Asetat
Disusun Oleh : B2
Dhanny Sutrisna
I Wayan Eri
102012025
Lauren 102012050
Jeffer Shison
Yohana Mayke
102012216
Atvionita Sinaga
102009085
Purnama Yuda
102012138
Sutjianggala
102012369
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021)5694-2061,
fax : (021) 563-1731
eriyudha@gmail.com
Pendahuluan
Kanker serviks merupakan kanker yang terbanyak diderita perempuan di negara
berkembang seperti Indonesia. Di negara maju, kanker serviks menduduki urutan ke-10 dan bila
digabung, menduduki urutan ke-5. Seperti penyakit kanker pada umumnya, kanker serviks akan
menimbulkan masalah pada kesakitan, penderitaan, kematian finansial dan ekonomi, masalah
1
pada lingkungan kehidupan dan masalah pada pemerintah. Dengan demikian, penanggulangan
kanker serviks harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi. Hingga saat ini kanker
serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang.
Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru di seluruh dunia dan
umumnya terjadi di negara berkembang. Dinegara-negara maju jumlah penderita kanker mulut
rahim tidaklah sebanyak di negara berkembang, hal ini disebabkan tingginya kesadaran
masyarakat untuk mengikuti program pendeteksian dini dan pencegahan. Kematian pada kasus
kanker serviks terjadi karena sebagian besar penderita yang berobat sudah berada dalam stadium
lanjut. Padahal, dengan ditemukannya kanker ini pada stadium dini, kemungkinan penyakit ini
dapat disembuhkan sampai hampir 100%. Kanker serviks ini sebenarnya sangat bisa dicegah dan
kuncinya adalah deteksi dini. Pemeriksaaan keadaan serviks seorang wanita bisa ditempuh
dengan berbagai macam cara. Misalnya saja dengan pemeriksaan pap smear, biopsi, test iva, dll.
Pemeriksaan paling sering yang dilakukan pada pelayanan kesehatan di Indonesia adalah test
IVA.
Definisi
Kanker serviks merupakan kanker ganas yang terbentuk dalam jaringan serviks (organ
yang menghubungkan uterus dengan vagina).Ada beberapa tipe kanker serviks. Tipe yang paling
umum dikenal adalah squamous cell carcinoma (SCC), yang merupakan 80 hingga 85 persen
dari seluruh jenis kanker serviks. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) merupakan salah satu
faktor utama tumbuhnya kanker jenis ini. Tipe-tipe lain kanker serviks seperti adenocarcinoma,
small cell carcinoma, adenosquamous, adenosarcoma, melanoma dan lymphoma, merupakan tipe
kanker serviks yang langka yang tidak terkait dengan HPV.Beberapa tipe kanker yang telah
disebutkan, tidak dapat ditanggulangi seperti SCC.1
Gejala klinis
Pada awal stadium kanker hampir tidak ada gejala, kecurigaan timbul bila ada keluhan
keputihan atau mengalami perdarahan setelah berhubungan seksual.
Gejala lanjut dari kanker serviks ini adalah;
-
dapat diamati dengan mata telanjang, sehingga banyak penderita yang diketahui setelah stadium
lanjut (stadium 2 ke atas) pada saat terjadinya gejala yang berupa keluarnya cairan yang berbau
busuk, pendarahan setelah hubungan seksual dan pegel di perut bagian bawah. Jika dilihat
dengan mata telanjang, kanker tumbuh seperti bunga kol. 2,3
Epidemiologi
Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina;
17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka
kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena
skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada
kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006. Di
Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim setiap tahunnya.
Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks
merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih
kurang 36%.4
Faktor resiko
-
seksual pertama terlalu dini dan mitra seksual terlalu banyak berkaitan erat dengan kanker
serviks. Terdapat laporan (1985) usia pernikahan pertama pada usia 18 tahun ke bawah
diabndingkan 25 tahun ke atas memiliki prevalensi 13,3 hingga 25 kali lipat. Semakian banyak
mitra seksual, resiko relatif kejadian kanker serviks semakin tinggi. Sebagian ahli melakukan
analisis atas mitra seksual kelompok usia berlainan Achrki dkk (1997) melaporkan sebelum usia
20 tahun memiliki 10 orang lebih mitra seksual memiliki resiko karsioma serviks lebih tinggi 5-6
kali lipat dibandingkan sebelum usia 20 tahun tanpa mitra seksual.
Menurut survei epidemiologi, pasien kanker seriks uteri yang belum pernah melahirkan
berjumlah 10%. Usia partus pertama dini, insiden kanker serviks tinggi. Dari survei atas wanita
3
pekerja pemintalan di Shanghai, pada wanita usia partus <20 tahun, resiko relatif kejadian kanker
serviks 3,28 kali dari wanita dengan partus pertama usia > 26 tahun. Bahan karsinogenik spesifik
dari tembakau dijumpai dalam lendir serviks perokok. Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel
skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV mencetuskan transformasi maligna. 3
-
Faktor Biologis
Berbagai patogen berkaitan dengan kanker serviks uteri, terurama virus papiloma humans
Hubungan antara HPV dan kanker serviks telah bayak diteliti. HPV terglong virus epteliotropik,
terbagi menjadi HPV kutis dan HPV genital, sekitar 20 persen berkaitan dengan tumor organ
genital, terbagi menjadi HPV resiko rendah seperti HPV 42,43,44, dan yang lain. Serta HPV
resiko tunggi seperti HPV 16,18, 31, 33, 35, 39. 45, 51, 52, 58, 59, 68 dan lain-lain. HPV resiko
tinggi berkaitan erat dengan karsinoma serkviks dan neoplasma intraepital serviks uteri (CIN, II,
III). Infeksi HPV merupakan penyakit ditularkan melalui hubungan seksual.3
Tes Skrining
Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala
dengan tujuan mengelompokkan mereka ke dalam kelompok yang mungkin menderita penyakit
tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik. bila hasil
skrining positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya penyakit.
Wilson dan junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli epidemiologi saat
merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang ksehatan masyarakat,
skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.
Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk
kelompok populasi yang besar:5
1
5
6
Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2 Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang
3
Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
Tahap-tahap skrining
Langkah-langkah yang ditempuh pada penyaringan secara garis besarnya dapat
sedemikian rupa sehingga menjadi jelas kriteria penyakit yang akan dicari.
Tahap menetapkan cara pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penemuan
masalah kesehatan.
Langkah selanjutnya yang ditempuh ialah menetapkan cara pengumpulan data (jenis
pemeriksaan = test) yang akan dipergunakan. Sebagaimana telah dikemukan, baik atau
tidaknya hasil penyaringan ini tergantung dari validitas cara pengumpulan data yang dipilih.
Cara pengumpulan data yang baik ialah yang sensitivitas dan sensifisitasnya tinggi.
Tahap menetapkan kelompok masyarakat yang akan dikumpulkan datanya.
Hal lainnya yang dilakukan pada penyaringan ialah menetapkan kelompok masyarakat
yang akan dikumpulkan datanya yakni yang menyangkut sumber data, kriteria responden,
jumlah sampel, dan cara pengambilan sampel, sebagaimana yang dilakukan pada survai
penyakit. Apabila yang ingin diketahui adalah masalah kesehatan, berupa penyakit kanker
cerviks tentu kelompok masyarakat yang dipilih adalah kaum wanita.
Apabila kelompok masyarakat telah ditentukan, dilanjutkan dengan melakukan
penyaringan (screening) terhadap masalah kesehatan yang ingin dicari. Pekerjaan yang
dilakukan disini identik dengan melakukan pengumpulan data sebagaimana pada survai
penyakit. Tidak sulit dipahami bahwa penyaringan (screening) tersebut dilakukan dengan
memanfaatkan kriteria masalah kesehatan serta cara pengumpulan data yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hasil dari pekerjaan penyaringan ini ialah ditemukannya kelompok masyarakat
yang diduga menderita masalah kesehatan yang harus dipisahkan dari kelompok masyarakat
Terhadap kelompok masyarakat yang dicurigai menderita masalah kesehatan yang sedang
dicari, dilakukan penyaringan lagi, maksudnya ialah untuk mempertajam hasil penyaringan,
sehingga diperoleh kelompok masyarakat yang benar-benar menderita masalah kesehatan
e
Tabel 2. Distribusi Populasi berdasarkan Status Penyakit dan Hasil Tes Skrining 7
Sakit
A
C
a+c
Positif
Negatif
Tidak Sakit
B
D
b+d
Total
a+b
c+d
a+b+c+d
Rumus :7
I
II
d
b+d
c
a+c
b
b+d
x 100%
x 100%
x 100%
Nilai Prediksi
a
Nilai prediksi tes (+)= a+b
x 100%
d
c+ d
x 100%
Keterangan :
a = jumlah orang sakit dari hasil tes
b = jumlah positif palsu pada hasil tes
c = jumlah negatif palsu pada hasil tes
d = jumlah orang tidak sakit dari hasil tes
Sensitifitas =
Sakit
6
3
9
Tidak Sakit
24
467
491
6
6 +3 x 100%
Total
30
470
500
= 66,67%
Sensitivitas dari orang yang positif dengan kanker serviks yang dideteksi oleh tes IVA adalah
66,67%
Spesitifitas =
467
24 +467
x 100%
= 95,11%
Spesitifitas dari orang yang tidak atau negatif menderita sakit yang dideteksi dengan tes IVA
adalah 95,11%
Negatif Palsu =
3
6 +3
x 100%
= 33,33%
Persentase dari orang yang dengan hasil negatif, tapi sebenarnya menderita kanker serviks adalah
33,33%
Positif Palsu =
24
24 +467
x 100%
= 4,89%
Persentase dari orang yang dinyatakan positif tetapi tidak menderita sakit kanker serviks adalah
4,89%
6
Nilai prediksi tes (+)= 6 +24
x 100%
= 20%
467
3+ 467
x 100% = 99,36%
Artinya, kemungkinan orang dengan IVA positif hanya 20% dari populasi yang terkena kanker
serviks dan kemungkinan orang dengan IVA negatif 95,71% dari populasi yang tidak terkena
kanker serviks.
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat)
Kanker serviks merupakan salah satu masalah kesehatan perempuan, khusunya di negara
berkembang contohnya Indonesia. Data tahun 1997, menunjukkan bahwa dari 12 Pusat Patologi
di Indonesia, kanker serviks menduduki peringkat tertinggi, yaitu 25% dari 10 jenis kanker
terbanyak laki-laki dan perempuan atau 26,4 % dari 10 jenis kanker terbanyak pada perempuan.
Selain kejadiannya tinggi, masalah lain adalah bahwa hampir 70% kasus ditemukan pada
stadium lanjut. Di beberapa negara maju, skrinning kanker serviks dengan tes pap secara luas
terbukti mampu menurunkan angka kejadian kanker serviks invasif hingga 90% dan menurunkan
mortalitas hingga 70-80%. 4.
Alat yang digunakan dalam tes IVA :
Meja pemeriksaan
Lampu sorot sumber cahaya
Speculum
Kapas lidi kassa
Sarung tangan disposable
IVA adalah pemeriksaan yang pemeriksanya mengamati serviks yang telah diberi asam
asetat atau asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan mata langsung. Pemberian asam
asetat akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler
sehingga membran akan kolaps dan jarak antarsel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika
permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi
dipantulkan keluar sehingga permukaaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga
epitel putih (acetowhite). Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubhan-perubahan pada
epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3%
larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam
9
asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak
putih (mencurigakan displasia).4
Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi
prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat. Bila ditemukan lesi
makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera
dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan menopause tidak direkomendasikan menjalani
skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya
berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan
inspeksi spekulum.
Di negara maju, program deteksi dini kanker serviks dengan pap smear secara berkala
tiap 2-5 tahun menurunkan insidens dan angka mortalitas kanker serviks secara bermakna. Di
negara berkembang, insiden dan kematian akibat kanker masih tinggi karena kurangnya program
deteksi dini kanker serviks dan kesulitan menjalankan program pap smear, termasuk Indonesia.
Usaha mengorganisasi program deteksi dini kanker serviks dengan metode Inspeksi Visual Asam
Asetat (IVA) sudah dimulai di Indonesia, sebagai alternatif pap smear.4
Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan
spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi leher rahimnya.
Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada dicatat. Kemudian leher rahim dioles dengan
larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat
hasilnya. Leher rahim yang normal akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif
bila ditemukan area, plak, atau ulcus berwarna putih, Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1)
menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumar. Lesi
yang lebih parah (NIS 2-3) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas tegas, dimana salah satu
tepinya berbatasan dengan skuamokolumnar (SSK).2 beberapa kategori temuan :
Tabel 1. Kategori Temuan IVA4
Negatif
10
Positif 1 (+)
Positif 2 (++)
jelas
sampai
ke
sambungan
skuanokolumar
-lesi acetoehitw yang luas, circumorificial,
berbatas tegas, tebal dan padat.
-pertumbuhan
pada
leher
rahim
menjadi
acetowhite
Apabila hasil skrining positif, perempuan yang diskrining menjalani prosedur selanjutnya
yaitu konfirmasi untuk penegakkan diagnosis melalui biopsi yang dipandu oleh koloskopi,
setelah itu pengobatan lesi prakanker.
Program IVA di Puskesmas
Tes skrining merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada epidemiologi untuk
mengetahui prevalensi suatu penyakit yang tidak dapat didiagnosis atau keadaan ketika angka
kesakitan tinggi pada sekelompok individu atau masyarakat beresiko tinggi serta pada keadaan
yang kritis dan serius butuh penaganan segera. Tujuan skrining adalah untuk mecegah penyakit
atau akibat penyakit dengan mengidentifikasi individu-individu pada suatu titik dalam riwayat
alamiah ketika proses penyakit dapat diubah melalui intervensi.
Kanker leher rahim adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus HPV. Prinsip
dasar kontrol penyakit ini adalah memutus mata rantai infeksi atau mencegah progresivitas lesi
displasia sel-sel rahim menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan kemudia
segera diobati, hal ini akan mencegah terjadinya kanker leher rahim dikemudian hari. Deteksi
dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan
11
kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan
kesehatan dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif. Skrining dan
pengobatan lesi displasia memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan
tata laksana kanker leher rahim. 3
Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker,
supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik tepat sasaran dan
efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas:
a
Sasaran yang akan menjalani skrining, WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada
kelompok berikut :
Setiap perempuan yang berusia anatara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani test Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes pap 3 tahun
abnormal lainnya
Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.8
Pencegahan penyakit
Terdapat tiga tingkatan pencegahan yang pada umumnya ditargetkan di dalam programprogram skrining:8
12
Langkah-langkah tingkatan pencegahan sekunder terdiri dari penemuan kasus secara dini
dan pengobatan tepat atau disebut juga dengan early diagnoses and prompt treatment.
Pencegahan sekunder dilakukan mulai fase patogenesa (masa inkubasi) yang dimulai saat
bibit penyakit masuk kedalam tubuh manusia sampai saat timbulnya gejala penyakit atau
gangguan kesehatan. Penerapan pencegahan sekunder pada program kesehatan masyarakat di
puskesmas dapat dikaji melalui program P2M khususnya kegiatan surveilen (active and
passive case detection), program pengobatan (pengobatan pasien umum, mata, gigi, dan
gangguan jiwa), program gizi melalui peimbangan anak balita, program KIA (kesehatan ibu
dan anak) mellaui deteksi dini factor risiko gangguan dan kelainan kehamilan, program UKS
(usaha kesehtan sekolah) melalui deteksi dini adanya gangguan kesehatan gigi, mata, dan
sebagainya pada kelompok anak-anak sekolah.
-
meninggal) jarang
dikategorikan sebagai pencegahan tertier, karena prinsip upaya pencegahan adalah mencegah
agar individu atau kelompok masyarakat tidak jatuh sakit, diringankan gejala penyakitnya
atau akibat.komplikasi penyakitnya, dan tingkatkan fungsi tubuh penderita setelh perawatan.
Perawatan pasie yang akan meninggal bersifat paliatif.8
Kesimpulan
Kanker leher rahim merupakan masalah kesehatan yang penting bagi wanita di seluruh
dunia. Kanker jenis ini adalah kanker ketiga yang paling umum pada wanita, dan ketujuh secara
keseluruhan, Ca cerviks merupakan kanker pada wanita yang paling sering dijumpai. Faktor
resiko yang menyebabkan kanker serviks terbanyak adalah akibat pernikahan dini, merokok,
mitra seksual yang banyak. Hal ini dikarenakan cara penularan dari kanker serviks yang melalui
hubungan seksual. Skrining Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) sangat berguna dalam
13
mendeteksi kanker rahim. Suatu skrining dikatakan baik apabila mempunyai tingkat validitas dan
reliabilitas yang tinggi yaitu mendekati 100%.
Daftar pustaka
1. Dalimartha S. Deteksi dini kanker dan simplisia antikanker. Jakarta: Penebar Swadaya;
2004.h. 14 -8.
2. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu kandungan. Jakarta: Tridasa Printer;2011.h.294300.
3. Aziz MF, Adrijojo, Saifuddin AB. Penentuan stadium klinik dan pembedahan kanker
ginekologi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono;2006. h. 173-81.
4. Rajab W. Buku ajar epidemiologi untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta : EGC,
2009.h.155-8.
5. Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Edisi 2. Jakarta: EGC;2004.h. 337-345
6. Azwar A. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Binarupa Aksara ; 2001 .h. 61-4
7. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung
Seto;2011.h.228-30.
8. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. Jakarta : sagung seto ; 2008 .h. 45-52
14