Anda di halaman 1dari 41

26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERTIMBANGAN


PENYIDIK DALAM MENERAPKAN HUKUM TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN
KEKERASAN PADA JASA TRANSPORTASI

A. Tinjauan Tentang Penyidikan

1. Pengertian Penyidik Dan Penyidikan

Pengertian penyidik menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf a bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia. Selanjutnya Pasal 6 ayat (1) huruf b menerangkan bahwa

selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang juga termasuk

sebagai penyidik.35

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, yang mana dalam Pasal 1 butir 10 menyebutkan

bahwa Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dalam

Pasal 21 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya

sebagai berikut:

a. Warga negara Indonesia;


35
Adhi Wibowo, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Hayfa Pres, Padang,
2012, hlm. 23.

26
27

b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


c. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
d. Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang
sederajat;
e. Berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
f. Sehat jasmani dan rohani;
g. Tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan;
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. Lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.

Dalam pelaksanaannya terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.36 Pasal 2A Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana, menerangkan

bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan


paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter;
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Terhadap syarat kepangkatan untuk penyidik pembantu diatur dalam

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Hukum Acara Pidana yaitu mengenai Penyidik Pembantu adalah

36
Ibid, hlm. 24.
28

penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi

persyaratan:

a. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;


b. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
c. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan  surat keterangan
dokter;
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Ketentuan lain disebut dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutmen dan

Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur tentang

Persyaratan Calon Peserta Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Polri meliputi:

a. Berpangkat paling rendah Inspektur Polisi Dua (Ipda).


b. Berijazah sarjana yang terakreditasi, paling rendah Strata 1 (S1)
dandiutamakan berijazah Sarjana Hukum.
c. Memiliki minat di bidang penyidikan disertai dengan surat
pernyataan.
d. Mampu mengoperasionalkan komputer yang dibuktikan dengan
surat keterangan dari Kasatker atau Kasat fungsi atau dari lembaga
kursus.
e. Telah mendapatkan rekomendasi dari Satker yang bersangkutan
untuk mengikuti seleksi disertai dengan daftar penilaian kinerja.
f. Sehat Jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dari dokter Polri.
g. Tidak bermasalah baik pidana atau pelanggaran yang dibuktikan
Surat Keterangan Hasil Penelitian (SKHP).

Selanjutnya, pada Pasal 2A ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor

58 Tahun 2010 juncto Pasal 10 huruf a Perkap Nomor 1 Tahun 2012 tentang

Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Polri, dikatakan bahwa Penyidik harus

berpangkat paling rendah Inspektur Polisi Dua sehingga pangkat Ajun

Inspektur Polisi Dua (Aipda) dan Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) tidak
29

dapat dikategorikan lagi sebagai Penyidik melainkan sebagai Penyidik

Pembantu dan berdasarkan Pasal 2A ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2010 juga dikatakan bahwa Penyidik berpendidikan paling

rendah Sarjana Strata Satu (S1) atau setara, sementara di Pasal 10 huruf a

Perkap Nomor 1 Tahun 2012 tentang tentang Rekrutmen dan Seleksi Penyidik

Polri, dikatakan bahwa penyidik harus berijazah paling rendah Sarjana Strata

Satu (S1) terakreditasi dan diutamakan berijazah Sarjana Hukum (SH).

Berikut pengertian penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah setiap tindakan penyidik

untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan

bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu

benar-benar terjadi.

Keyakinan tersebut harus diperoleh dengan mempertimbangkan

kemauan ketentuan hukum yang sesungguhnya dengan parameter apakah

perbuatan tersebut telah melanggar nilai-nilai yang hidup dalam komunitas

yang ada di masyarakat setempat.37

Serangkaian tindakan mencari, mengumpulkan informasi dan bahan

ketentuan yang mampu menjelaskan tentang suatu peristiwa yang diduga

sebagai peristiwa pidana.38

37
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 32.
38
Ibid, hlm. 33
30

Penyidik harus mampu membongkar pelanggaran hukum yang

sebenarnya sehingga dapat menjadi terang benderang suatu perkara yang pada

akhirnya dapat disimpulan sebagai tindak pidana.39 Penyidikan merupakan

awal dari proses penyelesaian perkara pidana yang menjadi patokan

sehingga sebuah perkara dapat dilimpahkan ke pengadilan. Penyidikan

dilaksanakan dengan tujuan memperoleh bukti guna menentukan apakah

suatu perkara dapat dituntut di muka sidang pengadilan atau tidak.

Menurut De Pinto, sebagaimana dikutip oleh R. Tresna, opsporing

adalah pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh

undang-undang segera setelah mereka dengan jalan mendengar kabar, bahwa

telah terjadi suatu pelanggaran hukum.40

Secara konkrit tindakan itu disebut penyidikan  dapat diperinci  sebagai

tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan

tentang:41

a. Tindak pidana apa yang telah dilakukan;

b. Kapan tindak pidana itu dilakukan;

c. Dimana tindak pidana itu dilakukan;

d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

e. Bagaimana tindak tidana itu dilakukan;

f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan;               

g. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

39
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Kepolisian Negara Dilengkapi Dengan
Peraturan Pemerintah Lainya , Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 4.
40
R Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, Unpad, Bandung, 1959, hlm. 23
41
Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm 8.
31

2.Tugas Dan Kewenangan Penyidik


Tugas penyidik adalah melaksanakan penyidikan, yaitu serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk mencari dan

mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang

tindak pidana terjadi dan guna menentukan tersangkanya.42

Dalam melaksanakan tugasnya penyidik tersebut wajib menjunjung

tinggi hukum yang telah ditetapkan Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di samping itu penyidik juga

mempunyai tugas: 43

a. Membuat berita acara tentang hasil pelaksanaan tindakannya;


b. Menyerahkan berkas-berkas perkara kepada Penuntut Umun atau Jaksa;
penyidik dari Pegawai Negeri Sipil menyerahkannya dengan melalui
penyidik dari pejabat kepolisian negara.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, seorang penyidik mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya


tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagi tersangka
atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentikan penyidikan;

42
M. Husein harun, Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 1991, hlm.123.
43
Ibid.
32

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung


jawab.

Secara umum rangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik tersebut

dapat dikelompokkan menjadi beberapa tindakan yaitu:44

1) Tindakan pertama di tempat kejadian;

Tempat Kejadian Perkara merupakan tempat berlangsung-

nya tindak pidana serta di lingkungan sekitarnya ditemukan barang

bukti dan jejak-jejak kejahatan, karena tidak ada suatu kejahatan

yang tidak meninggalkan bekas, untuk itu dalam mengungkap

suatu kejahatan petugas kepolisian harus tahu darimana dan

bagaimana memulai kegiatan. Adapun tata urutan pelaksanaan olah

Tempat Kejadian Perkara yang berdasar pada petunjuk teknis

Kepolisian Republik Indonesia dengan nomor polisi JUKNIS

01/II/1982 tentang penanganan tempat kejadian perkara (TKP)

menyebutkan sebagai berikut :

a) Pengamatan umum (general observation)


b) Pemotretan
c) Pembuatan sketsa

Setelah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana, maka penyidik harus segera

melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, hal ini bertujuan

untuk:

a) Menyelamatkan nyawa korban;


44
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hlm 158
33

b) Menangkap pelaku tindak pidana;


c) Menutup tempat kejadian perkara;
d) Menemukan barang bukti;
e) Menemukan saksi.

2) Melakukan penangkapan;

Syarat untuk dapat dilakukan penangkapan adalah adanya

dugaan keras bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana dan

atas dugaan tersebut harus didasarkan pada permulaan bukti yang

cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup

ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana

sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir (14) Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal ini menunjukkan

bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan

sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-

betul melakukan tindak pidana. Hal ini dinyatakan pada penjelasan

Pasal 17 KUHAP.45

3) Melakukan Penahanan;

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) KUHAP, menyebutkan

bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik

pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan

penahanan.

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di

tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim

Ibid.
45
34

dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini, hal ini diatur dalam KUHAP yakni

dalam Bab 1 butir 21. KUHAP hanya mengatur dalam rincian

pasal tentang materi penangguhan penahanan yang menyangkut

jaminan uang atau orang dan pejabat yang berwenang menetapkan

penangguhan penahanan serta keberadaan tersangka atau terdakwa

jika melarikan diri dari status penangguhan penahanan.

Dalam konsep penahanan menurut KUHAP memberikan

penyederhanaan. Tidak lagi ada istilah penahanan sementara

ataupun penahanan yang biasa sehingga konsep penahanan

menurut KUHAP lebih baik dibandingkan konsep penahanan

menurut HIR. Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan

kemerdekaan bergerak seseorang.

Jadi di sini terdapat pertentangan dua asas, yaitu hak

bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus

dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain

pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau

masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.46

4) Melakukan penggeledahan;

Ibid, hlm. 160


46
35

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), tidak memberikan pengertian tentang

penggeledahan secara jelas, namun melihat pengertian yang

diberikan dalam Pasal 1 butir (17) dan (18) KUHAP, maka dapat

disimpulkan bahwa penggeledahan adalah tindakan penyidik untuk

melakukan pemeriksaan rumah, badan dan pakaian tersangka untuk

menemukan bukti yang ada padanya. Sedangkan dalam Pasal 32

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, menyebutkan bahwa:

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan


penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau
penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang.

Pengeledahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

dilakukan Penyidik untuk kepentingan penyidikan. Penggeledahan

dapat berupa pengeledahan rumah atau pengeledahan pakaian atau

pengeledahan badan.

Pengeledahan rumah adalah tindakan Penyidik untuk

memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk

melakukan tindakan pemeriksaaan dan/atau penyitaan dan atau

penangkapan dalam hal dan cara yang diatur undang-undang.

Adapun yang dimaksud dengan pengeledahan badan adalah

tindakan Penyidik untuk melakukan pemeriksaan badan atau


36

pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada

pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

5) Melakukan penyitaan;

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk

mengambilalih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya

benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan

peradilan.47

Penyitaan adalah tindakan hukum dalam proses penyidikan

yang dilakukan oleh penyidik untuk menguasai secara hukum atas

suatu barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak

yang diduga terkait erat dengan tindak pidana yang sedang terjadi.

6) Pemeriksaan terhadap tersangka;

Pada tingkat penyidikan, tersangka harus dilindungi hak-

haknya, serta perlindungan terhadap hak untuk mempertahankan

kebenaran dan pembelaan diri.

Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi

Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisan Republik

Indonesia. 48

7) Pemeriksaan terhadap saksi;

Ibid.
47

Ibid, hlm. 161


48
37

Pemeriksaan terhadap saksi memiliki mekanisme yang

sama dengan pemeriksaan terhadap tersangka. Pada tingkat

penyidikan, saksi dalam memberi keterangannya tidak perlu

disumpah, lain halnya jika di muka sidang pengadilan, semua

saksi harus disumpah terlebih dahulu. Namun bisa saja saksi

dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dapat dibebani sumpah,

karena alasan tertentu.49

Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang

berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa.

Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, yang di maksud dengan saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut Pasal 1

angka 27 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana, adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dan pengetahuannya itu

8) Meminta Bantuan Ahli

Dalam Pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:


Ibid.
49
38

Dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat meminta


pendapat orang lain atau orang yang memiliki keahlian
khusus.

Maksud dan tujuan dari pemeriksaan ahli adalah agar

peristiwa pidana yang terjadi dapat terungkap lebih jelas.

Pemeriksaan terhadap ahli yang dilakukan penyidik oleh undang-

undang ditentukan berdasarkan dua cara yaitu berupa keterangan

langsung yang diberikan di hadapan penyidik dan keterangan

dalam bentuk tertulis. Keterangan langsung yang diberikan seorang

ahli, sebagaimana diatur dalam Pasal 120 Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, haruslah keterangan

yang berdasarkan pada keahlian yang dimilikinya dan disampaikan

langsung di hadapan penyidik yang terlebih dahulu, ahli yang

bersangkutan harus mengangkat sumpah.

Sedangkan keterangan tertulis biasanya disebut dengan

visum et repertum yaitu keterangan seorang ahli kedokteran

kehakiman tentang keadaan korban, baik luka, keracunan ataupun

meninggal karena suatu peristiwa pidana, maka atas permintaan

penyidik, ahli kedokteran kehakiman atau dokter lain yang

ditunjuk penyidik harus memberikan keterangan sesuai apa yang

diketahuinya.50 Keterangan tertulis ini diatur pada Pasal 133 ayat

(2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yang menyebutkan bahwa:

Ibid, hlm. 162


50
39

Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

9) Bedah mayat dan penggalian mayat;

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 133 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tentang

keterangan tertulis dari seorang dokter atau ahli kedokteran

kehakiman, maka untuk kepentingan peradilan, maka penyidik

dapat meminta seorang ahli untuk melakukan bedah mayat,

ataupun penggalian mayat.

Keduanya harus diberitahukan kepada keluarga terlebih

dahulu dan disertai dengan alasan-alasan dilakukan tindakan

tersebut. Jika keluarga keberatan dan dalam jangka waktu dua hari

tidak ditanggapi oleh keluarga, maka penyidik tetap dapat

mengirim mayat pada ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter

rumah sakit, untuk segera dilakukan pemeriksaan.

Setelah penyidik selesai melakukan penyidikan, maka untuk

selanjutnya penyidik harus segera menyerahkan berkas perkara kepada

jaksa penuntut umum. Dalam hal ini meskipun penyidik menganggap

penyidikan telah selesai, namun sifatnya relative karena selesai atau

belum selesainya penyidikan tergantung pada jaksa penuntut umum.

Oleh karena itu proses penyerahan berkas perkara pada penuntut umum
40

menurut Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana terdiri dari dua tahap yaitu:51

Pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, pada

tahap ini penyidik menunggu jaksa penuntut umum untuk

menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap. Dalam hal jaksa

penuntut umum menyatakan bahwa hasil penyidikan tersebut kurang

lengkap, maka jaksa penuntut umum akan mengembalikan berkas

perkara pada penyidik, sehingga penyidik dapat segera melakukan

penyidikan tambahan. Hal ini berkaitan dengan penyidikan ketentuan

pada Pasal 110 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana.

Kedua, dalam hal penyidikan sudah dianggap sudah selesai,

penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti

kepada jaksa penuntu umum. Pada tahap inilah jaksa penuntut umum

dalam jangka waktu 14 hari sejak berkas perkara diserahkan dan tidak

mengembalikan kepada penyidik, maka tanggungjawab penyidikan atas

tersangka dan barang bukti beralih pada penuntut umum secara yuridis,

sehingga penyidikan dianggap telah selesai. Hal ini diatur dalam Pasal

110 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, menyatakan dengan jelas bahwa penyidikan dianggap telah

selesai apabila dalam waktu empat belas hari jaksa penuntut umum tidak

mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu

51
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2014, hlm. 60
41

tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari jaksa

penuntut umum kepada penyidik.

B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencurian


1. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana ini dalam istilah bahasa Belanda

diterjemahkan dengan strafbaarfeit, yang secara teoritis merupakan kreasi

oleh para ahli hukum Belanda dan Indonesia hingga saat ini. Di dalam

doktrin ilmu pengetahuan hukum pidana istilah strafbaarfeit ini telah

menimbulkan perdebatan di kalangan para sarjana di Indonesia maupun

sarjana di luar Indonesia. Selain istilah strafbaarfeit ada juga yang memakai

istilah lain yaitu delict, yang kemudian diterjemahkan dengan delik.52

Timbulnya perbedaan terjemahan istilah tindak pidana disebabkan

luasnya dan banyak seginya dari strafbaarfeit itu sendiri. Secara harfiah kata

feit itu berarti peristiwa, akan tetapi karena peristiwa dalam bahasa

Indonesia meliputi bukan saja perbuatan manusia, maka Satochid tidak

setuju dengan istilah tersebut.

Strafbaarfeit itu adalah perbuatan manusia menselijke handeling,

akan tetapi Satochid pun tidak setuju dipakai istilah perbuatan, karena dalam

pandangan Satochid pun tidak tepat apabila digunakan atau dipakai kata

peristiwa karena istilah ini sendiri dianggap terlalu luas karena meliputi juga

peristiwa yang bukan perbuatan manusia.53

52
H.M. Rasyid Ariman, Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Pres, Malang, 2016, hlm.
58
53
Ibid, hlm. 59
42

Oleh karena itu, maka istilah perbuatan terlalu sempit, sebab menurut

bahasa, perbuatan itu hanya meliputi perbuatan yang aktif, gerakan badan

spierbeweging, padahal dengan strafbaarfeit itu juga dimaksudkan

perbuatan yang pasif, yakni bila seseorang tidak berbuat, misalnya tidak

datang dipanggil jadi saksi, tidak menutup pintu jalan kereta api, tidak

memberi pertolongan pada orang dalam bahaya dan lain sebagainya. Di

samping itu perbuatan itu bukanlah spierbeweging sembarang, tiap

perbuatan harus pula merupakan perbuatan yang disadari bewuste handeling

atau perbuatan yang dikehendaki gewilde handeling.

Selanjutnya diterangkan oleh pakar hukum Simons, mendefinisikan

dan merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan manusia yang

bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana oleh undang-undang

perbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan

dan dapat dipersalahkan kepada si pembuat.54

Secara harfiah perkataan tindak pidana dapat diterjemahkan sebagai

sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.55 Akan tetapi, diketahui

bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan

bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. Moeljatno menerjemahkan

istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum disertai ancaman

54
Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Pthaem, Jakarta,
1986, hlm. 205
55
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Edisi Pertama, Cetakan. Pertama,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 71
43

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Pengertian

perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu

yang sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif.56

Menurut Pompe, perbuatan tindak pidana secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib

hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan

oleh seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku adalah perlu

demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.57

R. Tresna memberi definisi peristiwa pidana sebagai sesuatu

perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan

undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman tindak pidana merupakan

suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau Verbrechen atau misdaad)

yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.58

Memperhatikan defenisi di atas, maka ada beberapa syarat untuk

menentukan perbuatan itu sebagai tindak pidana, syarat tersebut adalah

sebagai berikut:
56
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 49
57
Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 75
58
R. Tresna, Op.Cit, hlm. 34
44

1) Harus ada perbuatan manusia;


2) Perbuatan manusia itu bertentangan dengan hukum;
3) Perbuatan itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan
pidana;
4) Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung-
jawabkan;
5) Perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan si pembuat.

Van Hamel membuat defenisi yang hampir sama dengan Simons,

tetapi menambah lagi dengan satu syarat, yakni perbuatan itu harus

mengandung sifat yang patut dipidana strafwaardig.59

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-

unsur yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam unsur, yaitu unsur-unsur

subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur

subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.60

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. 61

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :62

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)


2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
59
Sudarto, Op.Cit, hlm. 40
60
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2001, hlm. 22
61
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hlm.193
62
Ibid, hlm. 194
45

3) Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya di dalam


kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
dalam Pasal 340 KUHP.
5) Perasaan takut atau vress seperti antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif suatu tindak pidana itu adalah:63

1) Sifat melanggar hukum atau wederechtelijkeheid.


2) Kualitas dari si pelaku misalnya keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 358 KUHP.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Sementara, Eddy O.S Hiariej menjabarkan unsur-unsur tindak pidana

tersebut dengan elemen-elemen tindak pidana dengan mengutip pendapat

Moeljatno berpendapat bahwa elemen-elemen perbuatan pidana adalah: 64

1) Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat.


2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
4) Unsur melawan hukum yang objektif.
5) Unsur melawan hukum yang subjektif.

Eddy O.S Hiariej menjelaskan lebih lanjut tentang elemen-elemen

tindak pidana yaitu, pertama perbuatan yang terdiri dari kelakuan, tindakan

dan akibat. Perlu diingat bahwa tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi

pada waktu yang bersamaan. Kedua, hal ikhwal yang menyertai perbuatan,

contoh pada tindakan pidana sebagaimana melanggar Pasal 345 KUHP,

matinya seseorang karena bunuh diri akibat dorongan atau hasutan orang

63
Ibid.
64
Eddy O.S Hiarie, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta,
2014, hlm. 94.
46

lain adalah hal ikhwal yang menyertai perbuatan. Ketiga, keadaan tambahan

yang memberatkan pidana, contohnya yaitu ketentuan Pasal 351 ayat (2)

yang mengakibatkan luka-luka berat dan Pasal 351 ayat (3) yang

mengakibatkan kematian adalah keadaan tambahan yang memberatkan.

Keempat, unsur melawan hukum yang objektif atau objektif onrechtselement

adalah perbuatan nyata yang secara kasat mata memenuhi unsur delik,

kelima, unsur melawan hukum yang subjektif atau subjektif

onrechtselement, adalah niat dan sikap bathin pelaku.65

Supaya perbedaan antara KUHP dengan pandangan ahli di atas

dalam penyebutan istilah unsur-unsur dengan istilah elemen-elemen, maka

penulis menelusuri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan ditemukan

bahwa unsur berpadanan kata dengan elemen, sehingga dapat diartikan

bahwa unsur dan elemen adalah sama. Walaupun Eddy O.S Hiariej tidak

mengklasifikasikan elemen-elemen tindak pidana ke dalam elemen subjektif

dan elemen objektif, sebagaimana pengklasifikasian menurut KUHP, akan

tetapi jika dipersandingkan akan terdapat persamaan-persamaan yang dapat

penulis jabarkan bahwa :

1) Elemen perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat, elemen


hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan dan unsur
melawan hukum yang subjektif dapat diklasifikasikan sebagai
unsur subjektif tindak pidana sebagaimana diklasifikasikan
menurut KUHP.

2) Elemen keadaan tambahan yang memberatkan pidana dan


elemen unsur melawan hukum yang objektif dapat dipersamakan
dengan klasifikasi unsur objektif tindak pidana menurut KUHP.

65
Ibid.
47

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana


Jenis-jenis tindak pidana, menurut Moeljatno terdapat jenis-jenis

tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran juga

dibedakan dalam teori dan praktek yang lain adalah:66

1) Delik dolus dan delik culpa, bagi delik dolus dipergunakan


adanya kesengajaan sedangkan pada delik culpa orang juga
sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu terbentuk kealpaan;

2) Delik commissionis dan delik commissionis, delik commissionis


adalah delik yang terdiri dari suatu perbuatan yang dilarang oleh
aturan-aturan pidana, sedangkan delik commissionis delik yang
terdiri dari tindak perbuatan sesuatu atau melakukan sesuatu
padahal mestinya berbuat;

3) Delik biasa dan delik yang dikualisir (dikhususkan), delik khusus


adalah delik biasa tambah dengan unsur-unsur lain itu mengenai
cara yang khas dalam melakukan delik biasa.

4) Delik menerus dan tidak menerus, delik menerus adalah


perbuatan yang dilarang menumbulkan keadaan yang
berlangsung terus.

Berdasarkan batasan-batasan tentang pengertian tindak pidana maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa, untuk terwujudnya suatu tindak pidana

atau agar seseorang itu dapat dikatakan melakukan tindak pidana harus

memenuhi unsur-unsur yang terkandung di dalam setiap pasal yang

dilanggar. Mengutip dari pendapat Buchari Said, setiap tindak pidana

haruslah ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat

mewujudkan tindak pidana. Dengan demikian pelaku atau subjek tindak

pidana itu adalah manusia, hal ini tidak hanya terlihat dari perkataan barang

siapa.67

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 71
66

Buchari Said, Ringkasan Pidana Materil, Fakultas Hukum Universitas Pasundan,


67

Bandung, 2008, hlm. 45


48

Selanjutnya jenis-jenis tindak pidana yang merujuk dari Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)

adalah sebagai berikut:

1) Delik Formil dan Delik Materil

Delik formil yaitu delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu


perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang. Selanjutnya mengenai delik materil yaitu delik
yang baru dianggap terjadi setelah timbul akibatnya yang
dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang.68

2) Delik Komisi dan Delik Omisi

Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap


larangan di dalam undang-undang. Delik komisi ini dapat berupa
delik formil yaitu Pasal 362 tentang pencurian dan dapat pula
berupa delik materil yaitu Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Delik omisi yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap
keharusan di dalam undang-undang.69

3) Delik yang Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri yaitu delik yang terdiri atas satu perbuatan
tertentu. Misalnya Pasal 338 KUHP suatu pembunuhan, Pasal
362 KUHP suatu pencurian. Delik berlanjut yaitu delik yang
terdiri atas beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri
sendiri-sendiri, tetapi antara perbuatan-perbuatan itu ada
hubungan yang erat, sehingga harus dianggap sebagai satu
perbuatan berlanjut. Misalnya, seorang pembantu rumah tangga
yang mencuri uang majikannya Rp 10.000,00 (sepuluh ribu
rupiah) yang terdiri atas 10 lembar uang seribuan yang disimpan
di dalam lemari. Uang itu diambil pembantu lembar perlembar
hampir setiap hari, hingga sejumlah uang tersebut habis
diambilnya. Itu harus dipandang sebagai suatu pencurian saja.70

4) Delik Rampung dan Delik Berlanjut

Delik rampung adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan atau
beberapa perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu

68
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 235
69
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
Cetakan ke-1, Penerbit: PT. Karya Nusantara, Sukabumi,1984, hlm. 27
70
Ibid.
49

tertentu yang singkat. Sebagai contoh Pasal 338 KUHP tentang


pembunuhan, delik ini selesai dengan matinya si korban. Delik
berlanjut yaitu delik yang terdiri atas satu atau beberapa
perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan yang dilarang oleh
undangundang. Misalnya Pasal 221 KUHP yaitu menyembunyi-
kan orang yang melakukan kejahatan, Pasal 261 KUHP yaitu
menyimpan barangbarang yang dapat dipakai untuk memalsukan
materai dan merek, Pasal 333 KUHP yaitu dengan sengaja dan
melawan hukum menahan seseorang atau melanjutkan
penahanan.71

5) Delik Tunggal dan Delik Bersusun

Delik tunggal adalah delik yang hanya satu kali perbuatan sudah
cukup untuk dikenakan pidana. Misalnya Pasal 480 KUHP
tentang penadahan.Delik bersusun yaitu delik yang harus
beberapa kali dilakukan untuk dikenakan pidana. Misalnya Pasal
296 KUHP yaitu memudahkan perbuatan cabul antara orang lain
sebagai pencarian.

6) Delik Sederhana, Delik dengan Pemberatan atau Delik


Berkualifikasi, dan Delik Berprevilise

Delik sederhana yaitu delik dasar atau delik pokok. Misalnya


Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 362 KUHP
tentang pencurian. Delik dengan pemberatan atau delik
berkualifikasi yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur yang
sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah
dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat
daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 335 KUHP
tentang pembunuhan berkualifikasi dan Pasal 363 KUHP tentang
pencurian berkualifikasi. Sedangkan yang dimaksud dengan
delik prevellise yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur yang
sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah
dengan unsurunsur lain, sehingga ancaman pidananya lebih
ringan daripada delik dasar atau delik pokok.72

7) Delik Sengaja dan Delik Kealpaan

Delik sengaja yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja.


Misalnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan. Delik kealpaan yaitu delik yang
dilakukan karena kesalahannya atau kealpaan. Misalnya Pasal
359 KUHP yaitu karena kesalahannya (kealpaannya)
71
Ibid. hlm. 28
72
Ibid.
50

menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP yaitu karena


kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka.73

8) Delik Politik dan Delik Umum

Delik politik yaitu delik yang ditujukan terhadap keamanan


negara dan kepala negara. Ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Buku II Bab I sampai Bab V, Pasal 104 KUHP sampai
Pasal 181 KUHP. Delik umum adalah delik yang tidak ditujukan
kepada keamanan negara dan kepala negara. Misalnya Pasal 362
KUHP tentang pencurian dan Pasal 372 KUHP tentang
penggelapan.74

9) Delik Khusus dan Delik Umum

Delik khusus yaitu delik yang hanya dapat dilakukan orang


tertentu saja, karena suatu kualitas. Misalnya seperti tindak
pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
Delik umum yaitu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
Misalnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 362
KUHP tentang pencurian dan lain sebagainya.75

10) Delik Aduan dan Delik Biasa

Delik aduan yaitu delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan
oleh orang yang merasa dirugikan. Misalnya Pasal 284 KUHP
tentang perzinahan, Pasal 367 Ayat (2) KUHP tentang pencurian
dalam keluarga. Delik biasa yaitu delik yang bukan delik aduan
dan untuk menuntutnya tidak perlu adanya pengaduan. Misalnya
Pasal 281 KUHP yaitu melanggar kesusilaan, Pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan.76

2. Pencurian

a. Pengertian Pencurian

73
Ibid.
74
Ibid.
75
Ibid, hlm. 29
76
Ibid.
51

Untuk mendapat batasan yang jelas tentang pencurian, maka dapat

dilihat dari Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa mengambil sesuatu barang yang mana sekali atau sebagian
termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900.

Berdasarkan pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa delik

pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kepentingan individu

yang merupakan kejahatan terhadap harta benda atau kekayaan.

Pengertian pencuri perlu kita bagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Pencurian secara aktif adalah tindakan mengambil hak milik orang lain

tanpa sepengetahuan pemilik.

b. Pencurian secara pasif adalah tindakan menahan apa yang seharusnya

menjadi milik orang lain.

Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam pencurian

disebut pencuri dan tindakanya disebut mencuri. Dalam Kamus Hukum

Sudarsono pencurian dikatakan proses, perbuatan atau cara mencuri.77

Dari segi bahasa (etimologi) pencurian berasal dari kata curi yang

mendapat awalan pe dan akhiran an. Kata curi sendiri artinya mengambil

milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan

sembunyi-sembunyi.78 Pencurian dalam Kamus Hukum adalah mengambil

milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan

sembunyi-sembunyi.79

77
Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm 85
78
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta,
2005, hlm. 225.
79
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 85.
52

Pencurian adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan orang lain

dan juga orang banyak, terutama masyarakat sekitar kita. Maka dari itu kita

harus mencegah terjadinya pencurian yang sering terjadi dalam kehidupan

seharihari, karena terkadang pencurian terjadi karena banyak kesempatan.

b. Unsur-Unsur Pencurian
Dalam ilmu hukum pidana mengenai pencurian ini telah diatur

dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 362 KUHP. Adapun unsur-unsur

pencurian ialah:80

a. Unsur-Unsur Objektif

1) Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)

Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan

mengambil barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit

terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang

barangnnya, dan mengalihkannya ke lain tempat.81

Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini

menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil.

Mengambil adalah suatu tingkah laku positif atau perbuatan materil,

yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang disengaja. Pada

umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian diarahkan pada

suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu

membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam

kekuasaannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada

80
Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 5
81
Ibid. hlm. 6.
53

perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan

benda itu ke dalam kekuasaannya.

2) Unsur benda

Pada objek pencurian, sesuai dengan keterangan dalam

Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362

KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed).

Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian

apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak.

Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini

sesuai dengan unsur perbuatan mengambil.

3) Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup

sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri.

Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B,

yang kemudian A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya.

Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam

kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang

terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).

b. Unsur-Unsur Subjektif

1) Maksud untuk memiliki


54

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur

pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als

oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur

memilikinya. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan

satu sama lain.

Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu

harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah

yang menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian

memiliki tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang

yang dicuri ke tangan pelaku dengan alasan. Pertama tidak dapat

mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum,

dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya

(subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk

memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya.

2) Melawan hukum

Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak

pidana pencurian yaitu:82

Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu


ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak
melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan
sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan
dengan hukum.

Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum

dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat

ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan


82
Moeljatno, Op.Cit, hlm 25
55

bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam

rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada

semua unsur yang ada dibelakangnya. Pendapat-pendapat diatas

diambil dari teori-teori di bawah ini:83

a) Teori kontrektasi (contrectatie theorie), teori ini mengatakan

bahwa untuk adanya suatu perbuatan mengambil disyaratkan

dengan sentuhan fisik, yakni pelaku telah memindahkan benda

yang bersangkutan dari tempatnya semula.

b) Teori ablasi (ablatie theorie), menurut teori ini untuk

selesainya perbuatan mengambil itu disyaratkan benda yang

bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku.

c) Teori aprehensi (apprehensie theorie), berdasdarkan teori ini

adanya perbuatan mengambil itu disyaratkan bahwa pelaku

harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam

penguasaannya yang nyata.

c. Jenis-Jenis Pencurian

Selanjutnya mengenai jenis-jenis pencurian tersebut apabila kita

melihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis

mengenai pencurian diantaranya adalah:84

a. Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP)

83
P.A.F. Lamintang dan C. Siromangkir, Delik Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan
Terhadap Hak Milik dan Lain Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, 1979,
hlm 15.
84
https://seniorkampus.blogspot.com/2017/08/pengertian-tindak-pidanapencurian.html
diakses pada 02 Februari 2023.
56

Istilah pencurian biasa digunakan oleh beberapa pakar hukum

untuk menunjuk pengertian pencurian dalam arti pokok. Pencurian

biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP menyebutkan bahwa:

Barang  siapa  mengambil  barang  sesuatu  yang  seluruhnya  atau


sebagian  milik  orang  lain,  dengan  maksud  untuk  dimiliki  secara
melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 900.

b. Pencurian dengan Pemberatan (Pasal 363 KUHP)

Istilah pencurian dengan pemberatan biasanya secara doktrinal

disebut sebagai pencurian yang dikualifikasikan. Pencurian yang

dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan

dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat

lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula

dari pencurian biasa.

Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan

pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan

tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-

unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali

dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

c. Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHP).

Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur

dari pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah

dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya

menjadi diperingan. Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal

364 KUHP menyebutkan bahwa:


57

Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan pasal 363 ke-4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila
tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari puluh lima
rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama
tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 900.

d. Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 KUHP)

Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut

dengan istilah pencurian dengan kekerasan atau populer dengan istilah

curas. Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai

berikut:85

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk

mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal

tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau

peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.

2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

a) ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah

rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan

umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

b) ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan bersekutu;

85
Ibid.
58

c) ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan

merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci

palsu, perintah palsu atau pakaian seragam palsu;

d) ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana pen

jara paling lama lima belas tahun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika

perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan

oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh

salah satu hal yang diterangkan dalam point 1 dan 3.

e. Pencurian dalam Keluarga (Pasal 367 KUHP)

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP

ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Pencurian dalam Pasal

367 KUHP akan terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan

(sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda

isteri atau suaminya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami

istri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah

meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayannya, maka

pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka

mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan. Tetapi apabila dalam

pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda
59

isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai anggota keluarga) baik

sebagai pelaku maupun sebagai pembantu, maka terhadap orang ini

tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan.

C. Tinjauan Tentang Kekerasan

1. Pengertian Kekerasan

Kekerasan menurut Pasal 89 KUHP adalah membuat orang menjadi

pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Dijelaskan bahwa melakukan

kekerasan artinya memepergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil

secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam

senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

Selanjutnya, pengertian kekerasan berdasarkan Pasal 1 angka 15

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang adalah setiap perbuatan terhadap

Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Kejahatan kekerasan menurut Yesmil Anwar diartikan sebagai

penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri

sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang


60

mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan

perkembangan atau perampasan hak.86

Menurut Thomas Santoso, kekerasan (geweld) itu merupakan benuk

perbuatan dengan memanfaatkan kekuatan fisik yang lebih besar, yang

ditujukan terhadap orang-orang yang mengakibatkan orang lain (fisiknya) tidak

mampu dan tidak berdaya. Dalam hal ini bentuk pembuat penyuruh sendiri

yang ditujukan pada fisik orang lain (manus manistra), sehingga orang

menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan

lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.87

Kekerasan merupakan suatu istilah yang biasa diterjemahkan dari kata

asing violence. Violence merupakan gabungan kata latin vis yang berarti daya

atau kekuatan dan kata latus yang berasal dari kata ferre, yang berarti

membawa kekuatan atau daya.88

Kekerasan dalam bahasa inggris adalah violence berasal dari bahasa

latin violentus yang berarti kekuasan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip

dasar hukum publik dan privat romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik

dilakukan secara fisik maupun secara verbal yang mencerminkan pada

tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang

dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan

dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan

bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan.89


86
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi
Hukum, UNPAD Press, Bandung, 2004, hlm. 54
87
Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Surabaya, 2002, hlm, 34
88
S. Wignyosoebroto, Gejala Sosial Masyarakat Kini yang Tengah Terus Berubah,
Simposium Ansietas, Surabaya, 1981, hlm. 18.
89
Ibid, hlm. 19
61

Kekerasan pada dasarnya merupakan perbuatan yang berdampak untuk

merugikan diri sendiri maupun orang lain, maka dari itu kekerasan bisa

dikatakan suatu kejahatan karena resiko yang ditimbulkan dari tindakan

tersebut tidak berakhir positif.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan

a. Kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang kasat mata.

Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelak

u dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak

kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll.

b. Kekerasan non fisik yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata.

Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memper

hatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.

Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu;

1) Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata.

Contohnya: membentak, memaki, menghina, meneriaki denga

n kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum menfitnah, men

yebar gosip, menuduh, menolak dengan lisan, dan lain-lain.

2) Kekerasan psikologis/psikis: kekerasan yang dilakukan lewat bahas

a tubuh.

Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempe


62

rmalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendah

kan, mencibir dan memelototi.

D. Tinjauan Tentang Jasa Transportasi

1. Pengertian Jasa Transortasi

Pengertian jasa berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu

perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,

kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan

untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan

atas petunjuk dari pemesan

Jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata

dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan

dikonsumsi secara bersamaan, di mana interaksi antara pemberi jasa dan

penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut.

Pengertian transportasi secara harfiah adalah pemindahan manusia atau

barang dari satu tempat ke tempat lain secara fisik dalam waktu yang tertentu

dengan menggunakan atau digerakkan oleh manusia, hewan atau mesin. Secara
63

umum transportasi dibagi menjadi tiga yaitu transportasi darat, transportasi laut

dan transportasi udara.

Menurut Hadihardaja, transportasi adalah pemindahan penumpang dan

barang dari satu tempat ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur yang

terpenting yaitu pergerakan (movement) dan secara fisik terjadi perpindahan

tempat atas barang atau penumpang dengan atau tanpa alat angkut ke tempat

lain.90

Transportasi adalah mengangkut atau membawa suatu barang dari suatu

tempat ke tempat lainnya atau dengan kata lain yaitu merupakan suaatu

gerakan pemindahan barang-barang atau orang dari suatu tempat ke tempat

yang lain.91

Jasa transportasi adalah salah satu sarana yang sangat dibutuhkan di

seluruh penjuru dunia. Jasa transportasi sebagai penunjang kegiatan sehari-hari

adalah hal yang sangat di butuhkan di masyrakat. Jasa transportasi adalah jasa

yang memberikan layanan kendaraan bagi masyarakat. Banyak jasa

transportasi memberikan pelayanan baik, namun dalam memahami kebutuhan

dan kepuasaan pelanggan masih terbatas. Salah satu transportasi umum yang

paling efektif dan efisien adalah ojek.

2. Peranan dan Manfaat Transportasi

Prasarana transportasi mempunyai dua peran utama, yaitu:

a. Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di daerah perkotaan;

90
Joetata Hadihardaja, Sistem Transportasi, Universitas Guru Darma, Jakarta, 1997, hlm.
32
91
Rustin Kamaludin, Ekonomi Transportasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
hlm. 2
64

b. Sebagai prasarana bagi pergerakan manusia dan/atau barang yang timbul

akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut.

Dengan melihat dua peran tersebut, peran pertama sering digunakan

oleh perencana pengembang wilayah untuk dapat mengembangkan wilayahnya

sesuai dengan rencana. Misalnya saja akan dikembangkan suatu wilayah baru

dimana pada wilayah tersebut tidak akan pernah ada peminatnya bila wilayah

tersebut tidak disediakan sistem prasarana transportasi. Sehingga pada kondisi

tersebut, parsarana transportasi akan menjadi penting untuk aksesibilitas

menuju wilayah tersebut dan akan berdampak pada tingginya minat masyarakat

untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Hal ini merupakan penjelasan peran

prasarana transportasi yang kedua, yaitu untuk mendukung pergerakan manusia

dan barang.92

Selain memahami peran dari transportasi di atas, aspek yang menjadi

penting dari sektor transportasi adalah aksesibilitas, karena perlunya

transportasi guna mendukung kedua peran yang disampaikan di atas sehingga

akan memudahkan aksesibilitas orang dan barang.

Aksesibilitas dapat pula dinyatakan dengan jarak. Jika suatu tempat

berdekatan dengan tempat lain, maka dapat dikatakan memiliki aksesibilitas

yang tinggi, demikian sebaliknya. Jadi suatu wilayah yang berbeda pasti

memiliki aksesibilitas yang berbeda, karena aktivitas wilayah tersebut tersebar

dalam sebuah ruang yang tidak merata. Akan tetapi sebuah lahan yang

diperuntukan untuk bandar udara memiliki lokasi yang tidak sembarangan,

92
Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, ITB, Bandung, 1997, hlm.
5
65

sehingga lokasinya pun sangat jauh dari kota karena harus memperhatikan segi

keamanan, pengembangan wilayah, dan lainnya. Aksesibilitas menuju bandara

menjadi rendah karena lokasinya yang sangat jauh dari pusat kota, namun

dapat diatasi dengan menyediakan sistem jaringan transportasi yang dapat

dilalui dengan kecepatan tinggi. Artinya, saat ini ukuran aksesibilitas yang

diukur berdasarkan jarak sudah tidak lagi digunakan, namun dapat diukur

berdasarkan waktu tempuh.93

Transportasi memiliki manfaat yang sangat besar dalam mengatasi

permasalahan suatu kota atau daerah. Beberapa manfaat yang dapat

disampaikan adalah:94

a. Penghematan biaya operasi

Penghematan ini akan sangat dirasakan bagi perusahaan yang

menggunakan alat pengangkutan, seperti bus dan truk. Penghematan

timbul karena bertambah baiknya keadaan sarana angkutan dan

besarnya berbeda-beda sesuai dengan jenis kendaraanya dan kondisi

sarananya. Dalam hal angkutan jalan raya, penghematan tersebut

dihitung untuk tiap jenis kendaraan perkilometer, maupun untuk jenis

jalan tertentu serta dengan tingkat kecepatan tertentu.

b. Penghematan waktu

c. Pengurangan kecelakaan

Untuk proyek-proyek tertentu, penguranga kecelakaan merupakan suatu

manfaat yang nyata dari keberadaan transportasi. Seperti

93
Ibid, hlm. 6
94
Ibid, hlm. 8
66

perbaikanperbaikan sarana transportasi pelayaran, jalan kereta api dan

sebagainya telah dapat mengurangi kecelakaan. Namun di Indonesia,

masalah ini masih banyak belum mendapat perhatian, sehingga sulit

memperkirakan besarnya manfaat karena pengurangan biaya

kecelakaan. Jika kecelakaan meningkat dengan adanya peningkatan

sarana dan pra sarana transportasi, hal ini menjadi tambahan biaya atau

bernilai manfaat negatif

d. Manfaat akibat perkembangan ekonomi

Pada umumnya kegiatan transportasi akan memberikan dampak

terhadap kegiatan ekonomi suatu daerah. Besarnya manfaat ini sangat

bergantung pada elastisitas produksi terhadap biaya angkutan.

Tambahan output dari kegiatan produksi tersebut dengan adanya jalan

dikurangi dengan nilai sarana produksi merupakan benefit dari proyek

tersebut.

e. Manfaat tidak langsung

Merupakan manfaat yang didapat karena terhubungnya suatu daerah

dengan daerah lain melalui jalur transportasi. Selain manfaat karena

terintegrasinya dua daerah tersebut, maka akan terjadi pemerataan

pendapatan dan prestise, sehingga manfaat ini sangat sulit untuk

diperhitungkan secara kuantitatif.

Anda mungkin juga menyukai