Suburnya Politik Dinasti Dan Leburnya Demokrasi
Suburnya Politik Dinasti Dan Leburnya Demokrasi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat calon presiden - calon wakil
presiden berusia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah terus menjadi sorotan
publik. Banyak pihak yang kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji
materi UU Pilkada yang membolehkan praktik politik dinasti. Bahkan, MK dianggap
melanggengkan praktik politik dinasti yang membuka celah korupsi. Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Nusantara ikut mengomentari putusan Mahkamah konstitusi (MK) soal
capres-cawapres yang belum berusia 40 tahun bisa maju asal kepala daerah berpengalaman.
BEM Nusantara mengingatkan Indonesia menganut sistem demokrasi, sehingga masyarakat
tak perlu menelan mentah-mentah isu dinasti politik berpengaruh pada hasil Pemilihan
Presiden 2024.
Pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dari Prabowo Subianto menuai
banyak komentar di semua kalangan tentang mengapa harus putra pertama dari Jokowi
tersebut. Hal ini dianggap sebagai perbaikan serta kelanjutan leadership antara Jokowi dan
Prabowo. Prabowo telah melawan dirinya sendiri ketika menerima ajakan rekonsiliasi dan
masuk kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua. Padahal Prabowo dua kali
kalah Pilpres di 2014 dan 2019 melawan Jokowi. Rekonsiliasi harus tetap dilanjutkan, karena
krisis besar saat ini belum selesai dan sedang menuju puncak-puncaknya. Sehingga dengan
mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo tersebut, upaya rekonsiliasi
dengan Jokowi dapat tetap berlanjut, sehingga sebenarnya tidak ada kaitannya dengan politik
dinasti. Rekonsiliasi itu alasan pertama, alasan kedua adalah mendapatkan tambahan
kekuatan elektoral di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan alasan ketiga adalah perpaduan
antara generasi tua dan muda.
Prabowo dianggap membela tentang politik dinasti karna pengusungan Cawapresnya
yaitu Gibran sebagai walikota Solo. Adanya isu politik dinasti ini membuat beberapa demo
termasuk kalangan mahasiswa. Padahal jika ditinjau secara garis besar, Gibran baru menjadi
cawapres saja yang pada akhirnya pilihan akan ditentukan oleh kita yaitu masyarakat
Indonesia sendiri. Sebenarnya, jika kita sebagai masyarakat menghalangi bahkan memboikot
dengan membenarkan politik dinasti yang dilakukan oleh Prabowo-Gibran, juga berarti
melakukan diskriminasi. Yang kenyataannya, ini bukanlah soal siapa orangnya tetapi apa
tujuan, visi misi, cara kerja, pengimplementasian dan tanggungjawab terhadap tugas yang
diamanatkan. Jika isu politik dinasti karna pasangan Prabowo-Giban baru memanas,
bagaimana dengan adanya partai politik yang juga terdapat politik dinasti. Politik dinasti
tidak akan merubah makna demokrasi, jika hal tersebut dijadikan tujuan sebagai dinasti
patriot untuk bangsa Indonesia, dan dinasti merah putih. Maka, pada akhirnya ini hanyalah
isu yang terjadi menjelang Pemilu.
Terkait politik dinasti juga menyangkut pada nama lembaga negara yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK) atas keputusan dalam batas usia yang dinilai kontroversial. Persoalan
putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres tidak hanya berdampak pada pemilu tahun
depan. Nantinya, akan ada banyak pihak yang beranggapan bahwa konsitusi dapat dikuasai
oleh politik. MK menetapkan usia minimal capres-cawapres tetap 40 tahun. Namun,
ketentuan itu ditambahkan dengan catatan warga yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi
capres/cawapres jika berpengalaman menduduki jabatan publik karena terpilih lewat pemilu.
Alhasil,Gibran dapat melenggang masuk bursa cawapres di usia 36 tahun, mengingat putra
sulung Presiden Joko Widodo itu sudah mengantongi pengalaman menjadi wali kota Solo
yang terpilih melalui pemilu. Rekam jejak Gibran sebagai walikota Solo banyak tanggapan
positif dari masyarakatnya yang disebabkan meningkatnya perubahan, ekonomi dan
pembangunan yang terjadi di wilayah tersebut. Gibran juga dinilai sebagai orang yang rendah
hati, tegas, selalu tanggap dan bertanggung jawab. Hal ini menjadi penyebab banyaknya
pendukung Gibran bukan karena ia adalah anak dari Jokowi, tetapi sebagai generasi muda
yang membawa perubahan. Jikalau tidak mulai sekarang, kapan kita akan memberikan
kesempatan pada generasi muda sebagai penerus bangsa ini.
Atmosfer pemilu yang sangat sensitif perlu dihadapi dengan situasi yang kondusif.
Penyelesaian isu politik dinasti akan berlabuh pada pemilihan rakyat dengan didasarkan hak
nya sebagai pemilih sesuai dengan visi misi yang telah diusungkan setiap pasangan calon
capres-cawapres. Pasangan capres-cawapres tentunya adalah orang terbaik yang diusung
setiap partai pendukungnya. Mereka memiliki kekurangan dan kelebihan yang melekat pada
dirinya masing-masing. Seharusnya, isu politik yang muncul pada saat perjalanan menuju
pemilu sepeti politik dinasti tidak seharusnya menjadi suatu bombastis yang meresahkan.
Yang pada akhirnya setelah pemilu selesai hal tersebut juga akan selesai, hal ini dapat kita
tinjau setiap tahunnya. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus meningkatkan kualitas SDM
kita dengan pengontrolan emosi, pelatihan pemikiran kritis dan teguh pendirian sesuai dengan
dasar negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dengan begitu, kita tidak mudah terbawa
arus yang menyesatkan hanya untuk kepentingan perseorangan bahkan golongan.