Anda di halaman 1dari 4

Jokowi dan Politik Cawapres

Presiden Joko Widodo mendapat tiga keuntungan dengan menjadikan Gibran Rakabuming Raka,
sebagai calon wakil presiden.

Oleh Ubaidillah Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya

UBAIDILLAH

Kompas, 7 November 2023 05:31 WIB

HERYUNANTO

Ilustrasi

Presiden Joko Widodo mendapat tiga keuntungan dengan menjadikan Gibran Rakabuming Raka,
anak sulungnya, sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden dari Koalisi Indonesia
Maju, Prabowo Subianto.

Keuntungan pertama adalah rusaknya basis suara Prabowo dari kalangan pemilih fanatik ”yang
penting bukan Jokowi”. Dua kali pertarungan Jokowi dan Prabowo di pilpres berlangsung keras hingga
membentuk nuansa polarisasi di masyarakat Indonesia.

Nuansa itu tak bisa dikatakan sudah hilang atau memudar sama sekali dengan terjadinya rekonsiliasi
kedua rival itu tatkala Prabowo bersedia menjadi Menteri Pertahanan di periode kedua
pemerintahan Jokowi. Kelompok pemilih akan gamang dengan kehadiran Gibran sebagai representasi
politik Jokowi.

Pada dua kali pilpres, Prabowo konsisten memersonifikasi diri sebagai nasionalis. Meski demikian,
pemilihnya bukan hanya dari kalangan masyarakat yang beraspirasi nasional. Prabowo menampilkan
diri sebagai seorang nasional yang menghormati ulama. Percampuran nasionalisme dan agama pun
terjadi hingga meruncing dalam penciptaan frasa ”Partai Allah” dan ”Partai Setan” di masa Pilres
2019.
Di antara dua pasangan tersisa, percampuran aspirasi ini hanya dapat ditemui pada pasangan Ganjar
Pranowo dan Mahfud MD. Oleh karena itu, pasangan ini berpeluang besar dapat limpahan kalangan
pemilih ini. Poin inilah yang menjadi keuntungan bagi Jokowi.

Sebagaimana diketahui, ketika partai politik belum mengumumkan bakal capres yang diusungnya,
Jokowi mempromosikan Ganjar Pranowo dalam penyebutan simbolis calon berambut putih. Ada
unsur Jokowi dalam politik pencapresan Ganjar.

Kalaupun akhirnya pasangan Prabowo-Gibran kalah dalam kontestasi, Gibran tetap sudah naik tingkat
dalam mendaki karier politik.

Naik tingkat

Keuntungan ketiga adalah memberi Gibran tempat dalam sirkulasi politik elite nasional, tidak hanya
berada di tingkat lokal. Kalaupun akhirnya pasangan Prabowo-Gibran kalah dalam kontestasi, Gibran
tetap sudah naik tingkat dalam mendaki karier politik.

Dia bisa mengonversi modal politik yang diperoleh dari kontestasi nasional ini untuk karier politik
pemilihan kepala daerah gubernur ataupun menteri.

Terlebih jika pasangan ini memenangi pilpres nanti. Dengan mempertimbangkan usia Prabowo yang
tak lagi muda, Gibran berpotensi mendapat banyak porsi tugas mewakili di acara politik tingkat
nasional maupun internasional. Ini akan meningkatkan nilai tawarnya di bursa elite nasional di
kontestasi selanjutnya.

Keuntungan ini sinambung dengan pencawapresan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di kubu Anies
Baswedan yang disebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada campur tangan menteri dan ”Pak
Lurah”.

Pencawapresan Cak Imin sudah dapat diprediksi akan memunculkan polemik di tubuh Nahdlatul
Ulama (NU). Pertama, karena Anies kurang diterima di kalangan NU setelah pada Pemilihan
Gubernur DKI 2017 ia dianggap lebih lekat dengan kelompok konservatif.

Kedua, adanya kontroversi perebutan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) yang belum memudar hingga kini.

Pencawapresan Cak Imin dengan sendirinya membelah suara NU dan Jawa Timur ditambah dengan
pencawapresan Mahfud MD. Kehadiran Mahfud MD memperbesar kemungkinan suara kelompok
yang tak menerima Anies dan Cak Imin akan teralihkan kepada Ganjar Pranowo meski kelompok
suara ini pun tak sepenuhnya menerima Mahfud MD.
Ilustrasi

Mahfud MD yang berasal dari Jawa Timur adalah orang NU meski bukan dari kalangan kiai atau Gus.
Pada 2018, tokoh NU Said Aqil Siroj bahkan menyebut Mahfud MD bukan kader NU. Meski demikian,
paling tidak Mahfud MD pernah menjadi orang kepercayaan Gus Dur saat Gus Dur menjadi presiden.

Narasi Gusdurian masih menjadi bagian penting untuk bisa menarik legitimasi ”menjadi NU tulen”.
Sebagaimana juga Yahya Cholil Staquf yang menyebut visinya menjadi Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah untuk menghidupkan Gus Dur.

Kultivikasi penerusan warisan pemikiran Gus Dur—terutama dalam hal toleransi beragama—masih
memiliki daya pikat bagi pemilih.

Jokowi pada dua kali kontestasi pilpres memenangi daerah mayoritas non-Muslim karena didukung
oleh kalangan Islam moderat yang menawarkan solusi toleransi agama dan janji menangani
ekstremisme agama.

Politik tiga kaki

Pada Pilpres 2019, SBY mempraktikkan politik dua kaki. Partai Demokrat secara resmi mengusung
pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Namun, SBY juga membiarkan elite Partai Demokrat mendukung
pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief, kala itu menyebut politik
dua kaki ini atas perintah SBY dan sudah dapat restu dari Prabowo.

Seolah belajar dari pendahulunya itu, Jokowi kini terkesan mempraktikkan politik tiga kaki. Pada Juni
lalu, Jokowi menyebut dirinya cawe-cawe atau ikut andil dalam proses politik Pilpres 2024.

Terlepas dari dipakai atau tidak data intelijen tersebut oleh Jokowi, kontestasi politik pasangan
capres-cawapres di pilpres kali ini memiliki jaringan dengan Jokowi.

Bahkan, pada September, Jokowi membuat pernyataan yang cukup kontroversial bahwa dirinya
memegang data intelijen soal arah dukungan partai politik. Pernyataan ini dikritisi banyak pengamat
yang khawatir data intelijen tersebut rentan disalahgunakan untuk mengontrol proses politik yang
berlangsung.
Terlepas dari dipakai atau tidak data intelijen tersebut oleh Jokowi, kontestasi politik pasangan
capres-cawapres di pilpres kali ini memiliki jaringan dengan Jokowi.

Prabowo mendekatkan personanya sebagai penerus Jokowi bersama anak Jokowi sendiri. Ganjar
dipromosikan oleh Jokowi, dan Jokowi pun masih menjadi kader PDI Perjuangan meski anak
pertamanya menjadi cawapres dari capres Gerindra dan anak keduanya menjadi Ketua Umum Partai
Solidaritas Indonesia.

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/26/jokowi-dan-politik-cawapres?
open_from=Section_Opini

Anda mungkin juga menyukai