Anda di halaman 1dari 14

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2023/2024 Ganjil (2023.2)

Nama Mahasiswa : Duice Indrawati

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 048424589

Tanggal Lahir : 31 Juli 1987

Kode/Nama Mata Kuliah : Hukum Lingkungan / HKUM4210

Kode/Nama Program Studi : 311 - Ilmu Hukum S1

Kode/Nama UT-Daerah : 19 - Bengkulu

Hari/Tanggal UAS THE : Selasa / 12 Desember 2023

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Duice Indrawati


NIM : 048424589
Kode/Nama Mata Kuliah : Hukum Lingkungan / HKUM4210
Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Ilmu Hukum S1
UT-Daerah : Bengkulu

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Bengkulu, 12 Desember 2023
Yang Membuat Pernyataan

Duice Indrawati
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban :
1. Analisis terhadap dampak Rempang Eco City dengan merujuk pada prinsip keadilan antar generasi
(intergenerational equity) dapat dilakukan melalui tiga dimensi utama:
a) Conservation of Options
Pengembangan Rempang Eco City dapat membawa dampak signifikan terhadap opsi atau pilihan yang
tersedia untuk generasi mendatang. Pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang
terintegrasi dapat menciptakan peluang ekonomi dan pekerjaan baru.Namun, relokasi warga masyarakat
dan dampak lingkungan yang mungkin terjadi harus dielaborasi dengan cermat. Ketersediaan opsi bagi
generasi mendatang juga terkait dengan keberlanjutan sumber daya alam, termasuk tanah dan ekosistem,
serta kebijakan yang mendukung inovasi dan perkembangan berkelanjutan.
b) Conservation of Quality
Dalam konteks Rempang Eco City, konservasi kualitas berkaitan dengan pemeliharaan kualitas lingkungan,
kehidupan masyarakat, dan kehidupan ekonomi di Pulau Rempang. Pengembangan industri dan
perdagangan harus memperhatikan dampak terhadap kualitas udara, air, dan tanah. Pemeliharaan kualitas
hidup masyarakat lokal juga menjadi penting, terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan
kesejahteraan. Aspek ini menekankan pentingnya memastikan bahwa pembangunan tidak hanya
memberikan manfaat ekonomi tetapi juga meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang.
c) Conservation of Access
Pertimbangan terkait aksesibilitas juga krusial. Dalam konteks Rempang Eco City, ini mencakup akses
terhadap pekerjaan, pendidikan, dan sumber daya lainnya. Pengembangan kawasan harus memastikan
bahwa masyarakat yang terdampak oleh relokasi memiliki akses yang layak terhadap pekerjaan yang baru
diciptakan dan fasilitas pendidikan yang diberikan. Selain itu, pemastian akses ke sumber daya alam dan
lingkungan yang berkelanjutan juga harus menjadi fokus, sehingga generasi mendatang dapat menikmati
keuntungan yang sama seperti generasi saat ini.
Dengan demikian, dalam konteks keadilan antar generasi, pembangunan Rempang Eco City harus
memastikan bahwa kebijakan dan implementasinya memperhitungkan keseimbangan antara
perkembangan ekonomi, konservasi sumber daya alam, dan kesejahteraan masyarakat, untuk memastikan
keberlanjutan dan keadilan bagi generasi mendatang.

B. Isu lingkungan dalam pembangunan, terutama dalam konteks proyek strategis seperti Rempang Ecocity,
sangat penting untuk dianalisis dengan memperhatikan prinsip keadilan dalam satu generasi. Beberapa
aspek yang perlu diperhatikan dalam analisis ini adalah:

1. Dampak Lingkungan
Positif: Proyek tersebut mungkin membawa dampak positif terhadap lingkungan jika pembangunan
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Misalnya, penggunaan
energi terbarukan, pengelolaan limbah yang baik, dan konservasi sumber daya alam.

Negatif: Pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan wisata dapat berpotensi merusak ekosistem
alami dan biodiversitas. Pemindahan penduduk juga dapat menyebabkan konversi lahan yang mungkin
mengancam habitat alamiah.

2. Dampak Sosial
Positif: Proyek tersebut dapat memberikan lapangan kerja baru dan peluang ekonomi, terutama jika
pemerintah memberikan perhatian khusus pada pelatihan dan pendidikan bagi tenaga kerja lokal.

Negatif: Pemindahan warga dapat menyebabkan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Diperlukan upaya
agar masyarakat yang terdampak dapat merasakan manfaat secara adil dan merata.

3. Konflik dan Reaksi Masyarakat


Konflik dan penolakan dari masyarakat menunjukkan bahwa kepentingan dan pandangan masyarakat
setempat belum sepenuhnya dipertimbangkan. Diperlukan dialog dan partisipasi masyarakat yang lebih
besar dalam proses pengambilan keputusan.

4. Prinsip Keadilan dalam Satu Generasi


Prinsip ini menekankan bahwa pembangunan harus memastikan keadilan bagi generasi saat ini dan
mendatang. Pemerintah perlu memastikan bahwa manfaat ekonomi dan sosial dari proyek ini tidak hanya
dinikmati oleh pihak-pihak tertentu, tetapi juga memberikan keuntungan jangka panjang untuk masyarakat
secara keseluruhan.

5. Upaya Pengelolaan Konflik


Diperlukan upaya konkret untuk mengelola konflik antara masyarakat dan pemerintah, seperti dialog
terbuka, konsultasi publik, dan pencarian solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

6. Alternatif Pembangunan
Perlu dieksplorasi apakah ada alternatif pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan lebih dapat
diterima oleh masyarakat setempat tanpa merugikan hak-hak mereka.

7. Pengawasan dan Penegakan Hukum


Penting untuk memastikan bahwa pembangunan berjalan sesuai dengan regulasi lingkungan yang berlaku
dan memberikan hukuman yang tegas jika terjadi pelanggaran.

Analisis tersebut perlu mempertimbangkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan
lingkungan, serta memastikan bahwa keadilan sosial tidak terkompromi dalam proses pembangunan
tersebut.

Isu isu yang sedang menjadi trending topik seperti yang dijelaskan pada soal di atas memang bisa menjadi
soal yang pas untuk menguji seberapa kritis Mahasiswa terutama Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah
hukum lingkungan terhadap masalah yang terjadi di Indonesia saat ini.

2. a. Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
UKL – UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan) adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) adalah kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauanlingkungan hidup atas dampak lingkungan
hidup dari usaha dan/ atau kegiatannya di luar Usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.
Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 Pasal 2 ayat
(2) disebutkan bahwa Amdal, UKL-UPL dan SPPL merupakan “Dokumen Lingkungan Hidup.” Walaupun SPPL
hanya terdiri dari satu sampai dua lembar (karena hanya berupa surat pernyataan) dalam peraturan
tersebut tetap disebut sebagai dokumen lingkungan.
Persamaan dari ketiga dokumen tersebut adalah:
- Waktu penyusunan
Amdal, UKL-UPL dan SPPL disusun sebelum dilaksanakannya suatu usaha dan/ atau kegiatan. Artinya
penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan harus memiliki rencana pengelolaan dan pemantauan dampak
yang akan ditimbulkan dari usaha/ kegiatan.
- Tujuan penyusunan
Tujuan disusun dokumen lingkungan (bagi pemrakarsa) adalah agar suatu usaha dan/ atau kegiatan yang
dilakukan tidak menimbulkan pencemaran, perusakan, gangguan terhadap lingkungan atau dampak sosial
lainnya. Bahkan dalam amdal dan UKL-UPL telah dikembangkan upaya pengembangan sosial di lingkungan
sekitarnya (misalnya Corporate Social Responsibility). Sedangkan tujuan penyusunan dokumen lingkungan
bagi pemerintah (pusat ataupun daerah) adalah sebagai bahan pengambilan keputusan apakah rencana
usaha dan/ atau kegiatan yang diajukan tersebut laik dilaksanakan atau tidak.
Perbedaan dari ketiga dokumen tersebut adalah:
- Skala Usaha dan/ atau Kegiatan
misalnya kegiatan pengambilan air sungai sebesar 250 liter/ detik atau lebih, maka kegiatan tersebut harus
menyusun AMDAL. Tetapi jika di bawah 250 liter/ detik, maka cukup dengan UKL-UPL. Atau misalkan
direncanakan membangun gedung dengan luas lahan 5 Ha atau lebih, maka wajib menyusun AMDAL. Tetapi
jika di bawah 5 Ha, maka cukup dengan AMDAL. Skala usaha dan/ atau kegiatan ini dapat dilihat dari luas
lahan/ luas bangunan/ kapasitas produksi/ debit/ tinggi/ panjang/ volume/ tekanan/ besarnya tegangan
dan lain-lain disesuaikan dengan jenis usaha dan/ atau kegiatannya.
- Dampak terhadap lingkungan
Sudah jelas bahwa AMDAL dikhususkan untuk usaha dan/ atau kegiatan yang menimbulkan dampak
penting. Dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh
suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
a. Format dokumen
b. Format AMDAL mengikuti format yang ada dalam lampiran I, II dan III Permen LH No 16 Tahun 2012
c. Format UKL-UPL mengikuti format yang ada dalam lampiran IV Permen LH No. 16 Tahun 2012.
d. Format SPPL mengikuti format yang ada dalam lampiran V Permen LH No. 16 Tahun 2012.

Penyusun
AMDAL disusun oleh penyusun yang telah memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL. Sedangkan
UKL-UPL dan SPPL dapat langsung disusun oleh pemrakarsa usaha dan/ atau kegiatan.

Mekanisme Penyusunan
AMDAL harus melewati tahapan penilaian AMDAL yang dilakukan oleh Komisi Penilai AMDAL. Sedangkan
UKL-UPL, di beberapa daerah mewajibkan presentasi/ ekspose sebelum dikeluarkan surat rekomendasi dan
di beberapa daerah tidak mewajibkan ekspose. Sedangkan SPPL hanya mengisi form dan mendaftarkannya
ke instansi lingkungan hidup.
Untuk lebih jelasnya, apakah suatu usaha dan/ atau kegiatan tergolong pada wajib AMDAL, UKL-UPL atau
SPPL maka dilakukan penapisan sesuai Permen LH No. 5 Tahun 2012. Jika usaha dan/ atau kegiatan sesuai
dengan kriteria dalam lampiran I Permen LH No. 5 Tahun 2012, maka wajib AMDAL, selain itu adalah wajib
UKL-UPL atau SPPL. Dan untuk menentukan UKL-UPL atau SPPL maka dilakukan penapisan sesuai peraturan
gubernur atau bupati/ walikota setempat.

B. Pada dasarnya, setiap rencana aktivitas manusia, khususnya dalam kerangka pembangunan selalu
membawa dampak dan perubahan terhadap lingkungan, karena itu dibutuhkan alat untuk merencanakan
tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang timbul oleh suatu aktivitas pambangunan.
Penelitian ini menggunakan studi literatur untuk mengidentifikasi dampak yang bermanfaat maupun yang
merugikan bagi kehidupan manusia dengan mengkaji rencana kegiatan Proyek Mega Wisata Pulau Komodo
yang memerlukan kajian AMDAL untuk melihat besarnya anggaran serta lokasinya yang bertempatan
dengan lahan konservasi hewan komodo. Dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup secara jelas mengatur upaya perlindungan suatu wilayah yang ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Aturan ini memuat secara lebih rinci upaya melindungi flora dan fauna yang ada di
wilayah konvervasi seperti, Taman Nasional Komodo. Sebagai wilayah konservasi, secara detail ada
tuntutan bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga hewan dan tumbuhan serta ekosistem
pendukung yang ada dalam kawasan konservasi. Maka dari itu secara hukum, proyek ini telah melanggar
beberapa pasal dan asas, sehingga pembangunan tidak boleh dilanjutkan dan diperlukannya proses hukum.

3. a. Untuk analisis yang lain di luar masalah lingkungan. Pada tanggal 29 Mei 2006, kehidupan warga Sidoarjo,
khususnya wilayah Porong, mendadak berubah drastis. Peristiwa Lumpur Lapindo, sebuah semburan lumpur
panas akibat kebocoran dari pengeboran PT Lapindo Brantas, menciptakan dampak yang tak terlupakan dalam
sejarah lokal dan nasional. Tepat 16 tahun setelah peristiwa tersebut, wilayah tersebut masih merasakan
konsekuensi yang berkepanjangan. 1. Awal Mula Bencana Peristiwa Lumpur Lapindo bermula dari eksplorasi
minyak dan gas yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo. Pada saat pengeboran, terjadi
kebocoran yang memicu semburan lumpur panas dan gas.
1. Awal Mula Bencana Peristiwa Lumpur Lapindo bermula dari eksplorasi minyak dan gas yang dilakukan oleh PT
Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo. Pada saat pengeboran, terjadi kebocoran yang memicu semburan lumpur
panas dan gas.
Proses ini tidak dapat dikendalikan, dan dalam waktu singkat, lumpur tersebut meluap, meratakan sebagian
besar wilayah sekitar.
2. Dampak Sosial dan Ekonomi Dampak sosial bencana Lumpur Lapindo sangat signifikan. Ribuan rumah hancur,
dan warga kehilangan tempat tinggal mereka. Banyak yang terpaksa mengungsi dan harus memulai kehidupan
baru di tempat-tempat yang jauh dari keseharian mereka. Selain itu, sektor ekonomi terdampak parah, terutama
sektor pertanian dan perikanan yang menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk.
3. Upaya Penanganan dan Penyelamatan
Sejak awal bencana, pihak berwenang dan berbagai pihak terlibat berupaya keras untuk menangani Lumpur
Lapindo. Upaya penyelamatan mencakup pembangunan tanggul, pembuatan saluran pembuangan, dan
berbagai metode teknis lainnya untuk mengurangi aliran lumpur. Meskipun demikian, upaya ini belum mampu
sepenuhnya menghentikan aliran lumpur, dan bencana ini tetap menjadi beban berat bagi masyarakat
setempat.

b Kerusakan dan pencemaran yang dilakukan Lapindo Brantas di Porong dapat dipertanggungjawabkan melalui
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

Asas pengelolaan lingkungan hidup dalam UUPLH:


1.Asas tanggung jawab negara
Negara sebagai sebuah entitas tertinggi dalam suatu wilayah memilki wewenang mengatur dan mengelola
linkungan. Fungsi negara adalah memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Negara harus memberikan
perlindungan kepada warganya. Kepentingan umum yaitu kepentingan warga negara harus didahulukan dalam
pengambilan keputusan oleh negara. Negara berhak melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga
dan mengelola lingkungan.

2.Asas berkelanjutan
Asas ini berkaitan dengan pasal 3 UUPLH yang mengatur pengelolaan lingkungan harus berkesinambungan.
Berdasarkan asas ini pengelolaan lingkungan tidak sebatas hanya pada saat ini. Tetapi juga harus memikirkan
masa yang akan datang. Sehingga eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan tidak diperkenankan oleh UUPLH.

3.Asas manfaat bertujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
Proses pembangunan harus memperhatikan lingkungan dan harus berjalan secara berkesinambungan.
Keterpaduan antara pembangunan dengan pengelolaan lingkungan harus sejalan. Pembangunan tidak boleh
menimbulkan akibat yang merusak bagi lingkungan. Karena prinsipnya adalah pembangunan namun tetap
memperhatikan lingkungan hidup.

Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Melihat pada definisi pencemaran kita dapat melihat bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan yang muncul
akibat semburan lumpur panas. Lumpur yang meluber hingga ke kali porong telah mengakibatkan penurunan
standar baku mutu air sampai jauh diambang batas. Hal ini terbukti dengan banyaknya ikan yang mati di tambak
milik warga. Air disekitar wilayah semburan juga menjadi beraroma tidak sedap dan mengakibatkan gatal
ditubuh. Hal ini terjadi akibat perubahan kaluitas lingkungan.

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc., disebutkan bahwa lumpur
yang menggenangi lebih dari 5 perkampungan warga mengandung konsentrasi fenol yang melebihi ambang
batas. Misalnya, dengan konsentrasi pada air, 46mg/1, 50% populasi ikan mas mati. Selain itu, fenol merupakan
racun bagi tumbuhan air, meski dalam kadar yang minimal, dapat diurai oleh mikroorganisme. Pada titik ini,
dapat disebutkan betapa berbahayanya bila lumpur di buang ke laut. Tak hanya itu, kadar fenol yang melebihi
batas normal amat rentan bagi kesehatan manusia. Hal ini sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai
pengelolaan limbah B3.

Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan.

Perusakan lingkungan juga telah terjadi dalam kasus Lapindo. Luapan lumpur mengakibatkan kerusakan
ekosistem sawah di sekitar daerah pengeboran. Banyak pohon yang mati akibat tergenangi lumpur panas yang
disertai gas berbahaya tersebut. Lumpur telah mengakibatkan perubahan secara fisik sehingga tidak berfungsi
lagi. Tanaman mati dan ikan seta hewan ternak warga juga ikut mati akibat gas dan kandungan zat berbahaya
lainnya.

Betapa tidak, setiap harinya lumpur panas ini terus bertambah sekitar 150 ribu m3, hingga 6 bulan berselang,
lumpur menenggelamkan permukaan bumi Porong lebih dari 7 juta m3 dan menggenangi lebih dari 300 ha lahan
masyarakat.
Seharusnya pemerintah dalam hal ini kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) melakukan
AMDAL(analisis mengenai dampak lingkungan), yaitu kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Pemberian izin tidak hanya melihat pada faktor ekonomis saja tetapi juga harus melihat faktor lingkungan dan
ekologi. Kementrian ESDM seharusnya mempertimbangkan resiko yang mungkin muncul akibat pengebopran
gas tersebut, sebab pengeboran dilakukan di tengah pemukiman masyarakat. Seharusnya izin penambangan
tidak boleh dilakukan di tengah pemukiman

Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara,
3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT
Tiga Musim Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig (alat bor). Para tersangka
dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran
lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara.

Namun polisi sangat salah jika melakukan proses hukum terhadap 12 orang tersangka tersebut. Dalam pasal 46
UUPLH tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam suatu korporasi. Sedangkan pihak yang ditetapkan sebagai tersangka adalah orang
lapangan yang melakuka pekerjaan teknis saja. Kita mengetahui bahwa Lapindo dimiliki oleh du pengusaha
besar yaitu Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro. Seharusnya kedua orang tersebutlah yang dikenai tanggung
jawab oleh polisi.

DPR menyimpulkan bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah bencana gempa bumi yang melanda
Jogjakarta. Hal ini berbeda dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili
kasus itu pada 27 November 2007. Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat bahwa luapan lumpur
disebabkan oleh kelalaian Lapindo Brantas Inc. saat melakukan pengeboran. Ini terlihat dari belum dipasangnya
pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian luapan lumpur.

“Pandangan majelis hakim tentang sebab semburan lumpur ini diambil setelah mendengarkan pendapat dari
ahli yang kami hadirkan dan yang dihadirkan PT Lapindo Brantas sebagai salah satu tergugat,” papar Zainal
Abidin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Upaya hukum yang dapat diambil

1.Upaya hukum administratif


Pemerintah dalam hal ini menteri ESDM harus bertanggung jawab atas keluarnya izin eksplorasi yang diberikan
kepada Lapindo. Upaya administrasi yang dapat ditempuh adalah dengan pencabutan izin eksplorasi, baik di
sidoarjo maupun kota lainnya. Selain itu juga dapat dilakukan upaya administrasi seperti paksaan pemerintah
(bestuur dwang) dan uang paksa (dwangsom). Pemrintah dapat memaksa lapindo untuk memperbaiki keadaan
seperti sedia kala.

2.Upaya hukum pidana


Upaya hukum pidana dapat dilakukan dalam kasus ini. UUPLH mengatur mengenai ketentuan pidana lingkungan
pada bab IX. Disni jelas bahwa telah terjadi tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh PT. Lapindo.

3.Upaya hukum perdata


UUPLH mengatur mengenai upaya hukum melalui hukum pidana. Uapaya yang dapat ditempuh adalah
menuntut lapindo beserta jajaran direksinya berdasarkan pasal 46 ayat 2 UUPLH.

Penyelesaian sengketa
Pasal 30 UUPLH mengatur Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam UUPLH diatur cara
penyelesaian sengketa lingkungan baik lewat pengadilan atau di luar pengadilan.

1.Lewat pengadilan
Upaya penyelesaian sengketa lingkungan lewat pengadilan dalam UUPLH
Berdasarkan kesalahan (Pasal 34)
Pihak yang dirugikan dalam pencemaran lingkungan adalah orang lain dan juga lingkungan hidup (environment).
Poluter wajib untuk mengganti kerugian. Tanggung jawab yang dibebankan kepada poluter berdasarkan pada
kesalahan. Dalam UUPLH dianut pembuktian terbalik dimana poluter harus membuktikan dirinya tidak
melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan.

Tanggung jawab mutlak/strict liability (Pasal 35)


Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun dapat dikecualikan karena :

a.adanya bencana alam atau peperangan; atau


b.adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c.adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.

Dalam tanggung jawab mutlak tidak diperlukan kesalahan. Tanggung jawab mutlak nahya berlaku pada kegiatan
tertentu yaitu menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup

Gugatan class action (Pasal 37)


Korban dalam pencemaran lingkungan pada umumnya banyak. Kereka dapat melakukan gugatan kepada
pengadilan untuk ganti rugi. Namun jika dilakukan secara individual akan ada gugatan secara berulang-ulang dan
menjadi tidak efektif. Maka gugatan dilakukan secara kumulatif sehingga gugatan dilakukan oleh banyak orang.
Dalam class action class representatif mewakili kelas member.

Gugatan legal standing oleh LSM (Pasal 38)


Karena pencemaran dapat merugikan bagi lingkungan hidup. Maka harus ada upaya untuk membela
kepentingan lingkungan. Lingkungan sebagai common property harus diwakili oleh pihak yang tidak
berkepentingan langsung. Dalam hal ini diwakli oleh organisasi lingkungan hidup. Gugatan dalam lingkungan
hidup tidak menuntut ganti rugi tetapi menuntut untuk melakukan tindakan tertentu yaitu mengembalikan
lingkungan pada kondisi sebelumnya.

Gugatan oleh pemerintah/axio popularis (Pasal 37)


Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Instansi
pemerintah yang dimaksud adalah kementrian sektoral. Dan tindakan yang diambil adalah tindakan perdata.

2.Di luar pengadilan


Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara garis besar ada 2 yaitu melalui para pihak
sendiri/negosiasi atau lewat pihak ke tiga/mediator.

Mediasi
Pihak ke tiga berfungsi untuk memberikan advice/saran dan melakukan fungsi prosedural. Namun keputusan
dikembalikan kepada para pihak. Rekomendasi dari mediator tidak mengikat para pihak.

Inquiry
Dilakukan upaya penyelidikan mengenai pencemaran dan dampak yang ditimbulkan. Upaya penyelidikan dapat
dilakukan oleh masyarakat atau lembaga yang ditunjuk oleh para pihak. Kemudian terhadap hasil penyelidikan
dialkukan evaluasi dan analisa sehingga dapat diambil kesimpulan yang dijadikan rekomendasi.

Konsiliasi
Para pihak dapat membentuk komisi khusus (ad hoc) untuk menyelesaikan sengketa lingkungan. Komisi
bertujuan untuk memberiakn rekomendasi keoada para pihak. Rekomendasi sifatnya tidak mengikat bagi para
pihak.

Arbitrase
Para piahk dapat menyerahkan sengketa kepada Arbiter. Mahlamah arbitrase dapat mengeluarkan keputusan
penyelesaian sengketa yang sifatnya mengikat dan final bagi para pihak. Putusan arbitrase punya sifat mengikat
seperti putusan pengadilan.

Ganti Rugi dalam Pasal 34 UUPLH dinyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup,
mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu hakim dapat menetapkan
pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

Mencermati pernyataan diatas maka upaya ganti rugi ada 2 yaitu:


1.ganti rugi
Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau
membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam
tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,
mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau
sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Ganti rugi yang ditentukan oleh UUPLH sangat jelas. Namun kenyataannya dilapangan pihak Lapindo tidak
membayarkan ganti kerugian yang diderita masyarakat. Lapindo hanya membayarkan uang ganti rugi sebesar
dua puluh persen saja.

2.melakukan tindakan tertentu


Lapindo harus melakukan tindakan tertentu untuk menanggulang akibat semburan lumpur. Yang pertama
dilakukan adalah mengembalikan kepada kondisi semula. Namun karena sangat sulit maka Lapindo harus
memberikan pemukiman bagi warga Porong yang menjadi korban lumpur. Tidak hanya terhadap warga, Lapindo
juga harus merelokasi pabrik yang ikut tergenag oleh lumpur.

Selain upaya pidana terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib
berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Tindakan pemerintah
Memang kasus lapindo penuh dengan intrk dan muatan politik sehingga sangat sulit untuk menyelesaikan kasus
ini. Ada kepentingan yang bermain di belakang kasus ini. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden No.
14/2007. Melalui Perpres tersebut pemerintah telah menetapakan bahwa PT. Lapindo Brantas harus
bertanggung jawab atas bencana lumpur lapindo. Namun hal yang aneh adalah pemerintah membatasi area
yang akan menjadi tanggung jawab Lapindo. Padahal yang terjadi di lapanganadalah luapan tersebut melebar
hingga menenggelamkan desa lain. Halini menimbulkan konflik diantar masyarakat sendiri.

Selain itu Ptr. Lapindo hanya membayarkan uang ganti rugi sebesar dua puluh persen dan sisanya ditanggung
oleh pemerintah leway APBN. Hal ini sangat tidak logis dan aneh. Dalam UUPLH poluter harus membayarkan
kerugian yang diderita. Tanggung jawab mutlak melekat pada poluter dan ditanggung secara penuh oleh
poluter. Sehingga dalam kasus ini terasa janggal karena APBN dikorbankan untuk membantu Lapindo.

Beberapa LSM mengeluarkan beberapa rekomandasi yang harus diambil oleh pemerintah. Salah satunya adalah
WALHI yang merekomendasikan :
1.Pemerintah RI segera mengambil langkah untuk menutup PT. Lapindo Brantas dengan tetap membebankan
tanggung jawab sepenuhnya untuk penyelesaian masalah lumpur panas.
2.PT. Lapindo Brantas/EMP harus menjamin sepenuhnnya hak hidup masyarakat korban dan pemulihan
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh lumpur panas.
3.Tetap melakukan pengusutan atas kejahatan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas, termasuk kepada
pemegang saham dan pihak yang terkait, seperti ESDM dan BP Migas.
4.Presiden, melalui ESDM, Dirjen Migas, BP Migas bertanggung jawab untuk memastikan penyelesaian masalah
lumpur panas ini tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah.
5.Mengkaji ulang seluruh perundangan-undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
mineral dan menempatkan aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan keberlanjutan
lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama.
6.Melakukan proses audit atas eksplorasi dan eksploitasi migas di kawasan permukiman padat, untuk meninjau
kembali kelayakan proyek-proyek tersebut.

Pemerintah hendaknya menlakukan tindakan tegas dalam kasus ini. Pihak Lapindo harus membayarkan ganti
rugi. Jangan sampai kasus ini menjadi preseden buruk dimasa yang akan datang jika terjadi pencemaran
lingkungan.

4. Analisis Kasus Reklamasi Teluk Benoa dari Perspektif Sosiologis Penegakan Hukum Lingkungan:
a. Perspektif Masyarakat:
1. Partisipasi dan Kesadaran Masyarakat:
• Masyarakat Bali menunjukkan partisipasi aktif dengan menolak proyek reklamasi Teluk Benoa.
• Kesadaran lingkungan dan keberlanjutan menjadi faktor utama dalam penolakan tersebut.
2. Identitas Lokal dan Kultural:
• Penolakan masyarakat berkaitan erat dengan identitas lokal dan budaya Bali.
• Teluk Benoa bukan hanya sebagai kawasan konservasi, tetapi juga memiliki nilai sakral sebagai tempat suci
bagi Agama Hindu.
3. Konservasi dan Keberlanjutan:
• Masyarakat melihat Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan.
• Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan ekosistem laut dan mangrove menjadi pendorong penolakan.
4. Kohesivitas Masyarakat:
Masyarakat Bali menunjukkan kohesivitas yang tinggi dalam menolak proyek reklamasi.
• Kesatuan dalam pandangan terhadap pelestarian lingkungan mencerminkan kekuatan sosial masyarakat.
5. Legalitas dan Tuntutan Hak:
• Masyarakat mengacu pada legalitas, seperti Perpres 2011, untuk mendukung penolakan mereka.
• Hak-hak atas kawasan konservasi dan tempat suci diakui sebagai hak masyarakat.

6. Peran Media Sosial:


• Media sosial menjadi sarana penting dalam menggalang dukungan dan menyebarkan informasi terkait
penolakan masyarakat.
• Masyarakat dapat menyuarakan pendapat dan memobilisasi dukungan melalui platform ini.

B. Penegakan Hukum yang Berbasis Kebenaran Ekologis:


1. Kebenaran Ekologis dan Fakta Ilmiah:
• Penolakan masyarakat didukung oleh fakta ilmiah terkait keberlanjutan ekosistem Teluk Benoa.
• Informasi tentang dampak lingkungan yang mungkin terjadi akibat reklamasi menjadi dasar penolakan yang
kuat.

2. Peran Ahli Lingkungan:


• Ahli lingkungan dapat menjadi penentu kebenaran ekologis.
• Keterlibatan ahli lingkungan dalam memberikan analisis dan rekomendasi dapat memperkuat argumen
penolakan.
3. Kepatuhan pada Undang-Undang Lingkungan:
• Penolakan masyarakat dapat diperkuat dengan acuan pada undang-undang lingkungan yang ada.
• Memastikan bahwa proyek-proyek besar mematuhi regulasi lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah.

4. Transparansi dan Partisipasi Publik:


• Penegakan hukum harus transparan dan melibatkan partisipasi publik.
• Proses pengambilan keputusan harus terbuka dan dapat dipahami oleh masyarakat.

5. Keadilan Lingkungan:
• Penegakan hukum harus mencerminkan prinsip keadilan lingkungan.
• Memastikan bahwa dampak negatif reklamasi tidak merugikan masyarakat, terutama mereka yang berada di
sekitar Teluk Benoa.

6. Keseimbangan Antara Pembangunan dan Pelestarian:


• Penegakan hukum perlu mencari keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
• Pengembangan yang berkelanjutan harus menjadi tujuan utama dalam pengambilan keputusan.

Pertimbangan Tambahan:
1. Keterlibatan Pihak Ketiga:
• Keterlibatan pihak ketiga, seperti lembaga lingkungan independen, dapat meningkatkan kredibilitas penilaian
dampak lingkungan.

2. Dialog Masyarakat dan Pemerintah:


• Proses dialog antara masyarakat dan pemerintah perlu ditingkatkan untuk mencapai kesepakatan yang adil
dan berkelanjutan.

3. Pengelolaan Konflik:
• Penegakan hukum perlu mempertimbangkan strategi pengelolaan konflik untuk mencapai solusi yang
menguntungkan semua pihak.

4. Pendidikan Lingkungan:
• Upaya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya lingkungan dapat menjadi langkah awal
yang penting.

5. Revaluasi Kebijakan Pembangunan:


• Pemerintah perlu merevaluasi kebijakan pembangunan yang mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan dan nilai budaya lokal.

Anda mungkin juga menyukai