Anda di halaman 1dari 31

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD
1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara
Republik Indonesia saat ini.[1]

UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan
sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekret Presiden 5 Juli 1959
kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada
tanggal 22 Juli 1959.

Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen),
yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Naskah Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab,
37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat
berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat
Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.

Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, sebagai Naskah Perbantuan
dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

Amandemen Pertama UUD 1945 disahkan 21 Oktober 1999


Perubahan atas UUD 1945 ini meliputi:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan
(3), Pasal 20 dan Pasal 21.
Perubahan pada Pasal 7 ini membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
sehingga maksimal 2 periode. Selain itu beberapa kewenangan Presiden RI pun harus
berkoordinasi dengan DPR berdasarkan perubahan ini.

Amandemen kedua UUD 1945 disahkan 18 Agustus 2000


Ada pun pasal yang diamandemen yakni:
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal
22B, Bab IXA, pasal 25E, Bab X, pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA,
pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, pasal 28H,
Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
Pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi lebih banyak dan detail. Selain itu juga
diatur mengenai otonomi daerah.

Amandemen ketiga UUD 1945 disahkan 9 November 2001


Pasal-pasal yang diubah di amandemen ketiga ini adalah:
Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1) , (3), dan (4); Pasal 6 Ayat (1), dan (2); Pasal
6A Ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7);
Pasal 7C; Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab VIIA,
Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIb, Pasal
22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab
VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat (1)
dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B Ayat
(1), (2), (3), dan (4); serta Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).

Amandemen Keempat (terakhir) UUD 1945 disahkan 10 Agustus 2002


Jika amandemen sebelumnya lebih kepada sistem pemerintahan hingga HAM, pada
amandemen keempat ini juga menyinggung soal perekonomian negara. Ada penambahan
ayat di Pasal 33. Amandemen keempat UUD 1945 juga menghapus Dewan Pertimbangan
Agung (DPA).
Adapun pasal yang diamandemen adalah:
Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B;
Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II. Amandemen ini
ditetapkan pada 10 Agustus 2002 melalui Sidang Tahunan MPR.

Sejarah

Sejarah Awal

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang
pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila.

Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri
dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD
1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD
1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).

Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun
pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama
Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di
Sumatra ada BPUPKI untuk Sumatra. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal
18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.

Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)

Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat
Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan
legislatif diserahkan kepada KNIP, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14
November 1945, dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama,
sehingga peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia
terhadap UUD 1945.

Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)

Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan
bentuk negaranya federasi yaitu negara yang di dalamnya terdiri dari negara-negara bagian
yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan
dalam negerinya. Ini merupakan perubahan dari UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa
Indonesia adalah Negara Kesatuan.

Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)

Pada periode UUDS 1950 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering
disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya
pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan
partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi
Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar
bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai
dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Beberapa aturan pokok itu mengatur bentuk negara,
bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan sistem pemerintahan Indonesia

Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)

Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 di mana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli
1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekret Presiden yang salah satu isinya
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:

 Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua
DPA menjadi Menteri Negara
 MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup

Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara
melalui sejumlah peraturan:

 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan


untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan
terhadapnya
 Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain
menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu
harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan
pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983.

Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999

Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh
B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.

Periode Perubahan UUD 1945

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde
Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes"
(sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan
bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

 Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD
1945

TAP MPR

1. Tap MPR No.IV/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004;


2. Tap MPR No.IV/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah;
3. Tap MPR No.VIII/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada
Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000;
4. Tap MPR No.III/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri
sebagai Presiden RI;
5. Tap MPR No.IV/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden RI;
6. Tap MPR No.X/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga
Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001;
7. Tap MPR No.II/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan
Ekonomi Nasional; dan
8. Tap MPR No.VI/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI
oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2002.

Adapun 11 (sebelas) tap yang dimasukkan dalam Pasal 4 atau dinyatakan tetap berlaku
sampai terbentuknya undang-undang adalah:

1. Tap MPRS No.XXIX/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera tetap berlaku


dengan menghargai Pahlawan Ampera yang telah ditetapkan dan sampai terbentuknya
undang-undang tentang pemberian gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan;
2. Tap MPR No.XI/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian,
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan RI sampai dengan terbentuknya UU
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dimanatkan oleh Pasal 18.18A dan 18B UUD
45.
3. Tap MPR No.XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN
sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam tap tersebut;
4. Tap MPR No.III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan;
5. Tap MPR No.V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
6. Tap MPR No.VI/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara RI sampai terbentuknya UU yang terkait;
7. Tap MPR No.VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara RI sampai terbentuknya UU yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 (4) dan
Pasal 10 (2) dari Tap tersebut yang disesuaikan UUD 1945;
8. Tap MPR No.VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
9. Tap MPR No.VI/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan;
10. Tap MPR No.VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut;
11. Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam tap tersebut.

Adapun lima ketetapan yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya
Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR RI hasil pemilu 2004 adalah:

1. Tap MPRS No.II/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI;


2. Tap MPR No.I/2000 tentang Perubahan Pertama Atas Ketetapan MPR No. II/1999
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI;
3. Tap MPR No.II/2000 tentang Perubahan Kedua atas Ketetapan MPR RI Nomor II/1999
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI;
4. Tap MPR No.V/2001 tentang Perubahan Ketiga atas Ketetapan MPR RI No. II/1999
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI;
5. Tap MPR No.V/2002 tentang Perubahan Keempat atas Ketetapan MPR RI No. II/1999
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) adalah cikal bakal Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tertinggi negara Republik Indonesia. MPRS
dibentuk berdasarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden RI
Soekarno.
Periode 1960 - 1965
Susunan MPRS diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, sebagai berikut:

1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan.
2. Jumlah Anggota MPRS ditetapkan oleh Presiden.
3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra
Tingkat I dan Golongan Karya.
4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut
agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh
Presiden.

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199
Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan
Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.

Susunan pimpinan

 Ketua: Chaerul Saleh


 Wakil Ketua: Mr. Ali Sastroamidjojo
 Wakil Ketua: K.H. Idham Chalid
 Wakil Ketua: D.N. Aidit
 Sekretaris: Harvian
 Wakil Ketua: Kol. Wilujo Puspojudo

Sidang Umum I MPRS (1960)

Sidang Umum Pertama MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 10 November - 7


Desember 1960. Sidang Umum Pertama MPRS ini menghasilkan dua ketetapan (Tap MPRS),
yaitu:

1. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia


sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara;
2. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan
Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Sidang Umum II MPRS (1963)

Sidang Umum Kedua MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 15 Mei - 22 Mei 1963.
Sidang Umum Kedua ini menghasilkan dua ketetapan, yaitu:

1. Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar


Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup;
2. Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan
Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Sidang Umum III MPRS (1965)

Sidang Umum Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April 1965.
Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:

1. Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin


Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang
lebih dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam
Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan
Rakyat Indonesia;
2. Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas
Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
3. Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun Vivere
Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The Era of Confrontation"
sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
4. Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk
Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan.

Periode 1966 - 1972

Periode 1959-1965 adalah periode yang penuh pertentangan ideologi dalam sejarah
kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tanggal 30 September
1965 yang ditandai dengan peristiwa G-30-S.

Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S, mutlak diperlukan adanya koreksi
total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan.
Lembaga MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan
selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi
pemberontakan G-30-S, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS
dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan
Umum terbentuk.
Sidang Umum IV MPRS (1966)

Sidang umum Keempat MPRS berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21 Juni
sampai dengan 5 Juli 1966. Pada Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24
ketetapan, yaitu:

1. Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima


Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi
/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
2. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-
lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur
dalam Undang-undang Dasar 1945;
3. Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
4. Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia;
5. Ketetapan MPR Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;
6. Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad
Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara,
Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-lembaga Negara
menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak
Asasi Manusia;
7. Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil
Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
8. Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
9. Ketetapan MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
10. Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan
MPRS Nomor III/MPRS/1963
11. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-
produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945;
12. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan
Republik Indonesia;
13. Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-
luasnya Kepala Daerah;
14. Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan
Kekaryaan.
15. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan
Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
16. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijakan dalam Bidang
Pertahanan Keamanan;
17. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme
Leninisme;
18. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti
Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
19. ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan
Kebudayaan;
20. Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat;
21. Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan
Ampera;
22. Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang "Maha
Putera" Kelas III dari D.N. Aidit;
23. Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan "Paduka
Yang Mulia" (P.Y.M) dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari";
24. Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.

Sidang Istimewa MPRS (1967)

Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban


di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati
oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban
Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta
kemunduran ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno
yang diberi judul "Nawaksara" ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat.
Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang
meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya


tertangal 10 Januari 1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", tetapi ternyata tidak
juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS
berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban
Konstitusional.

Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967
dalam menilai "Nawaksara" beserta pelengkapnya berpendapat bahwa "Kepemimpinan
Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan
bangsa, negara, dan Pancasila".

Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk
memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan
memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai
Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman
yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara
hukum.

Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di


Istora Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.

Pada Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:

1. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan


Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
2. Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan
MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
Garis-garis Besar Haluan Negara;
3. Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS
Nomor XVII/1966;
4. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS
Nomor XXVI/MPRS/1966.

SEJARAH PERJUANGAN BANGSA


Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Masa Bangsa Portugis

Sebelum negara ini merdeka, Indonesia harus mencicipi kejamnya penjajahan oleh beberapa
negara asing. Diawali dari Portugis yang pertama kali datang ke Malaka pada 1509. dipimpin
oleh Alfonso de Albuquerque Portugis dapat menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511.
Setelah mendapatkan Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate.

Sejatinya Bangsa Indonesia meluncurkan berbagai perlawanan kepada Portugis. Salah satu
perlawan yang terkenal ialah perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa
(Jakarta). kala itu Fatahillah dapat menyapu bangsa Portugis dan merebut kembali Sunda
Kelapa. Kemudian oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta.

Masa Bangsa Spanyol

Keberhasilan Portugis mendorong bangsa Eropa yang lain untuk ikut mencari untung. Kalau
Portugis lebih memusatkan perhatian di Ternate, Spanyol lebih tertarik bersekutu dengan
Tidore. Terjadilah persaingan antara Portugis dan Spanyol di kawasan Maluku. Spanyol
kemudian membangun benteng di Tidore. Pembangunan benteng ini semakin memperuncing
persaingan persekutuan Portugis dan Ternate dengan Spanyol dan Tidore. Akhirnya pada
tahun 1527 terjadilah pertempuran antara Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore
yang dibantu oleh Spanyol. Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat direbut oleh
persekutuan Ternate dan Portugis.

Portugis dan Spanyol menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat persaingan itu. Untuk
mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1534 keduanya menyepakati diadakanlah Perjanjian
Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain:

1. Maluku menjadi daerah pengaruh dan kegiatan Portugis


2. Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan diri di Filipina

Perjanjian ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku. Dalam melaksanakan


monopoli perdagangan, Portugis juga memiliki ambisi untuk menanamkan kekuasaan di
Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate kemudian menentang Portugis.

Masa Pemerintahan penjajah Belanda

Masuknya Belanda ke Indonesia juga sebagai akhir dari masa penjajahan bangsa Portugis
(Penjajahan Portugis Berakhir pada 1602). Cornelius de Houtman memimpin Belanda masuk
ke Indonesia melalui Banten. Pada tahun 1602 Belanda mendirikan Verenigde Oostindische
Compagnie (VOC) di Banten karena ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia.
kemudian lantaran pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang Inggris
dan Tionghoa maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC
mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya
sampailah VOC di Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menyepakati perjanjian Giyanti yang
isinya ialah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian
Giyanti juga membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunan
Surakarta. kemudian pada tanggal 1 Januari 1800 VOC dibubarkan setelah Perancis
mengalahkan Belanda.

Penjajahan Belanda tidak berhenti Semenjak VOC dibubarkan. Belanda kemudian memilih
Daendels sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Saat masa Deandels, rakyat Indonesia
dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer hingga Panarukan. Namun masa pemerintahan
Daendels berlangsung singkat yang kemudian diganti Johannes van den Bosch. Johannes Van
den Bosch menerapkan cultuur stelsel (sistem tanam paksa). Dalam sistem tanam paksa, tiap
desa wajib menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor seperti tebu,
kopi, nila dll. Hasil tanam paksa ini harus dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga
yang telah ditetapkan.

Masa Pemerintahan penjajah Jepang

Setelah 3,5 abad Belanda menjajah Indonesia, kemudian Jepang menggantikan Penjajahan
Belanda di Indonesia. kala itu melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942 Belanda
menyerah tanpa syarat kepada jepang. Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942
dan berakhir pada 17 agustus 1945. Saat melakuakn penjajahan di NKRI Jepang membentuk
beberapa organisasi. Organisasi yang dibentuk Jepang antara lain ialah Putera, Heiho
(pasukan Indonesia buatan Jepang), PETA (Pembela Tanah Air), Jawa Hokokai (pengganti
Putera). Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan ramah oleh bangsa
Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan Belanda.

Pembentukan BPUPKI

1 Maret 1945 Jepang meyakinkan Indonesia tentang kemerdekaan dengan membentuk


Dokuritsu Junbi Tyosakai atau BPUPKI (Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia). kemudian pada 28 April 1945, Jenderal Kumakichi Harada, Komandan Pasukan
Jepang Jawa melantik anggota BPUPKI di Gedung Cuo Sangi In, di Pejambon Jakarta
(sekarang Gedung Kemlu). saat itu Ketua BPUPKI yang ditunjuk Jepang adalah dr. Rajiman
Wedyodiningrat dengan wakilnya Icibangase (Jepang) serta Sekretaris R.P. Soeroso. Jml
anggota BPUPKI saat itu adalah 63 orang yang mewakili hampir seluruh wilayah di
Indonesia.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

Tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan Jepang dan untuk menindaklanjuti BPUPKI,
Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi
Iinkai. PPKI beranggotakan 21 orang yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Indonesia
dipimpin oleh Ir. Sukarno, dengan wakilnya Drs. Moh. Hatta serta penasihatnya Ahmad
Subarjo. kemudian Tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah karena kalah setelah bom
atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki. Kala itu Kondisi di Indonesia tidak menentu
namun membuka peluang baik karena Jepang menyatakan kalah perang namun Sekutu tidak
ada. Inilah waktu yang tepat sebagai klimaks tonggak-tonggak perjuangan berabad-abad
untuk menjadi bangsa yang berdaulat. kemudian 3 hari setelah Jepang tak berdaya, yaitu
tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 dinyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia
keseluruh dunia.
Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia merupakan jembatan emas, sehingga
mempunyai makna yang sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Menurut
Surjumiharjo (1989), gerakan ini merupakan peristiwa yang serempak di berbagai belahan
bumi, khususnya di Asia dan Afrika.

Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan yang dilakukan oleh sejumlah


pemuda antara lain Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng
31" terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul
03.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian
didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan
terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr.
Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan
terutama setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara
itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan.
Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota
PETA mendukung rencana tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan
Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA(yang sekarang telah
menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih
rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang
akan diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari
kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah
rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks Proklamasi disusun di
Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para
pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk
proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding
dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya
menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke
Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad
Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan
proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan
tersebut sampai di Jakarta.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi


dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti
Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor
Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[1]

Latar belakang

Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi
dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi
dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain
itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para
golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari
perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.

Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga
bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini
diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan
janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada
malam harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua
PPKI.

Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Setelah Kemerdekaan

Konflik Indonesia dan Belanda

Atas nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung
Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah maju sudah
ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan tersebut. Sebagai
negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia mendapat simpati dari bangsa-
bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17
Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno
dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.

Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka
mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies
Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di
dalamnya, sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi
yang didirkan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah Belanda
menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia.

Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas Oleh
Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan
pertentangan, bahkan dimana-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu. Tugas
yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh Allied Forces Netherlands East
Indies (AFNEI) ternyata memiliki agenda yang terselubung. Kedatangan pasukan Sekutu
justru diboncengi oleh NICA yang tidak lain adalah orang-orang Belanda yang ketika Jepang
datang melarikan diri ke Australia dan membentuk kekuatan di sana. Mereka memiliki
keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia Belanda. Dengan demikian sikap Indonesia
yang semula menerima kedatangan Sekutu menjadi penuh kecurigaan dan kemudian
berkembang menjadi permusuhan.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Pertempuran Surabaya ialah peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Britania Raya
dengan tentara Indonesia. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota
Surabaya. Pertempuran ini merupakan perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan
asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan salah satu pertempuran terberat dan
terbesar dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia kepada kolonialisme.
Pertempuran Ambarawa

Palagan Ambarawa adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang terjadi
di Ambarawa, sebelah selatan Semarang, Jawa Tengah. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh
mendaratnya pasukan Sekutu dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 oktober
1945. Pemerintah Indonesia memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan perang yang
berada di penjara Ambarawa dan Magelang.

Kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) diikuti oleh pasukan NICA. Mereka mempersenjatai
para bekas tawanan perang Eropa, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di
Magelang yang kemudian terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan Sekutu.
Insiden berakhir setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke
Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan
senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan da1am 12 pasal. Naskah persetujuan
itu berisi antara lain:

1. Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan
mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners War And Interneers atau tawanan perang
dan interniran sekutu). Jumlah pasukan sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan itu.
2. Jalan raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan
Sekutu.
3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.

Medan Area

Mr. Teuku M. Hassan yang telah diangkat menjadi gubernur mulai membenahi daerahnya.
Tugas pertama yang dilakukan Gubernur Sumatera ini adalah menegakkan kedaulatan dan
membentuk Komite Nasional Indonesia untuk wilayah Sumatera. Oleh karena itu, mulai
dilakukan pembersihan terhadap tentara Jepang dengan melucuti senjata dan menduduki
gedung-gedung pemerintah. Pada tanggal 9 Oktober 1945, di Medan mendarat pasukan
Serikat yang diboncengi oleh NICA. Para Pemuda Indonesia dan Barisan Pemuda segera
membentuk TKR di Medan. Pertempuran pertama pecah tanggal 13 Oktober 1945 ketika
lencana merah putih diinjak-injak oleh tamu di sebuah hotel. Para pemuda kemudian
menyerbu hotel tersebut sehingga mengakibatkan 96 korban luka-luka. Para korban ternyata
sebagian orang-orang NICA. Bentrokan antar Serikat dan rakyat menjalar ke seluruh kota
Medan. Peristiwa kepahlawanan ini kemudian dikenal sebagai pertempuran “Medan Area”.

Bandung Lautan Api

Istilah Bandung Lautan Api menunjukkan terbakarnya kota Bandung sebelah selatan akibat
politik bumi hangus yang diterapkan TKR. Peristiwa itu terjadi tanggal 23 Maret 1946 setelah
ada ultimatum perintah pengosongan Bandung oleh Sekutu. Seperti di kota-kota lainnya, di
Bandung juga terjadi pelucutan senjata terhadap Jepang. Di pihak lain, tentara Serikat
menghendaki agar persenjataan yang telah dikuasai rakyat Indonesia diserahkan kepada
mereka. Para pejuang akhirnya meninggalkan Bandung, tetapi terlebih dahulu membumi
hanguskan kota Bandung. Peristiwa tragis ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Bandung
Lautan Api.

Tragedi Nasional (Masa Orde Lama)


Tragedi nasional adalah suatu rangkaian peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia. Tragedi
ini tentu membawa akibat yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Peristiwa-demi peristiwa terjadi pada bangsa Indonesia sekaligus merupakan ancaman,
tantangan dan hambatan. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mengganggu upaya menata
kembali bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan.

Pemberontakan PKI Madiun 1948

Peristiwa Madiun tidak dapat dipisahkan dari pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR)
pada tanggal 28 Juni 1948. FDR adalah kumpulan beberapa partai seperti partai Sosialis,
Pesindo, partai Buruh, PKI dan Sobsi. Peristiwa Madiun itu diawali dari kota Solo yang
dilakukan oleh para pengikut Muso dan Amir Syarifuddin Pada tahun 1948 Muso kembali
dari Rusia. Sekembalinya itu Muso bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Ajaran
yang diberikan pada para anggota PKI adalah mengadu domba kesatuan nasional dengan
menyebarkan teror. Pada tanggal 18 September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI
memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Orang-orang yang dianggap musuh
politiknya dibunuh oleh PKI.

Dengan terjadinya peristiwa Madiun tersebut, pemerintah dengan segera mengambil tindakan
tegas. Pemberontakan Madiun itu dapat diatasi setelah pemerintah mengangkat Gubernur
Militer Kolonel Subroto yang wilayahnya meliputi Semarang, Pati dan Madiun. Walaupun
dalam menghancurkan kekuatan PKI dalam peristiwa Madiun menelan banyak korban,
namun tindakan itu demi mempertahankan Kemerdekaan yang kita miliki. Ketika Belanda
melakukan agresi terhadap Republik Indonesia, PKI justru menikam dari belakang dengan
melakukan pemberontakan yang sekaligus dapat merepotkan pemerintah Republik.

Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan)

Usai pendudukan oleh Kekaisaran Jepang pada 1945, para pemimpin khususnya yang
berdomisili di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia. namun Tidak semua suku dan
wilayah di Indonesia langsung menerima dan bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Kala itu banyak terjadi pemberontakan dan Pemberontakan pribumi
pertama yang terorganisasi muncul di Maluku Selatan dengan bantuan Belanda,
pemberontakan tersebut biasa disebut Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan).

Gerakan 30 September 1965 (G.30 S / PKI)

Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan


September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan
kudeta.

Gerakan G 30 S PKI sendiri terjadi pada tanggal 30-September-1965 tepatnya saat malam
hari. Insiden G 30 S PKI sendiri masih menjadi perdebatan kalangan akademisi mengenai
siapa penggiatnya dan apa motif yang melatar belakanginya. Akan tetapi kelompok reliji
terbesar saat itu dan otoritas militer menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut merupakan
ulah PKI yang bertujuan untuk mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis.
Sedangkan Menurut versi Orde Baru gerakan ini dilakukan oleh sekelompok pasukan yang
diketahui sebagai pasukan Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal presiden yang melakukan
aksi pembunuhan dan penculikan kepada Enam (6) jenderal senior TNI AD (Angkatan
Darat).

6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya

Perundingan Hooge Veluwe

Sebelum diadakan perjanjian antara Belanda dengan Republik Indonesia di Belanda.


Sebelumnya telah ada dialog antara keduanya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 10
Februari sampai 12 Maret 1946. Dalam perundingan ini pihak Indonesia yang diwakilkan
oleh Sutan Syahrir berhasil mencapai titik perundingan dengan diakuinya kedaulatan
Republik Indonesia secara de facto terdiri dari Jawa dan Sumatra oleh Belanda dengan
wakilnya Van Mook disertai penengah dari Inggris A. Clark Kerr dan Lord Killearn. Namun
perundingan ini mengalami permasalahan di tingkat pejabat Belanda di Den Haag, pejabat di
Den Haag cenderung mengabaikan hasil perundingan yang diadakan di Jakarta ini.

Usaha untuk terus mencapai kedaulatan telah diupacayakan oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim perwakilannya untuk berunding dengan
pemerintah Belanda di Den Haag agar Belanda segera mengakui kedaulatan Republik
Indonesia. Dalam perundingan ini wakil-wakil Indonesia diwakilkan oleh; Mr. Soewandi
(menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah MenHanKam Juwono Soedarsono yang saat itu
menjabat menteri dalam negeri), dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo dan dipihak Belanda
yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr
Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar
negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).

Perundingan dilaksanakan di Hooge Veluwe pada tanggal 14-24 April 1946 dan berlangsung
sangat alot sebab delegasi Belanda ini mengabaikan perundingan yang telah disepakati
sebelumnya di Jakarta. Perundingan Hooge Veluwe membahas pokok permasalahan, antara
lain:

1. Substansi konsep perjanjian atau protokol sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian


persengketaan yang akan dihasilkan nantinya oleh perundingan Hoge Veluwe.
2. Membahas yang diajukan dalam konsep protokol Belanda seperti Persemakmuran
(Gemeenebest); negara merdeka (Vrij-staat).
3. Membahas struktur negara berdasarkan federasi.
4. Membahas mengenai batas wilayah kekuasaan de facto RI, yang hanya meliputi pulau
Jawa.

Pihak Belanda terus bersikeras untuk menolak hasil perundingan sebelumnya di Jakarta (Van
Mook dan Syahrir) dengan alasan pemerintah Belanda saat itu karena untuk dapat menerima
hasil perundingan di Indonesia, Undang-undang Dasar Belanda harus berubah dahulu. Ini
akan makan waktu lama. Padahal Belanda sedang menghadapi pemilihan umum yang tidak
beberapa lama lagi akan berlangsung.
Perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, dekat
Cirebon. Perjanjian tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat Inggris. Pada
tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah
Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul
Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak
mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord
Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:

 Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar
kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
 Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis
pelaksanaan gencatan senjata.

Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk
(sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut:

 Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan


yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
 Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya
adalah Republik Indonesia.
 Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia –
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya

Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan


dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penambahan anggota KNIP untuk partai besar
dan wakil dari daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan susunan KNIP.
Ternyata tentangan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan
mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.

Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati  pada tanggal 25 Februari 1947,


bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret
1947. Apabila ditinjau dari luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin
sempit, namun bila dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia
bertambah kuat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta
beberapa negara-negara Arab telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dan
kedaulatan Republik Indonesia.

Persetujuan itu sangat sulit terlaksana, karena pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan
dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal
21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda,
Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan agar posisi Indonesia di
dunia internasional semakin bertambah kuat. Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus
Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian peserta sidang PBB, oleh karena itu Dewan
Keamanan PBB memerintahkan agar dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim komisi
jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara. Indonesia mengusulkan
Australia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan itu menunjuk
Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland
dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu
terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN).

Perjanjian Renville

Perjanjian Renville diambil dari nama sebutan kapal perang milik Amerika Serikat yang
dipakai sebagai tempat perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda, dan
KTN sebagai perantaranya. Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana
Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda menempatkan seorang Indonesia yang bernama
Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasinya. Penempatan Abdulkadir Wijoyoatmojo
ini merupakan siasat pihak Belanda dengan menyatakan bahwa pertikaian yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda merupakan masalah dalam negeri Indonesia dan bukan menjadi
masalah intemasional yang perlu adanya campur tangan negara lain.

Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17
Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai
berikut:

 Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS).
 Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
pemerintah federal.
 RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-
Belanda.
 Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.

Kerugian-kerugian yang diderita bangsa Indonesia dari perjanjian Renville adalah sebagai
berikut:

 Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui masa


peralihan.
 Indonesia kehilangan sebagian daerahnya karena garis Van Mook terpaksa harus
diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
 Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di daerah kekuasaan
Belanda dan dari kantong-kantong gerilya masuk daerah RI.
 Wilayah RI menjadi semakin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan
Belanda.
 Terjadi Hijrah TNI ke pusat pemerintahan di Yogyakarta.
 Terjadinya pemberontakan DI/TII.
 Terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948.
 Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin diganti dengan Moh.Hatta.
Perjanjian Roem-Royen

Perjanjian ini adalah perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah satu kesepakatan yang
dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den Haag
negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang
bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara badan permusyawaratan federal
(BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan mendasar
dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan UNCI. UNCI
berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949 yang
dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia yaitu:

 Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.


 Menghentikan gerakan militer dan membebaskan para tahanan republik.
 Menyetujui kedaulatan RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
 Menyelenggarakan KMB segera sesudah pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta.

Persetujuan Indonesia dari Belanda meliputi sebagai berikut:

 Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang


gerilya.
 Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan
keamanan Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban
dan keamanan.
 Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak
bersyarat.

Peristiwa-peristiwa penting realisasi Roem-Royen Statement adalah sebagai berikut:

 Penarikan tentara Belanda secara bertahap dari Yogyakarta dari 24 Juni sampai 29
Juni 1949.
 Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta tanggal 1 Juli 1949.
 Presiden,wakil presiden dan para pejabat tinggi Negara kembali ke Yogyakarta
tanggal 6 Juli 1949.
 Jendral Sudirman kembali ke Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.

Konferensi Inter Indonesia

Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik
Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang
tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia
berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden
Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-
pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam
terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi
dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai
“trace baru” bagi arah perjuangan Indonesia. Konferensi ini banyak didominasi perbincangan
mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan
berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Konferensi Inter-Indonesia penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi
Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke
Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli
1949. Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II
diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949. Konferensi Inter-Indonesia II
dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO).

Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah


pembentukan RIS, antara lain:

 Masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS,


 Kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni.

Sementara hasil Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.

1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS)
berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat).
2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada Presiden.
3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun
dari kerajaan Belanda.
4. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah
Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
5. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia
sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari
TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.

Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli
dengan keputusan sebagai berikut:

 Bendera RIS adalah Sang Merah Putih


 Lagu kebangsaan Indonesia Raya
 Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
 Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO.

Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen.
Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan
Permusyawaratan Federal). Konferensi Meja Bundar dilatarbelakangi oleh usaha untuk
meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan.
Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian
mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat
perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roiyen, dan Konferensi
Meja Bundar.

Realisasi dari perjanjian Roem-Royen adalah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar


(KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi tersebut berlangsung selama 23 Agustus sampai 2
November 1949. Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan UNCI.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan
Hamid dari Pontianak. Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen. Sebagai
penengah adalah wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle Cochran. Hasil dari
persetujuan KMB adalah sebagai berikut:

 Belanda menyerahkan dan mengakui kedaulatan Indonesia tanpa syarat dan tidak
dapat ditarik kembali
 Indonesia akan berbentuk Negara serikat (RIS) dan merupakan uni dengan Belanda.
 RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru
untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
 RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942.
 Status karisidenan Irian akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun setelah penyerahan
kedaulatan RIS.
 Makna dari Persetujuan KMB yaitu merupakan babak baru dalam perjuangan sejarah
Indonesia. Meskipun merupakan Negara serikat tetapi wilayahnya hampir mencakup
seluruh Indonesia. Eksistensi pemerintah RI di mata dunia internasional makin kuat.

Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda, danperwakilan
badan yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang
hadir dalam KMB, antara lain:

Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.

1. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.


2. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
3. UNCI diwakili oleh Chritchley.

Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi tersebut.
Hasil dari KMB adalah sebagai berikut:

 Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.


 Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
 Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah
pengakuan kedaulatan RIS.
 Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda
yang dikepalai Raja Belanda.
 Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa
korvet akan diserahkan kepada RIS.
 Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan
Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang
diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
 Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup menggembirakan bagi
bangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa
Indonesia, sehingga dampak positif pun diperoleh Indonesia.

Pelaksanan KMB dapat memberikan dampak bagi beberapa pihak. Dampak dari Konferensi
Meja Bundar bagi Indonesia adalah sebagai berikut:

 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.


 Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai.
 Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
 Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
 Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak negatif, yaitu belum diakuinya
Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk
memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI.  Tanggal
penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda
sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian,
tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa
kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi
di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot  mengungkapkan “penyesalan sedalam-
dalamnya atas semua penderitaan” yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun
Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi
Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan
Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, “akan lebih mudah untuk maju dan
memperkuat hubungan bilateral antara dua negara”. Tekait utang Hindia-Belanda, Indonesia
membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun
kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya

7 Strategi Perlawanan Indonesia terhadap Belanda Sebelum Kemerdekaan

Perang Padri

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama
di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan
peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat,
minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan,
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya
kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada
tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu
Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada
Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan,
sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama
Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. Perang
Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan
mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung,
juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan
perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
Perang Diponegoro

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War,
Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-
1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu
pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di
Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de
Kock[7] yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro.

Perang ini terjadi karena Belanda memasang patok-patok jalan yang melalui makam leluhur
Pangeran Diponegoro. Perang ini terjadi tahun 1825 – 1830. Pada tahun 1827, Belanda
memakai siasat perang bernama Benteng Stelsel, yaitu setiap daerah yang dikuasai didirikan
benteng untuk mengawasi daerah sekitarnya. Antara satu benteng dan benteng lainnya
dihubungkan pasukan gerak cepat, sehingga ruang gerak pasukan Diponegoro dipersempit.
Benteng Stelsel belum mampu mematahkan serangan pasukan Diponegoro. Belanda akhirnya
menggunakan tipu muslihat dengan cara mengajak berunding Pangeran Diponegoro, padahal
sebenarnya itu berupa penangkapan. Setelah penangkapan, gerak pasukan Diponegoro mulai
melemah. Belanda dapat memenangkan perang tersebut, namun dengan kerugian yang besar
karena perang tersebut menguras biaya dan tenaga yang banyak.

Perang Banjar

Perang Banjar[1] atau Perang Banjar-Barito atau Perang Kalimantan Selatan[2] adalah
perang perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda yang berlangsung antara tahun
1859-1905 yang terjadi di Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah.[3]

Perang Banjar[4][5][6] berlangsung antara 1859 -1905 (menurut sumber Belanda 1859-1863[7][8]).
Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli
dagang di Kesultanan Banjar. Dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan,
kekalutan makin bertambah. Pada tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra
mahkota, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808)
dan membunuh semua putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-satunya
pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan
dukungan pamannya Gusti Kasim (Arung Turawe), tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek
Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (kini Sri Langka)

Perang Aceh

Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh
melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari
1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu
membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira

Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan
dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada
di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian
London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat
ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis
lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak
menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh
menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London
1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada
Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan
daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga
mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh
tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden
Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh
dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah
melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan,
di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang
berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh,
Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang
juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa
seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26
Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan
di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana
pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala
Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam
perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan.
Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh,
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi
komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.

Perang Pattimura

Pada 1817, Belanda juga berusaha menguasai Maluku dengan monopoli perdagangan. Rakyat
Maluku yang dipimpin Thomas Matulessy (Pattimura) menolaknya dan melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Pertempuran sengit terjadi di benteng Duurstede, Saparua.
Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran, rakyat Maluku terdesak. Perlawanan
rakyat Maluku melemah akibat tertangkapnya Pattimura dan Martha Christina Tiahahu.

Perang Jagaraga Bali

Perang ini terjadi akibat protes Belanda terhadap Hak Tawan Karang, yaitu aturan yang
memberik hak kepada kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas kapal asing beserta muatannya
yang terdampar di Bali. Protes ini tidak membuat Bali menghapuskan Hak Tawan Karang,
sehingga perang puputan (habis-habisan) antara kerajaan-kerajaan Bali yang dipimpin I Gusti
Ketut Jelantik dengan Belanda terjadi. Belanda berhasil menguasai Bali karena kekuatan
militer yang lebih unggul.

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA

Pergerakan nasional Indonesia memunculkan organisasi pergerakan yang berkemang


dikalangan Hindia Belanda. Organisasi-organisasi tersebut memiliki landasan dan sikap yang
berbeda dalam mengambil peran di pergerakan nasional. Secara umum organisasi-organisasi
tersebut dapat dibabakan ke dalam beberapa masa berdasarkan corak pergerakannya, sebagai
berikut :

 Masa awal pergerakan nasional (1908 - 1920) berdiri organisasi seperti Budi Utomo,
Sarekat Islam, dan Indische Partij.
 Masa radikal/nonkooperasi (1920 - 1930), berdiri organisasi seperti Partai Komunis
Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
 Masa moderat/kooperasi (1930 - 1942), berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo,
dan Gapi. Di samping itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan
organisasi perempuan.

1. Budi Utomo (BU)

Pada awal abad ke-20 sudah banyak mahasiswa di kota-kota besar terutama di Pulau Jawa.
Sekolah kedokteran bernama STOVIA (School tot Opleideing van Inlandsche Aartsen)
terdapat di Jakarta. Para tokoh mahasiswa kedokteran sepakat untuk memperjuangkan nasib
rakyat Indonesia dengan memajukan pendidikan rakyat.

Pada tanggal 20 Mei 1908 sebuah organisasi bernama Budi Utomo dibentuk di Jakarta. Ketua
Budi Utomo adalah dr Sutomo, dan tonggak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei
1908 dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tokoh lain pendiri Budi Utomo adalah
Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan R.T. Ario Tirtokusumo.

Dalam perkembangannya, di tubuh Budi Utomo muncul dua aliran berikut.


 Pihak kanan, berkehendak supaya keanggotaan dibatasi pada golongan terpelajar saja,
tidak bergerak dalam lapangan politik dan hanya membatasi pada pelajaran sekolah
saja.
 Pihak kiri, yang jumlahnya lebih kecil terdiri dari kaum muda berkeinginan ke arah
gerakan kebangsaan yang demokratis, lebih memerhatikan nasib rakyat yang
menderita.

Adanya dua aliran dalam tubuh Budi Utomo menyebabkan terjadinya perpecahan. Dr. Cipto
Mangunkusumo yang mewakili kaum muda keluar dari keanggotaan. Akibatnya gerak Budi
Utomo semakin lamban.

Berikut ini ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin lambannya Budi Utomo :

1. Budi Utomo cenderung memajukan pendidikan untuk kalangan priyayi daripada


penduduk umumnya.
2. Lebih mementingkan pemerintah kolonial Belanda daripada kepentingan rakyat
Indonesia.
3. Menonjolnya kaum priyayi yang lebih mengutamakan jabatan menyebabkan kaum
terpelajar tersisih. Ketika meletus Perang Dunia I tahun 1914, Budi Utomo mulai
terjun dalam bidang politik.
4. Pada tahun 1935 Budi Utomo mengadakan fusi ke dalam Partai Indonesia Raya
(Parindra). Sejak itu BU terus mengalami kemerosotan dan mundur dari arena politik.

2. Sarekat Islam (SI)

Pada mulanya Sarekat Islam adalah sebuah perkumpulan para pedagang yang bernama
Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada tahun 1911, SDI didirikan di kota Solo oleh H. Samanhudi
sebagai suatu koperasi pedagang batik Jawa. Garis yang diambil oleh SDI adalah kooperasi,
dengan tujuan memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. Keanggotaan
SDI masih terbatas pada ruang lingkup pedagang, maka tidak memiliki anggota yang cukup
banyak.

Oleh karena itu agar memiliki anggota yang banyak dan luas ruang lingkupnya, maka pada
tanggal 18 September 1912, SDI diubah menjadi SI (Sarekat Islam). Organisasi Sarekat Islam
(SI) didirikan oleh beberapa tokoh SDI seperti H.O.S Cokroaminoto, Abdul Muis, dan H.
Agus Salim. Sarekat Islam berkembang pesat karena bermotivasi agama Islam. Latar
belakang ekonomi berdirinya Sarekat Islam adalah: 

1. Perlawanan terhadap para pedagang perantara (penyalur) oleh orang Cina,


2. Isyarat pada umat Islam bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatannya
3. Membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera.

Menurut Semaun yang memiliki pandangan sosialis, bergandeng dengan kapitalis adalah
haram. Dalam kongres SI yang dilaksanakan tahun 1921, ditetapkan adanya disiplin partai
rangkap anggota. Setiap anggota SI tidak boleh merangkap sebagai anggota organisasi lain
terutama yang beraliran komunis. Akhirnya SI pecah menjadi dua yaitu SI Putih dan SI
Merah.

 SI Putih, yang tetap berlandaskan nasionalisme dan Islam. Dipimpin oleh H.O.S.
Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Suryopranoto yang berpusat di Yogyakarta.
 SI Merah, yang berhaluan sosialisme kiri (komunis). Dipimpin oleh Semaun, yang
berpusat di Semarang. Dalam kongresnya di Madiun, SI Putih berganti nama menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Kemudian pada tahun 1927 berubah lagi menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Sementara itu, SI Sosialis/Komunis berganti nama
menjadi Sarekat Rakyat (SR) yang merupakan pendukung kuat Partai Komunis
Indonesia (PKI).

3. Indische Partij (IP)

Indische Partij adalah partai politik pertama di Indonesia.  menunjukkan para pendiri Indische
Partij yang terkenal dengan sebutan tiga serangkai E.F.E. Douwes Dekker (Danudirjo
Setiabudi), R.M. Suwardi Suryaningrat, dan dr. Cipto Mangunkusumo. Indische Partij
dideklarasikan tanggal 25 Desember 1912.

Tujuan Indische Partij sangat jelas, yakni mengembangkan semangat nasionalisme bangsa
Indonesia. Keanggotaannya pun terbuka bagi semua golongan tanpa memandang suku,
agama, dan ras.

Suwardi Suryaningrat menulis artikel yang dimuat dalam harian De Expres, dengan judul Als
Ik een Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda). Suwardi mengecam Belanda,
bagaimana mungkin bangsa terjajah (Indonesia) disuruh merayakan kemerdekaan penjajah.
Pemerintah Belanda marah dengan sikap para tokoh Indische Partij. Akhirnya Douwes
Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat ditangkap dan dibuang ke
Belanda.

4. Perhimpunan Indonesia

Pada tahun 1908 di Belanda berdiri sebuah organisasi yang bernama Indische Vereeniging.
Pelopor pembentukan organisasi ini adalah Sutan Kasayangan Soripada dan RM Noto Suroto.
Para mahasiswa lain yang terlibat dalam organisasi ini adalah R. Pandji Sosrokartono,
Gondowinoto, Notodiningrat, Abdul Rivai, Radjiman Wediodipuro (Wediodiningrat), dan
Brentel.

Tujuan dibentuknya Indische Vereeniging adalah  Indonesia merdeka, memperoleh suatu


pemerintahan Indonesia yang bertanggung jawab kepada seluruh rakyat. Kedatangan tokoh-
tokoh Indische Partij seperti Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, sangat
mempengaruhi perkembangan Indische Vereeniging. 

Masuk konsep “Hindia Bebas” dari Belanda, dalam pembentukan negara Hindia yang
diperintah oleh rakyatnya sendiri. Perasaan anti-kolonialisme semakin menonjol setelah ada
seruan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson tentang kebebasan dalam menentukan
nasib sendiri pada negara-negara terjajah (The Right of Self Determination).

5. Partai Komunis Indonesia (PKI)

Partai Komunis Indonesia (PKI) secara resmi berdiri pada tanggal 23 Mei 1920. Berdirinya
PKI tidak terlepas dari ajaran Marxis yang dibawa oleh Sneevliet. Ia bersama teman-
temannya seperti Brandsteder, H.W Dekker, dan P. Bergsma, mendirikan Indische Social
Democratische Vereeniging (ISDV) di Semarang pada tanggal 4 Mei 1914. Tokoh-tokoh
Indonesia yang bergabung dalam ISDV antara lain Darsono, Semaun, Alimin, dan lain-lain.

PKI terus berupaya mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Salah satu upaya yang
ditempuhnya adalah melakukan infiltrasi dalam tubuh Sarekat Islam. Organisasi PKI makin
kuat ketika pada bulan Februari 1923 Darsono kembali dari Moskow. Ditambah dengan
tokoh-tokoh Alimin dan Musso, maka peranan politik PKI semakin luas

Pada tanggal 13 November 1926, Partai Komunis Indonesia mengadakan pemberontakan di


Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pemberontakan ini sangat sia-sia karena
massa sama sekali tidak siap di samping organisasinya masih kacau.

PKI telah mengorbankan ribuan orang yang termakan hasutan untuk ikut serta dalam
pemberontakan. Dampak buruk lainnya yang menimpa para pejuang pergerakan di tanah air
adalah berupa pengekangan dan penindasan yang luar biasa dari pemerintah Belanda
sehingga sama sekali tidak punya ruang gerak. Walaupun PKI dinyatakan sebagai partai
terlarang tetapi secara ilegal mereka masih melakukan kegiatan politiknya. Semaun, Darsono,
dan Alimin meneruskan propaganda untuk tetap memperjuangkan aksi revolusioner di
Indonesia.

6. Partai Nasional Indonesia (PNI)

Berdirinya partai-partai dalam pergerakan nasional banyak berawal dari studie club. Salah
satunya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai Nasional Indonesia (PNI) yang lahir di
Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 tidak terlepas dari keberadaan Algemeene Studie Club. 

Lahirnya PNI juga dilatarbelakangi oleh situasi sosio politik yang kompleks. Pemberontakan
PKI pada tahun 1926 membangkitkan semangatuntuk menyusun kekuatan baru dalam
menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Rapat pendirian partai ini dihadiri Ir. Soekarno,
Dr. Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrodisuryo, Mr. Budiarto, dan Mr.
Soenarjo. Pada awal berdirinya, PNI berkembang sangat pesat karena didorong oleh faktor-
faktor berikut.

1. Pergerakan yang ada lemah sehingga kurang bisa menggerakkan massa.


2. PKI sebagai partai massa telah dilarang.
3. Propagandanya menarik dan mempunyai orator ulung yang bernama Ir. Soekarno
(Bung Karno).
4. Untuk mengobarkan semangat perjuangan nasional, Bung Karno mengeluarkan
Trilogi sebagai pegangan perjuangan PNI. Trilogi tersebut mencakup kesadaran
nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.

Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI
menggunakan tiga asas yaitu self help (berjuang dengan usaha sendiri) dan nonmendiancy,
sikapnya terhadap pemerintah juga antipati dan nonkooperasi. Dasar perjuangannya adalah
marhaenisme

7. Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)

PPPKI dibentuk di Bandung pada tanggal 17 - 18 Desember 1927. Beranggotakan organisasi-


organisasi seperti Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Budi Utomo (BU), PNI, Pasundan,
Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan Kaum Studi Indonesia. Tujuan dibentuknya PPPKI
yaitu:

1. Menghindari segala perselisihan di antara anggota-anggotanya;


2. Menyatukan organisasi, arah, serta cara beraksi dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia
3. Mengembangkan persatuan kebangsaan Indonesia.

Pembentukan organisasi PPPKI sebagai ide persatuan sejak awal mengandung benih-benih
kelemahan dan keretakan. Berikut ini ada beberapa faktor yang menyebabkan keretakan
tersebut.

 Masing-masing anggota lebih mementingkan loyalitas pada masing-masing


kelompoknya.
 Kurangnya kontrol pusat terhadap aktivitas lokal.
 Perbedaan gaya perjuangan di antara organisasi-organisasi anggota PPKI tersebut.

8. Partai Indonesia (Partindo)

Ketika Ir. Soekarno yang menjadi tokoh dalam PNI ditangkap pada tahun 1929, maka PNI
pecah menjadi dua yaitu Partindo dan PNI Baru. Partindo didirikan oleh Sartono pada tahun
1929. 

Sejak awal berdirinya Partindo memiliki banyak anggota dan terjun dalam aksi-aksi politik
menuju Indonesia Merdeka. Dasar Partindo sama dengan PNI yaitu nasional. Tujuannya
adalah mencapai Indonesia merdeka. Asasnya pun juga sama yaitu self help dan
nonkooperasi.

Partindo semakin kuat setelah Ir. Soekarno bergabung ke dalamnya pada tahun 1932, setelah
dibebaskan dari penjara. Namun, karena kegiatan-kegiatannya yang sangat radikal
menyebabkan pemerintah melakukan pengawasan yang cukup ketat. Karena tidak bisa
berkembang, maka tahun 1936 Partindo bubar.

9. Partai Indonesia Raya (Parindra)


Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra didirikan di kota Solo oleh dr. Sutomo pada
tanggal 26 Desember 1935. Parindra merupakan fusi dan Budi Utomo dan Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI). Tujuan Parindra adalah mencapai Indonesia Raya. Asas politik Parindra
adalah insidental, artinya tidak berpegang pada asas kooperasi maupun nonkooperasi.

Sikapnya terhadap pemerintah tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi, jadi luwes.
Tokoh-tokoh Parindra yang terkenal dalam membela kepentingan rakyat di volksraad adalah
Moh. Husni Thamrin
Parindra berjuang agar wakil-wakil volksraad semakin bertambah sehingga suara yang
berhubungan dengan upaya mencapai Indonesia merdeka semakin diperhatikan oleh
pemerintah Belanda. Perjuangan Parindra dalam volksraad cukup berhasil, terbukti
pemerintah Belanda mengganti istilah inlandeer menjadi Indonesier.
10. Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)

Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937 oleh
orang-orang bekas Partindo. Tokoh-tokohnya antara lain Sartono, Sanusi Pane, dan Moh.
Yamin. Dasar dan tujuannya adalah nasional dan mencapai Indonesia Merdeka. Gerindo juga
menganut asas incidental yang sama dengan Parindra. Tujuan Gerindo antara lain:

 Mencapai Indonesia Merdeka,


 Memperkokoh ekonomi Indonesia,
 Mengangkat kesejahteraan kaum buruh, dan
 Memberi bantuan bagi kaum pengangguran.

11. Gabungan Politik Indonesia (Gapi)


Pada tanggal 15 Juli 1936, partai-partai politik dengan dipelopori oleh Sutardjo
Kartohadikusumo mengajukan usul atau petisi, yaitu permohonan supaya diselenggarakan
suatu musyawarah antara wakilwakil Indonesia dan negara Belanda di mana anggotanya
mempunyai hak yang sama.

Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu
pemerintah yang berdiri sendiri. Namun usul tersebut ditolak oleh pemerintah kolonial
Belanda. Adanya kekecewaan terhadap keputusan pemerintah Belanda tersebut, atas prakarsa
Moh. Husni Thamrin pada tanggal 21 Mei 1939, dibentuklah Gabungan Politik Indonesia
(Gapi). Berikut ini ada beberapa alasan yang mendorong terbentuknya Gapi.

1. Kegagalan petisi Sutarjo. Petisi ini berisi permohonan agar diadakan musyawarah
antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia
diberi pemerintahan yang berdiri sendiri.
2. Kepentingan internasional akibat timbulnya fasisme.
3. Sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan bangsa Indonesia.

Tujuan Gapi adalah menuntut pemerintah Belanda agar Indonesia mempunyai parlemen
sendiri, sehingga Gapi mempunyai semboyan Indonesia Berparlemen. Tuntutan Indonesia
Berparlemen terus diperjuangkan dengan gigih. Akhirnya pemerintah Belanda membentuk
komisi yang dikenal dengan nama Komisi Visman karena diketuai oleh Dr. F.H.Visman.
Tugas komisi ini adalah menyelidiki dan mem-pelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan.

Namun, setelah melakukan penelitian, Komisi Visman mengeluarkan kesimpulan yang


mengecewakan bangsa Indonesia. Menurut komisi tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia
berkeinginan hidup dalam ikatan Kerajaan Belanda. Gapi menolak keputusan tersebut, sebab
dianggap hanya rekayasa Belanda dan bertentangan dengan keinginan rakyat Indonesia.

12. Organisasi Keagamaan

Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal
18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad atau
pengikut Muhammad. Dengan nama ini memiliki harapan dapat mencontoh segala jejak
perjuangan dan pengabdian Nabi Muhammad.
Di samping Muhammadiyah, gerakan keagamaan lain yang memiliki andil bagi kemajuan
bangsa antara lain, berikut ini.
1. Jong Islamienten Bond, berdiri tanggal 1 Januari 1925 di Jakarta.
2. Nahdlatul Ulama (NU), berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, Jawa
Timur.
3. Nahdlatul Wathan, berdiri tahun 1932 di Pacor, Lombok Timur.

13. Organisasi Pemuda dan Wanita


Perkumpulan pemuda yang pertama berdiri adalah Tri Koro Dharmo. Organisasi ini berdiri
pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta atas petunjuk Budi Utomo. Diprakarsai oleh dr. Satiman
Wirjosandjojo, Kadarman, dan Sunardi. Mereka mufakat untuk mendirikan organisasi
kepemudaan yang anggotanya berasal dari siswa sekolah menengah di Jawa dan Madura.
Perkumpulan ini diberi nama Tri Koro Dharmo yang berarti tiga tujuan mulia (sakti, budhi,
bakti).

Organisasi kepemudaan lainnya yang bersifat kedaerahan banyak bermunculan seperti


Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes,
Timorees Ver Bond, PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia), Pemuda Indonesia, Jong
Islamienten Bond, kepanduan, dan sebagainya.
Perkumpulan Kautamaan Istri didirikan pada tahun 1913 di Tasikmalaya, lalu pada tahun
1916 di Sumedang, Cianjur, dan tahun 1917 di Ciamis, menyusul di Cicurug
tahun 1918. Tokoh Kautamaan Istri yang terkenal adalah Raden Dewi Sartika.

Di Yogyakarta pada tahun 1912 didirikan perkumpulan wanita yang benafaskan Islam
dengan nama Sopa Tresna, yang kemudian pada tahun 1914 menjadi bagian wanita dari
Muhammadiyah dengan nama Aisyah. Di Yogyakarta selain Aisyah juga ada perkumpulan
wanita yang bernama Wanito Utomo, yang mulai memasukkan perempuan ke dalam kegiatan
dasar pekerjaan ke arah emansipasi.

Di samping R.A.Kartini dan Dewi Sartika, masih terdapat seorang tokoh wanita yaitu Ibu
Maria Walanda Maramis dari Minahasa. Beliau mendirikan perkumpulan yang bernama
Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) pada tahun 1917. PIKAT dalam
kegiatannya mendirikan Sekolah Kepandaian Putri.

14. PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia)

Sumpah pemuda, tidak dapat lepas dari organisasi kepemudaan yang bernama PPPI
(Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) yang didirikan pada tahun 1926. PPPI mendapat
dukungan dari sejumlah organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond,
Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Minahasa, Jong Batak, dan Jong Islamienten Bond dengan
penuh keyakinan ingin mencapai tujuannya yaitu persatuan Indonesia. 

Para pemuda ini menginginkan suatu upaya penyatuan peletakan dasar untuk kemerdekaan
dengan menentang ketidakadilan yang dialami selama masa penjajahan.

Anda mungkin juga menyukai