Anda di halaman 1dari 21

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam datang membawa aqidah tauhid, melepaskan manusia dari


keterikatan kepada berhala, serta benda-benda lain sebagai makhluk Allah
SWT. Aqidah membawa manusia kepada kebebasan dari segala
ketergatungan kepada apapun, menuju ketundukan kepada Allah SWT.
Penanaman aqidah ini dilakukan oleh Rasulullah SAW, namun pada
mulanya hanya sebagian kecil yang mampu melepaskan budaya nenek
moyangnya, berani mengingkari leluhur mereka, dan menuju keyakinan
baru “Aqidah Islam”. Semua utusan Allah membawa pesan yang sama
yakni tauhid bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Selain para ulama, andil orang tua tak kalah penting dalam
membentuk pribadi muslim sejak dini. Orang tua sebagai seorang muslim
haruslah memiliki akidah yang kuat dan berkualitas, serta memahami
materi dan metode penyampaiannya, sehingga orang tua dapat membekali
anak-anaknya dengan keilmuan yang didukung oleh keyakinan yang kuat
dan tepat, sehingga terbentuk kepribadian muslim sejati.
Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk mempersiapkan
anak didik agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan
tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua memiliki
kepentingan untuk mewariskan nilai, norma hidup dan kehidupan generasi
penerusnya. Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan dan cara
mendidik.
Aktivitas kependidikan Islam timbul sejak adanya manusia itu
sendiri (Nabi Adam dan Hawa), bahkan ayat al-Qur’an yang pertama kali
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah bukan perintah tentang
sholat, puasa, dan lainnya, tetapi justru perintah iqra’ (membaca,
merenung, menelaah, meneliti atau mengaji) atau perintah untuk mencer-
1
2

daskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan.


Mulai dari sinilah manusia memikirkan, menelaah dan meneliti bagaimana
pelaksanaan pendidikan itu, sehingga muncullah pemikiran dan teori-teori
pendidikan Islam. Oleh karena itu, menurut Abd al-Gani ‘Ubud, seperti
yang dikutip Muhaimin menyatakan bahwa tidak mungkin ada kegiatan
pendidikan Islam dan sistem pengajaran Islam, tanpa teori-teori atau
pemikiran pendidikan Islam.1

Pendidikan aqidah dalam tulisan ini difokuskan pada kajian hadits yang
berkaitan dengan pendidikan aqidah serta usaha yang dilakukan oleh
tenaga pendidik untuk menumbuhkan potensi kodrati anak melalui
metode-metode tertentu, agar mereka menjadi manusia muslim yang
meyakini keesaan Allah, serta dapat mengamalkan aqidah yang dimiliki
dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Aqidah?

2. Bagaimana peran Pendidikan Aqidah dalam membentuk Akhlak?

3. Hadits apa saja yang terkait dengan Pendidikan Aqidah?

1
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) hal 15.
3
3

PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqidah

Aqidah secara bahasa berasal dari kata (‫ )ﻋﻘﺪ‬yang berarti ikatan


atau bisa dijabarkan dengan “ma ‘uqida ‘alaihi al-qalb wa al-dhamir”,
yakni sesuatu yang ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan perasaan
(hati nurani) dan juga berarti ma tadayyana bihi al-insan wa I’tiqadahu,
yakni sesuatu yang dipercaya dan diyakini (kebenarannya) oleh manusia.2
Aqidah bermakna simpulan, yakni kepercayaan yang tersimpul di hati.
Aqidah secara bahasa ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhujam kuat
di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.3
Menurut istilah, aqidah dapat diartikan sebagai konsep dasar tentang
sesuatu yang harus diyakini, mengikat (‘aqada) dan menentukan ekspresi
yang lain dalam penghayatan agama.4 Dengan demikian, secara etimologis,
aqidah berarti kepercayaan atau keyakinan yang benar-benar menetap dan
melekat dalam hati manusia.5
Islam adalah aqidah tauhid, tindakan pengesaan Tuhan merupakan
wujud aplikasi dari keyakinan yang tertanam kuat dalam hati (aqidah).
Tauhid memberikan identitas peradaban.

2
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah,
1986), h. 97. Lihat juga Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Beirut li al-
Thaba’ah wa al-Nasyr, 1968), h. 296.
3
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, h. 32.
4
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Astuti, (Bandung: Pustaka, 1982), h. 3. Baca
juga, Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1983, h. 25.
5
Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth(ikatan),
al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat),
asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-
itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-
jazmu (penetapan). Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa:
Lisanul ‘Arab, al-Qamus Muhiith dan al-Mu'jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).
4
4

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang
mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya
adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah
dengan adanya Allah dan diutusnya pada teoritis yang dituntut pertama-
tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu
keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syak wasangka dan tidak
dipengaruhi oleh keragu-raguan.6
Ibnu Taimiyah menjelaskan makna aqidah sebagai ‘suatu perkara
yang harus dibenarkan dalam hati, dengannya jiwa menjadi tenang,
sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tanpa ada keraguan,
kebimbangan dan keraguan.7 Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak
terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Jika
hal tersebut tidak sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, maka tidak
dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya
di atas hal tersebut. Yunahar Ilyas menegaskan keterkaitan yang tak
terpisahkan antara aqidah, iman, dan tauhid,. Tauhid merupakan tema
sentral aqidah dan iman. Jadi teoritis aqidah juga diartikan dengan iman,
kepercayaan dan keyakinan.8

B. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang mengandung arti


pelihara dan latih. Konsep pendidikan dalam bentuk praktik mengarah
pada pengertian pendidikan sebagai suatu “proses”. Sedangkan pengertian
pendidikan dilihat dari historisnya, pendidikan berasal dari bahasa Yunani

6
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah (1) (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967) Hlm. 28-29
7
Ibnu Taimiyah, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif,
sementara Hasan al-Bana mendefinisikan aqidah adalah sesuatu yang seharusnya hati
membenarkannya, sehingga menimbulkan ketenangan jiwa dan menjadikan kepercayaan bersih
dari kebimbangan dan keraguan. Lihat, Hasan Al-Bana, Aqidah Islam, Terj. (Bandung: Al-
Ma’arif, 1983), h.65.
8
Sayid Sabiq, Aqidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal Sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas,Surabaya:1996),h.4
5

“paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. 9


Dalam bahasa Arab kata pendidikan berasal dari kata rabba-
yurabbi- tarbiyatan, berarti mendidik, mengasuh dan memelihara.10
Bahasa Arab pendidikan sering diambilkan dari kataallama dan addaba.
Kata allama berarti mengajar (menyampaikan pengetahuan),
memberitahu, mendidik. Sedang kata addaba lebih menekankan pada
melatih, memperbaiki, penyempurnaan akhlak (sopan santun) dan
berbudi baik.11 Namun kedua kata tersebut jarang digunakan untuk
diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab pendidikan itu harus
mencakup keseluruhan, baik aspek intelektual, moralitas atau
psikomotorik dan afektif.
Dengan demikian, ada tiga istilah pendidikan dalam konteks
Islam yang digunakan untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah
dipandang tepat untuk mewakili kata pendidikan, karena kata tarbiyah
mengandung arti memelihara, mengasuh dan mendidik yang ke dalamnya
sudah termasuk makna mengajar atau allama dan menanamkan budi
pekerti (addaba). 12

9
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 263.
10
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: PP. Al Munawwir,
1989), h. 504.
11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 461 dan 1526.
12
Abdul Halim, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 25
6

Secara terminologi, ada beberapa pengertian pendidikan yang


dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
1. Menurut Ngalim Purwanto pendidikan adalah segala usaha orang
dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arahkedewasaan.13
2. Adapun arti pendidikan menurut Imam Ghazali yaitu proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir
hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu
menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju
pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.14
3. Menurut Syed Naquib al-Attas, pendidikan adalah menanamkan
sesuatu ke dalam diri seseorang (Education is a process of instilling
something into humanbeings).15
4. Suparlan mendefinisikan pendidikan dalam arti luas dan arti sempit.
Dalam arti luas, pendidikan merupakan sistem proses perubahan
menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. Sedangkan
dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang
direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara
terjadwal dalam pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar pada
tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan dalam arti sempit bukan
berarti memotong isi dan materi pendidikan, melainkan
mengorganisasinya dalam bentuk sederhana tanpa mengurangi
kualitas dan hakekat pendidikan.16

13
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1995), h.11.
14
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 56
15
Syed Naquib al-Attas, The Concept Of Education In Islam (A Framework for an
Islamic Philosophy of Education), (Malaysia: International Institute Of Islamic Thought
and Civilization International Islamic University, 1991), h. 13
16
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009),
h.80.
7

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan;


proses, perbuatan, cara mendidik.17
5. Sementara bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara
merumuskan hakikat pendidikan sebagai usaha sadar orangtua bagi
anak-anaknya dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya,
dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan jasmani dan rohani yang
ada padaanak.18
6. Darmaningtyas mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan
sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih
baik.19 Titik tekan dari definisi adalah “usaha sadar dan sistematis”.
Dengan demikian, tidak semua usaha memberikan bekal pengetahuan
kepada anak didik dapat disebut pendidikan jika tidak memenuhi
kriteria yang dilakukan secara sadar dan sistematis.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan
untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai
kematangan itu, ia mampu memerankan diri sesuai dengan amanah yang
disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan
kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai
gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap
potensi fitrah manusia.20
Dari beberapa definisi diatas, terlihat dimensi yang berbeda antar
definisi. Namun demikian, dari keragaman perbedaan tersebut, ada titik
kesamaan yang dianggap sebagai titik temu. Setidaknya titik temu
tersebut diwakili oleh aspek proses menuju kedewasaan dan
memanusiakan manusia.

17
TimPenyusunKamusPusatPembinaanBahasa,KamusBesarBahasaIndonesia,h.
263.
18
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan
Aplikasi,(Yogyakarta: ar-Ruzz Media , 2008)h, 31
19
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta: Galang Press
2004), h,
20
Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 51.
8

C. Manivestasi Aqidah dan Akhlak dalam Pendidikan

Hal yang paling mendasar adalah akhlak (perilaku) seorang muslim yang

harus sesuai dengan aqidah yang diyakininya. Aqidah mempunyai posisi

pokok/dasar, sedangkan pada tataran praktis aqidah kemudian harus dikukuhkan

dengan amal shalih sebagai manivestasi iman seseorang. Rasulullah SAW

menegaskan bahwa kesempurnaan Iman seseorang terletak pada kesempurnaan

dan kebaikan akhlaknya.

“Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda:

‫ار ُك ْم َأ َحا ِسنُ ُك ْم َأ ْخاَل قًا‬


َ َ‫ِإ َّن ِخي‬
“Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik

akhlaknya.” (HR. Bukhari no. 6035).

Sebaik-baik manusia dalam hadits ini adalah tergantung akhlaknya kepada

orang lain. Akhlak yang baik menjadi barometer untuk menjadi sebaik-baik

manusia. Bahkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus ke bumi ini pun

untuk menyempurnakan akhlak.

‫لَّ َم َعلَى النَّبِ ِّي‬p‫ فَ َس‬،‫ار‬ َ ‫ فَ َجا َءهُ َر ُج ٌل ِمنَ اَأْل ْن‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ p‫ص‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ ُك ْن‬:‫ َأنَّهُ قَا َل‬،‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر‬
ِ ‫ت َم َع َرس‬
َ‫ ْؤ ِمنِين‬p‫ فََأيُّ ْال ُم‬:‫ قَا َل‬، »‫ «َأحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا‬:‫ضلُ؟ قَا َل‬
َ ‫هَّللا ِ َأيُّ ْال ُمْؤ ِمنِينَ َأ ْف‬ ‫ يَا َرسُو َل‬:‫ ثُ َّم قَا َل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ

َ ‫ ُأولَِئ‬،‫ َوَأحْ َسنُهُ ْم لِ َما بَ ْع َدهُ ا ْستِ ْعدَادًا‬،‫ت ِذ ْكرًا‬


ُ‫ك اَأْل ْكيَاس‬ ِ ْ‫ «َأ ْكثَ ُرهُ ْم لِ ْل َمو‬:‫ال‬
َ َ‫َأ ْكيَسُ ؟ ق‬
Artinya: Dari sahabat Ibnu Umar bahwasannya ia berkata: Dahulu aku bersama

Rasulullah maka seseorang dari kaum anshor mendatangi beliau dan

mengucapkan salam. Kemudian berkata: ‘Yaa Rasulullah! Mukmin mana yang

paling afdal?’ Rasulullah bersabda: “Yang paling baik akhlaknya.” Dia berkata

lagi, ‘Mukmin mana yang paling cerdas?’ Rasulullah bersaba: “Yang paling

banyak mengingat kematian, dan yang paling baik mempersiapkan untuk setelah

kematian, mereka itulah yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah. No. 4259)
9

Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab Radiallahu

‘anhuma. Sahabat yang mulia, salah satu yang menjadi icon dalam ilmu dan

amal. Beliau masuk islam di usia muda bersama ayahnya Umar bin Al-Khattab.

Peperangan yang pertama kali beliau ikuti adalah perang khondaq, karena pada

peperangan sebelumnya dia masih kecil. Beliau dikenal sebagai ulama yang

memiliki keilmuan yang luas, bahkan ketika Nabi wafat banyak orang-orang

yang bertemu beliau untuk belajar. Beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa.

Dan beliau sangat bersemangat dalam mengikuti sunah-sunah Nabi, beliau wafat

pada tahun 73 H di mekah (al-Fauzan, 2007. Hal. 35).

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam sunannya, nomor

4259 pada bab mengingat kematian dan mempersiapkannya. Syaikh Al-Albani

menghukumi bahwa hadis ini hasan sebagaimana yang disebutkan dalam

kitabnya Silsilah Ahadis As-Shahihah no. 1384 (Ibnu Majah, 1985).

Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang

menunjukan keutamaan akhlak yang mulia, dalam hadis ini Nabi menjawab

pertanyaan salah seorang sahabat tentang siapakah yang paling mulia di kalangan

orang-orang mukmin maka beliau bersabda, mukmin terbaik adalah yang paling

baik akhlaknya. Dalam riwayat lain beliau bersabda:

‫َأ ْك َم ُل ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِإي َمانًا َأحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا‬

Artinya: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik

akhlaknya” (HR. Abu Dawud)

Nabi Muhammad menjadikan akhlak mulia sebagai parameter keimanan

seseorang, semakin baik akhlak seseorang maka semakin baik pula imannya.

Nabi Muhammad merupakan contoh terbaik dalam meneladani akhlak yang

mulia. Allah memujinya dalam firman-Nya:

ٍ ُ‫ك لَ َع ٰلى ُخل‬


‫ق َع ِظي ٍْم‬ َ َّ‫َواِن‬

Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak


10

mulia” (Al-Qalam: 4)

Bahkan tujuan Nabi diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

‫إنما بعثت ألتمم مكارم األخالق‬

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang

mulia.”(HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam adabul mufrad, dan Al-Baihaqi)

Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad mendefinisikan bahwa

kebajikan adalah akhlak yang mulia. Dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an, saat

itu ia radiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah tentang kebajikan dan dosa.

Maka Rasulullah pun menjawab, “kebajikan adalah akhlak yang mulia” (HR.

Muslim no. 2553). Dari semua kebajikan dan kebaikan yang ada, Rasulullah

mengkhususkan penyebutan akhlak yang mulia, hal ini menunjukkan akan

keutamaan dan keistimewaan akhlak yang mulia.

Maka tak heran banyak sekali dalil syariat yang menunjukkan akan

keutamaan dan keagungan akhlak yang mulia, diantaranya Nabi mengabarkan

bahwa salah satu yang paling berat timbangan kebaikan seseorang adalah akhlak

yang mulia.

ِ ُ‫َما ِم ْن َشي ٍء َأ ْثقَ ُل في مي َزا ِن ال ُمؤ ِم ِن يَو َم القِيامة ِم ْن ُح ْس ِن ال ُخل‬


‫ق‬

Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat pada timbangan (kebaikan)

seorang mukmin di hari kiamat melebihi akhlak yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi

dan ia berkata hadis ini hasan sahih)

Syaikh Bin Baz Rahimahullah menjelaskan bahwa hadits yang semisal ini

adalah sebagai motivasi dan dorongan agar kaum muslimin memperbaiki

akhlaknya, dan tentunya hal ini butuh akan kesungguhan dan kesabaran. Lebih

lanjut Ustadz Andirja (2021), memberikan nasihat bahwa hendaknya kita jangan

sekali-kali menjadikan tabiat dan watak yang kita miliki sebagai alasan untuk
11

tidak berakhlak mulia. Seperti perkataan “Saya memang begini orangnya, suka

marah, jarang senyum dll” perkataan ini menyiratkan seolah-olah semua itu tidak

dapat diubah. Padahal Allah dan rasul-Nya senantiasa memotivasi untuk

berakhlak yang mulia, yang menunjukkan bahwa setiap orang memiliki

kemampuan untuk memperbaiki akhlaknya, merubah perilakunya agar menjadi

lebih baik jika ia mau melakukannya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi

Wasallam pernah bersabda:

‫من يتصبر يصبره هللا‬

Artinya: “Barangsiapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan

menjadikannya penyabar”(HR. Al-Bukhari no. 1469).

Orang yang dahulunya tergesa-gesa, tidak sabaran, mudah emosi bisa

berubah atas izin Allah menjadi penyabar dengan usaha dan kesungguhan. Oleh

karenanya untuk meraih derajat mukmin terbaik diperlukan usaha dan

kesungguhan yang kuat untuk merubah dan memperbaiki akhlaknya.

Sebagian ulama merumuskan akhlak mulia pada beberapa poin, sehingga

kaum muslimin lebih bersemangat untuk meraihnya. Diantaranya adalah

perkataan Imam al-Hasan al-Bashri Rahimahullah ia berkata: “Hakikat akhlak

yang mulia adalah mudah berbuat baik, menahan diri untuk tidak mengganggu

orang lain, serta menampakkan wajah yang ceria.” Maka dari perkataan beliau

kita bisa menumpulkan tiga rukun akhlak yang mulia, yaitu ringan tangan,

mudah membantu orang lain, menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain,

menampakkan wajah yang ceria, berseri-seri, murah senyum kepada orang lain,

tidak merendahkan serta meremehkannya.21


Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting.
Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang
lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya.
Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh.
21
https://kuncikebaikan.com/mukmin-yang-terbaik-adalah-yang-paling-baik-akhlaknya/
12

Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din)
dan diterimanya suatu amal.
Melalui pengertian-pengertian yang telah dijabarkan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa hadist tentang aqidah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah yang berbicara tentang konsep keimanan.
Sedangkan yang dimaksud pendidikan aqidah adalah upaya pendidikan aqidah
yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru terhadap anak-anak ataupun
murid-muridnya dengan menyampaikan materi-materi ketauhidan dengan
metode- metode tertentu, sesuai kapasitas dan kemampuan nalar anak pada
setiap jenjang pendidikan yang ditempuh. Sehingga diharapkan anak menjadi
seorang muslim sejati dengan keyakinan aqidah yang benar sebagai jalan untuk
menjadi hamba Allah yang bertakwa.

D. Analisis hadits tentang Rukun Iman

ِ‫ال َأ ْن تُْؤ ِمنَ ِباهلل‬ ِ ‫ فََأ ْخبِرْ نِي ع َِن اِإل ْي َم‬: ‫ال‬
َ َ‫ان ق‬ َ ‫ص َد ْقتَ فَ َع ِج ْبنَا لَهُ يَ ْسَألُهُ َوي‬
َ َ‫ُص ِّدقُهُ ق‬ َ َ‫ق‬
َ : ‫ال‬
ِ ‫َو َمالَِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه َواليَوْ ِم‬
ِ ‫اآلخ ِر َوتُْؤ ِمنَ بِالقَد‬
‫َر خَ ي ِْر ِه َو َشرِّ ِه‬
Orang itu berkata, “Engkau benar.” Kami pun heran, ia bertanya lalu
membenarkannya. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada
Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya,
kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi
berkata, “Engkau benar.” (HR. Muslim, no. 8)22

Hadits ini menunjukkan keutamaan Islam. Dan sepatutnya apa yang


pertama kali ditanyakan oleh seseorang adalah tentang Islam. Oleh karena itu,
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengirim para utusan untuk
berdakwah kepada Allah, beliau memerintahkan mereka untuk memulai dakwah
tersebut dengan persaksian “Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar
Rasulullah”, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah.
1. Rukun Islam itu ada lima sebagaimana disebutkan dalam hadits ini, dan
dikuatkan pula dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pada

Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih
22

Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.h.90


13

hadits nomor ketiga dari kumpulan hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah.


2. Keutamaan shalat, dan bahwa shalat didahulukan sebelum rukun-rukun
lainnya setelah dua kalimat syahadat (syahadatain).
3. Anjuran untuk mendirikan shalat dan melaksanakannya istiqamah (terus
menerus), dan shalat termasuk salah satu rukun Islam.
4. Menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah termasuk rukun Islam.
5. Perpindahan dari perkara lebih rendah ke perkara yang lebih tinggi yaitu
dari Islam ke Iman. Semua orang bisa berislam dengan melakukan amalan
lahiriyah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Orang-
orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah kepada
mereka, ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk
(berislam).’” (QS. Al-Hujurat: 14). Adapun iman adalah perkara batin
(dalam hati).
6. Islam dan Iman masuk dalam istilah para ulama, “Idzajtama’a iftaroqo, wa
idza iftaraqa ijtama’a”, jika kedua kata tersebut disebutkan berbarengan,
maknanya berbeda; namun jika kedua tersebut disebutkan secara terpisah,
maka maknanya sama. Jika Islam dan Iman disebutkan bersamaan, maka
yang dimaksud Islam adalah amalan lahiriyah sedangkan Iman adalah
amalan batin (berupa keyakinan-keyakinan hati).23
7. Rukun iman itu ada enam. Keenam rukun iman ini jika dijalankan dengan
benar, maka akan mewariskan kepada pemiliknya kekuatan untuk
memohon dalam melaksanakan ketaatan dan rasa takut kepada Allah.
8. Barang siapa mengingkari salah satu dari rukun iman, ia telah kafir, karena
ia telah mendustakan apa yang telah dikabarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
9. Kita harus menetapkan adanya malaikat dan wajibnya beriman kepada para
malaikat. Malaikat itu berbentuk jasad. Contohnya saja malaikat Jibril
dalam wujud aslinya memiliki 600 sayap yang menutupi ufuk. Keliru jika
mengatakan bahwa malaikat hanya berupa ruh saja, tidak memiliki jasad.
Keliru juga jika mengatakan bahwa malaikat adalah kiasan untuk kekuatan
23
14

kebaikan yang ada dalam diri manusia, sedangkan setan adalah kiasan
untuk kekuatan kejahatan.
10. Kita harus beriman kepada seluruh Rasul. Jika seseorang beriman kepada
Rasulnya saja dan mengingkari Rasul selainnya, maka berarti ia belum
beriman kepada Rasulnya, bahkan dia termasuk orang kafir.
11. Kita harus beriman pada hari Akhir yang disebut hari kiamat, di mana
manusia dibangkitkan dari kubur mereka untuk dilakukannya hisab
(perhitungan) dan diberi balasan, yang berakhir dengan tinggalnya
penduduk surga di tempat mereka dan juga penduduk neraka di tempatnya.
12. Wajib kita beriman pada takdir yang baik dan yang buruk.
13. Takdir itu tidak berisi sesuatu yang buruk, yang buruk hanya pada yang
telah ditakdirkan (maqdur). Penjelasan hal ini adalah bahwa perkara takdir
yang berkaitan dengan perbuatan Allah seluruhnya baik.
14. Mengapa Allah menakdirkan kejelekan? Karena ada hikmah di balik itu
seperti: (1) agar kebaikan dapat dikenal; (2) supaya manusia menyandarkan
diri pada Allah; (3) supaya manusia bertaubat kepada-Nya setelah ia
berbuat dosa; (4) banyak meminta perlindungan kepada Allah dari
keburukan dengan berdzikir dan berdoa; (5) ada maslahat besar di balik
kesulitan atau musibah yang menimpa.
15. Keburukan disandarkan pada makhluk, bukan disandarkan pada Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kejelekan tidaklah
disandarkan kepada-Mu.” (HR. Muslim)
16. Kita tidak boleh menjadikan qadha dan qadar Allah sebagai alasan untuk
meninggalkan perintah dan melakukan larangan-Nya. Allah telah memiliki
hujjah atas kita melalui kitab-kitab yang diturunkan dan rasul yang
diutusnya. Dalam ayat disebutkan (yang artiya), “Allah tidak ditanya
tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”  (QS.
Al-Anbiya’: 23)
17. Allah tidaklah memaksa seorang pun untuk mengerjakan kemaksiatan atau
meninggalkan ketaatan, manusia tetap punya pilihan.
18. Ada dua macam  iradah  (kehendak), yaitu  iradah kauniyyah dan iradah
syar’iyyah.  Iradah kauniyyah  adalah  iradah  yang semakna dengan 
15

masyiah  (kehendak yang pasti terjadi).  Iradah


syar’iyyah adalah iradah yang semakna dengan mahabbah (kecintaan). 
Iradah kauniyyah itu pasti terjadi namun belum tentu Allah cintai.
Sedangkan iradah syari’iyah itu kehendak Allah yang Dia cintai tetapi
tidak mesti terjadi. Contoh, berimannya Abu Bakar Ash-Shiddiq terdapat
di dalamnya iradah kauniyyah karena hal itu terjadi dan terdapat
pula iradah syar’iyah karena beriman itu dicintai Allah. Sedangkan
kafirnya Fir’aun terjadi secara iradah kauniyyah, namun tidak dicintai
olehAllah.
16

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari dua pengertian antara akidah dan pendidikan dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan akidah adalah suatu proses usaha yang
berupa pengajaran, bimbingan, pengarahan, pembinaan kepada manusia
agar nantinya dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan akidah
Islam yang telah diyakini secara menyeluruh, mengembangkan dan
memantapkan kemampuannya dalam mengenal Allah, serta menjadikan
akidah Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya dalam berbagai
kehidupan baik pribadi, keluarga, maupun kehidupan masyarakat demi
keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat dengan
dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata.
Rukun Iman dapat diartikan sebagai pilar keyakinan, yakni pilar-
pilar keyakinan seorang muslim, dalam hal ini terdapat enam pilar
keyakinan atau rukun iman dalam ajaran Islam, yaitu:man kepada Allah,
Iman kepada Malaikat-malaikat Allah, Iman kepada Kitab-kitab Allah,
Iman kepada Rasul-rasul Allah, Iman kepada hari Kiamat, Iman
kepada Qada danQadar.
Iman kepada Allah serta iman kepada sifat-sifatnya akan mempengaruhi
perilaku seorang muslim, sebab keyakinan yang ada dalam dirinya akan
dibuktikan pada dampak perilakunya. Jika seseorang telah beriman
bahwa Allah itu ada, Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka dalam
perilakunya akan senantiasa berhati-hati dan waspada, ia tidak akan
merasa sendirian, kendati tidak ada seorang manusiapun di sekitarnya.
Keyakinan terhadap adanya malaikat akan berpengaruh terhadap
perilaku manusia. Jika kita yakin ada malaikat yang mencatat semua
amal baik dan buruk kita, maka seorang muslim akan senantiasa berhati-
hati dalam setiap perbuatannya karena ia akan menyadari bahwa semua
perilakunya tersebut akan dicatat oleh malaikat.
Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan
keyakinan yang kuat akan kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena
jalan yang harus ditempuh manusia telah diberitahukan Allah dalam kitab
17

suci.
 Iman kepada rasul merupakan kebutuhan manusia, karena dengan
adanya rasul maka manusia dapat melihat contoh-contoh perilaku dan
teladan terbaik yang sesuai dengan apa yang diharapkan Allah.
Beriman kepada hari akhir atau hari kiamat adalah keyakinan akan
datangnya hari akhir sebagai ujung perjalanan umat manusia. Keimanan
tersebut akan melahirkan  sikap optimis, yakni bahwa tidak akan ada
yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena semuanya akan
dipertanggungjawabkan amal ibadah dan balasannya.
Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimis, tidak
mudah kecewa dan putus asa, sebab yang menimpanya ia yakini sebagai
ketentuan yang telah Allah takdirkan kepadanya dan Allah akan
memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan sifatnya
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

B. Saran
               Keimanan seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya
sehari-hari, oleha karena itu penulis menyarankan agar kita senantiasa
meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT agar hidup kita
senantiasa berhasil menurut pandangan Allah SWT. Juga keyakinan kita
terhadap malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir senantiasa harus
ditingkat demi meningkatkan amal ibadah kita.
18

DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
(Jakarta: Rajawali Press, 2006)

TimPenyusunKamusPusatPembinaanBahasa,KamusBesarBahasaIndonesia,

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: ar-Ruzz Media , 2008)

Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta: Galang Press 2004),

Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah, 1986), h. 97. Lihat juga
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Beirut li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1968), h. 296.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009,

Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Astuti, (Bandung: Pustaka, 1982),

Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1983,

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir,

Abdul Halim, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002),

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1995),
19

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1998),

Syed Naquib al-Attas, The Concept Of Education In Islam (A Framework for an Islamic
Philosophy of Education), (Malaysia: International Institute Of Islamic Thought and
Civilization International Islamic University, 1991),

Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009),

https://kuncikebaikan.com/mukmin-yang-terbaik-adalah-yang-paling-baik-akhlaknya/

Anda mungkin juga menyukai