Anda di halaman 1dari 36

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : Nur Atika Lailani Putri

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 042582841

Tanggal Lahir : Palembang, 19 Maret 1995

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4311 HUKUM PIDANA EKONOMI

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 18 / PALEMBANG

Hari/Tanggal UAS THE : 25 JUNI 2022

Tanda Tangan Perserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
HKUM4311

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Nur Atika Lailani Putri


NIM : 042582841
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4311 HUKUM PIDANA EKONOMI
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311 / ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 18 / PALEMBANG

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun,
serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas
Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.

Palembang, 18 Juni 2022


Yang Membuat Pernyataan

Nur Atika Lailani Putri

NASKAH UAS-THE
1 dari 3
HKUM4311

UJIAN AKHIR SEMESTER-TAKE HOME EXAM (THE)


UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2021/22.2 (2022.1)

Hukum Pidana Ekonomi


HKUM4311
No. Soal Skor
1 Seorang nenek mencuri tiga buah batang kayu di sebuah kebun milik sebuah perusahaan BUMN. 15
Nenek tersebut mencuri tiga buah batang kayu tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari
hari.
Di tempat lain beberapa orang PNS yang terlibat kasus korupsi diberhentikan secara tidak hormat
oleh Kemendagri.
Dari dua kasus diatas terlihat jelas perbedaan antara kasus pencurian murni dan kasus pencurian
uang Negara yang sering kita sebut dengan istilah korupsi. Dua kasus diatas, sama sama terjadi
dalam lingkup kegiatan perekonomian. Dalam kasus pencurian murni korbannya mengalami
kerugian secara ekonomi demikian juga dalam kasus korupsi, “negara “ juga mengalami kerugian
ekonomi.
Sunarhayati Hartono, seorang pakar di bidang Hukum Pidana Ekonomi mengatakan bahwa dalam
Economic Crime, kerugian yang ditimbulkan pada korban Tindak Pidana Ekonomi bukan hanya
secara ekonomi, secara sosial tapi juga politik, sedangkan di pihak lain, beberapa pakar hukum
pidana mengatakan bahwa Pencurian juga mengakibatkan kerugian di bidang ekonomi pada
korban-korbannya.
Pertanyaan:
A. Pencurian merupakan tindak pidana dimana korbannya mengalami kerugian secara ekonomi.
Menurut saudara apakah pencurian bisa digolongkan dalam Economic Crime atau Tindak
Pidana Ekonomi? Berikan analisis anda!
B. Berikan analisis dan tentukan perbedaan terminologi Economic Crime atau Economic
Criminality dalam Hukum Pidana Ekonomi?
2 Polda Kepulauan Riau melaksanakan konferensi pers terkait tindak pidana konservasi Sumber Daya 30
Alam (SDA) hayati dan ekosistem serta tindak pidana perikanan, Senin 22 April 2019.

Kasus Pencurian Penyu


Konferensi pers berlangsung di Pelabuhan Batu Ampar (Kapal Polisi Baladewa – 8002) dan
dihadiri oleh Dir Polair dan Kabid Humas Polda Kepri, Komandan Kapal Baladewa – 8002,
PSDKP, dan BKSDA Batam.
Terkait Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, berhasil diamankan
enam tersangka antara lain seorang pengemudi truk dan lima orang buruh. Keenam tersangka
berhasil diamankan di Pantai Teluk Mata dan di Keramba Tanjung Piayu Laut, Jumat 19 April
2019. “Dari keenam tersangka berhasil diamankan barang bukti berupa satu unit truk, 148 ekor
Penyu diantaranya 39 ekor jenis sisik, 79 ekor jenis hijau, dan 30 ekor dalam kondisi mati,” jelas
Kabid Humas Polda Kepri Kombes Pol. Erlangga.

Kasus Pencurian Ikan


Selanjutnya, terkait Tindak Pidana Perikanan, berhasil diamankan dua tersangka yang merupakan
warga negara Vietnam berinisial NTT dan DBQ berikut barang bukti dua unit kapal ikan asing
Kg 93689 Ts dan kapal ikan asing Kg 93690 Ts serta ikan campuran dan cumi kering, di Perairan
Natuna Utara, Selasa 16 April 2019.

Dikutip dari Tibratanews, April 2019

2 dari 3
HKUM4311

Pertanyaan:
A. Tindak Pidana Lingkungan Hidup tidak terbatas pada ketentuan yang diatur UU No 32 tahun
2009 (UU PPLH) dan KUHP tetapi juga mencakup tindak pidana di luar ketentuan tersebut
diatas ”yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup”. Beri contoh beberapa regulasi
yang mengatur tindak pidana ”berdampak” terhadap lingkungan hidup di luar UU PPLH dan
KUHP, serta beri analisis mengapa tindak pidana tersebut juga masuk katagori Tindak Pidana
Lingkungan Hidup!
B.Dua kasus diatas masing masing melanggar dua buah tindak pidana lingkungan hidup diluar
Undang Undang PPLH dan KUHP. Analisis dan berikan dasar hukum yang sesuai!
3 KASUS BANK GLOBAL 25

Pada tanggal 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan kegiatan usaha (BKU) PT
Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang tercatat di 13 kantor cabang terpaksa kerepotan
mengurus dananya. Bukan hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga menjadi tak
jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan. Nasib ratusan karyawan
pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya lapangan kerja.

Adapun empat alasan pemerintah menutup Bank Global adalah karena:


a. Memburuknya kondisi keuangan Bank Global.
b. Bank Global tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak bank tersebut masuk
pengawasan khusus (special surveillance unit) pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.
c. Direksi Bank Global tidak menunjukkan itikad baik untuk patuh pada aturan. Bahkan, dalam
pengawasan BI dan kepolisian terlihat adanya upaya secara sengaja dari pihak bank tersebut
untuk memusnahkan dan menghilangkan barang bukti.
d. Direksi, pejabat eksekutif, dan beberapa karyawan bank publik itu diduga telah melakukan
tindak pidana perbankan dengan merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting
bank.

Beberapa hal yang patut dicermati dalam kasus ini adalah:


a. Sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global transparan dan menerapkan dengan
seksama asas good corporate governance.
b. Kehancuran Bank Global diduga disebabkan oleh sebuah kolusi antara pengelola Bank Global
dengan Prudence Asset Management (PAM).
c. Kasus Bank Global merupakan kasus yang mencoreng citra perbankan sekaligus reksadana
sebuah instrumen pasar modal yang mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir.

*Dikutip Penulis Soal dari Berbagai Sumber


Pertanyaan:
a. Dalam Kasus diatas Bank Global telah melanggar prinsip transparansi atau keterbukaan
(Misrepresentation atau Misinformmation), termasuk kedalam Tindak Pidana Perbankan atau
Pasar Modalkah Kasus Bank Global diatas? Berikan analisa saudara dan tentukan nama tindak
pidananya!
b. Pada kasus diatas, siapakah yang berwewenang mengawasi pelanggaran terhadap prinsip
keterbukaan di Pasar Modal? Tentukan lalu berikan penjelasan disertai dasar hukum yang
sesuai!
c. Menurut Yulfasmi ada beberapa Teori yang dikenal dalam perdagangan efek di pasar modal
yaitu misappropriation theory, disclose and abstain theory dan fiduciary duty theory. Dalam
kasus diatas direktur Bank Global, pejabat eksekutif dan karyawan telah melanggar prinsip
keterbukaan. Teori apakah yang dilanggar dalam tindak pidana diatas? Tentukan serta berikan
analisis yang sesuai!

3 dari 3
HKUM4311
4 SANKSI TERHADAP GAYUS TAMBUNAN 30

Gayus Tambunan dinilai melanggar kode etik kepegawaian Kementerian Keuangan karena
menerima uang dari wajib pajak. Gayus pun akan menghadapi sanksi terberat dari Kemenkeu
berupa pemecatan tanpa pesangon, plus tidak akan bisa menjadi PNS di instansi manapun. Seorang
PNS yang dipecat tidak akan mendapatkan hak-hak apapun.
Gayus Tambunan dinilai melanggar kode etik kepegawaian Kementerian Keuangan karena
menerima uang dari wajib pajak. Gayus pun akan menghadapi sanksi terberat dari Kemenkeu
berupa pemecatan tanpa pesangon, plus tidak akan bisa menjadi PNS di instansi manapun.
Selain menerima suap dari wajib pajak dalam kasus banding pajak, Gayus juga terlibat kasus
makelar kasus hingga Rp 28 miliar (berdasarkan data PPATK). Pihak Itjen Kemenkeu telah
melayangkan panggilan hingga 2 kali kepada Gayus namun tidak pernah ditanggapi oleh yang
bersangkutan.

Perbuatan perbuatan Pidana yang dilakukan Gayus adalah:


a. Mengenai perbuatan mengurangi keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal dengan total
Rp 570.952.000 ,-
b. Gayus terbukti menerima suap sebesar Rp 925.000.000 ,- dari Roberto Santonius, konsultan
pajak terkait dengan kepengurusan gugatan keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart.
c. Pencucian uang terkait dengan penyimpanan uang yang disimpan di safe deposit box Bank
Mandiri cabang Kelapa Gading serta beberapa rekening lainnya.
d. Gayus menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, serta kepala
Rutan Iwan Susanto yang jumlahnya sebesar Rp 1.500.000 ,- hingga Rp 4.000.000 ,-.
e. Gayus memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar
Rp 24.600.000.000 didalam rekening tabungannya.

Potensi kerugian yang ditanggung oleh Negara


Korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan mengakibatkan negara harus menanggung kerugian
sebesar Rp 645,99 Milyar dan US $ 21,1 juta dan dua wajib pahak yang terkait dengan sunset policy
dengan potensi kerugian sebesar Rp 339 Milyar.

Dikutip penulis soal dari berbagai sumber

Pertanyaannya :
1. Sanksi apa saja yang bisa diterapkan pada Gayus Tambunan, baik dalam kapasitasnya sebagai
pegawai pajak, maupun dalam kapasitasnya sebagai pelaku tindak pidana? Analisis dan
tentukan minimal 3 sanksi serta sebutkan dasar hukumnya!
2. Berdasarkan keterangan pada naskah soal, tindak pidana ekonomi apakah dan dasar hukum
apakah yang dapat diterapkan pada Gayus Tambunan? Berikan analisis saudara secara
lengkap!
Skor Total 100

4 dari 2
HKUM4311

BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

JAWAB :
1.A. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi

Tindak pidana di bidang ekonomi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai semua tindak pidana di luar
Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat
mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan Negara yang sehat.
Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya
adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus Jaksa ekonomi, Paniteranya harus
panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi
Perkara Tindak Pidana Ekonomi diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus
Pengadilan Ekonomi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) adalah Pengadilan Khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-
satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi

Unsur-Unsur Tindak Pidana Ekonomi.


a. Unsur-Unsur tindak pidana ekonomi tidak bebeda dengan unsur-unsur tindak pidana pada umumnya yakni.
Unsur subyektif, yang terdiri dari sengaja atau culpa. Unsur obyektif, yang terdiri dari perbuatan manusia,
akibat perbuatan, melawan hukum, dan keadaan-keadaan.
b. Berdasarkan unsur subyektif, tindak pidana ekonomi dibedakan yakni. Jika dilakukan dengan sengaja,
maka tindak pidana ekonomi tersebutdinyatakan sebagai kejahatan. Jika dilakukan dengan tidak sengaja,
maka tindak pidana ekonomitersebut termasuk pelanggaran.
c. Membantu dan percobaan. Berdasakan pasal 4 Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955, membantudan
percobaan melakkan tindak pidana ekonomi dapat dihukum sedang hal tersebut pada tindak pidana umum
tidak dapat dihukum. 5 dari 2
HKUM4311
d. Wilayah tindak pidana ekonomi.Tindak pidana ekonomi yang dilakukan di Indonesia atau dilakukan di
luar negeri, diberlakukan Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955.
e. Penjelasan resmi pasal 3 dimuat pada penjelasan resmi pasal 3 dimuat pada penjelasan umum sebagai
berikut: Sebagai perluasan pasal 2 kitab “Undang-Undang Hukum Pidana maka perbuatan ikut serta yang
dilakukan di luar negeri dapat dihukum pidana juga.”
Karakteristik Tindak Pidana Ekonomi Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa tidak ada satupun teori
yang dapat menjelaskan tindak pidana di bidang Ekonomi dengan memuaskan, begitu pula halnya di dalam
upaya beberapa pakar untuk menjelaskan mengenai karakterstik maupun tipe-tipeeconomic crimes atau
tindak pidana ekonomi. Clarke (1990:32) dalam kaitan ini telah mempertegas kembali dan membenarkan
kelemahan suatu tipologi sebagaimana telah diuraikan Clinard dan Quinney di atas. Clarke antara lain
menulis sebagai berikut: “It may seem tempting at this stage to set up a typofogy Cf business crime which
does claim to be exhaustive and then provide illustration of each type. Such an approach has been attempted
by some writers and is useful for presentational purpose, but no typology so farsuggested has proved
definitive”. Edmund W.Kitch (di dalam Ency.of Cr. & J; 1983: 671) telah mengemukakan ada tiga
karakteristik atau features of economic crime yaitu sebagai berikut: pertama, pelaku menggunakan modus
operandi yang sulit dibedakan dengan modus operandi kegiatan ekonomi pada umumnya; kedua, tindak
pidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusaha yang sukses dalam bidangnya dan ketiga, tindak pidana
ini memerlukan penanganan atau pengendalian secara khusus dan aparatur penegak hukum pada umumnya.
Ketiga karakteristik tersebut di atas tidak berbeda dengan karakteristik umum yang telah dikemukakan oleh
pakar-pakar kriminologi lainya (Clinard dan Yeager, 1980; Hagan, 1989; Van den Heuvel, 1992).
Karakteristik tindak pidana di bidang ekonomi yang lebih rinci dan mendalam telah dikemukakan oleh Clarke
(1 990:20-31) yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Privacy 2) Lack of Public Order Violation 3) Internal
Detection and Control 4) The Limited Role of the Law 5) The Ambiguity of Business Crime 6) Business
Offences as Politics 7) Sanctions 8) Consumerism and Business Accountability 9) Private Interest versus the
Public Good Masing-masing karakteristik tersebut di atas telah dijelaskan secara gamblang oleh Clarke di
dalam bukunya, Business Crimes, Its Nature and Control (1990). ciri karakteristik inilah yang membedakan
tindak pidana di bidang ekonomi dengan tindak pidana lainnya atau secara populer dikenal sebagai tindak
pidana konvensional misalnya, pencurian, pencopetan, penipuan atau perampokan bank.

Tindak Pidana Korupsi


Korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
yang bisa merugikan perekonomian maupun keuangan negara. Pemberantasan tindak pidana korupsi diatur di
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999. 
Subjek hukum dari tindak pidana korupsi bisa berupa korporasi dan pegawai negeri. Tindakan korupsi
merupakan tindakan yang tidak jujur dan busuk terkait dengan keuangan. Bila dipandang secara normatif,
tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang bisa merusak tatanan kehidupan bangsa.

Sedangkan Pencurian dapat digunakan pasal untuk menjerat pelaku pencurian tersebut bermacam-macam
bergantung dari apa yang dicuri, berapa harga barang yang dicuri, serta cara yang dilakukan untuk melakukan
pencurian. Salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam Buku Kedua KUHP adalah tindak pidana
pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab XXII Pasal 362 – 367 KUHP. Mengenai tindak pidana
pencurian ini ada salah satu pengkualifikasian dengan bentuk pencurian dengan pemberatan, khususnya yang
diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Pencurian secara umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak enam puluh rupiah” Kaitannya dengan masalah kejahatan pencurian, di Indonesia mengenai
tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas 5 (lima) macam pencurian :
1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) 6 dari 2
HKUM4311
2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
3. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)
4. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP
5. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)
Disini kami dari konsultan akan membahas tentang Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHP)Pencurian ringan :
Pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah
dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan. Perumusan pencurian
ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP yang menyatakan : ”Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan
pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari
dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling banyak enam puluh rupiah”.  Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-unsur
dalam pencurian ringan adalah : Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP); Pencurian yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama- sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP); Pencurian yang
dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam
palsu; Tidak dilakukan dalam sebuah rumah; Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang  ada
rumahnya; dan Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah. Ketentuan
tersebut terdiri dari unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian. Apabila tindakan seseorang memenuhi unsur-
unsur pencurian, maka orang tersebut dapat dikenakan ancaman pidana. Dapat dilihat dalam ketentuan
tersebut, tidak ditentukan objek apa yang menjadi barang curian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
meskipun hanya buah, apabila terpenuhi unsur-unsur pencurian, orang yang mencuri buah tetap dapat
dikenakan pidana. Kita lihat didalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pasal 362: Barang siapa
yang mengambil barang sesuatu, atau yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud
untuk memiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Akan tetapi perlu dilihat juga mengenai harga dari objek
yang dicuri. Jika harganya tidak lebih dari Rp 2,5 juta, maka dianggap pencurian ringan sebagaimana diatur
dalam Pasal 364 KUHP jo. Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda KUHP (”PERMA 2/2012”): Pasal
364 KUHP: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang
diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah. Pasal 1 PERMA 2/2012: Kata-kata "dua ratus puluh lima rupiah" dalam pasal 364, 373,
379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Terkait
dengan pencurian ringan, Konsiderans poin b PERMA 2/2012 menyatakan sebagai berikut: Bahwa apabila
nilai uang yang ada dalam KUHP tersebut disesuaikan dengan kondisi saat ini maka penanganan perkara
tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan dan sejenisnya dapat
ditangani secara proporsional mengingat ancaman hukuman paling tinggi yang dapat dijatuhkan hanyalah
tiga bulan penjara, dan terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan, serta acara
pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan Cepat. Selain itu perkara-perkara tersebut tidak
dapat diajukan upaya hukum Kasasi. Pasal 2 ayat (1) PERMA 2/2012 mengatur bahwa: Dalam menerima
pelimpahan perkara Pencurian, Penipuan, Penggelapan, Penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan
wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan Pasal 1 di atas.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA 2/2012 mengatur: Apabila nilai barang atau uang
tersebut bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan
segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara
Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Dikaitkan dengan pertanyaan Anda, apabila
orang tersebut mencuri buah dengan nilai di bawah Rp. 2,5 juta, maka ia termasuk pencurian ringan yang
mana tidak dapat dikenakan penahanan serta acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan
7 dari 2
Cepat. Didalam pasal 362 KUHP disebutkan unsur-unsurnya: Perbuatan “mengambil” Yang diambil adalah
HKUM4311
suatu “barang” Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain Mengambil itu harus
dilakukan “dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum” “Mengambil artinya
dengan sengaja menaruh sesuatu dalam kekuasaannya. Menurut Prof Simon, maka menebang pohon belum
dapat diartikan “mengambil” Tetapi baru merupakan “percobaan”, Mengambil baru selesai dilakukan apabila
pencuri melakukan tindakan yang mengakibatkan pohon itu pindah tempat. Sebelum ditebang pohon
merupakan barang tidak bergerak (onroerend goed) setelah ditebang barulah menjadi barang bergerak
(roerend goed). Sebelum diambil barang itu belum berada didalam kekuasaan si pengambil. Apabila pada
waktu memilikinya barang itu sudah ada ditangan nya, maka perbuatan ini bukan pencurian tetapi masuk
dalam penggelapan (Pasal 372 KUHP). Barang itu seluruhnya atau sebagian harus punya orang lain.
Pengambilan harus dilakukan dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum berarti
tidak minta izin lebih dahulu dari yang berhak. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2.Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
3.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

Kesimpulan dari kasus di atas dan keterangannya bahwa ciri karakteristik yang membedakan tindak pidana
di bidang ekonomi dengan tindak pidana lainnya atau secara populer dikenal sebagai tindak pidana
konvensional misalnya, pencurian, pencopetan, penipuan atau perampokan bank.

1. B. Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana atau kejahatan atau delik dalam bidang ekonomi yang
dapat merugikan negara sehingga sering disebut dengan economic crime yang berbeda
dengan economic criminnality yaitu merupakan kejahatan ekonomi yang bersifat konvensional.
Tindak pidana di bidang ekonomi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai semua tindak pidana di luar
Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat
mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan Negara yang sehat. Tindak
pidana di bidang ekonomi dalam pengertian yang luas ini disebut pula sebagai "kejahatan ekonomi". Secara
sederhana tindak pidana ekonomi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian". Lebih lanjut
pengertian ini dijabarkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi yang menyebutkan bahwa
yang didefinisikan sebagai tindak pidana perekonomian adalah:  Pelanggaran berbagai ketentuan yang
terdapat dalam atau berdasarkan berbagai peraturan dan ordonantie (peraturan pemerintah) yang dicantumkan
pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang tindak pidana ekonomi.  Tindak-tindak pidana tersebut dalam Pasal
26, Pasal 32 dan Pasal 33 Undangundang tindak pidana ekonomi.  Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam
atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak
pidana ekonomi. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi pada Pasal 1 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi
bersifat prospektif artinya tidak ada definisi yang bersifat limitative mengenai tindak pidana ekonomi. Tindak
pidana ekonomi secara umum adalah suatu tindak pidana yang mempunyai motif ekonomi dan lazimnya
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual dan mempunyai posisi penting dalam
masyarakat atau pekerjaannya. Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia apabila dilihat dari
substansi Undang-Undang Darurat No. 7 1955 tampak lebih dekat atau dapat dimasukkan ke dalam istilah
economic crimes dalam arti sempit. Hal ini disebabkan Undang-undang tersebut secara substansial hanya
memuat ketentuanketentuan yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

Sedangkan Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang
dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives). Kejahatan
ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat
secara sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7 /Drt./ 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak8Pidana
dari 2 Ekonomi. Di samping itu kejahatan ekonomi juga
HKUM4311
dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang
bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan
perekonomian dan keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152). Kegiatan di bidang
perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait,
antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup
kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic
crimes , crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi
Arief, 1992 :148).

2. A. UU No 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum, Menurut para akdemisi, hukum
lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional, yaitu
sebuah bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan
perdata.
UU No. 32/2009 mengenal tiga instrumen hukum dalam penegakan hukum lingkungan yaitu
melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
Adapun tujuan dari upaya perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup, tercantum dalam Pasal 3 UU
Nomor 32 Tahun 2009, yakni: Melindungi wilayah NKRI dari pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
hidup. Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia.

hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional, yaitu sebuah
bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan perdata. Jika
kita cermat ketiga baik UULH 1982, UULH 1997 maupun UUPPLH 2009 menandung norma-norma undang-
undang yang masuk ke dalam bidang hukum administrasi negara, pidana dan perdata.
UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat ketentuan-
ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang
sebelumnya yaitu UULH 1982 dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen
hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap
orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) dan penciptaan delik-delik materil baru. Dalam tulisan ini beberapa norma hukum baru yang akan
diuraikan.
Pertama, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio 1992, yaitu
asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan
kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat memperkuat
kepentingan pengelolaan lingkungan hidup mmanakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka
pendek. Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk memberikan
perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha
ataupun pejabat pemerintah yang berwenang.
Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan perlindungan
hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana
dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana
para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-
perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Di dalam sistem
hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan9perlindungan
dari 2 hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP
HKUM4311
(strategic legal action against public participation), yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang
diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi
informasi atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk
menimbulkan rasa takut dan kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap
pihak-pihak lain di masa datang.
Gugatan SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk bersikap kritis dan
menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau telah terjadinya masalah-masalah lingkungan
hidup oleh sektor-sektor usaha sehingga pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan lingkungan hidup
yang melibatkan peran aktif masyarakat madani (civil socitey). Para hakim di Indonesia penting sekali untuk
memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66 UUPPLH
Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-
perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya disingkat dengan Polri) dan pejabat
Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang. UUPPLH merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1)
yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam Pasal Kewenangan Polri selain
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, antara lain, melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan wewenang koordinasi atas pelaksanaan
tugas PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri sebagai institusi yang berwenang menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum (Pasal 8 ayat (2).
Dengan demikian, berdasarkan sistem KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan berkas hasil
penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus melewati Polri. UUPPLH telah mengubah
ketentuan yang selama ini memberikan kewenangan kepada Polri sebagai institusi satu-satunya yang dapat
menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2)
KUHAP. Dengan diundangkannya UUPPLH telah menimbulkan perubahan.
Perubahan ini terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) UUPPLH yang menyatakan: ”hasil penyidikan yang telah
dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.” Dengan demikian,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas
hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi. Pemberian kewenangan ini
memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa depan apakah akan membawa perkembangan
positif bagi upaya penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan apapun.
UUPPLH memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan
dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkaratindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup 10 dari
h. menghentikan penyidikan;
HKUM4311
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan/atau tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Keempat, dalam UUPPLH pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir – yang lazim disebut
dengan istilah ”ultimum remedium” - untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah
lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir setelah penegakan hukum
administrasi negara tidak efektif. Dalam UUPPLH, ”ultimum remedium” hanya berlaku untuk satu Pasal saja,
yaitu Pasal 100 UUPPLH yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 000.000.000, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif
yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
Dari rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 100
ayat (1) baru dapat dikenakan jika saknis administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal
ini berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir.
Kelima, UUPPLH telah secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha
yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 tidak disebut
secara tegas pimpinan atau pengurus badan usaha dapat dikenai pertanggungjawab pidana. UULH 1997
hanya menggunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin” dalam tindak
pidana. Dalam UUPPLH 2009 pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan dalam Pasal
116 hingga Pasal 119. Namun, UUPPLH tetap mengadopsi pertanggungjawab badan usaha (corporate
liability). Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-
siapa yang harus bertanggungjawab.
Jika ditilik rumusan Pasal 116 UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam salah satu kondisi
berikut yaitu (1) tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha
atau (2) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka
pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian
kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja.
Hal penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab jika sebuah tindak pidana
lingkungan hidup dinyatakan telah dilakukan oleh badan usaha atau korporasi. Pasal 116 ayat (1)
menyebutkan ”tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: (a) badan usaha dan/ atau (b) orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
dalam tindak pidana tersebut.” Selain itu, konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan
Pasal 118 UUPPLH yang menyatakan:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan
kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak
yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu:
1. badan usaha itu sendiri;
2. orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
3. pengurus.
Pada dasarnya tanpa rumusan Pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan ”sanksi dikenakan terhadap badan
usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan
11 dari
peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai
HKUM4311
pertanggungjawaban atas dasar kriteria ”orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b. Perbedaannya
adalah rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b memang mengharuskan penyidik dan penutut umum untuk
membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga memerlukan kerja keras penyidik dan penuntut
umum untuk membuktikan peran para pengurus dalam tindak pidana lingkungan.
Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena
jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih
memudahkan dalam upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran para pengurus secara
spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan Pasal 118 UUPPLH memperkuat interpretasi
bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana lingkungan, tuntutan dan hukuman ”dikenakan
terhadap pimpinan badan usaha atas dasar pimpinan perusahaan yang memiliki kewenangan terhadap pelaku
fisik dan menerima tindakan tersebut”. Pengertian “menerima tindakan tersebut” adalah “menyetujui,
membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, atau memiliki
kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.” Dengan demikian, pengurus perusahaan
yang mengetahui dan membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui
pengeolahan dianggap melakukan tindak pidana atas nama badan usaha, sehingga dirinya harus
bertanggungjawab.
Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 UUPPLH merupakan sebuah terobosan atau kemajuan jika
ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-sungguh melaksanakan
upaya pencegahan, pengendalian dan pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala
memimpin sebuah badan usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 UUPPLH mirip dengan vicarious liability
dalam system hukum Anglo Saxon.
Keenam, UUPPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang
di bidang pengawasan lingkungan. pemberlakukan delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah
kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh
melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materil tersebut dirumuskan dalam Pasal 112 UUPPLH
yaitu:
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan ,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pindan penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
Hukum lingkungan Indonesia berkembang selain karena perkembangan legislasi seperti melalui
pengundangan UULH 1982, UULH 1997 dan UUPPLH 2009, juga berkembang melalui putusan-putusan
pengadilan. Dua putusan Pengadilan yang dapat dipandang sebagai putusan-putusan penting (landmark
decisions) adalah putusan Pengadilan Negara Jakarta Pusat dalam perkara WALHI melawan PT IIU, Menteri
Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan WALHI diajukan pada masa berlakunya UULH
1982 yang pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengajukan
gugatan penegakan hukum lingkungan, tetapi majelis hakim dalam perkara tersebut menginterpretasikan hak
gugat itu dari konsep peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memang diakui dalam
UULH 1982 (Putusan perkara Walhi lawan PT IIU No. 820/Pdt/G/1988).
Putusan ini kemudian memberikan inspirasi bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan hak gugat
organisasi lingkungan hidup ke dalam undang-undang, yaitu Pasal 38 UULH 1997.
Putusan penting lainnya adalah gugatan oleh Dedi
12 dari
dan kawan-kawan (sebanyak delapan orang termasuk
Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
HKUM4311
Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan negeri Bandung. Para Penggugat dan orang-orang yang diwakili
mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan
telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya
sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis hakim Pengadilan
Negeri dalam pertimbangnnya (No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain,
mengatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggungjawab
negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, tetapi karena
Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi
tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum
Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-
masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah - yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung
Mandalawangi - juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan
Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Garut. Majelis Hakim juga dalam pertimbanggnya mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan
pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan
mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan
hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-
akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan
Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelsi hakim mengatakan bahwa
kerugian lingkungan dan kerugian materiil para Penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di
Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu
dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari
kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan
kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan
banjir dan longsor. Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada
prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar
untuk pemecahan masalah tentang ”kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-
keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak
dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung
Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia
pada waktu perkara ini diadili, hakim ternyata telah menggunakan prinsip tersebut sebagai dasar
pertimbangan putusan. Pemikiran dan pertimbangan hakim dalam kasus ini tidak terlepas dari fakta bahwa
salah seorang majelis hakim di tingkat pertama yang mengadili pernah mengikuti pelatihan hukum
lingkungan yang antara lain membahas fungsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio sebagai
sumber hukum.
Pengetahuannya yang diperoleh selama pelatihan telah memperluas wawasan dan digunakan dalam praktik
hukum. Fakta ini membuktikan pula pentingnya hakim terus menerus meningkatkan pengetahuan melalui
pendidikan gelar maupun non gelar, misalkan pelatihan-pelatihan. Oleh sebab itu, kebijakan Ketua MA untuk
menyelenggarakan program sertifikasi hakim lingkungan sebagaimana didasarkan pada Keputusan Ketua
MA RI No. 134/KMA/SKIX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup merupakan sebuah
kebijakan yang tepat karena melalui program ini kapasitas hakim dalam menangani perkara lingkungan dapat
terus ditingkatkan.
Ada beberapa kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan hidup saat ini. Pertama,
UUPPLH 2009 mengenal pelaku tindak pidana selain manusia yaitu badan hukum atau perserikatan, yayasan,
atau organisasi lainnya sedangkan menurut KUHP yang menjadi pelaku adalah hanyalah manusia pribadi;
kedua, UUPLH di samping menggunakan sanksi 13 pidana
dari pokok dan pidana tambahan seperti dalam KUHP
HKUM4311
juga menggunakan tindakan tatatertib dalam mempertahankan norma-normanya , UUPPLH memandang
hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara
untuk tindak pidana lainnya yang di berlakukan asas premum remedium (mendahulukan pelaksanaan
penegakan hukum pidana). Beberapa kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan hidup di
masa mendatang yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, pola pendekatan pemidanan
lingkungan mendatang adalah penjeraan (deterrence approach) atau lazim disebut dengan pendekatan
penegakan hukum atau stick approach. Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam kebijakan penegakan
hukum lingkungan; kedua, upaya pembuktian diarahkan kepada delik formal dimana pembuktian hanya
melihat pada unsur kelakuan yang dapat dilihat dengan unsur panca indera, misalnya tindakan pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup; dan ketiga, pemidanaan diarahkan pada sanksi kumulatif, artinya hakim
dapat menjatuhkan seluruh ketentuan pemidanaan dalam undangundang lingkungan tersebut, baik digabung
seluruhnya atau digabung 2 (dua) atau 3 (tiga) saja dan seterusnya.
Upaya penegakan hukum pidana lingkungan dalam menanggulangi kerugian negara, harus juga meliputi
penegakan hukum dalam arti luas. Tentunya hal ini membawa konsekuensi, bahwa upaya peningkatan
kualitas pembangunan dan penegakan hukum tidak semata-mata menjadi tanggung jawab para aparat
penegak hukum dan lembaga pengadilan, tetapi juga seyogyanya menjadi pusat perhatian dan tanggung
jawab semua aparat dan pemegang peran di seluruh bidang kehidupan (pemerintahan, politik, ekonomi,
perdagangan, perbankan, pertahanankeamanan dan sebagainya) termasuk masyarakat. Tindak pidana
lingkungan tidak hanya menyebabkan Kerugian secara materi (ekonomi) disamping itu juga dapat bersifat
ancaman kerusakan yang potensial baik terhadap lingkungan hidup ataupun kesehatan umum

2.B. Pencemaran Lingkungan Hidup Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. (Pasal 1 angka 14 UUPPLH)
Bagaimana caranya untuk mengetahui telah terjadinya Pencemaran Lingkungan Hidup? berdasarkan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH menyatakan bahwa: Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan
hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Apakah yang dimaksud dengan Baku mutu lingkungan
Hidup? berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 UUPPLH menyebutkan bahwa: Baku mutu lingkungan
hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup. Perusakan Lingkungan Hidup Perusakan lingkungan hidup adalah: "tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup." (Pasal 1 angka 16 UUPPLH)
Bagaimana caranya untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan lingkungan hidup? Pasal 21 ayat (1)
UUPPLH menyatakan bahwa: "Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup." Ada perbedaan atau bisa dibilang perkembangan rumusan delik
tindak pidana dalam Undang undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH
1997) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH 2009). Jika pada UUKKPPLH 1982 hanya mengenal delik materil, maka di UUPLH 1997
dan UUPPLH 2009 perumusan deliknya bersifat delik materil dan delik formil bahkan di UUPPLH 2009
delik formilnya lebih banyak dibandingkan UULH 1997. Perbedaan delik materiel dan delik formil adalah :
Delik Materil (Materiil Delict) adalah: "Delik yang rumusannya memberikan ancaman pidana terhadap
perbuatan yang telah menimbulkan akibat dari perbuatan (Ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan
akibat dari perbuatan)". Delik formil (Formeel Delict) adalah: "Delik yang rumusannya memberikan ancaman
pidana terhadap perbuatan yang dilarang, tanpa memandang akibat dari perbuatan". Delik materiel dalam
ketentuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
terdapat pada Pasal 98 dan Pasal 99, yaitu setiap orang yang dengan sengaja atau kelalaiannya melakukan: 
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku 14 dari
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
HKUM4311
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup  perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia  perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup dan mengakibatkan orang luka berat atau mati Delik materil juga terdapat dalam Pasal 112
UUPPLH 2009 yaitu Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia Sedangkan perbutan yang
dilarang yang masuk kategori delik formil dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidupter dapat pada Pasal 100 s/d Pasal 111 dan Pasal 113 s/d Pasal 115 anyara
lain:  Melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan;  Melepaskan
dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;  Melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin; 
Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan;  Melakukan dumping limbah dan/atau bahan
ke media lingkungan hidup tanpa izin;  Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;  Melakukan pembakaran lahan;  Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;  Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;  Pejabat pemberi
izin lingkungan yg menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL;  Pejabat
pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan
izin lingkungan;  Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan
pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah;  Dengan
sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan
hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipilPerbuatan dan sanksi pidana dalam Hukum Pidana
Khusus bidang lingkungan hidup yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup antara lain DELIK MATERIL
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP 1. Pasal 98 ayat (1) UUPPLH Th 2009: Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 2.
Pasal 98 ayat (2): Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 3. Pasal 98 ayat (3) : Apabila perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
4. Pasal 99 ayat (1) : Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 5. Pasal
99 ayat (2) : Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). 6. Pasal 99 ayat (2) : Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun 15 dan
dari denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
HKUM4311
rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). 7. Pasal 112 UUPPLH: Setiap
pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). DELIK FORMIL TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUP 1. Pasal 100 ayat (1) UUPPLH: Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah,
baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
Pasal 100 ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi
atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali (Pasal 100 ayat (2) UUPPLH) 2. Pasal 101 UUPPLH: (sanksi
pidana mengedarkan produk rekayasa genetik ) Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 3. Pasal 102 UUPPLH:
(sanksi pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin) Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 4. Pasal 103 UUPPLH: Setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 5. Pasal
104 UUPPLH: (sanksi pidana dumping limbah) Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau
bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 6. Pasal
105 UUPPLH Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 7. Pasal 106
UUPPLH Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 8. Pasal 107 UUPPLH Setiap
orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah). 9. Pasal 108 UUPPLH (sanksi Pidana Pembakaran Lahan) Setiap orang yang melakukan pembakaran
lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 10. Pasal 109 UUPPLH Setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah). 11. Pasal 110 UUPPLH Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 12.
Pasal 111 ayat (1) UUPPLH Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana 16 dari dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan
HKUM4311
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
13. Pasal 111 ayat (2) UUPPLH Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah). 14. Pasal 113 UUPPLH Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 15.
Pasal 114 UUPPLH Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 16. Pasal 115 UUPPLH Setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup
dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penerapan sanksi pidana penjara dan denda
tersebut di atas bersifat komulatif bukan alternatif, jadi sanksinya diterapkan keduanya yaitu sanksi pidana
penjara dan pidana denda, bukan salah satu dintaranya, pemberatan sanksi dapat dikenakn bagi pemberi
perintah atau pemimpin tindak pidana yaitu diperberat sepertiga Selain ancaman pidana, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:  perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana;  penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; 
perbaikan akibat tindak pidana;  pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikantanpa hak; dan/atau 
penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. (Pasal 119 UU No. 32/2009)
Mungkin sahabat bertanya tanya dimana Pasal ketentuan pidana terkait perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dulu diatur dalam Pasal 41
dan 42 UUPLH 1997. Dalam UUPPLH 2009 memang tidak disebutkan secara inplisit ancaman pidana bagi
perbuatan yang mengkibatkan pencemaran lingkungan hidup, ketentuan tersebut tidak dibuang, tetapi
diperjelas menjadi perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup implikasi hukumnya sama aja karena
pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan lingkungan hidup sama dengan dilampauinya baku mutu
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup Glosarium dalam rumusan delik tindak pidana lingkungan
hidup di UUPPLH 2009 Pencemaran lingkungan hidup Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan Analisis mengenai
dampak lingkungan hidup (AMDAL) Amdal adalah: kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) B3 adalah: zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Baku Mutu Air
Baku Mutu Air adalah: ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,atau komponen yang ada atau
harus ada,dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Baku Mutu Air Limbah
Baku Mutu Air Limbah adalah: ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media
air . baku mutu air laut baku mutu air laut adalah: ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air
laut. baku mutu gangguan baku mutu gangguan adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. baku mutu udara ambien baku mutu
udara ambien adalah: ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. baku mutu emisi baku mutu
emisiadalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. Baku mutu
lingkungan hidup Baku mutu lingkungan hidup 17 dari "ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
adalah:
HKUM4311
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup" Dumping (pembuangan) Dumping
(pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan
dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup
tertentu. Izin lingkungan Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Lingkungan hidup
Lingkungan hidup adalah: "kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain." Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan, Limbah
B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Kerusakan lingkungan hidup Kerusakan
lingkungan hidup adalah: "perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup." Perusakan lingkungan
hidup Perusakan lingkungan hidup adalah: "tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau
tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup."

3. A. Penerapan prinsip keterbukaan memungkinkan tersedianya bahan pertimbangan yang cukup bagi para
pemodal, sehingga mereka dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham
secara rasional. Dalam UU Pasar Modal, prinsip keterbukaan diatur sebagai pedoman umum yang
mensyaratkan emiten, perusahaan publik dan pihak lain yang tunduk pada UU Pasar Modal untuk
menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai
usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek dimaksud dan
atau harga efek tersebut dalam waktu yang tepat. Penerapan prinsip keterbukaan perlu dilakukan untuk
mempertahankan potensi pasar modal yang menjadi salah satu sumber pembiayaan kegiatan pembangunan
dan menjadi alternatif investasi. Dalam UU Pasar Modal, pengaturan penerapan prinsip keterbukaan dimulai
dari pengaturan keharusan dipenuhinya syaratsyarat tertentu dalam melakukan penawaran umum dan selalu
mengumumkan adanya informasi material kepada pemodal. Ketentuan yang sama juga perlu diberlakukan
kepada perusahaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai perusahaan publik dengan maksud untuk
melindungi kepentingan pemegang sahamnya. Dalam penegakan prinsip keterbukaan, UU Pasar Modal
memungkinkan Bapepam untuk menggunakan baik sarana hukum administrasi atau sarana hukum pidana.
Dalam penggunaan sarana hukum administrasi, Bapepam diberi kewenangan membuat peraturan-peraturan.
Dalam penggunaan sarana hukum pidana, UU Pasar Modal telah memuat rumusan larangan-larangan yang
dikenal sebagai rumusan tindak pidana Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. UU
Pasar Modal memberikan kewenangan kepada Bapepam untuk melakukan pemeriksaan hingga akhirnya
dapat menjatuhkan sanksi administrasi terhadap adanya pelanggaran administrasi prinsip keterbukaan, tetapi
Bapepam hanya dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap adanya tindak pidana pelanggaran
prinsip keterbukaan. Untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana, Bapepam harus menyerahkan berkas
penyelidikan dan penyidikannya kepada jaksa penuntut umum dan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana pelanggaran prinsip keterbukaan melalui proses peradilan pidana. Adanya dua
sarana hukum tersebut yang dapat digunakan menimbulkan adanya ambivalensi dalam penegakan prinsip
keterbukaan dalam penyelenggaraan kegiatan pasar modal di Indonesia. Atas ambivalensi ini, Bapepam
memiliki diskresi untuk memilih salah satu dari kedua sarana hukum tersebut. Dalam kenyataannya,
Bapepam lebih cenderung menggunakan sarana hukum administrasi dan mengesampingkan penggunaan
sarana hukum pidana dalam menegakkan prinsip keterbukaan di pasar modal Indonesia. Penggunaan sarana
hukum administrasi saja tidak menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana pelanggaran prinsip
keterbukaan dan tidak menutup kemungkinan digunakannya sarana hukum pidana atas tindak pidana
pelanggaran prinsip keterbukaan yang dimaksud.
18 dari
HKUM4311
pelanggaran prinsip keterbukaan dalam pasar modal terkait perdagangan saham. Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur mengenai masalah kewajiban untuk memenuhi prinsip
keterbukaan. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menjelaskan
bahwa “Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan
Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu
yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap
keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut.” Berdasarkan latar belakang
tersebut maka rumusan masalahnya adalah siapa yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran prinsip
keterbukaan dalam pasar modal terkait dengan perdagangan saham. Metode penelitian yang digunakan dalam
tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif dimana di dalam penelitian selalu diawali dengan premis
normatif yang memberikan penjelasan normatif, hasil-hasil penelitian, dan pendapat para pakar hukum
mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Kesimpulanya adalah Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal menentukan bahwa setiap pihak terkait diwajibkan untuk
mempertanggungjawabkan kerugian yang ditimbulkan akibat penyampaian informasi yang tidak benar atau
menyesatkan. Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal,
pihak-pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagai liable person atas pernyataan pendaftaran
adalah Pihak yang menandatangani Pernyataan Pendaftaran, Direktur atau Komisaris emiten pada waktu
Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif, Penjamin Pelaksana Emisi Efek, Profesi Penunjang Pasar Modal
atau pihak lain yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam Pernyataan
Pendaftaran.
Fungsi keterbukaan di pasar modal dibagi menjadi tiga, yakni pertama untuk memelihara kepercayaan
publik, kedua untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien, dan ketiga mencegah terjadinya penipuan

3.B. Pada tanggal 22 November 2012, pemerintah mensahkan UU no. 21/2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang didirikan dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel,


2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
3. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK dipimpin oleh seorang ketua yang diangkat oleh Presiden dan mempunyai tugas dan fungsi untuk
melakukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan, sektor Pasar Modal dan sektor Industri Keuangan Non-Bank (INKB). Lembaga yang mulai
berfungsi pada tanggal 31 Desember 2012 ini berperan menggantikan fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan Pasar Modal yang selama ini dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga
Keuangan (BAPEPAM-LK).

Lembaga di Pasar Modal

Self Regulatory Organization (SRO) adalah suatu organisasi yang melaksanakan kewenangan penerapan
aturan (regulator) di industri pasar modal.

SRO memiliki peraturan dan ketentuan yang mengikat bagi pelaku pasar modal sebagai fungsi pengawasan
untuk mencegah praktik perdagangan yang dilarang. Lembaga SRO di Pasar Modal Indonesia adalah:

1. Bursa Efek: pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek
diantara mereka (UUPM Pasal 1). Bursa Efek Indonesia (BEI) didirikan dengan tujuan
19 dari
menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar dan efisien. Bursa Efek Indonesia bertugas
HKUM4311
untuk menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur wajar dan efisien, menyediakan sarana
pendukung serta mengawasi kegiatan anggota bursa efek, menyusun rancangan anggaran tahunan dan
pengunaan laba Bursa Efek dan melaporkannya ke OJK. Fungsi bursa lainnya adalah menjaga
kelangsungan pasar (market liquidity) dan menciptakan harga efek yang wajar.

1. KPEI: PT Kliring Penjamin Emisi Indonesia adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan
penjaminan penyelesaian transaksi bursa (UUPM Pasal 1). Kliring atas transaksi saham di bursa
adalah proses penentuan hak dan kewajiban yang timbul dari kegiatan perdagangan efek di BEI. KPEI
didirikan dengan tugas untuk menyediakan jasa kliring dan penyelesaian transaksi bursa yang teratur,
wajar dan efisien serta menjamin penyerahan secara fisik baik saham maupun uang. Saham KPEI
mayoritas dimilik oleh BEI dan sisanya hanya dapat dimiliki oleh Perusahaan Efek, Biro Administrasi
Efek dan Bank Kustodian.

1. KSEI: PT Kustodian Sentral Efek Indonesia adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian
yang tersentralisir bagi bank kustodian, perusahaan efek dan pihak lain (UUPM Pasal 1).
Penyelesaian transaksi perdagangan saham di bursa adalah dengan memberi kepastian dipenuhinya
hak dan kewajiban bagi anggota bursa efek yang timbul dari transaksi bursa. KSEI didirikan dengan
tugas untuk menyediakan jasa kustodian sentral dan penyelesaian transaksi yang teratur, wajar dan
efisien, mengamankan pemindahtanganan efek serta penyelesaiannya (settlement) (UUPM Pasal 14).
Pemegang saham KSEI adalah Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro administrasi Efek dan Bank
Kustodian.

1. SIPF (Indonesia Securities Investment Protection Fund) Penyelenggara Dana Perlindungan


Pemodal adalah Perseroan yang telah mendapatkan izin usaha dari OJK untuk menyelenggarakan dan
mengelola Dana Perlindungan Pemodal. Dalam hal ini diamanatkan kepada Indonesia SIPF.

Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi Pemodal dari
hilangnya Aset Pemodal.
Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek (PPE) yang mengadministrasikan rekening Efek
nasabah dan Bank Kustodian.

Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, dan/atau dana milik Pemodal yang
dititipkan pada Kustodian.

 Aset Pemodal berupa Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek yang mendapat perlindungan
Dana Perlindungan Pemodal adalah Efek dalam Penitipan Kolektif pada Kustodian yang dicatat
dalam Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
 Aset Pemodal berupa dana yang mendapat perlindungan Dana Perlindungan Pemodal adalah dana
yang dititipkan pada Kustodian yang dibukakan Rekening Dana Nasabah pada bank atas nama
masing-masing Pemodal.

Maksud dan tujuan dari dibentuknya Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah sebagai berikut:

 Menatausahakan dan mengelola dana pelindungan pemodal di pasar modal Indonesia.


 Melakukan investasi atas dana perlindungan pemodal di pasar modal Indonesia.
 Melakukan pemeriksaan, verifikasi, membuat analisa untuk melakukan pembayaran dan tindakan
lainnya sehubungan dengan klaim yang dilakukan oleh pemodal.
 Menerima tambahan dana dan atau memungut biaya sehubungan dengan kegiatan perlindungan
pemodal di pasar modal Indonesia.
20 dari
HKUM4311
 Melakukan tindakan untuk pengembalian (recovery) dana yang telah dikeluarkan dari Dana
Perlindungan Aset Pemodal untuk pembayaran klaim berdasarkan subrogasi atas hak pemodal
terhadap pihak yang telah menimbulkan kerugian, termasuk namun tidak terbatas ikut serta dalam
proses hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
 Serta melakukan segala kegiatan pendukung lainnya yang berkaitan dengan maksud dan tujuan di
atas.

3.C. 1. Fiduciary Duty Theory Istilah fiduciary duty berasal dari 2 (dua) kata, yaitu fiduciary, dan duty.
Istilah"duty" banyak dipakai dimana-mana yang berarti "tugas" sedangkan istilah fiduciary (Bahasa Inggris)
berasal dari bahasa Latin "fiduciaries" dengan akar kata "fiducia" yang berarti "kepercayaan" (trust) atau
dengan kata kerja "fidere" yang berarti mempercayai (to trust). Sehingga dengan istilah "fiduciary" diartikan
sebagai "memegang sesuatu dalam kepercayaan" atau "seseorang yang memegang sesuatu dalam
kepercayaan untuk kepentingan orang lain". Dengan demikian, dalam bahasa Inggris, orang yang memegang
sesuatu secara kepercayaan untuk kepentingan orang lain tersebut disebut dengan istilah "trustee^ prime
prime sementara pihak yang dipegang untuk kepentingan tersebut disebut dengan istilah "beneficiary". Dalam
Teori ini di dasarkan kepada doktrin Common Law yang menegaskan bahwa insider adalah setiap orang yang
mempunyai fiduciary duty atau hubungan lain yang berdasarkan kepercayaan (trust or confidence) dengan
perusahaan.

2. Disclose or Abstain Theory

Disclose or Abstain Theory Disclosure merupakan hak-hak pemegang saham yang harus diberi informasi
dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan. Informasi yang harus dibuka kepada publik
adalah seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum manajemen dan
harta kekayaan perusahaan kepada masyarakat." Orang dalam yang memiliki hubungan pekerjaan dengan
emiten dilarang melakukan perdagangan terhadap sekuritas dari emiten tersebut karena adanya informasi
yang belum terbuka kepada masyarakat investor. Orang dalam perusahaan tidak melakukan dilarang
perdagangan saham perusahaan yang dipegangnya, tetapi jika orang dalam perusahaan tersebut berencana
melakukan transaksi efek perusahaan tersebut dengan perhitungan.yang didasarkan pada informasi material
yang ada di perusahaan, maka sebelum perdagangan itu dilaksanakan, perusahaan harus sudah
mempublikasikan informasi material tersebut secara terbuka.

3. Prinsip Keterbukaan

(Disclosure Principle) Keterbukaan

adalah kewajiban setiap perusahaan yang menjual sahamnya melalui bursa untuk memberikan informasi,
demi kepentingan pengelola bursa, Bapepam-LK. dan investor. Informasi yang harus di disclose adalah
seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum manajemen dan harta
kekayaan perusahaan kepada masyarakat." Lengkap berarti informasi yang disampaikan tersebut utuh, tidak
ada yang tertinggal atau disembunyikan. disamarkan. atau menyampaikan apa-apa tidak atas fakta material.
Akurat berarti informasi yang disampaikan mengandung kebenaran dan ketepatan. Keterbukaan ini
diharuskan karena pada dasarnya para calon investor (pemodal) mempunyai hak untuk mengetahui secara
detail mengenai segala sesuatu tentang bisnis perusahaan, dimana mereka menempatkan uangnya.

Di sini dapat di simpulkan bahwa teori disclose and abstain theory yang sesuai pada kasus di atas.

21 dari
HKUM4311
4.A. Melakukan tindak pidana korupsi dengan menguntungkan PT Surya Alam Tunggal (SAT) dalam
pembayaran pajak serta merugikan keuangan negara sebesar Rp 570 juta.

Selain itu, Albertina Ho dkk juga menegaskan, sebagai peneliti pajak di Direktorat Banding, Gayus juga
terbukti menyalahi wewenangnya. Dia telah menerima keberatan pembayaran pajak PT SAT.

"Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Albertina.

Tak hanya itu, hakim juga menyatakan Gayus Tambunan terbukti telah menyuap penyidik Direktur II Badan
Reserse dan Kriminal Komisaris Polisi Arafat Enanie. Hakim menyatakan Gayus memberikan uang melalui
pengacaranya Haposan Hutagalung agar tidak ditahan dan sejumlah harta bendanya tidak disita.

Gayus Tambunan juga dinyatakan bersalah menyuap hakim Muhtadi Asnun sebesar Rp 50 juta. Uang ini
untuk memuluskan perkara penggelapan pajak dan pencucian uang senilai Rp 25 miliar.

Vonis 7 tahun dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu menjadi hukuman pembuka buat Gayus Tambu
melakukan tindak pidana korupsi dengan menguntungkan PT Surya Alam Tunggal (SAT) dalam pembayaran
pajak serta merugikan keuangan negara sebesar Rp 570 juta.

Selain itu, Albertina Ho dkk juga menegaskan, sebagai peneliti pajak di Direktorat Banding, Gayus juga
terbukti menyalahi wewenangnya. Dia telah menerima keberatan pembayaran pajak PT SAT.

"Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Albertina.

Tak hanya itu, hakim juga menyatakan Gayus Tambunan terbukti telah menyuap penyidik Direktur II Badan
Reserse dan Kriminal Komisaris Polisi Arafat Enanie. Hakim menyatakan Gayus memberikan uang melalui
pengacaranya Haposan Hutagalung agar tidak ditahan dan sejumlah harta bendanya tidak disita.

Gayus Tambunan juga dinyatakan bersalah menyuap hakim Muhtadi Asnun sebesar Rp 50 juta. Uang ini
untuk memuluskan perkara penggelapan pajak dan pencucian uang senilai Rp 25 miliar.

Vonis 7 tahun dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu menjadi hukuman pembuka buat Gayus Tambunan
sebelum akhirnya berlipat ganda.

Tiga kasus itu adalah penggelapan pajak PT Megah Citra Raya dengan vonis 8 tahun penjara, kasus
pemalsuan paspor dengan vonis 2 tahun penjara dan hukuman 8 tahun penjara dalam kasus pencucian uang
dan penyuapan penjaga tahanan.

Hal ini sesuai dengan keterangan yang berlaku pada putusan_38_pk_pid.sus_2013_20220625233121.pdf

4.B.Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak
pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta
Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian
Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22 dari
HKUM4311
Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk
selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita
atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin
kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil
tindak pidana.

Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui
mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting
khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada
otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada
penyidik.

Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya
dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak
lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana.
Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara
optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.

Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi,
dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan
telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on
Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang
dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara
lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan
perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau
multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang
jumlahnya besar dapat diminimalisasi.

Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya
kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa
keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan
peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak
hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.

Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan
yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum,
kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses
informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari
para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar
internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagai pengganti UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
23 dari Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
HKUM4311
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang
terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain:

1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen
pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian
Uang;
11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

Perbuatan perbuatan Pidana yang dilakukan Gayus adalah:


f. Mengenai perbuatan mengurangi keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal dengan total Rp
570.952.000 ,-
g. Gayus terbukti menerima suap sebesar Rp 925.000.000 ,- dari Roberto Santonius, konsultan pajak
terkait dengan kepengurusan gugatan keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart.
h. Pencucian uang terkait dengan penyimpanan uang yang disimpan di safe deposit box Bank Mandiri
cabang Kelapa Gading serta beberapa rekening lainnya.
i. Gayus menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, serta kepala Rutan
Iwan Susanto yang jumlahnya sebesar Rp 1.500.000 ,- hingga Rp 4.000.000 ,-.
j. Gayus memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar Rp
24.600.000.000 didalam rekening tabungannya.

Potensi kerugian yang ditanggung oleh Negara


Korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan mengakibatkan negara harus menanggung kerugian sebesar
Rp 645,99 Milyar dan US $ 21,1 juta dan dua wajib pahak yang terkait dengan sunset policy dengan potensi
kerugian sebesar Rp 339 Milyar.
24 dari
HKUM4311

25 dari
HKUM4311
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

26 dari
HKUM4311

27 dari
HKUM4311
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

28 dari
HKUM4311

29 dari
HKUM4311
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

30 dari
HKUM4311

31 dari
HKUM4311

32 dari
HKUM4311

33 dari
HKUM4311

34 dari
HKUM4311

35 dari

Anda mungkin juga menyukai