Anda di halaman 1dari 63

BAGIAN EMPAT

METODE DERET
BERKALA
(TIME SERTES)
BOX-JENKINS (ARIMA)
Dengan adanya penggunaan komputer yang semakin meluas di dalam berbagai
organisasi, maka metode analisis deret-berkala lebih umum dan berdasrkan ilmu
statistic, yang dikenal sebagai Box-Jenkins atau ARIMA (autoregressive / integrated /
moving average) tetah dikembangkan lebih lanjut dan diterapkan untuk peramalan. Pada
Bagian Empat akan dibahas pendekatan-pendekatan yang secara matematis lebih
canggih. Intinya adalah sama seperti peramalan dengan metode pemulusan (smoothing)
dan dekompresi yang didasarkan pada analisis deret berkala (time series) historis. Akan
tetapi, pendekatan yang digunahan di dalam menetapkan pola deret berkala historis
yang demikian beserta metodologi yang digunakan untuk mengekstrapolasi pola-pola
tersebut untuk masa yang akan datang tebih didasrkan pada teori statistic yang telah
dikembangkan dengan baik.
Meskipun pendekatan autoregresive / integrated /moving average (ARIMA) ini secara
teoritis dan statistis sangat menarik, akan tetapi kerumitan mereka menghalangi
pemakaian secara luas sebagai dasar untuk peramalan di dalam organisasi-organisasi.
Agar metodologi tersebut dapat digunakan, maka harus dilakukan analisis data deret
berkala historis, ketepatan model harus diukur dan model-model tersebut harus
diterapkan untuk tujuan peramalan. Meskipun beberapa pedoman yang bermanfaat
untuk menangani tugas-tugas tersebut telah dikembangkan, masih tetap diperlukan
adanya pengalaman dan usaha mencoba-coba (trial and error) agar dapat menggunahan
pendekatan-pendekatan tersebut dengan berhasil.
Pada Bab 8 dikemukahan unsur-unsur dasar dari seluruh shema Autoregressive /
moving average untuk analisis deret berkala. Hal ini meliputi pengenalan jenis-jenis
model yang dapat dikembangkan dan alat-alat metodologi yang digunakan untuk
menetapkan suatu model yang paling tepat untuk suatu himpunan data deret berkala
tertentu. Di samping itu juga dibahas prosedur dasar tentu tertentu untuk mengenali dan
menangani masalah non-stasioneritas dan musim (seaonality).
Pada Bab 9 dibahas pendekatan Box-Jenkins untuk penggunaan peramalan ARIMA.
Dikemukakan tiga tahap pendekatan, yaitu identifikasi, penaksiran (estimation) dan
pengujian serta penerapan. Juga digambarkan secara terinci penggunaan praktisnya.
Sejumlah gambar atau grafik dicantumkan untuk memperlihatkan bagaimana
penggunaan metodologi seperti autokorelasi, korelasi parsial dan spektrum garis yang
digambarkan di dalam Bab 8.
Bab 10 akan membahas perluasan metodologi Box-Jenkins untuk analisis deret berkala
multivariat (fungsi transfer) yang melibatkan dua atau lebih kelompok data. Meskipun
sangat kompleks, metodologi ini semakin banyak di pakai oleh para peramal. Di dalam
bab ini juga diberikan contoh pengerjaan yang lengkap.
8/ DASAR-DASAR
ANALISIS DERET
BERKALA (TIME SERIES)

8/1 Pendahuluan
8/2 Model-model untuk Data Deret Berkala
8/2/1 Model Random: ABTMA (0,0,0)
8/2/2 Model Random yang Tidak Stasioner: ARIMA (0,l,0)
8/2/3 Model Autoregresif yang Stasioner Berorde Satu; ARIMA (1,0,0)
8/2/4 Model Moving Average Stasioner Berorde Satu: ARIMA (0,0,1)
8/2/5 Model Campuran Sederhana: ARIMA (1,0,1)
8/2/6 Kombinasi-kombinasi yang Berorde Lebih Tinggi; ARIMA (p, d, q)

8/3 Alat-alat Metodologi untuk Menganalisis Data Deret Berkala


8/3/1 Ptot Data
8/3/2 Koefisien Autokorelasi
8/3/3 Distribusi Sampling Autokorelasi
8/3/4 Periodogram dan Analisis Spektral
8/3/5 Koefisien Autokorelasi parsial

8/4 Aplikasi Analisis Deret-Berkala


8/4/1 penentuan Kerandoman Data (atau Nilai Sisa)
8/4/2 Pengujian Stasioneritas suatu Derer Berkala
8/4/3 Menghilangkan Ketidakstasioneran daram suatu Deret Berkala
8/4/4 Mengenali Adanya Faktor Musiman (Seasonality) dalam suatu Deret-
Berkala

8/5 Rekapitulasi
APENDIKS 8-A Statistik Q Box-pierce
APENDIKS 8-B pencocokan Gelombang sinus untuk Data Deret-Berkala
REFERENSI DAN PUSTAKA TERPILIH
LATIHAN
8/1 Pendahuluan

Seperti yang dikemukakan di dalam bab-bab sebelumnya, bahwa penggunaan metode-


metode peramalan umum meliputi dua tugas dasar yaitu: analisis deret data dan seleksi
model peramalan (yaitu: metode khusus di dalam kelas umum tersebut) yang paling
cocok dengan deret data tersebut. Jadi, dalam pemakaian metode pemulusan
(smoothing), analisis deret data untuk memeriksa adanya faktor musiman (seasonality)
akan membantu penetapan metode pemulusan tertentu yang dapat menangani ada-atau-
tidaknya pengaruh musiman tersebut. Tahapan yang sama berupa analisis dan seleksi
juga digunakan dalam pemakaian metode-metode dekomposisi dan regresi. Dengan
demikian tidak mengherankan bila di bagian keempat buku ini yang membahas metode
deret berkala umum akan ditemukan lagi dua pekerjaan yang sama yaitu penganalisaan
dan penyeleksian model. Bab ini akan memusatkan perhatian pada kas pertama analisis,
sedangkan dua bab berikutnya akan memusatkan perhatian pada tugas penyeleksian
model (dan pembuatan ramalan).

Sehubungan dengan pendekatan umum yang menggunakan analisis deret berkala, bab
ini mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
1. Memperkenalkan berbagai konsep yang digunakan di dalam analisis deret berkala
(time series) (dan peramalan).
2. Mendefinisikan beberapa notasi umum (yang dikemukakan oleh Box dan Jenkins,
1970) yang berhubungan dengan model-model deret berkala.
3. Deskripsi alat-alat statistik yang terbukti bermanfaat di dalam menganalisa deret
berkala.
4. Memberikan gambaran mengenai bagaimana konsep-konsep notasi dan alat-alat
statistik tersebut dapat dikombinasikan untuk membantu berbagai analisis deret
berkala.
Bagian akhir pengantar ini akan menghubungkan kelas umum metode peramalan deret
berkala yang dikemukakan di dalam Bagian Empat ini dengan tiga kelas metode yang
telah dibahas di dalam Bagian Dua dan Tiga.
Di dalam Bagian Dua telah diuji dua kategori utama teknik peramalan deret berkala
yaitu pemulusan (smoothiug) dan dekomposisi (decomposition). Metode pemulusan
mendasarkan ramalannya pada prinsip perata-rataan (penghalusan) kesalahan-kesalahan
masa lalu dengan menambahkan persentase kesalahan kepada persentase ramalan
sebelumnya. Secara matematik, metode pemulusan tunggal berbentuk sebagai berikut:

F t−1=F t +α ( X t −Ft )

¿ F t +α ( et ) . (8-1)

Persamaan (8-1) dapat diperluas dengan mensubtitusikan


F t=F t −1 +α ( X t −1 −Ft −1) .

Sehingga menjadi :

F t−1=F t−1 +α ( X t−1−F t −1 ) + α ( X t −F t )

¿ F t−1+ α ( e t −1 ) + α ( e t ) . (8-2)

Dengan mensubtitusikan Ft – 1 ke bentuk awal persamaan (8-2), akan diperoleh

F t+1 =Ft −2+ α ( e t−2 ) + α ( e t−1 ) +α ( et ) (8-3)

Hasil pengembangan lebih lanjut substitusi ini akan menjadi jelas. Dengan diketahui
suatu ramalan awal, misalkan Ft – 2, dapat diperoleh ramalan baru dengan menambahkan
suatu persentase kesalahan antara nilai sebenarnya dengan nilai ramalan tersebut
(misalkan X1 – 2 – Ft – 2 ), dengan demikian secara rata-rata Ft + 1 akan mempunyai pola
yang mendekati pola data sebenarnya.

Metode dekomposisi deret berkala didasarkan pada prinsip “pemecahan” data deret
berkala ke dalam masing-masing komponenyya yaitu musiman trend, siklus dan unsur
random, dan-kemudian dilakukan., peramalan terhadap, nilai masing-masing dan
komposisi tersebut secara terpisah (kecuali factor acak yang tidak dapat diduga) dan
akhirnya menggabungkan kembali ramalan-ramalan tersebut. Metode pemulusan dan
dekomposisi kedua-duanya hanya memperlihatkan ramalan mereka sebagai fungsi dari
waktu.

Pendekatan peramalan yang lain telah dibahas di dalam Bagian Tiga. Pendekatan ini
meliputi metode kausal atau metode eksplanatori, dengan penekanan pada regresi.
secara umum, metode regresi berusaha meramalkan variasi dari sejumlah faktor lain
yang disebut variabel bebas. Di dalam regresi ganda sebagai contoh, model kausal atau
eksplanatori mempunyai bentuk;

Y =b0 +b1 X 1 +b 2 X 2 +∙ ∙∙+ bh X k +e . (8-4)

di mana Y adalah variabel tak bebas, X1 sampai Xk adalah variabel bebas, b2 sampai bk
adalah koefisien regresi linear dan e menyatakan unsur kesalahan.
Di dalam bab ini, pembahasan akan difokuskan pada kombinasi prinsip-prinsip yang
dikemukakan pada Bagian Dua dan Tiga. Selanjutnya beberapa prinsip seperti yang
digunakan di dalam regresi akan drterapkan pada metode deret berkala dan akan
diutarakan di bawah ini.
Di dalam persamaan (8-4), X1, X2, . . . , Xk dapat berupa berbagai faktor seperti GNP,
iklan, harga, persediaan., uang dan sebagainya. Apabila variabel-variabel tersebut
didefinisikan sebagai X1 = Yt – 1, X2 = Yt – 2 , X3 = Yt – 3 , … , Xk = Yt – k , maka persamaan
(8-4) kemudian menjadi :

Y t =a+ b1 Y t −1+ B2 Y t −2 +∙ ∙∙+ bk Y t−k +e t (8-5)

Persamaan (8-5) masih merupakan persamaan regresi, tetapi berbeda dengan (8-4)
merupakan faktor-faktor bebas yang lain, yaitu pada persamaan (8-5) merupakan nilai
sebelumnya dari variabel tak bebas Yt. Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai time-lagged
dari variabel tak bebas, dan oleh karena itu digunakan istilah autoregresi (AR) untuk
menjelaskan bentuk persamaan (8-5). Dengan memeriksa persamaan (3-21), yang
ditunjukkan di bawah ini, dapat dilihat bahwa pemulusan eksponensial tunggal (single
exponential smoothing) mempunyai bentuk yang sangat menyerupai persamaan (8-5).
2
F t−1=a X t +α (1−a ) X t −1+ a ( 1−a ) X t −2

3 4
+ a ( 1−a ) X t −3 + a (1−a ) X t−2 +∙ ∙∙ etc . (3-21)

Di dalam ramalan pemulusan eksponensial diiakukan pembobotan terhadap nilai-nilai


sebelumnya dengan menggunakan koefisien (parameter) α, α(1 – α), α(1 – α)2, α(1 – α)3,
….

Satu pertanyaan yang timbul dari persamaan (8-5) adalah mengapa regresi yang
diterapkan untuk deret berkala (yaitu autoregresi) harus diperlakukan berbeda dengan
model-model regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least square/OLS) (Bab 5 dan 6).
Jawabannya adalah:

1. Di dalam autoregresi, asumsi dasar mengenai kebebasan (independensi) dari


unsur kesalahan (nilai sisa) dapat dengan mudah dilanggar, karena variabel-
variabel bebas (ruas kanan) dalam persamaan (8-5) biasanya mempunyai
hubungan ketergantungan yang sudah ada

2. penetapan jumlah nilai-nilai Y, sebelumnya agar tercakup di dalam persarnaan


(8-5) tidak sdalu dapat dilakukan secara mudah.

Dengan cara yang sama, persamaan (8-5) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut :

Y t =α + b1 et −1+ b2 et −2+ ∙∙ ∙+bk e t−k +e t (8-6)

Disini secara eksplisit, ditetapkan hubungan ketergantungan antara nilai-nilai kesalahan


yang berurutan dan persamaannya disebut model moving average (MA).2 Perhatikanlah
hubungannya dengan persamaan (8-3).
Model-model autoregresif (AR) dapat secara efektif digabungkan dengan model moving
average (MA) untuk membentuk kelas model yang sangat umum dan berguna dalam
model deret berkala yang biasa dinamakan pola atau proses autoregresif/moving
average (ARM A).

Di dalam Bagian 8/2 beberapa dasar model umum ini akan dibahas ditinjau dari segi
pembentukan model. Kemudian, di dalam Bagian 8/3 kita akan menguji beberapa alatt-
metodologi dasar yang tersedia untuk menganalisis deret berkala tertentu, dan
menyeleksi model yang tepat. Akhimya, Bagian 8/4 akan memperlihatkan beberapa
contoh pemakaian alat-alat ini di dalam analisis deret berkala.

l
sebagai contoh, seandainya Yt = a + bt.-l + et. Maka
Y t +1=a+b Y t + et +1
¿ a+ b ( a+b Y t −1+ e ) + ¿ e t +1
2
¿ ( a+ ab ) +b Y t −1 +(bet +e t−1 )

Nilai kesalahan pada saat t adalah et. kesalahan pada saat t + 1 adalah (be t + et-1), yang
merupakan fungsi dari et. Dengan kata lain, kesalahan pada saat t dan t + 1 adalah tidak bebas.
2
Pemakaian ungkapan rata-rata bergerak (moving average) pada terminologi deret berkala ini
sebaiknya tidak dikacaukan dengan pemakaian ungkapan yalrg sama di dalam bagian metode
pemulusan. Ini merupakan pemakaian yang sangat berbeda untuk ungkapan yang sama. Dalam
bab ini dan dua bab selanjutnya, moving average digunakan hanya sebagai referensi untuk
serangkaian istilah yang menyangkut kesalahan-kesalahan pada periode waktu yang berbeda,
seperti terlihat di dalam persamaan (8-6).
8/2 Model-model Untuk Data Deret Berkala
Di dalam Bab 3 ditunjukkan bahwa metode pemulusan tidak boleh digunakan secara
sembarang, akan tetapi karakteristik data deret berkala harus ditetapkan agar dapat
dipilih metode pemulusan yang tepat. Tahap yang sama juga perlu dilakukan untuk
mendahului penggunaan model ARIMA3 yang akan dibahas di dalam tiga bab berikut.
Penetapan karakteristik data deret berkala seperti stasioner, musiman dan sebagainya,
memerlukan suatu pendekatan yang sistematis, dan ini akan menolong untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai model-model dasar yang akan di tangani.
8/2/1 Model Random ARIMA (0, 0, 0)
Persamaan (8-7) merupakan model random sederhana di mana nilal pengamatan Yt
terbentuk dari 2 bagian yaitu nilai dengan, μ, dan komponen kesalahan random, et , yang
bersifat bebas (inadependent) dari waktu ke waktu.
ARIMA (0, 0, 0)
Y t =μ+e t (8-7)
Model ini diklasifikasikan sebagai ARIMA (0,0,0) karena tidak terdapat aspek AR (Yt
tidak tergantung pada Yt – 1), tidak terdapat pembedaan, dan tidak dijumpai adanya
proses MA (Yt tidak tergantung pada et – 1). Gambar 8-1a memperlihatkan jenis deret
data ARIMA (0,0,0).
8/2/2 Model Random yang Tidak Stasioner: ARIMA (0,1,0)
Persamaan (8-8) mirip seperti proses AR sebab nilai Y t bergantung pada Yt – 1, tetapi
apabila koefisien Yt – 1 bernilai satu, persamaan tersebut dapat ditulis seperti persamaan
(8-9) yang memperlihatkan bahwa pembedaan pertama deret Yt adalah model random.
ARIMA (0,1,0)
Y t =Y t −1 +e t (8-8)
Y t −Y t −1 =et (8-9)
Untuk memudahkan, biasanya (Yt – Yt -1) ini ditetapkan sebagai Wt , yaitu deret
pembedaan pertama, sehingga kita dapat berbicara mengenai Wt sebagai deret yang
stasioner, sedangkan Yt adalah non-stasioner. Konlep stasioneritas ini dapat
digambarkan secara praktis (non-statistik) sebagai berikut: 4
1. Apabila suatu data deret berkala dipiot dan kemudian tidak terbukti adanya
pembahan nilai tengah dari waktu ke waktu (Gambar 8-1α), maka kita katakan

3
Singkatan ARIMA berasal dari, “auto regressive integrated moving average model” (model rata-rata
bergerak terpadu autoregresif). K.ata “integrated” untuk beberapa keadaan dapat membingungkan dan
mengacu kepada “pembedaan (differencing)” deret data yang diterangkan di dalam Bagian 8/2/2. Tiga
angka setelah ARIMA menunjukkan derajat proses ses AR, derajat pembedaan dan derajat proses MA.
Pengertian ini akan menladi jelas setelah model-model tersebut diterangkan. Box dan Jenkins (1976)
adalah orang yang memperkenalkan singkatan ARIMA.
4
Untnk definisi formal dari kestasioneran, lihat Box dan Jenkins (1976), hal 26.
bahwa deret data tersebut stasioner pada nilai tengahnya (mean).
2. Apabila plot deret berkala tidak memperlihatkan adanya perubahan varians yang
jelas dari waktu ke waktu, maka dapat kita katakan deret data tersebut adalah
stasioner pada variannya.
3. Gambar 8-1b memperlihatkan deret data, model ARIMA (0,1,0), di mana nilai
tengahnya "menyimpang" (dengan beberapa pola trend-cycle) dari waktu ke
waktu. Deret berkala ini mempunyai nilai tengah yang tidak stasioner.
4. Gambar 8-1c memperlihatkan deret berkala yang nilai tengah dan variannya
tidak stasioner. Nilai tengahnya menyimpang (berubah setiap waktu) dan varian
(atau standar deviasinya) tidak konstan setiap waktu.

8/2/3 Model Autoregresif Stasioner Berorde Satu: ARIMA (1,0,0)


persamaan (8-1.0) memperlihatkan bentuk dasar model AR (1) atau secara umum
disebut ARIMA (1,0,0). Nilai pengamatan Yt bergantung pada Yt 1 , sedangkan nilai dari
koefisien autoregresif Ø1 mempunyai nilai terbatas antara – 1 dan + 1.5
ARIMA (1,0,0)
Y t =Ø 1 Y t −1+ μ+ et (8-10)
Gambar 8-2a memperlihatkan gambaran deret pada ARIMA (1,0,0) untuk model Yt
=0,7 Yt-1 + 30 + et , dimana et adalah unsur kesalahan yang berdstribusi normal dan
independen.

8/2/4 Model Moving Average Stasioner Berorde Satu: ARIMA (0,0,1)


Persamaan (8-11) memperlihatkan model MA(1) atau secara umum ditulis ARIMA
(0,0,1). Nilai pengamatan Yt bergantung pada nilai kesalahan et dan juga kesalahan
sebelumnya et – 1 , dengan koefisien – θ 1 .6
ARIMA (0,0,1)
Y t =μ+e t −θ1 et −1 (8-11)

5
Perhatikan bahwa μ’ pada persamaan ini (dan pada persamaan-persamaan berikutnya yang melibatkan
proses-proses AR) adalah tidak sama dengan "nilai tengah" dari deret Y. Pengembangannya adalah
sebagai berikut :

( Y t −μ ) =∅ 1 ( Y t−1−μ ) + et dimana μ = nilai tengah deret Y,


Y t =∅ 1 Y t−1+ ( μ−∅1 μ ) +e t
¿ ∅ 1 Y t−1+ μ +e t
Secara umum, model-model AR akan memakai bentuk (μ – Ø 1μ – Ø2μ – …) yang akan ditetapkan
sebagai μ'. Perhatikan bahwa apabila kita menggunakan pembedaan pertama dari deret Y, seperti pada
persamaan (8-8) dan (8-9), maka tidak terdapat μ’ karena telah dihilangkan
6
Tanda minus pada koefisien ini menunjukkan deskripsi umum model-model ARIMA untuk lebih
jelasnya lihat BOX dan Jenkins (1976), Bagian 1, 2.

GAMBAR 8.1 ILUSTRASI DATA DERET BERKALA YANG


MEMPERLIHATKAN (A} SUATU PROSES RANDOM ARIMA (O,O.O), (B)
SUATU YANG NON STASIONER PADA NILAI TENGAHNYA ARIMA (0,1,0}
DAN (C) SUATU PROSES YANG NON STASIONER PADA NILAI TENGAH DAN
VARIANSNYA DATA ARIMA (0,1,0)
Gambar 8-2b memperlihatkan contoh dari model ARIMA (0,0,1):
Yt = 100 + et – 0,7et – 1

Nilai koefisien θ 1 di dalam persamaan (8-11) juga mempunyai daerah terbatas anatara –
1 dan + 1.

8/2/5 Model Campuran Sederhana: ARIMA (1,0,1)


Unsur dasar dari proses-proses AR dan MA dapat dikombinasikan untuk menghasilkan
berbagai macam model campuran. Sebagai contoh, persamaan (8-12)
mengkombinasikan proses AR orde pertama dengan proses MA orde pertama.

ARIMA (1,0,1)
μ'
Y t =∅⏟
1 Y t−1 +
kon ↑ stant ⏟
+ et θ1 e t−1 (8-12)
AR ( 1) MA (1)
Gambar 8.2 ILUSTRASI DERET BERKALA YANG MEMPERLIHATKAN (A)
SUATU PROSES AUTOREGRESIF BERORDE PERTAMA ARIMA-(1,0,0) DAN
(B) PROSES MOVING AVERAGE BERORDE PERTAMA-ARIMA (0,0,1)

Di sini, Yt tergantung pada satu nilai sebelumnya yaitu Yt – 1 dan satu nilai kesalahan
sebelumnya, €et – 1 . Deret data tersebut diasumsikan stasioner pada nilai tengah dan
variannya. Gambar 8-3a memperlihatkan satu contoh deret ARIMA (1,0,1) yang
dihasilkan secara buatan, di mana Ø1 = 0,3 dan θ 1 = - 0,7. Gambar 8-3b memperlihatkan
contoh lain dari model ARIMA (1,0,1) dimana Ø1 = - 0,8 dan θ 1 = 0,8. perhatikan
betapa dua buah model ARIMA (1,0,1) tersebut sangat berlainan.

8/2/6 Kombinasi-rombinasi yang Berorde Lebih Tinggi: ARIMA (p, d, q)


Tampak jelas bahwa variasi model ARIMA tidak terbatas jumlahnya Model umum,
yang mencakup seluruh kasus yang disebutkan di atas dan masih banyak lagi yang lain,
dikenal sebagai ARIMA (p,d,q).
AR : p = orde dari proses autoregresif
I : d = tingkat perbedaan (degree of differencing)
MA : q = orde dari proses moving average
Dalam praktek, iarang diperiukan pemakaian nilai p, d, atau q selain dari 0,1 atau 2.
Mungkin ini suatu hal yang luar biasa di mana kisaran (range) yang kecil dari nilai-nilai
p, d, dan q dapat mencakup suatu kisaran yang luas situasi-situasi peramalan praktis.
Notasi untuk menulis persarnaan model ARIMA (p, d, q) secara umum akan disajikan
di Bab 9.
Gambar 8-3 ILUSTRASI DERET BERKALA YANG MEMPERLIHATKAN DUA
VERSI DARI PROSES ARIMA (1,0,1)

8/3 Alat-alat Metodologi untuk Menganalisis Data Deret Berkala


Pembahasan pada bagian sebelumnya lebih bersifat teoritis mengenai pebuatan mode
khusus dari kelompok ARIMA-dan mempunyai tujuan terutama untuk memperkenalkan
terminologi dan ruang lingkup dan model-model deret berkala yang berdaya guna
tersebut. Pada bagian ini kita akan memuusatkan perhatian pada analisis tertentu yang
dapat diterapkan untuk data deret berkala secara empiris guna menetapkan sifat-sifat
statistiknya dan dengan demikian dapat diperoleh pengertian tentang jenis model formal
yang tepat.

8/3/1 Plot Data


Langkah pertama yang baik untuk menganalisis data deret berkala adalah memplot data
tersebut secara grafis. Apabila tersedia program paket untuk memplot data di komputer,
maka akan bermanfaat untuk memplot berbagai versi data moving average untuk
menetapkan adanya trend (penyimpangan nilai tengah) untuk menghilangkan pengaruh
musim pada data (deseasonalize the data) misalnya dengan memplot moving average
empat periode dari data kuartalan dan sebagainya.

8/3/2 Koefisien Autokorelasi


Nilai tengah (mean) dan varian (atau deviasi standar) dari suatu data deret berkala
mungkin tidak bermanfaat apabila deret tersebut tidak stasioner, akan tetapi nilai
minimum dan maksirnum dapat digunakan untuk tujuan plotting atau sebagai bakal
"outlier." Bagaimanapun statistik kunci di dalam analisis deret berkala adalah koefisien
autokorelasi (atau korelasi deret berkala dengan deret berkala itu sendiri dengan selisih
waktu (lag) 0, 1, 2 periode atau lebih). Untuk memahami konsep tersebut ikutilah
gambaran sederhana sebagai berikut. Misalkan variabel Yt menyatakan permintaan
terhadap produk A untuk 10 periode waktu yang lalu dan mempunyai nilai seperti yang
terlihat dikolom 2 Tabel 8-1.
Atas dasar data pada Tabel 8-1, Yt dapat digambarkan sebagai
Y t =α + ∅ 1 Y t −1+ ∅2 Y t −2 + et (8-13)
Persamaan (8-13) adalah model AR [atau ARIMA (2,0,0)] yang menggambarkan Yt
sebagai suatu kombinasi linear dari dua nilai sebelumnya. variabel-variabel Yt – 1 dan Yt –
2 secara mudah dapat dibuat dengan memindahkan nilai-nilai pada tabel tersebut
masing-masing satu dan dua periode. Hasilnya berupa hilangnya satu nilai pada kolom
Yt - 1 dan dua nilai untuk Yt – 2. Autokorelasi antara Yt dengan Yt – 1 dan antara Yt dan
dengan Yt – 2 dapat dihitung tanpa kesulitan. Autokorelasi pertama akan menyatakan
bagaimina nilai-nilai Y yang berurutan berkaitan satu dengan lainnya, dan autokorelasi
kedua menyatakan bagaimana hubungan antara masing-masing nilai Y yang terpisah
dua periode.
Koefisien korelasi sederhana antara Yt dengan Yt – 1 dapat dicari dengan
menggunakan (2-26) atau dengan (5-24), seperti yang dinyatakan krmbali pada (8-14)7
di bawah ini:

( kovarians antar aY t danY t−1 )


rY Y =
t t−1
( Dev . std . Y t ) × ( Dev . std . Y t−1 )
n

∑ ( Y t −Y t ) ( Y t −1−Y t −1)
t=2
¿ (8-14)

√∑ ( √∑ (
n n
2 2
Y t−Y t ) Y t−1−Y t−1 )
t =1 t =2

Perhatikan baik-baik batas nilai subskrip pada pembilang dan penyebut di sini. Karena
rumus ini secara statistik akan menyulitkan, maka dibuat asumsi untuk
menyederhanakannya. Data Y1 diasumsikan stasioner (baik nilai tengah maupun
variasinya). Juai, kedua nilai tengah, Y t dan Y t −1 dapat diasumsikan bernilai sama (dan
kita.dapat membuang subskrip dengan menggunakan Y =Y t=Y t−1) dan dua nilai varians
(atau deviasi standar) dapat diukur satu kali saja yaitu dengan menggunakan seluruh
data y, yang akan diketahui.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi penyederhanaan ini, maka persamaan (8-14)
menjadi:
n

∑ ( Y t−Y t ) ( Y t −1 −Y )
r Y Y = t =2
t t−1 n (8-15)
∑ ( Y t −Y t ) 2

t=1

7
Perhatikan bahwa persamaan (8-14) dapat diperluas dengan cara membagi pembilang dengan
(n – 2) dan dua factor penyebut dengan ( n - 1 ) dan ( n - 2) berturut-turut Dalam praktek,
deraiat bebas ini tidak dimasukkan di dalam perhitungan autokorelasi. Liahat Box dan Jankins
(1976), hal. 32.
Perhatikan dengan seksama bahwa pembilang kekurangan satu nilai suku dibanding
penyebut, akan tetapi karena adanya asumsi stasioneritas, maka persamaan (8-15) dapat
berlaku umum, dan dapat digunakan untuk seluruh time-lag dari satu periode untuk
suatu deret berkala.8 Untuk memudahkan, sekarang kita tuliskan koefisien korelasi
derajat ke satu sebagai r1 (yaitu koefisien korelasi untuk time-lag satu).
Dengan cara yang sama, autokorelasi untuk time-lag 1, 2, 3, 4, …. , k dapat dicari dan
dinotasikan rk , sebagai berikut:
nk

∑ ( Y 1−Y ) ( Y t +k−Y )
r k = t −1 n (8-16)
∑ ( Y t −Y ) 2

t−1

Penjumlahan nilai pembilang pada persamaan (8-16) agak berbeda dengan penjumlahan
pada (8-15). Ini tidak berpengaruh pada hasilnya, karena diasumsikan stasioner.
Selanjutnya sebagai contoh, nilai r1 untuk data di Tabel 8-1 akan dihitung dengan
menggunakan persamaan (8-16):
( 13−10 )( 8−10 ) + ( 8−10 ) ( 15−10 ) + ( 15−10 ) ( 4−10 ) +∙ ∙∙+ ( 14−10 ) ( 12−10 )
r 1=
(13−10 )2 + ( 8−10 )2+ ( 15−10 )2 + ( 4−10 )2+∙ ∙ ∙+ ( 14−10 )2+ (12−10 )2

3 (−2 )+ (−2 )( 5 ) +5 (−6 )+ 5 (−6 ) + (−6 ) ( 2 ) +∙∙ ∙+ ( 4 ) (2)


¿
32 +(−2)2 +52 +(−6)2+∙ ∙ ∙+ 4 2+ 22

−27
¿ =−0,188.
144
Persamaan (8-16) jelas merupakan cara menghitung autokorelasi yang lebih efisien dari
pada persamaan (8-14).
Dengan menggunakan persamaan (8-16), r2, r3 dan sebagainya dapat juga dihitung.
Sebagai contoh, nilai r2 adalah:

( 13−10 )( 15−10 ) + ( 8−10 ) ( 4−10 ) + ( 15−10 )( 4−10 ) +∙∙ ∙+ ( 7−10 )( 12−10 )


r 2=
( 13−10 )2+ ( 8−10 )2 + ( 15−10 )2+ ∙∙ ∙+ ( 14−10 )2+ ( 12−10 )2

(3) (5 )+ (−2 )(−6 ) +5 (−6 ) +∙ ∙∙+ (−3 )(2)


¿
32 +(−2)2 +52 +∙ ∙∙+ 42 +22

−29
¿ =−0,201.
144

Koefisien autokorelasi r3 dan r4 berturut-turut adalah 0,181 dan - 0,132.

8/3/3 Distribusi Sampling Autokorelasi


Koefisien autokoreiasi merupakan alat yang berharga untuk menyelidiki deret berkala
empiris seperti yang akan dijelaskan berikut ini. Akan tetapi, teori statistik rk sangat
kompleks, juga didalam beberapa kasus yang ada.

8
Ad, beberapa catatan secara statistik untuk hal ini, dan lebih lanjut pembaca dapat melihat satu
daftar pustaka di akhir bab ini (yaitu Box dan Jenkins, 1976, hal. 32-33).
untuk kasus khusus dari himpunan data random yang stasioner,(lihat Bagian 8/2/1),
teori sampling rk sudah diketahui dan dapat digunakan secara praktik
Terdapat dua cara untuk mendekati masalah ini. Cara pertama adalah dengan
mempelajari nilai-nilai rk sekali setiap waktu dan mengembangkan rumus kesalahan
standar untuk memeriksa apakah rk tertentu secara nyata berbeda dari nol. Yang kedua
adalah mempertimbangkan seluruh nilai-nilai rk misalkan 15 nilai rk yang pertama (r1
sampai r15 ) pada suatu waktu. kemudian membuat suatu pengujian untuk melihat
apakah kelompok tersebut secara nyata berbeda dari nol. pada contoh yang pertama,
rumus sederhana yang biasa digunakan adalah :
ser =1/ √ n
k
(kesalahan standar dari rk)
sedangkan uji Box-Pierce Portmanteau untuk sekumpulan nilai-nilai rk didasarkan pada
nilai statistik Q:
m
Q=n ∑ r 2k (Statistik Q Box-Pierce),
k−1

di mana m adalah lag (selisih waktu) maksimum yang akan dilakukan.


Dengan mengingat kesalahan standar dari suatu nilai tunggal rk , perhatikan deret
berkala yang terdiri dari 36 pengamatan didalam Tabel 8-2. Data ini dibentuk dengan
menggunakan bilangan random antara 0 sampai 100. Tetapi misalkan hat ini tidak
diketahui. Dengan menggunakan analisis autokorelasi, kenyataan itu dapat ditentukan.
Secara teoritis seruruh koefisien autokorerasi untuk suatu deret bilangan random harus
nol. Akan tetapi hal ini dapat dicapai dengan asumsi bahwa ukuran sampel tidak
terbatas. Himpunan 86 pengamatan di dalam Tabel 8-2 hanya merupakan salah satu dari
sekian banyak kemungkinan sampel 36 bilangan random. Apabila diambil himpunan
lain dari 36 bilangan random, ada kemungkinan koefisien autokorelasinya akan
berbeda. Apabila sampel yang terdiri dari 36 bilangan random jumlahnya tak terbatas
dan koefisien korelasi.

Untuk time-lag 1,2,3,....10 dirata-ratakan, maka hasilnyaakan mempunyai nilai


mendekati nol. Apabila ρk digunakan sebagai simbol untuk autokorelasi populasi. maka
autokorelasi untuk sampel yang berbeda akan mempunyai distribusi di sekitar ρk .
Distribusi tersebut dapat ditetapkan dengan menggunakan teori statistik.
Seperti yang diperlihatkan oleh Anderson (1942), Bartlett (1946), Quenouille (1949)
dan yang lainnya, koefisien autokorelasi dari data random mempunyai distnbusi
sampling yang mendekati kurva normal dengan nilai tengah nol dan kesalahan standar
1/ √ n. Informasi ini dapat digunakan untuk mengembangkan uji hipotesis yang sama
dengan uji-F dan uji-t di mana telah dibahas di Bab 5 dan 6. HaI ini dapat digunakan
untuk menetapkan apakah nilai rk berasal dari populasi yang mempunyai nilai
autokorelasi nol pada time-lag k. Karena n adalah 36 pada Tabel 8-2, maka kesalahan
standar adalah 1/ √ 36=0,167. Ini berarti bahwa 95 persen dari seluruh koefisien
korelasi berdasarkan sampel harus terletak di dalam daerah nilai tengah ditambah atau
dikurangi 1,96 kali kesalahan standar.9 Dengan demikian suatu deret data dapat
disimpulkan bersifat random apabila koefisien korelasi yang dihitung berada di dalam
batas tersebut.
-1,96(0,167) ≤ rk ≤ + 1,96(0,167),
- 0,327 ≤ rk ≤ = 0,327.
Gambar 8-4 memperlihatkan koefisien autokorelasi untuk data di Tabel 8-2, untuk time-
lag 1,2,3,..., 10. Dua garis terputus-putus adalah batas atas dan batas bawah pada selang
kepercayaan 95 persen untuk suatu deret random (dari -0,327 sampai + 0,327).
Kesepuluh koefisien autokorelasi tersebut terletak di dalam batas ini dan memberikan
keyakinan bahwa di dalam hal ini data tersebut adalah random, seperti yang telah kita
ketahui sebelumnya.
Konsep dari distribusi sampling sangat penting di dalam analisis deret berkala.
Koefisien autokorelasi untuk time-lag 7 periode pada gambar 8-4 bernilai 0,275. Nilai
ini secara empiris berbeda dari nol karena unsur kebetulan. Distribusi sampling tersebut
memberikan petunjuk untuk menilai tingkat kebetulan tersebut dan bagaimana
hubungannya dengan signifikansi. Nilai 0,275 adalah tidak berbeda nyata (tidak
signifikan) dari nol. Nimun, apabila nilai ini diperoleh dari 360 pengamatan, bukan dari
36 pengamatan, maka kesalahan standarnya hanya akan sebesar 0,053 dan batas
kepercayaannya ± 0,105, bukan ± 0,327. Dalam hal ini r7 yang bernilai 0,275 sudah
akan memperlihatkan adanya suatu pola, karena nilai ini jatuh di luar batas
kepercayaan. Tentu saja , dengan 360 buah nilai random, akan sangat kecil
kemungkinannya untuk mendapatkan nilai r yang tinggi. Karena adanya unsur
kebetulan, nilai autokorelasi akan sedikit berbeda dari nilai yang diharapkan secara
teoritis, maka semakin terasa perlunya digunakan batas kepercayaan. Tercapainya
keberhasilan analisis deret berkala sangat bergantung pada keberhasilan
menginterpretasikan hasil analisis autokorelasi dan kemampuan membedakan pola dan
kerandoman data.
Statistik Q Box-Pierce juga dapat dihitung untuk nilai-nilai r k pada Gambar 8-4. sebagai
akibatnya, karena data di Tabel 8-2 belum dimodelkan, maka
9
Nilai 1,96 diperoleh dari table A, Lampiran I yang menyatakan luas daerah di bawah kurva
normal, karena nilai ini mendekati 2, maka biasanya dibulatkan menjadi 2.
GAMBAR 8-4 AUTOKORELASI UNTUK DERET PADA TABEL 8-2

kita mengasumsikan berlakunya model ARIMA (0,0,0), dan nilai Q dapat dihitung
sebagai berikut :
10
Q=36 ∑ r k =5,62
2

k=1

Ini dapat dianggap sebagai nilai chi-kuadrat dengan derajat-bebas (m - p – q). Karena p
= 0 dan q = 0, kita temukan nilai chi-kuadrat sebesar 5,62 pada Tabel E Lampiran I,
dengan df 10 dan dapat dlihat bahwa kumpulan nilai rk adalah tidak berada nyata (tidak
significant) dari nol.
Rincian statistik Q Box-pierce ini beserta uji chi-kuadrat terdapat di dalam Lampiran 8-
A, dan uji tersebut akan digunakan terutama di dalam kon teks pemodelan fungsi
transfer pada Bab 10.

8/3/4 Periodogram dan Analisis Spektral


Salah satu cara untuk menganalisis data deret berkala adalah dengan menguraikan data
tersebut ke dalam himpunan gelombang sinus (siklus) pada frekuensi yang berbeda-
beda. Hal merupakan prosedur yang sangat terkenal pada masa sebelum adanya
komputer tetapi prosedur masih sangat berguna. Meskipun nampaknya terlalu
kompleks, kita dapat melihat bahwa metode ini sangat berguna untuk menetapkan
kerandoman dan musiman (sesonality) di dalam suatu deret berkala, dan untuk
mengenali adanya autokorelasi positf atau negatif. Seperti yang akan kita lihat dalam
dua bab berikutnya, kemampuan semacam ini sering diperlukan., untuk menetapkan
model yang tepat guna meramalkan suatu deret berkala tertentu.
secara sederhana, dapat kita ketahui bahwa setiap gelombang sinus memiliki tiga aspek
(secara terinci hal ini akan disajikan didalam Lampiran 8-B):
1. Panjang gelombang, yang diukur dari satu puncak ke puncak berikutnya nya,
dan berbanding terbalik dengan frekuensi.
2. Amplitudo, yang merupakan ukuran ketinggian (atau kuatnya) gelombang.
3. Fase, yang menyatakan perpindahan horisontal (atau posisi) suatu gelombang.
Gambar 8-5 memperlihatkan tiga macam aspek tersebut. Apabila sudut fase adalah nol
berarti bahwa gelombang muiai dari titik awal. Apabila sudut fase adalah 90 derajat,
maka sumbu vertikal akan melalui amplitude maksimum yang pertama (seperti di
Gambar 8-5c).
Dengan data deret berkala yang diskret, karena tidak terdapat data sudut, maka “panjang
gelombang” diubah menjadi “satuan waktu” (atau dengan menyatakan jumlah
pengamatan sebagai satu panjang gelombang). Perlakuan yang sama juga dilakukan
terhadap fase. Tanpa membahas secara terinci perhatikanlah bahwa beberapa deret
berkala yang terdiri dari N buah pengamatan dengan jarak yang sama, dapat
didekomposisi dengan menggunakan pencocokan kuadrat terkecil (Least Squares
Fitting) kedalam sejumlah gelombang sinus pada frekuensi, amplitude dan fase tertentu,
dengan pembatas-pembatas sebagai berikut:
• Apabila n adalah bilangan ganjil, maka paling banyak dapat dicocokkan
sebanyak (n - 1)/2 gelombang sinus.
• Apabila n adalah bilangan genap, maka paling banyak dapat dicocokkan
sebanyak (n - 2)/2 gelombang sinus.
Sebagai contoh, marilah kita pakai data pada Tabel 8-2. Disana terdapat 36 pengamatan,
sehingga dapat dicocokkan sebanyak 17 gelombang sinus. Gelombang yang pertama
(atau yang mendasar), mempunyai frekuensi satu yang berarti bahwa satu panjang
gelombang meliput ke 36 titik data. Dua buah siklus gelombang berikutnya mempunyai
dua panjang gelombang yang berisi 36 pengamatan, dan demikian seterusnya.
Panjang gelombang Frekuensi
(jumlah titik data)
36 1
18 2
12 3
9 4
7,2 5

Gambar 8-6 memperlihatkan (a) plot dari deret berkala asli, (b) kumpulan dari
amplitudo untuk seluruh frekuensi yang dicocokkan dari 1 sampai 17 dan (c) deret hasil
rekonstruksi yang diperoleh dengan menambahkan lima gelombang sinus pertama
secara bersama-sama.
Perhatikan bahwa, karena data di Tabel 8-2 adalah hasil dari suatu himpunan bilangan
random (berasal dari distribusi uniform) maka kita tidak mengharapkan adanya
gelombang sinus tertentu yang akan mendominasi sebenarnya, kumpulan amplitudo dari
gelombang dengan frekuensi 1, 2, 3, 4, …., dan seterusnya, haruslah Secara teoritis
memperlihatkan amplitudo yang sama untuk selumh frekuensi. Sampel data di Tabel 8-
2 tidak memperlihatkan amplitudo yang sama, walaupun demikian jelas, bahwa banyak
gelombang sinus telah memberikan kontribusi yang besar.
Gambar 8-6b disebut spectrum garis (line spectrum).
Pembahasan di atas didasarkan pada pencocokan kuadrat terkecil secara langsung dari
gelombang-gelombang sinus kepada suatu data deret berkala.
Gambar 8-5 TIGA ASPEK GELOMBANG SINUS : (a) PANJANG GELOMBANG,
(b) AMPLITUDO, (c) FASE.
pada awalnya cara ini dikenal sebagai analisis periodogram (Schuster, 1898) dan juga
dikenal sebagai analisis harmonik, analisis Fourier atau analisis spectral. Masing-
masing istilah lersebut mempunyai arti khusus, tetapi untuk tujuan kita di sini, nilai
pengujian kumpulan amplitudo dari berbagai gelombang mempunyai tiga arti:
1. membantu penetapan unsur random dalam deret data (atau deret residu)
2. membantu Penetapan unsur musiman dalam suatu deret berkala;
3. membantu penetapan autokorelasi positif atau negatif (untuk korelasi positif,
frekuensi amplitudo yang rendah akan mendominasi, dan untuk auto korelasi
negatif, frekuensi yang tinggi akan mendominasi).
Meskipun analisis spektral bukan merupakan titik pusat proses pemodelan ARlMA,
tetapi kita mengakui bahwa analisis ini merupakan alat yang berguna dalam
memecahkan tugas-tugas yang sulit untuk menetapkan model yang tepat bagi suatu
deret berkala tertentu.

8/3/5 Koefisien Autokorelasi Parsial


Didalam analisis regresi, apabila variabel tidak bebasY diregresikan kepada variabel-
variabel bebas X1 dan X2 , maka akan timbul pertanyaan sejauh mana variabel X1
mampu menerangkan keadaan Y apabila mula-mula X2 dipisahkan (partialled out) Ini
berarti meregresikanY kepada X2 dan menghitung kesalahan nilai sisa (residual errors),
kemudian meregresikan lagi nilai sisa tersebut kepada X1 . Di dalam analisis deret
berkala berlaku konsep yang sama.
Autokorelasi parsial digunakan untuk mengukur tingkat keeratan (association) antara X t
dan Xt – k, apabila pengaruh dari time lag 1,2,3,…., dan seterusnya sampai k - 1 dianggap
terpisah. Satu-satunya tujuan didalam analisis deret berkala adalah untuk membantu
menetapkan model ARIMA yang tepat untuk peramalan. Kenyataannya, mereka
memang dibentuk hanya untuk tujuan ini.
Koefisien autokorelasi parsial berorde m didefinisikan sebagai koefisien autoregresif
terakhir dari model AR(m). Sebagai contoh, persamaan-persaman (8-17) sampai (8-21)
masing-masing digunakan untuk- menetapkan AR(1). AR(2), AR(3), . . ., AR(m - 1)
dan proses AR(m). Koefisien X yang terakhir pada masing-masing persamaan
merupakan koefisien autokorelasi parsial. Ini berarti notasi Φ1, Φ2, Φ3, …., Φm – 1 , dan
Φm adalah m buah koefisien autokorelasi parsial yang pertama untuk deret berkala
tersebut.
X t =Φ 1 X t−1 +e t (8-17)
X t =Φ 1 X t−1 +Φ2 X t −2+ et (8-18)
X t =Φ 1 X t−1 +Φ2 X t −2+Φ 3 X t−3 +e t (8-19)

X t =Φ 1 X t−1 +Φ2 X t −2+∙ ∙ ∙+ Φm−1 X t −m+1 +e t (8-20)


X t =Φ 1 X t−1 +Φ2 X t −2+∙ ∙ ∙+ Φm−1 X t −m+1 +Φm X t−m +e t (8-21)
GAMBAB 6.6 ANALISIS SPEKTRUM GARIS DARI 36 TITIK DATA DALAM
TABEL 8-2
Dan persamaan-persamaan ini dapat dicari nilai-nilai Φ1, Φ2, Φ3, …., Φm – 1, Φm.
Penghitungan yang diperlukan akan memakan banyak waktu. Oleh karena itu lebih
memuaskan untuk memperoleh taksiran Φ1, Φ2, Φ3, … , dilakukan dengan metode
dibawah ini.
Apabila ruas kiri dan kanan persamaan (8-17) dikalikan dengan Xt – 1, hasilnya adalah :
X t −1 X t=Φ 1 X t−1 X t −2+ X t−1 et (8-22)
Dengan mengambil nilai ekspektasi pada persamaan (8.22) akan menghasilkan :
E ( X t−1 X t ) =Φ1 E ( X t X t−1 ) + E ( X t −1 e t )

Yang dapat ditulis ulang sebagai


γ 1=Φ 1 γ 0 (8-23)

karena berdasarkan definisi E ( X t−1 X t ) =γ 1 , E ( X t −1 X t−1 )=γ 0 dan E ( X t−2 et )=0.10


Apabila kedua ruas persamaan (8-23) dibagi γ0 hasilnya adalah
ρ1=Φ 1 (8-24)
Karena ρ1 = (γ1 / γ2) merupakan cara untuk menetapkan autokorelasi pertama untuk
lebih terinci lihat Bab 2). Jadi Φ 1=ρ1 . Ini berarti bahwa autokorelasi parsial yang
pertama adalah sama dengan autokorelasi pertama dan kedua-duanya ditaksir di dalam
sampel dengan r1. Secara umum, karena ρk =( γ k / γ 0 ), maka operasi yang terlihat pada
persamaan (8-22) sampai (8-24) dapat diperluas sebagai berikut. Kalikan kedua ruas
persamaan (8-17) dengan Xt – k , hitung nilai ekspektasi dan bagilah dengan γ 0, sehingga
menghasilkan sekumpulan persamaan simultan (disebut persamaan Yule Walkeer),
yang dapat dipakai untuk mencari nilai-nilai Φ1, Φ2, Φ3, …., Φm – 1 dan Φm . Nilai-nilai
ini dapat digunakan sebagai penduga nilai-nilai autokorelasi parsial sampai m time lag.
Untuk mendapatkan jawaban persamaan-persamaan tersebut, terdapat prosedur-
prosedur penaksiran rekursif.
Sesudah kita mengerti apakah autokorelasi parsial itu dan bagaimana cara
memperolehnya, maka-selanjutnya kita bahas cara pemakaiannya untuk menetapkan
model ARIMA yang tepat. Apabila proses yang mendasari diperolehnya rangkaian
(series) adalah model AR(1), maka harus dimengerti bahwa hanya Φ1 yang secara nyata
akan berbeda dari nol, sedangkan Φ2, Φ3,…, Φm – 1 , Φm tidak akan berbeda nyata secara
statistika. Apabila proses pembangkit yang sebenarnya adalah AR(2), maka hanya Φ1,
dan Φz yang akan berbeda nyata, sedangkan nilai-nilai taksiran lainnya tidak akan
signifikan. Hal ini berlaku untuk proses-proses AR yang berorde lebih tinggi.
Dengan kata lain, karena cara pembentukan Φ1, Φ2, Φ3,…, Φm – 1 , Φm , maka koefisien
yang akan berbeda nyata dari nol hanya sampai pada orde proses AR yang digunakan
untuk membangkitkan data. Di dalam identifikasi model, kemudian diasumsikan bahwa
apabila hanya terdapat dua autokorelasi parsial yang berbeda nyata dari nol, generating
prosesnya berorde dua

γ 0 dan γ 1 adalah notasi untuk autokovarians populasi orde nol dan 1. γ 0 adalah varians deret
10

berkala, dan ρk =γ k /γ 0 adalah parameter autokorelasi untuk lag k.


Dan orde dari model peramalannya adalah AR(2). Apabila ada ρ autokorelasi parsial
yang signifikan, maka orde yang diambil haruslah AR(ρ).
Untuk tujuan identifikasi, apabila proses tersebut adalah satu proses autoregresif
(koefisien-koefisien autokorelasinya turun mendekati nol secara eksponensial), maka
autokorelasi parsial dapat diuji untuk menetapkan orde proses tersebut. Orde tersebut
adalah sama dengan jumlah autokorelasi parsial yang signifikan.
Apabila proses pembentukan datanya adalah MA bukannya AR, maka autokorelasi
parsial tidak akan menunjukkan orde proses MA tersebut, karena nilai tersebut dibentuk
untuk mencocokkan proses AR. kenyataannya, nilai tersebut menunjukkan suatu
ketergantungan dari satu lag ke lag berikutnya yang membuatnya menyerupai car
autokorelasi untuk proses AR. Autokorelasi parsial akan menurun mendekati nol secara
eksponensial, untuk tujuan identifikasi, apabila autokorelasi parsial tidak
memperlihatkan penurunan nilai secara random sesudah ρ time-lag, melainkan menurun
sampai nol secara eksponensial, hal ini dapat diasumsikan bahwa generating process
yang sebenarnya adalah MA.
Sebagai ringkasan, apabila hanya terdapat ρ autokorelasi parsial yang signifikansinya
berbeda dari nol, maka diasumsikan bahwa proses tersebut adalah AR(ρ). Jika
autokorelasi parsial menurun mendekati nol secara eksponensial, proses tersebut
diasumsikan sebagai proses MA. Di dalam bagian berikutny (8/4) akan ditunjukkan
perhitungan dan pemakaian autokorelasi parsial.
8/4 Aplikasi Analisis Deret-Berkala
Pada Bagian 8/2 telah digambarkan secara ringkas notasi umum dari model ARIMA,
yang memperlihatkan bentuk-bentuk dasar (random, ketidak stasioneran, AR, MA,
ARMA), dimana keseluruhannya merupakan contoh khusus dari suatu mode umum.
kemudian Bagian 8/3 membahas alat-alat metodologis yang berguna di dalam analisis
deret berkala. Sesudah memplot deret berkala untuk pemeriksaan secara visual, maka
alat statistik yang utama adalah koefisien autokorelasi, rk. Statistik ini menggambarkan
hubungan antara suatu data deret berkala dengan deret berkala itu sendiri pada
kelambatan waktu (lag) k periode. Alat-alat lain, seperti koefisien autokorelasi parsial
dan periodegram (amplitude atau intensitas dari gelombang sinus yang membentuk
deret berkala), digunakan untuk membantu dalam menetapkan model yang tepat. Pada
bagian 8/4 ini kita akan menerapkan alat-alat ini untuk beberapa deret berkala
sederhana.
8/4/1 penentuan Kerandoman Data.(atau Nilai Sisa)
Autokorelasi dapat digunakan untuk menetapkan apakah terdapat suatu pola (AR, MA,
ARMA atau ARIMA) dalam suatu kumpulan data dan apabila tidak terdapat kumpulan
data tersebut, maka dapat dibuktikan, bahwa kumpulan data tersebut adalah random.
Koefisien autokorelasi untuk beberapa time-lag diuji untuk melihat apakah nilai tersebut
berbeda nyata dari nol. Adalah bermanfaat untuk memplot koefisien autokorelasi seperti
pada Gambar 8-4 sebagai suatu langkah di dalam menetapkan adanya suatu pola. (pada
Gambar 8-4 tidak terdapat pola apapun).
Apabila suatu model peramalan telah dipilih, autokorelasi kesalahan nilai sisa dapat
dihitung untuk menetapkan apakah data tersebut random. Sebagai contoh 3-11 jelas

terlihat bahwa kesalahan peramalan menggunakan pemulusan eksponensial linear tidak


bersifat random, yaitu terdapat pola tertentu yang menunjukkan bahwa model yang
dipilih bukanlah model yang tepat. Meskipun pola kesalahan di dalam Tabel 3-11 dapat
dilihat dengan jelas, tetapi didalam beberapa kasus keadaan tersebut tidak selalu
demikian. Pendekatan yang standar untuk menetapkan apakah nilai-nilai kesalahan
bersifat random adalah dengan cara menghitung autokorelasi dari kesalahan-kesaiahan
tersebut.
Gambar 8-7 memperlihatkan autokorelasi untuk nilai-nilai sisa model pemulusan
eksponensial tunggal (single exponential smoothing) untuk data pada Tabel 3-11. Dapat
dilihat bahwa autokorelasi untuk time-lag empat periode adalah r4 = 0,726 yang
menunjukkan adanya pola di dalam nilai sisa. Hasil ini memang diharapkan karena data
di Tabel 3-11 adalah data musiman dan single smoothlng (pemulusan tunggal) tidaklah
cocok untuk data yang bersifat demikian. Autokorelasi untuk time-lag delapan periode
juga besar dan keluaran dari batas random yang memperlihatkan pola perulangan
triwulan setiap dua tahun.
Gambar 8-8 memperiihatkan auto korelasi untuk nilai sisa yang masih ada setelah
digunakan metode linear dari winters dan metode seasonal smoothing (pemulusan
musim). Metode ini dapat menghilangkan pola musiman dan menghasilkan nilai sisa di
mana autokorelasinya pada dasarnya adalah random.
Periodogram atau spektrum garis dapat pula digunakan untuk memperlihatkan bukti.
adanya kerandoman, tetapi ini lebih baik untuk deret data yang mempunyai jumlah titik
data lebih banyak. Di dalam contoh regresi bank (Tabel 6-1 dan Gambar 6-10), sesudah
mencocokkan model regresi padapersamaan (6-24) kemudian nilai sisa diuji untuk
melihat apakah nilai sisa tersebut random. Gambar 8-9 menunjukkan analisis tersebut
sebagai suatu gabungan dari empat diagram. Sudut kiri atas adalah plot nilai sisa. Sudut
kanan atas adalah plot autokorelasi parsial, dan kiri bawah adalah plot amplitudo
gelombang -gelombang sinus yang membentuk deret tersebut. Perhatikan bahwa nilai
statistic Durbin Waston untuk nilai sisa ini adalah 0,89 (lihat bagian 6/2/5) yang
merupakan petunjuk kuat bahwa nilai sisa memperlihatkan autokorelasi positif. Pada
gambar 8-9 autokorelasi mermperlihatkan suatu pola yang khas (yang disebut sebagai
gelombang sinus yang teredam) yang mendukung kesimpulan Durbin-Waston.
Spectrum garis memperlihatkan bahwa frekuensi yang lebih rendah mempunyai
amplitude yang lebih besar yang berarti uga menyokong sifat autokorelasi positif nilai
sisa. Autokorelasi parsial pertama selalu

GAMBAR 8.8 AUTOKORELASI UNTUK DERET NILAI SISA SESUDAH


MENGGUNAKAN METODE WINTER EXPONENTIAL SMOOTHING (LIHAT
TABE L 3-12)

GAMBAR 8-9 ANALISIS DEBET BERKALA UNTUK NILAI SISA PADA STUDI
DI BANK
GAMBAR 6-10 KOEFISIEN AUTOKORELASI UNTUK SUATU DERET YANG
TIDAK STASIONER (NONSTATIONARY SERIES)

sama dengan autokorelasi pertamanya dan kesalahan standar autokorelasi parsiaal dapat
dihitung seperti pada autokorelasi.11
Pada Gambar 8-9 garis yang patah-patah pada diagram sebelah kanan menyatakan
tingkat kepercayaan 95 persen untuk autokorelasi dan parsialnya. Karena n = 53,
kesalahan standar dapat dihitung yaitu sebesar 1/ √ 53=0,1374 dan dikalikan dengan
1,96 (untuk tingkat kepercayaan 95 persen), garis yang patah-patah berada pada nilai ±
0,263. Terdapat beberapa autokorelasi yang berada di luar daerah tingkat kepercayaan
95 persen, dan pola dari nilai-nilai yang berurutan terlihat jelas. Di dalam kasus parsial,
yang pertama dan yang ketiga berada di luar daerah kepercayaan. Nilai sisa untuk data
bank adalah tidak random.

8/4/2 Pengujian Stasioneritas suatu Deret Berkala


Bentuk visual dari suatu plot deret berkala senngkali cukup untuk meyakinkan para
peramal (forecaster) bahwa data tersebut adalah stasioner atau tidak stasioner,12
demikian pula plot autokorelasi dapat dengan mudah memperlihatkan ketidak
stasioneran. Nilai-nilai autokorelasi dari data stasioner akan turun sampai nol sesudah
time-lag kedua atau ketiga, sedangkan untuk data yang tidak stasioner, nilai-nilai
tersebut berbeda signifikan dari nol untuk beberapa periode waktu. Apabila disajikan
recara grafik, autokorelasi data yang tidak stasioner memperlihatkan suatu trend searah
diagonal dari kanan ke kiri bersama dengan meningkatnya jumlah time-lag (selisih
waktu).
Gambar 8-10 memperlihatkan grafik autokorelasi untuk data yang tidak stasioner.
Autokorelasi dari time-lag satu ke time-lag lima adalah berbeda nyata dari nol dan
adanya suatu trend (lihat garis yang putus-putus), hal ini dapat dilihat dengan jelas.
Adanya suatu trend (linear atau tidak linear) dalam data berarti bahwa setiap nilai yang
berturut-turut akan berkorelasi positif satu sama lainnya. Autokorelasi untuk suatu time-
lag r1 , relatif akan besar dan positif . Autokorelasi untuk dua time-lag juga akan relatif
besar dan positif, tetapi tidak sebesar r1 , karena komponen kesalahan random telah
dimasukkan dua kali. Demikian pula, secara umum, rk untuk data yang tidak stasioner
akan relatif besar dan positif, sampai nilai k menjadi cukup besar, sehingga komponen
kesalahan random mulai mendominasi autokorelsi.
Suatu contoh klasik dari suatu data yang tidak stasioner adalah harga saham IBM
harian. Gambar 8-11 memperlihatkan analisis empat bagian, dengan n = 369 yaitu harga
harian untuk saham IBM. Dari plot data dapat kita lihat bahwa data tersebut jelas tidak
stasioner dan plot autokorelasi memperlihatkan trend linear yang jelas mengenai
penurunan nilai-nilai autokorelasi secara perlahan-Iahan, autokorelasi parsial
memperlihatkan satu nilai yang besar dan bahwa spektrum garis menunjukkan
dominansi gelombang sinus yang berfrekuensi rendah, yang keseluruhannya
memperlihatkan ketidakstasioneran (non-stasionarity ).

Qeuenouille (1949) memperlihatkan bahwa apabila model deret berkala adalah ARIMA (p,0,0)-yaitu,
11

autoregresif berorde p-maka parsial yang ditaksir dari orde p + 1


dan yang lebih tinggi dapat dianggap bebas dan mempunyai kesalahan standar 1/ √ n, seperti yang
dibahas di Bagian 8/3/3.
Ingat bahwa stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Data
12

secara kasarnya harus horisontal sepanjang sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di
sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada waktu dan varians dari fluktuasi tersebut
pada pokoknya tetap konstan setiap waktu.
GAMBAR 8-11 ANALISIS DERET BERKALA UNTUK HARGA SAHAM IBM
HARIAN DENGAN N = 369

Sumber: Box-Jenkins (1976, hal 526).

8/4/3 Menghilangkan Ketidak stasioneran dalam suatu Deret Berka


Setiap trend menghasilkan autokorelasi positif yang mendominasi diagram autokorelasi,
dan karena kebanyakan model-model deret berkala yang dijelaskan di dalam Bagian IV
memakai asumsi stasioneritas, maka kita perlu menghilangkan ketidak stasioneran
sebelum melangkah lebih lanjut pembuatan model deret berkala. Hal ini dapat dicapai
secara rutin melalui pembedaan (differencing).13
Perhatikan deret angka yang sederhana, 2, 4, 6, 8, . . . , 20, yang mengadung trend linear
dan tidak bersifat random. Dengan mengurangkan nilai-nilai yang berurutan, 4 – 2, 6 –
4, 8 – 6, .., 20 – 18, kita akan memperoleh nilai-nilai pembedaan pertama (first
differences) yang merupakan deret angka 2, 2, 2, . . . , 2. Deret ini jelas stasioner. Jadi
untuk dapat dibuat deret angka baru yang terdiri dari perbedaan angka antara periode
yang berturut-turut :
X t = X t− X t−1 (8-25)
13
Di dalam Bab 4 telah dibahas suatu metode alternatif untuk menghilangkan trend Metode tersebut
membagi data yang memiliki trend dengan rata-rara bergerak (moving average) untuk memperoleh deret
data tanpa trend. Metod pembedaan merupakan suatu alternative yaitu prosedur yang penghitungannya
lebih efisien dan lebih cocok untuk model-model ARIMA.
Deret baru X't , akan mempunyai n - 1 buah nilai dan akan statsioner apabila trend dari
data awal Xt adalah linear (pada orde pertama).
Dengan melakukan pembedaan pertama, rerhadap data yang digunakan dalam Gambar
8-10 akan menghasilkan suatu deret angka yang autokorelasinya terlihat pada Gambar
8-12. Di dalam Gambar 8-12 koefisien autokorelasi pertama daan kedua secara
signifikan berbeda dari nol, akan tetapi sisanya tidak, yang menunjukkan bahwa deret
angka pembedaan pertama telah mengubah data asli ke dalam bentuk stasioner.
Apabila autokorelasi dari data yang dibedakan pertama tidak mendekati nol sesudah lag
kedua atau ketiga, hal ini menunjukkan bahwa stasioneritas tidak dicapai dan oleh
karena itu perbedaan pertama dari data yang telah dibedakan pertama dapat dilakukan
dengan:
X 't ' =X 't− X 't−1 (8-26)
dinyatakan sebagai deret pembedaan orde kedua (second order differences). deret ini
akan mempunyai n - 2 buah nilai.
Dengan mensubstitusikan (8-25) ke dalam (8-26) akan diperoleh:

}
''
X t =( X t− X t−1 )− ( X t −1−X t −2)
'' (8-27)
X t =X t −2 X t −X t −2

Proses pembedaan dapat diterapkan untuk data di Tabel 8-3 yang diketahui akan
melibatkan level (atau tingkat) kedua dari ketidakstasioneran. Sebagai bagian dari
latihan ini, akan diperlihatkan mekanisme pembedaan (differencing).
Kolom 3 Tabel 8-3 berisi pembedaan pertama, yang diperoleh dengan menggunakan
persamaan (8-25):
X 2 =X 2− X 1=5,30−2,44=2,86
X 3 =X 3− X 2=8,97−5,30=3,67
:
:
:
X 12= X 12 −X 11 =92,13−79,63=12,50

GAMBAR 8.12 AUTOKORELASI PEMBEDAAN PERTAMA DARI DATA YANG


TIDAK STASIONER (LIHAT GAMBAR 8-10)
TABEL 8.3 CONTOH DERET BERKALA DENGAN PEMBEDAAN PERTAMA DAN
KEDUA
(1) (2) (3) (4)

Periode Deret Berkala Pemberdaan pertama Pembedaan orde kedua


t Xt X’t = Xt – Xt – 1 X’’t = X’t – X’t – 1
1 2,44 - -
2 5,30 2,85 -
3 8,97 3,67 0,81
4 13,88 4,91 1,24
5 19,58 5,70 0,79
6 26,99 7,41 1,71
7 35,95 8,96 1,55
8 45,86 9,91 0,95
9 55,70 9.84 - 0,07
10 67,36 11,66 1,82
11 79,63 12,27 0,61
12 92,13 12,50 0,23

Tidak memungkinkan untuk menghitung X’1 ; oleh karena itu deret pembedaan-pertama
hanya mempunyai n – l nilai pengamatan.
Pembedaan kedua di Tabel 8-3 (kolom 4) diperoleh dengan menggunakan persamaan
(8-26):
X ' ' 3=X ' 3− X ' 2=3,67−2,86=0,81
'' ' '
X 4= X 4− X 3=4,91−3,67=1,24
.
.
.
'' ' '
X 12 =X 12−X 11=12,50−12,27=0,23

Sekali iagi, kita tidak mungkin menghitung X ' ' 1 atau X ' ' 2 karena adanya dua nilai yang
hilang pada deret pembedaan kedua.
Nilai dari pembedaan kedua dapat dicari dengan menggunakan persamaan (8-27):
''
X 3=X 3 −2 X 2+ X 1=8,97−2 ( 5,30 ) +2,44=0,81
''
X 4= X 4 −2 X 3 + X 2=13,88−2 ( 8,97 ) +5,30=1,24
.
.
.
''
X 12 =X 12−2 X 11+ X 10=92,13−2 ( 79,63 )+ 67,36=0,23
Apabila tidak ada yang diketahui lentang data deret berkala pada Tabel 8-3, maka
langkah pertama dalam menganalisis adalah menghitung autokorelasi untuk data deret
berkala asli di kolom 2. Autokorelasi ini terlihat pada Gambar 8-13. Jelas terlihat bahwa
data tersebut tidak stasioner karena adanya trend di dalam autokorelasi. Selanjutnya,
data yang telah dibedakan di kolom 3 dapat digunakan dan dihitung autokorelasinya.
Hasilnya terlihat pada Gambar 8-14. Autokorelasi ini tidak banyak berbeda dengan yang
terdapat pada Gambar 8-13. Yaitu nilai-nilai autokorelasi tidak turun mendekati nol
dengan cepat, untuk menunjukkan non-stasioneritas di dalam deret data pertama. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pembedaan lebih lanjut (pembedaan pertama terhadap data
hasil perbedaan pertama atau perbedaan kedua) dan mendapatkan autokorelasi dari data
pembedaan kedua yang terlihat di kolom 4 Tabel 8-3. Autokorelasi dari pembedaan
kedua diperlihatkan pada Gambar 8-15 dan ternyata memperlihatkan adanya
stasioneritas pada tingkat ini.
Di dalam contoh kasus harga jadi harian untuk saham IBM (lihat Gambar 8-9),
perhatikan pengaruh yang dramatis dari penetapan pembedaan-pertama dari deret
berkala tersebut seperti terlihat pada Gambar 8-16. Data pembedaan pertama sangat
mendekati stasioner (meskipun terdapat beberapa petunjuk tentang adanya
ketidakstasioneran di dalam varians), dan juga random, seperti yang diperlihatkan oleh
autokorelasi dan parsial. Juga perhatikan bahwa spektrum garis hampir mendekati
keadaan "white noise" (mempunyai amplitudo yang sama untuk semua frekuensi), yang
memperlihatkan bahwa perubahan di dalam harga persediaan harian pada pokoknya
bersifat random.
Pencapaian stasioneritas dapat diturunkan menjadi pekerjaan yang agak mekanis dengan
melakukan pembedaan berturut-turut sampai nilai autokorelasi mendekati nol di dalam
dua atau tiga time lag. Dalam prakteknya jarang dperlukan perbedaan sampai melebihi
perbedaan kedua, karena data asli pada umumnya tidak stasioner dengan hanya satu
atau dua tingkat.

GAMBAR 8.13 AUTOKORELASI DATA ASLI (LIHAT TABEL 8.3)


GAMBAR 8.14 AUTOKORELASI DARI DATA PEMBEDAAN PERTAMA (LIHAT
TABEL 8.3)

8/4/4 Mengenali Adanya Faktor Musiman (Seasonality) dalam suatu Deret-


Berkala
Musiman didefinisikan sebagai suatu pola yang berulang-ulang dalam selang waktu
yang tetap. Sebagai contoh, penjualan minyak untuk alat pemanas, adalah tinggi pada
musim dingin dan rendah pada musim panas yang memperlihatkan suatu pola musim 12
bulan. Apabila pola tersebut konsisten maka koefisien autokorelasi dengan lag 12 bulan
akan mempunyai nilai positif yang tinggi yang memprlihatkan adanya pengaruh
musiman. Apabila signifikansinya tidak berbeda dari nol, ini akan memperlihatkan
bahwa bulan-bulan di dalam satu tahun adalah tidak berhubungan (random) dan tanpa
pola yang konsisten dari satu tahun kepada tahun berikutnya. Data seperti ini bukanlah
data musiman (seasonal).
Untuk data yang stasioner, faktor musiman dapat ditentukan dengan

GAMBAR 8-15 AUTOKORELASI DARI PEMBEDAAN ORDE KEDUA (LIHAT


TABEL 8.3)
GAMBAR 8-16 ANALISIS PERBEDAAN PERTAMA UNTUK N = 369 DATA
HARGA SAHAM IBM HARIAN (LIHAT GAMBAR 8.11)

GAMBAR 8.17 KOEFISIEN AUTOKORELASI DARI DATA KUARTALAN


Mengidentifikasi koefisien autokorelasi pada dua atau tiga time iag yang berbeda nyata
dari nol. Autokorelasi yang secara signifikan berbeda dari nol menyatakan adanya suatu
pola dalam data. untuk mengenali adanya faktor musiman seseorang harus melihat pada
autokorelasi yang tinggi semacam ini.
Koefisien autokorelasi yang terlihat pada Gambar 8-17 menunjukkan suatu pola
musiman yang jelas selama empat periode (bmpat kuartal). Dapat dilihat, bahwa r4 =
0,764, yang secara nyata berbeda dari nol. Sama halnya dengan r8 = 0,572 yang
signifikan dan r12 = 0,417 yang berada pada batas limit. Ciri-ciri periodik musiman
dapat dilihat secara nyata dari kenyataan bahwa r4 > r8 ) r12 dan ketiganya secara nyata
berbeda dari nol. sebenarnya, autokorelasi r4 = 0,764 telah cukup untuk menyatakan
adanya musiman yang panjangnya empat periode. Bukti tambahan berupa r8 dan r12
yang bernilai besar telah menguatkan hal itu.
Adanya faktor musim dapat dengan mudah dilihat di dalam grafik autokorelasi atau
dilihat sepintas pada autokorelasi dari time-lag yang berbeda, apabila hanya ini pola
yang ada. Namun, hal ini tidaklah selalu mudah apabila dikombinasikan dengan pola
lain seperti trend. Semakin kuat pengaruh trend akan semakin tidak jelas adanya faktor
musim, karena secara relatif besarnya autokorelasi yang positif merupakan hasil dari
adanya ketidakstasioneran data

GAMBAR 8.18 KOEFISIEN AUTOKORELASI DARI DATA KUARTALAN


DENGAN TREND YANG KUAT
(adannya trend). Sebagai pedoman, data tersebut harus ditransformasikan ke bentuk
yang stasioner sebelum ditentukan adanya faktor musim.
Gambar 8-18 memperlihatkan satu kumpulan autokorelasi untuk deret data yang tidak
stasioner. Trend dapat dilihat di dalam autokorelasi. Autokorelasi untuk time lag empat
periode adalah sebesar r4 = 0,589. Nilai ini lebih besar daripada satu nilai sebelunnya.
Ini memberikan kesan adanya musiman tetapi tidak jelas. Sesudah menemukan trend,
deret data tersebut harus dibedakan dan autokorelasi dari rangkaian yang dibedakan
harus dihitung. Hasilnya adalah grafik yang terrihat sebelumnya pada Gambar 8-17.
Deret data yang telah dibedakan adalah stasioner, karena tidak ada koefisien
autokorelasi kecuali yang musiman yang berbeda nyata dari nol. Gambar 8-17
memperlihatkan pola musiman dengan jelas yang panjangnya empat periode.
Tidak seluruh autokorelasi untuk data dengan trend dan musiman akan terlihat seperti di
Gambar 8-17 dan 8-18. Apabila trend lebih kuat daripada musiman maka autokorelasi
dari data asli akan akan membentuk garis. Sebaliknya bila musim lebih kuat daripada
trend, maka musiman dapat terlihat jelas dan mendominasi trend. Jadi untuk tahap
pertama dalam menganalisis autokorelasi, ketidakstasioneran harus dihilangkan. bila hal
ini berhasil dilakukan, maka pola lain dapat ditetapkan. Tiga kasus yang memungkinkan
adalah:
1. Autokorelasi mungkin teriihat seperti pada Gambar 8-4. (Tidak satupun yang
signifikan berbeda dari nol).
2. Autokorelasi mungkin memperlihatkan beberapa pola. (Satu atau dua
autokorelasi yang pertama adalah signifikan berbeda dari nol atau suatu pola
yang berbeda seperti gelombang sinus teredam di dalam Gambar 8-9).
3. Autokorelasi mungkin memperlihatkan musiman (seperti pada Gambar 8-17).

GAMBAR 8.19 ANALISIS DATA PENUMPANG PESAWAT TEBBANG (LIHAT


BOX-JENKINS 1970. HAL. 531 )
Ilustrasi yang jelas mengenai faktor musiman diperlihalkan pada Gambar 8-19 yasg
menggunakan data penumpang pesawat internasional. Perhatikan bahwa gambaran
keadaan penumpang selama 144 bulan memperlihatkan trend yang tidak linear dan pola
musiman yang sangat jelas (multiplikatif). Autokorelasi tersebut menunjukkan dengan
jelas bahwa (i) data tidaklah stasioner (nilai rk besar dan positif) dan (ii) data tersebut
bersifat musiman (nilai r12, r24, dan r36 seluruhnya adalah lebih besar daripada
autokorelasi yang berdekatan). Spektrum garis menegaskan kenyataan yang jelas ini, di
mana amplitude untuk 12 siklus gelombang sinus lebih besar daripada nilai-nilai di
sebelahnya. Suatu gelombang 12 siklus untuk n = 144 titik data, berarti l44/12 = 12 titik
data perpanjangan gelombang atau berarti terdapat siklus 12 bulan yang proporsinya
signifikan. Besarnya amplitudo untuk 1 siklus gelombang menyatakan kuatnya trend
dalam data.
8/5 Rekapitulasi
Bab ini telah membahas berbagai aspek model deret berkala seperti kera:ndoman,
ketidakstasioneran, musiman, proses-proses autoregresif, proses-proses rata-rata
bergerak dan gabungan dari proses-proses AR dan MA, dan telah membuat, berguna
notasi Box-Jenkins secara umum, ARIMA (p, d, q). Kemudian beberapa alat statistik
yang berguna juga diuji seperti misalnya koefisien autokorelasi, juga koefisien
autokorelasi parsial, pembedaan suatu deret berkala dan spektrum garis. Akhirnya alat-
alat tersebut digunakan untuk menguji sejumlah data ilustratif.
Telah diperlihatkan bahwa analisis deret berkala dapat dilaksanakan di dalam suatu
mekanisme yang jelas, dengan lnput manusia yang minimum. Di lain pihak
pembentukan model jauh lebih pasti dan memerlukan lebih banyak pertimbangan
(judgement) dari manusia. Hal-hal ini akan dibahas lebih terinci di dalam Bab 9.
Langkah-langkah berikut ini terdapat dalam analisis berkala:
1. Plotkan dala asli.
2. Hitung nilai-nilai koefisien autokorelasi dari deret data asli. Apabila mereka
turun dengan cepat ke atau mendekati nol. Katakan, sesudah nilai kedua atau
ketiga ini menandakan, bahwa data adalah stasioner di dalam bentuk aslinya.
Kemudian carilah beberapa pola yang lain (lihat langkah 4 di bawah). Apabila
mereka tidak turun ke nol dan tetap positif, menyatakan tidak stasioner (lihat
langkah 3 di bawah). Gunakan spektrum garis untuk meyakinkan penemuan
tersebut. Amplitudo dari frekuensi yang terendah (satu siklus) biasanya akan
mendominasi suatu deret data yang tidak stasioner.
3. Apabila autokorelasi menunjukkan bahwa data tidak stasioner, lakukanlah
pembedaan-pertama terhadap data asli dan hitung autokorelasinya. Apabila
stasioner, carilah beberapa pola yang lain (lihat langkah 4 di bawah). Apabila
tetap tidak stasioner, lakukan pembedaan pertama lagi dan tetapkan
autokorelasinya. untuk kebanyakan tujuan praktis, suatu maksimum dari dua
perbedaan akan mengubah data menjadi deret stasioner.
4. Apabila kestasioneran telah diperoleh, hitung nilai-nilai autokorelasi untuk
melihat apakah masih terasa pola-pola yang lain (yaitu selain kerandoman yang
tersebar di sekitar nol). Terdapat tiga kemungkinan yang harus di
Pertimbangkan.
a. Mungkin faktor musiman menampakkan diri sendiri autokorelasi untuk
time-lag setiap kuartal, atau setiap tahun adalah besar dan secara signifikan
berbeda dari nol dan amplitudo untuk gelombang sinus yang sesuai adalah
besar.
b. Mungkin terungkap adanya proses AR atau MA-pola dari autokorelasi,
parsial dan di dalam spektrum garis akan menunjukan suatu model yang
memungkinkan, (Ini adalah pokok pembahasan Bab 9.)
c. Campuran dari ketidakstasioneran, musiman dan proses AR dan MA
mungkin akan terlihat (yaitu model ARIMA yang umum) (lihat Bab 9 untuk
informasi selanjutnya).

Harus diingat, bahwa grafik autokorelasi sama sekali berbeda dari grafik data. Grafik
data merupakan alat bantu visual untuk membantu menetapkan perilaku pola data.
Autokorelasi dan spektrum garis adalah suatu rangkuman dari pola yang ada di dalam
data. Mereka dapat menyatakan banyak hal tentang data dan karakteristiknya. Dengan
semakin luasnya penggunaan komputer, maka penghitungan autokorelasi, parsial dan
spektrum garis bukan lagi merupakan pekerjaan yang sukar. Hal ini membuat pekerjaan
analisis deret berkala menjadi relatif mudah.
LAMPIRAN 8-A STATISTIK Q BOX-PIERCE
Box dan Pierce (1970) telah mengembangkan suatu uji yang mampu menetapkan
apakah sekumpulan autokorelasi secara keseluruhan menunjukkan perbedaan dari
himpunan kosong (null set). Untuk suatu deret berkala tertentu langkah yang diambil
pertama-tama adalah mencocokkan pada model ARIMA, misaa1nya ARIMA (p, d, q).
Kemudian untuk sekumpulan nilai sisa yang telah diperoleh, penting untuk diuji apakah
autokorelasi untuk nilai sisa tersebut berbeda, nyata dari nol. Apabila tidak ada model
yang cocok maka autokorelasi dapat dianggap berasal dari mode ARIMA (0,0,0).
Statistik Q dihitung sebagai berikut:
m
Q=n ∑ r 2k (8-28)
k−1

Dimana m = lag maksimum,


n =N–d
N = jumlah pengamatan asli, dan
rk = autokorelasi untuk lag = k

dan Q menyebar mengikuti sebaran chi-kuadrat dengan derajat bebas (m – p – q)


- q).
Sebagai contoh, perhatikan 6 autokorelasi pada Gambar 8-14 yang diperoleh
berdasarkan data di Tabel 8-3. Di sini model yang diterapkan adalah ARIMA (0,1,0)
dan N awal adalah sebesar 12. Statistik Q dihitung sebagai sebagai berikut:

Q=11 [ ( 0,751 ) + ( 0,475 ) + ( 0,213 ) + (−0,010 ) + (−0,215 ) + (−0,347 ) ]


2 2 2 2 2 2

¿ 11 ( 0,98 )=10,78

dan df adalah (6 - 0 - 0) = 6. Dengan melihat Tabel E di Lampiran I, perhatikan bahwa


nilai chi-kuadrat adalah 12,5916 untuk df = 6 dengan tingkat kesalahan 5 persen. Jadi
mulai Q yang diamati sebesar 10,78 adalah tidak signifikan dan pada tingkat kesalahan
5 persen.
Data yang sama (Tabel 8-3) dibedakan dua kali dan autokorelasi untuk model ARIMA
(0,2,0) diperlihatkan pada Gambar 8-15. Di sini hanya terdapat m = 5 buah rk dan n = N
– d = 12 – 2 =10, sehingga stasitik Q Box-Pierce dihitung sebagai berikut:

Q=10 [ (−0,202 )2 + (−0,217 )2+ ( 0,155 )2+ ( 0,151 )2+ (−0,322 )2 ]


¿ 11 ( 0,98 )=10,78
Q statistik ini dianggap sebagai nilai chi-kuadrat dengan df sebesar (m - - p -- q) = (5 – 0
– 0) = 5. Pada tabel chi-kuadrat ini jelas bahwa nilai Q ini mendekati signifikan.
Himpunan autokorelasi pada Gambar 8-15 dapat dianggap sebanding dengan himpunan
kosong.
Kekurangan dan kelebihan statistik Box-pierce masih diperdebatkan (sebagai contoh
lihat McLeod, 1978) tetapi ini dapat memberikan indeks goodness of fit yang berguna
dan mempunyai kesederhanaan yang baik. Box dan Jenkins (1976, hal 290-292, 394-
395) menggambarkan pemakaian pasa konteks pemodelan univariat dan fungsi transfer.
LAMPIRAN 8-B PENCOCOKAN GELOMBANG SINUS UNTUK DATA DERET-
BERKALA
Lampiran ini disusun sebagai berikut. Bagian pertama merupakan penjelasan singkat
tentang sifat-sifat gelombang sinus tunggal. Berikutnya mempakan pembahasan tentang
bagaimana gelombang sinus dapat dikombinasikan untuk manghasilkan berbagai
himpunan data. Ketiga, akan diperlihatkan bahwa teknik regresi kuadrat terkecil (least
square) dapat digunakan untuk mencocokkan sebuah gelombang tunggal kepada data
deret berkala dan keempat gagasan ini dapat diperluas untuk menangani pencocokkan
beberapa gelombang sinus kepada data deret berkala. Terakhir. analisis Fourier Lengkap
(analisis spektrum garis) akan diperlihatkan bersama suatu program BASIC yang
pendek, yang dapat dipakai untuk melaksanakan analisis tersebut.

Sifat-sifat Gelombang Sinus


Gelombang sinus berpangkal pada persamaan Y = sin θ, di mana θ adalah suatu sudut
(diukur dengan derajat radian). Untuk mensederhanakan diasumsikan bahwa θ
mempunyai nilai dari 0 sampai 360 derajat (yang sama dengan dari 0 sampai 2π radian).
Persamaan ini menggambarkan suatu gelombang yang mempunyai nilai maksimum + 1
dan nilai minimum - 1. Gelombang ini bermula dari titik nol (pada 0 derajat), berakhir
pada koordinat nol (apabila θ=360 derajat) dan melewati nol bila 0 = L80 derajat.
Dengan mengalikan ruas persamaan sebelah kanan dengan A, maka amplitudo
gelombang sinus dapat dikontrol. Jadi, pada persamaan Y = A sin θ, nilai maksimum
dan minimum berturut-turut adalah + A dan - A.
Apabila sudut θ dikalikan dengan suatu bilangan konstan f, maka frekuensi (jumlah
gelombang yang lengkap dalam 360 derajat) dapat dikontrol. Jadi persamaan Y = A sin
f θ akan menggambarkan sebanyak f gelombang dalam 360 derajat.
Penambahan suatu sudut konstan Φ terhadap θ akan menggunakan terjadinya
perpindahan fase (perpindahan gelombang secara horisontal). Di dalam persamaan Y =
A sin (f θ + Φ), apabila θ = 0, maka nilai Y menjadi A sin Φ.
Dengan demikian terdapat tiga sifat gelombang sinus yang penting yaitu: amplitudo
(A), frekuensi (f) dan fase (θ). Dalam hubungannya dengan data deret berkala, konsep
ini dinyatakan di dalam bentuk yang sedikit berbeda, sebagai berikut:

Y t = A sin
[( )
ft
n ]
2 π +Φ . (8-29)

di mana A adalah amplitudo


f adalah frekuensi dari sejumlah n pengamatan
t adalah indeks waktu
n adalah jumlah periode yang diamati, dan
Φ adalah sudut fase (dalam radian).
fraksi (ft/n) untuk nilai-nilai t yang berbeda akan merubah skala waktu yang diskrit dari
deret berkala suatu proporsi 2π.

Untuk mencari arti dari persarnaan (8-29) perhatikanlah berapa kasus yang khusus
sebagai berikut.
Kasus 1 : A = 1, n = 64, f = 1, dan Φ = 0
Di sini amplitudo adalah 1, frekuensi 1 (berarti satu gelombang atau siklus yang lengkap
terjadi dalam n = 64 periode) dan perubahan fase adalah 0. Misalkan t mempunyai nilai
dari 0 sampai 64, sehingga nilai-nilai berikut dapat dihitung.

susunan yang lengkap dari nilai-nilai tersebut diplot pada Gambar 8-20. perhatikan
bahwa perkataan frekuensi 1 adalah sama dengan perkataan bahwa panjang gelombang
adalah 64 periode.
Kasus 2 : A = 2, n = 64, f = 2, dan Φ : 0
Di sini amplitudo dan frekuensi dikalikan dua. Misalkan nilai t berkisar dari 0 sampai
64, sehingga Yt dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

❑❑ =2 sin
[( ) ]
2t
64
2 π +0

dan diplot seperti yang terlihat pada Gambar 8-21. perhatikan bahwa nilai maksimum
dan minimum adalah + 2 dan - 2. Dan bahwa nilai Y1 memperlihatkan dua gelombang
yang lengkap di dalam 64 periode. Dengan kata lain panjang gelombang di dalam kasus
ini adaiah 32 periode.
Kasus 3 : A = 2, n = 64, f = 1, dan Φ = 45 derajat (atau π/4 radian)
untuk melihat pengaruh fase (perpindahan horisontal), kasus ini meliputi penghitungan
nilai Yt dengan menggunakan persamaan:
Y t =2 sin ([ 641t )2 π + π4 ]

GAMBAR 8.20 SEBUAH PLOT GELOMBANG SINUS DENGAN AMPLITUDO =


1, FREKUENSI = 1, SUDUT FASE = 0 DERAJAT UNTUK N = 64 PERIODE
WAKTU
GAMBAR8-21 SEBUAH PLOT GELOMBANG SINUS DENGAN AMPLITLUDO =
2, FREKUENSI.= 2, SUDUT FASE = 0 DERAJAT UNTUK N = 64 PERIODE
WAKTU

GAMBAR 8.22 SUATU PLOT DARI GELOMBANG SINUS DENGAN


AMPLITUDO = 2, FREKUENSI = 1 DAN SUDUT FASE = 45 DERAJAT UNTUK N
= 64 PERIODE WAKTU

Gambar 8-22 memperiihatkan bahwa satu siklus gelombang digeser secara horizontal
(ke kiri) sepanjang satu per delapan siklus.
Kesimpulan, apabila gelombang sinus digunakan bersama-sama dengan analisis deret
berkala, terdapat juga sifat dasar yang harus diperhatikan: (1) amplitudo (pentingnya
atau kuatnya gelombang, (2) frekuensi (atau kebalikannya yaitu panjang gelombang)
dan (3) fase [atau perpindahan (shift) gelombang untuk memungkinkan pencocokan
(fitting) yang lebih baik dari suatu gelombang untuk data yang diamati]. Di dalam
bagian beritutnya, kita akan memperhatikan cara mencocokkan suatu gelombang sinus
untuk data empiris.

Penggabungan Beberapa Gelombang Sinus


Dengan menggunakan persamaan (8-29) sebagai definisi umum dari suatu gelombang
sinus untuk n periode waktu, adalah memungkinkan untuk menggabungkan beberapa
gelombang semacarn itu untuk memperoleh suatu deret berkala yang lebih rumit.
Sebagai contoh, misalkan terdapat k buah gelombang sinus, dengan amplitudo A1, A2,
…, Ak , frekuensi f1, f2,..., fk, dan sudut fase Φ1, Φ2, … , Φk. Maka jumlah dari
gelombang-gelombang ini didefinisikan sebagai berikut:

[( ) ]
k
f it
Y t =∑ Ai sin 2 π +Φ i (8-30)
i−1 n

Adalah hal yang mudah untuk menghasilkan berbagai deret berkala semacam ini, tetapi
biasanya para peramal lebih tertarik dalam pencocokan gelombang sinus ke data, seperti
yang aikan dibhas di dalam dua bagian berikt.

Pencocokan suatu Gelombang sinus untuk suatu Deret Berkala


Anggap bahwa n = 48 merupakan jumlah pengamatan kuartalan tentang penjualan.
Asumsikan bahwa tidak terdapat trend, tetapi terdapat faktor musiman. Tujuan yang
akan kita capai adalah mencocokkan gelombang sinus yang mampu menangkap adanya
faktor musim pada data. Dengan kata lain, cocokkanlah suatu gelombang sinus dengan
panjang gelombang 4 (yaitu suatu gelombang yang lengkap untuk setiap 4 periode) -
atau frekuensi 48/4 = 12. Dua sifat lainnya dari gelombang sinus-amplitudo dan fase-
akan diterapkan sebagai seperti pada cara mendapatkan "pencocokan terbaik”.
Persamaannya menjadi

y t =A sin ([ ftn ) 2 π +Φ ]+e t (8-31)

di mana Yt adalah data penjualan dalam bentuk deviasi (selisih antara tiap
pengamatan dengan rata-rata-penj')
A adalah amplitudo yang tidah diketahui,
f adalah frekuensi yang diketahui (f = 12)
t berkisar dari 1 sampai 48
Φ adalah sudut fase yang tidak diketahui (dalam radian),
e1 adalah kesalahan Pencocokan.
seperti terlihat, persamaan (8-31) merupakan masalah regresi yang tidak linear dan tidak
mudah untuk dipecahkan secara langsung. Namun demikian, terdapat suatu teorema
sederhana di dalam trigonometri, sebagai berikut:
sin (U + V ) : (sin U)(cos V) + (cos U)(sin V),
dimana U dan V adalah dua sudut. Dengan menggunakan rumus ini, tugas memecahkan
persamaan (8-31) menjadi lebih mudah, yaitu sebagai berikut:
misalkan U = (ft/π)2π dan V = Φ
y t =A ¿ ,
dengan sedikit perubahan susunan dapat diperoleh:

y t =b1 sin
[( ) ]
ft
n
2 π +b 2 cos
n[( ) ]
ft
2 π et (8-32)

Dimana
b1 = A cos Φ
b2 = A sin Φ
Perhatikan bahwa persamaan (8-32) sekarang berada dalam bentuk persamaan regresi
biasa, yt = b1 X1 + b2 X2 + et, dan tidak terdapat suku konstan karena yt merupakan
selisih dari nilai rata-rata.

Sebagai contoh, data yang dibentuk untuk contoh ini adalah sebagai berikut:

Pemecahan masalah regresi linear sederhana ini dengan prosedur kuadrat terkecil (least
square) akan menghasilkan nilai b1 dan b2 . Bagaimana kita dapat menemukan
amplitudo yang tidak diketahui (A) dan fase yang tidak diketahui (Φ)?. Dengan
menggunakan persamaan ( 8-32 ), ppenyelesaiannya adalah sebagai berikut:
b 21+b 22=( A cos Φ )2+ ( A sin Φ )2
¿ A [ ( cos Φ ) + ( sin Φ ) ]
2 2 2

2
¿A
sehingga

A=√ b21 +b22 (8-33)

cos Φ=b 1 / √b 21+ b22 (8-34)

sin Φ=b2 / √ b21 +b 22 (8-35)

Dari persamaan (8-33)-kita menetapkan amplitudo A dan dari persamaan (8-34) dan (8-
35) kita dapat mnetapkan sudut fase Φ . Sebagai contoh, andai kata nilai perkiraan b1
dan b2 berturut-turut adalah 1,6 dan + 3,1. Maka:

A=√ (−1,6 ) + ( 3,1 ) =3,49


2 2

cos Φ=(−1,6 ) /(3,49)=−0,46


sin Φ=( 3,1 ) /(3,49)=0,89
dan sudut fase Φ harus terletak pada kuadran kedua (yaitu antara 90 dan 180 derajat),
sehingga:
Φ=180o −62,67o =117,33o
Perhatikan bahwa di dalam prosedur mencocorikan regresi untuk satu gelombang sinus,
nilai frekuensi f tidak perlu harus bulat (integer).

Pencocokan Satu Kelompok Gelombang Sinus untuk suatu Deret Berkala


Prosedur di atas dapat diperluas untuk mencocokkan sekumpulan gelombang sinus
apabila diketahui frekuensi f1, f2,...,fk. Tujuannya adalah menetapkan amplitude (A1,
A2, ..., Ak) dan sudut fase (Φ1, Φ2,….., Φ1) yang akan menghasilkan "pencocokan
terbaik" untuk suatu deret berkala- Persamaan (8-32) dapat diubah menjadi lebih umum
sebagai berikut:

[ ( ) ( ) ]
k
f it f t
y t =∑ b 1i sin 2 π +b 2i cos i 2 π +e t (8-36)
i=1 n n

Dengan menggambarkan teknik regresi kuadrat terkecil (LS), kita dapat memecahkan
untuk k pasang koefisien.(b1i, b2i), t = 1, 2,….', k, dan kemudian dapat memecahkan
amplitudo Ai dan sudut fase Φi, kemudian menggunakan persamaan (8-33), (8-34) dan
(8-35);

A=√ b21 i+ b22 i


cos Φ i=b 1i / Ai
sin Φi =b2 i / A i
Pencocokan (fitting) dari satu gelombang sinus maupun pencocokan dari beberapa
gelombang sinus kedua-duanya menuntut diketahuinya frekuensi panjang waktu.
Jelaslah bahwa terdapat banyak keadaan di mana tujuannya adalah menemukan
bagaimana frekuensi ini terjadi. Di dalam bagian berikutnya kita diskusikan masalah ini.

Analisis Fourier (Analisa Spektrum Garis)


Untuk sejumlah N pengamatan (di mana untuk saat ini N akan diasumsikan berjumlah
ganjil), tujuan dari analisis Fourier adalah menghitung koefisien-koefisien N yaitu ao,
a1, q2, ... , ak dan β1, β2, ….. , βk , dimana k = (N - l)/2, yang memenuhi Persamaan

[ [ ( ) ] [( ) ]]
k
1 ft ft
Y t = α 0+ ∑ α f cos 2 π + β f sin 2π (8-37)
2 f =1 N N

untuk t = 1, . . .,N, di mana k = (N - 1)/2. Prosedur pemecahan yang efisien diagram alir
komputer terdapat di Goertzel (1960) sedangkan Program BASIC yang sederhana
dilampirkan di bawah ini:
i. menetapkan koefisien Fourier α f {f = 0, 1, … , k) dan β f (f = 1, 2,...,k),
ii. konversi dari koefisien-koefisien ini menjadi amplitudo dan sudut fase untuk
setiap, k = (N - 1)/2 frekuensi.
Analisis Fourier ini (atau yang kita sebut analisis spektrum garis) menghasilkan
informasi yang bermanfaat, misalnya mengenai adanya periodisitas pada deret berkala.
Untuk memperlihatkan hal ini, perhatikan dua contoh sebagai berikut
Contoh 1
Di sini, satu kelompok N = 21 titik data dibangkitkan sesuai dengan persamaan:

Y t =100+3 sin ([ 212t ) 2 π + π2 ] (t=1,2 , … , 21) .


Dengan kata lain, hal ini berkaitan dengan gelombang sinus yang mempunyai frekuensi
2 (2 siklus yang lengkap di dalam 21 periode), amplitudo = 3, dan sudut fase : 90
derajat. Tabel 8-4 memperlihatkan data yang dibangkitkan.
Dari penerapan program Fourier, diperoleh koefisien Fourier sebagai berikut :

Dan spektrum garis (atau analisis harmonik) yang diperlihatkan pada Gambar 8-23.
Perhatikan bahwa koefisien α 0 = 100 (nilai tengah dari keiompok data), bahwa
amplitudo untuk frekuensi 2 siklus sebesar 3, seperti yang diharapkan, dan sudut fase 90
derajat, seperti yang diharapkan pula.
GAMBAR 8.23 ANALISIS SPEKTRUM GARIS DARI DATA PADA TABEL 8-4

Contoh 2
Sebagai contoh simulasi yang kedua, perhatikan data sebanyak N = 21 titik dengan
menggunakan persamaan:

[( ) ]
3
f jt
Y t =100+ ∑ A j sin 2 π + P j +e t
j=1 21

dimana
f1 = 2, f2 = 4, f3 = 5,
A1 = 4, A2 = 3, A3 = 6,
P1 = 90 derajat, P2 = 0, P3 = 100 derajat dan
et adalah ND (0,6).
data semacam ini diperlihatkan di Tabel 8-5. Dengan menggunakan program Fourier,
diperoleh koefisien Fourier sebagai berikut:
GAMBAR 8.24 ANALISIS SPEKTRUM GARIS DARI DATA PADA TABEL 8.5

Amplitudo dan sudut fase yang dihitung dari data ini menghasilkan spectrum garis
seperti yang terlihat di Gambar 8-24. Di sini karena nilai kesalahan random et
ditambahkan kepada nilai periodik, maka hasilnya tidak secara tepat “murni.” Tiga
frekuensi utama yang terlihat adalah 2,4 dan 5, seperti yang terbentuk ke dalam data
simulasi, tetapi frekuensi lain juga diperlihatkan. Sama halnya dengan amplitudo untuk
f = 2, f = 4 dan f = 6 yang membentuk simulasi 4, 3, dan 6 berturut-turut menjadi 3,98,
3,75 dan 5,85, sebagai pemecahan. sudut fase awal 90 derajat, 0 dan 100 derajat di
dalam pemecahan empiris menjadi 114,25 derajat dan 108,67 derajat.
Metode analisis ini jelas bermanfaat di dalam penetapan adanya factor perioditas di
dalam suatu deret berkala.

Bagaimana apabila N adalah Bilangan Genap?


Program yang sama (fourier) dapat digunakan untuk memecahkan koefisien Fourier dan
spektrum garis apabila N bernilai genap. Jumlah maksimum frekuensi yang dapat
ditangani dalam kasus ini sebanyak (N/2) - 1. Jadi Gambar 8-25 memperlihattkan
analisis yang lengkap untuk N = 10 titik data yang dibangkitkan untuk mengisi dua
gelombang dengan spesifikasi sebagai berikut:
Frekuensi Amplitudo Sudut Fase
1 2 50 derajat
2 3 76 derajat

perhatikan bahwa analisis tersebut secara tepat menetapkan dua frekuensi (2 dan 3),dua
sudut fase (50 dan 76 derajat) dan frekuensi maksimum yang dapat di pelajari apabila n
= 10 yaitu :
f maks=(10/2)−1=4
GAMBAR 8-25 DATA SIMULASI (SUATU DERET BERKALA BERISI PERIODE
SATU DAN DUA SIKLUS) DAN ANALISIS SPEKTRUM GARIS

Sebagai kesimpulan, analisis Fourier untuk suatu deret berkala memungkinkan orang
yang melakukan peramalan untuk menetapkan “periodicties” (apabila ada) di dalam
data. Sesudah menetapkan seluruh spektrum garis, peneliti mungkin menginginkan
kecocokan regresi dari frekuensi tertentu-dan frekuensi tertentu ini tidak perlu harus
bilangan bulat.
Inilah listing dari subroutine sederhana yang dapat melaksanakan analisis Fourier dan
menghitung spektrum garis untuk suatu kumpulan data.
REFERENSI DAN PUSTAKA TERPILIH
Anderson, R. L., 1942. "Distribution of the Serial Corelation Coefficient," Annals of
Mathematical Statistics, 13, hal 1-13.
Bartlett, M. S. 1946. "On the Theoretical specification of sampling Properties of
Autocorrelated Time Series," Journal of the Royal Statistical Society, Series B. 8, hal.
27.
Bloomfield, Peter. 1976. Fourier Analysis of Time Series: An Introduction, NewYork:
John WileY & Sons, Inc.
Box G. E. P. dan G. M. Jenkines. 1976. Time Series Analysis: Forecasting and Control,
Revised Edition. San Francisco: Holden-Day.
Box G. E. P. Dan D. A. Pierce 1970. “Distribution of the Residual Autocorrelations in
Autoregressive-Integrated Moving-Average Time Series Models” Journal of tbe
American Statistical Association, 65, hal. 1509-26.
Goertzel, G. 1960. "Fourier Analysis," In Mathematical Methods for Digital computers,
di edit oleh A. Ralston aan H. S. wilf. New York: John Wiley & Sons. Inc., hal. 258-
262.
Granger, C. P. J. 1980. Forecasting in Business and Economics. New York: Academic
Press.
Makridakis, S., dan S. Wheelwright. 1978. Interactive Forecasting, edisi kedua- San
Francisco: Holden-Day.
McLeod, A. I. "On the Distribution of Residual Autocorrelations in Box-Jenkins
Models," Journal of the Royal Statistical Society, Series B, 1978, 40, No. 3, hal. 296-
302.
Montgomery, D. C., dan L. A. Johnson. 1976. Forecasting and Time series Analysis.
New York: McGraw-Hill.
Nelson, C. R. 1973. Applied Time Series Analysis. San Francisco: Holden-Day.
Quenouille, M. H. 1949. "The Joint Distribution of serial correlation coefficients,"
Annals os Mathematical Statistics, 20, hal. 561-71.
Wold, H. 1954. A Study in the Analysis of Stationary Time Series. Stockholm:
Almquist & Wiksell (edisi Pertama, 1938).

LATIH AN

1. Gunakanlah data pada Tabel 8-1, kolom 2, untuk memeriksa bahwa koefisien
autokorelasi unbuk time-lag 3 dan 4 periode adalah sebesar 0,181 dan - 0,132,
berturut'-turut. Apakah artinya r3 = 0,181 dan r4 = 0,132?
2. Menggunakan rangkaian sederhana 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, l0, hitunglah koefisien
autokorelasi untuk time-lag 1, 2, 3, 4 dan 5 periode. Plot autokorelasi ini dan
terangkan mengapa terletak pada garis diagonal dari mulai nilai yang besar ke
nilai yang lebih kecil bersama dengan meningkatnya time-lag.
3. Gambar 8-4memperlihatkan autokorelasi untuk 36 bilangan, di Tabel 8-2.
a. Hitung garis selang kepercayaan 95 persen untuk Gambar 8-4.
b. Gambar 8-26 memperlihatkan autokoralasi untuk 360 bilangan random dan
Gambar 8-27 memperlihatkan autokorelasi untuk 1000 bilangan random.
Terangkan perbedaan antara gambar-gambar tersebut dengan Gambar 8-4.
Apakah seluruhnya menyatakan kerandoman dari data?
c. Mengapa garis batas confidence jaraknya berbeda-beda dari nilai tengah titik
nol? Mengapa autokorelasi berbeda-beda pada masing-masing gambar apabila
berhubungan dengan bilangan random.
4. Tabel 8-6 memperlihatkan deret berkala yang terdiri dad 60 nilai. Plotkan
rangkaian ini untuk menetapkan trend-nya. Hitung perbedaan pertama dan plotkan
deret yang dihasilkannya. Terangkan mengapa deret data yang dibedakan
(differenced series) tidak mempunyai trend. dengan komputer, temukan
autokorelasi untuk time-lag 1, 2, 3, dan 4 periode untuk deret data asli dan yang
telah dibedakan.
5. Tabel 8-7 memperlihatkan data untuk persediaan barang dagangan susu kental
manis (Evaporated and Sweetened Condensed Milk) untuk periode Januari 1971
sampai Desember 1980. Gambar 8-28 memperlihatkan analisis deret berkala ini,
yang memperlihatkan plot data spektrum garis, autokorelasi dan autokorelasi
parsial.
a. Keterangan apa yang dapat Anda berikan dari plot data tenebut?
b. Bagaimana Anda menarik arti dari spektrum garis?
c. api yang dapat Anda pelajari dari grafik autokorelas?
d. Apa kesimpulan yang dapat Anda tarik dari grafik parsial?
GAMBAR 8-26 KOEFISIEN AUTOKORELASI DARI 360 BILANGAN RANDOM

GAMBAR 8-27 KOEFISIEN AUTOKORELASI DARI 1000 BILANGAN RANDOM


GAMBAR 8.28 PERSEDIAAN “EVAPORATED AND WEETENED CONDENSED
MILK” SEBUAH ANALISIS DERET BEBKALA YANG MEMPERLIHATKAN
PLOT DATA, SPEKTRUM GARIS, AUTOKORELASI DAN PARSIAL.
6. Untuk data yang sama dengan yang terlihat di Tabel 8-7 (persediaan, “Evaporated
and Sweetened Condensed Milk”') Gambar 8-29 memperlihatkan analisis data
yang dibedakan (1 – B)(1 – B12)Xt – yaitu pembedaan tidak musiman orde
pertama (d = 1) dan pembedaan musiman orde pertama (D = 1).
a. Apakah terdapat beberapa masalah didalam plot data dari perbedaan-perbedaan
tersebut?
b. Informasi apayang dapat Anda tarik dari spektrum garis pada kasus ini?
c. lnformasi apa yang dapat Anda peroleh dari grafik autokorelasi?
d. Informasi apa yang dapat Anda peroleh dari grafik autokorelasi parsial?

GAMBAR 8-29
PEHSEDIAAN “EVAPORATED AND SWEETENED CONDENSED MILK”
ANALISIS DARI DATA TIDAK MUSIMAN DAN MUSIMAN YANG
DIBEDAKAN YANG MEMPERLIHATKAN PLOT PEMBEDAAN-PEMBEDAAN,
SPEKTRUM GARIS, AUTOKORE LASI DAN PARSIAL

Anda mungkin juga menyukai