Oleh:
Mahariah, M.Ag
A. Pendahuluan
Di samping sumber daya alam, faktor manusia sebagai sumber daya
memiliki peran strategis dalam menentukan masa depan suatu bangsa. Menurut
Nurcholish Madjid sumber daya manusia dapat terukur melalui proses pendidikan
dimaknai sebagai segenap usaha penumbuhan dan pengembangan potensi sumber
daya manusia yang ada pada generasi muda. Bahkan proses pendidikan tidak
dapat hanya diukur dari dimensi kegiatan pembelajaran yang terlaksana di
lembaga pendidikan formal. Baginya, sumber daya manusia ditentukan oleh etos
kerja di samping etos lainnya, serta sistem moral-etis yang mendasari tingkah laku
anggota masyarakatnya.1 Jelasnya, sumber daya manusia muslim terkait dengan
etos keilmuan yang mendasari proses pendidikan Islam tersebut.
Etos keilmuan di kalangan Islam dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama,
sisi ideologis untuk menemukan beberapa sumber ajaran yang mendasari urgensi
pendidikan dan etos keilmuan. Dalam hal ini etos keilmuan yang terkait dengan
perintah dan kewajiban mendidik dan berpendidikan. Kedua, sisi sosio-historis
dalam rangka mengkonstuk gambaran kenyataan fakta historis tentang sosok
muslim yang memiliki etos keilmuan dalam konteks pendidikan. Namun, sisi
pertama merupakan tujuan utama penulisan makalah ini. Tulisan ini bertujuan
untuk menemukan hadis-hadis yang relevan dengan tema perintah dan kewajiban
mendidik dan berpendidikan secara tektual dan kontektual.
Etos keilmuan dalam ajaran Islam salah satunya terkait dengan pengunaan
kata ilmu pengetahuan. Kata ilmu pengetahuan merupakan kata yang banyak
ditemukan dalam Alquran dan Hadis. Kata ilmu pengetahuan berkaitan dengan
kata pendidikan sebagai proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara
1
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam; Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 30.
2
sederhana. Di dalam kata pendidikan tersebut terkandung dua kata yang saling
berkaitan, yaitu kata mengajar atau mendidik dan kata belajar atau berpendidikan.
Ajaran Islam menganjurkan kepada manusia untuk melaksanakan
pendidikan. Bahkan ajaran Islam menyatakan bahwa mendidik dan berpendidikan
merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Kewajiban mendidik dan
berpendidikan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kewajiban
mendidik jatuh pada pribadi orang yang telah berpendidikan, sebaliknya
berpendidikan adalah perbuatan menuntut ilmu yang menjadi syarat agar
perbuatan mendidik dapat dilaksanakan.
Kewajiban mendidik dan berpendidikan merupakan perintah untuk terus
menjaga pewarisan agama dan peradaban manusia sebagai bentuk tanggung jawab
manusia sebagai hamba maupun khalifah.2 Melalui perintah kewajiban mendidik
dan berpendidikan ini setiap muslim dituntut untuk melaksanakan aktivitas belajar
dan mengajar, baik dalam bentuk ilmu agama maupun ilmu profan.
Pada umumnya, aktivitas mengajar dan belajar berkaitan dengan proses
pencarian ilmu yang merupakan awal proses menumbuhkan etos keilmuan
tersebut. Ajaran Islam menekankan urgensi ilmu dalam setiap kesempatan, baik
bagi muslim yang tua dan muda, bahkan bagi yang kaya dan miskin, dan pada
waktu lapang maupun sempit. Etos keilmuan menurut Islam berawal dari sikap
memperhatikan dan mempelajari alam, baik alam makro yaitu jagad raya maupun
alam mikro yaitu manusia. Hal ini termaktub dalam firman Allah tentang
kewajiban belajar dan mengajar, yaitu:
3
Artinya: “1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”4
2
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyrakat,
diterjemahkan oleh Shihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 26.
3
Q.S. Al-Alaq (96) : 1-5.
4
Tim Penyusun, Terjemahan Alquran (Jakarta: Departemen Agama, 1987), h.
3
3. Mendidik
Kata mendidik merupakan kata kerja dari asal kata didik yang diartikan
sebagai memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.7 Dengan demikian, mendidik
berarti memelihara dan memberi latihan, ajaran, tuntunan, pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran kepada orang lain.
4. Berpendidikan
Berpendidikan memiliki akar kata yang sama dengan kata mendidik
yaitu didik. Karenanya, berpendidikan dengan awalan ber- pada kata
benda, pendidikan menunjukkan makna memiliki. Dengan demikian,
berpendidikan dimaknai dengan orang yang telah memiliki akhlak dan
kecerdasan pikiran sebagai hasil dari proses pendidikan.
Dengan demikian, perintah atau kewajiban mendidik dan berpendidikan
dimaknai sebagai suatu aturan atau perkataan dari pihak yang lebih tinggi kepada
pihak yang lebih rendah berupa keharusan untuk melakukan kegiatan memelihara
dan memberi latihan, ajaran, tuntunan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran
dan keharusan untuk memiliki akhlak dan kecerdasan pikiran tersebut.
Pengertian ini memberi pemahaman bahwa kegiatan mendidik dan orang
yang memiliki pendidikan tersebut merupakan suatu keharusan atau perintah
dalam ajaran Islam. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa kegiatan
mendidik adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak boleh
ditinggalkan. Sementara itu, orang yang berpendidikan juga merupakan suatu
kewajiban yang harus dicapai oleh seorang muslim. Keduanya merupakan
perintah sekaligus kewajiban dalam ajaran Islam.
7
Ibid., h. 465.
5
ٍ Dَا ِء ب ِْن أَبِي َربDDَارةُ بْنُ زَا َذانَ ع َْن َعلِ ِّي ْب ِن ْال َح َك ِم ع َْن َعطD
اح ع َْنD َ D َّدثَنَا ُع َمDال َح
َ ََح َّدثَنَا ابْنُ نُ َمي ٍْر ق
وْ َمDَ هُ أُ ْل ِج َم يD هُ فَ َكتَ َمDئِ َل ع َْن ِع ْل ٍم يَ ْعلَ ُمDال َم ْن ُسD
َ َلَّ َم قDصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسَ ِ ُول هَّللاَ أَبِي هُ َر ْي َرةَ أَ َّن َرس
ٍ ْالقِيَا َم ِة بِلِ َج ٍام ِم ْن ن
8
َار
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Umarah bin Zadzan dari Ali bin Al Hakam
dari 'Atho` bin Abu Rabah dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ditanya tentang
ilmu yang telah diketahuinya kemudian ia sembunyikan, maka pada
hari kiamat ia akan dicambuk dengan cambuk yang terbuat dari api."
(H.R. Ahmad)
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ini memiliki beberapa sanad yang
dinilai berkualitas sebagai berikut:
1. Ia bernama lengkap Abdullah bin Numair. Menurut pengelompokkan,
ia masuk pada kelompok kalangan tabi'ut tabi'in kalangan biasa.
Nama kuniyahnya adalah: Abu Hisyam. Selama hidupnya ia tinggal di
Kufah hingga wafat pada 199 H. Penilaian ahli hadis tentang dirinya
adalah:
8
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Juz 18 (Kairo: Dar al-Ma’arif, tth), h. 212.
6
Berdasarkan ilmu jarh wa ta’dil, diketahui terdapat dua orang sanad yang
dinilai oleh pakar hadis “la ba`sa bih”. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan
kualitas hadis di atas cenderung dhaif. Artinya bahwa hadis ini tidak dapat
dijadikan argumentasi hujjah atau hukum. Namun, di bidang ilmu pendidikan
Islam, tentu saja hadis ini masih dapat diterima sebagai bentuk anjuran, meskipun
berkualitas dhaif.
Hadis tersebut di atas secara umum berkenaan dengan perintah dan
kewajiban mendidik melalui anjuran untuk menyampaikan ilmu yang dimiliki
kepada orang lain. Seorang muslim yang belajar dan mengamalkan apa yang
dipelajarinya, kemudian diajarkannya kepada orang lain, maka ia mendapat pahala
seperti pahala orang yang mengamalkannya. Di samping itu, seorang muslim yang
mengajarkan ilmunya tetap mendapatkan pahala sekalipun ia telah meninggal
dunia.9
Dalam terma yang lain, Abdul Majid Khon memaparkan bahwa ilmu yang
dicari dan diamalkan, kemudian diajarkan kepada orang lain disebut dengan ilmu
yang bermanfaat. Dalam hadis lain, terdapat pernyataan pula tentang ilmu yang
bermanfaat. Pahala ilmu yang bermanfaat tetap hidup dan berjalan selama masih
diamalkan yang bersangkutan atau diajarkan lagi kepada orang lain.
Dalam hal ini, tidak penting ilmu tersebut diajarkan secara langsung dalam
interaksi edukatif antara pendidik dengan peserta didik. Di samping itu, ilmu yang
telah dibukukan juga termasuk dalam bentuk ilmu yang bermanfaat, bahkan lebih
besar daripada ilmu yang diterima secara langsung. Hal ini tentu saja disebabkan
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi; Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada
9
karena buku merupakan karya tulis yang bersifat lebih kuat dan tahan lama
sepanjang masa, sehingga lebih bermanfaaat dirasakan.10
Kewajiban dan perintah mendidik dalam kandungan hadis di atas
mengisyaratkan menyampaikan ilmu yang diketahui atau dipelajarinya. Sesuai
dengan makna ilmu yang bermanfaat di atas, maka dipahami bahwa
menyembunyikan ilmu adalah sebuah celaan bagi pemiliknya. Bahkan, dalam
hadis tersebut terkandung makna bahwa pemilik ilmu yang tidak
menyampaikannya kepada orang lain akan memperoleh sanksi hukuman berupa
cambukan di hari kiamat.
Menurut Bukhari Umar sebagaimana mengutip pendapat al-Khaththabi
bahwa seorang muslim yang ditanya mengenai perkara agama dan
menyembunyika pengetahuannya dengan cara tidak menjawab atau menulis, maka
Allah akan memasukkan api neraka ke dalam mulutnya karena ia telah menahan
kebenaran melalui lidah atau tangannya. Apabila seorang muslim menahan
dirinya untuk berbicara tentang kebenaran, menginformasikan ilmu, dan
menjelaskannya, maka ia akan diazab dengan kekangan api neraka di akhirat
nanti. Perintah ini berlaku bagi ilmu yang jelas kefardhuanya, seperti ilmu syariat
yang bersifat pokok (ilm al-din al-dharuri).11
b. Hadis tentang mengajarkan alquran
ْت َس ْع َد ْبنَ ُعبَ ْي َدةَ ع َْن أَبِي ُ ع َْلقَ َمةُ بْنُ َمرْ ثَ ٍد َس ِمعDَح َّدثَنَا َحجَّا ُج بْنُ ِم ْنهَا ٍل َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ قَا َل أَ ْخبَ َرنِي
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم قَا َل خَ ْي ُر ُك ْم َم ْن
َّ ِ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ال ُّسلَ ِم ِّي ع َْن ع ُْث َمانَ َر
َ ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي
كَ ال َو َذا َ َ أَبُو َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن فِي إِ ْم َر ِة عُث َمانَ َحتَّى َكانَ ال َحجَّا ُج قDَال َوأَ ْق َرأ
ْ ْ َ َتَ َعلَّ َم ْالقُرْ آنَ َوعَلَّ َمهُ ق
12ع ِدي هَ َذا َ َم ْقDالَّ ِذي أَ ْق َع َدنِي
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal Telah menceritakan
kepada kami Syu'bah ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku
'Alqamah bin Martsad Aku mendengar Sa'd bin Ubaidah dari Abu
Abdurrahman As Sulami dari Utsman radliallahu 'anhu, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Orang yang paling baik
di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan
mengajarkannya." Abu Abdirrahman membacakan (Al Qur`an) pada
Ibid.
10
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi; Pendidikan dalam Perspektif Hadis (Jakarta: Amzah,
11
2012), h. 25-26.
12
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Shahih al-
Mukhtasar, Juz 4 (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), h. 1919.
9
masa Utsman hingga Hajjaj pun berkata, "Dan hal itulah yang
menjadikanku duduk di tempat dudukku ini." (H.R.Bukhari)
Hadis yang cenderung sama dengan hadis di atas juga diriwayatkan oleh
Bukhari dengan sanad yang berbeda. Adapun penilaian ahli hadis tentang kualitas
sanad adalah:
1. Utsman bin 'Affan bin Abi Al 'Ash bin Umayyah yang tergolong pada
kalangan sahabat. Adapun nama kuniyahnya adalah Abu 'Amru.
Semasa hidupnya ia tinggal dan menghabiskan umurnya di Madinah
hingga wafat pada tahun 35 H. Adapun penilaian ahli hadis
terhadapnya adalah:
2.
Abdullah bin Habib bin Rabi'ah adalah kalangan tabi'in kalangan tua.
Nama kuniyah yang dikenal darinya adalah Abu 'Abdur Rahman. Ia
tinggal di Kufah semasa hidupnya hingga wafat pada 72 H. Sedangkan
penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:
Al 'Ajli Tsiqah
Adz Dzahabi Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat
4.
Nama lengkapnya adalah Alqamah bin Martsad. Ia termasuk pada kelompok
kalangan tabi'in (tidak jumpa Shahabat). Nama kuniyahnya adalah Abu
Al Harits. Ia tinggal di Kufah, namun tidak diketahui tentang wafatnya.
Sementara itu, penilaian ahli hadis terhadapnya adalah:s
perintah dan kewajiban belajar atau menuntut ilmu Alquran, mengamalkan isi
Alquran yang dipelajari dan menyampaikan Alquran untuk dimanfaatkan orang
lain terkandung secara keseluruhan dalam hadis tersebut.
Pada hadis ini sebenarnya Rasulullah ingin menunjukkan bahwa
mengajarkan Alquran kepada orang lain agar mendapatkan ilmu tentang Alquran
tersebut dapat didekati dengan pendekatan fungsional. Melalui pendekatan
fungsional ini terlihat bahwa Nabi Muhammad memberikan perintah untuk
mengajarkan ilmu atau materi pembelajaran dengan penekanan pada segi
kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu tentang
Alquran serta kandungannya merupakan materi pembelajaran yang sangat urgen
dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, baik kehidupan pribadi maupun
sosial kemasyarakatannya. Pendekatan fungsional ini menghantarkan setiap
muslim dapat memperoleh manfaat besar ilmu Alquran dalam kehidupannya.13
2. Hadis berkenaan dengan perintah dan kewajiban berpendidikan
Hadis tentang perintah dan kewajiban menuntut ilmu
َيرين ٍ ْن ِظDي ُر بْنُ ِشDDِ َّدثَنَا َكثDلَ ْي َمانَ َحDار َح َّدثَنَا َح ْفصُ بْنُ ُس
ِ Dير ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ِس ٍ َح َّدثَنَا ِه َشا ُم بْنُ َع َّم
لِ ٍمD لِّ ُم ْسDDيضةٌ َعلَى ُك َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر
َ ِ ل هَّللاDُ ك قَا َل قَا َل َرسُو ِ ع َْن أَن
ٍ َِس ْب ِن َمال
14
َ ؤ َوال َّذهDَ ُير ْال َجوْ هَ َر َواللُّ ْؤل
َب ِ اض ُع ْال ِع ْل ِم ِع ْن َد َغي ِْر أَ ْهلِ ِه َك ُمقَلِّ ِد ْال َخن
ِ َاز ِ َو َو
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin Sulaiman berkata, telah
menceritakan kepada kami Katsir bin Syinzhir dari Muhammad bin
Sirin dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya,
seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher
babi." (H.R. Ibnu Majah)
Berkenaan dengan sanad pada hadis ini dapat dijelaskan bahwa:
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, Kitab :
14
Mukaddimah Bab : Keutamaan ulama dan dorongan untuk menuntut ilmu. No. Hadist : 220
(Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 91.
13
1. Anas bin Malik bin An Nadlir bin Dlamdlom bin Zaid bin Haram
digolongkan kepada kalangan sahabat. Ia memiliki nama kuniyah yaitu
Abu Hamzah, yang menghabiskan masa hidupnya di Bashrah sampai
ia wafat pada 91 H. Penilaian ahli hadis tentangnya adalah:
5. Hisyam bin 'Ammar bin Nushair bin Maisarah bin Aban adalah
kalangan tabi'in kalangan biasa. Ia dikenal dengan nama kuniyah Abu
Al Walid. Ia hidup di negeri Syam sampai wafat pada 245 H. Penilaian
ahli hadis terhadapnya adalah:
Menurut Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, sanad hadis ini dinilai
lemah (dhaif) seperti Hafsh bin Sulaiman. Di samping itu, Syaikh Mahya ad-Din
an-Nawawi menilai bahwa hadis ini dhaif berdasarkan sanadnya, atau
kemungkinan berkualitas hasan dikarenakan terdapat limapuluh jalan sanad
tentang hadis ini.15
Berdasarkan hadis di atas, kandungan isi hadis tersebut dapat dilihat
bahwa kata “kewajiban” dalam matan hadis tersebut menunjukkan hukum yang
terkandung di dalam kegiatan menuntut ilmu tersebut. Amir Syarifuddin dalam
bukunya Ushul Fiqh menyatakan bahwa “fardhu” yang identik dengan kata
“kewajiban” tersebut di atas adalah “sesuatu yang oleh syara’ (pembuat hukum)
untuk melaksanakannya dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf (subjek hukum).
Kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang
lain atau karena perbuatan orang lain.
Kata kewajiban tersebut tentu saja berimplikasi pada satu sisi adalah nilai
dari suatu perbuatan dan pada sisi lain pada orang yang melaksanakan perbuatan
tersebut. Nilai dari perbuatan menuntut ilmu dalam kandungan hadis tersebut
adalah perbuatan yang dikerjakan berpahala dan ditinggalkan berdosa. Perbuatan
menuntut ilmu tersebut merupakan sebuah perbuatan yang harus dilaksanakan.
Sementara itu, kata kewajiban terkait dengan sisi lain yaitu orang yang
melaksanakan perbuatan tersebut. Jika dikaitkan dengan sisi orang yang
melaksanakan perbuatan tersebut, maka menuntut ilmu merupakan perbuatan
yang dituntut kepada orang yang mukallaf. Hadis ini menunjukkan bahwa
menuntut ilmu adalah perbuatan yang harus dilaksanakan oleh pribadi yang secara
hukum telah dikenai hukum.
Penggunaan kata “muslim” dalam hadis tersebut menunjukkan isim
mudzakkar (kata benda yang berbentuk laki-laki), namun makna yang terkandung
di dalamnya mencakup laki-laki dan perempuan. Dalam artian, kewajiban mencari
ilmu wajib bagi seluruh kaum muslim baik laki-laki dan perempuan. Sementara
itu, muslim yang dimaksud adalah muslim yang mukallaf, yakni beragama Islam,
Al-Hafiz Abi Abdallah Muhammad bin Yazid al-Qarwini, Sunan Ibn Majah, Juz-1
15
berakal, dan baligh.16 Hadis ini bukan hanya menunjukkan adanya perintah
menuntut ilmu, namun juga kewajiban untuk menuntut ilmu.
Jika ditilik kepada bentuk kata “ilm” yang terkandung dalam matan hadis
tersebut dikelompokkan dalam bentuk isim ma’rifah, karena diawali oleh al-ta’rif,
yang artinya tertentu. Dalam kaidah bahasa Arab dipahami bahwa isim ma’rifah
dipergunakan untuk sesuatu yang bersifat khusus, tertentu, dan telah dimaklumi,
bukan sesuatu yang bersifat umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kata “ilm” yang terkandung dalam matan hadis tersebut di atas adalah ilmu
tertentu yaitu ilmu-ilmu agama yang pokok (lm al-din al-dharuri). Kewajiban
menuntut ilmu seperti dalam kandungan hadis tersebut menuntut seorang muslim
untuk menuntut ilmu-ilmu agama yang pokok (lm al-din al-dharuri).
Kandungan hadis tersebut dapat dijabarkan melalui penjelasan al-Ghazali
dalam bukunya Buat Pencinta Ilmu bahwa hukum yang terkandung dalam kata
kewajiban atau fardhu adalah menuntut ilmu-ilmu agama yang pokok (ilm al-din
al-dharuri).17 Secara umum, semua muslim harus menuntut ilmu. Mereka harus
selalu belajar tentang ilmu-ilmu agama. Tetapi jenis ilmu yang perlu dituntut
tersebut memerlukan kualifikasi tertentu. Baginya, dalam hadis tersebut
mengandung dua macam kualifikasi ilmu, yaitu: fardhu ain dan fardhu kifayah.
Penjelasan berkenaan dengan hal ini adalah:
Pertama, menuntut ilmu fardhu ain merupakan perbuatan menuntut ilmu
terhadap ilmu yang harus dimiliki seorang hamba untuk benar-benar mengetahui
kedudukannya di sisi Allah swt.18 Adapun ilmu agama yang pokok (ilm al-din al-
dharuri) dan terkait dengan hamba dapat dicontohkan seperti ilmu tentang
kewajiban terhadap Allah swt, seperti ilmu tentang pelaksanaan thaharah, salat,
puasa, haji, dan kewajiban yang dituntut oleh setiap muslim.19
Menurut al-Ghazali ilmu yang termasuk dalam ilmu agama yang pokok
(ilm al-din al-dharuri) yang wajib ‘ain mempelajarinya disebabkan dua alasan.
Pertama ilmu yang wajib ‘ain mengetahuinya bagi setiap mukkalaf dalam
kaitannya dengan kewajibannya. Al-Ghazali menyebutkan sebagai rub’ul
16
Abdul Majid Khon, Hadis…, h. 145.
17
Al-Ghazali, Buat Pencinta Ilmu, diterjemahkan oleh Ma’ruf Asrori (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), h. 102.
18
Ibid.
19
Ibid., h. 104.
17
muhlikat, artinya ilmu yang wajib ‘ain untuk dipelajari oleh setiap orang yang
menamakan dirinya sebagai hamba Allah.20 Ilmu yang termasuk kelompok ini
seperti ilmu akidah; ilmu tentang ma’rifatullah dan ma’rifaturasul, pokok-pokok
ibadah; thaharah, salat, dan puasa, ilmu tentang hal-hal wajib dan dilarang bagi
lidah, telinga, hati, dan anggota badan lainnya.
Sedangkan kedua, ilmu yang wajib ‘ain ketika kewajiban lain atas diri
mukallaf yang ditimbulkan oleh persoalan baru (‘aridhi), dan sesuatu yang baru
itu tidak bersifat dharuri (pokok) untuk setiap perseorangan, meskipun ada
kalanya bersifat keyakinan, atau pekerjaan untuk melakukannya atau
meninggalkannya.21 Contohnya, ilmu tentang tata cara zakat bagi mukallaf yang
telah mampu membayarnya, tata cara haji bagi yang telah mampu
melaksanakannya, tata cara jual beli bagi yang akan melaksanakannya, tata cara
pernikahan bagi yang akan melaksanakannya, dan lainnya.
Kedua, menuntut ilmu fardhu kifayah adalah menuntut ilmu terhadap
ilmu-ilmu agama yang berkenaan dengan kewajiban atas sekelompok orang
dengan tidak tertentu sifatnya.22 Artinya, bahwa kewajiban menuntut ilmu agama
yang apabila sudah dipelajari oleh sebagian mukallaf maka sebagian yang lain
gugur kewajibannya. Ilmu yang termasuk di dalamnya adalah ilmu fara’id (ilmu
waris), ilmu qira’ah (ilmu tajwid), ilmu mushthalah hadis, usul fikih, dan ilmu
lainnya yang termasuk ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia seperti
ilmu kedokteran.
Kewajiban menuntut ilmu-ilmu agama merupakan alat untuk mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat. Pemahaman ilmu agama membawa seseorang kepada
gelar manusia termulia di sisi Allah swt, yaitu orang yang bertakwa. Ilmu agama
yang dipahaminya akan menghantarkannya untuk melaksanakan apa yang
diketahui dan dipahaminya, terutama terkait dengan kewajibannya sebagai hamba.
Semakin tinggi pengamalan agamanya akan berbanding lurus dengan kualitas
ketakwaannya.
Kebalikannya, orang yang tidak memahami ilmu agama tidak akan
mungkin menjadi orang yang bertakwa. Pemahaman ilmu agama yang sedikit
20
Ibid., h. 106.
21
Ibid., h. 103-104.
22
Ibid., h. 108.
18
bahkan tidak ada sama sekali akan menyebabkan dirinya jauh dari kebaikan
sehingga sulit untuk mencapai gelar ketakwaan. Karenanya, menuntut ilmu agama
merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim.
Menurut Abdul Majid Khon, dalam ajaran Islam, ilmu dapat dikategorikan
ke dalam dua jenis ilmu, yaitu:
1. Ilmu fardhu ‘ain seperti ilmu tauhid (akidah), ilmu fikih, dan ilmu
tasawuf, termasuk juga ilmu tajwid, tafsir Alquran, ilmu faraidh, dan
ilmu Hadis.
2. Ilmu fardhu kifayah seperti ilmu sains, kesusasteraan, dan
kedokteran.23
Dalam hadis tersebut di atas dapat dipahami bahwa setiap ilmuwan
memiliki spesialisasi keilmuan sesuai dengan bidangnya. Seorang muslim yang
berbicara ilmu tidak sesuai dengan bidang keilmuannya berarti zalim atau
penganiayaan. Dalam hadis ini, kondisi ini dianalogikan dengan mengalungi babi
sebagai binatang yang paling rendah dengan benda yang sangat berharga.24
Maksud yang terkandung dalam hadis ini adalah pembicaraan ilmu yang tidak
pada ahlinya merupakan perbuatan merendahkan esensi ilmu yang dinilai
berharga. Kandungan hadis ini sekaligus menunjukkan perbuatan zalim kepada
orang lain karena menyampaikan ilmu yang bukan keahliannya.
Ibn al-Mubarak sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid Khon
menyebutkan bahwa hadis tersebut di atas mengandung makna kewajiban
menuntut ilmu bagi seorang muslim tentang urusan agamanya yang akan
dipertanggungjawabkannya di akhirat sehingga ia wajib mengetahuinya.
Sementara itu, masih menggunakan sumber yang sama, al-Baydhawiy
menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah ilmu yang
tidak ada jalan lain kecuali harus mengetahuinya. Ilmu tersebut termasuk ilmu
pengetahuan tentang Allah swt dan keesaan-Nya, ilmu tentang Nabi Muhammad
saw, pengetahuan tentang salat, dan ibadah lainnya. Keseluruhan ilmu tersebut
harus dituntut dengan hukum fardhu ‘ain.25
23
Abdul Majid Khon, Hadis…, h. 129.
24
Ibid., h. 142.
25
Ibid., h. 146.
19
26
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-
Filosofis, diterjemahkan oleh Mahmud Arif (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 124.
27
Ibid., h. 187.
28
Wan Mohm Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh
Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel (Bandung: Mizan, 2003), h. 272. Syed
Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, diterjemahkan oleh Haidar Bagir
(Bandung: Mizan, 1984), h. 87.
29
Hasan Langgulung, Azas-azas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003), h. 326.
20
Daud,Wan Mohm Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan
Iskandar Amel, Bandung: Mizan, 2003.
Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad al-imam Ahmad, Juz 18, Kairo: Dar al-
Ma’arif, tth.
----------. Sunan Ibn Majah, Juz 1, Semarang: Maktabah Thaha Putra, tth.