Anda di halaman 1dari 39

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG


PENYIDIKAN PELAKU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN MERCURI

A. Tinjauan Tentang Penyidik Dan Penyidikan

1. Pengertian Penyidik Dan Penyidikan

Pengertian penyidik menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf a bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia. Selanjutnya Pasal 6 ayat (1) huruf b menerangkan bahwa

selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang juga termasuk

sebagai penyidik.32

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, yang mana dalam Pasal 1 butir 10 menyebutkan

bahwa Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dalam

Pasal 21 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya

sebagai berikut:

a. Warga negara Indonesia;


b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

32
Adhi Wibowo, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Hayfa Pres, Padang,
2012, hlm. 23.

27
28

c. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
d. Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang
sederajat;
e. Berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
f. Sehat jasmani dan rohani;
g. Tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan;
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. Lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.

Dalam pelaksanaannya terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.33

Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang

Pelaksanaan Hukum Acara Pidana, menerangkan bahwa untuk dapat diangkat

sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan


paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter;
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Terhadap syarat kepangkatan untuk penyidik pembantu diatur dalam

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Hukum Acara Pidana yaitu mengenai Penyidik Pembantu adalah

33
Ibid, hlm. 24.
29

penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi

persyaratan:

a. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;


b. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
c. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan  surat keterangan
dokter;
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Ketentuan lain disebut dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutmen dan

Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur tentang

Persyaratan Calon Peserta Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Polri meliputi:

a. Berpangkat paling rendah Inspektur Polisi Dua (Ipda).


b. Berijazah sarjana yang terakreditasi, paling rendah Strata 1 (S1)
dandiutamakan berijazah Sarjana Hukum.
c. Memiliki minat di bidang penyidikan disertai dengan surat
pernyataan.
d. Mampu mengoperasionalkan komputer yang dibuktikan dengan
surat keterangan dari Kasatker atau Kasat fungsi atau dari lembaga
kursus.
e. Telah mendapatkan rekomendasi dari Satker yang bersangkutan
untuk mengikuti seleksi disertai dengan daftar penilaian kinerja.
f. Sehat Jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dari dokter Polri.
g. Tidak bermasalah baik pidana atau pelanggaran yang dibuktikan
Surat Keterangan Hasil Penelitian (SKHP).

Selanjutnya, pada Pasal 2A ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor

58 Tahun 2010 juncto Pasal 10 huruf a Perkap Nomor 1 Tahun 2012 tentang

Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Polri, dikatakan bahwa Penyidik harus

berpangkat paling rendah Inspektur Polisi Dua sehingga pangkat Ajun

Inspektur Polisi Dua (Aipda) dan Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) tidak
30

dapat dikategorikan lagi sebagai Penyidik melainkan sebagai Penyidik

Pembantu dan berdasarkan Pasal 2A ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2010 juga dikatakan bahwa Penyidik berpendidikan paling

rendah Sarjana Strata Satu (S1) atau setara, sementara di Pasal 10 huruf a

Perkap Nomor 1 Tahun 2012 tentang tentang Rekrutmen dan Seleksi Penyidik

Polri, dikatakan bahwa penyidik harus berijazah paling rendah Sarjana Strata

Satu (S1) terakreditasi dan diutamakan berijazah Sarjana Hukum (SH).

Berikut pengertian penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah setiap tindakan penyidik

untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan

bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu

benar-benar terjadi.

Keyakinan tersebut harus diperoleh dengan mempertimbangkan

kemauan ketentuan hukum yang sesungguhnya dengan parameter apakah

perbuatan tersebut telah melanggar nilai-nilai yang hidup dalam komunitas

yang ada di masyarakat setempat.34

Serangkaian tindakan mencari, mengumpulkan informasi dan bahan

ketentuan yang mampu menjelaskan tentang suatu peristiwa yang diduga

sebagai peristiwa pidana.35

34
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 32.
35
Ibid, hlm. 33
31

Penyidik harus mampu membongkar pelanggaran hukum yang

sebenarnya sehingga dapat menjadi terang benderang suatu perkara yang pada

akhirnya dapat disimpulan sebagai tindak pidana.36 Penyidikan merupakan

awal dari proses penyelesaian perkara pidana yang menjadi patokan

sehingga sebuah perkara dapat dilimpahkan ke pengadilan. Penyidikan

dilaksanakan dengan tujuan memperoleh bukti guna menentukan apakah

suatu perkara dapat dituntut di muka sidang pengadilan atau tidak.

Menurut De Pinto, sebagaimana dikutip oleh R. Tresna, opsporing

adalah pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh

undang-undang segera setelah mereka dengan jalan mendengar kabar, bahwa

telah terjadi suatu pelanggaran hukum.37

Secara konkrit tindakan itu disebut penyidikan  dapat diperinci  sebagai

tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan

tentang:38

a. Tindak pidana apa yang telah dilakukan;

b. Kapan tindak pidana itu dilakukan;

c. Dimana tindak pidana itu dilakukan;

d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

e. Bagaimana tindak tidana itu dilakukan;

f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan;               

g. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

36
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Kepolisian Negara Dilengkapi Dengan
Peraturan Pemerintah Lainya , Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 4.
37
R Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, Unpad, Bandung, 1959, hlm. 23
38
Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm 8.
32

2. Tugas Penyidik
Tugas penyidik adalah melaksanakan penyidikan, yaitu serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk mencari dan

mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang

tindak pidana terjadi dan guna menentukan tersangkanya.39

Dalam melaksanakan tugasnya penyidik tersebut wajib menjunjung

tinggi hukum yang telah ditetapkan Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di samping itu penyidik juga

mempunyai tugas: 40

a. Membuat berita acara tentang hasil pelaksanaan tindakannya;

b. Menyerahkan berkas-berkas perkara kepada Penuntut Umun atau

Jaksa; penyidik dari Pegawai Negeri Sipil menyerahkannya dengan

melalui penyidik dari pejabat kepolisian negara.

3. Kewenangan Penyidik
Berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, seorang penyidik mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya


tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
39
M. Husein harun, Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 1991, hlm.123.
40
Ibid.
33

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagi tersangka


atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentikan penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab

Secara umum rangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik tersebut

dapat dikelompokkan menjadi beberapa tindakan yaitu:41

1) Tindakan pertama di tempat kejadian;

Tempat Kejadian Perkara merupakan tempat berlangsung-

nya tindak pidana serta di lingkungan sekitarnya ditemukan barang

bukti dan jejak-jejak kejahatan, karena tidak ada suatu kejahatan

yang tidak meninggalkan bekas, untuk itu dalam mengungkap

suatu kejahatan petugas kepolisian harus tahu darimana dan

bagaimana memulai kegiatan. Adapun tata urutan pelaksanaan olah

Tempat Kejadian Perkara yang berdasar pada petunjuk teknis

Kepolisian Republik Indonesia dengan nomor polisi JUKNIS

01/II/1982 tentang penanganan tempat kejadian perkara (TKP)

menyebutkan sebagai berikut :

a) Pengamatan umum (general observation)


b) Pemotretan
c) Pembuatan sketsa

Setelah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana, maka penyidik harus segera

41
M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hlm 158
34

melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, hal ini bertujuan

untuk:

a) Menyelamatkan nyawa korban;


b) Menangkap pelaku tindak pidana;
c) Menutup tempat kejadian perkara;
d) Menemukan barang bukti;
e) Menemukan saksi.

2) Melakukan penangkapan;

Syarat untuk dapat dilakukan penangkapan adalah adanya

dugaan keras bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana dan

atas dugaan tersebut harus didasarkan pada permulaan bukti yang

cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup

ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana

sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir (14) Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal ini menunjukkan

bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan

sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-

betul melakukan tindak pidana. Hal ini dinyatakan pada penjelasan

Pasal 17 KUHAP.42

3) Melakukan Penahanan;

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) KUHAP, menyebutkan

bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik

pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan

penahanan.

Ibid.
42
35

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di

tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim

dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini, hal ini diatur dalam KUHAP yakni

dalam Bab 1 butir 21. KUHAP hanya mengatur dalam rincian

pasal tentang materi penangguhan penahanan yang menyangkut

jaminan uang atau orang dan pejabat yang berwenang menetapkan

penangguhan penahanan serta keberadaan tersangka atau terdakwa

jika melarikan diri dari status penangguhan penahanan.

Dalam konsep penahanan menurut KUHAP memberikan

penyederhanaan. Tidak lagi ada istilah penahanan sementara

ataupun penahanan yang biasa sehingga konsep penahanan

menurut KUHAP lebih baik dibandingkan konsep penahanan

menurut HIR. Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan

kemerdekaan bergerak seseorang.

Jadi di sini terdapat pertentangan dua asas, yaitu hak

bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus

dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain

pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau

masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.43

Ibid, hlm. 160


43
36

4) Melakukan penggeledahan;

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), tidak memberikan pengertian tentang

penggeledahan secara jelas, namun melihat pengertian yang

diberikan dalam Pasal 1 butir (17) dan (18) KUHAP, maka dapat

disimpulkan bahwa penggeledahan adalah tindakan penyidik untuk

melakukan pemeriksaan rumah, badan dan pakaian tersangka untuk

menemukan bukti yang ada padanya. Sedangkan dalam Pasal 32

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, menyebutkan bahwa:

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan


penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau
penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang.

Pengeledahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

dilakukan Penyidik untuk kepentingan penyidikan. Penggeledahan

dapat berupa pengeledahan rumah atau pengeledahan pakaian atau

pengeledahan badan.

Pengeledahan rumah adalah tindakan Penyidik untuk

memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk

melakukan tindakan pemeriksaaan dan/atau penyitaan dan atau

penangkapan dalam hal dan cara yang diatur undang-undang.


37

Adapun yang dimaksud dengan pengeledahan badan adalah

tindakan Penyidik untuk melakukan pemeriksaan badan atau

pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada

pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

5) Melakukan penyitaan;

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk

mengambilalih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya

benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan

peradilan.44

Penyitaan adalah tindakan hukum dalam proses penyidikan

yang dilakukan oleh penyidik untuk menguasai secara hukum atas

suatu barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak

yang diduga terkait erat dengan tindak pidana yang sedang terjadi.

6) Pemeriksaan terhadap tersangka;

Pada tingkat penyidikan, tersangka harus dilindungi hak-

haknya, serta perlindungan terhadap hak untuk mempertahankan

kebenaran dan pembelaan diri.

Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi

Ibid.
44
38

Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisan Republik

Indonesia. 45

7) Pemeriksaan terhadap saksi;

Pemeriksaan terhadap saksi memiliki mekanisme yang

sama dengan pemeriksaan terhadap tersangka. Pada tingkat

penyidikan, saksi dalam memberi keterangannya tidak perlu

disumpah, lain halnya jika di muka sidang pengadilan, semua

saksi harus disumpah terlebih dahulu. Namun bisa saja saksi

dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dapat dibebani sumpah,

karena alasan tertentu.46

Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang

berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa.

Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, yang di maksud dengan saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut Pasal 1

angka 27 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana, adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

Ibid, hlm. 161


45

Ibid.
46
39

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dan pengetahuannya itu

8) Meminta Bantuan Ahli

Dalam Pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:

Dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat meminta


pendapat orang lain atau orang yang memiliki keahlian
khusus.

Maksud dan tujuan dari pemeriksaan ahli adalah agar

peristiwa pidana yang terjadi dapat terungkap lebih jelas.

Pemeriksaan terhadap ahli yang dilakukan penyidik oleh undang-

undang ditentukan berdasarkan dua cara yaitu berupa keterangan

langsung yang diberikan di hadapan penyidik dan keterangan

dalam bentuk tertulis. Keterangan langsung yang diberikan seorang

ahli, sebagaimana diatur dalam Pasal 120 Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, haruslah keterangan

yang berdasarkan pada keahlian yang dimilikinya dan disampaikan

langsung di hadapan penyidik yang terlebih dahulu, ahli yang

bersangkutan harus mengangkat sumpah.

Sedangkan keterangan tertulis biasanya disebut dengan

visum et repertum yaitu keterangan seorang ahli kedokteran

kehakiman tentang keadaan korban, baik luka, keracunan ataupun

meninggal karena suatu peristiwa pidana, maka atas permintaan

penyidik, ahli kedokteran kehakiman atau dokter lain yang


40

ditunjuk penyidik harus memberikan keterangan sesuai apa yang

diketahuinya.47 Keterangan tertulis ini diatur pada Pasal 133 ayat

(2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yang menyebutkan bahwa:

Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

9) Bedah mayat dan penggalian mayat;

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 133 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tentang

keterangan tertulis dari seorang dokter atau ahli kedokteran

kehakiman, maka untuk kepentingan peradilan, maka penyidik

dapat meminta seorang ahli untuk melakukan bedah mayat,

ataupun penggalian mayat.

Keduanya harus diberitahukan kepada keluarga terlebih

dahulu dan disertai dengan alasan-alasan dilakukan tindakan

tersebut. Jika keluarga keberatan dan dalam jangka waktu dua hari

tidak ditanggapi oleh keluarga, maka penyidik tetap dapat

mengirim mayat pada ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter

rumah sakit, untuk segera dilakukan pemeriksaan.

Setelah penyidik selesai melakukan penyidikan, maka untuk

selanjutnya penyidik harus segera menyerahkan berkas perkara kepada

jaksa penuntut umum. Dalam hal ini meskipun penyidik menganggap

Ibid, hlm. 162


47
41

penyidikan telah selesai, namun sifatnya relative karena selesai atau

belum selesainya penyidikan tergantung pada jaksa penuntut umum.

Oleh karena itu proses penyerahan berkas perkara pada penuntut umum

menurut Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana terdiri dari dua tahap yaitu:48

Pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, pada

tahap ini penyidik menunggu jaksa penuntut umum untuk

menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap. Dalam hal jaksa

penuntut umum menyatakan bahwa hasil penyidikan tersebut kurang

lengkap, maka jaksa penuntut umum akan mengembalikan berkas

perkara pada penyidik, sehingga penyidik dapat segera melakukan

penyidikan tambahan. Hal ini berkaitan dengan penyidikan ketentuan

pada Pasal 110 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana.

Kedua, dalam hal penyidikan sudah dianggap sudah selesai,

penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti

kepada jaksa penuntu umum. Pada tahap inilah jaksa penuntut umum

dalam jangka waktu 14 hari sejak berkas perkara diserahkan dan tidak

mengembalikan kepada penyidik, maka tanggungjawab penyidikan atas

tersangka dan barang bukti beralih pada penuntut umum secara yuridis,

sehingga penyidikan dianggap telah selesai.

48
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2014, hlm. 60
42

Hal ini diatur dalam Pasal 110 ayat (4) Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan dengan jelas

bahwa penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat

belas hari jaksa penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan

atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada

pemberitahuan tentang hal itu dari jaksa penuntut umum kepada

penyidik.

B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana


1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana ini dalam istilah bahasa Belanda

diterjemahkan dengan strafbaarfeit, yang secara teoritis merupakan kreasi oleh

para ahli hukum Belanda dan Indonesia hingga saat ini. Di dalam doktrin ilmu

pengetahuan hukum pidana istilah strafbaarfeit ini telah menimbulkan

perdebatan di kalangan para sarjana di Indonesia maupun sarjana di luar

Indonesia. Selain istilah strafbaarfeit ada juga yang memakai istilah lain yaitu

delict, yang kemudian diterjemahkan dengan delik.49

Timbulnya perbedaan terjemahan istilah tindak pidana disebabkan

luasnya dan banyak seginya dari strafbaarfeit itu sendiri. Secara harfiah kata

feit itu berarti peristiwa, akan tetapi karena peristiwa dalam bahasa Indonesia

meliputi bukan saja perbuatan manusia, maka Satochid tidak setuju dengan

istilah tersebut.

Strafbaarfeit itu adalah perbuatan manusia menselijke handeling, akan

tetapi Satochid pun tidak setuju dipakai istilah perbuatan, karena dalam
49
H.M. Rasyid Ariman, Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Pres, Malang, 2016, hlm.
58
43

pandangan Satochid pun tidak tepat apabila digunakan atau dipakai kata

peristiwa karena istilah ini sendiri dianggap terlalu luas karena meliputi juga

peristiwa yang bukan perbuatan manusia.50

Oleh karena itu, maka istilah perbuatan terlalu sempit, sebab menurut

bahasa, perbuatan itu hanya meliputi perbuatan yang aktif, gerakan badan

spierbeweging, padahal dengan strafbaarfeit itu juga dimaksudkan perbuatan

yang pasif, yakni bila seseorang tidak berbuat, misalnya tidak datang dipanggil

jadi saksi, tidak menutup pintu jalan kereta api, tidak memberi pertolongan

pada orang dalam bahaya dan lain sebagainya. Di samping itu perbuatan itu

bukanlah spierbeweging sembarang, tiap perbuatan harus pula merupakan

perbuatan yang disadari bewuste handeling atau perbuatan yang dikehendaki

gewilde handeling.

Selanjutnya diterangkan oleh pakar hukum Simons, mendefinisikan dan

merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan manusia yang bertentangan

dengan hukum, diancam dengan pidana oleh undang-undang perbuatan mana

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat

dipersalahkan kepada si pembuat.51

Secara harfiah perkataan tindak pidana dapat diterjemahkan sebagai

sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.52 Akan tetapi, diketahui

bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan

bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. Moeljatno menerjemahkan

50
Ibid, hlm. 59
51
Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Pthaem, Jakarta,
1986, hlm. 205
52
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Edisi Pertama, Cetakan. Pertama,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 71
44

istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Pengertian

perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang

sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif.53

Menurut Pompe, perbuatan tindak pidana secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib

hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh

seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.54

R. Tresna memberi definisi peristiwa pidana sebagai sesuatu perbuatan

atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang

atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana

diadakan tindakan penghukuman tindak pidana merupakan suatu pengertian

dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau Verbrechen atau misdaad)

yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.55

53
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 49
54
Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 75
55
R. Tresna, Op.Cit, hlm. 34
45

Memperhatikan defenisi di atas, maka ada beberapa syarat untuk

menentukan perbuatan itu sebagai tindak pidana, syarat tersebut adalah sebagai

berikut:

1) Harus ada perbuatan manusia;


2) Perbuatan manusia itu bertentangan dengan hukum;
3) Perbuatan itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan
pidana;
4) Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung-
jawabkan;
5) Perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan si pembuat.

Van Hamel membuat defenisi yang hampir sama dengan Simons, tetapi

menambah lagi dengan satu syarat, yakni perbuatan itu harus mengandung sifat

yang patut dipidana strafwaardig.56

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur

yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam unsur, yaitu unsur-unsur subjektif

dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah

unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan

diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung

di dalam hatinya.57

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-

unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-

56
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm. 40
57
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2001, hlm. 22
46

keadaan mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.58 Unsur-unsur

subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :59

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan

dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan dalam

Pasal 340 KUHP.

5) Perasaan takut atau vress seperti antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif suatu tindak pidana itu adalah:60

1) Sifat melanggar hukum atau wederechtelijkeheid.

2) Kualitas dari si pelaku misalnya keadaan sebagai pengurus atau

komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan

menurut Pasal 358 KUHP.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

58
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hlm.193
59
Ibid, hlm. 194
60
Ibid.
47

Sementara, Eddy O.S Hiariej menjabarkan unsur-unsur tindak pidana

tersebut dengan elemen-elemen tindak pidana dengan mengutip pendapat

Moeljatno berpendapat bahwa elemen-elemen perbuatan pidana adalah: 61

1) Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat.

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

4) Unsur melawan hukum yang objektif.

5) Unsur melawan hukum yang subjektif.

Eddy O.S Hiariej menjelaskan lebih lanjut tentang elemen-elemen

tindak pidana yaitu:

Pertama, perbuatan yang terdiri dari kelakuan, tindakan dan akibat.

Perlu diingat bahwa tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada

waktu yang bersamaan.

Kedua, hal ikhwal yang menyertai perbuatan, contoh pada tindakan

pidana sebagaimana melanggar Pasal 345 KUHP, matinya seseorang

karena bunuh diri akibat dorongan atau hasutan orang lain adalah hal

ikhwal yang menyertai perbuatan.

Ketiga, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, contohnya yaitu

ketentuan Pasal 351 ayat (2) yang mengakibatkan luka-luka berat dan

Pasal 351 ayat (3) yang mengakibatkan kematian adalah keadaan

tambahan yang memberatkan.

61
Eddy O.S Hiarie, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta,
2014, hlm. 94.
48

Keempat, unsur melawan hukum yang objektif atau objektif

onrechtselement adalah perbuatan nyata yang secara kasat mata

memenuhi unsur delik.

Kelima, unsur melawan hukum yang subjektif atau subjektif

onrechtselement, adalah niat dan sikap bathin pelaku.62

Supaya perbedaan antara KUHP dengan pandangan ahli di atas dalam

penyebutan istilah unsur-unsur dengan istilah elemen-elemen, maka penulis

menelusuri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan ditemukan bahwa

unsur berpadanan kata dengan elemen, sehingga dapat diartikan bahwa unsur

dan elemen adalah sama.

Walaupun Eddy O.S Hiariej tidak mengklasifikasikan elemen-elemen

tindak pidana ke dalam elemen subjektif dan elemen objektif, sebagaimana

pengklasifikasian menurut KUHP, akan tetapi jika dipersandingkan akan

terdapat persamaan-persamaan yang dapat penulis jabarkan bahwa :

1) Elemen perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat, elemen hal

ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan dan unsur melawan

hukum yang subjektif dapat diklasifikasikan sebagai unsur subjektif

tindak pidana sebagaimana diklasifikasikan menurut KUHP.

2) Elemen keadaan tambahan yang memberatkan pidana dan elemen

unsur melawan hukum yang objektif dapat dipersamakan dengan

klasifikasi unsur objektif tindak pidana menurut KUHP.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

62
Ibid.
49

Jenis-jenis tindak pidana, menurut Moeljatno terdapat jenis-jenis

tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran juga

dibedakan dalam teori dan praktek yang lain adalah:63

1) Delik dolus dan delik culpa, bagi delik dolus dipergunakan

adanya kesengajaan sedangkan pada delik culpa orang juga

sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu terbentuk kealpaan;

2) Delik commissionis dan delik commissionis, delik commissionis

adalah delik yang terdiri dari suatu perbuatan yang dilarang oleh

aturan-aturan pidana, sedangkan delik commissionis delik yang

terdiri dari tindak perbuatan sesuatu atau melakukan sesuatu

padahal mestinya berbuat;

3) Delik biasa dan delik yang dikualisir (dikhususkan), delik khusus

adalah delik biasa tambah dengan unsur-unsur lain itu mengenai

cara yang khas dalam melakukan delik biasa.

4) Delik menerus dan tidak menerus, delik menerus adalah

perbuatan yang dilarang menumbulkan keadaan yang

berlangsung terus.

Berdasarkan batasan-batasan tentang pengertian tindak pidana maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa, untuk terwujudnya suatu tindak pidana

atau agar seseorang itu dapat dikatakan melakukan tindak pidana harus

memenuhi unsur-unsur yang terkandung di dalam setiap pasal yang

dilanggar.
63
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 71
50

Mengutip dari pendapat Buchari Said, setiap tindak pidana haruslah

ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat mewujudkan

tindak pidana. Dengan demikian pelaku atau subjek tindak pidana itu

adalah manusia, hal ini tidak hanya terlihat dari perkataan barang siapa.64

Selanjutnya jenis-jenis tindak pidana yang merujuk dari Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)

adalah sebagai berikut:

1) Delik Formil dan Delik Materil

Delik formil yaitu delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang. Selanjutnya mengenai delik materil yaitu delik

yang baru dianggap terjadi setelah timbul akibatnya yang

dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang.65

2) Delik Komisi dan Delik Omisi

Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap

larangan di dalam undang-undang. Delik komisi ini dapat berupa

delik formil yaitu Pasal 362 tentang pencurian dan dapat pula

berupa delik materil yaitu Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.

Delik omisi yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap

keharusan di dalam undang-undang.66

64
Buchari Said, Ringkasan Pidana Materil, Fakultas Hukum Universitas Pasundan,
Bandung, 2008, hlm. 45
65
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 235
66
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
Cetakan ke-1, Penerbit: PT. Karya Nusantara, Sukabumi,1984, hlm. 27
51

3) Delik yang Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri yaitu delik yang terdiri atas satu perbuatan

tertentu. Misalnya Pasal 338 KUHP suatu pembunuhan, Pasal

362 KUHP suatu pencurian. Delik berlanjut yaitu delik yang

terdiri atas beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri

sendiri-sendiri, tetapi antara perbuatan-perbuatan itu ada

hubungan yang erat, sehingga harus dianggap sebagai satu

perbuatan berlanjut. Misalnya, seorang pembantu rumah tangga

yang mencuri uang majikannya Rp 10.000,00 (sepuluh ribu

rupiah) yang terdiri atas 10 lembar uang seribuan yang disimpan

di dalam lemari. Uang itu diambil pembantu lembar perlembar

hampir setiap hari, hingga sejumlah uang tersebut habis

diambilnya. Itu harus dipandang sebagai suatu pencurian saja.67

4) Delik Rampung dan Delik Berlanjut

Delik rampung adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan atau

beberapa perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu

tertentu yang singkat. Sebagai contoh Pasal 338 KUHP tentang

pembunuhan, delik ini selesai dengan matinya si korban. Delik

berlanjut yaitu delik yang terdiri atas satu atau beberapa

perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan yang dilarang oleh

undang-undang. Misalnya Pasal 221 KUHP yaitu menyembunyi-

67
Ibid.
52

kan orang yang melakukan kejahatan, Pasal 261 KUHP yaitu

menyimpan barangbarang yang dapat dipakai untuk memalsukan

materai dan merek, Pasal 333 KUHP yaitu dengan sengaja dan

melawan hukum menahan seseorang atau melanjutkan

penahanan.68

5) Delik Tunggal dan Delik Bersusun

Delik tunggal adalah delik yang hanya satu kali perbuatan sudah

cukup untuk dikenakan pidana. Misalnya Pasal 480 KUHP

tentang penadahan.Delik bersusun yaitu delik yang harus

beberapa kali dilakukan untuk dikenakan pidana. Misalnya Pasal

296 KUHP yaitu memudahkan perbuatan cabul antara orang lain

sebagai pencarian.

6) Delik Sederhana, Delik dengan Pemberatan atau Delik


Berkualifikasi, dan Delik Berprevilise

Delik sederhana yaitu delik dasar atau delik pokok. Misalnya

Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 362 KUHP

tentang pencurian. Delik dengan pemberatan atau delik

berkualifikasi yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur yang

sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah

dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat

daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 335 KUHP

tentang pembunuhan berkualifikasi dan Pasal 363 KUHP tentang

pencurian berkualifikasi. Sedangkan yang dimaksud dengan

68
Ibid. hlm. 28
53

delik prevellise yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur yang

sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah

dengan unsurunsur lain, sehingga ancaman pidananya lebih

ringan daripada delik dasar atau delik pokok.69

7) Delik Sengaja dan Delik Kealpaan

Delik sengaja yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja.

Misalnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 351

KUHP tentang penganiayaan. Delik kealpaan yaitu delik yang

dilakukan karena kesalahannya atau kealpaan. Misalnya Pasal

359 KUHP yaitu karena kesalahannya (kealpaannya)

menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP yaitu karena

kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat

luka-luka.70

8) Delik Politik dan Delik Umum

Delik politik yaitu delik yang ditujukan terhadap keamanan

negara dan kepala negara. Ketentuan-ketentuan yang diatur

dalam Buku II Bab I sampai Bab V, Pasal 104 KUHP sampai

Pasal 181 KUHP. Delik umum adalah delik yang tidak ditujukan

kepada keamanan negara dan kepala negara. Misalnya Pasal 362

KUHP tentang pencurian dan Pasal 372 KUHP tentang

penggelapan.71

69
Ibid.
70
Ibid.
71
Ibid.
54

9) Delik Khusus dan Delik Umum

Delik khusus yaitu delik yang hanya dapat dilakukan orang

tertentu saja, karena suatu kualitas. Misalnya seperti tindak

pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.

Delik umum yaitu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.

Misalnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 362

KUHP tentang pencurian dan lain sebagainya.72

10) Delik Aduan dan Delik Biasa

Delik aduan yaitu delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan

oleh orang yang merasa dirugikan. Misalnya Pasal 284 KUHP

tentang perzinahan, Pasal 367 Ayat (2) KUHP tentang pencurian

dalam keluarga. Delik biasa yaitu delik yang bukan delik aduan

dan untuk menuntutnya tidak perlu adanya pengaduan. Misalnya

Pasal 281 KUHP yaitu melanggar kesusilaan, Pasal 338 KUHP

tentang pembunuhan.73

C. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Merkuri

1. Pengertian Merkuri

Merkuri atau raksa (Hg) merupakan unsur logam yang sangat penting

dalam teknologi di abad modern saat ini. Merkuri diberikan simbol kimia Hg

yang merupakan singkatan yang berasal bahasa Yunani Hydrargyricum, yang

berarti cairan perak.74

72
Ibid, hlm. 29
73
Ibid.
74
Wurdiyanto, Merkuri, Bahayanya, Dan Pengukurannya, Buletin Alara, Jakarta, 2007,
hlm. 2
55

Logam merkuri atau air raksa, mempunyai nama kimia hydragyrum

yang berarti perak air. Logam merkuri dilambangkan dengan Hg. Pada tabel

periodika unsur-unsur kimia menempati urutan (NA) 80 dan mempunyai bobot

atom (BA 200,59). Logam ini dihasilkan dari biji sinabar, HgS, yang

mengandung unsur merkuri antara 0,1%-4%.75

Merkuri merupakan salah satu logam yang berbentuk cair pada

temperatur kamar (25o C), memiliki berat jenis 13,53 g/mL, titik beku -38,8 o C

dan titik didih 356,73o C. Merkuri bersifat mudah menguap, mudah bercampur

dengan logam lain membentuk alloy (logam campuran), dan merupakan

konduktor yang baik. Merkuri memiliki kelarutan dalam air 0,28 mmol/L pada

250 C. Logam ini tidak larut dalam alkohol, eter, asam hidroklorat, hidrogen

iodida maupun hydrogen bromida tetapi larut dalam asam nitrat, asam sulfat

panas dan lemak.76

Kebanyakan merkuri yang ditemukan di alam terdapat dalam bentuk

gabungan dengan elemen lainnya. Sebagian besar merkuri diproduksi dengan

cara pembakaran merkuri sulfida (HgS) di udara, membentuk gas merkuri yang

kemudian akan dikondensasi.

Merkuri yang telah dilepaskan kemudian dikondensasi, sehingga

diperoleh logam cair murni. Logam cair inilah yang kemudian digunakan oleh

manusia untuk bermacam-macam keperluan. Merkuri dan senyawa-

senyawanya, seperti halnya dengan logam yang lain, tersebar luas di

alam. Mulai dari batuan, air, udara dan bahkan dalam tubuh organisme hidup.

75
Ibid. hlm. 3
76
Heryando Palar, Op.Cit, hlm. 5
56

Penyebaran dari logam merkuri ini, turut dipengaruhi oleh faktor geologi,

fisika, kimia dan biologi.

Merkuri merupakan salah satu logam berat yang muncul secara alami di

alam dalam beberapa bentuk. Bentuk merkuri di alam dapat dikategorikan

menjadi tiga, yakni logam merkuri (merkuri elemental), merkuri anorganik,

dan merkuri organik. Merkuri termasuk logam berat yang dikategorikan ke

dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) karena bersifat racun

sehingga dapat membahayakan lingkungan hidup dan manusia.

Terdapat bentuk-bentuk merkuri yang meliputi Merkuri elemental,

merkuri anorganik, dan merkuri organik. Merkuri elemental merupakan logam

berwarna perak berwujud cair pada suhu ruang dan mudah menguap akibat

pemanasan. Uap merkuri tidak berwarna dan tidak berbau. Semakin tinggi suhu

lingkungan, semakin banyak uap merkuri terlepas ke lingkungan. Tetes-tetes

merkuri elemental berwarna logam mengkilap dan memiliki tegangan

permukaan yang tinggi, sehingga berbentuk butiran di permukaan datar. Akan

tetapi, viskositas merkuri rendah, sehingga tetes merkuri memiliki mobilitas

tinggi.

Merkuri memiliki berat molekular 200,59 g/mol dengan titik didih

356,73oC dan titik leleh -38,87oC. Adapun massa jenis merkuri adalah 13.6

g/cm3 pada 20oC.Merkuri elemental berwujud cairan, dan sangat volatil,

dengan tekanan uap 0,00185 mm pada 25oC. Nilai ambang batas pajanan uap

merkuri elemental secara kontinyu selama 8 jam perhari atau 40 jam

perminggu menurut American Conference of Governmental Industrial


57

Hygienists (ACGIH) adalah 0.05 mg/m3. Keracunan akumulatif dapat terjadi

melalui pajanan jangka panjang melebihi 0.05 mg/m3 udara.

Pajanan merkuri elemental umumnya disebabkan karena pekerjaan, di

mana 70% hingga 80% pajanan terjadi melalui paruparu. Akan tetapi ketika

tertelan, hanya 0.1% yang terserap melalui saluran gastrointestinal, sehingga

relatif lebih tidak toksik dibanding jalur pajanan lain.

Merkuri anorganik merupakan senyawa yang muncul ketika merkuri

elemental bereaksi dengan klorin, sulfur atau oksigen. Senyawaan merkuri

anorganik umumnya berwujud serbuk, dan berwarna putih, dan disebut juga

garam merkuri. Merkuri anorganik telah lama dikenal, salah satunya merkuri

klorida yang sempat digunakan sebagai antiseptik. Kini, senyawa tersebut

masih digunakan sebagai pengawet kayu, intensifikasi fotografi, depolarosator

baterai kering, agen pewarna tekstil kulit, katalis (dalam produksi VPC atau

desinfektan), pemisahan emas dari timbal, dan impuritas lainnya. Merkuri

nitrat juga merupakan contoh merkuri anorganik yang pernah digunakan di

industri (tekstil).

Sedangkan merkuri organik terjadi apabila merkuri bereaksi dengan

senyawa karbon, senyawa yang dihasilkan disebut merkuri organik. Merkuri

organik dapat ditemui dalam 3 bentuk, yakni aryl, alkil pendek, dan alkil

panjang. Merkuri organik telah digunakan untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dalam dunia medis. Merkuri organik juga ditemukan dalam

fungisida, sehingga pajanan terhadap merkuri organik sangat memungkinkan.

Di lingkungan, merkuri organik umum ditemukan sebagai kontaminan dalam


58

rantai makanan. Garam merkuri organik terserap lebih banyak melalui sistem

pencernaan dibandingkan garam merkuri anorganik. Hal tersebut dikarenakan

kelarutan garam merkuri organik dalam lemak yang lebih baik dibandingkan

garam anorganik. Merkuri organik kerap kali diserap tubuh melalui

pembentukan kompleks dengan L-cysteine dan melewati membran sel

menggunakan asam amino netral sebagai pembawa.

2. Dasar Hukum Larangan Penggunaan Mercuri

Adapun dasar hukum larangan penggunaan merkuri adalah sebagai berikut:

a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

b) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

d) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

e) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengel

olaan Lingkungan Hidup

Berdasarkan Pasal 69 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas dikatakan

bahwa setiap orang dilarang membuang limbah B3 ke lingkungan

termasuk ke badan sungai karena akan mencemari air sungai dan

berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang menggunakan air sungai

tersebut sebagai air minum dan keperluan lainnya.

f) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Con

vention On Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri)


59

Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa tujuan dari Konvensi i

ni adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari

emisi dan lepasan merkuri maupun senyawa-senyawa merkuri yang bersifa

t antropogenik. Dalam konvensi ini juga diatur sumber pasokan dan

perdagangan merkuri.

g) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 t

entang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Dampak Kesehatan Akibat P

ajanan Merkuri Tahun 2016-2020.

h) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun.

i) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014 Tentang

Kesehatan Lingkungan.

j) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 75/M-Dag/Per

/10/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menter! Perdagangan

Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan distribusi Dan Pengawas

an Bahan Berbahaya.

k) Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup

Nomor: Kep-02/Menklh/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu

Lingkungan.

3. Bahaya Penggunaan Mercuri

Merkuri merupakan salah satu bahan berbahaya dan beracun berupa

logam berat yang berbentuk cair, berwarna putih perak serta mudah menguap

pada suhu ruangan. Merkuri telah dikenal sebagai global concern karena
60

merupakan bahan kimia yang persisten dan dapat bersifat bioakumulatif dalam

ekosistem sehingga memberikan berbagai dampak negatif pada kesehatan

manusia dan lingkungan. Terjadinya tragedi Minamata telah memberikan

gambaran betapa luasnya dan beratnya dampak kerusakan akibat pencemaran

merkuri terhadap kesehatan manusia yang juga mempengaruhi hingga ke

beberapa generasi. Berbagai pengalaman di dunia tersebut telah mendorong 91

negara di dunia menandatangani Konvensi Minamata pada tahun 2013 dimana

Indonesia termasuk di dalamnya.

Resiko pemaparan merkuri pada masyarakat dapat berasal dari

pencemaran yang terjadi pada badan air, tanah, udara bahkan rantai makanan

seperti beras, ikan, dan makanan lainnya. Sumber pajanan merkuri dapat

berasal dari alam, baik sumber primer (aktivitas gunung berapi, geothermal,

dan tanah yang kaya akan merkuri) maupun sumber sekunder (re-emisi merkuri

yang telah terdeposit sebelumnya di tanah, air, maupun tanaman akibat

perubahan penggunaan lahan) serta akibat aktivitas manusia (antropogenik).

Namun demikian sumber pajanan yang paling menimbulkan pencemaran

secara masif adalah akibat antropogenik dalam berbagai usaha manusia.

Ketiga bentuk merkuri tersebut memiliki toksisitas dan efek kesehatan

yang berbeda. Secara umum, merkuri elemental dan metil merkuri sangat

toksik terhadap sistem syaraf pusat dan perifer, sedangkan merkuri inorganik

dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit dan saluran pencernaan, serta

menyebabkan gangguan pada ginjal bila tertelan. Gangguan sistem syaraf dan

perilaku terjadi setelah berbagai bentuk merkuri terhirup, tertelan atau


61

terabsorpsi lewat kulit dengan gejala seperti tremor, insomnia, kehilangan daya

ingat, efek neuromuscular, pusing dan disfungsi kognitif dan motorik. Anak-

anak dan bayi dalam kandungan merupakan populasi yang sangat rentan akibat

pajanan merkuri, oleh karena itu keberadaan merkuri di lingkungan harus

terkontrol.

Kehadiran logam berat Hg di lingkungan dapat terjadi melalui

aktivitas gunung berapi, pelapukan batuan, dan sebagai akibat dari aktivitas

manusia. Namun, pencemaran merkuri di perairan laut lebih banyak

disebabkan oleh faktor manusia dibanding faktor alami.

Karena meskipun kehadiran merkuri dapat terjadi secara alami tetapi

kadarnya sangat kecil. Mayoritas merkuri yang ada di lingkungan berasal dari

kegiatan antropogenik, seperti kegiatan: pertambangan, pembakaran bahan

bakar fosil, pabrik pengolahan kertas, emisi smelter dan sebagainya.

Secara umum, 75% pajanan merkuri berupa merkuri elemental dan

anorganik, sebagian besar terasosiasi dengan inhalasi uap dari dental amalgam

yang digunakan dalam penambalan gigi. 25% pajanan berupa merkuri organik

(terutama metil merkuri dalam ikan atau produk turunan ikan). Dosis aman

merkuri antara 2.0 mikrogram per kg berat badan per hari untuk merkuri

anorganik (dan elemental) dan 1.0 untuk merkuri organik.

Dampak merkuri terhadap kesehatan bergantung pada jumlah pajanan

merkuri, lamanya pajanan, dan bentuk pajanan itu sendiri. Umumnya toksisitas

akut berkaitan dengan inhalasi merkuri elemental, atau tertelannya merkuri

anorganik. Toksisitas kronis lebih umum terkait dengan pajanan merkuri


62

organik. Terlepas dari bentuk kimia merkuri yang terpapar, ginjal dan syaraf

pusat merupakan 2 organ target toksisitas merkuri.

a) Pajanan Akut

Umumnya ditandai demam, meriang, nafas pendek, metallic taste, sakit

dada (pleuritis), dan dapat disalah artikan sebagai metal fume fever. Gej

ala lain bias berupa stomatitis, lethargy (lemas tidak bertenaga), sakit ke

pala, dan muntah-muntah.

b) Pajanan Kronis

Biasanya diakibatkan pajanan jangka panjang merkuri elemental yang

terkonversi menjadi merkuri anorganik. Gejala bervariasi meliputi

gangguan pada ginjal, syaraf, psikologi, dan kulit termasuk anoreksia,

kehilangan berat badan, kelelahan, lemah otot, yang bias

mengindikasikan berbagai penyakit. Gejala apabila terpapar merkuri

organik mirip dengan merkuri elemental, seperti ataxia, tremor, tulisan

tidak jelas, bicara kurang jelas, acrodynia (pink disease, alergi merkuri).

Lebih lanjut, gejala klinis keracunan merkuri berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang

Rencana Aksi Nasional Pengendalian Dampak Kesehatan Akibat Pajanan

Merkuri Tahun 2016-2020 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel I
Gejala Klinis Keracunan Merkuri
63

Sistem Target Akut Kronis

Kardiovaskuler Hipertensi, jantung berdebar, Hipertensi,

kejut hypovolemic, pingsan. tachycardia.

Paru-Paru Nafas pendek, pneumonitis,

edema, emfisema,

pneumatocele, sakit dada

pleuritik, batuk, fibrosis

interstitial, RDS.

Saluran Pencernaan Nausea, muntah, sakit perut Konstipasi, diare,

parah, diare, pendarahan di generalized distress.

sistem pencernaan.

Sistem Syaraf Pusat Tremor, gagguan iritabilitas, Tremor, insomnia,

kelesuan, kebingungan, refleks rasa malu, hilang

berkurang, konduksi syaraf, dan ingatan, depresi,

gangguan pendengaran. anoreksia, sakit

kepala, ataksia,

disarthria, berjalan

tidak stabil,

gangguan visual dan

vasomotor, neuropati,
64

paresthesias.

Kulit dan Jaringan Inflamasi mukosal (stomatitis) Gingivitis, acrodynia,

Berkeratin dan membran keabuan, sakit munculnya garis biru

membran buccal,kulit terbakar tipis di gusi,

dan mengalami pendarahan, alopecia.

dermatitis, erythernatous dan

ruam kulit pruritik, alopecia.

Hati Meningkatnya enzim serum.

Ginjal Oliguria, anuria, hematria, Polyuria, polydipsia,

proteinuria, gagal ginjal. albuminuria.

Sistem Reproduksi Aborsi spontan. Aborsi spontan,

kerusakan otak (keter

belakangan,

inkoordinasi,

kebutaan, gangguan

berbicara, ketulian,

seizures, paralisis)

Otot dan Rangka Sakit pinggang Otot melemah,

kehilangan massa
65

otot, tremor,

paralisis.

Lainnya Demam, menggigil, lidah Kehilangan berat

merasa seperti logam, nafas badan, keringat

tidak teratur, gigi tanggal. berlebihan, ruam,

lendir berlebihan,

sensitif terhadap

cahaya.

Anda mungkin juga menyukai