Anda di halaman 1dari 3

Kuda Hitam Diantara Dua Gajah

Ocit Abdurrosyid Siddiq

Awal pekan ini, wacana, narasi, bahkan deklarasi pasangan Prabowo-Gibran semakin masif. Baik
pengamat politik, apalagi para politisi partai politik pendukung, sudah ramai membincangnya. Bahkan
beberapa pengurus partai politik di daerah sudah melakukan deklarasi.

Namun untuk saat ini, aturan masih berlaku. Bahwa dalam UU Pemilu disebutkan, calon Presiden dan
Wakil Presiden minimal berusia 40 tahun. Karenanya, Gibran yang usianya masih dibawah 40 tahun,
tidak bisa untuk dicalonkan, baik untuk Presiden maupun Wakil Presiden.

Tetapi, ada upaya hukum yang sarat kepentingan politik yang saat ini sedang berproses di Mahkamah
Konstitusi. Ada sekelompok masyarakat yang mengajukan permohonan untuk mengubah ketentuan
dalam UU yang menyebutkan batas minimal usia itu.

Mereka mengajukan agar ketentuan usia diubah menjadi minimal 35 tahun. Lalu, apakah ketika MK
mengabulkan permohonan itu lantas niat Gibran mendampingi Prabowo menjadi lempang? Belum
tentu! Lha, bukankah gugatan ini maksudnya untuk itu? Tidak juga.

Memang sulit dipungkiri bahwa gugatan untuk mengubah batas minimal usia itu dalam rangka
membuka jalan bagi Gibran untuk bisa berkontestasi dalam Pemilu tahun depan ini. Namun bagi saya,
ini merupakan cara Jokowi yang sedang memainkan kepiawaian politiknya.

Saya punya harapan, narasi dan wacana yang melambungkan nama Gibran yang semula hanya seorang
walikota di salah satu kota di Jawa Tengah, yang mendadak menjadi tokoh nasional belakangan ini,
adalah hanya dalam rangka namanya diendorse oleh Jokowi.

Gibran yang berusia masih muda, jalan hidupnya masih panjang. Kariernya bisa maju secara bertahap.
Bisa saja kali ini menuntaskan masa jabatan sebagai walikota Solo. Periode kedua bisa maju kembali.
Dan tidak menutup kemungkinan mengikuti jejak bapaknya.
Bapaknya yang mantan Walikota Solo, berhasil naik menjadi Gubernur DKI. Siapa mengira waktu itu dia
yang orang daerah bisa mengalahkan Fauzi Bowo, sang petahana yang didukung oleh banyak partai
politik.

Jadi, bagi saya, apakah MK akan mengabulkan permohonan apalagi tidak, keriuhan tentang Gibran saat
ini semoga hanya sebatas endorse saja. Malah Gibran akan semakin menuai simpati ketika MK
mengabulkan permohonan.

Bayangkan, ketika kesempatan itu ada -bahwa dia bisa dan punya peluang untuk mencalonkan diri
menjadi Wakil Presiden- namun dia tetap lebih memilih untuk menuntaskan tugasnya sebagai walikota.
Ini akan menjadi investasi jangka panjang bagi dirinya.

Dalam sebuah pidato kenegaraan, Jokowi pernah menyampaikan bahwa kita mesti berpolitik dengan
mengedepankan etika. Maka, mengerem hasrat untuk menjadi pemimpin tingkat nasional, dan merasa
masih banyak memiliki waktu untuk itu, merupakan bagian dari etika.

Banyak pengamat menyampaikan tanggapan, bahwa langkah Jokowi yang adalah kader PDIP, yang
partai politiknya sendiri mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden, lalu merestui anaknya,
yang notabene kader PDIP juga, berpasangan dengan Prabowo, merupakan langkah dua kaki.

Istilah dua kaki ini maksudnya adalah satu kaki dipasang untuk mendukung Ganjar yang adalah kader
satu partai dengannya, dan satu kaki lagi dipasang untuk mendukung Prabowo dengan cara memasang
anaknya sebagai pendamping calon wakil presidennya.

Lalu, apa maksud Jokowi "ngajegang" pada dua posisi itu? Alasan yang paling mengemuka adalah
harapan adanya keberlanjutan program-program Jokowi yang belum tuntas. Seperti pembangunan infra
struktur, khususnya proyek Ibukota Nusantara.

Sebagian pengamat mencurigai, langkah dua kaki itu dipasang sebagai cara Jokowi untuk melindungi
dirinya pasca turun dari kursi kepresidenan. Bila yang menjadi presiden berikutnya adalah bukan
orangnya, maka bisa jadi dia malah akan berurusan dengan hukum.
Lha, bukankah dengan memasang dua kaki itu malah bisa memecah suara dan dukungan? Alih-alih
berharap dengan mendukung kedua poros itu, dan salah satunya terpilih lalu bisa melanjutkan program
dan melindunginya dari perkara hukum, malah menjadi bumerang.

Typikal pendukung Prabowo itu mirip dan hampir sama dengan pendukung Ganjar. Keduanya memiliki
ceruk dan basis yang serupa. Bukankah dengan begitu, malah akan memecah suara, sehingga bisa tiji
tibeh, mati siji mati kabeh?

Itulah mengapa para pendukung Anies selama ini tidak terlalu ambil pusing dengan keriuhan bongkar
pasang Capres dan Cawapres Prabowo dan Ganjar. Termasuk pada perkara apakah Gibran dipasangkan
dengan Prabowo atau Ganjar.

Malah bisa jadi mereka tersenyum dan membiarkan kedua kubu itu saling adu pengaruh. Karena situasi
seperti ini bagi Anies dan pendukungnya yang sudah jauh-jauh hari memiliki kepastian berpasangan
dengan Muhaemin, bisa menguntungkan.

Sementara Prabowo dan Ganjar masih disibukkan dengan pencarian dan pemilihan orang yang akan
mendampinginya, Anies bersama Muhaemin sudah keliling Nusantara menyapa ribuan pendukungnya di
berbagai daerah.

Ketika saat ini Prabowo dan Ganjar masih berkutat pada "pepesan kosong", pada saat yang sama Anies
sudah jauh melangkah. Dia sudah "babacakan" bersama rakyat dan pendukungnya. Ketika dua gajah
sedang bertarung, dalam situasi seperti ini bisa jadi sang kuda hitam yang keluar sebagai pemenang.
Amin.

Wallahualam

***

Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society

Anda mungkin juga menyukai