Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Matematika
merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan menelaah bentuk-bentuk atau atruktur-struktur
yang abstrak. Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide,
proses dan penalaran. Matematika sangat diperlukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam menghadapi kemajuan IPTEK sehingga matematika perlu dibekalkan kepada setiap
peserta didik sejak SD bahkan sejak TK.1
Matematika merupakan salah satu alat untuk mengembangkan cara berpikir seseorang
yang jelas dan logis, sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sarana mengenal
pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, serta sarana untuk mengembangkan
kreatifitas. Geometri merupakan salah satu cabang ilmu matematika yang tidak hanya
mementigkan “jawaban”, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa” seseorang anak dapat
mengembangkan pola pikir mereka.2
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Jumriani, 2014) Dimensi tiga merupakan salah satu
materi geometri yang sangat sulit dipahami karena sifatnya abstrak dan minimnya keterampilan
siswa dalam menggambar bangun-bangun dimensi tiga. Menurut teori Van Hiele, siswa akan
melalui lima tingkat berpikir dalam mempelajari dan memahami geometri, yaitu tingkat 0
(visualisasi), tingkat 1 (analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi), dan tingkat 4
(rigor). Dalam menyelesaikan soal geometri masing-masing siswa berbeda dalam menyusun dan
mengolah informasi yang mereka dapatkan disebabkan perbedaan gaya kognitifnya.
Gaya kognitif adalah karakteristik atau cara khas siswa dalam memperoleh, menyusun
dan menggunakan informasi untuk menghadapi menghadapi dan menyelesaikan permasalahan.
Gaya kognitif, menurut Hidayat (2013) dapat dibedakan berdasarkan perbedaan psikologis,
yaitu: gaya kognitif Field Dependent (FD) dan field Independent (FI). Orang FD melihat isyarat
lingkungan sebagai petunjuk dalam merespon suatu stimulus dan memandang informasi secara
umum. Orang yang memiliki gaya kognitif Field Dependent dikategorikan sebagai orang yang

1 Ardhi Prabowo, Eri Restiani, “Rancang Bangun Instrumen Tes Kemampuan Keuangan Pengembangan Tes
Kemampuan Keruangan Hubert Maier dan Identifikasi Penskoran Berdasar Teori Van Hiele”, Jurnal Kreano, Vol. 2
No. 2 Desember 2011, hal. 72
2 Dina Octaria, “Analisis Tingkat Berpikir Mahasiswa Calon Guru Berdasarkan Teori Van Hiele Dalam Menyelesaikan
Soal Geometri Analitik”, (Palembang: Universitas PGRI Palembang, 2016)
berpikir secara global, berprilaku sensitif secara global, berprilaku sensitif secara sosial dan
berorientasi interpersonal, lebih suka bekerja kelompok dalam mengerjakan tugasnya.
Sebaliknya orang yang memiliki gaya kognitif Field Independent (FI) cenderung kurang menarik
dengan fenomena sosial dan lebih suka dengan ide-ide dan prinsip-prinsip yang abstrak, kurang
hangat dalam hubungan interpersonal, dalam mengerjakan tugasnya merasa efisien bekerja
sendiri. Karenanya siswa FI mampu memotivasi diri sendiri dalam mencapai tujuan. Orang FI
merespon suatu tugas cenderung mengacu pada syarat-syarat dari dalam diri sendiri dan mampu
menganalisanya ke dalam bagian-bagian yang lebih rinci (Khoiriyah, 2013).3
Sesuai dengan uraian di atas, penulis menerapkan judul “ANALISIS TINGKAT
BERPIKIR MAHASISWA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE PADA MATERI DIMENSI
TIGA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT”.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat berpikir mahasiswa pada materi dimensi tiga berdasarkan teori Van
Hiele pada mahasiswa semester IV PGMI UIN Mataram yang memiliki gaya kognitif field
dependent?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan tingkat berpikir mahasiswa
berdasarkan teori Van Hiele pada materi tiga dimensi ditinjau dari gaya kognitif field dependent

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat dijadikan suatu hasil temuan baru terkait dengan tingkat berpikir
mahasiswa berdasarkan teori Van Hiele dan menjadi bahan referensi untuk melakukan
penelitian terkait tingkat berpikir berdasarkan teori Van Hiele
2. Manfaat Praktis
 Bagi mahasiswa
Memberikan informasi bagi mahasiswa mengenai tingkat berpikir yang
dimilikinya. Sehingga mampu memberikan arahan diri dalam meningkatkan pemahaman
materi dalam pembelajaran.
 Bagi dosen

3 Ela Priastusi Mirlanda, Heni Pujiastuti, “Kemampuan Penalaran Matematis : Analisis Berdasarkan Gaya Kognitif
Siswa”, Pasundan Journal of Research in Marhematics Learning and Education, Vol. 3 No. 2 Desembe 2018, hal 58-
59
Memberikan informasi kepada dosen mengenai tingkat berpikir mahasiswanya
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam proses pembelajaran yang lebih
aktif.
 Bagi kampus
Memberikan informasi kepada pihak kampus mengenai kemampuan para
mahasiswanya sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk meningkatkan
kualitas dan prestasi sekolah.

E. Definisi Operasional
1. Tingkat berpikir Teori Van Hiele
Menurut teori Van Hiele, siswa akan melalui lima tingkat berpikir dalam mempelajari dan
memahami geometri, yaitu tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), tingkat 2 (deduksi
informal), tingkat 3 (deduksi), dan tingkat 4 (rigor).
2. Gaya kognitif Field Dependent
gaya kognitif Field Dependent (FD) adalah individu yang kurang atau tidak bisa memisahkan
sesuatu bagian dari suatu kesatuan dan cenderung segera menerima bagian atau konteks yang
dominan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Teori Van Hiele
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang mengadakan penelitian di
lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam
disertasinya pada tahun 1954. Peneliitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa
kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van
Hiele (dalam Islam, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu:
Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi dan keakuratan.
a. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus,
segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan
sejumlah bangun-bangun geometri , anak dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada
tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang
dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita
ajukan pertanyaan seperti “apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan
panjangnya sama?”, “apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?”.
Untuk ha ini, siswa tidak akan bisa menjawabnya. Guru harus memahami bentuk karakter anak
pada tahap pengenalan, jangan sampai anak-anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri
tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian.
b. Tahap Analisis
Bila pada tahap pengenalan anak-anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun
geometri, tidak demikian pada tahap analisis. Pada tahap ini ana sudah dapat memahami sifat-
sifat dari bangun-bangun geometri, pada hahap ini anak-anak sudah mengenal sifat-sifat bangun
geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada
12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok?, maka anak pada tahap ini belum bisa
menjawab pertanyaan tersebut karena anak pada tahap ini belum memahami hubungan anatara
balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
c. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari
sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada
tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri
dengan bangunan geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudaj memahami
pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu
trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada tahap ini anak sudah
mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap
awal siswa masih belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua
diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.
d. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara
deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika
dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpualan, membuktikan teorema dan
lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah
sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360o secara deduktif dibuktikan dengan mwnggunakan
prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut
benda jajrgenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu
putaran penuh atau 360o belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran
itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi,
mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu
pembuktian secara deduktif merupakan cra yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema.
Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada
tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mwngapa sesuatu itu disajikan teorema atau
dalil?”.
e. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap
keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-
prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap matematika kita tahu bahwa
betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam
memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh
karena itu jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap berfikir ini sekalipun
anak tersebut sudah berada ditingkat SMA.
Selai mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami
geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran
geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut:
Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan
metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya
kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling
bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tida akan mengarti. Sebagai contoh, seorang anak
tidak mengerti mangapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah
jajargenjang adalah 360o. misalnya, anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut
anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa sudut-
sudutnya adalah 360o. contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap
kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah
balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang
diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada
pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang
berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak tersebut dipaksa untuk
memahaminya,anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan
pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau
disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman
dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap
yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.4

Tabel Indikator Tingkat berpikir Van Hiele Pada Materi Tiga Dimensi.5

Tingkat berpikir berdasarkan Karakteristik Indikator tingkat berpikir


teori Van Hiele
Tingkat 0 (visualisasi) Obyek pemikiran masih  Dapat mengidentifikasi
diddominasi bentuk dan dan kedudukan garis sejajar
seperti apa bentuk itu terlihat berdasarkan gambar
secara visual  Dapat mengidentifikasi
kedudukan garis
berpotongan
berdasarkan gambar
Tingkat 1 (analisis) Mulai mengenali dan  Dapat mengidentifikasi

4 Purwwoko, Pengembangan Pembelajaran Matematika SD, hal 2-5


5 Nur Khoiriyah dkk, “Analisis Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van Hiele Pada Materi Dimensi Tiga Ditinjau
Dari Gaya Kognitif Field Defendant dan Field Independent”, Jurnal Pendidikan Matematika Solusi Vol. 1 No. 1 Maret
2013, hal. 21-22
mengaplikasikan suatu ide kedudukan garis
geometri, mendeskripsikan bersilangan pada
dengan benar berbagai sifat gambar
 Dapat menyebutkan
serta dapat mengidentifikasi
alasan mengenai
gambar sebagai bagian dari
kedudukan garis
gambar yang lebih besar.
berdasarkan letak
bidangnya
 Siswa dapat
menentukan proyeksi
titik ke garis
Tingkat 2 (deduksi informal) Dapat mengurutkan dan  Dapat membuat
mengaitkan beberapa ide-ide kesimpulan dengan
geometri secara logis, memberikan penjelasan
memahami definisi, dan secara informal
menarik kesimpulan dengan berdasarkan informasi
memberikan argumen secara yang diberikan.
informal.  Siswa dapat
menentukan jarak titik
ke garis atau jarak dua
garis sejajar
Tingkat 3 (deduksi) Memahami arti deduksi  Dapat membuktikan
sehingga dapat membuktikan dengan memberikan
dengan dasar aksioma maupun penjelasan secara
teorema. formal berdasarkan
aksioma atau teorema.

Adapun bentuk pemecahan masalah berdasarkan indikator-indikator di atas sebagai


berikut:
1. Diketahui kubus ABCD EFGH dengan panjang rusuk 12 cm, tentukanlah:
a. Kedudukan garis ED dan FC
b. Kedudukan garis EC dan DF
c. Kedudukan garis EC dan BF
d. Maksud dari garis yang sejajar, berpotongan, dan bersilangan
e. Proyeksi titik A ke garis HF (T berpotongan EG dan FH)
f. Jarak titik D ke garis BF

Penyelesaian:
a. Kedudukan garis ED dan FC sejajar

b. Kedudukan garis EC dan DF berpotongan

c. Kedudukan garis EC dan BF bersilangan


d. Garis dikatakan sejajar apabila garis-garis tersebut terletak pada satu bidang datar dan tidak
akan pernah bertemu atau berpotongan bila garis tersebut di perpanjang hingga tak
berhingga.
Garis dikatakan berpotongan apabila garis tersebut terletak pada satu bidang dan memiliki
satu titik potong.
Garis dikatakan bersilangan apabila garis-garis tersebut tidak terletak pada satu bidang datar
dan tidak akan berpotongan apabila diperpanjang.

e. Proyeksi titik A ke garis HF

Dari gambar, hasil proyeksinya adalah titik T karena garis AT tegak lurus dengan garis HF.
AT ⊥ HF

f. Jarak titik D ke garis BF

Jarak titik D ke garis BF merupakan panjang diagonal BD yang dapat dicari menggunakan
rumus phytagoras
BD 2= AB 2 + AD2
2 2 2
BD =12 +12
2
BD =144 +144
BD 2=288
BD =√288
BD =12 √ 2 cm

Jadi, jarak titik D ke garis BF adalah 12 √ 2 cm

2. Gaya Kognitif Field Dependent

Definisi gaya kognitif di kemukakan Basey (2009) bahwa “cognitive style is the control
process or style which is self generated, transient, situationally determined conscious activity
that a learner uses to organizer and to regulate, receive and transmite information and ultimate
behavior”. Yang berarti gaya kognitif merupakan proses kontrol atau gaya yang merupakan
manajemen diri, sebagai perantara secara situasional untuk menentukan aktivitas sadar sehingga
digunakan seorang pelajar untuk mengorganisasikan dan mengatur, menerima dan menyebarkan
informasi dan akhirnya menentukan perilaku dari pelajar tersebut.

Witkin dan Goodenough (Danili & Reid, 2006) mendefinisikan karakteristik utama dari
gaya kognitif field dependent sebagai berikut: “field-defendant (FD) individual; one who can
insufficiently separate an item from its context and who readily accepts the dominating field or
context”.

Definisi karakteristik ini menerangkan bahwa individu dengan gaya kognitif Field Dependent
(FD) adalah individu yang kurang atau tidak bisa memisahkan sesuatu bagian dari suatu kesatuan
dan cenderung segera menerima bagian atau konteks yang dominan.6

B. Penelitian Yang Relevan

N Judul Persamaan Perbedaan


o
1. Analisis Tingkat Menggunakan teori Van Penelitian yang dilakukan
Berpikir Geometri Hiele dalam memecahkan Anwar Ansori tidak

6 Darma Andreas Ngilawajan, Proses Berpikir Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika Materi
Turunan Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Independent, Jurnal Pedagogia Vol. 2, No. 1, Februari 2013, hal 74.
Siswa dalam masalah menggunakan tinjauan.
Menyelesaikan Soal Sedangkan penelitian ini
Bangun Ruang Sisi menggunakan tinjauan gaya
Datar Berdasarkan kognitif Field Dependent
Teori Van Hiele pada
Siswa kelas VII SMP
Negeri 2 BAKI.
2. Kemampuan Menggunakan teori Van Penelitian yang dilakukan
Pemecahan Masalah Hiele dalam memecahkan Lathifatun Nur Farida tidak
Dilihat dari Teori Van masalah menggunakan tinjauan.
Hiele Siswa kelas V Sedangkan penelitian ini
Materi Volume Kubus menggunakan tinjauan gaya
dan Balok di SD Hj kognitif Field Dependent
Isriati Baiturahman 2
Tahun Ajaran
2017/2018
3. Analisis Tingkat Menggunakan teori Van Penelitian yang dilakukan
Berpikir Siswa Hiele dalam memecahkan oleh Nur Khoiriyah
Berdasarkan Teori Van masalah menggunakan 2 tinjauan yaitu
Hiele pada Materi Gaya Kognitif Field
Dimensi Tiga Ditinjau Dependent dan Field
dari Gaya Kognitif Independent. Sedangkan
Field Dependent dan penelitian ini hanya
Field Independent menggunakan satu tinjauan
yaitu Gaya Kognitif Field
Dependent
4. Analisis Tingkat Menggunakan teori Van Penelitian yang dilakukan
Berpikir Siswa Hiele dalam memecahkan oleh Jumriani menggunakan
Berdasarkan Teori Van masalah tinjauan Gaya Kognitif.
Hiele pada Materi Sedangkan penelitian ini
Pokok Dimensi Tiga menggunakan tinjauan gaya
Ditinjau dari Gaya kognitif Field Dependent
Kognitif kelas X SMA
Negeri 1 Kahu
5. Penerapan Teori Menggunakan teori Van Penelitian yang dilakukan
Belajar Van Hiele Pada Hiele dalam memecahkan oleh Beni Junedi menerapkan
Materi Geometri di masalah teori Van Hiele dalam
Kelas VIII pembelajaran. Sedangkan
penelitian ini menganalisis
tingkat berpikir menggunakan
teori Van Hiele

Anda mungkin juga menyukai