METODE DERET
BERKALA
(TIME SERTES)
BOX-JENKINS (ARIMA)
Dengan adanya penggunaan komputer yang semakin meluas di dalam berbagai
organisasi, maka metode analisis deret-berkala lebih umum dan berdasrkan ilmu
statistic, yang dikenal sebagai Box-Jenkins atau ARIMA (autoregressive / integrated /
moving average) tetah dikembangkan lebih lanjut dan diterapkan untuk peramalan. Pada
Bagian Empat akan dibahas pendekatan-pendekatan yang secara matematis lebih
canggih. Intinya adalah sama seperti peramalan dengan metode pemulusan (smoothing)
dan dekompresi yang didasarkan pada analisis deret berkala (time series) historis. Akan
tetapi, pendekatan yang digunahan di dalam menetapkan pola deret berkala historis
yang demikian beserta metodologi yang digunakan untuk mengekstrapolasi pola-pola
tersebut untuk masa yang akan datang tebih didasrkan pada teori statistic yang telah
dikembangkan dengan baik.
Meskipun pendekatan autoregresive / integrated /moving average (ARIMA) ini secara
teoritis dan statistis sangat menarik, akan tetapi kerumitan mereka menghalangi
pemakaian secara luas sebagai dasar untuk peramalan di dalam organisasi-organisasi.
Agar metodologi tersebut dapat digunakan, maka harus dilakukan analisis data deret
berkala historis, ketepatan model harus diukur dan model-model tersebut harus
diterapkan untuk tujuan peramalan. Meskipun beberapa pedoman yang bermanfaat
untuk menangani tugas-tugas tersebut telah dikembangkan, masih tetap diperlukan
adanya pengalaman dan usaha mencoba-coba (trial and error) agar dapat menggunahan
pendekatan-pendekatan tersebut dengan berhasil.
Pada Bab 8 dikemukahan unsur-unsur dasar dari seluruh shema Autoregressive /
moving average untuk analisis deret berkala. Hal ini meliputi pengenalan jenis-jenis
model yang dapat dikembangkan dan alat-alat metodologi yang digunakan untuk
menetapkan suatu model yang paling tepat untuk suatu himpunan data deret berkala
tertentu. Di samping itu juga dibahas prosedur dasar tentu tertentu untuk mengenali dan
menangani masalah non-stasioneritas dan musim (seaonality).
Pada Bab 9 dibahas pendekatan Box-Jenkins untuk penggunaan peramalan ARIMA.
Dikemukakan tiga tahap pendekatan, yaitu identifikasi, penaksiran (estimation) dan
pengujian serta penerapan. Juga digambarkan secara terinci penggunaan praktisnya.
Sejumlah gambar atau grafik dicantumkan untuk memperlihatkan bagaimana
penggunaan metodologi seperti autokorelasi, korelasi parsial dan spektrum garis yang
digambarkan di dalam Bab 8.
Bab 10 akan membahas perluasan metodologi Box-Jenkins untuk analisis deret berkala
multivariat (fungsi transfer) yang melibatkan dua atau lebih kelompok data. Meskipun
sangat kompleks, metodologi ini semakin banyak di pakai oleh para peramal. Di dalam
bab ini juga diberikan contoh pengerjaan yang lengkap.
8/ DASAR-DASAR
ANALISIS DERET
BERKALA (TIME SERIES)
8/1 Pendahuluan
8/2 Model-model untuk Data Deret Berkala
8/2/1 Model Random: ABTMA (0,0,0)
8/2/2 Model Random yang Tidak Stasioner: ARIMA (0,l,0)
8/2/3 Model Autoregresif yang Stasioner Berorde Satu; ARIMA (1,0,0)
8/2/4 Model Moving Average Stasioner Berorde Satu: ARIMA (0,0,1)
8/2/5 Model Campuran Sederhana: ARIMA (1,0,1)
8/2/6 Kombinasi-kombinasi yang Berorde Lebih Tinggi; ARIMA (p, d, q)
8/5 Rekapitulasi
APENDIKS 8-A Statistik Q Box-pierce
APENDIKS 8-B pencocokan Gelombang sinus untuk Data Deret-Berkala
REFERENSI DAN PUSTAKA TERPILIH
LATIHAN
8/1 Pendahuluan
Sehubungan dengan pendekatan umum yang menggunakan analisis deret berkala, bab
ini mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
1. Memperkenalkan berbagai konsep yang digunakan di dalam analisis deret berkala
(time series) (dan peramalan).
2. Mendefinisikan beberapa notasi umum (yang dikemukakan oleh Box dan Jenkins,
1970) yang berhubungan dengan model-model deret berkala.
3. Deskripsi alat-alat statistik yang terbukti bermanfaat di dalam menganalisa deret
berkala.
4. Memberikan gambaran mengenai bagaimana konsep-konsep notasi dan alat-alat
statistik tersebut dapat dikombinasikan untuk membantu berbagai analisis deret
berkala.
Bagian akhir pengantar ini akan menghubungkan kelas umum metode peramalan deret
berkala yang dikemukakan di dalam Bagian Empat ini dengan tiga kelas metode yang
telah dibahas di dalam Bagian Dua dan Tiga.
Di dalam Bagian Dua telah diuji dua kategori utama teknik peramalan deret berkala
yaitu pemulusan (smoothiug) dan dekomposisi (decomposition). Metode pemulusan
mendasarkan ramalannya pada prinsip perata-rataan (penghalusan) kesalahan-kesalahan
masa lalu dengan menambahkan persentase kesalahan kepada persentase ramalan
sebelumnya. Secara matematik, metode pemulusan tunggal berbentuk sebagai berikut:
F t−1=F t +α ( X t −Ft )
¿ F t +α ( et ) . (8-1)
Sehingga menjadi :
¿ F t−1+ α ( e t −1 ) + α ( e t ) . (8-2)
Hasil pengembangan lebih lanjut substitusi ini akan menjadi jelas. Dengan diketahui
suatu ramalan awal, misalkan Ft – 2, dapat diperoleh ramalan baru dengan menambahkan
suatu persentase kesalahan antara nilai sebenarnya dengan nilai ramalan tersebut
(misalkan X1 – 2 – Ft – 2 ), dengan demikian secara rata-rata Ft + 1 akan mempunyai pola
yang mendekati pola data sebenarnya.
Metode dekomposisi deret berkala didasarkan pada prinsip “pemecahan” data deret
berkala ke dalam masing-masing komponenyya yaitu musiman trend, siklus dan unsur
random, dan-kemudian dilakukan., peramalan terhadap, nilai masing-masing dan
komposisi tersebut secara terpisah (kecuali factor acak yang tidak dapat diduga) dan
akhirnya menggabungkan kembali ramalan-ramalan tersebut. Metode pemulusan dan
dekomposisi kedua-duanya hanya memperlihatkan ramalan mereka sebagai fungsi dari
waktu.
Pendekatan peramalan yang lain telah dibahas di dalam Bagian Tiga. Pendekatan ini
meliputi metode kausal atau metode eksplanatori, dengan penekanan pada regresi.
secara umum, metode regresi berusaha meramalkan variasi dari sejumlah faktor lain
yang disebut variabel bebas. Di dalam regresi ganda sebagai contoh, model kausal atau
eksplanatori mempunyai bentuk;
di mana Y adalah variabel tak bebas, X1 sampai Xk adalah variabel bebas, b2 sampai bk
adalah koefisien regresi linear dan e menyatakan unsur kesalahan.
Di dalam bab ini, pembahasan akan difokuskan pada kombinasi prinsip-prinsip yang
dikemukakan pada Bagian Dua dan Tiga. Selanjutnya beberapa prinsip seperti yang
digunakan di dalam regresi akan drterapkan pada metode deret berkala dan akan
diutarakan di bawah ini.
Di dalam persamaan (8-4), X1, X2, . . . , Xk dapat berupa berbagai faktor seperti GNP,
iklan, harga, persediaan., uang dan sebagainya. Apabila variabel-variabel tersebut
didefinisikan sebagai X1 = Yt – 1, X2 = Yt – 2 , X3 = Yt – 3 , … , Xk = Yt – k , maka persamaan
(8-4) kemudian menjadi :
Persamaan (8-5) masih merupakan persamaan regresi, tetapi berbeda dengan (8-4)
merupakan faktor-faktor bebas yang lain, yaitu pada persamaan (8-5) merupakan nilai
sebelumnya dari variabel tak bebas Yt. Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai time-lagged
dari variabel tak bebas, dan oleh karena itu digunakan istilah autoregresi (AR) untuk
menjelaskan bentuk persamaan (8-5). Dengan memeriksa persamaan (3-21), yang
ditunjukkan di bawah ini, dapat dilihat bahwa pemulusan eksponensial tunggal (single
exponential smoothing) mempunyai bentuk yang sangat menyerupai persamaan (8-5).
2
F t−1=a X t +α (1−a ) X t −1+ a ( 1−a ) X t −2
3 4
+ a ( 1−a ) X t −3 + a (1−a ) X t−2 +∙ ∙∙ etc . (3-21)
Satu pertanyaan yang timbul dari persamaan (8-5) adalah mengapa regresi yang
diterapkan untuk deret berkala (yaitu autoregresi) harus diperlakukan berbeda dengan
model-model regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least square/OLS) (Bab 5 dan 6).
Jawabannya adalah:
Dengan cara yang sama, persamaan (8-5) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut :
Di dalam Bagian 8/2 beberapa dasar model umum ini akan dibahas ditinjau dari segi
pembentukan model. Kemudian, di dalam Bagian 8/3 kita akan menguji beberapa alatt-
metodologi dasar yang tersedia untuk menganalisis deret berkala tertentu, dan
menyeleksi model yang tepat. Akhimya, Bagian 8/4 akan memperlihatkan beberapa
contoh pemakaian alat-alat ini di dalam analisis deret berkala.
l
sebagai contoh, seandainya Yt = a + bt.-l + et. Maka
Y t +1=a+b Y t + et +1
¿ a+ b ( a+b Y t −1+ e ) + ¿ e t +1
2
¿ ( a+ ab ) +b Y t −1 +(bet +e t−1 )
Nilai kesalahan pada saat t adalah et. kesalahan pada saat t + 1 adalah (be t + et-1), yang
merupakan fungsi dari et. Dengan kata lain, kesalahan pada saat t dan t + 1 adalah tidak bebas.
2
Pemakaian ungkapan rata-rata bergerak (moving average) pada terminologi deret berkala ini
sebaiknya tidak dikacaukan dengan pemakaian ungkapan yalrg sama di dalam bagian metode
pemulusan. Ini merupakan pemakaian yang sangat berbeda untuk ungkapan yang sama. Dalam
bab ini dan dua bab selanjutnya, moving average digunakan hanya sebagai referensi untuk
serangkaian istilah yang menyangkut kesalahan-kesalahan pada periode waktu yang berbeda,
seperti terlihat di dalam persamaan (8-6).
8/2 Model-model Untuk Data Deret Berkala
Di dalam Bab 3 ditunjukkan bahwa metode pemulusan tidak boleh digunakan secara
sembarang, akan tetapi karakteristik data deret berkala harus ditetapkan agar dapat
dipilih metode pemulusan yang tepat. Tahap yang sama juga perlu dilakukan untuk
mendahului penggunaan model ARIMA3 yang akan dibahas di dalam tiga bab berikut.
Penetapan karakteristik data deret berkala seperti stasioner, musiman dan sebagainya,
memerlukan suatu pendekatan yang sistematis, dan ini akan menolong untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai model-model dasar yang akan di tangani.
8/2/1 Model Random ARIMA (0, 0, 0)
Persamaan (8-7) merupakan model random sederhana di mana nilal pengamatan Yt
terbentuk dari 2 bagian yaitu nilai dengan, μ, dan komponen kesalahan random, et , yang
bersifat bebas (inadependent) dari waktu ke waktu.
ARIMA (0, 0, 0)
Y t =μ+e t (8-7)
Model ini diklasifikasikan sebagai ARIMA (0,0,0) karena tidak terdapat aspek AR (Yt
tidak tergantung pada Yt – 1), tidak terdapat pembedaan, dan tidak dijumpai adanya
proses MA (Yt tidak tergantung pada et – 1). Gambar 8-1a memperlihatkan jenis deret
data ARIMA (0,0,0).
8/2/2 Model Random yang Tidak Stasioner: ARIMA (0,1,0)
Persamaan (8-8) mirip seperti proses AR sebab nilai Y t bergantung pada Yt – 1, tetapi
apabila koefisien Yt – 1 bernilai satu, persamaan tersebut dapat ditulis seperti persamaan
(8-9) yang memperlihatkan bahwa pembedaan pertama deret Yt adalah model random.
ARIMA (0,1,0)
Y t =Y t −1 +e t (8-8)
Y t −Y t −1 =et (8-9)
Untuk memudahkan, biasanya (Yt – Yt -1) ini ditetapkan sebagai Wt , yaitu deret
pembedaan pertama, sehingga kita dapat berbicara mengenai Wt sebagai deret yang
stasioner, sedangkan Yt adalah non-stasioner. Konlep stasioneritas ini dapat
digambarkan secara praktis (non-statistik) sebagai berikut: 4
1. Apabila suatu data deret berkala dipiot dan kemudian tidak terbukti adanya
pembahan nilai tengah dari waktu ke waktu (Gambar 8-1α), maka kita katakan
3
Singkatan ARIMA berasal dari, “auto regressive integrated moving average model” (model rata-rata
bergerak terpadu autoregresif). K.ata “integrated” untuk beberapa keadaan dapat membingungkan dan
mengacu kepada “pembedaan (differencing)” deret data yang diterangkan di dalam Bagian 8/2/2. Tiga
angka setelah ARIMA menunjukkan derajat proses ses AR, derajat pembedaan dan derajat proses MA.
Pengertian ini akan menladi jelas setelah model-model tersebut diterangkan. Box dan Jenkins (1976)
adalah orang yang memperkenalkan singkatan ARIMA.
4
Untnk definisi formal dari kestasioneran, lihat Box dan Jenkins (1976), hal 26.
bahwa deret data tersebut stasioner pada nilai tengahnya (mean).
2. Apabila plot deret berkala tidak memperlihatkan adanya perubahan varians yang
jelas dari waktu ke waktu, maka dapat kita katakan deret data tersebut adalah
stasioner pada variannya.
3. Gambar 8-1b memperlihatkan deret data, model ARIMA (0,1,0), di mana nilai
tengahnya "menyimpang" (dengan beberapa pola trend-cycle) dari waktu ke
waktu. Deret berkala ini mempunyai nilai tengah yang tidak stasioner.
4. Gambar 8-1c memperlihatkan deret berkala yang nilai tengah dan variannya
tidak stasioner. Nilai tengahnya menyimpang (berubah setiap waktu) dan varian
(atau standar deviasinya) tidak konstan setiap waktu.
5
Perhatikan bahwa μ’ pada persamaan ini (dan pada persamaan-persamaan berikutnya yang melibatkan
proses-proses AR) adalah tidak sama dengan "nilai tengah" dari deret Y. Pengembangannya adalah
sebagai berikut :
Nilai koefisien θ 1 di dalam persamaan (8-11) juga mempunyai daerah terbatas anatara –
1 dan + 1.
ARIMA (1,0,1)
μ'
Y t =∅⏟
1 Y t−1 +
kon ↑ stant ⏟
+ et θ1 e t−1 (8-12)
AR ( 1) MA (1)
Gambar 8.2 ILUSTRASI DERET BERKALA YANG MEMPERLIHATKAN (A)
SUATU PROSES AUTOREGRESIF BERORDE PERTAMA ARIMA-(1,0,0) DAN
(B) PROSES MOVING AVERAGE BERORDE PERTAMA-ARIMA (0,0,1)
Di sini, Yt tergantung pada satu nilai sebelumnya yaitu Yt – 1 dan satu nilai kesalahan
sebelumnya, et – 1 . Deret data tersebut diasumsikan stasioner pada nilai tengah dan
variannya. Gambar 8-3a memperlihatkan satu contoh deret ARIMA (1,0,1) yang
dihasilkan secara buatan, di mana Ø1 = 0,3 dan θ 1 = - 0,7. Gambar 8-3b memperlihatkan
contoh lain dari model ARIMA (1,0,1) dimana Ø1 = - 0,8 dan θ 1 = 0,8. perhatikan
betapa dua buah model ARIMA (1,0,1) tersebut sangat berlainan.
∑ ( Y t −Y t ) ( Y t −1−Y t −1)
t=2
¿ (8-14)
√∑ ( √∑ (
n n
2 2
Y t−Y t ) Y t−1−Y t−1 )
t =1 t =2
Perhatikan baik-baik batas nilai subskrip pada pembilang dan penyebut di sini. Karena
rumus ini secara statistik akan menyulitkan, maka dibuat asumsi untuk
menyederhanakannya. Data Y1 diasumsikan stasioner (baik nilai tengah maupun
variasinya). Juai, kedua nilai tengah, Y t dan Y t −1 dapat diasumsikan bernilai sama (dan
kita.dapat membuang subskrip dengan menggunakan Y =Y t=Y t−1) dan dua nilai varians
(atau deviasi standar) dapat diukur satu kali saja yaitu dengan menggunakan seluruh
data y, yang akan diketahui.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi penyederhanaan ini, maka persamaan (8-14)
menjadi:
n
∑ ( Y t−Y t ) ( Y t −1 −Y )
r Y Y = t =2
t t−1 n (8-15)
∑ ( Y t −Y t ) 2
t=1
7
Perhatikan bahwa persamaan (8-14) dapat diperluas dengan cara membagi pembilang dengan
(n – 2) dan dua factor penyebut dengan ( n - 1 ) dan ( n - 2) berturut-turut Dalam praktek,
deraiat bebas ini tidak dimasukkan di dalam perhitungan autokorelasi. Liahat Box dan Jankins
(1976), hal. 32.
Perhatikan dengan seksama bahwa pembilang kekurangan satu nilai suku dibanding
penyebut, akan tetapi karena adanya asumsi stasioneritas, maka persamaan (8-15) dapat
berlaku umum, dan dapat digunakan untuk seluruh time-lag dari satu periode untuk
suatu deret berkala.8 Untuk memudahkan, sekarang kita tuliskan koefisien korelasi
derajat ke satu sebagai r1 (yaitu koefisien korelasi untuk time-lag satu).
Dengan cara yang sama, autokorelasi untuk time-lag 1, 2, 3, 4, …. , k dapat dicari dan
dinotasikan rk , sebagai berikut:
nk
∑ ( Y 1−Y ) ( Y t +k−Y )
r k = t −1 n (8-16)
∑ ( Y t −Y ) 2
t−1
Penjumlahan nilai pembilang pada persamaan (8-16) agak berbeda dengan penjumlahan
pada (8-15). Ini tidak berpengaruh pada hasilnya, karena diasumsikan stasioner.
Selanjutnya sebagai contoh, nilai r1 untuk data di Tabel 8-1 akan dihitung dengan
menggunakan persamaan (8-16):
( 13−10 )( 8−10 ) + ( 8−10 ) ( 15−10 ) + ( 15−10 ) ( 4−10 ) +∙ ∙∙+ ( 14−10 ) ( 12−10 )
r 1=
(13−10 )2 + ( 8−10 )2+ ( 15−10 )2 + ( 4−10 )2+∙ ∙ ∙+ ( 14−10 )2+ (12−10 )2
−27
¿ =−0,188.
144
Persamaan (8-16) jelas merupakan cara menghitung autokorelasi yang lebih efisien dari
pada persamaan (8-14).
Dengan menggunakan persamaan (8-16), r2, r3 dan sebagainya dapat juga dihitung.
Sebagai contoh, nilai r2 adalah:
−29
¿ =−0,201.
144
8
Ad, beberapa catatan secara statistik untuk hal ini, dan lebih lanjut pembaca dapat melihat satu
daftar pustaka di akhir bab ini (yaitu Box dan Jenkins, 1976, hal. 32-33).
untuk kasus khusus dari himpunan data random yang stasioner,(lihat Bagian 8/2/1),
teori sampling rk sudah diketahui dan dapat digunakan secara praktik
Terdapat dua cara untuk mendekati masalah ini. Cara pertama adalah dengan
mempelajari nilai-nilai rk sekali setiap waktu dan mengembangkan rumus kesalahan
standar untuk memeriksa apakah rk tertentu secara nyata berbeda dari nol. Yang kedua
adalah mempertimbangkan seluruh nilai-nilai rk misalkan 15 nilai rk yang pertama (r1
sampai r15 ) pada suatu waktu. kemudian membuat suatu pengujian untuk melihat
apakah kelompok tersebut secara nyata berbeda dari nol. pada contoh yang pertama,
rumus sederhana yang biasa digunakan adalah :
ser =1/ √ n
k
(kesalahan standar dari rk)
sedangkan uji Box-Pierce Portmanteau untuk sekumpulan nilai-nilai rk didasarkan pada
nilai statistik Q:
m
Q=n ∑ r 2k (Statistik Q Box-Pierce),
k−1
kita mengasumsikan berlakunya model ARIMA (0,0,0), dan nilai Q dapat dihitung
sebagai berikut :
10
Q=36 ∑ r k =5,62
2
k=1
Ini dapat dianggap sebagai nilai chi-kuadrat dengan derajat-bebas (m - p – q). Karena p
= 0 dan q = 0, kita temukan nilai chi-kuadrat sebesar 5,62 pada Tabel E Lampiran I,
dengan df 10 dan dapat dlihat bahwa kumpulan nilai rk adalah tidak berada nyata (tidak
significant) dari nol.
Rincian statistik Q Box-pierce ini beserta uji chi-kuadrat terdapat di dalam Lampiran 8-
A, dan uji tersebut akan digunakan terutama di dalam kon teks pemodelan fungsi
transfer pada Bab 10.
Gambar 8-6 memperlihatkan (a) plot dari deret berkala asli, (b) kumpulan dari
amplitudo untuk seluruh frekuensi yang dicocokkan dari 1 sampai 17 dan (c) deret hasil
rekonstruksi yang diperoleh dengan menambahkan lima gelombang sinus pertama
secara bersama-sama.
Perhatikan bahwa, karena data di Tabel 8-2 adalah hasil dari suatu himpunan bilangan
random (berasal dari distribusi uniform) maka kita tidak mengharapkan adanya
gelombang sinus tertentu yang akan mendominasi sebenarnya, kumpulan amplitudo dari
gelombang dengan frekuensi 1, 2, 3, 4, …., dan seterusnya, haruslah Secara teoritis
memperlihatkan amplitudo yang sama untuk selumh frekuensi. Sampel data di Tabel 8-
2 tidak memperlihatkan amplitudo yang sama, walaupun demikian jelas, bahwa banyak
gelombang sinus telah memberikan kontribusi yang besar.
Gambar 8-6b disebut spectrum garis (line spectrum).
Pembahasan di atas didasarkan pada pencocokan kuadrat terkecil secara langsung dari
gelombang-gelombang sinus kepada suatu data deret berkala.
Gambar 8-5 TIGA ASPEK GELOMBANG SINUS : (a) PANJANG GELOMBANG,
(b) AMPLITUDO, (c) FASE.
pada awalnya cara ini dikenal sebagai analisis periodogram (Schuster, 1898) dan juga
dikenal sebagai analisis harmonik, analisis Fourier atau analisis spectral. Masing-
masing istilah lersebut mempunyai arti khusus, tetapi untuk tujuan kita di sini, nilai
pengujian kumpulan amplitudo dari berbagai gelombang mempunyai tiga arti:
1. membantu penetapan unsur random dalam deret data (atau deret residu)
2. membantu Penetapan unsur musiman dalam suatu deret berkala;
3. membantu penetapan autokorelasi positif atau negatif (untuk korelasi positif,
frekuensi amplitudo yang rendah akan mendominasi, dan untuk auto korelasi
negatif, frekuensi yang tinggi akan mendominasi).
Meskipun analisis spektral bukan merupakan titik pusat proses pemodelan ARlMA,
tetapi kita mengakui bahwa analisis ini merupakan alat yang berguna dalam
memecahkan tugas-tugas yang sulit untuk menetapkan model yang tepat bagi suatu
deret berkala tertentu.
γ 0 dan γ 1 adalah notasi untuk autokovarians populasi orde nol dan 1. γ 0 adalah varians deret
10
GAMBAR 8-9 ANALISIS DEBET BERKALA UNTUK NILAI SISA PADA STUDI
DI BANK
GAMBAR 6-10 KOEFISIEN AUTOKORELASI UNTUK SUATU DERET YANG
TIDAK STASIONER (NONSTATIONARY SERIES)
sama dengan autokorelasi pertamanya dan kesalahan standar autokorelasi parsiaal dapat
dihitung seperti pada autokorelasi.11
Pada Gambar 8-9 garis yang patah-patah pada diagram sebelah kanan menyatakan
tingkat kepercayaan 95 persen untuk autokorelasi dan parsialnya. Karena n = 53,
kesalahan standar dapat dihitung yaitu sebesar 1/ √ 53=0,1374 dan dikalikan dengan
1,96 (untuk tingkat kepercayaan 95 persen), garis yang patah-patah berada pada nilai ±
0,263. Terdapat beberapa autokorelasi yang berada di luar daerah tingkat kepercayaan
95 persen, dan pola dari nilai-nilai yang berurutan terlihat jelas. Di dalam kasus parsial,
yang pertama dan yang ketiga berada di luar daerah kepercayaan. Nilai sisa untuk data
bank adalah tidak random.
Qeuenouille (1949) memperlihatkan bahwa apabila model deret berkala adalah ARIMA (p,0,0)-yaitu,
11
secara kasarnya harus horisontal sepanjang sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di
sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada waktu dan varians dari fluktuasi tersebut
pada pokoknya tetap konstan setiap waktu.
GAMBAR 8-11 ANALISIS DERET BERKALA UNTUK HARGA SAHAM IBM
HARIAN DENGAN N = 369
}
''
X t =( X t− X t−1 )− ( X t −1−X t −2)
'' (8-27)
X t =X t −2 X t −X t −2
Proses pembedaan dapat diterapkan untuk data di Tabel 8-3 yang diketahui akan
melibatkan level (atau tingkat) kedua dari ketidakstasioneran. Sebagai bagian dari
latihan ini, akan diperlihatkan mekanisme pembedaan (differencing).
Kolom 3 Tabel 8-3 berisi pembedaan pertama, yang diperoleh dengan menggunakan
persamaan (8-25):
X 2 =X 2− X 1=5,30−2,44=2,86
X 3 =X 3− X 2=8,97−5,30=3,67
:
:
:
X 12= X 12 −X 11 =92,13−79,63=12,50
Tidak memungkinkan untuk menghitung X’1 ; oleh karena itu deret pembedaan-pertama
hanya mempunyai n – l nilai pengamatan.
Pembedaan kedua di Tabel 8-3 (kolom 4) diperoleh dengan menggunakan persamaan
(8-26):
X ' ' 3=X ' 3− X ' 2=3,67−2,86=0,81
'' ' '
X 4= X 4− X 3=4,91−3,67=1,24
.
.
.
'' ' '
X 12 =X 12−X 11=12,50−12,27=0,23
Sekali iagi, kita tidak mungkin menghitung X ' ' 1 atau X ' ' 2 karena adanya dua nilai yang
hilang pada deret pembedaan kedua.
Nilai dari pembedaan kedua dapat dicari dengan menggunakan persamaan (8-27):
''
X 3=X 3 −2 X 2+ X 1=8,97−2 ( 5,30 ) +2,44=0,81
''
X 4= X 4 −2 X 3 + X 2=13,88−2 ( 8,97 ) +5,30=1,24
.
.
.
''
X 12 =X 12−2 X 11+ X 10=92,13−2 ( 79,63 )+ 67,36=0,23
Apabila tidak ada yang diketahui lentang data deret berkala pada Tabel 8-3, maka
langkah pertama dalam menganalisis adalah menghitung autokorelasi untuk data deret
berkala asli di kolom 2. Autokorelasi ini terlihat pada Gambar 8-13. Jelas terlihat bahwa
data tersebut tidak stasioner karena adanya trend di dalam autokorelasi. Selanjutnya,
data yang telah dibedakan di kolom 3 dapat digunakan dan dihitung autokorelasinya.
Hasilnya terlihat pada Gambar 8-14. Autokorelasi ini tidak banyak berbeda dengan yang
terdapat pada Gambar 8-13. Yaitu nilai-nilai autokorelasi tidak turun mendekati nol
dengan cepat, untuk menunjukkan non-stasioneritas di dalam deret data pertama. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pembedaan lebih lanjut (pembedaan pertama terhadap data
hasil perbedaan pertama atau perbedaan kedua) dan mendapatkan autokorelasi dari data
pembedaan kedua yang terlihat di kolom 4 Tabel 8-3. Autokorelasi dari pembedaan
kedua diperlihatkan pada Gambar 8-15 dan ternyata memperlihatkan adanya
stasioneritas pada tingkat ini.
Di dalam contoh kasus harga jadi harian untuk saham IBM (lihat Gambar 8-9),
perhatikan pengaruh yang dramatis dari penetapan pembedaan-pertama dari deret
berkala tersebut seperti terlihat pada Gambar 8-16. Data pembedaan pertama sangat
mendekati stasioner (meskipun terdapat beberapa petunjuk tentang adanya
ketidakstasioneran di dalam varians), dan juga random, seperti yang diperlihatkan oleh
autokorelasi dan parsial. Juga perhatikan bahwa spektrum garis hampir mendekati
keadaan "white noise" (mempunyai amplitudo yang sama untuk semua frekuensi), yang
memperlihatkan bahwa perubahan di dalam harga persediaan harian pada pokoknya
bersifat random.
Pencapaian stasioneritas dapat diturunkan menjadi pekerjaan yang agak mekanis dengan
melakukan pembedaan berturut-turut sampai nilai autokorelasi mendekati nol di dalam
dua atau tiga time lag. Dalam prakteknya jarang dperlukan perbedaan sampai melebihi
perbedaan kedua, karena data asli pada umumnya tidak stasioner dengan hanya satu
atau dua tingkat.
Harus diingat, bahwa grafik autokorelasi sama sekali berbeda dari grafik data. Grafik
data merupakan alat bantu visual untuk membantu menetapkan perilaku pola data.
Autokorelasi dan spektrum garis adalah suatu rangkuman dari pola yang ada di dalam
data. Mereka dapat menyatakan banyak hal tentang data dan karakteristiknya. Dengan
semakin luasnya penggunaan komputer, maka penghitungan autokorelasi, parsial dan
spektrum garis bukan lagi merupakan pekerjaan yang sukar. Hal ini membuat pekerjaan
analisis deret berkala menjadi relatif mudah.
LAMPIRAN 8-A STATISTIK Q BOX-PIERCE
Box dan Pierce (1970) telah mengembangkan suatu uji yang mampu menetapkan
apakah sekumpulan autokorelasi secara keseluruhan menunjukkan perbedaan dari
himpunan kosong (null set). Untuk suatu deret berkala tertentu langkah yang diambil
pertama-tama adalah mencocokkan pada model ARIMA, misaa1nya ARIMA (p, d, q).
Kemudian untuk sekumpulan nilai sisa yang telah diperoleh, penting untuk diuji apakah
autokorelasi untuk nilai sisa tersebut berbeda, nyata dari nol. Apabila tidak ada model
yang cocok maka autokorelasi dapat dianggap berasal dari mode ARIMA (0,0,0).
Statistik Q dihitung sebagai berikut:
m
Q=n ∑ r 2k (8-28)
k−1
¿ 11 ( 0,98 )=10,78
Y t = A sin
[( )
ft
n ]
2 π +Φ . (8-29)
Untuk mencari arti dari persarnaan (8-29) perhatikanlah berapa kasus yang khusus
sebagai berikut.
Kasus 1 : A = 1, n = 64, f = 1, dan Φ = 0
Di sini amplitudo adalah 1, frekuensi 1 (berarti satu gelombang atau siklus yang lengkap
terjadi dalam n = 64 periode) dan perubahan fase adalah 0. Misalkan t mempunyai nilai
dari 0 sampai 64, sehingga nilai-nilai berikut dapat dihitung.
susunan yang lengkap dari nilai-nilai tersebut diplot pada Gambar 8-20. perhatikan
bahwa perkataan frekuensi 1 adalah sama dengan perkataan bahwa panjang gelombang
adalah 64 periode.
Kasus 2 : A = 2, n = 64, f = 2, dan Φ : 0
Di sini amplitudo dan frekuensi dikalikan dua. Misalkan nilai t berkisar dari 0 sampai
64, sehingga Yt dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
❑❑ =2 sin
[( ) ]
2t
64
2 π +0
dan diplot seperti yang terlihat pada Gambar 8-21. perhatikan bahwa nilai maksimum
dan minimum adalah + 2 dan - 2. Dan bahwa nilai Y1 memperlihatkan dua gelombang
yang lengkap di dalam 64 periode. Dengan kata lain panjang gelombang di dalam kasus
ini adaiah 32 periode.
Kasus 3 : A = 2, n = 64, f = 1, dan Φ = 45 derajat (atau π/4 radian)
untuk melihat pengaruh fase (perpindahan horisontal), kasus ini meliputi penghitungan
nilai Yt dengan menggunakan persamaan:
Y t =2 sin ([ 641t )2 π + π4 ]
Gambar 8-22 memperiihatkan bahwa satu siklus gelombang digeser secara horizontal
(ke kiri) sepanjang satu per delapan siklus.
Kesimpulan, apabila gelombang sinus digunakan bersama-sama dengan analisis deret
berkala, terdapat juga sifat dasar yang harus diperhatikan: (1) amplitudo (pentingnya
atau kuatnya gelombang, (2) frekuensi (atau kebalikannya yaitu panjang gelombang)
dan (3) fase [atau perpindahan (shift) gelombang untuk memungkinkan pencocokan
(fitting) yang lebih baik dari suatu gelombang untuk data yang diamati]. Di dalam
bagian beritutnya, kita akan memperhatikan cara mencocokkan suatu gelombang sinus
untuk data empiris.
[( ) ]
k
f it
Y t =∑ Ai sin 2 π +Φ i (8-30)
i−1 n
Adalah hal yang mudah untuk menghasilkan berbagai deret berkala semacam ini, tetapi
biasanya para peramal lebih tertarik dalam pencocokan gelombang sinus ke data, seperti
yang aikan dibhas di dalam dua bagian berikt.
di mana Yt adalah data penjualan dalam bentuk deviasi (selisih antara tiap
pengamatan dengan rata-rata-penj')
A adalah amplitudo yang tidah diketahui,
f adalah frekuensi yang diketahui (f = 12)
t berkisar dari 1 sampai 48
Φ adalah sudut fase yang tidak diketahui (dalam radian),
e1 adalah kesalahan Pencocokan.
seperti terlihat, persamaan (8-31) merupakan masalah regresi yang tidak linear dan tidak
mudah untuk dipecahkan secara langsung. Namun demikian, terdapat suatu teorema
sederhana di dalam trigonometri, sebagai berikut:
sin (U + V ) : (sin U)(cos V) + (cos U)(sin V),
dimana U dan V adalah dua sudut. Dengan menggunakan rumus ini, tugas memecahkan
persamaan (8-31) menjadi lebih mudah, yaitu sebagai berikut:
misalkan U = (ft/π)2π dan V = Φ
y t =A ¿ ,
dengan sedikit perubahan susunan dapat diperoleh:
y t =b1 sin
[( ) ]
ft
n
2 π +b 2 cos
n[( ) ]
ft
2 π et (8-32)
Dimana
b1 = A cos Φ
b2 = A sin Φ
Perhatikan bahwa persamaan (8-32) sekarang berada dalam bentuk persamaan regresi
biasa, yt = b1 X1 + b2 X2 + et, dan tidak terdapat suku konstan karena yt merupakan
selisih dari nilai rata-rata.
Sebagai contoh, data yang dibentuk untuk contoh ini adalah sebagai berikut:
Pemecahan masalah regresi linear sederhana ini dengan prosedur kuadrat terkecil (least
square) akan menghasilkan nilai b1 dan b2 . Bagaimana kita dapat menemukan
amplitudo yang tidak diketahui (A) dan fase yang tidak diketahui (Φ)?. Dengan
menggunakan persamaan ( 8-32 ), ppenyelesaiannya adalah sebagai berikut:
b 21+b 22=( A cos Φ )2+ ( A sin Φ )2
¿ A [ ( cos Φ ) + ( sin Φ ) ]
2 2 2
2
¿A
sehingga
Dari persamaan (8-33)-kita menetapkan amplitudo A dan dari persamaan (8-34) dan (8-
35) kita dapat mnetapkan sudut fase Φ . Sebagai contoh, andai kata nilai perkiraan b1
dan b2 berturut-turut adalah 1,6 dan + 3,1. Maka:
[ ( ) ( ) ]
k
f it f t
y t =∑ b 1i sin 2 π +b 2i cos i 2 π +e t (8-36)
i=1 n n
Dengan menggambarkan teknik regresi kuadrat terkecil (LS), kita dapat memecahkan
untuk k pasang koefisien.(b1i, b2i), t = 1, 2,….', k, dan kemudian dapat memecahkan
amplitudo Ai dan sudut fase Φi, kemudian menggunakan persamaan (8-33), (8-34) dan
(8-35);
[ [ ( ) ] [( ) ]]
k
1 ft ft
Y t = α 0+ ∑ α f cos 2 π + β f sin 2π (8-37)
2 f =1 N N
untuk t = 1, . . .,N, di mana k = (N - 1)/2. Prosedur pemecahan yang efisien diagram alir
komputer terdapat di Goertzel (1960) sedangkan Program BASIC yang sederhana
dilampirkan di bawah ini:
i. menetapkan koefisien Fourier α f {f = 0, 1, … , k) dan β f (f = 1, 2,...,k),
ii. konversi dari koefisien-koefisien ini menjadi amplitudo dan sudut fase untuk
setiap, k = (N - 1)/2 frekuensi.
Analisis Fourier ini (atau yang kita sebut analisis spektrum garis) menghasilkan
informasi yang bermanfaat, misalnya mengenai adanya periodisitas pada deret berkala.
Untuk memperlihatkan hal ini, perhatikan dua contoh sebagai berikut
Contoh 1
Di sini, satu kelompok N = 21 titik data dibangkitkan sesuai dengan persamaan:
Dan spektrum garis (atau analisis harmonik) yang diperlihatkan pada Gambar 8-23.
Perhatikan bahwa koefisien α 0 = 100 (nilai tengah dari keiompok data), bahwa
amplitudo untuk frekuensi 2 siklus sebesar 3, seperti yang diharapkan, dan sudut fase 90
derajat, seperti yang diharapkan pula.
GAMBAR 8.23 ANALISIS SPEKTRUM GARIS DARI DATA PADA TABEL 8-4
Contoh 2
Sebagai contoh simulasi yang kedua, perhatikan data sebanyak N = 21 titik dengan
menggunakan persamaan:
[( ) ]
3
f jt
Y t =100+ ∑ A j sin 2 π + P j +e t
j=1 21
dimana
f1 = 2, f2 = 4, f3 = 5,
A1 = 4, A2 = 3, A3 = 6,
P1 = 90 derajat, P2 = 0, P3 = 100 derajat dan
et adalah ND (0,6).
data semacam ini diperlihatkan di Tabel 8-5. Dengan menggunakan program Fourier,
diperoleh koefisien Fourier sebagai berikut:
GAMBAR 8.24 ANALISIS SPEKTRUM GARIS DARI DATA PADA TABEL 8.5
Amplitudo dan sudut fase yang dihitung dari data ini menghasilkan spectrum garis
seperti yang terlihat di Gambar 8-24. Di sini karena nilai kesalahan random et
ditambahkan kepada nilai periodik, maka hasilnya tidak secara tepat “murni.” Tiga
frekuensi utama yang terlihat adalah 2,4 dan 5, seperti yang terbentuk ke dalam data
simulasi, tetapi frekuensi lain juga diperlihatkan. Sama halnya dengan amplitudo untuk
f = 2, f = 4 dan f = 6 yang membentuk simulasi 4, 3, dan 6 berturut-turut menjadi 3,98,
3,75 dan 5,85, sebagai pemecahan. sudut fase awal 90 derajat, 0 dan 100 derajat di
dalam pemecahan empiris menjadi 114,25 derajat dan 108,67 derajat.
Metode analisis ini jelas bermanfaat di dalam penetapan adanya factor perioditas di
dalam suatu deret berkala.
perhatikan bahwa analisis tersebut secara tepat menetapkan dua frekuensi (2 dan 3),dua
sudut fase (50 dan 76 derajat) dan frekuensi maksimum yang dapat di pelajari apabila n
= 10 yaitu :
f maks=(10/2)−1=4
GAMBAR 8-25 DATA SIMULASI (SUATU DERET BERKALA BERISI PERIODE
SATU DAN DUA SIKLUS) DAN ANALISIS SPEKTRUM GARIS
Sebagai kesimpulan, analisis Fourier untuk suatu deret berkala memungkinkan orang
yang melakukan peramalan untuk menetapkan “periodicties” (apabila ada) di dalam
data. Sesudah menetapkan seluruh spektrum garis, peneliti mungkin menginginkan
kecocokan regresi dari frekuensi tertentu-dan frekuensi tertentu ini tidak perlu harus
bilangan bulat.
Inilah listing dari subroutine sederhana yang dapat melaksanakan analisis Fourier dan
menghitung spektrum garis untuk suatu kumpulan data.
REFERENSI DAN PUSTAKA TERPILIH
Anderson, R. L., 1942. "Distribution of the Serial Corelation Coefficient," Annals of
Mathematical Statistics, 13, hal 1-13.
Bartlett, M. S. 1946. "On the Theoretical specification of sampling Properties of
Autocorrelated Time Series," Journal of the Royal Statistical Society, Series B. 8, hal.
27.
Bloomfield, Peter. 1976. Fourier Analysis of Time Series: An Introduction, NewYork:
John WileY & Sons, Inc.
Box G. E. P. dan G. M. Jenkines. 1976. Time Series Analysis: Forecasting and Control,
Revised Edition. San Francisco: Holden-Day.
Box G. E. P. Dan D. A. Pierce 1970. “Distribution of the Residual Autocorrelations in
Autoregressive-Integrated Moving-Average Time Series Models” Journal of tbe
American Statistical Association, 65, hal. 1509-26.
Goertzel, G. 1960. "Fourier Analysis," In Mathematical Methods for Digital computers,
di edit oleh A. Ralston aan H. S. wilf. New York: John Wiley & Sons. Inc., hal. 258-
262.
Granger, C. P. J. 1980. Forecasting in Business and Economics. New York: Academic
Press.
Makridakis, S., dan S. Wheelwright. 1978. Interactive Forecasting, edisi kedua- San
Francisco: Holden-Day.
McLeod, A. I. "On the Distribution of Residual Autocorrelations in Box-Jenkins
Models," Journal of the Royal Statistical Society, Series B, 1978, 40, No. 3, hal. 296-
302.
Montgomery, D. C., dan L. A. Johnson. 1976. Forecasting and Time series Analysis.
New York: McGraw-Hill.
Nelson, C. R. 1973. Applied Time Series Analysis. San Francisco: Holden-Day.
Quenouille, M. H. 1949. "The Joint Distribution of serial correlation coefficients,"
Annals os Mathematical Statistics, 20, hal. 561-71.
Wold, H. 1954. A Study in the Analysis of Stationary Time Series. Stockholm:
Almquist & Wiksell (edisi Pertama, 1938).
LATIH AN
1. Gunakanlah data pada Tabel 8-1, kolom 2, untuk memeriksa bahwa koefisien
autokorelasi unbuk time-lag 3 dan 4 periode adalah sebesar 0,181 dan - 0,132,
berturut'-turut. Apakah artinya r3 = 0,181 dan r4 = 0,132?
2. Menggunakan rangkaian sederhana 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, l0, hitunglah koefisien
autokorelasi untuk time-lag 1, 2, 3, 4 dan 5 periode. Plot autokorelasi ini dan
terangkan mengapa terletak pada garis diagonal dari mulai nilai yang besar ke
nilai yang lebih kecil bersama dengan meningkatnya time-lag.
3. Gambar 8-4memperlihatkan autokorelasi untuk 36 bilangan, di Tabel 8-2.
a. Hitung garis selang kepercayaan 95 persen untuk Gambar 8-4.
b. Gambar 8-26 memperlihatkan autokoralasi untuk 360 bilangan random dan
Gambar 8-27 memperlihatkan autokorelasi untuk 1000 bilangan random.
Terangkan perbedaan antara gambar-gambar tersebut dengan Gambar 8-4.
Apakah seluruhnya menyatakan kerandoman dari data?
c. Mengapa garis batas confidence jaraknya berbeda-beda dari nilai tengah titik
nol? Mengapa autokorelasi berbeda-beda pada masing-masing gambar apabila
berhubungan dengan bilangan random.
4. Tabel 8-6 memperlihatkan deret berkala yang terdiri dad 60 nilai. Plotkan
rangkaian ini untuk menetapkan trend-nya. Hitung perbedaan pertama dan plotkan
deret yang dihasilkannya. Terangkan mengapa deret data yang dibedakan
(differenced series) tidak mempunyai trend. dengan komputer, temukan
autokorelasi untuk time-lag 1, 2, 3, dan 4 periode untuk deret data asli dan yang
telah dibedakan.
5. Tabel 8-7 memperlihatkan data untuk persediaan barang dagangan susu kental
manis (Evaporated and Sweetened Condensed Milk) untuk periode Januari 1971
sampai Desember 1980. Gambar 8-28 memperlihatkan analisis deret berkala ini,
yang memperlihatkan plot data spektrum garis, autokorelasi dan autokorelasi
parsial.
a. Keterangan apa yang dapat Anda berikan dari plot data tenebut?
b. Bagaimana Anda menarik arti dari spektrum garis?
c. api yang dapat Anda pelajari dari grafik autokorelas?
d. Apa kesimpulan yang dapat Anda tarik dari grafik parsial?
GAMBAR 8-26 KOEFISIEN AUTOKORELASI DARI 360 BILANGAN RANDOM
GAMBAR 8-29
PEHSEDIAAN “EVAPORATED AND SWEETENED CONDENSED MILK”
ANALISIS DARI DATA TIDAK MUSIMAN DAN MUSIMAN YANG
DIBEDAKAN YANG MEMPERLIHATKAN PLOT PEMBEDAAN-PEMBEDAAN,
SPEKTRUM GARIS, AUTOKORE LASI DAN PARSIAL