Anda di halaman 1dari 2

Analisis Masalah kelompok P2

beranggotakan: - Diva Nabila


- fathi Almuzaky Hasdi
- Rima Fauza
- Zahwa Salsabina

1. Latar belakang atau factor penyebab


- Adanya konten konten yang mengandung unsur SARA yang kerap terjadi dalam pilkada atau
pemilu . Seperti menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Persaingan
yang sangat keras antar paslon dalam pilpres dan antar partai politik dalam pileg menjadi akar
permasalahan. Persaingan yang sangat keras ini pada akhirnya membuat masing-masing peserta
pemilu tidak percaya diri dengan gagasan, ide, serta visi-misi yang akan disampaikan kepada publik.
Sehingga kampanye SARA atau politik primordialisme dijadikan sebagai senjata dalam kampanye
untuk meraup suara sebanyak banyaknya.
- Adanya isu krusial yang berpengaruh besar dalam praktik kampanye. Seperti banyaknya praktik
yang kurang baik yang dilakukan oleh paslon salah satunya memberikan sogokan kepada orang
orang terdekat atau tertentu dan kurangnya penerapan asaz asaz pemilu ( LUBER JURDIL ) pada diri
sendiri baik pada paslon ataupun peserta pemilu sehingga dapat menyebabkan goyahnya keyakinan
untuk memilih setelah menerima sogoka yang di berikan oleh paslon.
- Adanya sikap ambivalensi ( parasaan campur aduk atau bertentangan dengan perasaan seseorang)
yang seringkali ditunjukkan pemerintah atau paslon dalam menghadapi isu terkait negara dan
agama.
- Adanya pelanggaran oleh partai politik terhadap fungsi partai politik itu sendiri yang lebih
mementingkan orang yang dianggapnya seagama, sesuku atau orang yang menguntungkan bagi
dirinya semata mata hanya mempertahankan keberadaan atau kekuasaannya.
2. Dampak dari politik primordialisme dalam pilkada
terdapat pengaruh yang signifikan ikatan primordialisme terhadap perilaku memilih dalam
pemilihan pada pilkada. Begitu banyak faktor atau alasan masyarakat untuk memilih kandidat calon
mana yang akan mereka pilih karena begitu banyak pertimbangan yang akan dipertimbangkan untuk
memilih siapa yang akan menjadi pemimpin nantinya. Dengan adanya perilaku primordialisme dalam
pilkada maka akan memengaruhi juga pemikiran dalam pemilihan di pilkada tentunya, adanya
hubungan yang erat antara perilaku pemilih dengan aspek-aspek kemasyarakatan seseorang seperti
status sosial, agama, dan wilayah tempat tinggal dan lain sebagainya yang mempengaruhi keputusan
pemilih pada saat memilih. Dimana pemilih nantinya akan memilih kandidat yang memiliki hal-hal
yang melekat pada dirimya baik dari kesamaan suku ataupun agama yang dianutnya, bukan dari
kemampuan dan kelayakan seseorang dalam menanggung jabatan yang nantinya akan dipegang.
Maka nantinya ketika terpilihnya kandidat yang telah dipilih berdasarkan kesamaan ras dan agama
bukan dilihat dari kemampuan dan kelayakannya maka bisa saja kandidat ini ketika sudah terpilih
tidak mampu memenuhi peran dari jabatan yang diberikan
3. Cara penanggulangan atau penyelesaian praktik primordialisme dalam pilkada
-Melakukan kampanye tanpa menyinggung atau membahas suku ras dan agama
-Memilih pemimpin karena kepantasan atau kemampuan bukan karena memiliki kesamaan suku ras
dan agama
-Meningkatkankan kesadaran bahwa memilih pemimpin yang layak adalah hal yang penting dan
berpengaruh pada kehidupan kita kedepannya. Karena pemimpin adalah penentu kehidupan
masyarakat kedepannya
-Bawaslu harus mengawasi jalannya pemilu sesuai dengan azas azas yang sudah ditentukan
BAHAYA POLITIK PRIMORDIALISME DALAM PILKADA
 5 Mei 2020  Bawaslu Ponorogo

Ponorogo (ponorogo.bawaslu.go.id) Dalam Tadarus Pengawasan Bawaslu RI (5/5), Sri Budi Eko
Wardani dari Universitas Indonesia mengemukakan bahwa kampanye Pilkada masih acap kali
diwarnai dengan hal-hal yang mengarah pada sikap primordialisme yang mengedepankan kesamaan
etnis, suku dan agama, menurutnya hal tersebut dapat mengancam dan membahayakan
keberagaman sebagai bangsa.
“Permasalahan-permasalahan seperti ditemukannya konten yang  mengandung unsur SARA yang
kerap terjadi dalam Pilkada ataupun Pemilu sudah mendekati level yang serius yang mampu
mempengaruhi indeks kerawanan Pemilu disejumlah daerah serta memicu tren rentan pada tindak
kerawanan.” Ungkapnya di akun youtube Bawaslu RI.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan banyaknya ulasan mengenai pilkada langsung yang perlu untuk
dievaluasi, diantaranya mengenai pandangan yang lebih melihat pilkada dari sisi penggunaan dana,
yang mengkerdilkan partisipasi politik yang sudah terbangun saat ini.
“Ada dua tujuan pilkada langsung, yang pertama bertujuan membangun tata kelola politik yang lebih
demoktaris yaitu mengacu pada relasi antara kandidat dengan pemilih pada masa pra-pemilu-
pemilu-pasca pemilu sehingga terbangunnya akuntabilitas politik. Serta yang kedua perubahan tata
kelola pemerintahan (Good Governounce) dan Pemerintahan yan demokratis (Democratic
Governounce).” Katanya.
Disisi lain Sri Budi Eko Wardani juga mengungkapkan juga terdapat Isu krusial yang berpengaruh
besar adalah dalam praktik kampanye yang didominasi oleh kepentingan kandidat yang bersifat
sporadis dan transaksional.
Untuk itu mbak dhani (sapaan akrabnya) menyarankan adanya pendidikan politik oleh
Penyelenggara Pemilihan dalam memaksimalkan kegiatan kampanye pilkada yang lebih patisipatik.
Kelembagaan Partai Politik Dan Pengawasan Pemilu
Sementara Ferry Daud Liando dari Universitas Sam Ratulangi saat membawakan tema “Kelembagaan
Partai Politik dan Pengawasan Pemilu” dalam kesempatan yang sama mengungkapkan aktor-aktor
pemerintahan merupakan instrument yang penting dalam menentukan perkembangan dan inovasi
pemerintahan suatu daerah.
Untuk itu menurutnya dalam dalam poses pemilihan calon Kepala Daerah tersebut diperlukan
peraturan Pemilihan yang lebih ketat serta Partai Politik lebih professional dan selektif dalam
merekrut calon pengurus dan kader partai,
“Sudah terbuka kah partai politik dalam melakukan penjaringan, dan apakah partai politik
melakukan rekrutmen sudah sesuai dengan peran dan fungsi kaderisasi.” Kata Ferry.
Ferry pun merekomendasikan beberapa catatan diantaranya revisi terhadap Undang-undang Partai
Politik. “Revisi materi dalam UU partai politik dalam hal ini lebih ditekankan pada fungsi parpol dan
pengadaan sanksi bagi parpol yang tidak melakukan fungsi parpol.” Terangnya.
Dirinya juga menyarankan pada pembenahan dan penguatan kelembagaan partai politik, melakukan
program akreditasi kepada parpol dalam meyakinkan kinerjanya serta jika memungkinkan UU Parpol
dapat diintegrasikan ke dalam UU Pemilihan Umum.
Editor : Adetyas, Foto : Muchtar.

Anda mungkin juga menyukai