Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cara penilaian guru terhadap unjuk kerja siswa memberi kontribusi
besar dalam meningkatkan prestasi siswa. Brown mengatakan bahwa salah
satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan siswa
adalah melakukan penilaian langsung dengan memperhatikan berbagai
kriteria penilaian dan yang terpenting adalah sistem penilaian yang digunakan
itu valid dan terpercaya. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19
tentang Standar Pendidikan Nasional ini berdampak terhadap sistem
penilaian, termasuk bentuk dan teknik penilaian yang dilakukan guru di dalam
kelas.
Penilaian kelas merupakan penilaian internal yang dilakukan guru
untuk menilai kompetensi siswa. Penilaian kompetensi siswa secara umum
dapat dilakukan melalui tes dan nontes. Biasanya penilaian dilakukan dalam
bentuk ujian berupa tes. Tes cenderung digunakan untuk mengukur
kompetensi pada ranah kognitif dan jawabannya bersifat mutlak, misalnya tes
tertulis dalam bentuk pilihan ganda, pertanyaan benar atau salah, jawaban
singkat dan menjodohkan. Dengan kata lain, tes berisi pertanyaan yang harus
dijawab siswa dengan jawaban yang telah tersedia.
Berubahnya kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013 menuntut guru-
guru untuk menggunakan asesmen otentik dalam mengukur kompetensi
siswanya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58
Tahun 2014 tentang Penilaian hasil belajar oleh pendidik pada Pendidikan
Dasar danPendidikan Menengah menyatakan bahwa pelaksanaan kurikulum
2013 mensyaratkan penggunaan penilaian otentik.
Menurut Arends penilaian otentik menekankan pada pentingnya
penerapan keterampilan dan kemampuan dalam menyelesaikan tugas pada
situasi nyata. Penilaian otentik merupakan penilaian langsung dan ukuran
langsung. Penilaian otentik lebih sering dinyatakan sebagai penilaian dimana
siswa diminta untuk menunjukkan tugas “dunia nyata“ dalam rangka

1
mendemonstrasikan penerapan yang bermakna dari pengetahuan dan
keterampilan.
Menurut Mueller Ketika melakukan penilaian, banyak kegiatan yang
akan lebih jelas apabila dinilai langsung. Rubrik dirancang sebagai bentuk
dari pedoman penskoran yang terdiri atas kriteria dari masing-masing
kompetensi yang ingin dinilai, sehingga penilaian yang diberikan lebih
objektif dan akurat. Penilaian dengan suatu rubrik dianggap reliable bila hasil
pekerjaan siswa dinilai oleh beberapa orang guru yang berbeda.
Sedangkan bagi siswa penggunaan rubrik penskoran diharapkan dapat
menumbuhkan evaluasi diri dalam menilai apakah bila hasil pekerjaan siswa
dinilai oleh beberapa orang guru yang berbeda. Sedangkan bagi siswa dengan
menggunakan rubrik penskoran diharap-kan dapat menumbuhkan evaluasi
diri dalam menilai apakah soal yang diberikan guru dapat diselesaikan dengan
baik atau tidak, Hal ini dimaksudkan agar penilaian yang dilakukan guru
terhadap hasil ulangan siswa dapat dilakukan secara lebih objektif,
akurat,serta dapat dipertanggungjawabkan.

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rubrik Penilaian Asesmen Otentik
Pada awalnya istilah tersebut diperkenalkan oleh Wiggins tahun 1990
untuk menyesuaikan dengan yang biasa dilakukan oleh orang dewasa sebagai
reaksi (menentang) penilaian berbasis sekolah seperti mengisi titik-titik, tes
tertulis, pilihan ganda, kuis jawaban singkat. Jadi dikatakan otentik dalam arti
sesungguhnya dan realistis. Apabila kita melihat di tempat kerja, orang-orang
tidak diberikan tes pilihan ganda untuk menguji bisa tidaknya mereka melakukan
pekerjaan tersebut. Mereka mempunyai performansi, kinerja atau unjuk kerja.
Dalam bisnis dikatakan performance assessment.
Penilaian otentik merupakan suatu bentuk penilaian yang para siswanya
diminta untuk menampilkan tugas pada situasi yang sesungguhnya yang
mendemonstrasikan penerapan keterampilan dan pengetahuan esensial yang
bermakna. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins (1987),
bahkan Stiggins menekankan keterampilan dan kompetensi spesifik, untuk
menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai.1
Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang
perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik
melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau
menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar
dikuasai.2
Menurut penulis proses penilaian (asesmen) terutama penilaian kinerja
menjadi fokus utama penilaian. Sebagian besar guru kadang tidak tertarik
menggunakan penilaian otentik atau penilaian berbasis kinerja. Pada umumnya
mereka berpendapat bahwa melakukan penilaian otentik itu membuang waktu
dan energi serta terlalu mahal. Apalagi penilaian otentik perlu kita rancang
dengan baik. Pendapat tersebut tentunya tidak benar. Menilai kinerja dengan tes
1
Yunus Abidin, Desain Sistem Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum 2013, (Bandung :
PT reneka Adiatama, 2014), hlm. 77.
2
Endang, Poerwanti . Evaluasi Pembelajaran, (Modul Akta Mengajar. UMM Press, 2001).
hlm. 91

3
tertulis tentu tidak valid, karena tidak mengukur apa yang ingin kita nilai. Kinerja
perlu dinilai pada saat kegiatannya sedang berlangsung.Kalau penilaian kinerja
kita lakukan terhadap sejumlah siswa dan tidak di rancang dulu atau di lakukan
asal-asalan, tentu hasilnya tidak dapat kita pertanggung-jawabkan karena tidak
konsisten.Dengan demikian, kita mungkin berlaku tidak adil terhadap sejumlah
siswa dalam menilai kinerja mereka.

B. Langkah-langkah Menciptakan Penilaian Otentik


Menurut Rustaman, Y Nuryani, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
menghasilkan dapat melaksanakan penilaian otentik secara tepat dan benar perlu
di perhatikan beberapa langkah seperti berikut:
1. Mengidentifikasi standar seperti tujuan umum (goal)
Standar merupakan pernyataan yang harus diketahui dan dapat
dilakukan siswa, tetapi ruang lingkupnya lebih sempit dan lebih mudah
dicapai dari pada tujuan umum. Biasanya standar merupakan satu pernyataan
singkat yang harus diketahui atau mampu dilakukan siswa pada poin tertentu.
Agar operasional, rumusan standar hendaknya dapat diobservasi dan dapat
diukur.3
Contoh: siswa mampu menjumlah dua digit angka dengan benar,
menjelaskan proses fotosintesis, mengidentifikasi sebab dan akibat perang
mikroba, menggunakan pinhole camera untuk menciptakan “kertas” positif
dan “kertas” negatif. Jadi, standar harus ditulis dengan jelas, operasional, tidak
ambigu dan tidak rancu, tidak terlalu luas atau terlalu sempit, mengarahkan
pembelajaran dan melakukan penilaian.
2. Memilih suatu tugas otentik
Dalam memilih tugas otentik, pertama-tama kita perlu mengkaji
standar yang kita buat, dan mengkaji kenyataan (dunia) sesungguhnya.
Misalnya dari pada meminta siswa menyelesaikan soal pecahan, lebih baik
3
Balitbang Depdiknas. Panduan Penilaian Berbasis Kelas.( Jakarta: Depdiknas, 2006), hlm.
132

4
kita siapkan tugas memecahkan masalah pembagian martabak untuk suatu
keluarga beranak tujuh agar setiap anggota keluarga mempunyai bagian yang
sama.
3. Mengidentifikasi Kriteria untuk tugas (tasks)
Kriteria tidak lain adalah indikator-indikator dari kinerja yang baik
pada sebuah tugas. Apabila terdapat sejumlah indikator, sebaiknya
diperhatikan apakah indikator-indikator tersebut sekuensial (memerlukan
urutan) atau tidak.4
a. Contoh-contoh kriteria
Contoh sejumlah indikator dalam urutan (mengamat dengan mikroskop):
1) Mengatur pencahayaan melalui penggunaan cermin.
2) Menempatkan obyek di atas lubang pada meja mikroskop.
3) Mengatur posisi lensa obyektif (perbesaran rendah) tepat di atas
lubang dengan obyek tersebut dengan jarak kira-kira setengah
sentimeter di atasnya.
4) Menempatkan salah satu mata (dengan kedua mata terbuka) pada
lensa okuler sambil memutar pengatur kasar ke belakang.
5) Mengatur penempatan obyek sambil tetap melihat di bawah
mikroskop.
6) Memutar revolver yang merupakan tempat melekatnya lensa obyektif
sehingga lensa obyek berukuran lebih tinggi tepat di atas obyek yang
sedang diamati.
7) Memutar pengatur halus perlahan-lahan dengan mata tetap mengamati
melalui lensa okuler.
8) Memperlihatkan obyek yang sudah ditemukan (atau menggambar
obyek yang ditemukan). Contoh sejumlah indikator tidak dalam
ururtan (dalam matematika).
9) ketepatan kalkulasi.

4
Depdiknas. Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar. ( Jakarta: Depdiknas, 2004), hlm. 207

5
10) ketepatan pengukuran pada model skala.
11) label-label pada model skala.
12) organisasi kalkulus.
13) kerapihan menggambar.
14) kejelasan keterangan/eksplanasi.
b. Karakteristik suatu kriteria yang baik
Kriteria yang baik antara lain adalah sebagai berikut.
1) dinyatakan dengan jelas, singkat;
2) pernyataan tingkah laku, dapat diamati;
3) ditulis dalam bahasa yang dipahami siswa.
c. Jumlah Kriteria untuk sebuah task
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
1) batasi jumlah kriteria, hanya pada unsur-unsur yang esensial dari suatu
tugas (antara 3-4, di bawah 10);
2) tidak perlu mengukur setiap detil tugas;
3) Kriteria yang lebih sedikit untuk tugas-tugas yang lebih kecil atau
sederhana. Contoh tes singkat atau kuis diberikan berikut ini sebagai
latihan Tugas 1: Tuliskan tiga kriteria bagi seorang petugas
laboratorium yang baik Tugas 2: Tuliskan tiga kriteria presentasi lisan
yang baik.

4. Menciptakan standar kriteria atau rubrik (rubrics)


a. Menyiapkan suatu rubrik analitis
Dalam rubrik tidak selalu diperlukan descriptor. Deskriptor merupakan
karakteristik perilaku yang terkait dengan level-level tertentu, seperti
observasi mendalam, prediksinya beralasan, kesimpulannya berdasarkan
hasil observasi.
b. Menyiapkan suatu rubrik yang holistic
Dalam rubrik holistic, dilakukan pertimbangan seberapa baik
seseorang telah menampilkan tugasnya dengan mempertimbangkan kriteria

6
secara keseluruhan. Untuk keperluan pengecekan rubrik yang telah di buat
sebaiknya kita meminta kepada rekan kerja sesama guru untuk mereviunya,
atau meminta peserta didik mengenai kejelasannya.

Masukan dari mereka dapat di gunakan untuk memperbaiki standar


yang telah kita siapkan. Ada baiknya kita juga memeriksa atau mencek
apakah rubrik tersebut dapat di kelola dengan mudah. Bayangkan
penampilan atau kinerja peserta didik ketika sedang melakukannya.
c. Pembuatan Rubrik.
Rubrik di gunakan sebagai patokan untuk menentukan tingkat
pencapaian peserta didik. Rubrik biasanya di buat dengan berisi kriteria
penting dan tingkat capaian kriteria yang bertujuan untuk mengukur kinerja
peserta didik. Kriteria di rumuskan dengan kata-kata tertentu yang
menunjukkan apa yang harus di capai peserta didik. Tingkat capaian
kinerja di tunjukkan dalam bentuk angka-angka, besar kecilnya angka
tersebut bermakna tinggi rendahnya capaian hasil belajar peserta didik.
Memeriksa rubrik yang telah dibuat Untuk keperluan pengecekan
rubrik yang telah dibuat sebaiknya kita meminta kepada rekan kerja sesama
guru untuk mereviunya, atau meminta siswa mengenai kejelasannya.
Masukan dari mereka dapat digunakan untuk memperbaiki standar yang
telah kita siapkan. Ada baiknya kita juga memeriksa atau mencek apakah
rubrik tersebut dapat dikelola dengan mudah. Bayangkan penampilan atau
kinerja siswa ketika sedang melakukannya.5
d. Pengolahan Skor Penilaian Otentik
Hasil belajar peserta didik pada penilaian otentik berujud skor. Skor
ini merupakan jumlah jawaban benar peserta didik yang merupakan hasil
koreksi dari pendidik terhadap pekerjaan peserta didik. Proses penskoran
dapat di lakukan secara langsung, namun demikian akan lebih baik jika
proses penilaian menggunakan rubrik. Skor hasil belajar otentik ini
5
Siti maryam, “Penerapan Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”.
(Skirpsi, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2014), hlm.19.

7
selanjutya di analisis dan di olah menjadi nilai. Nilai ini menunjukkan
bentuk kualitatif capaian hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran.

C. Penskoran
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban
instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban
terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses
menjadi nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan
angka) yang diperoleh dari angka-angka dar setiap butir soal yang telah di jawab oleh
test dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban betulnya.6
Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk
uraian dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas Anda dalam memberikan skor
dapat diperkecil. Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika Anda
melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik. Karena sejak tes belum
dimulai, Anda harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari
peserta didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
1. Pemberian Skor Tes pada Domain Kognitif
a. Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama
penskoran tanpa ada koreksi jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan
penskoran dengan butir beda bobot.
1)  Penskoran tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang
dijawab benar mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga
jumlah skor yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung
banyaknya butir soal yang dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
Skor =  x 100 (skala 0-100)
B = banyaknya butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :

6
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1966)hlm. 30.

8
Pada suatu soal tes ada 50 butir, Budi menjawab benar 25 butir, maka skor
yang dicapai Budi adalah:
B
Skor = ×100
N
25
=   ×100
50
         = 50
2). Penskoran ada koreksi jawaban yaitu pemberian skor dengan memberikan
pertimbangan pada butir soal yang dijawab salah dan tidak dijawab, adapun
rumusnya sebagai berikut.
S
Skor = (B− / N )×100
P−1

Skor =  x 100


B = banyaknya butir soal yang dijawab benar
S = banyaknya butir yang dijawab salah
P = banyaknya pilihan jawaban tiap butir
N = banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0
Contoh :
Pada soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4
pilihan tiap butir dan banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20
butir, mejawab salah 12 butir, dan tidak dijawab ada 8 butir, maka skor yang
diperoleh Amir adalah:
S
Skor = (B− / N )×100
P−1

12
= (20− /40)×100
4−1
 = 40

b.  Penskoran Soal Bentuk Uraian Objektif


Pada bentuk soal uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan
dianggap sebagai indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai
pedoman penskoran dalam soal bentuk uraian objektif adalah bagaimana langkah-
langkah mengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik dalam

9
lembar jawabannya. Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya Anda melihat
kembali rencana kegiatan pembelajaran untuk mengidentifikasi indikator-indikator
tersebut.
Perhatikan contoh berikut.
Indikator : peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah
satuan ukurannya.
Butir soal: Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80
cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk
menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)

Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian objektif


Langkah Kunci jawaban Skor
1 Isi balok = panjang x lebar x tinggi 1
2                = 150cm x 80cm x 75cm 1
3                = 900.000 cm3 1
Isi bak mandi dalam liter
4 900.000 1
               =   liter
1000
5 1
               = 900 liter
Skor maksimum 5

c.   Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif


Prinsip penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama dengan bentuk
uraian objektif yaitu menentukan indikator kompetensinya. Perhatikan contoh
berikut.
Indikator: peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga Negara
Indonesia bangga menjadi Bangsa Indonesia.
Butir soal: tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda berbangga sebagai
Bangsa Indonesia!
Pedoman penskoran:
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
Tabel 6.3. Contoh Pedoman Penskoran
Kriteria jawaban Rentang skor

10
Kebanggaan yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia 0-2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia 0-2
(pemandangan alamnya, geografisnya, dll)
Kebanggaan yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, 0-2
suku, adat, istiadat tetapi tetap bersatu.
Kebanggaan yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat 0-2
Indonesia
Skor tertinggi 8
Misalkan seorang siswa memperoleh skor 6 dari soal tersebut, maka:
6
SBS= × 100
8
= 75
d.   Pembobotan Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu
bentuk pilihan dan bentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan
ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas
jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal.7
Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak,
sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian
biasanya lebih banyak dan lebih tinggi. Suatu ulangan terdiri dari n1 soal
pilihan ganda dan n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1
dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab
benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik itu mendapat
skor:
Skor = b1 + b2
b1 = bobot soal 1
b2 = bobot soal 2

Contoh:
Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4
buah soal bentuk uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16
butir dan salah 4 butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor

7
Sudjana. Metode Statistika. (Bandung: Penerbit Tarsito,1996), hlm. 54

11
maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian
0,60, maka skor yang diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.
a. skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 = 80
b. skor bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c. skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62

2.   Pemberian Skor Tes pada Domain Afektif


Domain afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
Paling tidak ada dua komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur,
yaitu sikap dan minat terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap
pelajaran bisa positif bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta
didik terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk
belajar atau mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran
tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara optimal, bagi
yang tidak berminat sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena
itu, Anda memiliki tugas untuk membangkitkan minat kemudian meningkatkan
minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian
akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran.

Langkah pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat


adalah sebagai berikut:
a.  Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b. Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat
waktu mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal ini
selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c.  Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat
berminat, berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d. Telaah instrumen oleh sejawat.
e.  Perbaiki instrumen.
f.   Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
g.  Skor inventori.
h.  Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.

12
Contoh:
Instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada
10 butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah
seorang peserta didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50,
yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar
30. jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk tidak berminat, 21
sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat berminat.

3. Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor


a. Penyusunan Tes Psikomotor
Kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut
menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid (2007) dapat berupa tes paper and
pencil, tes dentifikasi, tesimulasi, dan tes unjuk kerja. Skala penilaian cocok
untuk menghadapi subjek yang jumlahnya sedikit.
Perbuatan yang diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian
terentang dari sangat tidak sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat
skala 5, maka skala 1paling tidak sempurna dan skala 5 paling
sempurna.Misal dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik
menggunakan thermometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa
saja yang menunjukkan peserta didik terampil menggunakan thermometer
tersebut, misal indikator-indikator sebagai berikut:
1. Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2. Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
3. Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
4. Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh orang yang diukur
suhunya.
5. Cara mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur suhunya.
6. Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.
Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala
penilaian, ada 6 butir soal yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang
peserta didik jika untuk butir 1 peserta didik yang bersangkutan memperoleh

13
skor 5 berarti sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi
kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang
sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5
memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3
berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai peserta didik tersebut
adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta didik yang gagalakan
memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan sempurna
memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18.
Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 – 12
dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24
dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan
demikian peserta didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi
belum sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah
absolut, maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan
demikian hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan
berhasil dan dengan kategori sempurna.

D. Konversi Skor menjadi Nilai


1. Mengubah Skor dengan Penilaian Acuan Patokan
Penilaian Acuan Patokan (criterion referenced evaluation) yang dikenal juga
dengan standar mutlak berusaha menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan
membandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan. Sebelum hasil tes
diperoleh atau bahkan sebelum kegiatan pengajaran dilakukan, patokan yang akan
dipergunakan untuk menentukan kelulusan harus sudah ditetapkan.8
Standar atau patokan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan sebagai batas-batas penentuan kelulusan test atau batas pemberian nilai
pada test. Jika skor yang diperoleh oleh test memenuhi batas minimal maka test
dinyatakan telah memenuhi tingkat penguasaan minimal terhadap materi yang
disampaikan dan sebaliknya jika test belum bisa memenuhi batas minimal yang
ditentukan maka test dianggap belum “lulus” atau belum menguasai materi. Karena
batasan-batasan tersebut bersifat mutlak/ pasti maka hasil yang diperoleh tidak dapat
di tawar lagi.

8
Abdul Majid. Perencanaan Pembelajaran. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007) hlm. 19

14
Berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak, banyaknya test yang
memperoleh nilai tinggi atau jumlah kelulusan test banyak akan mencerminkan
penguasaannya terhadap materi yang disampaikan. Pengolahan skor mentah menjadi
nilai dilakukan dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a)    Menggabungkan skor dari berbagai sumber penilaian untuk memperolah skor
akhir.
b)   Menghitung skor minimum penguasaan tuntas dengan menerapkan presentase
Batas Minimal Penguasaan (BMP).
c)    Menentukan tabel konversi

2.    Mengubah Skor dengan Penilaian Acuan Normatif


Penilaian Acuan Norma (Norm Referenced Evaluation) dikenal pula dengan
Standar Relatif atau Norma Kelompok. Pendekatan penilaian ini menafsirkan hasil
tes yang diperoleh test dengan membandingkan dengan hasil tes dari test lain dalam
kelompoknya. Alat pembanding tersebut yang menjadi dasar standar kelulusan dan
pemberian nilai ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh test dalam satu
kelompok. Dengan demikian, standar kelulusan baru daat ditentukan setelah
diperoleh skor dari para peserta test. Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai
standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai
standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat
dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat
norma yang baru. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya
asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok
baik, kelompok sedang dan kelompok kurang.9
Pengolahan skor dengan Penilaian   Acuan Norma (PAN) mengharuskan kita
menghitung dengan statistik. Perhitungan dilakukan atas skor akhir (penggabungan
berbagai sumber skor),  Kelemahan sistem PAN adalah dengan tes apapun dalam
kelompok apapun dan dengan dasar prestasi yang bagaimanapun, pemberian nilai
dengan sistem ini selalu dapat dilakukan. Karena itu penggunaan sistem PAN dapat
dilakukan dengan baik apabila memenuhi syarat yang mendasari kurva normal,
yaitu :

9
M. Chabib Thoha. Teknik Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Press, 1991) hlm. 223

15
a)    Skor nilai terpencar atau dapat dianggap terpencar sesuai dengan pencaran kurva
normal
b)   Jumlah yang dinilai minimal 50 orang atau sebaiknya 100 orang ke atas.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rubrik penilaian asesmen otentik adalah proses pengumpulan
informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu
mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan
pembelajaran telah benar-benar dikuasai.
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan
jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif
dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil
penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil
pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka
dari setiap butir soal yang telah di jawab oleh test dengan benar, dengan
mempertimbangkan bobot jawaban betulnya.

Konversi skor menjadi nilai bisa menggunakan dua cara yaitu


mengubah skor dengan penilaian acuan patokan dan mengubah skor dengan
penilaian acuan normatif.

B. Saran
Adapun saran yang bisa penulis berikan :
1. Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah ini
harap bisa meluruskannya.
2. Untuk supaya bisa membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan
dengan pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih
menyempurnakan kembali pembahasan materi dalam makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA
Dantes, Nyoman. 2008. Hakikat Asesmen Otentik Sebagai Penilaian Proses Dan Produk
Dalam Pembelajaran Yang Berbasis Kompetensi. Singaraja: Universitas Pendidikan
Ganesha.

Balitbang Depdiknas. (2006). Panduan Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2004). Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas.

Ibrahim, Muslimin. 2005. Asesmen Berkelanjutan: Konsep dasar, Tahapan Pengembangan


dan Contoh. Surabaya: UNESA University Press Anggota IKAPI

Ibrahim Muslimin. (2003). Asesmen Alternatif. Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis


Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Majid, Abdul. (2007). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muijs, Daniel & David Reynolds. 2008. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Poerwanti, Endang. (2001). Evaluasi Pembelajaran, Modul Akta Mengajar. UMM Press.

Rofiq Ainur. (2002). Analisis Statistik. UMM Press

Sudijono Anas. (2006). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sudjana. (1996). Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito

Thoha, M. Chabib. (1991). Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

17

Anda mungkin juga menyukai