Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Matematika
2.1.1.1 Hakikat Matematika
Matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain, matematika
harus dibuktikan kebenarannya secara deduktif (Ibrahim&Suparni, 2012).
Sehingga kebenaran dari suatu teorema diperoleh dari akibat logis dari kebenaran
sebelumnya, yang bersifat konsisten dan saling berhubungan antar konsep dalam
matematika. Pada awalnya penemuan dalil-dalil dan teorema-teorima dilakukan
secara induktif. Akan tetapi tetapi teorema tersebut harus dapat dibuktikan
kebenarannya secara deduktif. Menurut Johnson dan Myklebust (1967:244) dalam
(Wahyudi, 2012:6), matematika mempunyai dua fungsi yaitu: (1) fungsi praktis,
menunjukan kemampuan strategi dalam merumuskan, menafsirkan dan
menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah, (2) fungsi teoritis,
untuk memudahkan dalam berpikir.
2.1.1.2 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran adalah proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh
guru dan siswa dalam kondisi yang sudah tentukan untuk belajar demi tercapainya
tujuan pemebelajaran. Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pembelajaran
merupakan lingkungan belajar yang terdapat interaksi peserta didik dengan
pendidik dan tersedianya sumber belajar. Keberhasilan belajar siswa ditentukan
dalam proses kegiatan belajar mengajar. Adanya timbal balik siswa dengan guru
untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama. Tujuan dari pembelajaran sendiri
dapat dirumuskan dengan model ABCD menurut Wiyani (2014:40) sebagai
berikut:
A : audience, pembelajar dengan segala karakterisiknya.
B : behavior, kata kerja yang menjabarkan kemampuan yang harus dikuasai.
C : conditions, situasi kondisi yang memungkinkan bagi pelajar dapat belajar
dengan baik.

8
9

D : degree, persyaratan khusus yang dirumuskan sebagai standar buku pencapaian


tujuan pembelajaran.
Mujiono dalam (Kosasih, 2013:) mengemukakan ada empat komponen
yang mempengaruhi bagi keberhasilan siswa yakni, bahan belajar, suasana
belajar, media dan sumber belajar, serta guru sebagai subyek pembelajaran.
Pembelajaran yang efektif ditekankan siswa sebagai pihak yang aktif. Pada
pembelajaran matematika diharapkan siswa mampu menemukan konsep yang
telah ditemukan (reinvention) secara sederhana tidak harus selayaknya ilmuan.
Siswa menemukan senidiri pengetahuan yang dipelajarinya (discovery). Hal ini
bertujuan agar siswa dapat melatih kemampuan intlektual, merangsang rasa ingin
tahu, dan memotivasi kemampuan mereka. Pada pembelajaran matematika
terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan materi
yang diajarkan.
Guru berperan sebagai fasilitator yang menjembatani siswa dengan
sumber belajar secara konstruktivisme menurut Paiget. Pembelajaran yang
berpusat pada siswa (students centered). Belajar bermakna konsep yang sudah
dipahami akan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan belajar
menghafal, siswa hanya menghafal materi yang diperoleh tanpa mengkaitkannya
dengan dunianya. Peter Shea dalam (Wiyani, 2014:170) mengungkapkan
penfapatnya tentang pengalaman belajar. Peserta didik belajar hanya 10%
informasi yang didapat dari membaca, 20% informasi didapat dari mendengar,
30% didapat dari melihat objek yang dipelajarinya, 50% diperoleh dari melihat
dan mendengar selama belajar, 70% dari kata-kata atau kalimat yang dikatakan
oleh peserta didik, 90% diperoleh apa yang dikatakan da dilakukan sendiri ketika
belajar. Tingkatan pengalaman belajar menurut Peter Shea dapat diurutkan dalam
sebuah kerucut pengalaman belajar.
10

Gambar 1 Pengalaman Belajar Menurut Peter Shea


2.1.1.3 Tujuan Matematika
Pembelajaran matematika menurut Wahyudi (2012:24) bertujuan agar
siswa memiliki kemampuan memperoleh, memilih, dan mengelola informasi
untuk bertahan pada kehidupan yang dinamis, mengembangkan sifat jujur,
disiplin, tepat waktu, dan tanggungjawab. Adanya matematika di sekolah dapat
mengembangkan ketrampilan berpikir ktitis, sistematis, logis, dan kreatif. Karena
matematika merupakan struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar
konsepnya yang memungkin siswa berpikir rasional.
James & James (Wahyudi, 2012:3) mengungkapkan matematika
merupakan ilmu logika mengenai bentuk, susuan, besaran, dn konsep-konsep
yang saling berhubungan satu sama lainnya yang terbagi menjadi tiga bidang
yakni, aljabar, analisi, dan geometri.
2.1.1.4 Karakteristik Pembelajaran Matematika
Kemampuan yang akan dimiliki oleh siswa sebagai hasil belajar menurut
Woolfolk dalam (Ibrahim, 2012) yaitu kemampuan pemecahan masalah,
kemampuan pengambilan keputusan, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan
berpikir kreatif. Siswa yang memenuhi keempat kemampuan ini dan
mengembangkannya dalam proses pembelajaran. Hasil belajar siswa akan menjadi
11

berkualitas dan menjadi siswa yang mempunyai sikap kemandirian dalam


berpikir. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada siswa mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang bertujuan, antara lain yaitu untuk
membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif serta kemampuan bekerjasama yang dapat dimanfaatkan di dunia nyata
(Ibrahim, 2012).
2.1.1.5 Prinsip Pembelajaran Matematika
Matematika mempunyai titik fokus pemecahan masalah di dalam
pembelajarannya. Terdapat rangkaian aktifitas pembelajaran yang menekankan
pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri
utama aktivitas pembelajaran matematika menurut Sanjaya (2008) di dalam
(Wahyudi, 2012:35) yaitu:
1. Merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran artinya dalam implementasinya
ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, yang
menempatkan masalah sebagai kunci dari proses pembelajaran.
3. Pemecahan masalah menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.
2.1.1.6 Kompetensi Dasar Pembelajaran Matematika
Standar kompetensi dan komptensi dasar matematika telah disusun dalam
dokumen (KTSP) sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan
kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan
mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel,
diagram, dan media lain (Ibrahim, 2012). Kemampuan yang diharapkan dari
pendidikan matematika menurut Ibrahim (2012) sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat
dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
12

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,


merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rassa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.1.2 Belajar dan Hasil belajar
2.1.2.1 Pengertian Belajar
Belajar merupakan proses kognitif untuk memperoleh kemampuan yang
baru dengan cara mengubah sifat stimulasi dari lingkungan menjadi tahap
informasi yang harus dikelola (Syafaruddin, 2005). Proses belajar terdapat
hubungan antara stimulus dan respons, yang dapat digambarkan sebagai S R.
Penerapan di dalam kelas stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan ang diberikan
kepada guru untuk merangsang keaktifan dan rasa ingin tahu siswa. Setelah
adanya respon siswa memberikan respon berupa jawaban atas pertanyaan dari
guru atau bahkan tanggapan dan pertanyaan yang lebih mendalam dari siswa.
Stimulus merupakan input berada diluar yang diterima oleh indra dan tidak dapat
diamati. Sedangkan respon merupakan output sebagai hasil belajar yang dapat
diamati (Nasution, 2008). Sejalan dengan pendapat Thorndike dalam (Pitadjeng,
2015), belajar merupakan hubungan antara adanya stimulus dan respons yang
diikuti dengan rasa senang, karena siswa mendapat stimulus berupa pujian
(reinforcement).
Van Hiele (1964) dalam (Pitadjeng, 2015) berpendapat bahwa dalam
bidang geometri siswa mengalami tahap perkembangan mental sebagai berikut:
1. Tahap Pengenalan, siswa baru mengenal betuk geometri, namun belum
mengetahui sifat-sifat dari bentuk geometri tersebut. Misalnya siswa hanya
mengenal bentuk geometri dibawah ini dan belum mengetahui sifat yang
dimiliki kubus, tabung, persegi, dan lingkaran.
13

Kubus Tabung

Persegi Lingkaran
Gambar 2 Bangun Ruang & Bangun Datar

2. Tahap Analisis, siswa sudah mampu menyebutkan sifat-sifat yang terdapat


pada bangun geometri, namun siswa belum mengetahui hubungan yang
terakat antara bangun geometri dengan bangun geometri yang lain.
Misalnya kubus merupakan paralel-epidedum, persegi adalah persegi
panjang atau persegi adalah belah ketupat.

Titik sudut

Bidang sisi

rusuk

Gambar 3 Bagian-Bagian Kubus

3. Tahap Pengurutan, siswa sudah mampu dalam manarik kesimpulan serta


mengurutkan. Misalnya siswa sudah mengetahui persegi adalah jajar
genjang dan belah ketupat adalah layang-layang. Contoh pengelompokan
bangun dapat dilihat pada gambar 2.4.
4. Tahap Deduksi, siswa sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yakni penarikan kesimpulan dari yang bersfifat umum menuju hal yang
bersifat khusus. Misalnya siswa menemukan rumus luas segitiga yang
diturunkan dari rumus luas jajar genjang.
14

5. Tahap Akurasi, pada tahap ini siswa sudah menyadari pentinya ketepatan
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian, dengan dasar
aksioma yang berbeda maka pernyataan benar untuk suatu hal yang sama
akan berbeda pula. Tahap akurasi merupakan tahap paling tinggi dan
rumit, anak sekolah dasar belum sampai pada tahap ini.
Nasution (2008) mengemukan bahwa belajar mengalami empat fase sebagai
berikut:
1. Fase apprehending, stimulus dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.
2. Fase acquisition, melakukan sesuatu yang belum diketahui sebelumnya atau
penasaran.
3. Fase storage,kemampuan otak untuk dapat menyimpan dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
4. Fase retreval, mengingat kembali memori yang disimpan dan menerapkannya
dalam pemecahan masalah.
William Burton dalam (Hamalik, 2016) menyebutkan prinsip-prinsip
tentang belajar sebagi berikut:
1. Proses belajar ialah pengalaman, berbuat, mereaksi, dan melampaui (under
going).
2. Proses belajar melalui bermacam-macam ragam pengalaman dan mata
pelajaran-mata pelajaran yang terpusat pada suatu tujuan tertentu.
3. Pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan murid.
4. Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan murid sendiri yang
mendorong motivasi yang kontinu.
5. Proses belajar dan hasil belajar mempunyai diisyarati oleh lingkungan.
6. Proses belajar dan hasil usaha belajar dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan
individual di kalangan murid-murid.
7. Proses belajar berlangsung secara efektif, jika pengalaman-pengalaman dan
hasil yang diinginkan sesuai dengan kematangan murid.
8. Proses belajar yang terbaik, jika murid mengetahui status dan kemajuan.
Pengertian belajar dari pendapat para ahli yang telah dipaparkan diatas dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru
15

dengan memberikan umpan agar siswa menjadi respon sebagai respon dengan
mempertimbangkan kesiapan siswa, sehingga interaksi tersebut menjadi suatu
pengalaman yang berharga.
2.1.2.2 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar, yang dapat dilihat
setelah proses belajar berlangsung. Menurut Sudjana (2005) bahwa terdapat
kriteria-kriteria tertentu dalam pemberian nilai terhadap hasil belajar yang dicapai
oleh siswa. Dari hasil pengukuran belajar guru dapat mengetahui seberapa jauh
tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah dicapai selama pembelajaran
berlangsung. Sudjana (2005) menyebutkan terdapat tiga unsur dalam kualitas
pengajaran yang berpengaruh terhadap hasil belajar, yakni kompetensi guru,
karakteristik kelas, dan karakteristik sekolah.
2.1.3 Model Pembelajaran
2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran
Pengertian model pembelajaran dalam (Kosasih, 2013) dapat disimpulkan
sebagai suatu cara yang digunakan oleh guru untuk mensukseskan kegiatan
belajar mengajar di kelas secara efektif dan tercapainya tujuan pembelajaran .
Didalam model pembelajaran terdapat pendekatan pembelajaran, strategi
pembelajaran, metode pembelajara, teknik pembelajaran. Abdullah (2013:89)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual berupa pola
prosedur sistematik yang dikembangkan berdasarkan teori dan digunakan dalam
mengorganisasikan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan belajar, yang
mempunyai tahapan atau sintaks pembelajaran.
Rusman (2012:133) berpendapat terdapat dasar pertimbangan dalam
pemilihan model pembelajaran sebelum guru memilih dan menggunakannya,
yakni:
1. Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai yang berkenaan dengan
kompetensi akademik, kepribadian, sosial dan kompetensi vokasional (kognitif,
afektif, dan psikomotorik). Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah
kompleksitas tujuan pembelajaran dalam mempertimbangkan tujuan yang akan
dicapai dan keterampilan akademik guna mencapai tujuan tersebut.
16

2. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran


adalah materi mata pelajaran berupa fakta, konsep, hukum atau teori tertentu
dan ketersediaan bahan atau sumber-sumber yang relevan untuk mempelajari
materi tersebut.
3. Pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa yang harus disesuaikan
dengan tingkat kematangan peserta didik, minat, bakat, kondisi siswa, dan gaya
belajar siswa.
4. Pertimbangan yang bersifat nonteknis, hal yang perlu dipertimbangkan
misalnya jumlah model pembelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
pembelajaran, adanya model pembelajaran lain selain model pembelajaran
yang digunakan, nilai efektivitas atau efisiensi dari model pembelajaran.
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri yang perlu diperhatikan (Rusman,
2005:136), yakni:
1. Model penelitian yang disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John
Dewey yang bertujuan untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara
demokratis.
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir
induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif.
3. Model pembelajaran dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan keiatan belajar
mengajar di kelas, misalnya model Synectic dirancang untuk memperbaiki
kreativitas dalam pelajaran mengarang.
4. Memiliki bagian-bagian model seperti: (1) urutan langkah-langkah
pembelajaran (syntax); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) sistem sosial; dan
(4) sistem pendukung.
5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran, yakni: (1)
dampak pembelajaran yang merupakan hasil belajar yang dapat diukur; (2)
dampak pengiring yang merupakan hasil belajar jangka panjang.
6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model
pembelajaran yang dipilihnya.
Model pembelajaran berdasarkan teori dibagi menjadi dua, yakni model
interaksi sosial dan model pemprosesan informasi.
17

1. Model Interaksi Sosial


Model ini menitikberartkan hubungan yang harmonis antara individu dengan
masyarakat (learning to life together). Model ini didasari oleh teori belajar
Gestalt (field theory) yang diterapkan sebagai berikut: (a) pengalaman
(insight/tilikan); (2) pembelajaran yang bermakna; (3) perilaku bertujuan; (4)
prinsip ruang hidup.
Tabel 1
Rumpun Model Interaksi Sosial
No. Model Tokoh Tujuan
1. Penentuan Herbert Thelen & Perkembangan ketermapilan untuk
Kelompok John Dewey partisipasi dalam proses sosial
demokratis melalui penekanan
yang dikombinasikan pada
keterampilan-keterampilan antar
pribadi (kelompok) dan
keterampilan penentuan akademik.
2. Inkuiri Sosial Byron Massialas & Pemecahan masalah sosial,
Benjamin Cox terutama melalui penemuan sosial
dan penalaran logis.
3. Metode Laboratori Bethel Maine Perkembangan keterampilan antar
(National Teaching pribadi dan kelompok melalui
Library) kesadaran dan keluwesan pribadi.
4. Jurisprudensial Donald Oliver & Dirancang terutama untuk
James P. Shaver mengajarkan kerangka acuan
yurisprudensial sebagai cara
berpikir dan penyelesaian isu-isu
sosial.
5. Bermain Peran Fainnie Shatel & Dirancang untuk mempengaruhi
George Fhatel siswa agar menemukan nilai-nilai
pribadi dan sosial. Perilaku dan
nilai-nilainya diharapkan anak
menjadi sumber bagi penemuan
berikutnya.
6. Simulasi Sosial Sarene Bookock & Dirancang untuk membantu siswa
Harold Guetzkov mengalami bermacam-macam
proses dan kenyataan sosial, dan
untuk menguji reaksi mereka, serta
untuk memperoleh konsep
keterampilan perbuatan keputusan.
Sumber: Rusman (2005:138)

2. Model Pemprosesan Informasi


Model ini berdasarkan teori belajar kognitif Piaget yang berorientasi pada
kemampuan siswa memproses informasi yang dapat memperbaiki kemampuan
siswa. Dalam pemprosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal
18

yang berasal dari keadaan individu dan kondisi eksternal yang bersal dari
lingkungan.
2.1.3.2 Pengertian CTL
Contextual teaching and learning (CTL) adalah model pembelajaran yang
menghubungkan pengetahuan dari mata pelajaran dengan kehidupan keseharian
untuk berlatih memecahkan masalah. Siswa dituntut untuk menggabungkan antara
pengetahuan dan tindakan. “Konteks” berasal dari kata kerja Latin contexere yang
berarti “menjalin bersama”. Kata “konteks” merujuk pada “keseluruhan situasi,
latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri, yang terjalin
bersamanya (Webster’s New World Dictionary) di dalam (Johnson, 2010:83).
Siswa lebih baik mengalami sendiri lingkungan yang alamiah yang akan menjadi
pengalaman bagi siswa. Johnson (2010:21) juga mengemukakan strategi yang
harus ditempuh dalam pelaksanaan Contextual teaching and learning (CTL).
Pertama, pengajaran berbasis masalah. Siswa dihadapkan dengan masalah yang
seragam dan berpikir solusi yang tepat untuk mengatasinya. Kedua, menggunakan
konteks yang beragam.
2.1.3.3 Karakteristik Model Pembelajaran CTL
Johnson (2011) mengemukakan ada beberapa strategi yang harus
ditempuh untuk menerapkan pembelajaran contextual teaching and learning.
Strategi ini merupakan ciri-ciri dalam penggunaan pembelajaran contextual
teaching and learning yaitu:
1. Pengajaran berbasis masalah, siswa ditantang berpikir kritis untuk
memecahkan masalah.
2. Menggunakan konteks yang beragam, makna (pengetahuan) yang diperoleh
berasal dari konteks yang bergam misalnya keluarga, masyarakat, sekolah, dan
sebagainya).
3. Mempertimbangkan kebhinekaan siswa, guru meyakinkan siswa bahwa
perbedaan individual dan sosial menjadi media untuk belajar saling
menghormati dan membangun toleransi demi terwujudnya keterampilan
interpersonal.
19

4. Memperdayakan siswa untuk belajar sendiri, siswa dilatih berpikir kritis dan
kreatif dalam mencari serta menganalisis informasi dengan sedikit bantuan.
5. Belajar melalui kolaborasi, siswa dibiasakan untuk saling belajar dari teman
yang memiliki kemampuan yang menonjol.
6. Menggunakan penilaian autentik, di dalam penilaian autentik telihat belajar
telah berlangsung secara terpadu dan kontekstual, dan memberi kesempatan
kepada siswa untuk maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
7. Mengejar standar tinggi, dengan ini siswa akan dituntut untuk mempunyai jiwa
kompetitif yang mampu bersaing di masa depan.
Sedangkan menurut (Aqib, 2015) CTL mempunyai karakteristik yaitu, (1)
menyenangkan, tidak membosankan, (2) saling menunjang, (3) adanya kerjasama,
(4) belajar dengan bergairah dan semangat, (5) Pembelajaran terintegrasi, (5)
menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif dalam proses pembelajaran, (8)
siswa kritis dan guru kreatif, (9) sharing dengan teman, (10) dinding dan lorong-
lorong dengan hasil kerja siswa peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain lain,
(11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil praktikum, karangan siswa, dan lain lain.
2.1.3.4 Langkah-Langkah Model Pembelajaran CTL
Secara garis besar langkah-langkah contextual teaching and learning
(CTL) menurut (Riyanto, 2010:168), yakni:
1. Kembangkan pikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya.
2. Laksanakan kegiatan inquiri untuk semua topik.
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya untuk mengembangkan
berpikir kritis.
4. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran dapat melalui ilustrasi, model,
atau media yang sebenarnya.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa mengetahui seberapa jauh
dirinya belajar.
20

7. Lakukan penilaian sebenarnya dengan secara objektif.


Tabel 2
Sintak Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Fase-fase Perilaku Guru
Fase 1: Construcktivism Mengkondisikan kelas untuk belajar,
Menyamapaikan tujuan dan menyampaikan tujuan pembelajaran, dan
Menghubungkan pengetahuan mengubungkan pengetahuan siswa dengan dunia
yang didapat sekitar sebagai awal pembukaan
Fase 2: Inquiry
Memberikan arahan kepada siswa dalam
Membimbing siswa dalam
melakukan rangkaian kegiatan berbasis inkuiri
penelitian
Fase 3: Questioning Mengembangkan pemikiran kritis siswa melalui
Mengeksplorasi pengetahuan siswa pertanyaan yang memperdalam materi
Fase 4 : Learning Society
Menjelaskan kepada siswa aturan kerja kelompok
Mengorganisir siswa ke dalam
dan pembagian kerja
kelompok kecil
Fase 5: Modeling
Memperagakan cara kerja dan bersikap yang benar
Memberikan contoh yang ditiru
Fase 6: Reflection Menguji pengetahuan yang telah didapat dengan
Mengevaluasi bermcam pertanyaan
Fase 7: Authentic assessment
Melakukan penilaian aspek-aspek yang telah
Melakukan penilaian secara
dicapai selama pembelajaran
langsung

Tabel 3
Langkah dalam Standar Proses
Pendahulua Eksplora Elabora Konfirma Penutu
Model Sintak
n si si si p
1. Menyampaika
n tujuan dan
Menghubung

kan
pengetahuan
yang didapat
2. Membimbing
siswa dalam √ √
penelitian
3. Mengeksplora
Contextu
si pengetahuan √
al siswa
Teaching
4. Mengorganisir
and
siswa ke
Learning √
dalam
(CTL)
kelompok
kecil
5. Memberikan
contoh yang √
ditiru
6. Mengevaluasi √
7. Melakukan
penilaian

secara
langsung
21

2.1.3.5 Penerapan Model Pembelajaran CTL dalam Pembelajaran


Matematika
Terdapat banyak cara efektif untuk mengaitkan pengajaran dan
pembelajaran dengan konteks sehari-hari siswa (Johnson:99-100) yaitu:
1. Ruang kelas tradisional yang mengaitkan materi dengan konteks siswa.
2. Memasukkan materi dari bidang lain dalam kelas.
3. Mata pelajaran yang terpisah, tetapi mencakup topik-topik yang saling
berhubungan.
4. Mata pelajaran gabungan yang menyatukan dua atau lebih disiplin.
5. Menggbaungkan sekolah dan pekerjaan yaitu, (1) pembelajaran berbasis
pekerjaan, (2) jalur karier, (3) pengalaman kerja berbasis sekolah.
6. Model kuliah kerja nyata atau penerapan terhadap hal-hal yang dipelajari di
sekolah ke masyarakat.
Pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) mempunyai
beberapa kelebihan menurut Johnson (2011:64-67), yakni dapat membuat siswa
menghubungkan isi dari subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan
keseharian mereka untuk menemukan makna. Siswa bertindak dengan cara yang
alamiah sesuai dengan fungsi otak, dengan psikologi dasar manusia, dan dengan
tiga prinsip alam semesta yang ditemukan para fisikawan dan ahli biologi modern.
Siswa menjadi lebih aktif karena pembelajaran berfokus pada siswa (student
center). Sumber belajar tidak terpaku pada buku dan informasi dari guru semata,
siswa dapat menjadikan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Pembelajaran
lebih produktif karena siswa diharapkan dari pengetahuan yang didapat siswa
akan “mengalami” bukan “menghafal”. Terdapat tiga prinsip di dalam
pembelajaran Contextual Teaching and Learning, yaitu kesaling-ketergantungan,
diferensiasi, dan pengaturan diri sendiri.
2.1.4 Model Pembelajaran Quantum Teaching
2.1.4.1 Pengertian Quantum Teaching
De Porter dan Hemacki (2013) mengungkapkan kata “Quantum”
didefinisikan sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi
22

cahaya”. Quantum Teaching merupakan sebuah usaha untuk mengoptimalkan


kemampuan secara individu ataupun kelompok, dengan mengatur lingkungan
belajar yang nyaman. Sehingga menjadi proses pembelajaran yang ditekankan
menjadi sebuah pengalaman yang bermakna. Sa’ud (2010:16) dalam (Kosasih,
2013:75) mengemukakan bahwa di dalam Quantum Teaching lingkungan belajar
diartikan sebagai sebuah pentas. Diharapkan pentas tersebut dirancang secara
optimal secara fisik maupun mental, siswa mendapat mengatur pengalaman
belajar. Sementara menurut Lozanov dalam (De Porter & Hernacki, 2013)
mengatakan Quantum Teaching berkar pada teori “suggestology” atau “suggesto-
pedia”. Guna memberikan sugesti positif seperti memasang musik yang
menenangkan selama belajar berlangsung di kelas, dinding-dinding kelas ditempel
dengan poster-poster yang berisi informasi, mengatur posisi duduk siswa dengan
nyaman. Sugesti dapat diartikan semua aspek apapun yang ditambahkan dalam
Quantum Teaching. Sugesti positif maupun negatif yang digunakan akan
mempengaruhi situasi belajar.
Terdapat beberapa uraian di atas dapat disimpulkan Quantum Teaching
merupakan model pembelajaran yang menekankan pada adanya interaksi di kelas.
Sehingga posisi guru dan siswa saling mengisi dan melengkapi satu sama lain
yakni, “Bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia
mereka”. Guru dapat memberikan materi sesuai dengan kemampuan,
perkembangan, dan minat bakat siswa. Adapun prinsip-prinsip dari Quantum
Teaching menurut (Kosasih & Sumarsana, 2013) sebagai berikut:
1. Segalanya berbicara
Seluruh kondisi lingkungan belajar harus berbicara membawa pesan-pesan
belajar bagi siswa yakni, rancangan kurikulum dan rancangan pembelajaran
guru, informasi, bahasa tubuh, kata-kata, termasuk gerakan dan tindakan.
2. Segalanya bertujuan
Sumber dan fasilitas yang terlibat dalam setiap pembelajaran digunakan untuk
membantu perubahan perilaku kogitif, afektif, dan psikomotorik.
23

3. Pengalaman sebelum pemberian nama


Siswa telah menemukan konsep pengetahuan mereka sendiri yang terkait
dengan pengalaman maupun pengetahuan yang sudah dimiliki, sebelum
pemberian nama.
4. Mengakui setiap usaha
Pengakuan usaha yang dilakaukan oleh siswa guru dan teman-temannya akan
menjadi ini sebagai motivasi untuk terus berkembang. Siswa yang lain juga
belajar menghargai usaha dari temannya.
5. Merayakan keberhasilan
Setiap usaha dan hasil karya dari siswa selama belajar pantas dirayakan, yang
betujuan untuk peningkatan hasil belajar selanjutnya.
2.1.4.2 Karakteristik Model Pembelajaran Quantum Teaching
Kosasih (2013) mengungkapkan tentang Quantum Teaching yang
berpangkal pada psikologi kognitif, lebih bersifat konstruktif. Berpusat pada
pembentukan keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal
atau material. Lingkungan dan kemampuan menjadi faktor yang sangat penting
dalam Quantum Teaching. Tujuan pembelajaran tergantung pada lingkungan
pembelajaran yang efektif dan dapat mengoptimalkan potensi siswa. Sehingga
siswa mengalami proses belajar yang bermakna. Hal yang dibutuhkan selama
proses belajar adalah penekanan pada interaksi siswa. Siswa yang mencari dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. guru tidak lagi menjadi sumber belajar
utama lewat ceramah. Quantum Teaching mengutamakan keberagaman dan
kebebasan misalnya adanya perbedaan pendapat antara siswa, siswa
diperbolehkan untuk menyuarakan pendapatnya. Hal seperti membutuhkan
totalitas fisik dan pikiran dalam proses pembelajaran.
2.1.4.3 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Quantum Teaching
Langkah-langkah model pembeajaran Quantum Teaching menurut Bobby
De Porter dalam (Kosasih, 2013:89) dapat dikenal dengan istilah TANDUR yaitu,
Tumbuhkan, Alami, Namai, Demosntrasikan, Ulangi, dan Rayakan.
24

1. Tumbuhkan
Pemberian apersepsi di pembukaan kelas yang dapat membangkitkan motivasi
anak untuk belajar. Di permulaan kelas sangat penting menemukan Apa
Manfaat Bagiku (AMBAK). Menurut (De Porter & Hernacki, 2013) AMBAK
adalah “motivasi yang didapat dari pemilihan secara mental antara manfaat dan
akibat-akibat suatu keputusan.
2. Alami
Siswa ikut bertisipasi secara langsung dalam proses pembelajaran. Mereka
mengalami sendiri yang dipelajari. Pengalaman yang didapat bersifat nyata.
3. Namai
Guru menyediakan kata kunci pada siswa dalam menguatkan dan
mendefinisikan konsep yang dipelajari.
4. Demonstrasikan
Siswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Melalui
demonstrasi siswa dapat memupuk rasa percaya diri untuk tampil di depan
umum.
5. Ulangi
Adanya kesempatan untuk mengulangi materi yang dipelajari. Sehingga
siswa mengetahui sendiri bagian yang belum paham atau mengalami
kesulitan.
6. Rayakan
Dengan merayakan setiap hasil yang didapatkan oleh peserta didik yang
dirayakan akan menambah kepuasaan dan kebanggan pada diri siswa.
Sedangkan menurut (Kosasih & Sumarsana, 2013) langkah-langkah yang
dapat diterapkan dalam Quantum Teaching sebagai berikut:
1. Kekuatan Ambak
Pada langkah ini siswa diberi motivasi oleh guru dengan adanya penjelasan
tentang manfaat apa saja setelah mempelajari materi.
2. Penataan lingkungan belajar
Penataan tempat beljar yang tepat dan nyaman membuat siswa lebih fokus
dalam proses pembelajaran.
25

3. Memupuk sikap juara


Pemberian penghargaan terhadap usaha yang dilakukan iswa mampu memupuk
sikap juara. Akan tetapi siswa yang belum menguasi materi merasa tersingkir.
4. Bebaskan gaya belajarnya
Siswa mempunyai kemampuan belajar dan kecerdasan yang berbeda. Dalam
Quantum Teaching guru seharusnya memberikan kebebasan dalam belajar.
5. Membiasakan mencatat
Siswa harus mampu mengungkpkan kembali materi yang teah dipelajari
dengan menggunaan bahasa dan cara yang mereka pahami. Hal yang dapat
membantu siswa adalah dengan mencatatat.
6. Membiasakan membaca
Selain menambah pengetahuan, membaca dapat meningkatkan daya ingat
sesorang. Guru harus membiasakan siswa dengan berbagai sumber bacaan.
Tabel 4
Sintak Model Pembelajaran Quantum Teaching
Fase-fase Perilaku Guru
Fase 1: Tumbuhkan Menyampaikan tujuan dan apersepsi serta
Memberikan apersepsi dan memberi penjelasan manfaat yang diperoleh
membangkitkan motivasi sebagai motivasi belajar

Fase 2: Alami
Mengikutsertakan siswa dalam kegiatan selama
Mengorganisir siswa ke
proses pembelajaran dan menjelaskan aturan
dalam kelompok kerja atau
kegaitan yang berlaku
individu

Fase 3: Namai Membimbing siswa menemukan konsep secara


Menyediakan kata kunci dan mandiri dan melatih siswa dalam pemecahan
menguatkan konsep masalah

Fase 4 : Demonstrasi
Memberi waktu bagi siswa untuk berbicara dan
Mengembangkan
mengungkapkan hasil kerja
keterampilan presentasi
Fase 5: Ulangi Memberikan kesempatan siswa bertanya dan
Mengulangi materi menjelaskan kembali bagian yang sulit

Fase 6: Rayakan Menghargai setiap hasil dari pemahaman siswa


Merayakan hasil dan dan memberikan penguatan (reiforcement)
memberi penghargaan dalam bentuk pujian dan motivasi
26

Tabel 5
Langkah dalam Standar Proses
Pendahulu Eksplora Elabora Konfirma Penutu
Model Sintak an si si si p
1. Memberikan
apersepsi dan

membangkitk
an motivasi
2. Mengorganisi
r siswa ke
dalam

kelompok
kerja atau
individu
3. Menyediakan
Quantu kata kunci
m √
dan
Teachin menguatkan
g konsep
4. Mengembang
kan

keterampilan
presentasi
5. Mengulangi

materi
6. Merayakan
hasil dan

memberi
penghargaan

2.1.4.4 Penerapan Model Pembelajaran Quantum Teaching dalam


Pembelajaran Matematika
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan model
pembelajaran Quantum teaching sebagai berikut:
1. Guru memberitahukan manfaat dari materi secara jelas agar siswa tahun
peningnya materi yang dipelajari.
2. Memberikan contoh kepada siswa yang berkaitan dengan dunia siswa,
misalnya dimulai dengan bercerita diawali oleh guru dan dilanjutkan oleh
siswa sehingga menacapai tujuan pembelajaran.
3. Berilah nama konsep materi yang telah ditemukan menggunakan kata kunci.
4. Berikan waktu untuk siswa mendemonstrasikan hasil kerja siswa yang membut
siswa mempunyai rasa percaya diri dan bangga.
5. Mengulang materi yang menurut siswa belum paham .
27

6. Merayakan setiap hal yang dipelajari, memberikan pengargaan pada siswa


yang berprestasi, dan memberikan motivasi bagi siswa yang belum paham.
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Windi Septiyani (2013), yang berjudul Pengaruh Pembelajaran
Matematika Berbasis Kontekstual Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa pada
Kelas IV SD N 02 Salatiga Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model
pembelajaran contextual teaching and learning pada hasil belajar matematika.
Dari hasil uji hipotesis penelitian ini didapatkan perbedaan yang sangat
signifikan. Perhitungan uji hipotesis nilai t pada hasil belajar menunjukkan sig.
0,000 < 0,05, yang berarti terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara
hasil belajar matematika kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil uji hipotesis
menunjukkan penggunaan uji t, diperoleh t hitung = 5,08, t tabel = 2,031, pada α =
0,05 dan dk = 50. Ternyata t hitung = 5,08 t tabel = 2,031. Sehingga model
pembelajaran kontekstual sangat efektif diterapkan pada pembelajaran kelas IV
SD N 02 Salatiga.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti
Rochani (2014), yang berjudul Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui
Model Pembelajran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Berbantu
Alat Peraga Manik-Manik pada Siswa Kelas V SD 1 Panjang Tahun Ajaran
2013/2014. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas, dapat
dilihat dari nilai rata-rata secara klasikal menggunkan model pembelajaran CTL
berbantuan alat peraga memperoleh nilai rata-rata 86 dengan perolehan nilai
tertinggi 100 dan nilai terendah 50 pada siklus II, yang mengalami ketuntasan dari
75% menjadi 86%.
Hasil penelitian lain yang relevan dengan penerapan model pembelajaran
Quantum Teaching adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Laila (2015)
dengan judul Penerapan Model Quantum Teaching sebagai Upaya Peningkatan
Kualitas Pembelajaran IPS Kelas V SD. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan
28

bahwa rerata tes hasil belajar siswa siklus I mencapai 75,9 dengan presentase
ketuntasan 92,9%, dan siklus II naik menjadi 82,0 dengan presentase ketuntasan
98%. Dalam penelitian ini siswa tidak hanya duduk saja mendengarkan ceramah
guru. Akan tetapi, siswa diajak untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Penelitian kedua tentang kefektifan penerapan model Qunatum Teaching
yang dilakukan oleh Widiyaningsih (2013) dengan judul Keefektifan
Pembelajaran Model Quantum Teaching Berbantuan Cabri 3D Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah. Hasil penelitian ini menunjukan tercapainya
ketuntasan individu dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75 dan
tercapainya ketuntasan klasikal sebesar 75% dari banyaknya peserta didik yang
mencapai KKM pada model pembe-lajaran Quantum Teaching, kemampuan
pemecahan masalah peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model Qu-
antum Teaching berbantuan Cabri 3D le-bih baik dari pada kemampuan pemecahan
masalah peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran DI.
Sehingga selain meningkatkan hasil belajar, model Quantum Teaching juga dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan gambaran mengenai hubunga antar variabel
dalam suatu penelitian, yang diuraikan oleh jalan pikiran menurut kerangka logis
atau dasar pemikiran dari penelitian yang disintesiskan dari fakta-fakta, observasi
dan telaah penelitian. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
siswa, model pembelajaran merupakan salah satu faktor perangkat lunak yang
sangat penting. Karena model pembelajaran merupakan rancangan pelaksanaan
pembelajaran yang terdapat langkah pembelajaran dan kegiatan siswa.
Penelitian ini akan diketahui perbedaan yang signifikan perbedaan hasil
belajar Matematika antara model pembelajaran CTL dengan model pembelajaran
Quantum Teaching. Sebelum melakukan treatment dua kelas harus dikondisikan
normal, berarti sudah dilakukan uji kesetaraan dan diketahui hasilnya homogen
melalui pretest. Kelas 5 SDN Manggarwetan menjadi kelas eksperimen 2 dengan
menggunakan model CTL. Sedangkan kelas 5 SDN 1 Manggarmas menjadi kelas
eksperimen 1 dengan menggunakan model pembelajaran Quantum Teaching.
29

Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)


menekankan pada pembelajaran yang menghadirkan konteks atau lingkungan
yang dikaitkan dengan materi yang diajarkan. Siswa langsung dihadapkan pada
permasalahan yang terdapat di kehidupan siswa. Melalui kegiatan yang berdasar
pada pemecahan masalah, siswa dilatih untuk berpikir kritis dan menemukan
sendiri konsep yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual juga melatih siswa untuk
peka terhadap lingkungan dan saling toleransi dari lingkungan belajar,
pemahaman siswa dapat dinilai ketika kegiatan reflection. Sedangkan model
pembelajaran Quantum Teaching menekankan semua siswa harus bicara yang
berarti semua siswa diharapkan aktif selama pembelajaran, termasuk di akhir
kegiatan jika terdapat materi yang belum paham siswa aktif bertanya. Sehingga
terjadi interaksi antara guru dan siswa. Oleh karena itu di dalam model
pembelajaran Quantum Teaching guru mengetahui karakteristik dan tingkat
kemampuan yang dimiliki siswa. Selama pembelajaran hanya perasaan senang
dan saling menghargai hasil yang diperoleh. Model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan model pembelajaran Quantum Teaching dapat
meningkatkan hasil belajar siswa yang diimbangi dengan keaktifan dan berpikir
kritis siswa. Kerangka berpikir dari penelitian ini dapat dilihat dalam skema
penerapan model pembelajaran CTL dan Quantum Teaching.
30

Gambar 4 Skema Penerapan Model Pembelajaran CTL dan Quantum


Teaching
Setelah dilakukan posttest akan diketahui perbedaan hasil belajar antara
penerapan model pembelajaran CTL dengan penerapan model pembelajaran
Quantum Teaching. Jika terdapat perbedaan hasil belajar pada penerapan CTL
yang sigifikan berarti berpengaruh dalam pembelajaran. Akan tetapi jika tidak
terdapat perbedaan signifikan yang dapat dibandingkan, berarti tidak ada
pengaruh terhadap hasil belajar.
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian kajian pustaka dan hasil penelitian yang relevan maka
dapat dirumuskan hipotesis penelitian pertama yaitu terdapat perbedaan hasil
belajar matematika antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) dengan model pembelajaran Quantum Teaching pada kelas 5 SD Negeri 1
Manggarmas Purwodadi dan SD Negeri Manggarwetan Purwodadi Semester II
Tahun Pelajaran 2015/2016. Hipotesis penelitian kedua yaitu tidak terdapat
perbedaan hasil belajar matematika antara model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dengan model pembelajaran Quantum Teaching
pada kelas 5 SD Negeri 1 Manggarmas Purwodadi dan SD Negeri Manggarwetan
Purwodadi Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016.

Anda mungkin juga menyukai