Anda di halaman 1dari 6

TINDAK PIDANA PERIKANAN

Pada awalnya, pengaturan perikanan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (“UU”) No. 9 th
1985 tentang Perikanan. Dan setelah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentnag
Hukum Laut Tahun 1982 dengan UU No. 18 th 1982 tentang Pengesahan United Nations Convention
on The law of The Sea 1982 (UNCLOS), maka Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak
untuk melakukan pemanfaatan, konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di Eksclusive
Economic Zone atau Zona Ekonomi Ekslusif (“ZEE”) Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Pada tanggal 6 Oktober 2004, UU No. 9 th 1985 tersebut diganti dengan UU No. 31 th 2004 tentang
Perikanan, karena sebagaimana yang dijelaskan dalam konsiderans UU NO. 31 th 2004 tentang
Perikanan, UU No. 9 th 1985 belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan
kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi
dalam rangka pengelolaa sumber daya ikan.

Kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, dan pengolahan, sampai
dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Bisnis perikanan tersebut
sering terjadi suatu tindak pidana perikanan.

Pengaturan mengenai tindak pidana perikanan terdapat pada Pasal 8 UU No. 31 th 2004 jo. UU No.
45 th 2009 tentang perikanan:

(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau yang dapat membahayakan kelestarian SDI dan
atau lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI);
(2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan Anak Buah Kapal (ABK)
yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan atau cara, dan atau bangun yang dapat merugikan dan/atau yang dapat
membahayakan kelestarian Sumber Daya Ikan (SDI) dan atau lingkungannya di WPP RI;
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan
perikanan, dan atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangun yang dapat merugikan dan/atau
yang dapat membahayakan kelestarian lingkungan.

Ada 2 kategori mengenai tindak pidana (Delik) di bidang perikanan, yaitu: kategori pelanggaran dan
kategori kejahatan (Pasal 103 UU Perikanan). Hakim yang akan mengadili pelanggaran di bidang
perikanan juga khusus, yaitu: hakim ad hoc yang terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim
karier. Pemeriksaan pengadilan dapat dilakukan secara in absentia.

Ancaman pidana terhadap tindak pidana perikanan terdapat 17 Pasal yang mengatur rumusan delik
perikanan dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 100. (UU No. 31 th 2004 jo. UU No. 45 th 2009).
Dengan keterangan sebagai berikut:

Pasal 84

Mengenai orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan

Independent Legal Auditor, Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M. |1
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 ( satu milyar dua ratus juta rupiah).

Pasal 85

Mengenai orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan
ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau
standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 86

1. Mengenai pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya


dengan ancaman dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
2. Mengenai pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah);
3. Mengenai pembudidayaan hasil ikan rekayasa genetika yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah);
4. Mengenai penggunaan obat-obatan dalam pembudidayaan sumber daya ikan dan.atau
kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 87

Mengenai perbuatan merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dengan
ancaman pidana maksimum 2 tahun penjara denda maksimum satu milyar rupiah.

Pasal 88

Mengenai setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan,


mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan,
sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau keluar wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 89

Mengenai setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak
memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan
mutu, dan keamanan hasil perikanan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
dan denda paling anyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Independent Legal Auditor, Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M. |2
Pasal 90

Mengenai setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan
dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi
sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana
dengan pidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).

Pasal 91

Mengenai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan,
bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan
dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun dan denda paling lama 6 tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

Pasal 92

Mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemersakan ikan, yang tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha
Perdagangan, dipidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

Pasal 93

1. Mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal perangkapikan


berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, dan tidak memiliki SIPI (Surat Izin
Penangkapan Ikan), dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);
2. Mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia yang tidak memiliki SIPI, dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);
3. Mengenai orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI,
dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah)

Pasal 94

Mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di
wilayah perikanan Republik Inodnesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang
terkait yang tidak memiliki SIKPI (Surat izin Kapal Pengangkut Ikan), dipidanan dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
milliar lima ratus juta rupiah)

Pasal 94A

Setiap orang yang memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)
Independent Legal Auditor, Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M. |3
Pasal 95

Mengenai orang yang membangun, mengimpir, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu, dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 96

Mengenai setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan diwilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dan tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 97

1. Mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang
tidak memiliki izin penangkapan ikan yan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan
republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka, dipidana
dengan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
2. Mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang
telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 jenis alat penangkapan ikan tertentu pada
bagian tertentu di ZEE yang membawa alat penangkapan ikan lainnya, dipidana dengan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
3. Mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan yang berbendera asing
yang telah memiliki izin penangkapan ikan yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan
di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp. 500.00.000,00 ( lima ratus juta rupiah).

Pasal 98

Mengenai nahkoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang
dikeluarkan oleh syahbandar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 99

Mengenai setiap orang yang melakukan penelitian perikanan diwilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 100

Mengenai setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan, dipidana dengan denda
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

Pasal 101

Mengenai dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat 1, Pasal 85,
Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 93, Pasal
95, Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan, dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga dari pidana yang dijatuhkan).

Independent Legal Auditor, Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M. |4
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, 85, 86. 88, 91, 92, 93, dan 94 adalah
kejahatan, sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, 89, 90, 96, 97. 98,
99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran. Dalam praktek pelaku tindak pidana dibidang perikanan
pada umumnya dikenakan Pasal 84 dan Pasal 85, terutama karena pelakunya adalah masyarakat
yang pekerjaannya sehari-hari adalah nelayan atau orang yang menangkap ikan dengan
menggunakan bahan peledak.

Sedangkan tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh kepala asing sebagian besar terjadi di ZEE
dan juga cukup banyak terjadi dip perairan kepulauan. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh kapal
Asing illegal di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl.

UU yang mempunyai relevansi dibidang perikanan adalah sebagai berikut:

a. UU No. 1 th 1973 tetang Landasan kontinen


b. UU No. 5 th 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
c. UU No. 31 th 2004 tentang Perikanan.

HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN

Hukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan XIV. Pengadilan Perikanan baru
terbentuk dibeberapa daerah saja di Indonesia. Dalam hal terjadinya tindak pidana di bidang
perikanan itu diperiksa, diadilim dan diputus oleh pengadilan yang berwenang. Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana dibidang perikanan
yang diperiksa, diadili, dan di putus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara
yang diatur dalam UU Perikanan.

Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri
Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi
di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh
pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106 UU Perikanan). Ketentuan demikian menjadikan
adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan
perikanan.

Dengan demikian, meskipun disuatu daerah hukum suatu pengadilan belum ada pengadilan perikanan
maka perkara-perkara tindak pidana dibidang perikanan akan diperiksa dan diadili oleh Pengadilan
Negeri dimana tindak pidana bidang perikanan itu terjadi. Karena UU Tindak Pidana Perikanan tetap
tunduk pada ketentuan UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Pasal 108 UU Perikanan menyatakan bahwa pada saat UU ini mulai berlaku:
a. Perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi didaerah hukum Pengadilan Perikanan
yang masih dalam tahap Penyidikan atau Penunutan tetap diberlakukan hukum acara yang
berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini;
b. Perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi didaerah hukum Pengadilan Perikanan
yang sudah diperiksa tetapi belum diputus oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan sesuai
dengan hukum acara yang berlkau sebelum berlakunya undang-undang ini, dan
c. Perkara tindak pidana dibidang perikanan yang terletak di daerah hukum Pengadilan Perikanan
yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri tetapi belum mulai diperiksa dilimpahkan
kepada Pengadilan Perikanan yang berwenang.

Independent Legal Auditor, Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M. |5
Apabila perkara Tindak Pidana Perikanan telah diterima oleh Panitera Muda Pidana dalam hal ini,
subkepaniteraan Pengadilan Perikanan, perkara tersebut telah diberi nomor dan dicatat dalam register
perkara kemudian diserahkan kepada Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri untuk dilengkapi dengan
blanko penunjukkan Majelis Hakim, kemudian berkas tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri Perikanan untuk menunjuk Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut,
selanjutnya perkara tersebut diserahkan kepada Panitera/Sekretaris untuk menunjuk Panitera
Pengganti yang sudah pernah mengikuti penataran sertifikasi Panitera Pengganti Perikanan untuk
mendampingi Majelis Hakim.

Selanjutnya, berkas tersebut diserahkan kepada Majelis Hakim untuk menetapkan hari sidang dengan
perintah kepada panitera pengganti supaya memberitahukan tanggal hari sidang tersebut kepada
Penuntut Umum, supaya Penuntut Umum menghadirkan Terdakwa beserta barang bukti pada hari
sidang yang telah ditentukan. Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa
pelaku tindak pidana perikanan berwenang melakukan penahanan paling lama 20hari dan apabila
persidangan belum selesai penahanan tersebut dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan
Negeri/Perikanan paling lama 10 hari, sehingga apabila waktu 30hari telah berakhir Terdakwa harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum walaupun perkaranya belum diputus oleh Majelis Hakim (Pasal
80 ayat 1 dan 81 ayat 1,2,3 UU No. 31 th 2004). Pada umumnya persidangan tindak pidana dilakukan
dengan hadirnya Terdakwa, namun dalam Tindak Pidana Perikanan pemeriksaan di sidang Pengadilan
dapat dilaksanakan tanpa kehadiran Terdakwa (Pasal 79 dan Pasal 80 ayat 2 UU No. 31 th 2004).

Penyidik tindak pidana dibidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Akan tetapi UU Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai
penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 th 1983 tentang ZEE Indonesia, sehingga terhadap tindak pidana
dengan locus delicty di ZEE Indonesia maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly,
kewenangan melakukan penyelidikan di ZEE Indonesia hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL.

Demikianlah ulasan kami tentang Hukum Perikanan, untuk bahan pencerahan bagi para penegak
hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia. Semoga bermanfaat dan dipergunakan dengan
sebaik-baiknya.

Jakarta, 15 November 2016

Independent Legal Auditor

Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M Kenichiro Tufarely, S.H., LL.M., C.L.A

Independent Legal Auditor, Dr. Robintan Sulaiman, S.H., M.H., M.A., M.M. |6

Anda mungkin juga menyukai