Anda di halaman 1dari 69

Fakultas Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

PERSETUJUAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul Analisa Penolakan Ahli Waris Terhadap Hasil Warisan

Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata, oleh Indah Sabarina dengan NIM

0201.17.0004 dapat diterima dan disetujui untuk diujikan dalam Sidang

Munaqasah Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah (Institut Agama Islam (IAI)

Tafaqquh Fiddin Dumai.

Dumai, 22 Juni 2021


Dumai, 12 Zulkaidah 1442 H

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Roza’i Akbar, S.Ag, MH Denny Febriansyah, M.Liit

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah

Denny Febriansyah, M.Liit

i
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

TANDA PENGESAHAN SKRIPSI

1. Nama : Indah Sabarina


2. NIM : 0201.17.0004
3. Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyah
1. Judul Tesis : Analisa Penolakan Ahli Waris Terhadap Hasil Warisan
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata

PANITIA PENGUJI SKRIPSI

Berdasarkan hasil Ujian Skripsi Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas


Syari’ah yang dilaksanakan pada tanggal 01 Juli 2021, maka dengan ini skripsi
telah disetujui oleh Tim Penguji.

Penguji Tanda Tangan Tanggal


Neneng Desi Susanti,M.Sy
Ketua

Syarkaini, SH
Notulen

Dr.H.Roza’i Akbar, S.Ag,MH


Penguji I

Denny Febriansyah,M.Liit
Penguji II

Dumai, 01 November 2021


Mengetahui,
Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah

Denny Febriansyah,M.Liit

ii
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya ajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Starata Satu (S1) di Institut Agama

Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Insitut Agama Islam (IAI)

Tafaqquh Fiddin Dumai.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya

asli saya atau merupakan hasil ciplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Institut Agama Islam (IAI) Tafaqquh

Fiddin Dumai.

Dumai, 22 Juni 2021

Fadiyah Syfa
0201.17.0002

iii
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

MOTTO

“Waktu bagaikan pedang.


Jika engkau tidak memanfaatkannya dengan
baik, maka ia akan memanfaatkanmu.”

(Hadist Riwayat Muslim)

iv
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbil’alamin, Sujud Syukurku kupersembahkan


kepadamu ya Allah, Tuhan yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Atas
takdirmu saya bisa menjadi pribadi yang berpikir, berilmu, beriman, dan
bersabar. Semoga berhasilan ini menjadi satu langkah awal untuk masa
depanku, dalam meraih cita-cita saya. Dengan segala kerendahan dan
ketulusan hati, kupersembahkan karya kecilku ini untuk :
Ayahanda Alm. Ruslan Abdul Gani dan Ibunda Sri Lestari tercinta, terima
kasih atas semua kasih sayang, pengorbanan, dukungan, motivasi, perhatian,
dan materi yang telah diberikan kepada penulis. Tanpa do’a orang tua semua
ini tidak akan berhasil. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan
ketabahan. Aamiin.
serta kebahagiaan kepada mereka di dunia dan akhirat, Aamiin ya Allah.
Adikku Fadhilah Samiyah, terima kasih atas dukungan dan do’a yang telah
diberikan, teruslah berbakti pada ibu bapak dan jadilah anak yang
sholehah yang dapat membanggakan mereka, semoga cita-cita kalian
tercapai, Aamiin ya Robb.
Dosen Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai yang telah
membimbingku dan mengajari ilmu yang bermanfaat sehingga berguna
bagi agama, nusa dan bangsa.
Kepada Keluarga, Sahabat dan teman teman yang telah berpartisipasi dan
memberikanku semangat untuk dapat berbuat lebih baik dan dapat
menyelesaikan skrispsi ini.

v
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

Almamaterku tercinta IAI Tafaqquh Fiddin Dumai

ABSTRAK

Fadiyah Syfa. NIM 0201.17.0002. Kedudukan Surat Hibah Yang


Dikeluarkan Oleh Pewaris Kepada Ahli Waris Sebelum Pewaris Meninggal
Dunia, Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif. Dibimbing oleh Dr.
H. Roza’i Akbar, S.Ag, MH dan Denny Febriansyah,M.Liit. Permasalahan waris
dan hibah masih menjadi penyebab timbulnya sengketa di masyarakat, hal ini
memungkinkan terjadi karena mereka belum memahami tentang waris secara
mendalam. Salah satu contoh yang sering menimbulkan terjadinya perselisihan
adalah masalah harta warisan. Perselisihan terjadi karena kematian seseorang
yang meninggalkan harta warisan berakibat timbulnya saling sengketa di kalangan
ahli waris.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research).Teknik
pengumpulan data dengan cara mengumpulkan buku-buku atau referensi yang
relavan dan akurat dan mempelajari untuk memperoleh sebuah data atau
kesimpulan yang berkaitan dengan penelitian. metode pendekatan yang dipakai
adalah pendekatan konsep, pendekatan analisis dan pendekatan perbandingan.
Hasil dari penelitian ini berdasarkan hukum perdata, seorang penerima
hibah yang menerima hibah itu langsung dari orang tuanya maka penerimaan
tersebut diperhitungan sebagai warisan kelak,hukum perdata tidak menjadikan
ia terhalang untuk menerima waris. Hanya saja, penerima hibah dianggap telah
mendapatkan warisan. hasil penerimaan hibah dari orang tua, terhitung
sebagai warisan sehingga kelak ia dapat saja menerima warisan dari orang
tuanya saat orang tuanya meninggal ,pada perspektif fiqih islam dan KHI itu
dapat diperhitungkan sebagai warisan.

vi
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

ABSTRACT

Fadiyah Syfa. NIM 0201.17.0002. The position of the grant letter issued
by the heir to the heir before the heir dies, in terms of Islamic law and
positive law. Supervised by Dr. H. Roza'i Akbar, S. Ag, MH and Denny

Febriansyah, M. Liit. Issues of inheritance and grants are still the cause of
disputes in the community, this is possible because they do not understand in
depth about inheritance. One example that often causes disputes is the issue of
inheritance. Disputes occur because the death of someone who leaves inheritance
results in mutual disputes among the heirs.

This research is a type of library research. The technique of collecting data


is by collecting relevant and accurate books or references and studying to obtain
data or conclusions related to research. The approach method used is a conceptual
approach, an analytical approach and a comparison approach.

The results of this study are based on civil law, a grantee who receives the
grant directly from his parents then the receipt is calculated as an inheritance later,
civil law does not prevent him from receiving an inheritance. However, the
recipient of the grant is considered to have received an inheritance. the results of
receiving grants from parents, are counted as inheritance so that later he can
receive an inheritance from his parents when his parents die, in the perspective of
Islamic jurisprudence and KHI it can be counted as inheritance.

vi
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang,

yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehinga

penulisan skripsi yang berjudul Kedudukan Surat Hibah Yang Di Keluarkan Oleh

Pewaris Kepada Ahli Waris Sebelum Pewaris Meninggal Dunia, Ditinjau Dari

Hukum Islam Dan Hukum Positif dapat terselesaikan. Tidak lupa sholawat serta

salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau junjungan kita Nabi Agung

Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, tabi’in dan orang mukmin yang

senantiasa mengikuti jejak dan ajarannya.

Penulis menyampaikan terima kasih atas jasa semua pihak yang telah

memberikan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan dan saran-saran dengan

penuh rasa ikhlas sebagai sesuatu yang sangat berguna bagi penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Allah SWT dan Rasulullah Nabi Muhammad SAW dengan pujian dan

sholawat sentiasa tercurah.

2. Orang tua Tercinta Ayahanda (Alm) Ruslan Abdul Gani dan Ibunda Sri

Lestari.

3. Adeku Fadhilah Samiyah terima kasih atas dukungan dan do’a yang telah

diberikan.

vii
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

4. Bapak Dr. H. Muhammad Rizal Akbar, S.Si, M. Phil selaku Ketua Yayasan

Institut Agama Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai.

5. Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, S.Ag, MH, selaku Rektor Institut Agama Islam

(IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai, sekaligus selaku dosen pembimbing I yang

banyak memberikan bimbingan, motivasi dan meluangkan waktu,tenaga dan

pikiran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Neneng Desi Susanti,MH, selaku Dekan Fakultas Syariah Institut

Agama Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai. Bapak Khairul Azmi, ME,

selaku Wakil Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam (IAI) Tafaqquh

Fiddin Dumai.

7. Bapak Denny Febriansyah, M.Litt, selaku Ketua Prodi Ahwal Al

Syakhsiyyah Institut Agama Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai, sekaligus

dosen pembimbing II yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan

semangat dan bersedia meluangkan waktu tenaga dan pikiran untuk

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Seluruh dewan penguji Seminar Proposal yang telah memberikan arahan dan

masukan dalam proses pengambilan data skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah IAI Tafaqquh Fiddin Dumai, yang telah

mendidik, membimbing, mengajarkan dan mencurahkan ilmu-ilmunya

kepada penulis. Semoga Allah melipatgandakan pahala amal kebaikan

mereka. Aamiin.

10. Dosen, Pegawai (P2T) dan Seluruh Staf akademika di lingkungan Institut

Agama Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai.

viii
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

11. Teman-teman Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah IAITF DUMAI

Angkatan 2017, yang telah mewarnai perjalanan hidupku selama kuliah.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena keterbatasan

ruang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

Pada akhirnya penulis menyadari akan kekurangan yang ada pada skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan

pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Robbal Alaamiin.

Dumai, 22 Juni 2021


Penulis

Fadiyah Syfa
0201.17.0002

ix
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI...........................................................i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI............................................................ii

HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................iii

HALAMAN MOTO ............................................................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................v

HALAMAN ABSTRAK......................................................................................vi

HALAMAN ABSTRACT...................................................................................vii

KATA PENGANTAR........................................................................................viii

DAFTAR ISI........................................................................................................xi

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1


1.2 Permasalahan..................................................................................................7
1.2.1 Identifikasi Masalah..............................................................................7
1.2.2 Rumusan Masalah.................................................................................7
1.2.3 Batasan Masalah....................................................................................8
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitan....................................................................8
1.3.1 Tujuan Penelitian...................................................................................8
1.3.2 Kegunaan Penelitian..............................................................................8

1.4 Penelitian yang Relavan .................................................................................9

1.5 Penegasan Istilah.............................................................................................11

1.6 Sistematikan Pembahasan...............................................................................12

x
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

BAB II KAJIAN TEORITIS..............................................................................14

2.1 Warisan ..........................................................................................................14


2.1.1 Pengertian Warisan................................................................................14
2.1.2 Sebab-sebab adanya Hak Kewarisan Dalam Islam ..............................15
2.1.3 Sebab-sebab Hilangnya Kewarisan dalam Islam..................................16
2.1.4 Rukun dan Syarat Pewaris ....................................................................17
2.1.5 Sebab Mewarisi Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata........17
2.1.6 Ashhabul Furudh....................................................................................19
2.1.7 Warisan dalam Hukum Positif dan KHI ...............................................19
2.2 Hibah..............................................................................................................22
2.2.1 Pengertian Hibah...................................................................................22
2.2.2 Dalil Hibah............................................................................................23
2.2.3 Bentuk-bentuk Hibah............................................................................24
2.2.4 Rukun dan Syarat Hibah .......................................................................24
2.2.5 Hibah Menurut Berbagai Perspektif Hukum.........................................25
BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian................................................................................................28


3.2 Metode Pendekatan........................................................................................29
3.3 Sumber Data...................................................................................................29
3.4 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................30
3.5 Analisis Data..................................................................................................30

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Kedudukan Surat Hibah Dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum
Islam...............................................................................................................32
4.2 Kedudukan Surat Hibah Dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum
Positif.............................................................................................................39
4.3 Pelaksanaan Surat Hibah Dalam Pembagian Harta Warisan.........................42
4.4 Analisa Penulis...............................................................................................47
BAB V PENUTUP

xi
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM TAFFAQUH FIDDIN DUMAI

Jalan Utama Karya No. 3 Bukit Batrem II Kota Dumai – Riau, 28815
Telp. 0765-4300058 Website, http://www.iaifdumai.ac.id, e-mail: iaitfdumai01@gmail.com

5.1 Kesimpulan.....................................................................................................52
5.2 Saran...............................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Permasalahan waris dan hibah masih menjadi penyebab timbulnya

sengketa di masyarakat, hal ini memungkinkan terjadi karena mereka belum

memahami tentang waris secara mendalam. Terkadang permasalahan waris

dan hibah ini dipandang kurang begitu penting dalam kaidah keilmuan,

mengingat masalah itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dalam

kehidupan.

Salah satu contoh yang sering menimbulkan terjadinya perselisihan

adalah masalah harta warisan. Perselisihan terjadi karena kematian seseorang

yang meninggalkan harta warisan berakibat timbulnya saling sengketa di

kalangan ahli waris.

Terkadang permasalahan waris dan hibah ini dipandang kurang begitu

penting dalam kaidah keilmuan, mengingat masalah itu dianggap sebagai

sesuatu yang lumrah dalam kehidupan.Tetapi begitu timbul sengketa

dimasyarakat akan hal itu, mereka tidak tahu cara penyelesaiannya secara

damai, sehingga sengketa tersebut menjadi sengketa hukum yang dibawa ke

ranah gugatan di pengadilan. Maksud diatas sedikit mengutip dari hadis Nabi

Muhammad SAW .

َ ‫ َوتَ َعلَّ ُموا ْالفَ َراِئ‬، ‫اس‬


َ َّ‫ض َو َعلِّ ُموْ هُ الن‬
‫اس‬ َ َّ‫ « تَ َعلَّ ُموا ْالقُرْ آنَ َو َعلِّ ُموْ هُ الن‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ قَا َل َر َسوْ ُل هللا‬،

1
2

ْ ‫فَِإن ِّي ا ْم ُرٌؤ َم ْقبُوْ ضٌ َوِإ َّن ْال ِع ْل َم َسيُ ْقبَضُ َوت‬
َ ‫َظهَ ُر ْالفِتَنُ َحتَّى يَ ْختَلِفَ ااْل ِ ْثنَا ِن فِي ْالفَ ِر ْي‬
‫ض ِة اَل يَ ِجدَا ِن َم ْن‬

ُ‫ص ِح ْي ُح اِإْل ْسنَا ِد َول َم ْي ُْخ ِر َجه‬


َ ‫ْث‬ ِ ‫يَ ْق‬
ٌ ‫ض ْي بِهَا » « هَ َذا َح ِدي‬

Artinya :
“Dari ibnu Mas’ud ra. Berkata: telah bersabda Rasululloh SAW:
“Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah
ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang
yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan
tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan,
mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan
(menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka." (HR. Bukhori
dan Muslim)

Pemahaman masyarakat terhadap hubungan hibah dan waris disini

sering menimbulkan perbedaan pendapat, perbedaan tersebut kemudian yang

akhirnya menjadikan suatu sengketa. Sebaik-baik penyelesaian sengketa dalam

suatu permasalahan waris adalah dilakukan dengan cara perdamaian.

‫َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ َمٓا اَ ْم َوالُ ُك ْم َواَوْ اَل ُد ُك ْم فِ ْتنَةٌ ۙ َّواَ َّن هّٰللا َ ِع ْند ٗ َٓه اَجْ ٌر َع ِظ ْي ٌم‬

Artinya :
Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. (Q.S.Al-
Anfal:28)

Makna dari surah diatas adalah Salah satu bentuk motivasi

mengkhianati amanat Allah dan RasulNya adalah cinta kepada harta dan anak

yang berlebihan. Maka pada ayat ini Allah menyatakan, “Dan ketahuilah

bahwa hartamu yang merupakan titipan Allah kepadamu dan anak-anakmu

yang merupakan anugerah Allah itu hanyalah sebagai cobaan. Maka, janganlah

berlebihan dalam mencintai harta dan anak melebihi cinta pada Allah. Cinta

harta dan anak yang berlebihan membuat seseorang enggan memenuhi

panggilan Allah dan Rasul-Nya karena takut atau kikir, sebab panggilan
3

tersebut menuntut tanggung jawab dan pengorbanan. Dan ketahuilah,

sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar, jauh lebih besar dari pada

harta dunia dan anak keturunan.”

Ketentuan dalam pembagian harta warisan mengenai siapa saja yang

berhak menerima harta warisan dan berapa kadarnya telah diatur secara rapi

dalam ilmu faraid Masalah kewarisan sendiri sebagai bidang umum dalam

masalah hibah diatur pada Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a yang

bunyinya hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa

yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing

sedangkan mengapa terkait dengan hibah karena ada hubungan pemberian dari

seseorang (si pemberi) kepada orang lain.1

Pada saat pemberi hibah itu meninggal maka posisi pemberi hibah

menjadi pewaris. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur masalah

waris yang artinya adalah peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh

seorang pewaris dengan segala akibatnya bagi ahli waris. Ayat yg mengatur

tentang warisan Q.S An-nisa Ayat 11.

َ ْ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اُأْل ْنثَيَي ِْن ۚ فَِإ ْن ُك َّن نِ َسا ًء فَو‬


‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما‬ َّ ِ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأوْ اَل ِد ُك ْم ۖ ل‬
ِ ‫يُو‬

ِ ‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ فُ ۚ َوَأِلبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو‬


ُ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ ِإ ْن َكانَ لَه‬ ْ ‫تَ َركَ ۖ َوِإ ْن َكان‬

‫ث ۚ فَِإ ْن َكانَ لَهُ ِإ ْخ َوةٌ فَُأِل ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد‬


ُ ُ‫َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ َأبَ َواهُ فَُأِل ِّم ِه الثُّل‬

1
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Ctk. Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014), hlm 25
4

َ ‫ُوصي بِهَا َأوْ َد ْي ٍن ۗ آبَاُؤ ُك ْ¬م َوَأ ْبنَاُؤ ُك ْ¬م اَل تَ ْدرُونَ َأيُّهُ ْم َأ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِر‬
ۗ ِ ‫يضةً ِمنَ هَّللا‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي‬
ِ ‫َو‬

‫ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكيم‬b

Artinya :

‘’Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
yang maha mengetahui ,maha bijaksana.’’ (QS. An-Nisa : 11)

Waris dan hibah sendiri semuanya sama-sama membicarakan tentang

pengalihan harta, dimana yang satunya dilakukan saat masih hidup (hibah) dan

satunya dialihkan saat seseorang telah meninggal, namun semua kajian itu

sama yaitu tentang pengalihan harta.

Yang menjadi kajian penulis adalah bagaimana, bila seseorang yang

telah menerima hibah dari orang tuanya, lalu ketika orang tua itu meninggal

apakah si penerima hibah tersebut hendaknya menerima harta warisan lagi.

Berdasarkan uraian diatas penulis akan menggambarkan kajian tersebut dengan

sebuah kasus yang terjadi perselisihan paham dalam kajian hibah dan

waris.

Perselisihan paham antara hibah dan waris terjadi karena pemahaman

dari para ahli waris yang dahulu pernah mendapatkan hibah rumah
5

tinggal dari orang tuanya jauh sebelum orang tuanya meninggal. Setelah

itu orang tuanya meninggal yaitu bapak H.K Sumarman pada 1 April

2000, mereka meninggalkan 6 orang ahli waris termasuk 2 diantaranya

yaitu si penerima hibah, yakni mereka anak pertama dan anak kelima. Ahli

waris dari pewaris adalah 1 istri dan 6 anak, yaitu adalah dan bagian

hartanya:

a. Sanaiyah (istri) mendapatkan tanah seluas 2554 m2.

b. Yusuf Hanafiah mendapatkan rumah dan tanah dengan luas 191 m2

dan sudah dihibahkan semasa H.K sunarman saat masih hidup.

c. Eni Hartini mendapatkan tanah dengan luas 500 m2.

d. Yusuf Effendi mendapatkan tanah dengan luas 500 m2.

e. Syaiful Anwar mendapatkan tanah seluas 500 m2 dan hibah rumah

yang ditinggali pewaris semasa hidupnya.

f. Wiwi Iriani mendapatkan tanah dengan luas 500 m2.

g. Muhammad Syufri mendapatkan tanah seluas 500 m2.

Itu semua adalah bagian-bagian dari pembagian warisan setelah

H.K Sunarman meninggal pada tahun 2000 dengan melalui musyawarah

mufakat. Pembagian tersebut belum dilakukan proses turun waris hingga

pada tahun 2007 istri dari pewaris meninggal dunia. Pada tahun 2007

istri pewaris (Ny. Sanaiyah) meninggal dunia dan disusul meninggalnya

anak keempat (Syaiful Anwar). Dengan meninggalnya mereka maka,

pembagian warisan yang telah ditetapkan tersebut dilakukan musyawarah

ulang yang dilakukan oleh ahli waris yaitu anak pertama, kedua, ketiga,
6

kelima dan keenam. Dari musyawarah tertanggal 1 November 2007 itu

ditentukan bahwa bagian dari Ny.Sanaiyah berupa tanah 2554 M2

dijadikan harta warisan Ny.Sanaiyah. Kebetulan pada waktu

ditentukan/musyawarah tanah tersebut belum bersertifikat atas nama Ny.

Sanaiyah artinya, tanah peninggalan tersebut harus dilalui proses turun

waris dan dibagi kepada 5 orang ahli waris. Hal tersebut dituangkan dalam

surat keterangan waris yang dibuat oleh para ahli waris yaitu anak

pertama, kedua, ketiga, kelima dan keenam.

Hingga pada tahun 2016 tanah itu hendak diurus pembagiannya sesuai

dengan keterangan ahli waris, ternyata tanah seluas 2554 m2

peninggalan Ny.Sanaiyah telah bersertifikat atas nama anak kedua, ketiga,

dan keenam. Hal tersebut diketahui setelah ada berita bahwa tanah tersebut

hendak dijual, dan diketahui penjualnya adalah anak kedua, ketiga dan

keenam. Terhadap kebenaran tanah tersebut bersertifikat telah dikonfirmasi

kepada pihak Badan Pertanahan Nasional dan dinyatakan benar.

Anak pertama dan anak kelima menanyakan perihal kepada

mereka ahli waris yang hendak menjual tanah dari Ny.Sanaiyah yaitu

anak kedua, ketiga dan keenam. Alasan yang diberikan adalah anak pertama

dan kelima telah menerima hibah berupa rumah dari orang tua semasa Tn.

H.K Sumarman dan Ny.Sanaiyah masih hidup sehingga mereka beralasan

keduanya tidak berhak atas tanah warisan dari ibunya. Hal itu didasari

bahwa seseorang yang telah menerima hibah tidak mempunyai hak lagi

terhadap warisan.
7

Penulis tertarik mengkaji secara mendalam , yaitu dengan melakukan

penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul : KEDUDUKAN

SURAT HIBAH YANG DIKELUARKAN OLEH PEWARIS KEPADA

AHLI WARIS SEBELUM PEWARIS MENINGGAL DUNIA,

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

1.2 Permasalahan

1.2.1 Identifikasi Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan

diatas maka permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. kedudukan surat hibah dalam pembagian harta warisan menurut

hukum Islam.

2. Kedudukan Surat Hibah dalam Pembagian Harta Warisan Menurut

Hukum Positif.

3. Pelaksanaan Surat Hibah dalam Pembagian Harta Warisan.

1.2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan Surat Hibah dalam Pembagian Harta

Warisan Menurut Hukum Islam?

2. Bagaimana Kedudukan Surat Hibah dalam Pembagian Harta

Warisan Menurut Hukum Positif?


8

3. Bagaimana Pelaksanaan Surat Hibah dalam Pembagian Harta

Warisan?

1.2.3 Batasan Masalah

Dalam penulisan proposal ini, penulis hanya membatasinya

hanya pada pembahasan kedudukan surat hibah yang di keluarkan oleh

pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal dunia, menurut

hukum islam dan hukum positif, Agar penelitian ini lebih terarah pada

sasaran yang diinginkan.

1.3 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan surat hibah dalam

pembagian harta warisan menurut hukum islam.

2. Untuk mengetahui kedudukan surat hibah dalam pembagian harta

warisan menurut hukum positif.

3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan surat hibah dalam

pembagian harta warisan.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan acuan atau pendorong bagi peneliti yang lain

apabila ingin Meneliti tema yang sama namun dengan fokus

penelitian yang berbeda.

2. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program studi

strata satu (S1) di Institut Agama Islam Tafaquh Fiddin Dumai .


9

3. Dari sisi ilmiah, penyusunan skripsi ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan

dan memperkaya khasanah pengetahuan, terutama pengetahuan

yang berkaitan dengan kewarisan dan hibah.

1.4 Penelitian Yang Relevan

Menurut pengetahuan penulis setelah melakukan riset di perpustakaan

yang ada, terutama perpustakaan IAI Tafaqquh Fiddin Dumai Riau. Penulis

belum menemukan penelitian khusus seperti yang penulis teliti. Namun

penulis menemukan karya ilmiah lainnya di Google terkait dengan penelitian

ini yang mengangkat tema sama, yaitu:

1. Skripsi Nurjannah, UIN Auluddin Makasar, 2012 dengan judul

PEMBAGIAN HARTA SEBELUM ORANG TUA MENINGGAL DUNIA

PADA MASYARAKAT ADAT BULUKUMBA DITINJAU DARI HUKUM

ISLAM (STUDI KASUS DI KELURAHAN.CAILE KECAMATAN. UJUNG

BULU KABUPATEN.BULUKUMBA). Hasil analisis dari penelitian ini

adalah Hasil penelitian menunjukan bahwa Pembagian warisan sebelum

pewaris meninggal dunia pada masyarakat adat Bulukumba ditinjau dari

hukum Islam adalah merupakan pemberian hibah karena dalam hukum

Islam kewarisan terjadi karena adanya asas kematian. Dan alas an orang

tua membagikan warisan semasa hidupnya adalah sebagai bentuk kasih

sayang orang tua kepada anaknya dan merupakan modal awal untuk

kehidupan anaknya di masa depan.


10

2. Jurnal dari Umar Haris Sanjaya, Muhamad Yusuf Suprapto, Universitas

Islam Indonesia,2017 dengan judul KEDUDUKAN AHLI WARIS YANG

PENERIMA HIBAH DARI ORANG TUA TERHADAP AHLI WARIS

LAINNYA PADA PROSES PEMBAGIAN WARIS. Penelitian ini

memfokuskan pada penjelasan tentang keberadaan dari ahli waris yang

telah mendapatkan hibah dari orang tua semasa hidupnya, sehingga ahli

waris yang lainnya dan belum menerima hibah menganggap penerima

hibah tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan lagi dari orang

tuanya. Penelitian ini memuat rumusan masalah yang bagaimana

kedudukan ahli waris penerima Hibah terhadap ahli waris lainnya dalam

harta warisan pada perspektif hukum.

Dari beberapa penelitian yang dipaparkan oleh peneliti, maka

pembahasan yang akan di bahas dalam karya ilmiah ini berbeda dengan

penelitian yang sudah ada sebelumnya. Sebab dalam penelitian yang akan

dibahas ialah mengenai KEDUDUKAN SURAT HIBAH YANG

DIKELUARKAN OLEH PEWARIS KEPADA AHLI WARIS

SEBELUM PEWARIS MENINGGAL DUNIA, DITINJAU DARI

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.


11

1.5 Penegasan Istilah

1. Kedudukan : Status, baik untuk sesorang, tempat, maupun benda

2. Surat Hibah : Surat hibah dari pemberi hibah akan memberikan

kejelasan terhadap pembagian atau pemberian harta

kepada penerima hibah. Meskipun sama-sama berisi

penjelasan mengenai pemberian harta kepada pihak lain,

isi surat hibah berbeda dengan surat wasiat.

3. Hibah : Pemberian yang dilakukan secara sukarela dengan

mengalihkan hak atas sesuatu kepada pihak lain,

contohnya hak kepemilikan suatu barang.

4. Pewaris : Orang yang mewariskan harta peninggalannya kepada ahli

warisnya atau orang yang meninggal dunia dan

meninggalkan harta warisan yang dalam kitab-kitab fiqh

biasa disebut dengan muwarrits.

5. Ahli Waris : Orang yang berhak mendapat bagian dari harta orang yang

meninggal.

6. Hukum Islam : Sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah

SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf

(orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui

dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya.

7. Hukum Positif : Hukum yang dibuat oleh manusia yang mewajibkan atau

menetapkan suatu tindakan.


12

1.6 Sistematika Pembahasan

Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana

dalam setiap bab terdapat sub-sub bab permasalahan yaitu :

BAB I PENDAHULUAN, 1.1 Latar belakang masalah, 1.2

Permasalahan, 1.2.1 Identifikasi Masalah, 1.2.2 Rumusan masalah, 1.2.3

Batasan Masalah, 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian, 1.3.1 Tujuan

Penelitian, 1.3.2 Kegunaan Peelitian, 1.4 Penelitian yang relavan, 1.5

Penegasan istilah, 1.6 Sistematika Pembahasan.

BAB II KAJIAN TEORITIS, 2.1 Warisan, 2.1.1 Pengertian Warisan,

2.1.2 Sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam islam, 2.1.3 Sebab-sebab

hilangnya kewarisan dalam islam, 2.1.4 Rukun dan syarat pewaris, 2.1.5

Sebab-sebab mewaris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, 2.1.6

Ashhabul Furudh, 2.1.7 Warisan dalam Hukum Positif dan KHI, 2.2 Hibah,

2.2.1 Pengrtian Hibah, 2.2.2 dalil Hibah 2.2.3 Bentuk Bentuk Hibah, 2.2.4

Rukun dan Syarat Hibah, 2.2.5 Hibah Menurut Berbagai Perspektif Hukum.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN, 3.1 Jenis Penelitian, 3.2

Metode Pendekatan, 3.3 Sumber Data, 3.4 Teknik Pengumpulan Data, 3.5

Teknik Analisa Data,

Kemudian masuk ke BAB IV yaitu menjawab rumusan masalah dari

bab I sebelumnya.

BAB IV PEMBAHASAN, 4.1 Kedudukan Surat Hibah Dalam

Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam, 4.2 Kedudukan Surat

Hibah Dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Positif, 4.3


13

Pelaksanaan surat Hibah dalam Pembagian Harta Warisan.4.4 Analisa

Penulis.

BAB V PENUTUP, 5.1 Kesimpulan, 5.2 Saran, yang terakhir untuk

melaporkan laporan atau bukti-bukti yang kita isi dengan daftar pustaka,

DAFTAR PUSTAKA.
BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Warisan

2.1.1 Pengertian Warisan

Kata waris berasal dari bahasa Arab Miirats. Bentuk mashdar dari

kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Arti secara bahasa adalah

berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain atau dari suatu kaum

kepada kaum yang lain. Sesuatu itu lebih umum daripada sekedar harta

yang meliputi ilmu, kemuliaan, dan sebagainya. Ilmu waris adalah suatu

ilmu yang mengajarkan pembagian harta peninggalan dari orang yang

meninggal kepada keluarganya yang ditinggalkan. Sedangkan faraidh yang

berarti penentuan, adalah penentuan Pemberian harta peninggalan menurut

agama Islam kepada semua orang yang berhak menerimanya, Ilmu yang

mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan

istilah faraid. Kata faraid merupakan bentuk jamak dari faridah, yang

diartikan oleh para ulama semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian

yang telah ditentukan kadarnya.2

‫ق ۡاثنَت َۡي ِن‬ َّ ِ‫ص ۡي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ۡۤى اَ ۡواَل ِد ُكمۡ‌ ۖ ل‬


‌ِ ‫لذ َك ِر ِم ۡث ُل َحظِّ ااۡل ُ ۡنثَيَ ۡي‬
َ ‫ن ۚ فَا ِ ۡن ُك َّن نِ َسٓا ًء فَ ۡو‬ ِ ‫ي ُۡو‬

‫ف ؕ َواِل َ بَ َو ۡي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ۡنهُ َما‬ ِ ‫ك ۚ َواِ ۡن َكان َۡت َو‬
ۡ ِّ‫اح َدةً فَلَهَا الن‬
‌ُ ‫ص‬ ‌َ ‫فَلَه َُّن ثُلُثَا َما ت ََر‬

‌ُ ُ‫ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ اِ ۡن َكانَ لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَا ِ ۡن لَّمۡ يَ ُك ۡن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَهٗۤ اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
‫ث ؕ فَا ِ ۡن‬

2
Beni Ahmad Saebani,Fiqih Mawaris (Bandung:Pustaka Setia,2009)hlm 13

14
15

‌ٍ ‫ص ۡى بِهَ ۤا اَ ۡو د َۡي‬
‫ن ؕ ٰابَٓاُؤ ُكمۡ َواَ ۡبنَٓاُؤ ُكمۡ ۚ اَل‬ ِ ‫َكانَ لَهٗۤ اِ ۡخ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ِم ۡۢن بَ ۡع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّۡو‬

‫ضةً ِّمنَ هّٰللا ِ‌ؕ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِ ۡي ًما َح ِك ۡي ًما‬
َ ‫ت َۡدر ُۡونَ اَيُّهُمۡ اَ ۡق َربُ لَـ ُكمۡ ن َۡف ًعا‌ ؕ فَ ِر ۡي‬
Artinya :‘’Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah yang maha
mengetahui ,maha bijaksana.’’ (QS. An-Nisa : 11)

2.1.2 Sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam Islam

1. Hubungan Kerabat

Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab

antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi

disebabkan kelahiran, atau yang ada pertalian darah dengan para ahli

waris dengan si mayit.

Oleh sebab itu semua kerabat yang disebabkan hubungan darah

baik sebagai seperti ayah atau kakek maupun ia sebagai furu’ seperti

anak atau cucu serta dengan cara menyamping seperti saudara,

semuanya mereka dapat mewarisi, disebabkan adanya hubungan nasab

dengan yang meninggal.


16

2. Hubungan Perkawinan

Perkawinan adalah perkawinan yang sah menurut syariat Islam,

dengan adanya suatu ikatan perkawinan merupakan ikatan yang dapat

mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang wanita dengan

suatu rumah tangga, selama perkawinan itu masih utuh dipandang

sebagai salah satu sebab mewarisi, baik setelah terjadi akad nikah

maka terjadilah waris mewarisi diantara mereka, apabila salah seorang

meninggal dunia.

2.1.3 Sebab – sebab hilangnya kewarisan dalam Islam

Menurut hukum pewarisan Islam, sebab-sebab hilangnya hak

untuk mendapatkan harta warisan ada dua, yaitu:

1. Perbedaan Agama

Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak

kewarisan sebagai mana ditegaskan bahwa seorang muslim tidak

menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim

tidak menerima warisan dari seorang muslim.3

2. Pembunuhan Pewaris

Pembunuhan menghalangi seorang untuk mendapatkan warisan

dari waris yang dibunuhnya. Seorang yang membunuh pewarisnya

tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu.

3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2004), hlm 218
17

2.1.4 Rukun dan Syarat Pewaris

Dalam pembagian warisan ini hendaklah menepati rukun-rukun

sebagai berikut:

1. Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan

harta peninggalan

2. Waris, yaitu orang yang berhak mewarisi atau menerima harta

peninggalan dari muwarits

3. Mauruts, yaitu benda yang ditinggalkan oleh muwarits yang akan

diterima oleh waris

2.1.5 Sebab –sebab mewaris menurut (Kitab Undang-undang hukum


perdata)

1. Menurut ketentuan Undang-undang

Orang-orang yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang

diatur dalam Undang-undang. untuk menetapkan itu, para anggota

keluarga si peninggal dibagi dalam berbagai golongan. Jika terdapat

orang-orang dari golongan pertama maka itulah yang bersama-sama

mewarisi semua harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia.

sedangkan anggota keluarga lainnya tidak mendapat bagian apapun jika

tidak ada anggota dari golongan pertama tadi, barulah mereka yang

tergolong kedalam pihak kedua tampil kemuka sebagai ahli waris.

kedua, barulah orang dari golongan /pihak ketiga tampil.

Tampil kedalam gologan pertama, adalah anak-anak beserta

turunannya dalam garis lenceng kebawah dengan tidak membedakan

laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan urutan


18

kelahiran mereka itu mengecualikan lain-lain anggota dalam garis ke

atas dan garis kesamping, meskipun mungkin diantara anggota-anggota

keluarganya yang belakangan ini, ada yang derajatnya lebih dekat

dengan si meninggal.

2. Karena ditunjukkan dalam surat wasiat (testament)

Surat wasiat (testament) adalah suatu pernyataan dari seseorang

tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Pada asalnya

suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja dan

disetiap waktu ditarik kembali oleh orang yang membuatnya dengan

demikian, dapat dimengerti bahwa tidak segala hal yang dikehendaki

oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga

diperbolehkan atau dapat dilaksanakan.

Pasal 874 BW yang menerangkan tentang arti wasiat ,memang

sudah mengandung suatu syarat. Bahwa isi pernyataan itu tidak boleh

bertentangan dengan undang-udang.4

Pasal 875 BW kitab undang-undang hukum perdata memberikan

defenisi wasiat wasiat. Pasal itu berbunyi : ‘’adapun yang dinamakan

wasiat ialah suatu akta yang membuat pernyataan seseorang tentang apa

yang dikehendakinya akan menjadi setelah ia meninggal dunia, dan

olehnya dapat dicabut kembali lagi.

Ketiga rukun diatas berkaitan antara satu dan yang lainnya.

Ketiganya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain,

4
Ibid, hlm 230
19

pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu di anatara ketiga

unsur di atas tidak ada

2.1.6 Ashhabul furudh.

Ashhabul Furudh sesuai dengan namanya, berarti adalah orang

yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang

punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh

ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.

Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, sebagai

contoh : Seseorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan

mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya

keturunan, atau mendapat ¼ bagian bila suaminya tidak punya

keturunan.

Begitu juga seseorang suami yang ditinggal mati istrinya sudah di

pastikan besar harta yang akan diterimanya yaitu. ½ atau ¼, tergantung

keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak maka suami

mendapatkan ¼ dari harta istri. Jika istri tidak mempunyai anak, suami

mendapat ½ dari harta istri. Intinya ashabul furudh adalah para ahli

waris yang sudah punya bagian tertentu dari harta muwarristnya.

2.1.7 Warisan dalam hukum positif dan KHI

Mengenai aturan hukum pembagian harta warisan orang tua, di

Indonesia memiliki tiga aturan yang berbeda, yakni berdasarkan

pertama, Hukum Perdata Barat dimana pemberlakuannya adalah bagi

golongan Tionghoa dan Timur Asing; Kedua, Hukum Adat yang


20

bersumber dari masing-masing daerah Adat Indonesia; Ketiga, Hukum

Islam yang tentunya berlaku pada orang Indonesia beragama Islam.

1. Hak Mewarisi Menurut KUH Perdata (BW)

Di indonesia. Saat ini terdapat beraneka ragam sistem hukum

kewarisan yang berlaku bagi warga negara indonesia. Pertama, sistem

kewarisan perdata barat (Eropa) yang tertuang dalam BW atau KUH

Perdata BW berlaku bagi :

a) Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan degan Eropa;

b) Orang Timur Asing Tionghoa;

c) Orang timur asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang

menundukkan diri kepada hukum Eropa. Kedua, Sistem hukum

adat yang beraneka ragam sistemnya, yang dipengaruhi oleh bentuk

etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat. Hukum adat, pada

beberapa daerah masih sangat kuat diterapkan oleh masyarakatnya.

Ketiga, sistem hukum kewarisan Islam yang juga terdiri atas

berbagai macam aliran pemahaman.5

Dalam KUH Perdata, prinsip dari pewarisan dapat dilihat pada

Pasal 830 dan Pasal 832 KUH Perdata, yakni bahwa Harta Waris baru

dapat diwariskan kepada pihak lain apabila terjadinya suatu kematian.

Selain itu, Ahli Waris harus memiliki hubungan darah dengan pewaris.

Sehingga, yang memiliki hak waris terbatas pada orang-orang yang

mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik keturunan langsung

5
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan
Kewarisan Menurut BW di Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 2
21

maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari

saudaranya. Prinsip pembagiannya pun diutamakan golongan pertama,

yakni suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya, dapat

dilihat pada Pasal 852 KUH Perdata.

Jika golongan pertama tidak ada, maka turun ke golongan

kedua, yakni orang tua dan saudara kandung pewaris. Jika golongan

kedua tidak ada, maka turun ke golongan ketiga, yakni Keluarga dalam

garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris. Terakhir, jika

golongan ketiga juga tidak ada, maka turun ke golongan keempat,

yakni Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari

pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung

dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya,

sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

2. Hak Mewarisi menurut KHI

Hukum Waris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab II

dengan judul Hukum Kewarisan. Hukum waris Islam diatur di dalam

Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, Hukum

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa

yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Penggolongan Kelompok-kelompok ahli waris di dalam hukum

Islam dibagi dalam:


22

1. Menurut hubungan darah:

1) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-

laki, paman dan kakek;

2) Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek.

2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat

warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dalam hukum

waris Islam, laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan

mendapat satu bagian dari harta warisan. Sedangkan besarnya

bagian masing-masing ahli waris dapat dilihat di dalam Pasal 176-

185 Kompilasi Hukum Islam.

2.2 Hibah

2.2.1 Pengertian Hibah

Hibah menurut bahasa adalah menyedekahkan atau memberi

sesuatu, baik bentuk harta maupun selain itu kepada orang lain. Menurut

syar’i hibah adalah suatu akad yang mengakibatkan berpindahnya

kepemilikan harta dari seseorang kepada orang lain tanpa balasan, dan

dilakukan selama masi hidup.6

Pihak penerima tidak diwajibkan memberikan imbalan jasa atas

hadiah yang diterima sehingga tidak ada ketetapan apa pun yang mengikat

setelah harta atau barang berharga diserah terima. Dalam pandangan Islam,

6
Siah Khosyi’ah, Wakaf Hibah Perspektif Ulama Fiqih dan Perkembangannya di
Indonesia,(Bandung:Pustaka Setia,2010) hlm 239
23

hibah adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada sesama umat

sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu:

‫تَ َهاد ُْوا ت ََحابَ ْوا‬

Artinya :
Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai (HR. Al-
Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada

orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa

harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.

2.2.2 Dalil Hibah

Hadist dari Abu Hurairah r.a

َ ‫ فََأ‬,ِ‫سبِ ْي ِل هللا‬
ُ‫ فََآ َردْت‬,ُ‫ضا َعهُ الَّ ِذي َكانَ ِع ْن َده‬ ٍ ‫ َح َم ْلتُ َعلَى فَ َر‬:‫ض َي ا هللُ َع ْنهُ قَا َل‬
َ ‫س فِى‬ ِ ‫عَنْ ُع َم َر َر‬

ْ َ‫ الَ ت‬:‫سلّ َم فَقَا َل‬


‫شتَ ِر ِه َوالَ تَ ُع ْد‬ َ ‫سَآ ْلتُ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو‬ َ َ ‫ ف‬,‫ص‬
ٍ ‫ فَظَنَ ْنتُ َآنَّهُ يَبِ ْي ُعهُ بِ ُر ْخ‬,ُ‫شتَ ِريَه‬
ْ ‫َآنْ َآ‬

‫ص َدقَتِكَ َوِآنْ َآ ْعطَا َكهُ بِ ِد ْر ُه ْم فَِإ نَّ ا ْل َعاِئ َد فِي ِهبَتِ ِه َكا ا ْل َعا ِئ ِد فِي قَيِْئ ِه‬
َ ‫فِى‬

Artinya : “Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW telah bersabdah


“sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, pasti
saya akan kabulkan undangan tersebut. Begitu juga kalau sepotong kaki
binatang dihadiahkan kepada saya, tentu akan saya terima”.
(H.R.Bukhari) Dari Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, ‘Aku pernah
memberikan seekor kuda untuk digunakan di jalan Allah, namun orang
yang kuberi kuda itu menelantarkannya. Maka aku hendak membelinya
dan aku menduga dia akan menjual kuda itu dengan harga yang murah.
Maka aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka
beliau menjawab, ‘Janganlah engkau membelinya dan jangan engkau
tarik kembali sedekahmu, meskipun dia menyerahkannya dengan harga
satu dirham, karena orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang
yang menjilat kembali muntahannya.
24

ُ ِ‫سو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَ ْقبَ ُل ا ْل َه ِديَّةَ َويُث‬


.‫ب َعلَ ْي َها‬ ُ ‫ َكنَ َر‬: ‫َوعَنْ عَائشة رضي هللا عنها قالت‬
‫خاري‬
ُّ ُ‫رواه ا ْلب‬

Artinya : “Dan diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw.


selalu menerima hadiah dan membalasnya.” (HR. Al-Bukhari)

ٓ ٰ َ‫ض َواِ َذا ق‬


ُ‫ضى اَ ْم ًرا فَاِنَّ َما يَقُ ْو ُل لَ ٗه ُكنْ فَيَ ُك ْون‬ ِ ۗ ‫ت َوااْل َ ْر‬
ِ ‫سمٰ ٰو‬
َّ ‫بَ ِد ْي ُع ال‬

Artinya : “ Dan berikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-


anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya”
(Q.S Al Baqarah : 117)

2.2.3 Bentuk – bentuk Hibah

1. Hibah Bersyarat

2. Hibah Umri

3. Hibah Rugbi

2.2.4 Rukun dan syarat Hibah

1. Rukun Hibah

Suatu hibah terjadi apabila memenuhi rukun sebagai berikut :

1) Adanya pemberian hibah (al-Wahib)

2) Adanya penerima Hibah (Al-Mauhublahu)

3) Terjadinya Ijab Qabul

4) Adanya barang yang dihibahkan

2. Syarat Hibah

Hibah dinyatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Pemberi hibah harus orang yang sudah dewasa, cakap dalam

melakukan tindakkan hukum.


25

2) Barang yang dihibahkan harus memiliki nilai jelas, tidak terkait

dengan harta pemberian hibah.

3) Penerima hibah adalah orang yang cakap melakukan tidakan

hukum.

4) Di kalangan mazhab Syafi’i ijab qabul merupakan syarat sahnya

suatu hibah.

5) Pada dasarnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya

dengan harta warisan.

6) Hibah dapat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi

yang memenuhi syarat, namun untuk kepastian hukum sebaiknya

pelaksanaannya dilakukan secara tertulis.

2.2.5 Hibah Menurut Berbagai Perspektif Hukum

Kitab Undang-Undang hukum Perdata (selanjutnya disebut

KUHPerdata) menjelaskan hibah pada pasal 1666 yang bunyinya :suatu

perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengancuma-

cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu

benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan

itu, Undang-Undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah

di antara orang-orang yang masih hidup.

Dalam pasal ini dijelaskan bahwa hibah adalah suatu perjanjian

yang dimana itu dilakukan semasa pemberi hibah masih hidup dan itu

dilakukan dengan dasar cuma-cuma ketika diserahkan. Dikatakan Cuma

- cuma karena pemberian hibah ini tidak mungkin dapat dicela oleh
26

keluarga atau orang lain terhadap suatu pemberian, mengingat pemberi

hibah berhak untuk mengelola harta kekayaannya dan leluasa untuk

memberikannya kepada siapapun.7

Hibah sendiri memungkinkan untuk dapat ditarik kembali oleh si

pemberi hibah. Hal ini sesuai dengan KUH perdata pasal 1688:

1. Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi.

2. Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau

membantu melakukan kejahatan lain terhadap penghibah.

3. Penerima hibah menolak memberi nafkah atau tunjangan kepada

penghibah, setelah penghibah jatuh miskin Apabila hibah ditarik

kembali maka hibah yang sudah diberikan itu harus dikembalikan

kepada pemberi hibah.

Tentunya penarikan (pembatalan) hibah ini harus melalui

prosedur di pengadilan sebagai jalan penegakan hukum. Berdasarkan

KUH Perdata pelaksanaan hibah harus melalui prosedur akta otentik.

Artinya proses pemberian hibah harus dibuktikan dengan akta notaris,

bila tidak maka itu menjadi batal. Pasal 1683 berbunyi : “tiada suatu

hibah mengikat penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang

bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang

tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang

yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah

dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah

7
Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Ctk. Ke- 4, Jakarta Raja: Grafindo,
2001), hlm 118
27

diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di

kemudian hari. Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam

surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta

otentik kemudian, yang aslinya harus disimpan, asalkan yang demikian

itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana

penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya akan

berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya”.8

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode

sistematik dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum dan masyarakat dengan cara melakukan penelitian dan

menganalisanya.

8
Raden Soebekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ctk. Ke-34, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004, hlm. 438-439
28

Untuk mencapai hasil yang positif dalam sebuah tujuan, maka metode ini

merupakan salah satu sarana untuk mencapai sebuah target karena salah satu

metode berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu hasil yang memuaskan. Di

samping itu metode merupakan bertindak terhadap sesuatu dari hasil yang

maksimal.9

Adapun dalam skripsi nanti peneliti menggunakan metode sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah kualitatif

deskriptif. Kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang mengambil sumber

data dari buku-buku perpustakaan (library research). Secara definitif, library

research adalah penelitian yang dilakukan di perpustakaan dan peneliti

berhadapan dengan berbagai macam literatur sesuai tujuan dan masalah yang

sedang dipertanyakan.10

Sedangkan makna dari deskriptif adalah menggambarkan apa adanya

suatu tema yang akan dipaparkan. Kemudian dengan cara mengumpulkan

buku-buku atau referensi yang relevan dan akurat, serta membaca dan

mempelajari untuk memperoleh sebuah data atau kesimpulan yang berkaitan

dengan pembahasan tersebut diatas.

Dalam hal ini peneliti meneliti tentang kedudukan surat hibah yang di

keluarkan oleh pewaris kepada ahli waris sebelum meninggal dunia.

3.2 Metode Pendekatan

9
Anton Bakker. Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 10.
10
Masyuri dkk. Metodologi Penelitian (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm. 50
29

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, dalam hukum Islam dan

Hukum Positif untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip hukum, guna

menjawab suatu isu hukum yang dihadapi, maka pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan konsep, pendekatan analisis dan pendekatan perbandingan.

Dalam penelitian hukum ini peneliti bermaksud menjadikan kedudukan

surat hibah yang di keluarkan oleh pewaris kepada ahli waris sebelum

pewaris meninggal sebagai objek konsep yang diteliti dari tinjauan dari

hukum islam dan hukum positif. bagaimana kedudukan surat hibah yang di

keluarkan oleh pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal dalam

hukum islam dan hukum positif.

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini sesuai dengan jenis penggolongannya

ke dalam penelitian perpustakaan (library research), maka sudah dapat

dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah dokumen, yang berupa

data-data yang diperoleh dari perpustakaan melalui penelusuran terhadap

buku-buku literatur, baik yang bersifat primer ataupun yang bersifat sekunder.

1. Sumber Primer

Adapun yang dimaksud dengan sumber primer adalah sumber data yang

langsung memberikan data kepada pengumpul data.

2. Sumber Skuder

Sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,

misalnya melalui orang lain ataupun dokumen.


30

3.4 Teknik Pengumpulan Data

1. Kutipan Langsung, Yaitu peneliti mengutip pendapat atau tulisan orang

secara langsung sesuai dengan aslinya, tanpa berubah.

2. Kutipan tidak langsung, yaitu mengutip pendapat orang lain dengan cara

memformulasikan dalam susunan redaksi yang baru.

Metode pengolahan data nanti teknik yang akan digunakan yaitu:

1. Metode Induktif yaitu, digunakan untuk mengolah data dan fakta yang

bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum.

2. Metode Deduktif yaitu, digunakan untuk mengolah data dan fakta yang

bersifat umum lalu menarik kesimpulan.11

3.5 Teknik Analisa Data

Sedangkan Analisis yang digunakan berupa analisis kualitatif yaitu

analisis data dengan memberikan deskripsi atas temuan-temuan untuk

menjawab rumusan masalah yang diteliti.

Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dimulai

dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari pustaka dan reduksi data, yaitu

data yang diperoleh dari perpustakan yang dirangkum dengan memilih hal-hal

yang pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dipahami, maka dalam

hal ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut :

11
Abd. Kadir Ahmad, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data, Makalah yang disajikan
pada Pelatihan Penelitian di UIN Alauddin, hlm.8.
31

a. Komparatif

Yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisis antara beberapa

pendapat, kemudian diambil suatu pengertian/kesimpulan yang memiliki

faktor-faktor yang ada hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan

dibandingkan antara suatu faktor dengan faktor yang lain.

b. Kualitatif

Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. dalam melaksanakan

analisa, peneliti bergerak diantara tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan yang aktivitasnya berbentuk interaksi dengan

proses siklus.

BAB IV
32

PEMBAHASAN

4.1 Kedudukan Surat Hibah dalam Pembagian Harta Warisan Menurut

Hukum Islam

Berbicara mengenai hibah, Islam memberikan banyak pengertian yang

dapat kita temukan. Kata hibah berasal dari bahasa arab yang secara

etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, juga bisa memberi,12

sedangkan hibah adalah kata benda dalam bentuk yang artinya pemberian.

Menurut bahasa yang dimaksud dengan hibah adalah suatu pemberian

yang lepas dari penggantian dan maksud tertentu. Adapun pengertian hibah

secara istilah adalah suatu akad yang berisi pemberian harta milik seseorang

kepada orang lain di waktu pemberi masih hidup tanpa mempunyai maksud

untuk mendapatkan imbalan.

Apabila, seseorang memberikan hartanya kepada orang lain dengan

maksud untuk memberikan manfaat kepada orang yang diberikan tersebut

akan tetapi, tidak diberikan kepada orang tersebut hak kepemilikan maka

harta yang diberikan oleh pemilik harta kepada orang yang diberikan tersebut

disebut dengan pinjaman. Ada yang menyebutkan perbuatan yang didorong

12
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ctk. Pertama, Jakarta: Raja Grafindo,
2014, hlm. 125
33

dengan niat yang tulus dan tanpa pamrih, kecuali pada tuhan, pemberian

hibah ini dilakukan oleh dari yang mempunyai harta lebih kepada yang

kurang atau yang membutuhkan.

Dasar hibah dapat dikaji dari Al-Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 177

ٓ ٰ َ‫ض َواِ َذا ق‬


‫ضى اَ ْمرًا فَاِنَّ َما يَقُوْ ُل لَهٗ ُك ْن فَيَ ُكوْ ُن‬ ِ ۗ ْ‫ت َوااْل َر‬
ِ ‫بَ ِد ْي ُع السَّمٰ ٰو‬
Artinya : “ Dan berikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya”

hadis Nabi yang dijadikan rujukan hibah diantaranya :

‫ ْال َعا ِئ ُد فِي‬: ‫ال‬ َ ِ‫ َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو َسلَّ َ¬م ق‬ ِ ‫س َر‬ ٍ ‫ع َْن اِ ْب ِن َعبَّا‬
‫ِهبَتِ ِه َكا ْل َعاِئ ِدفِي قَ ْيِئ ِه‬

Artinya: “Dari ibnu Abbas r.a beliau bersabda : Nabi Saw. bersabda “orang
yang menerima kembali pemberiannya (hibah) adalah laksana anjing yang
muntah kemudian dia makan kembali muntahannya itu.”

‫ْط َي ِع ِطيَّةً ثُ َّم يَرْ ِج ُع فِيْها ِإالَ ْال َولِ َد فِ ْي َما‬


ِ ‫ال الَ يَ ِحلُّ ِلل َّر ُج ِل َأ ْن يُع‬
َ َ‫س عن النبي ق‬
ٍ ‫ع َِن اِ ْب ِن ُع َم َر َوا ب ِْن َعبَّا‬
ُ‫ْط ْي َولَ َده‬
ِ ‫يُع‬

Artinya: “Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
Tidak halal bagi seseorang yang telah memberikan sesuatu pemberian
kemudian menariknya kembali, kecuali orang tua yang menarik kembali hibah
yang sudah memberikannya.”

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 211 menegaskan bahwa hibah

dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. 13

Artinya, pemberian-pemberian dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Ketentuan yang seperti ini ideal, tetapi didalam kenyataannya sering

menghadapi kendala, terutama yang berkaitan dengan kapan pemberian itu

dapat di hitungkan sebagai warisan dan kapan pemberian itu tidak

13
Muhammad Saifullah, Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Ctk. Pertama,
(Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 227
34

diperhitungkan sebagai warisan. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini harus

diikuti oleh ketentuan-ketentuan yang lebih rinci agar tidak timbul

persengketaan sebagai akibat ketentuan yang bersifat umum itu.

Tujuannya dari maksud di atas agar tidak adanya sikap orang tua

melebihkan anak kesayangannya dengan anak kandungnnya yang lain

sehingga terhindar dari munculnya sikap iri hati bagi anaknya yang lain dan

terciptanya keadilan bahwa harta tersebut merupakan hak mereka bersama. 14

Nabi Muhammad Saw. mengatakan telah menceritakan kepada kami Utsman

dan Abu Bakar, keduanya anak Abu Syaibah, secara makna mereka berkata;

ٍ ِ‫اويَةَ ع َْن َأبِي َمال‬


‫ك‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ع ُْث َمانُ َوَأبُو بَ ْك ٍر ا ْبنَا َأبِي َش ْيبَةَ ْال َم ْعنَى قَااَل َح َّدثَنَا َأبُو ُم َع‬

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن‬


َ ِ ‫ال قَا َل َرسُو ُ¬ل هَّللا‬ ٍ ‫اَأْل ْش َج ِع ِّي ع َْن ا ْب ِن ُح َدي ٍْر ع َْن اب ِْن َعبَّا‬
َ َ‫س ق‬

َ‫ور َأدْخَ لَهُ هَّللا ُ ْال َجنَّة‬ ُّ ‫َت لَهُ ُأ ْنثَى فَلَ ْم يَِئ ْدهَا َولَ ْم يُ ِه ْنهَا َولَ ْم يُْؤ ثِرْ َولَ َدهُ َعلَ ْيهَا قَا َل يَ ْعنِي‬
َ ‫الذ ُك‬ ْ ‫َكان‬

ُّ ‫َولَ ْم يَ ْذ ُكرْ ع ُْث َمانُ يَ ْعنِي‬


‫الذ ُكو َر‬

Artinya: “telah menceritakan kepada kami Abu Mu’ awiyah dari Abu Malik

Al Asyja’i dari Ibnu Hudair dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa memiliki anak

perempuan (atau saudara perempuan), ia tidak menguburkannya hidup-

hidup, tidak menghinakannya dan tidak melebihkan anak laki-laki diatas

mereka maka Allah akan memasukan dia kedalam surga”. Utsman tidak

menyebutkan lafadz “laki-laki”. H. R. Abu Daud15


14
H.A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2013),Hlm 140
15
Syaikh Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat, Ctk.
Ke-2,(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2008), hlm 120
35

Hukum Perdata Islam di Indonesia mencoba mengambil jalan tengah

bahwa hibah tersebut harus dihitung sebagai warisan. Ini berarti ia boleh saja

menghibahkan sebagian hartanya kepada sebagian anaknya, tetapi harus

diperhitungkan sebagai warisan. Dan apabila ia meninggal dunia maka hibah

tersebut dimasukan dalam bundel warisan dengan memperhitungkan bahwa

bagian warisan untuk dirinya (anak yang diberi hibah) akan dipotong

jumlahnya sesuai dengan jumlah hibah yang diberikan kepadanya sewaktu

mayit masih hidup.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa pemberian kepada anak

itu haruslah (wajib) sama. Maksudnya adalah pemberian yang berimbang

tanpa membeda-bedakan apakah itu berdasarkan kelamin atau kondisi

tertentu. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan adil

adalah pemberian yang berdasarkan bagian waris dari masing-masing anak

yaitu dua berbanding satu bagi anak laki-laki dengan anak perempuan.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil dalam

pemberian itu adalah pemberian yang sama antara anak-anak.

Dalam KHI pasal 212 dengan tegas menyatakan bahwa hibah kepada

anak dapat ditarik kembali. KHI membolehkan penarikan secara kasuistik

apabila penghibahan yang terjadi antara orang tua dengan anak. Misalnya,

anak penerima hibah sama sekali tidak memperdulikan kehidupan orang tua

yang sudah tua dan miskin. Sedangkan kehidupan anak berkecukupan. Atau

penarikan didasarkan atas hibah bersyarat. Umpanya dalam perjanjian

penghibahan ada ditentukan syarat bahwa anak penerima hibah akan


36

mengurus dan menanggung kehidupan orang tua selama hidup. Ternyata hal

itu tidak dipenuhi si anak. Dalam hal ini penghibah dapat menarik kembali

hibahnya.

Untuk dapat dikatakan sah atau tidak suatu pemberian kepada orang

lain, maka diperlukan adanya rukun dan syarat hibah yaitu :

1. Shighat hibah. Menurut Syekh Muhammad bin Qosim, tidak sah

hukumnya suatu hibah kecuali dengan adanya ijab dan qabul yang

diucapkan.16 Hibah itu melalui ijab qabul, sebagaimana bentuk ijab

qabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Menurut

Imam Malik dan Imam As-Syafi’i, yang dipegang adalah qabul di

dalam hibah. Menurut ulama Hanafiyah, bahwa ijab itu saja sudah

cukup, sedangkan orang-orang Hambali berpendapat bahwa hibah itu

sah dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya.17

2. Penghibah adalah orang yang memberikan sesuatu atau harta kepada

pihak lain. Dalam hal ini penghibah diperlukan syarat-syarat :

1. Memiliki apa yang dihibahkan,

2. Bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan

16
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bi Qosim As-Syafi’i, Fathul Qorib,(Surabaya, Al-
Hidayah, ttg) hlm 40
17
Syayid Sabiq, Fiqhus Sunnah ( Bandung, Al-Ma’arif, 1988) hlm 167
37

3. Orang dewasa,

4. tidak dipaksa sebab hibah itu akad yang mensyaratkan keridhaan

dalam keabsahannya.

Dalam pasal 210 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa orang

yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa

adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta

bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi

untuk dimiliki.18

3. Penerima hibah. Penerima adalah orang yang menerima pemberian.

Untuk dianggap sah sebagai penerima, maka penerima hibah harus

memenuhi syarat yaitu benar benar ada diwaktu diberi hibah, apabila

tidak benar-benar ada atau diperkirakan adanya misalnya janin, maka

tidak sah.

4. Barang hibah. Barang hibah adalah sesuatu harta yang dihibahkan.

Adapun syarat-syarat barang hibah yaitu :

a. Benar-benar ada,

b. Harta yang bernilai,

18
Abd. Shomat, Hukum Islam Penormaan ….. hlm 359
38

c. Dapat dimiliki dzatnya,

d. tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah,

Diantara ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dalil wasiat adalah surat Al-

Baqarah ayat 180,

َ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َوااْل َ ْق َربِ ْين‬


ِ ‫ك َخ ْيرًا ۖ ْۨال َو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت اِ ْن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

َ‫ف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِ ْين‬


ِ ۚ ْ‫بِ ْال َم ْعرُو‬

Artinya : “diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut. Jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (Q.S Al
Baqarah :180)

Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umarr r.a berkata,
Rasulullah bersabda : tidak benar bagi seorrang muslim yang mempunyai
suatu barang atau diwasiatkan lalu tinggal samapai dua malam,
melainkan wasiat itu sudah siap tertulis padanya”

Patut diperhatikan ada pendapat Imam Ahmad yang mengatakan

apabila ada orang tua yang memberikan harta hibah hanya kepada satu

anak saja perbuatan tersebut tidak dihalalkan karena perbuatan tersebut

akan menimbulkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahim

yang diperintahkan Allah untuk menyambungnya.

Oleh karena itu kalau seandainya orang tua menghibahkan sebagian

hartanya dalam rangka memberikan pertolongan kepada anaknya yang

lemah adalah sangat dibenarkan dalam Islam, sebab harta pemberian orang

tuanya itu adalah merupakan haknya karena anaknya adalah tergolong

orang yang lemah yang wajib mendapat pertolongan bukan saja


39

pertolongan dari orang tuanya akan tetapi wajib mendapat pertolongan dari

saudara kandungnya sendiri.

Merujuk pada KHI pasal 171 huruf (c) yang mengatakan bahwa ahli

waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah ataupun perkawinan

dengan pewaris dan ia tidak terhalang karena hukum sebagai ahli waris.

Ditambahkan pada pasal 174 KHI bahwa mereka yang menjadi ahli waris

adalah anak, bapak, nenek, cucu, dan paman.

Oleh karena itu walaupun disini penulis berpendapat bahwa penerima

hibah dalam hal waris dijelaskan dapat menjadi ahli waris menurut KHI,

sedangkan dipertegas pada pasal 211 pemberian hibah dapat dipertimbangkan

sebagai warisan. Kata dipertimbangkan pada pasal 211 ini yang kemudian

patut disikapi oleh para ahli waris didalam menentukan bagian-bagian dalam

pembagian waris

4.2 Kedudukan Surat Hibah dalam Pembagian Harta Warisan Menurut

Hukum Positif

Dapat kita perhatikan sengketa tentang hibah dan waris dapat saja

terjadi antara saudara, sesama ahli waris yang dapat merusak ikatan hubungan

saudara (silaturahmi). Itu tidak dapat dipungkiri, mengingat masalah harta

benda dalam kaitannya dengan warisan masing-masing ahli waris tentu

mempunyai kepentingan di dalamnya.

Beberapa penyebab timbulnya suatu sengketa hibah dalam keluarga

pada umumnya adalah adanya niat untuk mendapatkan harta atau bagian yang

lebih besar dari harta yang di tinggalkan oleh orang tuanya, karena tidak
40

diberikan bagian sama sekali, tidak dilibatkan dalam pembagian warisan atau

tidak sejalan dengan jumlah, proses dan cara pembagian. Terlebih yang

sangat memprihatinkan adalah komunikasi antar saudara tidak terjalin dengan

baik sehingga sejak awal sesama ahli waris memang tidak menghendaki

proses pembagian warisan itu secara damai dan kekeluargaan.19

Hibah menurut KUHPerdata pasal 1666 Perdata adalah suatu

persetujuan dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan Cuma-

Cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna

keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang

tidak mengakui lain-lain selainnya hibah-hibah diantara orang-orang yang

masih hidup.20 Menurut pengertian pasal 1666 KUH Perdata yang dinamakan

hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi dengan

cuma-cuma dengan secara mutlak memberikan sesuatu benda kepada pihak

yang lain, pihak yang menerima itu sebagai suatu perjanjian. Perjanjian itu

seketika mengikat dan tidak dapat dicabut kembali begitu saja.

Perkataan pemberian dalam pasal 1666 KUH Perdata dipakai dalam

pengertian sempit, karena hanya perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

yang disebutkan itu dinamakan pemberian. Menurut pasal 1667 KUH Perdata

hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika hibah itu

meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka hibahnya adalah

batal.21
19
Muhammad Saifullah, Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Ctk. Pertama,
(Yogyakrta: UII Press, 2005), hlm 205
20
Subekti dan Tjitrosudibio, Kita Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta, Pradnya paramita,
1992) hlm 217
21
Ibid hlm 365
41

Menurut KHI pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda

secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lai yang

masih hidup untuk dimiliki. Berbeda dengan wasiat, kalau wasiat seseorang

memberikan sesuatu kepada orang lain selagi si pemberi masih hidup, tetapi

dimilikinya setelah sipemberi wasiat meninggal dunia. Sedang hibah,

memberikan sesuatu kepada orang lain dan dimiliki oleh penerima hibah

sejak benda tersebut diterima, tidak menunggu si pemberi hibah meninggal

dunia.22 Dalam hibah hak milik yang langsung dan sempurna atas benda

sebenarnya dari suatu harta diserahkan kepada orang yang diberi, oleh sebab

itu bila mana hibah sengaja dibubuhi syarat atau pembatasan tentang

pemakaian ataupun penjualan harta tersebut, syarat-syarat dan pembatasan

yang ditetapkan itu tidak sah dan hibah tersebut tetap sah.23

Dalam KUHPerdata diutarakan bahwa hibah mempunyai hubungan

yang erat dengan waris, hal ini disebabkan karena perilaku hibah adalah

sama-sama memberikan pemasukan (inbreng).24 Maksud inbreng diatas

disamakan pada pasal 1086 – 1099 KUHPerdata yang artinya perhitungan

pemasukan itu harus dilakukan ahli waris keturunan dari orang yang

meninggalkan harta warisan. Mereka adalah anak, cucu dan seterusnya

kebawah kecuali mereka bila orang yang meninggalkan harta warisan secara

tegas membebaskan dari perhitungan ini. Oleh karena itu perhitungan ini

22
Baharuddin Ahmad dan Illy Yanti, Eksistensi ……… hlm 285
23
Abd. Shomat, Hukum Islam Penormaan ….. hlm 360
24
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Ctk. Pertama, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2014), hlm 224
42

patut dilaksanakan oleh ahli waris lainnya, tentunya bila dikehendaki oleh

orang yang meninggalkan harta warisan.

Oleh karena itu berdasarkan KUHPerdata maka orang tua yang

memberikan harta hibah kepada anaknya, pemberian tersebut dapat dikatakan

dengan pemasukan. Konsekuensinya adalah anak tersebut dianggap telah

menerima warisan atau diperhitungkan sebagai warisan.

Kenapa hal ini dapat terjadi, pemahaman seperti ini merujuk pada

sistem waris ab-intestato (Maksudnya adalah bila pemberi hibah memiliki

hubungan darah, apabila kedepan pemberihibah meninggal maka otomatis ia

menjadi pewaris sedangkan penerima hibah menjadi ahli waris) dimana ada

hubungan langsung keturunan antara pewaris dan ahli waris sehingga

penghitungan hibah sebagai harta warisan dimaksudkan untuk memudahkan

dalam penghitungan pembagian warisan.25 Artinya hibah yang telah diberikan

sebelumnya tersebut dapat disikapi sebagai bentuk uang muka dalam konteks

bagian waris bila pemberi hibah meninggal dunia. Karena proses pemberian

hibah pada konteks ini adalah pemberian hibah dari si pewaris kepada ahli

waris (ayah ke anaknya).

Oleh karena itu pemberian hibah dari hubungan darah, seperti orang

tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan kedepannya baik

itu dianggap secara penuh atau dengan syarat. Syarat yang dimaksud seperti

yang ada pada pasal 1672 yang bunyinya penghibah boleh memberi syarat

bahwa barang yang dihibahkannya itu akan kembali kepadanya bila orang
25
Mohammad Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Perdata Barat, Ctk.Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm 63
43

yang diberi hibah atau ahli warisnyavmeninggal dunia lebih dahulu dari

penghibah, tetapi syarat demikianvhanya boleh diadakan untuk kepentingan

penghibah sendiri.

4.3 Pelaksanaan Surat Hibah dalam Pembagian Harta Warisan

1. Menurut Hukum Islam

Hukum Islam tidak menentukan suatu cara tertentu untuk menciptakan

keamauan terakhir dari si peninggal warisan. Menurut hukum Islam cara

mewasiatkan harta harus ditetapkan dengan tegas dan terang, manakala yang

berwasiat dapat berbiaca. Namun jika yang berwasiat itu bisu, maka dapat

dengan isyarat asalkan dimengerti maksudnya tersebut. Jika yang berwasiat

dapat menulis, maka tulisan harus jelas dan terang serta mengandung maksud

yang berwasiat. 26

Untuk menguatkan maksud baik dari yang berwasiat maka salah satu

cara penghibahan wasiat menurut hukum Islam diperlukan adanya saksi yang

dapat dipercaya dan dapat membenarkan adanya ucapan, isyarat, dan tulisan

terakhir. Dalam Maidah ayat 106 dijelaskan

‫صيَّ ِة ْاث ٰن ِن َذ َوا َع ْد ٍل ِّم ْن ُك ْم‬


ِ ‫ت ِح ْينَ ْال َو‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َشهَا َدةُ بَ ْينِ ُك ْم اِ َذا َح‬
ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬

‫ت تَحْ بِسُوْ نَهُ َما¬ ِم ۢ ْن‬


ِ ۗ ْ‫ص ْيبَةُ ْال َمو‬
ِ ‫صابَ ْت ُك ْ¬م ُّم‬ ِ ْ‫ض َر ْبتُ ْم فِى ااْل َر‬
َ َ ‫ض فَا‬ ٰ ‫اَوْ ٰا‬
َ ‫خَر ِن ِم ْن َغي ِْر ُك ْم اِ ْن اَ ْنتُ ْم‬
‫ي به ثَمنًا َّولَوْ َكانَ َذا قُرْ ٰب ۙ¬ى واَل نَ ْكتُم َشها َدةَ هّٰللا‬ ‫هّٰلل‬
ِ َ ُ َ َ ٖ ِ ¬ْ ‫بَ ْع ِد الص َّٰلو ِة فَيُ ْق ِسمٰ ِن بِا ِ اِ ِن ارْ تَ ْبتُ ْم اَل نَ ْشت َِر‬

َ‫اِنَّٓا اِ ًذا لَّ ِمنَ ااْل ٰ ثِ ِم ْين‬

26
Syayid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……………. Hlm 173
44

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu


menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan
dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua
saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya
bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami
tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula)
kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”27(Q.S AL
Madi’ah : 106)

2. Menurut Hukum Perdata

Hukum perdata mengenal tiga cara membuat hibah wasiat.

Menurut Wiryono Projodikoro, BW mengenal tiga macam cara membuat

hibah wasiat yaitu :

1. Testament Rahasia. Testament rahasia ini di atur dalam pasal 940 dan

941, dalam pasal ini ditentukan baahwa sipeninggal warisan harus

menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis tentang niat baik

kemauan terakhir itu. Tulisan itu harus ditandatangi oleh si pewaris

tersebut. Tulisan tersebut tertutup dalam sampul, tersegel dan

diserahkan ke notaries dan sisaksikan empat orang sakasi. Kemudian

si peninggal warisan membuat membuat pernyataan yang isinya

bahwa tulisan tersebut adalah wasiatnya.

2. Testament tidak rahasia. Dalam pasal 938 BW berbunyi, “ tiap-tiap

surat wasiat dengan akta umum harus dibuat dihadapan notaries

dengan dihadiri dua orang saksi”. Menurut Wiryono Projodikoro,

testament tidak rahasia ini sejak dahulu dinamakan dengan testamen

27
Ibid
45

lisan. Akan tetapi pendapat lain mengatakan bahwa tidak menganggap

cara lisan sebagai syarat mutlak.

3. Testamen ditulis sendiri. Testamen tertulis sendiri (olografis) diatur

dalam pasal 932 Burgerlijk Wetboek berbunyi : suatu wasiat tertulis

sendir harus seluruhnya ditulis dan ditandatangai oleh si yang

mewariskan sendiri. Surat wasiat yang demikian oleh si yang

mewariskan harus disimpankan kepada seorang notaries.

Notaries tersebut dibantu oleh dua orang saksi, berwajib segera

membuat sebuah akta penyimpanan yang harus ditandatanganinya,

bersama-sama dengan yang mewasiatkan dan saksi-saksi, akta mana

yang harus ditulis, baik dibawah surat wasiat, jika surat wasiat ini

dengan terbuka disampaikannya kepadanya, maupun diatas kertas

sendiri, jika surat wasiat itu tersegel disampaikan kepadanya : dalam

hal terakhir ini dihadapan notaries dan saksi si yang mewariskan harus

membubuhkan sebuah catatan kepada sampulnya yang menyatakan

bahwa sampul itu berisikan surat wasiat cacatan mana harus

dikuatkan dengan tanda tangannya.

Dalam hal ini bila mana si yang mewariskan karena suatu rintangan

yang timbul setelah penandatangan surat wasiat atau sampulnya, tidak

dapat menandatangani sampul atau akta penyimpanan atau keduanya

maka notaries tersebut harus membuat suatu keterangan tentang satu

lain pada sampul atau akta penyimpanan tersebut.”


46

Pada saat penyerahan testament, testament harus sudah tertulis,

tertutup dan tersegel disaksikan dua orang saksi di muka notaris dengan

tujuan bahwa itu benar testamentnya. Pasal 934 BW, menyatakan bahwa

sipeninggal waris dapat meminta kembali testamentnya. Untuk itu,

notaries harus membuat pernyataan bahwa testamennya ditarik kembali

dengan surat outentik.

Hibah sendiri memungkinkan untuk dapat ditarik kembali oleh si

pemberi hibah. Hal ini sesuai dengan KUHperdata pasal 1688:28

1. Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi.

2. Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau membantu

melakukan kejahatan lain terhadap penghibah.

3. Penerima hibah menolak memberi nafkah atau tunjangan kepada

penghibah, setelah penghibah jatuh miskin.

Apabila hibah ditarik kembali maka hibah yang sudah diberikan itu

harus dikembalikan kepada pemberi hibah. Tentunya penarikan

(pembatalan) hibah ini harus melalui prosedur di pengadilan sebagai jalan

penegakan hukum. Berdasarkan KUHPerdata pelaksanaan hibah harus

melalui prosedur akta otentik.

Artinya proses pemberian hibah harus dibuktikan dengan akta

notaris, bila tidak maka itu menjadi batal. Pasal 1683 berbunyi : “tiada

28
Subekti. R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ctk. Ke-34, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2004), hlm 440
47

suatu hibah mengikat penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang

bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang

tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang

dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan

untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan kepada si

penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari. Jika

penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri,

maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik kemuduian,

yang aslinya harus disimpan, asalkan yang demikian itu dilakukan di

waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan, terhadap

orang yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari

penerimaan itu diberitahukan kepadanya”.29

Dijelaskan perlu adanya akta otentik dalam melakukan hibah adalah

karena secara esensi-nya hibah harus dalam akta otentik, bukan sekadar

alat bukti semata. Mengingat hibah adalah pemberian sepihak yang akan

berkaitan dengan ahli waris dari pemberi hibah, maka perlu adanya akta

otentik.

4.4 Analisa Penulis

Hukum Perdata Islam di Indonesia mencoba mengambil jalan tengah

bahwa hibah tersebut harus dihitung sebagai warisan. Ini berarti ia boleh saja

menghibahkan sebagian hartanya kepada sebagian anaknya, tetapi harus

29
Raden Soebekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ctk. Ke-34, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004), hlm. 438-439
48

diperhitungkan sebagai warisan.30 Dan apabila ia meninggal dunia maka

hibah tersebut dimasukan dalam bundel warisan dengan memperhitungkan

bahwa bagian warisan untuk dirinya (anak yang diberi hibah) akan dipotong

jumlahnya sesuai dengan jumlah hibah yang diberikan kepadanya sewaktu

mayit masih hidup.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa pemberian kepada anak

itu haruslah (wajib) sama. Maksudnya adalah pemberian yang berimbang

tanpa membeda-bedakan apakah itu berdasarkan kelamin atau kondisi

tertentu.

Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan adil adalah

pemberian yang berdasarkan bagian waris dari masing-masing anak yaitu dua

berbanding satu bagi anak laki-laki dengan anak perempuan.31 Pendapat

lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil dalam pemberian itu

adalah pemberian yang sama antara anak-anak.

Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa persamaan dalam

pemberian itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sedangkan

pelebihan diantara mereka adalah haram. Akan tetapi pelebihan diantara anak

itu mempunyai alasan yang dapat dibenarkan seperti, salah satu anak tersebut

mempunyai kebutuhan yang sangat atau karena miskin atau karena

kesibukannya dengan ilmu atau juga karena fisik dan lain-lain, maka dalam

30
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Ctk. Pertama,
Malang: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm 183
31
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan, Ctk. Ke-2, Yogyakarta: UII Press,
2010, hlm 143
49

kondisi yang seperti ini pemberian yang lebih diantara anak-anaknya maka

hal tersebut dapat dibenarkan.

Patut diperhatikan ada pendapat Imam Ahmad yang mengatakan

apabila ada orang tua yang memberikan harta hibah hanya kepada satu anak

saja perbuatan tersebut tidak dihalalkan karena perbuatan tersebut akan

menimbulkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahim yang

diperintahkan Allah untuk menyambungnya.32

PENERAPAN HIBAH

NO KUHP PERDATA ISLAM

1 Pasal 1666 Pemberian Pemberian

Cuma-Cuma semasa hidup dengan niat tulus

mengharap ridho

tuhan

2 Mempunyai Hubungan Pasal 211 KHI

erat dengan waris sehingga dapat diperhitung

diperhitungkan dalam kan sebagai

inbreng (pemasukan) warisan

Menurut penulis dari gambaran diatas dan berdasarkan contoh kasus

diatas diambil dari jurnal Umar Haris Sanjaya,Muhamad Yusuf


32
Hukum Menghibahkan Semua Harta dan Melebihkan Untuk Anak”,
http://www.jadipintar.com/2014/11/hukum-menghibahkan-semua-harta-dan-Melebihkan-Untuk-
Anak-Terten tu.html
50

Suprapto,Universitas Indonesia,2017 dengan judul KEDUDUKAN AHLI

WARIS YANG PENERIMA HIBAH DARI ORANG TUA TERHDAP

AHLI WARIS LAINYA PADA PROSES PEMBAGIAN WARIS dapat

diketahui secara konseptual hukum bahwa penerima hibah yang didapatkan

dari orang tua mereka maka di perhitungkan sebagai warisan.

Fakta yang terjadi pada obyek penelitian ini dua anak dari pewaris

sebelumnya telah mendapatkan hibah dari orang tuanya ketika orang tuanya

masih hidup. Pada saat orang tuanya meninggal sepatutnya ahli waris saling

mengutarakan bahwa ada ahli waris yang sebelumnya telah

mendapatkan hibah dari orang tuanya sehingga ketika musyawarah

pembagian harta warisan dari orang tua dapat dipertimbangkan dalam

membuat surat keterangan waris. Fakta yang terjadi pada obyek

penelitian ini pembagian itu sudah dituangkan dalam surat keterangan

waris sehingga ada hal disimpangi oleh ahli waris yang bukan penerima

hibah ketika mereka merasa ahli waris yang menerima hibah itu tidak

mendapatkan bagian warisan. Sepatutnya dalam surat keterangan pembagian

harta warisan dapat diperhitungkan dan ditentukan dengan jelas berapa

bagian yang diterima ahli waris penerima hibah.

Secara pemahaman fiqih ke-Islaman seorang anak penerima hibah dari

orang tuanya maka penerimaan itu diperhitungkan sebagai warisan kelak.

Karena pemberian orang tua kepada anaknya adalah suatu hak yang harus

diterima, sama hal nya dengan waris yang terjadi dimana bagian warisan
51

adalah hak mutlak yang pasti diterima seorang anak. Tentunya hak tersebut

sepanjang tidak ada halangan hukum yang menghalanginya.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa pengertian hibah dari 2 perspektif

hukum perdata yaitu perdata barat (KUHPerdata) dan fiqih islam (KHI)

menjelaskan bahwa penerima hibah dari orang tua diperhitungan sebagai

harta warisan, tetapi kedudukan mereka tidak terhalang untuk dapat

menerima harta warisan.

Sepatutnya para ahli waris bermusyawarah terlebih dahulu untuk

mengutarakan keberadaan ahli waris yang sebelumnya menerima hibah untuk

diperjelas bagiannya ketika membahas warisan. Sehingga ketika dibuat surat

keterangan pembagian harta warisan tidak ada lagi ahli waris yang

disimpangi dalam pengurusan harta warisannya.


52

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berbicara mengenai hibah, Islam memberikan banyak pengertian yang

dapat kita temukan. Kata hibah berasal dari bahasa arab yang secara

etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, juga bisa memberi,

sedangkan hibah adalah kata benda dalam bentuk yang artinya

pemberian.

2. Menurut KHI pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda

secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lai

yang masih hidup untuk dimiliki. Berbeda dengan wasiat, kalau wasiat
53

seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain selagi si pemberi

masih hidup, tetapi dimilikinya setelah sipemberi wasiat meninggal

dunia.

3. pada perspektif fiqih islam dan KHI itu dapat diperhitungkan

sebagai warisan.Ini berarti ia boleh saja menghibahkan sebagian

hartanya kepada sebagian anaknya, tetapi harus diperhitungkan

sebagai warisan. Dan apabila ia meninggal dunia maka hibah tersebut

dimasukan dalam bundel warisan dengan memperhitungkan bahwa

bagian warisan untuk dirinya (anak yang

diberi hibah) akan dipotong jumlahnya sesuai dengan jumlah hibah

yang diberikan kepadanya sewaktu mayit masih hidup.

5.2 Saran

Agar tidak menjadi perselisihan Pada saat orang tuanya meninggal

sepatutnya ahli waris saling mengutarakan bahwa ada ahli waris yang

sebelumnya telah mendapatkan hibah dari orang tuanya sehingga ketika

musyawarah pembagian harta warisan dari orang tua dapat dipertimbangkan

dalam membuat surat keterangan waris.

Seandainya ada hibah yang diberikan sebelum ahli waris meninggal

sebaiknya diberikan surat keterangan harus berkekuatan hukum.


54
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan, (Ctk. Ke-2, Yogyakarta: UII
Press), 2010

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,(Bandung: PT.Citra Aditya


Bakti), 2004

Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Ctk. Ke- 4, Jakarta Raja:


Grafindo), 2001

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,


2000)

A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Ctk.


Pertama,Malang: Citra Aditya Bakti), 1999

Beni Ahmad Saebani,Fiqih Mawaris (Bandung:Pustaka Setia),2009

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Restu), 1987

Dra.Siah Khosyi’ah, Wakaf Hibah Perspektif Ulama Fiqih dan Perkembangannya


di Indonesia,(Bandung:Pustaka Setia), 2010

H.A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja


Pressindo, 2013)

Hukum Menghibahkan Semua Harta dan Melebihkan Untuk Anak,


http://www.jadipintar.com/2014/11/hukum-menghibahkan-semua-harta-
dan-Melebihkan-Untuk-Anak-Terten tu.html.

Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan


Kewarisan Menurut BW di Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya), 1992

Mohammad Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan


Perdata Barat, Ctk.Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika), 1993

Muhammad Saifullah, Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Ctk.


Pertama,(Yogyakarta: UII Press, 2005)

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Ctk. Pertama, Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 2014
Prof. Soesilo , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW (Jakarta : wacana
intelektual),1986

Raden Soebekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ctk. Ke-34, (Jakarta:


Pradnya Paramita), 2004

Subekti dan Tjitrosudibio, Kita Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta, Pradnya


paramita), 1992

Subekti. R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ctk. Ke-34, (Jakarta: Pradnya


Paramita), 2004

Anda mungkin juga menyukai