Anda di halaman 1dari 19

Strategi Gus Dur Belah Lawan Politik

Lobi, Taktik Gus Dur Menjelang SI


Reporter: Suwarjono, Tina Arvianh

detikcom - Jakarta, Menjelang Sidang Istimewa MPR yang dijadwalkan


akan berlangsung pada tanggal 1 Agustus mendatang membuat semua pihak
ambil ancang-ancang. Presiden Wahid yang sejak awal menolak SI dengan cara
mengancam akan mengeluarkan dekrit, mengubah strategi dengan lobi. Tim lobi
menemui pimpinan partai politik meminta agar parpol membatalkan sidang
istimewa, belakangan tak membawa hasil. Jawaban partai politik hampir sama,
mau berkompromi asal dalam forum SI MPR.
Permintaan untuk membatalkan sidang istimewa tidak membawa hasil
membuat kubu Gus Dur mencari jalur lain. Caranya, apalagi kalau bukan
memecah kekuatan partai-partai politik. Daya tariknya, iming-iming kekuasaan,
money politic sampai mencari isu bersama yang menyatukan kekuatan
antarelemen, yakni aliansi anti orde baru.
Di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ancaman keretakan
cukup serius. Kelompok anti Arifin Panigoro yang tergabung dalam Front
Nasional terus bergerak. Alasan penolakan terhadap Arifin Panigoro masih
seputar dugaan bahwa bos Medco ini terlibat KKN. Bahkan kekuatan ini sudah
didukung kekuatan aksi massa menentang kepemimpinan Arifin Panigoro.
Partai Golkar yang belakangan tampak defensif ternyata tak lepas dari
gerogotan ancaman perpecahan. Kelompok Kaukus Iramasuka, yang pernah
menjadi lawan politik Akbar Tandjung juga mulai bergerak zigzag. Bukan tidak
mungkin, jika ada tawaran menggiurkan dari kubu Gus Dur, kaukus ini bisa
berbalik arah.
Tak kelah gencar lobi kubu Gus Dur ke Partai Persatuan pembangunan.
Tim lobi Gus Dur menerjunkan Chofifah Indar Parawansa, yang pernah aktif di
PPP sebelum hijrah ke PKB. Pertemuan dengan Hamzah Haz pun beberapa kali
dilakukan. Apalagi dengan iming-iming sejumlah kursi di kabinet bahkan sampai
tawaran wakil presiden. Tak heran jika Sekjen PPP, Marwan Hanan mengatakan
kemungkinan kompromi di sidang istimewa masih sangat mungkin.
Nah, jika partai-partai politik besar mulai terbelah, hitung-hitungan
pertarungan di sidang istimewa MPR bisa bisa jadi akan seru. Pasalnya, peta
kekuatan fraksi di MPR selain melibatkan kekuatan parpol, akan ditambah utusan
daerah dan utusan golongan. Utusan daerah mempunyai jumlah kursi 135,
sedangkan utusan golongan 65 kursi. Jumlah ini jika berhasil di lobi cukup
signifikan.

Lobi Jalan Terus


Meski Menhan Mahfud telah memberi laporan hasil tim lobi bahwa
pekerjaan sudah selesai, namun lobi tak resmi jalan terus. Masing-masing partai
sudah ada link-link khusus untuk masuk. Kekuatan ini terutama tidak hanya hasil
dari menteri, tetapi seluruh kekuatan masuk.
Di PDIP, Front Nasional terus jalan. Kasak-kusuk di DPR menyebutkan
bahwa Kaukus Lantai 10, lantai Nusantara 1 DPR asal Fraksi PDIP yang menjadi
kekuatan inti perlawanan terhadap Arifin Panigoro, sering mengadakan
pertemuan dengan orang-orang dari Fraksi PKB. Pertemuan beberapa kali
diadakan di kediaman Emir Moeis, anggota Fraksi PDIP Komisi IX, di Jalan
Tirtayasa Kebayoran Baru.
Kelompok anti Arifin di Fraksi PDIP ini pernah melakukan manuver
dengan mengumpulkan tanda tangan menolak keberadaan Arifin sebagai ketua
fraksi PDIP di DPR. Alasan yang disampaikan cukup beragam. Selain dianggap
tidak bersih, terlibat KKN, terutama dengan keterlambatan bayar utang di PT
Bahana.
Namun Sekjen PDIP Soetjipto membantah jika partainya mengalami
perpecahan. Menurut Wakil Ketua MPR ini, perbedaan pendapat yang terjadi di
tubuh PDI Perjuangan hal yang wajar. "Kita berbeda pendapat di dalam biasa,
namun kalau suara keluar ya satu suara," kata Soetjipto.
Sampai kini tim lobi yang dibentuk Gus Dur, terdiri dari Menkopolsoskam
Agum Gumelar, Menhan Mahfud MD, Menlu Alwi Shihab, Jaksa Agung
Baharuddin Lopa, Meneg Urusan Wanita/Kepala BKKBN Khofifah Indar
Parawansa terus saja berkeliling.
Di PPP selain melobi Hamzah Haz dengan pendekatan sesama warga NU,
politikus PPP yang keluar masuk istana adalah Habil Marati. Ia selama ini sering
dikenal dekat dengan kubu Gus Dur. Bahkan banyak bocoran dari Gus Dur masuk
lewat Marati.
Untuk lobi ke PPP saja, kubu Gus Dur mengutus tiga orang sekaligus
untuk menemui Hamzah Haz. Pertemuan dengan Hamzah Haz ini diawali oleh
Gus Dur sendiri, diteruskan dengan Menhan Mahfus MD, Menlu Alwi Sihab dan
terakhir pada Minggu pekan lalu, misalnya, Khofifah dan Mahfud M.D.
mendatangi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). "Intinya, mereka meminta Gus
Dur jangan sampai dipecat," kata mantan Ketua Pansus Buloggate dan Bruneigate
Bachtiar Chamsyah dari PPP.
Apakah lobi-lobi akan berhasil menyelamatkan Gus Dur? Jawaban bisa
ya, tapi bisa juga tidak. Sebab bagaimanapun juga kepemimpinan Gus Dur sudah
dianggap cacat. Kalangan parpol seperti "kapok" dengan perombakan kabinet
yang sudah berulang kali. "Kami tidak tergiur dengan lobi-lobi politik seperti itu,"
kata Sekjen Partai Amanat Nasional, Hatta Radjasa.
Yang jelas, sekarang ini ancang-ancang paling serius membahas jika Gus
Dur tumbang. Paling seru ya pembagian kekuasaan, baik komposisi susunan
kabinet maupun Wakil Presiden. Ini sudah terlihat melalui pembicaraan-
pembicaraan tertutup dalam pertemuan lintas fraksi di beberapa tempat yang
semakin asyik. Hafiz dari fraksi Partai Golkar mengungkapkan saat ini sedang
berlangsung deal-deal politik antarparpol menghadapi segala kemungkinan di SI
MPR nanti. Termasuk soal pembagian jatah kursi di kabinet. "Saya kira
pembagiannya harus proporsional berdasarkan jumlah kursi di DPR. Kalau
misalnya PDI-P tiga, Golkar ya dua," katanya.
Jatah calon menteri dari beberapa parpol sejak beberapa waktu lalu
memang sudah santer dibicarakan, walaupun belum menjadi keputusan mutlak.
Golkar, kabarnya meminta jatah Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman.
Sementara, PDI Perjuangan (PDI-P) kabarnya sangat menginginkan jabatan
menteri di jajaran perekonomian, seperti Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan
Menko Perekonomian. Tetapi, pentolan PDI-P lebih banyak tutup mulut
membicarakan soal ini, karena semuanya sangat tergantung kepada kehendak
Ketua Umum PDI-P Megawati. (jon/y)

Menyerang dari Negeri Kanguru


Reporter: Gatot Prihanto

detikcom - Jakarta, Di atas kertas posisi Presiden Abdurrahman Wahid


sudah sangat lemah. Bila Sidang Istimewa (SI) MPR digelar maka sudah hampir
pasti ia akan jatuh. Tapi, ternyata Gus Dur tetap yakin kalau bisa bertahan.
Darimana keyakinan itu datang?
Sambil melawat, mengirim serangan. Itulah kebiasaan Gus Dur selama ini.
Kebiasaan ini tidak ditinggalkan Gus Dur selama melakukan kunjungannya ke
tiga negara, yakni Australia, Selandia Baru, dan Phipilipa, yang dimulai awal
pekan ini, Senin (25/6). Gus Dur, dalam kesempatan jumpa pers bersama Perdana
Menteri Selandia Baru, Helen Clark, di Hotel Park Royal, Christchurch, Rabu
(27/6), menyatakan kalau keyakinannya akan menang di SI MPR Agustus
mendatang. Sebelumnya, di Sidney, Australia, Gus Dur menyatakan keyakinan
yang sama.
Alasannya, Gus Dur yakin kalau tentara ada di belakangnya, sehingga ia
tak perlu takut apa pun. Ia sudah meminta MPR untuk menyentuh empat hal
dalam SI MPR nanti, yaitu, pertama, hubungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
kedua, pertanggungjawaban Presiden; ketiga kinerja Presiden, serta keempat,
hubungan Presiden dan Wakil Presiden. Gus Dur --sewaktu masih di Tanah Air,
bahkan sempat mengaku kalau partai-partai politik besar sudah sepakat tidak
menyentuh “empat larangan” tersebut. Jadi, kalau ternyata SI menyentuhnya, Gus
Dur akan mengeluarkan senjata pamungkasnya yang sudah lama
dipersiapkannya : dekrit presiden.
Dekrit presiden untuk apa? Apa persisnya langkah politik yang akan
ditempuh, Gus Dur tak menjelaskannya. Salah satu pendukung setianya dari
Partai Kebangkitan Bangsa, Chatibul Umam Wiranu, menyatakan apa yang akan
dilakukan Gus memang susah ditebak atau diskenariokan. ”Tapi dalam logika
politik sekarang, kalau SI MPR sampai pertanggungjawaban Presiden, maka
penerbitan dekrit presiden dan pemberlakukan keadaan darurat, itu bisa saja
terjadi,” kata Wakil Sekjen PKB ini.

Lobi di Tangan Kiri, Jerat Hukum di Tangan Kanan


Tapi, seperti biasanya juga, “jurus mabuk” Gus Dur ini mendapat
perlawanan sengit. Klaimnya bahwa partai-partai besar sudah sepakat untuk tidak
menyentuh empat larangan dalam SI MPR, langsung dibantah oleh para pimpinan
partai-partai politik. Bahkan Menteri Pertahanan Mahfud MD, yang disebut Gus
Dur sebagai si pelobi yang sukses mengajak partai-partai itu bersepakat, bahkan
membantah klaim Gus Dur ini.
Terhadap isu dekrit kali ini TNI tak lagi bersikap terbuka menolkanya.
Penolakan dilakukan tersirat. “Soal dekrit itu biar diurus para politisi. Kalau sikap
TNI sudah jelas, soal ini tidak perlu dibicarakan lagi,” ujar Kepala Staf Angkatan
Laut, Laksamana TNI Indroko Sastrowiryono di Pangkalan Ujang, Surabaya,
Kamis (28/6) kemarin. Sebagaimana diketahui, Indroko, juga Kepala Staf
Angkatan Darat Jenderal TNI Endriartono Sutarto, dulu secara terbuka
menyatakan tidak setuju atas niat Presiden untuk mengeluarkan dekrit.
Yang secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap dekrit ini adalah
para politisi yang menjadi lawan politik Gus Dur. Mereka seolah menyanyikan
koor menolak rencana pengeluaran dekrit ini. Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri termasuk dalam rombongan penentang dekrit ini. Sebagaimana
ditirukan oleh Ketua Syaiful Sulun Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri
usai bertemu Megawati di Istana Wapres, Kamis lalu, Megawati menyatakan
bahwa dekrit itu konstitutional.
Bila Gus Dur sedang kelimpungan dengan segala jurus pertahannya itu,
kubu lawan sudah melangkah lebih maju. Merasa kemenangan sudah di tangan,
mereka kini membahas soal bursa Wakil Presiden, jabatan yang akan kosong bila
Megawati naik jadi Presiden.
Walau masih terkesan malu-malu, beberapa partai sudah menyiapkan
nama. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memunculkan nama ketuanya,
Hamzah Haz, demikian juga Partai Bulan Bintang, memunculkan nama Yusril
Ihza Mahendra. Dari tokoh non partai, misalnya, dimunculkan nama mantan
Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono, dan adik kandung Gus Dur,
Solahuddin Wahid.
Tapi, Gus Dur bukannya tak lagi punya peluang untuk bertahan. Kusnanto
Anggoro, pengamat politik dari CSIS, menilai bahwa gerakan-gerakan Gus Dur
tidak gagal sepenuhnya. Di banding sebulan lalu, kata Kusnanto, posisi Gus Dur
kini lebih kuat. Indikasinya, antara lain, dua partai terbesar di parlemen, PDI-P
dan Golkar tidak lagi ngotot dengan rencana percepatan SI MPR. Padahal,
sebelumnya, wacana percepatan SI MPR ini cukup kencang dibahas.
Menurut Kusnanto, ini adalah buah dari jurus “memecah kekuatan lawan”
yang dilakukan Gus Dur. Pertama, melalui tangan Jaksa Agung Baharuddin Lopa,
mengenakan proses hukum pada lawan-lawan politiknya. Kedua, lobi-lobi politik,
yang sampai saat ini tidak cukup berhasil tapi bisa menimbulkan suasana tidak
pasti yang besar. Ketiga, taktik building image seperti pernyataannya bahwa
sudah kesepakatan agenda SI MPR yang tidak berisi empat hal, diantaranya tidak
akan meminta pertanggungjawaban Presiden.
Berkat ancaman proses hukum ini, misalnya, faksi nasionalis di tubuh
PDI-P, yaitu Imam Muhdiat dan kawan-kawan, seolah mendapat darah baru untuk
melawan dominasi faksi “kos-kosan” yang dipimpin Arifin Panigoro. Semantara
di Partai Golkar muncul faksionaliasi antara kubu Iramasuka dan kubu Akbar
Tandjung. Kubu Iramasuka ini juga mendapat angin sejak Akbar “dikuya-kuya”
melalui kasus hukum.
Diakui oleh Kusnanto, faksionalisasi di PDI-P dan Partai Golkar tidak
begitu parah, di PDI-P misalnya muncul kecenderungan terjadinya koalisi antara
faksi kos-kosan dan faksinya Taufik Kiemas. Tapi, bila nanti voting
pertanggungjawaban Presiden di SI MPR dilakukan secara terbuka, peluang Gus
Dur bertahan bisa mencapai 50 persen. “Bila voting terbuka peluang Gus Dur
lebih kecil, sekitar 40:60 persen. Sebab perpecahan di kubu lebih mudah
diredam,” jelas Kusnanto.
Hermawan Sulistiyo, pengamat politik yang mengaku mendukung Gus
Dur dalam beberapa kebijakannya, menyatakan bahwa di atas kertas Gus Dur
memang sudah habis. Itu bisa dilihat dari perimbangan suara di Memorandum I
dan II. Tapi, politik ini hitungan matematis yang tidak bisa berubah. “Dalam
politik itu ada faktor X yang tidak bisa diduga. Permainan dan kepentingan politik
yang menjadi kuncinya,” katanya. (gtp)
Peta Mutakhir Gerakan Mahasiswa
Anti-Gus Dur dan Adili Cendana
Reporter: Suwarjono

detikcom - Jakarta, Reformasi "Part II" sedang didorong mahasiswa.


Ratusan mahasiswa pekan-pekan ini turun kembali Gedung DPR/MPR Senayan.
Mereka menuntut Presiden Gus Dur turun. Gelombang aksi mahasiswa ini didukung oleh
perwakilan mahasiswa Unpad, UGM, ITB dan Unsri Palembang. Maraknya kembali
aksi-kasi mahasiswa mengingatkan pada peristiwa Mei 1998, menjelang Soeharto jatuh.
Sambil meneriakan beragam yel-yel, para mahasiswa membentangkan spanduk,
mengusung poster dan bergantian melakukan orasi. Dan seperti aksi-aksi mahasiswa pada
umumnya, mereka juga menyanyikan lagu-lagu perjuangan, seperti Darah Juang
Reformasi Sampai Mati dan Maju tak Gentar .

Agenda Kelompok Militan


Sejauh ini, demonstrasi mahasiwa berlangsung tertib. Tidak ada dorong-dorongan
antara mahasiswa dan aparat, apalagi sampai adu pentung dan melempar bom molotov.
Meski ada belasan mahasiswa yang menginap, tetapi belum sampai menduduki gedung
DPR/MPR. Beberapa hari ini mereka hanya melakukan orasi di depan pintu pagar
gedung.
Tuntutan mahasiswa dari berbagai kampus tersebut hampir sama. Yakni meminta
pertanggungjawaban presiden dalam kasus Buloggate dan Bruneigate, tegaknya
reformasi, penghapusan KKN baru, penyelesaian kasus Soeharto dan penegakan
supremasi hukum.
Nah yang menarik, demonstrasi mahasiswa kali ini didominasi oleh universitas
negeri, seperti UI, UNPAD, UGM, ITB dan Unsri. Lalu di mana kelompok-kelompok
yang selama ini getol menggalang aksi?
Sebagaimana dicatat media massa, empat tahun belakangan ini, aksi-aksi
mahasiswa, khususnya di Jakarta –yang kemudian berhasil menggulingkan Soeharto dan
mempersulit pemerintahann Habibie- selalu diwarnai oleh kelompok Forum Kota
(Forkot), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se Jabotabek (FKSMJ), Jaringan Kota
(Jarkot) dan Front Aksi Mahasiswa Reformasi untuk Demokrasi (Famred).
Meski sudah terjadi regenerasi para tokoh-tokohnya, kelompok-kelompok
tersebut memang masih eksis. Pengaruhnya masih cukup kuat di kalangan aktivis
mahasiswa. Namun, sehubungan dengan maraknya demo mahasiswa menentang Gus
Dur, mereka justru tak tampil.
Kelompok-kelompok tersebut masih menahan diri –kalau tidak boleh disebut
masih gamang- untuk terlibat dalam aksi-aksi menentang Gus Dur. Mereka tak sepakat
dengan aksi-aksi yang memawan isu menentang Gus Dur, karena dengan demikian
mahasiswa akan terbawa atau terlibat dalam permainan elit politik.

Membangun Mahkamah Rakyat


Forkot, FKSMJ, Jarkot dan Famred agaknya masih konsisten untuk menutaskan
tugas lama, yakni mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Karena itu, pada saat para
mahasiswa beberapa perguruan tinggi negeri mulai menggalang massa untuk bergerak di
gedung DPR/MPR, mereka tetap pada sasarannya: Cendana.
Kini Forkot tengah mengembangkan isu baru: mahkamah rakyat. Isu ini sudah
disosialisakan, sehingga selain berhasil menggandeng kelompok-kelompok mahasiswa
lain, mereka juga berhasil “mempengaruhi” Serikat Buruh Sejahteran Indonesia (SBSI)
dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI).
Sementara itu, meski tak segencar Forkot, FKSMJ juga mulai menggalang massa.
Kelompok yang pernah mempelopori pertemuan Ciganjur ini tengah mengkampanyekan
gerakan "potong satu generasi".
Untuk mengkampanyekan ide ini, FKSMJ pernag melakukan membentangkan
spanduk selama 2 minggu di Semanggi, melakukan longmarch dari Gedung Pemuda ke
HI pada peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2000 dan sosialisasi ke kampus-kampus.
Bagaimana dengan Jarkot? Aris, salah seorang aktivis mahasiswa UKI
menyebutkan bahwa Jarkot muncul sebagai momentum gerakan spodaris saat menyikapi
UU PKB. Elemen jarkot ya terdiri dari Forkot, Famred san FKSMJ. "Sekarang para
aktivis Jarkot kembali ke induk masing-masing," kata Aris.
Menyikapi Gus Dur
Perbedaaan pokok antara para BEM Universitas negeri dengan kelompok-
kelompok lama, seperti Fokrot, FKSMJ dan Famred terletak pada penyikapan mereka
terhadap Presiden Abdurrhaman Wahid.
Setelah hampir dua tahun vakum, belakangan mahasiswa UI berbondong-
bondong ke gedung DPR/MPR menuntut Presiden Gus Dur turun. Demo mahasiswa yang
memanfaatkan momentum kasus Buloggate dan Bruneigate belakangan diikuti oleh
beberepa BEM universitas negeri.
Menurut Ketua BEM UI Taufik, mahasiswa UI bergerak kembali karena
pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid telah melenceng dari agenda reformasi. Enam
agenda reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, amandemen UUD,
pertanggungjawaban orde baru dan sebagainya tidak dijalankan. "Gus Dur
kedenderungan tidak menalanan agenda reformasi," kata Taufik.
Untuk itu momentum Buloggate dan Bruneigate menjadi titik tolak mahasiwsa
bergerak kembali untuk menyelamatkan agenda reformasi. “KKN dan masih bercokolnya
Orde Baru bisa menjadi musuh bersama. Karena itu, kami mulai menggalangan aksi
bersma," kata Taufik.
Rabu (24/1) pekan lalu sepuluh BEM dari berbagai perguruan tinggi mengadakan
pertemuan di Universitas Trisakti. Hadir di antaranya perwkilan dari UI, ITB, ITS
Surabaya, Unibraw Malang, Unas, Politeknik Negeri Jakartta, STAN dan Universitas
Mercu Buana. Mereka mengadakan talk show tentang Bulogagte dan Bruneigate, yang
kemudian diakhiri dengan pernyataan sikap dan aksi bersama.
Dalam pernyataannya, mereka menuntut pelaksanaan 6 visi reformasi, khususnya
soal penegakan supremasi hukum. "Pemerintah dan elite politik harus segara
menyelesaikan Buloggate, Bruneigate, BLBI, kasus Soeharto, Tommy, kejahatan politik
dan ekonomi rezim Orde Baru, Tragedi Trisakti, Semanggi, Aceh dan Tanjung Priok,"
kata Nurdianto dari UI.
Selain aksi di Gedung DPR/MPR di Jakarta, aksi di berbagai daerah tak kalah
menarik. Di Surakarta, Komite Mahasiswa UNS melakukan aksi bersama di depan
kampus sampai memacetkan jalan Solo-Surabaya. Aksi yang dilakukan Kamis (25/1) itu,
Gus Dur mendapat julukan the high cost President. Isu KKN dan penyelamatan reformasi
akhirnya menjadi tema besar aksi.
Di kota kembang Bandung sekitar 500 orang yang tergabung dalanm Forum
Mahasiswa Selamatkan Indonesia (Formasi) yang terdiri dari ITB, Unpad, Unisba turun
di DPRD Bandung. Mereka menuntut DPR mengeluarkan memorandum pertama dan
melakukan SI, jika Gus Dur tidak mau turun.

Dipakai Fuad Bawazir dkk


Munculnya gerakan mahasiswa menuntut Gus Dur turun bersaman dengan kasus
Buloggate dan Bruneigate ini kemudian memunculkan kecurigaan bahwa gerakan
mereka dipakai elit politik yang tengah bertarung. Jelasnya, mereka dipakai oleh elit
politik yang berusaha keras menjatuhkan Gus Dur dari kekuasaan.
Gerakan yang dimotori oleh lembaga formal kemahasiswaan di kampus itu
dituduh tengah menjalankan order Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) dan para aktivis HMI. Dua kelompok itu memang memiliki pengaruh kuat di
lingkungan organisasi formal di banyak kampus, karena banyak kadernya yang
menduduki posisi penting di BEM maupun badan-badan perwakilan mahasiswa.
Kedua kelompok itu juga terikat langsung dengan kelompok yang mendorong
Gus Dur jatuh. KAMMI misalnya mempunyai link dengan sejumlah ormas Islam (non-
NU) yang tokoh-tokohnya telah membikin front menentang Gus Dur. Sementara HMI
jelas di bawah pengaruh Keluarga Alumni HMI (KAHMI), yang dipimpian oleh Fuad
Bawazier. Orang inilah yang disebut-sebut sebagai botoh gerakan menggusur Gus Dur.
Terhadap tuduhan tersebut, Ketua BEM UI menilainya sebagai wajar-wajar saja.
Sebab menurut Taufik, adanya perbedaan cara pandang di antar elelmen-elemen gerakan
mahasiswa, merupakan hal biasa. "Tapi gerakan memberantas KKN, menegakkan
reformasi tidak pandang bulu siapa presidennya. Siapapun yang menjadi Presiden kalau
melenceng akan kita gempur,” kata Taufik. (diks)
Bermacam Cara Melawan Penguasa
Reporter: Blontank Poer

detikcom - Jakarta, Soeharto berkuasa karena memanfaatkan gerakanmahasiswa.


Namun selama 32 tahun, kekuasaannya selalu direcokin oleh mahasiswa. Dengan
beragam cara. Sampai ia jatuh gara-gara gerakan mahasiswa. Itu pun belum cukup,
selama ia dan keluarganya tidak diadili.
Seperti hendak mengulang proses penurunan Soeharto dari singgasana
kepresidenan, kini aksi demonstrasi menentang presiden mulai marak. Ratusan
mahasiswa kerap menyambangi gedung wakil rakyat di Senayan sejak tuduhan
penyimpangan penggunaan dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 milyar dan US$ 2 juta
sumbangan Sultan Brunei.
Bedanya, aksi-aksi demonstrasi mereka tak mampu membawa ribuan massa untuk
menduduki gedung DPR/MPR seperti menjelang kejatuhan Soeharto, Mei 1998 lampau.
Belakangan, mereka malah dituduh telah membawa kepentingan kelompok tertentu,
terutama lawan-lawan politik Gus Dur.
Beberapa aktivis mahasiswa yang dihubungi detikcom lantas mencoba
mendudukkan soal perbedaan garis perjuangan sebagai dinamika gerakan. Kendati
begitu, sebagian lainnya menyesalkan pilihan garis perjuangan aktivis kampus yang
melibatkan diri pada pertentangan politik.

Pokoknya, Lawan Soeharto!


Sesuai hukum alam, pasang surut gerakan mahasiswa sangat ditentukan oleh
kualitas represi penguasa atau alat-alat kekuasaan seperti militer. Berbeda dengan
peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang penuh intrik demi pertarungan
kepentingan, gerakan massa terbesar justru muncul 22 tahun kemudian, saat kantor DPP
PDI diserbu pasukan gelap, 27 Juli 1996.
Peristiwa berdarah pada dini hari itu akhirnya menjadi "faktor pemersatu"
sejumlah organisasi aktivis yang bergerak di bawah tanah demi menghindari represi dan
resiko politik lainnya. Presiden Soeharto, yang memanipulasi institusi militer menjadi
pengawal kekuasaannya, adalah tokoh sentral alias sasaran inti gerakan prodemokrasi.
Rezim yang menempatkan stabilitas keamanan sebagai "agama" negara terus
digerogoti legitimasinya oleh banyak aktivis dengan beragam latar belakang. Sempat
muncul Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang merupakan
kelompok yang paling rapi dengan jaringan luas dalam melakukan aksi penentangan
terhadap rezim Seoharto.
Sebagai elemen gerakan moral untuk mendorong proses demokratisasi, organisasi
ini kerap beraliansi dengan organisasi-organisasi sejenis atau lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang bergerak di sektor advokasi hukum, maupun perburuhan.
Sebelumnya, elemen penting gerakan mahasiswa adalah kelompok pers
mahasiswa. Kelompok ini kerap menuangkan gagasan-gagasan kritis atas arah kebijakan
pemerintahan atau melakukan investigasi-investigasi kasus-kasus publik, seperti kasus
pembangunan Waduk Kedungombo, sejak akhir 1980-an. Pers mahasiswa saat itu, bisa
dibilang menjadi alat propaganda efektif melawan ketidakadilan penguasa.
Simak saja nasib majalah Balairung (UGM Yogyakarta), Arena (IAIN Sunan
Kalijogo Yogyakarta), atau Hayam Wuruk (Fakultas Sastra Undip, Semarang) yang kerap
terancam berhenti terbit akibat tekanan birokrasi kampus yang menilai mahasiswa terlalu
nekad menyajikan informasi-informasi sensitif, yang hampir mustahil bisa lolos begitu
saja dari suntingan redaksi media massa (umum) yang dikontrol ketat oleh kekuasaan.
Di Jakarta, aktivis pers mahasiswa pula yang kemudian diklaim sebagai penyebar
"virus" gerakan prodemokrasi. Kelompok ini memiliki agenda utama menumbangkan
Soeharto dan menumpas habis sisa-sisa kekuatan Orde Baru di pemerintahan dan
lembaga-lembaga publik lainnya, termauk parlemen.

Dalam dan Luar Kampus


Pada akhir 1993, embrio gerakan mahasiswa di Jakarta lahir dengan berbasis pada
aktivis senat mahasiswa sejumlah perguruan tinggi, terutama perguruan swasta. Di
kemudian hari, lahirlah kesatuan aksi bernama Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-
Jakarta (FKSMJ) yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan Forum Komunikasi Pers
Mahasiswa Jakarta (FKPMJ).
Namun, FKSMJ tidak begitu saja lahir tanpa sejarah dan keterkaitan dengan
semangat serupa yang dialami aktivis-aktivis mahasiswa di luar ibukota. Pada tahun itu
pula, sempat terbentuk Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Indonesia (FKSMI) dalam
pertemuan aktivis mahasiswa dari berbagai daerah di Yogyakarta.
FKSMI yang berbasis utama pada perguruan tinggi swasta itu seolah melengkapi
perjuangan mahasiswa dan pemuda yang ada sebelumnya dalam melawan Soeharto
bersama Golkar dan militer. SMID dan kemudian Partai Rakyat Demokratik (PRD)
adalah dua organisasi mahasiswa ekstrakampus yang memiliki basis massa militan, di
mana sejumlah aktivisnya sering keluar masuk kantor polisi atau Kodim lantaran tegas-
tegas menentang Soeharto, Golkar, dan militer.
Beberapa prestasi besar kaum pergerakan di Jakarta adalah aksi besar-besaran
berupa penolakan atas pengesahan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang
dicurigai membawa misi TNI untuk kembali berpolitik dan menumpas kaum
prodemokrasi. Pada aksi penolakan itu (kemudian dikenal peristiwa Semanggi II),
sejumlah orang jadi korban tewas akibat amuk militer yang menembak secara membabi
buta.
Di luar itu, mereka pernah memaksa empat tokoh politik bertemu di kediaman
Abdurrahman Wahid di Jl. Warung Silah, Ciganjur, Jakarta. Amien Rais, Megawati,
Abdurrahman Wahid, dan Sultan Hamengkubuwono X berhasil dipertemukan hingga
kemudian acara itu dikenal sebagai Kelompok Ciganjur.
Menurut seorang penuturan seorang aktivis FKSMJ, keberadaan keempat tokoh
itu hanya diperlukan sebagai "alat" untuk melawan Habibie yang saat itu naik jadi
presiden menggantikan Soeharto. Bagi mahasiswa, selain proses pergantian presiden
tidak legitimated, Habibie setali tiga uang dengan Soeharto, sang guru.

Cair Tapi Militan


Kalau kerja sama lembaga intra kampus menghasilakan FKSMJ, maka di luar
lembaga formal, di Jakarta lahirlah kelompok-kelompok aksi lintas kampus, yakni Forum
Kota (Forkot). Inilah kelompok yang nyaris melegenda, karena konsistensinya dalam
menghadapi Soeharto dan kroni-kroninya.
Forkot adalah kelompok cair antar kampus di Jakarta. Meski mereka cair, namu
militansi mereka sungguh luar biasa. Inilah kelompok yang secara serius mempelajari
bagaimana teknik dan strategi berdemontrasi, dalam situasi damai maupun keras. Bahkan
mereka memiliki kegiatan kursus demontrasi. Kelompok ini pula yang mengadopsi
strategi dan teknik demontrasi mahasiswa Korea dalam menentang rezim.
Oleh karena itu, perlawanan mereka terhadap aparat kemanan yang menjaganya
tak hanya dilakukan dengan dorong-dorongan, tetapi juga adu pentungan dan lemparan
bom molotof. Begitu Soeharto jatuh, mereka terus menggoyang Habibie yang dinilainya
sebagai muridnya Seoharto.
Bahkan pada zaman Gus Dur, meski intensitas mengadili Soeharto dan keluarga
Cendana turun drastis, namun isu itu tetap jadi pekerjaan utama. Pokoknya, selama
Soeharto dan kroni-kroninya belum diadili, mereka akan terus bergerak. Bila pengadilan
resmi tak mampu menyelesaikannya, tak ada pilihan lain kecuali mendirikan mahkamah
rakyat.
Belakangan, karena sifatnya yang cair, maka Forkot kemudian mengalami
perkembangan atau perpecahan, sehingga memunculkan Forbes, Famred dan Jarkot.
Meskipun di antara mereka sering terjadi perbedaan-perbedaan, nakun dalam satu hal
mereka sepakat: adili Soeharto dan kroni-kroninya. Bila perlu lewat pengadilan rakyat.
(diks
KKN Musuh Besar Bersama
Reporter: Suwarjono, Blontank Poer

detikcom - Jakarta, Pimpinan mahasiswa yang mendemo Gus Dur tidak begitu
mempedulikan adanya tuduhan, bahwa mereka digunakan oleh kekuatan politik. Bagi
mereka Gus Dur telah gagal menjalankan agenda reformasi. Itulah sebabnya mereka tetap
menjalin alinasi dengan kelompok manapun yang konsern pada masalah ini.

Taufik Riyadi, Ketua Badan Eksekuti Mahasiswa UI


Mahasiswa UI demonstrasi ke Gedung DPR/MPR, karena pemerintahan Gus Dur
telah menyelewengkan agenda reformasi. Parameter yang digunakan untuk mengukur
kegagalan pemerintah Gus Dur adalah tidak menjalankan 6 agenda reformasi, dari
supremasi hukum, amandemen UUD, pertanggungjawaban Orde Baru, sampai budaya
demokrasi. Mahasiswa mempunyai tanggungjawab untuk menyelamatkan agenda
reformasi tersebut. Karena itu kami demontrasi lagi.
Kasus Buloggate dan Bruneigate sebenarnya hanya menjadi momentum. Kasus
tersebut menunjukkan masih adanya korupsi, kolusi dan nepotiesme (KKN). Tidak
adanya supremasi hukum membuat kasus Soeharto dan kasus-kasus pejabat Orde Baru
sampai sekarang masih bebas.
Untuk itu BEM UI menjalin aliansi dengan berbagai gerakan mahasiswa lainnya.
Kita tidak mempermasalahkan gerakan mahasiswa berasal dari mana dan strateginya
kayak apa. Silakan menggunakan mahkamah rakyat, pengadilan Soeharto dan
sebagainya. Yang pasti persoalan KKN harus menjadi musuh bersama dan musuh paling
besar yang harus diperangi bersama.
Adanya berbagai kelompok gerakan mahasiswa, ini sebetulnya hanya soal cara
pandang. Jika ada tuduhan terhadap gerakan mahasiswa dipakai oleh kelompok tertentu,
tuduhan tersebut wajar saja. Justru yang paling penting adalah landasan argumentasi. Kita
punya parameter sebagai landasan reaksional.
BEM dituduh kepanjangan kepentingaan orang-orang KAMMI dan HMI, ya itu
cara mudah untuk memetakan gerakan kemahasiswaan. Tetapi saya kira mestinya kita
melihat substansi yang kita perjuangkan. Mengapa orangnya yang dipermasahkan, bukan
substansinya?
BEM UI memikirkan platform ke depan agar kita tidak mengulangi kesalahan
lagi. Bagaimana caranya agar siapapun yang akan memerintah nanti kita tidak
memberikan cek kosong. Mungkin perlu ada semacam LOI - IMF antara mahasiswa
dengan pemerintah yang akan datang.

Nurhidayanto, Ketua Umum Keluarga Mahasiswa UGM


KM UGM menilai bahwa mahasiswa perlu turun ke jalan setelah melihat
reformasi yang diperjuangkan oleh seluruh elemen masyarakat dan secara tegas oleh
gerakan mahasiswa telah mengalami deformasi, peruntuhan. Pelecehan terhadap etika
politik dan sistem politik nasional dikerjakan oleh para "pemimpin" yang tidak lagi
memperdulikan lagi kehendak rakyat.
Saat ini yang terjadi adalah hilangnya figure pemimpin yang semestinya berfungsi
mengajarkan bagaimana sebuah bangsa menjalankan dirinya dalam bernegara. Elite
politik Indonesia hanya bisa mengajarkan bagaimana berperang daripada mengajarkan
bagaimana sistem harus ditegakkan.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari sistem yang harus dijalankan
ternyata masih dikangkangi kekuasaan. Pelecehan terhadpa lembaga legislatif sebagai
kekuatan yang mewakili rakyat merupakan pengkhianatan terhadap sistem perwakilan.
KM UGM mencela setiap upaya Presiden Abdurahman Wahid yang selalu
melakukan upaya pemimdahan konflik elit politik kepada massa grass root dengan cara
mengkaburkan substansi penyelewengan yang dilakukannya.

Martin Manurung, mantan aktivis KBUI, kini giat dalam lintas gerakan
Ada dua kelompok besar gerakan mahasiswa. Meski tidak berlawanan atau
berseberangan, mereka sama-sama menghadapi permasalahan ketidakmampuan bangsa
dalam membersihkan perilaku sistem lembaga hukum. Perspektif bisa berbeda, tetapi
harus sama-sama memikirkan langkah politik dalam bertindak agar tidak memberi
keuntungan politik kelompok tertentu.
Mengkritisi pemerintah adalah keharusan, tetapi menekankan hanya pada isu
Buloggate dan Bruneigate saja, berarti melupakan kondisi obyektif parlemen yang
dikuasai elemen masa lalu. Itu yang harus jadi kekhawatiran bersama agar tidak
memberikan peluang bagi kekuatan lama kembali berkuasa.
Menurut saya, BEM-BEM yang ikut-ikutan masuk pada wilayah konflik elit
politik itu bodoh. Mereka terjebak, apalagi memakai elemen resmi kemahasiswaan.
Tanpa berburuk sangka, mereka jelas memiliki agenda terencana secara sadar. Kalau
agenda yang mereka bawakan berafiliasi ke kelompok mereka, saya pikir itu justru
memencengkan gerakan mahasiswa sendiri

Raja ML Tobing, mantan Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti 2000/2001


Sebagai bagian dari pergerakan, kami tentu tidak ingin terkooptasi atau jadi pion
para elit politik tikungan, di mana mahasiswa yang berjuang, mereka yang merasakan
enaknya, tanpa memiliki keberpihakan kepada masyarakat. Beberapa prinsipnya, kita
tetap menghargai pemilu. Trisakti juga tidak ingin tiap tahun ganti presiden. Kita nggak
maju-maju kalau begitu.
Kita juga tidak ingin terlena detik per detik. Tidak boleh juga melupakan
perjuangan yang dulu-dulu, menuntut (pertanggungjawaban-Red) kroni-kroni Orde Baru.
Makanya, kami setuju sekali dengan ancaman Forkot, Soeharto harus digantung. Hal
seperti itu memang merupakan rentetan permainan berantai yang harus kita coba.

I Helsusyandra Sam, Sekjen FKSMJ


Kami sedang melakukan konsolidasi untuk merealisasikan program "potong satu
generasi". Orang-orang tua supaya mundur, dan elemen-elemen Orde Baru harus dibabat
habis. Tapi aneh, gagasan "potong satu generasi" yang kami sosialisasikan dengan
spanduk-spanduk tak ada yang melihat. Sebaliknya, istilah itu lantas dipakai sebagai
salah satu agenda orang-orang Orde Baru dalam demo-demo mereka. Mereka mengerti
makna program itu, sehingga kemudian mereka adopsi dan dipublikasikan lagi setelah
disesuaikan dengan kepentingannya.
Beberapa kelompok gerakan mahasiswa memang menunjukkan beberapa gejala
aneh. Rajinnya orang-orang Orde Baru mendekati aktivis-aktivis merupakan langkah
sistematis untuk memecah belah dan menghancurkan kesatuan-kesatuan aksi. Mereka
mencoba menjinakkan dengan iming-iming hedonisme, yang pada tahap selanjutnya akan
dengan sendirinya muncul kecemburuan-kecemburuan di antara mereka sendiri.
Apalagi, yang dinamakan ideologi gerakan itu sebenarnya tidak ada dan tidak
akan pernah ada. Semua berlangsung lewat sebuah proses dialektis, dinamis dan terus
mencari bentuk. Kecenderungan penguasaan lembaga-lembaga formal kemahasiswaan
oleh HMI atau KAMMI memang strategis. Tapi, apa yang mereka lakukan hanyalah
sebuah romantisme dengan senior-senior mereka yang sukses kemudian dengan sebutan
Angkatan '66.(diks)
(Catatan khusus: Karena terdapat kesalahan teknis pada redaksi, tiga nama
tokoh mahasiswa yang disebut terakhir tidak tertayang lengkap. Oleh karena itu, kami
mohon maaf karena baru "menyusulkan" hasil wawancara kami kemarin pada hari ini,
Jumat (26/1/2001) pukul 16.36 WIB)

Anda mungkin juga menyukai