Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi

2.1.1 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga sampai membran

timpani. Daun telinga (pinna/ aurikulla) berasal dari pinggir-pinggir celah brankial

pertama dari arkus brankialis pertama dan kedua. Daun telinga disarafi oleh

cabang aurikulotemporalis dari saraf mandibularis serta saraf aurikularis mayor

dan oksipitalis minor yang merupakan cabang pleksus servikalis. Liang telinga

berasal dari celah brankial pertama ektoderm. Membrana timpani mewakili

membran penurup celah tersebut. Selama satu stadium perkembanganya, liang

telinga akhirnya tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan telinga tapi

kemudian terbuka kembali, namun demikian kejadian ini mungkin merupakan

suatu faktor penyebab dari beberapa kasus atresia atau stenosis pada liang telinga

ini.5

Daun telinga merupakan gabungan dari tulang rawan yang di liputi kulit.

Bentuk tulang rawan ini unik dan dalam merawat trauma telinga luar, harus di

usahakan untuk mempertahankan bagunan ini. Kulit dapat terlepas dari rawan di

bawahnya oleh hematom atau pus, dan eawan yang nekrosis dapat menimbulkan

deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol).6


Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang

di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan

tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di

depan terhadap liang teling sementara prosesus mastoideus terletak di

belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomasteodeus dan berjalan

ke lateral menuju prosesus stilodeus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian

berjalan di bawah liang teling untuk memasuki kelnjar parotis. Rawan liang

telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk mencari

saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura timpanomasteodeus.6

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar

serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh

kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar

serumen.7

Gambar 2.1 Anatomi Telinga7


2.1.2 Membran Timpani

Membran timpani adalah perbatasan telinga tengah, berbentuk bundar dan

cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang

telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian

bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu

bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh

sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu

lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat

elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.7

Gambar 2.2 Anatomi Membran Timpani


Gambar 2.3 Membran Timpani

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani

disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke

arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul 5

untuk membran timpani kanan. Refleks cahaya ialah yang dari luar yang

dipantulkan membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut,

sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya

yang berupa kerucut itu. Secara klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila

letak reflek cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.

Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran, dengan menarik garis searah

dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di

umbro, sehingga didapatkan bagian anterior-superior, posterior-superior, anterior-

inferior, dan posterior-inferior untuk menyatakan letak perforasi membran

timpani.7

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat

aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan


antrum mastoid. Perforasi daerah pars flasida sering dideskripsikan sebagai

komplikasi. Perforasi membran timpani termasuk depresi membran timpani ke

telinga tengah, membentuk kantong retraksi. Kantong yang terbentuk lebih sering

berkaitan dengan pembentukan kolesteatom.7

2.2 Konsep Dasar Penyakit Perforasi Membran Timpani

2.2.1 Definisi

Perforasi membran timpani adalah kondisi yang dapat terjadi pada semua

usia. Membran timpani, juga disebut gendang telinga, adalah membran yang

cukup luas (namun fleksibel), translusen, memiliki struktur seperti diafragma.

Membran timpani bergerak secara sinkron sebagai respon dari perubahan tekanan

udara telinga, yang sesuai dengan gelombang suara yang datang. Getaran

membran timpani ditransmisikan melalui rantai osikular sampai ke koklea. Dalam

koklea, energi mekanik getaran berubah ke energi elektrokimia dan menyebar

melalui kedelapan nervus craniales menuju otak. Membran timpani dan osikular

yang saling berlekatan berperan sebagai transduser, merubah suatu bentuk energi

ke bentuk energi lain.3


Gambar 2.4 Perforasi Membran Timpani3

2.2.2 Etiologi

Infeksi adalah sebab utama perforasi membran timpani. Infeksi akut dari

telinga tengah dapat mengakibatkan iskemik relatif pada membran timpani

bersamaan dengan tekanan yang meningkat dalam ruang telinga tengah. Pada

kondisi ini, air mata keluar atau ruptur membran timpani didahului nyeri hebat

pada telinga. Jika perforasi tidak sembuh, meninggalkan perforasi persisten. Pada

penggunaan antibiotik agresif, perlu diketahui bahwa banyak episode otitis media

disebabkan virus dan akan sembuh spontan. Peningkatan angka kejadian perforasi

dan komplikasi otitis media seperti abses otak, meningitis, dan thrombosis sinus

sigmoid septik, akan terjadi bila lebih sedikit pasien menerima antibiotik pada

stadium awal otitis media. Infeksi liang telinga jarang mengakibatkan perforasi

membran timpani. Jika terjadi, sering berkaitan dengan infeksi Aspergillus niger.3
Perforasi traumatik dapat terjadi dari benda asing yang masuk ke liang

telinga (missal dipukul dengan tangan, jatuh ke air dengan kepala lebih dulu

masuk ke air, termasuk telinga). Paparan tekanan tinggi dari sebuah ledakan dapat

merobek membran timpani. Perforasi membran timpani yang terjadi dari tekanan

air, pada olahraga yang menerjunkan kepala terlebih dahulu ke dalam air, dapat

terjadi pada membran timpani atrofi karena panyakit sebelumnya. Objek yang

digunakan untuk membersihkan liang telinga dapat mengakibatkan perforasi.3

Irigasi serumen yang tidak baik dari liang telinga dapat mengakibatkan

perforasi. Pada praktik, irigasi serumen yang dilakukan asisten medis, ahli

otolaringologi dapat menemukan 10-20 pasien per tahun dengan cedera membran

timpani. Perforasi sering terjadi ketika ahli bedah membuat insisi pada membran

timpani (miringotomi). Ketika tekanan negatif yang menyamai tekanan tuba

(ventilasi tuba) dilakukan, perforasi dapat terjadi. Kegagalan penyembuhan dari

tindakan bedah berakibat perforasi membran timpani kronik.3

2.2.3 Patofisiologi

Membran timpani bertendensi untuk menutup bila terjadi perforasi. Bila

perforasi sering terjadi, perforasi sembuh dengan membran tipis yang

mengandung hanya mukosa dan lapisan epitel skuamosa tanpa lapisan tengah

fibrosa. Ini seperti membran baru yang mungkin sangat tipis, yang dapat

disalahartikan sebagai perforasi. Membran yang baru dapat retraksi ke dalam

telinga tengah, kadang-kadang lebih sulit dibedakan dengan perforasi yang baru

terjadi. Pemeriksaan otomikroskopi kadang masih sulit membedakan hal ini.


Retraksi dalam, kuadran posterior superior, merupakan tanda pembentukan

kolesteatoma.3

Dengan adanya perforasi, membuat telinga lebih mungkin terkena infeksi

jika air masuk ke liang telinga. Jika air yang terkontaminasi bakteri masuk

melewati perforasi, terjadi infeksi. Tegangan permukaan air dapat melindungi

telinga dari penetrasi melalui perforasi yang sangat kecil. Ini menjelaskan rata-rata

infeksi yang tinggi saat aktifitas mandi daripada berenang (karena tegangan

permukaan sabun lebih rendah sehingga air dapat melewati telinga tengah).

Adanya perforasi dan riwayat perforasi adalah kontraindikasi irigasi untuk

pembuangan serumen.3

2.2.4 Manifestasi Klinik

Gejala perforasi dapat termasuk suara peluit selama bersin dan bernapas

melalui hidung, pendengaran berkurang, dan tendensi infeksi selama pilek dan

ketika air melewati liang telinga. Drainase cairan purulen yang bermanfaat pada

perforasi akut dan kronik, dapat mengkonfirmasi adanya perforasi dan infeksi.

Infeksi liang telinga juga dapat membutuhkan drainase cairan purulen, dalam

jumlah yang lebih sedikit. Perforasi tanpa komplikasi infeksi atau kolesteatoma

tidak terasa nyeri. Perforasi disertai otore atau kolesteatoma tidak disertai nyeri

hebat.3

Pada perforasi yang tidak menimbulkan gejala klinis, perbaikan lesi tidak

diindikasikan. Perforasi mungkin berkaitan dengan infeksi berulang ketika kontak

dengan air. Pada perenang, penyelam, atau olahraga air, perbaikan membran
timpani dapat diindikasikan untuk dapat melakukan aktivitas tersebut. Tuli dapat

terjadi, dengan perforasi yang lebih besar. Karena risiko pendengaran berkurang

permanen ada pada tindakan bedah membran timpani, analisis rugi-untung

dibutuhkan. Sebagai contoh, penawaran alat bantu dengar dapat

dipertimbangkan.3

2.2.5 Kontraindikasi

Perforasi membran timpani dapat unilateral atau bilateral. Pada perbaikan

membran timpani bilateral, dipilih telinga dengan pendengaran paling menurun.

Jika komplikasi tuli meningkat, telinga dengan pendengaran yang lebih baik tidak

dilakukan menipulasi. Untuk alasan yang sama, pada perforasi dengan satu telinga

dengan pendengaran normal, hanya komplikasi yang mengancam nyawa yang

merupakan indikasi perbaikan perforasi.3

2.2.6 Diagnosa

Untuk melihat kejadian perforasi (membran timpani dalam bentuk

gelembung berisi cairan), isi liang telinga dengan air destilasi atau salin steril

untuk menutupi membran timpani dan suruh pasien melakukan manuver Valsava,

hasil tes positif disebabkan hanya oleh perforasi membran timpani.3

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Mayoritas perforasi membran timpani didiagnosis menggunakan otoskopi

rutin. Perforasi kecil butuh otomikroskopi untuk identifikasi. Beberapa program

skrining pendengaran termasuk tes impedansi telinga tengah Timpanometri


skrining menunjukkan abnormalitas dengan perforasi. Untuk konfirmasi, butuh

pemeriksaan lagi.3

Dianjurkan untuk selalu lakukan audiometrik setelah diagnosis perforasi

membran timpani awal dan lakukan lagi sebelum perbaikan membran timpani.

Audiografi sebelum dan sesudah operasi harus selalu dilakukan. Tuli konduksi

tidak hanya merupakan kemungkinan lesi osikular, tapi dokumentasi dari

kehilangan pendengaran sensorineural dapat memproteksi pembedah. Tindakan

bedah dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran. Audiometri sering

menunjukkan pendengaran normal. Adanya tuli konduksi ringan merupakan tanda

perforasi dan komponen konduksi paling sedikit 30 dB mengindikasikan

diskontinuitas osikular atau kondisi patologis lain.3

2.2.8 Penatalaksanaan

Terapi perforasi langsung mengobati otore. Pertimbangkan risiko ototoksis

dari tetes telinga topikal ketika mengobati infeksi telinga bersamaan dengan

perforasi membran timpani. Infeksi dapat menyebabkan tuli sensorineural.

Ototoksisitas tetes telinga mengakibatkan tuli sensorineural. Cegah tetes telinga

yang mengandung gentamisin, neomisin sulfat, tobramisin pada perforasi

membran timpani. Ketika sudah digunakan, ganti dengan obat tetes dengan

toksisitas lebih rendah, segera setelah edema mukosa dan drainase mulai

berkurang. Pencegahan kontaminasi telinga tengah dengan air penting untuk

meminimalisasi otore.3
Antibiotik sistemik digunakan ketika mengontrol otore dari perforasi.

Antibiotik (trimetropin-sulfametoksazol, amoksisilin) untuk flora saluran napas

tipikal. Pertumbuhan berlebih pseudomonas aeruginosa, staphylococcus aureus

resisten dapat terjadi. Kegagalan drainase  selesai setelah beberapa hari terapi.

Perubahan terapi dilakukan dengan kultur dan tes sensitivitas. Tendensi

pertumbuhan pseudomonas mengindikasikan tes paling akurat dengan mengambil

spesimen kultur (dengan mikroskop) langsung dari telinga tengah melalui

perforasi.3

2.2.9 Timpanoplasti

Timpanoplasti bisa dilakukan dengan anestesi lokal atau umum. Insisi

dapat dibuat dibelakang telinga atau melalui liang telinga, tergantung lokasi dan

ukuran perforasi. Perbaikan perforasi membutuhkan persiapan berupa tempat

berbaring untuk penempatan graft. Sejauh ini, bahan yang digunakan adalah

fascia retroaurikular. membran timpani allograft diambil dari kadaver, sempat

tidak digunakan karena kemungkinan transmisi virus, sekarang sedang digunakan.

Graft dapat diletakkan medial atau lateral dari perforasi.3

Timpanoplasti berhasil menutup perforasi membran timpani pada 90-95%

pasien. Untungnya operasi kedua dan ketiga sukses di lebih dari 90% pasien dari

yang tidak berhasil di operasi pertama. Hasilnya, 1 per 1000 pasien masih

memiliki perforasi setelah 3 kali menjalani operasi.3

Preoperatif: persiapan preoperasi telinga untuk pembedahan terdiri dari

menyingkirkan infeksi jika mungkin. Termasuk menghentikan kebiasaan merokok

pasien sesudah operasi.3


Intraoperatif: insiden kesalahan timpanoplasti dilakukan pada telinga yang

salah, pertama kali dilaporkan tahun 2004. Ahli bedah disarankan untuk menandai

telinga yang akan dilakukan operasi dengan tinta, ketika pasien sadar penuh, dan

dapat menentukan telinga yang akan dilakukan tindakan.3

Post-operatif: perawatan post-operasi sama dengan terapi rawat jalan.

Instruksikan pasien untuk menjaga agar telinga tidak masuk air. Ketika insisi dan

penutupan liang telinga dilakukan, gunakan pakaian pelindung atau kapas

penyumbat kedap air dengan sedikit jel petroleum.3

2.2.10 Komplikasi Post Op Timpanoplasti

Tiap tindakan bedah memiliki risiko eksaserbasi tuli. Angka kejadian pasti

tuli akibat tindakan bedah tidak jelas. Dalam satu laporan, 1 dari 500 operasi

berakibat pendengaran menurun. Sumber lain, rata-rata 2% tindakan bedah

mengakibatkan tuli. Dari 1000 pasien, diperkirakan satu yang mengalami

perforasi dan 4 mengalami tuli. Sejumlah kecil pasien mengalami disfungsi tuba

eustachius persisten, mengarah ke komplikasi, seperti kolesteatoma, perforasi

ulang, otitis media efusi.3

2.3 Konsep Dasar Anestesi


2.3.1 Definisi Anestesi
Berdasarkan analisis “anestesi” berasal dari bahasa yunani yang terdiri

dari dua kata (an : tidak, aestesi : rasa). Jadi ilmu anestesi adalah cabang ilmu

kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri,

takut dan rasa tidak nyaman. Tujuannya adalah memberi ketenangan kepada

pasien yang akan menjalani operasi, memungkinkan dokter bedah dapat


melakukan pemeriksaan atau pembedahan merasa aman dan tenang serta

mengurangi dan menghilangkan trauma fisik dan psikis.8

Teknik anestesi adalah prosedur pemberian obat anestesi untuk

menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani prosedur diagnostik

atau terapeutik. Sesuai tujuan dari anestesi, maka sasarannya adalah

menghambat rasa sakit. Pertimbangan anestesi yang diberikan kepada pasien

yang akan menjalani pembedahan harus memperhatikan berbagai faktor seperti

umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, keterampilan operator, alat yang

dipakai, keterampilan atau kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status

rumah sakit, dan permintaan pasien.8

2.3.2 Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan yang menghilangkan rasa sakit

seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

reversible. Dalam bidang kedokteran, selain dipakai untuk mempermudah

tindakan operatif, anestesi umum juga dipakai untuk mempermudah tindakan

diagnostik maupun teurapeutik khususnya yang menimbulkan rasa nyeri. Teknik

anestesi umum dapat diberikan dengan cara anestesi umum intravena, anestesi

umum inhalasi, dan anestesi umum balance (kombinasi).8

1. Anestesi Umum dengan Intubasi

Anestesi umum dengan intubasi menggunakan laringoskopi untuk

memasukan ETT atau pipa jalan nafas langsung ke trakea tepat diatas karina

(percabangan bronkus). Intubasi digunakan juga TIVA dan maintenance

inhalasi. Ukuran ETT dipilih sesuai dengan umur dan berat badan pasien.
4+ n
Adapun rumus untuk menentukan ukuran ETT (n adalah umur dalam
4

tahun).9

Gambar 2.5. Laringoscopy12

Indikasi penggunaan ETT9 :

a. Pasien dengan resiko aspirasi.

b. Operasi daerah kepala dan leher.

c. Operasi lama dan dengan posisi yang ekstrim.

d. Ventilasi mekanis jangka lama, gagal nafas.

e. Anestesi umum dengan napas kontrol.

2.3.4 Pre Anestesi

2.3.4.1 Persiapan Diri

Persiapan dimulai dari amankan diri sebagai tenaga kesehatan dengan

selalu bekerja penuh kewaspadaan dan selalu meningkatkan ilmu anestesi,

menggunakan alat pelindung diri seperti memakai sarung tangan, masker, baju

khusus, alas kaki yang tertutup, selalu cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.8
2.3.4.2 Persiapan Pasien

Persiapan pasien terdiri dari8 :

1. Anamnesis

Dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan keluarga, meliputi :

a. Identifikasi pasien atau biodata.

b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang

mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ.

c. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang dapat menjadi

penyulit anestesi seperti alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronis

(asma bronkhial, pneumonia, dan bronkhitis) penyakit jantung (infark

miokard, angina fektoris, dan gagal jantung) hipertensi, penyakit hati

dan penyakit ginjal.

d. Riwayat obat – obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan

obat yang sedang digunakan yang dapat menimbulkan interaksi dengan

obat anestesi seperti kortikosteroid, antihipertensi, antidiabetik,

antibiotik, golongan aminoglikosida, digitalis, diuretika, obat antialergi,

trankuilizer (obat penenang) dan bronkhodilator.

e. Riwayat anestesi atau operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,

jenis pembedahan, anestesi, komplikasi, dan perawatan intensif

pascabedah.

f. Riwayat kebiasaan sehari – hari yang dapat mempengaruhi tindakan

anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, dan narkotik.


g. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,

penafasan, kardiovaskuler, ginjal, gastrointestinal, hematologi,

neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi, dan dermatologi.

h. Puasa merupakan salah satu cara untuk pengosongan isi lambung yang

berupa padat atau cair untuk mencegah terjadinya aspirasi selama

pasien teranestesi. Jika minum ASI pada bayi maka puasanya selama 4

jam, jika susu formula atau makanan ringan maka puasanya selama 6

jam, dan jika makanan berat terutama pada dewasa selama 8 jam.

1. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan status pasien, kesad aran, frekuensi nafas, tekanan darah,

nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi,

memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah

urin selama dan sesudah pembedahan.

b. Jalan nafas yang terdapat pada daerah kepala dan leher diperiksa untuk

mengetahui ukuran lidah, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ektensi

leher, ada atau tidaknya masalah buka mulut, dan massa. Serta teknik

mallampati modifikasi (MMT) dengan cara pasien duduk menghadap

anestesi dengan mulut terbuka lebar dan lidah terjulur, posisi ini

memungkinkan seluruh struktur di orofaring terlihat jelas. Sistem

penilainnya adalah :

1) Kelas I : Pilar tonsil, pallatum mole dan uvula terlihat


2) Kelas II : Pilar tonsil dan pallatum mole terlihat uvula tertutup oleh

pangkal lidah.

3) Kelas III: Hanya pallatum durum dan molle yang terlihat.

4) Kelas IV: Hanya pallatum durum yang terlihat.

Gambar 2.6. Klasifikasi Mallampati9

c. Jantung untuk mengevaluasi kondisi jantung.

d. Paru – paru untuk melihat adanya dispnea, ronkhi, wheezing.

e. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau

tanda regurgitasi.

f. Ekstermitas, terutama untuk melihat adanya sianosis, infeksi kulit.

g. Punggung bila ditemukan adanya deformitas, memar, dan infeksi.

h. Neurologis misalnya status mental, fungsi sensori dan motorik.

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Rutin

Pemeriksaan rutin ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk

operasi kecil dan sedang. Hal – hal ini yang diperiksa adalah darah
(hemoglobin, leukosit, eritorsit, trombosit, hematokrit, golongan darah,

masa pendarahan, dan masa pembekuan) urine (protein, sedimen,

kimiawi) foto dada (terutama untuk bedah mayor), elektrokardiografi

(untuk pasien berusia diatas 40 tahun).

b. Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan khusus ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan

untuk operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik

tertentu dengan indikasi tegas. Hal – hal yang diperiksa adalah

pemeriksaan laboratorium lengkap (fungsi hati, ginjal, analisa gas

darah, elektrolit, hematologi, dan faal hemostatis lengkap) sesuai

dengan indikasi.

1. Menentukan Prognosis Pasien Perioperatif

Berdasarkan hasil evaluasi prabedah diatas maka dapat ditentukan status

fisik pasien pra anestesi dalam American Society of Anesthesiologis (ASA)

mengklasifikasikan dalam 5 kelas yakni10 :

a. ASA 1

Pasien tidak memiliki kelainan sistemik selain penyakit yang akan

dioperasi.

b. ASA 2

Pasien yang memliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang

selain penyakit yang akan dioperasi, misalnya geriatri, pediatrik,

obesitas, sectio caesaria, pasien dengan diabetes mellitus yang

terkontrol atau hipertensi ringan.


c. ASA 3

Pasien memliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan

dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa, misalnya pasien dengan

diabetes mellitus yang tak terkonrol, asma bronkhial, hipertensi tak

terkontrol.

d. ASA 4

Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain

penyakit yang akan dioperasi, misalnya pasien dengan asma bronkhial

yang berat, koma diabetikum.

e. ASA 5

Pasien dengan kelainan sistemik berat yang sudah tidak mungkin

ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24

jam pasien akan meninggal, misalnya operasi pasien koma berat. Untuk

operasi darurat, dibelakang angka diberi huruf E (emergency) atau D

(darurat), misalnya: operasi appendiks diberi kode ASA 1 E.

2. Informed consent

Informed consent merupakan syarat untuk melakukan semua prosedur

medis dan bertujuan untuk melindungi hak pasien. Pembuatan Informed

consent dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni menilai kapasitas (pasien

harus dapat memahami informasi, mengingat informasi dan dapat

mengulangi kembali, menggunakan informasi untuk membuat keputusan,


mengutarakan keputusan yang dibuat), memberi informasi perihal rencana

anestesi dan pembedahan yang akan dilakukan dan dokumentasi.11

2.3.4.3 Persiapan Alat Anestesi

Peralatan anestesi adalah alat – alat anestesi yang dipergunakan untuk

menghantarkan oksigen dan obat anestesi inhalasi, mengontrol ventilasi, serta

memonitor fungsi peralatan tersebut. Persiapan alatnya disingkat dengan

STATICS yang terdiri Scope, Tube, Airway, Tape, Introducer, Connector,

Suction.11

2.3.4.4 Persiapan Obat Anestesi

Pemberian obat secara intravena paling sering dilakukan terutama untuk

induksi jika terpasang jalur vena, karena lebih cepat dan mudah dilakukan.

Dikerjakan dengan hati – hati, perlahan –lahan, serta terkendali. Dalam hal ini

persiapan obat anestesi umum meliputi8,11,12 :

1. Obat Anestesi Intravena

a. Obat Hipnotik Sedatif : Ketamin, Propofol, Benzodiazepin (Midazolam,

Diazepam), Barbiturat (Pentotal/Tiopenton).

b. Obat Analgetik Opioid : Fentanyl, Petidin, Morfin.

a. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

1) Golongan depolarisasi : Suksinilkholine

2) Golongan non depolarisasi : Atrakurium, Rokuronium, Pankuronium.

1. Obat Anestesi Inhalasi

Halotan, Isofluran, Enfluran, Desfluran, Sevofluran, Nitrous Oxide (N2O).

1. Obat – obat emergensi


a. Bronkodilator seperti aminophilin

b. Kortikosteroid seperti dexametasone, metilprednisolone

c. Obat blokade neuromuskular yaitu prostigmin.

d. Adrenalin seperti epinefrin dan Vasopressor seperti efedrine

e. Antikolinergik seperti sulfas atropine

2.3.4.5 Premedikasi

Premedikasi adalah tindakan awal anestesi dengan memberikan obat – obat

pendahuluan yang terdiri dari obat – obat golongan antikolinergik, sedatif, dan

analgetik, antiemetik, profilaksis aspirasi yang bertujuan untuk meringankan

kecemasan, sedasi, amnesia, analgesia, mengurangi sekresi jalan napas,

mencegah respon refleks otonom, menurunkan volume cairan lambung,

antiemetik, menurunkan kebutuhan obat anestesi, melancarkan induksi anestesi,

dan profilaksis dalam mengatasi reaksi alergi.8

Obat – obat yang digunakan diantaranya8 :

1. Antikolinergik : Sulfas atropin.

2. Sedatif : Diazepam, Midazolam.

3. Analgetik : Petidin, Fentanyl, Morfin.

4. Antiemetik : Ondansentron, Metokloropamid.

5. Profilaksis aspirasi : Ranitidin, Antasid.

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara intramuskular diberikan 30 –

45 menit sebelum induksi anestesi sedangkan intravena diberikan 5 – 10 menit

sebelum induksi.8
2.3.5 Monitoring

Tindakan pemantauan atau monitoring sangat vital dalam menjaga

keselamatan pasien, dan hal ini harus dilakukan secara terus menerus.

Pemantauan anestesi berarti memantau untuk mendapatkan informasi supaya

ahli anestesi dapat bekerja dengan aman, diantaranya8 :

1. Jalan Nafas

Keutuhan jalan nafas dengan intubasi endotrakea dipantau secara ketat

dan kontinyu.

2. Oksigenasi

Memeriksakan kadar oksigen gas inspirasi menggunakan alat pulse

oksimetri.

3. Ventilasi

Memantau kekuatan ventilasi secara diagnostik fisik yang dilakukan

secara kualitatif dengan mengawasi gerak naik turunnya dada, kembang

kempisnya kantong reservoir atau auskultasi suara nafas.

4. Sirkulasi

Mengukur tekanan darah secara non invasif mempergunakan tensimeter.

Selain itu secara invasif, EKG, disertai dengan oksimeter denyut. Produksi

urin ditampung dan diukur volumenya setiap jam serta mengukur tekanan

vena sentral dengan kanulasi vena sentral untuk menilai aliran darah balik

ke jantung.

5. Suhu Tubuh
Mempertahankan suhu tubuh jika diperkirakan akan atau terjadi

perubahan suhu tubuh, maka harus diukur pada daerah sentral tubuh melalui

esofagus, rektum dengan termometer khusus yang dihubungkan dengan alat

pantau yang mampu menayangkan secara kontinyu.

2.3.6 Perawatan Pasca Anestesi

Pasca anestesi merupakan periode kritis yang segera dimulai setelah

pembedahan dan anestesi diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesi.

Berdasarkan masalah – masalah yang akan dijumpai pasca anestesi/bedah,

pasien pasca anestesi/bedah dikelompokan menajdi 3 kelompok yaitu8 :

1. Kelompok I

Pasien yang mempunyai resiko tinggi gagal nafas dan goncangan

kardiovaskular pasca anestesia atau bedah, sehingga perlu napas kembali

pasca anestesia atau bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini

langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesi atau bedah tanpa

menunggu pemulihan di ruang pulih.

2. Kelompok II

Sebagian besar pasien pasca anestesi atau bedah termasuk dalam kelompok

ini. Tujuan perawatan pasca anestesi atau bedah adalah menjamin agar

pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya.

3. Kelompok III

Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasein pada

kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya adekuat tetapi harus bebas
dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan lemah otot, sehingga pasien bisa

kembali pulang.

Monitoring selama pasien berada di RR hingga pindah keruang perawatan

meliputi8 :

1. Kesadaran

Pemanjangan pemulihan kesadaran merupakan salah satu penyulit yang

sering dihadapi karena beberapa faktor. Misalnya gelisah dan berontak

penyebabnya bermacam – macam seperti nyeri yang hebat, pemakaian

ketamin, hipoksia, buli – buli penuh, stres yang berlebihan prabedah.

2. Respirasi

Parameter respirasi yang harus dinilai pasca anestesi adalah suara napas,

frekuensi nafas, irama nafas, volume tidal, kapasitas vital. Jika dijumpai

tanda – tanda insufisiensi respirasi, segera dicari penyebab untuk

memulihkan fungsinya. Misalnya sumbatan jalan napas karena lidah jatuh

kebelakang, benda asing, spasme bronkus atau depresi napas akibat efek sisa

opiat, hipokapnea, hipotermi, dan hipoperfusi.

3. Sirkulasi

Parameter hemodinamik yang harus diperhatikan yakni hipertensi karena

nyeri, hipoksia, hipercarbi, hipertensi yang diderita prabedah, kelebihan

cairan dan hipotensi yang disebabkan oleh perdarahan, defisit cairan,

dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.

4. Fungsi Ginjal dan Saluran Kencing


Harus diperhatikan produksi urin terutama pasien yang beresiko gagal

ginjal akut pasca bedah, hipovolemia, pada keadaan normal produksinya

adalah >0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa dan semakin meningkat pada

anak juga bayi.

5. Fungsi Saluran Cerna

Kemungkinan terjadi regurgitasi terutama pada kasus ini, diperlukan

penanganan jalan napas dengan cepat dan tepat. Jika pasien sadar saat

muntah makan posisikan miring dan bantu pasien mengeluarkan

muntahannya. Jika pasien masuk ICU atau belum pulih betul maka lakukan

suction posisikan kepala head down.

6. Aktifitas Motorik

Pemulihan aktifitas motorik berhubungan erat dengan fungsi respirasi

karena pelumpuh otot pasien mengalami hipoventilasi dan aktifitas motorik

yang lain belum kembali normal. Berikan oksigen 3 – 5 liter, revers dengan

sulfas atropin dan prostigmin pantau selama 15 menit.

7. Suhu tubuh

Hipotermi tidak bisa dihindari selama pembedahan berlangsung

dikarenakan suhu kamar operasi yang dingin, penggunaan desinfektan,

cairan infus dan tranfusi, cairan pencuci rongga – rongga pada daerah

operasi, kondisi pasien, penggunaan halotan.

8. Posisi
Posisi pasien perlu diperhatikan di RR untuk mencegah kemungkinan

sumbatan jalan nafas pada pasien yang belum sadar, tertindihnya satu

bagian anggota tubuh, terjadi dislokasi sendi – sendi anggota gerak.

9. Pemantauan Pasca Anestesi dan Kriteria Pengeluaran

Tabel 2.1. Aldrete Score8


Parameter Kriteria Skor
Kesadaran Bangun sadar penuh (menjawab pertanyaan) 2
Berespon bila dipanggil 1
Tidak berespon 0
Respirasi Mampu bernafas dalam dan batuk 2
Pernapasan terbatas (jalan napas aman) 1
Apnea (ada sumbatan jalan nafas) 0
Sirkulasi Perubahan TD ± 20% dari prabedah 2
Perubahan TD ± 20 - 50% dari prabedah 1
Perubahan TD ≥ 50% dari prabedah 0
Aktifitas Mampu menggerakan 4 ekstermitas 2
Mampu menggerakan 2 ekstermitas 1
Tidak mampu menggerakan ekstermitas 0
Oksigenasi SpO2 lebih 92% dengan udara kamar 2
SpO2 lebih 90% dengan oksigen 1
SpO2 kurang 90% dengan oksigen 0

Penilaian dilakukan pada saat masuk keruang pemulihan, setiap saat, dan

dicatat setiap 5 menit sampai tercapai nilai total 10 atau minimal lebih 8,

maka pasien boleh dipindahkan keruang perawatan.8

Anda mungkin juga menyukai