Anda di halaman 1dari 14

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR BERBASIS

TEORI VAN HIELE DAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATAKAN


KEMAMPUAN BERFIKKIR KRITIS

Nofyta Arlianti1, Kamid2, Nizel Huda3, Syaiful4


1234
Universitas Jambi Indonesia
Email: nofytaaja@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya peserta didik yang mengalami kesulitan
memahami materi geometri. Setiap peserta didik memiliki kemampuan berpikir geometri
yang berbeda-beda. Alasan pembelajaran berbasis teori Van Hiele mampu meningkatkan
kemampuan berfikir geometri peserta didik yakni karena teori Van Hiele didasarkan pada
tingkat pemahaman peserta didik. Berdasarkan Teori Van Hiele dalam memahami geometri,
peserta didik perlu memahami lima Tahapan yaitu tahap 1 (tahap pengenalan), tahap 2 (tahap
analisis), tahap 3 (tahap pengurutan), tahap 4 (tahap deduksi), dan tahap 5 (tahap ketepatan).
Apabila penerapan pembelajaran materi suatu mata pelajaran memperhatikan tingkat berfikir
peserta didik, maka siswa akan mampu memahami materi pada tingkat yang lebih tinggi
karena harus memahami pada tingkat yang lebih rendah terlebih dahulu, serta mampu
membuat pembelajaran yang bermakna. Secara operasional, desain pembelajaran terwujud
dalam Hypothetical Learning Trajectory (HLT) pada buku pegangan guru dan buku
pegangan peserta didik. Penelitian ini merupakan design research yang mengkombinasikan
model Plomp dengan model Graveimeijer & Cobb dengan 3 tahap. Pada tahap pertama
dilakukan penelitian pendahuluan (preliminary research) yang terdiri dari dari analisis
kebutuhan, analisis kurikulum, analisis konsep, analisis karakteristik dan literature review.
Pada fase kedua dilakukan tahap pembuatan prototipe (prototyping phase) dengan
serangkaian formative evaluation: self evaluation, validasi ahli, one-to-one evaluation dan
small group. Selanjutnya fase ketiga dilakukan tahap penilaian (assessment phase) melalui
field test dan melakukan refleksi terhadap alur belajar peserta didik. Teknik analisis data yang
digunakan adalah teknik analisis deskriptif.

Kata Kunci: Desain Pembelajaran, Bangun Ruang Sisi Datar, Teori Van Hiele,
Konstruktivisme, Kemampuan Berfikir Kritis.

1
ABSTRACT

This research is motivated by the presence of students who have difficulty understanding
geometry material. Each student has different geometric thinking abilities. The reason for
Van Hiele's theory-based learning is able to improve students' geometric thinking skills is
because Van Hiele's theory is based on students' level of understanding. Based on Van
Hiele's theory in understanding geometry, students need to understand five stages, namely
stage 1 (introduction stage), stage 2 (analysis stage), stage 3 (sorting stage), stage 4
(deduction stage), and stage 5 (accuracy stage). . If the application of learning material for a
subject pays attention to the level of thinking of students, then students will be able to
understand the material at a higher level because they have to understand it at a lower level
first, and be able to make meaningful learning. Operationally, the learning design is
embodied in the Hypothetical Learning Trajectory (HLT) in the teacher's handbook and
student's handbook. This research is a design research that combines the Plomp model with
the Graveimeijer & Cobb model with 3 stages. In the first stage, preliminary research was
carried out which consisted of needs analysis, curriculum analysis, concept analysis,
characteristics analysis and literature review. In the second phase, the prototyping phase was
carried out with a series of formative evaluations: self evaluation, expert validation, one-to-
one evaluation and small group evaluation. Furthermore, the third phase is carried out by
the assessment phase through field tests and reflecting on the learning flow of students. The
data analysis technique used is descriptive analysis technique.

Keywords : Learning Design, Polyhedra, Van Hiele’s Theory and Konstruktivisme, Critical
Thinking Ability .

PENDAHULUAN

Matematika merupakan pelajaran yang bersifat hirarkis, konsep-konsep yang


tingkatannya lebih tinggi dibentuk atas dasar konsep-konsep yang telah terbentuk
sebelumnya. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa pemahaman konsep peserta didik
sebelumnya harus mampu menjembatani konsep yang akan dipelajari peserta didik (Razak &
Sutrisno, 2017). Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik,
penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur serta keterkaitannya yang kuat antar konsep-
konsep. Unsur-unsur utama dalam matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas
dasar asumsi dan mempunyai kebenaran yang konsisten (Paradesa, 2015).
Permen 22 Tahun 2006 tentang standar isi menyatakan mata pelajaran matematika
diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Dewanti, 2016).
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang mendasar yang perlu untuk dimiliki
oleh setiap orang dalam menghadapi tantangan saat ini. Sehingga rendahnya kemampuan
berpikir kritis peserta didik saat ini merupakan suatu permasalahan yang penting dalam

2
pendidikan matematika. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik
perlu adanya upaya dengan menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik melakukan observasi dan eksplorasi agar dapat membangun pengetahuannya
sendiri (Aminudin & Kusmanto, 2013). Berpikir kritis adalah berpikir yang memeriksa,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi atau masalah. Termasuk
didalamnya mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, dan menganalisa informasi. Berpikir
kritis termasuk kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang
dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Ini juga berarti mampu menarik kesimpulan dari data yang
diberikan dan mampu menentukan ketidakkonsistenan dan pertentangan dalam sekelompok
data (Dewanti, 2016).
Geometri merupakan pengetahuan dasar yang sudah lama dikenal anak-anak sejak
usia dini. Ide-ide geometri sudah dikenal oleh peserta didik sejak sebelum mereka memasuki
bangku sekolah melaui benda-benda yang memuat bentuk dan konsep geometri yang berada
di lingkungannya. Namun, potensi yang dimiliki anak tentang benda-benda yang berada
disekitarnya belum dimanfaatkan secara maksimal. Geometri merupakan bidang kajian
materi matematika sekolah yang memiliki porsi yang cukup banyak dipelajari oleh peserta
didik SMP (Petrus et al., 2017). Di tingkat SMP, pelajaran mengenai geometri (datar dan
ruang) diulang lagi dengan pendalaman dimulai dari melukis bangun datar, sudut, dua garis
sejajar, dua garis tegak lurus, membagi ruas garis atas beberapa bagian yang sama panjang,
membagi sudut atas 2 bagian yang sama besar, pengenalan berpikir deduktif, dalil Pythagoras
hingga terapannya dalam kehidupan sehari-hari (Dewanti, 2016). Masih banyak peserta didik
yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri. Untuk membantu mengatasi kesulitan
peserta didik dalam mempelajari geometri diperlukan suatu strategi, metode dan bahkan teori
pembelajaran yang sesuai. Salah satu metode yang telah dipercaya dapat membangun
pemahaman peserta didik dalam belajar geometri adalah penerapan teori van Hiele. Hal ini
senada dengan beberapa hasil penelitian yang telah membuktikan bahwa melalui pendekatan
konstruktivisme berbasis teori van hiele dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep
peserta didik pada pembelajaran geometri materi bangun datar (Cintang & Nurkhasanah,
2017).
Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dirancang desain pembelajaran materi bangun
ruang sisi datar berbasis teori van hiele dan konstruktivisme untuk meningkatakan
kemampuan berfikkir keritis pada peserta didik sekolah menengah pertama (SMP) yang
melibatkan peserta didik secara aktif dan dapat memecahkan masalah matematika. Salah satu
ahli pendidikan yang juga memperhatikan tingkat kemampuan kognitif adalah Van Hiele.

3
Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri (Petrus et al., 2017).
LEVEL BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE
Untuk membantu meningkatkan kemajuan kemampuan berpikir geometri peserta
didik dari level dasar ke level berikutnya secara berurutan, yaitu hasil pembelajaran yang
diorganisir ke lima tahap (yang disebut 5 tahap pembelajaran Van Hiele). Setiap tahap
pembelajaran merujuk pada kegiatan pencapaian tujuan pembelajaran dan peran guru dalam
proses pembelajaran. Kelima tahap tersebut yaitu, (l) tahap information, (2) tahap orientasi
terarah/ terbimbing (guided orientation), (3) tahap Explicitation, (4) tahap free orientation, (5)
tahap integration (Nur’aeni, 2010).
Level berpikir geometri dibagi ke dalam 5 level. Penggunaan level disini bukan untuk
mengkategorikan peserta didik tetapi untuk mengetahui sudah sampai dimana kemampuan
berpikir geometri peserta didik (Khotimah, 2013). Tiap tingkatan menggambarkan proses
pemikiran yang diterapkan dalam konteks geometri. Tingkatan-tingkatan tersebut
menjelaskan tentang bagaimana peserta didik berpikir dan jenis ide-ide geometri apa yang
peserta didik miliki (Abdussakir, 2009). Tahap-tahap perkembangan mental anak menurut
van Hiele dalam belajar geometri, yaitu : (a). Tahap pengenalan (Visualisasi), (b). Tahap
analisis, (c). Tahap pengurutan (deduksi informal), (d). Tahap deduksi, (e). Tahap akurasi
(Walle et al., 2013).
a. Level 1 (Visualisasi/Recognition): Peserta didik mengenali gambar-gambar bangun
geometri melalui penampilan saja, sering melalui pembandingannya dengan prototip
yang dikenal. Sifat- sifat sebuah gambar tidak dipersepsi. Pada tingkat ini, peserta
didik membuat keputusan berdasarkan persepsi, bukan penalaran. . Misalnya, seorang
peserta didik sudah mengenal persegi panjang dengan baik, bila ia sudah bisa
menunjukkan atau memilih persegi panjang dari sekumpulan benda-benda geometri
lainnya.(misalnya peserta didik mengenali persegipanjang karena seperti daun pintu)
b. Level 2 (Analisis): Peserta didik melihat gambar-gambar sebagai kumpulan sifat-
sifat. Mereka dapat mengenali dan menyebut sifat-sifat suatu bangun geometri, tetapi
mereka tidak melihat hubungan di antara sifat-sifat ini. Ketika menggambarkan
sebuah objek, peserta didik yang beroperasi pada tingkat ini bisa mencantumkan
semua sifat yang diketahui peserta didik itu, tetapi tidak melihat sifat mana yang perlu
dan mana yang cukup untuk menggambarkan objek tersebut. Misalnya, peserta didik
akan mengatakan bahwa persegi memiliki empat sisi yang sama panjang dan empat
sudut siku-siku. Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antar bangun-bangun

4
geometri, misalnya persegi adalah persegi panjang, persegi panjang adalah jajar
genjang.
c. Level 3 (Abstraksi)/Pengurutan). Peserta didik mempersepsi hubungan di antara
sifat-sifat dan di antara gambar- gambar. Pada tingkat ini, peserta didik dapat
menciptakan definisi yang bermakna dan memberi argumen informal untuk
membenarkan penalaran mereka. Implikasi logis dan inklusi kelas, seperti persegi
merupakan satu jenis dari persegi panjang bisa dipahami. Tetapi peran dan
signifikansi dari deduksi formal tidak dipahami.
d. Level 4 (Deduksi): Peserta didik dapat mengkonstruksi bukti, memahami peran
aksioma dan definisi, dan mengetahui makna dari kondisi- kondisi yang perlu dan
yang cukup. Pada tingkat ini, peserta didik harus mampu mengkonstruksi bukti seperti
yang biasanya ditemukan dalam kelas geometri sekolah menengah atas.
e. Level 5 (Rigor/Keakuratan): Peserta didik pada tingkat ini memahami aspek-aspek
formal dari deduksi, seperti pem- bentukan dan pembandingan sistem- sistem
matematika. Peserta didik pada tingkat ini dapat memahami penggunaan bukti tak
langsung dan bukti melalui kontra- positif, dan dapat memahami sistem sistem non-
Euclidean.
(Nur’aeni, 2010)

Level 1: Visualisasi
Peserta didik mengidentifikasi dan mengoperasikan bentuk (seperti persegi atau segitiga) dan
konfigurasi geometri lain (seperti garis, sudut) sesuai dengan penampakannya.
1. Peserta didik mengidentifikasi bangun berdasarkan penampakannya secara utuh
a) Dalam gambar sederhana, diagram, atau seperangkat guntingan
b) Dalam posisi yang berbeda
c) Dalam bentuk atau konfigurasi lain yang lebih komplek
2. Peserta didik menjiplak bangun
3. Peserta didik memberi nama atau memberi label bangun dan konfigurasi geometri
lainnya dan menggunakan nama dan label yang sesuai secara baku atau tidak baku yang
sesuai
4. Peserta didik membandingkan dan menyortir bangun berdasarkan penampakkan
bentuknya secara utuh
5. Peserta didik secara verbal mendeskripsikan bangun dengan penampakkannya secara
utuh

5
6. Peserta didik mengidentifikasi bangun-bangun, tetapi :
a) Tidak menganalisis bangun dalam istilah bagian-bagiannya
b) Tidak berpikir tentang sifat-sifat sebagai karakteristik kelas bangun
c) Tidak membuat generalisasi tentang bangun atau menggunakan bahasa yang relevan
Level 2: Analisis
Peserta didik menganalisis bangun-bangun dalam istilah komponen-komponennya dan
hubungan antar komponen, menentukan sifat-sifat dari kelas bangun secara empiris, dan
menggunakan sifat-sifat untuk menyelesaikan masalah.
1. Peserta didik mengidentifikasi dan menguji hubungan-hubungan antar komponen-
komponen suatu bangun (misalnya kongruensi sisi yang berhadapan).
2. Peserta didik mengingat dan menggunakan perbendaharaan yang sesuai untuk komponen
dari hubungan-hubungan (misalnya sisi berhadapan, sudut yang bersesuaian adalah
kongruen, diagonal saling berpotongan di tengah).
3. (a) Peserta didik membandingkan dua bangun sesuai dengan hubungan antara
komponen-komponennya, b) Peserta didik menyortir bangun dalam cara-cara yang
berbeda sesuai dengan sifat-sifat tertentu, termasuk memilih semua contoh kelas dan non
contoh.
4. Peserta didik menemukan sifat-sifat bangun tertentu secara empiris dan
menggeneralisasikan sifat kelas bangun tersebut.
5. a) Peserta didik mendeskripsikan kelas bangun dalam istilah sifatnya, b) Peserta didik
mengatakan bentuk sebuah bangun, jika diberikan sifat-sifat tertentu.
6. Peserta didik mengidentifikasi sifat mana yang digunakan untuk mengkarakterisasi satu
kelas bangun adalah kelas bangun yang lain dan membandingkan kelas-kelas bangun
sesuai dengan sifatnya.
7. Peserta didik menemukan sifat-sifat kelas bangun yang tidak biasa dikenal.
8. Peserta didik memformulasikan dan menggunakan generalisasi tentang sifatsifat bangun
(dipandu oleh guru atau material atau secara spontan) dan menggunakan bahasa yang
sesuai (misalnya semua, setiap, tidak satupun), tetapi:
a) Tidak menjelaskan bagaimana sifat-sifat tertentu sebuah bangun adalah berkaitan.
b) Tidak memformulasikan dan menggunakan definisi formal.
c) Tidak menjelaskan hubungan sub kelas tanpa mengecek contoh-contoh khusus yang
bertentangan dengan daftar sifat-sifat yang ditentukan

6
d) Tidak melihat perlunya bukti atau penjelesan logis dari generalisasi yang ditemukan
secara empiris dan tidak menggunakan bahasa yang sesuai (misalnya jika, maka,
sebab) secara benar.
Contoh Level 2 Analisis:
Peserta didik menganalisis bangun-bangun dalam istilah komponen-komponennya dan
hubungan antar komponen, menentukan sifat-sifat dari kelas bangun secara empiris, dan
menggunakan sifat-sifat untuk menyelesaikan masalah.

Siswa sudah dapat mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegi panjang, karena
bangun itu mempunyai 4 sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar serta semua
sudutnya siku-siku
Level 3: Abstraksi
Peserta didik merumuskan dan menggunakan definisi untuk memahami hubungan antara
sifat-sifat bangun, memberikan argumen dan menyusun urut sifat-sifat bangun sebelumnya
dan mengembangkan argument deduktif informal.
1. a) Peserta didik mengidentifikasi perbedaan himpunan berbeda dari sifat-sifat yang
mengkarakterisasi kelas bangun dan menguji bahwa hal itu cukup,
b) Peserta didik mengidentifikasi himpunan sifat-sifat minimum dan dapat
mengkarakterisasi bangun,
c) Peserta didik merumuskan dan menggunakan definisi untuk kelas bangun.
2. Peserta didik memberikan argumen informal (menggunakan diagram, potongan bangun
yang dapat dilipat atau materi lainnya)
a) Menggambarkan suatu kesimpulan dari informasi yang diberikan, penarikan
kesimpulan menggunakan logika hubungan bangun
b) Mengurutkan kelas suatu bangun
c) Menemukan sifat baru dengan deduksi
d) Mengaitkan beberapa sifat dalam pohon keluarga bangun
3. Peserta didik memberikan deduksi informal
4. Peserta didik memberikan lebih dari satu penjelasan dengan menggunakan pohon
keluarga bangun
5. Peserta didik mengenal secara informal perbedaan antara pernyataan dengan konversnya

7
6. Peserta didik mengidentifikasi dan menggunakan strategi atau penalaran bermakna untuk
menyelesaikan masalah
7. Peserta didik tidak melihat perlunya definisi dan asumsi dasar, tidak membedakan secara
formal antra pernyataan dengan konversnya, dan belum bisa membangun hubungan antar
jaringan teorema.
Contoh Level 3 Abtraksi:
Peserta didik merumuskan dan menggunakan definisi untuk memahami hubungan antara
sifat-sifat bangun, memberikan argumen dan menyusun urut sifat-sifat bangun sebelumnya
dan mengembangkan argument deduktif informal.

Siswa Sudah dapat memahami setiap persegi, persegi panjang dan jajargenjang.
Berdasarkan paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui level
berpikir geometri peserta didik berdasarkan teori Van Hiele dan Konstruktivisme pada
materi bangun ruang sisi datar.

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
Teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa
untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan
baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola
sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya
sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Teori ini mencerminkan siswa memiliki
kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar
apapun asal tujuan belajar dapat tercapai (Febriani, 2021). Pendekatan konstruktivisme
adalah peroses pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa dilibatkan secara aktif dan
guru sebagai fasilitator dengan mengoptimalkan penggalian pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dengan menggunakan berbagai cara (metode)/alat bantu pembelajaran untuk
memunculkan ide-ide, pikiran serta memberdayakan pengungkapan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa melalui pembimbingan yang intensif dan optimal yang dibantu dengan
berbagai media/alat bantu yang mendukung yang sesuai dengan kondisi yang diperlukan
(MS et al., 2017).

8
Fokus utama pembelajaan matematika dengan pendekatan Konstruktivisme adalah
bagaimana materi matematika diajarkan dan bagaimana peserta didik belajar matematika di
kelas. Untuk mewujudkan fokus ini perlu dikembangkan suatu alur belajar (learning
trajectory) yang akan memfasilitasi peserta didik mencapai tujuan pembelajaran dengan
bantuan guru dan sumber belajar. Local Instruction Theory (LIT) merupakan sebuah teori
untuk membelajarkan suatu materi, mengatur bagaimana peserta didik belajar dan
bagaimana guru mengajarkannya melalui serangkaian aktivitas untuk mencapai suatu konsep
yang mencakup tujuan pembelajaran, aktivitas belajar serta hipotesis (prediksi dan
antisipasi) alur belajar selama proses pembelajaran.

Pada awalnya, alur belajar berbentuk hipotesis tentang apa yang akan terjadi jika
peserta didik belajar dengan alur yang dirancang [Hypothetical Learning Trajectory (HLT)].
Hypothetical Learning Trajectory (HLT) merupakan pedoman bagi guru untuk menetapkan
tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai. HLT memiliki tiga komponen, yaitu:
(1) tujuan pembelajaran untuk peserta didik, (2) aktivitas yang dirancang dalam
pembelajaran, dan (3) konjektur proses pembelajaran berisi prediksi dan antisipasi yang
dapat muncul pada aktivitas pembelajaran. Setelah proses pengembangan, HLT akan
menjadi suatu teori tentang bagaimana membelajarkan suatu topik matematika (Local
Instrustional Theory (LIT)) (Fauzan, Plomp, & Gravemeijer, 2013).

DESAIN PEMBELAJARAN GEOMETRI BERBASIS TEORI VAN HIELE DAN


KONSTRUKTIVISME
Dari hasil penelitian (Cesaria et al., 2021) memperlihatkan bahwa kemampuan yang
dimiliki oleh peserta didik belum mampu mencapai tahapan berpikir sesuai dengan level
berpikir pada tingkat perkembangannya. Kemampuan yang harus dikuasai peserta didik
seharusnya sudah sampai pada level 3 (abstraksi), namun disayangkan penguasaan rata-rata
hanya sampai level 2 (analisis). Hal ini didukung oleh penelitian (Nur’aeni, 2010) bahwa
dengan tahap pembelajaran Van Hiele, juga dapat meningkatkan kemajuan kemampuan
berpikir geometri siswa dari level dasar ke level berikutnya secara berurutan. Oleh karena itu,
pembelajaran berbasis teori Van Hiele merupakan salahsatu alternatif pembelajaran yang
dapat membantu siswa SD dalam mengembangkan komunikasi geometris. Selanjutnya, hasil
penelitian (Cintang & Nurkhasanah, 2017) bahwa pada siklus I siswa mampu mencapai
tingkat visualisasi, dan terjadi peningkatan pada siklus II. Siswa mampu menguasai level
visualisasi dan analisis, melalui pendekatan konstruktivisme berbasis teori van hiele dapat

9
meningkatkan kemampuan pemahaman konsep siswa pada pembelajaran geometri materi
bangun datar kelas III SDN Pekunden.
Sumber belajar yang digunakan juga kurang mendukung pencapaian optimal tiap
level berpikir karena tiap tingkatan berpikir kurang terfasilitasi dengan permasalahan yang
disediakan. Peran guru juga memiliki kapasitas cukup besar dalam perkembangan peserta
didik, karena pendidik harus memahami kemampuan dasar yang telah dimiliki oleh setiap
peserta didik agar dapat merencanakan pembelajaran yang efektif. Permasalahan ini menjadi
titik tolak kurang mendukungnya desain pembelajaran yang digunakan sehingga konsep dasar
geometri yang dimiliki peserta didik tidak maksimal.

METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan data hasil pengamatan tentang tingkat berpikir siswa
menurut teori Van Hiele (Razak et al., 2017). Data yang dihasilkan yaitu data deskriptif yang
berupa kata-kata tertulis atau lisan. Proses pembelajaran dilakukan dengan menerapkan fase
pembelajaran Van Hiele dalam setiap proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis Van hiele
dan konstruktivisme dapat diartikan sebagai pembelajaran yang didasari pada perkembangan
kognitif dan sosial siswa (Milatiyah & L, 2022).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan konstruktivisme menuntut peserta didik untuk aktif mengkonstruksi ilmu
pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai
mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik (Azhari & Somakim, 2013). Dengan
pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivisme peserta didik memiliki kemampuan
dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang
dipelajari (Fitri, 2017). Kemampuan berpikir kritis harus dimiliki oleh siwa agar dapat
menghadapi berbagai permasalahan personal maupun sosial dalam kehidupannya.
Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir reflektif dan beralasan dalam
mengambil keputusan. Salah satu cara untuk melatihkan kemampuan berpikir kritis adalah
melalui proses pembelajaran (Nuryanti et al., 2018). Hasil penelitian dari Nurhayati
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP kelas VIII masih rendah.
Penelitian ini memberikan gambaran kepada guru dan peneliti tentang kondisi kemampuan
berpikir kritis peserta didik SMP. Guru harus lebih kreatif dalam merancang dan
mengembangkan perangkat pembelajaran agar mampu meningkatkan kemampuan berpikir

10
kritis peserta didik sehingga menjadi habit. Guru harus melibatkan peserta didik dalam situasi
pembelajaran yang mampu merangsang kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis
melalui berbagai model pembelajaran aktif (Nuryanti et al., 2018).
Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan sekolah menengah pertama dan
madrasa tsanawia meliputi beberapa aspek yaitu bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran,
serta statistika dan peluang. Diantara empat aspek tersebut, geometri merupakan salah satu
aspek yang penting dalam kurikulum pendidikan matematika terlihat dari kompetensi yang
sangat berpengaruh. Banyak konsep matematika yang dapat ditunjukkan atau diterangkan
dengan representasi geometris. Selain dapat membantu mengerjakan permasalahan dalam
banyak cabang matematika, geometri juga efektif untuk menumbuh kembangkan kemampuan
berpikir logis (Petrus et al., 2017). Dalam mempelajari geometri kita dapat memanfaatkan
dan menggunakan teori Van Hiele sebagai model dalam pembelajaran matematika karena
teori Van Hiele ini lebih difokuskan kepada pembelajaran geometri sehingga teori ini bisa
dijadikan sumber bagi guru untuk memecahkan permasalahan peserta didik ketika
mempelajari geometri (Nur’aeni, 2010). Beberapa alasan untuk menguatkan teori Van Hiele
digunakan sebagai dasar dalam mengembangakan pembelajaran geometri untuk
menumbuhkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik diantaranya yaitu
(Ramadhan et al., 2021);
1. Teori Van Hiele fokus belajar geometri,
2. Pada teori Van Hiele terdapat tingkatan atau level pemahaman peserta didik dalam
belajar geometri. Pada masing- masing tingkatan menjelaskan proses berpikir individu
dalam belajar geometri,
3. Setiap tingkatan memiliki simbol bahasa tersendiri,
4. Teori Van Hiele menggambarkan deskripsi secara umum pada setiap tahap-tahap
pembelajaran, serta
5. Teori ini mempunyai keakuratan dalam menggambarkan proses berpikir peserta didik
dalam belajar geometri.

Dari ke lima alasan tersebut maka dapat dijadikan dasar mengapa pengajar / guru
layak menggunakan teori ini untuk mengatasi masalah peserta didik ketika belajar geometri,
selain teori yang diciptakan oleh pengajar di Belanda ini fokus pada geometri melalui
penelitiannya mengamati peserta didik Van Hiele, mereka juga menciptakan menciptakan
tingkatan berpikir geometri (Ramadhan et al., 2021).

11
SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian Cesaria didapatkan bahwa secara keseluruhan peserta


didik sekolah menengah pertama pada materi bangun ruang sisi datar hanya mampu berada
pada tahap 1 dan 2 dalam berpikir geometri berdasarkan teori van Hiele. Setelah mengetahui
deskripsi level berpikir geometri peserta didik, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan referensi bagi guru dalam menentukan cara mengajar yang tepat dan efektif sesuai
dengan level berpikir geometri Teori Van Hiele (Cesaria et al., 2021). Dengan ini maka perlu
adanya peran guru untuk merancang pembelajaran geometri dengan memperhatikan level
berpikir geometri peserta didik menengah pertama, karena pada idealnya peserta didik
sekolah menengah pertama harus berada di level 3 berpikir geometri untuk prasyarat
memasuki tahap 4 dan 5 di sekolah menengah atas. Peneliti selanjutnya perlu mengkaji lebih
dalam lagi mengenai faktor-faktor yang menyebabkan peserta didik sekolah menengah
pertama ini masih berada pada tahap 1 dan 2 level berpikir geometri. Kemudian menemukan
metode pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan tahap berpikir geometri peserta didik.
Standar nasional pendidikan menyatakan bahwa materi bangun datar sederhana termasuk
dalam ruang lingkup pembelajaran geometri. Pembelajaran geometri dilandasi teori van
hiele. Teori van hiele mengkaji tentang tahap berpikir siswa dalam pembelajaran geometri,
dimana siswa tidak dapat naik ke tingkat pembelajaran yang lebih tinggi tanpa melewati
tingkatan yang lebih rendah (Cintang & Nurkhasanah, 2017). Hasil penelitian Cintang
melalui pendekatan konstruktivisme berbasis teori van hiele dapat meningkatkan
kemampuan pemahaman konsep siswa pada pembelajaran geometri (Cintang &
Nurkhasanah, 2017).

REFERENSI

Abdussakir, A. (2009). Pembela jaran Geometri Sesua i Teori Van Hiele. PGMI Fakultas
Tarbiyah UIN Malang, II(1).
Aminudin, D., & Kusmanto, H. (2013). UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN
BERFIKIR KRITIS DAN KEAKTIFAN SISWA PADA PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME (Penelitian
Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas VII SMPN 2 Ciwaru Kab. Kuningan ). Eduma :
Mathematics Education Learning and Teaching, 2(2).
https://doi.org/10.24235/eduma.v2i2.37
Azhari, & Somakim. (2013). PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF
MATEMATIK SISWA MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DI KELAS VII
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 2 BANYUASIN III Azhari SMP
Negeri 4 Banyuasin III.
Cesaria, A., Herman, T., & Dahlan, J. A. (2021). Level Berpikir Geometri Peserta Didik

12
Berdasarkan Teori Van Hiele pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar. Jurnal Elemen,
7(2), 267–279. https://doi.org/10.29408/jel.v7i2.2898
Cintang, N., & Nurkhasanah, A. M. (2017). Peningkatan Pemahaman Konsep Bangun Datar
Melalui Pendekatan Konstruktivisme Berbasis Teori Van Hiele. Premiere Educandum,
7(1), 1–8. http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/PE
Dewanti, S. S. (2016). Upaya Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Melalui
Pembelajaran Menggunakan Bahan Ajar Geometri Analitik Berbasis Guided Discovery.
AdMathEdu : Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, Ilmu Matematika dan Matematika
Terapan, 5(2). https://doi.org/10.12928/admathedu.v5i2.4773
Febriani, M. (2021). IPS Dalam Pendekatan Konstruktivisme (Studi Kasus Budaya Melayu
Jambi). Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, 7(1), 61.
https://doi.org/10.37905/aksara.7.1.61-66.2021
Fitri, R. (2017). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Pendekatan
Konstruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Pada Materi
Persamaan Lingkaran. Jurnal Nasional Pendidikan Matematika), 1(2), 241–257.
Milatiyah, S. H., & L, E. N. (2022). Systematic Literatur Review: Pengaruh Teori Van Hiele
terhadap Pemahaman Materi Geometri Siswa Sekolah Dasar. PEDADIDAKTIKA:
Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 9(2), 311–316.
https://doi.org/10.17509/pedadidaktika.v9i2.53148
MS, Z., Siregar, Y., & Rachmatullah, R. (2017). Keterampilan Menulis Narasi Melalui
Pendekatan Konstruktivisme Di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 8(2), 112–
123.
Nur’aeni, E. (2010). Pengembangan Kemampuan Komunikasi Geometris Siswa Sekolah
Dasar Melalui Pembelajaran Berbasis Teori Van Hiele. Jurnal Saung Guru, 1(2), 28–34.
Nuryanti, L., Zubaidah, S., & Diantoro, M. (2018). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa SMP. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 3(2), 155–158.
https://doi.org/10.17977/jptpp.v6i3.14579
Paradesa, R. (2015). Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa Melalui Pendekatan
Konstruktivisme pada Mata Kuliah Matematika Keuangan. Jurnal Pendidikan
Matematika JPM RAFA, 1(2), 306–325.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/jpmrafa/article/view/1236
Petrus, Z., Karmila., & Riady, A. (2017). Deskripsi Kemampuan Geometri Siswa Smp
Berdasarkan Teori Van Hiele. Journal of Mathematics Education, 2(1), 145–160.
https://journal.uncp.ac.id/index.php/Pedagogy/article/view/668/575%0A%0A
Ramadhan, D. F., Nur’aeni L, E., & Apriani, I. F. (2021). PEDADIDAKTIKA: JURNAL
ILMIAH PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR Systematic Literature Review:
Model Pembelajaran Berbasis Teori Van Hiele terhadap Kemampuan Komunikasi Siswa
SD pada Pembelajaran Matematika. In All rights reserved (Vol. 8, Nomor 2).
http://ejournal.upi.edu/index.php/pedadidaktika/index
Razak, F., Budi Sutrisno, A., Immawan, Az., & Andi Matappa, S. (2017). ANALISIS
TINGKAT BERPIKIR SISWA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE DITINJAU
DARI GAYA KOGNITIF. Prosiding Seminar Nasional, 07(2), 22–29.
Razak, F., & Sutrisno, A. B. (2017). Analisis Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van
Hiele Pada Materi Dimensi Tiga Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent.
EDUMATICA | Jurnal Pendidikan Matematika, 7(02), 22–29.
https://doi.org/10.22437/edumatica.v7i02.4214
Salifu, A. S., Yakubu, A.-R., & Ibrahim, F. I. (2018). Van Hiele geometric thinking levels of
pre-service teachers’ of E.P. college of education, Bimbilla-Ghana. Journal of Education
and Practice, 9(23), 108–119.
Sariyasa. (2017). Creating dynamic learning environment to enhance students’ engagement

13
in learning geometry. Journal of Physics: Conference Series, 755(1), 011001.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/755/1/011001.
Sulistiowati, D. L., Herman, T., & Jupri, A. (2019). Student difficulties in solving geometry
problem based on Van Hiele thinking level. Journal of Physics: Conference Series,
1157(4), 042118. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1157/4/042118.
Usiskin, Z. (1982). Van Hiele levels and achievement in secondary school geometry.
CDASSGProject, 66, 37–39.
Usman, H., Yew, W. T., & Saleh, S. (2019). Effects of Van Hiele’s phase-based teaching
strategy and gender on pre-service mathematics teachers’ attitude towards geometry in
Niger State, Nigeria. African Journal of Educational Studies in Mathematics and
Sciences, 15(1), 61–75. https://doi.org/10.4314/ajesms.v15i1.6.
Van de Walle, J. A. (2013). Elementary and middle school mathematics. Teaching
developmentally. Addison-Wesley Longman, Inc., 1 Jacob Way, Reading, MA 01867;
toll-free. New York.
Vojkuvkova, I. (2012). The Van Hiele model of geometric thinking. WDS’12 Proceedings
of Contributed Papers, 1, 72–75.
Yudianto, E., Sugiarti, T., & Trapsilasiwi, D. (2018). The identification of Van Hiele level
students on the topic of space analytic geometry. Journal of Physics: Conference Series
983(1), 012078. https://doi.org/10.1088/1742-6596/983/1/012078.

14

Anda mungkin juga menyukai