Anda di halaman 1dari 4

Kisah Tabiin Teladan, Rabi' bin Khutsaim

18 Apr 2023, 11:25 WIB


Rabi' bin Khutsaim selalu taat beribadah dan menjaga lisannya.

Sahabat Nabi Muhammad SAW berarti seseorang yang hidup sezaman, pernah bertemu
langsung, dan beriman kepada Rasulullah SAW. Definisi itu mengandaikan bahwa ada
orang-orang Mukmin yang, walaupun hidup pada masa yang sama, tidak pernah
berjumpa dengan beliau. Beberapa nama tercatat sejarah termasuk dalam golongan
demikian.

Salah seorang di antara mereka adalah Rabi’ bin Khutsaim. Riwayat tentangnya antara
lain disampaikan oleh gurunya yang juga seorang sahabat Nabi SAW, Abdullah bin
Mas’ud. Ibnu Mas’ud memandang, karakteristik lelaki yang akrab disapa Abu Yazid itu
sungguh islami. Karena itu, ia menduga, apabila Rabi’ dilihat oleh Rasulullah SAW,
maka beliau akan menyukainya.
 
Seandainya Rasulullah SAW melihatmu, niscaya beliau akan
mencintaimu.
SHARE   

“Wahai Abu Yazid, seandainya Rasulullah SAW melihatmu, niscaya beliau akan
mencintaimu,” kata sang guru.

Di lain kesempatan, Ibnu Mas’ud juga pernah berujar, “Setiap kali saya melihatmu (Rabi’
bin Khutsaim), selalu tergambar di benak saya pribadi orang-orang yang khusyuk.”

Rabi’ memiliki sifat-sifat yang sama saja dengan para sahabat Rasulullah SAW. Ia
beriman teguh kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia pun ikhlas dan tenang dalam beribadah.
Hatinya bergetar saat membaca atau mendengarkan ayat-ayat suci Alquran.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ selalu bersikap warak, yakni menjaga diri dari dosa-dosa.
Hatinya senantiasa memancarkan cahaya iman dan takwa. Ibadahnya selalu khusyuk.
Zikirnya penuh terarah mengingat Allah Ta’ala.

Seorang yang pernah membersamainya berkata tentang sosok ini. “Saya bersama Rabi’
bin Khutsaim selama 20 tahun. Sungguh, belum pernah ia mengucapkan kalimat-kalimat
kecuali bahwa kalimat-kalimat itu mengingatkanku kepada Allah.”

Kesan yang sama dirasakan Abdurrahman bin Ajlan kala bertemu dengan Rabi’. “Saya
pernah bermalam dengannya (Rabi’ bin Khutsaim). Ketika ia yakin saya telah tidur,
secara diam-diam ia pun bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Dalam shalatnya, ia
berulang-ulang membaca ayat (Alquran surah al-Jatsiyah ayat ke-21).

“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan
memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan
kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya
penilaian mereka itu.”
Hal ini ia lakukan sepanjang malam sampai terbit fajar. Menjelang subuh, kulihat kedua
matanya basah kuyup air mata.”

Kesaksian mengenai akhlak lelaki tabiin ini juga disampaikan Hilal bin Isaf. Bukan
hanya taat beribadah mahdah, Rabi’ pun sungguh-sungguh menjaga lisannya dari
perkataan yang sia-sia dan pembicaraan yang kotor.

“Bila kau duduk di samping Rabi’ sepanjang tahun, kau akan menemukan bahwa ia tidak
akan berbicara denganmu sampai kau yang bertanya terlebih dahulu kepadanya. Ia tidak
akan memulai berbicara kalau kau tidak memulainya. Itu disebabkan, ia telah menjadikan
zikir kepada Allah (sebagai amalan) di lisannya. Ia telah menjadikan diamnya untuk
berpikir,” terang Hilal.
 
Ia (Rabi' bin Khutsaim) telah menjadikan zikir kepada Allah (sebagai
amalan) di lisannya. Ia telah menjadikan diamnya untuk berpikir.
SHARE   

Rabi’ benar-benar menyadari bahwa setiap insan diciptakan Allah untuk beribadah
kepada-Nya. Karena itu, tiada satu hari pun dijalaninya kecuali untuk terus meningkatkan
ketakwaan dan amal saleh. Itu sebagai bekal akhirat kelak. Dibanding dunia, akhirat lebih
utama dan kekal.

Betapa pikirannya selalu terbayang dengan gambaran mengenai hari akhir. Pernah saat di
tengah perjalanan, Rabi’ tiba di daerah tepi Sungai Furat. Saat singgah di sebuah rumah,
ia melihat tungku pembakaran berbahan batu.

Rabi’ kemudian terpaku sunyi melihat lidah api yang berkobar di tungku tersebut.
Semakin pemiliknya memasukkan arang, kian menyala api itu. Melihatnya, sang tabiin
tampak gemetar. Bahkan, sebuah riwayat menuturkan, dirinya sampai jatuh pingsan saat
itu.

Sebab, Rabi’ langsung teringat pada siksa neraka, sebagaimana digambarkan dalam
Alquran surah al-Furqan ayat ke-12 dan 13.

“Apabila ia (neraka) melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar
suaranya yang gemuruh karena marahnya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat
yang sempit di neraka dengan dibelenggu, mereka di sana berteriak mengharapkan
kebinasaan.”
Kala sudah berusia sepuh, Rabi’ tetap melanjutkan kebiasaannya untuk selalu shalat lima
waktu secara berjamaah. Bahkan, dalam kondisi sakit dan sukar berjalan pun dirinya
berupaya hadir di masjid. Istikamahnya menjadi inspirasi jamaah, terutama kalangan
muda.

Pernah dirinya ditanya oleh seorang yang memapahnya ke masjid: “Wahai Tuan,
mengapa engkau masih ingin berjamaah di masjid? Bukankah dalam kondisi ini Tuan ada
keringanan?”
Rabi’ menjawab, “Bukankah kita dipanggil (dalam kumandang azan) untuk menuju
kemenangan (hayya 'alal falah), dan kita akan mendatanginya bahkan dengan merangkak
sekalipun?”

Anda mungkin juga menyukai