Anda di halaman 1dari 3

Dinasti Politik Jokowi

Kompromi Dinasti Politik Jokowi

Koran Tempo, Selasa, 11 Juli 2023

Jokowi mulai membentuk dinasti politik sendiri. Bagaimana mencegah dampak negatif dinasti
politik?

Kompromi Dinasti Politik. tempo : 1689031086100_819675

Lihat Ringkasan Berita Ini

Yoes C. Kenawas
Institute for Advanced Research Unika Atma Jaya, Jakarta

Gejala dinasti politik telah lama terjadi di Indonesia. Yang mutakhir adalah berkembangnya dinasti


Jokowi. Hal ini ditandai dengan rencana pencalonan Kaesang Pangarep sebagai Wali Kota Depok
(majalah  Tempo, 3-9 Juli 2023). Putra bungsu Presiden Joko Widodo tersebut akan mengikuti jejak
sang ayah; kakaknya, Gibran Rakabuming Raka; dan kakak iparnya, Bobby Nasution, yang lebih dulu
berkompetisi dalam pemilihan umum kepala daerah serta berhasil menduduki tampuk
kepemimpinan di Surakarta, Medan, dan DKI Jakarta. Bagaimana memitigasi dampak negatif politik
dinasti?

Penyebab Merebaknya

Merebaknya politik dinasti disebabkan oleh tiga faktor, yakni institusional, perilaku pemilih, dan
ketidakpastian yang dihadapi politikus ketika masa jabatannya berakhir. Secara institusional,
konstitusi Indonesia tidak melarang kerabat politikus mencalonkan diri. Mahkamah Konstitusi (MK)
bahkan membatalkan klausul anti-dinasti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Rezim pemilihan umum yang tersentralisasi pada figur turut berkontribusi terhadap makin
merebaknya praktik dinasti politik. Partai cenderung mencalonkan politikus yang memiliki
popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Lebih baik lagi apabila si kandidat dapat membiayai
kampanyenya dan berpotensi mengerek perolehan suara partai dalam pemilu legislatif.

Kerabat politikus cenderung diuntungkan dalam situasi seperti ini. Karena kedekatan dengan pejabat
inkumben, kerabat politikus cenderung memiliki popularitas yang lebih tinggi dibanding politikus
non-dinasti. Dia juga punya kemampuan untuk membiayai kampanye atau mengakses sumber-
sumber pembiayaan kampanye. Calon juga dinilai dapat mendongkrak perolehan suara partai dalam
pemilu legislatif. Maka, tak mengherankan partai politik tidak malu-malu mencalonkan kerabat
politikus dalam perhelatan pilkada dan pemilu legislatif.

Tertutupnya proses pengambilan keputusan dalam partai politik juga berperan memuluskan kerabat
politikus berkompetisi dalam pemilu dan pilkada. Absennya syarat yang mewajibkan kandidat
menjadi anggota partai selama sekian tahun lebih dulu mengakibatkan pasokan calon pemimpin
makin disesaki oleh calon-calon karbitan, yang terutama mengandalkan koneksi kekerabatan tanpa
harus bersusah payah melewati tahapan kaderisasi, promosi, dan seleksi di partai.

Dari sisi pemilih, survei yang saya lakukan menjelang pilkada serentak pada 2020 menunjukkan
mayoritas pemilih tidak otomatis menolak kerabat inkumben yang mencalonkan diri. Dari skala 1
(semakin tidak mungkin memilih) hingga 10 (lebih mungkin memilih), 38,8 persen responden berada
pada zona 5 dan 6. Artinya, mereka tidak serta-merta alergi terhadap kandidat yang merupakan
kerabat inkumben. Responden cenderung melihat performa si inkumben selama ia menjabat dan
reputasi keluarga sebelum mereka memutuskan mendukung atau menolak sang kandidat.

Kondisi institusional dan perilaku pemilih yang demikian membuka ruang bagi politikus yang
menghadapi ketidakpastian ketika masa jabatan mereka habis. Ketidakpastian tersebut beragam
bentuknya, dari hilangnya keistimewaan dan pendapatan keluarga, potensi tuntutan hukum, hingga
legasi kebijakan yang terancam tak dilanjutkan oleh penerusnya. Membentuk dinasti politik adalah
salah satu langkah rasional yang dapat ditempuh politikus untuk memitigasi risiko ketidakpastian
tersebut. Kerabat diasumsikan lebih dapat dipercaya dibanding, misalnya, kolega satu partai karena
hubungan kekerabatan dapat meminimalkan potensi terjadinya "pengkhianatan".

Mitigasi Dampak Negatif

Ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk memitigasi potensi dampak negatif yang dihasilkan
praktik politik dinasti. Pertama, dalam jangka pendek, kritik terhadap pencalonan kerabat pejabat
harus terus dilontarkan, meskipun tidak ada larangan formal bagi mereka untuk berkompetisi dalam
pemilu. Bagaimanapun, pencalonan mereka yang tanpa melalui proses seleksi dan promosi yang
lazim dilalui orang lain tetap menyalahi etika politik serta harapan atas terwujudnya prinsip
meritokrasi dalam sistem demokrasi. Masyarakat dan media harus memberikan porsi ujian yang lebih
kritis terhadap mereka. Anggaplah ini sebagai kompensasi atas keistimewaan yang telah mereka
peroleh dari pencalonan melalui jalan pintas tersebut.

Kedua, dalam jangka menengah, harus ada perubahan institusional dalam hal syarat dan proses
pencalonan, baik melalui jalur partai politik maupun independen. Aturan pencalonan melalui partai
politik harus memasukkan klausul durasi minimal keanggotaan aktif sebagai prasyarat seseorang
dapat dicalonkan. Durasi yang dimaksudkan paling tidak lima tahun keanggotaan aktif dalam partai
politik. Keanggotaan aktif dapat dibuktikan dengan keikutsertaan calon dalam berbagai pelatihan
yang diselenggarakan partai.
Harus ada pula klausul yang memaksa partai politik mencalonkan seseorang yang telah melewati
proses demokratis di lingkup internal partai politik. Proses demokratis yang dimaksudkan dapat
berbentuk konvensi atau pemilihan pendahuluan, tapi yang jelas bukan dalam bentuk hak prerogatif
ketua umum atau segelintir elite partai.

Syarat pencalonan melalui jalur independen juga harus dipermudah dan disederhanakan. Tujuannya
agar mereka yang kesulitan bersaing melalui jalur partai karena proses yang kurang transparan dan
berbiaya tinggi dapat tetap memasuki arena kompetisi elektoral.

Ketiga, dalam jangka panjang, politikus dari dinasti politik harus dipaksa untuk mengasosiasikan
reputasi keluarga mereka dengan kualitas atau nilai-nilai tertentu yang mewakili kepentingan publik.
Banyaknya anggota dinasti politik yang terjerat kasus korupsi menyebabkan adanya asosiasi yang
kuat antara praktik politik dinasti dan korupsi atau tindakan predatori lainnya.

Di negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat, nama keluarga dapat menjadi penanda awal nilai-
nilai yang mereka representasikan dan orientasi kebijakan yang akan diambil jika anggota keluarga
tersebut menduduki jabatan politik. Keluarga Bush, misalnya, diasosiasikan dengan nilai dan platform
Partai Republik. Adapun keluarga Clinton dianggap mewakili nilai-nilai yang erat dengan pemilih
Partai Demokrat.

Asosiasi nilai dan platform tersebut masih sulit ditemukan pada anggota dinasti politik di sini. Dari
banyak dinasti politik, mungkin dinasti politik Jokowi yang mulai mengasosiasikan "merek" keluarga
mereka dengan kualitas tertentu yang diapresiasi oleh pemilihnya. Terlepas dari segala
kontroversinya, citra Jokowi lekat dengan pembangunan infrastruktur dan pluralisme beragama.
Kedua kualitas inilah yang tampaknya ingin diikuti Gibran di Solo, Bobby di Medan, dan mungkin
nantinya Kaesang di Depok. Dinasti lain hendaknya dapat dipaksa untuk melakukan hal yang sama
atau bahkan menjadi antitesis yang menawarkan nilai-nilai dan program yang berbeda dengan warna
dinasti politik Jokowi.

Asosiasi nama keluarga dengan kualitas tersebut bukan alasan untuk bersikap apologetik atau
pembelaan terhadap politik dinasti. Namun harus diingat bahwa saat ini pilihan publik sangat
terbatas untuk melawan politik dinasti. Memaksa dinasti politik untuk mengasosiasikan nama
keluarganya dengan kualitas tertentu adalah sebuah pilihan rasional untuk terus menekan mereka
agar lebih mementingkan kepentingan rakyat dan menghindari tindakan-tindakan predatori yang
didorong oleh kepentingan jangka pendek.

Yoes C. Kenawas

https://koran.tempo.co/read/opini/483130/dinasti-politik-jokowi

Anda mungkin juga menyukai