Anda di halaman 1dari 11

Nama :Dewi Fitria Rahmi

Nim :20190023

Lokal :ARS 2 A BP 20

Tugas :AIK

1.Uraikan ta’ziyah,wasiat dan utang beserta dalil

Jawaban:

Takziyah

Pengertian Takziyah
Secara bahasa arti kata takziyah adalah bentuk mashdar dari azza-yu’azzi yang
artinya menyabarkan, menghibur dan menawarkan kesedihannya serta
memerintahkannya (menganjurkan) untuk bersabar. Dalam arti berduka cita atau
berbela sungkawa atas musibah yang menimpa. Dalam konteks muamalah
Islam, takziyah adalah mendatangi keluarga orang yang meninggal dunia dengan
maksud menyabarkannya dengan ungkapan-ungkapan yang dapat menenangkan
perasaan dan menghilangkan kesedihan. Takziah dapat dilakukan sebelum dan
sesudah jenazah dikuburkan hingga selam tiga hari. Namun demikian, takziah
diutamakan dilakukan sebelum jenazah dikuburkan.

Tujuan takziah adalah menghibur keluarga yang ditinggal agar tidak meratapi


kematian dan musibah yang diterimanya. Apabila jika tidak dihibur maka keluarga
almarhum bisa menangis dan susah. Keadaan demikian, menurut satu riwayat, akan
memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap almarhum/almarhumah. Takziah juga
merupakan maukizah (nasihat) bagi pelaku takziah agar mengingat kematian dan
bersiap-siap mencari bekal hidup di akhirat karena maut datang tanpa memandang
umur dan waktu. Kedatangannya tak dapat ditunda atau diajukan.

Takziyah merupakan suatu perbuatan yang terpuji, sebab orang yang telah ditinggal
mati dalam keadaan sedih, maka kita sebaiknya datang untuk menghibur dan
memberikan nasehat untuk memberikan kekuatan mental agar keluarga yang dtitinggal
tetap tabah dalam menerima ujian. Firman Allah QS. Al Baqarah : 156-157:

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raajiu'un (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepadaNya-
lah Kami kembali).
157. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan
mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dasar Hukum Perintah Takziyah


Hukum takziah disunahkan (mustahabb) sekalipun kepada seorang zimmi (non muslim
yang tidak memerangi). Menurut Imam Nawawi, Imam Hambali, Imam Sufyan As-Sauri,
takziah disunahkan sebelum jenazah dikubur dan hari sesudahnya. Imam Hanafi
berpendapat takziah disunahkan sebelum jenazah dikuburkan.

Orang yang melakukan takziyah adalah mereka yang mampu merasakan kesedihan
atau duka yang dialami saudaranya. Hal ini jelas termasuk dalam kategori amar makruf
nahi munkar yang merupakan salah satu fundamen ajaran Islam. Lebih dari itu,
takziyah adalah aplikasi dari sikap saling menolong dan bekerja sama dalam kebaikan
dan ketakwaan. Allah SWT berfirman,

Dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan. (QS Al-
Maidah:2)

Dalam pandangan Rasulullah SAW, takziyah mempunyai nilai dan keutamaan tinggi
bagi yang melakukannya. Beliau bersabda:

Tidaklah seorang Mukmin yang melakukan takziyah atas musibah yang menimpa
saudaranya, kecuali Allah akan memakaikan untuknya permata kemuliaan pada hari
kiamat. (HR Ibnu Majah).

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadis dari Abdullah Ibnu
Jakfar ra, dimana dia berkata:

Ketika berita kematian Ja’far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah saw bersabda:
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang sesuatu yang
menyusahkan mereka. (HR. Imam Lima kecuali Nasa’i).

Imam Ash-Shankani dalam kitab Subulussalam menjelaskan hadis di atas sebagai


berikut : Hadis ini dalil yang menunjukkan bahwa keharusan mengasihani dan
menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian dengan memasakkan makanan
baginya, karena mereka sibuk mengurusi kematian itu.
Adab Takziyah
1. Menghibur yang kena musibah
Menghibur keluarga mayit dengan menganjurkan supaya mereka bersabar terhadap
taqdir Allah dan mengharapkan pahala dari Allah, sebagaimana sabda Nabi SAW:

Sesungguhnya milik Allah untuk mengambilnya dan milikNya untuk diberikan, dan
segala sesuatu disisi-Nya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya. Maka,
hendaknya engkau sabar dan ihtisab. (HR Bukhari).

2. Bersikap sopan dan berbicara dengan santun


a. Dalam bercakap-cakap, janganlah mengeluarkan pembicaraan yang dapat
menambah kesusahan bagi ahli waris si mayyit.
b. Batasilah percakapan sewaktu bertakziyah dengan patut dan jangan sekali kali
bersendau gurau dengan mengeluarkan ketawa yang terbahak bahak.
c. Hindarilah perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan suasana berkabung,
seperti permainan kartu (judi), dan lain lain.

3. Mengikuti penyelenggaraan jenazah


a. Ikutilah upacara menyalati mayyit.
b. Sempurnakanlah dengan mengantarkan jenazah hingga sampai ke makam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa
melayat jenazah muslim karena iman dan ikhlas, ia menyertainya hingga shalat jenazah
dan menyelenggarakan pemakamannya, maka dia membawa pahala dua qirath, satu
qirath semisal bukit uhud. Dan barangsiapa ikut shalat jenazah kemudian pulang
sebelum jenazah itu dimakamkan, maka ia membawa pulang pahala satu qirath. (HR.
Bukhari)

4. Dilakukan kepada siapa saja yang kena musibah


Takziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik
orangtua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada
orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena
ditimpa musibah tersebut.
5. Disunnahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit
Sepatutnya orang yang sedang tertimpa kesusahan tidak patut diberi beban, tetapi
tetangga atau keluarga yang lain yang seharusnya mengirim makanan yang sudah
masak untuk keluarganya yang sedang susah. Dengan membantu membuat makanan
karena mereka sibuk dengan musibah yang menimpanya. Dan keluarga mayit tidak
dibenarkan membuat makanan untuk orang yang datang, jika akan menambah beban
musibah mereka karena menyerupai perbuatan orang jahiliyah.

Nilai Positif Takziyah


1. Orang yang melakukan takziyah adalah mereka yang mampu merasakan
kesedihan atau duka yang dialami saudaranya.
2. Dengan sering melakukan takziyah, seseorang terdorong untuk bermuhasabah
(introspeksi) atas semua aktivitas yang telah dilakukannya sehingga tumbuh keyakinan
akan datangnya kematian.
3. Meringankan beban musibah yang diderita tuan rumah.
4. Memotivasinya untuk terus bersabar dan berharap pahala dari Allah.
5. Memotivasi untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah, dan
menyerahkannya kepada Allah.
6. Mendoakannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang
lebih baik.
7. Melarangnya dari berbuat nihayah (meratap), memukul, atau merobek pakaian,
dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
8. Mendoakan mayit dengan kebaikan.

Wasiat

Pengertian Wasiat

Kata wasiat ( ‫الوصية‬ ) diambil dari ‫أصيه‬,‫وصيت الشيئ‬  artinya : ‫أوص لت‬ (aku menyampaikan


sesuatu). Maka orang yang berwasiat disebut al-Muushii. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan yang
seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti menetapkan, sebagaimana dalam
surat al-An'am : 144‫)أم كنتم شهداء إذ وصاكم هللا‬ ), memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman:
14,  (‫)ووص ينا اإلنس ان بولديه‬ dan Maryam: 31 ‫)وأوص انى بالص الة‬ , mensyari'atkan
(menetapkan) sebagaimana dalam surat An-Nisa' ayat 12 (‫)وصية من هللا‬.[1]

Berdasarkan kata-kata di atas dapat dipahami bahwa kata wasiat mengandung makna


perintah yang harus dijalankan oleh pihak lain.

Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela


yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa
barang, piutang atau manfaat.[2]
Dari pengertian-pengertian wasiat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
sebenarnya wasiat ialah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya
diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu lembaga, yang
harus dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal dunia yang jumlahnya tidak
lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkannya.

Syarat, Rukun, dan Hukum Wasiat

a. Syarat-Syarat Wasiat

Syarat-syarat wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah sebagai berikut[3]:
1. Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan dewasa, sebab non-Muslim dikhawatirkan
menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk diurusi; menunaikan hak, atau
mengurusi anak-anak kecil.
2. Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, dan
memiliki apa yang diwasiatkan.
3. Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Jadi, berwasiat
pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan. Contohnya, seseorang mewasiatkan
uangnya untuk disumbangkan ke gereja, atau ke bid'ah yang makruh, atau ke tempat hiburan,
atau ke kemaksiatan.
4.    Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat tidak sah,
kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.

Sedangkan syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi
disebutkan sebagai berikut:
1. orang ang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu diikrarkan;
2. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia;
3. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat dengan cara
pembunuhan; dan
4. bukan ahli waris pemberi wasiat.

b. Rukun Wasiat

Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:


1. redaksi wasiat (shighat),
2. pemberi wasiat (mushiy),
3. penerima wasiat (mushan lahu),
4. barang yang diwasiatkan (mushan bihi).

1. Redaksi Wasiat (shighat)

Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi
bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela
sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang anu untuk si
Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai
tambahan (qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan,
“Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti
diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan
maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.

2. Pemberi Wasiat (mushiy)

Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila,
balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz),
sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang
yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan
orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa
yang mereka wasiatkan.[4]
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang
berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan,
dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu
harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang
boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undangundang, jadi berbeda
dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih tradisional.

3. Penerima Wasiat (mushan lahu)

Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.
Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim, sesuai
dengan firman Allah:

Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah: 8)

Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir
dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’,
bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.

4. Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi)

Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan
kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa
dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras,
jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika
pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di
kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.
Hukum Wasiat
Wasiat disyari'atkan dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Allah SWT berfirman:

Artinya:
" Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian,
sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kalian." (Al-Maidah: 106).

‫ُوص ينَ بِهَ ا َأوْ َد ْي ٍن َولَه َُّن‬


ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫ك َأ ْز َوا ُج ُك ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّه َُّن َولَ ٌد فَِإن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ِمن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر‬
‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَا َأوْ َد ْي ٍن‬ ِ ‫الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّ ُك ْم َولَ ٌد فَِإن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُم ِّمن بَ ْع ِد َو‬

Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
sterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)

ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواأل ْق َربِينَ بِ ْال َم ْعر‬


‫ُوف‬ ِ ‫ك َخ ْيرًا ْال َو‬ ُ ْ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت ِإن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Melihat dari tekstualitas ayat di atas, kita dapat menarik kesimpuan bahwa
wasiat tersebut wajib hukumnya bagi mayit yang berharta banyak, dan wasiat
tersebut bagi kedua orang tua dan karib kerabat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan-menafsirkan ayat di atas- bahwa wasiat
itu hukumnya wajib menurut dua pendapat.[5] Begitupula ath-Thabari dalam tafsirnya
mengatakan juga-menafsirkan ayat di atas-bahwa wasiat itu adalah wajib hukumnya.
[6]

Sebagian ulama lainnya juga berpendapat bahwa wasiat adalah sebuah


kewajiban berdasarkan ayat 180 surat al-Baqarah.

Utang
1.Pengertian Hutang Piutang.

Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian


bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jangka waktu yang
disepakati. Utang piutang disebut dengan “dain” (‫)دين‬. Istilah “dain” (‫ )دين‬ini juga sangat
terkait dengan istilah “qard” (‫رض‬GG‫ )ق‬yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
pinjaman.

2.Hukum dan Dalil Utang Piutang.

Hukum memberi utang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan kondisi, yaitu:

a.Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang
memberikan hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang menolong
sesamanya.

b.Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan hukum orang yang menghutangi
menjadi wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang
beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain
sebagainya, maka Rasulullah saw bersabda : ‫ص َد َق ِت َها‬ َ ‫ْن ِإالَّ َك‬
َ ‫ان َك‬ ِ ‫ضا مَرَّ َتي‬
ً ْ‫َما مِنْ مُسْ ل ٍِم يُضْ ِرضُ مُسْ لِمًا َقر‬
‫مَرَّ ًة (رواه ابن ماجه‬  Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada
seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya dua kali".
(HR. Ibnu Majah)

c.Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal
yang dilarang dalam ajaran Islam seperti untuk membeli minuman keras, menyewa
pelacur dan sebagainya. Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat pada
ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah
ayat 2 yang berbunyi : …ِ‫اب‬GG‫دِي ُد ْال ِع َق‬G‫وا هَّللا َ ِإنَّ هَّللا َ َش‬GGُ‫ان َوا َّتق‬ ِ ‫واَل َت َع َاو ُنوا َعلَى اِإْل ْث ِم َو ْالع ُْد َو‬ َ “…Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. al-Maidah : 2) Dalam hutang
piutang dilarang memberikan syarat dalam mengembalikan hutang.  Contoh : Fatimah
menghutangi Ahmad Rp. 100.000,- dalam waktu 3 bulan Ahmad harus mengembalikan
hutangnya menjadi Rp.110.000,-. Tambahan ini termasuk riba (tidak halal). Tetapi jika
tambahan ini tidak disyaratkan waktu aqad tetapi sukarela dari peminjam sebagai
bentuk terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan. Anda belum
mahir membaca Qur'an? Ingin Segera Bisa? Klik disini Sekarang! Rasulullah bersabda :
‫ا ًء‬G‫ض‬ ِ ‫ا ُر ُك ْم اَ َح‬GG‫ا َل ِخ َي‬GG‫ َّن ِة َو َق‬G‫رً ا مِنْ ُس‬GG‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم سِ ًنا َفاَعْ َطى سِ ًنا َخ ْي‬
َ ‫ ُن ُك ْم َق‬G‫اس‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ض َرس ُْو ُل‬ َ ‫ اِسْ َت ْق َر‬: ‫َعنْ اَ ِبي ه َُري َْر َة َقا َل‬
‫ ﻮﺼﺤﺤﻪ‬G‫ ﻮﺍﻠﺘﺭﻤﻴﻧﻯ‬G‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﺤﻤﺪ‬Artinya :“Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah SAW telah
berhutang binatang ternak, kemudian Beliau membayar dengan binatang yang lebih
besar umurnya dari binatang yang Beliau pinjam itu, dan Rasulullah bersabda : Orang
yang paling baik di antara kamu adalah orang yang dapat membayar hutangnya
dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad At-Turmudzi dan telah menshohehkannya).
3. Beberapa Ketentuan dalam Hutang Piutang.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaan antar warga. Salah satu
penyebabnya adalah kurangnya pemahaman merekatentang ketentuan utang piutang
yang seharusnya. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua
belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan. Dalilnya firman Allah Swt : ‫ِين‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
‫د ِل‬G ْ G‫ ًّمى َف‬G ‫ ٍل م َُس‬G‫ْن ِإلَى َأ َج‬
ْ G‫ا ِتبٌ ِب ْال َع‬GG‫اك ُتبُوهُ َو ْل َي ْك ُتبْ َب ْي َن ُك ْم َك‬G Gٍ ‫ َدي‬G ‫ دَا َي ْن ُت ْم ِب‬G‫وا ِإ َذا َت‬GG‫آ َم ُن‬  Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”. (QS. Al-Baqarah: 282)

b.Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari
orang yang berhutang. Kaidah fikih berbunyi: ‫ض َجرَّ َن ْف ًعا َفه َُو ِربًا‬
ٍ ْ‫ ُك ُّل َقر‬Artinya: “Setiap hutang
yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.  Hal ini terjadi jika salah satunya
mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

c.Melunasi hutang dengan cara yang baik. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini: ‫َعنْ َأ ِبى‬
‫لى هللا‬GG‫اضاهُ َف َقا َل – ص‬ َ ‫ان ل َِرج ٍُل َعلَى ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – سِ نٌّ م َِن اِإل ِب ِل َف َجا َءهُ َي َت َق‬ َ ‫ه َُري َْر َة – رضى هللا عنه – َقا َل َك‬
َ ‫ َو َّفى هَّللا ُ ِب‬، ‫ا َل َأ ْو َف ْي َتنِى‬G‫ َف َق‬. » ُ‫وه‬GG‫ط‬
‫ا َل‬G‫ َق‬. ‫ك‬G ُ ْ‫ا َل « َأع‬G‫ َف َق‬. ‫ا‬G‫ َفلَ ْم َي ِج ُدوا لَ ُه ِإالَّ سِ ًّنا َف ْو َق َه‬، ‫ َف َطلَبُوا سِ َّن ُه‬. » ُ‫طوه‬
ُ ْ‫عليه وسلم – « َأع‬
َ ‫ ُن ُك ْم َق‬G‫ار ُك ْم َأحْ َس‬G
‫ا ًء‬G‫ض‬ َ ‫ » ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – « ِإنَّ ِخ َي‬Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi
mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang
itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian
mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan
kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia
pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt.
membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah
orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari)

d.Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya – ِّ‫َعنْ َأ ِبى ه َُري َْر َة – رضى هللا عنه – َع ِن ال َّن ِبى‬
ُ ‫ ُه هَّللا‬G‫ َو َمنْ َأ َخ َذ ي ُِري ُد ِإ ْتالَ َف َها َأ ْتلَ َف‬، ‫اس ي ُِري ُد َأدَا َء َها َأدَّى هَّللا ُ َع ْن ُه‬
ِ ‫ » صلى هللا عليه وسلم – َقا َل « َمنْ َأ َخ َذ َأ ْم َوا َل ال َّن‬Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil
harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya),
maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk
menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya”.
(HR. Bukhari)

e.Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak. Maksudnya kondisi
yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan
sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada
kematian, atau semisalnya.
f.Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang
berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Karena hal ini
termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri
atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah
hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan
perpecahan.

g. Bersegera melunasi hutang. Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi


hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk
mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan
hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
Sebagaimana hadits berikut: « ‫َعنْ َأ ِبى ه َُري َْر َة – رضى هللا عنه – َأنَّ َرسُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َقا َل‬
َ ‫ِإ َذا ُأ ْت ِب‬G‫ َف‬، ‫ظ ْل ٌم‬
ْ‫ع‬G‫ ُد ُك ْم َعلَى َملِىٍّ َف ْل َي ْت َب‬G‫ع َأ َح‬G ُ ِّ‫ ُل ْال َغنِى‬G‫ » َم ْط‬Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”.
(HR. Bukhari Muslim).  h. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang
kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. Allah Swt. berfirman: ‫ان ُذو‬ َ ‫َوِإنْ َك‬
َ ‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر َل ُك ْم ِإنْ ُك ْن ُت ْم َتعْ لَم‬
‫ُون‬ ‫َأ‬
َ ‫ْس َر ٍة َو نْ َت‬ َ ‫عُسْ َر ٍة َف َنظِ َرةٌ ِإلَى َمي‬  Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang
itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

2.Jelaskan hubungan ketiganya dengan kematian

Jawaban:

Hubungan takziyah dengan kematian

Takziyah berasal dari kata ‫يُ َع ِّز‬-‫ َع َّزى‬yang artinya menyabarkan, menghibur dan
memberi penawar kesedihannya serta menganjurkannya untuk bersabar. Oleh karena
itu, pelaksanaan takziyah mempunyai tujuan untuk menghibur keluarga yang
ditinggalkan agar tidak meratapi kematian dan musibah yang diterimanya. Pelaksanaan
takziyah sendiri dapat dilakukan sebelum atau sesudah mayit dikuburkan selama tiga
hari, namun lebih diutamakan sebelum mayit dikuburkan. Sedangkan kematian atau
ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua
makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami
seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah
kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.Jadi hubungan takziyah
dengan kematian adalah untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan agar tidak
meratapi kematian dan musibah yang diterimanya serta orang yang sering melakukan
takziyah, akan terdorong untuk intropeksi diri karena mengingat kematian.

Hubungan wasiat dengan kematian

Wasiat ialah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya


diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu lembaga, yang harus
dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal dunia yang jumlahnya tidak lebih dari
sepertiga dari harta yang ditinggalkannya. Sedangkan kematian atau ajal adalah akhir dari
kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada
akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit
atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan.Jadi hubungan wasiat dengan
kematian adalah jika seseorang yang meninggal dunia pasti meninggalkan wasiat
untuk diberikan kepada keluarganya atau orang yang bersangkutan dan diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat islam.

Hubungan utang dengan kematian

Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian


bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jangka waktu yang
disepakati. Utang piutang disebut dengan “dain” (‫)دين‬. Istilah “dain” (‫ )دين‬ini juga sangat
terkait dengan istilah “qard” (‫رض‬GG‫ )ق‬yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
pinjaman. Sedangkan kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa
dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak
alami seperti kecelakaan.Jadi hubungan utang dengan kematian adalah jika orang yang
meninggal dunia meninggalkan utang maka pihak ahli waris berkewajiban untuk
melunasi utang orang yang meninggal dunia dari peninggalan orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai