Anda di halaman 1dari 55

JMPK Vol. 08/No.

02/Juni/2005 Manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja

MANAJEMEN HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA


DI RUMAH SAKIT
(TINJAUAN KEGIATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
DI INSTITUSI SARANA KESEHATAN)

OCCUPATIONAL SAFETY HEALTH AND ENVIRONMENT MANAGEMENT AT HOSPITAL


(Contemplation Occupational Health and Safety Activity at Health Services Field)

Hamzah Hasyim
Fakultas Kedokteran Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan

ABSTRACT

Implementation Occupational Safety Health and Environment (OSHE) management at


hospital represent the effort in realizing safe, comfort and hygiene job environment, protect
and improve the health employees, safe and have high performance.
According to regional and multilateral agreement like AFTA 2003, APEC 2005 and WTO
2020 requiring corporate world were inclusive of hospital to do various effort in anticipating
globalization, which issues human right problems, equation of gender and health environmental.
One of fundamental issue and important to prerequisite of competition and international standard
demand were Occupational Health and safety (OHS) issue which related to issue of labor
protection and human right.
Applying of Policy of OSHE management hospital represent the part of activity process to
reach productivity, was required to increase competitiveness and also strive in anticipating
resistance of technique era commerce and globalization.

Keywords: Occupational Safety Health and Environment (OSHE) management, hospital

PENGANTAR Departement of Industrial Relations menuliskan


Pelayanan rumah sakit sebagai industri jasa rata-rata kecelakaan di rumah sakit 16,8 hari kerja
merupakan bentuk upaya pelayanan kesehatan yang hilang per 100 karyawan karena kecelakaan.
yang bersifat sosioekonomi, yaitu suatu usaha yang Karyawan yang sering mengalami cedera, antara
walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa lain: perawat, karyawan dapur, pemeliharaan alat,
memperoleh surplus dengan cara pengelolaan laundry, cleaning service, dan teknisi. Penyakit
yang profesional. Rumah sakit merupakan institusi yang biasa terjadi antara lain: hypertensi, varises,
yang sifatnya kompleks dan sifat organisasinya anemia, ginjal (karyawan wanita), dermatitis, low
majemuk, maka perlu pola manajemen yang jelas back pain, saluran pernapasan, dan saluran
dan modern untuk setiap unit kerja atau bidang pencernaan.2 Klaim kompensasi karyawan RS lebih
kerja.1 Sebagai contoh pada bidang manajemen besar dibanding pegawai sipil lain.2
Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Risiko bahaya dalam kegiatan rumah sakit
Survey nasional di 2.600 rumah sakit di USA dalam aspek kesehatan kerja, antara lain berasal
rata-rata tiap rumah sakit 68 karyawan cedera dan dari sarana kegiatan di poliklinik, bangsal,
6 orang sakit (NIOSH 1974-1976). Cedera tersering laboratorium, kamar rontgent, dapur, laundry, ruang
adalah strain dan sprain, luka tusuk, abrasi, medical record, lift (eskalator), generator-set,
contusio, lacerasi, cedera punggung, luka bakar penyalur petir, alat-alat kedokteran, pesawat uap
dan fraktur. Penyakit tersering adalah gangguan atau bejana dengan tekanan, instalasi peralatan
pernapasan, infeksi, dermatitis dan hepatitis. Hasil listrik, instalasi proteksi kebakaran, air limbah,
identifikasi hazard RS ditemukan adanya gas sampah medis, dan sebagainya.3
anestesi, ethylen oxyde dan cytotoxic drug. Dalam GBHN 1993, ditegaskan bahwa
Laporan NIOSH 1985 terdapat 159 zat yang perlindungan tenaga kerja meliputi hak
bersifat iritan untuk kulit dan mata, serta 135 bahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta
kimia carcinogenic, teratogenic, mutagenic yang jaminan sosial tenaga kerja yang mencakup
dipergunakan di rumah sakit. California State jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan,

61
Manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja

jaminan terhadap kecelakaan, jaminan kematian, kegiatan yang hasilnya dapat dipakai dan
serta syarat-syarat kerja lainnya. Hal tersebut perlu dimanfaatkan secara benar, efesien, serta
dikembangkan secara terpadu dan bertahap produktif. Upaya OSHE sangat besar peranannya
dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan dalam meningkatkan produktivitas terutama
moneter-nya, kesiapan sektor terkait, kondisi mencegah segala bentuk kerugian akibat accident.
pemberi kerja, lapangan kerja, dan kemampuan Masalah penyebab kecelakaan yang paling besar
tenaga kerja. Amanat GBHN ini menuntut yaitu faktor manusia karena kurangnya
dukungan dan komitmen untuk perwujudannya pengetahuan dan keterampilan, kurangnya
melalui penerapan K3. Upaya K3 sendiri sudah kesadaran dari direksi dan karyawan sendiri untuk
diperkenalkan dengan mengacu pada peraturan melaksanakan peraturan perundangan K3 serta
perundangan yang diterbitkan sebagai masih banyak pihak direksi menganggap upaya
landasannya. Di samping UU No. 1/1970 tentang K3RS sebagai pengeluaran yang mubazir,
Keselamatan Kerja, upaya K3 telah dimantapkan demikian juga dikalangan karyawan banyak yang
dengan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, yang menganggap remeh atau acuh tak acuh dalam
secara eksplisit mengatur kesehatan kerja. 3 memenuhi SOP kerja. Penyebab lain adalah
Dalam peraturan perundangan tersebut kondisi lingkungan seperti dari mesin, peralatan,
ditegaskan bahwa dalam setiap tempat kerja wajib pesawat, dan lain sebagainya. 2
diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja. Hal itu mengatur pula sanksi RISIKO BAHAYA POTENSIAL DI RUMAH SAKIT
hukum bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Penyakit akibat kerja di sarana kesehatan
tersebut. Undang-Undang No. 23/1992 tentang umumnya berhubungan dengan berbagai faktor
Kesehatan yang menyatakan bahwa tempat kerja biologis (kuman patogen; pyogenic, colli, baccilli,
wajib menyelengarakan upaya kesehatan kerja stapphylococci, yang umumnya berasal dari
apabila tempat kerja tersebut memiliki risiko bahaya pasien). Begitu besar risiko yang akan dihadapi
kesehatan yaitu mudah terjangkitnya penyakit atau apabila masalah sanitasi termasuk pengelolaan
mempunyai paling sedikit 10 orang karyawan. limbah, kurang mendapat perhatian yang serius.
Rumah sakit sebagai industri jasa termasuk dalam Tahun 1977 dari seluruh rumah sakit di AS
kategori tersebut, sehingga wajib menerapkan menunjukkan bahwa penderita yang dirawat 5%-
upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah 10% menderita infeksi nosokomial (Hospital Ac-
Sakit (K3RS). Upaya pembinaan K3RS dirasakan quired Infection). Di AS insiden infeksi nosokomial
semakin mendesak mengingat adanya beberapa ± 5% dan CFR 1 %, di U.K ± 9,2%, di Malaysia
perkembangan. Perkembangan tersebut antara prevalens ± 12,7%, di Taiwan insiden ± 13,8%, di
lain dengan makin meningkatnya pendayagunaan Jakarta ± 41,1%, di Surabaya ± 73,3% dan di
obat atau alat dengan risiko bahaya kesehatan Yogyakarta ± 5,9%. Hari perawatan pasien yang
tertentu untuk tindakan diagnosis, terapi maupun menderita infeksi nosokomial tersebut bertambah
rehabilitasi di sarana kesehatan. Terpaparnya 5-10 hari, demikian pula angka kematian pasien
tenaga kerja (tenaga medis, paramedis, dan menjadi lebih tinggi yaitu sebesar 6% dibanding
nonmedis) di sarana kesehatan pada lingkungan yang tidak terkena infeksi nosokomial hanya
tercemar bibit penyakit yang berasal dari penderita sebesar 3%. Tenaga medis RS mempunyai risiko
yang berobat atau dirawat, adanya transisi terkena infeksi 2-3 kali lebih besar daripada medis
epidemiologi penyakit dan gangguan kesehatan. yang berpratik pribadi. Kerugian akibat
Hal tersebut diikuti dengan masuknya IPTEK penambahan hari perawatan dan pengobatan
canggih yang menuntut tenaga kerja ahli dan tersebut mencapai lebih dari 2 milyar US. 3
terampil. Hal ini yang tidak selalu dapat dipenuhi Dapat dibayangkan bagaimana besarnya
dengan adanya risiko terjadinya kecelakaan kerja. kerugian itu seandainya dihitung untuk rumah sakit
Untuk itu diperlukan adanya peningkatan SDM di di Indonesia, dimana kondisi sanitasi dan K3RS
sarana kesehatan, tidak saja untuk yang pada umumnya masih lebih buruk.
mengoperasikan peralatan yang semakin canggih Faktor kimia (bahan kimia dan obat-obatan
namun juga penting untuk menerapkan upaya antibiotika, cytostatika, narkotika dan lain-lain,
K3RS. 2,3 pemaparan dengan dosis kecil namun terus
Program Occupational Safety Health and menerus seperti anstiseptik pada kulit, gas anestesi
Environment (OSHE) bertujuan melindungi pada hati. Formaldehyde untuk mensterilkan
karyawan, pimpinan, dan masyarakat dari sarung tangan karet medis atau paramedis dikenal
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit sebagai zat yag bersifat karsinogenik), faktor
akibat kerja (PAK) (singkatannya), menjaga agar ergonomi (cara duduk, mengangkat pasien yang
alat dan bahan yang dipergunakan dalam proses salah), faktor fisik yaitu pajanan dengan dosis kecil

62
Manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja

yang terus menerus (kebisingan dan getaran bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber
diruang generator, pencahayaan yang kurang dari sampah atau limbah rumah sakit. 3,4,5
dikamar operasi, laboratorium, ruang perawatan, Peraturan Pemerintah RI No 19/1994
suhu dan kelembabam tinggi diruang boiler dan menetapkan bahwa limbah hasil kegiatan RS dan
laundry, tekanan barometrik pada decompression laboratoriumnya termasuk dalam daftar limbah B3
chamber, radiasi panas pada kulit, tegangan tinggi dari sumber yang spesifik dengan kode limbah
pada sistem reproduksi, dan lain-lain) serta faktor D227. 1 Sesuai dengan Permenkes No. 986
psikososial (ketegangan dikamar bedah, penerima Menkes/Per/XI/1992, tanggal 14 November 1992
pasien gawat darurat dan bangsal penyakit jiwa, tentang prasyaratan kesehatan lingkungan rumah
shift kerja, hubungan kerja yang kurang harmonis, sakit meliputi; penyehatan bangunan dan ruangan
dan lain-lain).3 termasuk pengaturan pencahayaan, penghawaan
Bagian pemeliharaan terpajan dengan solvent, serta pengendalian kebisingan, penyehatan
asbes, listrik, bising, dan panas. Karyawan di makanan dan minuman, penyehatan air termasuk
kualitasnya, pengelolaan limbah, penyehatan
bagian cleaning service terpajan deterjen,
tempat pencucian umum termasuk pencucian linen,
desinfektan, tertusuk sisa jarum suntik dan lain-
pengendalian serangga dan tikus, sterilisasi atau
lain. Karyawan katering sering mengalami tertusuk
desinfeksi, perlindungan radiasi serta penyuluhan
jari, luka bakar, terpeleset, keletihan, stres kerja,
kesehatan lingkungan. 6
dan lain-lain. Teknisi radiologi potensial terpajan
radiasi dari sinar X dan radioaktif isotop atau zat
PENGENDALIAN PENYAKIT DAN KECELAKAAN
kimia lainnya. Perawat sering cedera punggung,
AKIBAT KERJA DI RS/SARANA KESEHATAN
terpajan zat kimia beracun, radiasi, dan stres akibat
Dalam pelayanan kesehatan kerja dikenal
shift kerja. Petugas di ruang operasi mempunyai
tahapan pencegahan PAK dan kecelakan akibat
risiko masalah reproduksi atau gastroenterologi
kerja (KAK) yakni pencegahan primer, meliputi
Pajanan limbah gas anaestesi, risiko luka potong
– tusuk, radiasi, dan lain-lain. 2 pengenalan hazard (potensi bahaya),
Rumah sakit merupakan penghasil sampah pengendalian pajanan yag terdiri dari monitoring
medis atau klinis terbesar, yang kemungkinan lingkungan kerja, monitoring biologi, identifikasi
mengandung mikroorganisme patogen, parasit, pekerja yang rentan, pengendalian teknik,
bahan kimia beracun dan radioaktif. Hal ini dapat administrasi, pengunaan APD. Pencegahan
membahayakan dan menimbulkan gangguan sekunder meliputi screening penyakit, pemeriksaan
kesehatan baik bagi petugas, pasien maupun kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan bagi
pengunjung rumah sakit. Di samping itu, jika pekerja yang berpotensi terpajan hazard tertentu,
pengelolaannya tidak baik dapat menjadi sumber berdasarkan peraturan perundangan (statutory
pencemaran terhadap lingkungan yang pada medical examination).7
gilirannya akan menjadi ancaman terhadap Pelayanan kesehatan kerja juga diberikan
kesehatan masyarakat yang lebih luas. pada tahapan pencegahan tersier meliputi upaya
Pengelolaan sampah dan limbah rumah sakit disability limitation dan rehabilitasi. Pelayanan
merupakan bagian dari upaya penyehatan kesehatan kerja tersebut, seperti yang
lingkungan, bertujuan melindungi masyarakat akan diilustrasikan pada Gambar 1 di bawah ini.

! !" # $ ! !" % &" ' (


Sumber: Jeyaratnam J, Koh Dprevention of occupational diseases in Jeyaratnam J, Koh D (eds), Textbook of occupational medicine in
practise Singapore; world scientific; 1996: 420
Gambar 1. Pelayanan Kesehatan Kerja dalam Konsep Pencegahan Penyakit
yang Timbul Akibat Hubungan Kerja

63
Manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja

Dengan kata lain pengendalian PAK dan KAK Pelaksanaan Persyaratan Kesehatan
di RS meliputi: Lingkungan Kerja.
1. Legislative control seperti peraturan 7. Kepmenkes, No. 1335/MENKES/SK/X/2002
perundangan, persyaratan-persyaratan tehnis tentang Standar Operasional Pengambilan
dan lain-lain dan Pengukuran Sampel Kualitas Udara
2. Administrative control seperti seleksi Ruang RS.
karyawan, pengaturan jam kerja dan lain-lain
3. Engineering control seperti substitusi/isolasi/ Pengorganisasian K3 di rumah sakit
perbaikan sistem dan lain-lain serta berdasarkan atas;
4. Medical control 1. Surat edaran Direktur Jenderal Pelayanan
Medik No.00.06.6.4.01497 tanggal 24 Februari
DASAR HUKUM MANAJEMEN HYPERKES DAN 1995 tentang PK3-RS
KESELAMATAN KERJA DI RUMAH SAKIT 2. Optimalisasi fungsi PK3-RS dalam
Beberapa standar hukum yang digunakan pengelolaan K3 RS
sebagai landasan pelaksanaan manajemen 3. Akreditasi RS
hyperkes dan keselamatan kerja di rumah sakit 4. Audit manajemen K3 RS
antara lain; 5. SK MenKes No 351/MenKes/SK/III/2003
1. Undang-Undang No 14/1969 tentang tanggal 17 Maret 2003 tentang Komite
Ketentuan Pokok Tenaga Kerja. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sektor
2. Undang-Undang No 1/1970 tentang Kesehatan
Keselamatan Kerja. 6. SKB No. 147 A/Yanmed/Insmed/II/1992 Kep.
3. Undang-Undang No 23/1992 tentang 44/BW/92 tentang Pelaksanaan Pembinaan
Kesehatan. K3 Berbagai Peralatan Berat Nonmedik di
4. Permenkes RI No 986/92 dan Kep Dirjen PPM Lingkungan RS
dan PLP No HK.00.06.6.598 tentang
Kesehatan Lingkungan RS. Salah satu contoh struktur organisasi rumah
5. Permenkes RI No 472/Menkes/Per/V/96 sakit BUMN yang telah mencantumkan manajemen
tentang pengamanan bahan berbahaya bagi hiperkes dan Keselamatan Kerja RS, yang
kesehatan. diimplementasikan kedalam sistem manajemen
6. Kepmenkes, No. 261/MENKES/SK/II/1998 sanitasi rumah sakit dan pengendalian infeksi
dan Kep Dirjen PPM dan PLP No HK. nosokomial serta manajemen keselamatan kerja
00.06.6.82 tentang Petunjuk Tehnis terlihat seperti pada Bagan 1.

3
4

5 ; 3 ; $

2 ; 3 ; $

4 ; 3 ; $
6 7 ; 3 $

8 $ 3 $ $

4 ; 3 ; $

6 * 3 ; $

3 ; ; $

2 * 3 ; ; $

2 * 9 83 3 ; ; $

3 ; $

2 $ $ 3 $

; ; 3 $

3 $

' 3 $ $ $ 3

$ $ $ $
$ $ $ $

$ $ $ $
4
$ $ $ $ 3

Keterangan
U = Unit dari
X = Interaksi medis tehnis
O = Interaksi medis administrasi
Sumber: R. Darmanto Djojodibroto, Kiat Mengelola Rumah Sakit. p. 12.1997

Bagan 1. struktur salah satu organisasi rumah sakit BUMN

64
Manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja

Tabel 1. Tiga Fungsi Pokok Manajemen Menurut Beberapa Ahli

6.2 ' < < 4 ! 4


7
8 $=

PELAKSANAAN MANAJEMEN K3 RS SDM, lingkungan kerja dan pengorganisasian K3


Pelaksanaan manajemen hiperkes dan K3 RS, dengan menggalakkan kinerja P2K3 (Panitia
berupaya meminimalisasi kerugian yang timbul Pembina atau Komite K3) di RS.
akibat PAK dan KAK, perlindungan tenaga kerja
serta pemenuhan peraturan perundangan K3 yang UCAPAN TERIMA KASIH
berlaku (law-compliance). Perekonomian global Saya ucapkan terima kasih kepada Dr. H.M.A
telah menstandarkan ISO baik seri 9000 maupun Husnil Farouk, MPH selaku ketua PSKM FK Unsri
seri 14.000, kriteria yang ditetapkan antara lain dan Dr. H. Danardono Soekimin, MPA, ASC, selaku
kualitas produk atau jasa/pelayanan yang tinggi, ketua Ikatan Dokter Kesehatan Kerja (IDKI)
keamanan pada tenaga kerja dan konsumen atau Provinsi Sumatera Selatan atas bimbingannya.
pasien serta ramah akan lingkungan. Fungsi
manajemen, yang dikemukakan oleh beberapa KEPUSTAKAAN
ahli, mengacu kepada tiga fungsi pokok 1. Darmanto Djojodibroto R., Kiat Mengelola
manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian Rumah Sakit, Hipokrates, Cetakan I, 1997.
dan pengawasan atau pengendalian 8,9,10,11 seperti 2. Kepala Pusat Kesehatan Kerja, Kesehatan
yang terlihat pada pada Tabel 1. Kerja Disarana Kesehatan, Pentaloka Fasilitator
Fungsi manajemen lainnya disesuaikan K3 Di Pusdiklat Jakarta, 14 Juli 2003.
dengan falsafah RS yang bersangkutan. 3. Komite K3. Seminar K3 di RS, Jakarta 22
Fungsi perencanaan dalam manajemen Januari 1994.
Hyperkes dan K3 RS, merupakan bagian integral 4. Depkes RI DIRJEN PPM dan PLP, Pedoman
dari perencanaan manajemen perusahaan secara Sanitasi Rumah Sakit Di Indonesia, Depkes
menyeluruh, yang dilandasi oleh komitmen tertulis RI, 1990.
atau kesepakatan manajemen puncak. 5. Keputusan Dirjen P2M dan PLP No.
Pengorganisasian K3 RS mengacu ke UU No 1/1970 HK.00.06.6.44. Tanggal 18 Februari 1993,
tentang Pembentukan Panitia Pembina K3 RS Tentang Persyaratan dan Petunjuk Teknis Tata
(P2K3 RS) yang keanggotaannya terdiri dari 2 Cara Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit.
unsur (bipartite) yaitu unsur pimpinan dan unsur 6. Permen Kes RI No. 986/menkes/per/XI/1992
tenaga kerja. Fungsi pengawasan atau Tanggal 14 November 1992, Tentang
pengendalian didalam manajemen hiperkes dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
K3RS merupakan fungsi untuk mengetahui Sakit. 1992.
sejauhmana pekerja dan pengawas atau penyelia 7. Jeyaratnam, J., Koh, D. Prevention Of Occu-
mematuhi kebijakan K3RS yang telah ditetapkan pational Diseases, In Jeyaratnam J, Koh D
oleh pimpinan serta dijadikan dasar penilaian untuk (eds), Textbook Of Occupational Medicine In
sertifikasi. Practice Singapore; World Scientific; 1996.
8. Sugeng Budiono, A.M., Higiene Perusahaan,
KESIMPULAN DAN SARAN dalam Bunga Rampai Hiperkes dan K3, 2nd,
Tujuan Manajemen hiperkes dan K3RS adalah Jakarta 2003.
melindungi petugas RS dari risiko PAK/PAHK/KAK 9. Yusuf, RMS,, Manajemen Hiperkes Dan
serta dapat meningkatkan produktivitas dan citra Kesehatan Kerja di Perusahaan, dalam Bunga
RS, baik dimata konsumen maupun pemerintah. Rampai Hiperkes dan K3, 2 nd, Jakarta. 2003.
Keberhasilan pelaksaanaan K3RS sangat 10. Benny. L. Priatna. Integrasi SMK3, dalam Bunga
tergantung dari komitmen tertulis dan kebijakan Rampai Hiperkes dan K3, 2 nd, Jakarta 2003.
pihak direksi. Oleh karena itu, pihak direksi harus 11. Bennet Silalahi, et.al. Manajemen K3, Seri
paham tentang kegiatan, permasalahan dan terlibat Manajemen No. 12 PT Pustaka Binamam
langsung dalam kegiatan K3RS. Pelaksanaan K3 Pressindo, Jakarta 1985.
di rumah sakit ditujukan pada 3 hal utama yaitu

65
JMPK Vol. 08/No.02/Juni/2005 Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

PENDAPATAN, PENDIDIKAN, TEMPAT TINGGAL, DAN KEMAUAN


MEMBAYAR ASURANSI KESEHATAN ANAK: PENGGUNAAN TEKNIK
“BIDDING GAME”

INCOME, EDUCATION, RESIDENCE, AND WILLINGNESS TO PAY FOR


CHILD HEALTH INSURANCE: THE USE OF BIDDING GAME TECHNIQUE

Bhisma Murti
Department of Public Health,
Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta, Central Java

ABSTRACT

Backgrounds: Over recent years health policymakers and academicians in Indonesia have
shown zealous interest in expanding the explicit role of health insurance in the health financing
system. However, many health financing policies produced are lacking in prudent consideration
of economic theory and empirical evidence. This paper presents the results of a willingness to
pay study for child health insurance that used a robust contingent valuation method, namely
the bidding game technique.
Subject and methods: A total of 409 children aged 3 to 7 years from 10 and 9 kindergartens
in Surakarta and Boyolali (Central Java, Indonesia), respectively, were selected for study by
proportional random sampling. Each father of these children was interviewed by use of a set of
structured questionnaire. Willingness to pay was estimated by Ordinary Least Square (OLS)
regression.
Results: Thirty six percent of fathers did not want to buy a child health insurance scheme.
Income, education, and residence do not determine this decision. Mean WTP for child’s premium
is Rp28.743,00 per month, with standard deviation of Rp29.271,00, and median WTP of
Rp20.000,00. Family income, education, and residence are important determinants for WTP
for child’s health insurance, and they are all statistically significant at 1% level. Family income
has an elasticity of 0.53 (95%CI 0.40 to 0.65), meaning that a 10% increase in family income
leads to 5% rise in WTP for child health insurance.
Conclusion: The paper has informed policymakers of the demand for health insurance and
feasible prices. It is particularly useful for estimating the level of subsidies required to fill the
gap between the maximum possible premium to be charged to social health insurance
participants and the costs of providing health care services. An understanding of the determinants
of WTP is useful for selecting the appropriate strategies for expanding the coverage of health
insurance.

Keywords: health insurance, willingness to pay, bidding game technique

INTRODUCTION insured. In Indonesia, health insurance was first


Child health is now being increasingly introduced in 1947. However, the progress has
recognised as a pre-requisite for future economic been so slow that after a half century only 14
growth. Better health among infants and children percent of the population, about 28.7 million people,
leads to higher survival rates and better health is covered by health insurance.3 About 7 percent
among adults that boosts gross domestic product of those insured are government employees, their
(GDP) per capita by increasing the ratio of dependents, and retirees, covered under the Askes
(economically active) workers to dependents.1,2 compulsory health insurance scheme. The
Considering child health in a broader production remaining 7 percent of the insured are non-
function context casts different light on the role of government employees covered under the
health insurance. Health insurance lowers the costs Jamsostek mandatory social security scheme, and
of medical care, increases utilisation of medical purchasers of private health insurance.4,5
care, and assuming connection between medical Health insurance is a current policy issue in
care and health, it improves health status of the Indonesia. In September 2004, the government

67
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

passed the National Social Health Insurance Act willingness to pay (WTP).7,8,9 Willingness to pay
(SJSN). Under this act, citizens are obliged to have (WTP) is the maximum amount of income an
some social security for the entitlement of primary individual is willing to give up to ensure that a
care and hospital services. For individuals working proposed good or service is available.10 Willingness
in the state and the industrial sector, the premium to pay (WTP) for a commodity is an indicator of the
is to be shared by workers and the employer, while utility or satisfaction to her of that commodity.11
the premium for the poor is to be paid by the According to Olsen and Smith 12 , WTP is
government. Although there is a keen drive to “theoretically correct” in that it has theoretical basis
develop universal coverage of health insurance in in welfare economics and is correct in its application
Indonesia, there is a dearth of research that to health and health care.
provides evidence for policy-making. Particularly, Willingness to pay values can generate a
there is a lack of studies that estimates an demand curve that is useful to estimate the social
individual’s and family’s willingness to pay (WTP) value of priced and non-priced (e.g. health) goods
for health insurance using a robust method. WTP and services. The utility of WTP studies is twofold.
studies are useful to determine the demand and They can assist policy makers to make decisions
price of a health insurance scheme, while about how to best use of limited resources, both in
information on feasible price is important to private and public provisions of health care, derived
determine the revenue to be generated from a given from cost-benefit analysis framework. 7,9,13
package of insurance benefits.6 Willingness to pay (WTP) studies can also assist
Given the immediate policy relevance of WTP policy-makers in setting price, since maximum WTP
studies, the current research seeks to estimate represents just the “price” (i.e. money extracted
fathers’ WTP for children’s health insurance, using from the consumer) that one is prepared to sacrifice
data drawn from families living in rural and urban something else to get the good or service. 9,13
areas in Indonesia. The WTP values are elicited However, WTP is different from price in that
by use of the bidding game technique, one of an maximum WTP reflects the gross value enjoyed
array of contingent valuation (CV) methods that is by a consumer of the product, thereby represents
being increasingly used in developing countries. opportunities forgone to consume, whereas price
The second objective is to estimate factors of the product is an element that must be netted
determining WTP, including family income, parental out from the gross value.14 In a private market, for
education, gender, age, and illness history. The most individuals who purchase the product, their
possibility of starting point bias is also considered. maximum WTP is more than the price and their
The utility of the study is to inform policy decisions WTP is at least equal the price.7
of the demand for health insurance and feasible The Demand for Health Insurance
prices. In particular, it is useful for health planners The model of the demand for health insurance
in estimating the level of subsidies required to fill developed here draws on Grossman 15,16 ,
the gap between the maximum possible premium Jacobson17 and Bolin et al.,18. A family is assumed
to be charged to social health insurance participants to have a single utility function. Let the family
and the costs of providing health care services. consists of father, h, mother, w, and child, c. The
The remainder of the chapter is organised as family’s objective is to maximise utility derived from
follows. Section 2 outlines the theoretical the service flow of family member’s health capital,
framework. Section 3 briefly reviews previous work. consumption of other commodities, and the service
Section 4 states the hypotheses. Section 5 flow of social capital; subject to the production of
describes the material and methods. Section 6 health capital, “home goods”, subject to the joint
presents the results. Section 7 conveys discussion wealth and time constraint (Equation 1):
and policy implications. Section 8 concludes.
(1)
THEORETICAL FRAMEWORK
Willingness To Pay where Hm is father’s health, Hf is mother’s
The neo-classical theory of demand assumes health, Hc is child’s health, and Z is a composite
that individuals are able of making rational choices good. Parents allocate resources to produces own
between alternative goods to maximise their utility and child health. The child is passive. Parents invest
and that this choice leads an individual to the point to produce child health over time by use of market
at which marginal value for a good equals the price health inputs (Mc), and parental time (THc,m and THcf,
paid. According to welfare economic theory, the respectively), influenced by efficiency factors (Em,Ef,
value (i.e. benefit) to an individual of a good or and S respectively), according to the production
service is defined as the individual’s maximum function (Equation 2):

68
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

(2)

Market health inputs (i.e. medical care) may


be purchased directly at the point of service or
indirectly through health insurance. It is conceivable
that just as the demand for medical care is a derived
demand for health15,16, so is the demand for health
insurance. At the point of service the insured
patients pay low or even zero amount of money for
the cost of medical care, thereby permitting the Assume that the scheme proposed to the
insured patients to use necessary medical care. In respondents covers outpatient care, inpatient care,
that way, ceteris paribus, the introduction of health and surgery. These benefits permit the insured to
insurance is assumed to produce improvement in use necessary care in the event of an illness or an
population health. While health insurance is an injury so that her health status moves from a
exogenous factor in the production function of specific illness state (HD) to full health (H*). When
health capital, in Equation 3 it is treated as an an individual buys a health insurance scheme, she
endogenous factor for which the effects of must give up some of her income, thereby her utility
predictors are to be determined. The demand for will decline. The difference between Y0 and Y1
health insurance is determined by family member’s reflects the individual’s maximum WTP for the
initial stock of health (Hi); a vector of the family health insurance scheme, since an increase in utility
member’s characteristics (Xi), including initial health due to improved health state just offsets the
status, age and gender; a vector family reduction in utility due to buying insurance premium.
characteristics, including parental income (Y), It follows that a rise in income would lead to larger
parental education (E); and vector of environmental difference between Y’0 and Y’1, implying larger WTP.
factor, such as urban-rural residence (G); and the According to Grossman 15,21 education is a
initial bids offered to parent as the respondent in factor that improves the efficiency with which one
the WTP study; subject to budget constraint can produce investments to health. It is reasonable
(Equation 3): to hypothesise that the higher educated better
i=m,f,c (3) recognise the advantages of having health
insurance in lowering the cost of medical care when
ill. Therefore, the higher educated families demand
In the original Grossman’s15,16 model of the
more child health insurance.
demand for health, net investment in the stock of
health is determined by current health state. The
Previous Research
poorer current health state, the larger gross
Willingness to Pay (WTP) studies are being
investment is needed to maintain the same level
increasingly used as a method for the valuation of
of net investment. Illness history for the past 3
benefits, modelling of demand, and the design and
months was intended to portray current health state.
implementation of user fees for a variety of goods
It is reasonable to assume that the more frequent
and services in the health sector.22,23 However, only
a child experiences illness episodes in the past
a few studies have applied WTP to estimate the
months, the greater gross investment is needed to
benefit of a health insurance scheme.24,25,26,27,28
preserve the same health stock, the greater amount
Asenso-Okyere, et al.24 employed bidding
of money parent is willing to pay for child health
game to assess WTP for a comprehensive health
insurance.
insurance scheme in Ghana. The levels of premium
Figure 1 illustrates the concept of WTP for a
households were willing to pay were found to be
good or service, relating income and utility. The
influenced by dependency ratio, income, sex,
good in question is a health insurance scheme.
health care expenditure, and education. As income
Notice that the utility function of income is typically
increases people are willing to pay higher premiums
concave, and the individual is called a risk averter,
of health insurance. An increase in years of
a necessary condition for a health insurance
schooling would lead to WTP higher premiums.
scheme to be viable.19,20
Households with higher level of health expenditures
or people who find health care cost difficult to

69
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

contain are likely to accept higher health insurance by nine trained interviewers, using a set of
premiums. Age had the positive sign but was not structured questionnaire. Consent for the survey
statistically significant, even at 10 percent level. was obtained from schoolmaster of each school.
Mathiyazhagan25 estimated WTP for rural health Parents were allowed to decline.
insurance in India and found that WTP was
positively and significantly associated with family WTP Instrument
size, health status, source of health care service There are two approaches for estimating WTP:
utilised, income, income flow, distance, and (1) direct method, and (2) indirect method.30 Direct
familiarity of health system. Age was inversely or contingent valuation (CV) method surveys a
related to WTP, although it was not statistically sample of respondents and directly asks them what
significant. they would be willing to pay for the good in question.
Banks, et al.26 estimated consumers’ WTP for The technique is prospective and determines WTP
MOH-sponsored voluntary health insurance in contingent upon a hypothetical market presented
Jordan. Ninety-eight percent of all focus group to the respondent. The estimates are not based
participants indicated that they would be willing to on observed or actual behaviour, but instead, on
purchase health insurance from the public or private inferring what an individual’s behaviour would be
sectors, if presented with the option. Seventy-six from the answers he or she provides in the survey
percent of all focus group participants stated that framework.
government-sponsored health insurance should be The CV method is classified into two groups:
voluntary, not compulsory. Dong, et al.28 estimated open-ended or closed-ended.30 For the sake of
WTP for community-based insurance in Burkina unbiased estimates of WTP, the NOAA29 (1993) has
Faso. They found that education and economic always recommended the use of the closed-ended
status positively influence WTP, implying higher method, in which respondents are asked whether
years of schooling and economic status and higher they would pay a specified amount to obtain the
WTP. Age and distance to health facility negatively good in question, with possible response being
influence WTP, thus higher age and longer distance “yes” or “no”. A type of CV methods being
and less WTP. increasingly used in developing countries is the
bidding game technique. In this technique,
Hypothesis information about consumer preferences is
Based on available theories and previous obtained by suggesting different prices and bidding
research, the hypotheses on WTP for child health the respondent up or down depending on the
insurance are summarised as follows (Table 1). answers given.23,31 A relative merit to the other
techniques is that it mimics the decision making
Table 1. Hypothesis On WTP For Child Health Insurance process that individuals usually practice in everyday
market transaction in many developing countries,
Predictor WTP for health insurance where the seller typically initiates the bargaining
Current health status (good) by quoting a high price, and then buyer haggles
Family income until both sides arrive at agreed price. 23 The
Father’s education purported drawback of this technique, however, is
Residence (rural) its vulnerability to starting point bias.32,33,34 Starting
point bias refers to a bias where respondents are
MATERIAL AND METHODS influenced by the amount used to start the bidding,
The present study follows the National Oceanic so that higher starting bids tend to produce higher
and Atmospheric Administration (NOAA)’s29 strong accepted bids, ceteris paribus.
recommendation that WTP studies be carried out The current WTP instrument consists of two
as face-to-face interview. The WTP study was components. The first component is a regular
conducted in two diverse districts in Central Java, household questionnaire that collects information
Indonesia. Surakarta municipality (population is on family demographic and socio-economic
553,580) represented urban area. Boyolali district characteristics. The second component consists of
(population is 931,380) represented rural area. Ten a scenario and bidding game questions. The
kindergartens in Surakarta and 9 kindergartens in scenario presented to the respondents includes the
Boyolali were selected to represent high, middle, meaning and benefits of health insurance for the
and low socio-economic status of populations. A protection against financial risk in the unpredictable
total of 409 children aged 3 to 7 years were selected events of illness. The interviewer explained the
by proportional random sampling from the selected rationale for participation in a health insurance
schools. Fathers of these children were interviewed scheme, the benefits that respondents would gain

70
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

from being a member of the scheme, and the scheme. The open-ended follow up question
economic consequence of their participation. In line produces continuous scale WTP values, and thus
with the NOAA29, respondents were reminded that allows an estimation using OLS regression. The
if they decided to become members, they had to bidding questions were posed as follows:
pay premium on a regular monthly basis at the
expense of a reduction in their disposable income “Now I would like to ask you the following
available for consumption of other public and questions. Given the above consideration
regarding the benefits and consequences of
private goods. The following scenario was the proposed health insurance scheme, would
presented: you decide to buy it or not? (0) No; (1) Yes.
Given you decide to buy the proposed child
“Allow me to ask you some hypothetical health insurance scheme:
questions about health insurance. First I - Are you willing to pay Rp30.000,00 per
would like to explain the relation between month for the premium of child health
illness and health insurance. Every one has insurance scheme? [If yes, go to B, and if
the probability of being sick. Now suppose no go to C].
within the next one year your child would - Are you willing to pay Rp40.000,00 per
experience an illness. As a result, your child month for the premium of child health
would be absent from school, and you need insurance scheme? [No matter the answer,
to take your child to a doctor or specialist. go to D].
The child may even need hospital care or - Are you willing to pay Rp20.000,00 per
surgery, and the consequential medical month for the premium of child health
expenditure could be high. If you purchase a insurance scheme? [No matter the answer,
health insurance scheme, all of your child’s go to D].
medical costs will be covered by the scheme, - What is the maximum amount that you are
including costs of doctor visit, specialist willing to pay for the premium of child
consultation, medicine, inpatient services at health insurance scheme? [Amount in
private hospital, and surgery. For these Rupiah …………]”.
benefits to be made effective, you need to pay
some amount of money so-called as premium, Econometric analysis
on a monthly basis. This money will not be The analytical framework employs the two-part
refundable if your child is not sick, because it model (Figure 2). The two-part model has been
is not a saving scheme. Bear in mind if you
purchase this insurance scheme, you have to used in former health insurance research.13,25,36
give up some other use of this money. For
example, you may reduce family’s
expenditures for recreation or education”
!
" " !
In line with the NOAA recommendation, WTP
29

was elicited using the binary-choice bidding game


' ( '
technique. In anticipation to the existence of starting
point bias, three initial bids were allocated at ! ( % !
random to each respondent (i.e. each father):
Rp20,000,00, Rp30,000,00, and Rp40,000,00. This
strategy for eliminating starting point bias has been
# ! $ %
used by others.13,35 In order to make the good in & $ " " !
question as realistic as possible, the bid values
follow the premiums set in three different health ! "
insurance packages (so-called as the blue, silver,
and gold packages) which PT Askes has marketed
The first part of the model seeks to examine
over the past several years. Respondents were
factors determining the willingness to buy health
asked whether they were willing to pay the pre-
insurance. The decision to buy or not buy is a
specified initial bid. If the answer were yes, the
dichotomous variable taking the value of 0 if not
respondents were asked whether they would be
buy, and 1 if buy. Differences in percentage of
willing to pay a pre-specified higher amount. If the
willingness to buy across income quintiles,
answer were no, the respondents were asked
education, illness history, child’s gender, rural-urban
whether they would be willing to pay a pre-specified
residence, respectively, were tested for statistical
lower amount. It was decided to have a maximum
significance in bivariate analysis by use of chi-
of three-point bids in order to avoid complexity of
square test. Logistic regression followed bivariate
the exercise posed to the respondents. The bidding
analysis. The second part estimates WTP for child’s
ended at the third bid with an open-ended question
health insurance premiums, given father was willing
eliciting the exact amount of money respondents
to buy. Differences in mean WTP across income
would willing to pay for the proposed insurance

71
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

quintiles, education, etc. in bivariate analysis were the dependent is skewed to the right, and to obtain
tested by F test or t test. WTP for child’s health income elasticity estimate.
insurance is assumed to be a function of family Education Father’s education was grouped
income, father’s education, child’s age, child’s into three levels: (0) no schooling/primary school,
gender, illness history, rural-urban residence, and (1) secondary school, and (2) university. This
initial bid. Since the dependent variable was variable was then dummy-coded.
measured in continuous scale (i.e. Rupiah), WTP Age Child’s age was measured in year to allow
was estimated by OLS regression analysis some continuous explanatory variables in the OLS
(Equation 4): regression model.
Sex Child’s sex is a binary variable taking the
(4) value of 0 if male and 1 if female child. Residence
is a dichotomous variable: (0) urban, (1) rural.
where WTP, willingness to pay; á, intercept; â, Initial Bid Each respondent was assigned at
coefficients of explanatory variables; X, explanatory random to one of the three initial bids: (0)
variables. The transformation of WTP and income Rp20.000,00; (1) Rp30.000,00; and (2)
variables to logs achieves three things. Firstly, as Rp40.000,00.
previous studies have examined, a non-linear
relationship between WTP and income is Statistical Analysis
adequately captured by a log transformation. Summary statistics are presented in mean,
Secondly, the log transformation corrects for the median, standard deviation, frequency, and
right-skewed distribution of residuals commonly percent. The OLS regression coefficients are
exists when the dependent variable is skewed to presented in marginal effects with their 95%
the right. The resulting normal distribution of Confidence Interval. All analyses were performed
residuals allows the use of OLS regression. Thirdly, using Stata Inter-Cooled Version 7.39
this convenient transformation allows universal
comparisons with the results of other studies as RESULTS
the regression results provide elasticities. An Characteristic of the Study Population
elasticity reports the percentage change in one Table 2 shows the profile of the study population
dependent variable for a 1 percent change in the representing families in Surakarta and Boyolali
independent variable, and is a useful way to (Central Java, Indonesia) who had children attending
compare empirical results as it is a scale kindergartens. Average age of fathers was 37 years,
neutral.28,36,37,38 ranging from 26 to 58 years. Average age of children
was 5.7 years, ranging from 3.1 to 7 years. About
Dependent Variable half of the fathers had completed secondary
Willingness To Buy. Willing to buy variable is schooling, and one-third of them had attended the
defined as respondent’s willingness to buy a university. Average income was Rp1.270.000,00,
hypothetical health insurance scheme proposed to and median income was Rp1.050.000,00. The first
the respondent after a scenario has been presented WTP question asked respondents whether they
to describe the benefits and the consequences of would be willing to buy a health insurance scheme.
purchasing a health insurance scheme. It has As much as 64 percent of fathers were willing to
discrete values of 0 if willing, or 1 if not willing to buy the schemes for children. Mean WTP for child’s
buy. premium was Rp28.743,00 per month, with standard
Willingness To Pay. Willingness to pay is the deviation of Rp29.271,00, and median WTP of
maximum amount of income the respondent is Rp20.000,00. The large difference between the
willing to give up to ensure that the proposed health mean and median indicates heavily skewed
insurance scheme is available, given the distribution of WTP. Mean WTP accounts for 2.4
respondent is willing to buy health insurance. It has percent of monthly income. The initial bids were
continuous values (Rupiah). distributed at random to each respondent, i.e. each
respondent had a 33 percent chance to receive one
Independent Variable of the three initial bids. This means that the estimated
Income Family income is defined average WTP unbiased by the initial bids even if they
monthly income that is earned or unearned over influenced the amount of WTP.
the past six months. The original values of income Figure 3 shows that the distributions of WTP
were transformed into natural logarithm. This for child health insurance and income are heavily
transformation aims to correct the distribution of skewed to the right, indicative of the need for log
residuals which is typically skewed to the right when transformation.36,37,38,39

72
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

Table 2. Descriptive Statistics of The Study Population

Variable Descriptive statistics

Continuous or dichotomous variable: N Mean SD Median


Willingness to pay (WTP) for child (Rupiah) 262 28743 29271 20000
Father’s income 409 1270000 1050000 1050000

Father’s age (year) 409 37.71 5.91


Child’s age (year) 409 5.65 0.74
Child’s gender (0=male, 1=female) 409 0.53 0.50
Child’s illness history for the past 3 months (0=no, 1=yes) 409 0.59 0.49
Categorical variable: N Percent
Willingness to buy child health insurance
- No 147 35.94
- Yes 262 64.06
Father’s education
- No/Primary school 56 13.69
- Secondary school 206 50.37
- University 147 35.94
Residence
- Urban 213 52.08
- Rural 196 47.92
Initial bids
- Rp20.000,00 129 31.54
- Rp30.000,00 142 34.72
- Rp40.000,00 138 33.74

(a) (b)
Figure 3. Histograms of (A) Father’s Wtp For Child’s Health Insurance (Mean=Rp28.743,00; Median=Rp20.000,00;
SD=29,271; N=262); and (B) Father’s Income (Mean=Rp1.270.000,00; Median=Rp1.050.000,00; Sd=1.050.000; N=409)

Bivariate Analysis insurance increases with income quintiles


As Figure 4a shows, there is no clear gradient (F=17.09; p=0.000) (Figure 5b). The highly
in the percentage of willing to buy child health significant findings in the bivariate analysis project
insurance by education level (chi2(2)=3.67; significant findings in the multivariate analysis.
p=0.161). Similarly, there is no obvious gradient in Table details WTP for child health insurance
the percentage of willing to buy child health by income quintile, education level, and residence.
insurance by income quintile (chi2(4)=6.64; WTP increases with income and education.
p=0.158) (Figure 4b). These crude analyses give Families living in rural area are less willing to pay
preliminary evidence that education and income are for health insurance than peers in urban area. This
not important predictors for the decision to buy child information can be used to estimate the premiums
health insurance. that can be charged to the participants of a health
By contrast, the amount of WTP for child health insurance scheme according to income, education,
insurance increases with education (F=17.58; and residence groups.
p=0.000) (Figure 5a). Similarly, WTP for child health

73
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

Table 3 Descriptive Statistics of Wtp for Child Health income, education, child’s age, child’s sex, illness
Insurance, Stratified by Income Quintile, Father’s
history, urban-rural residence, and initial bid.
Education, and Rural-Urban Residence

Regression Diagnostics
WTP for child’s health
Variable insurance Kernel density estimate shows approximately
normal distribution of the residuals (Figure 6a).
N Mean SD Indicator of skewness and the joint skewness-
Income quintiles: kurtosis test confirm normality (Table 4) The pattern
- <Rp500.000,00 44 10455 9866 of the residual variance gets thinner toward the left
- Rp500.000,00 to <Rp840.000,00 49 22449 19745
- Rp840.000,00 to <Rp1.200.000,00 48 22110 19817
end (Figure 6b), but the Cook-Weisberg test cannot
- Rp1.200.000,00 <Rp1.800.000,00 57 30338 23503 reject homoskedasticity (Table 4).
- Rp1.800.000,00 or more 64 49688 40697 Ramsey’s test for specification error cannot
Total 262 28742** 29271 reject the null hypothesis of no omitted variables
Father’s education: (Table 4). The link test shows a significant predictor
- No/Primary school 32 9063 8844 _hat and insignificant predictor _hatsq at 5 percent
- Secondary school 141 25598 24663
level. Thus, the model is correctly specified. A VIF
- University 89 40801 35245
Total 262 28743** 29271 of 1.73 indicates no multi-collinearity. Finally, the
adjusted R-square indicates that more than half of
Residence:
- Urban 127 42819 34565 the variation in WTP is explained by the predictors
- Rural 135 15500 13452 included in the model.
Total 262 28743** 29271

** significant at 1 percent level, by F test


Regression Results
Table 5 shows an income elasticity of 0.53,
meaning that a 10 percent increase in income would
Multivariate Analysis lead to 5 percent rise in WTP for child’s health
Multivariate analysis confirms whether the insurance, and it is statistically significant. Thus,
associations between variables shown in bivariate income is an important determinant for WTP. A
analysis remain after adjustment for potential move from no schooling/primary school to
confounding factors. The logistic regression model secondary gives rise in WTP to as much as 18
(results are not presented) found that none of the percent, and it is statistically significant. Thus,
independent variables, including income, education is a significant predictor for WTP,
education, illness history, child’s age, child’s gender, although of less importance than income. Age has
and residence was statistically significant predictor an elasticity of-0.38 for WTP, but it is not statistically
for the decision to buy health insurance. The very significant. Similarly, there is no indication of gender
low McFadden R2 (results are not shown) indicates bias in WTP. Illness history for the past 3 months
that the decision to buy or not buy health insurance only increases 10 percent of WTP, but is significant
scheme is not influenced by variables included in at 10 percent level. Rural residence has 37 percent
the model but, perhaps some exogenous random lower WTP than urban residence, and it is
factors, such as taste and belief. Provided statistically significant. Initial bids significantly
respondent was willing to buy, the next step was to determine WTP.
regress WTP for child’s health insurance on

Kernel Density Estimate WTP Child


(a) (b)

Figure 4. Ols Regression Diagnostics, WTP for Child: (A) Non-Normality; (B) Heteroskedasticity

74
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

Table 4. Regression Diagnostics for Ols Regression on WTP for Child

Method or test Problem to address Statistic or graph P-value

Kernel density estimate Non-normality Graph -


Skewness Non-normality -0.211 -
Skewness-kurtosis test Non-normality - 0.230
Cook-Weisberg Heteroskedasticity chi2(1)=0.08 0.781
Rvf plot Heteroskedasticity Graph
Ramsey RESET Specification error F(3,249)=1.22 0.303
Link test Specification error _hat 0.014
_hatsq 0.191
VIF Multicollinearity Mean VIF=1.73 -
Adjusted R-square Goodness-of-fit 56.79 percent 0.000

Table 5. Ols Regression Results on WTP


for Child’s Health Insurance

Variable Marginal P value 95%


Effect Confidence
Interval

Income (Rupiah) 0.527 0.000 0.404 to 0.649


Education
- No/primary school 0
- Secondary school 0.180 0.019 0.029 to 0.331
- University 0.147 0.010 0.035 to 0.260
Child’s age (year) -0.384 0.250 -1.039 to 0.271
Child’s sex
- Male 0
- Female 0.030 0.483 -0.054 to 0.113
Illness history for the past 3 months
- Never 0
- Once or more 0.097 0.095 -0.017 to 0.210
Residence
- Urban 0
- Rural -0.372 0.000 -0.469 to-0.275
Initial bids
- Rp20.000,00 0
- Rp30.000,00 0.130 0.000 0.062 to 0.198
- Rp40.000,00 0.136 0.000 0.064 to 0.209

1. Marginal effect is the percentage change of dummy variable from 0 to 1


2. Elasticity for continuous variable is the percentage change in Y for 1 percent change in X, computed at the mean
values of Y and X

Discussion and Policy Implications estimate consumer’s WTP for health insurance
Setting prices is a key decision for any program schemes, allowing managers to make rational
that provides goods or services. Social programs pricing decisions.
such as health insurance need to balance program
coverage, which allows services available to low- Willingness to Buy Health Insurance
income families, and program revenue, which About 36 percent of the respondents were not
permits sustainability. Raising prices too high will willing to buy the proposed health insurance
deny health insurance schemes to poor families. scheme. The results of bivariate analysis and
On the other hand, maintaining needless low prices logistic regression have shown that variables such
will either perpetuate reliance on external donors as income, education, illness history, age, gender,
or place sustainability at risk. Until recently, health and residence are not good predictors for
insurance managers in Indonesia have been forced respondent’s willingness to buy health insurance.
to make pricing decisions without a reliable There must be important determinants
methodology for predicting the effect of price unobservable in the current research, among which
changes on program use and revenue. The present a religious belief that holds insurance is a kind of
study has applied a simple survey technique to gambling is probably one. In addition, according to

75
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

Gertler and Gruber40, in order to seek financial CI 0.40 to 0.65). That is to say, with 95 percent
security against unpredictability of poor health, most level of confidence, a 10 percent increase in father’s
Indonesian families insure themselves informally income would lead to 4 to 7 percent rises in WTP.
via savings, credit markets, or borrowing from family WTP increases gradually with income quintiles.
or friends. These methods, however, are Families in lower income quintile are less willing to
inadequate protection from financial loss due to pay amount of money for health insurance than
severe illness. The socio-economic determinants those in higher income quintile at proportionate
for willingness to buy health insurance deserve degree. Marked positive effect of income on WTP
further research. for health insurance has also been reported in
About two out of three families are willing to others such as those in Ghana 24, India 25, and
purchase the scheme after they are informed about recently in Denmark.27
the scheme. This rate is relatively low, reflecting The results presented here have shown that
the obstacle of introducing health insurance in families who fall in the lowest income quintile are
Indonesia. As a comparison, a study in Tanzania willing to pay as low as Rp10.489,00 per month
reported 79 percent respondents in favour of joining per head for health insurance. Considering the low
a local insurance system and paying a certain WTP on the one hand and the very likely high costs
amount of money per year, after which all services of providing medical care services, these findings
from the hospital would be free for that year.41 As imply that the government should bear some of the
much as 98.7 percent of the respondents agreed costs of medical services provided to the poor. The
to participate in the scheme in Ghana and up to central and local governments need to subsidise
63.6 percent of the respondents were willing to pay part of the premiums for the poor citizens.
a premium of $3.03 a month for a household of Otherwise the sustainability of the universal and
five persons.24 Eighty-six percent of the respondents comprehensive health insurance scheme will be
in Ethiopia were willing to participate in indigenous at risk.
social insurance scheme related to bereavement Economists have long argued that introducing
and funeral activities (locally termed as eders).42 subsidies to health care services may lead to ex-
The highest proportion occurred in Jordan, where post moral hazard, reducing an individual’s marginal
98 percent of the respondents indicated their costs of medical care inputs and leading to use of
willingness to purchase health insurance from the additional medical services that patient values less
public or private sectors.36 than the marginal cost of producing them. 43
However, as Jowett, et al.44 have argued, evidence
WTP Estimates of moral hazard or hidden action is not always bad,
Given father’s willing to buy, the average WTP especially among individuals at lower income levels
is Rp28.743,00 per month for child’s health in low-income countries, which typically have
insurance premium. This amount of WTP accounts relatively high health needs, but very low levels of
for 2.4 percent of monthly income. Median WTP service usage. For example, in Vietnam poorer
was Rp20.000,00 per capita per month. As noted insured individuals tend to use inpatient facilities
earlier, the scheme presented to the respondents and public providers to a far greater extent than
cover comprehensive health insurance benefits, poorer uninsured individuals do.44 For the case of
including outpatient care, consultation to specialist, Indonesia, selective benefits of health insurance
inpatient care, and surgery. Price of the product is are worth-considering. The scheme may better
an element that makes up the gross value people include inpatient care but exclude routine outpatient
enjoy of the product, i.e. his maximum WTP. These care. The reason for so doing is to protect the
results translate into fathers purchasing health insured from catastrophic financial risk while
insurance scheme only when its price (i.e. premium) restricting unnecessary provision of outpatient care.
is equal or lower than their WTP. Obviously, if the According to Pradhan and Prescott45, in Indonesia
WTP is higher than the premium, the health exposure to catastrophic shocks can substantially
insurance scheme can be operated smoothly. But be reduced if a larger proportion of government
if the WTP is lower than the premium, the scheme subsidies are directed to inpatient care.
cannot be operated smoothly and subsidies are
required, otherwise sustainability would be at risk. Education and Health Insurance
The next significant predictor for WTP is
Income and Health Insurance education. Increase in years of schooling tends to
The results of multivariate analysis have shown increase WTP for higher premiums. This finding
that child health insurance is a normal and supports Grossman’s model of the demand for
necessary good with income elasticity of 0.53 (95% health capital. 15,21 According to this theory,

76
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

education is a factor that improves the efficiency scheme in rural communities, especially ways of
with which one can produce investments to health. determining the direct costs of health insurance
The more educated have greater exposure to scheme that communities will bear and selecting
health information, and therefore recognise more the appropriate local financing mechanisms. Local
the advantages of making regular small insurance governments in rural areas need to contribute more
payments to avoid large and sudden medically- of their local budget to subsidise the premiums for
related financial catastrophes. In turn, the more their communities. This suggestion is in line with
educated health insurance will be willing to pay the Decentralization Law enacted in Indonesia
more for health insurance. Many other studies have since 1999. Under this law, district and municipality
also confirmed the positive effect of education on governments have the authority to use their local
WTP for health insurance, such as those conducted resources for the welfare of the local communities.
in Ghana,24 Denmark27, recently in Burkina Faso28,
and Taiwan.36 Limitations of the Study
Shortcomings of the present study must be
Illness History and Health Insurance noted to place the results in context. Firstly, this
The hypothesis that WTP increases with illness study garnered information from restricted
history is supported. Respondents who reported population, i.e. families who had children aged 7
child illness episodes during the past 3 months years or less attending kindergarten schools. It
stated higher WTP for health insurance. In does not include a small proportion of children who
Grossman15,16, health depreciates due to illness. In did not go to school. This limitation, however, by
order to preserve a positive net investment in child no means cancels out the internal validity of the
health, a parent needs to make larger gross results to the restricted target population. Secondly,
investment in child health. He or she may demand the majority of the respondents were not familiar
more health care and health insurance for the child. with the concept of health insurance prior the
The more frequent a parent registers a child illness, survey. Given 14 percent of the respondents had
the larger amount of money he or she is willing to no schooling or primary school, comprehensive
pay for child health insurance. This finding is description of the health insurance scheme could
consistent with others. A study in rural India25 found have been cognitively demanding. Some
that people who were sick had a 172 percent higher respondents might have not fully understood the
WTP for the proposed health insurance scheme hypothetical good to be valued. As a result, when
as compared to people registering no illness at that providing information about their maximum WTP,
time. it is possible that some respondents did not
consider all the factors that are important to them
Residence and Health Insurance in the provision of health insurance scheme.
Residence is a strong predictor for WTP. Rural In the current research, efforts have been
families are willing to pay significantly less than are made to obtain unbiased estimates of WTP. Firstly,
urban families (marginal effect-0.379, 95%CI-0.471 in order to preserve reliability, this study follows
to-0.287). A WTP study for private health insurance recommendation made by the NOAA29 to elicit WTP
in Denmark found similar result in that individuals by face-to-face interview. Face-to-face interviews
living in Copenhagen were willing to pay more than allows the presentation of a considerable amount
those living in other parts of Denmark.27 In Taiwan, of information in a controlled sequence, while
households located in either cities or towns are maintaining respondent interest and attention, as
more likely to purchase private health insurance well as encouraging the respondent to carefully
than village households.36 There is no wonder with consider their responses and take the matter as of
the results, since compared to cities and towns, by importance.12 Secondly, the value of bids were
and large rural areas have less access for chosen considering the concurrent premiums of
information about the importance of insurance to health insurance scheme existing in the market, in
protect against financial loss. But the gap in WTP order to present the hypothetical good as closely
between rural and urban areas may also be as possible to reality, thereby resulting in realistic
explained by distant healthy facility commonly estimates of WTP. Thirdly, as others have
associated with rural areas. As Dong, et al.28 has suggested11,22,36, the initial bids were allocated at
found it, the estimated WTP for community-based random across respondents so as to eliminate the
insurance in Burkina Faso was inversely related to potential starting point bias. Fourthly, a maximum
distance to health facility. of triple-bounded binary-choice format was
The policy implication of this finding is that the administered in order to reduce complexity of the
government should work out a health insurance iterative bidding questions posed to the

77
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

respondents. Fifthly, the adjusted R 2 of 0.58 REFERENCE


obtained from the OLS regression model is fairly 1. Hatasa, N. Health and economic development:
high. Sixthly, compared with the average number a cross-national empirical analysis. Journal of
of 304 respondents surveyed in published WTP National Institute of Public Health.
studies and a median of 10212, this study with a 2001;50(3):168-80.
sample size of 409 respondents is large enough to 2. Maitra, P. Parental bargaining, health inputs
yield precise estimates of WTP, and to detect the and child mortality in India. Journal of Health
effect of any explanatory variable on WTP if it does Economics. (in press). 2003.
exist. Seventh, despite the difficulties in explaining 3. Tabrany, H., Pujianto. Asuransi kesehatan dan
the unfamiliar concept of health insurance, the akses pelayanan kesehatan. Majalah
majority of respondents were both willing and able Kedokteran Indonesia. 2000;50(6): 282-89.
to complete the required complex task. In that 4. Thabrany, H. Managed care in Indonesia. The
sense, the bidding game seems to be a suitable Electronic Journal of the Indonesian Medical
method to elicit WTP in a developing country such Association. 2000;2(1):1-12.
as Indonesia, where people are used to bargain 5. Thabrany, H. Private health sector in
for a good or service. Lastly, the strong positive Indonesia: Opportunities and progress. The
correlation between income and WTP confirms the Electronic Journal of the Indonesian Medical
construct validity of the estimated WTP in that WTP Association. 2001;2(5):1-13.
for a good or service must converge with ability to 6. Ensor, T. Developing health insurance in
pay for that good or service.22,46,47 transitional Asia. Social Science and
Medicine.1999;48:871-79.
CONCLUSIONS 7. Bala MV, Mauskopf JA, Wood LL. Willingness
This study is the first to investigate WTP for to pay as a measure of health benefits.
health insurance scheme in Indonesia using a Pharmacoeconomics.1999;15(1):9-18.
robust method, bidding game technique. The 8. Birch, S., Donaldson, C. Valuing the benefits
results can be used for modelling of demand, and costs of health care programmes: where’s
design and pricing of a health insurance scheme. the ‘extra’ in extra-welfarism? Social Science
In particular, this study provides health planners and Medicine. (in press).2000.
with information useful for estimating the level of 9. Donaldson, C. Eliciting patient’s values by use
subsidies required to fill the gap between the of ‘willingness to pay’: letting the theory drive
maximum possible premium to be charged to social the method.Health Expectation.2001;4:180-
health insurance participants and the costs of 88.
providing health care services, so as to maintain 10. Phillips, K.A., Homan, R., Luft, H. et al. Costs
the scheme’s financial sustainability. Income, and financing of public goods: the case of
education, and rural-urban residence do not affect poison control centers. Abstr Book Assoc
the decision to buy a health insurance scheme, but Health Serv. Res. 1997;14:136-37.
they are important determinants for the amount of 11. Ryan, M., Ratcliffe, J., Tucker, J. Using
WTP for child health insurance. An understanding willingness to pay to value alternative models
of the determinants for WTP is useful for selecting of antenatal care. Social Science Medicine.
the appropriate strategies for expanding the 1997;44(3):371-80.
coverage of health insurance. Factors determining 12. Olsen, J.A., Smith, R.D. Theory versus
the decision to purchase child health insurance practice: A review of willingness to pay in health
deserve further research. and health care. Health Economics.
2001;10:39-52.
Acknowledgements 13. Bhatia, M.R., Fox-Rushby, J.A. Willingness to
The study was partially funded by PT Askes, pay for treated mosquito nets in Surat, India:
Indonesia. The author would like to thank Dr. Gede the design and descriptive analysis of a
Subawa and Dr. Veronica Margo S at PT Askes for household survey. Health Policy and
securing such funding. This paper is excerpted from Planning.2002;17(4):402-11.
the author’s doctoral studies on the production of 14. Bennet, J. On values and their estimation.
health at the University of Newcastle, Australia. The International Journal of Social Economics.
University of Newcastle has granted the University 2000;27(7,8,9,10):980-93.
of Newcastle Research Scholarship (UNRS) and 15. Grossman, M. On the concept of health capital
the Overseas Postgraduate Research Scholarship and the demand for health. Journal of Political
(OPRS) to the author. Conflict of interest: None. Economy.1972a;80: 223-55.

78
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

16. Grossman, M. The demand for health: a 28. Dong, H., Kouyate, B., Snow, R., Mugisha, F.,
theoretical and empirical investigation. New Sauerborn, R., Gender’s effect on willingness
York: Columbia University Press for the to pay for community-based insurance in
National Bureau of Economic Research. Burkina Faso. Health Policy, (in press).2002.
1972b. 29. National Oceanic and Atmospheric
17. Jacobson, L. The family as producer of health Administration (NOAA). Report of the NOAA
– an extended Grossman model. Journal of panel on contingent valuation. Federal
Health Economics.2000;19: 611-37. Register. 1993;58(10): 4601-14.
18. Bolin, K., Lindgren, B., Lindstrom, M., Nystedt, 30. Zarkin, G.A., Cates, S.C., Bala, M.V.
P. Investments in social capital – implications Estimating the willingness to pay for drug
of social interactions for the production of abuse treatment. A pilot study. Journal of
health. Social Science and Medicine (in Substance Abuse Treatment.2000;18:149-59.
press).2003. 31. Russell, S., Fox-Rushby,J., Arhin, D.
19. Johannesson, M. A note on the relationship Willingness and Ability to Pay for Health Care;
between ex ante and expected willingness to Selection Methods and Issues, Health Policy
pay for health care. Social Science and and Planning. 1995;10:94-101.
Medicine.1996;42(3):305-11. 32. Mitchell, R.C., Carson, R.T. Using survey to
20. Chiu, W.H. Health insurance and the welfare value public goods: The contingent valuation
of health care consumers. Journal of Public method. Resources for the future: Washington,
Economics. 1997;64:125-33. DC. 1989.
21. Grossman, M. The human capital model of the 33. Klose, T. The contingent valuation method in
demand for health. Working paper 7078. health care. Health Policy. 1999;47: 97-123
Cambridge, MA: National Bureau of Economic 34. Frew, E.J., Wolstenholme, J.L., Whynes, D.K.
Research. http://www. nber.org/papers/w7078. Comparing willingness to pay: bidding game
1999. format versus open-ended and payment scale
22. Diener, A, O’Brien, B. Gafni, A. Health care formats. Health Policy (in press).2003.
contingent valuation studies: A review and 35. Liu, J.T., Hammitt, J.K., Wang, J.D., Liu, J.L.
classification of the literature. Health Mother’s willingness to pay for her own and
Economics.1998;7:313-26. her child’s health: A contingent valuation study
23. Onwujekwe, O. Searching for a better in Taiwan. Health Economics. 2000;9:319-26.
willingness to pay elicitation method in rural 36. Liu, T.C., Chen, C.S. An analysis of private
Nigeria: The binary question with follow-up health insurance purchasing decisions with
method versus the bidding game technique. national health insurance in Taiwan. Social
Health Economics.2001;10:147-58. Science and Medicine. 2002;55: 755-74.
24. Asenso-Okyere WK, Osei-Akoto I, Anum A, 37. Manning, W.G. The logged dependent
Appiah EN. Willingness to pay for health variable, heteroscedasticity, and the
insurance in a developing economy. A pilot retransformation problem. Journal of Health
study of the informal sector of Ghana using Economics. 1999;17: 283-95.
contingent valuation. Health Policy. 38. Filmer, D., Pritchett, L. The impact of public
1997;42:223-37. spending on health: does money matter?
25. Mathiyazhagan, K. Willingness to pay for rural Social Science and Medicine. 1999;49:1309-
health insurance through community 23.
participation in India. International Journal of 39. StataCorp., Stata statistical software, release
Health Planning and Management. 7. College Station, TX: Stata Corporation.
1998;13:47-67. 2001Gupta, S., Verhoeven, M., Tiongson, E.R.
26. Banks DA, Muna NS, Shahrouri TA. Public spending on health care and the poor.
Consumers’ willingness to pay for MOH- Health Economics. 2003;12: 685-96.
sponsored voluntary health insurance in 40. Gertler and Gruber. Insuring consumption
Jordan: A focus group analysis. Technical against illness. American Economic
Report No. 41. Partnerships for Health Reform. Review.2002.
Abt Associates Inc, Bethesda, MD.1999. 41. Walraven, G. Willingness to pay for district
27. Glydmark, M., Morrison, G.C. Demand for hospital services in rural Tanzania. Health
health care in Denmark: results of a national Policy and Planning. 1996;11(4):428-37.
survey using contingent valuation. Soc Sci 42. Mariam, D.H. Indigenous social insurance as
Med.2001;53:1023-36. an alternative financing mechanism for health
care in Ethiopia (the case of eders). Soc Sci
Med (in press). 2003.

79
Pendapatan, Pendidikan, Tempat Tinggal

43. Leibowitz, A.A. The demand for health and 46. Cummings, R.G., Brookshire, D.S., Schulze,
health concerns after 30 years. Journal of W.D. Valuing environmental goods: a state of
Health Economics. (in press).2004. the arts assessment of the contingent
44. Jowett, M., Deolalikar, A., Martinsson, P. Health valuation method. New Jersey: Rowman and
insurance and treatment seeking behaviour: Alanheld.1986.
Evidence from a low-income country. Health 47. Taylor, S.J., Armour, C.L. Acceptability of
Economics (in press).2004. willingness to pay techniques to consumers.
45. Pradhan, M., Prescott, N. Social risk Health Expectations. 2002;5:341-56.
management options for medical care in
Indonesia. Health Economics. 2002;11:431-
46.

80
JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005 Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

IMPLEMENTASI INDIKATOR KINERJA PROPENAS


DI PROVINSI

IMPLEMENTATION OF PROPENAS PERFORMANCE INDICATORS


IN THE PROVINCES

Purnawan Junadi
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

ABSTRACT

Background: Performance indicators are used to assess the program achievement. The
government used national development program (propenas) indicators to evaluate the outcome
of health program every 5 years. Before decentralization, the collection of data never became
a problem. After decentralization, regional do not have the responsibility to report to the central
any more. As a result department of health finds itself difficulty to collect data needed for
benchmark. In contrast, as its role moves toward guidance and control, the need to have
performance indicators is bigger. Therefore, it is crucial to assess how in reality collection of
propenas indicators in the province.
Objective: To assess how far the provinces achieved the target as specified by Propenas
Indicators, and which province collected most of the indicators, which can be used to decide
what kind of incentives needed in the future. In addition we would like to know which indicators
were collected most, and which were difficult. This information is important for simplifying
indicators, reduce data collection burden, which in return more likely to be collected
Methods: This was a post test study, conducted in 15 provinces selected based on its rank in
term of health manpower indicator and geographical location. We collected available data on
Propenas indicators in samples provinces. In addition we asked difficulties to collect each
indicators and what their suggestion.
Conclusion: Out of 15 provinces, only Jambi, Kalimantan Selatan and Bangka-Belitung who
relatively had complete Propenas Indicators. Only 8 provinces had health profiles, and only 2
of them complete. Out of 61 performance indicators specified in Propenas, only 16 of them are
easily to collect.
We suggest that central government should takes this issue more seriously by providing special
funds for data collection for health performance indicators, and giving province benchmarking
and socio economic determinant analysis to produce useful information for province decision
making. In addition, central government should refine performance indicators by simplifying
data that proven difficult to be collected in the field, and takes roles of further validity, reliability
and feasibility analysis

Keywords: decentralization, performance indicators, propenas

LATAR BELAKANG
Kesehatan (jangka 5 tahun).2 Untuk mengetahui
Pembangunan kesehatan mempunyai visi
seberapa jauh visi tercapai, maka dikembangkan
mewujudkan “Indonesia Sehat Tahun 2010“, yaitu
indikator keberhasilan peningkatan pencapaian visi
suatu gambaran masyarakat yang mempunyai
tersebut, meskipun sudah tentu perubahan yang
perilaku sehat, lingkungan sehat, dapat
terjadi bukan kontribusi pembangunan kesehatan
menjangkau pelayanan yang bermutu sehingga
saja, melainkan juga peran dari pembangunan
mempunyai status kondisi kesehatan yang
sektor lain termasuk dalam pembangunan
optimal. 1 Visi pembangunan kesehatan
nasional.
masyarakat dioperasionalkan dalam perencanaan
Untuk mengetahui tercapainya tujuan
melalui Rencana Pembangunan Tahunan atau
pembangunan, digunakan indikator kinerja yang
Reperta (jangka pendek) dan Program
sesuai dengan jangka waktunya. Indikator tersebut
Pembangunan Nasional atau Propenas Bidang

81
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

dibagi atas indikator outcome yang diukur dalam atas dasar keamanan seperti DI Aceh, Maluku, dan
waktu 5 tahun sekali (indikator propenas) dan Irian Jaya. Dari 4 provinsi yang relatif baru, dipilih
indikator output yang diukur setiap tahun (indikator Bangka Belitung dan Banten. Jadi sampel provinsi
repeta). ini yaitu: Kalimantan Barat, NTT, Kalimantan
Sebelum desentralisasi, pengumpulan Selatan, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa
indikator kurang menjadi masalah. Indikator Tengah, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Selatan,
dikumpulkan pada pusat kegiatan, kemudian Sumatera Utara, Sulawesi Utara, DKI Jakarta,
secara berjenjang sampai ke pusat. Dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bangka
demikian, Departemen Kesehatan (Depkes) Belitung, Banten.
mengetahui perkembangan kegiatan maupun
status kesehatan pada tingkat kabupaten maupun b. Responden
provinsi. Setelah desentralisasi, maka peran Beberapa informan pada tingkat provinsi dan
Depkes berubah menjadi pembinaan, dan hampir kabupaten digunakan untuk penelitian ini. Tetapi
seluruh kegiatan kesehatan menjadi wewenang khusus untuk indikator Propenas di provinsi yang
tingkat kabupaten. Pengumpulan indikator ke pusat dipilih sebagai informan yaitu Kepala Subbagian
kini menjadi masalah karena daerah tidak Penyusunan Program Provinsi dan 1-2 orang
berkewajiban lagi untuk mengirim laporan ke pusat. stafnya yang bisa memberi masukan perbaikan
Praktis sejak desentralisasi digulirkan, Depkes tidak indikator program kesehatan untuk masa yang
mendapat lagi pengumpulan informasi kesehatan datang, serta Kepala Seksi SIK Provinsi yang
dari wilayah. Makalah ini ditulis untuk membahas bertanggung jawab atas pengumpulan indikator
dua hal berikut. propenas untuk mendapatkan data dan masukan
Bagaimana kinerja provinsi seperti tertera pada tentang kualitas data yang dikumpulkan.
indikator Propenas, provinsi mana saja yang relatif
lengkap mengumpulkan indikator tersebut. Informasi c. Jenis Data dan Pengumpulannya
ini akan berguna untuk memilih daerah yang perlu Sesuai dengan tujuan studi maka informasi
mendapat prioritas pembinaan dari Depkes. yang dikumpulkan yaitu tentang indikator kinerja
Indikator apa yang paling sering dijumpai, dan seperti yang tertera pada Propenas bidang
indikator apa yang paling sulit dikumpulkan. kesehatan (selanjutnya disebut indikator
Informasi ini berguna untuk penyederhanaan Propenas), sesuai dengan yang ditetapkan
indikator di masa yang akan datang dengan bersama oleh Bappenas dan Depkes. Daftar
mengingat kesulitan pengumpulannya. Dengan indikator ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
adanya indikator yang lebih sederhana, akan lebih Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer
banyak daerah yang mengumpulkannya untuk dan sekunder. Data sekunder yaitu data pencapaian
kebutuhan wilayah maupun meneruskan ke pusat dari indikator Propenas yang sudah dikumpulkan
dalam rangka evaluasi. oleh daerah sampel, digali melalui penelusuran di
bagian pengelola data, penanggung jawab program
BAHAN DAN CARA PENELITIAN di unit terkait atau pada profil kesehatan.
Pembahasan dalam makalah ini adalah bagian Data primer yang dikumpulkan adalah data
dari sebuah penelitian yang besar pada tahun 2004 tentang bagaimana indikator tersebut dikumpulkan,
yaitu Pengkajian Hasil Repeta 2002 dan kesulitan pelaksanaan, dan saran perbaikan. Selain
Penyusunan Draft Propenas Tahun 2004, yang itu dikumpulkan juga masukan untuk
meliputi kajian indikator Repeta maupun Propenas pengembangan indikator atau program di masa
pada tingkat Provinsi dan Kabupaten. Di dalam depan. Pengumpulan data dilakukan melalui
penelitian tersebut, penulis duduk sebagai wawancara atau diskusi kelompok sesuai dengan
konsultan utama.3 Penelitian tersebut bersifat situasi yang ada.
operasional. Disainnya bersifat post test study
karena dilakukan setelah program berjalan dan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
indikator dikembangkan. a. Pencapaian Propenas Tahun 2002 di 15
Provinsi
a. Populasi dan Sampel Pencapaian indikator propenas di 15 provinsi
Studi ini dilakukan pada 15 provinsi. Pemilihan yang menjadi sampel dalam kajian ini rata-rata
provinsi dilakukan atas dasar rasio dokter per belum mencapai target yang telah ditetapkan. Pada
100.000 penduduk berdasarkan profil tahun 20014 program kesehatan lingkungan, pencapaian rata-
sebagai proksi indikator tenaga kesehatan dan atas rata tertinggi untuk indikator rumah sehat adalah
dasar lokasi, agar sampel tersebar dari Sabang provinsi DIY (86,57%), kemudian Jambi (66,7%)
sampai Merauke. Beberapa provinsi tidak dipilih dan Sumatera Barat (58,8%), sedangkan terendah

82
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

di Provinsi Bangka Belitung (31,28%). Rata-rata rata-rata di tingkat provinsi tidak dapat mewakili
pencapaian keluarga dengan air bersih di 15 pencapaian indikator tersebut.
provinsi sampel adalah 61,81%, dengan Ketersediaan data indikator program sumber
pencapaian tertinggi di Sumatera Barat (74,5%), daya kesehatan, kebijakan dan manajemen
Jawa Tengah (72,07%) dan DIY (68,92%). pembangunan kesehatan serta obat, makanan dan
Sementara pencapaian terendah yaitu provinsi bahan berbahaya masih sangat rendah di tingkat
Banten (40,93%). Rata-rata pencapaian untuk provinsi. Selain sulit dikumpulkan, sebagian besar
indikator posyandu baik purnama dan mandiri di indikator tersebut tidak digunakan sebagai indikator
15 provinsi sampel masih sangat rendah, yaitu kinerja bagi program terkait. Ketidaktersediaan data
21,24%. Pencapaian tertinggi di Provinsi Banten tersebut, mengakibatkan perbandingan pencapaian
(56,17%), Jawa Tengah (29,93%), dan DKI Jakarta indikator menurut provinsi tidak dapat dilakukan.
(28%). Dari indikator yang ditetapkan pada ketiga program
Ketersediaan data indikator upaya kesehatan tersebut, hanya Provinsi Bangka Belitung yang
pada tahun 2002 di tingkat provinsi bahkan sangat memiliki data relatif lengkap, sedangkan pada
rendah, sehingga banyak provinsi tidak dapat provinsi lainnya tidak tersedia.
mengukur keberhasilan program yang berjalan.
Indikator yang tidak tersedia di provinsi misalnya b. Rangking Provinsi menurut Kelengkapan
pengobatan tradisional, prevalensi HIV/AIDS, Indikator Propenas
penanganan komplikasi obstetri, gangguan mata, Kelengkapan indikator propenas pada tingkat
dan peyuluhan oleh rumah sakit. provinsi rata-rata masih sangat rendah yaitu baru
Pencapaian UCI tingkat desa pada provinsi mencapai 25,27%. Pencapaian tertinggi di Provinsi
sampel rata-rata 77,35%, dengan pencapaian Jambi yaitu 70,15%, diikuti Provinsi Kalimantan
tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan (102,7%), Selatan (47,76%), dan Bangka Belitung (37,31%).
Sulawesi Utara (101,1%) dan Banten (94,53%), Adapun kelengkapan indikator Propenas terendah
sedangkan pencapaian terendah di Provinsi di Provinsi DKI Jakarta (11,4%), Sumatera Selatan
Kalimantan Selatan, (61,06%), Bangka Belitung dan Jawa Barat masing-masing 0%. (Tabel 1)
(68,4%), dan Sumatera Barat (68,8%). Penyediaan
data indikator persalinan tenaga kesehatan di tingkat Tabel 1. Ranking Provinsi Menurut
Kelengkapan Indikator
provinsi sudah cukup baik dengan pencapaian rata-
rata 71,5%. Pencapaian tertinggi untuk indikator
tersebut di Provinsi Sulawesi Selatan (85,77%), Provinsi Kelengkapan Indikator
Propenas
Kalimantan Selatan (78,77%), dan Sulawesi Utara
(77,0%). Provinsi dengan pencapaian terendah Jambi 70.15
Kalimantan Selatan 47.76
untuk indikator pelayanan tenaga kesehatan adalah
Bangka Belitung 37.31
Jawa Tengah (49,77%), Sumatera Utara (61,0%), Kalimantan Barat 35.82
dan Kalimantan Barat (67,7%). Jawa Tengah 32.84
Sebagian pencapaian indikator dari program Sulawesi Utara 29.85
Sumatera Barat 28.36
gizi pada tahun 2002 telah memenuhi target
Banten 22.39
propenas. Misalnya masalah gizi kurang, TGR Sulawesi Selatan 22.39
pada anak sekolah, serta gizi lebih. Namun DIY 17.91
ketersediaan data dari setiap indikator gizi di tingkat Nusa Tenggara Timur 16.42
DKI Jakarta 11.94
provinsi relatif sangat kurang. Indikator prevalensi
Sumatera Utara 5.97
gizi kurang yang ditetapkan secara nasional Sumatera Selatan 0.00
sebesar 20%, sedangkan pencapaian rata-rata Jawa Barat 0.00
provinsi sampel yang memiliki data indikator
tersebut sebesar 16,3%. Prevalensi gizi kurang 1. Rangking Indikator Propenas Menurut
pada balita, terendah di Provinsi Jawa Tengah Feasibilitas Pengumpulannya
(1,51%), Kalimantan Selatan (2,86%) dan Sulawesi a. Program Lingkungan Sehat, Perilaku
Selatan (5,89%). Adapun provinsi dengan Sehat Dan Pemberdayaan Masyarakat
prevalensi gizi kurang, tertinggi di Provinsi Jambi Feasibilitas indikator rumah sehat, air
(32%), dan Sumatera Barat (23,1%). bersih, jamban sehat, TTU dan posyandu
Hampir sebagian besar provinsi sampel tidak sudah cukup baik (>50%), sedangkan
dapat menyediakan data untuk indikator KVA pada untuk indikator lainnya masih rendah
balita dan ibu hamil. Demikian pula dengan kasus (<50%). Hampir sebagian besar provinsi
TGR, AGB ibu hamil, asi ekslusif, MPASI, dan (60%) menyatakan masih sulit untuk
keluarga sadar gizi, sehingga perbandingan dan memperoleh data indikator PHBS

83
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

walaupun ketersediaan datanya cukup Indikator dalam program gizi yang


baik di provinsi. Hal ini disebabkan karena dianggap sulit dalam ketersediaan data
untuk pengumpulan data indikator terebut adalah masalah KVA, karena untuk
tidak saja membutuhkan sumber daya memperoleh data tersebut dibutuhkan alat
yang memadai, seperti: dana, tenaga, dan diagnosis dan tenaga yang memadai.
waktu. Namun pedoman operasional atau Demikian juga dengan indikator keluarga
standar yang tidak dimiliki daerah sering sadar gizi dan masalah gizi seimbang,
membingungkan dalam penentuan data hampir sebagian besar provinsi sampel
bagi indikator yang dinilai abstrak tidak memiliki data dari indikator tersebut
tersebut. pada tahun 2002.
Kemudahan dalam pengumpulan
b. Program Upaya Kesehatan data indikator dari program gizi, rata-rata
Penyediaan data indikator dari sudah relatif baik dibandingkan program
program upaya kesehatan dalam lainnya. Hal ini disebabkan karena
Propenas, tampaknya juga masih masalah gizi di daerah memiliki
mengalami kesulitan untuk dipenuhi oleh kesinambungan program yang didanai
sebagian besar provinsi. Selain masalah dalam bentuk proyek, sehingga dapat di
program yang belum berjalan maksimal, monitoring dan dilaporkan secara rutin.
hampir sebagian besar provinsi kesulitan Namun, dalam ketersediaan data di
menghitung denominator dari indikator tingkat provinsi maupun kabupaten masih
tersebut walaupun tersedia data absolut. sangat rendah.
Selain hal tersebut, seringkali data yang Indikator dalam program gizi dengan
tersedia tidak sesuai dengan indikator feasibilitas cukup baik (>50%) yaitu gizi
yang dimaksud. Seperti angka kematian kurang dan distribusi zat besi pada ibu
akibat pneumonia atau diare. Umumnya hamil. Adapun indikator dengan
hanya berupa temuan kasus. Demikian ketersediaan data paling sulit baik pada
pula dengan angka kesembuhan TB paru, tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
sering tidak terlaporkan, kecuali temuan adalah masalah KVA, kasus TGR, dan
kasus penyakit berdasarkan diagnosis MPASI. Pengumpulan data dari indikator
klinis dan laboratorium. Angka prevalensi
tersebut selain tidak rutin setiap tahunnya,
kasus tertentu seperti HIV/AIDS tidak
juga dibutuhkan sumber daya yang harus
menggambarkan masalah kasus tersebut
memadai. Seperti alat diagnosis dan
pada masyarakat secara keseluruhan,
tenaga ahli.
karena hanya dihitung dari kelompok
berisiko tinggi saja.
d. Program Sumber Daya Kesehatan
Feasibilitas indikator program upaya
kesehatan pada tingkat provinsi rata-rata Ketersediaan untuk indikator
masih rendah (<50%), kecuali persalinan program sumber daya kesehatan masih
tenaga kesehatan. Beberapa indikator sangat rendah. Demikian pula dengan
tertentu, seperti pengobatan tradisional kegiatan pengumpulan data untuk
dan gangguan mata, mempunyai indikator tersebut, dinilai sulit oleh
feasibilitas yang rendah, sehingga data sebagian besar provinsi. Meskipun
tidak dapat tersedia pada tahun 2002. demikian, dari berbagai indikator tesebut
dalam pengumpulan data tentang sarana
c. Program Gizi Masyarakat dan tenaga kesehatan dinilai mudah,
Ketersediaan data dari indikator gizi karena masih rutin dilaporkan oleh
relatif sudah cukup baik dibandingkan Puskesmas setiap tahunnya.
program lainnya. Hal ini disebabkan
karena masalah gizi di daerah memiliki e. Program Kebijakan dan Manajemen
kesinambungan program yang didanai Pembangunan Kesehatan
dalam bentuk proyek, sehingga Hampir separuh provinsi sampel tidak
monitoring dan supervisi dari provinsi memiliki data indikator kebijakan dan
dapat optimal. Pelaporan program yang manajemen pembangunan kesehatan.
cukup rutin juga dirasakan oleh provinsi, Selain tidak digunakan sebagai indikator
sehingga hampir tiap tahunnya dapat di provinsi, hasil penelitian, peraturan, dan
digunakan sebagai usulan perencanaan kebijakan tentang kesehatan umumnya
program berdasarkan data yang valid. tidak terdokumentasi dengan baik.

84
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

Sebagian besar provinsi (>80%) Tabel 2. Ketersediaan dan Kelengkapan


Profil Kesehatan di 15 Provinsi
memberikan persepsi bahwa
pengumpulan data untuk indikator
tersebut rata-rata sulit. No. Provinsi Profil Kesehatan Kelengkapan Profil

1 Sumut Tidak ada


f. Program Obat, Makanan dan Bahan 2 Sumbar Tidak ada
3 Babel Tidak ada
Berbahaya
4 Jambi Ada Lengkap
Seperti halnya indikator sumber daya 5 Sumsel Tidak ada
kesehatan, penyediaan data untuk 6 DKI Jakarta Ada Tidak Lengkap
indikator obat, makanan dan bahan 7 Jabar Ada Tidak Lengkap
8 Jawa Tengah Ada Lengkap
berbahaya oleh sebagian besar
9 DIY Tidak ada
responden dinilai sulit. Persentase 10 Kalbar Tidak ada
provinsi yang memiliki data indikator 11 Kalsel Tidak ada
program tersebut pada tahun 2002, baru 12 NTT Ada Tidak Lengkap
13 Sulsel Ada Tidak Lengkap
mencapai 6,7% hingga 20%. Kendala
14 Sulut Ada Tidak Lengkap
dalam penyediaan data tersebut antara 15 Banten Ada Tidak Lengkap
lain karena tidak ada format laporan untuk
indikator yang dimaksud, tidak ada Yang menarik dalam Tabel 2 adalah Provinsi
pelaporan secara rutin dari kabupaten dan Jawa Tengah yang bisa membuat profil kesehatan
kota, serta lemahnya koordinasi dengan yang lengkap, meskipun tidak mempunyai indikator
pihak terkait (BPPOM dan kepolisian) Propenas secara lengkap. Hal ini tentunya
mengenai penyediaan data. berkaitan dengan relevansi pengumpulannya. Profil
kesehatan dilakukan karena memenuhi kebutuhan
2. Kondisi Input Sistem Informasi dan provinsi, sedang propenas adalah kebutuhan
Ketersediaan Profil Kesehatan di Tingkat pusat. Dikaitkan dengan 6 provinsi lain yang
Provinsi mempunyai profil kesehatan provinsi, Depkes bisa
Input sistem informasi pada bagian melakukan pendekatan, maupun memberi insentif
pengelola data di tingkat provinsi dan agar indikator Propenas bisa dikumpulkan lebih
kabupaten terdiri dari ketenagaan, anggaran, baik, sekaligus profil kesehatan provinsi bisa dibuat.
komputer, modem, printer, dan laporan dari
kabupaten. Berdasarkan hasil pengamatan di DISKUSI
lapangan dapat diketahui bahwa kondisi Penggunaan indikator kinerja adalah hal yang
kemampuan sarana tersebut cukup bervariasi. telah umum dilakukan di setiap negara. Ketika pada
Hampir sebagian besar (73,33%) provinsi tahun 1980 Amerika mengumumkan visi Healthy
sampel telah memiliki staf dengan People 2000, mereka telah membuat 226 indikator
kemampuan teknis dalam mengoperasikan yang akan diikuti perkembangannya dari tahun ke
komputer dan analisis data. Demikian pula tahun.1 Sekarang ini visi Healthy People 2010
dengan sarana dan prasarana berupa memfokuskan pada 28 program areas, dan 467
komputer, modem, dan printer tampaknya indikator.2 Canada menghabiskan biaya sebesar
bukan masalah bagi sebagian besar provinsi. 300 juta dollar untuk mengembangkan Health
Namun hampir lebih dari separuh provinsi Information Roadmap Initiaive, yang dibangun
(53,33%), menyatakan tidak mempunyai untuk menjawab dua pertanyaan utama yaitu
anggaran untuk kegiatan pengumpulan data, bagaimana sehatnya penduduk Kanada dan
baik rutin maupun tidak rutin. Demikian pula bagaimana baiknya kinerja pelayanan kesehatan.7
dengan laporan dari kabupaten (berupa profil Dilihat dari kacamata ini sebenarnya indikator
kesehatan) baru 20% provinsi yang menerima Propenas bahkan lebih sederhana karena hanya
laporan tersebut untuk data tahun 2002. terdiri atas 6 program areas, dan 61 indikator.3
Dari 15 provinsi sampel, baru 8 provinsi Namun ada dua isu utama sehingga Propenas
(53,33%) yang telah membuat dan memiliki ini praktis tidak berjalan dengan baik. Isu pertama
profil kesehatan tahun 2002. Namun, dari segi adalah aspek manajerial. Agar indikator kinerja
kelengkapan data pada profil tersebut, hanya berhasil, memerlukan kerja sama dan sumber daya
2 provinsi saja yaitu Jambi dan Jawa Tengah dari semua tingkat manajemen. 7 Ketika era
seperti digambarkan pada Tabel 2. sentralisasi, pengumpulan indikator dari lapangan

85
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

sampai ke pusat praktis tidak ada masalah. Sekarang dengan adanya kemajuan teknologi
Sekarang dengan desentralisasi, alokasi biaya informasi dan komputer, pengolahan informasi
ditentukan oleh daerah, dan praktis pengumpulan menjadi jauh lebih mudah. Informasi yang telah
informasi tidak menjadi prioritas. diolah bisa disediakan melalui internet yang
Isu kedua adalah bagaimana indikator ini disajikan dalam bentuk yang interaktif dan menarik.
dibangun. Indikator yang baik harus jelas Penyajian informasi dalam bentuk ini ternyata jauh
definisinya, valid, feasible, dan berguna untuk lebih bermanfaat14 dan utilisasinya menjadi lebih
pengambil keputusan diberbagai tingkat sering.15
pemerintahan. 8 Aspek tersebut memerlukan Selain itu Depkes perlu tetap melakukan
keterlibatan banyak stakeholder. Indikator untuk evaluasi maupun riset tentang kualitas data yang
Healthy People 2010 misalnya dibangun melalui dikumpulkan, khususnya baik mengenai ketepatan,
berbagai proses yang melibatkan berbagai pihak, validitas maupun feasibilitas pengumpulannya. Hal
baik pemerintah, LSM, maupun organisasi profesi ini penting, tidak saja karena adagium terkenal
yang prosesnya dicatat, sehingga bisa diikuti, dan garbage in garbade out, namun juga karena baik
merasa dimiliki oleh mereka yang terlibat. Hal yang institusi pengguna maupun penyedia data paling
sama juga dilakukan di Kanada. 7 Dalam hal jarang diperhatikan.16
indikator propnenas, proses bagaimana indikator Perlu ada tindak lanjut untuk
kinerjanya dipilih, dan siapa saja yang terlibat tidak menyederhanakan indikator kesehatan yang
jelas, sehingga ketika diserahkan ke daerah, tidak sekarang masih yang ada, terutama dikaitkan
dianggap penting untuk diteruskan. dengan kesulitan lapangan, seperti yang terbukti
Di masa depan, era propenas kelihatannya dalam penelitian ini. Salah satu alternatif adalah
telah berakhir seiring dengan menguatnya mengaitkannya dengan kebutuhan pembuatan
desentralisasi yang memberikan wewenang profil kesehatan maupun kaitannya dengan
penanganan bidang kesehatan kepada kabupaten, indikator standar pelayanan minimum wilayah. Hal
dan provinsi sesuai Undang-Undang No. 32/2004 ini tentunya memerlukan kajian tersendiri.
yang baru.4 Namun dengan perannya yang baru
sebagai pembinaan, maka justru kebutuhan KESIMPULAN DAN SARAN
Depkes akan indikator wilayah makin besar. 1. Dalam era desentralisasi ini, hanya sedikit
Implikasi dari kajian implementasi indikator ini provinsi yang masih mengumpulkan kinerja
meminta Depkes berpikir ulang tentang bagaimana indikator seperti yang tertera pada Propenas.
pengembangan sistem informasi di masa Dari 15 provinsi, hanya, Jambi, Kalimantan
mendatang. Selatan dan Bangka Belitung yang relatif
Departemen Kesehatan perlulah memberikan masih mengumpulkan indikator itu secara
reward kepada daerah yang tetap mengirimkan lengkap. Dalam kaitan ini, hanya 8 provinsi
informasi mengenai indikator kesehatan di yang mempunyai profil kesehatan dan dari
wilayahnya. Reward ini tidak hanya dalam bentuk sejumlah itu hanya 2 provinsi yang lengkap
insentif material, tetapi hendaknya bermanfaat indikator kinerjanya. Karena itu disarankan
untuk perkembangan wilayah yang bersangkutan. agar Depkes lebih memberi pehatian pada isu
Misalnya dengan memberikan umpan balik tidak ini dengan memberikan insentif melalui DAK,
hanya dalam bentuk rata-rata dan variasinya dan memberikan reward dalam bentuk umpan
antarkabupaten, sebagaimana kritik Braveman10 balik penyajian yang bermanfaat untuk wilayah
ketika membahas World Health Report 2000. bersangkutan, termasuk ranking antarprovinsi
Namun juga bagaimana perbedaannya dalam maupun korelasinya dengan indikator
kelompok kaya miskin atau desa kota. Jelas bahwa sosioekonomik.
indikator sosioekonomik sangat berperan dalam 2. Dari 61 indikator kinerja Propenas, ada 16
memberikan perspektif peran kinerja program indikator yang relatif mudah dikumpulkan pada
kesehatan disebuah wilayah.11,12 Mengingat di tingkat provinsi. Indikator tersebut:
Indonesia indikator sosioekonomik dikumpulkan a. Indikator Program Kesehatan Lingkungan
tersendiri misalnya melalui SUSENAS, maka dan Perilaku Sehat: Jamban Sehat, Air
Depkes perlu menggabungkan kedua data dan Bersih, TTU Sehat, Rumah Sehat, dan
memberikan hasil analisisnya ke provinsi sebagai Posyandu.
reward atas pengumpulan indikator tersebut. b. Indikator Program Upaya Kesehatan:
Hanya dengan timbal balik seperti itu maka angka DBD dan persalinan tenaga
kesinambungan pengumpulan indikator kinerja kesesehatan.
program kesehatan bisa dijamin.13 c. Indikator gizi: cakupan vitamin A, dan
tablet besi ibu hamil.

86
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

d. Indikator Program Sumber Daya nchs/about/otheract/hpdata2010/abouthp.htm


Kesehatan: JPKM, rasio tenaga tanggal 14 Juni 2005
kesehatan, rasio sarana kesehatan. 7. Millar, John S. Healthy Canadian in 2010,
e. Indikator Kebijakan dan Manajemen Commentary, Canadian Medical Association
Pembangunan Kesehatan: peraturan Journal, June 27, 2000; 162:1823-1824
yang menjadi kebijakan kesehatan, 8. Larson, Charles dan Alec Mercer. Global
proporsi kabupaten/kota dengan SIK. Health Indicators: an overview, Canadian
f. Indikator Obat, Makanan dan Bahan Medical Association Journal, 2004;171:1199-
Berbahaya: Penyuluhan KIE tentang 1200.
NAPZA, dan obat esensial nasional. 9. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Temuan ini hendaklah dijadikan pedoman 2004.
untuk menyusun indikator kinerja program 10. Braveman, Paula dkk: World Health Report
kesehatan di masa depan. Sebab indikator 2000: how it removes equity from the agenda
yang sulit ini akan mengganggu ketika for publich health monitoring and policy, BMJ
dilakukan penyajian rata-rata, variasi dan 2001;323:678-81.
benchmarking antar wilayah. Peranan 11. Smith, G. Davey, dkk. Area based measures
pengkajian validitas dan feasibilitas indikator of social and economic circumstances: cause
harus diambil oleh Depkes, sebagai salah satu specific mortality patterns depend on the
bentuk peran pembinaan. choice of index, J Epidemiology Community
Health 2001;55;149-150.
KEPUSTAKAAN 12. Mulligan, Ju, dkk. Measuring the kinerja of
1. Depkes. Visi Indonesia Sehat 2010, diambil dari health systems, indikacators still fail to take
http://www.depkes.go.id/showis.php?tid=Visi, socioeconomic factors into account, BMJ,
diakses pada tanggal 7 juni 2005. 2000;321:191-2.
2. ADB. Country Operational Strategy Studies: 13. Kenney, Natalie dan Alison Macfarlane.
Indonesia 1994, diakses dari http:// Identifying problems with data collection at a
w w w. a d b . o r g / d o c u m e n ts / c o s s s / I N O / local level: survey of NHS maternity units in
ino202.asp tanggal 7 Juni 2005. England, BMJ, 319;619.
3. Depkes. Pengkajian Hasil Repeta 2002 Dan 14. Donaldson, Ed Molla dan Kathleen N. Lohr.
Penyusunan Draft Propenas Tahun 2004, Health Data in the Information Age: Use
Jakarta 2003. Disclosure and Privacy, Views and Reviews
4. Depkes. Profil Kesehatan Masyarakat, 2001, BMJ 1994; 309;964-965.
Jakarta Indonesia. 2002. 15. Wulff, Judith L., dan Neal, D. Nixon. Quality
5. NCHS. Healthy People 2000 Final Review, markers and use of electronic journalsin an
Heattsville, Maryland: Public Health Service, academic health science library, J Med Library
2001: 1,19. Association; 2004;92:315.
6. NCHS. Healthy People 2010-About Healthy 16. Carnall. Douglas, NHS performance indicators,
People 2010, diambil dari http://www.cdc.gov/ BMJ 2000;321:248.

87
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

LAMPIRAN 1: INDIKATOR PROPENAS 22 Jumlah sarana kesehatan yang melaksanakan


Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat Dan upaya kesehatan lansia
Pemberdayaan Masyarakat 23 Persentase jumlah jenis pelayanan
1 Persentase keluarga yang menggunakan penyuluhan dan pencegahan oleh rumah sakit
jamban yang memenuhi syarat kesehatan (RS)
2 Persentase keluarga yang menggunakan air 24 Persentase kotamadia/kota yang
bersih di perkotaan dan pedesaan melaksanakan sistem kewaspadaan dini
3 Persentase tempat-tempat umum (TPU) dan (SKD)
pengelolaan makanan yang memenuhi syarat 25 Persentase kotamadia/kota yang mempunyai
kesehatan labkes/Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan
4 Persentase sekolah yang memenuhi syarat (BPFK)
kesehatan
5 Persentase industri dan rumah sakit yang Program Gizi Masyarakat
mengolah limbah dengan aman dan sehat 26 Prevalensi gizi kurang pada balita
6 Persentase keluarga yang menghuni rumah 27 Prevalensi KEK pada ibu hamil
sehat 28 Prevalensi TGR pada anak usia sekolah
7 Persentase penduduk yang melaksanakan 29 Prevalensi AGB pada ibu hamil
perilaku hidup bersih dan sehat 30 Prevalensi KVA pada balita dan ibu hamil
8 Persentase Posyandu Purnama Mandiri per 31 Prevalensi gizi lebih
desa 32 Prevalensi BBLR
Program Upaya Kesehatan 33 Prevalensi rumah tangga mengkonsumsi
9a. Menurunnya angka kesakitan penyakit garam yodium
Demam Berdarah Dengue (DBD) 34 Persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi
9b. Menurunnya angka kesakitan malaria 0-4 bulan
9c. Meningkatnya angka kesembuhan penyakit 35 Persentase pemberian MP ASI pada bayi
tuberkulosis (TBC) paru mulai usia 4 bulan
9d. Prevalensi Human Immunodeficiency Virus 36 Jumlah kkal per kapita per hari konsumsi gizi
(HIV) seimbang
9e. Menurunnya angka kematian pneumonia 37 Persentase keluarga sadar gizi
balita 38 Persentase BB terhadap TB kurang dari
9f. Menurunnya angka kematian diare pada balita normal pada anak sekolah
9g. Eliminasi penyakit kusta dan eradikasi polio 39 Prevalensi anemia pada balita, WUS, remaja
10 Persentase cakupan imunisasi Universal Child putri dan wanita pekerja
Immunization (UCI)
11 Persentase jumlah orang sakit yang berobat Program Sumber Daya Kesehatan
ke sarana kesehatan 40 Jumlah penduduk yang menjadi peserta
12 Persentase jumlah pasien yang dirujuk dari sistem pemeliharaan kesehatan dengan
sarana pelayanan kesehatan dasar pembiayaan pra-upaya
13 Persentase cakupan pelayanan antenatal, 41 Proporsi tenaga kesehatan dibandingkan
postnatal dan neonatal dengan jumlah penduduk
14 Persentase cakupan pertolongan persalinan 42 Persentase lembaga pendidikan dan pelatihan
oleh tenaga kesehatan kesehatan yang terakreditasi
15 Persentase cakupan penanganan komplikasi 43 Proporsi sarana kesehatan dibandingkan
kasus obstetri minimal 12% dengan jumlah penduduk
16 Persentase cakupan pembinaan kesehatan 44 Persentase cakupan pemeriksaan sarana
Balita dan anak usia pra-sekolah pelayanan kesehatan (terakreditasi)
17 Persentase orang sakit yang berobat ke
pengobatan tradisional Program Kebijakan dan Manajemen
18 Prevalensi penyakit akibat gangguan mata Pembangungan Kesehatan
19 Jumlah sarana kesehatan yang melaksanakan 45 Jumlah peraturan yang menjadi kebijakan
quality assurance (QA) program kesehatan
20 Persentase jumlah rumah sakit yang 46 Proporsi kotamadia/kota sesuai dengan UU
terakreditasi No.22/1999 yang mempunyai kebijakan
21 mlah sarana kesehatan yang melaksanakan kesehatan
upaya kesehatan remaja

88
Implementasi Indikator Kinerja Propenas di Provinsi

47 Proporsi kotamadia/kota yang mempunyai 53 Proporsi kasus pencemaran makanan dengan


sistem manajemen kesehatan yang berbasis tindak lanjut pengamanan
wilayah 54 Jumlah industri yang telah mengelola bahan
48 Proporsi kotamadia/kota yang mempunyai berbahaya secara benar
perangkat peraturan daerah mengenai 55 Persentase cakupan pemeriksaan sarana
kesehatan produksi dan distribusi farmakes dalam rangka
49 Proporsi kotamadia/kota yang mampu COPB
menyediakan profil kesehatan kotamadia/kota 56 Persentase produk farmakes yang tidak
50 Jumlah penelitian dan publikasi hasil penelitian memenuhi syarat mutu
di bidang kesehatan dan gizi 57 Jumlah produk farmakes yang berbasis
51 Persentase hasil penelitian bidang kesehatan sumber daya alam dalam negeri
yang dimanfaatkan oleh program kesehatan 58 Persentase penggunaan obat rasional
59 Persentase ketersediaan obat esensial
Program Obat, Makanan dan Bahan Berbahaya nasional
52 Proporsi kasus penyalahgunaan atau 60 Jumlah laboratorium pengujian obat dan
kesalahagunaan NAPZA dengan tindak lanjut makanan yang terakreditasi
pengamanan 61 Terlaksananya sosialisasi kebijakan harga
obat generik

89
JMPK Vol. 08/No.02/Juni/2005 Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

PROGRAM PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS):


STUDI KASUS DI KABUPATEN BANTUL 2003

CLEAN AND HEALTHY LIFE BEHAVIOUR (CHLB) PROGRAM:


A CASE STUDY AT BANTUL DISTRICT OF YOGYAKARTA PROVINCE 2003

Djonny Sinaga1, Dewi Marhaeni Diah Herawati2, Mubasysyir Hasanbasri3


1
Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara
2
Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
3
Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, UGM, Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Clean and Healthy Life Behavior (CHLB), as part of social movement strategies
initiated by the Ministry of Health, has been implemented in the Bantul District of Yogyakarta
since 1996. The movement is organized through existing puskesmas in the area. Various level
of participation has been noted among the areas of implementation. One area of Puskesmas
Kasihan 2 has been known as one the success story of the CHBL implementation. The main
aim of this study is to explore and to learn the major factors that contribute to this success
story.
Data and Method: This is a case study that treats community as our main unit of analysis. Two
puskesmas areas: Kasihan 2 and Banguntapan 1 were selected as our study focus. The data
were collected from July–September 2004 through in depth interviews of the community leaders
and health staffs from public health centers and district health office. Two focused group
discussions were also done.
Findings: What we can learn from this case is that earlier experience between community and
government helps the development and the work of the Clean and Healthy Life Behavior Program
in the Kasihan 2 Puskesmas Area. In addition to this, the presence of nor or two community
leaders who have the background of working together with the community is the key to the
success of health social movement. We also learn that government initiatives and acting as a
sparing partner to the community allow community show their performance in the health game.
Heath cadres have no longer become the object. They play their role as the government officers
play their own. We believe that puskesmas managers should have the capability to identify
community leaders in their working areas to invite them to work together in a game. The
philosophy of partnership and supporting their staff in working together with the community
could become the puskesmas agenda.

Keywords: Clean and Healthy Life Behavior, community leadership, government initiative,
partnership between government and community

PENGANTAR pemerintah berperan, berkewajiban, dan


Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat bertanggung jawab untuk memelihara dan
(PHBS) merupakan program Dinas Kesehatan meningkatkan derajat kesehatan perorangan,
Bantul dan menjadi salah satu strategi dalam keluarga, masyarakat beserta lingkungannya.
pencapaian “Bantul Sehat 2005”. Implementasi Wujud partisipasi masyarakat atau peran aktif
kegiatan ini tergantung pada kebijakan pemerintah masyarakat dalam memelihara dan menjaga
maupun dukungan masyarakat. Dukungan kesehatannya dapat dilihat melalui kegiatan Upaya
masyarakat merupakan hal yang sangat vital, Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (KBDM),
sehingga terlaksana atau tidaknya program ini seperti: posyandu, dana sehat, Daerah
tergantung bagaimana sikap masyarakat dalam Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL),
merespon permasalahan kesehatan yang ada di PHBS, dan lain-lain.
wilayahnya. Program PHBS dibagi dalam lima tatanan yaitu
Dalam era otonomi daerah, pemberdayaan tatanan rumah tangga, sekolah, tempat kerja,
dan kemandirian merupakan salah satu strategi sarana kesehatan, dan tatanan tempat-tempat
dalam pembangunan kesehatan. Artinya bahwa umum. Masing-masing tatanan mempunyai
setiap orang dan masyarakat bersama-sama indikator sendiri-sendiri. Sejak tahun 2002 Dinas

91
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

Kesehatan Bantul mengembangkan PHBS tatanan Kabupaten Bantul pada tahun 2003, karena PHBS
rumah tangga, yang jumlah indikatornya berubah merupakan salah satu strategi dalam pencapaian
menjadi enam belas dan disesuaikan dengan Bantul Sehat 2005.
permasalahan kesehatan di Kabupaten Bantul. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk
Prioritas program PHBS dalam era otonomi daerah memperoleh gambaran tentang pelaksanaan
diserahkan kepada kebijakan masing-masing program PHBS di Kabupaten Bantul. Tujuan
kabupaten atau kota, sehingga tiap-tiap daerah khususnya adalah: 1) untuk mengetahui
dapat mengimplementasikan program PHBS agar pelaksanaan program PHBS; 2) untuk mengetahui
lebih sesuai dengan kondisi dan permasalahan kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
masyarakat setempat. program PHBS; dan 3) untuk mengetahui
Adapun klasifikasi PHBS1 ditunjukkan melalui dukungan masyarakat dalam pelaksanaan program
nilai Indeks Potensi Keluarga Sehat (IPKS), PHBS.
berdasarkan 16 indikator sebagai berikut. Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
1. Potensi Sehat I (merah): indikator yang (PHBS) merupakan bentuk perwujudan paradigma
memenuhi hanya 1-4 sehat, utamanya pada aspek budaya perorangan,
2. Potensi Sehat II (kuning): indikator yang keluarga dan masyarakat. Program Perilaku Hidup
memenuhi 5-8 Bersih dan Sehat (PHBS) adalah tindakan yang
3. Potensi Sehat III (hijau): indikator yang dilakukan oleh perorangan, kelompok atau
memenuhi 9-12 masyarakat yang sesuai dengan norma-norma
4. Potensi Sehat IV (biru): indikator yang kesehatan, menolong dirinya sendiri dan berperan
memenuhi 13 –16 aktif dalam pembangunan kesehatan untuk
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
Target program PHBS tatanan rumah tangga tingginya.
yang akan dicapai Kabupaten Bantul pada tahun Strategi pencapaian PHBS, meliputi: 1)
2005 sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) advokasi yaitu upaya untuk mempengaruhi
adalah terpenuhinya keluarga Potensi Sehat III dan kebijakan publik, individu dan pemegang kebijakan
IV sebesar 70%, sedangkan cakupan yang telah melalui pendekatan persuasif untuk memperoleh
dicapai sampai tahun 2003 adalah 64,95%. dukungan, 2) bina suasana yaitu menjalin
Berdasarkan hasil pendataan PHBS tahun kemitraan untuk membentuk opini publik dengan
2003, diketahui adanya lima permasalahan utama berbagai kelompok yang ada di masyarakat, 3)
yaitu: keikutsertaan anggota JPKM 29,08%, tidak pemberdayaan adalah cara untuk menumbuhkan
merokok 36,90%, buang air besar di jamban dan mengembangkan norma yang membuat
82,04%, bebas jentik nyamuk 82,91%, dan masyarakat mampu untuk berperilaku hidup bersih
pasangan usia subur 82,94%.1 Dengan demikian, dan sehat.
intervensi yang dilaksanakan adalah kegiatan- Unsur-unsur dalam manajemen program
kegiatan yang sesuai dengan permasalahan yang PHBS terbagi dalam empat tahap yaitu: 1) pengkajian
ada seperti sosialisasi JPKM, sosialisasi gerakan meliputi pengkajian masalah program PHBS secara
3M dan pelatihan kader pemantau jentik, serta kuantitatif, pengkajian secara kualitatif, dan
pemberian stimulan jamban keluarga, kesehatan pengkajian sumber daya; 2) perencanaan meliputi
reproduksi remaja, dan lain-lain. menentukan tujuan dan jenis kegiatan intervensi;
Implementasi program PHBS di Kabupaten 3) penggerakan pelaksanaan meliputi advokasi,
Bantul sangat dipengaruhi oleh kebijakan mengembangkan dukungan suasana, dan gerakan
pemerintah maupun dukungan masyarakat. masyarakat; 4) pemantauan serta penilaian.2
Adapun kebijakan pemerintah dapat dilihat dari Otonomi daerah didasari oleh kenyataan
dukungan SDM, pembiayaan maupun sarana. bahwa pelaku pembangunan yang sesungguhnya
Sumber daya manusia dalam program PHBS adalah masyarakat, sedangkan pemerintah
meliputi Dinas Kesehatan, Puskesmas dan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, dan
masyarakat (kader). Sarana yang digunakan katalisator. 3
meliputi buku pegangan kader, buku pedoman Pemberdayaan masyarakat sebagaimana
keluarga program PHBS, kartu pendataan program ditekankan dalam desentralisasi pembangunan
PHBS, dan format laporan program PHBS. kesehatan hanya dapat dicapai melalui
Pembiayaan program PHBS berasal dari APBD II, peningkatan peran serta masyarakat. 4
Bantul District Grant yang berasal dari World Bank Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
maupun dana APBD I. fasilitasi agar masyarakat mengenal masalah yang
Permasalahan yang akan diteliti adalah dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya
bagaimana implementasi program PHBS di pemecahannya dengan memanfaatkan potensi

92
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

spesifik masing-masing daerah sesuai situasi, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PHBS
kondisi dan kebutuhan masyarakat.5 Masyarakat di Kasihan 2 – Kisah Berhasil
dapat mendorong keberhasilan suatu program Wilayah Kasihan 2 merupakan daerah
melalui tiga cara, yaitu: 1) menyediakan informasi, endemis penyakit demam berdarah karena kondisi
2) menyediakan dukungan politik, 3) lingkungan yang buruk. Pada sekitar 1980-an,
menyumbangkan sumber daya.6 warga buang air besar di selokan. Sampah
Adapun dukungan masyarakat dapat berupa berserakan di berbagai tempat. Sarana air bersih
tanggapan atau respon terhadap informasi yang masih sedikit. Kondisi ini membuat warga
diterimanya, keterlibatan dalam perencanaan, melaksanakan kesepakatan bersama untuk
keterlibatan dalam pengambilan keputusan, mengatasi kondisi kesehatan lingkungan yang
keterlibatan dalam melakukan hal-hal teknis, jelek. Pada tahun 1993, ada program Desa
keterlibatan dalam memelihara, dan Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL). Pada
mengembangkan hasil pembangunan, serta waktu itu bantuan sejumlah Rp1.500.000,00
keterlibatan dalam menilai pembangunan.7 diberikan untuk pembangunan fisik. Dana ini sejak
Pada era desentralisasi ini keberadaan itu telah dijadikan pinjaman bergulir untuk membeli
organisasi atau lembaga pemberdayaan jamban keluarga. Setiap Kepala Keluarga
masyarakat sebagai institusi yang bercorak memperoleh bantuan sebesar Rp200.000,00.
modern sangat dibutuhkan. Hal ini karena Warga mengembalikan uang itu dalam bentuk
organisasi atau lembaga tersebut fungsinya sangat cicilan sepuluh kali, ditambah biaya administrasi
diharapkan terutama dalam menyusun rencana, sukarela tetapi tidak diberlakukan bunga. Sampai
biaya, pelaksanaan, dan pengawasan dalam upaya sekarang hampir kurang lebih 200 kepala keluarga
kesehatan, serta dalam proses pengambilan telah menggunakan dana tersebut. Dari dana DPKL
keputusan.5 ini yang sekarang telah dikelola Komite Dusun
Organisasi masyarakat adalah suatu proses dikembangkan tidak hanya untuk sanitasi dasar
yang kelompok masyarakatnya dibantu untuk tetapi juga pembelian tong-tong sampah masing-
mengenali masalah atau tujuan umum untuk masing warga, dan konblokisasi.
menggerakkan sumber daya. Dengan kata lain, Implementasi program PHBS yang menonjol
pengembangkan dan penerapkan strategi tersebut di Kasihan 2 adalah Gerakan Jum’at Bersih untuk
untuk mencapai tujuan, yang telah disusun jentik nyamuk dan Gerakan Minggu Bersih untuk
bersama. Konsep dalam organisasi masyarakat, lingkungan sudah terjadwal dan rutin. Kegiatan
meliputi: partisipasi dan relevansi, kemandirian, minggu bersih berawal dari kegiatan individual yang
kesadaran, kompetensi masyarakat, serta kemudian diperkuat oleh pengorganisasian di
pemilihan masalah.8 jajaran pedusunan bekerja sama dengan
puskesmas ketika terjadi kasus DBD. Kemudian
BAHAN DAN CARA PENELITIAN kegiatan berlanjut diresmikan sebagai kegiatan
Penelitian ini merupakan kajian studi kasus dusun yang dilaporkan setiap pertemuan bulanan.
dengan analisis deskriptif9, dengan lokasi penelitian Minggu bersih dikhususkan hanya untuk
di Kabupaten Bantul. Subyek penelitian terdiri dari lingkungan rumah tangga, jamban keluarga,
kepala seksi penyebarluasan informasi Dinas selokan, dan perawatan tanaman obat. Kegiatan
Kesehatan, Kepala Puskesmas 2 orang, petugas PHBS yang lain adalah bazar. Kegiatan bazar
PKM Puskesmas 2 orang, kader kesehatan dan muncul karena kesepakatan yang dibuat dalam
tokoh masyarakat. Pemilihan Puskesmas dengan pertemuan-pertemuan sosialisasi. Anggota
kriteria inklusi sebagai berikut. Puskesmas dengan masyarakat dapat menjual asesoris berlogo PHBS
cakupan program PHBS tertinggi, dukungan seperti gantungan kunci, pemotong kuku dan stiker.
masyarakatnya baik dan telah mempunyai komite Melaksanakan pertemuan rutin setiap tanggal 12
kesehatan dusun, serta merupakan pilot project di tingkat dusun dan tanggal 13 tingkat kelurahan,
program PHBS, untuk itu terpilih Puskesmas jika hari minggu atau libur di sesuaikan.
Kasihan II. Sebagai pembanding adalah Pengelolaan sampah dilaksanakan oleh komite
Puskesmas yang cakupan program PHBS-nya kesehatan dusun, bekerjasama dengan Pemda
rendah, dukungan masyarakat rendah, serta tidak dengan iuran Rp4.000,00 – Rp10.000,00.
menjadi pilot project program PHBS, untuk itu Puskesmas Kasihan2 memanfaatkan berbagai
terpilih Puskesmas Banguntapan II. Pengumpulan pertemuan warga untuk mensosialisasikan pro-
data dilakukan dengan metode wawancara gram PHBS. Meskipun demikian, dalam
mendalam dan focus group discussion (FGD). sosialisasinya tetap menggunakan spanduk,

93
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

brosur, stiker, dan baliho agar masyarakat lebih Peran Komite Kesehatan Dusun. Komite
mengenal program PHBS. Tulisan-tulisan yang Kesehatan Dusun dibentuk tahun 2002. Ia
berkaitan dengan program PHBS juga ada di bak merupakan peleburan dari semua UKBM yang ada
sampah yang dibagikan kepada setiap keluarga. dalam suatu wadah organisasi agar permasalahan
Kegiatan di Kasihan 2 menjadi perhatian kesehatan dapat diselesaikan secara komprehensif.
puskesmas dan masyarakat ketika ada kasus Komite ini mempunyai delapan pokja dan PHBS
demam berdarah. Kader kesehatan di daerah ini merupakan salah satu dari mereka. Setiap pokja
mendapat tugas dari dusun untuk mengkoordinasi dipimpin oleh koordinator, adapun anggotanya
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) kegiatan masing-masing RT ada dua orang kader yang
Jumat Bersih disini berjalan rutin hingga saat ini. menjadi pengurus. Jumlah anggota dari komite ini
Masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kasihan 2 dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang
lebih mudah memahami mengapa perlu ada program merupakan pensiunan pegawai BKKBN yang
PHBS karena keadaan lingkungannya yang sebelumnya menjadi ketua DPKL. Tokoh ini cukup
endemis DB. Bahkan sebelumnya sangat dikenal disegani oleh masyarakat karena merupakan tokoh
dengan kebiasaan warga yang membuang hajat panutan dan merupakan leadership yang tinggi.
dan MCK di kali, padahal lokasinya sangat dekat
dengan perkotaan yaitu kota Yogyakarta. Keinginan PHBS di Banguntapan 1-Kisah Belum Berhasil
untuk ke luar dari kesan kumuh dan ancaman DB Program PHBS di Banguntapan 1 sudah
menjadi pemersatu persepsi atau pemahaman menjadi sasaran Dinas Kesehatan Bantul. Kegiatan
program PHBS. Peran serta masyarakat disini tidak seperti di Kasihan 2. Kegiatan minggu
dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat dan bersih tidak merupakan hal yang rutin. Kegiatan
kepentingan komunal yang mengikat setiap Jumat Bersih dipusatkan pada pembersihan
anggota masyarakat. Koordinasi, kerjasama lintas lingkungan secara umum. Program PHBS di
program ataupun lintas sektoral menjadi lebih lingkungan ini dirasakan oleh masyarakat seolah-
mudah dilakukan daripada daerah lainnya.10 olah sebagai sesuatu yang top down. Masyarakat

! !

"

Gambar 1. Pola Kerja Penggunaan Pinjaman Bergulir


untuk Jamban

94
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan I sebatas dan tokoh-tokoh masyarakat. Kurangnya


melaksanakan permintaan dari pemerintah agar kesanggupan atau kemampuan tenaga kesehatan
pendataan program PHBS yang ditetapkan di Puskesmas Banguntapan I dalam menggerakkan
pemerintah dapat tercapai. Kepala Dusun ataupun partisipasi aktif tokoh masyarakat merupakan
pihak Puskesmas hanya menjelaskan bagaimana masalah dalam implementasi program PHBS.
mengisi blangko pendataan program PHBS Masalah lainnya adalah lemahnya pemahaman kader
sehingga pelaksanaan pelatihan bagi kader tidak terhadap program PHBS itu sendiri dibandingkan
lebih dari satu hari. Padahal implementasi tidak pemahaman kader PHBS di Puskesmas Kasihan 2.
berhenti pada pendataan. Meskipun Kepala Dusun Di Banguntapan I, kader yang ada kurang mendapat
dapat menggerakkan tokoh-tokoh masyarakat pembinaan atau pelatihan dari tenaga kesehatan
dalam rangka mendukung program PHBS. Namun terkait. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa
tidak semua kepala dusun memiliki otoritas demikian kader, mereka tidak hanya membutuhkan insentif
karena tokoh kepala dusun dapat dipandang uang, tapi juga perhatian dari petugas kesehatan.
sebagai pemimpin formal dari pemerintah desa. Di Insentif ini tidak lebih sebagai motivasi saja agar kader
samping itu, selain kepala dusun seharusnya ada dapat terus menjalankan kegiatan program PHBS
tokoh-tokoh lain yang sejak awal dilibatkan dalam walaupun mungkin hanya pendataan dan
implementasi program PHBS. Kurangnya dukungan penyuluhan.
program PHBS dalam lembaga-lembaga di tingkat
dusun seperti RT, RW, arisan, dan kelompok- Permainan Bersama antara Masyarakat dan
kelompok pengajian menunjukkan bahwa sejak awal Pemerintah
mereka tidak dilibatkan. Petugas Puskesmas Gerakan-gerakan sosial biasanya mengalami
Banguntapan I mengatakan: kesulitan dalam melakukan koordinasi. Satu
momentum yang penting yang bisa membuat
“program PHBS itu kan masalah perilaku…. stakeholder dalam PHBS bisa saling
Jadi ya diserahkan kembali kepada warga.” berkoordianisa dan main bersama adalah
Implementasi program PHBS di wilayah kunjungan-kunjungan tamu yang ingin melihat dari
Puskesmas Banguntapan I secara institusional dekat contoh keberhasilan program PHBS dalam
masih kurang memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat. Kunjungan seperti itu memberikan
masyarakat. Dukungan masyarakat hanya sebatas kesempatan bagi warga, puskesmas, dan unsur
memberikan informasi untuk kepentingan pemerintah daerah untuk bersama-sama
pendataan program PHBS. Dukungan politik sangat memperlihatkan kerja mereka. Dengan kehadiran
minim dilihat dari rendahnya keterlibatan tokoh tamu-tamu itu, seluruh pihak dapat merefleksi dari
masyarakat sehingga sumber daya potensial kurang waktu ke waktu dan belajar dari tamu dan dari
berperan dalam mensukseskan program PHBS. interaksi mereka sendiri dalam memelihara
Dalam keadaan ini, kader program PHBS menjalan program. Momentum kehadiran tamu menjadi
tugas tanpa memiliki mitra pendukung, sehingga media kerjasama antara antara Kader PHBS, PKK,
pelaksanaan program PHBS menjadi tidak mudah. dasawisma, Ketua RT, Ketua RW, pengurus DPKL,
Kader kesehatan kurang aktif di sini. Tidak ada dan petugas dari Puskesmas Kasihan 2, dan juga
koordinasi yang kuat untuk melaksanakan PSN. kerjasama lintas sektoral antara Kepala Dusun,
Puskesmas kurang melibatkan masyarakat Pemerintah Desa, Kecamatan dan Puskesmas.
setempat sejak awal pelaksanaan implementasi Meskipun demikian interaksi dengan dunia luar
program PHBS. Masyarakat kurang dilibatkan dalam ini bisa menimbulkan masalah jika tidak dikelola,
penyusunan agenda, formulasi kebijakan dan adopsi kepala puskesmas di Kasihan pernah
kebijakan sehingga masyarakat banyak yang tidak menceritakan adanya keluhan anggota masyarakat
mengetahui apa masalah yang dihadapi sehingga yang merasa menjadi beban ketika banyak tamu.
kurang mengerti mengapa ada program PHBS. warga merasa menjadi jenuh dengan aneka
Puskesmas Banguntapan I memahami sumber kegiatan program PHBS. Justru kunjungan-
daya manusia dalam pembangunan kesehatan kunjungan seperti ini belum dirasakan sebagai
secara sempit berupa tenaga kesehatan saja. proses belajar yang sangat baik. Dalam kaca mata
Padahal di tingkat bawah, mereka yang aktif sebagai yang negatif, potret ini terungkap oleh seorang
kader kesehatan mengharapkan peran atau kepala puskesmas:
partisipasi yang lebih besar dalam mensukseskan
program PHBS. Keterbatasan jumlah tenaga “ … kunjungan-kunjungan tersebut kurang
kesehatan dalam program PHBS akan menjadi begitu memberi manfaat bagi warga…” biaya
kendala program ketika para tenaga kesehatan yang harus dikeluarkan warga tidak sedikit..”
ada bantuan dana dari Pemerintah Desa…”
tersebut tidak mampu menggerakkan potensi SDM tetapi warga tetap mengeluarkan biaya.”
yang ada di tengah masyarakat seperti pihak swasta

95
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

' &

! !
#

! $
"
% "

&

Gambar 2. Peran Sentral Komite Kesehatan dalam


Program-program Kesehatan di Kasihan 2

Bahkan menurut mereka biaya untuk dana stimulan dan kontribusi dari masyarakat
keperluan tamu-tamu itu dapat dialokasikan untuk sendiri dapat saling memperkuat kegiatan.
kegiatan lain yang mendukung implementasi Penggunaan dana-dana yang dapat dikumpulkan
program PHBS lebih lanjut. dari berbagai sumber di atas digunakan untuk
Sering orang mengatakan tidak ada uang membiayai kegiatan PHBS. Biaya dibutuhkan untuk
maka kegiatan ini tidak jalan. Meski demikian, kegiatan sosialisasi, pendataan, pertemuan kader
penting ditekankan bahwa jika kegiatan sudah jalan atau penyuluhan warga dan kegiatan social event
dan masyarakat melihat manfaat dari kegiatan itu, maupun lomba.

Tabel 1. Sumber Biaya untuk Program PHBS di Dua Wilayah Puskesmas

( )
( )
!
( ( ' ( )
( *
+)
) ) (
( , - , ./ -
0 /)
" ( ( (
(
- "&/)

- "&/)
*
! ) )
! !
( ( ! !

96
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

Peran Dinas Kesehatan beranggapan bahwa berbagai indikator yang ada


Tenaga kesehatan yang khusus menangani di program PHBS juga telah menjadi perhatian para
program PHBS tidak ada. Tugas dalam program tenaga kesehatan sejak lama. Sebaliknya, ada
PHBS merupakan tugas yang dibebankan kepada Puskesmas yang sangat antusias
Kepala Seksi Penyebarluasan Informasi Dinas mengimplementasikan program PHBS sehingga
Kesehatan. Petugas ini pun tidak dapat menjadikan semua indikator kesehatan yang ada
menjalankan tugas tanpa kerjasama dengan pihak pada program PHBS sebagai indikator kesehatan
Puskesmas yang langsung berhubungan dengan yang ada di wilayahnya.
masyarakat. Puskesmas mempunyai tugas
memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat Dukungan Pemerintah Daerah
sehingga hubungan Puskesmas dengan Berbagai kegiatan program PHBS mulai dari
masyarakat relatif lebih dekat. Selain itu, jelas tidak tahap pendataan, sosialisasi, intervensi,
mungkin petugas yang jumlahnya sangat sedikit penggerakan pelaksanaan, dan evaluasi
mampu menjangkau seluruh wilayah atau dusun membutuhkan biaya. Kegiatan yang paling banyak
yang ada di Bantul. Keadaan ini menjadikan membutuhkan biaya adalah pada saat melakukan
kegiatan program PHBS sangat memperhatikan intervensi dalam bentuk pemberian stimulan.
kesediaan pihak petugas yang ada di Puskesmas Pemerintah Kabupaten Bantul mencari dana untuk
untuk mensosialisasikan program PHBS. Sekalipun kepentingan ini dari APBD. Alokasi Biaya program
program PHBS telah menjadi prioritas PHBS yang berasal dari APBD II melalui Dinas
pembangunan kesehatan di Bantul, ternyata tidak Kesehatan Kabupaten Bantul menyebutkan 6 pos
setiap Puskesmas memberikan sikap atau respon pembiayaan yaitu pembentukan dusun baru pro-
yang sama. Ada yang antusias ingin mencapai gram PHBS, stimulan pemecahan masalah, klinik
semua indikator program PHBS seperti yang program PHBS, pelatihan Kader, pemberdayaan
dilakukan Puskesmas Kasihan 2, dan ada yang tokoh masyarakat, dan pengembangan sarana
sekedar menjalankan saja seperti di Puskesmas penyuluhan Puskesmas.
Banguntapan I. Keterbatasan sumberdaya
Tabel 3. Alokasi Biaya program PHBS
manusia di Puskesmas Banguntapan I tidak dapat Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2003
menjadi alasan kurang berhasilnya pelaksanaan
program PHBS, karena secara potensial kader
yang ada di masyarakat sendiri cukup banyak.
Masalah yang sering muncul dalam pelaksanaan
pembangunan adalah sikap petugas yang kurang
menempatkan diri sebagai fasilitator
pembangunan.3 ! "#$%
&
Fungsi Tenaga Puskesmas !
Tenaga kesehatan di dua puskesmas yang
diteliti ini memiliki kemampuan atau kesangggupan
yang berbeda dalam menggerakkan potensi SDM Biaya pemerintah untuk kegiatan PHBS sudah
yang ada di masyarakat. Namun tidak dapat diambil mencakup pembentukan dusun program PHBS
suatu kesimpulan bahwa SDM di Puskesmas baru di 21 Puskesmas dan pembiayaan lainnya di
Kasihan 2 lebih baik, karena suasana atau 26 Puskesmas. Pada tabel di atas terlihat bahwa
kondisinya memang berbeda. Puskesmas Kasihan pemberdayaan TOMA dan pemberian stimulan
2 menghadapi tantangan yang tidak ringan yaitu hanya memiliki anggaran yang sangat kecil untuk
menjadikan Kecamatan Kasihan bebas dari dapat menjangkau seluruh tokoh masyarakat.
endemi DB (demam berdarah). Demam berdarah Dalam masyarakat yang homogen keberadaan
bukan hanya menjadi masalah bagi tenaga tokoh tidaklah banyak. Namun dalam masyarakat
kesehatan, tapi masalah bagi masyarakat luas di yang sudah heterogen seperti di daerah
wilayah kerja Puskesmas Kasihan 2. Kesadaran Banguntapan I, pemilihan siapa tokoh yang
atau kepedulian masyarakat lebih mudah tumbuh mewakili tidak mudah dilakukan. Pemilihan siapa
seiring dengan ancaman DB yang muncul. seseorang yang dianggap tokoh di tengah
Implementasi program PHBS bukan hanya menjadi masyarakat akan menunjukkan seberapa efektif
beban tugas atau tanggung jawab petugas biaya yang dikeluarkan untuk pemberdayaan
Puskesmas maupun Dinas Kesehatan. Ada TOMA. Belum tentu TOMA yang dimaksud dapat
Puskesmas yang kurang antusias memberikan menyebarluaskan informasi yang didapat kepada
pembinaan kepada dusun program PHBS karena seluruh warganya.

97
Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

Biaya untuk TOMA dari alokasi di atas hanya memprakarsai gerakan sosial kesehatan seperti
Rp500.000,00 per Puskesmas yang nantinya akan Program PHBS ini. Ideologi kerja sama dan
dibagi kepada seluruh dusun program PHBS. Jika memupuk keterampilan bekerja bersama-sama
dalam satu Puskesmas ada 8 dusun seperti di dengan masyarakat perlu rasanya dijadikan visi
Banguntapan I pada tahun 2003, maka setiap bagi lembaga-lembaga kesehatan seperti
dusun hanya akan mendapat sekitar Rp60.000,00. puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten.
Besarnya biaya tersebut mencerminkan bahwa
TOMA kurang mendapat pemberdayaan. TOMA KEPUSTAKAAN
dipandang sebagai bagian masyarakat yang sudah 1. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Profil
mandiri dan sudah berdaya atau mampu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
menggerakkan masyarakat. Namun, melihat Yogyakarta.2003.
kecilnya alokasi biaya tersebut menunjukkan 2. Departemen Kesehatan. Panduan Manajemen
bahwa TOMA kurang mendapat tempat sebagai PHBS Menuju Kabupaten/Kota Sehat,
mitra dalam implementasi program PHBS. Jakarta.2002.
3. Karim, Abdul Gaffar (Edt). Persoalan Otonomi
KESIMPULAN Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2003.
Apa yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah 4. Departemen Kesehatan. Indonesia Sehat
pengalaman bekerja dalam kerja sama masyarakat 2010, Jakarta.1999.
dan pemerintah sebelumnya telah menentukan 5. Departemen Kesehatan, RI. Pokok-Pokok
keberhasilan program PHBS di Wilayah Pengorganisasian Pemberdayaan Masyarakat
Puskesmas Kasihan 2. Selain itu, kehadiran satu di Bidang Kesehatan, Jakarta. 2003.
atau dua tokoh masyarakat yang memiliki 6. Bryant, C., dan White, L.G., Manajemen
pengalaman dalam pengelolaan program bersama Pembangunan untuk Negara Berkembang,
masyarakat juga merupakan kunci keberhasilan. LP3ES, Jakarta. 1986.
Kita juga mempelajari bahwa inisiatif pemerintah 7. Ndraha, T. Pembangunan Masyarakat, Rineka
dan upaya untuk mendampingi dan bermain Cipta, Jakarta. 1990.
bersama masyarakat juga merupakan kondisi yang 8. Karen, G., Frances, M.L., Barbara, K.R.,
memungkinkan masyarakat bisa menunjukkan Health Behavior and Health Education, Theory,
partisipasi mereka. Kader-kader kesehatan tidak Research, and Practice,San Francisco, Cali-
lagi bermain sendiri, tetapi mereka menjadi mitra fornia. 1996.
yang berharga yang bisa duduk bersama pejabat 9. Yin, R.K., Studi Kasus (Desain dan Metode),
pemerintah daerah dan dinas kesehatan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1988.
Ke depan, kejelian pihak puskesmas mencari 10. Maskun, S., Pembangunan Masyarakat Desa,
dan mengajak tokok-tokoh masyarakat yang bisa Media Widya Mandala, Yogyakarta. 1994.
bekerja merupaka kunci utama dalam

98
JMPK Vol. 08/No.02/Juni/2005 Analisis Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

ANALISIS PELAKSANAAN TUGAS DAN


FUNGSI PANITIA PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL
PELAYANAN KESEHATAN St. CAROLUS JAKARTA TAHUN 2004

ANALYSIS ON THE IMPLEMENTATION OF ROLES AND FUNCTIONS OF NOSOCOMIAL


INFECTION CONTROL COMMITTEE AT JAKARTA St. CAROLUS HEALTH CARE

Leonardo Wibawa Permana1 dan Wiku Adisasmito2


1
Bagian Pelayanan Medis Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang
2
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok, Jakarta

ABSTRACT

Background : Nosocomial Infection Control is one of the indicators to increase service quality
in hospital. This study aimed at finding out the implementation of the role and the function of
Nosocomial Infection Control Committee at Jakarta St. Carolus Health Care
Method: This was qualitative research with system approach, involving 34 informants. Data
were collected through In-depth interview, focus group discussion, documentary research, and
observation
Results: The results showed the roles and the functions of Nosocomial Infection Control
Committee of Jakarta St. Carolus Health Care were inadequate. Most of members did not
have good understanding about their role and function at Nosocomial Infection Control
Committee, i.e: job description and authority, activity planning, budgeting, procedure of
organization and management, procedure of evaluation and quality control. Some constraints
that found were job duplication of committee members, insufficient full timer staff, inadequate
knowledge and development and education of the members, insufficient facilities (office and
equipments) and references about nosocomial infection control.
Conclusion: Ineffective implementation of roles and functions of Nosocomial Infection Control
Committee was influenced by good understanding of members about roles and functions of
Nosocomial Infection Control Committee.

Keywords: Nosocomial Infection Control Committee

PENGANTAR menyatakan bahwa pengendalian infeksi


Mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit nosokomial di rumah sakit merupakan salah satu
dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Faktor yang upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit
berpengaruh dapat dikelompokkan ke dalam faktor kepada masyarakat dengan memakai angka
pelayanan medik, faktor pelayanan nonmedik dan kejadian infeksi nosokomial sebagai indikator.
faktor pasien. Faktor pelayanan medik ditentukan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
oleh dokter, perawat atau petugas kesehatan, alat Republik Indonesia Nomor: 983/MENKES/SK/XI/
kesehatan, standar pelayanan yang dipakai dan 1992 tanggal 12 November 1992 tentang Pedoman
sebagainya.1 Organisasi Rumah Sakit Umum3, pengendalian
Pemerintah terus-menerus mengupayakan infeksi nosokomial secara struktural dilaksanakan
peningkatan pelayanan rumah sakit sebagai bagian oleh suatu panitia sebagai bagian dari Komite
dari pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Salah Medik.
satu upaya itu adalah dengan diterbitkannya Standar Pelayanan Kesehatan St. Carolus Jakarta
Pelayanan Rumah Sakit pada tahun 1996. Standar adalah badan pelayanan kesehatan swasta non-
pelayanan ini memuat berbagai disiplin pelayanan profit yang telah mempertahankan keberadaannya
di rumah sakit dan salah satu di antaranya adalah selama 85 tahun. Pelayanan kesehatan St. Carolus
pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. dikenal baik oleh masyarakat sebagai rumah sakit
Infeksi nosokomial merupakan salah satu tolok yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang
ukur mutu pelayanan rumah sakit. Widodo 2 bermutu. Namun, masih dirasakan kurang

99
Analisis Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

optimalnya fungsi Panitia Pengendalian Infeksi BAHAN DAN CARA PENELITIAN


Nosokomial (Pandalin) di rumah sakit ini. Hal ini Penelitian dilakukan di Pandalin Pelayanan
terlihat dari berbagai kendala yang dituangkan Kesehatan St. Carolus Jakarta mulai tanggal 5 April
dalam Laporan Kegiatan Panitia Pengendalian sampai dengan 12 Juni 2004. Penelitian ini
Infeksi Nosokomial PK. St. Carolus Tahun 2003, merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
antara lain: sistem (masukan-proses-keluaran) dari sudut
1. Anggota tim berganti–ganti (karena pindah unit pandang organisasi. Informan dalam penelitian ini
kerja). berjumlah 34 orang (Tabel 1). Data dikumpulkan
2. Pelaksana harian belum bekerja secara melalui wawancara mendalam, Focus Group
optimal. Discussion (FGD), pengamatan dan penelitian
3. Infection Control Nurse (ICN) masih dokumen. Data yang didapatkan kemudian diolah
merangkap tugas lain. secara manual dan dilakukan analisis isi.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


gambaran tentang pelaksanaan tugas dan fungsi Hasil penelitian melalui wawancara mendalam
Pandalin, untuk menemukan kendala, serta cara Focus Group Discussion (FGD), penelitian
mengatasi kendala–kendala tersebut dalam dokumen dan pengamatan dengan Ketua
pelaksanaan tugas dan fungsi Pandalin di Pandalin, Wakil Ketua, ICN, Anggota dan
Pelayanan Kesehatan St. Carolus Jakarta. Pelaksana Harian mengenai faktor masukan dan
proses dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 1. Gambaran Jabatan, Kode, dan Pendidikan Terakhir Informan Anggota


Pandalin Pelayanan Kesehatan St. Carolus Jakarta Tahun 2004

! " # "
$ % && $
' % && ' % ( %( "
) % && ) *+% , & ( # -
. % && . / +
0 % && 0
1 % && 1 +2
% && / 34 / % 3 4 5 &#
, / +
, / +
, *+% 6 , 7 , % 8 #
$ , $ / +
' , ' , 6 *+% 7 ,
) , ) / +
. , . " 6 *+% 7 " -
0 , 0 / 9 +
1 % && 1 / 9 +
*
, / +
, / +
, / +
, / +
$ , $ / +
' % && ' / +
*
) , ) / +
. , . / +
0 , 0 / +
1 , 1 / +
, / +
, / +
, / +

Sumber: Hasil Wawancara Mendalam, Focus Group Discussion dan Hasil Penelitian Dokumen

100
Analisis Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

Struktur Organisasi Pandalin Pelayanan ini digunakan dalam kegiatan Pandalin.


Kesehatan St. Carolus Jakarta tertuang dalam Penempatan struktur organisasi di tempat seperti
Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial itu penting, sehingga anggota Pandalin dan
Pelayanan Kesehatan St. Carolus Jakarta 2001. karyawan lainnya bisa melihat dan memahami
Sebagian besar Informan dari Pandalin P.K. St. struktur organisasi Pandalin dengan jelas.
Carolus tidak mengetahui struktur organisasi Pemahaman yang jelas tentang struktur organisasi
Pandalin yang lengkap. Sosialisasi struktur merupakan hal penting karena struktur organisasi
organisasi ini juga dirasa kurang karena gambaran menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa
struktur itu tidak ditemukan pada tempat tertentu. melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi
Misalnya, di Sekretariat Komite Medik yang selama yang formal, serta pola interaksi yang akan diikuti.4

Tabel 2. Hasil Penelitian Faktor Masukan di Pelayanan Kesehatan St. Carolus Jakarta

& : ; 9 & & & ,


3/ ; 9 & & & ,
, ; & ,
, & ; & ,

& : ; 9 & 9 & &


& 3/ ; 9 & 9 & &
, ; & , , & < !

( : & : ; # & & & : &


3/ ; + # & &
, ; : 8 ( : & $, ,

& : ; 9 & 9 # 9 9 & &&


+ & # && , 9 & # 8 9
6 !7 , /=
3/ ; 9 & 9 < # 9 9 & 9 #
# && , & *+%
, ; , , & < ! % & 9
&
& ; $$ # & >$ # &

, : ; & # : 9 # ,
3/; # & & # & & # : 9 # , > 9 &
9 & & & , #

, ; : && $> &


# & & # 8

: ; , , & #
, & ; , , & #

, : ; 9 & 9 &
& 3/ ; 9 & 9 &
& , ; 98 8
8
, : ; 9 & 9 &
& 3/ ; 9 & 9 &
, ; # & & & ,
&
98 : ; 9 & , 9 /
& 3/ ; 9 & , 9 /
, ; % / & ( && , , & <
! , #
, & ; &= & && , ,
/ &( && , , #

, : ; 9 & 9 # " 9 &


& 9 &, & /
3/ ; 9 & 9 # " ,
, ; &

101
Analisis Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

Tabel 3. Hasil Penelitian Faktor Proses di Pandalin P.K St. Carolus Jakarta

, : ; 9 , , 9
&= & "
?& 3/ ; 9 & 9 # 9 , 9 "
, , , ; & , ,
, & ; : & >, , 9 9 "
, : ; & & 9 %
+ & & &
& 3/ ; & & 9 % &
&
, / ; : & &, &
+ # & & 9
& &
, & ; & & : <
!
, : ; 9 & < # : & &
( : 9 9 9
& 3/ ; 9 & < # : & & 9
9 9 # &
, ; : & # &
& , 9 ( : &
, & ; : & 9
, : ; & 9 & < , &
, & 9 & ,
, 3/ ; & 9 & <, &
<, ,
, ; & 9 & <
, : ; 9 & 9 # # 9
, 9 3/ ; 9 & 9 # # 9 9
( , ;+ # & & 9
, & & , & ; 9 & 9 & && , , 9
9 & , > ,
, & : ; 9 & 9 & & & &
/ , & , &
3/ ; 9 & 9 & & & & &
& ,
, ;+ # & & & &
, , > # & & # 8
9 & , ,
, & ; & , =
, && : ;, && < "
3/ ; , && < "
, ; & # &
, & ; && < " , #
-
, : ; * 9 , & 9
( 3/ ; * 9 , & 9
, , ;
, : ; 9 & 9 & &
, 3/ ; 9 & 9 &
, ; &
&
@
, &
"
, : ; 9 & 9 &
98 3/ ; 98
/ , ; 98 /
,
, : ;: 9
, 3/ ; 9 & " ,
" , ;
, , & ; " # ,

Secara mendasar, uraian tugas dan 2001, Bab III Butir B tentang Staf dan Pimpinan.
wewenang masing – masing jabatan dalam Uraian tugas telah mengakomodasikan pandangan
Pandalin P.K. St. Carolus yang tercantum dalam para pakar dalam kepustakaan. Uraian tugas dan
Pandalin Pelayanan Kesehatan St. Carolus Jakarta wewenang ini sesuai dengan tugas dan fungsi

102
Analisis Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

dokter pengendali infeksi5 dan paparan tentang dana untuk pelatihan (kalau dilaksanakan) akan
dokter pengendali infeksi nosokomial, perawat dilakukan oleh Bagian Pelatihan dan
pengendali infeksi nosokomial, dan jabatan lain Pengembangan. Hal ini dibenarkan oleh Informan
dalam Pandalin di rumah sakit.6 Dalam penelitian Penentu Kebijakan. Pelaporan dana juga tidak
diketahui bahwa hanya sebagian anggota Pandalin dilakukan oleh Pandalin sendiri tetapi oleh unit–
P.K. St. Carolus mengetahui dengan baik uraian unit terkait. Kepada pandalin diberikan tembusan
tugas dan wewenangnya dalam jabatan pada bukti pengeluaran. Ada baiknya pengelolaan dan
Pandalin. Hal ini perlu menjadi perhatian karena pelaporan dana Pandalin dilakukan oleh Pandalin
baik-buruknya pelaksanaan tugas dan wewenang itu sendiri, sehingga terjadi pembelajaran
dalam organisasi ditentukan oleh pengetahuan dan organisasi (dalam bidang keuangan khususnya)
pemahaman anggota akan tugas dan dan meningkatkan motivasi kerja karena diberi
wewenangnya itu. tantangan sekaligus tanggung jawab. 8
Dari keseluruhan anggota inti Pandalin yang Pandalin saat ini masih menggunakan
diamati, pelaksanaan tugas dan wewenang masih ruangan dan perlengkapan yang ada di Sekretariat
kurang. Ini terbukti dengan tidak dimilikinya Komite Medik, walaupun ketentuan tentang fasilitas
p r o g r a m kerja dan rencana anggaran dan sarana Pandalin mencantumkan fasilitas ruang
pengendalian infeksi satuan kerja tahun 2004. Juga kerja dan perlengkapannya bagi Pandalin. Sangat
pelaksanaan tugas dan wewenang lain masih perlu Pandalin P.K. St. Carolus segera
kurang. Pelaksanaan tugas dan wewenang mendapatkan sekretariat yang permanen dengan
pelaksana harian pun masih belum optimal malah perlengkapan yang memadai karena demi
bisa dikatakan rendah. Ada unit tempat anggota kelancaran pelaksanaan program (pengendalian
pelaksana harian berkarya yang tidak memiliki infeksi nosokomial) ini dibutuhkan dukungan
pencatatan harian surveilans infeksi nosokomial sumber daya manusia dan sarana–sarana yang
sementara unit lain memilikinya. Rendahnya dibutuhkan.2
pengetahuan pelaksana harian tentang Pelaksanaan prosedur atau ketentuan tentang
pengendalian infeksi nosokomial khususnya organisasi dan manajemen juga rendah. Hal ini
surveilans dapat menyebabkan tidak terlaksananya
dapat dilihat dari rendahnya pelaksanaan
surveilans di unit–unit perawatan secara baik.
ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa evaluasi
Pelaksanaan surveilans yang tidak memenuhi
dan pengendalian mutu berkaitan dengan
persyaratan akan memunculkan angka infeksi
pengendalian infeksi nosokomial di P.K. St. Carolus
nosokomial yang dapat diragukan kebenarannya.
masih rendah. Pelaksanaan ini perlu ditingkatkan
Seluruh informan sependapat bahwa mereka
secara lebih bermakna karena pengendalian infeksi
mengalami kendala dalam pelaksanaan tugas dan
nosokomial di rumah sakit merupakan salah satu
fungsinya dalam Pandalin. Kendala–kendala yang
upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
dikemukakan sebagai berikut.
kepada masyarakat dengan menggunakan angka
1. Tugas rangkap
2. Kurangnya pengetahuan pribadi tentang tugas kejadian infeksi nosokomial sebagai indikator
dan wewenang, serta pengendalian infeksi penilaian. 9
nosokomial Seluruh Informan mengetahui adanya dasar
3. Rendahnya pendidikan, pengetahuan, sikap legalitas Pandalin Pelayanan Kesehatan St.
dan perilaku petugas di lapangan Carolus berupa Surat Keputusan Direksi. Dasar
4. Kurangnya referensi. legalitas itu dituangkan dalam Surat Keputusan
Direksi Pelayanan Kesehatan St. Carolus Nomor
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa 007/SKD/VII/2003/DM tentang Revisi Keanggotaan
kegiatan pengembangan dan pendidikan staf Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pandalin P.K. St. Carolus masih kurang. Apalagi Pelayanan Kesehatan St. Carolus. Sebagian besar
sebagian besar anggota Pandalin belum pernah Informan yang memberikan jawaban tidak
mengikuti Pelatihan Pengendalian Infeksi mengetahui bentuk kebijakan tertulis Direksi selain
Nosokomial baik di dalam maupun di luar P.K. St. Surat Keputusan bagi Pandalin. Padahal semua
Carolus. Padahal pengembangan karyawan perlu kebijakan itu termuat dalam Pedoman
dilakukan secara terencana dan Pengendalian Infeksi Nosokomial Pelayanan
berkesinambungan. Pengembangan karyawan Kesehatan St. Carolus Jakarta 2001. Sebagian
dirasa semakin penting karena tuntutan pekerjaan besar Informan juga tidak mengetahui pelaksanaan
atau jabatan, sebagai akibat kemajuan teknologi.7 kebijakan–kebijakan tersebut oleh Pandalin, yang
Mengenai Pengelolaan dana Pandalin P.K. St. dituangkan dalam Petunjuk Teknis Pengendalian
Carolus tidak dilakukan oleh Pandalin sendiri tetapi Infeksi Nosokomial Pelayanan Kesehatan St.
oleh unit–unit terkait. Sebagai contoh, penggunaan Carolus Jakarta 2001.

103
Analisis Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

Dukungan Direksi bagi pelaksanaan tugas dan Jakarta, menyeleksi dan menetapkan kembali
fungsi Pandalin merupakan hal yang sangat keanggotaan Pandalin menyangkut kualifikasi
penting. Ini diperkuat oleh pernyataan Widodo,2 pendidikan, pengalaman, kesediaan, dan jabatan
tanpa adanya dukungan sumber daya, maka rangkap.
program apapun di rumah sakit tidak akan berjalan Dalam hal pengembangan staf perlu
dengan lancar. Dukungan yang terpenting adalah dilakukannya pelatihan bagi anggota Pandalin dan
dukungan yang berasal dari orang–orang yang melengkapi referensi bagi Pandalin, perlunya
dapat dengan mudah menggerakkan bawahannya mempunyai sekretariat yang permanen dan
untuk melaksanakan program ini. Selayaknya lengkap dengan sarana dan prasarananya,
seluruh anggota Pandalin P.K. St. Carolus sehingga mendukung tercapainya kelancaran
mengetahui dan memahami dengan baik semua pelaksanaan program-program Pandalin.
bentuk kebijakan Direksi sebagai dukungan bagi
pelaksanaan tugas dan fungsi Pandalin. Tentunya KEPUSTAKAAN
hal ini membutuhkan sosialisasi yang 1. Hernawan. Upaya Peningkatan Pelayanan
berkesinambungan. Medik (Suatu Pengalaman). Dalam: Seminar
Sehari: Peningkatan Mutu Pelayanan Medik
KESIMPULAN DAN SARAN Di Rumah Sakit Dalam Era Kompetitif. Kanwil
Kesimpulan Depkes DKI Jakarta, Dinas Kesehatran DKI
Pelaksanaan tugas dan wewenang Pandalin Jakarta, Ikatan Rumah Sakit Jakarta Metro-
Pelayanan Kesehatan St. Carolus rendah. Ini politan (IRSJAM), Jakarta. 1996.
dibuktikan dengan masih rendahnya pengetahuan 2. Widodo, D. Organisasi dan Tata Laksana
dan pemahaman serta pelaksanaan staf terhadap Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
struktur organisasi pandalin, uraian tugas dan (PPIRS) RSUP Nasional Dr. Cipto
wewenang, dukungan. pengetahuan dan Mangunkusumo Jakarta. Pelatihan
keterlibatan anggota Pandalin dalam penyusunan pengendalian infeksi nosokomial bagi tenaga
rencana kegiatan rendah. pelaksanaan rencana perawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
kegiatan Pandalin dan pengembangan dan Jakarta. 1997.
pendidikan staf Pandalin rendah. Pengetahuan dan 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
keterlibatan anggota Pandalin dalam perencanaan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik
pengelolaan dan pelaporan pendanaan rendah. Indonesia, Nomor 983/MENKES/XI/1992:
Tidak tersedianya sekretariat Pandalin yang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum.
permanen dengan perlengkapannya. Pelaksanaan Jakarta. 1992.
prosedur atau ketentuan pengendalian infeksi 4. Robins, SP. Teori Organisasi, Struktur, Desain
nosokomial berkaitan dengan organisasi dan and Aplikasi. Edisi 3. Penerbit Arcan. Jakarta.
manajemen rendah. 2003
Berbagai kendala yang dihadapi Pandalin 5. Gondodiputro, S. Identifikasi Faktor-Faktor
Pelayanan Kesehatan St. Carolus dalam Penyebab Menurunnya Kegiatan Panitia
melaksanakan tugas dan fungsinya yaitu: tugas Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUP Dr.
rangkap bagi anggota Pandalin, belum adanya Hasan Sadikin Bandung. Tesis. Program
tenaga full time dalam Pandalin, kurangnya Kajian Administrasi, Universitas Indonesia.
pengetahuan dan pemahaman anggota Pandalin, Depok. 1996.
Kurangnya pelaksanaan pengembangan dan 6. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
pendidikan staf Pandalin, serta tidak tersedianya Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial Di
sekretariat yang permanen dengan Rumah Sakit. Departemen Kesehatan
perlengkapannya, kurangnya referensi. Republik Indonesia. Jakarta. 2001.
7. Hasibuan, H.M.S.P. Manajemen Sumber Daya
Saran Manusia. Edisi Revisi. PT Bumi Aksara.
Perlu dilakukannya restrukturisasi terhadap Jakarta.2002.
organisasi Pandalin dengan melakukan hal-hal 8. Soeroso, S. Clinical Governance. Dalam:
berikut: meneliti kembali kedudukan yang tepat bagi Jurnal PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit
Pandalin dalam Struktur Organisasi Pelayanan Seluruh Indonesia). Jakarta. 2003; 04 (Sep-
Kesehatan St. Carolus Jakarta, menggenapi tember-Desember)
keterwakilan unit – unit dalam Pandalin, menyusun 9. Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
ketentuan tentang reward atau penghargaan bagi RSCM. Petunjuk Teknis Pengendalian Infeksi
anggota Pandalin, baik materi maupun non materi Nosokomial RSUP Nasional Dr. Cipto
dalam kerangka reward system di P.K. St. Carolus Mangunkusumo. Edisi 2. Jakarta. 1999a.

104
JMPK Vol. 08/No.02/Juni/2005 Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

DETERMINAN KEPUASAN DOKTER PUSKESMAS TERHADAP


SISTEM PEMBAYARAN KAPITASI PESERTA WAJIB PT. ASKES
DI KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH

THE DETERMINANTS OF COMMUNITY HEALTH CENTER DOCTORS SATISFACTION WITH


CAPITATION PAYMENT SYSTEM OF PT ASKES PARTICIPANTS AT DONGGALA DISTRICT,
CENTER SULAWESI

I Gede Made Wintera1 dan Julita Hendrartini2


1
Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
2
Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, UGM, Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Capitation payment system is a prospective payment mechanism which affects


cost efficiency and service quality. However, the implementation of capitation payment system
brings some problems; one of them is doctors’ lack of understanding about capitation payment
system and terms of cooperation contract between health service provider and PT. Askes. This
is a challenge needing serious attention because this can affect health quality service given to
PT. Askes participants.
Objectives: The study was meant to know satisfaction of community health service doctors’
with capitation payment system of PT. Askes participants at Donggala District.
Method: This was an analytical study which used cross sectional design. Research instruments
used were close questionnaires, open questionnaires and guided interview. The populations
were all doctors of community health centers at Donggala District. Samples taken were full
sampling comprising 20 general practitioners and 6 dentists from 22 community health centers.
Data were descriptively analyzed then statistically tested using Rank Correlation analyses.
Result: Most of doctors had low satisfaction with capitation payment system although 76.9%
of them had good knowledge about the system. Respondents’ length of work was mostly less
than 10 years (84.6%) and the number of PT. Askes participants registered in each community
health center was 500 people and there were 4 community health centers. Statistical test
showed that there was no significant relationship between knowledge, and medical recuperation
with satisfaction (r=0.316, p=0.115 and r=0.220, p= 0.281), whereas length of work and number
of participants had significant relationship with satisfaction of community health center doctors
(r=0.434, p=0.027 and r=0.405, p=0.040) with capitation payment system.
Conclusion: Most of doctors at community health centers were dissatisfied with capitation
payment system, especially with capitation remuneration. The bigger number of participants
and the longer a doctor worked the higher his/her satisfaction about capitation payment system.

Keywords: Capitation payment, doctor's satisfaction, health insurance

PENGANTAR Konsep kapitasi total diujicobakan di lima


Pembayaran kapitasi merupakan konsep kabupaten/kota pada tahun 1990, kemudian pada
pemberian imbalan jasa pada Pemberi Pelayanan tahun 1993 penerapan program kapitasi total
Kesehatan (PPK) berdasarkan jumlah jiwa (kapita) dikembangkan secara selektif di seluruh Indone-
yang menjadi tanggung jawab sebuah PPK tanpa sia. Jumlah kabupaten/kota yang menerapkan
memperhatikan jumlah pelayanan pada suatu waktu sistem pembayaran kapitasi total terus
tertentu. Berdasarkan pengalaman di berbagai berkembang, sehingga program kapitasi total
negara, khususnya Amerika Serikat, konsep kapitasi merupakan salah satu Trias Prima PT. Askes.
dapat menumbuhkan pelayanan kesehatan yang Sampai tahun 2000 jumlah kabupaten/kota yang
efisien dengan melalui perubahan orientasi telah menerapkan program kapitasi total sebanyak
pelayanan ke arah pencegahan, serta perencanaan 282 kabupaten/kota atau 86,15% dari jumlah
pemberian pelayanan kesehatan yang lebih baik. kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia.2
Konsep kapitasi dapat dilaksanakan untuk sebagian Dengan penerapan konsep kapitasi total,
pelayanan atau menyeluruh.1 diharapkan akan menumbuhkan kerja sama yang

105
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

lebih baik antara PPK, adanya transfer of Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
knowledge antara dokter ahli dengan dokter tingkat kepuasan dokter puskesmas terhadap sistem
umum, serta kebutuhan akan standar-standar pembayaran kapitasi dan mengetahui faktor-faktor
pelayanan untuk memperoleh efisiensi. Selain itu, yang mempengaruhi tingkat kepuasan dokter
diharapkan terjadi efisiensi melalui penurunan LOS, puskesmas terhadap sistem pembayaran kapitasi
pemakaian obat yang rasional, sehingga peserta wajib PT. Askes di Kabupaten Donggala.
kecenderungan biaya pelayanan kesehatan relatif
lebih terkendali. Adapun dari aspek manajemen, BAHAN DAN CARA PENELITIAN
adanya kapitasi total merupakan dorongan ke arah Penelitian ini merupakan penelitian analitik
proses desentralisasi, serta adanya keterbukaan dengan rancangan cross sectional yang bertujuan
antara berbagai pihak.1 untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan
Sistem pembayaran kapitasi juga telah dengan tingkat kepuasan dokter puskesmas
diterapkan di Kabupaten Donggala sejak tahun terhadap sistem pembayaran kapitasi peserta wajib
1996 yang merupakan salah satu kabupaten di PT. Askes. Sebagai populasi dalam penelitian ini
Provinsi Sulawesi Tengah. Luas wilayahnya sekitar adalah semua dokter di puskesmas se-Kabupaten
9.208 km² dan jumlah penduduk 405.162 jiwa Donggala yaitu sebanyak 26 orang. Pengambilan
dengan kepadatan rata-rata 45 jiwa per km². sampel dilakukan secara sampling jenuh yaitu
Adapun sarana kesehatan yang dimiliki dalam semua dokter umum dan dokter gigi yang ada di
upaya mendukung program pelayanan kesehatan, 22 puskesmas, dengan kriteria masa kerja minimal
meliputi: 22 buah puskesmas induk, 16 buah di 1 tahun.
antaranya merupakan puskesmas dengan tempat Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas
tidur. Selain puskesmas juga terdapat 128 buah yang meliputi: pengetahuan, masa kerja, jumlah
puskesmas pembantu, 205 buah polindes, 14 buah peserta, dan besaran jasa medik. Variabel terikat
puskesmas keliling, dan 1 buah rumah sakit swasta. adalah kepuasan dokter puskesmas terhadap
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten sistem pembayaran kapitasi. Alat ukur yang
Donggala sebanyak 564 orang, 90 orang di antaranya digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner
bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten dan selebihnya tertutup dan kuesioner terbuka untuk mengetahui
terdistribusi di 22 wilayah puskesmas dan RS.3 Jumlah tingkat pengetahuan dan kepuasan dokter
peserta wajib PT. Askes dan anggotanya di Kabupaten puskesmas terhadap sistem pembayaran kapitasi
Donggala tercatat sebanyak 20.079 jiwa yang tersebar dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Selain
di semua puskesmas, dengan besaran kapitasi untuk kuesioner, juga menggunakan panduan
rawat jalan tingkat pertama sebesar Rp1.000,00 per wawancara agar memperoleh data kualitatif untuk
jiwa per bulan4, sedangkan besaran tarif retribusi mendukung hasil analisis kuantitatif tentang
pelayanan dasar untuk pasien rawat jalan sebesar kepuasan, tanggapan, dan harapan dokter
Rp1.500,00.5 puskesmas terhadap sistem pembayaran kapitasi
Dalam konsep kapitasi, dorongan adanya yang diterapkan di puskesmas.
upaya-upaya promotif dan preventif sangat besar, Data disajikan dalam bentuk tabel yang
sehingga konsep kapitasi secara intrinsik memang menggambarkan distribusi variabel seperti
akan merubah orientasi pelayanan dari kuratif ke karakteristik responden, pengetahuan, tingkat
preventif dengan sangat mempertimbangkan kepuasan dokter dan jumlah peserta, kemudian
dampak ekonomi dari upaya preventif tersebut. masing-masing variabel akan dianalisis secara
Berbagai kegagalan penerapan sistem diskriptif dan selanjutnya diuji menggunakan
pembayaran kapitasi di Indonesia dan penolakan analisis Rank Correlation.
PPK untuk dibayar secara kapitasi sangat terkait
dengan sistem pembayaran pelayanan kesehatan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
yang didasarkan pada besaran tarif yang 1. Karakteristik Responden
ditetapkan dalam SK Menkes-Mendagri yang Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26
merupakan perwujudan subsidi pemerintah bagi responden yang diteliti, 53,8% responden berjenis
pegawai negeri. Pada awalnya para dokter (PPK) kelamin perempuan, sedangkan berdasarkan
menolak cara pembayaran kapitasi ini, karena kelompok umur, sebagian besar responden
dinilai bertentangan dengan otonomi profesi berumur relatif muda antara 30 – 40 tahun yaitu
kedokteran. Di sisi lain dokter hanya menjadi alat sebanyak 61,6%. Pendidikan terakhir responden
untuk mencari keuntungan, sementara para dokter yang paling dominan adalah dokter umum
inilah yang menghadapi keluhan pasien dan sebanyak 76,9% dan 73,1% berstatus sebagai
gugatan hukum jika terjadi malpraktik.6 pegawai negeri sipil.

106
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

2. Jumlah Peserta Askes yang Terdaftar di menggambarkan sebagian besar puskesmas


Puskesmas (72,8%) merujuk pasien Askes ke PPK tingkat
Jumlah peserta Askes yang terdaftar di lanjutan di atas 10%, sedangkan puskesmas yang
puskesmas dikelompokkan menjadi lima bagian merujuk di bawah 7% hanya 13,6%. Rasio rujukan
seperti terlihat pada Tabel 1. minimal sebesar 5,4% terjadi di Puskesmas Tambu
dan maksimal 24% terjadi di Puskesmas
Tabel 1. Jumlah Peserta Askes yang Terdaftar di Lembasada, sedangkan rata-rata rasio rujukan
Puskesmas di Kabupaten Donggala
sebesar 14,1%. Menurut standar nasional2, rasio
rujukan yang baik adalah 7%-10%, rasio di bawah
7%, dan di atas 10% termasuk kriteria buruk.

6. Distribusi Tingkat Pengetahuan Dokter


Puskesmas
Berdasarkan penjumlahan nilai skor, tingkat
pengetahuan dokter puskesmas terhadap sistem
pembayaran kapitasi menggunakan dua kategori
Tabel 1 di atas menunjukkan sebagian besar yaitu kategori baik dan kurang. Maka, diperoleh
puskesmas (50,0%) memiliki jumlah peserta Askes hasil bahwa tingkat pengetahuan dokter
yang relatif kecil yaitu di bawah 500 orang, puskesmas sebagian besar baik, yaitu 20
sedangkan yang memiliki jumlah peserta di atas responden (76,9%), sedangkan yang memiliki
2.000 hanya 18,2%. Jumlah peserta Askes pengetahuan kurang sebanyak 6 responden
keseluruhan sebesar 20.079 orang yang tersebar (23,1%).
di 22 puskesmas dengan jumlah kepesertaan Hasil penelitian di atas didukung oleh
sangat bervariasi. Jumlah peserta minimum hanya beberapa pernyataan yang menunjukkan bahwa
24 orang dan maksimum 3.102 orang dengan rata- responden memiliki pengetahuan yang cukup baik
rata jumlah peserta 913 orang. tentang sistem pembayaran kapitasi, seperti
pernyataan berikut ini.
3. Masa Kerja Responden
“……..pembayaran kapitasi memberi peluang
Masa kerja responden dikategorikan menjadi kepada puskesmas untuk mengatur dana
4 kelompok yaitu di bawah 5 tahun, 5-10 tahun, Askes lebih efisien……lebih mengutamakan
11-15 tahun, dan di atas 15 tahun. Hasil penelitian upaya kesehatan ke arah preventif dan
menunjukkan 84,6% responden memiliki masa promotif…agar dana yang didapat lebih
efisien untuk dapat digunakan untuk hal-hal
kerja 10 tahun ke bawah, sedangkan masa kerja yang lain”
di atas 15 tahun cukup kecil yaitu hanya 7,7%. (responden 11)
Masa kerja responden juga sangat bervariasi mulai
“……..pembayaran kapitasi sudah cukup
dari masa kerja 1 tahun sampai 22 tahun, dengan bagus….sistem kapitasi yang diterapkan
rata-rata masa kerja selama 6 tahun. memungkinkan pengobatan itu lebih efektif
tidak mengada-ada dibanding per
4. Rasio Kunjungan Pasien Askes klaim,……..mungkin saja kita menganjurkan
pasien begini lagi-begini lagi, …..jadi
Rasio kunjungan pasien Askes dibagi dalam pengobatan sekarang itu lebih efektif dan
4 kategori yaitu <15%, 15-20%, 21-25%, dan >25%. efisien….mudah-mudahan ini bisa
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar dipertahankan terus”
puskesmas mempunyai rasio kunjungan di atas (responden 6)
25%, sedangkan rasio kunjungan di bawah 15%
hanya 4,6%. Rasio kunjungan paling rendah 7. Distribusi Tingkat Kepuasan Dokter
terdapat di Puskesmas Tompe yaitu 13,6% dan Puskesmas
rasio kunjungan paling tinggi 41% terjadi di Tingkat kepuasan dokter puskesmas terhadap
Puskesmas Labuan, sedangkan kunjungan rata- sistem pembayaran kapitasi dikelompokkan
rata 22,9% setiap bulan. menjadi dua kategori yaitu kategori tinggi dan
rendah. Dari penjumlahan skor nilai kepuasan
5. Rasio Rujukan Pasien Askes diperoleh hasil seperti Tabel 2.
Rasio rujukan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
< 7%, 7%-10%, dan >10%. Hasil penelitian

107
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

Tabel 2. Tingkat Kepuasan Dokter Puskesmas “…….Sistem pembayaran kapitasi ini cukup
terhadap Sistem Pembayaran Kapitasi baik karena dapat menyederhanakan
hubungan Askes dengan kesehatan, namun
perlu perhitungan ulang terutama yang
menyangkut pelayanan tindakan ……..”
# (responden 7)

“……..Kerja sama ini perlu dilanjutkan, hanya


saja mungkin besarnya kapitasi
ditingkatkan……dan kalau bisa pembayaran
ke puskesmas itu tepat waktulah……”
Dari Tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar 15 (responden 9)
responden (57,7%) dokter puskesmas mempunyai
tingkat kepuasan yang rendah, sedangkan yang 8. Besaran Jasa Medis Sistem Pembayaran
memiliki tingkat kepuasan tinggi hanya 11 Kapitasi
responden (42,3%). Hasil penelitian ini dipertegas Jasa medis atau jasa pelayanan kesehatan di
oleh keluhan beberapa dokter puskesmas yang Kabupaten Donggala ditetapkan berdasarkan Surat
menyatakan tidak puas dengan sistem Keputusan Bupati Nomor 188.45/0328/Dinkes/X/
pembayaran kapitasi ini selain karena jumlahnya 04, tentang Penggunaan Dana Askes oleh
kecil, pembayarannya terlambat dan juga tidak tahu Puskesmas, yaitu sebesar 30% dari jumlah kapitasi
jumlah riil peserta di lapangan, sebagaimana yang diterima. Penetapan jasa medis sebesar 30%
terungkap dalam pernyataan berikut. dari dana kapitasi dirasakan terlalu kecil dan tidak
seimbang dengan dana yang harus disetor ke
“ ……bagaimana merasa puas kalau Dinas Kesehatan dan Pemda sebagai PAD,
pembayarannya selalu ada sebagaimana penuturan seorang dokter
keterlambatan…..jadi tidak tepat waktu…. puskesmas:
misalnya dari bulan mei kita terima bulan
juli….sekarang sudah bulan agustus yang
bulan juli belum kita terima……” “…….stor ke dinas 35 persen, untuk obat 35
(responden 7) persen dan 30 persen jasa medis……selama
ini kita ambil 3 bulan supaya agak besar
” ……….pasien umum datang berobat kan sedikit….kayaknya kurang juga,
bayar 2.000 rupiah kemudian sistem kapitasi pembagiannya itu mau ambil obat kadang-
yang dibayar ke kita hanya 1.000 rupiah, kan kadang ndak cukup….kunjungan Askes besar
beda sekali, sementara obat yang kita berikan kadang melebihi target, obat Askes kadang
sama…..kalau bisa usul dari 1.000 rupiah habis dipakai…….sebaiknya setor ke dinas
ditingkatkan menjadi 2.000 rupiah” diperkecil saja, ke puskesmas diperbesar…… “
(responden 10) (responden 2)

Walaupun sebagian besar responden Hasil perhitungan besaran jasa medis riil yang
menyatakan tidak puas dengan sistem kapitasi ini, diterima oleh dokter umum maupun dokter gigi,
tetapi ada pula responden yang menganggap dapat dilihat pada Tabel 3.
bahwa sistem ini cukup bagus dan perlu
dipertahankan, seperti pernyataan berikut.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Besaran Jasa Medik yang Diterima Dokter


dalam Sistem Pembayaran Kapitasi

! ! !

"
!
!

!
!

108
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

Dari hasil perhitungan, diperoleh bahwa Dari uji Rank Correlation diperoleh hasil bahwa
puskesmas yang menerima dana kapitasi paling pengetahuan dan besaran jasa medis tidak
rendah adalah Puskesmas Dombusoi yaitu memiliki hubungan yang bermakna terhadap
Rp24.000,00 setiap bulan, sedangkan puskesmas kepuasan. Adapun masa kerja dan jumlah peserta
yang menerima dana kapitasi paling besar yaitu menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap
Rp3.102.000,00 adalah Puskesmas Biromaru, kepuasan dokter puskesmas dengan keeratan
karena jumlah pesertanya cukup banyak dan lokasi hubungan yang sedang (r=0,434; p=0,027 dan
puskesmas memang paling dekat dengan kota. Bila r=0,405; p=0,040). Artinya semakin lama masa
dilihat dari perbedaan penerimaan dana kapitasi kerja, semakin tinggi tingkat kepuasan. Semakin
antara puskesmas yang satu dengan puskesmas banyak jumlah peserta, semakin tinggi pula tingkat
yang lain, terjadi kesenjangan yang sangat tinggi. kepuasan dokter puskesmas.
Kesenjangan tersebut terjadi karena jumlah peserta
dihitung berdasarkan peserta yang berada di PEMBAHASAN
wilayah kerja puskesmas masing-masing. 1. Hubungan Pengetahuan dan Kepuasan
Besarnya kesenjangan tersebut mengakibatkan Dokter Puskesmas
besaran jasa medis riil per kunjungan rata-rata Setelah dilakukan uji statistik, diperoleh hasil
hanya Rp1.312,00. Bila jasa medis tersebut bahwa tidak terdapat hubungan antara
dibandingkan dengan jasa medis pasien non-Askes pengetahuan dengan tingkat kepuasan dokter
(40% dari besaran tarif Rp1.500,00), terlihat bahwa puskesmas terhadap sistem pembayaran kapitasi.
besaran jasa medis dari Askes lebih besar Bila dilihat dari distribusi tingkat pengetahuan,
dibandingkan dengan besaran jasa medis pasien sebagian besar (76,9%) responden memiliki tingkat
non-Askes yang hanya Rp600,00. Melihat keadaan pengetahuan yang baik terhadap sistem
saat ini, besaran tarif yang Rp1.500,00 memang pembayaran kapitasi karena memang sistem
dirasakan sangat kurang sehingga secara terus pembayaran kapitasi di Kabupaten Donggala
terang seorang dokter puskesmas mengatakan: sudah cukup lama diterapkan. Begitu juga hasil
penelitian serupa yang dilakukan di daerah lain
“……….tarif ya sesuai dengan perda yang menunjukkan bahwa 56,7% PPK mempunyai
terakhir itu 1.500 rupiah per orang, tapi dalam tingkat pengetahuan yang baik terhadap sistem
kenyataannya kami tidak menarik seperti itu,
artinya 1.500 rupiah itu hanya untuk pembayaran kapitasi total di Kota Yogyakarta.7
obat……..jadi kalau pemeriksaan leb seperti Tingkat pengetahuan responden yang tinggi bisa
pemeriksaan malaria dan Hb kita tambah lagi, disebabkan karena sejak tahun 1996 sistem
jadi kita tarik sesuai dengan pelayanan yang
diberikan……”
pembayaran kapitasi ini sudah diterapkan. Apalagi
(responden 4) dengan masa kerja responden yang rata-rata di
atas 6 tahun, sehingga sudah sering terpapar
9. Hubungan Variabel Bebas dengan Variabel dengan informasi-informasi tentang sistem
Terikat pembayaran kapitasi.
Untuk melihat hubungan masing-masing Walaupun hasil penelitian ini secara umum
variabel bebas terhadap kepuasan dokter menyatakan bahwa sebagian besar responden
puskesmas dalam sistem pembayaran kapitasi memiliki tingkat pengetahuan yang baik, tetapi ada
yang diterapkan PT. Askes, digunakan uji statistik hal yang sangat penting yang perlu dipahami oleh
Rank Correlation, dan hasilnya dapat dilihat pada responden yaitu tentang penerimaan besaran
Tabel 4. kapitasi yang dianggap lebih kecil dibandingkan
dengan biaya pasien umum. Sebagaimana hal itu
disebutkan bahwa pasien Askes membayar
Tabel 4. Hubungan Variabel Bebas terhadap Kepuasan
Dokter Puskesmas kapitasi Rp1.000,00, sedangkan pasien umum
dalam Sistem Pembayaran Kapitasi Rp1.500,00. Apabila besaran kapitasi dihitung
berdasarkan jumlah peserta Askes di Kabupaten
! "
Donggala yaitu 20.079 jiwa, rasio kunjungan rata-
rata 22,9% dengan besaran kapitasi Rp1.000,00,
maka diperoleh hasil bahwa pasien Askes
' #
( "* membayar biaya pelayanan Rp4.367,00 per
' * kunjungan. Apalagi kalau dihitung berdasarkan
) ( ! jumlah dana kapitasi yang dialokasikan ke

109
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

puskesmas yaitu 65%, maka diperoleh hasil bahwa sedikit. Sebagaimana diungkapkan Robbins11,
pasien Askes membayar biaya pelayanan bahwa masa kerja dan kepuasan saling berkaitan
kesehatan Rp2.838,00 per kunjungan memang positif.
lebih besar dari tarif Perda untuk pasien umum. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa
Fakta yang terjadi adalah pasien umum tidak masa kerja responden sebagian besar di bawah 5
membayar sesuai tarif Perda, tetapi membayar tahun dan hanya sebagian kecil di atas 15 tahun.
sebesar Rp5.000,00 per kunjungan. Artinya, Responden yang masa kerjanya tinggi
dengan rasio kunjungan 22,9% dan alokasi biaya memungkinkan kepuasannya juga lebih baik
65% dari biaya kapitasi, pasien Askes membayar karena mempunyai pengalaman yang lebih
biaya pelayanan kesehatan lebih kecil bila banyak, sehingga dapat merencanakan
dibandingkan dengan pasien umum. penggunaan dana dengan lebih cermat, lebih
Dalam sistem pembayaran kapitasi, walaupun efisien, dan efektif, yang pada akhirnya
tingkat pengetahuan dokter puskesmas baik, tetapi berpengaruh kepada tingkat kepuasan. Begitu juga
bila besaran kapitasi yang diterima dirasakan terlalu sebaliknya, bersamaan dengan kurangnya
kecil dan tidak adil, maka bisa menimbulkan sosialisasi PT Askes kepada dokter puskesmas
ketidakpuasan. Secara teoritis memang yang masa kerjanya rendah, mengakibatkan
pengetahuan dapat mempengaruhi tingkat pengalaman kerja sama dengan Askes menjadi
kepuasan, tetapi realita di lapangan ternyata relatif baru bagi dokter tersebut. Hal ini juga
hasilnya berbeda. menyebabkan pengalaman dan pemahaman
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan dokter puskesmas tentang sistem pembayaran
pengetahuan juga telah dilakukan. Sebagaimana kapitasi sangat terbatas, sehingga menimbulkan
penelitian yang dilakukan Karyati8 terhadap dokter tingkat kepuasan yang rendah.
keluarga di Kota Medan yang menyatakan tidak
ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan 3. Hubungan Jumlah Peserta dengan Tingkat
dengan kepuasan terhadap pembayaran kapitasi. Kepuasan
Lebih jauh dikemukakan bahwa walaupun Hasil analisis hubungan jumlah peserta
pengetahuan baik, tetapi kalau terdapat perbedaan dengan kepuasan dokter puskesmas terhadap
antara harapan dan kenyataan yang diperoleh sistem pembayaran kapitasi menunjukkan hasil
maka kepuasannya akan rendah. Begitu pula hasil yang bermakna (r=0,405, p=0,040), artinya
penelitian yang dilakukan Sarah9 terhadap kepala terdapat hubungan antara jumlah peserta dengan
puskesmas di Kabupaten Sleman menunjukkan kepuasan dokter puskesmas. Hal ini disebabkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna karena semakin banyak jumlah peserta, semakin
antara pengetahuan dengan tingkat kepuasan kecil kemungkinan risiko kerugian yang dihadapi
kepala puskesmas terhadap sistem pembayaran oleh dokter puskesmas dalam melayani pasien
kapitasi. Askes. Hasil penelitian ini juga didukung teori yang
dikemukakan Murti12, yang menyatakan bahwa
2. Hubungan Masa Kerja dengan Tingkat pengaruh, peran, dan peluang akan besar sekali
Kepuasan ketika jumlah anggota asuransi kesehatan yang
Masa kerja merupakan salah satu faktor yang diperoleh seorang dokter tidak cukup besar.
diduga dapat mempengaruhi kepuasan dokter Pengaruh ini dapat menguntungkan dan dapat
puskesmas dalam melayani pasien Askes. Dari merugikan. Seorang dokter dengan anggota kurang
analisis hubungan masa kerja dengan kepuasan dari 300 orang akan mengarah kepada keluaran
dokter puskesmas terhadap sistem pembayaran yang merugikan, karena sebagian besar anggota
kapitasi, diperoleh hasil yang bermakna (r=0,434, memiliki masalah-masalah medis dengan biaya
p=0,027), artinya ada hubungan yang bermakna besar. Agar sistem pembayaran kapitasi membawa
antara masa kerja dengan kepuasan. Semakin keuntungan bagi semua pihak, maka harus
lama masa kerja dokter puskesmas, semakin tinggi diperhatikan jumlah peserta sesuai dengan hukum
kepuasannya dalam melayani pasien Askes. bilangan besar (the law of large number), sehingga
Sebuah teori yang dikemukakan Muchlas10, risiko terbagi ke banyak peserta dan pendapatan
menyatakan bahwa masa kerja berhubungan erat menjadi lebih besar.13
dengan umur seseorang. Semakin bertambah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap
umur semakin lama masa kerja dan semakin dokter puskesmas rata-rata melayani peserta
meningkat pula tingkat kepuasannya. Pada sebanyak 913 orang dan 50% puskesmas memiliki
umumnya seseorang yang masa kerjanya lebih peserta di bawah 500 orang, yang memungkinkan
lama mempunyai kepuasan yang lebih tinggi dokter puskesmas mempunyai risiko kerugian
daripada seseorang yang masa kerjanya lebih cukup besar, sehingga menimbulkan

110
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

ketidakpuasan terhadap sistem pembayaran antara kepuasan dengan imbalan uang akan positif
kapitasi tersebut. bila dipenuhi tiga dimensi imbalan uang yaitu
Selain itu, sistem kapitasi total yang diterapkan keadilan pembayaran, tingkat kewajaran
di Kabupaten Donggala adalah Model Kapitasi Total pembayaran, dan praktik administrasi pembayaran.
Basis Kabupaten. Oleh karena itu, sistem kontrak Berdasarkan perhitungan di atas, terlihat
atau perjanjian kerja sama dilakukan tidak langsung bahwa rata-rata jumlah jasa medis atau jasa
dengan puskesmas tetapi melalui pihak ketiga yaitu pelayanan yang diterima puskesmas setiap bulan
Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala. Sistem sebesar Rp273.805,00, dari Rp912.682,00 rata-
kontrak seperti ini membuat pihak puskesmas rata kapitasi yang dialokasikan ke puskesmas.
kurang mengetahui hak dan kewajiban dalam Apabila rata-rata jasa medis dibagi dengan jumlah
sistem pembayaran kapitasi ini. Ketidakpuasan kunjungan yang setiap bulan rata-rata 209 orang,
dokter puskesmas selain disebabkan oleh jumlah maka hanya memperoleh Rp1.312,00 jasa medis
peserta, juga oleh sistem kontrak. Sebagaimana riil per kunjungan.
dikeluhkan oleh beberapa dokter puskesmas yang Unit analisis dalam penelitian ini adalah dokter
menyatakan bahwa jumlah riil peserta di lapangan puskesmas maka penerimaan jasa medis per
tidak sesuai dengan apa yang dibayarkan oleh kunjungan dari PT. Askes bila dihitung berdasarkan
Askes, dan alokasi jumlah peserta sering berubah- ketentuan yang ada, maka besaran jasa medis
ubah, sehingga mereka sering tidak mengetahui yang diterima oleh dokter umum Rp450,00, dan
apakah kapitasi yang diterima sudah sesuai yang diterima oleh dokter gigi Rp424,00. Jumlah
dengan jumlah peserta atau belum. Hal inilah yang tersebut lebih kecil dari penerimaan jasa medis dari
memungkinkan tingkat kepuasan dokter pasien non-Askes (40% dari Rp5.000,00). Kalau
puskesmas sebagian besar rendah dalam melayani dihitung berdasarkan proporsi perhitungan yang
pasien wajib PT Askes. sama, maka besaran jasa medis yang diterima dari
pasien non-Askes untuk dokter umum Rp725,00,
4. Hubungan Besaran Jasa Medis dengan dan dokter gigi Rp517,00. Walaupun besaran jasa
Tingkat Kepuasan medis dari pasien Askes lebih kecil dibandingkan
Dari hasil analisis, hubungan antara besaran besaran jasa medis dari pasien non-Askes. Akan
jasa medis dengan kepuasan dokter puskesmas tetapi, beberapa responden mengharapkan agar
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang kerja sama dengan PT. Askes tetap dilanjutkan dan
bermakna antara kedua variabel tersebut (r=0,220, berharap kalau bisa besaran kapitasi ditingkatkan.
p=0,281). Hal ini mengisyaratkan bahwa walaupun Bila dilihat secara umum, hasil penelitian ini
besaran jasa medis meningkat, belum tentu menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat
kepuasan juga meningkat kalau tidak diikuti dengan kepuasan dokter puskesmas dalam sistem
keadilan dalam proporsi pembayaran. pembayaran kapitasi yang diterapkan PT. Askes
Besaran jasa medis merupakan bagian tak di Kabupaten Donggala masih rendah.
terpisahkan dalam sistem pembayaran kapitasi Ketidakpuasan ini dirasakan karena besaran
yang diduga dapat mempengaruhi tingkat kapitasi dianggap sangat kecil, bersifat tidak adil,
kepuasan karena besaran jasa medislah yang keterlambatan dalam pembayaran, sulitnya
diterima langsung oleh dokter puskesmas. mengklaim biaya rawat inap dan adanya
Ditolaknya hipotesis di atas disebabkan oleh penggunaan yang berlebih oleh pasien Askes.
besaran jasa medis yang diterima dokter Memang dari hasil perhitungan, besaran kapitasi
puskesmas terlalu kecil, sehingga tidak yang dialokasikan ke puskesmas yang hanya 65%
berhubungan secara bermakna dengan tingkat dengan rasio kunjungan 22,9%, ternyata pasien
kepuasan. Besaran jasa medis yang diterima oleh Askes membayar biaya pelayanan kesehatan lebih
dokter puskesmas dari pasien Askes setiap bulan kecil bila dibandingkan dengan biaya yang harus
relatif kecil bila dibandingkan dengan penerimaan ditanggung oleh pasien umum. Begitu juga dengan
jasa medis dari pasien non-Askes, yang rawat inap yang dikeluhkan oleh responden sangat
mengakibatkan sebagian besar responden tidak sulit karena memang dalam kapitasi total dana yang
puas. Ketidakpuasan ini dirasakan responden dialokasi ke puskesmas mencakup dana kapitasi
bukan hanya karena kecilnya jasa medis Tetapi RJTP yang langsung diterima puskesmas, dan
juga disebabkan oleh ketidakadilan dalam proporsi dana rawat inap tingkat I, serta jasa tindakan yang
pengalokasian dana kapitasi yang dirasakan tidak harus diklaim ke PT. Askes.
seimbang yang di tingkat kabupaten terlalu besar Walaupun responden memiliki kepuasan yang
35%, sedangkan untuk jasa medis di puskesmas rendah terhadap sistem pembayaran kapitasi ini.
hanya 30%. Hal itu didukung teori yang Tetapi pada saat yang bersamaan mereka tetap
diungkapkan oleh Schuler14, bahwa hubungan mengharapkan agar kerja sama dengan PT. Askes

111
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

tetap dipertahankan. Memang harus disadari 3. Ada hubungan antara jumlah peserta dan
bahwa sangat sulit mengukur tingkat kepuasan dan masa kerja dengan tingkat kepuasan, artinya
tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, semakin banyak jumlah peserta dan lama
karena setiap individu berbeda standar masa kerja, maka semakin tinggi pula tingkat
kepuasannya. Lebih jauh Hasibuan15, menjelaskan kepuasannya.
bahwa ada 7 faktor yang dapat mempengaruhi 4. Berdasarkan data kualitatif, faktor-faktor yang
kepuasan, yaitu: 1) balas jasa yang adil dan layak, mempengaruhi ketidakpuasan dokter
2) penempatan yang tepat sesuai keahlian, 3) berat puskesmas dikarenakan besaran kapitasi
ringannya pekerjaan, 4) suasana dan lingkungan dianggap sangat kecil, keterlambatan dalam
kerja, 5) peralatan yang menunjang pelaksanaan pembayaran dan sulitnya mengklaim biaya
pekerjaan, 6) sikap pimpinan dalam rawat inap.
kepemimpinannya, 7) sifat pekerjaan monoton atau
tidak monoton. Saran
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang 1. PT. Askes perlu melakukan sosialisasi secara
kepuasan PPK terhadap sistem pembayaran intensif dan lebih transparan tentang
kapitasi, menunjukkan hasil yang berbeda-beda. implementasi sistem pembayaran kapitasi
Penelitian yang dilakukan oleh Sarah9, terhadap terhadap dokter puskesmas untuk
kepala puskesmas di Kabupaten Sleman, yang meningkatkan pemahaman tentang besaran
menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan kepala kapitasi yang sangat kecil dan tata cara
puskesmas terhadap sistem pembayaran kapitasi melakukan klaim rawat inap yang dianggap
umumnya rendah. Hasil yang sama juga diperoleh sulit.
Bermansyah16 dalam penelitiannya terhadap dokter 2. Agar sistem pembayaran kapitasi memberi
keuntungan bagi semua pihak, PT. Askes perlu
keluarga di Kota Bengkulu dan Kabupaten Rejang
mempertimbangkan jumlah peserta minimal
Lebong yang menyatakan bahwa 92% dokter
pada setiap puskesmas (sesuai hukum
keluarga tidak puas dengan sistem pembayaran
bilangan besar), sehingga tidak menimbulkan
kapitasi. Hal ini diakibatkan oleh kapitasi terlalu kecil
kerugian di pihak puskesmas, atau dengan
dan tingginya angka kunjungan, serta tidak
menerapkan pembayaran fee for service untuk
transparannya PT. Askes Cabang Bengkulu puskesmas yang pesertanya terlalu kecil.
mengenai keuangan dan jumlah peserta. Namun 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala dan
demikian, di sisi lain beberapa hasil penelitian dan PT. Askes Cabang Palu perlu melakukan
survey menunjukkan tingkat kepuasan PPK yang pertemuan koordinasi dengan Puskesmas
cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan Chotimah17, untuk membahas permasalahan yang
menunjukkan hasil bahwa 80,98% dokter keluarga dihadapi dan memberikan penjelasan lebih
merasa puas dalam melayani pasien Askes, rinci tentang proporsi pengalokasian dan
sedangkan 19.02% merasa tidak tidak puas penggunaan dana serta jumlah peserta
dengan hal tersebut. terdaftar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai
ketidakpuasan dokter keluarga adalah gaji dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat
kontribusi 73,57%, dan kebijakan administrasi kepuasan PPK tentang sistem pembayaran
39,04%. Begitu juga halnya dengan hasil survey kapitasi yang diterapkan oleh PT. Askes,
tentang kepuasan pelanggan PT. Askes misalnya: faktor umur, pendidikan, jenis
sebagaimana diungkapkan Subawa 18, bahwa kelamin, sistem kontrak, atau pendapatan dari
86,4% PPK menyatakan puas dan lebih dari non-Askes.
85,92% peserta menyatakan puas bekerja sama
dengan PT. Askes. KEPUSTAKAAN
1. Sulastomo. Asuransi Kesehatan Indonesia
KESIMPULAN DAN SARAN (Tinjauan dari Aspek Perkembangan Sistem
Kesimpulan Pelayanan dan Pembinaan Kesehatan),
1. Sebagian besar dokter puskesmas tidak puas Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
terhadap sistem pembayaran kapitasi peserta Indonesia, Jakarta.1998.
wajib PT. Askes di Kabupaten Donggala. 2. Persero (PT) Asuransi Kesehatan Indonesia.
2. Tidak ada hubungan antara pengetahuan, Pedoman Penerapan Kapitasi Total. PT.
besaran jasa medis dengan tingkat kepuasan Askes, Jakarta. 2002.
dokter puskesmas terhadap sistem 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala. Profil
pembayaran kapitasi peserta wajib PT. Askes Kesehatan Kabupaten Donggala, Donggala.
di Kabupaten Donggala. 2003.

112
Determinan Kepuasan Dokter Puskesmas

4. Persero (PT) Asuransi Kesehatan Indonesia. 11. Robins, S.P. Perilaku Organisasi (Terjemahan),
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan PT. Prenhallindo, Jakarta. 2001.
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, 12. Murti, B. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan,
Nomor: 999A/Menkes/SKB/VIII/2002, Nomor: Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000.
37A Tahun 2002. 2003. 13. Bolland, P. The Capitation Source Book,
5. Bupati Donggala. Peraturan Daerah Bolland Healthcare, Berkeley. 1996.
Kabupaten Donggala tentang Retribusi 14. Schuler, R.S., Jackson, Susan, E., Manajemen
Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad 21,
Masyarakat, Nomor: 1 Tahun 2000. 2000. Penerbit Erlangga, Jakarta.1999;6.
6. Hendrartini, J. Sistem Pembayaran Kapitasi 15. Hasibuan, M.S.P., Manajemen Sumber Daya
Total, Makalah Seminar Kapitasi Total bagi Manusia, Edisi Revisi, PT. Bumi Aksara,
Dokter Keluarga PT. Askes, Yogyakarta. 2000. Jakarta.
7. Kisworini, F.Y., Hendrartini, J. Faktor-Faktor 16. Bermansyah, Hubungan Pengetahuan dan
yang Berhubungan dengan Upaya Kepuasan Dokter Keluarga terhadap Kapitasi
Pengendalian Biaya Pelayanan Kesehatan dengan Kepuasan Pasien Peserta Wajib PT.
Peserta PT. Askes di Puskesmas Kota Askes terhadap Pelayanan Dokter Keluarga,
Yogyakarta, Jurnal Manajemen Pelayanan Kajian di Kota Bengkulu dan Kabupaten
Kesehatan, 2004;07(01): 27-33. Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, Tesis IKM
8. Karyati, M., Mukti, A.G., Nusyirwan, M.S. UGM, Yogyakarta. 2004.
Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga terhadap 17. Chotimah, N. dan Kusnanto, H. Faktor-Faktor
Sistem Pembayaran Kapitasi PT. Askes di yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja dan
Kota Medan, Jurnal Manajemen Pelayanan Motivasi Dokter Keluarga PT. Askes Dalam
Kesehatan, 2004; 07(02):81-87. Memberikan Pelayanan Kesehatan Bagi
9. Sarah, S. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peserta wajib PT. Askes, di Kotamadya
Tingkat Kepuasan Kepala Puskesmas Malang, Madiun dan Kediri Provinsi Jawa
Terhadap sistem Pembayaran Kapitasi PT. Timur, Jurnal Manajemen Pelayanan
Askes di Kabupaten di Kabupaten Sleman, Kesehatan,2000; 03(04):171-85.
Tesis IKM UGM, Yogyakarta. 2002. 18. Subawa, I.G. Tahun 2003 Sebagai Tahun Citra,
10. Muchlas, M. Perilaku Organisasi, Jilid I, Program Buletin Info Askes No.13, PT. Askes Indone-
Pendidikan Pascasarjana Magister Manajemen sia.2003.
Rumah Sakit, UGM, Yogyakarta.1979.

113
JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005 Resensi

RESENSI

Judul Buku : Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit, Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar
Penulis : Laksono Trisnantoro
Penerbit : Andi Offset, Yogyakarta
Jumlah Halaman : I-X, 378 (termasuk indeks)
Harga : Rp45.000,00

K
Kenyataannya, rumah sakit sebagai rumah sakit, pemilik rumah sakit, pengambil
institusi penyedia jasa layanan kebijakan di sektor kesehatan utamanya institusi
kesehatan, juga merupakan sebuah pemerintah, praktisi rumah sakit, juga bagi
lembaga yang tidak lepas dari pengaruh atau mahasiswa pendidikan kesehatan.
tekanan lingkungan. Pertumbuhan dan Pertama-tama, pembaca diperkenalkan
perkembangan organisasi rumah sakit menjadi dengan metode pengenalan lingkungan usaha
tergantung pada keadaan lingkungan organisasi rumah sakit. Penulis mengibaratkan lembaga rumah
tempat rumah sakit tersebut berada. Ini sakit sebagai makhluk hidup yang harus berhadapan
menunjukkan bahwa dibutuhkan sistem dengan lingkungannya sehingga lembaga perlu
manajemen rumah sakit yang mempertimbangkan memiliki pemahaman komprehensif tentang
aspek strategis agar rumah sakit mampu perubahan lingkungan. Apabila seorang manajer
beradaptasi atau mengendalikan faktor rumah sakit sudah memiliki pemahaman ini dan
berpengaruh tersebut yang juga terus berubah, baik berada pada situasi baru, maka ia seharusnya
itu faktor internal apalagi terhadap faktor eksternal. mampu melakukan deteksi adanya perubahan yang
Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana para akan menghasilkan penafsiran dan akhirnya dapat
manajer, karyawan-karyawan rumah sakit ataupun memilih dan melakukan tindakan yang tepat sebagai
pemilik rumah sakit dapat mengenali lingkungan respon rumah sakit terhadap perubahan lingkungan
rumah sakit dan perubahannya, melakukan analisis tersebut. Cukup banyak perubahan lingkungan yang
dan mengelola lingkungan tersebut, dan kemudian bermakna bagi keberadaan organisasi rumah sakit
membuat dan menerapkan perencanaan strategis yang ditampilkan sebagai contoh dalam buku ini.
sebagai langkah terbaik agar organisasi rumah Misalnya, keadaan politik, sosial dan ekonomi
sakit dapat survive bahkan bertumbuh. masyarakat yang telah berubah seiring waktu.
Pertanyaan-pertanyaan di atas berusaha Perubahan lain yang menonjol adalah meningkatnya
dijawab dalam buku ini yang tidak saja harapan masyarakat terhadap pelayanan yang
memaparkan keadaan normatif dan harus dihadapi bermutu, adanya desentralisasi pelayanan
rumah sakit tetapi juga menekankan keadaan nyata kesehatan, penerapan asuransi kesehatan, desakan
yang ada, sehingga pemikiran yang muncul dalam tuntutan hukum terhadap pelayanan yang
buku ini menjadi lengkap. Pembaca dapat langsung malpraktek, distribusi tenaga medis terutama
melakukan pembandingan antara hal normatif spesialis, sampai pada pengaruh globalisasi yang
tersebut yang semestinya diacu oleh rumah sakit memberikan kesempatan kepada mekanisme pasar
dengan hasil-hasil penelitian yang sesuai dengan sebagai faktor penentu dalam perkembangan
topik manajerial rumah sakit. Penulis mencoba pembangunan kesehatan di Indonesia. Contoh
menuntun pembacanya dalam pengembangan lainnya pada penataan sistem manajemen rumah
langkah strategis manajemen rumah sakit agar sakit yang belum berjalan dengan baik, bagaimana
memiliki dasar yang kuat untuk menghadapi konsep otonomi rumah sakit yang tepat, subsidi
tekanan atau perubahan lingkungan yang terjadi, untuk rumah sakit keagamaan yang menjadi sangat
apalagi jika rumah sakit tersebut berada dalam berkurang, dan seringnya terdapat perbedaan
lingkungan organisasi yang dinamis ataupun pandangan antara rumah sakit pemerintah dengan
lingkungan yang buruk. Dengan demikian, buku ini stafnya, utamanya dengan tenaga medis.
tepat bagi kalangan manajer dan profesional di

115
Resensi

Proses pemahaman tersebut di atas Setelah pembaca memahami pentingnya


merupakan satu kesatuan yang memerlukan manajemen strategis, selanjutnya penulis
pemikiran strategis dari para manajer rumah sakit. menggambarkan proses penyusunan dan
Proses pemahaman ini dipermudah oleh penulis penetepan rencana strategis rumah sakit. Dimulai
dengan menampilkan secara lengkap pada Bab 2 dari penyusunan misi rumah sakit, lalu nilai-nilai
tentang prinsip-prinsip manajemen strategis. apa yang dipercaya, visi yang hendak dicapai, dan
Dengan berdasarkan pada skema konsep strategi yang ditetapkan sampai dengan hasil
manajemen strategis, pembaca menjadi mudah pelaksanaannya yang harus mencerminkan
memahami konsep manajemen strategis yang tidak berjalannya misi sebagai langkah mencapai visi
hanya mencakup bagaimana perencanaan yang lembaga. Proses ini juga harus didukung dengan
strategis, lalu mengelola dan mengendalikan kajian mendalam melalui analisis lingkungan
pelaksanaan kegiatan dalam organisasi tetapi juga eksternal dan internal (Analisis SWOT) rumah sakit
mengenai pengembangan sikap baru terhadap termasuk pada unit-unit layanan yang ada. Untuk
perubahan eksternal yang terjadi. Manajemen analisis eksternal, penulis menggunakan dua macam
strategis juga meliputi aspek misi, visi, dan tujuan model analisis (berdasarkan sistem kesehatan, dan
rumah sakit, yang terkait dengan lingkungan luar model persaingan Porter), sedangkan pada analisis
dan dalam rumah sakit. Pada bagian ini ditampilkan internal digunakan cara pengamatan terhadap
kutipan dari beberapa referensi yang mendukung kultur organisasi dan subsistem-subsistem yang
topik ini dan contoh nyata pada beberapa rumah ada di rumah sakit. Setelah itu dilakukan
sakit untuk memudahkan pemahaman yang akan perumusan strategi dan mem-breakdown-nya
ditarik oleh pembaca. Untuk melengkapi dalam bentuk program. Penulis menganut metode
pemahaman tadi, budaya organisasi juga diulas perumusan strategi rumah sakit ke dalam tiga
secara mendalam dengan menggambarkan bagian, yang diulas secara mendalam dilengkapi
bagaimana interaksi antarbudaya yang dengan contoh-contoh, yaitu grand strategy,
berpengaruh pada budaya rumah sakit dan g e n e r i c strategy, dan functional strategy.
profesionalnya. Budaya rumah sakit menjadi Menariknya, dalam bagian ini juga dibahas strategi
penting karena adanya perbedaan budaya pada penggalian sumber dana untuk rumah sakit dalam
rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit for rangka menjalankan fungsi sosialnya, utamanya
profit, dan penerapan budaya yang tepat akan bagi rumah sakit pemerintah (dan keagamaan)
sangat kondusif bagi perkembangan rumah sakit. dalam konteks diperlukannya subsidi dana dari luar,
Dalam bagian berikutnya, dibicarakan hal-hal dan adanya penerapan kebijakan desentralisasi.
yang berpengaruh dalam penyusunan rencana Untuk melengkapi buku ini, penulis
strategis dan pelaksanaannya. Sifat kelembagaan menampilkan isu-isu yang berpengaruh pada
rumah sakit menjadi faktor penting, karena jenis strategi pengembangan rumah sakit, khususnya
rumah sakit tersebut (bersifat for profit atau non- peran yang harus diambil oleh rumah sakit antara
profit) akan menentukan indikator kinerja lembaga misi sosialnya dengan semakin besarnya tekanan
ini. Sesuai dengan pendapat Dees (1999) yang pasar. Isu-isu tersebut antara lain: sifat industri
dikutip penulis menyebutkan bahwa perbedaan farmasi yang tentunya ikut membentuk proses
antara lembaga for profit dengan nonprofit organisasi rumah sakit, motivasi dan perilaku
bukanlah hitam putih tetapi terdapat suatu profesional yang ada di rumah sakit, kebijakan
spektrum yang dapat menggambarkan keadaan penerapan konsep good governance di sektor
rumah sakit di Indonesia. Ini dapat berarti bahwa kesehatan dan good corporate governance di
sebenarnya sebagian besar rumah sakit rumah sakit, dan good clinical governance. Bahkan
pemerintah dan swasta non-PT (nonprofit) berada penulis menawarkan konsep etika rumah sakit yang
di antara spektrum lembaga usaha murni dengan semestinya ditempuh untuk mendukung
lembaga kemanusiaan murni, sehingga indikator penyusunan dan implementasi rencana strategis,
kinerjanya akan bercampur-baur antara misi sosial antara lain: strategi pemberian insentif finansial
dan nilai-nilai pasar. Disarankan agar rumah sakit bagi dokter, strategi rumah sakit sebagai tempat
pemerintah dapat berkembang perlu menerapkan kerja, mutu pelayanan pada setiap kelas yang ada,
konsep balanced scorecard (modifikasi) sebagai dan kelayakan pelayanan yang berlapis-lapis bagi
indikator kinerjanya. Pada bagian ini juga diuraikan pasien. Dapat disimpulkan bahwa etika organisasi
hal-hal lain yang perlu dalam penerapan rumah sakit merupakan etika bisnis yang memiliki
perencanaan strategis yaitu diperlukan komitmen sifat-sifat khusus.
tinggi dari seluruh sumber daya manusia yang ada
dan besarnya peranan kepemimpinan dalam
Syafari D. Mangopo
pengembangan rumah sakit secara strategis.
(syafari_mangopo@yahoo.com)

116
JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005 Korespondensi

KORESPONDENSI
e-mail ditujukan ke hiillary@yahoo.com

Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo di Daerah
Istimewa Yogyakarta

Ibu Dwi Ciptorini yang terhormat, saya sangat pada artikel tersebut, peneliti tidak mengemukakan
tertarik membaca artikel saudara tentang “Otonomi secara eksplisit. Peneliti tidak mengemukakan
Daerah dan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan manfaat apa yang ingin dicapai dari hasil penelitian
Kabupaten Kulonprogo Di Daerah Istimewa tersebut. Menurut saya manfaat penelitian harus
Yogyakarta” yang dimuat di Jurnal Manajemen dijelaskan baik untuk lembaga birokrasi, perguruan
Pelayanan Kesehatan Volume 07/Nomor 04/ tinggi seperti; untuk pengembangan bidang
Desember/2004. keilmuan khususnya konsep konsep kebijakan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa public dan manfaat bagi peneliti sendiri.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah Pada bagian bahan dan cara penelitian,
penyebab utama mengapa tingkat kesejahteraan peneliti tidak menjelaskan jenis penelitian yang
di Indonesia belum bisa diatasi melalui kebijakan digunakan pada penelitian ini. Seyogyanya peneliti
pemerintah. Dari perspektif administrasi publik menjelaskan jenis penelitian yang digunakan
penyebab KKN adalah rendahnya akuntabilitas apakah termasuk penelitian survey dengan
birokrasi publik. Mengetahui dan mencegah KKN pendekatan kualitatif ataukah lainnya. Peneliti tidak
atau penyalahgunaan wewenang jauh lebih penting mengemukakan bagaimana cara penentuan
dari pada melakukan tindakan hukum terhadap sampel atau responden yang digunakan pada
pelaku KKN itu sendiri. Lembaga Administrasi penelitian tersebut artinya seorang peneliti haruslah
Negara RI 1 mengatakan bahwa upaya untuk menjelaskannya, sehingga pembaca lain mengerti
mewujudkan good governance hanya dapat mengapa responden seperti; pejabat struktural,
dilakukan apabila terjadi keseimbangan (alignment) DPR Komisi E, dan LSM Bidang kesehatan
peran-peran kekuasaan yang dimainkan oleh digunakan pada penelitian tersebut.
setiap unsur yang ada dalam governance meliputi; Peneliti tidak mengemukakan kriteria ataupun
negara, sektor swasta, dan masyarakat. standar yang digunakan dalam pengukuran kinerja.
Oleh sebab itu, sebagai akademisi sekaligus Menurut LAN1 pengukuran kinerja birokrasi publik
pemerhati masalah kebijakan publik, saya merasa meliputi 5 indikator kinerja. Namun pada penelitin
terpanggil untuk mengkritisi beberapa hal baik ini peneliti hanya melakukan pengukuran terhadap
menyangkut metodologis penulisan artikel ilmiah salah satu dari 5 indikator kinerja tersebut yaitu
maupun substansi atau isi artikel yang ditulis oleh indikator output atau hasil cakupan program,
Dwi Ciptorini pada JMPK Volume 07/Nomor 04/ namun walaupun demikian hendaknya peneliti
Desember/2004. Secara metodologis, penyusunan menampilkan indikator yang digunakan untuk
artikel ilmiah pada penyusunan keywords mengukur hasil cakupan program. Selanjutnya
sesungguhnya beirisikan kata-kata kunci yang Ferlie dalam Kumorotomo2 membedakan 5 model
terdapat pada judul yang dikemukakan, sehingga akuntabilitas, namun peneliti hanya terbatas
tidak perlu memuat kata-kata lain yang ada dalam meneliti model akuntabilitas ke atas sesuai dengan
hasil dan pembahasan. Perda No. 11/2000. Selanjutnya Carino dalam
Pada bagian pendahuluan, peneliti belum Widodo3 menyatakan bahwa untuk memahami
mengemukakan secara gamblang konsep-konsep akuntabilitas administrative mengacu pada
tentang otonomi daerah dan akuntabilitas kinerja pertanyaan dasar terhadap akuntabilitas antara lain
birokrasi publik agar dapat mendukung dan meliputi; “Who is considered accountable?” (siapa
menekankankan pentingnya melakukan penelitian. yang harus melaksanakan akuntabilitas), “ to whom
Peneliti juga belum mengemukakan permasalahan is he accountable?” (Kepada siapa mereka
penelitian secara eksplisit, sehingga belum terlihat berakuntabilitas), “to what standards or value is he
apa yang mendorong peneliti tertarik untuk accountable”, (Apa standar yang digunakan untuk
melakukan penelitian. Seharusnya peneliti terlebih penilaian akuntabilitas?), dan “by what means is
dahulu mengemukakan apa yang merupakan he made accountable?” (Dengan sarana apa dia
permasalahan penelitian yang membuat peneliti membuat akuntabilitas?) Peneliti belum mengacu
tertarik untuk melakukannya. Tujuan penelitian pada pertanyaan mendasar tentang akuntabilitas.

117
Korespondensi

Peneliti tidak menjelaskan secara eksplisit sebagai operating core dengan bupati selaku
teknik analisis data yang digunakan pada penelitian strategic apex. Adapun menurut saya, Kepala
ini, yang dikemukakan hanyalah analisis kualitatif, Dinkes selaku middle line tidaklah berfungsi
menurut saya ada beberapa bentuk analisis yang sebagai penghubung antara puskesmas selaku
dapat digunakan pada penelitian yang operating core dengan bupati selaku strategic
menggunakan pendekatan kualitatif. Faisal4 terdapat apex. Atau direktur rumah sakit selaku middle line
lima jenis analisis data yang digunakan dalam tidak bertugas menghubungan antara rumah sakit
penelitian kualitatif yaitu analisis domain, analisis sebagai operating core dengan bupati selaku
toksonomis, analisis komponensial, analisis tema strategic apex. Demikian juga yang lainnya.
kultural, dan analisis komparasi konstan. Menurut Menurut Mintzberg dalam Robbins5 bahwa
peneliti, analisis yang tepat digunakan pada setiap organisasi mempunyai lima bagian dasar
penelitian ini adalah analisis domain. Berdasarkan dan salah satu dari kelima bagian tersebut dapat
pendapat Faisal4, dapat disimpulkan bahwa analisis mendominasi sebuah organisasi. Berdasarkan
domain (isi atau makna hubungan semantis) teori Mintzberg tersebut, menurut saya
biasanya digunakan untuk memperoleh gambaran penggunaan lima dimensi dasar tersebut
yang bersifat umum dan menyeluruh tentang apa menganalisis perbedaan desain struktur organisasi
yang tercakup dalam suatu fokus permasalahan Dinas kesehatan dan tidak menghubungkan
yang diteliti. Hubungan semantik, menggambarkan dengan organisasi lainnya seperti organisasi rumah
kemampuan peneliti untuk memperoleh informasi sakit, Depkes dan pemerintah daerah karena
yang bebas dengan cara memberi arti atau makna peneliti hanya menganalisis akuntabilitas Dinkes
dari kata atau kalimat yang disampaikan oleh Kabupaten Kulonprogo bukan pemerintahan
responden atau sampel penelitian. Kabupaten Kulonprogo. Seharusnya peneliti
Pada bagian hasil penelitian dan pembahasan, menjelaskan mengapa dan bagaimana proses
peneliti hanya menampilkan variabel-variabel tanpa penetapan desain struktur organisasi Dinkes
mengkaitkan antarvariabel sebagaimana tujuan Kabupaten Kulonprogo.
dari penelitian. Di samping itu, peneliti tidak Kesimpulan, hendaknya konsisten dengan
melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian apa yang dipermasalahkan dalam penelitian, dan
yang dikaitkan dengan teori-teori ataupun yang oleh karena perumusan permasalahannya tidak
mendukung hasil penelitian tersebut. Hasil secara tegas maka kesimpulan yang dibuatpun
penelitian tidak menggali secara mendalam apa menjadi tidak tegas. Dengan demikian, saran yang
dan bagaimana partisipasi stakeholder yang terlibat disampaikan pula akan menjadi bias atau kurang
pada pembuatan keputusan, pelaksanaan, dan terarah.
evaluasi sesuai dengan peran mereka dalam
pembangunan kesehatan di Kabupaten Zulfendri
Kulonprogo, sehingga informasi yang diperoleh Staf Pengajar Bagian Administrasi
peneliti tidak menyeluruh atau mendalam tentang Dan Kebijakan Kesehatan
apa yang tercakup dalam fokus permasalahan FKM Universitas Sumatera Utara Medan
yang diteliti. zulfendri_jolly@yahoo.com
Menurut Konsep Sistem Akuntabilitas Institusi
Pemerintah dalam LAN1, desain struktur organisasi 1. Lembaga Administrasi Negara RI. AKIP Dan
Dinkes tidak termasuk salah satu dari lima indikator Pengukuran Kinerja, Bahan ajar Diklatpim Tingkat
pengukuran kinerja. III, Jakarta.2001.
2. Kumorotomo,W. Akuntabilitas Birokrasi Publik;
Peneliti menggunakan konsep Mintzberg untuk
Sketsa pada masyarakat transisi, Pustaka Pelajar,
menjelaskan perbedaan desain organisasi sebelum
Yogyakarta.2005.
dan sesudah otonomi daerah pada Tabel 9, 3. Widodo. Good Governance; Telaah dari Dimensi
menurut saya kurang tepat karena Kepala Dikes Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era
selaku middle line bukanlah berfungsi sebagai Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan
penghubung antara puskesmas selaku operating cendekia,, Surabaya.2001.
core dengan bupati selaku strategic apex pada 4. Faisal, S. Penelitian Kualitatif; Dasar-Dasar dan
organisasi pemerintah daerah. Demikian juga Aplikasi, YA3 Malang.1990.
direktur rumah sakit selaku middle line bukanlah 5. Stephen P. Robbins. Teori Organisasi; Struktur,
Desain dan Aplikasi, Alih bahasa Jusuf Udaya, Edisi
bertugas menghubungan antara rumah sakit
3, Penerbit Arcan, Jakarta.1994.

118

Anda mungkin juga menyukai