Anda di halaman 1dari 4

Legalitas Sanksi Wajib Vaksin: Apakah Inkonstitusional?

Indonesia saat ini merupakan salah satu negara yang masih hidup berdampingan bersama
pandemi yang dikenal sebagai ‘Corona Virus Disease 2019/COVID – 19’ dengan angka
penderita yang cukup signifikan setiap harinya. Satu tahun terakhir, pemerintah kerap kali
melakukan pembatasan perjalanan untuk mencegah penyebaran dari para pengendara atau
pengemudi dari satu kota ke kota lainnya dan juga menerapkan bekerja atau belajar dari rumah
(Work/Study From Home). Berbagai hal yang telah direalisasikan demi mengantisipasi virus
Covid – 19 agar tidak memapar terlalu jauh ke banyak masyarakat, ternyata masih kurang efektif
jika tidak diimbangi oleh obat/vaksin untuk ikut serta memerangi virus tersebut bagi yang belum
terjangkit sebagai tindakan preventive, ataupun yang telah terpapar virus Corona itu sendiri. Di
akhir tahun 2020, vaksin corona akhirnya telah sampai di Indonesia dan orang pertama yang
divaksinasi adalah Presiden RI Joko Widodo pada hari Rabu 13 Januari 2021 di Istana
Kepresidenan Jakarta.

Di awal Februari, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (PERPRES)


Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020
tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID – 19) yang mulai berlaku tanggal 10 Februari 2021.
Serangkaian aturan dilakukan perubahan sebagai bentuk penyelenggaraan administrasi dalam
program vaksinasi nasional yang efektif. Kendati demikian, terbitnya PERPRES tersebut
menimbulkan beberapa hal yang menjadi perdebatan dikalangan akademisi yang sekiranya
dijadikan pertimbangan dalam pembedahan Peraturan Presiden itu sendiri karena dianggap
melanggar ketentuan baik dalam Peraturan Perundang – Undangan, bahkan UUD NRI 1945.

Di antaranya terdapat dalam Pasal 13 A ayat (4) Perpres No. 14 Tahun 2021 yang
berbunyi,

“Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID- 19 yang tidak
mengikuti Vaksinasi COVID- 19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi
administratif, berupa:

a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;


b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau
c. denda.”

Pasal 13A ayat (4) tersebut melanggar Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa jika setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh. Maka ketika Perpres ini diterapkan, penolakan vaksin corona tersebut
menimbulkan akibat hukum berupa sanski administratif yang dapat menimpa pelakunya jika
tidak tunduk pada aturan tersebut. Hal ini dapat dikatakan sama saja dengan terhambatnya atau
bahkan terampas hak setiap orang atas jaminan sosialnya oleh Negara.

Memang dalam ketentuan pengujian Undang – Undang sendiri diatur yang diatur dalam
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perpres
No. 100 Tahun 2016, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2016 tidak memiliki kewenangan untuk
di uji di Mahkamah Konstitusi, karena Perpres bukan lah Undang – Undang. Sehingga yang
berhak menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Perpres No. 14/2021)
terhadap undang-undang (UU No. 39/1999) adalah Mahkamah Agung.

Namun sekiranya disini akan dijabarkan pula apabila Perpres tersebut disandingkan
dengan beberapa pasal dalam UUD 1945 dianggap saling berbenturan. Dalam hal ini terdapat di
Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) dan (3) UUD 1945 diterangkan dengan jelas bahwa
Negara menjamin hak atas jaminan sosial dimiliki oleh warga negara Indonesia dan pemerintah
memiliki kewajiban dalam menjalankannya demi menghormati, melindungi dan memenuhi hak –
hak tersebut. Kedua pasal tersebut juga didukung pula oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang
menjamin bahwasannya setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif, apalagi hal itu
dilakukan oleh pemerintah yang sejatinya memiliki kewajiban dalam menyelenggarakan
pelayanan publik sebagai perwujudan terpenuhinya hak masyarakat sesuai dengan UUD 1945,
sehingga akses terhadap pelayanan publik harus diberikan seluas – luasnya kepada seluruh
masyarakat.

Hal ini karena pemberlakuan sanksi berupa penundaan dan penghentian layanan
administrasi pemerintahan sangat dipertanyakan, disisi lain memang Indonesia sedang berada
dalam keadaan darurat (state of emergency) yang dialami saat ini yaitu pandemi Covid – 19.
Seperti diketahui, negara memang mempunyai hak dapat menggunakan kekuasaannya untuk
mewajibkan beberapa hal dan memangkas/mengurangi pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
yang disebut sebagai derogable rights/non-absolute rights karena adanya prinsip derogasi
(penyimpangan) dan limitasi (pembatasan) dalam HAM. Tetapi, hal tersebut harus dijadikan
pertimbangan pula didalam keadaan seperti apa hak – hak tersebut dapat dikesampingkan atau
dibatasi dan hak apa saja yang bisa mendapatkan perlakuan seperti itu. Jadi, pemerintah dapat
dengan jelas melakukan penyampingan atau pembatasan hak atas jaminan sosial dalam tujuan
membuat masyarakat patuh akan program vaksinasi tersebut.

Derogasi hak pada umumnya dilakukan dalam keadaan darurat untuk menjaga stabilitas
negara. Permasalahannya didalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
bahkan dalam UUD 1945 ketentuan mengenai derogasi itu sendiri tidak termuat jelas, terutama
derogasi terhadap hak jaminan sosial masyakarat. Hal tersebut menunjukkan dimana aturan
sanksi penghentian jaminan kesehatan bagi masyakarat yang menolak pada vaksinasi tidak
sesuai/sejalan dengan Undang – Undang dan bahkan dengan Konstitusi yaitu UUD 1945, karena
telah menghilangkan hak atas jaminan sosial yang padahal derogasi secara spesifiknya tidak
diatur dengan jelas. Kecuali yang masih dianggap sekiranya relevan adalah sanksi penundaan
sebagai limitasi dari hak atas jaminan sosial itu sendiri, karena bukan memberhentikan hak
tersebut dengan jangka waktu yang bahkan tidak diketahui.

Hak atas jaminan sosial dikeadaan kahar atau genting seperti ini sebenarnya memang
juga tetap dianggap krusial, seperti akses terhadap sistem jaminan kesehatan, jaminan di hari tua,
jaminan kecelakaan kerja, dam jaminan pension yang tentunya beresiko pada kesejahteraan
masyarakat penerimanya. Oleh karena itu, Negara tidak dapat serta merta melakukan
pemberhentian atas jaminan sosial mereka, walaupun itu bukanlah sanksi yang absolut dan masih
ada sanksi alternatif berupa denda.

Kemudian, apabila peraturan tentang pengadaan/program vaksinasi ini dianggap penting


dan terjadi dalam hal ikhwal atau keadaan genting yang memaksa, mengapa Presiden tidak
menetapkannya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang sudah
jelas diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan kewenangannya mutlak sejajar dengan UU
karena Perpu dibuat dalam keadaan kahar. Sedangkan, Peraturan Presiden adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
dan tidak ada unsur kegentingan/hal ikhwal yang memaksa, sehingga jika peraturan tentang
penerapan vaksinasi dituangkan dalam Perpres justru semakin terlihat jelas pemerintah secara
tidak langsung sudah mencederai hak setiap orang atas jaminan sosial yang terkandung baik
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun beberapa pasal dalam UUD
1945 yang telah dijelaskan diatas karena Perpres dibuat oleh Presiden tanpa unsur keadaan
genting yang memaksa, sehingga hak – hak yang ada dalam Hak Asasi Manusia sendiri tidak
dapat dikesampingkan atau dibatasi karena bukan dalam keadaan darurat. Hal ini mungkin akan
berbeda jika ditempatkan dalam PERPU.

Oleh karena itu, sanksi bagi orang yang melanggar kewajiban vaksinasi tersebut
sebaiknya dapat dipertimbangkan kembali dengan apa yang seharusnya sudah menjadi hak
masyakarat dan penerapan yang lebih efektif, serta lebih layak dalam menegakkan program
kesehatan. Sehingga terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban dapat saling
berkesinambungan, dimana dalam hal ini bukan berarti jika seseorang belum melakukan
kewajibannya secara total, hak orang tersebut bisa dirampas sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai