Anda di halaman 1dari 31

Perilaku Politik

By: Toto Kushartono, S.IP.,M.Si


2004:
Pemilu Legislatif PDIP
Pipres  Mega – Hasyim
DPRD Prov  PKS
DPRD Kota  PKPB
Pilwlkot  Dada (Golkar)
A. Pengantar
• Perilaku politik dapat ditunjukan dalam memberikan
suara (voting) dalam Pemilu.
• Pemberian suara atau voting secara umum dapat
diartikan sebagai; “Sebuah proses dimana seorang
anggota dalam suatu kelompok menyatakan
pendapatnya dan ikut menentukan konsensus
diantara anggota kelompok seorang pejabat
maupun keputusan yang diambil”.
• Adapun perilaku memilih menurut Surbakti adalah:
“Aktivitas pemberian suara oleh individu yang
berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan
keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to
vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum.
Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote)
maka voters akan memilih/mendukung kandidat
tertentu”.
Dalam ilmu politik untuk menjelaskan tingkah laku
politik, dikenal adanya dua pendekatan besar
(utama) untuk menerangkan tingkah laku politik pada
saat berlangsungnya Pemilu, yaitu pendekatan
sosiologis (Columbia School) atau lebih dikenal
dengan Mazhab Columbia dan pendekatan aspek
sosio psikologis (Michigan School) atau dikenal
dengan Mazhab Michigan
B. Mazhab Columbia (Columbia School)
• Pendekatan ini menerangkan gejala memberikan
suara berdasarkan atas latar belakang sosial-
ekonomi para pemilih
• Penganut pendekatan ini percaya bahwa
masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar
sosial yang berdasarkan atas pengelompokkan
sosiologis seperti agama, kelas (status sosial),
pekerjaan, dan lainnya.
• Seymour Martin Lipset misalnya, mengajukan
sejumlah variabel yang dapat mempengaruhi
persepsi dan perilaku orang menentukan pilihan
politiknya. Variabel-variabel tersebut adalah:
pendapatan (income), ras, jenis kelamin, umur,
status kewarganegaraan, dan partisipasi sosial.
Seperti yang tampak dalam Diagram 1.2 berikut ini,
Karakteristik
sosial-ekonomi
sebagai basis
bagi Menentukan:
pengelompok- Tujuan
an sosial kelompok
Type Persepsi
kepemimpinan
Aktivitas rutin
Sistem Keputusan
komunikasi memilih
Berpengaruh internal
kepada:
- Kelas sosial
- Status
Lingkungan
ekonomi
- Pendidikan
- Agama
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
sudut pandang Sosiologis berusaha memahami
perilaku pemilih dari perspektif hirarkhi kelompok
sosial yang ada dalam masyarakat. Kelompok
sosial tersebut, bisa terpetakan dalam berbagai
kategorisasi, seperti kelas, agama, etnisitas,
pekerjaan, penghasilan dan lain-lain.
Imawan mengemukakan pula bahwa kelemahan
utama dari model Sosiologi adalah kenyataan
bahwa memilih merupakan satu tindakan
individual, bukan satu tindakan kolektif. Dapat saja
seseorang dijejali dengan norma-norma sosial
yang berlaku. Tetapi tidak ada jaminan bahwa
pada saat seseorang menentukan pilihan, dia tidak
akan menyimpang dari norma yang dimilikinya.
Dengan kata lain, selalu ada kemungkinannya
bahwa seseorang akan bertindak menyimpang
dari norma-norma atau keyakinan kelompoknya.
C.Mazhab Michigan (Michigan School)
Pendekatan ini mengemukakan aspek sosio-
psikologis yang menentukan tindakan memilih, yang
dikembangkan oleh “The Survey Research Center,
University of Michigan”. Karena itu, model ini lebih
dikenal sebagai Michigan School, atau “Mazhab
Psikologi”.
Mengamati para pemilih dalam Pemilu Amerika
Serikat, mazhab Psikologi ini membangun asumsi
bahwa penentuan pilihan politik sangat ditentukan
oleh pengaruh kekuatan psikologis. Penentuan
untuk memilih atau memihak kepada satu kekuatan
politik, dipandang sebagai produk dari sikap dan
disposisi psikis para pemilih.
Mazhab psikologis ini percaya bahwa tingkah laku
memilih dari seseorang dapat dideteksi dengan dua
konsep. Pertama, disebut political involvement,
yakni perasaan penting atau tidak untuk terlibat ke
dalam isu-isu politik yang bersifat umum (general).
Kedua, disebut party identification, yakni preferensi
(perasaan suka atau tidak suka) dari seseorang
terhadap satu partai atau kelompok politik tertentu.
Pada tahap awal, seseorang harus merasa yakin
bahwa kehadirannya atau keikutsertaannya dalam
proses politik memang sangat diperlukan. Hanya
dengan memiliki perasaan seperti ini, maka
seseorang akan memiliki kepedulian politik yang
tinggi
Satu hal yang menarik untuk dikemukakan adalah,
sekalipun seseorang terikat atau berafiliasi
dengan satu partai tertentu, tidak berarti bahwa
norma partai yang ada akan menentukan
pilihannya. Pilihan atau tindakan politik seseorang,
sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang isu-
isu kontemporer yang berkembang dalam
masyarakat. Isu-isu ini dapat berbentuk isu jangka
pendek (Short Term Issue), dan isu jangka
panjang (Long Term Issue).
Secara diagramatik model pemikiran Michigan
School ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Short Term
Issues

Party Voting
Identifi- Behavior
cation

Long Term
Issues
Sekalipun tampak “ringkas” dan “sederhana”,
variabel-variabel di atas mencakup dimensi yang
sangat luas. Seperti yang dikatakan oleh Paul
Alien Beck:
“The American voters employs virtually all of the
concepts conventionally drawn upon in analyzing
voter choice; attitudes toward parties, candidates,
and issues, party loyalties, ideology, election laws,
social group membership, social calss, economic
outlooks, farm conditions, geographical mobility,
education, incupations, sex, personality and party
performance”.
Namun demikian, variasi yang luas itu sebenarnya
dapat dikelompokkan kedalam enam faktor.
Keenam faktor itu: (1) identifikasi terhadap partai;
(2) persepsi pemilih terhadap atribut-atribut pribadi
masing-masing calon (candidate); (3) kepentingan
kelompok yang mereka wakili; (4) isu-isu politik
dalam negeri; (5) isu-isu politik luar negeri; (6)
penampilan partai dalam mengelola pemerintahan.
Cara berfikir kelompok Michigan ini juga tidak luput
dari kritik.
Setidaknya ada tiga kelemahan utama dari
pemikiran kelompok Michigan. Pertama, model ini
hanya menekankan pengaruh satu arah (one way
influence). Identifikasi terhadap partai dianggap
sebagai varibel bebas yang mempengaruhi isu
jangka pendek, isu jangka panjang, kemudian
keputusan memilih. Model ini menihilkan
kemungkinan adanya pengaruh balik (feedback
influence) dari, misalnya, isu jangka pendek
terhadap identifkasi partai.
Kedua, pengaruh langsung yang dikemukakan
dalam model ini, bisa saja menjadi pengaruh yang
tidak langsung (indirect influence). Adanya
kemungkinan hubungan yang bersifat timbal balik
(reciprocal) antar variabel-variabel yang terlibat,
dapat mengakibatkan turunnya daya penjelas
langsung antara identifikasi ke partai dengan
keputusan memilih.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari kelemahan-
kelemahan di atas, maka identifikasi partai tidak
selamanya berfungsi sebagai faktor penjelas
(independent variable). Faktor ini dapat pula
berubah menjadi faktor yang dijelaskan (dependent
variable).
Menyadari kelemahan-kelemahan di atas, serta pada
saat yang bersamaan kekuatan dari pemikiran
Sosiologis, maka para analis berusaha untuk
memperbaharui pola pemikiran Kelompok Michigan.
Viorina, misalnya, menemukan bahwa identifikasi ke
satu partai itu sebenarnya merupakan keputusan
yang berkembang berdasarkan pada identifikasi
partai terdahulu (past party identification), penilaian-
penilaian penampilan partai di masa lalu
(retrospective evaluations of performance), dan
harapan-harapan terhadap partai itu di masa
mendatang (future expectations). Dengan demikian,
identifikasi terhadap partai itu bersifat dinamis.
pengembangan model kelompok Michigan dapat
digambarkan sebagai berikut:
Sos Pol Is. Pol

Sejarah Id. Partai Kep. Pil

I.P.K Is. Kand

Keterangan:
Sospol : Sosialisasi Politik.
Sejarah : Pemahaman akan Sejarah.
I.P.K. : Isu Politik Masa Kini.
Is. Pol. : Isu Politik secara Umum.
Is. Kand. : Isu seputar Kandidat yang akan ditampilkan.
Kep. Pil. : Keputusan untuk memilih.
Kuatnya ketiga variabel anteseden ini, tidak
menjamin bahwa orang yang secara formal
berafiliasi ke satu partai, benar-benar akan
memberikan suaranya pada partai politik atau
kandidat calon Presiden/Wakil Presiden atau
Kepala Daerah. Keputusan memberi suara, masih
tergantung kepada perkembangan isu politik
secara umum, serta penampilan atau kemampuan
kandidat menangkal atau mengantisiapsi isu-isu
tersebut.
D. Pendekatan Rasional
• Pada kenyataannya sebagian pemilih mengubah
pilihan politiknya dari satu pemilihan ke pemilihan
lainnya, peristiwa atau kejadian politik dan sosial
tertentu dapat mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Begitu pula dengan acara kumpul-
kumpul seperti majelis ta’lim atau pengajian jika
dikemas dengan substansi dan strategi tidak
mustahil dapat pula mempengaruhi preferensi
pemilih.
• Ketertarikan pemilih pada isu-isu tertentu dan figur
kandidat yang ditawarkan oleh partai politik bersifat
situsional dan tidak selalu permanen dan bisa
berubah-ubah, dan tidak terlepas dari peristiwa
sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung
menjelang dan selama pilkada secara langsung
Dalam pendekatan rasional, perilaku pemilih
ditentukan pula oleh faktor-faktor tertentu seperti
prosedur dan aturan main dalam Pemilu.
Pendekatan rasional menekankan bahwa para
pemilih benar-benar rasional dalam memilih dan
melakukan penilaian yang valid terhadap tawaran
calon kandidat. Pemilih rasional biasanya memiliki
sifat rasional sebelum menjatuhkan pilihannya,
motivasi yang tinggi, prinsip yang kuat, memiliki
pengetahuan dan informasi yang cukup luas, pilihan
mereka terhadap calon kandidat bukanlah faktor
kebetulan atau kebiasaan, bukan pula untuk
kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan
umum.
Adapun ciri-ciri pemilih rasional antara lain:
1. Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan
pada suatu alternatif;
2. Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif
lebih disukai, sama dengan atau lebih rendah
dibandingkan alternatif lain;
3. Menyusun alternatif secara transitif; Jika A lebih
disukai daripada B, dan B lebih baik daripada C,
maka A lebih disukai daripada C.
4. Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih
tinggi;
5. Selalu mengambil keputusan yang sama bila
dihadapkan pada alternatif yang sama.
E. Pendekatan Domain Kognitif /Political Marketing

Newman & Sheth (1985) mengembangkan model


perilaku pemilih berdasarkan beberapa domain
yang terlibat dengan marketing dalam
pengembangan model tersebut. Mereka
menggunakan dasar pemikiran bahwa perilaku
pemilih berdasarkan kepada sejumlah kepercayaan
kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti
komunikasi dari mulut ke mulut, media massa (baik
elektronik maupun cetak). Model ini dikembangkan
untuk menerangkan dan memprediksi perilaku
pemilih.
Adman Nursal mengemukakan bahwa political
marketing bertujuan untuk “membentuk dan
menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi
perilaku pemilih. Perilaku pemilih diharapkan
adalah ekspresi pendukung dengan berbagai
dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada
partai atau kandidat tertentu”. Menurut Nursal, ada
lima hal mengapa political marketing bisa
berkembang di Indonesia :
1. Sistem multi partai yang memungkinkan
siapa saja boleh mendirikan partai politik
dan konsekuensinya menyebabkan
persaingan tajam antara parpol.
2. Pemilih telah lebih bebas menentukan
pilihannya dibandingkan pemilu
sebelumnya, sehingga syarat bagi
penerapan potical marketing terpenuhi.
3. Partai-partai lebih bebas menentukan
platform dan identitas organisasinya.
4. Pemilu merupakan momentum sejarah dalam
perjalanan bangsa sehingga pihak-pihak
kepentingan terutama para elit politik akan
berusaha keras untuk ambil bagian.
5. Sistem pemilihan anggota parlemen, DPD, dan
Presiden secara langsung, yang kelak akan
diikuti oleh pemilihan gubernur, bupati dan
walikota.
Keempat model tersebut satu sama lain saling
menguatkan dan saling melengkapi. Akan
tetapi, model-model tersebut tidak dapat begitu
saja diterapkan untuk menganalisis kehidupan
politik di Indonesia, baik dalam pemilu maupun
pilkada secara langsung.
Menurut Imawan Setidaknya ada empat perbedaan
mendasar antara pengamatan empiris di Amerika
Serikat dengan situasi di Indonesia, keempat
perbedaan tersebut adalah:
Pertama, budaya politik di Amerika Serikat terkesan
“sangat demokratis”, dimana pemilih dengan sadar
dan penuh kebebasan dapat menentukan
pilihannya sendiri.
Kedua, sistem informasi di Amerika Serikat sudah
sangat maju, sehingga memungkinkan
masyarakatnya menerima informasi secara luas dan
terbuka, yang memungkinkan pemilih berfikir soal
alternatif pilihan secara rasional.
Ketiga, praktek politik di Amerika Serikat mengenal
sistem kandidat. Masyarakat secara langsung
mengenal wajah ataupun ide-ide dari calonnya,
sehingga orang memilih wakilnya sesuai dengan
kualitas kandidat yang sebenarnya.
Keempat, pelapisan sosial di Amerika Serikat
didasarkan atas ekonomi (seperti pola Marxian). Di
Indonesia, status sosial itu bisa diperoleh dari
keturunan (misal bangsawan), atau karena
keyakinan agamanya. Dari pola tersebut, konsep
seperti “kanan-kiri”, “liberal-konservatif”,
“progressif-oposan” tidak dikenal dalam khasanah
politik Indonesia.
Salah satu penelitian tentang perilaku pemilih di
Indonesia adalah yang dilakukan oleh Afan Gaffar.
Dalam penelitiannya di Jawa Tengah, ada empat
variabel yang menjelaskan perilaku pemilih.
Pertama, keyakinan sosio-religius, keyakinan
keagamaan merupakan variabel yang sangat
signifikan dalam mempengaruhi pilihan seseorang
terhadap partai politik.
Kedua, adalah identifikasi partai dalam konteks ini,
perilaku pemilih sangat bergantung pada persoalan
psikologis. Maksudnya sejauhmana seseorang
merasa dekat secara psikologis (secara emosional)
dengan partai tertentu maka sejauh itulah ia akan
memilih kandidat. Kelekatan psikologis ini dapat
dibentuk melalui institusi yang bernama sosialisasi.
Ketiga, pola kepemimpinan, dalam masyarakat
Jawa terdapat dua pemimpin, yaitu; Pemimpin
birokratik formal dan pemimpin non formal.
Perilaku pemilih biasanya sangat dipengaruhi oleh
peran pemimpin non formal seperti; kyai, haji, guru,
dukun dan lain-lain.
Keempat, Klas atau status sosial. Menurut konsep
ini, klas atas yang berstatus sosial yang tinggi akan
memilih parpol yang status qua, sedangkan mereka
yang berada di klas bawah yang berstatus sosial
rendah akan memilih partai yang non status quo
bahkan oposan.
Selain hal tersebut di atas, faktor yang dapat
mempengaruhi seseorang dalam memberikan
suaranya adalah karakteristik sosial yg meliputi:
“pendidikan, pekerjaan, penghasilan, usia, jenis
kelamin”. Begitu pula dengan pengelompokkan
sosial, seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-
laki-perempuan), agama dan lain-lain, mempunyai
peranan yang cukup menentukan dalam membentuk
perilaku memilih.****

Anda mungkin juga menyukai