Anda di halaman 1dari 44

BAB I

HIMPUNAN

Tujuan dari pembelajaran pada materi himpunan ini adalah diharapkan

kepada mahasiswa agar setelah mempelajari materi ini mahasiswa dapat:

1. Memahami dan mendefinisikan himpunan

2. Memahami dan menguraikan jenis-jenis himpunan

3. Memahami dan mengoperasikan himpunan

4. Memahami dan melakukan operasi biner pada himpunan

5. Memahami dan melakukan pembuktian secara induksi

A. Pengertian Himpunan
Himpunan dipahami sebagai kumpulan obyek - obyek yang dapat didefinisikan dengan
jelas. Obyek-obyek dalam himpunan tersebut dinamakan anggota atau elemen dari
himpunan.
Contoh 1 :
1. Himpunan bilangan 1,3,5,7 dan 9.
2. Himpunan buku aljabar, buku statistik, buku kalkulus, buku matriks, buku analisis
variabel.
3. Himpunan pulau-pulau besar di Indonesia.
4. Himpunan mahasiswa program studi pendidikan matematika.
Himpunan dapat dinyatakan dengan tanda kurung kurawal dan digunakan huruf besar
sebagai nama dari himpunan tersebut. Contoh-contoh himpunan di atas dapat ditulis
secara matematik sebagai:
1. A = {1, 3, 5, 7, 9}
2. B = { buku aljabar, buku statistik, buku kalkulus, buku matriks, buku analisis variabel}
3. C = { pulau-pulau besar di Indonesia}
4. D = { mahasiswa program studi pendidikan matematika Unimor}
Penyebutan keanggotaan himpunan dengan menggunakan metode Roster (tabelaris) yaitu
dengan menyebut atau mendaftar semua anggota, seperti pada himpunan A dan B.
Sedangkan penyebutan dengan cara lain adalah metode Rule yaitu dengan menyebut syarat
keanggotaannya.

1
Contoh penggunaan metode Rule adalah:
C = {y | y pulau-pulau besar di Indonesia}
D = {x | x mahasiswa program studi pendidikan matematika}
Kalimat dibelakang garis tegak ( | ) menyatakan syarat keanggotaan.
Notasi anggota /elemen suatu himpunan adalah . Sedangkan obyek yang bukan anggota
himpunan disebut bukan elemen, dan notasi yang digunakan adalah .
Contoh 2: A = {1, 3, 5, 7, 9 }maka 3  A sedangkan 2 A.
Banyaknya elemen dari suatu himpunan dapat dinyatakan dengan menggunakan bilangan
cardinal. Misalkan banyaknya anggota himpunan A, disimbolkan dengan n(A). Dari
contoh di atas, banyaknya anggota himpunan A (n(A)) = 5.
Banyaknya anggota himpunan A dikatakan ekuivalen dengan banyaknya anggota
himpunan B jika n(A) = n(B), dan biasa disimbolkan dengan A  B.
Jika A dan B ekuivalen maka dapat dibuat perkawanan satu-satu dari himpunan A ke
himpunan B dan sebaliknya.
Contoh 3: E={2, 4, 6, 8, 10} ekuivalen dengan himpunan A={1, 3, 5, 7, 9}.
Dalam hal ini jumlah anggota A = B maka A  B atau sebaliknya B  A.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
 Urutan penulisan keanggotaan tidak diperhatikan, misalnya {2, 4, 6, 8, 10, {2, 8, 10, 4,
6} dianggap sama dengan {10, 8 , 6, 4, 2}.
 Perhitungan anggota-anggota yang sama pada suatu himpunan hanya sekali,
misalnya{1, 1, 3, 3, 5, 7}dan {1, 3, 5, 7, 7, 7} dianggap sama dengan {1, 3, 5, 7}.
B. Jenis-jenis himpunan
Jenis himpunan dapat dilihat dari syarat keanggotaan dan hubungannya dengan himpunan
yang lain. Jenis-jenis himpunan terdiri dari :
1. Himpunan semesta (universal set) adalah himpunan semua obyek yang dibicarakan.
Notasinya S atau U.
Contoh 4
A ={1, 3, 5, 7, 9} maka himpunan semestanya S = {bilangan ganjil} atau S =
{himpunan bilangan asli} dan lain-lain.
2. Himpunan kosong adalah himpunan yang tidak mempunyai anggota. Notasinya
adalah  atau { }.
Contoh 5
D ={bilangan ganjil yang habis dibagi dua}, maka D =  atau D = {}.

2
3. Diagram Venn adalah diagram untuk menggambarkan suatu himpunan atau relasi
antar himpunan. Himpunan yang digambarkan biasanya dalam bentuk lingkaran dan
anggotanya berupa titik dalam lingkaran dan himpunan semestanya dalam bentuk
persegi panjang.
Contoh 6
A = {1, 3, 5, 7, 9} dan himpunan semestanya adalah himpunan bilangan ganjil.
4. Himpunan Bagian
Himpunan A dikatakan himpunan bagian dari B jika setiap anggota A merupakan
anggota B, dinotasikan sebagai A  B.
Contoh 7
F = {2, 4, 6, 8} himpunan bagian dari G = {2, 4, 6, 8, 10} atau F  G.
Himpunan A ={1, 3, 5, 7} bukan himpunan bagian himpunan G ={2, 4, 6, 8, 10}
maka ditulis A  G karena ada anggota A bahkan semua anggota A bukan anggota G.
Sedangkan himpunan kosong merupakan himpunan bagian dari sebarang himpunan,
sehingga   A.
5. Himpunan kuasa yaitu himpunan yang anggota-anggotanya adalah himpunan bagian
dari himpunan suatu himpunan. Misalkan himpunan yang dimaksud adalah himpunan
A maka Notasinya adalah 2A.
Contoh 8
H={1, 2} maka 2H ={,{1},{2},{1,2}}. Dalam hal ini n(2A) = 2n(A) = 22 = 4.
6. Himpunan A memuat himpunan B yang diberi notasi A  B berarti B  A.
Contoh: himpunan H ={1, 3, 5, 7} memuat himpunan K={1, 3}atau H  K.
7. Dua himpunan A dan B dikatakan sama (A=B) jika A  B dan B  A.
Contoh 9
D ={ x | 5x-15 = 0 }, E = { 3 }. Kesimpulan, D=E.
8. Dua himpunan dikatakan saling asing jika masing-masing memiliki anggota dan
irisannya himpunan kosong ().
Contoh 10
Himpunan K ={11, 13, 15, 17} saling asing dengan himpunan L={12, 14, 16, 18}.
9. Komplemen himpunan dari suatu himpunan adalah semua anggota dalam himpunan
semesta yang bukan anggota himpunan tersebut. Misalnya himpunan A, notasi
komplemen A adalah AC. Dan ditulis sebagai AC ={x | xU dan xA}. Contoh U =
{11, 12, 13,…, 20} dan A = {13, 15, 17} maka AC={11, 12, 14, 16, 18, 19,20}. Relasi

3
antara himpunan G dan komplemennya dapat dinyatakan dalam suatu diagram venn.
Dari konsep di atas, maka dapat dipahami juga bahwa UC= dan C=U.
10. Himpunan yang sama
Himpunan A dan B dikatakan sama dan ditulis A = B, jika dan hanya jika setiap
anggota di A menjadi anggota di B dan setiap anggota di B menjadi anggota di A.
Dalam notasi matematik dapat ditulis, A = B = {x | x  A  x  B)
Contoh 11

Jika A = {a, b, c} dan B ={b, c, a}maka A = B.

C. Operasi Himpunan
Operasi-operasi himpunan yang sering digunakan adalah
1. Gabungan himpunan
Gabungan himpunan adalah suatu proses menggabungkan anggota – anggota dari
setiap himpunan menjadi suatu himpunan yang baru. Notasi yang digunakan adalah “ 
“.
Misalkan himpunan A dan B, maka secara matematik, A  B={x | xA atau xB}.
Contoh 12
A={a, b,c, d} dan B={e, f, g, h} maka AB = {a, b, c, d, e, f, g, h}.
Dari contoh di atas, ada beberapa sifat yang berlaku, yaitu A  (A  B}; B  (A 
B}dan A  AC = U.
2. Irisan himpunan
Beberapa himpunan dikatakan beririsan apabila pada setiap himpunan tersebut terdapat
anggota yang sama. Misalkan himpunan A dan himpunan B beririsan apabila ada
anggota himpunan A yang terdapat di himpunan B dan sebaliknya. Secara matematik,
A  B ={x | x  A dan x  B }.
Contoh 13
A={2, 3, 5, 7} dan B={2, 4, 6, 7, 8}maka A  B ={ 2, 7 }.
Dari contoh irisan di atas berlaku bahwa (A  B)  A dan (A  B)  B dan juga A 
AC = 
3. Selisih himpunan
Selisih himpunan A dan himpunan B adalah anggota A yang bukan B. Secara
matematik A-B = { x | x  A dan x  B }.
Contoh 14

4
A={1, 2, 3, 4, 5} dan B={3, 4, 5} maka A-B = {1, 2 }.

4. Jumlah himpunan
Penjumlahan himpunan A dan B adalah himpunan A saja atau himpunan B saja tetapi
bukan anggota A dan B. Secara matematik dapat ditulis sebagai A+B = {x | x  (A 
B) tetapi x  (A  B) }.
Contoh 15
A={1, 2, 3, 4, 5,} dan B={2, 4, 6} maka A+B ={1, 3, 5,6}.
Catatan bahwa : A+B = (A  B)-(A  B) atau A+B =(A - B)  (B - A).
5. Hukum aljabar himpunan.
Hukum-hukum aljabar pada himpunan dapat disebutkan sebagai berikut: jika A, B, dan
C merupakan himpunan bagian dari suatu himpunan X, maka akan memenuhi:
a Komutatif : 1). A  B = B  A dan 2). A  B = B  A.
b Assosiatif : 1). A  (B  C) = (A  B)  C dan 2). A  (B  C) = (A  B)  C.
c Idempoten : 1). A  A = A dan 2). A  A = A.
d Distributif : 1). A  (B  C) = (A  B)  (A  C) dan 2). A  (B  C) =
(A B)  (A  C).
e De Morgan : 1). (A  B)c = Ac  Bc dan 2). (A  B)c = Ac  Bc.
f Jika A  B maka: 1). A  B = A dan 2). A  B = B.
Pembuktian untuk d(2) dan e(2). Pembuktian yang lain sebagai latihan.
Pembuktian d(2).
A  (B  C) = (A  B)  (A  C).
Misalkan x sebarang elemen dari A  (B  C), maka kita tulis
x  A  (B  C)
 x  A  x (B  C)
 x  A  (x B  x  C)
xA  xBxA  xC) 
 x(AB)  x (AC)
 x(AB)  (AC)
Konsekuensinya,
A  (B  C)  (AB)  (AC) dan (AB)  (AC)  A  (B  C)

5
Sehingga A  (B  C)  (AB)  (AC)

Pembuktian e(2):
Jika x sebarang element dari (A  B)c maka
x (A  B)c  x  A  B
xAxB
 x  Ac  x  Bc
 x  Ac  Bc
Dengan demikian, (A  B)c  Ac  Bc dan Ac  Bc  (A  B)c
Sehingga (A  B)c = Ac  Bc.

D. Operasi biner
Operasi biner adalah simbol atau tanda yang digunakan untuk mengoperasikan aljabar
himpunan yang dioperasikan dalam fungsi tertentu dengan operasi penjumlahan (+) dan
penggandaan (.).
Definisi I.1
Misalkan A himpunan tidak kosong.
Operasi biner * pada A adalah pemetaan dari setiap pasangan berurutan x, y  A
dengan tepat satu anggota x * y  A.
Operasi biner mempunyai dua bagian dari definisi yaitu:
a. terdefinisikan dengan baik yaitu untuk setiap pasangan berurutan x,y  A dikawankan
dengan tepat satu nilai x*y.
b. A tertutup di bawah operasi * yaitu untuk setiap x, y  A maka x*y  A.
Contoh 16
Diketahui N himpunan semua bilangan bulat positif. Didefinisikan * dengan aturan
x * y = x - y.
Penyelesaian:
Misalkan 2, 3  N dan 2*3 = 2-3 = -1. Karena -1 tidak berada dalam N maka N tidak
tertutup di bawah operasi *, sehingga simbol * dengan fungsi x*y = x - y bukan operasi
biner pd N.
Contoh 17

6
Diberikan operasi # dengan aturan x # y = x + 2y dengan x,y N, dimana N ={1, 2, 3,
…}. Apakah operasi # merupakan operasi biner?
Penyelesaian:
Operasi biner # dengan aturan x # y = x + 2y dengan x,y N dimana N = {1, 2, 3, … }
menghasilkan satu bilangan elemen N. Karena itu, operasi # dikatakan terdefinisikan
dengan baik karena rumus x + 2y memberikan hasil tunggal untuk setiap x,y N. Dimana
sebarang x,y  N maka jelas bahwa x + 2y masih merupakan bilangan bulat positif.
Hal ini dapat dipahami bahwa 2y + x > 0 jika x > 0 dan y > 0, hasil dari x + 2y masih
merupakan bilangan positif dan akibatnya P tertutup di bawah operasi #. Sehingga operasi
# merupakan salah satu operasi biner yang memenuhi aturan x # y = x + 2y.
Contoh 18
Operasi * didefinisikan pada himpunan bilangan real R dengan a*b = (1/2)ab. Akan
ditunjukkan bahwa operasi * memenuhi assosiatif dan komutatif.
Penyelesaian:
1. Asosiatif: (a*b)*c = (1/2 a b)*c dan pada sisi lain a*(b*c)=a *(1/2) bc)
=1/2((1/2 a b) c) = (1/2)a((1/2) bc)
=1/4(a b)c = ¼ (a b) c
untuk semua a, b dan c  R maka * assosiatif.
2. Komutatif: a * b = (1/2) a b = (1/2) b a = b*a. Untuk semua a, b  R
maka * komutatif.
Contoh 19
Operasi  didefinisikan pada bilangan bulat Z dengan aturan a  b = a + 2b.
Akan ditunjukkan bahwa  tidak memenuhi komutatif dan tidak assosiatif.
Penyelsaian:
Karena pada satu sisi (ab)c = (a + 2b)  c = (a + 2b) + 2c dan pada sisi lain
a  (b  c) = a  (b + 2c)
= a + 2(b + 2c)
= a + (2b + 4c)
= (a + 2b) + 4c
dari kedua hasil tersebut tidak sama untuk c  0 maka  tidak assosiatif.
Karena a  b = a + 2b dan b  a = b + 2a dan kedua hasil ini tidak sama untuk a  b maka 
tidak komutatif.

7
Terlihat bahwa aturan untuk * tidak menjamin bahwa himpunan X tertutup di bawah operasi
*. Berikut ini diberikan suatu cara untuk membuktikan bahwa suatu himpunan tertutup
terhadap suatu operasi.
Untuk membuktikan sifat tertutup dari suatu sistem X dimulai dengan dua sebarang
anggota yang dioperasikan dengan operasi * dan kemudian ditunjukkan bahwa hasilnya
masih memenuhi syarat keanggotaan dalam X.
Untuk selanjutnya dalam tulisan ini R2 dimaksudkan himpunan semua pasangan berurutan
dari bilangan real R2 = {(a,b) | a, b dalam R}.
Contoh 20
Misalkan  mempunyai aturan (a,b)  (c,d) = (a+c, b+d). Akan ditunjukkan bahwa R2
tertutup di bawah operasi  .
Penyelesaian:
Untuk sebarang (a,b) dan (c,d) dalam R2 berlaku (a,b)  (c,d) = (a+c, b+d) dengan a+c dan
b+d dalam R sehingga (a+c, b+d) dalam R2.
Oleh karena itu hasilnya merupakan pasangan berurutan dan tertutup di bawah operasi .

Selanjutnya operasi <A, *> menyatakan himpunan A dan * merupakan operasi yang
didefinisikan pada A.
Definisi I.3:
(1) < A, * > memenuhi hukum identitas asalkan A mengandung suatu anggota e sehingga
e*a = a*e = a untuk semua a dalam A. Anggota A yang mempunyai sifat demikian
dinamakan identitas untuk < A , * >.
(2) < A , * > memenuhi hukum invers asalkan A mengandung suatu identitas e untuk operasi
* dan untuk sebarang a dalam A terdapat suatu anggota a’ dalam A yang memenuhi a*a’
= a’*a = e. Elemen a’ yang memenuhi sifat di atas dinamakan invers dari a.
Contoh 21
Himpunan bilangan Z mengandung identitas 0 untuk operasi penjumlahan.
Penyelesaian:
Setiap a  Z, ada – a  Z juga sehingga memenuhi a + (-a) = (-a ) + a = 0. D/d, a mempunyai
invers terhadap operasi penjumlahan dalam < Z , + > sehingga memenuhi hukum invers.

Dari contoh di atas, terlihat juga bahwa Z mengandung identitas 1 terhadap operasi
pergandaan tetapi Z tidak mengandung invers terhadap pergandaan kecuali 1 dan -1.

8
Hukum identitas dapat dibuktikan dengan menduga anggota tertentu e dalam suatu
himpunan yang berlaku sebagai identitas dan kemudian menguji apakah e*a = a dan a*e = a
untuk sebarang a dalam himpunan tersebut. Begitu pula dengan pembuktian hukum invers
dilakukan dengan ambil sebarang anggota x dalam himpunan yang mempunyai identitas e
dan menduga invers dari x yaitu x’ dalam himpunan dan kemudian menguji apakah x * x’ = e
dan x’ * x = e.
Contoh 22 :
Himpunan bilangan dalam R2 mengandung identitas 0 untuk operasi penjumlahan.
buktikan bahwa hukum invers dan hukum identitas berlaku.
Penyelesaian:
Diduga bahwa (0,0) merupakan anggota identitas. Karena untuk sebarang (a,b) dalam R 2
berlaku (0,0) + (a,b) = (0 + a, 0 + b) = (a,b) dan (a,b) + (0,0) = (a + 0, b + 0) = (a,b) maka
(0,0) identitas dalam R2.
Bila diberikan sebarang (a,b) dalam R2 maka akan ditunjukkan (-a,-b) dalam R2 merupakan
inversnya
Karena –a dan –b dalam R maka (-a,-b) dalam R2 .
Lebih jauh lagi ,(a,b)  (-a,-b) = (a-a,b-b) = (0,0)
Dan (-a,-b)  (a,b) = (-a+a,-b+b) = (0,0),
sehingga (-a,-b) merupakan invers dari (a,b) dalam R2 .
Contoh 23 :
Bila * didefinisikan pada R dengan aturan a * b = ab + a maka akan ditunjukkan bahwa < R,
*> tidak memenuhi hukum identitas.
Penyelesaian:
Jika a * e = a untuk semua a maka harus dimiliki ae + a = a sehingga diperlukan e = 0.
Namun sesuai aturan di atas, a * 0 = a0 + a = a sedangkan 0 * a = 0a + 0 = 0, sehingga secara
umum a*0 tidak sama dengan 0 * a.
Oleh karena itu tidak ada e dalam R yang memenuhi a * e =a dan e * a = a.
Terbukti bahwa tidak ada identitas dalam R terhadap operasi *.

E. Bukti dengan induksi


Dalam pembuktian biasanya diinginkan untuk membuktikan suatu pernyataan tentang
bilangan bulat positif n. Berikut ini diberikan dua prinsip tentang induksi berhingga.
Prinsip pertama induksi berhingga

9
Misalkan S(n) pernyataan tentang bilangan bulat positif n. Apabila sudah dilakukan
pembuktian:
(1) S(n0) benar untuk bilangan bulat pertama n0 .
(2) Dibuat anggapan induksi (induction assumption) bahwa pernyataan benar untuk suatu
bilangan bulat positif k ≥ n0 dan mengakibatkan S(k+1) benar maka S(n) benar untuk
semua bilangan bulat n ≥ n0.
Contoh 24
Akan dibuktikan bahwa 2n > n + 4 untuk semua bilangan bulat positif n ≥ 3 dengan
menggunakan induksi.
Peneyelesaian:
Bukti pernyataan benar untuk n0 =3.
Untuk n0 = 3 maka pernyataan 23 > 3 + 4 benar.
Asumsi induksi.
Dianggap pernyataan benar berarti 2k > k + 4 untuk suatu bilangan bulat k ≥ 3.
Langkah induksi.
Dengan anggapan induksi berlaku 2k > k + 4 dan bila kedua ruas digandakan dengan 2
diperoleh 2 (2k) > 2(k+4) atau 2k+1 > 2k + 8 dan jelas bahwa 2k + 8 >5 karena k positif
sehingga diperoleh 2k+1 > k + 5 = (k+1) + 4. Berarti bahwa dianggap pernyataan benar untuk
S(k) maka sudah dibuktikan bahwa pernyataan benar untuk S(k+1).
Jadi dengan prinsip induksi maka S(n) benar untuk semua bilangan bulat n ≥ 3.
Prinsip induksi berikut ekuivalen dengan prinsip pertama induksi berhingga tetapi biasanya
lebih cocok untuk bukti tertentu.
Prinsip kedua induksi berhingga
Misalkan S(n) suatu pernyataan tentang bilangan bulat n Apabila sudah dilakukan
pembuktian:
(1) S(n0 ) benar untuk suatu bilangan bulat pertama n0.
(2) Dibuat anggapan S(k) benar untuk semua bilangan bulat k yang memenuhi n0 ≤ k < m dan
mengakibatkan S(m) benar. maka S(n) benar untuk semua bilangan bulat n > n0.
Prinsip kedua induksi tersebut di atas dapat digunakan untuk membuktikan teorema
faktorisasi berikut ini.
Teorema I.1
Setiap bilangan bulat positif n ≥ 2 dapat difaktorkan sebagai hasil kali berhingga banyak
bilangan prima yaitu n = p1 p2 ……pw.
Bukti

10
Untuk n0 = 2 maka 2 = 2 yaitu faktorisasi dengan satu faktor prima. Anggapan induksi adalah
bahwa semua bilangan bulat positif k < m dengan k ≥ 2 dapat difaktorkan sebagai hasil kali
bilangan prima sebanyak berhingga.
Jika m bilangan prima maka jelas faktorisasinya adalah m = m.
Jika m bukan bilangan prima maka m mempunyai faktor sejati m = st dengan s dan t lebih
kecil dari m tetapi lebih besar atau sama dengan 2.
Dengan anggapan induksi maka s dan t mempunyai faktor prima yaitu:
s = p1 p2 … pu dan t = q1 q2 … qv
Oleh karena itu, m = s = p1 p2 … pu q1 q2 … qv dan berarti m juga mempunyai faktor prima.
Jadi dengan menggunakan prinsip kedua induksi maka teorema tersebut telah dibuktikan.

F. Relasi ekuivalensi dan penyekatan


Dalam merumuskan relasi obyek matematika, dapat kita lihat pada beberapa contoh berikut:
m berelsai dengan n dalam fungsi sebagai m membagi n,
x berelasi dengan y dengan aturan x dibawa ke y dalam fungsi f dan sebagainya.
Karena itu, kita dapat mendefinisikan relasi R dari suatu himpunan X ke himpunan Y sebagai
aturan yang memasangkan anggota X dengan anggota Y.
Secara formal, relasi R dari X ke Y didefinisikan berikut ini. Pertama-tama didefinisikan
hasil kali Cartesian X  Y sebagai himpunan pasangan berurutan {(x,y) | x dalam X dan y
dalam Y}. Kemudian didefinisikan suatu relasi R sebagai himpunan bagian tertentu dari X 
Y. Jika pasangan berurutan (s,t) anggota himpunan bagian tertentu untuk R maka ditulis s R t.
Contoh 25
(a) Relasi < didefinisikan pada himpunan bilangan real dengan sifat x < y jika dan hanya jika
y – x positif.
(b) Relasi membagi habis ( | ) didefinisikan pada himpunan bilangan bulat positif dengan sifat
m | n jika dan hanya jika n = mq untuk suatu bilangan bulat q.
Definisi I.4
Suatu relasi R pada himpunan X dikatakan mempunyai sifat:
(1) Refleksif jika x R x untuk semua x dalam X.
(2) Simetrik jika x R y menyebabkan y R x.
(3) Transitif jika x R y dan y R z menyebabkan x R z
(4) Antisimetris jika x R y dan y R x menyebabkan x = y.
Definisi I.5

11
Misalkan  relasi yang didefinisikan pada suatu himpunan X. Jika relasi  refleksif, simetrik
dan transitif maka relasi  merupakan relasi ekuivalensi.

Contoh 26
Diketahui f : A  B suatu fungsi.
Jika didefinisikan pada A dengan x  y jika f(x) = f(y) maka dapat dibuktikan bahwa
relasi  merupakan relasi ekuivalensi.
Suatu penyekatan (partition) dari himpunan X merupakan suatu keluarga himpunan bagian
tidak kosong dari X yang saling asing dan gabungannya sama dengan X. penyekatan
merupakan hal yang penting dalam matematika dan terdapat hubungan antara relasi
ekuivalensi dan peyekatan. Jika x dalam X dan ~ relasi pada X maka dapat didefinisikan
suatu kelas dari x yang dinotasikan dengan C(x) adalah himpunan semua y dalam x sehingga
x ~ y. jika ~ merupakan relasi ekuivalensi maka C(x) dinamakan ekuivalensi dari x.
Teorema 1.2 :
Jika ~ suatu relasi ekuivalensi pada himpunan X maka keluarga kelas ekuivalensi C(x)
membentuk penyekatan himpunan X.
Bukti :
Karena ~ refleksif maka x ~ x untuk senua x dalam X Oleh karna itu,kelas C(x) mengandung
x. Misalkan C(x) dan C(y) mempunyai paling sedikit satu anggota serikat z. Maka x ~ z dan
y ~ z (berarti juga z ~ y) dan akibatnya x ~ y. Hal itu berarti bahwa untuk setiap t sehingga y
 t menyebabkan x  t dan diperoleh C(y)  C(x).
Dengan cara yang sama dapat dibuktikan pula bahwa C(y)  C(x). Akibatnya C(y) = C(x)
sehingga kelas-kelas ekuivalensi yang bertumpang tindih akan sama dan kelas-kelas yang
berbeda akan saling asing.
Rangkuman:

1. Himpunan adalah kumpulan suatu objek yang mempunyai suatu ciri dan

karakteristik yang sama, himpunan dinyatakan dengan huruf besar dan

anggotanya dinyatakan dengan huruf kecil.

2. Gabungan adalah himpunan yang semua anggotanya merupakan anggota A

atau anggota B, disimbolkan dengan A  B = {xA atau xB}. Irisan adalah

himpunan yang semua anggotanya merupakan anggota A sekaligus anggota

12
B, yang disimbolkan dengan A  B ={xA dan xB}. Komplemen dari suatu

himpunan A adalah himpunan anggota-anggota x dengan x A, dan

dinyatakan dengan Ac.

3. T disebut relasi ekuivalen pada A, jika T refleksif, simentris, dan

transitif. T disebut relasi terurut parsial pada A jika T refleksif,

antisimetris, dan transitif. T disebut relasi terurut total jika T transitif

dan trikotomi.

4. Sifat-sifat operasi biner (*) pada suatu himpunan bilangan bulat Z

disimbolkan dengan (Z,*) terhadap penjumlahan ataupun perkalian adalah

tertutup, komutatof, asosiatif, adanya unsur satuan/identitas, adanya

unsur balikan/invers.

5. Struktur aljabar adalah ilmu yang mempelajari suatu himpunan dengan

satu atau lebih operasi biner yang diberlakukan pada sistem aljabar

tersebut.

6. Operasi biner adalah simbol atau tanda yang digunakan untuk

mengoperasikan aljabar himpunan yang dioperasikan dalam fungsi tertentu

dengan operasi penjumlahan (+) dan penggandaan (.).

7. Prinsip pembuktian secara induksi :


(1) S(n0) benar untuk bilangan bulat pertama n0 .

(2) Dibuat anggapan induksi (induction assumption) bahwa pernyataan

benar untuk suatu bilangan bulat positif k ≥ n0 dan mengakibatkan

S(k+1) benar maka S(n) benar untuk semua bilangan bulat n ≥ n0.

10 Secara formal, relasi R dari X ke Y didefinisikan berikut ini. Pertama-

tama didefinisikan hasil kali Cartesian X  Y sebagai himpunan pasangan

berurutan {(x,y) | x dalam X dan y dalam Y}. Kemudian didefinisikan suatu

relasi R sebagai himpunan bagian tertentu dari X  Y. Jika pasangan

berurutan (s,t) anggota himpunan bagian tertentu untuk R maka ditulis s R

t.

13
Soal Soal Latihan:
1. Misalkan A himpunan bagian B. Buktikan bahwa A  B = B dan A  B = B.
2. Diketahui A = n{6m | m dalam Z }, B = {4m | m dalam Z } dan C = {12m | m dalam Z }.
Buktikan bahwa A  B = C.
3. Diberikan operasi * dengan aturan a * b = - a b dengan a dan b bilangan bulat.
a. Jelaskan mengapa * operasi biner pada Z.
b. Buktikan * assosiatif.
c. Buktikan bahwa * komutatif.
d. Buktikan bahwa Z mengandung suatu identitas terhadap operasi *.
e. Jika a dalam Z maka tentukan z’ dalam Z terhadap operasi *.
4. Buktikan bahwa 1 + 5 + 9 +… + (4n + 1) = (2n + 1) (n + 1) untuk semua n ≥ 0.
5. Berikan contoh suatu contoh relasi yang disamping mempunyai sifat simetrik juga
mempunyai sifat antisimetrik dan jelaskan mengapa relasi itu mempunyai kedua sifat
tersebut.

14
BAB II. SEMIGRUP DAN MONOID

Tujuan dari mempelajari materi ini adalah agar setelah mempelajari materi

ini mahasiswa dapat:1) Memahami pengertian grupoid, 2) Memahami dan

mengoperasikan semigrup, 3) Memahami dan mengoperasikan monoid

Sebelum mempelajari materi semigrup, akan diberikan lebih pemahaman tentang konsep
grupoid dalam struktur aljabar.
Grupoid didefinisikan sebagai suatu struktur aljabar yang hanya memiliki satu operasi biner
dan tidak memiliki syarat apapun. Grupoid merupakan struktur aljabar yang paling
sederhana.
Dalam pokok bahasan ini, definisi grupoid hanya digunakan sebagai informasi. Sedangkan
yang dibahas adalah semigrup dan monoid, dimana keduanya merupakan bagian struktur
aljabar yang memiliki satu operasi biner tetapi memiliki syarat tertentu.

A. SEMIGRUP
Definisi 2.1:

Suatu grupoid (G,*) dikatakan semigrup terhadap operasi * jika memenuhi syarat-syarat :

1. (G,*) tertutup terhadap operasi *


2. Asosiatif terhadap operasi *
Contoh 1 :

Grupoid bilangan asli N, bilangan bulat Z, bilangan rasional Q dan bilangan R, merupakan
semigrup terhadap penjumlahan dengan lambang (N,+), (Z,+), (Q,+) dan (R,+).

Contoh 2 :
Grupoid bilangan asli N, bilangan bulat Z, bilangan rasional Q dan bilangan R, merupakan
semigrup terhadap perkalian dengan lambang (N, .), (Z, .), (Q, .) (R, .).
Contoh 3 :

15
Misalkan himpunan bilangan asli N, didefinisikan sebagai operasi biner a*b = a+b+ab.
Tunjukkan bahwa (N, *) adalah suatu semigrup.
Penyelesaian :
1. Tertutup
Misalkan a,b ∈ N, a* b = a+b+ab ∈ N
Maka a*b tertutup terhadap bilangan asli N.

2. Asosiatif
Misalkan a,b,c∈ N, (a*b)*c = (a+b+ab)+c
= (a+b+ab)+c+(a+b+ab)c
= a+b +c+ab +ac+bc+abc
a*(b*c) = a*(b+c+bc)
= a+(b+c+bc)+a(b+c+bc)
= a+b+c +ab+ac+bc +abc
Maka ∀ a,b,c ∈ N berlaku (a*b)*c = a*(b*c)
Jadi, (N, *) yang didefinisikan a*b = a+b+ab merupakan suatu semigrup.
Contoh 4 :
Misalkan suatu grupoid disajikan dalam daftar Cayley sebagai berikut :
Table 2.1
Daftar Cayley Suatu Grupoid
. a b c d
a b c d a
b d a b c
c a b c d
d c d a b

Tunjukkan apakah grupoid tersebut merupakan suatu semigrup.


Penyelesaian :
Akan ditunjukkan apakah grupoid tersebut memenuhi sifat asosiatif.
Misalkan x = a, y = a, dan z = a
(x . y) . z = (a . a) . a = b . a = d
x . (y . z) = a . (a . a) = a . b = c
Didapat (x . y) . z = d dan x . (y . z) = c
Sehingga (x . y) . z ≠ x . (y . z)
Jadi grupoid tersebut bukan merupakan suatu semigrup.

16
B. MONOID
Suatu grupoid yang memiliki unsur satuan atau identitas dan memenuhi sifat tertutup dan
asosiatif dinamakan sebuah monoid.
Definisi 2.2:
Suatu grupoid (G, *) dikatakan monoid terhadap operasi * jika memenuhi syarat-syarat :
1. (G, *) tertutup terhadap operasi *
2. Asosiatif terhadap operasi *
3. Mempunyai unsur satuan atau identitas terhadap operasi *
Dapat dikatakan juga bahwa monoid adalah semigrup yang dilengkapi dengan unsur satuan
atau identitas.

Contoh 5 :
Grupoid bilangan bulat (Z, +), bilangan rasional (Q, +), dan bilangan real (R, +), termasuk
monoid karena semua memiliki sifat asosiatif, memiliki unsur satuan atau identitas dan
tertutup pada operasi penjumlahan di himpunan masing-masing.
Contoh 6 :
Grupoid bilangan bulat (Z, .), bilangan rasional (Q, .) dan bilangan real (R, .), merupakan
monoid karena memenuhi sifat asosiatif, dan memiliki unsur satuan atau identitas serta
tertutup pada himpunan masing-masing.

Rangkuman:

1. Grupoid didefinisikan sebagai suatu struktur aljabar yang hanya memiliki

satu operasi biner dan tidak memiliki syarat apapun. Grupoid merupakan

struktur aljabar yang paling sederhana.

2. Suatu grupoid (G,*) dikatakan semigrup terhadap operasi * jika memenuhi

syarat-syarat :

- (G,*) tertutup terhadap operasi *

- Asosiatif terhadap operasi *

3. Suatu grupoid yang memiliki unsur satuan atau identitas dan memenuhi

sifat tertutup dan asosiatif dinamakan sebuah monoid.

SOAL-SOAL LATIHAN

17
1. Misalkan himpunan bilangan asli N, didefinisikan sebagai operasi biner x * y = x + y
– xy. Tunjukkan bahwa (N, *) adalah suatu semigrup.
2. Misalkan himpunan bilangan asli N, didefinisikan sebagai operasi biner p * q = p + q
- pq, tunjukkan bahwa (N, *) merupakan monoid.
3. Tunjukkan bahwa operasi biner dari a+b dan a . b di Z+ memenuhi sifat-sifat dari :
a. Semigrup
b. monoid
BAB III
GRUP
Tujuan:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat

a. Memahami grup dan sifat-sifatnya

b. Memahami grup bagian dan sifat-sifatnya

c. Memahami orde suatu grup

Pada pokok bahasan ini, diuraikan definisi atau syarat-syarat dasar dari suatu Grup dan
dilengkapi dengan contoh-contoh soal sederhana. Jika grupoid dilihat sebagai struktur aljabar
yang paling sederhana dengan satu opersai biner tanpa syarat, maka grup adalah struktur
aljabar yang memiliki satu operasi biner dan memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi.

A. Grup

Definisi 3.1:
Grup (G,*) dikatakan suatu Grup jika memenuhi syarat-syarat :
1. Tertutup: Misalkan a,b ∈ G maka a * b ∈ G
2. Asosiatif : Misalkan a,b,c ∈ G, maka (a * b) * c = a * (b * c)
3. Identitas: Misalkan a∈ G, ada e ∈ G sehingga a * e = e * a = a
4. Invers: Misalkan a ∈ G, ada juga a-1 ∈ G, sehingga a * a-1 = a-1 * a = e
Contoh 1:
Misalkan G = {-1,1} adalah suatu himpunan.
Tunjukkan bahwa G adalah suatu Grup terhadap perkalian (G, .).
Penyelesaian :
Tabel 3.1
Daftar Cayley G = {-1,1} terhadap (G, .)

18
. -1 1

-1 1 -1

1 -1 1
Dari tabel 3.1 akan ditunjukkan bahwa G = {-1,1} merupakan suatu grup terhadap perkalian
(G,.), yaitu :
a. Tertutup: Ambil sebarang nilai dari G, Misalkan -1 dan 1 ∈ G, maka -1 . 1 = -1
Karena hasilnya -1 ∈ G, maka tertutup terhadap G
b. Asosiatif: Ambil sebarang nilai dari G, Misalkan a = -1, b = -1, dan c = 1 ∈ G
(a . b) . c = (-1 . -1) . 1 = 1 . 1 = 1
a . (b . c) = -1 . (-1 . 1) = -1 . -1 = 1
karena (a . b) . c = a . (b . c) = 1, maka G asosiatif
c. Unsur satuan atau identitas: Ambil sembarang nilai dari G, Misalkan -1 ∈ G maka -1 . 1
= 1 . (-1) = -1. Misalkan 1 ∈ G, 1 . 1 = 1 . 1. Maka G memiliki unsur satuan atau
identitas.
d. Unsur balikan atau invers: ambil sembarang nilai dari G, misalkan -1 ∈ G, pilih -1 ∈ G,
sehingga -1 . (-1) = 1 = e, maka (-1)-1 = -1
Ambil sembarang nilai dari G, misalkan 1 ∈ G, pilih 1 ∈ G, sehingga 1 . (1) = 1 = e, maka
(1)-1 = 1. Maka G ada unsur balikan atau invers
Jadi, G = {-1, 1} merupakan Grup terhadap perkalian (G, .)
Contoh 2:
Misalkan G = {-1, 1} adalah suatu himpunan. Apakah G merupakan suatu Grup terhadap
penjumlahan (G, +).
Penyelesaian :
Tabel 3.1
Daftar Cayley G = {-1,1} terhadap (G, .)

+ -1 1

-1 -2 0

1 0 2
Berdasarkan daftar Cayley dari table 3.2 :

19
Operasi penjumlahan himpunan G = {-1, 1} menghasilkan {-2, 0, 2}. Dikarenakan {-2, 0, 2}
adalah bukan merupakan anggota dari himpunan G = {-1, 1}, maka operasi penjumlahan G =
{-1, 1} tidak tertutup terhadap himpunannya. Sehingga G = {-1, 1} adalah bukan suatu
Grup terhadap penjumlahan (G, +).

Contoh 3 :
Misalkan G = {0, 1, 2, 3, 4} adalah himpunan dari Z5.
Tunjukkan bahwa G adalah suatu Grup terhadap penjumlahan (G, +).
Penyelesaian :
Daftar Cayley G = {0, 1, 2, 3, 4} terhadap (G, +)

+ 0 1 2 3 4
0 0 1 2 3 4
1 1 2 3 4 0
2 2 3 4 0 1
3 3 4 0 1 2
4 4 0 1 2 3
Dari daftar tabel di atas ditunjukkan bahwa G = {0, 1, 2, 3, 4} merupakan suatu Grup
terhadap penjumlahan (G, +), yaitu :

a. Tertutup
Ambil sembarang nilai dari G, Misalnya: 0, 1, 2, 3, 4 ∈ G
1 + 2 = 3, 1 + 3 = 4; 1+4=0
Karena hasilnya 0, 3, 4 ∈ G, maka tertutup terhadap G
b. Asosiatif
Ambil sembarang nilai dari G
Misalkan a = 2, b = 4, dan c = 3 ∈ G
(a + b) + c = (2 + 4) + 3 = 1 + 3 = 4
a + (b + c) = 2 + (4 + 3) = 2 + 2 = 4
sehingga :
(a + b) + c = a + (b + c) = 4, maka G asosiatif
c. Adanya unsur satuan atau identitas (e = 0, terhadap penjumlahan)
 Misalkan 0 ∈ G, 0 + 0 = 0 + 0 = 0
 Misalkan 1 ∈ G, 1 + 0 = 0 + 1 = 1
 Misalkan 2 ∈ G, 2 + 0 = 0 + 2 = 2

20
 Misalkan 0 ∈ G, 3 + 0 = 0 + 3 = 3
 Misalkan 0 ∈ G, 4 + 0 = 0 + 4 = 4
Maka G ada unsur satuan atau identitas
d. Adanya unsur balikan atau invers
 Misalkan 0 ∈ G, pilih 0 ∈ G, sehingga 0 + 0 = 0 , maka (0)-1 = 0
 Misalkan 1 ∈ G, pilih 4 ∈ G, sehingga 1 + 4 = 0 , maka (1)-1 = 4
 Misalkan 2 ∈ G, pilih 3 ∈ G, sehingga 2 + 3 = 0, maka (2)-1 = 3
Maka G ada unsure balikan atau invers
Jadi, G = {0, 1, 2, 3, 4} merupakan Grup terhadap penjumlahan (G, +)
Bila suatu Grup memenuhi sifat komutatif, dimana a * b = b * a, maka Grup tersebut
dinamakan Grup Komutatif atau Grup Abelian. Adapun definisinya adalah sebagai berikut :
Definisi 3.2 :
Suatu Grup (G,*) dikatakan Grup Komutatif (Grup Abelian), jika memenuhi syarat-syarat :
1. Tertutup; Mis. a dan b adalah anggota G, maka a dan b tertutup bila a * b ∈ G
2. Asosiatif; Mis. a, b, c ∈ G, maka (a * b) * c = a * (b * c)
3. Ada unsur satuan/identitas; Mis. a ∈ G, maka a * e = e * a = a
4. Ada unsur balikan/invers; Mis. a ∈ G, maka a * a-1 = a-1 * a = e
5. Komutatif; Mis. a, b ∈ G, maka a * b = b * a
Contoh 4 :
Pada contoh 1, G = {-1, 1} adalah suatu Grup Komutatif /Abelian terhadap perkalian (G, .)
Penyelesaian :
Telah pada cth 1, bahwa G = {-1, 1} adalah suatu Grup terhadap perkalian (G, .).
Ambil sembarang nilai dari G :
Misalkan -1 dan 1 ∈ G (pada tabel 3.1)
-1 . 1 = -1
1 .-1 = -1
Sehingga -1 . 1 = 1 . -1 = -1
Karena Grup tersebut memenuhi sifat komutatif, maka Grup tersebut adalah Grup Komutatif
atau Grup Abelian terhadap perkalian (G, .).
Contoh 5 :
Dari contoh 3.3, tunjukkan bahwa G = {0, 1, 2, 3, 4, 5} adalah suatu Grup Komutatif atau
Grup Abelian terhadap penjumlahan (G, +).
Sekarang akan ditunjukan sifat komutatif dari Grup tersebut.

21
Ambil sembarang nilai dari G, misalkan 1 dan 5 ∈ G (pada tabel 3.3)
1+5=0
5+1=0
Sehingga 1 + 5 = 5 + 1 = 0
Karena Grup tersebut memenuhi sifat komutatif, maka Grup tersebut adalah Grup Komutatif
atau Grup Abelian terhadap penjumlahan (G, +).
Ada beberapa sifat dari suatu Grup, yang akan dijelaskan dalam teorema berikut ini.
Teorema 3.1 :
Misalkan (G, .) adalah suatu Grup, maka :
a. Jika a ∈ G, maka (a-1)-1 = a
b. Jika a, b ∈ G, maka (ab-1) = b-1a-1
Bukti :
a. Dari sifat unsur satuan atau identitas, diketahui a-1 . a = e = a . a-1, maka dapat dikatakan
bahwa a unsur balikan dari a-1. Dengan sifat ketunggalan balikan, didapat (a-1)-1 = a.
b. (ab) (b-1a-1) = ((ab) b-1 ) a-1 = (a (bb-1)) a-1 = (ae) a-1 = aa-1 = e
Dengan cara yang sama didapat : (b-1a-1) (ab) = b-1 (a-1 (ab)) = b-1(( a-1a) b) = b-1 (eb) = b-1b = e
Sehingga dengan sifat ketunggalan balikan, didapat (ab)-1 = b-1 a-1.
Dalam operasi pemjumlahan (+), teorema tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Teorema 3.2 :
Misalkan (G, +) adalah suatu Grup, maka :
a. Jika a ∈ G, maka -(-a) = a
b. Jika a, b ∈ G, maka -(a+b) = (-b) + (-a)
Teorema 3.3 : Hukum penghapusan
Misalkan (G, .) adalah suatu Grup dan a, b, x ∈ G, maka :
a. Jika xa = xb, maka a = b (penghapusan kiri)
b. Jika ax = bx, maka a = b (penghapusan kanan)
Bukti :
a. Misalkan xa = xb
maka :
x-1 (xa) = x-1 (xb)
(x-1x) a = (x-1x) b
ea = eb; sehingga : a = b (penghapusan kiri)
b. Misalkan ax = bx
maka:

22
(ax) x-1 = (bx) x-1
a (x-1x) = b (x-1x)
ae = be; sehingga: a = b (penghapusan kanan)
Dalam operasi penjumlahan (+), teorema 3.3, dapat ditulis sebagai berikut :

Teorema 3.4 : Hukum penghapusan


Misalkan (G, +) adalah suatu Grup dan a,b,x,∈ G, maka:
1. Jika x + a = x+b, maka a= b (penghapusan kiri)
2. Jika a+ x = b+x, maka a= b (penghapusan kanan)

B. GRUP BAGIAN

Pada subpokok bahasan ini akan diperkenalkan Subgrup yang merupakan bagian dari Grup.
Secara harfiah Subgroup dapat diartikan sebagai grup bagian yang mempunyai sifat- sifat dari
Grup. Adapun definisinya adalah sebagai berikut:

Defenisi 3.3:
Misalkan (G, *) adalah suatu Grup dan H ⊆ G. (H, *) dikatakan Subgrup dari(G, *), jika (H,
*) adalah suatu Grup terhadap operasi yang ada didalam (G, *).
Dari defenisi tersebut dapat diartikan bahwa untuk membuktikan bahwa (H, *) adalah
Subgroup dari Grup (G, *), harus melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Harus ditunjukkan bahwa H ⊆ G
2. Harus ditunjukkan bahwa (H,*) merupakan suatu Grup
Contoh 6:
Pada tabel 1, tunjukkan bahwa H = {1} adalah merupakan Subgrup dari G = {-1,1}
terhadap pekalian (G, .).
Penyelesaian:
H = {1} merupakan himpunan bagian dari G = {-1,1}, sehingga H ⊆ G.
Dari table 3.1, tunjukkan bahwa H = {1} memenuhi syarat-syarat suatu Grup :
a. Tertutup: Misalkan 1 ∈ H dan 1 . 1 = 1. Karena hasilnya 1 ∈ H, maka tertutup terhadap
H
b. Asosiatif : Misalkan a = 1, b = 1, c = 1 ∈ H, maka (a . b) . c = (1 . 1) . 1 = 1 . 1 = 1
a . (b .c) = 1 . (1 .1) = 1 . 1 = 1, sehingga (a. b) . c = a . (b .c) = 1, maka H asosiatif
c. Adanya unsur satuan atau identitas: Ambil sembarang nilai dari H

23
Misalkan 1 ∈ H, 1 . e = e . 1 = 1, Maka H ada unsur satuan atau identitas
d. Adanya unsur balikan atau invers:
Ambil sembarang nilai dari H, misalkan 1 ∈ H, pilih 1 ∈ H sehingga 1 . 1 = 1 = e,
maka (1)-1 = 1 maka H ada unsur balikan atau invers
Jadi, H = {1} memnuhi syarat-syarat suatu Grup, sehingga (H, .) merupakan Subgrup dari
(G, .).

Contoh 7:
Dari tabel 3, tunjukkan bahwa H = {0, 2, 4} adalah Subgrup dari G = {0, 1, 2, 3, 4, 5}
terhadap penjumlahan (G, +).
Penyelesaian :
H = {0, 2, 4} merupakan himpunan bagian dari G = {0, 1, 2, 3, 4, 5}, sehingga H ⊆ G. dari
tabel 3.3 akan ditunjukkan H = {0, 2, 4} memenuhi syarat-syarat suatu Grup :
a. Tertutup
Ambil sembarang nilai dari H
Misalkan 0, 2, 4 ∈ H; 0 + 0 = 0; 0 + 2 = 2; 0 + 4 = 4; 2 + 2 = 4; 2 + 4 = 0
4 + 4 = 2. Karena hasilnya 0, 2, 4 ∈ H, maka tertutup terhadap H
b. Asosiatif
Ambil sembarang nilai dari H
misalkan a =2, b = 2 dan c = 4 ∈ H
(a + b) + c = (2 + 2) + 4 = 4 + 4 = 2
a + (b + c) = 2 + (2 + 4) = 2 + 0 = 2
sehingga : (a + b) + c = a + (b + c) = 2 Maka H asosiatif
c. Adanya unsur satuan atau identitas (e = 0, terhadap penjumlahan)
Ambil sembarang nilai dari H
 Misalkan 0 ∈ H, 0 + e = e + 0 = 1
 Misalkan 2 ∈ H, 2 + e = e + 2 = 2
 Misalkan 4 ∈ H, 4 + e = e + 4 = 4 Maka H Ada unsur satuan atau identitas
d. Adanya unsur balikan atau invers
 Misalkan 0 ∈ H, pilih 0 ∈ H, sehingga 0 + 0 = 0 = e, maka (0)-1 = 0
 Misalkan 2 ∈ H, pilih 4 ∈ H, sehingga 2 + 4 = 0 = e, maka (2)-1 = 4
 Misalkan 4 ∈ H, pilih 2 ∈ H, sehingga 4 + 2 = 0 = e, maka (4)-1 = 2
maka H Ada unsur balikan atau invers

24
Jadi, H = {0, 2, 4} memenuhi syarat-syarat suatu Grup, sehingga (H, +) merupakan Subgrup
dari (G, +).
Contoh 8 :
Dari contoh 3, tunjukkan bahwa H = {1, 2, 3} adalah bukan merupakan Subgrup dari G = {0,
1, 2, 3, 4, 5} terhadap penjumlahan (G, +).

Penyelesaian :
H = {1, 2, 3} merupakan himpunan bagian dari G = {0, 1, 2, 3, 4, 5}, sehingga H ⊆ G.
Akan ditunjukkan H = {1, 2, 3} memenuhi syarat-syarat suatu Grup :
Ambil sembarang nilai dari H, misalkan 2, 3 ∈ H, dari tabel 3.3 didapat : 2 + 3 = 5
5 ∈ G tetapi 5 ∉ H, sehingga 5 tidak tertutup terhadap operasi biner (H, +)
Maka H = {1, 2, 3} bukan merupakan Subgrup dari G = {0, 1, 2, 3, 4, 5}
Contoh 9 :
G = {-1, 1} adalah Subgrup dari (Z, .), tetapi bukan merupakan Subgrup dari (Z, +)
karena operasi di Z dan di G = {-1, 1} tidak sama.

C. ORDE SUATU GRUP

Misalkan G adalah suatu Grup dan a ∈ G, a merupakan unsur atau anggota atau elemen dari
Grup. Unsur dari Grup ini dapat membentuk atau membangun suatu Subgrup, jumlah dari
unsur suatu Grup atau Subgrup disebut orde.

Definisi 6 : Misalkan (G, *) adalah suatu Grup. Banyaknya unsur-unsur dari Grup (G, *)
disebut orde dari Grup (G, *), dilambangkan dengan ǀGǀ. (G, *) disebut Grup hingga bila ǀGǀ
terhingga (finite) dan disebut Grup tak hingga bila ǀGǀ tak hingga.

Definisi 7 :
Orde dari suatu unsur a dalam suatu Grup (G, *) adalah bilangan bulat positif terkecil n,
sedemikian hingga an = e (e = 1, untuk perkalian) dan na = e (e =0, untuk penjumlahan).
Bila tidak ada bilangan seperti n tersebut, maka orde dari unsur tersebut tak hingga.
Contoh 10 :
Orde dari Grup (Z, +) dan (Z, .) adalah tak hingga.
Contoh 11 :
Orde dari Grup G = {0, 1, 2, 3, 4, 5} adalah 6 dan orde dari Subgrup G adalah H = {0, 2, 4}
adalah 3.

25
Contoh 12 :
Tentukan Subgrup dari Grup (Z, +) dan tentukan orde dari masing-masing Subgrup.
Penyelesaian :
Grup Z = {0, 1, 2, 3}, orde dari Grup ǀZ4ǀ = 4; Subgrup dari unsur-unsur Z4 adalah :
Misalkan n = 0, 1, 2, 3 dan Ha = (na, n ∈ Z4)
a = 0, Ha = {0}, Sehingga ǀH0ǀ = 1
a = 1; Ha = {1, 2, 3, 0}; Sehingga ǀH1ǀ = 4
a = 2, Ha = {2, 3, 0, 1}; Sehingga ǀH2ǀ = 4
a = 3; Ha = {3, 2, 1, 0}; Sehingga ǀH3ǀ = 4

Rangkuman

1. Grup adalah struktur aljabar yang memiliki satu operasi biner dan memiliki

beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:

a. Tertutup: Misalkan a,b ∈ G maka a * b ∈ G

b. Asosiatif : Misalkan a,b,c ∈ G, maka (a * b) * c = a * (b * c)

c. Identitas: Misalkan a∈ G, ada e ∈ G sehingga a * e = e * a = a

d. Invers: Misalkan a ∈ G, ada juga a-1 ∈ G, sehingga a * a-1 =

2. Subgroup diartikan sebagai grup bagian yang mempunyai sifat- sifat dari

Grup dan memenuhi operasi biner yang sama.

3. Orde dari Grup (G, *), dilambangkan dengan ǀGǀ. disebut Grup hingga bila ǀGǀ
terhingga (finite) dan disebut Grup tak hingga bila ǀGǀ tak hingga
4. Orde dari suatu unsur a dalam suatu Grup (G, *) adalah bilangan bulat positif

terkecil n, sedemikian hingga a n = e (e = 1, untuk perkalian) dan na = e (e =0,

untuk penjumlahan).

SOAL-SOAL LATIHAN
1. Misalkan G = {x ∈ Z+} yang didefinisikan operasi biner pada G dengan a * b = a + b +
ab, untuk semua a, b ∈ G. Tunjukkan apakah (G, *) merupakan suatu Grup dan periksa
apakah (G, *) juga merupakan Grup Abelian.

26
ab
2. Misalkan Q+ adalah bilangan rasional positif, didefinisikan operasi biner a * b = untuk
3
a, b ∈ Q+ Buktikan apakah operasi biner tersebut merupakan Grup dan periksa apakah
juga juga merupakan Grup Abelian.
3. Misalkan G adalah Grup matriks 2 x 2, didefinisikan :

G= ± [−10 10], ± [ 10 01], ± [ 0i 0i ], ± [ 0i −10 ]


Buktikan G adalah Grup Abelian terhadap operasi biner perkalian (G, .).
4. Misalkan (G, +) adalah suatu Grup
Buktikan :
a. -(-a) = a, ∀ a ∈ G
b. -(a + b) = (-b) + (-a), ∀ a, b ∈ G
5. Misalkan (G, +) adalah suatu Grup dan a, b, x ∈ G
Buktikan :
a. Jika x + a = x + b, maka a = b (penghapusan kiri)
b. Jika a + x = b + x, maka a = b (penghapusan kanan)
6. Misalkan G adalah suatu Grup dan H ⊆ G dengan H ≠ 0 dan H terhingga. Buktikan
bahwa H suatu Subgrup dari G jika H tertutup terhadap operasi yang ada dalam G.
7. Tentukan Subgrup yang dibangun oleh unsur-unsur dari Grup (Z 9, +). Tentukan orde dari
masing-masing Subgrupnya.

27
BAB IV KOSET DAN TEOREMA LAGRANGE

Tujuan dari pembelajaran ini adalah agar mahasiswa dapat memahami dan mengoperasikan
koset dan teorema lagrange
A. Koset
Definisi IV.1:
Mislakan G Grup, H subgrup dari G dan a∈G .
i. aH = {ah|h∈H} dinamakan koset kiri dari H yang memuat a, dan
ii. Ha = {ha|h∈H} dinamakan koset kanan dari H yang memuat a.
Apabila G Grup abelian, maka ha = ah untuk setiap a,h ∈G. Akibatnya, dalam grup
abelian berlaku Ha= aH untuk setiap a∈G.
Contoh 1:
¿ merupakan grup abelian. H ={0 , 2 , 4 } subgrup dari Z6 . Koset yang terbentuk dari H
adalah:
0+ H =2+ H=4+ H =H ={0 , 2 , 4 }
1+ H=3+ H=5+ H ={1 , 3 ,5 }
Karena Z6 merupakan grup abelian maka koset kanan sama dengan koset kiri.
Teorema IV.1:
Misalkan G grup dan H subgrup dari G. Maka,
i. aH = H jika dan hanya jika a∈H
ii. aH=bH jika dan hanya jika a-1b∈H.
Bukti:
i. ⇒aH = H jika dan hanya jika a∈H

28
Karena a = ae∈aHdan aH=H, maka a∈H.
⇐ Misalkan a∈H.
Dibentuk aH.
Ambil sebarang x∈aH.
Maka x = h1∈H untuk suatu h1∈H.
Jadi, aH⊂H.
Sebaliknya, ambil sebarang h∈H
Karena a∈H maka a-1h∈H.
Akibatnya a-1h=h2 untuk suatu h2∈H.
Diperoleh a-1h=h2 ⇔ a(a-1h)=ah2
⇔ a(a-1h)=ah2
⇔ (a a-1) h =ah2
⇔ eh =ah2
⇔ h =ah2 ∈aH
Jadi, H⊂aH.
Berdasarkan aH⊂H dan H⊂aH dapat disimpulkan aH=H.
ii. Dijadikan latihan.
B. Teorema Lagrange
Teorema IV.2
Jika H subgrup dari G, maka setiap koset kiri dan koset kanan dari H mempunyaai
elemen yang sama banyak dengan H.
Bukti:
Buat pemetaan φ :H→gH dengan φ (h)=gh untuk setiap h∈H.
Ditunjukkan φ bijektif.
(i) Ambil sebarang h1,h2∈H dengan φ (h1)=φ (h2).
Maka gh1=gh2.
Berdasarkan hukum kanselasi kiri diperoleh h1=h2.
Jadi, apabila φ (h1)=φ (h2), maka h1=h2 sehingga φ injektif.
(ii) Ambil sebarang y∈gH.
Maka y = gh0 untuk suatu h0∈H.
Pilih x = h0.
Diperoleh φ (x)=φ (h0)=gh0=y,
Jadi, untuk setiap y∈gH terdapat x∈H dengan φ (x)=y, sehingga φ surjektif.

29
Berdasarkan (i) dan (ii) dapat disimpulkan bahwa φ bijektif sehingga H dan gH
mempunyai elemen yang sama banyak. Dengan cara serupa dapat ditunjukkan bahwa H
juga mempunyai elemen yang sama banyaknya dengan Hg untuk setiap g∈G.
Perhatikan contoh soal padasub bab koset dari H mempunyai elemen yang sama
banyaknya dengan elemen H.
Teorema IV.3:
Misalkan G grup berhingga dan H subgrup dari G. Maka order dari H membagi
habis order dari G.
Bukti:
Misal |G| = n dan |H|=m.
Karena G berhingga, maka terdapat sejumlah berhingga koset kiri dari H, namakan g 1H,
g2H,...,grH.
Berdasarkan Teorema 2 |g1H|=|g2H|=...=| grh |=m.
karena giH membentuk partisi pada G, maka:
|g1H|+|g2H|+...+| grh |=n
⟺ m+m+...+m=n
⟺ rm=n
Jadi, m|n.
Terdapatnya kaitan antara order dari suatu grup dengan order dari subgrupnya
sebagaimana dinyatakan dalam teorema Lagrange, memunculkan sifat-sifat berikut:

Teorema IV.4:
Setiap grup berorder prima merupakan grup siklik
Bukti:
Misalkan G grup dengan elemen identitas e dan |G|= p dengan p prima. Karena p prima
maka p≥2.
Akibatnya G memuat elemen a dengan a≠e.
Dibentuk ⟨ a ⟩ ={an|n∈Z}.
Maka ⟨ a ⟩ merupakan subgrup dari G.
Kerena e, a ∈ ⟨ a ⟩ maka |⟨ a ⟩ |≥2.
Misal |⟨ a ⟩ |≥q. Berdasarkan Teorema Lagrange diperoleh g | p.
Karena q ≥ 2 dan p prima maka q=p.
Jadi, ⟨ a ⟩ =G sehingga terbukti bahwa G merupakan grup siklik.

30
Teorema 5
Misalkan G grup berhingga dan a∈G, maka o(a)|G|.
Buktikan.
Soal-soal Latihan:
Untuk soal nomor 1 sampai dengan 5, tentuka semua koset yang terbentuk.
1. Subgrup ⟨ 3 ⟩ dari Ζ6 .
2. Subgrup 〈 4〉 dari Ζ12 .
3. Jika G grup berhingga dengn order n maka an=e untuk setiap a∈G. Buktikan!
4. Buktikan Teorema 1 bagian (ii)

BAB V. GRUP SIKLIK, PERMUTASI DAN HOMOMORFISMA

Tujuan dari pembelajaran Mata kuliah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami
definisi dan sifat-sifat/syarat-syarat dalam membentuk suatu Grup Siklik, Grup permutasi dan
Homomorfisma Grup.

A. GRUP SIKLIK

Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai siklus/putaran/rolling dalam suatu


kelompok masyarakat, di mana dalam siklus/putaran/rolling tidak terjadi perubahan dalam
anggota kelompoknya (yang berubah hanya posisi anggota kelompoknya). Bila dikaitkan
dengan konsep Grup putaran tersebut sering dikatakan sebagai Grup Siklik yang dibangun
oleh suatu generator.

Pada subpokok bahasan ini akan dijelaskan suatu orde dari suatu Grup yang setiap
unsurnya dapat ditulis sebagai perpangkatan (positif atau negatif) atau perkalian dari suatu
unsur tetap dari Grup tersebut. Grup yang seperti ini di namakan Grup Siklik. Definisi Grup
Siklik terhadap operasi perkalian dan penjumlahan:

Definisi V.1: terhadap perkalian

Grup (G, .) disebut siklik, bila ada elemen a ∈ G sedemikian sehingga G ={a n∨n ∈ Z }.
Elemen a disebut generator dari grup siklik tersebut.

Definisi V.2: terhadap penjumlahan

31
Grup (G, +) disebut siklik, bila ada elemen a ϵ G sedemikian sehingga G ={ na | n ϵ Z}. Jadi
suatu Grup dikatakan Grup Siklik apabila suatu generator membangun Grup itu sendiri.

Definisi V.3:

Misalkan (G,*) adalah suatu Grup dan a ϵ G maka generator a yang membangun suatu
subgrup [a] = G, maka subgrup tersebut dinamakan Grup Siklik. Dengan kata lain, Grup
silkik adalah subgrup yang unsur-unsurnya merupakan unsur-unsur dari grup itu sendiri.
Suatu Grup siklik bisa beranggotakan terhingga banyak unsur, bisa juga beranggotakan tak
hingga unsur-unsur. Grup Siklik yang beranggotakan banyaknya unsur terhingga
dinamakan Grup siklik behingga dan Grup siklik yang beranggotakan banyaknya unsur tak
terhingga dinamakan Grup siklik tak hingga. Apabila generator a tidak membangun Grup itu
sendiri, maka generator akan membangun suatu subgrup siklik.

Definisi V.4:

Misalkan (G,*) adalah suatu Grup a ϵ G, maka generator yang membangun subgrup [a]
dinamakan subgrup Siklik dari (G,*).

Jadi yang dimaksud dengan subgrup Siklik yaitu subgrup yang dibangkitkan oleh suatu
unsur.

Contoh Grup Siklik atau Subgrup Siklik terhadap operarasi penjumlahan dan operasi
perkalian.

Contoh 1:
Misalkan G = [-1,1] adalah suatu Grup terhadap operasi perkalian (G, .). tentukan
Grup Siklik dari Grup tersebut.

Penyelesaian:

Generator G = [-1,1] adalah -1 dan 1.

[-1] = {(−1 ¿ ¿n | nϵ Z}

= {(−1 ¿ ¿0,(−1 ¿ ¿1 ,(−1 ¿ ¿2 ,…}

= {1,-1}

[1] = {(1)n | nϵ Z}

= {(1)0,{(1)1,{(1)2,.....}

32
= {1}

Generator -1 adalah membangun suatu Grup Siklik, sehingga: [-1] = {1.-1}


Generator 1 adalah membangun subgrup siklik, sehingga [1] = {1}

Contoh 2:

Misalkan G = {0,1,2,3} adalah suatu Grup terhadap penjumlahan (G,+). Tentukan Grup
Siklik dari Grup tersebut.

Penyelesaian:

Generator dari G = {0,1,2,3} adalah 0,1,2 dan 3

[0] = {n(0) | nϵ Z}

= {0}

[1] = {n(1) | nϵ Z}

= {0.1, 1.1, 2.1, 3.1,...}

= {0,1, 2, 3}

[2] = {n(2) | nϵ Z}

= { 0.2, 1.2, 2.2, 3.2,...}

= {0,2}

[3] = { n(3) | nϵ Z}

= {0.3, 1.3, 2.3, 3.3,...}

= {0,3,2,1}

Generator 1 dan 3 adalah membangun suatu Grup Siklik, sehingga: [1] = [3] ={0,1,2,3}
Generator 0 dan 2 adalah membangun Subgrup Siklik sehingga: [0] ={0} dan [2] = {0,2}

Contoh 3:
Grup (Z,+) merupakan Grup Siklik tak hingga yang dibangun oleh 1.

Penyelesaian:

[1] = {...,-2.1, -1.1, 0.1, 1.1, 2.1,...}

= {...,-2, -1, 0, 1, 2,...}

33
Jadi 1 merupakan Generator yang membentuk Grup Siklik tak hingga.

Contoh 4:

Misalkan I4={1, -1 ,i , -i} adalah Grup bilangan kompleks terhadap perkalian (I,.). Tentukan
Grup Siklik dari Grup tersebut.

Penyelesaian: Generator I4={1, -1 ,i , -i} adalah 1, -1, i, -i


[1] = {(1 ¿ ¿n | nϵ Z}
= {(1 ¿ ¿0 ,(1 ¿ ¿1 , (1 ¿ ¿2 ,… }
= {1}

[-1] = {(−1 ¿ ¿n | nϵ Z}
= {(−1 ¿ ¿0 ,(−1 ¿ ¿1 ,(−1 ¿ ¿2 ,… }
= {-1,1}

[i] = {(i ¿∨n ¿n ϵ Z}


= {(i ¿¿ 0 ,(i ¿¿ 1 , (i ¿¿ 2 , ¿}

= {1, i, -1, i}

[-i] = {(i ¿¿ n | nϵ Z}
= {...,(−i ¿¿−2 ,(−i ¿¿−1 ,(−i ¿¿ 0 ,¿ } = {1, -i, i, 1}

Generator dari i dan –i adalah membangun suatu Grup siklik, sehingga: [i] = [-i] = {1, -1, i,
i} Generator 1 dan -1 adalah membangun subgrup siklik sehingga: [1] = {1}

[-1] = {1, -1}

Teorema V.1:

Grup Siklik merupakan Grup Abelian.

Bukti:

Misalkan (G, .) merupakan Grup Siklik dan a merupakan pembangun dari g sehingga:
G = {(1)n | nϵ Z}.

Ambil x,yϵ G, Sehingga x = am dan y = an tentukan m, n ϵ Z.

x . y = am. an = am+n = an+m = an. am = y . x


jadi (G, .) merupakan Grup Komutatif.

34
Misalkan (G,+)merupakan Grup Siklik dan a merupakan pembangun dari G,

sehingga G= {na | nϵ Z}.

Ambil x,y ϵ G, sehingga x = na dan y = ma untuk m, n ϵ Z.

x + y = na + ma = (n + m)a = ma + na = x + y

jadi, (G, +) merupakan Grup Komotif.

Contoh V.5:

Dari contoh 4.2, tunjukan bahwa Grup Siklik tersebut merupakan Grup Abelian.

Penyelesaian:

Generator 1 dan 3 adalah membangun suatu Grup Siklik dari Grup G = {0, 1, 2} terhadap
penjumlahan (G,+). Misalkan x, y ϵ G, sehingga x = na dan y = ma, untuk m, nϵ Z.

Ambil n = 1 dan m = 2, dan Generator a = 3, maka x + y = na + ma


= (n + m)a
= 1.3 + 2.3
= (1+2).3
= 3.3 = 1

Jadi, Grup siklik G = { 0, 1, 2, 3} merupakan Grup Abelian.

B. GRUP PERMUTASI

Dalam suatu kelompok kecil atau himpunan, kita pasangkan/petakan masing-masing


anggota kelompok secara satu-satu sehingga semuanya memiliki pasangan satu-satu dan tidak
ada yang memiliki dua pasang. Konsep sederhana ini dapat di aplikasikan kedalam Grup
sehingga kita dapat mengetahui komposisi pemetaanya, yang dikatakan sebagai Grup
Permutasi.

Misalkan suatu himpunan A yang memiliki n unsur dan masing-masing unsur


dipetakan secara bijektif, sehingga didapat setiap unsur dari himpunan A memiliki
pasangannya, peristiwa dikatakan suatu Permutasi dari himpunan.

Definisi V.5:

35
Suatu Permutasi dari n usur adalah suatu fungsi bijektif dari himpunan n unsur ke himpunan
itu sendiri.

Untuk memudahkan digunakan bilangan bulat (1,2,3,...,n) utuk menyatakan himpunan n


unsur.

Permutasi a disajikan:

α= 1 2 3 ..... n

(1)α (2¿ α (3)α . .... α (n)

Contoh V.6:

Misalkan θ Permutasi suatu himpunan permutasi-permutasi dari bilangan-bilangan bulat (1, 2,


3, 4, 5) sehingga θ (1) = 2, θ(2) = 1, θ ( 3 )=4 , θ ( 4 )=¿ 5 dan θ (5) = 3.

Ditulis permutasi ini:

1 2 3 4 5
θ=¿ 2 1 4 5 3

Jika α dan β adalah dua permutasi, maka hasil kali dari α dan β didefinisikan αβ (i)=α ¿ ))
untuk setaip i = 1, 2, 3, ..., n (yaitu α kali β , berarti pertama kita mengerjakan Permutasi β
kemudian mengerjakan Permutasi α pada hasil kalinya).

Contoh V.7 :

Misalkan θ dan ρ dua permutasi yang didefinisikan sebagai:

θ=¿ 1 2 3 4 5 dan ρ = 1 2 3 4 5
2 1 4 5 3 5 4 3 2 1

Penyelesaian:

Untuk menentukan θρ kita definisikan komposisi θ o ρ , sehingga:


θρ (1 ) =¿ θ ( ρ (1)) = θ (5) = 3 θρ (2 )=¿ θ ( ρ (2)) = θ (4) = 5
θρ (3 )=¿ θ ( ρ (3)) = θ (3) = 4 θρ ( 4 )=¿ θ ( ρ (4)) = θ (2) = 1
θρ (5 )=¿ θ ( ρ (5)) = θ (1) = 2 jadi θρ=¿
1 2 3 4 5
3 5 4 1 2

36
Untuk menentukan ρθ kita definisikan komposisi ρ o θ , sehingga:
ρθ (1) = ρ(θ ( 1 ) ) = ρ (2) = 4
ρθ(2) = ρ(θ ( 2 ) ) = ρ (1) = 5
ρθ (3) = ρ(θ ( 3 )) = ρ (4) = 2
ρθ (4) = ρ(θ ( 4 ) ) = ρ (5) = 1
ρθ (5) = ρ(θ ( 5 ) ) = ρ (3) = 3
jadi ρθ=¿ 1 2 3 4 5
4 5 2 1 3

Suatu permutasi-permutasi dari himpunan A dapat dikatakan sebagai Grup Permutasi


apabila memenuhi sifat-sifat Grup. Berikut ini grup tentang permutasi:

Definisi V.6:

Misalkan A adalah suatu himpunan berhingga dan S(A) adalah himpunan semua pemetaan
bijektif dari himpunan A pada dirinya sendiri, maka komposisi pemetaan <S(A), 0> adalah
merupakan Grup permutasi. Jadi α permutasi dari A jika dan hanya jika α ϵ S(A) dan
himpunan A berhingga. Sembarang himpunan permutasi-permutasi yang membentuk Grup
disebut Grup permutasi. Grup dari semua permutasi dari himpunan n unsur di sebut Grup
Simetris Berderajat n dan dinyatakan dengan(Sn, o). Orde dari Grup Sn adalah n! Dan bila n
>2 dimana n bilangan bulat positif, maka Sn tidak komutatif.

Contoh V.8:

Orde Grup dari S2 adalah 2! = 2 sehingga S2 = 1 2 1 2


1 2 , 2 1

Contoh V.9:

Orde Grup S3 adalah 3! = 6, sehingga S3 = { λ 0, λ 1, λ 2, μ1 , μ2, μ3}, di mana:

λ0 = 1 2 3 dan μ1 = 1 2 3
1 2 3 1 3 2

λ1 = 1 2 3 dan μ2 = 1 2 3
2 3 1 3 2 1

λ1 = 1 2 3 dan μ2 = 1 2 3
3 1 2 2 1 3

37
Diperoleh tabel komposisi dari Grup ini:

Tabel 1.1 komposisi Grup simetris S3

O λ0 λ1 λ2 μ1 μ2 μ3

λ0 λ0 λ1 λ2 μ1 μ2 μ3

λ1 λ1 λ2 λ0 μ3 μ1 μ2

λ2 λ2 λ0 λ1 μ2 μ3 μ1

μ1 μ1 μ2 μ3 λ0 λ1 λ2

μ2 μ2 μ3 μ1 λ2 λ0 λ1

μ3 μ3 μ1 μ2 λ1 λ2 λ0

Grup tesebut tidak komutatif/abelian, dapat dibuktikan bahwa Grup sebanyak-


banyaknya terdiri dari 5 unsur yang abelian. Sedangkan S3 terdiri dari 6 unsur, sehingga S 3
merupakan suatu contoh Grup yang tidak abelian dengan unsur terkecil. Perhatikan
segitiga sama sisi dengan titik sudut 1, 2, 3 unsur-unsur λ 0 , λ 1, λ 2 dapat ditafsirkan rotasi
searah jarum jam dari segitiga sama sisi mengelilingi titik berat di bidang.

Sebelum rotasi sesudah rotasi

3 3

λ 0: rotasi 00(3600)

1 2 1 2

3 1

λ 1: rotasi 1200

1 1 2 2 3

λ 2: rotasi 2400 3 2

38
1 2 3 1

Gambar 1.1 Rotasi S3 searah jarum jam

Unsur-unsur μ1, μ2, μ3 dapat ditafsirkan pencerminan-pencerminan terhadap garis-


garis sudut dari segitiga sama sisi.

3 2

μ1: pencerminan terhadap garis bagi < 1

1 2 1 3

μ2: pencerminan terhadap garis bagi 3 1

<2

1 2 3 2

μ3: pencerminan terhadap garis bagi <3 3 3

1 2 2 1

Gambar 1.2
pencerminan S3 terhadap garis-garis bagi sudut

Oleh sebab itu alasan ini, S3 disebut Grup simetris segitiga sama sisi dengan lambang
D3 yang berarti Grup Dihendral ketiga. Grup Dihendral ke-n dengan notasi D n adalah Grup
Simetris segi n yang beraturan.

Definisi V.7:

Bila a1, a2,..., ar adalah unsur-unsur yang berbeda dari{1, 2, 3,...,n} permutasi π ∈ Sn, yang
didefinisikan oleh: π (a) = a2, π (a2) = a3,..., π (ar-1) = ar, π (ar) = a1
dan π (x) = x bila x ∉ (a1, a2,....,ar) disebut suatu siklus dari r unsur atau siklus-r. Dari siklus
tersebut, bila diperhatikan nilai dari n tak muncul dari notasi siklius misalnya:

39
1 2 3 4 = 1 2 4 3 , adalah siklus ke-4 dalam S4.

2 4 1 3 dan
1 2 3 4 5 6 = 1 2 4 5 3 6 , adalah siklus ke-6 dalam S6.

1 4 6 5 3 1 dan

1 2 3 4 5 6 = 2 6 5 , adalah siklus ke-3 dalam S6.

1 6 3 4 2 5

Contoh V.10:

Tulislah π = 1 3 4 5 dan ρ = 1 3 serta θ = 1 2 o 3 4 sebagai permutasi


dalam S4 hitunglah π o ρ o θ.

Penyelesaian:

π= 1 3 4 2 = 1 2 3 4
3 1 4 2

ρ=1 3 = 1 2 3 4
3 2 1 4

θ= 1 2 o 3 4 = 1 2 3 4 o 1 2 3 4 = 1 2 3 4
2 1 3 4 1 2 4 3 2 1 4 3

Sehingga:

π o ρoθ = 1 2 3 4 o 1 2 3 4 o 1 2 3 4
3 1 4 2 3 2 1 4 2 1 4 3

= 1 2 3 4
1 4 2 3
= 2 3 4

Suatu permutasi yang tidak siklus dapat dipisahkan menjadi dua atau lebih siklus. Bila
θ adalah suatu permutasi dalam Sn dan a ∈ {1, 2, 3,...,n}, maka orbit atau putaran dari a di
dalam θ terdiri dari unsur-unsur yang berbeda a,θ (a), θ2(a), θ 3(a),....

Permutasi dapat dipisahkan menjadi beberapa orbit yang berbeda, dan tiap-tiap orbit
dapat diberikan sebagai suatu siklus.

40
Misalkan θ = 1 2 3 4 5 6 7 8 ,dalam S8
3 5 2 4 1 8 7 6

Dalam permutasi a, θ (1) = 3, θ 2(1) = θ (3) = 2, θ 3(1) = θ (2) = 5, dan θ 4(1) = θ (5) = 1. Jadi
orbit dari 1 adalah {1 3 2 5}, dan juga merupakan orbit dari 2, 3 dan 5. Orbit tersebut di
berikan oleh siklus ke-4 yaitu 1 2 3 5 .orbit dari 4 dan 7 adalah mereka sendiri,
karena θ pada mereka. Orbit dari 6 dan 8 adalah {6, 8}, yang di berikan oleh siklus-2 yaitu 6
8 .

Dapat kita periksa bahwa hasil dari θ = (1 2 3 5 ) o (4) o (6 8) o (7) dikarenakan tidak
ada suatu bilangan yang termasuk ke dalam dua siklus yang berbeda maka, siklus-siklus
tersebut disebut siklus yang saling lepas (disjoint).

V.3 HOMOMORFISMA GRUP

Dalam dua kelompok kecil atau himpunan sering terdapat bentuk dan struktur yang sama
sehingga kita dapat memetakan pasangan dari kedua kelompok tersebut. konsep sederhana ini
dapat kita aplikasikan juga ke dalam Grup yang konsep dasar dari suatu Homomorfisma
Grup.

Sering kita jumpai adanya dua buah Grup yang memiliki stuktyr yang sama, seperti pada
Grup multifikatif (perkalian) dari himpuna bilangan kompleks {1, -1, i, -i}dan Grup dari

matriks-matriks [ 10 01], [−11 10] ,[−10 10] , [01 −10 ] terhadap perkalian matriks yang

memiliki daftar cayley yang sama atau identik.

Jika himpunan bilangan kompleks kita misalkan sebagai himpunan {e, a, b, c} dan Grup dari
matriks-matriks kita misalkan sebagai himpunan {E, A, B, C}, maka daftar cayley dapat kita
buat seperti pada tabel 4.2 dan 4.3

Tabel 1.2 Ddaftar Cayley {e, a, b, c}

. e A b c

E e A b c

A a E c b

41
B b C a e

C c B e a

Tabel 1.3 Daftar Cayley {E, A, B, C}

. E A B C

E E A B C

A A E C B

B B C A E

C C B E A

Dari tabel 1.2 dan 1.3 dapat kita lihat adanya perpadanan satu-satu (1 -1 ) antara
unsur-unsur dari Grup empat bilangan kompleks{1, -1, i, -i} dan Grup matriks sedemikian
hingga x perpadanan dengan x’ dan y perpadanan y’ maka xy perpadanan x’y’, dikatakan
perpadanan sebagai mengawetkan hasil kali.

Dapat disimpulkan dari daftar cayley bahwa kedua grup tersebut struktur-strukturnya
memiliki sifat yang sama atau identik, yang dinamakan Isomorpik.

Definisi V.8:

Bila (S, .) maka (T, .) adalah dua Grup, maka fungsi π : S → T disebut Homomorfisma Grup
bila: π (a.b) = π (b), ∀ a, bϵ S

Bila grup-grup tersebut memiliki operasi berbeda, misalnya (S,*) dan (T, o), maka fungsi π :
(S,*)→(T, o) disebut homomorfisma Grup bila: π = (a*b) = π (a) o π (b), ∀ a, b ϵ S
Ada beberapa definisi khusus mengenai homomorfisma Grup adalah sebagai berikut:

Definisi V.9:

a. Monomorfisma adalah suatu Homomorfisma Grup yang injektif.


b. Epimorfisma adalah suatu Homomorfisma Grup yang surjektif.
c. Isomorfisma adalah suatu Homomorfisma Grup yang bijektif.
Definisi V.10:

42
Suatu Homomorfisma dari suatu Grup kedalam dirinya sendiri dinamakan suatu
Endomorfisma dan suatu Endomfisma yangyang bijektif dinamakan Automorfisma.

Contoh V.11:

Tunjukan bahwa Grup (Z2,+) dan (H = {-1, 1}, .) adalah homomofisma.

Penyelesaian:

Tabel 1.4 Daftar Cayley Grup (Z2,+) (H = {-1, 1}, .)

+ 0 1 . -1 1
0 0 1 -1 1 -1
1 1 0 1 -1 1
Dari tabel
tersebut menunjukan kedua grup (Z2,+) dan (H, .)tidak sama, tetapi unsur dari kedua tabel
tersebut menunjukan kemiripan satu dengan yang lainnya. Jumlah dari sembarang dua unsur
di (Z2,+) berkorespondensi pada hasil kali kedua unsur yang bersesuaian di(H, .), sehingga
terdapat korespondensi 1 -1 dari kedua tabel tersebut. Hal ini menunjukan bahwa kedua Grup
memiliki struktur yang sama. Jadi kedua Grup tersebut dikatakan Isomorfik.

Akan ditujukan bahwa pemetaan π : (Z2,+)→(H, .) untuk setiap a, bϵ Z2, dari tabel diketahui
pemetaan π (0) =1 dan π (1) = -1, sehingga:

π (a+b) = π (a) . π (b) π


(0+1) = π (0) . π (1) π (1) = 1
. -1 = -1

Jadi terbukti bahwa π : (Z2,+)→(H, .) suatu Homomorfisma yang pemetaannya


Bijektif, sehingga merupakan Isomorfisma.

Apabila dua buah Grup yang mana salah satu Grupnya merupakan hasil dari pemetaan
terhadap Grup yang satunya

Contoh V.12:

Misalkan (Z2,+) adalah Grup penjumlahan dari semua bilagan bulat. tujukan bahwa (Z 2,+)
yang didefinisikan pemetaan: Z→Z adalah π (x) = 2x, ∀ x ϵ Z adalah suatu homomorfisma.

Penyelesaian:

Akan ditunjukan sifat dari Homomorfisma:

43
Misalnya x, yϵ Z, maka: π (x + y) = 2(x + y)
= 2x + 2y
π (x + y) = π (x) + π (y)

Sehingga π adalah suatu Homomorfisma.

Dalam hal ini Homomorfisma π merupakan suatu endomorfisma karena daerah kawan atau
(kodomain) sama dengan daerah asal (domain), dengan kata lain pemetaan itu dari satu Grup
kedalam dirinya sendiri.

Daftar Pustaka

Bhattacharya, P. B and Jain, S. K. First Course in Rings, Field and Vector Spaces

Block, N. J , Abstract Algebra with Applications , Prentice-Hall Inc, New Jersey 1989.

Ferryanto, Sg , Matematika, Himpunan dan Aljabar, Program Matrikulasi, UKSW. 1989.


Hungerford, T. W , Algebra, Springer-Verlag New York Inc, New York, 1974 5. Raisinghania, MD and
Anggarwal, RS , Modern Algebbra

44

Anda mungkin juga menyukai