anggota keluarga.

2. Gereja perlu mengembangkan model pendampingan pastoral berbasis

komunitas dalam rangka menolong anak disabilitas korban pemerkosaan

yang dilakukan oleh anggota keluarga menerima diri dan pulih dari

trauma yang dialami.

3. Model pendampingan berbasis komunitas gereja yang memulihkan dapat

menjadi tawaran yang diberikan oleh gereja dalam mendampingi anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.

Metodologi Penelitian

Dalam skripsi ini saya menggunakan dua metode penelitian yaitu:

penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Saya menggunakan metode

penelitian lapangan berupa observasi dan wawancara untuk menggali informasi

tentang perlakuan terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan yang

dilakukan oleh anggota keluarga sebagai anggota gereja yang ada di tengah

masyarakat atau komunitas. Selanjutnya saya menggunakan metode penelitian

kepustakaan untuk menjelaskan tentang apa saja yang bisa dibuat gereja sebagai

komunitas penyembuh dalam mendampingi anak disabilitas korban

pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang ada dalam

komunitasnya.
9

Alasan Pemilihan Judul dan Manfaat Penulisan

Skripsi ini saya beri judul Pendampingan pastoral Pendampingan

Pastoral berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas Korban

Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Saya memilih judul ini karena melihat

bahwa anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota

keluarga adalah bagian dari komunitas yang kerap disalahpahami

keberadaanya. Hal ini membuat saya terus menerus memikirkannya dan

mempertanyakannya. Mengapa anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan anggota keluarga tidak dianggap di dalam masyarakat bahkan

gereja? Mengapa gereja hanya memberikan ibadah penguatan dalam

keluarga? Ketika saya melakukan Collegium Pastorale ) di Toraja-Sulawesi

Selatan, saya menemukan satu anak disabilitas korban pemerkosaan yang

dilakukan oleh anggota keluarga yang hanya diberikan ibadah penguatan. Saya

kemudian menggali dan menemukan dua lagi kasus anak disabilitas korban

pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga dengan periode waktu

2010-2017. Beberapa gereja sendiri tidak merangkul anak disabilitas korban

pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk beribadah di dalam

gereja dan tidak mengikutsertakan dalam ibadah gereja. Maka, pertanyaan

selanjutnya adalah Apa peran komunitas bagi anak disabilitas, terutama korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga?

Dengan alasan-alasan inilah, saya mengambil topik tentang komunitas

yang memulihkan. Saya ingin melihat bagaimana peran komunitas bagi

pemulihan anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota


10

keluarga karena mereka juga bagian dari komunitas sendiri. Dengan demikina

saya berharap dengan tulisan ini setiap orang dalam komunitas dapat

menyadari bahwa anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh

anggota keluarga juga merupakan bagian dari komunitas. Komunitas perlu

berperan aktif untuk memberikan pemulihan bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dalam hal ini gereja sebagai

komunitas juga berperan besar untuk membimbing dan mendukung penerimaan

anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga di

dalam gereja untk pulih dari kondisi traumatis yang dialami.

Sistematika Penulisan

Pendahuluan

Bagian ini berisi uraian tentang latar belakang, perumusan masalah, hipotesis,

pembatasan masalah, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab I: Hasil Penelitian, Analisa, dan Kesimpulan

Bab ini berisi deskripsi hasil observasi lapangan mengenai sikap komunitas

terhadap keberadaan anak disabilitas yang berada di tiga tempat yakni di Bekasi,

Tobasa-Sumatera Utara dan Toraja-Sulawesi Selatan.

Bab II: Mendampingi Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan yang

dilakukan oleh Anggota Keluarga: Sebuah Pandangan Teologis

Pada bab ini saya akan menjelaskan tentang landasan teologis pastoral yang

perlu dipertimbangkan oleh gereja dalam mendampingi anak disabilitas korban

pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga.


11

Bab III: Pendampingan Pastoral anak Disabilitas Korban Pemerkosaan

yang dilakukan oleh Anggota Keluarga

Pada bagian ini saya menjelaskan tentang apa yang perlu diperhatikan gereja

sebagai komunitas penyembuh untuk melakukan pendampingan bagi anak

disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga.

Bab IV: Saran dan Kesimpulan

Pada bagian ini akan menyimpulkan mengenai anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga dengan memberikan saran-saran

pendampingan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

dilihat dari keterbatasannya.


Bab Satu

Hasil Penelitian, Analisa, dan Kesimpulan

Pada bab ini saya akan memaparkan hasil observasi dan wawancara yang

saya lakukan ketika menggali informasi mengenai lima kasus kekerasan seksual

terhadap anak disabilitas yang dilakukan anggota keluarga atau orang dekat

dalam lingkaran keluarga berupa tindak pemerkosaan. Kasus-kasus ini terjadi di

kalangan keluarga Kristen, di beberapa tempat di indonesia yakni di Malimbong

(Toraja), Bekasi dan Tobasa (Sumatera Utara). Sangat sulit bagi saya melakukan

penelitian disebabkan penolakan yang dilakukan dari beberapa pihak, baik

keluarga maupun lembaga yang mengurus anak disable sendiri. Keluarga yang

melakukan penolakan tidak mau memberi alasan mengenai penolakan tersebut.

Berdasarkan pemaparan ini saya akan membuat analisa untuk melihat

bagaimana pandangan dan perlakuan orangtua, masyarakat dan gereja di

beberapa tempat di Indonesia terhadap anak-anak disabilitas yang menjadi

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Harapannya dengan temuan ini

pada bab-bab berikutnya dapat dipikirkan apa yang sebaiknya dilakukan gereja

sebagai komunitas terhadap anak-anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga yang ada dalam komunitas gereja itu

sendiri.

12
13

Hasil Observasi dan Wawancara

Kasus I

Kasus ini menimpa seorang anak yang bernama Warni (Nama samaran).

Warni dan keluarganya adalah anggota jemaat gereja X di Sulawesi Selatan. Dia

anak kedua dari tiga bersaudara. Warni sendiri adalah anak tunaganda karena

buta dan bisu. Pada saat diobservasi Warni berusia 15 tahun dan sejak kecil

sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Menurut pengamatan

saya, Warni adalah anak yang sopan dan mudah diajak berteman. Ia bersedia

menyapa siapapun yang bertemu dengannya melalui jabatan tangan.

Berdasarkan keterangan yang saya himpun, peristiwa pemerkosaan

terjadi pada Warni sekitar 7 bulan lalu dan peristiwa itu terjadi di rumahnya

sendiri. Setelah diselidiki lebih dalam ternyata diketahui bahwa peristiwa

perkosaan yang dialami Warni ini sebenarnya sudah terjadi beberapa kali, baik

di dalam rumah, di kebun dan di teras rumah. Pelakunya adalah kakeknya

sendiri, yakni ayah dari ibunya, yang dipercayai oleh orangtuanya untuk menjaga

Warni. Kakeknya memang sering menemui Warni di rumah setiap pagi dan sore.

Kepercayaan diberikan kepada kakeknya Warni untuk menjaga Warni karena

menurut kedua orangtuanya, kakeknya Warni adalah orang yang baik karena

mau menemani Warni.

Kepercayaan orang tuanya seketika hilang ketika peristiwa pemerkosaan

terhadap Warni diketahui. Orang tuanya Warni hingga sekarang marah besar

pada kakeknya, terlebih lagi karena peristiwa itu terpergok snediri oleh ayahnya
14

Warni ketika pada pagi hari ia baru pulang mengantar adiknya Warni ke sekolah.

Pak Marshal mengatakan:

Saya tidak menyangka laki-laki yang saya hormati, bapak dari istri saya tidak punya
hati. Hatinya iblis, pengen rasanya membunuh dia. Di dalam tahanan pun dia aku
gak ikhlas, dia ganti rugi pun aku gak ikhlas (Marshal 2017).

Ketika diwawancai, Ayah Warni dengan sedih dan berurai air mata

mengingat dan menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di samping

rumahnya, tepatnya di dekat penggilingan padi ketika kakeknya Warni

melakukan pelecehan terhadap warni. Bagi ayahnya, perbuatan tersebut tidak

bermoral dan tidak pantas dimaafkan. Menurutnya, pelaku yakni mertuanya

sendiri seharusnya melindungi cucunya, bukan merusak masa depan cucunya.

Ibunya Warni, Weni sendiri hingga kini tidak dapat menerima kembali

keberadaan kakeknya Warni dengan perlakuannya. Ibu Weni mengatakan:

Aku tidak tahu mau berkata apa lagi, dia sampai hati lakukan itu sama cucunya.
Padahal dia bilang, dia sayang kali sama Warni tapi… .)ngin rasanya hatiku
memakinya, aku gak bisa mengampuninya (Weni 2017).

Akibat peristiwa perkosaan yang menimpanya, Menurut Ibunya, Warni

yang biasanya senang menyisir rambutnya di samping penggilingan padi,

sekarang lebih sering marah-marah, menangis dan ketakutan. Orang tua Warni

merasakan kepedihan Warni yang selalu bergumam dan mengepal tangannya

dan menghentakan kakinya.

Tidak semua orang mengenal dengan baik tentang Warni. Hal ini

disebabkan karena mereka jarang bertemu langsung dengannya. Kalaupun

bertemu hanya ketika masyarakat sekitar berkunjung ke rumah orangtuanya. Di


15

mata masyarakat, Warni merupakan anak yang baik dan sopan. Ini dibuktikan

dari perkataan pak Agung yang saya wawancai yang mengatakan:

Anaknya pak Marsal itu ramah dan enak diajak untuk bicara, walaupun sangat sulit
berkomunikasi dengannya. Tapi, melalui jabatan tangan terlihat kok kalau dia
ramah (Agung 2017).

Narasumber lain yang saya wawancarai juga mengatakan bahwa sampai

saat ini belum terlihat tindakan, penanganan orang tua terhadap Warni. Orang

tua hanya membiarkannya di rumah dan tetap seperti biasanya. Warni tidak

dapat dilihat orang sekitar. Hanya saja perlindungan bagi Warni jauh lebih ketat

dibandingkan sebelumnya. Ini kemungkinan disebabkan rasa takut orang tuanya,

jika suatu saat terjadi lagi hal yang sama terhadap Warni.

Berdasarkan informasi yang saya himpun, bisa dikatakan bahwa pada

saat kejadian perkosaan yang menimpa Warni ketahuan, gereja hanya

mendekatinya dengan melayankan ibadah penguatan bagi Warni dan

keluarganya, tanpa lebih dalam melihat apa yang mesti dilakukan terhadap

Warni. Pernyataan Pendeta Yani dan seorang majelis gereja bernama Sikar yang

saya wawancara menggambarkan apa yang saya jelaskan di atas. Pendeta Yani

yang saya wawancarai mengatakan:

Kita tidak punya program khusus bagi anak korban pemerkosaan oleh anggota
keluarga, terkhusus bagi anak disabel. Kita hanya bisa memberikan mereka
penguatan melalui ibadah. Hal ini sebagai pertanda bahwa gereja juga ikut merasa
sedih dan menyesali hal tersebut terjadi (Yani 2017).

Sedangkan Sikar mengatakan:

Ibadah yang kita lakukan kepada keluarga dan anak korban pemerkosaan oleh
anggota keluarga tersebut merupakan langkah yang baik, sebab yang tahu isi hati
manusia hanya Tuhan. Biarlah semuanya kita serahkan kepada Tuhan dan biarlah
Tuhan menghukum pelakunya (Sikar 2017).
16

Kasus II

Kasus ini menimpa seorang anak perempuan bernama Mawar (nama

Samaran) yang saat diobservasi berumur 7 tahun. Mawar yang mengalami

kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri. Mawar adalah seorang anak

yang kehilangan penglihatan sejak bayi. Saat ini Mawar bersekolah di sebuah

Sekolah Luar Biasa milik Pemerintah di daerah Malimbong – Sulawesi Selatan.

Menurut pengamatan saya, Mawar sehari-hari senang bermain bersama dengan

teman-temannya, baik di sekolah maupun sekitaran rumahnya.

Berdasarkan keterangan ibunya, peristiwa kekerasan seksual dalam

bentuk pemerkosaan yang dilakukan ayahnya Mawar pertama sekali diketahui

ibunya sekitar 2 tahun lalu. Saat itu, Mawar mengatakan bahwa bagian

kemaluannya sakit. Waktu itu, ibunya tidak berpikir bahwa telah terjadi

kekerasan seksual terhadap Mawar. Tapi karena Mawar mengeluhkan rasa sakit

di daerah kemaluannya, ibunya membawa Mawar ke Pusat Kesehatan

Masyarakat (Puskesmas) setempat. Di Puskesmaslah diketahui bahwa Mawar

telah diperkosa oleh seseorang dan hal itu dinyatakan oleh Bidan di Puskesmas.

Dalam keadaaan sedih dan marah akibat mendengar hasil pemeriksaan

terhadap Mawar di Puskesamas, Ibunya kemudian membawa Mawar pulang dan

menginterogasinya. Dari penuturan Mawar, ibunya kemudian mengetahui

bahwa ayah kandungnya sendiri yang melakukan pemerkosaan tersebut dan

peristiwanya terjadi ketika Mawar pulang sekolah. Ibu Mawar yang marah dan

emosi kemudian memukuli suami, dan melaporkannya ke kantor polisi sehingga

akhirnya suaminya ditahan, disidang dan dipenjara.


17

Ibu Mawar mengatakan kepada saya bahwa dia malu dengan kelakuan

suaminya. Dia juga tidak berniat untuk membebaskannya dari penjara. Bahkan,

ibunya bermaksud untuk bercerai dengan suaminya, lantaran ia kuatir akan

terjadi lagi kekerasan seksual yang sama terhadap mawar anaknya jika ia harus

memaafkan suaminya.

Oleh karena kejadian tersebut, Ibunya Mawar menjelaskan bahwa saat ini

Mawar mengaku bahwa dirinya sering bermimpi buruk. Ia sering melihat

ayahnya di dalam mimpi. Bahkan, ibunya sering terkejut kalau Mawar berteriak

dan menangis karena mimpinya. Masih dari penuturan ibunya, dalam keseharian

Mawar tidak ada kendala. Hanya saja ia kelihatan takut ketika mendengar suara

laki-laki dewasa.

Bagi masyarakat, Mawar dikenal sangat baik dan ramah. Masyarakat

memandang Mawar sama seperti anak kecil lainnya yang senang bermain.

Bahkan, Mawar dikenal di lingkungan luas rumahnya karena keceriaannya.

Masyarakat tidak menduga bahwa ayahnya tega melakukan kekerasan seksual

terhadap anaknya sendiri dan mereka mengutuk keras perbuatan ayahnya. Ini

terlihat dari beberapa orang yang saya wawancarai yang memberikan

pernyataan serupa bahwa ayahnya Mawar bejat, tidak bermoral dan tidak

manusiawi. Seorang ibu bernama Nurul yang saya wawancarai mengatakan

bahwa:

Manusia seperti dia itu tidak berhak hidup di dunia. Padahal dia orang Kristen
dan beriman tetapi kelakuannya tidak mencerminkan sama sekali sebagai orang
yang memiliki Tuhan. Kalau perlu, orang seperti itu dibinasakan saja biar jadi
pelajaran bagi orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual (Nurul
2017).
18

Bagaimana dengan gereja? Berdasarkan informasi yang saya himpun

gereja hanya memberikan penghiburan kepada Mawar dan ibunya pada saat

peristiwa pemerkosaan itu diketahui dan ayah Mawar di tahan Polisi. Gereja,

yakni pendeta setempat, bahkan melihat bahwa dengan memberikan hukuman

penjara kepada ayahnya sudah cukup menjadi pengobatan yang baik untuk

mengobati rasa sakit yang dialami ibu Mawar. Wawancara yang saya lakukan

terhadap Pendeta Sokar memperlihatkan bahwa Pendeta Sokar kemudian

memilih memberikan nasihat melalui firman Tuhan kepada Mawar dan ibunya

sekaligus mengharapkan mereka memaafkan ayahnya sebagai pelaku

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Pendeta Sokar mengatakan:

Saya sebenarnya tidak tahu masalah ini dan ini terjadi sebelum saya melayani di
tempat ini. Tetapi, yang mau saya katakan bahwa kehidupan kita ini hanya milik
Tuhan dan yang tahu semuanya hanya Tuhan. Apa pun yang terjadi di dalam diri
kita, baik kesusahan, penderitaan kita sebaiknya kita serahkan kepada Tuhan.
Sudah seharusnya kita mengampuni orang yang melakukan kesalahan kepada kita
sebab Tuhan sudah terlebih dahulu mengampuni semua kesalahan manusia (Sokar
2017).

Kasus III

Kasus ini terjadi di Bekasi Timur yang dialami seorang anak laki-laki

berumur 7 tahun bernama Yohanes. Yohanes sendiri adalah penderita retardasi

mental. Yohanes adalah anak kedua dari lima bersaudara dan hingga saat ini

belum bersekolah. Bagi ibunya, Yohanes adalah anak yang menyenangkan dan

selalu dapat memberikan ketenangan baginya.

Ayahnya Yohanes sehari-hari bekerja sebagai seorang tukang tambal ban

dipinggir jalan besar. Sedangkan ibunya adalah seorang buruh pabrik yang
19

bekerja dari pukul 8 pagi sampai 9 malam. Yohanes dan 3 adik-adiknya tinggal di

Bekasi, sedangkan kakaknya berada di kampung, tinggal bersama dengan

keluarga besarnya. Setiap harinya Yohanes dan ketiga adik-adiknya sering

dibawa ke tempat kerja ayahnya. Di mata istrinya, suaminya merupakan suami

yang mengerti mengenai keadaan keluarganya, yang bekerja dari pagi sampai

malam.

Peristiwa kekerasan seksual yang dialami Yohanes terkuak setahun lalu,

sekitar bulan Mei. Ketika saya mewawancarai ibunya Yohanes, ia sendiri

mengatakan tidak tahu pasti sudah berapa kali kejahatan itu dilakukan oleh

suaminya terhadap Yohanes terjadi hingga akhirnya peristiwa itu ketahuan. Ibu

Yohanes hanya mengatakan kalau saat itu anaknya menunjuk bagian vitalnya

sendiri dengan menangis. Ibunya yang tidak mengerti apa maksud dari anaknya

membiarkan dan menenangkan saja anaknya. Tetapi masih berdasarkan

penuturannya, waktu itu ia terpikir mungkin juga ada yang tidak beres dengan

anaknya mengingat yang dikeluhkan adalah rasa sakit pada alat vital. Akhirnya,

ibunya Yohanes memutuskan untuk diam-diam memperhatikan anak-anak dan

suaminya dari jauh.

Beberapa minggu kemudian, ibu Yohanes melihat kejanggalan di tempat

kerja suaminya. Ia melihat suaminya dan Yohanes tidak ada di luar, sedangkan

ketiga anaknya bermain di luar. Ibunya menghampiri bengkel suami dan melihat

bahwa suaminya telah menyodomi Yohanes. Ibunya Yohanes menceritakan hal

ini kepada saya sambil menangis, memperlihatkan rasa sakit hati yang begitu

besar karena kejadian yang ia lihat. Ibunya juga mengatakan bahwa ia sampai
20

sekarang masih menyesali pilihannya untuk berkerja sehingga tidak bisa

mengawasi anak-ananya. Ibu Santi mengatakan:

Saya menyesal telah bekerja dan meninggalkan anak-anak saya. Padahal saya
bekerja untuk kehidupan sehari-hari kami, bahkan untuk membeli susu anak-anak
saya. Kalau mengharapkan dari pendapatan suami pasti tidak cukup. Saya
menyesal, kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik aku merawat mereka terutama
Yohanes (Santi 2018).

Bagi ibunya, Yohanes masih terlihat ceria ketika bermain bersama dengan

adik-adiknya. Ibunya melihat Yohanes hanya butuh kasih sayang yang lebih

besar darinya. Hanya saja, setelah peristiwa pemerkosaan oleh anggota keluarga

yang dialami, Yohanes sekarang menjadi anak yang agak kasar. Dia terkadang

memukul adiknya secara tiba-tiba tanpa ada sebab. Biasanya Yohanes hanya

menunjuk orang lain dan menangis, kemudian memukul adiknya.

Bagi masyarakat, Yohanes dianggap sebagai anak yang idiot. Anak yang

memiliki IQ rendah dan tidak mengerti apa yang dibicarakannya. Tapi,

masyarakat juga tidak menduga bahwa yang melakukan kejahatan adalah

ayahnya sendiri. Padahal, ayahnya sering membawa anak-anaknya ke tempat

kerjaannya. Masyarakat lebih sering melihat anak-anaknya bermain di luar,

kalau pun tidak kelihatan mungkin lagi makan atau mandi. Hal ini diperkuat

dengan wawancara saya terhadap seorang ibu penjaga warung yang berada di

samping tambal ban, tempat kerja ayahnya Yohanes. Ibu Sukma itu mengatakan:

Saya selalu melihat anak-anaknya bermain di depan ini, bahkan saya melihat kalau
si Yohanes sering sekali lari-lari padahal dia susah jalan. Beberapa kali memang
Yohanes tidak ikut bermain dengan adik-adiknya, kemungkinan dimandikan atau
dikasih makan. Saya tidak tahu dan tidak menyangka sama sekali kalau ayahnya
sendiri yang melakukan kejahatan tersebut Padahal anaknya idiot, tidak tahu apa-
apa (Sukma 2018).
21

Ketika saya melakukan wawancara terhadap seorang pemuda bernama

Rian yang biasanya kumpul-kumpul sekitar tambal ban, ia menuturkan:

Saya awalnya tidak menyangka kejadian tersebut. Setahu saya, ia itu baik kepada
orang-orang sekitar dan anak-anaknya, ia juga sering terlihat mengasuh anak-
anaknya. Tapi, mau bagaimana pun ia harus dihukum karena hanya orang bodoh
dan tidak bermoral yang berani melakukan kejahatan seperti itu. Saya merasa
kasihan terhadap Yohanes sendiri, seharusnya dia mendapatkan kasih sayang dari
seorang ayah, apalagi ibunya kerja dari pagi sampai malam (Rian 2018).

Terhadap kasus ini, Pendeta Monang yang saya wawancara mengatakan:

Mereka yang mengalami penderitaan, kesakitan dan kesedihan sudah seharusnya


kita bantu. Kita sebagai anak-anak Tuhan harus selalu ada bagi mereka yang
membutuhkan. Begitu juga hal dengan anak korban pemerkosaan oleh anggota
keluarga tersebut, bahwa dia merupakan anak yang dikasihi Tuhan. Jadi, kita harus
memandang sama dan memperlakukannya sama dengan yang lainnya, meskipun
dia berbeda (Monang 2018).

Dari ungkapan pendeta di atas, jelas yang bersangkutan melihat bahwa

secara pastoral ada sesuatu yang perlu dilakukan terhadap anak korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga sehingga yang bersangkutan bisa

dipulihkan.

Sedangkan seorang majelis gereja bernama Lina berkata:

Kebahagiaan yang sejati datangnya hanya dari Yesus Kristus yang ajaib dan mampu
menyembuh setiap kesedihan. Tugas kita sekarang adalah bersama-sama dengan
setiap orang yang percaya, membangun komunitas yang membangun (Lina 2018).

Dari ungkapan di atas, majelis bersangkutan jelas menyatakan bahwa ia

terus berusaha akan memberikan penghiburan kepada orang tuanya. Majelis

bersangkutan juga berusaha mengajak orang tuanya untuk tetap menjaga dan

membimbing anak disaibiltas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

mengenal Kristus sebagai yang hidup.


22

Ketika saya bertanya apa yang mesti dilakukan gereja terhadap anak

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut dijelaskan bahwa gereja

hanya melakukan ibadah keluarga dan memberikan tawaran kepada anak

tersebut untuk sering datang sekolah minggu. Bagi gereja, melalui kedatangan

anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga ke dalam sekolah minggu akan

memberikan sedikit pemulihan. Pendeta Monang yang menangani kasus ini

mengatakan:

Saya menganjurkan agar Yohanes untuk datang ke sekolah minggu. Dia dapat
bermain bersama dengan teman-temannya yang lain dan bisa mengurangi trauma
yang dia dapatkan. Lagi pula, kalau dia di dalam gereja, dia bisa bernyanyi bersama
dengan teman-temannya dan mendengarkan firman Tuhan. Yohanes merupakan
anak yang spesial (Monang 2018).

Kasus IV

Kasus pemerkosaan ini menimpa Vero (Nama samaran) seorang anak

penderita tuna grahita. Vero saat ini berumur 15 tahun dan telah memiliki

seorang anak. Vero hamil dan melahirkan anak akibat pelecehan seksual yang ia

alami sekitar 6 tahun yang lalu. Anak Vero sekarang sudah berumur 5 tahun dan

telah duduk di bangku SD. Saat ini Vero berada di sebuah panti asuhan milik

Gereja H daerah Tobasa–Sumatera Utara. Menurut penuturan yang diberikan

oleh staff panti, awalnya Vero dititipkan keluarga untuk dapat diajari dengan

baik mengingat kondisi tuna grahita nya. Namun, beberapa lama setelah Vero

berada di panti, staff panti mengetahui bahwa Vero merupakan anak korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Staff
23

Panti pun melakukan terapi kepadanya dan hasil terapi memperlihatkan bahwa

Vero mengalami kekerasan seksual.

Kemudian, staff berusaha menghubungi keluarga dekat keluarga

dekatnya memberitahukan bahwa Vero diperkosa oleh ayahnya sendiri. Ketika

staff mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada orang tuanya, orang

tuanya Vero menolak untuk memberitahukan kebenaran kasus ini. Meskipun

demikian, panti tetap menerima keberadaan Vero dan berusaha memberikan

perawatan.

Dari wawancara yang saya lakukan kepada seorang staff di panti, Vero

saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa baik selama berada di Panti.

Seorang Staff Panti bernama Anton menjelaskan perbedaan sikap Vero saat

pertama kali datang ke panti dan setelah ia dirawat di panti. Anton mengatakan:

Vero merupakan anak tuna grahita dengan keterbatasan pada mental. Awal dia
sampai di panti untuk makan saja sangat kesulitan. Biasanya dia makan pakai
tangan tapi tangannya digenggam kuat, bahkan tangannya seperti yang kaku.
Kemudian, pertama sampai dia sering teriak-teriak dan mukul-mukul orang dengan
keras. Tapi, sekarang sudah jauh lebih baik, makan sudah pake sendok bahkan
sudah bisa mengantar piring kotor ke kamar mandi (Anton 2018).

Tragisnya, orang tuanya menganggap Vero sudah tidak ada. Ia dilupakan

dan keberadaanya dianggap sebagai aib yang memalukan bagi keluarga. Bagi

ibunya, keberadaan Vero dengan kondisinya yang cacat sudah merupakan dosa

besar yang harus ditanggung oleh keluarga besarnya. Kehadiran Vero di dunia

dengan perbedaan dengan anak-anak lain sudah memberikan penderitaan bagi

keluarga besarnya, ditambah aib dengan melahirkannya Vero.

Ibu Vika mengatakan:


24

Saya punya anak tapi dulu. Sekarang dia sudah tidak di sini dan bahkan saya tidak
tahu bagaimana keadaannya. Untuk datang ke tempatnya saja susah. Lebih baik
uang untuknya saya pergunakan untuk kebutuhan keluarga saya di sini, apalagi
ayahnya mereka sudah tidak ada di sini (Vika 2018).

Saya juga melakukan wawancara dengan beberapa orang sekitar tempat

orang tua Vero. Mereka semua mengenal Vero sebagai anak yang idiot. Vero

dikenal sebagai anak yang suka membuat masalah, sering mendorong orang lain

yang dikenalnya. Seorang tetangga Vero bernama Risa mengatakan bahwa

kondisi dan kejadian yang menimpa Vero merupakan akibat dosa masa lalu

keluarganya. Ia mengatakan:

Itulah namanya karma. Dulu kakek-neneknya sombong sekali, mentang-mentang


dulu orang kaya jadi suka-sukanya sama semua orang. Tuhan itu tidak diam, Dia
tahu siapa yang baik dan siapa yang sombong. Sekarang Tuhan menghukum mereka
melalui cucunya yang cacat dan idiot. Biar mereka tahu kesalahannya (Risa 2018).

Berbeda lagi dengan penjelasan yang diberikan oleh pendeta setempat.

Pendeta yang mengaku tidak mengetahui mengenai peristiwa atau kejadian

persis yang menimpa Vero menolak untuk menangani kasus ini Pendeta Pantas

tersebut mengatakan:

Saya mengenal ibu Vika tapi saya tidak tahu anaknya (Vero) yang mana. Saya
melayani di tempat ini baru sekitar 2 tahun. Bahkan, majelis saya juga tidak ada
yang memberitahu mengenai peristiwa atau kejadian tersebut. Sebenarnya, ini
bukan urusan saya, ini menjadi urusan pendeta sebelum saya. Saya tidak tahu
sudah sejauh mana pendeta tersebut melakukan konseling terhadap orang tuaya
Vero (Pantas 2018).

Kasus V

Kasus ini menimpa seorang anak yang bernama Lely (nama samaran).

Lely seorang anak penderita tuna grahita, saat ini ia berumur 17 tahun dan

sudah memiliki seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut merupakan akibat
25

kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayahnya. Anak Lely saat ini tinggal

bersama dengan ibunya di Kabanjahe. Lely sendiri saat ini tinggal di Panti

Asuhan di daerah Tobasa-Sumatera Utara. Lely berada di panti sudah sekitar 7

tahun dan dia termasuk orang yang rajin di panti. Dia bahkan ditunjuk sebagai

salah satu pengasuh bagi anak panti lain untuk mempersiapkan perlengkapan

makan.

Dari wawancara yang saya lakukan kepada staff panti, dijelaskan bahwa

Lely adalah anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Kejadiannya

terjadi pada saat Lely berumur 10 tahun. dan dilakukan oleh ayahnya sendiri.

Kejadian ini membuat Lely mengalami trauma. Ini dipertegas dengan keterangan

staff panti asuhan yang menjelaskan perbedaan sikap Lely waktu pertama kali

datang ke Panti dan setelah Lely dibimbing di panti. Staff bernama Anton

mengatakan:

Pertama sekali Lely sampai ditempat ini, dia selalu histeris berteriak minta tolong.
Dia bahkan sangat susah untuk didekati oleh siapa pun. Pernah juga dia dekati
terapis laki-laki, dia langsung nangis dan berteriak. Dia berkata bahwa bahwa
terapis itu jahat. Tetapi, setelah diberikan pendekatan oleh terapis perempuan
sehingga sekarang dia mengalami kemajuan. Dia sekarang sudah berani di dekati
oleh laki-laki. Tetapi, dampak traumatis yang dialami masih ada (Anton 2018).

Masih penuturan staff panti, ibunya Lely rutin datang ke panti sekadar

melihatnya. Ibunya juga merasa senang dengan perubahan yang didapatkan

anaknya selama berada di panti.

Ketika saya melakukan wawancara terhadap ibunya. ia membenarkan

bahwa anaknya mengalami keterbelakangan mental. Setiap hari anaknya hanya

berbicara sendiri dan semakin parah ketika dia menjadi korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ibunya sampai
26

sekarang tidak bisa memaafkan suami. Ia sendiri yang melaporkannya tindak

kekerasan suaminya ke kantor polisi dan saat ini suaminya telah berada di

penjara. Hingga saat ini suaminya masih di dalam penjara. Pengadilan

memberikan hukuman kurungan 15 tahun. Bagi ibunya, Lely dan anaknya

menjadi prioritas utama yang perlu dijaga dan dirawat. Hal ini dipertegas dengan

pernyataan yang diberikan ibu Maria bahwa:

Saya lebih baik mengutamakan Lely dan anaknya yang sekarang sudah sekolah.
Mereka berdua membutuh uang untuk keperluan sehari-hari. Jadi lebih baik saya
beri waktu dan kekuatan saya kepada mereka. Daripada, saya memikirkan suami
saya yang tidak pantas untuk dibanggakan ( Maria 2018).

Saya melakukan wawancara terhadap beberapa tetangga yang semuanya

hampir sepaham bahwa ibunya berjuang untuk Lely dan anaknya. Mereka juga

menyesali perbuatan yang dilakukan oleh ayahnya. Mereka mengutuki kejahatan

yang dilakukan oleh ayahnya. Tetangga yang bernama ibu Ani mengatakan

bahwa ibunya bekerja keras untuk anak-anaknya, sedangkan dulu suaminya

hanya bisa minum Ani . Kemudian ditekankan oleh ibu Ana yang

mengatakan bahwa suaminya saja yang tidak tahu diri. Sudah tidak kerja,

melakukan kejahatan asusila Ana .

Analisa

Setelah saya melakukan obeservasi dan wawancara terhadap beberapa

orang narasumber, saya melihat beberapa hal terkait kehidupan anak disabilitas

yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut. Oleh karena

itu, pada bagian ini saya mencoba melihat dari sudut pandang saya setelah

melakukan pengamatan dan observasi lapangan.


27

Dari hasil wawancara yang saya lakukan pada kasus di atas bahwa

terlihat perbedaan mencolok anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga tersebut. Seperti kasus Marwa yang awalnya senang menyisir

rambutnya, tetapi setelah kejadian itu terjadi ia terlihat lebih emosi. Saya

menganalisa bahwa sebenarnya Marwa menginginkan pengakuan dari orang lain

bahwa dia ada. Marwa ingin menunjukkan kepada semua orang, termasuk

keluarganya bahwa dia menginginkan kehadiran orang lain yang mengerti dan

memahami dirinya.

Marwa memperlihatkan gerakan-gerakan yang mencolok, sehingga

membuat semua orang memandang kepadanya. Bahkan, Marwa juga bergumam

dengan keras sehingga setiap orang pasti mendengar dan memandangnya. Aksi

yang dilakukan oleh Marwa untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa

dia butuh tempat untuk berbagi, dia butuh orang untuk dapat merangkul

keberadaannya.

Lain hal yang terjadi pada kasus Lely, ia berteriak-teriak minta tolong

meskipun pada saat itu ia berada di dalam panti. Tetapi, setelah beberapa lama

di dalam panti, dirawat dan diberikan terapi, Lely tidak lagi berteriak. Melainkan,

dia dapat menjadi teman dan sahabat bagi anak disable lainnya. Saya

menganalisa bahwa ternyata di dalam diri anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga terdapat rasa takut yang ingin dia

keluarkan.

Saya melihat bahwa orang sekitar dapat memberikan perubahan menjadi

lebih baik, seperti kasus Lely yang tinggal di panti. Ia berada di tengah-tengah

anak disable lain dan staff panti. Komunitas memberikan pemulihan kepada Lely
28

sehingga dia tidak melihat dirinya lagi tetapi membantu sesamanya yang

membutuhkan. Oleh karena itu, komunitas dan orang sekitar menjadi salah satu

salah pemulihan bagi anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga.

Saya juga melihat pada kasus anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga memberikan dampak yang besar dalam

kesehariannya. Anak yang biasanya ceria menjadi murung, anak yang biasanya

ramah menjadi takut kepada orang-orang tertentu. Ini menjadi gambaran bahwa

perubahan yang dialami anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga berdampak buruk terhadap perkembangan emosi, jiwa bahkan

spiritualitasnya.

Rata-rata keluarga dan orang tuanya yang anak disabilitas yang menjadi

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga alami terlihat sedih, murung bahkan

tidak memberi maaf kepada pelaku. Hal ini terlihat pada kasus I, ibu dan ayahIni

memperlihatkan Marwa tidak dapat memberikan maaf terhadap kakek Marwa.

Bahkan, dari pengamatan yang saya lakukan di rumah bersangkutan bahwa

orang tua terus menerus memperlihatkan kesedihan yang berkepanjangan.

Inilah yang memperlihatkan rasa sakit ketika salah seorang yang dikasihinya

mengalami penderitaan. Tetapi sangat disayangkan bahwa keluarga tidak

melakukan tindakan tepat terkait penanganan terhadap anak disabilitas yang

menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Pada kasus di atas terlihat

bahwa hanya 2 dari 5 orang yang menempatkan anaknya di panti. Ini bagi saya

sudah benar, tetapi satu diantara keluarga tersebut tidak menganggap

keberadaan anaknya di panti. Sedangkan lainnya ditempatkan di rumah tanpa


29

penanganan khusus. Dalam kasus empat kelihatan bahwa keberadaan anak

disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tidak

dihargai oleh orangtuanya sendiri, Penolakan ini terjadi karena status disabilitas

dianggap sebagai kutuk dan karena itu peristiwa pemerkosaan oleh anggota

keluarga.

Saya melihat bahwa orang tua anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga merasakan penyesalan karena tidak dapat

merawat secara penuh. Salah satu contoh pada kasus I, orang tua Marwa

beranggapan dengan membiarkannya di rumah menjadi perlindungan baginya.

Sudah seharusnya orang tua memiliki pengetahuan tentang anak disable

sehingga keluarga dapat bertindak dan berbuat bagi anak disable.

Sudah seharusnya setiap orang dalam komunitas harus mampu

memberikan hati untuk merangkul keberadaan mereka. Setiap orang dalam

komunitas juga harus mampu mempersiapkan diri anak untuk peristiwa yang

tidak diprediksikan dengan memberikan pelajaran inklusif dan pemahaman

terhadap lingkungan sosial sekitarnya.

Begitu juga dalam masyarakat bahwa hal yang sangat disesalkan bahwa

masyarakat melakukan pelabelan kepada anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Masyarakat menganggap bahwa anak

disable adalah cacat. Penggunaan yang harusnya disematkan pada barang yang

gagal. Kemudian, masyarakat juga melabeli keluarganya sebagai hukuman atas

kesalahan keluarga anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

tempo dulu. Ini merupakan kesalahan yang besar bahwa kesalahan keluarga

tempo dulu tidak serta merta dapat diturunkan di generasi berikutnya.


30

Masyarakat diharapkan secara umum juga memiliki wawasan mengenai

disabilitas dan tanggung jawab masyarakat terhadap keberadaan mereka. Sangat

disayangkan bahwa masyarakat masih menganggap anak disabilitas sebagai

produk gagal dengan melabeli cacat. Bahkan, keluarga Kristen juga sudah

seharusnya memiliki pengetahuan lebih untuk dapat mengenal anak disabilitas,

terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.

Ketika saya melakukan pengamatan dan wawancara di Panti, terlihat

bahwa staff berusaha memberdayakan anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Panti memberikan terapi yang terbaik

dengan harapan anak dapat dipulihkan dari rasa sakit. Panti juga seharusnya

memiliki kesabaran yang penuh dan juga penuh kasih sayang dalam memulihkan

anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hal

yang mengerikan bagi saya bahwa Vero sebagai penderita retardasi mental tidak

mendapat perhatian lebih, sehingga ia masih terlihat memukul-mukul temannya.

Seolah-olah hal biasa dan staff panti asuhan membiarkannya.

Dari hasil wawancara narasumber bahwa ternyata banyak gereja tidak

memberikan perhatian lebih kepada anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Di satu sisi, gereja mengerti dan memahami

bahwa rasa sakit yang dialami oleh anak disabilitas yang menjadi korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga, di sisi lain gereja menganggap bahwa anak

disable hanya butuh orang tua yang kuat. Oleh karena itu, gereja hanya

memberikan ibadah penghiburan kepada keluarga anak disabilitas yang menjadi

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.


31

Secara intens, gereja kurang mengenal dan memahami perasaan anak

disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dan

penanganan yang dilakukan. Gereja hanya mampu berbicara bahwa semuanya

akan indah tetapi tidak berbuat. Gereja hanya mampu menjelaskan bahwa Tuhan

adalah Sang Penghibur manusia tetapi tidak mampu menempatkan diri di dalam

jemaat, terutama anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga.

Kesimpulan

Berdasarkan analisa di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat

diambil. Kesimpulan dimaksud sebagai berikut:

1. Masih adanya penolakan yang dilakukan orang Kristen mengenai

keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.

2. Masih terdapat pemahaman keluarga Kristen mengenai disable yang

berarti kutuk dan pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah aib.

3. Gereja mengetahui peranan mereka di tengah-tengah anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga, tetapi tidak mengerti harus

berbuat apa.

4. Masyarakat masih menganggap bahwa anak disable adalah orang

cacat , tidak normal , dan )Q rendah dan pemerkosaan oleh anggota

keluarga adalah aib keluarga yang tidak harus diketahui masyarakat

umum.
Bab Dua

Mendampingi anak Disable Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga:

Sebuah Tinjauan Teologis

Berikut ini saya akan membahas tentang dasar teologi yang perlu

dipertimbangkan dan dimanfaatkan dalam mendampingi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Pandangan teologi ini akan saya dalami

berdasarkan pemahaman teks Yohanes pasal 9: 1-34. Untuk itu, hal pertama

yang akan saya lakukan adalah menggali pemahaman dalam teks yang dibahas

tentang bagaimana disabilitas dipahami oleh komunitas orang Yahudi pada

jaman Yesus. Setelah itu saya akan menggali bagaimana pandangan dan sikap

Yesus sendiri tentang disabilitas berdasarkan teks yang dibahas. Berdasarkan

hal-hal itu saya akan berefleksi tentang bagaimana seharusnya kita memahami

dan memperlakukan anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga yang ada dalam komunitas kita.

Adapun teksnya sendiri berbunyi sebagai berikut:

9:1. Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.
9:2 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat
dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"
9:3 Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena
pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.
9:4 Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih
siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat
bekerja.
9:5 Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia."

32
33

9:6 Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan


mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata
orang buta tadi
9:7 dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam
Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia
membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.
9:8. Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya
sebagai pengemis, berkata: "Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?"
9:9 Ada yang berkata: "Benar, dialah ini." Ada pula yang berkata: "Bukan,
tetapi ia serupa dengan dia." Orang itu sendiri berkata: "Benar, akulah itu."
9:10 Kata mereka kepadanya: "Bagaimana matamu menjadi melek?"
9:11 Jawabnya: "Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah,
mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam
dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku
dapat melihat."
9:12 Lalu mereka berkata kepadanya: "Di manakah Dia?" Jawabnya: "Aku
tidak tahu."
9:13. Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orang-
orang Farisi.
9:14 Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata
orang itu, adalah hari Sabat.
9:15 Karena itu orang-orang Farisipun bertanya kepadanya, bagaimana
matanya menjadi melek. Jawabnya: "Ia mengoleskan adukan tanah pada
mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat."
9:16 Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: "Orang ini tidak datang dari
Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat." Sebagian pula berkata:
"Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?"
Maka timbullah pertentangan di antara mereka.
9:17 Lalu kata mereka pula kepada orang buta itu: "Dan engkau, apakah
katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" Jawabnya: "Ia
adalah seorang nabi."
9:18 Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan
baru dapat melihat lagi, sampai mereka memanggil orang tuanya
34

9:19 dan bertanya kepada mereka: "Inikah anakmu, yang kamu katakan
bahwa ia lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat?"
9:20 Jawab orang tua itu: "Yang kami tahu ialah, bahwa dia ini anak kami dan
bahwa ia lahir buta,
9:21 tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa
yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakanlah kepadanya
sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri."
9:22 Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-
orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap
orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan.
9:23 Itulah sebabnya maka orang tuanya berkata: "Ia telah dewasa,
tanyakanlah kepadanya sendiri."
9:24 Lalu mereka memanggil sekali lagi orang yang tadinya buta itu dan
berkata kepadanya: "Katakanlah kebenaran di hadapan Allah; kami tahu
bahwa orang itu orang berdosa."
9:25 Jawabnya: "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu
hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat."
9:26 Kata mereka kepadanya: "Apakah yang diperbuat-Nya padamu?
Bagaimana Ia memelekkan matamu?"
9:27 Jawabnya: "Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak
mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi?
Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?"
9:28 Sambil mengejek mereka berkata kepadanya: "Engkau murid orang itu
tetapi kami murid-murid Musa.
9:29 Kami tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang
Dia itu kami tidak tahu dari mana Ia datang."
9:30 Jawab orang itu kepada mereka: "Aneh juga bahwa kamu tidak tahu
dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku.
9:31 Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa,
melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya.
9:32 Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang
yang memelekkan mata orang yang lahir buta.
9:33 Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-
apa."
35

9:34 Jawab mereka: "Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau
hendak mengajar kami?"Lalu mereka mengusir dia ke luar.

Pandangan Masyarakat Yahudi tentang Orang yang Buta Sejak Lahir

Masyarakat Yahudi memahami bahwa kondisi yang dialami orang buta

dalam teks di atas merupakan kesalahan atau dosa sehingga sudah seharusnya

yang bersangkutan dipisahkan dari kehidupan masyarakat pada umumnya.

Karena itu, dalam teks di atas orang Farisi berusaha menyudutkan Yesus dengan

karya nyata-Nya bagi orang buta yang dianggap mesti dipisahkan dari kehidupan

masyarakat Yahudi. Orang Farisi berusaha menginterogasi Yesus untuk

mengakui kesalahannya melakukan penyembuhan di hari Sabat.

Bahkan, diterangkan bahwa orang Farisi juga berusaha mencari

kesalahan dari orang tua orang buta tersebut mengenai kebutaan yang dialami

anaknya sejak lahir. Orang Farisi berusaha mencari tahu mengenai

penyembuhan yang dialami anaknya, sehingga anaknya dapat melihat kembali.

Kita dapat melihat di dalam teks bahwa ada sikap ragu-ragu yang diperlihatkan

oleh orang tua orang buta mengenai penyembuhan tersebut.

Pada kenyataannya, orang tuanya sebenarnya mengetahui dengan pasti

mengenai penyembuhan anaknya, tetapi takut dipersalahkan oleh orang Farisi.

Orang tuanya juga bukan tidak mau mengakui Yesus sebagai Tuhan yang

memulihkan anaknya. Mereka menjawab dengan mengatakan tidak mengetahui

bagaimana anaknya dipulihkan. Hal ini dilakukan karena takut dikeluarkan dari

Sinagoge. Sinagoge bagi masyarakat Yahudi hanya sebagai tempat ritual agama

dilakukan melainkan juga sebagai tempa berkumpulnya komunitas orang

Yahudi. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kepura-puraan orang tua dari
36

orang yang buta sejak lahir yang mengatakan tidak mengetahui proses

pemulihan anaknya disebabkan ketakutan mereka pada resiko pengusiran dan

pengucilan dari masyarakat (Kostenberger 2004, 287).

Orang Yahudi juga sebenarnya mengenal mujizat doa dan yakin bahwa

melalui doa maka permintaan akan terkabulkan. Hanya saja terdapat

diskriminasi dimana masyarakat Yahudi memahami bahwa doa orang berdosa

tidak akan terkabulkan. Dalam hal ini orang buta dan orang tuanya adalah orang

berdosa. Karena itu orang buta dan keluarganya dipandang sudah seharusnya

mendapatkan hukuman melalui pengusiran dan pengisolasian (Kostenberger

2004, 290).Bahkan saya melihat bahwa orang Farisi marah serta berusaha

mempersalahkan Yesus dengan penyembuhan yang dilakukan terhadap orang

buta sejak lahir.

Padahal seperti dikatakan Kostenberger orang tua dari orang yang buta

sejak lahir sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun yang membuat orang

tersebut buta sejak lahir. Bahkan, ia juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan

antara kebutaan orang yang buta sejak lahir dengan satu perbuatan dosa yang

dilakukan dirinya atau orangtuanya. Ia menyatakan bahwa Tuhanlah yang

memperkenankan hal itu terjadi agar karya Tuhan nyata di dalam diri orang

tersebut (Kostenberger 2004, 282).

Pandangan dan Sikap Yesus terhadap Disabilitas

Pemahaman masyarakat Yahudi mengenai keberadaan orang buta sejak

lahir memperlihatkan adanya diskriminasi dank arena itu orang dengan

disabilitas termarjinalkan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, masyarakat


37

Yahudi sendiri menciptakan diskriminasi bagi orang-orang terpinggirkan, dalam

hal ini pengemis dan orang buta. Pengemis dan orang buta dalam teks

merupakan orang-orang yang berdosa dan hidup dari rasa kasihan orang

sekitarnya.

Di luar dugaan, Yesus mempergunakan pengemis dan orang buta sejak

lahir untuk menyaksikan kemuliaan Tuhan (Beasley 1987, 156). Yesus

mempergunakan orang buta sejak lahir untuk menggambarkan kehidupan

masyarakat Yahudi yang tidak memperlihatkan komunitas yang sejati. Saya

melihat bahwa Yesus berinisiatif menyembuhkan orang buta sejak lahir untuk

memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat Yahudilah mengalami kebutaan

sejak dulu, yakni kebutaan akan dosa. Yesus ingin mengajarkan kepada semua

orang, termasuk masyarakat Yahudi bahwa semua orang sudah seharusnya

saling memahami sebagai bagian dari anggota komunitas. Komunitas yang saling

membantu dan memberikan perhatian penuh terhadap mereka yang memiliki

keterbatasan.

Yesus juga memperlihatkan karya nyata-Nya dengan menggunakan air

liur yang diaduk di tanah. Tanah menjadi wadah bagi Yesus untuk memberikan

penyembuhan terhadap orang buta tersebut. Sedangkan, dalam masyarakat

Yahudi memahami bahwa air liur merupakan budaya pagan yang berkaitan

dengan hal-hal magis, sehingga pada masanya banyak mengutuk penggunaan air

liur. Tetapi, Yesus mempergunakan air liur untuk memberitahukan kepada orang

Farisi dan masyarakat Yahudi bahwa kerohanian Yesus sangat berbeda

dibandingkan orang pada umumnya. Yesus juga ingin memperlihatkan kepada


38

seumua orang bahwa Yesus merupakan utusan Allah untuk memperlihatkan

kasih-Nya kepada semua orang tanpa memandang status, ekonomi dan

kekuasaan yang dimilikinya (Kostenberger 2004, 283).

Senada dengan pemikiran Kostenberger, Beasley mengatakan bahwa

Yesus menyembuhkan orang buta dengan menggunakan adonan tanah. Hal ini

dilakukan sebagai bentuk kuasa yang dimiliki-Nya. Yesus memiliki kemuliaan

untuk memberikan nasihat kepada semua orang. nasihat yang diterima ini

seharusnya diterima oleh orang berdosa, lalu kemudian mengakui dosanya

tersebut. Dalam konteks ini orang yang berdosa tidak hanya kepada pengemis

dan orang buta tetapi orang Farisi dan masyarakat Yahudi. Sebab itu, Yesus

datang ke dunia untuk menggenapi perjanjian. Perjanjian Baru juga mengatakan

bahwa takut akan Tuhan harus diterapkan sebagai iman dan kepercayaannya

dalam Anak Tuhan (Beasley 1987, 151).

Sehingga hal ini menjadi nyata bahwa Yesus ingin memperlihatkan

kepada semua orang bahwa sudah seharusnya semua orang memahami

keberadaan orang sekitarnya. Setiap orang dalam komunitas masyarakat Yahudi

harus memperlihatkan saling keterikatan diantara sesamanya. Yesus ingin

mengajarkan kepada semua orang untuk saling meragkul dalam hidup

berkomunitas.

Pada teks tersebut, Injil Yohanes ingin menegaskan bahwa Yesus

merupakan Putra Tuhan yang diutus bagi manusia. Yesus menjadi manusia dan

menderita serta merasakan kehidupan yang dialami manusia untuk


39

memperlihatkan cinta-Nya kepada semua orang. Kemudian, penegasan ini

menghubungkan Yesus dengan air sebagai sumber kehidupan. Mata air

digunakan sebagai tempat memberikan kelegaan bagi setiap orang yang

mengalami kelelahan. Perjanjian Lama juga memperlihatkan kolam sebagai

tempat pemurnian. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting mengetahui bahwa

Yesus dan air merupakan sumber kehidupan yang baru dengan kelegaan

(Kostenberger 2004, 285).

Di sekitar masyarakat Yahudi terdapat sebuah Kolam Siloam. Kolam

Siloam merupakan tempat ritual penyembuhan. Berbanding terbalik dengan

budaya Yahudi yang menerangkan bahwa air liur merupakan hal yang najis

karena bagian dari kotoran manusia. Hal ini oleh Beasley ingin mengatakan

bahwa dengan iman dan percaya maka orang buta itu memperoleh kesembuhan.

Kesembuhan tersebut hanya berasal dari Yesus.

Tetapi, orang Farisi berusaha untuk menyingkirkan Yesus dengan

menganggapnya sebagai bidah. Yesus yang tidak memiliki pengajaran seperti

Musa mengenai pengudusan hari Sabat. Penyembuhan orang buta menjadi suatu

bentuk penginjilan Kristen untuk gereja agar lebih aktif memahami orang

terpinggir (Beasley 1987, 153).

Yesus juga mempergunakan Sabat sebagai waktu penyembuhannya. Hal

yang dianggap melanggar peraturan hari pengudusan. Yesus ingin

mempertentang kebiasaan orang Yahudi dengan memperlihatkan mujizat.

Pertentangan dengan kenyakinan terhadap nabi Musa yang paling besar


40

menjadikan Yesus dianggap bukan berasal dari Tuhan. Tetapi, Yesus ingin

menyampaikan bahwa setiap orang adalah berdosa dan semua orang mengalami

kebutaan. Kebutaan dengan dosa yang menyelimutinya. Kebutaan yang sengaja

dilakukan dengan memahami dosa turunan (Beasley 1987, 158).

Sehingga, Injil Yohanes ingin mengajarkan mengenai iman yang dimiliki

oleh orang buta sejak lahir. Orang buta tersebut memiliki spiritualitas dan

kepercayaan terhadap pemulihan yang dia dapatkan. Orang buta tersebut

mengakui imannya dengan berkata kepada orang Farisi: satu hal yang sata

ketahui: saya buta tetapi sekarang saya melihat. Dia memperlihatkan kepada

semua orang termasuk orang Farisi mengenai iman yang dimilikinya. Orang buta

tersebut percaya bahwa dia akan mendapatkan pemulihan dengan percaya

kepada Yesus. Meski, dia sadar akan menerima konsekuensi bahwa orang Farisi

akan marah terhadapnya (Kostenberger 2004, 288).

Yesus di dalam Injil Yohanes juga ingin mengkritisi kehidupan orang

Farisi yang menganggap diri paling benar dan tidak berdosa. Bahkan, orang

Farisi menganggap dirinya sebagai orang yang pintar dan mengerti mengenai

kehendak Tuhan atas dirinya dan masyarakat Yahudi. Orang Farisi juga

menganggap bahwa dirinya lebih mengenal dan memahami Tuhan dengan baik.

Hal ini diperkuat dengan penegasan akan diri mereka yang menganggap mereka

tidak berdosa. Hal inilah yang ingin diperlihatkan Injil Yohanes bahwa orang

Farisi merupakan orang berdosa dengan tidak memberikan diri bagi sesamanya.

Bahkan, orang Farisi telah menciptkan diskriminasi bagi orang-orang kecil dan
41

terpinggirkan, dalam hal ini pengemis dan orang buta serta orang tuanya

(Kostenberger 2004, 289).

Pada akhirnya kita harus memahmi bahwa setiap orang adalah sama dan

memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Tuhan berkarya di dalam diri setiap

orang, termasuk orang disabilitas. Orang juga memiliki bakat-bakat tertentu,

sehingga mereka dapat dikatakan sebagai orang berkebutuhan khusus. Yesus

ingin mengajarkan setiap orang bahwa orang disabilitas juga membutuhkan

pengajaran dan perhatian penuh. Karya Tuhan di dalam diri orang disabilitas

dapat dilihat dari penciptaan orang disabilitas tersebut. Orang disabilitas

diciptakan dengan segala keterbatasan bukanlah tanda ketidakmampuan. Yesus

ingin memperlihatkan kepada setiap orang bahwa orang disabilitas juga butuh

penerimaan dari orang sekitarnya.

Menyikapi Keberadaan Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh

Anggota Keluarga

Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna, tanpa

terkecuali anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Alkitab

mencatat mengenai penciptaan manusia di dalam Kejadian 1:27 yang berbunyi:

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar

Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Hal

ini membuktikan bahwa tidak ada kata cacat , )Q rendah yang disematkan

bagi manusia.

Sesuatu yang keliru ketika manusia melabeli anak disabilitas dengan kata

cacat , )Q rendah , yang sama artinya menolak penciptaan Allah terhadap


42

manusia. Ini juga menjadi kesalahan bahwa manusia tidak mengindahkan

keinginan Tuhan akan hidup manusia. Tuhan sendiri tidak pernah mengatakan

dalam firman-Nya bahwa dia menciptakan manusia lain yang tidak menurut

gambar Allah.

Kesalahan pemikiran manusia terhadap keberadaan anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga di tengah masyarakat perlu

dipertanyakan. Manusia sudah menyadari bahwa anak disabilitas merupakan

bagian dalam diri Tuhan dan Tuhan ada di dalam anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hal ini dipertegas dengan kemampuan yang

dimiliki setiap orang berbeda-beda. Tidak ada 1 orang lebih tinggi dibandingkan

dengan orang lain. Tuhan memberikan bakat setiap orang.

Di dalam diri manusia, Tuhan telah berikan bakat-bakat tertentu. Bahkan,

manusia Tuhan memberikan kebebasan terhadap manusia untuk memilih sesuai

dengan keinginan hatinya. Di sini Tuhan tidak merenggangkan hubungannya,

melainkan Tuhan berada di dalamnya dan terikat. Sehingga, manusia dapat

memahami kehendak Tuhan dengan menghormati-Nya dengan segala ciptaan.

Hal ini sesuai dengan perkataan Bonhoeffer:

)f the Creator wills to create his own image, he must create it in freedom; and only
this image in freedom would fully praise him and fully proclaim the honour ot its
Creator. Bonhoeffer ,

Pandangan Bonhoeffer menegaskan bahwa manusia diciptakan sesuai

dengan gambar dan rupa-Nya. Gambar dan rupa yang dimaksud tidak hanya

terlihat dari fisik melainkan sifatnya serta bagaimana dia mampu berelasi

dengan Tuhan.
43

Sekarang apakah kita mengerti mengenai panggilan kita bagi anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga? Bahwa ternyata mereka

juga menginginkan keberadaan orang lain di sekitarnya. Tuhan menciptakan

manusia di dalam komunitas sebagai bentuk komunikasi dan interaksi bagi

sesamanya. Tidak ada pendeskreditan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga. Ketika hal ini dapat dilaksanakan maka komunitas

tersebut dapat dikatakan hidup.

Eiesland memaparkan mengenai Allah dengan keterbatasan. Allah yang

menjadi manusia sebagai Yesus. Hidup sebagai manusia yang penuh dengan

penderitaan, bahkan mengikuti rutinitas manusia pada umumnya. Allah dengan

keterbatasan ruang dan waktu untuk berkarya di tengah-tengah umat. Eiesland

tidak menyinggung esensi Yesus sebagai Tuhan yang berkuasa. Eiesland ingin

mengatakan bahwa Allah turut hadir dalam penderitaan manusia (Eiesland

1994, 99).

Anak disabilitas juga merupakan citra Allah, imago dei. Jadi, saya melihat

bahwa tidak ada pembedaan disetiap ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan

manusia dengan gambar dan rupa-Nya. Sejalan dengan pemikiran Boenhoeffer

yang mengatakan bahwa dengan melihat diri kita di cermin, maka kita melihat

diri Tuhan. Hal ini menjadi jalan bahwa di dalam setiap diri manusia

bersemayam Allah melalui citra.

Setiap orang juga perlu mengetahui bahwa tiap orang mengambil bagian

sebagai penyembuh bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Ketika tiap orang berkumpul menjadikannya sebagai komunitas

penyembuh. Kita dapat melihat hal ini di dalam Yohanes 9:1-34, di mana orang
44

buta (tuna netra) di pisahkan dari masyarakat. Masyarakat sekitar

menganggapnya sebagai hukuman atas dosa dari keluarganya.

Setiap komunitas bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan

dan kenyamanan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Komunitas juga berperan sebagai wadah untuk tumbuh dan

berkembang anak disable. Oleh karena itu melalui pendekatan Vanier berusaha

melibatkan semua aspek, baik keluarga, masyarakat dan gereja menjadi suatu

komunitas yang hidup (Vanier 1999, 36).

Setiap orang juga harus mengetahui bahwa komunitas menjadi

manifestasi dalam diri anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Kehadiran komunitas menjadi awal terbentuknya diri anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Ketika anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga mendapatkan respon yang baik dari

sekitarnya, maka dia dapat belajar mengenal dirinya dan sekitarnya. Oleh sebab

itu, perlu pengakuan dari dalam diri setiap orang di dalam komunitas terhadap

keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Vanier

1999, 43).

Orang buta (tuna netra) bukanlah kesalahan yang dilakukan oleh dirinya

ataupun orang tuanya, melainkan jalan keselamatan bagi manusia. Kita dapat

melihat dari jawaban Yesus bahwa anak disabilitas bukanlah dosa orang tuanya

atau keluarganya terdahulu. Tuhan menciptakan anak disabilitas untuk

memperlihatkan anugerah Tuhan melalui keindahan ciptaan-Nya. Keindahan

yang hanya dapat dilihat dari iman dan kepercayaan kepada Tuhan.
45

Saya melihat bahwa Tuhan memperlihatkan keterbatasan anak disabilitas

kepada masyarakat dan gereja, agar semua mengerti bahwa:

a) Anak disabilitas juga anugerah ciptaan Tuhan.

b) Anak disabilitas juga bagian dari komunitas.

c) Anak disabilitas juga memiliki kemampuan yang bisa saja tidak

dimiliki oleh orang lain sekitarnya.

Hanya saja perlu dibangun hubungan yang erat antara anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dengan masyarakat dan gereja.

Tetapi, hal ini jugalah yang tidak didapatkan anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga.

Manusia yang diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah bukan dilihat dari

fisik melainkan sifat. Manusia diciptakan untuk hidup berelasi dengan

sesamanya di dalam komunitas. Tuhan melihat bahwa kehadiran anak disabilitas

di tengah komunitas sesuatu yang baik dan agar setiap orang mampu berefleksi.

Sehingga, setiap orang akan mengalami perjumpaan dengan Tuhan di dalam diri

anak disabilitas.
Bab Tiga

Pendampingan Pastoral Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh

Anggota Keluarga

Anak merupakan anugerah Tuhan bagi keluarga, termasuk jika anak

tersebut anak dengan disabilitas. Anak dengan disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga membutuhkan orang sekitarnya yang dapat dipercaya.

Ketika anak-anak ini merasa diterima dan juga memberikan kepercayaan kepada

seseorang, hal ini akan membuat mereka merasa nyaman. Tetapi, pada

kenyataannya orang yang dipercayai malah mengancam kehidupannya. Oleh

karena itu anak dengan disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

membutuhkan pemulihan bagi dirinya.

Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga

Tindak pemerkosaan terhadap anak dengan disabilitas akan membawa

dampak negatif baik terhadap korban. Berdasarkan observasi yang saya lakukan

di bab dua dampaknya adalah: anak akan takut ketika bertemu dengan pelaku;

anak kehilangan rasa kepercayaan terhadap sekitarnya, dan anak lebih sering

mengucilkan diri sendiri akibat trauma yang diterima.

Berdasarkan pemikiran Finkelhor dan Browne, Novriana juga

mengkategorikan adanya empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual

yang dialami anak-anak, termasuk tentu saja anak disable korban perkosaan oleh

anggota keluarga. Empat jenis dampak trauma tersebut adalah (Noviana 2015,

46
47

19-20): (a) Pengkhianatan. Kepercayaan merupakan hal yang paling mendasar

dalam kehidupan manusia, terlebih anak-anak. Sebagai seorang anak,

kepercayaan pada keluarga sangat diperlukan. Namun dalam kasus

pemerkosaan oleh anggota keluarga, kepercayaan anak dan otoritas keluarga

akan dipandang sebagai hal yang mengancam dan karena itu anak korban

perkosaan akan merasa dikhianati. (b) Trauma secara seksual. Anak yang

mengalami kekerasan seksual cenderung akan melakukan atau menolak sama

sekali hubungan seksual. Mereka juga menganggap laki-laki atau perempuan

sama sekali tidak dapat dipercaya. (c) Merasa tidak berdaya. Rasa takut yang

dialami anak korban perkosaan akan menjadi bagian dari kehidupan anak

tersebut. Mereka akan merasa dirinya tidak mampu, lemah dan kurang efektif

untuk bekerja. (d) Stigmatization. Anak yang mengalami kekerasan seksual akan

merasa bersalah, malu dan mengisolasikan diri. Hal ini terjadi akibat

ketidakberdayaan dan menganggap berbeda dengan orang lain.

Karena itu, gereja sebagai sebuah komunitas mesti menjadi tempat bagi

semua orang yang mengalami berbagai luka untuk mendapatkan pemulihan,

tidak terkecuali bagi anak disable korban perkosaan anggota keluarga. Dalam hal

ini, dibutuhkan model pendampingan pastoral memulihkan yang dilakukan

dalam komunitas gereja. Pendampingan seperti ini mestinya dibangun melalui

hubungan yang diperkuat dengan kehangatan dan pengertian.

Pertanyaannya adalah apakah model pendampingan pastoral yang mesti

dikembangkan agar anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

bisa mengalami pemulihan dalam komunitas gereja dimana dia berada? Untuk

menjawab hal ini menurut saya, gereja sebagai komunitas mesti


48

mengembangkan model pelayanan pastoral integratif. Adapun yang dimaksud

dengan pelayanan pastoral integratif adalah model pelayanan dimana di satu sisi

gereja mesti berperan aktif dalam menciptakan komunitas yang ramah dan

penuh pengertian terhadap keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga. Di lain sisi, gereja sebagai komunitas juga mesti

memikirkan model pendampingan pastoral pribadi bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga yang bertolak dari kebutuhan dan kondisi

anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga itu sendiri.

Karena itu, berikut ini saya akan menjelaskan model pendampingan

pastoral integratif, sebagaimana dikatakan di atas, yang mesti diterapkan gereja

dalam rangka mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Penjelasannya saya akan mulai dengan berbicara tentang tugas gereja

menyipakan komunitas yang ramah terhadap anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Selanjutnya saya akan bicara tentang hal

yang mesti diperhatikan gereja dalam mendampingi secara pribadi anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga .

Komunitas Ramah Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota

Keluarga

Jean Vanier mengatakan bahwa rasa kesepian dalam diri anak disabilitas

manjadi bagian luka kehidupannya akibat penolakan yang ia alami dari

komunitas. Luka karena rasa kesepian ini akan berdampak terhadap sikap dan

hubungan anak disabilitas dengan komunitas. Kesepian seperti ini akan

membuat anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga akan


49

kehilangkan hakikatnya sebagai manusia yang hidup dalam komunitas (Vanier

1998, 7).

Oleh karena itu, diharapkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga dapat dipulihkan dari kesepian yang ia alami akibat penolakan

komunitas atas dirinya. Diharapakan rasa kesepian tersebut justru dapat

ditransformasi menjadi kekuatan, melalui empati yang diberikan oleh komunitas

bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Untuk itu

komunitas diharapkan tidak memberikan penyangkalan terhadap keberadaan

anak disable korban perkosaan sehingga mereka dapat menemukan dirinya di

dalam komunitas yang lebih luas (Vanier 1998, 8).

Komunitas harus mampu melihat anak dengan penuh kasih. Komunitas

baik keluarga, masyarakat dan gereja harus memperihatkan keramahan.

Keramahan dalam bersikap terhadap keberadaan anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Bahkan, setiap orang harus siap menjadi

teman atau sahabat bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga.

Vanier lebih jauh memaparkan bahwa komunitas harus memiliki sikap

untuk terbuka bagi keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga. Komunitas harus terlebih dahulu mengesampingkan

kepentingan pribadi dan menerima anak disabilitas sebagai bagian dari anggota

komunitas.

Untuk itu komunitas harus saling menguatkan dalam pengetahuan dan

spiritual dalam membangun hubungan yang intens (Vanier 1998, 64). Dalam hal

ini , di dalam komunitas sendiri tidak boleh ada penyangkalan terhadap anak
50

disabilitas, termasuk anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga.

Adapun beberapa prinsip di dalam hidup berkomunitas yang perlu

diperhatikan dalam melihat keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga adalah prinsip bahwa (Vanier 1999, 14-15):

1) Manusia lahir dengan suci dan hidup di dalam budaya, ras dan wilayah

sebagai komunitas pemberi kekuatan.

2) Dunia kita dan dunia pribadi kita dalam kehidupan selalu berkembang.

Komunitas seharusnya mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir yang

baru untuk memberikan kehidupan bagi anak disabilitas. Komunitas

harus terbuka dengan keberadaan mereka serta memberikan cinta,

ketulusan, persatuan, perdamaian dan membangkitkan potensi anak

disabilitas.

3) Sikap mawas harus lahir dari diri masyarakat. Percakapan dan diskusi

harus terus menerus untuk mengenal dan memahami disabilitas.

4) Komunitas harus saling mendukung untuk membuat pilihan dan

memberikan tanggung jawab penuh kepada kehidupan pribadi dan

kehidupan anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga.

5) Setiap orang harus membuat pilihan sebagai cerminan dan mencari

kebenaran serta pemahaman. Keterbukaan terhadap orang sekitar

merupakan prinsip pertama untuk saling terhubung dalam komunitas.


51

Dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas diharapkan

Komunitas menjadi tempat untuk dapat menghargai orang lain, termasuk anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Komunitas juga mampu

saling berbagi dan bekerja sama untuk menemukan kelemahan dan kelebihan

yang berguna bagi keberadaan anak disabilitas. Komunitas harus melihat bahwa

anak disabilitas korban perkosaan oleh anggota keluarga sebagai anak yang

berharga dan dapat berpartisipasi (Vanier 1998, 58).

Setiap anak membutuhkan interaksi bagi sesamanya, tidak terlepas bagi

anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Anak disabilitas

membutuhkan gereja sebagai mediator yang dapat mempertemukannya dengan

komunitas. anak disabiliitas diharapkan dapat mengalami pemulihan dari

pertemuan dalam komunitas. Melalui interaksi di dalam komunitas dapat

membantu anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk

hidup sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat harus

siap terbuka dan merangkul keberadaan anak disabilitas, terutama korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga sebagai bagian dari keluarag komunitas

(Vanier 1998, 67)

Setiap orang dalam komunitas juga harus memahami perannya di dalam

diri anak disabilitas. Anak disabilitas menganggap bahwa setiap orang

merupakan hati untuk menemukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang

memberikan sukacita di dalam kehidupannya. Kita harus menyadari bahwa

setelah peristiwa pemerkosaan yang terjadi dalam kehidupannya tidak

memberikan ketenangan di dalam dirinya. Rasa takut dan kesepian selalu


52

menghampiri kehidupannya. Sebab itu, setiap orang harus memahami diri

sendiri bagi anak disabilitas, bukan menolak keberadaannya (Vanier 1998, 86).

Hal ini memperlihatkan bahwa anak disabilitas sebenarnya tidak dapat

berdiri sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya, melainkan harus ada

dukungan sekitarnya. Dukungan dari sekitar yang merangkul dan memahami

keberadaanya sebagai anak disabilitas sebagai bagian dari komunitas. komunitas

juga harus memberikan kepercayaan kepada anak disabilitas untuk tetap

melangkah maju tanpa mengisolasikan dirinya (Vanier 1998, 15).

Panti asuhan dapat menjadi alternatif bagi keluarga anak disabilitas

untuk mendapatkan pemulihan dan pembinaan. Tetapi, perlu disadari bahwa

masyarakat sebagai komunitas yang berada di sekitar anak disabilitas

merupakan langkah terbaik untuk mendapatkan pemulihan tersebut. Oleh

karena itu, tidak dapat dilepas dari peran dan tanggung jawab masyarakat

sebagai bagian dari komunitas yang dapat memberikan pemulihan baginya.

Secara individu, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga membutuhkan pendampingan untuk pemulihan. Pendekatan yang

digunakan merupakan dengan memberi diri untuk dipercaya anak. Setiap

konselor atau gereja harus memiliki keramahan untuk dapat memahaminya.

Akan tetapi, pemulihan tidak akan terwujud jika semua aspek tidak

berperan serta merangkul dan menerima keberadaannya. Setiap anggota

komunitas sudah seharusnya memiliki hubungan yang baik bagi anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hubungan yang diharapkan berupa

persahabatan yang didasarkan pada cinta yang penuh serta perhatian bagi anak

disabilitas (Lester 1987, 146).


53

Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga

membutuhkan pengakuan terhadap keberadaan mereka di dalam gereja.

Sehingga, gereja sudah seharusnya menemukan pendekatan untuk mengenal dan

memahami anak disabilitas. Gereja harus mengetahui kasus-kasus yang terjadi di

dalam lingkup gereja dan masyarakat, kemudian gereja mencar solusi untuk

penyelesaiannya. Ketika anak disabilitas membutuhkan keberadaan gereja,

gereja harus selalu siap untuk memberikan waktu, kesempatan dan tenaga untuk

berhubungan dengan anak disabilitas terutama korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga (Laster 1987, 146)

Gereja yang juga bagian dari komunitas memiliki tanggung jawab untuk

memberikan pemahaman bagi masyarakat terhadap keberadaan anak

disabilitas. Pemahaman dapat diberikan melalui pendidikan inklusif, yang sesuai

dengan keterbatasan anak disabilitas. Melalui pemahaman dengan pendidikan

inklusif akan memberikan pengetahuan baru mengenai anak disabilitas yang

membutuhkan orang sekitarnya dan menganggapnya sebagai bagian dari

komunitas.

Selain masyarakat dan gereja, keluarga merupakan tempat bagi anak

untuk mengenal pengetahuan. Hal ini juga berlaku bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat yang aman dan

nyaman untuk terhindar dari pemerkosaan oleh anggota keluarga. Kalaupun itu

terjadi dan tidak dapat dihindari, keluarga harus mampu melihat perubahan

yang terjadi di dalam keseharian anak disabilitas (Noviana 2015, 21)


54

Gereja perlu memahami bahwa tidak semua dapat dikerjakan sendiri.

Gereja juga memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanan bagi anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Oleh karena itu,

dibutuhkan kesiapan komunitas untuk merangkul anak disabilitas, terutama

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga kerja sama dari medis untuk dapat

memperhatikan perkembangan disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Ketika anak berada di dalam pengawasan medis, gereja juga harus

turut serta dan menjadi teman. Gereja harus siap memberikan dukungan

terhadap pemulihan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

secara medis.

Pendampingan Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota

Keluarga

Secara personal, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga membutuhkan pendampingan untuk dapat dipulihkan. Karena itu,

berikut ini saya akan menjelaskan tentang hal-hal yang mesti diperhatikan dalam

rangka melakukan pendampingan pribadi terhadap anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga yang ada dalam gereja. Adapun hal-hal yang

perlu diperhatikan adalah:

Tujuan Pendampingan

Seorang konselor diharapkan mampu mendampingi anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga maupun keluarganya dari segi

spiritual agar anak dan keluarga yang bersangkutan dapat mengalami pemulihan
55

secara utuh (holistik) dengan memberikan perhatian, perawatan, pemeliharaan,

dan perlindungan (Fatiyah 2018). Melalui tujuan pendampingan seperti ini

diharapkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

mendapatkan pemulihan secara perlahan.

Seorang konselor harus mampu memberikan pengetahuan bagi anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk dapat menerima

keberadaan dirinya dan sekitarnya. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga harus dipersiapkan dalam iman dan spiritual untuk dapat

menerima orang sekitarnya, sehingga anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga mampu membangun hubungan interaksi dengan sekitarnya

(Clebsch 1967, 56).

Hadirnya seorang konselor di dalam kehidupan anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga diharapakan mampu menolong anak yang

bersangkutan membangun hubungan dirinya dengan Tuhan. Seorang konselor

harus mampu membangun harapan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga bahwa Tuhan menyayangi mereka tanpa melihat

keterbatasannya. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

juga diberikan amanat dari Tuhan untuk menjadi berkat bagi sesama (Clebsch

1967, 43).

Peran konselor

Hal mendasar mesti dilakukan oleh seorang konselor yakni ia harus

mampu menempatkan diri dalam penderitaan anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Seorang konselor harus mampu melihat


56

rasa kesepian dan kerinduan di dalam diri anak. Penderitaan yang dimiliki anak

disable korban perkosaan tersebut merupakan luka. Dengan demikian seorang

konselor diharapakan mampu mendampingi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga agar bisa pulih lewat kehadiran dan

penempatan dirinya dalam hubungan dengan anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga (Singgih 2009, 48).

Peran terpenting konselor dalam mendampingi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah untuk memampukan mereka,

menggerakan potensi yang ada dalam dirinya sehingga bisa pulih akibat trauma

tindakan incest yang dialami. (Fathiyah 2018).

Untuk itu, seorang konselor haruslah memiliki spiritualitas sebagai

konselor sehingga dapat menerima kehadiran, mendengar, memberikan

kehangatan dan memberikan dukungan praktis bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga (Clinebell 2006, 239). Melalui peran yang

dimiliki seorang konselor diharapkan mampu mengurangi bahkan memulihkan

anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dari perasaan sedih,

kecemasan, ketakutan, kesendirian bahkan emosional yang meledak akibat

trauma.

Seorang konselor juga diharapkan mampu membimbing anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk memperoleh kembali

kepercayaan dirinya. Konselor diharapkan mampu membimbing anak disabilitas

untuk mengenal pelaku kejahatan melalui penampilan, bagaimana pelaku

mendekati korban (Fathiyah 2018).


57

Selan itu, seorang konselor berperan juga dalam membimbing anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk mengimani Kristus

yang selalu menyertainya. Konselor memberikan pemahaman kepada anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga agar dapat menerima

keadaan yang terjadi dalam dirinya dan sekitarnya (Abineno 1997, 39).

Untuk itu gereja harus menemukan metode yang tepat untuk anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mengenal firman Tuhan.

Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga memerlukan

pemahaman dan pendekatan mengenai firman Tuhan. Hal ini disebabkan bahwa

anak juga dapat bernyanyi meskipun bisu dan anak bisa memuji Tuhan

meskipun buta. Sebab kita mengharapkan menerima respon dari anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Storm 1979, 115).

Anak disabilitas juga di dalam luka nya mengalami krisis iman. Sehingga

sangat perlu bimbingan seorang konselor untuk dapat membantunya. Biasanya

anak disable dengan berbagai keterbatasan memiliki penalaran yang berbeda-

beda. Anak disabilitas akan diperhadapkan dengan gangguan pikiran dan

kecerdasan dibandingkan anak-anak pada umumnya (Lester 1987, 144).

Anak disabilitas akan menyadari bahwa dirinya berbeda dari anak-anak

pada umumnya. Mereka mulai bertanya, "Mengapa saya tidak bisa melihat?

Mengapa saya tidak bisa mendengar? Mengapa Tuhan membuat saya seperti

ini?" Pertanyaan yang paling sering muncul tanpa ada jawaban. Hal yang paling

penting bagi anak-anak adalah mengetahui bahwa kecacatan mereka tidak

memisahkan mereka dari dan kepedulian Tuhan. Anak mungkin bertanya, "Apa

yang telah saya lakukan salah? Apa yang orang tua saya lakukan salah?" (Lester
58

1987, 144). Kita harus mengetahui bahwa kehadiran disabilitas bukan bagian

dari penderitaan melainkan dari bagian dari kehidupan. Di dalam Yohanes 9:1-

34 dikatakan bukan karena orang tuanya berdosa maka anak tersebut

mengalami kebutaan, melainkan agar karya Yesus nyata. Yesus menunjukkan

perhatian, kepedulian dan kasih sayang-Nya bagi orang buta tersebut (Lester

1987, 145).

Pemulihan Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga

Konselor harus memahami perannya bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga, yakni membina hubungan baik dan juga

hubungan penuh kepercayaan. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga harus diperlakukan sebagai individu yang berharga dan

memiliki bakat-bakat yang perlu dihargai, keunikan perasaan, bahkan kebutuhan

pribadi yang perlu dipenuhi (Collins 2002, 175).

Pada dasarnya setiap anak tidak menginginkan pembedaan perlakuan

yang didasarkan pada kondisi disabilitas yang dialaminya. Untuk itu ada

beberapa kebutuhan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga yang perlu diperhatikan konselor dalam rangka membantu anak

disabilitas dalam pemulihannya. Prinsip dimaskud yakni:

Anak butuh diperlakukan bukan sebagai orang cacat

Setiap anak juga menginginkan pengakuan dan penerimaan dari setiap

orang akan keberadaan dirinya. Pembedaan yang diberikan kepadanya dapat

memberikan rasa sakit bahkan kekecewaan dalam diri. Oleh karena itu penting
59

bagi keluarga Kristen untuk melihat anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga bukan dari segi keterbatasannya melainkan masa kecilnya.

Setiap anak membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari sekitarnya

(Lester 1987, 143).

Ketika keluarga Kristen mengerti dan memahami anak disabilitas dari

masa kecilnya maka perlu diberikan kesempatan bagi mereka. Kesempatan

untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Keluarga

Kristen sebagai komunitas harus membimbing anak untuk mencoba hal baru

dalam kehidupannya. Hal baru dengan pengenalan terhadap keberadaannya di

sekitar komunitas akan menolongnya memperoleh pengalaman-pengalam

berharga. Hal-hal baru yang dilakukan oleh anak disable korban incest haruslah

diberikan diapresiasi (Lester 1987, 143).

Anak butuh untuk diterima

Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dengan

segala keterbatasan haruslah diberikan peneguhan. Keluarga Kristen harus

mampu memberikan pemahaman kepada anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga mengenai kehadiran mereka di tengah-tengah komunitas

sebagai anugerah. Rasa sakit, kesedihan, kecemasan dan takut yang dialami anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga merupakan bagian dari

dalam diri komunitas. Oleh karena itu, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga haruslah dilibatkan ke dalam setiap kegiatan yang ada di dalam

komunitas, baik dalam keluarga, masyarakat bahkan gereja (Lester 1987, 143).
60

Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya berhubungan dengan teman-teman

seusianya dan orang dewasa. Dengan demikian, anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga merasa bahwa dirinya diterima dalam

masyarakat. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga akan

kembali percaya diri dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan baik.

Dalam hal ini bimbingan dari sekitarnya tetap diperlukan untuk memperlihatkan

hubungan kedekatan dengan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga.

Anak disabilitas membutuhkan komunitas dan komunikasi

Rasa dikucilkan atau mengucilkan diri dirasakan oleh anak disabilitas

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Oleh karena itu, dibutuhkan orang

sekitarnya untuk memberikan perhatian penuh bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga. Baik keluarga, masyarakat dan keluarga

gereja harus berpartisipasi dalam model pengajaran bahasa dapat digunakan

untuk mendorong perkembangan bahasa. Materi harus diberikan yang sesuai

dengan anak, apakah mereka diperkuat untuk gangguan pendengaran, gangguan

penglihatan, atau akses bagi keterbatasan fisik (Lester 1987, 143).

Anak disabilitas membutuhkan hidup mandiri

Kebanyakan keluarga Kristen berpikir untuk memberikan tempat

perlindungan bagi anak-anaknya, terutama anak disable. Kebanyakan keluarga

menempatkan anak disablitas di dalam rumah. Padahal, perlindungan yang

seperti ini sama seperti mengisolasi anak. Sudah seharusnya anak juga diberikan
61

kebebasan sebanyak-banyaknya. Kebebasan tersebut akan mengajarkan anak

disable korban incest untuk berjuang, gagal dan berhasil. Pada akhirnya, anak

disable dapat belajar disiplin untuk memperoleh yang terbaik dalam

kehidupannya (Lester 1987, 144).

Hal ini akan berhubungan dengan bakat dan keterampilan yang mereka

miliki. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga akan

berjuang untuk memberikan yang terbaik dalam bakat dan keterampilannya.

Bakat dan kemampuan yang dimiliki akan menghantarkannya pada kehidupan

sosial. Sehingga, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga

dapat hidup mandiri dalam komunitas (Lester 1987, 144). Pada akhirnya, hidup

dalam komunitas menjadi sesuatu yang aman bagi anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga.

Vanier mengatakan bahwa komunitas sebagai tempat anak untuk

mengembangkan potensinya secara aman dan nyaman. Komunitas harus

memberikan kebebasan bagi anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga untuk berkarya demi hidup yang mandiri. Diharapkan

dengan potensi yang dimiliki anak disabilitas dapat mendapatkan kemajuan

dalam hal ekonomi bagi dirinya. Oleh karena itu, Vanier menganggap bahwa

komunitas merupakan tempat saling berbicara tentang diri kita, ketakutan kita,

hambatan kita bahkan kekerasan yang kita alami atau kemampuan diri (Vanier

1998, 57).

Anak disabilitas sebagai jantung hati


62

Setiap orang memiliki jantung hati. Jantung hati bagi Vanier merupakan

metaFora yang menunjukkan hubungan yang paling dalam dari diri kita. Hati

yang terkait dengan dengan hati yang lain, membawa keluar dari kepemilikan

yang dikekang untuk menciptakan pengecualian dan mencintai orang lain. Anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga hanya memiliki hati

untuk berhubungan dengan seseorang yang dipercayai. Sehingga, anak

disabilitas dapat aktif di dalam komunitas dan mampu bekerja sama dengan

anggota komunitas lainnya (Vanier 1998, 85).

Oleh karena itu diperlukan masyarakat yang mampu memberikan

harapan yang baru bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota

keluarga. Perlakuan yang diterima anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga dari komunitas akan berdampak dalam kehidupannya. Anak

disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah mahkluk yang

unik dan hidup dengan keberadaan orang sekitarnya. Anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga tidak akan terlepas dari hubungan antar

komunitas.

Metode

Selain prinsip-prinsip di atas perlu disadari bahwa pendampingan

pastoral adalah jenis pendampingan yang dilakukan dengan memperhatikan

kondisi manusia yang dilayani. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh

anggota keluarga tentu juga membutuhkan model pendampingan khusus akibat

kondisi disabilitas mereka. Pertanyaannya adalah model pendampingan seperti

apa yang mesti diberlakukan bagi anak disabilitas korban perkosaan oleh
63

anggota keluarga? Menurut saya, model pendampingan pastoral yang

menekankan pendekatan verbal sulit dilakukan terhadap anak disabilitas dengan

kesulitan belajar seperti dalam kasus-kasus yang saya temui. Hal ini dikarenakan

mereka memang sulit berkomunikasi dengan baik, sebagai syarat yang

diperlukan agar pendampingan atau konseling bisa dilakukan secara

bertangungjawab.

Oleh karena itu, seorang konselor perlu memikirkan model-model

pendekatan non-verbal yang bersifat memampukan anak disabilitas korban

pemerkosaan menemukan kembali dirinya sebagai manusia yang utuh.

Pendekatan non-verbal dimaksud harus dilakukan dengan kehadiran konselor

yang menunjukkan keberpihakan dan penerimaan kepada anak disabilitas

korban perkosaan oleh anggota keluarga. Konselor juga mesti kreatif

memikirkan cara pendekatan non-verbal seperti apa yang cocok dengan

kebutuhan anak disable korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dan

bagaimana pendekatan tersebut mesti diterapkan. Adpaaun beberapa metode

pendekatan non-verbal yang bisa dipikirkan dalam pendampingan terhadap

anak disable korban perkosaan anggota kelaurga yaitu: melalui permainan dan

berbagai aktivitas lainnya yamg menumbuhkan semangat penerimaan diri pada

anak disable korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.


Bab IV

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga terhadap anak

disabilitas merupakan kejahatan yang menimbulkan trauma bagi anak

yang bersangkutan.

2. Pada umumnya komunitas kurang memahami keberadaan dan

tanggungjawab mereka terhadap anak disabilitas korban

pemerkosaan oleh anggota keluarga sehingga anak-anak tersebut

diabaikan keberadaannya oleh komunitas.

3. Gereja sebagai komunitas seringkali kurang bisa hadir sebagai

komunitas penyembuh bagi anak disabilitas yang menjadi korban

tindak pemerkosaan oleh anggota keluarganya sendiri.

4. Pendekatan gereja sebagai komunitas penyembuh menuntut gereja

untuk membenahi komunitas gereja sendiri menjadi komunitas yang

ramah anak dan juga memiirkan model-model pendekatan pastoral

non-verbal yang sesuai dengan kebutuhan anak disabilitas.

Saran

1. Gereja sebagai komunitas mesti mengembangkan sistem pelayanan

pastoral yang memungkinkan anak disabilitas korban pemerkosaan

oleh anggota keluarga diterima dalam komunitas gereja.

64
65

2. Gereja perlu diberikan pemahaman kepada komunitas yang lebih

luas, termasuk keluarga, untuk memahami anak disabilitas dengan

keterbatasan yang dimilikinya.

3. Gereja sebagai komunitas mesti melibatkan anak disabilitas, baik

korban pemerkosaan oleh anggota keluarga berpartisipasi dalam

kehidupan gereja sebagai bagian dari proses pemulihan.


66

Daftar Acuan

Abineno, J.I.C.H. 1997. Pelayanan pastoral kepada orang-orang sakit. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Agung. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 22 Juli.

Anton. 2018. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 16 Februari

Baker. 1999. Baker Encyclopedia of Pscychology and Counseling.

Beasley-Murray, George R. 1987. Word biblical commentary vol. 36: John. Texas.
Word Books.

Bonhoeffer, Dietrich. 1962. Creation and fall. London: SCM Press LTD.

Clebsch, William A & Charles R. Jaekle. 1967. Pastoral Care in Historical


Perspektive. London: Harper Torchbooks.

Clinebell, Howard. 1992. Basic types of pastoral care & counseling. USA: Library of
Congress Cataloging-in-Publication Data.

Clinebell, Howard. 2006. Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling pastoral.


Yogyakarta: Kanisius.

Collins , Gary R. 2002. Konseling Kristen yang efektif. Malang: SAAT.

Eisland, Nancy L. 1994. The disabled God: Toward a liberatory theology of


disability. Nashville: Abingdon Press.
Ginott, Haim. 1977. Memesrakan hubungan anda dan anak anda. Jakarta:
Gramedia.

Gladding, Samuel T. 2015. Konseling: Profesi yang menyeluruh: Edisi Keenam.


Jakarta: PT. Indeks.

Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk pendampingan perempuan korban


kekerasan: Konseling berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.

Heggen, Carolyn dan Holderread. 2008. Pelecehan seksual dalam keluarga Kristen
dan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hryniuk, Michael. 2010. Theology, disability and spiritual Transformation.


NewYork:Cambria Press.

Imbens, Annie and Ineke Jonker. 1992. Christianity and incest. Minneapolis:
Fortress Press.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak. http://www.kpai.go.id/berita/tahun-


2017-kpai-temukan-116-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak/
(diakses 10 November 2017).
67

Kostenberger, Andreas J. 2004 John. Michigan: Baker Academic.

Lester, Andrew D. 1987. When children suffer: A Sourcebook for Ministry with
Children in Crisis. Philadelphia: The Westminster Press.

Levin, Gerald R. 1983. Child Psychology. California: Brooks/Cole Publishing


Company.

Lina. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 11 Februari

Marshal. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 20 Juli.

Maria. 2018. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 17 Februari.

Monang. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 11 Februari

Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan seksual terhadap anak: Dampak dan


penangannya. Sosio informa Vol. 1, Januari-April 2015: 13-28

Nurul. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 28 Juli.

Pantas. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 17 Februari.

Rian. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 10 Februari

Santi. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 10 Februari

Sikar. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 22 Juli.

Singgih, Emanuel Gerrit. 2009. Dua konteks. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sokar. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 28 Juli.

Storm, Bons M. 1979. Apakah penggembalaan itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sukma. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 10 Februari

Supratiknya. 1995. Mengenal perilaku abnormal. Yogyakarta: Kanisius.

Vanier, Jean. 2009. Human Becoming. London: Darton, Longman and Todd Ltd.

Vika. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 17 Februari.

Weni. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 20 Juli.

Yani. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 24 Juli.

10 catatan penting akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak.


https://www.kompasiana.com/ikhwanulparis/10-catatan-penting-
akhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-yang-
meluas_586fb4bd539773b00addca99 (diakses 08 November 2017).
68

Lampiran Wawancara

Kasus I

Wawancara terhadap keluarga

Saya : Manasumo raka indo ?

)ndo Weni : Oi..

Saya : Apa kabar indo ?

)ndo Weni : Kabar baik.

Saya : Ambe Marshal dimana indo ?

Indo Weni : Lagi ke ladang tadi ambe nak.

Saya : Maaf indo , Warni apa kabarnya? Kok tidak kelihatan?

)ndo Weni : Warni di dalam nak.

Saya : Maaf indo sebelumnya, saya sebenarnya ingin bincang-bincang


sama indo dan ambe . )tu pun kalau tidak keberatan indo dan
ambe .

)ndo Weni : Silahkan nak… Ada yang bisa kami bantu?

Saya : Warni anak keberapa ya indo ?

)ndo Weni : Dia anak kedua dari tiga bersaudara nak. Kakak laki-lakinya
sekarang kelas 2 SMK dan yang paling kecil masih kelas 5 SD.

Saya : Kalau ke sekolah bagaimana indo ?

)ndo Warni : Kalau kakak laki-lakinya bawa motor kok ke sekolahnya,


sedangkan adiknya yang kecil diantar sama saya atau ambe nya.
Tapi kalau sama saya, pasti jalan kaki karna saya tidak tahu
mengendarai motor (tiba-tiba mata berkaca-kaca)

Saya : Ada apa indo , seperti sedih begitu? Ada yang buat indo sedih?

)ndo Weni : Itulah kelalaianku nak, harusnya saya yang mengantar adiknya
yang paling kecil, biar Warni ditemani ambe nya. Tapi semua
memang kesalahanku. Aku biarkan semuanya terjadi.

Saya : Maaf indo sebenarnya saya juga sempat dengar peristiwa yang
terjadi pada Warni. Saya mendengarnya dari Majelis, itu pun
setelah tim monitoring saya pulang dari gereja kita. Sebenarnya,
awalnya saya tidak percaya indo karna waktu saya melakukan
69

pendataan di sini, saya bertemu dengan Warni dan dia ramah dan
senang di sentuh tangannya. Bahkan, ibu Proponen
memperkenalkan saya dengan Warni.

)ndo Weni : Itulah nak. Padahal saya sudah berusaha menjaga, melindunginya
dengan baik. Saya pikir dia pasti aman jika selalu di dalam rumah.
Tetapi, kenyataanya malah kakeknya, ambe ku yang berbuat
kejahatan terhadapnya. Dulu, kakeknya itu sayang kali sama
Warni, bahkan ketika Warni, kakeknya yang mandiin. Sekarang
malah dia yang merusak anak saya.

Saya : Terus Warni sudah bagaimana indo ?

)ndo Weni : Warni keliatan seperti orang stress nak. Dia hanya bisa
mengerutu dan memeras bajunya. Bahkan terkadang Warni
seperti berteriak dan ingin berbicara. Tapi, saya tidak mengerti
maksudnya apa (sambil mengusap air mata). Kenapa ada orang
seperti kakeknya itu. Saya benar-benar benci dengan ambe saya
itu. Rasanya pengen bunuh dia, biar gak ada lagi di dunia ini.
Terlalu sakit perbuatannya di dalam keluargaku.

Saya : )ndo kalo saya boleh tahu, peristiwa itu terjadi di mana ya?

)ndo Weni : Peristiwa itu terjadi di sana. (menunjuk ke arah penggilingan


padi). Bahkan kejadian itu terjadi pagi hari (sambil terbata-bata).
Sakit sekali nak.

Ambe Marshal: Ada apa ini kok indo Weni menangis?

Saya : Maaf ambe kami lagi berbincang-bincang mengenai Warni.


)ndo Weni : Saya tidak menyangka laki-laki yang saya hormati, bapak dari
istri saya tidak punya hati. Hatinya iblis, pengen rasanya
membunuh dia. Di dalam tahanan pun dia aku gak ikhlas, dia ganti
rugi pun aku gak ikhlas.

)ndo Weni : Aku tidak tahu mau berkata apa lagi, dia sampai hati lakukan itu
sama cucunya. Padahal dia bilang, dia sayang kali sama Warni
tapi… .)ngin rasanya hatiku memakinya, aku gak bisa
mengampuninya
70

Saya : (mengangguk)

Ambe Marshal: Saya sudah anggap dia seperti ambe saya sendiri, meski
rumahnya ada di bawah sana. Bahkan, dia juga sering makan di
tempat saya dan saya senang dia berada di sini. Tapi, masa dia
berbuat jahat kepada cucunya sendiri. Dia itu memang tidak punya
hati (dengan suara meninggi dan menangis). Hanya Warni anak
perempuan kami satu-satunya. Kami jaga dia selalu bahkan kami
tidak biarkan dia pergi keluar atau bermain dengan yang lain.

Saya : )ndo – ambe kalau boleh tahu apa yang sudah dilakukan gereja
ketika mendengar peristiwa ini?

Ambe Marshal: )bu Proponen dan beberapa Majelis datang ke sini. Mereka
mendoakan Warni. Terus, ibu Proponen dan Majelis melakukan
ibadah penguatan bagi kami. Tapi saya sebenarnya sedih dan
kesal dengan gereja kita nak. Warni tidak bisa melihat dan
mendengar, jadi dia tidak mendengar firman Tuhan yang
disampaikan.

Saya : Saya juga ada di situ ambe . Setelah itu ambe ?

)ndo Weni : Tidak ada nak.

Saya : )ndo – ambe saya permisi dulu ya, lain kali saya datang ke sini
ya. Terima kasih buat waktunya indo – ambe .

Wawancara terhadap Proponen


Saya : Ibu, bagaimana kelanjutan masalah yang menimpa Warni?

Proponen : Saya sudah datang ke rumah duka nak. Bahkan, saya sudah
datang ke kantor polisi melihat pelakunya. Kasihan sekali
pelakunya itu, dia harus dibotak dan tidur beralaskan tikar.
Bahkan, baru masuk saja, dia katakan kalau narapidana yang lain
itu sering mukulin dia karna mereka tahu kejahatan yang
dilakukan pelaku.

Saya : Terus Warni gimana bu?

Proponen : Kita sudah datangi ke rumah orang tuanya dan melakukan ibadah
penguatan. Ya, semoga dengan dilayangkan ibadah penguatan bagi
keluarga tersebut dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi
kenyataan yang terjadi. Tidak ada yang mau mengalami peristiwa
duka tersebut tapi kita harus berkata apa lagi kalau itu sudah
terjadi.

Saya : Apa tidak ada penanganan lain bu?


71

Proponen : Kita tidak punya program khusus bagi anak korban


incest, terkhusus bagi anak disabel. Kita hanya bisa
memberikan mereka penguatan melalui ibadah. Hal ini
sebagai pertanda bahwa gereja juga ikut merasa sedih
dan menyesali hal tersebut terjadi. Kalau pun ada, baru
kali ini ibu temukan. Jadi ibu kurang mengerti dan tidak
memahaminya. Makanya, lebih baik memberikan
bimbingan bagi keluarganya.

Saya : (mengangguk) oke bu. Terima kasih bu.

Proponen : Sama-sama

Wawancara terhadap salah satu Majelis Gereja (Sikar)

Saya : Selamat pagi pak.

Sikar : Selamat pagi juga Nando

Saya : Maaf mengganggu waktu bapak. Saya ingin berbincang-bincang


mengenai peristiwa yang terjadi di gereja kita.

Sikar : Silahkan nak.

Saya : Peran gereja terhadap orang-orang seperti Warni pak. Apa yang
dilakukan gereja pak?

Sikar : Kita hanya melakukan pelawatan bagi yang mengalami peristiwa


yang tidak diinginkan. Hal-hal yang seperti inikan bisa dikatakan
berita duka, jadi kita sebagai majelis sudah seharusnya
mendampingi keluarga. Pendampingan yang kita lakukan ya
melalui pelawatan.

Saya : Kalau saya boleh tahu pak, pelawatan yang seperti apa?

Sikar : Pelawatan dalam hal ini dengan melakukan ibadah bagi keluarga.
Ibadah yang kita lakukan kepada keluarga dan anak korban incest
tersebut merupakan langkah yang baik, sebab yang tahu isi hati
manusia hanya Tuhan. Biarlah semuanya kita serahkan kepada
Tuhan dan biarlah Tuhan menghukum pelakunya

Saya : Hanya dalam bentuk I badah pak?

Sikar : Benar. Kita tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini.
Sebaiknya kita serahkan sepenuh kepada keluarga yang
berduka saja.

Saya : Begitu ya pak. Terima kasih buat waktunya pak.


72

Sikar : Sama-sama

Wawancara terhadap tetangga

Saya : Selamat siang pak..

Agung : Selamat siang nak.

Saya : Maaf mengganggu waktunya pak. Saya ingin


berbincang-bincang dengan bapak mengenai Warni.
Bisa pak?

Agung : Silahkan nak.

Saya : Pak Agung kenal dekat tidak dengan Warni?

Agung : Sebenarnya saya tidak mengenal dekat dengan anak


ambe Marshal karena biasanya anaknya selalu di
rumah. Kalau ketemu itu pun kalau kami kumpul-
kumpul di sekitaran rumahnya.

Saya : Menurut bapak, Warni itu gimana orangnya?

Agung : Sejauh yang saya kenal dia anaknya baik dan ramah
serta enak diajak untuk bicara, walaupun sangat sulit
berkomunikasi dengannya. Terlihat kok melalui jabatan
tangan terlihat kok kalau dia ramah.

Saya : Jadi menurut bapak bagaimana sikap orang tuanya


terhadap Warni?

Agung : Kalau saya melihat, kedua orang tuanya sayang sekali


dengan Warni kok.

Saya : Begitu ya pak? Makasih ya pak buat waktunya. Saya


permisi dulu.

Agung : Iya nak. Sama-sama.

Kasus II

Wawancara terhadap keluarga

Saya : Selamat siang bu

Ibunya Mawar: Selamat siang juga. Ada yang bisa saya bantu?
73

Saya : Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa


STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan
akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang
mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke sini untuk
berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat saya.

Ibunya Mawar: Siapa nama yang memberitahukan informasi itu kepada anda?

Saya : Maaf ibu. Saya harus menjaga rahasia mengenai informan


tersebut. Tapi percayalah bu, saya tidak bermaksud lain kok.

Ibunya Mawar: Baiklah. Apa yang bisa saya bantu?

Saya : Maaf bu, saya mendengar bahwa terjadi kekerasan seksual


terhadap anak ibu. Kalau saya boleh tahu siapa nama anak ibu
tersebut?

Ibunya Mawar: Mawar. Dia ada di sana bermain bersama temannya (menunjuk ke
arah teras rumah).

Saya : Wah, kelihatan Mawar anaknya riang ya bu. Sepertinya dia senang
bermain.

Ibunya Mawar: Benar.

Saya : Saya dengar-dengar, Mawar juga sudah sekolah ya bu?

Ibunya Mawar: Benar. Mawar sekolah di SLB miliki pemerintah. Dia di sana
mendapatkan pendidikan yang baik.

Saya : Kalau saya boleh tahu kenapa Mawar di sekolah di SLB bu?

Ibunya Mawar: Mau gimana lagi? Sekolah formal tidak ada yang mau
menerimanya. Mungkin karna Mawar sudah buta sejak lahir ya.
(sambil tersenyum dingin)

Saya : Maaf bu, saya dengar juga Mawar pernah mengalami kekerasan
ya?

Ibunya Mawar: Iya nak. Itu sekitar dua tahun yang lalu. Itu peristiwa yang sangat
menyakitkan buat saya. Saya merasa dikhianati oleh suami saya
sendiri. Dia melakukan kejahatan seksual terhadap darah
dagingnya sendiri. Seorang bapak yang seharusnya menjadi
pemimpin dan teladan, bapak yang harus menjaga dan melindungi
anggota keluarganya, tapi tega melakukan hal itu terhadap
anaknya. (sambil mengepal tangan kanannya)

Saya : Darimana ibu tahu kalau bapak yang melakukannya?

Ibunya Mawar: Saya awalnya tidak tahu dan tidak memiliki firasat aneh. Saya
berhubungan baik dengan suaminya dan saya mempercayai suami
74

saya untuk tetap di rumah bersama dengan anak saya. Tapi, Mawar pernah
ngomong sama saya kalau bagian kemaluan sakit waktu buang air
kecil. Saya hanya berpikir mungkin itu karena bakteri. Anak saya
senang bermain dan mungkin tidak berhati-hati.

Ibunya Mawar: Kemudian saya bawa Mawar ke puskesmas yang dekat jalan
(sambil menunjuk ke arah puskesmas). Bidan yang jaga kasih tahu
saya kalau Mawar mengalami iritasi di bagian kemaluannya.
Kemudian, bidan berkata kalau anak saya mengalami kekerasan
seksual. Saat itu rasanya saya mau pingsan karena saya yakin tidak
ada yang melakukan perbuatan jahat tersebut.

Ibunya Mawar: Saya yang sudah kalang kabut memaksa Mawar untuk
memberitahu siapa pelakunya. Awalnya dia tidak mau
memberitahu, tapi saya tetap paksa dan barulah kutahu kalo itu
dilakukan suami saya sendiri. Dari situ saya benci melihat suami
saya sampai saya memukul-mukulnya dan melaporkannya ke
kantor polisi.

Saya : Terus bagaimana dengan Mawar bu?

Ibunya Mawar: Kalau dari pengakuan Mawar, dia sering bermimpi ketemu
dengan ayahnya tapi Mawar nangis dan berteriak. Saya berpikir
bahwa ini merupakan tekanan batin anak saya. Dari situ saya
minta cerai dari suami saya dan tetap melaporkannya ke kantor
polisi. Saya juga malu punya suami penjahat dan saya juga takut
kalau suatu saat dia dapat berbuat hal tersebut terhadap Mawar.

Ibunya Mawar: Pernah juga Mawar menangis ketika tamu tetangga laki-laki
mampir. Dia seperti ketakutan.

Saya : Baik bu. Semoga ibu semakin dikuatkan untuk menjaga Mawar
bu. Terima kasih buat waktunya bu.

Ibunya Mawar: Sama-sama

Wawancara terhadap tetangga

Saya : Selamat sore bu. Boleh minta waktunya sebentar.

Nurul : Selamat sore juga. Silahkan…

Saya : Apa ibu mengenal Mawar?

Nurul : Kenal nak. Dia anak yang baik dan ramah. Mawar sering bermain
di teras rumahnya. Teman-temannya sering datang ke teras
rumahnya untuk bermain-main juga. Biasanya mereka bermain
75

boneka, lucu juga kalau saya lihat Mawar bermain boneka. (sambil tersenyum

Saya ; (tersenyum). Terus kalau bapaknya Mawar ibu kenal?

Nurul : Manusia seperti dia itu tidak berhak hidup di dunia. Padahal dia
orang Kristen dan beriman tetapi kelakuannya tidak
mencerminkan sama sekali sebagai orang yang memiliki Tuhan.
Kalau perlu, orang seperti itu dibinasakan saja biar jadi pelajaran
bagi orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual.

Saya : Kenapa bu?

Nurul : Iya. Ayahnya Mawar bejat, tidak bermoral dan tidak manusiawi.
Saya benar-benar tidak suka melihat bahkan ingin rasanya
memakinya tapi saya tidak punya hak. Tega sekali dia berbuat
hal yang memalukan tersebut. padahal itu anak kandungnya.
Saya tidak tahu dia pakai otak atau tidak.

Saya : Terus, bapaknya sekarang di mana bu?

Nurul : Sudah dipenjarakan. Baguslah itu.

Saya : Baiklah bu. Terima kasih buat waktunya bu.

Nurul : Sama-sama

Wawancara terhadap Pendeta

Saya : Selamat pagi pak Pendeta..

Sokar : Selamat pagi juga nak. Ada yang bisa saya bantu?

Saya : Maaf pak pendeta. Saya ingin berbincang-bincang perihal


peristiwa yang terjadi di gereja kita ini.

Sokar : Peristiwa apa itu nak?

Saya : Saya mendengar adanya kekerasan seksual pak pendeta.

Sokar : Saya sebenarnya tidak tahu masalah ini dan ini terjadi sebelum
saya melayani di tempat ini. Tetapi, yang mau saya katakan
bahwa kehidupan kita ini hanya milik Tuhan dan yang tahu
semuanya hanya Tuhan. Apa pun yang terjadi di dalam diri kita,
baik kesusahan, penderitaan kita sebaiknya kita serahkan kepada
Tuhan. Sudah seharusnya kita mengampuni orang yang
melakukan kesalahan kepada kita sebab Tuhan sudah terlebih
dahulu mengampuni semua kesalahan manusia.
Saya : Terus penanganan selanjutnya bagimana pak pendeta?
76

Sokar : Sebenarnya, semuanya tergantung kepada keluarga. Kita dari


gereja hanya bisa memberikan bimbingan melalui firman Tuhan.
Iya, kita berharap agar keluarga memaafkan pelaku dan semoga saja
dengan kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua termasuk pelaku
untuk tidak berbuat kesalahan yang sama. Saya sudah
mendatangi orang tua perempuannya dan mencoba
mengarahakan agar memaafkan suaminya. Terlebih lagi, kita
adlah orang Kristen, sudah seharusnya saling memaafkan. Meski
sebesar apa pun kesalahan itu.

Saya : Bagaimana dengan Mawarnya pak Pendeta?

Sokar : Sejauh ini kita belum dapat menangani korban secara intensif,
terlebih lagi kita belum memiliki program yang sesuai dengan
anak.

Saya : Kalau saya boleh tahu pak Pendeta. Apakah Mawar pernah datang
ke dalam gereja?

Sokar : Sejauh ini saya belum mengenal secara dekat terhadap Mawar.
Saya juga tidak pernah melihat Mawar di dalam gereja ketika
adanya ibadah. Mungkin saja karena ibunya tidak membawanya
ke dalam gereja.

Saya : Baik pak Pendeta. Terima kasih buat waktunya. Saya permisi dulu
pak.

Sokar : Sama-sama

Kasus III

Wawancara terhadap keluarga

Saya : Selamat pagi bu. Bisa minta waktunya sebentar.?

Ibu Santi : Bisa. Tetapi anda siapa dan ada apa?

Saya : Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa


STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk
tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari
seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke
sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat
saya.

Ibu Santi : (terlihat murung) sebenarnya saya tidak mau mengingat kejadian
tersebut. Setiap kali saya mengingat kejadian itu, saya merasa
tersakiti. Saya langsung terhadap anak saya dan bagaimana
perasaan anak saya.
77

Saya : Maaf bu, saya tidak bermaksud lain. Hanya saja saya butuh
mengenal anak ibu lebih jauh.

Ibu Santi : Nama anak saya Yohanes. Sekarang dia berumur sekitar 8 tahun.
Dia bagi saya anak yang ceria. Saya suka melihatnya. Bahkan
pulang kerja, kalau melihat tingkahnya yang lucu, saya langsung
segar lagi. Saya merasa tenaga saya kembali seperti semula.
Makanya saya senang melihat anak saya yang satu itu. Tapi…
(terdiam)

Saya : (setelah menunggu beberapa saat). Tetapi apa bu?

Ibu Santi : Saya menyesal telah bekerja dan meninggalkan anak-anak saya.
Padahal saya bekerja untuk kehidupan sehari-hari kami, bahkan
untuk membeli susu anak-anak saya. Kalau mengharapkan dari
pendapatan suami pasti tidak cukup. Saya menyesal, kalau saja
waktu bisa diputar, lebih baik aku merawat mereka terutama
Yohanes.

Ibu Santi : Saya merasa, karena saya bekerja makanya anak saya mengalami
peristiwa yang menyakitkan. Seharusnya saya yang merawat anak
saya dengan baik, tapi saya malah kerja. Saya berpikir bahwa
suami saya akan mengurus anak kami dengan baik, terlebih
kepada Yohanes. Tetapi kenyataan tidak demikian.

Saya : Kira-kira kapan peristiwanya bu?

Ibu Santi : Pastinya saya tidak tahu. Tetapi kejadian tersebut terjadi sekitar
tahun lalu. Awalnya saya senang dengan suami saya yang mau
membantu saya merawat anak ketika saya kerja. Padahal saya
kerja juga untuk menambahi pendapatan keluarga.

Ibu Santi : Sebenarnya, awalnya saya curiga melihat tingkah anak saya,
Yohanes. Dia sering menangis bahkan kalau dia mau kencing, dia
menangis dulu. Dia menunjuk ke arah kemaluannya. Saya lihat
tidak kenapa-kenapa. Tapi dari situ saya mulai curiga, saya
berpikir ada sesuatu yang gak beres.

Saya : Kemudian ibu melakukan apa?

Ibu Santi : Saya minta izin sama bos untuk pulang lebih cepat dan jam
istirahat untuk pulang sebentar. Benar saja, setelah seminggu
lebih saya melakukannya, rasa curiga saya mulai terlihat. Suami
saya yang bekerja sebagai tukang tambal ban tidak terlihat di luar.
Sedangkan anak-anakku yang lain ada di luar. Dan yang membuat
saya makin curiga bahwa Yohanes juga tidak ada di luar.
Kemudian saya datangi tempat kerjaan suami saya.
78

Ibu Santi : (terdiam) Saya melihat suami saya lagi menyodomi anak saya,
Yohanes. Saya merasa sakit. Pengen rasa membunuhnya tetapi
saya tidak sanggup. (mulai menangis)

Saya : Suami sekarang dimana?

Ibu Santi : Sekarang dia ada di kantor polisi. Saya tidak suka dan tidak mau
punya suami seperti dia yang melakukan kejahatan seksual.

Saya : Semoga ibu semakin kuat ya. Maaf kalau saya lancing. Terima
kasih buat waktunya bu.

Ibu Santi : Sama-sama

Wawancara terhadap tetangga

Saya : Selamat siang bu. Saya mau nanya nih.

Sukma : Iya. Ada apa dek?

Saya : Apakah ibu tahu atau kenal dengan Yohanes, anak yang sebelah
tetangga ibu?

Sukma : Saya tahu anaknya itu. Anaknya itukan yang idiot, yang susah
jalan.

Saya : Maksudnya bu?

Sukma : Iya, si Yohanes itukan tidak bisa jalan. Kalau pun bisa hanya
sedikit-sedikit seperti yang diseret gitulah.

Saya : Berarti ibu sering melihat Yohanes sekitar sini ya bu?

Sukma : Saya selalu melihat anak-anaknya bermain di depan ini, bahkan


saya melihat kalau si Yohanes sering sekali lari-lari padahal dia
susah jalan. Beberapa kali memang Yohanes tidak ikut bermain
dengan adik-adiknya, kemungkinan dimandikan atau dikasih
makan. Saya tidak tahu dan tidak menyangka sama sekali kalau
ayahnya sendiri yang melakukan kejahatan tersebut Padahal
anaknya idiot, tidak tahu apa-apa.

Saya : Begitu ya bu. Tetapi diakan gak buat masalah di sinikan bu?

Sukma : Tidak sama sekali. Saya hanya menyayangkan perbuatan ayahnya


itu. Perbuatan yang tidak terpuji sama sekali. Saya jadi tidak suka
melihat suaminya itu. Saya pikir dia baik, mau menyapa dan enak
diajak ngomong tapi ternyata perbuatannya….
Saya : Baiklah bu. Terima kasih buat waktunya ya bu. Saya permisi dulu.
79

Sukma : Sama-sama dek

(dilanjutkan dengan tetangga yang lain)

Saya : Selamat siang bang. Mau nanya nih.

Rian : Siang juga..

Saya : Abang kenal gak sama yang kerja di tambal itu? (sambil menunjuk
ke arah tambal).

Rian : Kenallah..

Saya : Saya dengar ada kekerasan seksual yang bang?

Rian : Benar bang. Saya awalnya tidak menyangka kejadian tersebut.


Setahu saya, ia itu baik kepada orang-orang sekitar dan anak-
anaknya, ia juga sering terlihat mengasuh anak-anaknya. Tapi,
mau bagaimana pun ia harus dihukum karena hanya orang bodoh
dan tidak bermoral yang berani melakukan kejahatan seperti itu.
Saya merasa kasihan terhadap Yohanes sendiri, seharusnya dia
mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah, apalagi ibunya
kerja dari pagi sampai malam.

Rian : Bahkan kami sering cerita-cerita. Dia enak diajak cerita dan dia
juga mau berbagi rokok sama saya. Makanya, saya tidak
menyangka kalau pelakunya dia. Tetapi sudah sepantasnyalah dia
mendapatkan hukuman dan sekarang dipenjara. Biar dia tahu
rasa. Masa anak sendiri tega melakukan hal seperti itu.

Saya : Terus kalau si Yohanes itu bagaimana bang?

Rian : Saya lihat dia tidak berbahaya. lagian dia memiliki


keterbelakangan, jadi tidak mungkinlah mengerti perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh ayahnya itu. Anaknya itu hanya
jalan ke sana-ke mari terus bermain bersama anak-anak yang lain.
atau biasanya dia juga sibuk sendiri. Maklumlah dengan
keadaannya.

Saya : begitu ya bang.. Terima kasih buat waktunya bang.

Rian : Sama-sama

Wawancara terhadap Pendeta


80

Saya : Selamat pagi pak pendeta. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau
diskusi sebentar.

Monang : Selamat pagi juga. Mau diskusi apa dan anda siapa?

Saya : Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa


STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk
tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari
seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak jemaat
bapak Pendeta. Saya ke sini untuk berbincang-bincang. Kalau
boleh kasih waktu bapak buat saya.

Monang : Silahkan.

Saya : Bapak mengenal nama Yohanes? Yang baru-baru ini mengalami


kekerasan seksual?

Monang : Iya saya mengenalnya dengan baik. Kenapa?

Saya : Bagaimana kondisinya sekarang ya pak pendeta?

Monang : Saya rasa sekarang kondisinya sudah baiklah.

Saya : Kalau saya boleh tahu pak pendeta. Penanganan yang diberikan
gereja terhadap keberadaannya apa ya?

Monang : Iya kita harus menerima mereka sebagai bagian dari diri kita. kita
dapat mengenalkan mereka di dalam kehidupan kita.

Saya : melalui apa yan pak?

Monang : Semuanya bisa dilakukan melalui ibadah penguatan atau


memanggilnya untuk ikut bersama-sama di dalam gereja.

Monang : Mereka yang mengalami penderitaan, kesakitan dan kesedihan


sudah seharusnya kita bantu. Kita sebagai anak-anak Tuhan harus
selalu ada bagi mereka yang membutuhkan. Begitu juga hal
dengan anak korban incest tersebut, bahwa dia merupakan anak
yang dikasihi Tuhan. Jadi, kita harus memandang sama dan
memperlakukannya sama dengan yang lainnya, meskipun dia
berbeda

Saya : Apakah Yohanes datang ke gereja pak Pendeta?

Monang : Beberapa kali dia datang bersama dengan ibunya.

Saya : Terus yang dilakukan apa pak Pendeta?

Monang : Anak tersebut ikut beribadah bersama.


Saya : Oke pak Pendeta. Terima kasih buat diskusinya
81

Monang : Sama-sama.

Wawancara terhadap Majelis

Saya : Selamat pagi bu..

Lina : Selamat pagi juga.

Saya : Saya mau minta pendapat ibu mengenai Yohanes.

Lina : Kita harus memahami bahwa kehidupan kita adalah miliki Tuhan
dan seharusnya kita jangan bersikap kurang bijak dengan
pemberian tersebut. Kalau kita orang Kristen sudah seharusnya
kita memperlihatkan kepada dunia bahwa benarlah kita anak
yang dikasihi-Nya. Hal serupa berlaku bagi Yohanes.

Lina : Kebahagiaan yang sejati datangnya hanya dari Yesus Kristus yang
ajaib dan mampu menyembuh setiap kesedihan. Tugas kita
sekarang adalah bersama-sama dengan setiap orang yang
percaya, membangun komunitas yang membangun

Saya : Bagaimana dengan keluarganya bu?

Lina : Ibunya tetap kita beri dukungan untuk tetap semangat


memberikan yang terbaik bagi Yohanes. Kita harus memberikan
harapan melalui kenyakinan bahwa semuanya dapat terjadi jika
Tuhan berkehendak.

Lina : Oleh karena itu, kita harus tetap percaya dan yakin bahwa Tuhan
akan selalu ada bagi anak-anak yang memahami keinginan
hatinya.

Saya : Terima kasih bu buat pendapatnya

Lina : Sama-sama

Kasus IV

Wawancara terhadap staff

Saya : Selamat siang pak.

Anton : Selamat siang.

Saya : Saya mehasiswa STT Jakarta akan melakukan penelitian di


tempat ini. Mohon bantuan dan pembelajarannya pak. Apa yang
bisa saya bantu pasti saya lakukan.
82

Anton : Baik. Kita langsung mengenai fokus tulisanmu ya.

Saya : Saya lagi meneliti mengenai pendampingan yang dilakukan


komunitas terhadap orang disable korban incest.

Anton : Kebetulan di tempat ini ada tiga orang yang mengalaminya.

Saya : Bolehkah saya mengetahuinya lebih jauh pak?

Anton : Boleh. Tapi sayang orang tuanya tidak menganggapnya ada.


Makanya untuk menjadikannya tulisan bakalan susah.

Saya : Tidak apa-apa pak. Yang ada dulu dimaksimalkan.

Anton : Di sini ada yang namanya Vero. Dia bisa dikatakan sudah lama di
sini dan sudah rajin diberikan terapi. Vero ini bisa dikatakan
sudah remajalah meskipun kalau dalam rentan usia masih
dikatakan anak.

Anton : Dia juga sudah memiliki anak dan anaknya sudah sekolah. Kami
memang sengaja seperti Vero dan Lely untuk tidak bertemu
dengan anaknya. Karena kalau pun bertemu, mereka tidak akan
mengenalinya. Kita juga perlu menjaga perasaan anaknya.

Saya : (Mengangguk)

Anton : Vero merupakan anak tuna grahita dengan keterbatasan pada


mental. Awal dia sampai di panti untuk makan saja sangat
kesulitan. Biasanya dia makan pakai tangan tapi tangannya
digenggam kuat, bahkan tangannya seperti yang kaku. Kemudian,
pertama sampai dia sering teriak-teriak dan mukul-mukul orang
dengan keras. Tapi, sekarang sudah jauh lebih baik, makan sudah
pake sendok bahkan sudah bisa mengantar piring kotor ke kamar
mandi.

Saya : Teus penanganan yang diberikan apa pak?

Anton : Sampai saat ini kita memiliki pegawai terapis yang bekerja sama
dengan rumah sakit. Jadi kita bawa mereka ke sana atau ahli
terapinya yang datang ke sini.

Anton : Awal datang ke tempat ini, vero itu sering teriak-teriak bahkan
mukul-mukul temannya. Bahkan sampai ada yang nangis karena
pukulannya. Sepertinya dia mengalami trauma yang hebat.
Sampai-sampai kami tidak bisa menahan amarahnya.

Saya : Berarti dia sama sekali tidak dijenguk keluarganya ya pak?

Anton : Tidak.
Saya : Saya bisa minta alamat orang tuanya pak?
83

Anton : Silahkan. Semoga dia berkenan akan kedatanganmu.

Wawancara terhadap keluarga

Saya : Selamat siang bu.

Vika : Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?

Saya : Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa


STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk
tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari
seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke
sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat
saya.

Vika : Anak saya yang mana ya?

Saya : Anak ibu yang bernama Vero.

Vika : Saya tidak memiliki anak yang bernama Vero.

Saya : Tetapi, saya mendapatkan data-datanya dari staff panti bu.

Vika : Saya sudah bilang, saya tidak punya anak yang namanya Vero.

Saya : Tapi bu?

Vika : Sudahlah.

Saya : Saya hanya mau tahu saja bu.

Vika : Saya punya anak tapi dulu. Sekarang dia sudah tidak di sini dan
bahkan saya tidak tahu bagaimana keadaannya. Untuk datang ke
tempatnya saja susah. Lebih baik uang untuknya saya pergunakan
untuk kebutuhan keluarga saya di sini, apalagi ayahnya mereka
sudah tidak ada di sini.

Vika : Dia itu hanya aib bagi keluarga. Karena dia kami semua ikut
sengsara. Biarlah di situ dia. Mana kuanggap sebagai anak lagi itu.
Di sini sudah ada anakku. Dia itu seperti penyakit bagi keluarga
kami dan sudah sepantasnya dia berada di sana dengan orang-
orang yang sama sepertinya.

Saya : Baiklah bu kalo begitu. Saya hanya mau tahu saja.

Vika : Iya.
84

Wawancara terhadap pendeta

Saya : Selamat siang amang. Perkenalkan, nama saya Fernando


Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang
melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya
mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang
terjadi pada anak jemaat amang.

Pantas : Siapa namanya?

Saya : Vero amang.

Pantas : Saya rasa pernah dengar nama itu tapi saya lupa.

Saya : O iya, kalau dari data panti, dia anak ibu Vika amang.

Pantas : Saya mengenal ibu Vika tapi saya tidak tahu anaknya (Vero) yang
mana. Saya melayani di tempat ini baru sekitar 2 tahun. Bahkan,
majelis saya juga tidak ada yang memberitahu mengenai
peristiwa atau kejadian tersebut. Sebenarnya, ini bukan urusan
saya, ini menjadi urusan pendeta sebelum saya. Saya tidak tahu
sudah sejauh mana pendeta tersebut melakukan konseling
terhadap orang tuaya Vero

Saya : Terus penanganan gereja sekarang ada amang?

Pantas : Sampai sekarang tidak ada. Karena saya juga tidak pernah
bertemu dengan anak itu.

Saya : Kalau keluarganya bagaimana amang?

Pantas : Kalau ibunya masih sering kelihatan di dalam gereja. Tetapi,


menurut saya kurang etis kalau itu di bawa ke dalam gereja.

Saya : Baik amang. Hanya itu yang ingin saya ketahui.

Saya : Maaf telah mengganggu waktu amang. Terima kasih amang

Pantas : Sama-sama

Kasus V

Wawancara terhadap staff

Saya : Selamat siang pak.

Anton : Selamat siang.


85

Saya : Saya mahasiswa STT Jakarta akan melakukan penelitian di


tempat ini. Mohon bantuan dan pembelajarannya pak. Apa yang
bisa saya bantu pasti saya lakukan.

Anton : Baik. Kita langsung mengenai fokus tulisanmu ya.

Saya : Saya lagi meneliti mengenai pendampingan yang dilakukan


komunitas terhadap orang disable korban incest.

Anton : Kebetulan di tempat ini ada tiga orang yang mengalaminya.

Saya : Bolehkah saya mengetahuinya lebih jauh pak?

Anton : Pertama sekali Lely sampai ditempat ini, dia selalu histeris
berteriak minta tolong. Dia bahkan sangat susah untuk didekati
oleh siapa pun. Pernah juga dia dekati terapis laki-laki, dia
langsung nangis dan berteriak. Dia berkata bahwa bahwa terapis
itu jahat. Tetapi, setelah diberikan pendekatan oleh terapis
perempuan sehingga sekarang dia mengalami kemajuan. Dia
sekarang sudah berani di dekati oleh laki-laki. Tetapi, dampak
traumatis yang dialami masih ada.

Anton : Sebenarnya, Lely juga memiliki anak sama seperti Vero. Anaknya
Lely juga dirawat oleh ibunya. Ibunya bertanggung jawab buat
lahirnya anak dari anak perempuannya. Anaknya sekarang sudah
SD.

Saya : Terus bagaimana penanganannya pak?

Anton : Kalau dalam hal ini sebenarnya kami juga kurang bisa. Makanya
diperlukan kerja sama dari semua komunitas. Sayangnya gereja
kita saja menganggap mereka seperti lelucon yang tidak perlu
penanganan.

Anton : Gereja beranggapan bahwa panti memiliki banyak dana untuk


menampung anak-anak dengan keterbatasan. Mereka
menganggap bahwa panti ini juga dapat bantuan dari pemerintah
setempat, padahal tidak.

Saya : Begitu ya pak. Terus kalau keluarganya Lely gimana pak?

Anton : Keluarganya rajin kok datang tiap bulan. Kalau pun tidak datang
tiap bulan berarti karena ada kesibukan lain. Seperti orang tuanya
Lely, memang dia kasih uang tiap bulan untuk anaknya tapi tidak
sebanding dengan pengeluarannya selama di sini.

Saya : (mengangguk)

Anton : Apa perlu alamat orang tuanya Lely juga?

Saya : Perlu pak.


86

Anton : Baik. Nanti saya kasih.

Saya : Terima kasih pak

Anton : Sama-sama

Wawancara terhadap keluarga

Saya : Selamat siang bu.

Maria : Selamat siang juga

Saya : Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa


STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk
tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari
seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke
sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat
saya.

Maria : Boleh.

Saya : Sebenarnya kejadian itu terjadi kapan bu?

Maria : Kejadian memalu itu terjadi sekitar delapan tahun yang lalu. Itu
pun kalo saya tidak lupa.

Saya : Kalau saya boleh tahu. Siapa pelakunya ya bu?

Maria : Itulah. Pelakunya suami saya sendiri.

Saya : Sekarang suami ibu ada di mana?

Maria : Saya sudah laporkan ke kantor polisi dan sekarang sudah ditahan.

Maria : Saya lebih baik mengutamakan Lely dan anaknya yang sekarang
sudah sekolah. Mereka berdua membutuh uang untuk keperluan
sehari-hari. Jadi lebih baik saya beri waktu dan kekuatan saya
kepada mereka. Daripada, saya memikirkan suami saya yang
tidak pantas untuk dibanggakan.

Anda mungkin juga menyukai