Anda di halaman 1dari 2

Mencegah Kanker di Indonesia

oleh Muhammad Afrizal Ardiansyah , Mahasiswa semester 1 Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas
Ilmu sosial dan Ilmu Politik

KANKER merupakan suatu penyakit yang menjadi perhatian, baik di dunia maupun di Indonesia. Menteri
kesehatan dalam beberapa kesempatan mengungkapkan tentang penyakit katastropik yang paling
banyak terjadi di Indonesia: yakni jantung, stroke, dan kanker. Tiga penyakit tersebut menjadi beban
terbesar pembiayaan BPJS Kesehatan. Menurut laporan BPJS Kesehatan pada 2020, sekitar 25 persen
klaim layanan JKN diperuntukkan bagi layanan penyakit katastropik. Dengan urutan terbanyak: penyakit
jantung (49%), kanker (18%), stroke (13%), dan gagal ginjal (11%). Sesuai data yang dikeluarkan WHO
pada 2020, lima besar jenis kanker terbanyak di Indonesia adalah kanker payudara (16,6%), kanker
serviks (9,2%), kanker paru (8,8%), kanker usus (8,6%), dan kanker liver (5,4%). Bila ditinjau dari
kematian akibat kanker, data WHO pada 2020 itu menunjukkan penyebab tertinggi adalah kanker paru
(13,2%), kanker payudara (9,6%), kanker serviks (9,0%), kanker liver (8,9%), dan kanker nasofaring
(8,4%). Di Indonesia kanker payudara dan kanker serviks sebagian besar terdiagnosis saat sudah stadium
lanjut, padahal dua kanker tersebut mempunyai metode deteksi dini. Separo lebih kanker liver
disebabkan virus hepatitis dan hampir semua kanker serviks disebabkan virus HPV. Kanker yang
disebabkan infeksi dapat dihindari dengan mencegah infeksi virus penyebabnya.

Kanker paru merupakan penyebab kematian kanker tertinggi di dunia maupun di Indonesia, padahal bisa
dicegah, oleh karena salah satu faktor penyebabnya jelas, merokok. Orang yang merokok mempunyai
risiko 15–30 kali lipat lebih besar menderita kanker paru dibandingkan orang yang tidak merokok. Lagi-
lagi masih ada tempat untuk mencegah dengan menghindarkan diri dari faktor risiko. Menurut Center
for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat, kanker usus bisa dicegah. Caranya dengan diet tinggi
lemak, olahraga, dan menjaga berat badan serta melakukan deteksi dini dengan melakukan kolonoskopi,
pemeriksaan dengan memasukkan kamera ke dalam usus.

Di Amerika Serikat, CDC menganjurkan melakukan skrining untuk keempat jenis kanker: kanker
payudara, kanker serviks, kanker usus (colorectal), dan kanker paru. Untuk kanker payudara, The United
States Preventive Services Task Force (USPSTF) menganjurkan pemeriksaan mamografi untuk
perempuan usia 50–74 tahun. Sedangkan untuk perempuan usia 40–49 tahun bisa diskusi dengan
dokter, kapan mulai perlu mamografi rutin dan setiap berapa lama. Berpijak pada rekomendasi tersebut,
diperlukan upaya promotif dan preventif yang lebih masif selain ketersediaan fasilitas untuk skrining.
Apakah setiap perempuan sudah sadar bahwa ada rekomendasi skrining kanker payudara? Apakah
setiap fasilitas layanan primer juga telah memberikan edukasi mengenai pentingnya skrining? Dan yang
penting, fasilitas skrining juga harus mudah dijangkau di seluruh pelosok negeri. Yang lebih
menyedihkan lagi adalah kondisi kanker serviks di Indonesia, sebagian besar terdeteksi saat sudah
stadium lanjut. Data yang dihimpun oleh Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) tahun 2021
menunjukkan, 84,27% pasien kanker serviks merupakan stadium lanjut saat terdiagnosis. Hal itu menjadi
masalah mengingat terapi utama kanker serviks stadium lanjut adalah radioterapi, bukan operasi
maupun kemoterapi. Sedangkan fasilitas radioterapi masih terbatas.

Data Perhimpunan Dokter Spesialis Radioterapi Indonesia (PORI) tahun 2022 menunjukkan bahwa
fasilitas radioterapi masih hanya tersedia di 15 provinsi. Antrean untuk mendapatkan radioterapi lama,
bahkan di Surabaya antrean untuk mendapat radioterapi sekitar 3–6 bulan. Terbatasnya fasilitas
radioterapi menyebabkan harapan kesembuhan kanker serviks stadium lanjut menurun. Kondisi seperti
itu tidak boleh terjadi. Sebab, kanker serviks adalah kanker yang paling bisa dicegah dengan beberapa
alasan. Di antaranya, perubahan dari normal menjadi kanker serviks berlangsung lama, ada skrining
kanker serviks yang mudah dan praktis, penyebabnya jelas yaitu HPV risiko tinggi (HPV 16 dan HPV 18),
dan sekarang ada vaksinasinya yang efektif, terutama untuk usia muda. Bila faktanya yang datang
sebagian besar penderita kanker serviks sudah stadium lanjut, berarti ada yang terlewat dan harus ada
perbaikan di sana sini. Skrining kanker serviks sangat efektif mendeteksi perubahan dini yang terjadi
pada serviks sebelum menjadi kanker. Sehingga bila diobati secara sederhana, kesembuhan sangat baik.
Dianjurkan melakukan skrining kanker serviks secara rutin untuk perempuan yang telah berhubungan
seksual berupa Pap smear, inspeksi visual dengan asam asetat atau pemeriksaan tes HPV.

Sayangnya, di Indonesia angka cakupan skrining kanker serviks masih rendah. Data Kementerian
Kesehatan pada 2020–2022 menunjukkan, angka cakupan skrining kanker serviks nasional masih sekitar
5,5%, masih sangat rendah. Perlu upaya bersama melakukan edukasi ke masyarakat secara masif dan
menggalakkan skrining kanker serviks di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Pelaksanaan skrining
kanker serviks tidak perlu dokter spesialis kanker. Bisa dilakukan oleh bidan, dokter umum, atau dokter
kandungan umum. Untuk menangani kanker serviks yang sudah telanjur saat ini, kunci utama adalah
memperbanyak layanan radioterapi. Mengingat sebagian besar kasus adalah stadium lanjut, tidak bisa
lagi dilakukan operasi. Paling tidak di tiap provinsi harus terdapat fasilitas radioterapi, syukur-syukur bila
di setiap kabupaten atau kota.

Radioterapi tidak hanya menjadi tulang punggung terapi kanker serviks, namun juga kanker payudara,
kanker nasofaring, dan kanker-kanker yang lain. Kunci utama pencegahan kanker serviks adalah skrining
rutin untuk perempuan yang telah berhubungan seks dan vaksinasi HPV untuk perempuan usia muda,
terutama sejak sebelum hubungan seks. Berita menggembirakan, vaksin HPV pada 2023 direncanakan
menjadi vaksin wajib dan dibiayai negara. Untuk kanker paru, di Amerika Serikat, CDC menganjurkan
pemeriksaan rutin tahunan dengan low-dose computed tomography pada orang usia 50–80 tahun
dengan riwayat merokok. Di Indonesia, edukasi mengenai bahaya merokok perlu dilakukan lebih gencar
untuk menurunkan kejadian kanker paru. Selain itu, perlu edukasi masif untuk melakukan skrining pada
orang yang berisiko tinggi kanker paru.

Pengetahuan mengenai kanker dan pencegahannya perlu diberikan sejak dini, sejak di bangku
SMP/SMA. Sebab, menurut WHO, 30–50% kanker bisa dicegah. Mari bersama mencegah kanker.

Anda mungkin juga menyukai