Anda di halaman 1dari 10

NILAI ANKLE BRACHIAL INDEX (ABI) PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

Komang Agus Jerry Widyanata1*


jerrywidyanata@gmail.com

Abstrak

Pendahuluan: Kadar glukosa dalam darah yang tidak stabil pada penderita
Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 dapat menimbulkan berbagai komplikasi salah
satunya adalah neuropati perifer. Penilaian Ankle Brachial Index (ABI) terhadap
Pasien DM tipe 2 perlu dilakukan untuk mengetahui secara dini terjadinya
komplikasi DM salah satunya neuropati perifer terutama pada telapak kaki.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran nilai ABI pada Pasien DM
tipe 2.
Metode: Penelitian ini bejenis observasional deskriptif yang dilaksanakan di RS
TNI AD Wirasatya Singaraja pada bulan April 2022. Subjek penelitian ini
berjumlah 81 orang dengan tehnik sampling purposive sampling. Pengukuran
nilai ABI dilakukan menggunakan tensimeter osilometrik. Data dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dengan distribusi frekuensi.
Hasil: Penelitian ini menemukan hasil sebesar 33,3% subjek berumur 44-55
tahun, 63,0% subjek berjenis kelamin laki-laki, 77,8% subjek menderita DM tipe
2 antara 1 hingga 5 tahun, 32,1% bekerja sebagai wiraswasta, dan 78,2%
memiliki nilai ABI antara 1,0-1,4 sehingga termasuk kedalam kategori normal
Simpulan: Pasien dengan DM tipe 2 pada kelompok umur 44-55 tahun, berjenis
kelamin laki-laki, menderita DM tipe 2 antara 1 hingga 5 tahun, bekerja sebagai
wiraswasta dan lebih banyak memiliki nilai ABI yang normal.

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit kronis karena tubuh tidak

mampu menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif [1]. Kadar glukosa

dalam darah yang tidak stabil pada penderita DM tipe 2 dapat menimbulkan

berbagai komplikasi salah satunya adalah neuropati perifer [2]. Penilaian ABI

Babali Nursing Research


terhadap Pasien DM tipe 2 perlu dilakukan untuk mengetahui secara dini

terjadinya neuropati perifer terutama pada telapak kaki [3].

Kejadian DM secara global meningkat setiap tahun. Kasus DM pada tahun 2021

dilaporkan mencapai 537 juta jiwa pada populasi usia 20-79 tahun. Jumlah kasus

tersebut diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2030 hingga mencapai 643

juta jiwa dan akan semakin meningkat tajam pada tahun 2045 hingga mencapai

784 juta jiwa. Kondisi tersebut dipicu oleh peningkatan arus urbanisasi yang

massif pada tahun 2045 [4].

Indonesia menempati posisi ke tujuh jumlah kasus DM tertinggi di dunia tahun

2020. Prevalensi Pasien DM di Indonesia dilaporkan sebesar 6,2% atau 10,8 juta

jiwa dari total populasi penduduk usia 20-79 tahun. Data ini menunjukkan 1 dari

25 penduduk Indonesia mengalami DM. Kejadian DM di Indonesia diproyeksikan

akan meningkat pada tahun 2045 hingga mencapai 16,7 juta jiwa [5]. Proyeksi

kejadian DM di Bali dari hasil diagnosis tenaga medis ditemukan sebesar 1,7 %

(dari seluruh populasi berusia 15 tahun keatas)[6].

Rumah Sakit TNI AD Wirasatya Singaraja melaporkan Pasien DM yang melakukan

kunjungan rawat inap dan rawat jalan tahun 2021 sebanyak 520 jiwa. DM

menempati urutan pertama penyakit tertinggi yang dilaporkan di Rumah Sakit TNI

AD Wirasatya Singaraja. Kejadian DM diestimasikan semakin meningkat bila

pengelolaannya tidak optimal.

Pencapaian target kendali glikemik hingga saat ini belum mencapai target yang

ditetapkan. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa sebesar 8,5% penduduk

mengalami peningkatan kadar glukosa darah yang sangat tinggi dari total

penduduk yang berusia 15 tahun keatas [6].

Babali Nursing Research


Kasus neuropati perifer diabetik lebih dari 50 % muncul tanpa menunjukkan

gejala awal [7]. Prevalensi neuropati perifer diabetik di dunia mencapai 66 % [8].

Prevalensi neuropati perifer diabetik DM tipe 2 sebesar 50,8 % dan DM tipe 1

sebesar 25, 6 % [9]. Prevalensi neuropati perifer diabetik pada perempuan sebesar

26,4 % dan laki-laki sebesar 20,0 %. Prevalensi neuropati perifer diabetik lebih

tinggi di daerah kota sebesar 75,3 % [10]. Prevalensi kejadian nyeri neuropati

penderita DM tipe 2 sebesar 26,4% [11]. Data ini menunjukkan komplikasi

neuropati perifer diabetik tinggi. Komplikasi ini diakibatkan oleh aterosklerosis

[12].

Kejadian aterosklerosis berhubungan dengan Nilai ABI yang rendah [13].

Rendahnya nilai ABI yang menimbulkan gangguan vaskular yang dipengaruhi oleh

multi faktor seperti usia yang semakin bertambah, lamanya menderita DM, kontrol

glikemik buruk, obesitas, menkonsumsi obat anti hiperglikemik yang belum tepat,

tingkat aktivitas fisik yang rendah, perawatan kaki yang belum optimal dan diet

DM yang belum dilakukan secara taat [14]; (Fata, 20 17).

Penelitian yang dilakukan Santosa dan Listino tahun 2017 [16] menemukan

hubungan gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) dengan nilai ABI yang

rendah pada Pasien DM tipe 2 dengan nilai r – 0,952, sehingga disimpulkan bahwa

semakin berat gejala PAD yang dikeluhkan maka nilai ABI akan semakin rendah.

Penelitian Rahmaningsih (2016) [17] menemukan hubungan antara nilai ABI

dengan kejadian ulkus kaki diabetic dengan nilai p yang diperoleh sebesar 0,003.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran nilai ABI pada

Pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit TNI AD Wirasatya Singaraja.

METODE

Babali Nursing Research


Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif. Penelitian

dilaksanakan di RS TNI AD Wirasatya Singaraja, Bali pada pada bulan April 2022.

Sampel penelitian ini sebanyak 81 orang yang merupakan penderita DM tipe 2.

Tehnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria

subjek; menderita DM minimal berlangsung selama satu tahun, melakukan diet DM

sesuai instruksi dan mengkonsumsi obat anti hiperglikemik secara teratur.

Pengukuran nilai ABI dilakukan menggunakan tensimeter digital. Analisis data

dilakukan secara deskriptif dan disajikan menggunakan distribusi frekuensi.

Ethical Considerations

Penelitian ini telah mendapatkan ijin etik dari Komite Etik penelitian kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia dengan

nomor 333/UN14.2.2.VII.14/LT/2022 tertanggal 23 Februari 2022.

HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik Pasien DM Tipe 2
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia
36-45 tahun 24 29,6
46-55 tahun 27 33,3
56-65 tahun 18 22,2

¿65 tahun 12 14,8

Jenis kelamin
Laki-laki 51 63,0
Perempuan 30 37,0
Lama waktu menderita DM
1-5 tahun 63 77,8
6-10 tahun 16 19,8

¿10 tahun 2 2,5

Babali Nursing Research


Pekerjaan
Wiraswasta 25 30,9
PNS 18 22,2
Buruh 18 22,2
Petani 9 11,1
Tidak bekerja/IRT 11 13,6

Total 81 100,0

Berdasarkan table 1 data karakteristik subjek yang diperoleh adalah: usia subjek

berada pada umur antara 46 sampai 55 tahun (33,3%), berjenis kelamin laki-laki

sebanyak 51 orang (63,0%), lama waktu menderita DM tipe 2 antara rentang 1

sampai dengan 5 tahun sebanyak 63 orang (77,8%), pekerjaan didapatkan bahwa

hampir sebagian besar subjek bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 25 orang dari

(30,9%).

Gambaran Nilai ABI Pada Pasien DM Tipe 2


Tabel 2. Gambaran Nilai ABI Pada Pasien DM Tipe 2
Nilai ABI Frekuensi (n) Persentase (%)

¿1,4 9 11,1

1,0-1,4 59 78,2
0,9-1,0 9 11,1
0,8-0,9 1 1,2
0,5-0,8 2 2,5

¿0,5 1 1,2

Total 81 100,0

Keterangan:
>1,4 : Pengerasan pembuluh
darah
1,0-1,4 : Normal
0,9-1,0 : Ditoleransi
0,8-0,9 : PAD Ringan
0,5-0,8 : PAD Sedang
<0,5 : PAD Berat
Berdasarkan table 2 didapatkan bahwa 59 (38,2%) subjek memiliki nilai ABI

antara 1,0-1,4 sehingga termasuk kedalam kategori normal.

Babali Nursing Research


DISKUSI

Penelitian ini menemukan hasil bahwa seseorang yang berumur 44-55 tahun lebih

banyak ditemukan mengalami DM tipe 2. Hasil penelitian ini sesuai dengan ADA

(2019) ADA (2019) yang menjelaskan bahwa individu yang paling banyak

menderita DM berada pada rentang umur 40-75 tahun. Ketika saat umur tersebut

sesorang akan mengalami penurunan daya kerja organ tubuh sehingga berisiko

menimbulkan berbagai macam penyakit degeneratif yang diantaranya adalah DM

tipe 2. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan konsensus PB Perkeni juga

melaporkan bahwa seseorang yang berumur ≥45 tahun mempunyai risiko DM

yang tinggi dan komplikasi DM yang berat [18].

Penelitian juga sesuai dengan salah satu penelitian dalam negeri yang ditemukan.

Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Arista (2019) [19] di Klungkung Bali

juga menemukan hasil bahwa umur penderita DM tipe 2 mayoritas berumur

antara 62-76 tahun. Berdasarkan temuan tersebut maka perlu dilakukan

pencegahan dan pengendalian DM secara dini pada populasi dewasa. Saat ini

populasi dewasa merupakan populasi terbanyak terutama di Indonesia. Hal

tersebut merupakan bonus demografi yang di dapatkan oleh Indonesia sebagai

salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Perlu perhatian

khusus terhadap populasi dewasa terutama melalui berbagai edukasi dan

pemberdayaan sehingga kejadian DM pada umur 44-55 tahun dapat dicegah

ataupun dikendalikan.

Penelitian ini menemukan hasil bahwa subjek laki-laki lebih banyak ditemukan

mengalami DM. Temuan ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa populasi

laki-laki lebih banyak mengalami DM karena dikaitkan dengan kondisi biologis

Babali Nursing Research


tubuh. Secara umum populasi laki-laki lebih resisten terhadap insulin serta

sebaran lemak yang berada dalam tubuh cenderung banyak tersimpan di jaringan

[20]. Berdasarkan temuan tersebut diperlukan upaya prevenif dan deteksi dini

yang tepat terhadap populasi laki-laki bila ditemukan tanda awal terjadinya DM

melalui trias DM. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan

kejadian DM pada populasi laki-laki. Bila ditemukan individu yang mengalami

gejala DM terutama laki-laki maka diharapkan dilakukan pemeriksaan secara

komprehensif dan bila terdiagnosis DM maka harus diberikan penatalaksanaan

secara tepat dan optimal, hal tersebut bertujuan untuk mengendalikan DM secara

tepat sehingga mampu mencegah terjadinya komplikasi DM yang berat yang dapat

mempengaruhi nilai ABI [18].

Menderita DM tipe 2 diatas 5 tahun lebih berisiko mengalami penurunan nilai ABI

dan juga berpotensi meningkatakan kejadian ulkus diabetikum pada kaki [21].

Hasil penelitian Chevtchouk (2017) Chevtchouk, Silva and Nascimento (2017)

dengan subjek 150 orang dengan DM tipe 2, ditemukan sebanyak 86 orang

responden berusia diatas 60 tahun dan 69 orang responden diantaranya

menderita DM tipe 2 diatas 10 tahun. Penelitian yang dilakukan Atista (2019) [19]

juga menemukan bahwa durasi rata-rata penderita DM di Kabupaten Klungkung,

Bali adalah 7, 26 tahun.

Berdasarkan validasi dengan temuan penelitian sebelumnya semakin lama waktu

menderita DM maka risiko atau potensi terjadinya komplikasi penyakit dan

kerusakan organ tubuh menjadi lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan resistensi

insulin yang berkepanjangan dan akan merusak serta mempengaruhi organ tubuh

sehingga dapat memunculkan penyakit lain dalam tubuh yang saling berkaitan

dengan DM [22]. Berdasarkan hasil temuan tersebut perlu diberikan perhatian

Babali Nursing Research


khusus terhadap individu yang mengalami DM. Edukasi terkait pengelolaan dan

manajemen DM perlu diintensifkan sehingga penderita dapat melakukan

pengelolaan sakit yang dideritanya secara mandiri [23]. Selain Pendidikan,

pekerjaan juga berpengaruh pada aktivitas seseorang sehingga mempengaruhi

Kesehatan.

Pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko suatu penyaki yang berkaitan erat

dengan tingkat pendidikan. Orang yang tingkat pendidikanya tinggi biasanya lebih

banyak bekerja dikantoran dengan aktifitas fisik terbatas. Sementara itu, orang

yang tingkat pendidikanya rendah lebih banyak menjadi buruh maupun petani

dengan aktifitas fisik yang berat [24]. Individu yang masih aktif bekerja juga

cenderung masih memiliki kondisi tubuh optimal sehingga fungsi organ yang ada

di dalam tubuh masih aktif bekerja melakukan tugas dan fungsinya secara optimal.

DM merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh aktivitas. Individu yang malas

melakukan aktivitas fisik berisiko lebih tinggi mengalami DM. Hal tersebut

menyebabkan pankreas mengalami perlambatan melakukan penyerapan glukosa

untuk diedarkan keseluruh sel tubuh ADA (2019).

Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebagaian besar responden bekerja sebagai

wiraswasta. Seorang wiraswasta biasanya lebih banyak bekerja dikantoran

dengan aktifitas fisik terbatas. Hal tersebut akan mempengaruhi kondisi fisik

karena individu yang malas melakukan aktivitas fisik dapat menimbulkan kelainan

organ tubuh salah satunya penurunan kinerja pankreas [24]. Berdasarkan hasil

temuan ini diperlukan suatu upaya pencegahan dan pengendalian DM melalui

pendekatan multidisiplin. Diperlukan kolaborasi dan kerjasama antara pihak

terkait dalam pemberian edukasi oleh petugas kesehatan baik formal maupun non

formal guna mendukung penatalaksanaan pencegahan DM di masyarakat [25].

Babali Nursing Research


Penelitian ini menemukan bahwa sebesar 78,2% responden memiliki nilai ABI

antara 1,0-1,4 sehingga termasuk kedalam kategori normal. Peneliti berasumsi

bahwa temuan nilai ABI normal pada pasien DM tipe 2 ini disebabkan oleh

beberapa faktor meliputi usia responden rata-rata masih produktif (46-55 tahun).

Usia adalah faktor risiko dari nilai ABI tersebut. Disamping itu responden yang

diteliti rata-rata menderita DM tipe 2 dalam rentang 1-5 tahun. Nilai ABI yang

rendah biasanya ditemukan setelah 5 sampai 10 tahun menderita DM. Pasien yang

memiliki nilai ABI rendah akan mengeluh nyeri intermitten yang merupakan tanda

dari adanya PAD (Laurel, 2005).

Penelitian ini menemukan bahwa responden yang nilai ABI rendah cukup sedikit.

Sebesar 1,2% responden memiliki nilai ABI antara 0,8-0,9 (PAD ringan), 2,5%

responden memiliki nilai ABI antara 0,5-0,8 (PAD sedang) dan 1,2% responden

memiliki nilai ABI <0,5 (PAD berat). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

oleh Chandrashekar and Kalaivani (2018) yang menemukan hanya sebesar 29,3%

responden memiliki nilai ABI rendah (<0,9), dari responden yang memiliki nilai

ABI rendah sebesar 22% responden mengalami PAD ringan, 6,1% mengalami PAD

sedang dan sebesar 1,2% responden mengalami PAD berat. penelitian ini juga

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arista (2019) [19] yang

menemukan bahwa hanya sebesar 32,9% penderita DM tipe 12 di Kabupaten

Klungkung, Bali memiliki nilai ABI rendah sehingga mengalami gangguan vaskular.

Nilai ABI rendah pada penderita DM tipe 2 dikaitkan dengan aterosklerosis

sehingga mempengaruhi sirkulasi perfusi arterial menuju ekstremitas distal [13].

Penurunan perfusi ini biasanya ditandai dengan hilangnya pulsasi perifer,

klaudikasio intermitten (nyeri waktu berjalan, dan membaik saat istirahat) serta

Babali Nursing Research


mudah terjadinya infeksi dan ulserasi [27]. Kumar (2018) Kumar et al. (2018)

mengemukakan bahwa nilai ABI yang rendah akan menimbulkan gangguan

vaskular. Nilai ABI rendah dipengaruhi oleh ketidakteraturan menkonsumsi obat

anti hiperglikemik, ketidakteraturan melakukan aktivitas fisik, ketidakteraturan

melakukan perawatan kaki dan ketidakteraturan melaksanakan diet DM [15].

SIMPULAN

Sebagian besar subjek berada pada kelompok umur 44-55 tahun yaitu sebanyak

27 orang (33,3%), berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 51 orang (63,0%),

menderita DM tipe 2 antara 1 hingga 5 tahun yaitu sebanyak 63 orang (77,8%) dan

bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 25 orang (30,9%). Sebagian besar

responden (78,2%) memiliki nilai ABI antara 1,0-1,4 sehingga termasuk kedalam

kategori normal.

DAFTAR RUJUKAN
[1] WHO, “Global Report on Diabetes,” Geneva Switzerland, 2016. doi:

10.1128/AAC.03728-14.

[2] L. Chevtchouk, M. H. S. da Silva, and O. J. M. do Nascimento, “Ankle-brachial

index and diabetic neuropathy : study of 225 patients,” Arq Neuropsiquiatr, vol. 75,

no. 8, pp. 533–538, 2017, doi: https://doi.org/10.1590/0004-282X20170084.

[3] M. M. Mcdermott and M. H. Criqui, “Ankle-Brachial Index Screening and

Improving Peripheral Artery Disease Detection and Outcomes,” J. Am. Med. Assoc.,

vol. 10, no. July, pp. 143–145, 2018, doi: 10.1161/01.STR.

Babali Nursing Research

Anda mungkin juga menyukai