Anda di halaman 1dari 22

HADIS TENTANG PERINTAH DAN KEWAJIBAN

MENDIDIK DAN BERPENDIDIKAN

Oleh:

Mahariah, M.Ag

A. Pendahuluan
Di samping sumber daya alam, faktor manusia sebagai sumber daya
memiliki peran strategis dalam menentukan masa depan suatu bangsa. Menurut
Nurcholish Madjid sumber daya manusia dapat terukur melalui proses pendidikan
dimaknai sebagai segenap usaha penumbuhan dan pengembangan potensi sumber
daya manusia yang ada pada generasi muda. Bahkan proses pendidikan tidak
dapat hanya diukur dari dimensi kegiatan pembelajaran yang terlaksana di
lembaga pendidikan formal. Baginya, sumber daya manusia ditentukan oleh etos
kerja di samping etos lainnya, serta sistem moral-etis yang mendasari tingkah laku
anggota masyarakatnya.1 Jelasnya, sumber daya manusia muslim terkait dengan
etos keilmuan yang mendasari proses pendidikan Islam tersebut.
Etos keilmuan di kalangan Islam dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama,
sisi ideologis untuk menemukan beberapa sumber ajaran yang mendasari urgensi
pendidikan dan etos keilmuan. Dalam hal ini etos keilmuan yang terkait dengan
perintah dan kewajiban mendidik dan berpendidikan. Kedua, sisi sosio-historis
dalam rangka mengkonstuk gambaran kenyataan fakta historis tentang sosok
muslim yang memiliki etos keilmuan dalam konteks pendidikan. Namun, sisi
pertama merupakan tujuan utama penulisan makalah ini. Tulisan ini bertujuan
untuk menemukan hadis-hadis yang relevan dengan tema perintah dan kewajiban
mendidik dan berpendidikan secara tektual dan kontektual.
Etos keilmuan dalam ajaran Islam salah satunya terkait dengan pengunaan
kata ilmu pengetahuan. Kata ilmu pengetahuan merupakan kata yang banyak
ditemukan dalam Alquran dan Hadis. Kata ilmu pengetahuan berkaitan dengan
kata pendidikan sebagai proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara

1
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam; Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 30.
2

sederhana. Di dalam kata pendidikan tersebut terkandung dua kata yang saling
berkaitan, yaitu kata mengajar atau mendidik dan kata belajar atau berpendidikan.
Ajaran Islam menganjurkan kepada manusia untuk melaksanakan
pendidikan. Bahkan ajaran Islam menyatakan bahwa mendidik dan berpendidikan
merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Kewajiban mendidik dan
berpendidikan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kewajiban
mendidik jatuh pada pribadi orang yang telah berpendidikan, sebaliknya
berpendidikan adalah perbuatan menuntut ilmu yang menjadi syarat agar
perbuatan mendidik dapat dilaksanakan.
Kewajiban mendidik dan berpendidikan merupakan perintah untuk terus
menjaga pewarisan agama dan peradaban manusia sebagai bentuk tanggung jawab
manusia sebagai hamba maupun khalifah.2 Melalui perintah kewajiban mendidik
dan berpendidikan ini setiap muslim dituntut untuk melaksanakan aktivitas belajar
dan mengajar, baik dalam bentuk ilmu agama maupun ilmu profan.
Pada umumnya, aktivitas mengajar dan belajar berkaitan dengan proses
pencarian ilmu yang merupakan awal proses menumbuhkan etos keilmuan
tersebut. Ajaran Islam menekankan urgensi ilmu dalam setiap kesempatan, baik
bagi muslim yang tua dan muda, bahkan bagi yang kaya dan miskin, dan pada
waktu lapang maupun sempit. Etos keilmuan menurut Islam berawal dari sikap
memperhatikan dan mempelajari alam, baik alam makro yaitu jagad raya maupun
alam mikro yaitu manusia. Hal ini termaktub dalam firman Allah tentang
kewajiban belajar dan mengajar, yaitu:
          
        
3
    
Artinya: “1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”4

2
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyrakat,
diterjemahkan oleh Shihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 26.
3
Q.S. Al-Alaq (96) : 1-5.
4
Tim Penyusun, Terjemahan Alquran (Jakarta: Departemen Agama, 1987), h.
3

Perintah mengajar dan berpendidikan (belajar) dalam kandungan firman


Allah tersebut menunjukkan mengajar dan menuntut ilmu atau belajar hendaknya
dilakukan berulang-ulang sampai batas maksimal. Islam memandang bahwa
manusia dilahirkan membawa potensi fitrah yaitu potensi beragama tauhid. Oleh
karena itu, manusia perlu belajar dan mengajar dalam rangka menjaga kesucian
potensi fitrah tersebut agar tetap suci dan berfungsi sebagai modal dasar mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat serta kemaslahatan umat itu sendiri.
Makalah ini akan membincangkan persoalan perintah dan kewajiban
mendidik dan berpendidikan dalam perspektif hadis tarbawi. Dalam makalah ini
terdapat beberapa sub pokok bahasan, yaitu: pendahuluan, pengertian perintah dan
kewajiban mendidik dan berpendidikan, hadis yang berkenaan dengan tema
tersebut, pemikiran yang terkandung dalam hadis tersebut, dan penutup.

B. Pengertian Perintah dan Kewajiban Mendidik dan Berpendidikan


Dalam memberikan pemahaman terhadap makna kata atau pengertian dari
tema tulisan di atas, ada beberapa istilah yang perlu diberi pengertian. Ada
beberapa kata yang digunakan dalam tema tersebut yaitu perintah, kewajiban,
mendidik, dan berpendidikan. Adapun makna setiap kata tersebut adalah:
1. Perintah
Kamus Besar Bahasa Indonesia menampilkan kata perintah dengan
makna sebagai perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan
sesuatu atau suruhan, aba-aba (komando), aturan dari pihak atas yang
harus dilakukan.5 Pengertian ini menunjukkan bahwa perintah adalah
aturan atau perkataan yang berasal dari pihak yang lebih tinggi untuk
menyuruh pihak yang lebih rendah harus melakukan sesuatu.
2. Kewajiban
Kata kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti harus dilakukan
atau tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan), sudah semestinya
atau harus.6 Kata ini digunakan untuk menunjukkan pengertian
kewajiban sebagai keharusan untuk dilakukan atau dilaksanakan tidak
boleh ditinggalkan.
5
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 326.
6
Ibid., h. 263.
4

3. Mendidik
Kata mendidik merupakan kata kerja dari asal kata didik yang diartikan
sebagai memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.7 Dengan demikian, mendidik
berarti memelihara dan memberi latihan, ajaran, tuntunan, pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran kepada orang lain.
4. Berpendidikan
Berpendidikan memiliki akar kata yang sama dengan kata mendidik
yaitu didik. Karenanya, berpendidikan dengan awalan ber- pada kata
benda, pendidikan menunjukkan makna memiliki. Dengan demikian,
berpendidikan dimaknai dengan orang yang telah memiliki akhlak dan
kecerdasan pikiran sebagai hasil dari proses pendidikan.
Dengan demikian, perintah atau kewajiban mendidik dan berpendidikan
dimaknai sebagai suatu aturan atau perkataan dari pihak yang lebih tinggi kepada
pihak yang lebih rendah berupa keharusan untuk melakukan kegiatan memelihara
dan memberi latihan, ajaran, tuntunan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran
dan keharusan untuk memiliki akhlak dan kecerdasan pikiran tersebut.
Pengertian ini memberi pemahaman bahwa kegiatan mendidik dan orang
yang memiliki pendidikan tersebut merupakan suatu keharusan atau perintah
dalam ajaran Islam. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa kegiatan
mendidik adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak boleh
ditinggalkan. Sementara itu, orang yang berpendidikan juga merupakan suatu
kewajiban yang harus dicapai oleh seorang muslim. Keduanya merupakan
perintah sekaligus kewajiban dalam ajaran Islam.

C. Hadis tentang Perintah dan Kewajiban Mendidik dan Berpendidikan


Ada beberapa hadis yang dipaparkan berkenaan dengan perintah dan
kewajiban mendidik dan berpendidikan, yaitu:
1. Hadis berkenaan dengan perintah dan kewajiban mendidik
a. Hadis tentang perintah menyampaikan ilmu atau larangan
menyembunyikan ilmu

7
Ibid., h. 465.
5

ٍ Dَ‫ا ِء ب ِْن أَبِي َرب‬DDَ‫ارةُ بْنُ زَا َذانَ ع َْن َعلِ ِّي ْب ِن ْال َح َك ِم ع َْن َعط‬D
‫اح ع َْن‬D َ D‫ َّدثَنَا ُع َم‬D‫ال َح‬
َ َ‫َح َّدثَنَا ابْنُ نُ َمي ٍْر ق‬
‫وْ َم‬Dَ‫ هُ أُ ْل ِج َم ي‬D‫ هُ فَ َكتَ َم‬D‫ئِ َل ع َْن ِع ْل ٍم يَ ْعلَ ُم‬D‫ال َم ْن ُس‬D
َ َ‫لَّ َم ق‬D‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬َ ِ ‫ُول هَّللا‬َ ‫أَبِي هُ َر ْي َرةَ أَ َّن َرس‬
ٍ ‫ْالقِيَا َم ِة بِلِ َج ٍام ِم ْن ن‬
8
‫َار‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Umarah bin Zadzan dari Ali bin Al Hakam
dari 'Atho` bin Abu Rabah dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ditanya tentang
ilmu yang telah diketahuinya kemudian ia sembunyikan, maka pada
hari kiamat ia akan dicambuk dengan cambuk yang terbuat dari api."
(H.R. Ahmad)
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ini memiliki beberapa sanad yang
dinilai berkualitas sebagai berikut:
1. Ia bernama lengkap Abdullah bin Numair. Menurut pengelompokkan,
ia masuk pada kelompok kalangan tabi'ut tabi'in kalangan biasa.
Nama kuniyahnya adalah: Abu Hisyam. Selama hidupnya ia tinggal di
Kufah hingga wafat pada 199 H. Penilaian ahli hadis tentang dirinya
adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Yahya bin Ma'in Tsiqah
Abu Hatim Mustaqimul hadits
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar Tsiqah
Adz Dzahabi Hujjah
2. Sanad berikutnya bernama lengkap Umarah bin Zadzan. Ia termasuk
kalangan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Ia memiliki nama kuniyah
sebagai Abu Salamah. Selama hidupnya ia tinggal di Bashrah.
Sementara penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ahmad bin Hambal Syaikh

8
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Juz 18 (Kairo: Dar al-Ma’arif, tth), h. 212.
6

Yahya bin Ma'in Shalih


Abu Zur'ah la ba`sa bih
Abu Hatim tidak boleh berhujjah dengan haditsnya
Ad Daruquthni dla'if
Al 'Ajli Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar "shaduq, banyak salah"

3. Ia bernama lengkap Ali bin Al Hakam. Ia termasuk dalam kalangan


tabi'in kalangan biasa. Nama kuniyah yang dikenal bagi dirinya adalah
Abu Al Hakam. Semasa hidup ia tinggal di Bashrah hingga wafat pada
131 H.

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ibnu Hibban disebutkan dalam 'Ats Tsiqat'
Ahmad bin Hambal laisa bihi ba`s
Abu Hatim la ba`sa bih
Ad Daruquthni Tsiqah
Adz Dzahabi Shaduuq
Ibnu Hajar Tsiqah

4. Nama Lengkapnya adalah Atha' bin Abi Rabbah Aslam. Ia tergolong


berasal dari kalangan tabi'in kalangan pertengahan. Nama kuniyahnya
adalah Abu Muhammad. Ia tinggal di negeri Marur Rawdz semasa
hidupnya sampai wafat pada 114 H. Penilaian ulama hadis terhadapnya
adalah

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Yahya bin Ma'in Tsiqah
Ibnu Saad Tsiqah
Abu Zur'ah Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'Ats Tsiqat'
7

5. Ia bernama lengkap Abdur Rahman bin Shakhr. Ia termasuk dalam


kelompok kalangan sahabat. Nama kuniyah yang terkenal darinya
adalah Abu Hurairah. Semasa hidupnya ia tinggal di Madinah hingga
wafat 57 H. Sementara itu penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ibnu Hajar al 'Asqalani Shahabat

Berdasarkan ilmu jarh wa ta’dil, diketahui terdapat dua orang sanad yang
dinilai oleh pakar hadis “la ba`sa bih”. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan
kualitas hadis di atas cenderung dhaif. Artinya bahwa hadis ini tidak dapat
dijadikan argumentasi hujjah atau hukum. Namun, di bidang ilmu pendidikan
Islam, tentu saja hadis ini masih dapat diterima sebagai bentuk anjuran, meskipun
berkualitas dhaif.
Hadis tersebut di atas secara umum berkenaan dengan perintah dan
kewajiban mendidik melalui anjuran untuk menyampaikan ilmu yang dimiliki
kepada orang lain. Seorang muslim yang belajar dan mengamalkan apa yang
dipelajarinya, kemudian diajarkannya kepada orang lain, maka ia mendapat pahala
seperti pahala orang yang mengamalkannya. Di samping itu, seorang muslim yang
mengajarkan ilmunya tetap mendapatkan pahala sekalipun ia telah meninggal
dunia.9
Dalam terma yang lain, Abdul Majid Khon memaparkan bahwa ilmu yang
dicari dan diamalkan, kemudian diajarkan kepada orang lain disebut dengan ilmu
yang bermanfaat. Dalam hadis lain, terdapat pernyataan pula tentang ilmu yang
bermanfaat. Pahala ilmu yang bermanfaat tetap hidup dan berjalan selama masih
diamalkan yang bersangkutan atau diajarkan lagi kepada orang lain.
Dalam hal ini, tidak penting ilmu tersebut diajarkan secara langsung dalam
interaksi edukatif antara pendidik dengan peserta didik. Di samping itu, ilmu yang
telah dibukukan juga termasuk dalam bentuk ilmu yang bermanfaat, bahkan lebih
besar daripada ilmu yang diterima secara langsung. Hal ini tentu saja disebabkan

Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi; Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada
9

Media Group, 2012), h. 128.


8

karena buku merupakan karya tulis yang bersifat lebih kuat dan tahan lama
sepanjang masa, sehingga lebih bermanfaaat dirasakan.10
Kewajiban dan perintah mendidik dalam kandungan hadis di atas
mengisyaratkan menyampaikan ilmu yang diketahui atau dipelajarinya. Sesuai
dengan makna ilmu yang bermanfaat di atas, maka dipahami bahwa
menyembunyikan ilmu adalah sebuah celaan bagi pemiliknya. Bahkan, dalam
hadis tersebut terkandung makna bahwa pemilik ilmu yang tidak
menyampaikannya kepada orang lain akan memperoleh sanksi hukuman berupa
cambukan di hari kiamat.
Menurut Bukhari Umar sebagaimana mengutip pendapat al-Khaththabi
bahwa seorang muslim yang ditanya mengenai perkara agama dan
menyembunyika pengetahuannya dengan cara tidak menjawab atau menulis, maka
Allah akan memasukkan api neraka ke dalam mulutnya karena ia telah menahan
kebenaran melalui lidah atau tangannya. Apabila seorang muslim menahan
dirinya untuk berbicara tentang kebenaran, menginformasikan ilmu, dan
menjelaskannya, maka ia akan diazab dengan kekangan api neraka di akhirat
nanti. Perintah ini berlaku bagi ilmu yang jelas kefardhuanya, seperti ilmu syariat
yang bersifat pokok (ilm al-din al-dharuri).11
b. Hadis tentang mengajarkan alquran
‫ْت َس ْع َد ْبنَ ُعبَ ْي َدةَ ع َْن أَبِي‬ ُ ‫ ع َْلقَ َمةُ بْنُ َمرْ ثَ ٍد َس ِمع‬D‫َح َّدثَنَا َحجَّا ُج بْنُ ِم ْنهَا ٍل َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ قَا َل أَ ْخبَ َرنِي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم قَا َل خَ ْي ُر ُك ْم َم ْن‬
َّ ِ ‫َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ال ُّسلَ ِم ِّي ع َْن ع ُْث َمانَ َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬
‫ك‬َ ‫ال َو َذا‬ َ َ‫ أَبُو َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن فِي إِ ْم َر ِة عُث َمانَ َحتَّى َكانَ ال َحجَّا ُج ق‬Dَ‫ال َوأَ ْق َرأ‬
ْ ْ َ َ‫تَ َعلَّ َم ْالقُرْ آنَ َوعَلَّ َمهُ ق‬
12‫ع ِدي هَ َذا‬ َ ‫ َم ْق‬D‫الَّ ِذي أَ ْق َع َدنِي‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal Telah menceritakan
kepada kami Syu'bah ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku
'Alqamah bin Martsad Aku mendengar Sa'd bin Ubaidah dari Abu
Abdurrahman As Sulami dari Utsman radliallahu 'anhu, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Orang yang paling baik
di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan
mengajarkannya." Abu Abdirrahman membacakan (Al Qur`an) pada

Ibid.
10

Bukhari Umar, Hadis Tarbawi; Pendidikan dalam Perspektif Hadis (Jakarta: Amzah,
11

2012), h. 25-26.
12
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Shahih al-
Mukhtasar, Juz 4 (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), h. 1919.
9

masa Utsman hingga Hajjaj pun berkata, "Dan hal itulah yang
menjadikanku duduk di tempat dudukku ini." (H.R.Bukhari)
Hadis yang cenderung sama dengan hadis di atas juga diriwayatkan oleh
Bukhari dengan sanad yang berbeda. Adapun penilaian ahli hadis tentang kualitas
sanad adalah:
1. Utsman bin 'Affan bin Abi Al 'Ash bin Umayyah yang tergolong pada
kalangan sahabat. Adapun nama kuniyahnya adalah Abu 'Amru.
Semasa hidupnya ia tinggal dan menghabiskan umurnya di Madinah
hingga wafat pada tahun 35 H. Adapun penilaian ahli hadis
terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Shahabat

2.

Abdullah bin Habib bin Rabi'ah adalah kalangan tabi'in kalangan tua.
Nama kuniyah yang dikenal darinya adalah Abu 'Abdur Rahman. Ia
tinggal di Kufah semasa hidupnya hingga wafat pada 72 H. Sedangkan
penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Al 'Ajli Tsiqah
An Nasa'i Tsiqah
Ibnu Abdil Barr Tsiqah
Ibnu Hajar Al Atsqalani tsiqah tsabat
Adz Dzahabi Imam
3. Sa'ad bin 'Ubaidah termasuk kalangan tabi'in kalangan pertengahan.
Nama kuniyahnya adalah Abu Hamzah. Ia hidup di kufah, namun tidak
diketahui data tentang wafatnya. Penilaian ahli hadis terhadapnya
adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Yahya bin Ma'in Tsiqah
An Nasa'i Tsiqah
10

Al 'Ajli Tsiqah
Adz Dzahabi Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat
4.
Nama lengkapnya adalah Alqamah bin Martsad. Ia termasuk pada kelompok
kalangan tabi'in (tidak jumpa Shahabat). Nama kuniyahnya adalah Abu
Al Harits. Ia tinggal di Kufah, namun tidak diketahui tentang wafatnya.
Sementara itu, penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:s

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ibnu Hajar Tsiqah
Adz Dzahabi Tsiqah
Ahmad bin Hambal Tsiqah
An Nasa'i Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'Ats Tsiqat'

5. Syu'bah bin Al Hajjaj bin Al Warad adalah kalangan tabi'ut tabi'in


kalangan tua. Nama kuniyahnya adalah Abu Bistham. Ia tinggal di
Bashrah hingga wafat pada 160 H. Sedangkan penilaian ahli hadis
terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Al 'Ajli tsiqah tsabat
Ibnu Sa'd tsiqah ma`mun
tidak ada seorangpun yang lebih baik
Abu Daud
haditsnya dari padanya
Ats Tsauri amirul mukminin fil hadits
Ibnu Hajar Al Atsqalani tsiqoh hafidz
Adz Dzahabi tsabat hujjah
6. Hajjaj bin Al Minhal adalah kalangan tabi'ut tabi'in kalangan biasa.
Nama kuniyahnya adalah Abu Muhammad. Ia tinggal di Bashrah
hingga wafat pada 217 H. Sedangkan penilaian ahli hadis terhadapnya
adalah:
11

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ahmad bin Hambal Tsiqah
Abu Hatim Tsiqah Fadil
An Nasa'i Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar al 'Asqalani Tsiqah Fadil

Adapun kualitas sanad hadis di atas mengemukakan bahwa seluruh


sanadnya dinilai dalam kategori tsiqoh. Berdasarkan kualitas sanad ini pulalah,
bahwa hadis tersebut dikelompokkan dalam hadis hasan.
Dalam kaitannya dengan hadis di atas sebelumnya, maka mendidik
termasuk perintah dan kewajiban seorang muslim yang berilmu pengetahuan.
Sementara itu, sebaik-baik ilmu secara mutlak untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat adalah ilmu Alquran. Ilmu Alquran adalah ilmu yang
menghantar manusia untuk memahami firman Allah. Sementara, Alquran
merupakan petunjuk menuju jalan yang lurus, dan membawa kepada kebahagiaan
di dunia dan di akhirat.
Dalam hadis tersebut terkandung makna yang menyatakan bahwa orang
yang mengajarkan Alquran adalah sebaik-baik manusia di muka bumi ini. Orang
yang mengajarkan Alquran tentu adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan
tentang Alquran pula, dan mengamalkan isinya, kemudian mengajarkannya
kepada orang lain. Tentu saja, orang yang mengajarkan Alquran mendapatkan
pahala seperti pahala orang yang mengamalkan isi Alquran sebagaimana yang
diajarkannya kepada orang tersebut.
Di samping, perintah dan kewajiban mengajarkan Alquran kepada orang
lain sebagai bentuk sebaik-baik pekerjaan, di sisi lain hadis tersebut mengandung
makna perintah dan kewajiban belajar tentang Alquran. Islam menitikberatkan
tentang perintah dan kewajiban menuntut ilmu, termasuk Alquran. Perintah dan
kewajiban Alquran yang terkandung dalam hadis ini lebih dahulu dituntut
sebelum perintah dan kewajiban mengajarkan Alquran. Maksud yang terkandung
di dalamnya tentu saja perintah mengajarkan Alquran hanya dapat dilaksanakan
oleh orang yang telah belajar tentang Alquran tersebut. Bersamaan dengan ini,
12

perintah dan kewajiban belajar atau menuntut ilmu Alquran, mengamalkan isi
Alquran yang dipelajari dan menyampaikan Alquran untuk dimanfaatkan orang
lain terkandung secara keseluruhan dalam hadis tersebut.
Pada hadis ini sebenarnya Rasulullah ingin menunjukkan bahwa
mengajarkan Alquran kepada orang lain agar mendapatkan ilmu tentang Alquran
tersebut dapat didekati dengan pendekatan fungsional. Melalui pendekatan
fungsional ini terlihat bahwa Nabi Muhammad memberikan perintah untuk
mengajarkan ilmu atau materi pembelajaran dengan penekanan pada segi
kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu tentang
Alquran serta kandungannya merupakan materi pembelajaran yang sangat urgen
dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, baik kehidupan pribadi maupun
sosial kemasyarakatannya. Pendekatan fungsional ini menghantarkan setiap
muslim dapat memperoleh manfaat besar ilmu Alquran dalam kehidupannya.13
2. Hadis berkenaan dengan perintah dan kewajiban berpendidikan
Hadis tentang perintah dan kewajiban menuntut ilmu

َ‫يرين‬ ٍ ‫ ْن ِظ‬D‫ي ُر بْنُ ِش‬DDِ‫ َّدثَنَا َكث‬D‫لَ ْي َمانَ َح‬D‫ار َح َّدثَنَا َح ْفصُ بْنُ ُس‬
ِ D‫ير ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ِس‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ِه َشا ُم بْنُ َع َّم‬
‫لِ ٍم‬D ‫لِّ ُم ْس‬DD‫يضةٌ َعلَى ُك‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر‬
َ ِ ‫ل هَّللا‬Dُ ‫ك قَا َل قَا َل َرسُو‬ ِ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
14
َ ‫ؤ َوال َّذه‬Dَ ُ‫ير ْال َجوْ هَ َر َواللُّ ْؤل‬
‫َب‬ ِ ‫اض ُع ْال ِع ْل ِم ِع ْن َد َغي ِْر أَ ْهلِ ِه َك ُمقَلِّ ِد ْال َخن‬
ِ ‫َاز‬ ِ ‫َو َو‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin Sulaiman berkata, telah
menceritakan kepada kami Katsir bin Syinzhir dari Muhammad bin
Sirin dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya,
seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher
babi." (H.R. Ibnu Majah)
Berkenaan dengan sanad pada hadis ini dapat dijelaskan bahwa:

Bukhari Umar, Hadis…, h. 18.


13

Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, Kitab :
14

Mukaddimah Bab : Keutamaan ulama dan dorongan untuk menuntut ilmu. No. Hadist : 220
(Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 91.
13

1. Anas bin Malik bin An Nadlir bin Dlamdlom bin Zaid bin Haram
digolongkan kepada kalangan sahabat. Ia memiliki nama kuniyah yaitu
Abu Hamzah, yang menghabiskan masa hidupnya di Bashrah sampai
ia wafat pada 91 H. Penilaian ahli hadis tentangnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ibnu Hajar al 'Asqalani Shahabat
2. Muhammad bin Sirin, maula Anas bin Malik yang dikelompokkan
pada kalangan tabi'in kalangan pertengahan. Nama kuniyah yang
melekat padanya adalah Abu Bakar. Ia hidup di Bashrah hingga
meninggal dunia pada 110 H. Sementara itu, para penilaian ahli hadis
terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ahmad bin Hambal Tsiqah
Yahya bin Ma'in Tsiqah
Al 'Ajli Tsiqah
Muhammad bin Sa'd tsiqah ma`mun
Ibnu Hibban Hafizh
Ibnu Hajar al 'Asqalani tsiqah tsabat
Adz Dzahabi tsiqah hujjah

3. Katsir bin Syinzhir termasuk kalangan tabi'in (tidak berjumpa dengan


sahabat). Ia bernama kuniyah Abu Qurrah. Semasa hidup ia tinggal di
Bashrah, namun tidak ditemukan data tentang wafatnya. Sementara itu,
para penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ahmad bin Hambal Shalih
Yahya bin Ma'in Shalih
Abu Zur'ah Layyin
An Nasa'i laisa bi qowi
Ibnu Hazm Dhaif Jiddan
Al Bazzar Laisa bihi ba's
14

Ibnu Hajar al 'Asqalani Shaduq yuhti


4. Hafsh bin Sulaiman merupakan kalangan tabi'ut tabi'in kalangan
pertengahan. Ia memiliki nama kuniyah Abu 'Umar. Masa hidupnya
dihabiskan di Kufah hingga wafat pada 180 H. Adapun penilaian para
ahli hadis terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Ahmad bin Hambal matrukul hadits
Yahya bin Ma'in Kadzaab
Ibnu Madini dla'iful hadits
Al Bukhari Mereka meninggalkannya

5. Hisyam bin 'Ammar bin Nushair bin Maisarah bin Aban adalah
kalangan tabi'in kalangan biasa. Ia dikenal dengan nama kuniyah Abu
Al Walid. Ia hidup di negeri Syam sampai wafat pada 245 H. Penilaian
ahli hadis terhadapnya adalah:

ULAMA PENILAIAN KUALITAS SANAD


Yahya bin Ma'in Tsiqah
Al 'Ajli Tsiqah
Abu Hatim Kaisun
An Nasa'i la ba`sa bih
Ad Daruquthni Shaduuq
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar al 'Asqalani Shaduuq
Adz Dzahabi Hafizh

Penilaian tentang kualitas sanad dalam hadis tersebut di atas ditemukan


terdapat beberapa penilaian negatif dengan istilah la ba`sa bih, matrukul hadits,
kadzaab,dan dla'iful hadits menunjukkan hadis ini memiliki kecenderungan
berkualitas dhaif.
15

Menurut Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, sanad hadis ini dinilai
lemah (dhaif) seperti Hafsh bin Sulaiman. Di samping itu, Syaikh Mahya ad-Din
an-Nawawi menilai bahwa hadis ini dhaif berdasarkan sanadnya, atau
kemungkinan berkualitas hasan dikarenakan terdapat limapuluh jalan sanad
tentang hadis ini.15
Berdasarkan hadis di atas, kandungan isi hadis tersebut dapat dilihat
bahwa kata “kewajiban” dalam matan hadis tersebut menunjukkan hukum yang
terkandung di dalam kegiatan menuntut ilmu tersebut. Amir Syarifuddin dalam
bukunya Ushul Fiqh menyatakan bahwa “fardhu” yang identik dengan kata
“kewajiban” tersebut di atas adalah “sesuatu yang oleh syara’ (pembuat hukum)
untuk melaksanakannya dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf (subjek hukum).
Kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang
lain atau karena perbuatan orang lain.
Kata kewajiban tersebut tentu saja berimplikasi pada satu sisi adalah nilai
dari suatu perbuatan dan pada sisi lain pada orang yang melaksanakan perbuatan
tersebut. Nilai dari perbuatan menuntut ilmu dalam kandungan hadis tersebut
adalah perbuatan yang dikerjakan berpahala dan ditinggalkan berdosa. Perbuatan
menuntut ilmu tersebut merupakan sebuah perbuatan yang harus dilaksanakan.
Sementara itu, kata kewajiban terkait dengan sisi lain yaitu orang yang
melaksanakan perbuatan tersebut. Jika dikaitkan dengan sisi orang yang
melaksanakan perbuatan tersebut, maka menuntut ilmu merupakan perbuatan
yang dituntut kepada orang yang mukallaf. Hadis ini menunjukkan bahwa
menuntut ilmu adalah perbuatan yang harus dilaksanakan oleh pribadi yang secara
hukum telah dikenai hukum.
Penggunaan kata “muslim” dalam hadis tersebut menunjukkan isim
mudzakkar (kata benda yang berbentuk laki-laki), namun makna yang terkandung
di dalamnya mencakup laki-laki dan perempuan. Dalam artian, kewajiban mencari
ilmu wajib bagi seluruh kaum muslim baik laki-laki dan perempuan. Sementara
itu, muslim yang dimaksud adalah muslim yang mukallaf, yakni beragama Islam,

Al-Hafiz Abi Abdallah Muhammad bin Yazid al-Qarwini, Sunan Ibn Majah, Juz-1
15

(Semarang: Maktabah Thaha Putra, tth), h. 81.


16

berakal, dan baligh.16 Hadis ini bukan hanya menunjukkan adanya perintah
menuntut ilmu, namun juga kewajiban untuk menuntut ilmu.
Jika ditilik kepada bentuk kata “ilm” yang terkandung dalam matan hadis
tersebut dikelompokkan dalam bentuk isim ma’rifah, karena diawali oleh al-ta’rif,
yang artinya tertentu. Dalam kaidah bahasa Arab dipahami bahwa isim ma’rifah
dipergunakan untuk sesuatu yang bersifat khusus, tertentu, dan telah dimaklumi,
bukan sesuatu yang bersifat umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kata “ilm” yang terkandung dalam matan hadis tersebut di atas adalah ilmu
tertentu yaitu ilmu-ilmu agama yang pokok (lm al-din al-dharuri). Kewajiban
menuntut ilmu seperti dalam kandungan hadis tersebut menuntut seorang muslim
untuk menuntut ilmu-ilmu agama yang pokok (lm al-din al-dharuri).
Kandungan hadis tersebut dapat dijabarkan melalui penjelasan al-Ghazali
dalam bukunya Buat Pencinta Ilmu bahwa hukum yang terkandung dalam kata
kewajiban atau fardhu adalah menuntut ilmu-ilmu agama yang pokok (ilm al-din
al-dharuri).17 Secara umum, semua muslim harus menuntut ilmu. Mereka harus
selalu belajar tentang ilmu-ilmu agama. Tetapi jenis ilmu yang perlu dituntut
tersebut memerlukan kualifikasi tertentu. Baginya, dalam hadis tersebut
mengandung dua macam kualifikasi ilmu, yaitu: fardhu ain dan fardhu kifayah.
Penjelasan berkenaan dengan hal ini adalah:
Pertama, menuntut ilmu fardhu ain merupakan perbuatan menuntut ilmu
terhadap ilmu yang harus dimiliki seorang hamba untuk benar-benar mengetahui
kedudukannya di sisi Allah swt.18 Adapun ilmu agama yang pokok (ilm al-din al-
dharuri) dan terkait dengan hamba dapat dicontohkan seperti ilmu tentang
kewajiban terhadap Allah swt, seperti ilmu tentang pelaksanaan thaharah, salat,
puasa, haji, dan kewajiban yang dituntut oleh setiap muslim.19
Menurut al-Ghazali ilmu yang termasuk dalam ilmu agama yang pokok
(ilm al-din al-dharuri) yang wajib ‘ain mempelajarinya disebabkan dua alasan.
Pertama ilmu yang wajib ‘ain mengetahuinya bagi setiap mukkalaf dalam
kaitannya dengan kewajibannya. Al-Ghazali menyebutkan sebagai rub’ul

16
Abdul Majid Khon, Hadis…, h. 145.
17
Al-Ghazali, Buat Pencinta Ilmu, diterjemahkan oleh Ma’ruf Asrori (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), h. 102.
18
Ibid.
19
Ibid., h. 104.
17

muhlikat, artinya ilmu yang wajib ‘ain untuk dipelajari oleh setiap orang yang
menamakan dirinya sebagai hamba Allah.20 Ilmu yang termasuk kelompok ini
seperti ilmu akidah; ilmu tentang ma’rifatullah dan ma’rifaturasul, pokok-pokok
ibadah; thaharah, salat, dan puasa, ilmu tentang hal-hal wajib dan dilarang bagi
lidah, telinga, hati, dan anggota badan lainnya.
Sedangkan kedua, ilmu yang wajib ‘ain ketika kewajiban lain atas diri
mukallaf yang ditimbulkan oleh persoalan baru (‘aridhi), dan sesuatu yang baru
itu tidak bersifat dharuri (pokok) untuk setiap perseorangan, meskipun ada
kalanya bersifat keyakinan, atau pekerjaan untuk melakukannya atau
meninggalkannya.21 Contohnya, ilmu tentang tata cara zakat bagi mukallaf yang
telah mampu membayarnya, tata cara haji bagi yang telah mampu
melaksanakannya, tata cara jual beli bagi yang akan melaksanakannya, tata cara
pernikahan bagi yang akan melaksanakannya, dan lainnya.
Kedua, menuntut ilmu fardhu kifayah adalah menuntut ilmu terhadap
ilmu-ilmu agama yang berkenaan dengan kewajiban atas sekelompok orang
dengan tidak tertentu sifatnya.22 Artinya, bahwa kewajiban menuntut ilmu agama
yang apabila sudah dipelajari oleh sebagian mukallaf maka sebagian yang lain
gugur kewajibannya. Ilmu yang termasuk di dalamnya adalah ilmu fara’id (ilmu
waris), ilmu qira’ah (ilmu tajwid), ilmu mushthalah hadis, usul fikih, dan ilmu
lainnya yang termasuk ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia seperti
ilmu kedokteran.
Kewajiban menuntut ilmu-ilmu agama merupakan alat untuk mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat. Pemahaman ilmu agama membawa seseorang kepada
gelar manusia termulia di sisi Allah swt, yaitu orang yang bertakwa. Ilmu agama
yang dipahaminya akan menghantarkannya untuk melaksanakan apa yang
diketahui dan dipahaminya, terutama terkait dengan kewajibannya sebagai hamba.
Semakin tinggi pengamalan agamanya akan berbanding lurus dengan kualitas
ketakwaannya.
Kebalikannya, orang yang tidak memahami ilmu agama tidak akan
mungkin menjadi orang yang bertakwa. Pemahaman ilmu agama yang sedikit

20
Ibid., h. 106.
21
Ibid., h. 103-104.
22
Ibid., h. 108.
18

bahkan tidak ada sama sekali akan menyebabkan dirinya jauh dari kebaikan
sehingga sulit untuk mencapai gelar ketakwaan. Karenanya, menuntut ilmu agama
merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim.
Menurut Abdul Majid Khon, dalam ajaran Islam, ilmu dapat dikategorikan
ke dalam dua jenis ilmu, yaitu:
1. Ilmu fardhu ‘ain seperti ilmu tauhid (akidah), ilmu fikih, dan ilmu
tasawuf, termasuk juga ilmu tajwid, tafsir Alquran, ilmu faraidh, dan
ilmu Hadis.
2. Ilmu fardhu kifayah seperti ilmu sains, kesusasteraan, dan
kedokteran.23
Dalam hadis tersebut di atas dapat dipahami bahwa setiap ilmuwan
memiliki spesialisasi keilmuan sesuai dengan bidangnya. Seorang muslim yang
berbicara ilmu tidak sesuai dengan bidang keilmuannya berarti zalim atau
penganiayaan. Dalam hadis ini, kondisi ini dianalogikan dengan mengalungi babi
sebagai binatang yang paling rendah dengan benda yang sangat berharga.24
Maksud yang terkandung dalam hadis ini adalah pembicaraan ilmu yang tidak
pada ahlinya merupakan perbuatan merendahkan esensi ilmu yang dinilai
berharga. Kandungan hadis ini sekaligus menunjukkan perbuatan zalim kepada
orang lain karena menyampaikan ilmu yang bukan keahliannya.
Ibn al-Mubarak sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid Khon
menyebutkan bahwa hadis tersebut di atas mengandung makna kewajiban
menuntut ilmu bagi seorang muslim tentang urusan agamanya yang akan
dipertanggungjawabkannya di akhirat sehingga ia wajib mengetahuinya.
Sementara itu, masih menggunakan sumber yang sama, al-Baydhawiy
menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah ilmu yang
tidak ada jalan lain kecuali harus mengetahuinya. Ilmu tersebut termasuk ilmu
pengetahuan tentang Allah swt dan keesaan-Nya, ilmu tentang Nabi Muhammad
saw, pengetahuan tentang salat, dan ibadah lainnya. Keseluruhan ilmu tersebut
harus dituntut dengan hukum fardhu ‘ain.25

23
Abdul Majid Khon, Hadis…, h. 129.
24
Ibid., h. 142.
25
Ibid., h. 146.
19

Penggunaan istilah ilmu sebagaimana disebutkan di atas bervariasi. Al-


Ghazali menyebutnya dengan ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.26 Ibn Khaldun
mengatakan ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah.27 Sementara itu, Naquib al-Attas
menyebutkan ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.28 Di samping itu, sesuai
dengan hadis Konferensi Pendidikan Islam se-dunia menyebutkan sebagai ilmu
wahyu (perennial knowledge) dan ilmu muktasab (acquired knowledge).29

D. Pemikiran tentang Kandungan Hadis tentang Perintah dan Kewajiban


Mendidik dan Berpendidikan
Berdasarkan beberapa paparan hadis di atas, maka terdapat beberapa
peemikiran tentang pendidikan Islam yang terkait dengan tema perintah dan
kewajiban mendidik dan berpendidikan, yaitu:
1. Belajar atau menuntut ilmu merupakan perintah sekaligus kewajiban.
2. Kewajiban menuntut ilmu dituntut bagi setiap muslim baik laki-laki
dan perempuan yang mukallaf.
3. Kewajiban menuntut ilmu terdapat pada ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
dan fardhu kifayah.
4. Belajar Alquran merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim
mukallaf, dikarenakan Alquran adalah salah satu sumber ajaran agama
Islam yang harus diketahui oleh setiap muslim.
5. Perintah mengajarkan Alquran juga merupakan salah satu kewajiban
bagi setiap muslim mukallaf yang telah mempelajarinya, dikarenakan
pengajaran kepada orang lain sebagai bentuk penyampaian kebenaran.
6. Perintah belajar dan mengajarkan Alquran merupakan sebaik-baik
pekerjaan bagi setiap muslim.

26
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-
Filosofis, diterjemahkan oleh Mahmud Arif (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 124.
27
Ibid., h. 187.
28
Wan Mohm Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh
Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel (Bandung: Mizan, 2003), h. 272. Syed
Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, diterjemahkan oleh Haidar Bagir
(Bandung: Mizan, 1984), h. 87.
29
Hasan Langgulung, Azas-azas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003), h. 326.
20

7. Perintah untuk menyampaikan atau mengajar dan sekaligus larangan


untuk menyembunyikan ilmu yang telah dipelajari merupakan tuntutan
bagi setiap muslim.
8. Ilmu yang termasuk dilarang untuk disembunyikan adalah ilmu-ilmu
agama yang pokok (ilm al-din al-dharuri).
9. Anjuran untuk menyebarkan atau menginformasikan ilmu
pengetahuan, baik secara langsung dalam interaksi edukatif atau tradisi
lisan, maupun secara tidak langsung dalam karya ilmiah atau tradisi
tulisan.
10. Anjuran untuk menghormati orang yang mendidik dan berpendidikan
sebagai pewaris nabi yang menyampaikan kebenaran.
E. Penutup
Beberapa aspek pendidikan dalam perspektif hadis memang menarik untuk
dikaji. Kajian tentang tema perintah dan kewajiban mendidik dan berpendidikan
sesuai dengan tema tulisan ini menemukan banyak hadis yang dapat dijadikan
bahan pemikiran. Namun, dikarenakan kepentingan fokus terhadap tema kajian
ini, dirasakan penting untuk memberi batasan terhadap beberapa sumber hadis
yang digunakan.
Tulisan ini memberikan gambaran tentang urgensi perintah mendidik dan
berpendidikan dalam rangka menjaga kesucian agama itu sendiri dan regenerasi
jaringan ulama yang penting dalam membangun peradaban dunia, terutama dunia
Islam. Seorang muslim yang belajar dan mengajarkan Alquran adalah sebaik-baik
manusia. Perintah belajar ilmu-ilmu agama yang pokok (ilm al-din al-dharuri)
termasuk ilmu Alquran yang disebutkan di atas juga merupakan kewajiban bagi
setiap muslim mukallaf. Implikasi perintah belajar mengharuskan setiap pribadi
muslim untuk mampu mengajarkan ilmu, terutama yang terkait dengan kewajiban
fardhu’ain dan fardhu kifayah. Proses pendidikan menyangkut belajar dan
mendidik merupakan karakteristik perolehan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang diperoleh dari proses belajar dan diamalkan,
kemudian diajarkan kepada orang lain.
Tentu saja beberapa pemikiran pendidikan yang merupakan buah dari
kandungan ketiga hadis tersebut di atas memiliki relevansi dengan dengan konteks
21

pendidikan Islam. Tradisi keilmuan dalam ilmu-ilmu agama termasuk Alquran


dapat dilembagakan dalam bentuk interaksi edukatif secara lisan dan karya ilmiah
secara tulisan. Karenanya, peran lembaga pendidikan menjadi strategis dengan
pendekatan fungsional ini. Lembaga pendidikan merupakan wadah pelaksana
pendidikan Islam yang mengembang misi dan visi keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA

al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam,


diterjemahkan oleh Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984.

al-Bukhari al-Ja’fi, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. al-Jami’ al-


Shahih al-Mukhtasar, Juz 4, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.

Daud,Wan Mohm Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan
Iskandar Amel, Bandung: Mizan, 2003.

al-Ghazali, Buat Pencinta Ilmu, diterjemahkan oleh Ma’ruf Asrori,


Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.

Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad al-imam Ahmad, Juz 18, Kairo: Dar al-
Ma’arif, tth.

Khon, Abdul Majid. Hadis Tarbawi; Hadis-hadis Pendidikan, Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2012.

Langgulung, Hasan Azas-azas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-


Husna Baru, 2003.

Madjid, Nurcholish. Tradisi Islam; Peran dan Fungsinya dalam


Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997.

an-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan


Masyrakat, diterjemahkan oleh Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Teori Pendidikan Islam;


Perspektif Sosiologis-Filosofis, diterjemahkan oleh Mahmud Arif, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.

Tim Penyusun. Terjemahan Alquran, Jakarta; Departemen Agama, 1987.

Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,


2001.
22

Umar, Bukhari. Hadis Tarbawi; Pendidikan dalam Perspektif Hadis,


Jakarta: Amzah, 2012.

al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah. Sunan Ibnu Majah,


Juz 1, Kitab : Mukadimah Bab : Keutamaan ulama dan dorongan untuk menuntut
ilmu. No. Hadist : 220, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

----------. Sunan Ibn Majah, Juz 1, Semarang: Maktabah Thaha Putra, tth.

Anda mungkin juga menyukai